PENTINGNYA PENGETAHUAN LOKAL!
PENTINGNYA PENGETAHUAN LOKAL!
Kekuasaan, Konteks dan Pembuatan Kebijakan di Indonesia
Xxxxxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxx
PENTINGNYA PENGETAHUAN LOKAL!
Kekuasaan, Konteks dan Pembuatan Kebijakan di Indonesia
Xxxxxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxx
Pentingnya Pengetahuan Lokal!
Kekuasaan, Konteks dan Pembuatan Kebijakan di Indonesia
Xxxxxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxx
Foto halaman sampul:
Xxxxx Xxxx
Pandangan penulis yang diungkapkan dalam publikasi ini tidak mencerminkan pandangan pemerintah Australia, pemerintah Indonesia, atau Knowledge Sector Initiative. Semua entitas di atas tidak menerima pertanggungjawaban apa pun atas akibat yang timbul dari publikasi ini.
Isi
Daftar Singkatan .............................................................................. | vi |
Prakata Xx. Xxxxxxx XX Xxxxxxxxxx Xxxxxi Menteri bidang Ekonomi, Kementerian Pembangunan Nasional / Badan Perencaaan Pembangunan Nasional (Bappenas)................... | vii |
Kata Pembuka ................................................................................. | x |
Bab 1. Pendahuluan: Pengetahuan lokal penting! .......................... | 1 |
Pengetahuan di dalam proses kebijakan ...................................... | 8 |
Jenis-jenis pengetahuan dalam proses kebijakan......................... | 14 |
Hirarki Pengetahuan .................................................................... | 18 |
Sektor Pengetahuan di Indonesia ................................................ | 25 |
Pengetahuan Lokal dalam Pembuatan Kebijakan di Indonesia..... | 26 |
Ragangan Buku Ini ....................................................................... | 29 |
Bab 2. Bentuk-bentuk pengetahuan dan pengaruh kebijakan....... | 33 |
Jenis-jenis pengetahuan dalam pembuatan kebijakan ................. | 34 |
Tipologi pengetahuan .................................................................. | 36 |
Interaksi antara sumber pengetahuan: pengetahuan lokal dan partisipasi masyarakat ................................................................. | 45 |
“Pengetahuan ke Kebijakan” dan pengetahuan lokal ................... | 46 |
Kesimpulan .................................................................................. | 48 |
Bab 3. Pengetahuan lokal dalam pembuatan kebijakan demokratis ...................................................................................... | 51 |
Kajian mengenai makna dan pengetahuan lokal .......................... | 52 |
Pentingnya Pengetahuan Lokal!
Pengambilan kebijakan publik, kekuatan birokrasi dan
pengetahuan lokal ....................................................................... 54
Bekerja secara Politis ................................................................... 57
Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Partisipatif ...................... 62
Kesimpulan .................................................................................. 67
Bab 4. Cerita tentang Pengetahuan Lokal ....................................... 69
Studi Kasus 1: Air bersih untuk semua – Perkumpulan Pikul ........ 69
Studi Kasus 2: ‘Baleo! Baleo! Baleo!’ – Poros Photo .................... 73
Studi Kasus 3: Pranata Mangsa: Ketika pengetahuan tradisional bertemu dengan sains – Pusat Kajian Antropologi, Universitas Indonesia (PUSKA UI)................................................................... 76
Studi Kasus 4: Kedaulatan menangkap ikan di sasi lompa, Haruku
– Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Jakarta ........... 80
Studi Kasus 5: Sungai yang membawa kehidupan di kota
– Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3),
Banjarmasin, Kalimantan Selatan................................................. 84
Studi Kasus 6: Kearifan menghindarkan bencana di Jawa Tengah –
Bandung Institute for Governance Studies (BIGS) ........................ 88
Studi Kasus 7: Menghidupan kembali Keujruen Blang – Pusat
Kajian dan Pendidikan Masyarakat (PKPM), Aceh ........................ 91
Studi Kasus 8: Anugerah dari mawah – Yayasan Kemaslahatan
Umat (YKU), Aceh Besar............................................................... 94
Studi Kasus 9: Tanpa kompromi di Torong Besi – Pusat Studi Politik
dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada (POLGOV UGM) .... 96
Studi Kasus 10: Asuransi tradisional – Lembaga Advokasi HIV/AIDS
(LAHA) ......................................................................................... 99
BAB 5. Kemunculan dan perkembangan pengetahuan lokal 103
Berkembangnya pengetahuan lokal 103
Interaksi dan adaptasi dengan lingkungan sekitar 106
Interaksi antara bentuk-bentuk pengetahuan 110
Lokalitas dan asal usul 113
Kondisi politik-ekonomi untuk melahirkan dan mengelola
pengetahuan lokal 118
Metode dan instrumen untuk mengkodifikasi informasi dan
pengetahuan 123
Metode dan instrumen untuk mengelola informasi dan
pengetahuan 128
Kesimpulan 133
Bab 6. Memanfaatkan pengetahuan lokal dalam penyusunan
kebijakan 137
Bagaimana pengetahuan lokal dikomunikasikan? 137
Siapa yang harus dipengaruhi 146
Konteks politik dalam perubahan dari pengetahuan lokal menjadi
kebijakan 150
Pengaruh berbasis hubungan 150
Pengetahuan lokal sebagai aset pilkada 152
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan tentang penerapan kebijakan 154
Bab 7. Kesimpulan: Memperbaiki kebijakan publik dengan memanfaatkan aset lokal 159
Aset pengetahuan dan strategi 163
Peran baru, aturan baru 167
Melangkah maju: kesempatan yang setara 169
Pustaka 174
Daftar Singkatan
AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BIGS Bandung Institute of Governance Studies
BPJS Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPRK Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Aceh
FAO Food and Agriculture Organization
XXXXX Xxxxxxan Advokasi Tambang
KSI Knowledge Sector Initiative
LAHA Lembaga Advokasi HIV/AIDS
LK3 Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Banjarmasin
MAA Majelis Adat Aceh
P3A Perkumpulan Petani Pemakai Air
PAMSIMAS Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
PATTIRO Pusat Telaah dan Informasi Regional, Jakarta PKPM Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat, Aceh
POLGOV UGM Pusat Penelitian Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada
PUSKA UI Pusat Kajian Antropologi, Universitas Indonesia Rp. Rupiah
UGM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
UI Universitas Indonesia, Jakarta
WALHI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia YKU Yayasan Kemaslahatan Ummat, Aceh
Prakata
Xx. Xxxxxxx XX Xxxxxxxxxx Deputi Menteri bidang Ekonomi, Kementerian Pembangunan Nasional/Badan Perencaaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
K
emajemukan adalah keniscayaan bagi Indonesia mengingat latar belakang sosial yang beragam: suku, ras, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan agama. Sebagai realitas sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat, kemajemukan ini tidak harus dimaknai sebagai kelemahan yang menjadikan Indonesia rentan konflik dan disintegrasi, sebaliknya dapat dijadikan modal dasar untuk mendorong tumbuh- kembang Indonesia untuk menjadi negara yang kuat dan unggul. Semua elemen masyarakat majemuk di Indonesia harus dapat membangun relasi sosial yang harmonis, memperkuat kohesi, serta mengutamakan persamaan—bukan mengeksploitasi perbedaan—untuk mewujudkan persatuan dan keutuhan Indonesia dengan semboyan: Bhinneka Tunggal
Ika.
Kebajikan, pengetahuan dan aspirasi dari masyarakat lokal yang begitu dalam dan tersebar seharusnya menjadi dasar untuk penyusunan dan pelaksanaan kebijakan. Namun sayangnya kebijakan tidak selalu berbasis kebajikan. Harta karun pengetahuan dari masyarakat lokal yang memberikan makna tentang pentingnya sebuah konteks dalam siklus perencanaan tidak selalu dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan. Rujukan kebijakan sebagian besar berasal dari kajian akademis yang seringkali tidak memperhitungkan konteks lokal dan relevansinya dengan kebijakan yang sedang dikaji.
Evaluasi sementara RPJMN 2015-2019 yang dilakukan Bappenas 2016
Pentingnya Pengetahuan Lokal!
dibidang perkembangan ekonomi menunjukkan bahwa dua permasalahan kunci yang menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi adalah rendahnya penyerapan belanja pemerintah dan melambatnya aktivitas sektor swasta; dan dua hal ini terkait dengan hambatan struktural pelaksanaan kebijakan di instansi teknis dan daerah. Pengalaman empiris dari tersendatnya beberapa program unggulan pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur (jalan tol Manado- Bitungmisalnya) juga menunjukkan pentingnya kita untuk memperhatikan tahapan pelaksanaan dilapangan untuk suksesnya sebuah ikhtiar pembangunan.
Bappenas menyambut baik terbitnya buku ini karena sangat relevan untuk menjawab tantangan pembangunan yang semakin kompleks dan untuk memahami peran pengetahuan lokal dalam tahapan-tahapan kritis dalam siklus pembangunan, terutama dalam tahapan pelaksanaan kebijakan seperti telah diuraikan diatas. Kedua, buku ini juga merepresentasikan kerjasama yang baik antara masyarakat sebagai yang empunya pengetahuan, organisasi lokal sebagai pengolah dan pengrajin pengetahuan lokal, dan pemerintah daerah sebagai pelaksana kebijakan publik di wilayahnya masing-masing. Buku ini juga mencerminkan kemitraan antara pemerintah Indonesia (Bappenas) dan pemerintah Australia (DFAT) dalam penguatan proses kebijakan yang berbasis pengetahuan di Indonesia.
Keunggulan buku ini adalah pada penyajian dan pengolahan sepuluh studi kasus mengenai kaitan antara diskursus praktis dan kebijakan sosial, bagaimana pengetahuan lokal diproduksi, dikomunikasikan, dan digunakan untuk mempengaruhi keseluruhan siklus kebijakan. Ditambah dengan rujukan pada literatur yang kaya, buku ini mengajak kita untuk meninjau kembali kasta jenis pengetahuan yang seringkali kita konstruksikan untuk menilai tingkat kehandalan suatu pengetahuan dalam proses pengambilan kebijakan. Melalui penyajian bukti empiris dalam siklus kebijakan di dunia nyata, penulis mampu meyakinkan kita apa arti sebenarnya proses knowledge to policy, siapa yang terlibat dan bagaimana pengetahuan lokal bisa efektif dalam mempengaruhi proses
pengambilan kebijakan publik.
Hipotesis utama dalam buku ini yang menarik untuk didalami adalah bahwa kebijakan pembangunan akan lebih efektif jika merujuk pada berbagai jenis pengetahuan, baik pengetahuan yang dihasilkan dari kalangan akademis, dari kaum profesional, dan pengetahuan lokal. Kebudayaan harus menjadi salah satu modal berharga yang berkontribusi pada pembangunan nasional, dengan menekankan hubungan yang erat dan saling terkait antara kebudayaan dan pembangunan. Dengan rujukan yang komprehensif ini, sebuah kebijakan pembangunan akan lebih efektif karena sudah mengantisipasi kelaikan teknis, dinamika politis dan dimensi sosial-budaya kemasyarakan sebagai lokus dan sasaran akhir pembangunan. Prinsip ini penting dan sangat relevan untuk konteks pembangunan di Indonesia yang sangat beragam. Bappenas berharap agar buku ini dapat berkontribusi untuk mempromosikan penggunaan pengetahuan lokal dalam pembuatan kebijakan di Indonesia
Kata Pembuka
P
ada akhir 2014, Knowledge Sector Initiative (Indonesia) menye- lenggarakan sayembara penelitian dengan mengundang proposal untuk mengkaji kasus-kasus yang menggunakan pengetahuan lokal untuk mempengaruhi kebijakan publik. Ada respon yang luar biasa terlihat dari 500 lebih proposal yang diajukan. Saat itu kami menyadari bahwa ini adalah bidang yang belum banyak digali dan diteliti terkait dengan peran pengetahuan dalam proses pembuatan kebijakan. Kami memiliki dana hanya untuk sepuluh pilot jadi kami melakukan seleksi dengan hati-hati dan hanya memilih yang terbaik. Proposal terpilih datang dari berbagai bidang dan kelompok budaya, ekonomi politik, dan
wilayah geografis di Indonesia.
