MENUJU PEMBANGUNAN YANG LEBIH BERKEADILAN DI INDONESIA
MENUJU PEMBANGUNAN YANG LEBIH BERKEADILAN DI INDONESIA
Potret Situasi, Penyebab, dan Rekomendasi Penurunan Ketimpangan 2018
Didukung oleh :
Dokumen ini diterbitkan dengan dukungan Uni Eropa. Isi dokumen ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, dan tidak mencerminkan pendapat Uni Eropa, Oxfam di Indonesia, dan Kementerian Sosial RI.
MENUJU PEMBANGUNAN YANG LEBIH BERKEADILAN DI INDONESIA
Potret Situasi, Penyebab, dan Rekomendasi Penurunan Ketimpangan 2018
Penulis:
Xxxxx Xxxxx Xxxxx Xxxxxx Xxxx Tua P. P
Xxxxx Xxxxxxxxxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxxxx
Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx Rachmi Hertanti
Editor Bahasa:
Xxxxxx Xxxxxxxx
INFID, Maret 2019
Daftar Isi
Daftar Singkatan | iv |
Ringkasan Eksekutif | vi |
SITUASI DAN PENYEBAB KETIMPANGAN DI INDONESIA | 1 |
Bagian Satu: Ketimpangan di Sektor Pertanian dalam Kebijakan Ekonomi Terbuka | 3 |
Bagian Dua: Ketimpangan Sumber Pertumbuhan | 7 |
Bagian Tiga: Ketimpangan Komoditifikasi Perumahan | 13 |
Bagian Empat: Ketimpangan Penguasaan Sumber Daya Alam | 17 |
Bagian Lima: Ketimpangan Perpajakan | 19 |
Bagian Enam: Ketimpangan Gender | 23 |
Bagian Tujuh: Menuju Revolusi Industri 4.0 | 31 |
Bagian Delapan: Ketimpangan Sosial Per Wilayah | 33 |
REKOMENDASI UNTUK MENGURANGI KETIMPANGAN DI INDONESIA | 38 |
POTRET SITUASI, PENYEBAB, DAN REKOMENDASI PENURUNAN KETIMPANGAN 2018
iii
Daftar Singkatan
AKI | : angka kematian ibu |
AMAN | : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Nama Lembaga) |
APBN/D | : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah |
ASEAN | : Association of Southeast Asian Nations |
BKPM | : Badan Koordinasi Penanaman Modal |
BOS | : Bantuan Operasional Sekolah |
BPS | : Badan Pusat Statistik |
CEDAW | : Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/ Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan |
DI Yogyakarta | : Daerah Istimewa Yogyakarta |
DJP | : Direktorat Jenderal Pajak |
DKI Jakarta | : Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta |
DPD | : Dewan Perwakilan Daerah |
DPR | : Dewan Perwakilan Rakyat |
DPRD | : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah |
FGD | : focus group discussion |
FTA | : Free Trade Area |
GII | : Indeks Kesenjangan Gender |
GVC | : Global Value Chain |
ha | : hektare |
HCI | : Human Capital Index |
IGJ | : Indonesia for Global Justice (Nama Lembaga) |
INFID | : International NGO Forum on Indonesian Development (Nama Lembaga) |
Inpres | : instruksi presiden |
JKN | : Jaminan Kesehatan Nasional |
Kemen ESDM | : Kementerian Energi Sumber Daya Mineral |
Kemendag | : Kementerian Perdagangan |
Kemendikbud | : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan |
KH | : kelahiran hidup |
KLHK | : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan |
Komnas | : komisi nasional |
KPA | : Konsorsium Pembaruan Agraria (Nama Lembaga): |
KPK | : Komisi Pemberantasan Korupsi |
KPP-PA | : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak |
iv MENUJU PEMBANGUNAN YANG LEBIH BERKEADILAN DI INDONESIA
LPDP | : Lembaga Pengelola Dana Pendidikan |
LPEM FEB UI | : Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (Nama Lembaga) |
MDGs | : Millenium Development Goals |
MHDC | : Medium Human Development Country |
NPWP | : nomor pokok wajib pajak |
PAUD dan Dikmas | : Pendidikan Anak Xxxx Xxxx dan Pendidikan Masyarakat |
PBB | : Perserikatan Bangsa-Bangsa |
PDB | : produk domestik bruto |
Pemilu | : pemilihan umum |
Perpres | : peraturan presiden |
PHK | : pemutusan hubungan kerja |
PIP | : Program Indonesia Pintar |
PKH | : Program Keluarga Harapan |
PKP | : pengusaha kena pajak |
PMA | : Penanaman Modal Asing |
PMDN | : Penanaman Modal Dalam Negeri |
PNS/ASN | : pegawai negeri sipil/ aparatur sipil negara |
PP | : peraturan pemerintah |
PPh | : pajak penghasilan |
PPN | : pajak pertambahan nilai |
Puskapol Fisip UI | : Pusat Kajian Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik |
PWYP | : Publish What You Pay (Nama Lembaga) |
RAPBN | : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara |
RTRW | : Rencana Tata Ruang Wilayah |
SDA | : sumber daya alam |
SDGs | : Sustainable Development Goals |
SHK | : Sistem Hutan Kerakyatan |
SP | : Surat Pajak Terhutang |
Susenas | : Survei Sosial Ekonomi Nasional |
TJN | : Tax Justice Network |
TuK Indonesia | : Transformasi untuk Keadilan Indonesia (Nama Lembaga) |
UNCTAD | : United Nations Conference on Trade and Development |
UNDP | : United Nations Development Programme |
USD | : United States Dollar |
WALHI | : Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Nama Lembaga) |
WEF | : World Economic Forum |
WKR | : wilayah kelola rakyat |
WP | : wajib pajak |
WTO | : World Trade Organization |
POTRET SITUASI, PENYEBAB, DAN REKOMENDASI PENURUNAN KETIMPANGAN 2018 v
Ringkasan Eksekutif
Pada September sampai Desember 2018, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyelenggarakan penelitian dan pengkajian mengenai sumber-sumber penyebab ketimpangan di Indonesia. Adapun bidang yang menjadi fokus penelitian dan pengkajian adalah pajak, perumahan, ketenagakerjaan, gender, sumber pertumbuhan, penguasaan sumber daya alam, dan pertanian dalam pasar terbuka. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan kualitatif.
Pada saat yang sama INFID melaksanakan survei dalam bentuk persepsi warga. Pengambilan data dilaksanakan dari Agustus hingga Oktober 2018. Laporan ini merupakan hasil dari kompilasi atas pekerjaan tersebut.
Adapun tiga tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah, pertama, memperbarui data-data sumber dan penyebab ketimpangan di Indonesia. Kedua, menyusun rekomendasi lebih mutakhir dan terkini sebagai masukan bagi pengambil kebijakan dan pihak-pihak terkait. Ketiga, mendukung strategi dan efektivitas program pemerintah untuk menurunkan ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia.
Penyelenggaraan tujuh penelitian kualitatif dan satu penelitan kuantitatif dalam bentuk survei warga ini, dengan dukungan peneliti yang kompeten di bidangnya. Para peneliti tersebut adalah (1) Herni Hendlaningrum, penelitian tentang pajak; (2) Xxxxx Xxxxxxxx, penelitian tentang perumahan; (3) Xxxxx Xxxxx, penelitian tentang ketenagakerjaan; (4) Listyowati, penelitian tentang gender; (5) Xxxxxxxx Xxxxxx, penelitian tentang penguasaan sumber daya alam; (6) Rachmi Hertanti, penelitian tentang sumber pertumbuhan dan pertanian dalam ekonomi terbuka; (7) Xxxxx Xxxxxx, penelitian kuantitatif survei persepsi warga.
Sebagian besar data kualitatif menggunakan data-data sekunder dalam kurun waktu tiga tahun ke belakang. Sementara itu, sumber-sumber data yang digunakan untuk memperkuat penelitian ini antara lain berasal dari OECD, SUSENAS, BPS, laporan World Economic Forum dan Global Wealth Databook.
Temuan dan Rekomendasi:
Ketimpangan Pajak. Kinerja pajak memperlihatkan perbaikan. Secara nominal sudah terjadi kenaikan meskipun secara rasio masih stagnan. Tingkat kepatuhan pajak dan penerimaan pajak semakin membaik. Dalam rangka meningkatkan pencapaian yang lebih tinggi, INFID mengusulkan perubahan tarif pajak melalui mekanisme pengenaan pajak yang lebih tinggi bagi orang dengan pendapatan yang lebih tinggi. Orang superkaya dengan penghasilan Rp 100 miliar per tahun atau Rp 10 miliar per bulan dikenakan tarif lebih tinggi. Sebagai contoh, superkaya dikenakan pajak 40 persen; bukan hanya 35 persen seperti sekarang.
Ketimpangan Perumahan. Pemerintah memang telah memprioritaskan pengadaan perumahan yang didanai oleh publik (BTN). Tetapi tingkat keterjangkauan masyarakat secara
vi MENUJU PEMBANGUNAN YANG LEBIH BERKEADILAN DI INDONESIA
umum atau, khususnya masyarakat tingkat menengah ke bawah, untuk membeli rumah masih 30 persen. Kondisi ini memperlihatkan bahwa tingkat pendapatan warga Indonesia masih jauh dari kata mencukupi. Hal ini dikarenakan subsidi atau dukungan pendanaan dalam berbagai bentuk masih terlalu kecil. Dengan kata lain pemerintah masih harus menunjukkan sikap negara hadir dalam pengadaan perumahan, baik kepada pegawai negeri sipil, TNI, Polri, maupun warga secara umum.
INFID merekomendasikan mekanisme pasar untuk perumahan dapat dikendalikan dan dikurangi. Caranya adalah pemerintah memberikan dukungan anggaran yang lebih besar untuk pengadaan perumahan. Bentuk dukungan berupa: (a) subsidi uang muka; (b) subsidi bunga; (c) subsidi pengadaan tanah.
Ketimpangan Ketenagakerjaan. Meskipun angka pengangguran bisa diturunkan, Indonesia masih menghadapi tingkat keterampilan rendah, yaitu tenaga kerja Indonesia rata-rata lulusan SMP atau SMA ke bawah. Jika tidak dilakukan perbaikan, dikhawatirkan dalam jangka menengah atau panjang akan mengurangi daya saing Indonesia. Akibat lebih lanjut adalah penurunan ketimpangan yang menjadi prioritas Presiden Xxxx Xxxxxx tidak akan tercapai.
INFID mengusulkan kebijakan ketenagakerjaan secara aktif dalam berbagai bentuk, terutama dukungan anggaran pemerintah dan dukungan program pemerintah. Lebih dari itu, masalah ketenagakerjaan saat ini masih belum menjadi pioritas khususnya di 500 kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini menjadi tugas berat bagi siapa pun pemerintahannya.
Karena itu, INFID merekomendasikan dua langkah utama. Pertama, isu ketenagakerjaan harus menjadi prioritas. Hal ini sesuai dengan program Presiden Xxxx Xxxxxx yang berfokus pada sumber daya manusia. Implikasinya 500 kabupaten/kota harus meletakkan kebijakan ketenagakerjaan setara dengan kebijakan investasi. Kedua, alokasi APBN terhadap kebijakan ketenagakerjaan haruslah lebih besar dari yang ada sekarang. Setidaknya, sebagai patokan, perlu dialokasikan 5 sampai 10 persen dari Xxxx Xxxdidikan di APBN. Sebagaimana yang kita ketahui alokasi APBN tiap tahun untuk dana pendidikan sudah dikunci 20 persen yang nominanya di atas Rp 400 triliun.
Ketimpangan Gender. Data dan bukti memperlihatkan ketimpangan gender di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah dan tantangan semua pihak, termasuk elite politik dan birokrasi serta industri atau sektor swasta. Ketimpangan tersebut terlihat dalam bentuk partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja. Sebagai contoh, gaji yang diterima laki-laki lebih besar dari perempuan untuk posisi yang sama. Selain itu jumlah perempuan yang menduduki jabatan tinggi di pemerintah dan swasta masih memperlihatkan ketimpangan. Berbagai survei membuktikan hal ini, termasuk survei World Economic Forum.
