BAB III PERJANJIAN PERKAWINAN
BAB III PERJANJIAN PERKAWINAN
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN KHI DAN KUH PERDATA
A. Perjanjian Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan diatur dalam Bab V Pasal 29 yang terdiri dari empat ayat, yakni sebagai berikut:
Ayat (1) :
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Ayat (2) :
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas nilai-nilai hukum, agama, dan serta kesusilaan.
36
Ayat (3) :
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Ayat (4) :
Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di dalam Pasal 29 ayat (1) mengatur masalah-masalah kapan dan dalam bentuk apa perjanjian perkawinan diadakan. Perjanjian perkawinan dapat diadakan oleh calon suami isteri “pada waktu” perkawinan atau “sebelum” perkawinan dilangsungkan. Berapa lama waktu “sebelum” tersebut tidak dijelaskan atau diatur lebih lanjut. Jadi “sebelum” menunjuk pada waktu yang tidak tentu, tetapi jelas tidak menunjuk pada masa perkawinan. Selama perkawinan berlangsung suami isteri tidak diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan. Berdasarkan peraturan tersebut di atas maka perjanjian perkawianan hanya
dapat diadakan sebelum perkawinan atau pada waktu dilangsungkannya perkawinan.
Bentuk perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 29 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini adalah perjanjian tertulis, perjanjian tertulis tentu saja sangat berkaitan dengan suatu akta otentik yang merupakan suatu akta dalam bentuk undang-undang dan dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang.36 Dalam bagian akhir ayat (1) ini dinyatakan “setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”, sehingga apabila perjanjian perkawinan tertulis tersebut berlaku juga bagi pihak ketiga, itu berarti perjanjian tertulis tersebut haruslah dalam bentuk akta otentik.
Menurut X. Subekti, tiga kekuatan akta otentik adalah kekuatan pembuktian formal dan materiil serta pembuktian kepada pihak ketiga (kekuatan pembuktian keluar), kekuatan yang terakhir itu hanya dimiliki oleh akta otentik, sedangkan akta di bawah tangan hanya memiliki keuatan pembuktian formal dan materil (sempurna bagi para pihak yang
36Subekti. R. Hukum Pembuktian. Jakarta : Pradiya Pramita, 1985. Hal. 28.
membuatnya, tapi tidak untuk pihak ketiga), sepanjang diakui atau tidak dipungkiri oleh pembuatnya.37
Kekuatan pembuktian formal adalah bahwa benar para
pihak sudah menerangkan apa yang ditulisnya dalam akta tersebut, sedangkan kekuatan pembuktian materil berarti apa yang diterangkan dalam akta tersebut adalah benar adanya.38 Apabila perjanjian perkawinan dibuat dibawah tangan maka perjanjian perkawinan tersebut tidak diketahui oleh masyarakat sehingga perjanjian perkawinan tersebut hanya mengikat bagi pihak-pihak yang membuatnya dalam hal ini pasangan suami isteri dan tidak mengikat bagi pihak ketiga.
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx, perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 ini jauh lebih sempit oleh karena hanya meliputi “verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja (overenkomsten), dan perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi “verbintenissen uit de wet allen” (perikatan yang bersumber pada Undang-undang).39 Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam
37Ibid., hal.31-32.
38Ibid., hal.30.
00Xxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxx. Hukum Perdata Islam Di Indonesia.
Jakarta: Kencana 2004. Hal. 137.
Undang-undang ini tidak termasuk di dalamnya ta’lik talak sebagaimana yang termuat dalam surat nikah.
Terhadap Pasal tersebut di atas, K. Xxxxxxx Xxxxx mengatakan, “Bahwa ruang lingkup perjanjian perkawinan tidak ditentukan perjanjian tersebut mengenai apa, umpamanya mengenai harta benda. Karena tidak ada pembatasan itu, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut luas sekali, dapat mengenai berbagai hal. Dalam penjelasan Pasal tersebut hanya dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “perjanjian” itu tidak termasuk “ta’lik talak”.
Sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur perjanjian perkawinan berlaku juga terhadap pihak ketiga setelah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, akan tetapi perjanjian itu tidak serta merta dapat disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan tersebut, karena apabila perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh pasangan calon suami isteri tadi melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan (Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), maka pegawai pencatat perkawinan berwenang menolak mengesahkan perjanjian perkawinan yang diadakan oleh pasangan calon suami isteri.
Batas-batas hukum tentu menunjuk pada ketentuan- ketentuan hukum yang bersifat memaksa, bukan suatu anjuran atau kebolehan. Begitu pula batas-batas agama yang berarti bahwa ketentuan-ketentuan yang berupa larangan dari agama pasanga calon suami isteri tidak boleh dilanggar. Unsur kesusilaan yang tumbuh dalam masyarakat juga harus diperhatikan, misalnya, walaupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur soal perceraian, karena sepakat dari pasangan calon suami isteri memperjanjikan bahwa perkawinan dapat putus karena kesepaktan dari pasangan tersebut. Isi perjanjian itu tidak layak dan melanggar kesusilaan dalam masyarakat, karena pada hakekatnya perkawinan adalah kekal, abadi untuk selamanya.
Kendatipun tidak ada definisi yang jelas yang dapat menjelaskan perjanjian perkawinan namun dapat diberikan batasan, sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta kekayaan mengenai kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan dipihak lain berhak untuk menuntuk pelaksanaan perjanjian tersebut.40 Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan
40Ibid.
adalah perjanjian dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.41
B. Perjanjian Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam.
Pada kompilasi hukum Islam (KHI) mengenai perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII Pasal 45 samapai 52 tentang perjanjian perkawinan.
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
1. Ta’lik talak.
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 46
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
41Ibid., Hal. 138.
(2) Apabila keadaan yang di isyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing- masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawah masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempatperkawinan dilangsungkan.
(3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu di umumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberihak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Bentuk dari perjanjian perkawinan Kompilasi Hukum Islam telah menetapkan harus dalam bentuk tertulis dan pengesahannya pun dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Para calon mempelai juga dapat mengatur mengenai keberadaan harta perkawinan. Isi perjanjian tersebut dapat meliputi:
1. Percampuran harta pribadi.
2. Pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
3. menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. Apabila isi perjanjian adalah memisahkan keseluruhan harta, maka Kompilasi Hukum Islam menetapkan limitasi bahwa perjanjian yang mengatur mengenai keberadaan harta juga tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Konsekuensi apabila hal ini dilanggar dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Isi perjanjian perkawinan yang terpenting adalah tidak melanggar atau bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal di langsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. Selanjutnya, perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di
Kantor Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa “perjanjian perkawinan” menurut KHI bukan hanya terbatas pada harta yang didapat selama perkawinan, akan tetapi mencakup harta bawaan masing-masing suami isteri. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan terhadap harta bersama yaitu perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah, perjanjian tersebut dibuat oleh calon suami isteri untuk mempersatukan atau memisahkan harta kekayaan pribadi masing-masing selama perkawinan berlangsung, tergantung dari apa yang disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian. Isi perjanjian tersebut berlaku pula bagi pihak ketiga sejauh pihak ketiga tersangkut.42
C. Perjanjian Perkawinan dalam KUH Perdata (B.W).
Perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan menurut KUH Perdata dalam pasal 119, dengan adanya perkawinan maka sejak itu terjadi persatuan bulat harta
42HR. Damanhuri. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama.
Bandung : Xxxxxx Xxxx, 2007. Hal. 12.
kekayaan perkawinan. Dalam hal ini pada prinsip nya dalam hubungan suami isteri tersebut hanya terdapat satu jenis kekayaan yaitu harta persatuan. Perjanjian perkawinan diatur dalam Buku I, Bab VII sampai dengan Bab VIII, mulai dari pasal 139-185 BW. Berdasarkan KUH Perdata, pada asas nya sejak saat perkawinan di langsungkan, demi hukum terjadilah kebersamaan harta perkawinan secara bulat sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam suatu perjanjian kawin.