Dalam suatu konferensi di LIPI pada bulan April 2016, para peneliti menyampaikan studi kasus mereka ke khalayak luas pembuat kebijakan, peneliti dan organisasi masyarakat sipil. Mereka presentasikan kasus yang menarik bahwa pengetahuan bukan hanya studi ilmiah yang dilakukan, tetapi cerita-cerita pengetahuan lokal yang didokumentasikan dengan baik dan dikomunikasikan dengan baik juga sehingga menghasilkan data yang dapat dan memang perlu digunakan oleh pembuat kebijakan untuk implementasi kebijakan yang efektif. Hal ini diakui oleh Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dengan mengutip contoh positif dari penggunaan pengetahuan lokal dalam pembangunan jalan di Sulawesi Utara. Seorang birokrat senior di konferensi LIPI menantang salah satu tim peneliti bahwa mereka sebenarnya tidak memiliki data untuk mendukung temuan mereka. Tim peneliti dengan sangat meyakinkan menyatakan bahwa foto yang mendokumentasikan pengetahuan lokal merupakan sumber pengetahuan, yaitu bahwa setiap foto memuat banyak titik data (data point) yang membantu kita untuk memahami dan
mengkomunikasikan pengetahuan lokal dengan cara yang dapat menjangkau pembuat kebijakan. Mitra lain menunjuk pada jenis data lain seperti penggunaan drama, lagu, dan cerita rakyat. Hal seperti yang membuat kami kemudian menyadari bahwa kita memiliki harta yang luar biasa: sekumpulan kasus tentang bagaimana pengetahuan lokal memainkan peran dalam proses kebijakan dan bagaimana bentuk- bentuk pengetahuan lain ini dapat membantu menciptakan usulan kebijakan. Sementara banyak peneliti kebijakan dan akademisi mencatat pentingnya bentuk pengetahuan lain dalam proses kebijakan, dan hanya sedikit yang menggunakan sumber data kasus yang empiris, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu buku ini disusun.
Kami sangat berhutang budi kepada para peneliti dan lembaga yang mengembangkan studi kasus dan terlibat dalam dialog mengenai peran pengetahuan lokal dalam pembuatan kebijakan. Kami berterima kasih kepada tim-tim dari Perkumpulan PIKUL di Nusa Tenggara Timur; Poros Photo, untuk karyanya di Nusa Tenggara Timur; PUSKA-UI–Pusat Kajian Antropologi di Universitas Indonesia, untuk studinya di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat; PATTIRO–Pusat Studi dan Informasi Regional, di Maluku Tengah; LK3-- Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, di Kalimantan Selatan; BIGS--Bandung Institute of Governance Studies, untuk pekerjaan mereka di Jawa Tengah; PKPM-Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat, di Aceh; YKU–Yayasan Kemaslahatan Ummat, di Aceh; POLGOV-UGM–Pusat Penelitian Politik dan Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada, untuk pekerjaan mereka di Nusa Tenggara Timur; dan LAHA–Lembaga Advokasi HIV/AIDS, di Sulawesi Tenggara.
Kami terutama ingin mengucapkan terima kasih kepada masyarakat dan lembaga pemerintah yang membantu para mitra kami menyelesaikan studi mereka sebagai upaya untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan publik. Proses penulisan buku sangat difasilitasi oleh kejelasan dan tingkat detail dalam kasus-kasus tersebut yang memungkinkan kami mengidentifikasi masalah-masalah yang kami sajikan dalam bab-bab di buku ini.
Kami juga berhutang budi kepada peserta di konferensi LIPI, dimana
peneliti mempresentasikan temuan mereka. Minat dan tanggapan peserta telah memicu lahirnya gagasan bahwa kasus-kasus ini memerlukan lebih banyak analisis dan harus mencakupi khalayak yang lebih luas. Kami berharap buku kami dapat mendorong terhimpunnya lebih banyak dana dan dukungan untuk melihat bagaimana semua bentuk pengetahuan dapat bersama-sama menciptakan kebijakan yang lebih baik dalam mendukung pembangunan sosial, dan bahwa pejabat publik di tingkat nasional dan daerah dapat lebih menghargai pengetahuan yang dihasilkan oleh masyarakat.
Sudah sepatutnya pula kami menyampaikan penghargaan tulus kami untuk dukungan dari Bappenas dan Australia Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), yang bersama-sama telah memberi arahan bagi proyek Knowledge Sector Initiative ini dan mendorong terlaksananya gagasan skema hibah dan penulisan buku ini. Dan tentu saja, kami berterima kasih kepada RTI International, pelaksana proyek KSI untuk dukungan mereka dalam upaya ini. Kami berterima kasih kepada tiga reviewer anonim di buku versi Bahasa Inggis yang komentarnya telah menyempurnakan draf awal buku ini secara signifikan. Terakhir, yang juga tidak kalah penting, kami ingin berterima kasih kepada tim editorial dari Policy Press di Universitas Bristol untuk dorongan dan dukungan mereka dalam penerbitan edisi Bahasa Inggris. Sekiranya masih ada kesalahan dalam buku ini, semuanya sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami.
KN, FC, HA
Bangkok, Ottawa, Jakarta
15 September 2018
Bab 1.
Pendahuluan: Pengetahuan lokal penting!
‘Masalah pengetahuan adalah banyak buku tentang burung yang ditulis oleh pakar burung daripada buku tentang burung yang ditulis oleh burung atau buku tentang pakar burung yang ditulis oleh burung.’
(Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxx, 2010: 77)
I
ndonesia, negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan 300 kelompok etno-linguistis, memiliki berlimpah sumber pengetahuan yang dihasilkan dan dikomunikasikan di luar kerangka formal lembaga penelitian. Pengetahuan lokal memperkaya pembuatan kebijakan dengan menyediakan konteks dan memperkuat penentuan sasaran (targeting). Pengetahuan lokal dapat menyalurkan bentuk pengetahuan baru kepada pembuat kebijakan di tingkat daerah dan dapat merevitalisasi budaya tradisional dan cara-cara kebudayaan daerah ini diekspresikan. Sayangnya, kita sering lebih percaya bahwa penelitian ilmiah lebih penting untuk mempengaruhi kebijakan publik. Dalam buku ini kami akan menunjukkan bahwa mengabaikan pengetahuan lokal adalah sebuah kesalahan, karena pengetahuan lokal dapat memainkan peran kunci dalam meningkatkan kualitas kebijakan publik di tingkat baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Tanpa pengetahuan lokal, ilmiah tidak akan efektif mempengaruhi kebijakan. Ada ketidaksepakatan yang luas tentang penggolongan berbagai jenis pengetahuan (Xxxxxxx, 1995; Xxxxxx, 2005). Kami meninjau dan mengambil posisi pada jenis penggolongan yang berfokus untuk membawa pengetahuan lokal tampil
ke permukaan dalam proses kebijakan. Buku ini berusaha mengidentifikasi bagaimana pengetahuan lokal telah dikembangkan dan digunakan dalam proses kebijakan di Indonesia, dan menempatkan pengetahuan lokal bersama dan setara dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain yang mempengaruhi kebijakan publik. Hipotesis kami adalah bahwa upaya mendorong kebijakan publik yang berbasis bukti akan lebih efektif jika semua bagian dari sektor pengetahuan secara aktif terlibat; dan bahwa sektor pengetahuan yang efektif menghasilkan pengetahuan untuk kebijakan akan tercapai jika semua elemen dalam sektor pengetahuan saling terhubung dan berinteraksi secara progresif. Sektor pengetahuan1 yang berkelanjutan didasarkan pada penelitian yang berkualitas tinggi, yang hasilnya dikontekstualisasikan dengan kondisi lokal, dan yang dapat digunakan secara efektif dalam proses pembuatan kebijakan publik. Untuk mengembangkan pilihan kebijakan dalam menghadapi tantangan sosial dan ekonomi yang sedemikian kompleks seperti di Indonesia, pemerintah memerlukan akses ke data yang semakin canggih dan analisis menyeluruh dan mendalam dari berbagai sumber untuk untuk mendukung pembuatan kebijakan. Di samping itu, proses demokratisasi juga telah meningkatkan tuntutan masyarakat sipil untuk keterbukaan yang lebih besar dalam proses pembuatan kebijakan, dan desentralisasi memberi pemerintah daerah ruang untuk bereksperimen dengan solusi kebijakan yang relevan dengan konteks dan kebutuhan lokal. Situasi demikian membuka peluang penting untuk mengintegrasikan pengetahuan lokal dalam proses kebijakan.
Buku ini merupakan upaya untuk mendokumentasikan penggunaan pengetahuan lokal dalam proses kebijakan di Indonesia dan kami berharap buku ini akan berguna bagi para praktisi yang berusaha memahami dan mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam ikhtiar mereka untuk mempengaruhi kebijakan. Pada tahun 2014, Program
1 Yang secara praktis didefinisikan sebagai “bentang kelembagaan pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil yang menyediakan hasil penelitian dan analisis untuk penyusunan kebijakan publik” (AUSAID, 2012, p iii).
Knowledge Sector Initiative (KSI)2 yang berbasis di Jakarta mulai mengeksplorasi pengetahuan lokal dan bagaimana bentuk-bentuk pengetahuan alternatif dapat mempengaruhi dan memperkaya kebijakan publik. Kami mendefinisikan ‘pengetahuan lokal’ sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok orang dalam komunitas atau organisasi tertentu yang diakumulasikan dari waktu ke waktu melalui pengalaman langsung dan interaksi dengan lingkungan sosial dan alam di sekitar mereka. Pengetahuan lokal sering berhubungan dengan subjek yang sama dengan penelitian ilmiah. Namun, pengetahuan lokal memiliki perspektif, makna dan pemahaman yang berbeda yang didasarkan pada konteks lokal dan dibentuk oleh interaksi manusia dengan lingkungan fisik di sekitarnya.
Sebuah skema hibah penelitian kompetitif diumumkan pada akhir tahun 2014. Tujuannya adalah untuk memahami peran organisasi lokal dalam menghasilkan pengetahuan lokal, bagaimana mereka menyalurkan pengetahuan alternatif kepada pembuat kebijakan lokal, mekanisme yang mereka gunakan dan kendala serta peluang yang mereka hadapi. Hal ini dilakukan untuk menangkap dan mempromosikan inovasi dalam proses transformasi pengetahuan-menjadi-kebijakan untuk mendorong munculnya berbagai pemain, keragaman ide, dan sarana baru guna menyediakan informasi bagi pembuat kebijakan. Inovasi juga diharapkan bisa menciptakan ruang untuk dialog atau koalisi aktor-aktor pengetahuan yang baru terkait isu-isu kebijakan publik yang strategis. Skema hibah ini menyasar organisasi masyarakat sipil di Indonesia, organisasi berbasis
2 Program Knowledge Sector Initiative-KSI (xxx.xxx-xxxxxxxxx.xxx/xx/xxxx) adalah sebuah kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk mengembangkan kebijakan pembangunan yang lebih efektif dengan menggunakan penelitian, data, dalam membuat analisis yang lebih baik. Untuk mencapai ini, KSI menggunakan pendekatan sistem dalam cakupan yang luas, yaitu mencakup penguatan penyediaan hasil penelitian yang berkualitas tinggi dan relevan dengan kebijakan (supply), memperkuat kebutuhan akan bukti oleh pembuat kebijakan (demand), dan kemampuan untuk mengkomunikasikan bukti secara efektif di dalam proses pembuatan kebijakan (intermediary), serta mengatasi hambatan-hambatan struktural yang membuat ketiga elemen ini tidak berfungsi secara efektif (enabling environment). Ketiga penulis buku ini bekerja di Program KSI pada saat program ini diluncurkan.
masyarakat, lembaga penelitian kebijakan, dan pusat penelitian berbasis perguruan tinggi yang mempunyai pengalaman langsung dalam penggunaan pengetahuan lokal dalam proses kebijakan publik.
Buku ini didasarkan pada 10 studi kasus yang dipilih secara kompetitif dari sedikitnya 500 proposal yang diterima dari skema hibah ini. Tanggapan yang luar biasa ini menunjukkan minat dan kebutuhan akan dukungan bagi penelitian tentang pengetahuan lokal. Kasus-kasus ini dipresentasikan pada sebuah konferensi di Jakarta pada bulan April 2016, dan kemudian digubah menjadi buku ini oleh para penulis, yang semuanya bekerja di KSI pada saat itu.
10 studi kasus (disajikan secara lebih rinci dalam Bab 4 hingga 6) adalah:
TUJUAN KEGIATAN
ORGANISASI/ TEMPAT
Perkumpulan PIKUL
Timor, Nusa Tenggara Timur
Untuk mengeksplorasi cara-cara efektif dalam melakukan pengelolaan
air berbasis masyarakat
Penelitian partisipatif dan dokumentasi untuk mempelajari pengelolaan sumberdaya air berbasis
masyarakat di pulau Timor yang mampu mempertahankan pendekatan tradisional dan modern. Syarat mencapai keberhasilan pengelolaan
sumberdaya air dari masyarakat dipetakan melalui kegiatan ini yang juga merupakan contoh nyata bagaimana sumberdaya telah berhasil dikelola dengan baik.