Untuk itu, INFID merekomendasikan kepada pemerintah membuat berbagai kebijakan untuk memutus mata rantai ketimpangan tersebut. Hal itu bisa ditempuh, antara lain: (a) Kebijakan dan anggaran yang responsif gender serta memastikan pelaksanaannya; (b) Mendorong semangat Three Ends Plus (Akhiri Perdagangan Perempuan, Akhiri Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Akhiri Kesenjangan Ekonomi Perempuan dan Partisipasi Politik Perempuan).
POTRET SITUASI, PENYEBAB, DAN REKOMENDASI PENURUNAN KETIMPANGAN 2018
vii
viii
MENUJU PEMBANGUNAN YANG LEBIH BERKEADILAN DI INDONESIA
POTRET SITUASI, PENYEBAB, DAN REKOMENDASI PENURUNAN KETIMPANGAN 2018
1
SITUASI DAN PENYEBAB KETIMPANGAN DI INDONESIA
POTRET SITUASI, PENYEBAB, DAN REKOMENDASI PENURUNAN KETIMPANGAN 2018
1
2
MENUJU PEMBANGUNAN YANG LEBIH BERKEADILAN DI INDONESIA
Bagian Satu
Ketimpangan di Sektor Pertanian dalam Kebijakan
Ekonomi Terbuka
Situasi Ketimpangan:
1. Lebih dari dua dekade penerapan kebijakan liberalisasi perdagangan oleh pemerintah Indonesia justru meningkatkan ketergantungan pada produk impor sebagai substitusi produk lokal yang dianggap tidak kompetitif. Data BPS menunjukkan komposisi impor non- migas Indonesia didominasi oleh impor bahan baku yang rata-rata mencapai 70 persen dari total impor. Dengan dalih efisiensi biaya produksi, penggunaan produk impor menjadi pembenar. Produk lokal dianggap berkualitas lebih rendah, sehingga industri enggan menyerapnya.
2. Lebih dari dua dasawarsa penerapan kebijakan pasar terbuka (Free Trade Agreement/ FTA), Indonesia belum bisa maksimal memanfaatkannya. Rata-rata pemanfaatan FTA untuk mendorong kinerja ekspor masih sangat rendah, hanya sebesar 30 persen sampai 35 persen. Ini mengindikasikan rendahnya daya saing khususnya sektor industri (manufaktur) di Indonesia.
Tabel 1: Perhitungan FTA Preferential Indicator1
Sumber : BPS. Data diolah penulis, Rachmi Hertanti, 2018
1 Dipresentasikan oleh Xxxxxx Xxxxxx, LPEM FEB UI, dalam Round Table Expert Meeting yang diadakan oleh IGJ pada 30 November 2017.
3. Laporan BPS menyebutkan bahwa telah terjadi penyusutan luas lahan baku sawah. Pada tahun 2013, lahan baku sawah seluas 8,12 juta hektare. Pada tahun 2017 menyusut menjadi 7,75 juta hektare, dan pada tahun 2018 menyusut lagi menjadi 7,1 juta hektare.2 Penyusutan diakibatkan terjadinya konversi lahan untuk kebutuhan pembangunan kawasan industri, jalan tol, termasuk infrastruktur lain, hingga pembangunan properti.
4. Terhitung sejak 2003 hingga 2013 jumlah perusahaan di sektor pertanian tumbuh 3,7 persen atau 155 perusahaan. Namun, pertumbuhan tersebut dibayar dengan hilangnya jumlah petani (tanaman pangan) sebesar 5,24 persen atau setara dengan 979.980 orang dan nelayan (perikanan tangkap) sebesar 44,90 persen atau setara dengan 704.542 orang.3 Penguasaan lahan ke tangan korporasi pun meningkat, berbanding terbalik dengan penguasaan lahan bagi petani. Penguasaan lahan oleh korporasi (dengan luas 5.000–30.000 ha) mengalami pertumbuhan 24,57 persen. Sebaliknya, lebih dari 5 juta petani guram dan kecil (luas lahan 0–5000) hilang terhitung sejak 2003 hingga 2013.4
5. Kegiatan investasi di sektor tanaman pangan dan perkebunan juga tidak berbanding lurus dengan angka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, termasuk dengan tingkat pendapatannya. Pada periode 2013–2018, investasi tanaman pangan dan perkebunan, baik lokal maupun asing, terus memperlihatkan peningkatan. Namun, juga terjadi penurunan jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 3,52 juta orang. Pada tahun 2016, angka tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian 39,22 juta orang,5 pada tahun 2018 menurun menjadi 35,70 juta orang6. Dan di sisi pendapatan, rata-rata upah di sektor pertanian masih di bawah rata-rata upah nasional 2018, yakni hanya 1,76 juta.
6. Temuan BPK tahun 2018 menyebutkan bahwa xxx xxxxxxxxx terkait dengan tata niaga impor pangan. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh persetujuan impor tanpa pembahasan di rapat koordinasi antar-kementerian, tidak kuat dalam menganalisis kebutuhan, hingga lemahnya pengawasan terhadap realisasi impor dan importir.7
7. Potensi korupsi dari kegiatan impor pangan, bahkan dari beberapa kegiatan ketahanan pangan diklaim oleh KPK terkait dengan isu Kredit Usaha Rakyat (KUR), subsidi benih, pupuk bersubsidi, asuransi pertanian, dan pengadaan komoditas pangan strategis.
2 ihat xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxx/00000000000000-00-000000/xxx-xxxxx-xxxx-xxxxx-xxxxxxxxx-xxxx-xxxxxxx dan BPS Statistik Luas Lahan Sawah xxxxx://xxx.xxx.xx.xx/xxxxxxxxxxxx/0000/00/00/000/xxxx-xxxxx-xxxxx-xxxxxxx-xxxxxxxx-xx-0000-0000.xxxx
3 BPS, Sensus Pertanian 2013.
4 BPS, Sensus Pertanian 2013.
5 Per Agustus yang dilihat perbedaannya year on year.
6 Laporan Data Sosial Ekonomi BPS 2016 dan 2019
7 Warta Pemeriksa, BPK, April 2018
Penyebab Ketimpangan:
1. Pembukaan pasar domestik Indonesia diterjemahkan sebebas-bebasnya tanpa strategi pertahanan dan proses transisi yang terencana, yang pada akhirnya berdampak terhadap matinya produksi lokal. Begitu juga dengan pembukaan akses pasar hingga 0 persen yang mencapai hingga 99 persen pos tarif komoditas menjadikan Indonesia sekadar target pasar ketimbang basis produksi yang mampu menciptakan pembukaan lapangan pekerjaan.
2. Industrialisasi yang ditujukan untuk kegiatan ekspor telah meninggalkan apa yang selama ini menjadi kekuatan Indonesia, yakni pertanian. Menurut Xxxxx Xxxxxxx,8 dukungan kebijakan terhadap pembangunan sektor industri tanpa menyertakan sektor pertanian pada masa lampau telah menciptakan banyak kantong-kantong orang miskin.
3. Negara tujuan ekspor menerapkan beberapa kebijakan hambatan non-tarif (non-tariff measures/NTMs) untuk melindungi pasar dalam negeri. Terbatasnya pasar ekspor Indonesia ke beberapa tujuan negara seperti Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand dikarenakan penerapan NTMs secara inkonsisten, tidak transparan, dan cenderung tidak terstandardisasi9. Pemberlakuan NTMs menjadi bentuk pertarungan sesungguhnya di balik isu keterbukaan. WTO (2019) mencatat10 telah masuk 137 penerapan tindakan hambatan perdagangan baru pada tahun 2018, melalui menaikkan tarif, menerapkan quantitative restrictions, import taxes, dan export duties.
Dalam penerapan NTMs, Indonesia di bawah Thailand dan Malaysia. Lihat:
Tabel 2: NTMs di berbagai negara11
Sumber: Data diolah penulis, Rachmi Hertanti, 2018
8 Xxxxxxxx Xxxxxx, “Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial”, Media Neliti, Jakarta, 2011.
0 Xxxxxxx, Xxxxxxx. M., et.all, “Analisis Daya Saing dan Strategi Industri Nasional di Era MEA dan Perdagangan Bebas”, Working Paper BI, Jakarta, 2015.
10 xxxxx://xxx.xxx.xxx/xxxxxxx/xxxx_x/xxxx00_x/xxxxx_00xxx00_x.xxx
11 Data INDEF 2017 yang dipresentasikan oleh Xxxxx Xxxx, Peneliti INDEF, dalam Round Table Expert Meeting yang diadakan oleh IGJ pada 30 November 2018.
4. Regulasi yang membolehkan kepemilikan asing di sektor pertanian. Hasil sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan bahwa peningkatan jumlah korporasi di sektor pangan semakin menurunkan jumlah petani di Indonesia. Juga terjadi marginalisasi terhadap petani kecil. Agresi industrialisasi pangan meningkatkan jumlah investasi di sektor primer (sumber daya alam, seperti pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan). Apalagi setelah disahkannya Perpres 36 Tahun 2010 yang membolehkan kepemilikan asing di sektor pertanian (>25 ha) hingga 95 persen, nilai investasinya semakin tinggi.
5. Strategi swasembada pangan yang diangkat oleh Pemerintah Indonesia belum menempatkan petani sebagai pelaku utamanya. Termasuk konsep swasembada yang bertumpu pada agenda ketahanan pangan ketimbang kedaulatan pangan juga menjadi salah satu persoalan ketika pemenuhan ketersediaan pangan tidak dilihat dari sumbernya. Dalam hal ini kemandirian pangan, tetapi lebih kepada keterjangkauan. Hal ini menjadikan pangan yang diproduksi oleh petani lokal menjadi termarginalkan.
Bagian Dua
Ketimpangan Sumber
Pertumbuhan
Situasi Ketimpangan
1. Secara umum, sektor-sektor yang menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB masih tetap sama. Sektor tersebut adalah industri pengolahan; sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan; sektor perdagangan besar dan eceran; sektor konstruksi, dan sektor pertambangan dan penggalian. Sektor industri pengolahan masih menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB dengan nilai kontribusi mencapai 20,51 persen pada tahun 2016 dan 20,16 persen pada tahun 2017. Pada tahun yang sama, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan; dan sektor perdagangan besar dan eceran kontribusinya rata-rata masih berada di angka 13 persen. Adapun kontribusi sektor konstruksi dan sektor pertambangan dan penggalian masing-masing berada di sekitar 10 persen dan 7 persen.
Diagram 1. Distribusi PDB Menurut Lapangan Usaha, 2011-2017
Sumber : BPS. Data diolah penulis, Rachmi Hertanti, 2018
2. Kontribusi sektor konstruksi dalam pembentukan PDB terus meningkat dari 9,09% pada tahun 2011 menjadi 10,38% pada tahun 2016 dan 10,37% pada tahun 2017. Yang menarik, konstruksi merupakan sektor yang ramah terhadap kalangan berpendidikan menengah ke bawah. Dari Grafik 2 di bawah terlihat bahwa porsi pekerja yang berpendidikan SD dan SLTP di sektor konstruksi tergolong sangat tinggi, masing-masing berada di angka 35% dan 25%.
Diagram 2. Porsi Pekerja per Sektor Menurut Level Pendidikan, 2017
Sumber : BPS. Data diolah penulis, Rachmi Hertanti, 2018
3. Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri makanan dan minuman merupakan yang tertinggi di antara subsektor industri dalam kelompok industri besar dan sedang. Persentase pekerja yang terlibat dalam industri makanan mengalami kenaikan, yakni dari posisi 16,35% pada 2015 menjadi 18,51% pada 2016. Begitu juga dengan industri minuman, terus tumbuh dari 1,14% pada 2014 menjadi 1,63% pada 2016.