Penyimpangan terhadap prinsip persatuan harta dimungkinkan oleh ketentuan pasal 139 B.W yang isinya memberi kesempatan untuk suami dan isteri untuk membuat perjanjian kawin yang mengatur harta kekayaan asal perjanjian tersebut tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum.43 Perjanjian kawin yang berisi penyimpangan terhadap persatuan bulat biasanya dibuat oleh calon suami isteri yang terdapat perbedaan ekonomi yang sangat tajam. Apalagi jika ada indikasi salah satu pasangan xxxxxxx menikah hanya untuk mengincar harta pasangan, selain itu ketika salah satu pasangan atau ternyata keduanya memiliki utang dalam jumlah besar sebelum menikah. Perjanjian perkawinan tersebut dibuat untuk
43Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung : Mandar Maju, 2007. Hal. 52.
menghindari risiko terjadinya penyitaan harta pasangan xxxxxxx.00
Menurut Ketentuan Pasal 147 BW perjanjian perkawinan
harus dibuat dengan syarat sebagai berikut :
1. Dengan akta notaris.
Hal ini dilakukan untuk keabsahan perjanjian perkawinan dan dilakukan juga untuk :
a. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa oleh karena akibat dari pada perjanjian ini akan dipikul seumur hidup.
b. Untuk adanya kepastian hukum.
c. Sebagai alat bukti sah.
d. Untuk mencegah masalah kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan pasal 149 BW (setelah dilangsungkan perkawinan dengan cara apapun juga, perjanjian perkawinan itu tidak dapat diubah).
Maksud dari Pasal 147 B.W. tersebut adalah perjanjian yang akan didaftarkan harus dalam bentuk akta notaris sebab dasar untuk mencatat perjanjian tersebut
44Aditya X.Xxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxx. The Law of Love. Hal. 34.
adalah salinan akta notaris yang kemudian akan dicatatkan pada catatan pinggir dalam akta nikah pasangan suami isteri.
2. Pada saat sebelum perkawinan di langsungkan.
Syarat ini diadakan perjanjian perkawinan dengan maksud agar setelah perkawinan berlangsung dapat diketahui dengan pasti mengenai perjanjian perkawinan dan berikut isi dari pada perjanjian perkawinan itu. Perjanjian perkawinan berlaku sepanjang perkawinan itu berlangsung dan tidak dapat diubah. Jadi selama perkawinan berlangsung hanya berlaku satu macam hukum harta perkawinan kecuali bila terjadi pisah harta kekayaan.45
Tiga bentuk perjanjian kawin yang dapat di pilih oleh
calon pasangan suami isteri menurut XXX Xxxxxxx sebagai berikut46 :
1. Perjanjian Kawin dengan Kebersamaan Untung dan Rugi.
Dalam pasal 115 KUH Perdata disebutkan :
Jika dalam perjanjian perkawinan oleh kedua calon pasangan suami isteri hanyalah diperjanjikan bahwa dalam persatuan untung dan rugi, maka berartilah bahwa perjanjian
45R.Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx dan Xxxxxxxxxx Xxxxx. Hukum Orang dan Keluarga. Surabaya : UNAIR, 2008. Hal. 77.
46Ibid., Hal. 88
yang demikian dengan sama sekali tak berlakunya persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut undang-undang setelah berakhirlah persatuan suami isteri. Segala keuntungan pada mereka yang diperoleh sepanjang perkawinan harus dibagi antara mereka berdua sepertipun segala kerugian harus mereka pikul berdua. Ketentuan mengenai persatuan untung rugi ini tidak semua harta kekayaan suami isteri dicampur menjadi harta persatuan, tetapi hanya sebagian dari harta kekayaan suami isteri saja yang merupakan keuntungan dan kerugian yang timbul selama perkawinan. Harta kekayaan (semua laba dan hutang) suami isteri yang mereka bawah dalam perkawinan dan harta yang mereka peroleh dengan cuma-cuma (hadiah,warisan) sepanjang perkawinan itu adalah modal tetap milik pribadi suami atau isteri dan masing-masing tidak masuk dalam kebersamaan, sehingga terdapat tiga macam harta kekayaan, yaitu47 :
a. Milik pribadi suami.
b. Milik pribadi isteri.
c. Untung dan rugi yang masuk dalam kebersamaan.