Poros Photo Lembata, Nusa Tenggara Timur | Untuk melakukan studi etnografi visual guna meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional di Nusa Tenggara Timur | Mendokumentasikan dan mensistemasikan cakupan kearifan lokal berbasis desa di kalangan masyarakat nelayan ikan paus di pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, dan bagaimana mereka terkait dengan kebijakan sosial dan program pemerintah daerah. |
PUSKA UI | Untuk | Para pembuat kebijakan bahwa, |
(Pusat Kajian | meningkatkan dan | di tengah perubahan iklim |
Antropologi, | memperbaharui | yang sedang berlangsung, |
Universitas | pengetahuan | pentingnya menggabungkan |
Indonesia) | empiris tradisional | pengetahuan tradisional |
Xxxxxxxxx, Jawa | petani untuk | petani dengan pembelajaran |
Barat dan Lombok | merespon | agro-meteorologi. Studi ini |
Timur, Nusa | perubahan iklim | juga mendokumentasikan |
Tenggara Barat | dengan lebih baik | bagaimana pengetahuan ilmiah |
dan lokal saling melengkapi satu | ||
sama lain. | ||
PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) Haruku, Maluku Tengah | Untuk meningkatkan kontribusi pengetahuan lokal dalam kebijakan terkait sumberdaya maritim | Tradisi sasi yaitu praktik berbagi sumberdaya dalam pengelolaan sumberdaya maritim di Maluku Tengah. Sasi adalah tradisi pengetahuan lokal masyarakat adat di pulau Maluku yang memanfaatkan sumberdaya alam dan menjaga kelestarian lingkungan. |
LK3 | Untuk | Mendorong dan mendukung |
(Lembaga Kajian | merevitalisasi | pemerintah Kota Banjarmasin |
Keislaman dan | budaya konservasi | di Kalimantan Selatan untuk |
Kemasyarakatan) | sungai guna | mempertimbangkan pelestarian |
Banjarmasin, | beradaptasi dengan | sungai dan budaya sungai |
Kalimantan | perubahan iklim | melalui kebijakan revitalisasi |
Selatan | melalui advokasi | sungai, untuk mendukung |
kebijakan dan | dan meningkatkan partisipasi | |
pembangunan | masyarakat dalam revitalisasi | |
perkotaan | budaya sungai. Studi ini juga | |
mendokumentasikan hubungan | ||
antara pengetahuan agama dan | ||
pengetahuan tradisional. | ||
BIGS | Untuk | Memahami peran pengetahuan |
(Bandung Institute | mempromosikan | lokal yang digunakan dalam |
for Governance | pengetahuan lokal | konservasi hutan berbasis |
Studies) | yang relevan untuk | masyarakat di masyarakat yang |
Kendal, Jawa | konservasi Hutan | tinggal di hutan pegunungan, |
Tengah | Gunung Pakis | dan untuk membangun |
di Kendal, Jawa | konservasi hutan masyarakat | |
Tengah | berdasarkan pengetahuan lokal. | |
PKPM | Untuk | Mengidentifikasi nilai-nilai |
(Pusat Kajian | merevitalisasi | lokal di masyarakat petani di |
Pendidikan dan | nilai-nilai lokal dan | Kabupaten Aceh Besar melalui |
Masyarakat) | peran Keujruen | studi tentang keberadaan, |
Aceh Besar, Aceh | Blang, lembaga | peran dan fungsi aktor adat dan |
tradisional di Aceh | institusi Keujruen Blang, serta | |
Besar | mekanisme tradisional dalam | |
pembagian sumberdaya. |
YKU (Yayasan Kemaslahatan Ummat) Aceh Besar, Aceh | Untuk melakukan studi tentang peran mekanisme keuangan tradisional mawah dalam mendukung mata pencaharian masyarakat rentan di Aceh Besar | Menganalisis keunggulan komparatif dari sistem bagi hasil tradisional (mawah) dan bagaimana sistem ini dapat berkolaborasi dengan layanan keuangan formal dan informal lainnya yang ada di masyarakat pedesaan di Kabupaten Aceh Besar. |
POLGOV UGM | Untuk memperkuat | Untuk menjembatani, |
(Research Centre | pengetahuan lokal | mendorong dan |
for Politics and | dalam mengelola | memberdayakan pengetahuan |
Government, | sumberdaya alam | lokal yang digunakan untuk |
University of | menggunakan studi | mempengaruhi pembuatan |
Gadjah Mada, | kasus penolakan | kebijakan dalam pengelolaan |
Yogyakarta) | petani terhadap | sumberdaya ekstraktif. |
Belu and | pertambangan | Kegiatan ini memfasilitasi |
Manggarai, Nusa | dan mendokumentasikan | |
Tenggara Timur | beberapa mekanisme lokal | |
yang digunakan dan dilestarikan | ||
oleh masyarakat dalam | ||
menghasilkan pengetahuan | ||
yang berkaitan dengan | ||
pengelolaan sumberdaya. |
LAHA Untuk Kegiatan ini bertujuan untuk (Lembaga mengembangkan membantu masyarakat untuk Advokasi untuk model asuransi membiayai layanan kesehatan HIV/AIDS) berbasis masyarakat melalui sistem Konawe Selatan, masyarakat asuransi tradisional yang Sulawesi Tenggara menggunakan terinspirasi oleh nilai-nilai lokal
pengetahuan di Konawe Selatan, Sulawesi lokal dari Sulawesi Tenggara. Rencana jangka Tenggara panjang adalah membentuk
Badan Manajemen Asuransi Kesehatan berbasis masyarakat.
Buku ini didasarkan pada pengalaman pribadi dan riwayat keahlian para penulisnya, digabungkan dengan pengetahuan yang diperoleh melalui 10 studi kasus yang disebutkan diatas. Kasus-kasus tersebut sangat beragam, baik lokasi maupun isinya. Ada yang dari Aceh, Jawa, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan dan Maluku (lihat Peta di halaman berikutnya). Kasus-kasus ini membahas pengelolaan hutan, sumberdaya air, manajemen sumberdaya maritim, layanan keuangan, penolakan terhadap penambangan, dan topik masyarakat lainnya. Kasus-kasus ini menyajikan bentuk-bentuk pengaruh di berbagai ranah. Kita akan belajar tentang manfaat pendokumentasian praktik-praktik tradisi pengelolaan hutan dalam mengurangi erosi, upaya untuk merevitalisasi tradisi budaya sungai, dan pentingnya puisi dan lagu dalam mendidik masyarakat tentang konservasi dan pelestarian.
Pengetahuan di dalam proses kebijakan
Buku ini akan dimulai dengan sedikit penjelasan mengenai apa yang kami maksud dengan proses kebijakan dan pembuatan kebijakan berbasis bukti, yang terkait dengan konteks yang lebih luas yaitu hubungan pengetahuan dalam pembuatan kebijakan (Xxxxxx, 2006; Xxxxxx, 2009; Xxxxxxxxxx dan Xxxxxx, 2012). Penggambaran yang paling umum dari proses “pengetahuan-menjadi-kebijakan” (“knowledge-to-
policy”) ini adalah sebagai suatu siklus (lihat Gambar 1) dan di dalamnya ada para pembuat kebijakan yang membutuhkan bukti; perantara-analis kebijakan, lembaga penelitian kebijakan – yang menyusun pertanyaan penelitian; jika diperlukan penelitian baru, peneliti akan memproduksinya, jika tidak mereka menyediakan perantara dengan bukti; dan perantara pada gilirannya menafsirkannya kembali ke pembuat kebijakan dengan cara mereka dapat menggunakannya untuk tujuan khusus mereka. Kadang-kadang hubungan langsung dapat dibuat antara peneliti dan pembuat kebijakan, tetapi model yang lebih umum menggunakan perantara, dan ini sebetulnya mencerminkan ketidakmampuan di kalangan peneliti untuk berkomunikasi secara efektif dengan para pembuat kebijakan.
Lembaga Penelitian (Penyedia Bukti)
Perantara
Perantara
Pembuat Kebijakan (Sisi Permintaan)
Gambar 1. Siklus sederhana pengetahuan-menjadi-kebijakan
Namun, dalam kenyataannya, prosesnya tidak sederhana, dan bukan merupakan siklus yang rapi. Banyak faktor politik, sosial dan ekonomi ikut berperan, dan jarang ada pengaruh langsung dan murni dari pengetahuan terhadap kebijakan. Gambar 1 mengasumsikan bahwa permintaan berasal dari pembuat kebijakan, sementara peneliti memenuhi permintaan dan orang dengan keterampilan mediasi dan komunikasi memastikan pembuat kebijakan mengerti sehingga mereka dapat menggunakan bukti. Ini adalah model yang mengabaikan sebagian besar faktor eksternalitas: apakah bukti itu mengganggu relasi kuasa pembuat kebijakan? Apakah itu sesuai dengan nilai-nilai dan kepentingan partai politik yang sedang berkuasa? Penelitian mengenai isu kebijakan seringkali menunjukkan bahwa masalah kebijakan “ditemukan” melalui penelitian terlebih dahulu dan kemudian dibawa ke proses kebijakan, namun demikian, hal-hal yang mempengaruhi proses kebijakan tidak hanya hasil penelitian yang bersangkutan. Ada banyak titik pijak yang perlu diperhitungkan dalam menilai sejauhmana pengaruh sebuah bukti
terhadap proses pembuatan kebijakan (Xxxxxx, 2009). Lebih lanjut, model sederhana ini mengasumsikan serangkaian hubungan yang bersih dan sederhana, padahal sebenarnya sering ada banyak aktor yang berperan baik secara langsung maupun tidak langsung. Perantara yang menafsirkan mungkin juga memiliki bukti dan kepentingan untuk menampilkan diri; masyarakat lokal, seperti halnya birokrat, pemimpin agama dan lain-lain juga memiliki pengetahuan.
Penyusunan
Kebijakan
Pengaturan
Agenda (Kebijakan)
Pengambilan
Keputusan
Monitoring dan
Evaluasi
Implementasi
Kebijakan
Masyarakat
Sektor Swasta
Kementerian dan Lembaga
Peneliti
DPR/DPRD
Mitra Pembangunan
Kabinet
Pemerintah Daerah
Gambar 2. Siklus pengetahuan-ke-kebijakan ditinjau kembali. Digunakan dengan izin dari Overseas Development Institute (ODI).
Walaupun kerumitan ini semakin hari semakin disadari, masih ada kecenderungan untuk menerima asumsi dasar bahwa pengetahuan yang dapat mempengaruhi kebijakan publik adalah pengetahuan ilmiah. Kami berangkat dengan suatu ikhtiar untuk menunjukkan bahwa ini adalah pandangan sempit yang mengabaikan realitas mengenai bagaimana pengetahuan dihasilkan dan digunakan. Tanpa memandang pengetahuan secara lebih luas seperti ini, pengetahuan ilmiah dapat jatuh di telinga yang tidak bisa mendengar. Proses kebijakan bukanlah proses yang rapi
dan bersih seperti Gambar 1. Sebaliknya, prosesnya lebih tidak beraturan seperti Gambar 2., dimana didalamnya terlihat banyak aktor dengan beberapa proposisi nilai dan basis pengetahuan yang berbeda yang saling berinteraksi dalam proses yang pada akhirnya mengarah pada perumusan kebijakan.
Ini berarti bahwa peran bukti dan pengetahuan tidak hanya (atau terutama) terkait pada proses teknis. Dalam proses teknis, seperti membangun jembatan, pengetahuan tentang konstruksi dan keselamatan jembatan mempengaruhi desain dan proses konstruksi secara langsung. Pengetahuan yang diterapkan pada proses kebijakan sangat berbeda. Alih-alih berdiri di atas kelebihannya sendiri, pengetahuan harus berinteraksi dan bersaing dengan nilai-nilai politik dan keyakinan budaya. Seperti ditulis oleh Xxxxxxxxx (2017: 66), ‘dengan memandang pembuatan kebijakan sebagai sesuatu yang ditentukan oleh persaingan atas kepentingan dan keyakinan, dan memahami proses kebijakan sebagai arena tempat terjadinya persaingan kepentingan, maka pemahaman kita atas apa yang disebut sebagai bukti akan berbeda secara fundamental (sisi politis dari bukti). Selanjutnya ia juga menyatakan bahwa kita ‘seharusnya tidak terkejut ketika suatu bukti dimanfaatkan oleh suatu kelompok kepentingan yang mendorong suatu kebijakan tertentu untuk memenuhi kepentingan mereka. Hal seperti ini bukan suatu fenomena yang mengejutkan atau dianggap sebagai suatu hal yang menyimpang’. (Xxxxxxxxx, 2017: 67). Pengetahuan digunakan (sering secara selektif) untuk mendukung suatu pendapat atau sudut pandang yang sudah ditentukan. Mantan ketua sebuah lembaga think tank pemerintah Australia yang paling tersohor menyebut proses ini sebagai “kekuatan energi politis, kepentingan pribadi, dan lobi” (Banks, 2009: 9). Xxxxx Xxxxx menyebut ini sebagai ‘perkolasi (penyaringan)’ bukti (Xxxxx, 1979). Seperti yang akan dibahas dalam Bab 3, pengaruh kebijakan diperkuat ketika pengetahuan ilmiah, profesional dan lokal bekerja bersama, dan menghasilkan pengaruh kolektif.
Pembuatan kebijakan terkait erat dengan implementasi kebijakan. Dalam berbagai tinjauan literatur mengenai implementasi kebijakan,
Najam (1995) menyatakan bahwa kebijakan dibuat di tempat kekuasaan berada (bisa di tingkat nasional, provinsi atau lokal). Dan kebijakan- kebijakan ini sering diterapkan pada tingkat lain, dalam konteks dan kondisi yang berbeda. Jadi, implementasi kebijakan adalah tentang mengelola ketegangan antara keharusan yang dimandatkan dalam suatu kebijakan, dengan sumber daya yang ada, dan dengan lingkungan tempat masyarakat yang disasar sebagai penerima manfaat kebijakan. Perumusan kebijakan pada tingkat pengambilan keputusan tertinggi, dan implementasi kebijakan di lapangan, tidaklah selalu sinkron.