Diagram 3. Porsi Pekerja Sektor Industri Makanan & Minuman, 2013-2016
Sumber : BPS. Data diolah penulis, Rachmi Hertanti, 2018
4. Penurunan ketimpangan dari tahun 2015 ke tahun 2016 juga diikuti oleh naiknya penyerapan tenaga kerja di subsektor industri manufaktur yang berteknologi rendah, seperti industri makanan, minuman, kulit, dan kayu. Dengan demikian, dapat dikatakan, pertumbuhan ekonomi dalam dua tahun terakhir lebih bersifat inklusif dibanding periode- periode sebelumnya karena berhasil menurunkan angka ketimpangan yang bergeming di angka 0,41 sejak tahun 2011. Pertumbuhan yang lebih inklusif terjadi karena sumber pertumbuhan berasal dari sektor yang ramah terhadap tenaga kerja lokal dan berketerampilan rendah. Penurunan ketimpangan juga diikuti naiknya penyerapan tenaga kerja di subsektor industri manufaktur berteknologi rendah atau yang menggunakan sistem produksi sederhana seperti industri makanan, minuman, kulit, dan kayu.
Tabel 2. Proporsi Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur, 2015–2016
Jenis Industri | Proporsi Tenaga Kerja di Sektor Industri Manufaktur (%) | |
2015 | 2016 | |
Industri Makanan | 2.9 | 3.25 |
Industri Minuman | 0.19 | 0.22 |
Industri Pengolahan Tembakau | 0.41 | 0.29 |
Industri Tekstil | 1.09 | 1.01 |
Industri Pakaian Jadi | 1.55 | 1.55 |
Industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki | 0.58 | 0.66 |
Industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan barang anyaman dari bambu, rotan, dan sejenisnya | 1.22 | 1.42 |
Industri kertas dan barang dari kertas | 0.21 | 0.2 |
Industri pencetakan dan reproduksi media rekaman | 0.35 | 0.29 |
Industri produk dari batu bara dan pengilangan minyak bumi | 0.04 | 0.01 |
Industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia | 0.28 | 0.26 |
Industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional | 0.12 | 0.08 |
Industri karet, barang dari karet, dan plastik | 0.49 | 0.39 |
Industri barang galian bukan logam | 1.02 | 1.04 |
Industri logam dasar | 0.2 | 0.16 |
Industri barang logam, bukan mesin dan peralatannya | 0.42 | 0.43 |
Industri komputer, barang elektronik, dan optik | 0.17 | 0.1 |
Industri peralatan listrik | 0.15 | 0.12 |
Industri mesin dan perlengkapan YTDL | 0.1 | 0.09 |
Industri kendaraan bermotor, trailer dan semitrailer | 0.18 | 0.17 |
Industri alat angkutan lainnya | 0.27 | 0.16 |
Industri furnitur | 0.73 | 0.62 |
Industri pengolahan lainnya | 0.52 | 0.49 |
Jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan | 0.13 | 0.1 |
Sumber : BPS. Data diolah penulis, Rachmi Hertanti, 2018
Penyebab Ketimpangan:
1. Tren penurunan indeks Gini simultan dengan turunnya konstribusi sektor pertambangan dan penggalian dalam pembentukan PDB. Pada saat kontribusi pertambangan dan penggalian menyentuh level 7%, Indeks Gini terlihat mulai mengalami penurunan. Artinya, turunnya kinerja sektor pertambangan dan penggalian ikut berperan dalam menurunkan indeks Gini pada tahun 2016 dan 2017.
Grafik 1. Indeks Gini dan Kontribusi Pertambangan dan Penggalian, 2011–2017
Sumber : BPS. Data diolah penulis, Rachmi Hertanti, 2018
2. Di balik cerita indeks Gini yang mengalami penurunan pada tahun 2016 dan 2017, ada kontribusi industri makanan dan minuman, dan perikanan di dalamnya. Kenaikan kontribusi industri makanan dan minuman dan perikanan dalam pembentukan PDB cenderung menurunkan indeks Gini ketimbang memperburuk kondisi ketimpangan.
Grafik 2. Kontribusi Perikanan dan Industri Makanan dan Minuman, 2011–2017
Sumber : BPS. Data diolah penulis, Rachmi Hertanti, 2018
3. Turunnya angka ketimpangan pada tahun 2016 juga disebabkan turunnya pengeluaran kelompok berpengeluaran tinggi dan naiknya pengeluaran kelompok berpengeluaran menengah dan rendah di perkotaan. Sementara itu, pada tahun 2017, penurunan angka ketimpangan lebih disebabkan naiknya rata-rata pengeluaran/kapita/bulan penduduk kelompok 40% berpengeluaran sedang dan rendah di daerah perdesaan daripada masyarakat perkotaan.
Jika pada tahun 2016, pengeluaran per kapita kelompok masyarakat bawah dan menengah di perkotaan mengalami peningkatan, sedangkan kelompok masyarakat berpenghasilan atas justru mengalami penurunan. Sementara itu, untuk tahun 2017, pola pergerakannya menjadi terbalik. Hal itu disebabkan pada saat pengeluaran kelompok berpengeluaran tinggi mengalami peningkatan yang cukup tajam, pengeluaran kelompok bawah dan menengah justru mengalami penurunan. Kondisi itu terjadi karena pada tahun 2017, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian mulai pulih dan bergerak mendekati level pada tahun 2015 yang lalu.
Namun kondisi saat itu tidak sampai mengerek indeks Gini secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan, selain level kenaikan sektor pertambangan dan penggalian masih berada di kisaran 7%, juga karena terkompensasi dengan kenaikan penghasilan yang cukup tajam pada masyarakat kelas bawah dan menengah perdesaan. Hal itu tercermin dari nilai indeks Gini untuk perdesaan pada tahun 2016 yang bergeming di angka 0.33 dan kemudian turun menjadi 0.32 pada 2017, sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4. Bersamaan dengan itu, indeks Gini untuk wilayah perkotaan tetap di angka 0.41 baik pada tahun 2016 maupun 2017 (lihat Tabel 1). Hal itu mengindikasikan bahwa sektor pertambangan dan penggalian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di perkotaan dan mereka yang berpenghasilan menengah ke atas.
Tabel 1. Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita, 2011–2017
Daerah | Tahun | 40% Berpengelu- aran Rendah | 40% Berpengelu- aran Sedang | 20% Berpengeluaran Tinggi | Indeks Gini |
Kota | 2010 | 17.57 | 36.99 | 45.44 | 0.38 |
2011 | 16.10 | 34.79 | 49.11 | 0.42 | |
2012 | 16.00 | 34.53 | 49.48 | 0.42 | |
2013 | 15.40 | 34.83 | 49.77 | 0.43 | |
2014 | 15.62 | 34.89 | 49.49 | 0.43 | |
2015 | 15.83 | 34.60 | 49.57 | 0.43 | |
2016 | 15.91 | 36.74 | 47.35 | 0.41 | |
2017 | 11.30 | 29.34 | 59.36 | 0.41 |
Daerah | Tahun | 40% Berpengelu- aran Rendah | 40% Berpengelu- aran Sedang | 20% Berpengeluaran Tinggi | Indeks Gini |
Desa | 2010 | 20.98 | 38.78 | 40.24 | 0.32 |
2011 | 19.96 | 37.46 | 42.58 | 0.34 | |
2012 | 20.60 | 37.57 | 41.82 | 0.33 | |
2013 | 21.03 | 37.96 | 41.00 | 0.32 | |
2014 | 20.94 | 38.40 | 40.65 | 0.32 | |
2015 | 20.42 | 37.53 | 42.05 | 0.33 | |
2016 | 20.40 | 38.50 | 41.10 | 0.33 | |
2017 | 27.75 | 49.49 | 22.76 | 0.32 | |
Kota+Desa | 2010 | 18.05 | 36.48 | 45.47 | 0.38 |
2011 | 16.85 | 34.73 | 48.42 | 0.41 | |
2012 | 16.98 | 34.41 | 48.61 | 0.41 | |
2013 | 16.87 | 34.09 | 49.04 | 0.41 | |
2014 | 17.12 | 34.60 | 48.27 | 0.41 | |
2015 | 17.10 | 34.65 | 48.25 | 0.41 | |
2016 | 17.02 | 36.09 | 46.89 | 0.40 | |
2017 | 17.02 | 36.09 | 46.89 | 0.39 |
Sumber : BPS. Data diolah penulis, Rachmi Hertanti, 2018
Bagian Tiga
Ketimpangan Komoditikkasi Perumahan
Situasi Ketimpangan:
1. Tim Riset Credit Suisse (2017) menyebutkan bahwa aset nonkeuangan memiliki porsi yang signifikan dalam pembentukan kesenjangan di Indonesia. Xxxxx berikut menunjukkan bagaimana porsi kepemilikan aset nonkeuangan yang terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Pada tahun 2011, kepemilikan aset nonkeuangan masih berada di angka 84,2%. Namun pada tahun 2017, persentase kepemilikan aset nonkeuangan meningkat menjadi 88,4%. Sebaliknya, tren kepemilikan aset keuangan justru mengalami penurunan. Pada tahun 2011, kepemilikan aset keuangan mencapai 15,8 persen. Menariknya, setelah itu, kepemilikan aset keuangan terus bergerak turun dari 15,8% pada tahun 2011 menjadi hanya 11,6% pada tahun 2017.
Diagram 4. Komposisi Portofolio Kekayaan di Indonesia, 2011–2017
Sumber: Global Wealth Databook 2011–2017
2. Aset nonkeuangan seperti properti residensial dan tanah menjadi isu yang sangat penting untuk dianalisis. Terkait hal itu, data harga properti residensial Bank Indonesia menunjukkan bahwa harga properti residensial masih terus naik dari tahun ke tahun namun dengan tingkat pertumbuhan yang sedikit melambat. Jika pada tahun 2013, laju pertumbuhan harga properti residensial mencapai 12,2 persen (year-on-year), namun pada tahun 2017, harga properti residensial hanya tumbuh 3 persen (year-on-year).
Grafik 3. Indeks Harga Properti Residensial, 2013–2017
Sumber : Bank Indonesia. Data diolah penulis, Xxxxx Xxxxxxxx.2018
Yang menarik lagi, meski laju pertumbuhan harga properti residensial mengalami penurunan, porsi kepemilikan aset nonkeuangan dalam komposisi kekayaan penduduk Indonesia tetap masih dominan. Dengan demikian, mencermati pergerakan harga properti residensial termasuk daya beli masyarakat terhadap properti residensial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam analisis ketimpangan kekayaan di Indonesia.
3. Sejauh ini, penurunan ketimpangan kekayaan pada periode 2016–2017 terjadi karena turunnya penguasaan aset dari 10 persen, 5 persen, dan 1 persen kelompok teratas pada periode tersebut. Meski begitu, tingkat ketimpangan kekayaan di Indonesia tetap masuk ke dalam kelompok dengan tingkat ketimpangan sangat tinggi. Hal ini disebabkan porsi penguasaan 10 persen kelompok teratas di Indonesia masih di atas 70%, yakni di angka 74,8 persen.
Diagram 5. Tingkat Ketimpangan Kekayaan di Indonesia, 2011–2017
Sumber: Credit Suisse, 2011-2017
4. Sebanyak 85% porsi kekayaan di Indonesia berasal dari aset nonkeuangan seperti properti dan rumah. Pada saat tingkat kepemilikan rumah menurun, angka ketimpangan juga menurun. Sebaliknya, pada saat kepemilikan rumah meningkat, angka ketimpangan cenderung meningkat. Ini mengindikasikan bahwa kepemilikan rumah menjadi salah satu pemicu naiknya angka ketimpangan. Komoditifikasi perumahan memang sesuatu yang tak terhindarkan, karena tingkat harganya yang memang tidak pernah terdepresiasi .
Grafik 4. Indeks Gini dan Tingkat Kepemilikan Rumah
Sumber : Bank Indonesia. Data diolah penulis, Xxxxx Xxxxxxxx.2018
5. Xxxxxx Xxxxxxx, ekonom dari Prancis, menerangkan bahwa sektor properti merupakan salah satu instrumen primadona untuk meningkatkan akumulasi kekayaan selain dana pensiun dan aset keuangan. Menurut Xxxxxxx (2014), pada saat perekonomian melambat, imbal hasil modal tetap akan melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi. Piketty (2014) lebih lanjut menjelaskan, dalam situasi seperti itu, lebih menguntungkan berinvestasi dalam akumulasi modal seperti membeli rumah daripada berinvestasi dalam kegiatan produksi. Pada akhirnya, kesenjangan ekonomi secara struktural akan semakin melebar saat harga properti meningkat tajam.