47Ibid., Hal. 90.
2. Perjanjian Kawin Dengan Kebersamaan Hasil dan Pendapatan.
Mengenai kebersamaan hasil dan pendapatan (gameenschap van vruchten en inkomsten) undang-undang hanya memuat satu pasal (pasal 164 B.W). Ketentuan dalam perjanjian kawin, menetukan antara suami dan isteri hanya akan ada kebersamaan hasil dan pendapatan, sehingga berarti tidak akan ada kebersamaan bulat atau menyeluruh menurut undang- undang dan tidak akan ada pula kebersamaan untung dan rugi. Demikian hal nya pada kebersamaan hasil dan pendapatan, juga terdapat kemungkinan adanya tiga jenis harta kekayaan yaitu: harta kekayaan suami, harta kekayaan isteri dan harta kekayaan kebersamaan hasil dan pendapatan.
Mengenai kebersamaan hasil dan pendaptan ini dahulu terdapat banyak pendapat, tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa pada umumnya orang berpendapat kebersamaan tersebut dalam banyak hal sama dengan kebersamaan untung rugi. Perbedaannya, apabila kebersamaan tersebut menujukkan kerugian (saldo negatif), maka suami yang mengurusi kebersamaan itu. Dengan kata
lain, suami harus memikul seluruh kerugian. Apabila kebersamaan itu menimbulkan keuntungan, maka keuntungan ini dibagi antara suami isteri. Hal ini sesuai dengan pasal 105 KUH Perdata yang menentukan bahwa, “setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami isteri. Ia (suami) harus mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah tangga yang baik, dan karenanya pun bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu”.
Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa KUH Perdata menempatkan suami berperan lebih besar dalam keluarga, sehingga kerugian yang timbul dalam praktek perjanjian perkawinan dalam bentuk persatuan hasil dan pendapatan menjadi tanggungan suami.
3. Perjanjian Kawin Terhadap Pemisahan Harta Kekayaan.
Bentuk perjanjian ini menginginkan adanya pemisahan sama sekali atas kekayaan calon pasangan suami isteri sepanjang perkawinan, maka dalam perjanjian perkawinan yang dibuat harus menyatakan bahwa antara calon suami isteri tersebut tidak akan ada percampuran harta dan secara tegas dinyatakan tidak ada persatuan untung rugi.
Setiap peniadaan kebersamaan hanya ada dua kemungkinan dalam harta kekayaan, yaitu harta kekayaan milik pribadi suami dan milik pribadi isteri. Tidak ada kemungkinan adanya harta kekayaan ketiga yang termasuk dalam suatu kebersamaan harta kekayaan terbatas.
Prinsip tentang berlakunya satu macam hukum harta perkawinan dipegang oleh pembuat undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari48 :
1. Pasal 197 B.W yang menyatakan, bahwa bilamana pisah
harta kekayaan ditiadakan, maka keadaan sebelum “pisah” pulih kembali, seolah-olah keadaan itu tidak pernah terjadi. Istilah “kebersamaan” (gemeenschap) dalam pasal 197 B.W maksudnya, adalah tiap-tiap kebersamaan, baik kebersamaan harta kekayaan secara bulat, maupun kebersamaan harta kekayaan terbatas. Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan, maka akan terjadi lagi kebersamaan harta kekayaan secara bulat, dan apabila dibuat perjanjian perkawinan, maka perjanjian perkawinan itu berlaku kembali.
48Ibid., Hal. 77.