Situasi yang sudah menantang ini semakin rumit ketika sebuah kebijakan itu sendiri seringkali hanyalah suatu reaksi untuk menunjukkan seolah-olah ada perubahan, padahal niatan sebenarnya adalah mempertahankan status quo. Gaya “seolah-olah ada perubahan” dengan meniru perubahan ditempat lain disebut sebagai “isomorphic mimicry” yang didefinisikan oleh Xxxxxxxxx, Xxxxxxxx dan Xxxxxxx (Xxxxxxxxx et al, 2010; Xxxxxxx et al, 2012) sebagai proses tempat reformasi kebijakan hanya dilakukan di atas kertas (mementingkan bentuk formal) dan tidak terlalu peduli pada fungsi. Artinya, tidak ada perubahan nyata yang terjadi dalam hal-hal yang dilakukan, meskipun kebijakan baru diberlakukan sebagai tanggapan terhadap tekanan eksternal. Kebijakan, baik berdasarkan beberapa bentuk pengetahuan atau keyakinan dan nilai, tidak diimplementasikan dan pada akhirnya menyia-nyiakan sumberdaya negara (sambil melindungi kepentingan sebagian orang), dan malah menghambat terjadinya pembangunan sosial dan ekonomi yang efektif.
Sebuah contoh bagus terkait tantangan yang dihadapi pengetahuan
- dan bahaya memaksakan pemahaman yang dominan tentang pengalaman lokal - adalah buku terbaru, Papua versus Papua (Suryawan, 2017), sebuah buku tentang provinsi paling timur Indonesia. Argumen penulis adalah bahwa ada dua ‘Papua’: satu Papua mainstream (arus utama), seperti yang digambarkan dalam literatur akademik (awalnya referensi dari luar Indonesia, namun akhir-akhir ini ada juga literatur dari Indonesia), dan yang lain sebagai Papua sebagaimana dialami, hidup dan
didefinisikan oleh orang-orang di Papua. Penulis berpendapat bahwa citra akademis tentang Papua selama beberapa dekade telah dibumbui oleh etnosentrisme, orientalisme dan pada akhirnya imperialisme. Alasan mengapa pertanyaan mendasar tentang Papua (the Papua Question)’ masih belum terselesaikan setelah lebih dari 50 tahun adalah bahwa pemerintah pusat terutama mengacu pada citra mainstream dan imperial Papua, dan tidak memahami apa yang sedang terjadi di lapangan. Dengan demikian, hal ini memberikan pandangan naif tentang modernisasi Papua tanpa memperhatikan konteks lokalnya, atau membuat keputusan kebijakan yang salah.
Ini adalah bagian dari masalah yang lebih besar. Dalam sebuah buku yang berpengaruh dalam penelitian soal kepribumian (indigenous research),Xxxxxxx Xxxxx (1999) berpendapat bahwa etnosentrisme dan romantisme adalah umum dalam studi Barat tentang masyarakat adat, dan sering mengarah ke salah tafsir melalui orientalisme (Said, 1978). Kebudayaan Barat menjadi norma dan masyarakat lain ditafsirkan berdasarkan norma tersebut. Seperti yang akan kita diskusikan, ini adalah salah satu keterbatasan sumber pengetahuan ‘ilmiah’, yang didasarkan pada positivisme (non-pribumi). Apa yang kami utarakan di sini adalah bahwa kepercayaan dan pengalaman hidup dari sebuah masyarakat - pengetahuan lokal - perlu melengkapi dan mungkin bahkan dijadikan titik awal untuk penelitian tentang budaya dan masyarakat lokal.
Jenis-jenis pengetahuan dalam proses kebijakan
Pengetahuan lokal adalah salah satu dari tiga jenis pengetahuan utama yang mempengaruhi kebijakan publik (Gambar 3). Seperti halnya klasifikasi dalam ilmu-ilmu sosial, batas antara jenis-jenis pengetahuan bersifat tidak kaku, dan tidak ada yang secara eksklusif hanya memuat satu jenis pengetahuan saja. Yang paling dipahami dan paling umum adalah penelitian akademis dan pengetahuan ilmiah. Meskipun sering implisit, penelitian akademis ‘sarat dengan asumsi budaya, ras, gender, politik dan kelas’ (Xxxxxx dan Xxxxxxxx, 2004: 208). Memberikan peluang
untuk jenis pengetahuan lain berkontribusi dalam pembuatan kebijakan dengan sendirinya merupakan proses demokratisasi yang menyiratkan partisipasi dari kelompok yang lebih luas dan aktor-aktor yang sah untuk menghasilkan informasi. Karena bentuk-bentuk pengetahuan lain sering menggunakan sarana komunikasi yang berbeda daripada penelitian akademis, pengetahuan ini sering dapat menangkap makna yang berbeda (Xxxxxx dan Xxxxxxxx, 2004; Xxxxxx, 2002). Meskipun hal ini pada umumnya dapat dilihat sebagai sesuatu yang menguntungkan, mengkomunikasikan pengetahuan ini dengan pembuat kebijakan akan menimbulkan berbagai tantangan. Pejabat mungkin lebih suka model komunikasi yang terkait dengan penelitian akademis karena dianggap sah untuk dijadikan dasar pembuatan keputusan. Selanjutnya, kelompok yang menyediakan pengetahuan lokal atau profesional mungkin memiliki kedudukan berbeda di mata pembuat kebijakan, mengingat identitas politik dan posisi mereka di dalam konteks sosial lokal, dan ini berbeda dengan perspektif mereka mengenai peneliti yang dianggap menawarkan informasi yang lebih ‘obyektif’ (Xxxxxx, 2002). Karena itu penting untuk memahami bagaimana pejabat dapat menerima sumber pengetahuan lain, dan bagaimana mereka memilih untuk menggunakannya. Bab 2 menyajikan penyelidikan lebih dekat dari jenis pengetahuan yang ditunjukkan pada Gambar 3, yaitu: pengetahuan ilmiah, pengetahuan profesional dan pengetahuan lokal.
Pengetahuan Ilmiah
Eksperimental
Semi- Eksperimental Studi Kasus
Pengetahuan Professional
Birokrasi Perantara
Aktivis
Pengetahuan Lokal
Warga Agama Budaya Pengalaman
Gambar 3. Jenis-jenis pengetahuan dan ruang pengaruh kebijakan.
Di dalam buku ini, tipologi mengacu pada sumber dan metode produksi pengetahuan yang berbeda walaupun diakui ada beberapa batas yang tumpang tindih di antara jenis-jenis pengetahuan ini. Konsep ini berbeda dengan kategorisasi lain/bukti yang didasarkan pada kegunaannya. Sebagai contoh, manajemen berbasis bukti, yang lebih fokus pada berbagai jenis bukti yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan (Xxxxxx, Xxxxxx, dan Xxxxxxxx 2009: 22) atau konsep Xxxxxxxxx tentang unsur-unsur tata kelola bukti yang baik (Xxxxxxxxx, 2017: 123).
Memahami dan menggunakan berbagai bentuk bukti merupakan kekuatan yang dapat membantu saat bernavigasi di medan ekonomi- politik yang berbahaya. Seperti yang Najam katakan, karena ada banyak aktor yang beroperasi di berbagai tingkat sistem dan dalam konteks yang berbeda, ‘aktor harus menjadi unit analisis’ (Najam, 1995: 32) untuk memahami pembuatan kebijakan dan implementasinya. Buku ini akan mengeksplorasi peran pengetahuan lokal dalam proses tersebut dan menunjukkan bahwa pengetahuan lokal adalah alat yang kuat dalam meningkatkan kualitas kebijakan dan pelaksanaannya, karena
pengetahuan lokal dapat membawa lebih banyak aktor ke dalam proses pembuatan kebijakan. Kami sepenuhnya mengakui poin yang disampaikan oleh Xxxxxxxxx (2017) bahwa bukti mana yang akhirnya muncul ke permukaan atau dipilih dalam penyusunan kebijakan adalah soal pilihan politik. Kami berpendapat, walaupun demikian, bahwa pilihan politik dapat berubah dan dapat dipengaruhi oleh aktor dalam sistem jika mereka sadar akan dimensi politik dari keputusan yang akan diambil dan dapat mengidentifikasi cara dan sarana untuk membawa bentuk pengetahuan lain untuk dapat juga dipertimbangkan. Buku ini mencoba membangun pemahaman tentang bagaimana hal itu terjadi melalui analisis kasus-kasus dari seluruh Nusantara, menyoroti pentingnya dan potensi pengetahuan lokal, sesuatu yang sering disebutkan dalam literatur kebijakan (misalnya, Xxxxxxxx, 1990) tetapi jarang dieksplorasi secara mendalam. Banyak literatur internasional termaktub dalam pandangan Xxxxxxxxx (2012: 153) bahwa, ‘hanya ada sedikit, hampir tidak ada bukti bahwa sistem pengetahuan lokal telah disertakan secara berarti dalam pengembangan kebijakan publik’. Pada saat yang sama, ada pengakuan yang berkembang tentang potensi pengetahuan lokal untuk berkontribusi, dan upaya-upaya sedang dilakukan untuk mencari tahu bagaimana caranya hal ini dilakukan (FAO, 2004; Nordic Council of Ministers, 2015; Thaman et al, 2013; World Agroforestry Centre, 2014; Xxxxxxx et al, 2015).
Karena dihasilkan melalui pengulangan dan adaptasi dalam praktik sehari-hari, pengetahuan lokal sangat relevan untuk kehidupan masyarakat. Namun, karena konteksnya yang spesifik-lokal, penggunaan pengetahuan lokal untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan publik mempunyai banyak tantangan, karena cakupan kebijakan publik ditujukan untuk masyarakat luas dan jarang membahas konteks tertentu. Pengetahuan lokal, seperti juga bentuk-bentuk pengetahuan umum lainnya, paling efektif jika kita mengakui bahwa berbagai bentuk pengetahuan berinteraksi untuk mempengaruhi kebijakan. Masyarakat jarang bertindak berdasarkan satu jenis pengetahuan saja. Sebaliknya, pengalaman hidup mereka menggabungkan (baik ke tingkat yang lebih
besar atau lebih rendah) pengetahuan lokal, profesional dan ilmiah. Dan walaupun sebagai akademisi dan ilmuwan kami sendiri sepenuhnya setuju dengan panel ilmuwan sosial terkemuka yang mengedepankan menekankan pada pentingnya ilmu pengetahuan, dan khususnya ilmu sosial, dan bahwa ilmu-ilmu ini harus digunakan dengan lebih baik dalam pembuatan kebijakan publik (National Research Council, 2012), kami tidak percaya bahwa ini dapat dicapai tanpa pemahaman yang lebih baik tentang cara-cara lain untuk mengetahui sesuatu dan bentuk-bentuk pengetahuan lain yang dapat digunakan untuk mempengaruhi kebijakan dan pembuat kebijakan.
Hirarki Pengetahuan
Pengetahuan berkembang dalam bentang hirarki tanpa bisa dibendung dan melalui berbagai cara mencari jalan agar dapat memberikan pengaruh pada kebijakan (Gambar 4). Bentang hirarki pertama terkait anggapan yang memandang bentuk-bentuk dan domain pengetahuan ilmiah (sering diidentikkan dengan ilmu alam) secara tradisional menempati posisi terdepan; bentuk-bentuk pengetahuan yang bersifat non eksakta (pengetahuan profesional dan lokal) diletakkan di tingkat prestise yang lebih rendah (Xxxxxx, 2009).
Jenis hirarki kedua adalah soal pengaturan kelembagaan bagaimana pengetahuan itu diproduksi. Kredibilitas pengetahuan terkadang disusun sesuai tingkat prestisenya, sumberdaya dan pengaruh lembaga yang menghasilkan pengetahuan, dan tempat mereka berada (di belahan utara atau selatan dunia), bukan oleh kualitas pengetahuan itu sendiri. Di bawah kategori yang sama ini ada hirarki di dalam institusi yang berhubungan dengan pengetahuan, antara profesor dan mahasiswa, antara direktur institut dan staf, antara dosen senior dan yunior dan, yang tidak terlalu terlihat, antara petugas biro administrasi kampus dan dosen.
Jenis hirarki ketiga adalah soal metodologi penelitian yang digunakan. Pengetahuan yang dihasilkan melalui metodologi yang dianggap sebagai ‘standar emas’ (misalnya randomised control trials-atau penelitian
eksperimental) dianggap sebagai puncak hirarki pengetahuan. Pandangan ini kuat dimiliki banyak kalangan, tetapi kami mempertanyakan jenis klasifikasi metodologi penelitian ini dan lebih memilih posisi bahwa metode terbaik adalah yang paling sesuai untuk pertanyaan penelitian terkait. Sebuah laporan dari International Development Research Centre (IDRC) di Canada berpendapat bahwa kualitas penelitian tidak dapat dipisahkan dari relevansi sosialnya (Ofir et al, 2016: 4). Bahkan informasi ilmiah kemungkinan akan diabaikan jika dilihat tidak relevan dengan kebutuhan pembuat keputusan tertentu. Dalam proses ini, mempertimbangkan pengetahuan yang relevan secara sosial dalam penelitian sosial akan meningkatkan relevansi, legitimasi, dan mutu keilmiahan informasi tersebut.