Penyebab Ketimpangan:
1. Tren laju pertumbuhan harga properti yang menurun dalam lima tahun terakhir sedikit memperbaiki tingkat keterjangkauan pekerja terutama pekerja di sektor formal terhadap kepemilikan rumah. Sayangnya, meski membaik, tingkat keterjangkauannya masih di atas angka 30 persen terhadap pendapatan. Kenaikan upah tetap tidak sebanding dengan kenaikan harga rumah. Bahkan sudah bukan rahasia lagi bahwa harga rumah saat ini terutama di perkotaan sudah jauh di atas daya beli masyarakat.
Grafik 3. Rasio Beban Cicilan terhadap Upah Pekerja
Sumber: data diolah penulis Buhaerah, 2018
2. Harga properti memberi beban berat kepada masyarakat kebanyakan. Jika menggunakan data rata-rata upah pekerja formal dari BPS dan rata-rata harga rumah untuk tipe kecil dari Bank Indonesia, besarnya beban cicilan yang harus ditanggung oleh pekerja formal mencapai 79 persen dari upah/gaji sebulan (Buhaerah, 2018). Artinya, hampir sebagian besar pendapatan pekerja formal yang berupah rata-rata dihabiskan untuk membayar cicilan rumah. Jika menggunakan standar bahwa porsi pengeluaran untuk perumahan idealnya 30 persen dari total penghasilan, harga rumah jelas jauh di atas kemampuan pekerja formal. Sementara itu, jika dibandingkan dengan UMR, besarnya beban cicilan rumah yang harus ditanggung oleh pekerja yang berupah standar UMR sebesar 101 persen (Buhaerah, 2018).
Bagian Empat
Ketimpangan Penguasaan Sumber
Daya Alam
Situasi Ketimpangan:
1. Kebijakan sumber daya alam (SDA) pemerintah Indonesia sejak Orde Baru sampai sekarang menunjukkan bahwa kekayaan negara hanya dikuasai oleh segelintir orang dan korporasi. Dari sekitar 545 juta hektare wilayah Indonesia, sebanyak 159 juta hektare di antaranya sudah terkapling dalam izin investasi industri ekstraktif. Jika dibandingkan dengan luas wilayah darat, luas penggunaan wilayah yang secara legal dialokasi untuk korporasi adalah 82,91%. Dan apabila dibandingkan dengan wilayah laut, luas izin industri ekstraktif di Indonesia sebanding dengan 29,75%.
No. | Jenis izin | Penguasaan Ruang (Ha2) |
1 | Sektor Kehutanan | |
IUPHHK-HT | 10,899,140 | |
IUPHHK-HA | 19,476,140 | |
IUPHHK-RE | 623,075 | |
IUP-Jasa Lingkungan | 48,080 | |
IUPHHBK | 301,227 | |
IPPKH | 428,321.37 | |
IUPK Sylvopastura | 616 | |
31,776,599 | ||
2 | Perkebunan Kelapa Sawit (HGU) | |
Perkebunan Swasta | 10,700,000 | |
Perkebunan BUMN | 493,000 | |
11,193,000 | ||
3 | Pertambangan | |
IUP | 28,541,745.92 | |
Kontrak Karya | 2,210,698 | |
PKP2B | 1,956,194 | |
32,708,638 | ||
4 | Pertambangan Migas | |
83,500,000 | ||
TOTAL | 159,178,237 |
Sumber: Data diolah penulis dari berbagai sumber. Xxxxxxxx Xxxxxx. 2018
2. BPS mencatat sekitar 56% penduduk pedesaan merupakan buruh tani atau petani guram dengan kepemilikan tanah rata-rata di bawah 0,5 ha. Indeks Gini tanah nasional mencapai angka 0,72. Hal ini mengindikasikan bahwa struktur kepemilikan dan penguasaan tanah masih sangat timpang.
3. Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) menemukan penguasaan sedikit orang di sektor perkebunan sawit. Sebanyak 29 orang yang mengendalikan 25 grup bisnis kelapa sawit di Indonesia. Pada tahun 2013, dari 10 juta hektare luas tanam kelapa sawit di Indonesia, mereka mengantongi izin 5,1 juta (51%) hektare lahan sawit. Dari luas lahan tersebut yang telah dimiliki, sebanyak 3.1 juta ha (60%) sudah ditanami sawit dan sebanyak
2.1 juta ha (40%) yang belum ditanami. Transformasi untuk Keadilan Indonesia pada laporan riset jilid II yang dilansir pada 30 Januari 2019 menunjukkan perkembangan penguasaan lahan sawit yang dikendalikan oleh 25 taipan. Sawit Indonesia (yang sudah ditanami) luasnya 12,3 juta hektare. Dari luasan tersebut, 3,4 juta merupakan milik 25 grup bisnis yang dikuasai taipan. Sehingga total luasan lahan milik 25 grup bisnis taipan adalah 5,8 juta hektare, 3,4 juta hektare yang sudah tertanami dan 2,4 juta hektare yang belum tertanami.
Penyebab Ketimpangan:
1. Sistem ekonomi kita melahirkan monopoli kekayaan bumi pada segelintir penduduk dunia, dengan penguasaan korporasi jauh lebih tinggi melampui negara. Di Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan alam melimpah, penguasaannya juga dinikmati segelintir kelompok. Konversi lahan pertanian hingga meningkatnya usaha pertanian berorientasi ekspor yang belakangan masif terjadi semakin mendorong monopoli tanah-tanah pertanian. Di sisi lain, monopoli sistem xxxx xxxx tanaman serta sarana produksi juga masih menggejala, yang hampir sebagian besar sarana pertanian, hingga benih dan bibit masih dikuasai korporasi.
2. Siapa yang menguasai ekonomi, maka dia akan mempengaruhi dan bahkan menguasai politik. Segelintir pemodal bahkan bisa mempengaruhi kebijakan sebuah negara dan kekuasaanya jauh melampui kekuasaan negara itu sendiri. Mereka bisa mengendalikan demokrasi dan sistem politik elektoral, dengan politik transaksional, terlebih di tengah biaya politik yang begitu tinggi dimana sumber dana menjadi sandaran modal politik yang paling mudah bagi elite politik untuk digadaikan.
Bagian Lima
Ketimpangan Perpajakan
Situasi Ketimpangan:
1. Pemerintah telah melakukan Amnesti Pajak tahun 2016–2017.12 Namun, pendapatan pajak belum mencapai potensi yang sesungguhnya. Rasio pajak Indonesia hanya mencapai 11 persen. Pemerintah Indonesia sudah berupaya meningkatkan layanan seperti dengan mengembangkan sistem lapor melalui E-Filling, agar wajib pajak mendapatkan kemudahan dalam melaporkan pajaknya. Namun, penerimaan pajak Indonesia belum bergeser pada rasio 11 persen pada tahun 2018 (ADB 2018). Angka ini masih di bawah standar Bank Dunia 15 persen (The World Bank 2018). Jika dibandingkan dengan negara tentangga di Kawasan ASEAN, rasio pajak Indonesia merupakan kedua terendah di antara 8 negara anggota yang lain (KataData, 2019).
2. Tren penerimaan pajak Indonesia dari tahun 1990–2015 dalam berbagai kategori selalu menempati urutan terendah (OECD, 2017). Dari sisi perbandingan rasio pajak dengan GDP, posisi Indonesia (2015) di antara negara-negara tersebut digambarkan dalam grafik berikut:
Sumber: OECD 2017, Revenue Statistic in Asian Countries
12 Dalam waktu sembilan bulan pelaksanaan Amnesti Pajak, pemerintah berhasil mengumpulkan uang tebusan Rp 135 triliun dan dana yang direpatriasi Rp 147,1 triliun. Program ini juga telah menerima laporan dari 956 ribu wajib pajak dengan deklarasi harta sebesar Rp 4.855 triliun (Kementerian Keuangan, 2018).
3. Bagaimanapun, secara nominal pendapatan pajak di Indonesia meningkat. Sampai dengan September 2018, pendapatan pajak secara signifikan meningkat bila dibandingkan dengan September 2017. Dalam lima tahun terakhir, perolehan PPh meningkat dengan pengecualian pada tahun 2016, saat angka tersebut mengalami penurunan. Namun, rasio ini masih jauh jika dibandingkan dengan kemampuan wajib pajak yang terdaftar di data Direktorat Jenderal Pajak (2017), dengan total piutang pajak lebih dari Rp 54 triliun.
Sumber: Data diolah xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxxxxxx, 2018
4. Angka kepatuhan pajak semakin jauh jika dilihat dari perbandingan dengan angka kelas menengah di Indonesia yang berjumlah 129 juta. Menteri Keuangan periode 2014–2016, Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, menyampaikan dalam berbagai media bahwa sampai tahun 2016, jumlah PWOP terdaftar adalah 27 juta orang, namun hanya 10 juta yang melaporkan SPT.
5. Peningkatan penerimaan pajak dari tahun ke tahun dianggap tidak selaras dengan dampak pembangunan yang diharapkan. Beberapa data menunjukkan dampak positif belanja APBN bagi kesejahteraan, di antaranya adalah angka kemiskinan turun hingga satu digit menjadi 9,82 persen atau 25.95 juta jiwa. Beberapa program telah dilaksanakan seperti Program Indonesia Pintar, Bantuan Operasional Sekolah, LPDP, Program JKN, Program Keluarga Harapan, dan lain-lain.
Sumber: Data diolah xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxxxxxx, 2018
Sumber: Data diolah xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxxxxxx, 2018
Walau demikian, menurut World Bank, tingkat HCI (Human Capital Index)13 Indonesia hanya 0,53, masih di bawah rata-rata dunia 0,57. Angka HCI kita relatif jauh dibandingkan Singapura yang ada di level 0,88. HCI Indonesia yang di bawah rata-rata dunia menunjukkan masih banyak masyarakat Indonesia yang belum merasakan bantuan pemerintah. Efektivitas dari program pemerintah tersebut perlu dievaluasi lebih lanjut.
Sumber: Data diolah xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxxxxxx, 2018
13 HCI dinilai berdasarkan komponen sebagai berikut: a) Survival, indikator yang digunakan adalah probabilitas hidup hingga umur lima tahun (probality of survival to age 5); b) Pendidikan, indikator yang digunakan adalah expected years of schooling dan harmonized test scores untuk mengukur tidak hanya kuantitas tapi juga kualitas pendidikan; dan c) Kesehatan, indikator yang digunakan adalah survival rate (age 15–60) dan fraction of children under 5 not stunted.
Penyebab Ketimpangan:
1. Hilangnya potensi penerimaan pajak juga berasal dari sistem rentang perbedaan tarif pajak atau tax bracket. Pajak penghasilan saat ini lebih menguntungkan bagi orang kaya dan superkaya. Tarif pajak tinggi dikenakan pada kelompok berpenghasilan menengah dan rendah. Dan tarif pajak rendah untuk kelompok berpenghasilan tinggi dan sangat tinggi. Braket pajak penghasilan14 saat ini lebih menguntungkan bagi orang kaya dan superkaya. Orang-orang superkaya dengan penghasilan Rp 100 miliar per tahun, misalnya, menikmati tarif pajak yang sama dengan orang kaya yang berpenghasilan Rp 500 juta per tahun.
Berikut ini perhitungan wajib pajak pribadi:
1. Sampai dengan Rp 50 juta, tarif pajaknya 5 persen;
2. Di atas Rp 50 juta hingga Rp 250 juta tarif pajaknya 15 persen;
3. Lapisan PKP di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta tarif pajaknya 25 persen;
4. Lapisan PKP di atas Rp 500 juta tarif pajaknya 30 persen.
2. Buah dari rendahnya partisipasi masyarakat dalam membayar pajak serta tingginya kasus aliran dana haram15 menempatkan Indonesia pada negera berpendapatan pajak terendah.