2. Pasal 248 B.W yang berisikan ketentuan apabila terjadi perdamaian (verzoening) antara suami istri setelah pisah meja dan tempat tidur, maka keadaan hukum “pisah” pulih kembali, dalam arti, seolah-olah tidak pernah terjadi perpisahan apapun. Di dalam pasal 197 B.W. digunakan istilah “kebersamaan” (gemeenschap) yang artinya ialah : tiap-tiap kebersamaan, baik kebersamaan harta kekayaan secara bulat maupun kebersamaan harta kekayaan terbatas. Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan, maka akan terjadi lagi kebersamaan harta kekayaan secara bulat, dan bilamana dibuat perjanjian perkawinan maka perjanjian perkawinan itu berlaku lagi.
3. Pasal 232a B.W menyatakan prinsip tersebut di atas juga berlaku bila terjadi “kawin ulang” (reparatie huwelijk), setelah perkawinan bubar karena perceraian. Selama perkawinan belum dilangsungkan, perjanjian perkawinan itu masih dapat diubah. Menurut ketentuan pasal 148 ayat 1 B.W perubahannya harus dilakukan dengan akta notaris. Perubahan tersebut dianggap sah jika disepakati oleh mereka yang dahulu menjadi “pihak” (partij). Pasal 148 ayat 2 B.W menyebutkan, tidak hanya mereka saja
yang memberikan izin kesepakatan, akan tetapi juga mereka yang memberikan hadiah pada calon suami isteri. Apabila “bantuan” itu tidak diperoleh, maka perjanjian perkawinannya tidak dapat diubah. Pada umum nya, perjanjian perkawinan yang telah dibuat dapat ditiadakan. Suami isteri dapat kawin tanpa perjanjian perkawinan dengan status kebersamaan harta perkawinan secara bulat (algehele gemeenschap van goederen). Pihak- pihak yang harus memberikan ”bantuan” yang diperlukan oleh calon suami isteri adalah mereka yang harus memberikan izin untuk kawin. Tetapi, mereka dapat mempersulit calon suami isteri itu dengan jalan menarik kembali izin kawinnya. Apabila mereka yang memberikan hadiah (schenking) menolak memberikan bantuan utuk mengubah perjanjian perkawinan, maka dengan melepaskan schenking tersebut, calon suami isteri masih dapat kawin dengan membuat perjanjian perkawinan yang lain atau
kawin dengan kebersamaan harta perkawinan secara bulat.49 Dalam pasal 155 BW perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan rugi harus secara tegas ditentukan
49Ibid., Hal. 78.
dalam akta perjanjian perkawinan. Pada kebersamaan untung dan rugi yang menjadi milik dan beban bersama adalah untung yang diperoleh selama perkawinan dan rugi yang di derita selama perkawinan.50
Apabila hutang tersebut dibuat oleh suami atau isteri
sebelum perkawinan dilangsungkan maka hutang tersebut menjadi tanggung gugat masing-masing pihak yang membuatnya, tidak dapat dilunasi dari harta dihasilkan dari persatuan untung rugi. Mengenai pembagian kebersamaan untung dan rugi dalam pasal 128 jo 126 B.W menyatakan mengenai pembagian ini hanya dapat dilakukan apabila perkawinan itu putus.
Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan hasil dan pendapatan juga harus ditentukan secara tegas dalam akta perjanjian perkawinan. Perbedaan dengan kebersamaan untung dan rugi adalah apabila dalam kebersamaan itu terjadi keuntungan maka suami yang mengurus kebersamaan itu, berlaku vice versa. Apabila dalam kebersamaan tersebut menimbulkan keuntungan, maka keuntungan ini dibagi antara suami dan isteri. Namun, para
50R.Soetojo Prawirohamidjojo. Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press, 2006. Hal. 90.
pihak dapat menyimpangi atau menentukan lain diperjanjian perkawinannya.