Keempat adalah soal hirarki pengetahuan berdasarkan bentuk- bentuk manifestasinya. Di dunia di mana sains, peradaban, kecerdasan, kearifan, dan pendidikan diukur dalam hal keaksaraan-literasi fungsional dan dokumen tertulis, seperti jumlah buku yang diterbitkan dan publikasi dalam jurnal yang ditelaah sejawat (peer review), pengetahuan lokal dan kearifan lisan akan secara permanen berada tingkat paling bawah dalam hirarki pengetahuan. Ini menghadirkan tantangan bagi masyarakat berbasis pengetahuan lisan seperti Indonesia. Xxxxx Xxxxxxxx (2015) berpendapat bahwa Indonesia selalu akan menjadi kisah sedih yang berkelanjutan mengenai kemajuan peradaban atau kualitas pendidikan jika pengukuran secara eksklusif dilakukan hanya dalam hal kinerja ilmiah3 atau dalam jumlah publikasi akademis (Xxxxxxx, Xxxxxxxxxxxxxxx dan Xxxxxxxxxx, 2016).
3 Dalam pemeringkatan oleh the Programme for International Student Assessment (PISA), sebuah kajian mengenai literasi matematika, ilmu pengetahuan dan membaca dengan responden siswa umur 15 tahun, In 2015, Indonesia mendapat peringkat 62 dari 72 negara yang disurvey.
Gambar 4. Hirarki Pengetahuan dan Pengaruh Kebijakan
Meskipun produksi pengetahuan lokal tidak dapat dihentikan karena pengetahuan lokal menunjukkan bagaimana suatu masyarakat memahami kehidupan, hierarki dan relasi bias saja menjadi hambatan dan disinsentif untuk menggunakan pengetahuan lokal untuk mempengaruhi kebijakan. Hierarki ini menjadi basis status dan otoritas pengetahuan lokal di dalam proses pengetahuan-ke-kebijakan; kredibilitas pengetahuan lokal dalam mempengaruhi kebijakan oleh hirarki ini telah ditempatkan pada tingkat terendah. Dalam situasi ini, pengetahuan lokal nyaris tidak memiliki kemampuan dan kredibilitas sebagai kekuatan yang sah, sehingga pembuat kebijakan publik tidak terlalu berminat mendukung peningkatan pengaruh pengetahuan lokal dalam pembuatan kebijakan. Sama halnya, minat untuk menginvestasikan sumberdaya untuk pengembangan pengetahuan lokal sehingga dapat digunakan oleh pembuat kebijakan juga rendah. Hal ini mungkin dapat dimengerti, mengingat pengetahuan dan kekuasaan terhubung oleh hubungan legitimasi timbal balik - yaitu, pengetahuan melegitimasi kekuasaan dan, sebaliknya, pengetahuan dilegitimasikan oleh kekuasaan (Flyvbjerg 1991). Hubungan simbiotik- saling menguntungkan antara pengetahuan dan kekuasaan ini berimplikasi pada peran perguruan tinggi sebagai mitra politik pembuat kebijakan. Karena perguruan tinggi dan lembaga penelitian lain melegitimasi pengetahuan di mata pembuat kebijakan, pengetahuan lokal mengalami berbagai ketidaksetaraan, yang menghalangi perkembangannya. Ketimpangan ini ditopang oleh hubungan yang tidak setara dengan (dan
di dalam) kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan ekonomi, sosial, politik, lingkungan dan budaya, dan yang memaksakan cara eksklusif membangun pengetahuan lokal. Ketidaksetaraan dalam pengetahuan juga terjadi dalam suatu masyarakat yang di dalamnya gender, usia dan asal etnis mempengaruhi nilai yang diberikan untuk pengetahuan.
Pengetahuan lokal sedang marak di berbagai arena, jadi hierarki ini akan membantu menjelaskan bagaimana pengetahuan lokal menjadi bagian penting dari sektor pengetahuan dan bagaimana kita dapat membangunnya dengan lebih efektif di masa depan. Seperti yang diamati oleh Xxxxx et al (2012), pengetahuan lokal biasanya tidak terlihat. Buku kami ini berupaya untuk mengeksplisitkan sebagian dari pengetahuan itu, dan bagaimana pengetahuan ini dapat mempengaruhi kebijakan publik. Pertanyaannya adalah: Pengetahuan siapa yang harus dianggap penting? Pengetahuan siapa yang seharusnya digunakan dalam proses kebijakan, dan pengetahuan siapa yang tidak digunakan, baik karena tidak dianggap sebagai pengetahuan atau karena dianggap kurang penting? Apa yang ditunjukkan oleh kasus-kasus ini adalah keragaman pengaruh pada kebijakan publik. Jika peran bukti ilmiah telah banyak ditunjukkan, pemahaman tentang peran bukti dan pengetahuan dalam bentuk lain dan potensinya dalam mempengaruhi proses kebijakan publik masih sangat minim, dan pengakuan akan pentingnya menghasilkan pengetahuan secara bersama masih sangat terbatas.
Xxxxxxxx et al (2011: 996) mendeskripsikan produksi bersama (co- production) pengetahuan sebagai, ‘pemicu atau mekanisme institusional yang benar-benar memungkinkan pembelajaran dalam kerangka manajemen bersama’. Mereka melihat konteks di Antartika-Kanada, saat sains tidak dapat mengatasi tantangan tanpa mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam model mereka. Sederhananya, produksi bersama (co-production) adalah produksi bersama pengetahuan baru oleh semua orang dengan beberapa pengetahuan yang berguna untuk berkontribusi, baik itu ilmu pengetahuan, teknologi, pengetahuan profesional atau pengetahuan lokal. Banyak bidang lain, misalnya konferensi di Universiy of York tentang implikasi di Web 2.0 (University of
Xxxx, 2012); Xxxxxx Xxxxxxxx dalam penelitian kebijakan (Xxxxxxxx, 2004); dan penelitian kesehatan terapan (Xxxxxx et al, 2016) mengakui bahwa dalam menangani masalah sistemik dan yang rumit, banyak pemain perlu dilibatkan. Pengetahuan baru yang diperlukan untuk mengelola dalam pengaturan ini membutuhkan masukan yang luas, bukan hanya masukan dari mereka yang disebut ‘pakar’. Ada banyak definisi untuk pemroduksian bersama tetapi semuanya mengacu pada pentingnya mengambil produksi pengetahuan dari tangan para ilmuwan dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan lain yang dibangun oleh masyarakat.
Segala bentuk pengetahuan, termasuk pengetahuan lokal, harus dikelola agar dapat digunakan dalam pembuatan kebijakan. Keragaman sumber pengetahuan adalah salah satu ciri pembuatan kebijakan yang sehat. Pengetahuan lokal yang dihasilkan oleh masyarakat dikodifikasi oleh organisasi masyarakat sipil dan berbasis masyarakat, seringkali melalui lembaga formal yang menampung partisipasi warga negara, atau melalui media massa (Jones et al, 2012). Pengetahuan masyarakat dihasilkan dalam apa yang biasanya disebut masyarakat madani – yakni kumpulan organisasi non-pemerintah (ornop atau LSM) dan kehidupan asosiatif yang memanifestasikan kepentingan dan keinginan warga negara; sekaligus merupakan pelindung terhadap penyalahgunaan kekuasaan publik atau swasta, dan merupakan kendaraan praktis untuk transformasi nilai-nilai sosial, dan sekaligus ruang tempat solusi alternatif untuk masalah sosial dapat dikembangkan dan diperdebatkan (Hall, 2003). Sektor masyarakat-dan pengetahuan yang sehat dan berfungsi baik - membangun hubungan, kerja sama dan komunikasi lintas sektor, lintas perbatasan dan lintas masyarakat. LSM dapat berkontribusi pada pengetahuan lokal dengan menggunakan beragam bukti, meningkatkan kualitas wacana, mengatasi kendala dan tantangan terkait kapasitas, membuka data untuk diperiksa dan berbagi pengetahuan dengan orang lain (Xxxxxx dan Xxxxxxxx, 2013: 2).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kebijakan berbasis bukti masih merupakan tantangan besar, bahkan di negara-negara maju (Xxxxxx, 2009; Xxxxx, 2009; Xxxxxxxxxxxxx, 2011; Xxxxx, 2014).
Pembuatan kebijakan berbasis bukti mulai mendapat perhatian dari pembuat kebijakan saat pemerintahan Perdana Menteri Xxxx Xxxxx di Inggris pada akhir 1990-an, dengan pemerintah dengan mandat reformasi dan modernisasi, berkomitmen untuk mengakhiri politik yang digerakkan oleh ideologi dan menggantinya dengan pengambilan keputusan yang rasional. Namun, Xxxx (2017) dalam artikelnya tentang politik Brexit, Xxxxx dan pasca-kebenaran (post-truth), melaporkan bahwa ideologi dan sentimen masih memiliki pengaruh signifikan terhadap pembuatan kebijakan. Mengingat sifat pembuatan kebijakan yang inheren secara politis, bukti kuat tidak selalu memiliki peringkat tertinggi dalam hirarki pengetahuan. Seperti yang akan kita lihat di Bab 3, hal ini berdampak pada bagaimana pembuat kebijakan menggunakan sumber pengetahuan yang berbeda, dengan bentuk baru pembuatan kebijakan ‘populis’ yang muncul menggunakan lebih banyak bukti ‘realis’ (baca, pasca-kebenaran) untuk usulan kebijakan.
Kami memulai kajian mengenai pengetahuan lokal ini pada tahun 2014. Sejak saat itu, perubahan global telah memperkuat pentingnya menangani pengetahuan lokal dan memastikan integrasi pengetahuan lokal ke dalam proses pengambilan keputusan. Saat ini semakin sulit menggunakan bukti bentuk apa pun dalam menghadapi perubahan- perubahan yang terjadi. Politik memainkan peran utama dan pertimbangan politik seringkali lebih penting daripada apa yang diperlihatkan oleh bukti. Di titik paling ekstrem, politik telah menjadi ‘politik pasca-kebenaran’ (Suiter, 2016). Tetapi kecenderungan ini selalu ada: pembuat kebijakan lebih menghargai bukti politik daripada bukti lainnya. Seruan terhadap emosi, ideologi atau dogma mendominasi, dan bantahan terhadap fakta atau pemeriksaan fakta diabaikan dengan alasan bahwa fakta tersebut sebetulnya hanyalah pendapat. Pada tahun 2016 ada dua contoh di dunia saat opini masyarakat (bercampur dengan politik) bertentangan dengan badan-badan pengetahuan yang dominan: Brexit dan pemilihan presiden Amerika Serikat. Kedua kasus ini mengartikulasikan kontra budaya sebagai reaksi terhadap dominasi elit tradisional. Keduanya memiliki hasil yang mengejutkan para pakar dan
elit penguasa. Harus dicatat bahwa kedua kejadian ini sangat berbeda dari kasus-kasus pengetahuan lokal yang digambarkan dalam buku ini – kedua kejadian ini didasarkan pada kekecewaan, ketidakpercayaan dan ketakutan yang dikooptasi oleh politisi populis - tetapi kedua kejadian ini memberikan argumen untuk mendiversifikasi sumber-sumber pengetahuan kita. Para politisi dan media arus utama, tidak mendengarkan pengetahuan lokal yang dihasilkan masyarakat ini, salah membaca mood publik 2016 dan dengan demikian memungkinkan para pemimpin populis untuk mengklaim dukungan akar rumput. Belajar dari kejadian- kejadian ini, para pembuat kebijakan dan pakar harus menjadi lebih baik dalam menangkap pandangan alternatif dunia.
Kami tidak berpendapat bahwa kita harus mengabaikan bukti atau kepakaran ilmiah, justru sebaliknya. Karena pengembangan kebijakan tidak dapat diprediksi, diperlukan lebih banyak pengetahuan berbasis data dan bukti untuk memberi masukan pada prosesnya, agar dapat dipastikan bahwa keputusan diambil berdasarkan landasan pengetahuan yang kuat. Namun demikian, pengetahuan lokal membantu kita dengan kerangka kerja untuk memahami berbagai dimensi kebenaran dari berbagai sisi.
Selain itu, perencanaan dan pembuatan kebijakan publik yang sebelumnya tertutup harus dibuka dan didemokratisasikan. Ini bukan sekadar mengganti pengetahuan ilmiah atau ilmuan dengan hal lain (lihat Bab 3). Ini adalah tentang memperkaya pengetahuan ilmiah dengan mengikutsertakan sumber dan perspektif lokal. Pengetahuan lokal harus memiliki peran penting dalam pembuatan penelitian yang relevan dengan kebijakan dan memperkaya peran pakar. Pembuatan kebijakan tidak hanya tentang memproduksi dan menggunakan pengetahuan, tetapi juga tentang mempromosikan dialog dan membangun kapasitas. Ini dideskripsikan sebagai panggilan untuk ‘sebuah politik ekologi pengetahuan yang baru dan pluralis,’ (Nandy, 1989: 267).