3. DJP sering mengalami kekalahan dalam kasus sengketa pajak. Perbandingan antara kemenangan dan kekalahan DJP sekitar 40:60. Pemicu kekalahan antara lain kesalahan petugas dalam memeriksa wajib pajak. Hal ini disebabkan petugas kurang memahami prosedur pemeriksaan serta kurang luasnya pemahaman perpajakan internasional sehingga dinilai sering tidak mematuhi konvensi internasional (Tempo, 2010).
14 Braket pajak adalah keranjang atau kategorisasi persentase pajak yang harus dibayarkan.
15 Tax Justice Network (2011) menyampaikan tiga jenis modus di dunia sehingga perpindahan uang lintas batas negara secara ilegal dapat dilakukan, yaitu korupsi, aktivitas kriminal dan penghindaran pajak. Selama tahun 2001–2014, total arus keuangan terlarang di Indonesia adalah US$ 846,3 miliar. Arus keuangan ilegal tahunan rata-rata US$ 60,44 miliar dengan perincian arus masuk US$ 44,92 miliar dan arus keluar
US$ 15,52 miliar (Perkumpulan Prakarsa, 2015). Jika pajak penghasilan 10 persen diterapkan pada arus keluar keuangan haram, ini berpotensi memberikan Indonesia pendapatan tambahan US$ 1,56 miliar atau Rp 20,28 triliun per tahun.
Bagian Enam
Ketimpangan Gender
Situasi Ketimpangan:
1. Angka kekerasan (fisik dan seksual) terhadap perempuan masih sangat tinggi. Sementara itu, Indeks Ketimpangan Gender pun masih buruk. Komnas Perempuan mencatat selama tahun 2017, 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia telah dilaporkan dan ditangani. Kasus tersebut meliputi 335.062 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama, serta 13.384 kasus ditangani oleh 237 lembaga mitra pengada layanan, yang tersebar di 34 provinsi.
Labor Institute Indonesia, yang menghimpun data Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun 2016, mencatat performa Indonesia dalam Indeks Ketimpangan Gender menunjukkan tren buruk dengan skor 0,681 dengan angka maksimal satu. Indonesia duduk di peringkat 88 dari 144 negara yang disurvei oleh WEF. Sebelumnya, pada tahun 2006 dengan total skor 0,654, Indonesia berada di posisi 68 dari 115 negara.
Peringkat Indonesia masih mengkhawatirkan di sektor-sektor lain. Sepanjang tahun 2017, Indonesia berada di peringkat 84 dari 144 negara dalam Indeks Ketimpangan Gender dunia. Sebenarnya, untuk indeks ketimpangan gender di sektor pendidikan dan kesehatan Indonesia tergolong cukup baik. Di sektor kesehatan, kesetaraan mencapai 97,6%. Bahkan di sektor pendidikan, pencapaian Indonesia telah memenuhi 98,6%. Tetapi kondisi ini belum terjadi di sektor ekonomi dan partisipasi politik. Indonesia baru memenuhi 61% kesetaraan gender dalam partisipasi ekonomi. Survei oleh Women’s Health and Life Experiences pada tahun 2016 menyebutkan, satu dari tiga perempuan Indonesia yang berusia 15–64 tahun mengaku pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Perempuan juga masih menghadapi rintangan hukum dan diskriminasi di lapangan kerja. Dengan angka sebesar 51% pada tahun 2017, keterlibatan perempuan Indonesia di pasar tenaga kerja masih jauh di bawah rata-rata pria sebesar 80%.
2. Angka buta huruf di Indonesia kini tinggal 2,07 persen. Namun, sekitar dua per tiga dari 3,4 juta masyarakat yang buta huruf adalah kaum perempuan. Perempuan memiliki angka buta aksara lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki dengan jumlah, yakni 1.157.703 orang laki-laki, dan perempuan 2.258.990 orang.
Proses Hukum Kasus Kekerasan Seksual “JM”
XX adalah seorang gadis berusia 16 tahun dan menjadi korban pemerkosaan oleh saudara sepupunya yang berusia sama. Pemerkosaan dilakukan di kebun ketika JM sedang mengambil buah langsat.
Kemudian orang tua (ayah) JM dan sepupunya pergi melapor ke Polres Halmahera Utara. Laporan bertanggal 30 Juni 2016. Setelah itu polisi turun ke lapangan dan menangkap pelaku. Sejak itu pelaku ditahan polisi. Setelah mengalami pemerkosaan tersebut JM mengalami trauma luar biasa. Bahkan ketika pendamping datang ke rumah, JM tidak mau keluar, hanya di dalam kamar. Sampai saat ini korban masih trauma.
Proses Hukum
Polisi sudah mengirimkan berkas ke kejaksaan namun berkas tersebut dikembalikan karena masih ada yang harus dilengkapi oleh polisi. Akibatnya kasus pemerkosaan yang dialami JM belum disidangkan karena sampai sekarang polisi belum melimpahkan berkas ke kejaksaan.
Pendamping mempertanyakan proses hukum kasus tersebut. Polisi menyampaikan alasan bahwa banyak kasus yang harus ditangani. Sampai saat ini korban, keluarga, dan pendamping masih menunggu kelanjutan proses hukum kasus pemerkosaan yang dialami JM.
Karena terlalu lama proses hukumnya, orang tua JM bermaksud mencabut laporannya dan akan menempuh upaya kekeluargaan. Pendamping memberikan penjelasan pentingnya tidak mencabut laporannya. Karena, selain untuk upaya keadilan bagi korban, hal ini juga sebagai pembelajaran bagi pelaku. Selain itu jika proses hukum tetap berlanjut, hal ini bisa menjadi pelajaran bagi bagi teman-teman korban agar kasus ini tidak mereka alami. Karena itu, kemudian orang tua tidak jadi mencabut laporannya.
Dalam membuat berita acara pemeriksaan (BAP) oleh polisi, JM hanya didampingi orang tuanya tanpa melibatkan pendamping. XX pernah menyampaikan ia takut berhadapan dengan polisi karena pertanyaan yang tidak dipahami dan menakuti korban. Polisi mengajukan pertanyaan yang membuat JM merasa tidak nyaman dan takut. JM mengatakan dirinya merasa lebih nyaman berbicara dengan pendamping.
Sampai saat ini belum ada kelanjutan proses hukum kasus JM.
JM tidak mendapatkan fasilitas khusus yang disediakan pihak kepolisian bagi anak korban kekerasan seksual seperti rumah aman dan psikolog untuk pemulihan. Pemerintah menyediakan P2TP2A, namun kerjanya terbatas karena baru terbentuk dan belum ada dana dari pemerintah. Untuk BAP atau pemeriksan korban masih belum melibatkan pendamping korban. Sehingga korban sering merasa ketakutan dan mendapat tekanan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan polisi yang terkesan menyalahkan korban.
3. Indonesia adalah negara ke-7 tertinggi angka perkawinan anak di dunia. Pada tahun 2017, angka perkawinan anak mencapai 25,71%, jauh lebih tinggi dari data sebelumnya (2015) yang mencapai 23%. Angka perkawinan anak berdasarkan sebaran provinsi di seluruh Indonesia sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan, yakni 61%.
4. Indonesia menempati urutan ke-101 dari 149 negara dalam indeks kesehatan global 2017. Dalam hal ini, Indonesia kalah dari Malaysia, Thailand, Laos, dan Vietnam. Kegagalan Indonesia dalam MDGs, salah satunya pada angka kematian ibu (AKI). MDGs 2015, Indonesia mempunyai target penurunan AKI dari 390/100.000 kelahiran hidup menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup. Namun, ternyata pada tahun 2015, AKI masih berada pada angka 359 per
100.000 kelahiran hidup. Salah satu kontribusi dalam kasus AKI adalah praktik perkawinan anak, yang menurut data BPS 2017 terjadi peningkatan perkawinan usia anak dari 23% pada tahun 2015 menjadi 25,71% pada tahun 2017.
5. Keterwakilan perempuan di bidang politik masih sangat jauh dibandingkan laki-laki. Di DPR RI, saat ini keterwakilan perempuan hanya mencapai 17,3% atau 97 perempuan dari 560 anggota DPR RI.
Data Perempuan sebagai Anggota DPR RI (1955–2014)
Sumber: Data diolah xxxxxxx, Xxxxxxxxxx, 2018
Sementara tidak jauh berbeda dengan keterwakilan perempuan di tingkat DPD RI dan DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilu 2014, yaitu:
Perempuan | Laki-laki | |
DPD RI | 34 (25,8%) | 98 (74,2%) |
DPRD Provinsi | 335 (15,85%) | 1.779 (84,5%) |
DPRD Kabupaten/Kota | 2.406 (14,2%) | 12.360 (85,8%) |
Sumber: Diolah dari laporan Puskapol Fisip UI
Studi Cakra Wikara Indonesia (2016) menunjukkan dari segi jumlah pegawai negeri sipil (PNS) perempuan masih rendah. Xxxxxx juga kesempatan di posisi-posisi strategis.
Sumber: Data diolah xxxxxxx, Xxxxxxxxxx, 2018
Pada tahun 2014: dari total PNS hanya tersedia 7,31% jabatan eselon dan dari jumlah kecil tersebut, sebagian besar (77,41%) adalah laki-laki dan hanya 22,59% yang diraih perempuan. Tahun 2015: dari total PNS hanya tersedia 3,8% jabatan eselon. Jumlahnya lebih kecil dibanding tahun sebelumnya dan dari jumlah tersebut, sebagian besar (77,94%) adalah laki- laki dan hanya 22,06% perempuan. Dan pada tahun 2016, dari total PNS hanya tersedia 6,75% jabatan eselon dan dari jumlah tersebut, sebagian besar (74,21%) adalah laki-laki dan hanya 25,79% perempuan.
6. Menurut Labor Institute Indonesia (2016), kesenjangan gender untuk partisipasi angkatan kerja Indonesia berada di ranking 118. Tingkat partisipasi kerja laki-laki telah mencapai 84%, lebih besar dari angka partisipasi kerja perempuan yang hanya mencapai 51%. Tidak hanya itu, ada ketimpangan upah: Rp 1,4 juta untuk perempuan dan Rp 1,7 juta untuk laki-laki. Beberapa besaran upah setiap bulan tenaga kerja perempuan dan laki-laki di beberapa sektor dapat dilihat tabel di bawah ini :
Sektor | Perempuan | Laki-laki |
Pertanian | 1,14 Juta | 1,93 Juta |
Pertambangan | 3,15 Juta | 4,5 Juta |
Industri | 2 Juta | 2,7 Juta |
Keuangan | 3,6 Juta | 3,7 Juta |
Jasa | 2,4 Juta | 3,4 Juta |
Sumber: BPS 2017. Data diolah penulis. Listyowati, 2018
7. Survei AOL Jobs menyatakan bahwa satu dari enam orang perempuan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Komite Aksi Perempuan menyebutkan bahwa di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung terdapat kurang lebih 80 perusahaan di sektor garmen, dan mempekerjakan sekitar 80.000 orang dengan jumlah buruh perempuan mencapai 90%. Tetapi sebagian besar pabrik tidak menyediakan ruang menyusui (laktasi). Ketiadaan ruang laktasi memaksa para ibu membuang ASI ke toilet, atau bahkan ditahan berjam-jam ketika bekerja dan merembes ke pakaian mereka.
Dampak ketimpangan terhadap kehidupan perempuan adalah sebagai berikut:
• Kekerasan terhadap perempuan. Catatan tahunan Komnas Perempuan 2018 menyebutkan bahwa terdapat 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2017 di Indonesia. Kekerasan tersebut terjadi dalam berbagai bentuk: fisik, psikis, dan seksual.
• Mobilitas perempuan. Data Komnas Perempuan mencatat sejak tahun 2009 hingga 2016 sebanyak 421 perda diskriminatif telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Perda tersebut dinilai membatasi ruang gerak perempuan dan kelompok minoritas lainnya untuk mengekspresikan dirinya, seperti tata cara berpakaian, kewajiban berjilbab, larangan keluar malam bagi perempuan tanpa muhrimnya, dan lain-lain.