Calon suami isteri juga dapat menentukan isi perjanjian perkawinan tersebut diikuti dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya dalam perjanjian perkawinan diikuti dengan syarat bahwa perjanjian perkawinan yang mereka buat baru akan berlaku bila sudah dikaruniai anak. Maka perjanjian perkawinan tersebut hanya berlaku secara intern, pihak ketiga dalam hal ini tidak terikat dan tetap menganggap terjadi kebersamaan secara bulat antara mereka. Hal ini demi melindungi kepentingan atau hak pihak ketiga. Selain para pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian perkawinan yang mereka buat, namun ada limitasi yang diberikan oleh undang-undang, bahwa isi perjanjian perkawinan juga tidak boleh :
1. Mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai suami, hak suami untuk menentukan tempat kediaman atau hak suami untuk mengurus kebersamaan harta perkawinan (pasal 140 ayat 1 B.W).
2. Hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua. Misalnya hak untuk mengurus harta kekayaan anak-anak dan
mengambil keputusan mengenai pendidikan atau hak untuk mengasuh anak (pasal 140 ayat 1 B.W).
3. Hak-hak yang ditentukan oleh Undang-Undang bagi suami atau isteri yang hidup terlama, misalnya untuk menjadi wali dan wewenang untuk menunjuk wali dengan testament (pasal 140 ayat 1 BW).
4. Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah (pasal 141 B.W).
5. Tidak dibuat janji-janji bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar dari pada hartanya (pasal
142 BW), tidak dibuat janji-janji bahwa harta perkawinan mereka tunduk pada hukum asing ataupun hukum adat (pasal 143 BW).
6. Perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 147 BW). Apabila perjanjian perkawinan dibuat setelah perjanjian perkawinan, maka akibat hukumnya perjanjian tersebut batal. Sehingga berlakulah kebersamaan harta secara bulat.
7. Bentuk dari Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal
147 BW). Konsekuensi tidak dibuatnya perjanjian perkawinan dengan akta notaris adalah batal.
Selama perkawinan belum dilangsungkan, perjanjian perkawinan ini masih dapat diubah. Perubahan ini harus juga dibuat dengan akta notaris dan harus dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Perubahan tersebut dianggap sah jika disepakati oleh calon suami istri dan juga harus mendapat izin dari orang-orang yang dahulu ikut serta sebagai pihak dalam mewujudkan perjanjian perkawinan misalnya orang yang telah menghibahkan/memberi hadiah pada calon suami atau istri. KUH Perdata tidak menentukan jangka waktu dibuatnya perjanjian perkawinan sampai perkawinan dilangsungkan.
Calon suami isteri yang melangsungkan perkawinan setelah bertahun-tahun membuat perjanjian, tidak akan mengakibatkan batalnya perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Namun, perjanjian perkawinan akan gugur (tidak berlaku) bila calon suami isteri yang bersangkutan tidak jadi melangsungkan perkawinan.
B. Perbedaan dan Persamaan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, KHI, dan KUH Perdata.
1. Perbedaan Mengenai Perjanjian Perkawinan.
a) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua pihak atas persetujuan bersama pada waktu atau pada saat perkawinan berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan mengenai kedudukan harta dalam perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Bentuk perjanjian perkawinan dalam Undang- Undang Perkawinan mengatur sesuai pola yang dianut hukum adat maupun hukum Islam yaitu harta bawaan dan harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan tetap dikuasai masing-masing suami isteri, sedang yang menjadi harta bersama hanyalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.
Sebuah perjanjian perkawinan baru dianggap sah apabila memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang. Untuk itu perhatian terhadap aspek ini sangat penting agar kekuatan hukum dari perjanjian perkawinan itu bisa dipertanggung jawabkan. Perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan diatur dalam Bab V Pasal 29. Dalam penjelasan Pasal tersebut hanya dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “perjanjian” itu tidak termasuk “ta’lik talak”.51
Menurut pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 adalah sebagai berikut :
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Maka keabsahan perjanjian perkawinan tersebut cukup dihadapan pegawai pencatat nikah dan berlaku mengikat terhadap pihak ketiga sepanjang termuat dalam perjanjian perkawinan tersebut.
00Xxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxx. Hukum Perdata Islam Di Indonesia.
Jakarta: Kencana 2004. Hal. 137.