Lebih dari sebelumnya, kita perlu mempromosikan penggunaan bukti
- semua jenis bukti - untuk mengantisipasi kegagalan pendekatan pasca- kebenaran ke dunia.
Sektor Pengetahuan di Indonesia
Untuk berbagai alasan, Indonesia belum mengembangkan jenis infrastruktur pengetahuan domestik yang ditemukan di banyak negara berkembang (Guggenheim, 2012). Sebaliknya, Indonesia masih sangat bergantung pada bantuan teknis luar negeri untuk membantu mengembangkan opsi kebijakan yang dapat disajikan kepada pengambil keputusan pemerintah tingkat tinggi – dengan menyediakan pengetahuan ilmiah dari para pakar. Alasan utama di balik sektor pengetahuan yang tertinggal adalah warisan pemerintahan Xxxxxxxx (1966-1998) yang memerintah dengan menggunakan sedikit penindasan langsung dan lebih banyak menggunakan mesin administrasi untuk menarik lembaga yang seharusnya independen (seperti universitas dan lembaga think tank) masuk ke dalam orbitnya dan di bawah kendali birokrasi negara (Guggenheim, 2012: 48). Hal ini menghambat kualitas dan pemikiran independen dan akhhirnya tidak ada insentif untuk mendasarkan pembuatan kebijakan pada penelitian dan pengetahuan. Itu melemahkan produksi pengetahuan dari dalam institusi yang menciptakan dan menggunakannya (Guggenheim, 2012: 142). Satu generasi kemudian, warisan ini masih terasa, dengan administrasi yang secara berurat- berakar enggan menyerahkan kekuasaannya. Meskipun universitas negeri yang besar diberikan otonomi pada tahun 2012, para peneliti di perguruan tinggi rata-rata masih dibatasi oleh struktur dan budaya pelayanan sipil yang kaku4, dan para peneliti di perguruan tinggi swasta dan lembaga think tank dibatasi oleh pendanaan yang tidak memadai.
4 Sebagai contoh, aturan rekruitmen aparatur sipil negara (ASN-pegawai negeri sipil) hanya dibuka untuk level yang paling rendah dengan pengalaman kerja yang minimal. Kesempatan bagi orang non-ASN untuk posisi menengah dan senior tidak dimungkinkan. Universitas terkemuka di Indonesia hanya mempromosikan pengajar atau professor dari kalangan ASN internal, bukan berdasar kompetensi yang dibutuhkan. Kandidat dari luar universitas tidak dimungkinkan apalagi dari luar negeri (lihat Nugroho et al, 2016). Hal demikian melanggengkan pandangan sempit (parokialisme) dan memperlemah iklim persaingan. Namun demikian, Undang-Undang yang baru tentang ASN (2014) memperkenalkan model rekruitmen yang berbasis kompetensi yang kompetitif, yaitu dengan berbagai syarat, orang non-ASN bisa ikut dalam proses rekruimen ASN. Butuh waktu untuk aturan ini bisa berdampak secara sistemik.
Meskipun telah ada perbaikan dalam beberapa tahun terakhir, kinerja sektor pengetahuan Indonesia berkinerja berada di bawah negara- negara lain dengan kedudukan ekonomi yang sebanding dalam hal peringkat perguruan tinggi, jumlah publikasi internasional, atau paten (Guggenheim, 2012; Rakhmani dan Xxxxxxx, 2016; Xxxxxxx, Xxxxxxxxxxxxxxx dan Ruhanawati, 2016).
Namun, ada berita gembira. Generasi baru pembuat kebijakan mulai bermunculan, pembuat kebijakan yang tidak terlatih di bawah musim dingin otoriter yang panjang di Indonesia. Desentralisasi memberikan insentif bagi pemimpin lokal untuk lebih sensitif terhadap konstituen dan realitas lokal, dan demokrasi telah terbuka untuk kontestasi dan akuntabilitas (lihat Bab 3). Yang paling penting, kompleksitas menjadi Middle Income Country di era globalisasi dan dalam lautan ekonomi yang berkembang pesat akhirnya mengejar para pembuat kebijakan utama (termasuk Presiden Xxxx Xxxxxx yang terpilih pada 2014) yang mulai melihat pentingnya berinvestasi lebih banyak dalam ekonomi pengetahuan dan membangun sektor pengetahuan domestik dan beragam. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) terdiri dari para ilmuwan terkemuka yang memberikan saran kebijakan sains independen penting bagi bangsa. Sampai saat ini, AIPI cukup lemah tetapi sekarang mulai memperkuat perannya sebagai penasihat ilmu pengetahuan bagi bangsa. Sebuah ‘SAINS 45: Agenda Sains Indonesia Menyongsong Satu Abad Kemerdekaan (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2017) telah dikembangkan oleh Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan mencakup isu-isu yang berkaitan dengan pengetahuan lokal.
Pengetahuan Lokal dalam Pembuatan Kebijakan di Indonesia
Mixed picture dari sektor pengetahuan di Indonesia ini penting untuk proses knowledge to policy. Studi terbaru tentang perolehan pengetahuan oleh para pengambil keputusan nasional di Indonesia (Datta et al, 2016) menemukan bahwa baik produksi maupun permintaan akan pengetahuan masih rendah. Ketika para pengambil keputusan menggunakan bukti, jenis utama pengetahuan yang mereka pertimbangkan adalah data
statistik, pendapat ahli dan persepsi masyarakat (Datta et al, 2016: 6). Karena aturan pengadaan yang rumit, pembuat kebijakan jarang melakukan penelitian independen. Sebaliknya, mereka membaca laporan statistik, mengatur pertemuan pakar atau mengadakan lokakarya pemangku kepentingan. Apa yang kami sebut ‘pengetahuan birokrasi’ di Indonesia sering merupakan penggabungan dari laporan-laporan ini, pertemuan pakar dan lokakarya.
Penelitian Datta adalah mengenai pembuat kebijakan nasional dan merupakan cerminan akurat dari pembuatan kebijakan di tingkat nasional. Namun, seperti yang akan kita lihat dalam buku ini, ada banyak inovasi di tingkat lokal dimana ada kebijakan yang peka terhadap kondisi lokal diuji. Desentralisasi proses pembuatan kebijakan publik telah menciptakan peluang bagi pengetahuan lokal untuk menginformasikan kebijakan regional. Desentralisasi ‘Big Bang’, yang diperkenalkan pada tahun 2001, telah memberikan lebih banyak ruang bagi pemerintah daerah untuk menafsirkan kebijakan nasional, menyesuaikannya dengan konteks lokal, dan memaksimalkan kebutuhan dan potensi lokal khusus mereka (Xxxxxx dan Hidayat, 2004). Pemilihan yang kompetitif di tingkat nasional dan sub-nasional, diperkenalkan pada tahun 2005, melihat pemimpin terpilih menjadi lebih bertanggung jawab kepada masyarakat, sementara juga memberikan peluang untuk pembuatan kebijakan berdasarkan bukti dan data yang lebih baik dari lapangan.
Dengan desentralisasi, kewenangan pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan yang lebih besar berada di tangan pemerintah daerah. Bagian dari desentralisasi pembuatan kebijakan ini adalah UU Desa No. 6/2014. Undang-undang ini menjadikan masyarakat desa bagian dari proses perencanaan dan penganggaran pembangunan. Dalam keadaan ini, pengetahuan lokal dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik dengan cara yang berbeda. Pertama, pengaruh dihasilkan melalui ‘faktor penarik’, saat tuntutan dari masyarakat disajikan untuk kebijakan spesifik konteks lokal; kedua, pengaruh dihasilkan melalui ‘faktor pendorong’, proses politik yang terjadi saat pengetahuan lokal dapat dikapitalisasi sebagai aset pemilu
dalam politik representasi. Kami akan mendiskusikan kedua-duanya nanti di buku ini.
Meskipun persepsi masyarakat adalah pengetahuan paling umum ketiga yang digunakan oleh pembuat kebijakan nasional, studi Datta menemukan bahwa ketika benar-benar digunakan, tujuan penggunaannya adalah terutama untuk lebih memahami masalah, tidak harus meningkatkan implementasi. Di bab berikutnya, kami membahas secara lebih rinci beberapa tantangan untuk produksi dan penggunaan pengetahuan lokal. Satu masalah di Indonesia adalah tidak terhubungnya birokrat sebagai pembuat kebijakan dan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil yang menghasilkan dan memediasi pengetahuan lokal.
Indonesia memiliki sejarah pengetahuan yang kaya yang diproduksi di luar perguruan tinggi, jika kita melihat di belakang yaitu ke gerakan nasional yang terjadi awal abad ke-20, yang dipimpin oleh para intelektual dan opinion leaders yang mendasarkan otoritas mereka pada pemahaman yang kuat tentang pengalaman hidup. Sebuah tekstur yang kaya dari kelompok dan gerakan sosial telah ada: masyarakat agama, sekolah swasta, asosiasi kredit, kelompok bantuan swadaya saling membantu, organisasi lingkungan, asosiasi pengguna air dan banyak lainnya (Xxxxxxx, xxx Tuijl dan Xxxxxx, 2007). Seperti yang akan kita lihat di Bab 4, saat ini ada partisipasi masyarakat yang tinggi di Indonesia – publik ikut serta melakukan analisis anggaran, pengawasan layanan publik, pemberdayaan masyarakat, bantuan hukum dan advokasi hak asasi manusia. Dalam keterlibatan ini, mereka menghasilkan pengetahuan yang relevan secara lokal. Ada antusiasme dan energi untuk menemukan solusi lokal untuk masalah lokal, dan dalam proses ini menantang paradigma pembangunan dari atas (top-down) dengan solusi teknis yang sudah ditentukan. Ada ribuan kelompok aksi sosial berbasis masyarakat di seluruh Indonesia yang terjadi saat masyarakat yang peduli untuk berkolaborasi untuk memecahkan masalah lokal, dan yang berbagi keinginan untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan dan memastikan dana publik dialokasikan untuk kemaslahatan konstituen mereka (Xxxxxx dan Wetterberg, 2013: 200).
Politik lokal di Indonesia telah dicirikan sebagai kepentingan kelompok pemangsa yang dipelihara di bawah sistem patronase yang dahulu dibangun oleh xxxxx Xxxxxxx, yang sebagian besar masih tetap utuh, meskipun dengan kelas baru, yakni para “penumpang gelap pencari- sewa” (rent seekers) (Hadiz, 2003). Aktivis masyarakat sipil di Indonesia telah dicirikan sebagai ‘demokrat mengambang’ yang melayang di atas, dan tidak mengakar dengan, masyarakat Indonesia, dan dengan demikian tidak dapat memperoleh legitimasi masyarakat dan mengumpulkan basis luas yang cukup untuk memobilisasi dukungan atau pengaruh politik (Xxxxxxx dan van Diermen, 2000) ; Xxxxxxx, Samadhi, Xxxxxxxxx et al 2007). Demokrasi yang terkompromi yang muncul sebagai akibatnya tidak memberdayakan masyarakat biasa, karena ruang terbuka melalui bentuk desentralisasi demokratis ini ditangkap oleh berbagai bentuk “predatory interest” (Hadiz, 2003) atau “bad guys” (Xxxxxxxxx, 2002).
Desentralisasi politik dan ekonomi yang diperkenalkan pada awal tahun 2000 telah berkontribusi pada marjinalisasi kepentingan masyarakat lokal (Xxxxxxxx dan Xxxxxxxx, 2010; Xxxxxxxx, 2016). Namun, hal itu juga menciptakan peluang baru untuk mengadopsi pengetahuan lokal dalam proses kebijakan publik. Desentralisasi, menurut Xxxxxx, Kok dan Xxxxxxx (2016), telah meningkatkan penerimaan para pembuat kebijakan daerah terhadap pengetahuan lokal saat pengetahuan lokal disajikan sebagai aspirasi lokal (aspirasi lokal) dan dikodifikasikan sebagai aset suara untuk pemilu. Proses desentralisasi saat ini dan peningkatan demokrasi politik di Indonesia juga mengabaikan aspirasi dan pengetahuan lokal. Hal ini terjadi karena kepala pemerintah daerah dan anggota DPRD, yang seharusnya bertanggung jawab kepada masyarakat melalui pemilihan umum, malah lebih bertanggung jawab kepada partai politik.
Ragangan Buku Ini
Buku ini akan fokus pada proses dan mekanisme bagaimana
pengetahuan lokal:
• Diproduksi
• Dikomunikasikan
• Berinteraksi dengan bentuk pengetahuan lain
• Diterima oleh pembuat kebijakan dan dapat digunakan untuk
mempengaruhi kebijakan.