• Kerentanan perempuan pekerja migran. Data kasus yang dikelola Jaringan Buruh Migran (JBM) pada IDN TIMES 28 Februari 2018 mengungkapkan, setidaknya masih ada 4.475 kasus kekerasan yang dialami oleh pekerja migran perempuan ketika mereka tiba di negara tujuan. Kasus tersebut mulai dari kekerasan fisik, seksual, sampai dengan ekonomi seperti upah yang tidak dibayar dan pemotongan upah yang tidak manusiawi. Sementara itu angka perempuan pekerja migran yang meninggal berjumlah 190 pada tahun 2016 dan meningkat menjadi 217 pada tahun 2017.
• Partisipasi perempuan. Melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan, Presiden menginstruksikan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender, memperhatikan sungguh-sungguh Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Namun UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak secara tegas mengatur partisipasi perempuan dalam Musrenbang, bahkan tidak memasukkan pentingnya keterwakilan perempuan.
Kasus Perda Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelacuran
Salah satu pasalnya misalnya, yaitu pasal keempat ayat yang pertama menyebutkan: setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan- lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah.
Kasus Xxxxx Xxxxxxxxx, ibu rumah tangga di Tangerang, Banten, ditangkap satpol PP karena diduga sebagai pekerja seks komersial. Senin malam, 27 Februari, pukul 20.00, Lilis ditangkap petugas Trantib dan esoknya ia disidangkan bersama 27 wanita yang dituduh sebagai pelacur.
Saat ditangkap ia pulang kerja dan naik angkutan kota Roda Niaga jurusan Kalideres, Tangerang. Ketika sampai di Gerendeng, ia turun dari angkot dan mencari tumpangan
angkot lain menuju rumahnya di daerah Sepatan, Kabupaten Tangerang. “Saya tidak terima dituduh sebagai pelacur, ini perlakuan yang tidak manusiawi,” kata Lilis.
Xxxxx stres karena tekanan psikologis, akibat stigma masyarakat yang menganggapnya sebagai PSK. Akibatnya, Xxxxx meninggal pada 2009.
Tak hanya Lilis. Seorang perempuan bernama Xxxx juga menjadi korban Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran di Tangerang. Fifi, kata Agus, memang bekerja pada malam hari. Dia tewas tenggelam di sungai akibat dikejar oleh satpol PP karena diduga sebagai pekerja seks.
Penyebab Ketimpangan:
1. Budaya patriarki yang sangat mengakar dalam kehidupan bermasyarakat menjadi dasar yang menguatkan potret diskriminasi perempuan. Perbedaan perilaku, status, dan otoritas yang berbeda atau “dibedakan” antara laki-laki dan perempuan menjadi cara pandang yang turun-menurun dipraktikkan oleh masyarakat.
2. Banyak keluarga yang memandang prioritas pendidikan untuk anak laki-laki. Keluarga- keluarga masih memiliki konsep konstruksi gender bahwa anak laki-laki memiliki prioritas untuk melanjutkan pendidikan karena akan menjadi kepala rumah tangga. Tingginya perkawinan anak disebabkan orang tua tidak melihat pentingnya perempuan mendapatkan pendidikan.
3. Dalam pembangunan, kebutuhan dan kepentingan perempuan belum menjadi prioritas. Pembangunan yang terjadi tidak menjadikan perempuan sebagai subyek pembangunan yang mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata.
4. Dunia politik saat ini diaplikasikan dalam konsep maskulinitas. Hal ini ditunjukkan dengan masih sangat kuatnya dominasi laki-laki (budaya patriarki) terhadap perempuan. Perempuan diposisikan pada label-label gender dan sosial. Sebagai contoh, terdapat anggapan bahwa perempuan tidak mempunyai kapasitas yang sama dengan laki-laki dalam berpolitik. Begitu pula nilai-nilai politik yang bernuansa keras dan kurang beretika memunculkan anggapan bahwa perempuan bukan sosok yang cocok untuk berpartisipasi dalam politik praktis.
5. Belum adanya pengakuan secara de jure dan de facto terhadap hak-hak perempuan pekerja yang sama dengan hak-hak pekerja laki-laki. Ini terutama menyangkut
hak kesehatan reproduksi perempuan pekerja. Partisipasi perempuan dalam bidang ketenagakerjaan masih berada dalam posisi yang lebih rendah dari laki-laki.
6. Beberapa produk kebijakan negara bias gender. Regulasi negara ada yang pro-keadilan gender, tetapi banyak pula yang masih bias gender. Selengkapnya sebagai berikut:
No. | Regulasi Pro-Gender | Regulasi Bias Gender |
01. | Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang memberlakukan tindakan afirmatif yang mewajibkan para partai politik memiliki 30 persen calon anggota legislatif perempuan. | Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam UU ini ada 3 isu utama tentang pelanggengan ketimpangan gender: pasal 3 dan 4 tentang prinsip poligami bagi seorang suami; pasal 7 tentang batas usia menikah bagi seorang perempuan (16 tahun) dan pasal 31 ayat 3 tentang pembakuan peran gender antara suami dan istri, yakni suami sebagai kepala rumah tangga. |
02. | Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan perlindungan bagi tenaga kerja, yaitu pada Pasal 86 ayat (1) yang isinya adalah setiap buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas (a) keselamatan dan kesehatan; (b) moral dan kesusilaan; dan (c) perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. | Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). RKUHP dinilai belum berpihak pada kelompok rentan, terutama untuk anak dan perempuan. Karena akses pada pencatatan perkawinan yang sulit, pengaturan pasal perzinaan dan samen leven yang berpotensi membahayakan 40-50 juta masyarakat adat dan 55% pasangan menikah di rumah tangga miskin yang kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi. Kriminalisasi hubungan privat di luar ikatan perkawinan juga berpotensi meningkatkan angka kawin yang sudah dialami 25% anak perempuan di Indonesia. |
03. | Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. UU ini menekankan bahwa non-diskriminasi sebagai salah satu prinsip utama dalam penanganan dan penghapusan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Setiap korban kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan jaminan perlindungan hukum yang adil dan setara. | Perda-perda diskriminatif. Perda-perda yang secara langsung ataupun tidak langsung telah melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan sangat menghambat mobilitas perempuan dalam mengekspresikan hak-haknya. Sebut saja perda kewajiban berjilbab bagi semua perempuan di sebuah daerah, perda pelarangan keluar malam bagi perempuan atau perda-perda syariah lainnya. |
04. | SK Gubenur, Perbup atau Peraturan Gubenur tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Ada beberapa daerah yang secara khusus mempunyai peraturan yang tegas tentang pencegahan dan penghapusan praktik perkawinan anak, seperti Perbup Bojonegoro, Perbup Gunung Kidul, Perbup Kulonprogo, Peraturan Gubernur Bengkulu, dll. Batas usia anak perempuan dinaikkan menjadi 18 tahun sesuai dengan Undang- undang Perlindungan Anak. |
Bagian Tujuh
Menuju Revolusi
Industri 4.0
Situasi Ketimpangan
1. Berdasarkan jenis kelamin, terdapat perbedaan tingkat partisipasi angkatan kerja atau TPAK antara laki-laki dan perempuan. Pada Februari 2018, TPAK laki-laki sebesar 83,01 persen (menurun 0,04 persen poin pada tahun 2017). Adapun TPAK perempuan sebesar 55,44 persen atau meningkat 0,40 persen poin jika dibandingkan dengan tahun 2017.
2. Tingkat pengangguran terbuka atau TPT di perkotaan tercatat lebih tinggi dibanding di perdesaan. Pada Februari 2018, TPT di perkotaan sebesar 6,34 persen (menurun 0,16 persen poin jika dibanding tahun 2017). Adapun TPT di perdesaan sebesar 3,72 persen (menurun 0,28 persen poin jika dibandingkan tahun 2017).
3. Dilihat dari tingkat pendidikan, TPT sekolah menengah kejuruan (SMK) menempati TPT tertinggi yakni 8,92 persen. TPT berikutnya pada Diploma I/II/III sebesar 7,92 persen. Hal ini berarti bahwa penawaran tenaga kerja yang tidak terserap terutama pada tingkat pendidikan SMK dan Diploma I/II/III.
4. Kondisi atas penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2018 masih menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh penduduk bekerja dengan pendidikan rendah (SMP ke bawah) sebanyak 75,99 juta orang (59,80 persen). Sementara itu, penduduk bekerja berpendidikan menengah (SMA sederajat) sebanyak 35,87 juta orang (28,23 persen), berpendidikan tinggi hanya 15,21 juta orang (11,97 persen) yang mencakup 3,50 juta orang berpendidikan Diploma dan 11,71 juta orang berpendidikan universitas. Terjadi peningkatan untuk penduduk bekerja dengan pendidikan menengah dari 27,35 persen (Februari 2017) menjadi 28,23 persen pada Februari 2018. Adapun untuk penduduk berpendidikan tinggi dan rendah mengalami penurunan sebesar 0,29 persen poin dan 0,59 persen poin.
5. Revolusi Industri 4.0 membutuhkan peningkatan keterampilan khusus untuk
penyesuaian. Namun, kebijakan pemerintah terkait vokasi masih berupa tempelan, belum menjadi bagian dari sistem pendidikan yang integratif. Sistem pendidikan masih menggunakan jenjang yang kaku, kurikulum yang tidak sambung (mismach) dengan kebutuhan kerja dalam Revolusi Industri 4.0, dan masih lemahnya intervensi terhadap digitalisasi.
Penyebab Ketimpangan:
1. Tantangan Pertumbuhan dan Perekonomian Global. Secara umum, perekonomian Indonesia masih dihadapkan pada tiga tantangan utama hingga 2030: tuntutan produktivitas, distribusi pertumbuhan tidak merata, dan kendala infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM). Ketiga tantangan tersebut sampai saat ini belum banyak perubahan, kecuali sektor infrastruktur. Pertumbuhan PDB masih di bawah 7 persen, distribusi pertumbuhan belum merata, dan produktivitas tenaga kerja juga tidak mengalami kenaikan lebih dari 60 persen.
2. Kebijakan yang terkendala anggaran yang rendah dan tidak fokus mengatasi masalah ketenagakerjaan. Rencana Strategis Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2015–2019 memang merencanakan penganggaran kementerian dengan jumlah alokasi yang sangat rendah. Ini berarti Kementerian Ketenagakerjaan tidak memiliki perencanaan pembiayaan yang memungkinkan untuk mendanai cita-cita besar bagi ketenagakerjaan masa depan yang memiliki kapasitas dan kompetensi sehingga berdaya saing secara nasional dan internasional. Rendahnya alokasi dana yang dirancang oleh Kementerian Ketenagakerjaan menyebabkan langkah kementerian menjadi sangat terbatas. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan belum memiliki cita-cita besar untuk mengatasi berbagai hal yang terkait dengan ketenagakerjaan di Indonesia.
3. Revolusi Industri sebagai Tantangan dan Permasalahan Kontemporer Bersama. Bagi dunia ketenagakerjaan, keadaan Industri 4.0 memberikan dampak yang signifikan. Pabrik- pabrik pintar hampir tidak membutuhkan tenaga manusia, kecuali sedikit tenaga kerja yang sangat trampil. Dengan demikian, akan ada banyak tenaga kerja yang diprediksi menjadi pengangguran karena terbatasnya peluang kerja dan standar kompetensi tenaga kerja yang tinggi. Tanpa Industri 4.0 saja, banyak negara, termasuk Indonesia, mengalami problem pengangguran.16
16
Bagian Delapan
Ketimpangan Sosial
Per Wilayah
Situasi Ketimpangan
Pemerintah menyatakan ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia sedikit menurun pada pertengahan 2018. Apakah kesimpulan tersebut sama dengan persepsi warga? Pada Juli hingga September 2018 INFID melakukan survei untuk mengukur ketimpangan sosial menurut persepsi warga. Hasilnya adalah sebagai berikut:
1. Warga menilai ketimpangan di Indonesia meningkat. Indeks ketimpangan sosial pada tahun 2018 adalah 6. Artinya, seluruh responden menilai ada ketimpangan di 6 dari 10 ranah sumber ketimpangan. Indeks ketimpangan 2018 lebih tinggi dari indeks ketimpangan 2017 yang mencapai angka 5,6. Indeks ketimpangan pada tahun 2018 ini tergolong tinggi. Peningkatan ketimpangan sosial ini mengindikasikan belum adanya usaha yang signifikan dalam mengatasi ketimpangan di berbagai ranah. Atau, usaha penurunan ketimpangan belum dirasakan dampaknya oleh warga.