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, perjanjian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah memuat tentang perolehan harta kekayaan suami isteri yang diperoleh selama perkawinan, dan atau benda di lapangan hukum kebendaan serta tidak termasuk ta’lik talak.52 Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.
b) Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau pada saat perkawinan berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah
52HR. Damanhuri. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama.
Bandung : Xxxxxx Xxxx, 2007. Hal. 18.
mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Menurut Komplasi Hukum Islam Pasal 45 menyatakan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk, Ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.53 Selain bentuk perjanjian perkawinan tak’lik talak Kompilasi Hukum Islam juga mengatur bentuk perjanjian perkawinan yang menyangkut percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharaian.
Dari Pasal tersebut jelas berbeda dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 29 UUP dinyatakan bahwa “yang dimaksud dengan perjanjian” dalam Pasal ini tidak termasuk “ta’lik talak”, akan tetapi dalam KHI jelas ditegaskan bahwa perjanjian perkawinan bisa dalam bentuk “ta’lik talak” dan bisa dalam bentuk perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam KHI setelah perkawinan berlangsung kedua calon atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan yang disahkan oleh pegawai pencatat
53Ibid., Hal. 16.
nikah. Mengenai perubahan dan pencabutan perjanjian perkawinan, menurut KHI perubahan perjanjian perkawinan boleh saja dilakukan sepanjang perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.54
Perjanjian perkawinan mengenai harta juga dapat
dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan. Dalam KHI pihak ketiga berlaku mengikat sepanjang apa yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan tersebut. Para calon mempelai juga dapat mengatur mengenai keberadaan harta perkawinan. Isi perjanjian tersebut dapat meliputi:
1. Percampuran harta pribadi.
2. Pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
3. menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
54Ibid., Hal. 12.
Menurut KHI perjanjian perkawinan bukan hanya terbatas pada harta yang didapat selama perkawinan, akan tetapi mencakup harta bawaan masing-masing suami isteri. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan terhadap harta bersama yaitu perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah, perjanjian tersebut dibuat oleh calon suami isteri untuk mempersatukan atau memisahkan harta kekayaan pribadi masing-masing selama perkawinan berlangsung, tergantung dari apa yang disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian. Isi perjanjian tersebut berlaku pula bagi pihak ketiga sejauh pihak ketiga tersangkut.
c) Menurut KUH Perdata (B.W)
Menurut KUH Perdata adalah dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal maupun harta bersama suami dan isteri bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan. Bentuk perjanjian perkawinan dalam KUH Perdata menganut sistem percampuran harta kekayaan antara suami isteri (alghele gemeenschap van goerderen) ketika perkawinan terjadi, jika tidak diadakan perjanjian
perkawinan terlebih dahulu. Dalam Pasal 139 disebutkan: “dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapakan penyimpangan dari peraturan Undang-Undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal dipindahkan pula segala ketentuan”.55
Dalam KUH Perdata setiap perjanjian perkawinan
harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung, dan perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan (pasal 147 KUH Perdata). Menurut Ketentuan Pasal 147 BW perjanjian perkawinan harus dibuat dengan syarat sebagai berikut :
1. Dengan akta notaris.
Hal ini dilakukan untuk keabsahan perjanjian perkawinan dan dilakukan juga untuk :
a. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa oleh karena akibat dari pada perjanjian ini akan dipikul seumur hidup.
b. Untuk adanya kepastian hukum.
55Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung : Mandar Maju, 2007. Hal. 52.
c. Sebagai alat bukti sah.
d. Untuk mencegah masalah kemungkinan adanya penyelundupan.
Maksud dari Pasal 147 B.W. tersebut adalah perjanjian yang akan didaftarkan harus dalam bentuk akta notaris sebab dasar untuk mencatat perjanjian tersebut adalah salinan akta notaris yang kemudian akan dicatatkan pada catatan pinggir dalam akta nikah pasangan suami isteri.
2. Pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan.
Syarat ini diadakan perjanjian perkawinan dengan maksud agar setelah perkawinan berlangsung dapat diketahui dengan pasti mengenai perjanjian perkawinan dan berikut isi dari pada perjanjian perkawinan itu. Perjanjian perkawinan berlaku sepanjang perkawinan itu berlangsung dan tidak dapat diubah. Jadi selama perkawinan berlangsung hanya berlaku satu macam hukum harta perkawinan kecuali bila terjadi pisah harta kekayaan.56
56R.Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx dan Xxxxxxxxxx Xxxxx. Hukum Orang dan Keluarga. Surabaya : UNAIR, 2008. Hal. 77.
Tiga bentuk perjanjian kawin yang dapat dipilih oleh calon pasangan suami isteri menurut XXX Xxxxxxx sebagai xxxxxxx00 :
a. Perjanjian Kawin dengan Kebersamaan Untung dan Rugi.
b. Perjanjian Kawin Dengan Kebersamaan Hasil dan Pendapatan.
c. Perjanjian Kawin Terhadap Pemisahan Harta Kekayaan.
Selama perkawinan belum dilangsungkan, perjanjian perkawinan ini masih dapat diubah. Perubahan ini harus juga dibuat dengan akta notaris dan harus dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Perubahan tersebut dianggap sah jika disepakati oleh calon suami istri dan juga harus mendapat izin dari orang-orang yang dahulu ikut serta sebagai pihak dalam mewujudkan perjanjian perkawinan. KUH Perdata tidak menentukan jangka waktu dibuatnya perjanjian perkawinan sampai perkawinan dilangsungkan. Calon suami isteri yang melangsungkan perkawinan setelah bertahun-tahun membuat perjanjian, tidak akan mengakibatkan batalnya perjanjian perkawinan yang
57Ibid., Hal. 88
dibuatnya. Namun, perjanjian perkawinan akan gugur (tidak berlaku) bila calon suami isteri yang bersangkutan tidak jadi melangsungkan perkawinan.
Dalam KUH Perdata perjanjian perkawinan mulai berlaku bagi pihak ketiga sejak hari pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, dimana pernikahan itu telah dilangsungkan dan tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya perkawinan atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di Kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan (pasal 152 KUH Perdata). Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan menurut KUH Perdata dengan cara bagaimanapun tidak boleh dirubah (pasal 149 KUH Perdata).
2. Persamaan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, KHI, dan KUH Perdata.
Setelah membahas mengenai perbedaan, selanjutnya penulis membahas mengenai persamaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, KHI, dan KUH Perdata sebagai berikut :
a. Perjanjian perkawinan sama-sama dibuat oleh kedua calon suami isteri sebelum pernikahan dilangsungkan.
b. Perjanjian perkawinan merupakan hal yang sangat penting untuk kebaikan bersama antara kedua belah pihak.
c. Perjanjian perkawinan dibuat dan dilakukan secara tertulis dihadapan kedua belah pihak.
d. Perjanjian perkawinan disahkan dan diserahkan kepada penjabat-penjabat umum yang berwenang.
e. Perjanjian perkawinan yang ada harus dicatat kepada petugas pencatat nikah atau petugas penjabat umum yang berwenang.
f. Akta perjanjian perkawinan berlaku mutlak pada saat pernikahan dilangsungkan.
g. Perjanjian perkawinan dapat menyangkut segala hal yang tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian secara umum, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum.
h. Isi dari perjanjian perkawinan terus berlaku selama perjanjian tersebut belum berakhir, kecuali apabila terjadi karena beberapa hal yaitu :
1) Putusnya perkawinan
2) Pencabutan bersama
3) Putusan pengadilan
i. Perjanjian perkawinan baru dianggap sah apabila memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang.
j. Pasangan suami isteri yang membuat perjanjian perkawinan harus sama-sama cakap hukum atau mampu melakukan perbuatan hukum.
k. Objek perjanjian perkawinan harus jelas.
l. Perjanjian perkawinan memiliki manfaat bagi pasangan calon suami isteri.
m. Perjanjian perkawinan dapat melindungi kepentingan masing-masing kedua belah pihak.