Bab 2 adalah tentang berbagai bentuk pengetahuan yang dijelaskan pada Gambar 3: pengetahuan ilmiah, profesional dan lokal, dan bagaimana mereka berinteraksi. Kami akan menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah dan profesional sering diistimewakan, sehingga menyederhanakan dan mungkin merusak proses kebijakan. Proses kebijakan mencakup banyak aktor, yang beroperasi pada berbagai tingkat sistem, dalam konteks yang beragam. Mempengaruhi proses itu berarti memahami berbagai basis pengetahuan yang sedang dimainkan di antara para pelaku ini dan menggunakannya untuk mengidentifikasi dan menentukan opsi-opsi kebijakan yang akan beresonansi dengan mereka yang pada akhirnya harus menerapkannya. Pilihannya mungkin beresonansi karena alasan politik (seperti tekanan publik), alasan berbasis nilai, atau alasan ekonomi dan sosial. Tidak ada satu alasan terbaik dan tidak ada pendekatan terbaik. Peluang terbaik untuk sukses dalam mempengaruhi proses kebijakan terletak dalam memahami berbagai bentuk pengetahuan yang sedang bermain dan mampu bekerja dengan mereka, idealnya dalam beberapa bentuk produksi bersama, untuk meningkatkan kebijakan dan pelaksanaannya. Proses kebijakan diperkaya ketika berbagai bentuk pengetahuan digunakan; agar pengetahuan lokal ini menyajikan peluang untuk memperluas jangkauan dan relevansinya.
Bab 3 menawarkan kerangka pikir untuk memahami kasus-kasus penggunaan pengetahuan lokal di Indonesia. Bab ini menggali secara lebih mendalam tentang pentingnya pengetahuan lokal dalam pembuatan kebijakan secara demokratis. Berdasarkan argumen bahwa pengetahuan lokal bersifat politis, kita melihat bagaimana pengetahuan ini memainkan peran kunci tidak hanya dalam perumusan kebijakan tetapi juga dalam implementasinya. Pengetahuan lokal dihasilkan oleh masyarakat dalam percakapan dan forum sehari-hari, sering
diartikulasikan dalam masyarakat sipil dan partisipasi rakyat. Kami berpendapat bahwa pengetahuan lokal adalah prasyarat untuk demokratisasi pembuatan kebijakan dan peningkatan kebijakan publik. Peran baru dari ‘pakar’ adalah untuk mendukung masyarakat untuk memahami opsi kebijakan, dan untuk menyediakan arena bermain yang setara dan peluang untuk demokrasi deliberatif secara lebih umum. Para pakar juga membantu masyarakat memahami dan mendiskusikan isu-isu kompleks yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Bab 4 memperkenalkan 10 studi kasus lokal untuk memberikan nuansa kekayaan pengalaman lokal. Bab ini berfokus pada pendekatan, pencapaian, dan tantangan dalam mendukung dan memahami kasus- kasus pengetahuan lokal: bagaimana pengetahuan lokal dihasilkan, dikelola, dan digunakan secara real time oleh masyarakat setempat dan LSM dukungannya.
Dua bab berikut akan menggunakan studi kasus ini untuk memperkaya
argumen yang disajikan dalam Bab 1 hingga 3.
Bab 5 berfokus pada produksi dan manajemen pengetahuan lokal. Ada posisi dan peran yang berbeda dari organisasi dalam menghasilkan pengetahuan lokal: untuk memecahkan masalah, untuk merekomen- dasikan cara alternatif untuk memecahkan masalah, untuk mengantisipasi potensi masalah dan melestarikan kearifan lokal. Peran-peran yang berbeda ini ditentukan oleh kapasitas organisasi yang berbeda dalam memahami isu-isu lokal dan mengetahui konteks politik lokal, termasuk para pemangku kepentingan terkait. Semua organisasi percaya bahwa kearifan tradisional dan nilai yang hidup di masyarakat harus memiliki tempat dan pengaruh pada peraturan lokal, karena di dalamnya ada suara rakyat dan kekuatan komunal. Dengan menggunakan data dari studi kasus, kami menunjukkan ketika pengetahuan lokal berhasil disampaikan kepada pemerintah daerah sehingga menghasilkan rekomendasi kebijakan; dalam beberapa kasus lain, pekerjaan tersebut hanya mampu berfungsi sebagai peningkatan kesadaran para pemangku kepentingan lokal. Dalam kategori ketiga, beberapa kasus menyajikan pengetahuan lokal yang belum terkait dengan kebijakan lokal, tetapi
telah terbukti berkontribusi terhadap kualitas hidup masyarakat. Di sini, implementasi mendahului perubahan kebijakan, kejadian yang cukup umum ketika masyarakat mengenali nilai perubahan sebelum pembuat kebijakan siap untuk bertindak.
Bab 6 berfokus pada kondisi di mana pengetahuan lokal dapat mempengaruhi kebijakan. Beberapa mitra kami berhasil membangun komunikasi dengan pembuat kebijakan daerah dan mendapatkan tempat dalam wacana kebijakan. Secara umum, kami menemukan bahwa mitra yang berlokasi di tempat pengetahuan lokal berada lebih mampu mengadvokasikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah daerah. Ini tampaknya karena mereka telah membangun hubungan dengan para pemimpin lokal dan mereka memiliki reputasi organisasi yang kuat di masyarakat. Beberapa telah mampu menarik perhatian para pemimpin lokal kepada hasil penelitian mereka, yang kemudian telah dilaksanakan di tingkat lokal. Sangat penting untuk memahami apakah pembuat kebijakan mampu menarik makna dari dan memanfaatkan jenis informasi yang dihasilkan oleh organisasi masyarakat sipil. Beberapa mekanisme diidentifikasi sebagai mekanisme yang akan membantu mengamankan pertemuan dengan pembuat kebijakan saat rekomendasi akan disampaikan kepada mereka.
Kesimpulan dalam Bab 7 menempatkan studi kasus dalam konteks sumber-sumber pengetahuan yang berbeda. Kami menyajikan sejumlah ketegangan yang muncul di antara pengetahuan lokal, profesional dan ilmiah. Ketegangan ini adalah permadani dalam membangun pengetahuan dan cara untuk menggambarkan fakta bahwa mengejar berbagai nilai, akhir, dan manfaat yang berlipat ganda secara tak terelakkan menimbulkan tantangan tentang bagaimana mencapai keseimbangan. Kami juga melihat implikasi dari kerangka kerja yang baru baik untuk studi akademis berbagai bentuk pengetahuan, dan untuk praktisi pembangunan yang bekerja untuk meningkatkan atau mempengaruhi kebijakan publik.
Bab 2.
Bentuk-bentuk pengetahuan dan pengaruh
kebijakan
A
rgumen pokok Bab ini adalah bahwa ada banyak jenis pengetahuan yang berkontribusi pada apa yang disebut sebagai “bangunan pengetahuan”. Meskipun persepsi umum tentang ‘pengetahuan’
sering terbatas pada pengetahuan ilmiah formal, pengetahuan profesional juga penting, seperti halnya pengetahuan lokal. Dalam pengetahuan profesional, kami memasukkan pengetahuan birokrasi, yang tanpanya banyak isu kebijakan tidak akan bisa sampai kepada para pembuat kebijakan. Mereka yang bekerja di lembaga penelitian kebijakan dan lembaga think tank juga menghasilkan pengetahuan profesional: mereka dapat menggunakan dan mengintegrasikan bukti dari penelitian ilmiah dengan isu-isu yang relevan dengan pembuat kebijakan di sekitar ekonomi lokal dan politik dengan cara yang membuat bukti relevan, dan yang lebih penting, dapat digunakan oleh kebijakan pembuat. Jenis pengetahuan profesional ini dapat digambarkan sebagai pengetahuan perantara. Lembaga advokasi, menggunakan pengetahuan aktivis, dapat menggunakan bukti penelitian dengan cara yang sama untuk mempromosikan agenda mereka. Seiring dengan bukti masyarakat sebagai bagian dari pengetahuan lokal, pengetahuan agama juga dapat memainkan peran penting. Bab ini berpendapat bahwa jika kita mengabaikan bentuk-bentuk pengetahuan ini, dan memperlakukannya sebagai tidak relevan dan menganggap bahwa bukti ilmiah itu sendiri dapat mempengaruhi proses kebijakan, kita akan kehilangan beberapa elemen penting untuk mencapai keberhasilan. Masing-masing jenis
pengetahuan memainkan peran penting dan membawa jenis bukti yang berbeda kepada pembuat kebijakan. Xxxxx interpretasi lokal dan pengetahuan perantara, aktivis dan birokrasi yang menggerakkan gagasan untuk pembuat kebijakan, kita tidak mungkin melihat banyak pengaruh pengetahuan ilmiah. Sebelum kita beralih ke perlakuan yang lebih rinci tentang pengetahuan lokal dan yang dihasilkan oleh masyarakat sebagai fokus utama buku ini, bab ini memberikan gambaran umum tentang berbagai bentuk pengetahuan dan bagaimana pengetahuan ini berinteraksi satu sama lain dalam proses pembuatan kebijakan.
Seperti yang akan kita lihat dalam deskripsi jenis-jenis pengetahuan dan penerapannya, kategori-kategori pengetahuan itu tidak memiliki batas yang kaku di antaranya. Biasanya kita berhubungan dengan lebih dari satu jenis pengetahuan; kita semua menggunakan banyak sumber bukti, tetapi kita cenderung memiliki preferensi dan menempatkan satu jenis pengetahuan di atas yang lain dalam menilai situasi dan membuat keputusan. Produksi bersama, yang menuntut penghormatan terhadap pengetahuan yang tidak kita prioritaskan, sebenarnya suata hal yang logis dalam prosesnya, tetapi ada kebutuhan untuk membuatnya lebih eksplisit dan mencerminkan relevansi semua bentuk pengetahuan dalam proses itu. Setiap jenis pengetahuan bermanifestasi dalam beberapa cara berbeda, seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Jenis-jenis pengetahuan dalam pembuatan kebijakan
Pengakuan akan pentingnya beragam jenis pengetahuan dalam pembuatan kebijakan sudah mulai berkembang (Jasanoff, 2012). Pengetahuan dihasilkan di berbagai tempat dan dalam berbagai cara. Kami berpendapat di sini bahwa publik bukan hanya konsumen pengetahuan tetapi juga produsen. Bahkan birokrat yang merupakan konsumen pengetahuan untuk penyusunan rekomendasi kebijakan publik juga merupakan produsen pengetahuan. Semua bentuk pengetahuan harus memiliki tempat di sektor pengetahuan yang berkembang.
Posisi istimewa ilmu pengetahuan formal telah membayangi peran bentuk-bentuk pengetahuan lain dalam sebagian besar penelitian tentang peran bukti dalam pembuatan kebijakan publik. Meskipun telah
banyak ditulis tentang peran masyarakat dan masalah dengan terlalu banyak fokus pada para pakar (Easterly, 2015; Eyben et al, 2015), dan ada banyak literatur tentang peran masyarakat dalam pemerintahan5, peran berbagai bentuk pengetahuan dalam pembuatan kebijakan tidak terlalu mendapatkan perhatian, berbeda dengan perhatian yang diberikan untuk meng identifikasi kebutuhan masyarakat. Masyarakat tidak dianggap sebagai pemilik pengetahuan, sebagai orang yang menghasilkan pengetahuan yang dapat berguna untuk proses kebijakan (pengecualian penting untuk dicatat di sini adalah Xxxxxxxx, 2012). Sebaliknya, masyarakat diperlakukan sebagai orang yang dipengaruhi oleh kebijakan. Jadi diskusi telah banyak tentang perlunya memastikan konsultasi yang memadai dan tepat dengan masyarakat. Masyarakat diharapkan untuk menanggapi bukti ilmiah atau berusaha menyanggahnya dengan bukti ilmiah dan pengetahuan ilmiah lainnya. Mereka diundang untuk berpartisipasi, untuk menyajikan pendapat dan perspektif tentang bukti ilmiah yang diketahui, daripada membawa pengetahuan baru dan berbeda untuk proses (Nadasdy, 2003). Jika masyarakat berasal dari basis budaya atau pengetahuan yang berbeda, seperti masyarakat adat, tantangan menjadi bertambah. Dengan lebih dari 300 kelompok etnis yang berbeda dan lebih dari 55% populasi dalam dua etnis (Jawa, Sunda), Indonesia menghadapi tantangan khusus dalam hal ini. Kami berargumen bahwa pandangan yang beragam ini perlu didengar, berbagai perspektif dipertimbangkan dan beberapa nilai diperhitungkan (lihat Bab 3). Tetapi asumsi umum tetap pada posisi bahwa bukti dan pengetahuan yang harus dipertimbangkan adalah yang bersifat ilmiah. Ini jarang dipertanyakan.