2. Bobot pengaruh tertinggi terhadap ketimpangan sosial, survei tahun 2017 dan 2018 memiliki penilaian yang sama bahwa ranah yang dinilai paling besar pengaruhnya terhadap ketimpangan sosial adalah penghasilan dan kesempatan mendapatkan pekerjaan.
Grafik 1. Sumber dan Ranah Ketimpangan dalam Masyarakat
Sumber: Data diolah penulis. Xxxxx Xxxxxx. Survei Ketimpangan 2018
3. Secara umum warga menilai daerah mereka cenderung timpang. Ini berarti ketimpangan yang terjadi lebih cenderung menyebar di berbagai ranah tetapi untuk setiap ranahnya derajat ketimpangan itu tidak begitu tinggi. Artinya, kesenjangan di setiap ranah antara masyarakat yang banyak memiliki sumber daya dan masyarakat yang sedikit memiliki sumber daya tidak ekstrem. Secara umum, karakateristik ketimpangan di Indonesia cenderung menyebar dan meluas ke berbagai ranah, bukan mendalam secara ekstrem dalam satu ranah.
Grafik 2. Ketimpangan Secara Umum
Sumber: Data diolah penulis. Xxxxx Xxxxxx. Survei Ketimpangan 2018
4. Lebih dari 50% responden menilai penghasilan mereka berada di bawah harapan. Bahkan mereka menilai penghasilannya kurang dan tidak layak. Sementara itu, 45% menilai penghasilan mereka layak atau lebih dari layak. Perbedaan antara kelompok orang yang berpenghasilan tinggi dan yang berpenghasilan rendah sangat besar dan tajam. Lebih dari 70% responden menilai ada kesenjangan yang tergolong timpang dan sangat timpang pada ranah penghasilan. Sebagaimana dirilis oleh Oxfam pada awal 2017 bahwa di Indonesia kekayaan empat orang terkaya setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Pada tahun 2018, belum terjadi perubahan signifikan dalam hal ini. Ini sejalan juga dengan data rasio Gini yang dirilis BPS pada Juli 2018 bahwa ketimpangan penghasilan di Indonesia pada akhir 2017 hingga pertengahan 2018 merupakan ketimpangan tertinggi selama tujuh tahun terakhir.
Grafik 5. Kesesuaian Penghasilan
Sumber: Data diolah penulis. Xxxxx Xxxxxx. Survei Ketimpangan 2018
5. Penghasilan dirasakan oleh warga sebagai ranah yang paling timpang dan paling besar peranannya dalam menghasilkan ketimpangan sosial. Ketimpangan penghasilan berdampak pada ketimpangan kepemilikan rumah dan harta benda, pendidikan, dan kesehatan. Ketimpangan penghasilan berkait erat dengan ketimpangan dalam kesempatan mendapatkan pekerjaan. Tidak adanya pekerjaan menyebabkan tidak adanya penghasilan. Sekali lagi, pengaruh ketimpangan penghasilan dan kesempatan kerja terhadap ketimpangan sosial keseluruhan paling besar.
6. Pada aspek gender, 41% responden menilai ada ketimpangan antara perempuan dan laki-laki. Seiring dengan meningkatnya kesadaran mengenai kesetaraan gender di masyarakat, warga mulai menyadari juga adanya berbagai diskriminasi terhadap perempuan yang menghasilkan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki. Pada tahun 2018 warga menilai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan lebih rendah dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2017, 45,5% responden menilai ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia.
7. Jika Indonesia dibagi menjadi lima, yaitu Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, dan gugusan Indonesia Bagian Timur, dapat kita lihat ketimpangan yang lebih tinggi berada di Indonesia Bagian Timur dibandingkan dengan wilayah lain. Indeks ketimpangan tertinggi ada di Indonesia Bagian Timur, yaitu 6,57. Artinya, ada ketimpangan di 6 sampai 7 dari 10 ranah sumber ketimpangan.
8. Di beberapa wilayah terjadi peningkatan ketimpangan secara signifikan, seperti di Sulawesi Tengah, Jambi, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Peningkatan dari 3 hingga 5 skala. Ini menunjukkan bahwa di daerah-daerah tersebut persoalan ketimpangan tidak ditangani secara baik. Bahkan ada kemungkinan faktor yang mendukung terjadinya ketimpangan semakin membesar dan menguat pengaruhnya.
Grafik 7. Indeks Ketimpangan Sosial di Wilayah Indonesia
Sumber: Data diolah penulis. Xxxxx Xxxxxx. Survei Ketimpangan 2018
9. Ada indikasi bahwa penanganan ketimpangan di berbagai wilayah berbeda-beda dan belum menggunakan satu strategi yang jelas. Ada indikasi bahwa turun-naiknya ketimpangan sosial bergantung pada kondisi yang kebetulan sedang berlangsung di setiap wilayah, bukan hasil dari penerapan desain penanganan ketimpangan yang direncanakan.
10. Secara keseluruhan, 88% responden (dari total sampel 2.041 orang) mempersepsikan adanya ketimpangan setidaknya pada satu ranah. Jika dibagi menjadi lima wilayah dan dilihat per wilayah, rata-rata lebih dari 80% responden di lima wilayah mempersepsikan bahwa mereka merasakan ketimpangan setidaknya di satu ranah. Persentase ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 yang rata-ratanya 70%.
Grafik 8. Perbandingan Persentase Warga yang Mengalami Ketimpangan Setidaknya di Satu Ranah di Dua Wilayah Indonesia Tiga Tahun Terakhir
Sumber: Data diolah penulis. Xxxxx Xxxxxx. Survei Ketimpangan 2018
Penyebab Ketimpangan Sosial:
1. Penyebab utama terjadinya ketimpangan sosial adalah adanya pembiaran ketimpangan. Para pihak terutama pemeritah, baik secara langsung maupun tidak langsung, membiarkan latar belakang sosial tertentu mempengaruhi secara negatif rencana kehidupan pribadi. Pembiaran ini bertentangan dengan keadilan sosial. Keadilan sosial perlu terus-menerus diupayakan, dihadirkan dalam kehidupan bersama, mulai dari identifikasi faktor yang kemungkinan besar menghasilkan ketidakadilan, hingga mengupayakan program dan aktivitas yang menghasilkan keadilan.
2. Ranah-ranah pembentuk ketimpangan sosial adalah perbedaan atas beberapa aspek yang menyentuh ranah-ranah kehidupan masyarakat seperti penghasilan, kepemilikan benda, kesehatan, pendidikan, hukum, gender, dan politik. Sebagai mata rantai kehidupan, ranah-ranah pembentuk ketimpangan tidak berdiri sendiri dan harus terus dilakukan koreksi, monitoring, dan evaluasi. Pemerintah dan masyarakat yang tidak peduli bisa menjadi penyebab bersama ketika ketimpangan sosial terus terjadi.
Rekomendasi untuk Mengurangi Ketimpangan di Indonesia
Sektor Pertanian
1. Sudah saatnya petani menjadi pelaku utama dalam produksi pangan. Petani juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan publik yang terkait dengan pangan. Termasuk menyediakan akses terhadap keadilan saat kebijakan tersebut merugikan petani.
2. Pembenahan tata produksi pangan perlu disusun dengan melibatkan petani dan pelaku pangan lainnya, seperti nelayan, petani garam, dan peternak. Dengan demikian, kebijakan ekonomi terbuka tetap memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang.
3. Pemerintah harus serius memperbaiki tata produksi, distribusi, dan konsumsi pangan di Indonesia, termasuk tata niaga impor pangan. Hal ini tentu akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan.
Sumber Pertumbuhan
1. Dalam rangka menjaga kondisi pertumbuhan inklusif dan upaya mengurangi ketimpangan, dalam jangka pendek, hendaknya perlu terus digalakkan program dan proyek yang bersifat padat karya sehingga mampu melibatkan lebih banyak tenaga kerja lokal yang berketerampilan rendah. Hal ini disebabkan pertumbuhan inklusif ditengarai ada kontribusi yang signifikan dari sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja lokal yang berketerampilan rendah.
2. Dalam jangka menengah dan panjang, program dan proyek padat karya perlu diimbangi dengan program dan proyek yang mampu meningkatkan daya saing tenaga kerja lokal seperti pendidikan dan pelatihan vokasi. Dengan begitu, pekerja lokal mampu berpindah dari sektor yang berpendapatan rendah (berkompetensi rendah) ke sektor berpendapatan tinggi (berkompetensi tinggi).
3. Faktor sumber daya manusia harus terus ditingkatkan dan dilibatkan sebagai tenaga kerja produktif. Pembukaan lapangan pekerjaan baru harus tetap menjaga dan menyerap banyak tenaga kerja lokal dengan jumlah yang masif. Sektor industri manufaktur, perdagangan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, perhutanan dan jasa menjadi sektor-sektor yang sangat potensial dalam mengurangi ketimpangan pada sumber pertumbuhan ekonomi.
Komoditifikasi Perumahan
1. Penurunan harga properti residensial menjadi agenda penting dalam menurunkan ketimpangan. Tanpa usaha penurunan harga properti residensial, penurunan ketimpangan ke level yang lebih rendah rasanya sulit dicapai karena sumber utama ketimpangan di Indonesia sejatinya dari penguasaan aset nonkeuangan seperti properti dan tanah.
2. Karena komponen utama pembentuk harga rumah adalah tanah, pembentukan kelembagaan Bank Tanah layak untuk dipertimbangkan. Kehadiran Bank Tanah diyakini dapat menurunkan praktik-praktik komoditifikasi perumahan di Tanah Air. Harapannya adalah dengan adanya Bank Tanah, penumpukan kepemilikan aset nonkeuangan di kalangan masyarakat atas (top 10%, 5%, dan 1%) juga bisa lebih dikurangi.
3. Upaya lain yang bisa didorong agar masyarakat memiliki aset nonkeuangan seperti rumah dan tanah adalah kebijakan proteksi dan pembatasan kepemilikan. Terutama di wilayah-wilayah tertentu, masyarakat sekitar belum menikmati program kepemilikan rumah. Apalagi wilayah tersebut berpotensi akan habis untuk kegiatan bisnis yang menyalahi rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Pengelolaan Sumber Daya Alam
1. Mengoreksi berbagai perizinan konsesi terhadap berbagai industri di berbagai sektor perkebunan, kehutanan, dan tambang yang selama ini menguasai sumber daya alam/ sumber agraria menjadi keharusan. Begitu banyak konsesi yang didapatkan oleh korporasi besar selama ini dengan melanggar peraturan dan perundang-undangan. Kebijakan untuk mendukung ini antara lain Inpres Moratorium Sawit No. 8/2018.
2. Untuk mewujudkan keadilan penguasaan dan kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam, pemerintah mengakselerasikannya melalui kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial. Kebijakan untuk mendukung itu antara lain Perpres 88/2017, Perpres 86/2018. Hingga Desember 2018, capaian program perhutanan
sosial 2.007.557,81 hektare yang sudah terealisasi, dari komitmen awal perhutanan sosial 12,7 juta hektare. Sesungguhnya jika keseluruhan komitmen tersebut tercapai targetnya, pemerintah baru bisa mengurangi sepertiga dari jumlah penguasaan tanah oleh korporasi selama ini.
3. Penegakan hukum terhadap korporasi harusnya menjadi kebijakan yang terintegrasi dengan program reforma agraria dan perhutanan sosial. Termasuk review perizinan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kerja-kerja mendorong percepatan pengakuan wilaylah kelola rakyat (WKR). Jika mau jujur, hampir tidak ada lagi tanah atau wilayah yang tersisa saat ini karena sebagian besar sudah dikuasai oleh korporasi. Pemerintah harus melakukan audit, review perizinan di kawasan hutan ataupun di areal peruntukan lain (APL), ekosistem rawa gambut, pesisir dan laut yang melanggar hukum dan perundang-undangan.
Obyek reforma agraria berasal dari HGU yang sudah habis, HGU yang telantar, ataupun HGU yang berkonflik dengan masyarakat. Negara harus mengambil alih dan selanjutnya memproses untuk didistribusikan kepada rakyat melalui program reforma agraria atau perhutanan sosial. Namun yang patut dicatat, menjadi penting untuk memberikan perhatian khusus terhadap masyarakat adat yang tanah ulayatnya dirampas untuk kepentingan investasi.
4. Pengakuan dan perlindungan terhadap pengelolaan kekayaan alam yang secara lestari dilakukan oleh masyarakat adat memiliki nilai ekonomi dan menghasilkan nilai ekonomi yang begitu besar. Nilai ekonomi ini mencapai Rp 159,21 miliar setiap tahun dan jasa lingkungan hidup yang mencapai Rp 170,77 miliar. Ini dapat mematahkan argumen bahwa komunitas rakyat, masyarakat adat/masyarakat lokal tidak mampu mengelola kekayaan alamnya. Dengan demikian, menjadi penting untuk segera memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat terhadap ruang hidupnya, khususnya hutan adat yang sampai saat ini sangat jauh dari harapan, meskipun telah ada putusan MK 35/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara.
5. Menyelesaikan konflik agraria dan mempercepat kebijakan redistribusi hutan untuk rakyat melalui skema yang lebih sederhana, dan reforma agraria terintegrasi dalam data spasial (one map policy). Waktunya negara memberi kepercayaan kepada masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk mengelola wilayah hidupnya.
Perpajakan
1. Perlu adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia di lembaga otoritas pajak agar memiliki kemampuan dalam pengawasan terhadap wajib pajak;
2. Perlu kerja sama antar-negara yang lebih konkret agar transparansi dan keterbukaan informasi dapat dijalankan secara maksimal untuk mencegah penghindaran pajak melalui transaksi antar-negara;
3. Reformasiperpajakanuntuk WPOPdenganmeningkatan taxbracket sehingga mencerminkan asas keadilan;
4. Sistem perpajakan di Indonesia perlu menggunakan pengarusutamaan gender baik dalam kerangka pengumpulan maupun pembelanjaan pajak;
5. Pemerintah perlu mengalokasikan pembiayan pajak yang lebih tinggi untuk kebutuhan dasar manusia seperti kebutuhan biaya kesehatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia baik melalui pendidikan formal maupun informal.
Gender
1. Meningkatkan partisipasi dan mobilitas perempuan melalui kebijakan dan anggaran yang responsif gender serta memastikan pelaksanaannya. Penyusun produk kebijakan, hukum dan anggaran hendaknya harus responsif gender baik tingkat nasional maupun daerah. Dampak kebijakan, hukum, dan anggaran yang responsif gender akan meningkatkan kesempatan dan peluang kelompok perempuan dalam menjalankan mobilitas, pemenuhan hak dan kesempatan yang setara dengan kelompok lain.
2. Mendorong semangat Three Ends Plus (Akhiri Perdagangan Perempuan, Akhiri Kekerasan dalam Rumah Tangga, Akhiri Kesenjangan Ekonomi Perempuan dan Partisipasi Politik Perempuan). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) mempunyai program terkait dengan upaya menurunkan ketimpangan dan berupaya mengakhirinya yakni dikenal dengan “Three Ends” yang selanjutnya kadang digabung menjadi “Three Ends Plus” yakni upaya bersama-sama untuk mengakhiri perdagangan perempuan, mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga, akhiri kesenjangan ekonomi perempuan dan ditambah pentingnya partisipasi perempuan dalam politik.
3. Keadilan dalam proses hukum harus berpihak pada perempuan sebagai korban. Selama ini perempuan masih sering ditempatkan sebagai pelaku atau pemicu kekerasan, perdagangan, dan ketimpangan. Termasuk menempatkan perempuan bukan lagi obyek pembangunan namun bersama-sama sebagai subyek pembangunan.
4. Upaya mengurangi ketimpangan gender juga membutuhkan kerja bersama dan saling mendukung berbagai pihak baik setiap lembaga negara maupun masyarakat. Keterlibatan laki-laki menjadi salah satu kunci penting untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Pemahaman dan perspektif adil dan setara harus dimiliki baik perempuan maupun laki-laki. Terlebih dalam kondisi masyarakat yang masih kuat dengan budaya partriarkinya.
Ketenagakerjaan Menyongsong Revolusi Industri 4.0
1. Pemerintah harus membuat roadmap dan assesment dalam rangka menguatkan kompetensi tenaga kerja di Indonesia. Hasilnya adalah langkah-langkah intervensi program pelatihan atau keterampilan untuk tenaga kerja dengan menyesuaikan tingkat pendidikan terakhir, prioritas setiap tahun, berapa dana yang diperlukan, dan bagaimana kerja sama yang mungkin dibangun sesama kementerian/lembaga dan dengan pihak swasta (korporasi).
2. Publikasi dan sosialisasi agar ketenagakerjaan menjadi perbincangan publik, dan tidak semata soal upah buruh formal. Kementerian harus mendorong alokasi dana untuk mainstreaming isu ketenagakerjaan, dan mendorong berbagai riset untuk masuk ke isu ketenagakerjaan, termasuk dalam hal menghadapi tantangan Industri 4.0.
3. Mendesaknya intervensi program penguatan kompetensi tenaga kerja berupa pelatihan keterampilan kepada 60% tenaga kerja dengan pendidikan SMK dan SMP ke bawah. Sebagian besar mereka adalah para wiraswasta, bukan karyawan gajian karena tidak memenuhi persyaratan administrasi lulusan sekolah. Yang diperlukan wiraswasta adalah tambahan keterampilan yang akan menambah nilai produksi, informasi dan peluang pasar, pengemasan hasil produksi, dan peluang tambahan modal untuk ekspansi usaha.
4. Menguatkan dan menciptakan akses pelatihan dan keterampilan melalui berbagai institusi masyarakat sipil. Pesantren merupakan salah satu institusi yang dapat digunakan untuk maksud tersebut. Saat ini ada hampir 28 ribu pesantren dengan santri melebihi 6 juta orang. Mereka ada yang sekolah formal dan yang nonformal. Potensi pesantren untuk menguatkan keterampilan, ditambah dengan nilai kemandirian yang didorong pesantren, diharapkan akan menguatkan peluang penambahan lapangan kerja.
5. Mengintensifkan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pelatihan keternagakerjaan. Setidaknya 100 kepala daerah sudah bisa diajak bekerja sama untuk kebutuhan penguatan ketenagakerjaan tersebut.
6. Koordinasi dan komunikasi dengan Kementerian Desa perihal prioritas program dengan menggunakan Xxxx Xxxx. Ketenagakerjaan perlu didorong menjadi salah satu prioritas
dalam penggunaan Dana Desa tahun 2019 dan tahun-tahun setelahnya. Hal demikian diharapkan akan membuka peluang kerja yang besar, beberapa pembangunan fisik dan nonfisik dapat menggunakan tenaga desa setempat.
7. Kementerian Keuangan perlu menambah peruntukan LPDP terkait dengan perluasan lapangan kerja bukan hanya sekolah formal. Setidaknya 10% dana LPDP dapat digunakan untuk pelatihan keterampilan dan riset ketenagakerjaan. Kementerian Keuangan juga diharapkan dapat mengalokasikan dana tambahan untuk Direktorat SMK di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
8. Perhatian serius dari pemerintah atas teknologi digitalisasi. Ada banyak pekerjaan hilang, tetapi juga ada banyak peluang tercipta seperti bisnis jadi lebih murah karena tidak perlu membayar tempat yang selama ini mahal. Banyak sektor manufaktur yang akan pindah ke sektor jasa, bagaimana digitalisasi memberi peluang pekerjaan di sektor jasa. Online dan offline harus dipadukan dengan baik untuk menciptakan peluang kerja lebih banyak dan tetap menjadi sumber pendapatan negara.
9. Kolaborasi antara pemerintah dan swasta untuk fokus menaikkan nilai investasi teknologi informasi (TI) mulai dari hulu hingga hilir demi meningkatkan kualitas infrastruktur, tingkat penetrasi internet masyarakat, dan produktivitas kerja. Pemanfaatan digital bisa juga dilakukan lewat kolaborasi antara perusahaan startup dengan incumbent. Dari pemanfaatan TI, ada potensi terbukanya lapangan pekerjaan baru sebanyak 3,7 juta pada tahun 2025.
10. Kementerian Perindustrian dan Kementerian Ketenagakerjaan diharapkan mampu melakukan penjajakan tentang peluang pengelolaan dana CSR oleh pemerintah dan dialokasikan secara khusus untuk ketenagakerjaan dan mengatasi ketimpangan. Misalnya, digunakan untuk memberi premi ketenagakerjaan untuk pekerja rumahan yang tidak dibayar.
11. Pentingnya kebijakan tingkat nasional dan daerah (Perpres, PP, atau Permen) yang memprioritaskan untuk bidang-bidang pekerjaan yang mampu menyerap tenaga kerja luas dan mampu meningkatkan kapasitas tenaga kerja. Bidang-bidang tersebut di antaranya adalah: a) pertanian, perikanan dan kehutanan; b) manufaktur dan produksi; c) kaitan hospitality dan makanan; d) transportasi dan logistik; e) bisnis dan keuangan; f) jasa penjualan; g) layanan jasa pribadi; h) konstruksi dan ekstraksi; i) komputer dan matematika. Perkantoran dan administrasi meskipun menyerap tenaga kerja luas, namun tidak diisyaratkan karena juga rentan mengalami penurunan.
Ketimpangan Sosial
1. Diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran warga mengenai program dan usaha lain yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengatasi ketimpangan. Pemerintah Indonesia memerlukan satu mekanisme atau sistem yang dapat mengecek efektivitas program pengurangan ketimpangan dan usaha lain agar dampak program dan usaha itu dirasakan oleh warga. Pemantauan dan evaluasi yang tepat dan memadai diperlukan untuk menjaga efektivitas dari program dan upaya-upaya mengurangi ketimpangan.
2. Selain peningkatan kesempatan kerja dan penyetaraan penghasilan, diperlukan program sosial dalam bentuk pemberian tunjangan bagi pencari kerja sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketimpangan penghasilan. Pemberian tunjangan ini dapat berperan untuk meningkatkan distribusi pendapatan. Bentuk dari tunjangan bagi pencari kerja dapat terdiri atas dua jenis:
a. Tunjangan dalam bentuk uang yang diberikan kepada warga yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui program asuransi;
b. Tunjangan dalam bentuk bantuan konsultasi dan agen pencarian kerja bagi para pekerja yang membutuhkan pekerjaan sesuai dengan keahlian dan pengalamannya.
3. Diperlukan juga program sosial dalam bentuk tunjangan pelatihan kerja untuk meningkatkan atau menambah keahliannya, khususnya bagi mereka yang berusia di atas 30 tahun baik perempuan maupun laki-laki. Peningkatan keahlian atau tambahan keahlian baru (retraining) diperlukan untuk dapat meningkatkan penghasilan para pekerja. Paket “penyelamatan” untuk semua orang dewasa yang tidak memiliki pekerjaan dengan gaji bagus, agar mereka dapat memperoleh dan mempertahankan pekerjaan dengan penghasilan yang baik.
NGO in Special Consultative Status
with the Economic and Social Council of the United Nations, Ref. No: D1035
Jl. Jatipadang Raya Xxx.0 Xx.000 Xxxxx Xxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, 00000 000 7819734, 7819735 | xxxx@xxxxx.xxx | xxx.xxxxx.xxx
Follow Us:
infid infid_ID infid_ID