Dengan cara yang sama, birokrat tidak dianggap sebagai penghasil pengetahuan. Para konsultan dan pakar yang mengkonsolidasikan penelitian orang lain dalam representasi mereka pun tidak dianggap sebagai produsen pengetahuan tetapi lebih sebagai konsumen pengetahuan ilmiah. Think tanks, atau lembaga penelitian kebijakan,
5 Termasuk didalamnya Goss, 2001; Xxxxxxx, 2003; Boyte, 2004; Xxxxxx dan Xxxxxx, 2005; dan Xxxxxxxx, 2012.
membentuk jembatan, karena banyak dari mereka adalah produsen dan konsumen pengetahuan ilmiah. Warga negara, birokrat dan lembaga think tank diharapkan terlibat dengan proses dan sistem yang telah disiapkan untuk berkonsultasi mengenai bukti ilmiah. Untuk banyak pengetahuan lokal dan tradisional, ini adalah transisi yang sangat sulit dan pengetahuan yang disajikan dalam forum ilmiah tampaknya tidak pada tempatnya dan tidak autentik. Pengetahuan ini diperlakukan sebagai pandangan, pendapat dan dianggap tidak lazim. Kami membutuhkan beberapa cara baru untuk memikirkan hubungan antara berbagai jenis pengetahuan dan untuk mengupayakan diterimanya berbagai bentuk pengetahuan dalam proses kebijakan.
Tipologi pengetahuan
Bab 1 mengidentifikasi tiga jenis pengetahuan utama yang mempengaruhi kebijakan (berdasarkan tipologi sebelumnya seperti Xxxxxxxxxxx, serta Xxxx dan Xxxxxxxx, 1999). Xxxxxxxxxxx mendefinisikan tiga jenis pengetahuan: epistem, techne dan phronesis6. Episteme adalah tentang penjelasan fenomena, biasanya disebut sekarang sebagai sains. Techne adalah tentang pengetahuan teknis yang kita miliki, atau apa yang akan kita sebut pengetahuan profesional. Dan phronesis adalah tentang bagaimana kita “berkontribusi pada rasionalitas praktis masyarakat dalam menjelaskan di mana kita berada, di mana kita ingin pergi, dan apa yang diinginkan sesuai dengan rangkaian nilai dan minat yang beragam” (Flyvbjerg, 2001: 167). Ini adalah jenis pengetahuan lokal yang dihasilkan masyarakat. Jenis-jenis pengetahuan yang dijelaskan di sini tidak monolitik. Masing-masing dimanifestasikan dengan cara yang berbeda dan beberapa ilustrasi disediakan, seperti pengetahuan birokrasi sebagai bentuk pengetahuan profesional, dan pengetahuan agama sebagai bentuk pengetahuan lokal (Bab 3). Harus jelas bahwa kategori- kategori itu tidaklah kaku dan kebanyakan dari kita membawa pengetahuan dari bagian-bagian berbeda dari tipologi ini, tetapi banyak
6 Seperti diterangkan dalam Flyvbjerg (2001).
dari kita lebih mengandalkan pada satu bentuk pengetahuan dalam membuat keputusa. Seperti tipologi apa pun, ini adalah alat untuk membantu kami menyortir dan mengidentifikasi pola dan cara bertindak. Bentuk pertama adalah pengetahuan ilmiah formal yang menghasilkan kumpulan data yang membantu kita mengambil kesimpulan tentang masyarakat, dan menarik kesimpulan tentang apa implikasinya untuk kebijakan. Pengetahuan ilmiah mendapatkan kedudukan di Era Pencerahan (Era of Englightment) di Eropa, dimulai pada abad ke-18 ketika ide-ide disajikan berdasarkan logika dan ilmiah, yang mengarah ke Revolusi Ilmiah7. Gerakan ini menyebabkan ledakan pemikiran dan perspektif tentang bukti dan alasan. Penelitian ilmiah formal memiliki banyak alat untuk menarik, apakah untuk penelitian tentang isu-isu ilmu alam seperti perubahan iklim, atau penelitian tentang perubahan sosial yang mencoba untuk memahami apa yang akan mempengaruhi perilaku baru dalam masyarakat untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Akademisi akan mengumpulkan bukti ilmiah menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Bukti ini akan diperebutkan oleh akademi dan sebagian akan dipresentasikan kepada pembuat kebijakan untuk menginformasikan keputusan mereka. Pengetahuan ilmiah formal ini adalah pengetahuan yang telah menjadi fokus dari banyak usaha - untuk membuat pembuat kebijakan mempertimbangkannya dan menggunakannya dalam kebijakan publik.
Seringkali adalah ‘bukti’ dalam pembuatan kebijakan berbasis bukti.
Dalam berpikir tentang pengaruh pengetahuan tentang kebijakan publik, kita cenderung memberikan hak istimewa kepada ‘pakar’, ilmuwan yang dianggap memiliki pengetahuan superior dan bukti yang lebih unggul. Banyak penelitian dan penulisan telah dilakukan pada penggunaan bukti ilmiah dalam proses kebijakan (Xxxxxxxx, 1990; Xxxxxxx, 1994; Xxxxxx, 2009). Hal ini memang penting dan banyak kasus telah ditulis dan banyak kerangka kerja yang disajikan tentang bagaimana pengaruh terjadi.
7 Diuraikan oleh Xxxxxx Xxxx (1962) dalam The Structure of Scientific Revolutions sebagai
sebuah pergeseran paradigma bagaimana kita berpikir ilimiah dan memandang bukti.
Aktor kunci dalam kelompok ini adalah para ilmuwan. Mereka sering di perguruan tinggi, tetapi kadang-kadang di lembaga penelitian (yang mungkin didanai publik atau swasta). Bukti ilmiah yang kuat, disajikan dengan baik, adalah penting. Perdebatan mengenai perubahan iklim telah melihat munculnya bukti dalam diskusi, dari hari-hari awal ketika penelitian masih awal dan dipertanyakan, sampai sekarang ketika sebagian besar orang percaya bahwa ada bukti yang kuat dan bahwa sesuatu harus dilakukan. Perjanjian internasional, perundang-undangan nasional dan bahkan lokal telah dipengaruhi oleh kekhawatiran tentang perubahan iklim. Sains telah memainkan peran yang sangat berpengaruh di sini.
Bentuk pengetahuan kedua yang kita sebut pengetahuan profesional (techne Xxxxxxxxxxx, atau apa yang disebut Xxxx dan Xxxxxxxx sebagai pengetahuan fiduciary dan apa yang Xxxxx et al sebut sebagai pengetahuan yang diinformasikan oleh praktik)8. Pengetahuan profesional dihasilkan sebagai layanan bagi pembuat kebijakan. Kami mengidentifikasi tiga bentuk pengetahuan profesional: birokrasi, perantara, dan advokasi. Ketiganya mencerminkan kemampuan kelompok-kelompok tertentu untuk menghubungkan pengetahuan dengan praktik dengan cara-cara yang memiliki potensi untuk mempengaruhi; pengetahuan birokrasi yang paling dipraktikkan di dalam birokrasi, pengetahuan perantara dipraktikkan di lembaga think tank, dan pengetahuan advokasi dipraktikkan terutama oleh kelompok- kelompok advokasi. Pengetahuan profesional didasarkan pada keyakinan bahwa para produsen pengetahuan telah menggunakan secara adil dan jujur bukti dan pengetahuan utama dalam saran kebijakan mereka, bahwa mereka memiliki pemahaman yang baik tentang konteks yang melatari keputusan yang harus diambil, dan bahwa mereka tidak memanipulasi bukti terutama untuk keuntungan atau tujuan mereka
8 Penulis lebih memilih istilah “professional knowledge” atau pengetahuan dari para professional sebagai sebuah istilah yang lebih mudah dikomunikasikan ketimbang ‘fiducial knowledge’, dan maknanya lebih luas daripada ‘practice-informed knowledge’— pengetahuan yang muncul dari praktik.
sendiri. Karena alasan inilah reputasi think tank sangat penting: think tank mengambil penelitian primer dan sering menggabungkannya dengan pengetahuan lain yang memungkinkannya mengartikulasikan makna bukti bagi pembuat kebijakan. Jika reputasinya terpuruk karena manipulasi bukti yang nyata, atau menyerah pada kelompok kepentingan khusus, kemampuannya untuk mempengaruhi hilang sampai ia dapat membangun kembali reputasinya. Pengetahuan profesional biasanya didasarkan pada sumber informasi sekunder serta pengalaman langsung para praktisi dan pengetahuan mereka tentang konteks dan proses tempat pengetahuan digunakan. Baik pengetahuan birokrasi, perantara, atau advokasi, semua mensintesis dan mengkonsolidasikan ide-ide dan menghubungkannya dengan konteks tempat kebijakan tersebut beroperasi.
Pengetahuan profesional berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan ilmiah dan kebutuhan pembuat kebijakan. Pengetahuan ini membantu menerjemahkan pengetahuan ilmiah; para praktisi melihat diri mereka mampu memahami para ilmuwan dan pembuat kebijakan. Mereka biasanya tidak menghasilkan pengetahuan dasar yang baru; namun mereka melihat temuan penelitian melalui lensa yang berbeda dan mensintesis bukti yang berasal dari sumber yang berbeda sesuai dengan kebutuhan klien mereka dan konteks tempat mereka beroperasi. Tanpa pengetahuan profesional, banyak pengetahuan ilmiah tidak akan menemukan jalannya ke ruang kebijakan.
Agar berhasil, produsen pengetahuan profesional harus memiliki pemahaman yang kuat tentang penelitian dan tentang kebutuhan pembuat kebijakan yang merupakan klien mereka. Keterampilan dalam menerjemahkan dan mengkomunikasikan pengetahuan adalah sangat penting. Mampu menginterpretasikan bukti dengan cara yang berarti bagi masyarakat kebijakan tidaklah mudah. Ini adalah salah satu yang beberapa ilmuwan kuasai, oleh karena itu produsen pengetahuan profesional memainkan peran perantara kunci, sering didefinisikan sebagai ‘analis kebijakan’ dalam struktur ketenagakerjaan pemerintah.
Kotak 1. Pengetahuan birokrasi sebagai bentuk pengetahuan profesional
Kami menyajikan satu bentuk pengetahuan profesional yang memainkan peran utama dalam proses kebijakan meskipun tidak sering dianggap sebagai pengetahuan: pengetahuan birokrasi. Ini adalah bentuk pengetahuan saat birokrat bukan hanya pengguna tetapi juga produsen pengetahuan. Sebagaimana pendapat Zimmerman (n.d.), birokrasi sangat baik dalam mengkodifikasi pengetahuan tak terlihat menjadi aturan dan peraturan. Xxxxxxxxx lebih jauh berpendapat bahwa organisasi lain dapat belajar dari birokrasi dan menggunakan pengetahuan pendokumentasian yang ada di dalam birokrasi.
Birokrasi menerjemahkan dan mensintesis pengetahuan ke dalam kerangka kerja yang relevan untuk masyarakat pengguna tertentu. Apa yang mungkin perlu diketahui oleh Kementerian Keuangan, misalnya, untuk membuat keputusan kebijakan sangat berbeda dari apa yang mungkin perlu diketahui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; kedua kementerian mungkin melihat hal-hal melalui lensa yang sangat berbeda. Pengetahuan birokrasi memandu sintesis dan pengembangan kerangka kerja yang akan membantu pembuat kebijakan yang berbeda melakukan tugas mereka. Ini tercermin dalam kemampuan birokrat memahami bukti sedemikian rupa sehingga dapat menjawab kebutuhan khusus pembuat kebijakan dengan siapa mereka bekerja. Dalam sisi ini kita melihat pemproduksian pengetahuan, bukan hanya pemanfaatannya.
Pengetahuan birokrasi pada dasarnya adalah pengetahuan tentang proses dan konteks. Pengetahuan ini penting karena mendefinisikan apa yang mungkin dalam suatu konteks kebijakan. Memahami keterbatasan dan parameter tindakan kebijakan adalah pengetahuan yang dibawa birokrasi. Elemen ini penting dalam pengaruh kebijakan namun tidak banyak ada dalam pengetahuan ilmiah dan lokal. Para birokrat di posisi berpengaruh adalah yang paling memahami proses
dan konteks yang berubah yang melingkupi pembuatan keputusan kebijakan. Tanpa pengetahuan itu, pengaruh akan bersifat terbatas. Hal ini bukan sekadar taktik. Seperti pengetahuan profesional, pengetahuan birokasi banyak yang tersirat, diserap melalui pengamatan dan praktik selama bertahun-tahun. Pengetahuan ini dibuat eksplisit melalui aturan dan sistem, tetapi sangat lemah dalam menangkap konteks karena sifatnya yang selalu berubah, dan mereka sangat terbatas dalam menangkap proses. Langkah-langkah proses formal ditangkap tetapi proses informal, hubungan dan masalah kekuasaan yang nyata, tetap implisit.
Apa yang harus dilakukan oleh pengetahuan birokrasi adalah menyederhanakan gagasan-gagasan rumit dan selektif tentang apa yang dapat dilakukan dalam setiap konteks. Ini membutuhkan pengetahuan mendalam tentang proses dan konteks yang sedang dimainkan serta kapasitas untuk mensintesiskan dan menerjemahkan pengetahuan menjadi bukti yang berguna dan dapat digunakan. Ini juga membutuhkan kemampuan untuk menjaga kompleksitas masalah dalam pikiran sehingga penyederhanaan selalu terfokus dengan baik.
Pengetahuan birokrasi sangat terspesialisasi. Pengetahuan ini membangun sintesis dari berbagai macam bukti; pengetahuan ini tercipta dari pemahaman yang mendalam tentang praktik dalam birokrasi dan pemahaman tentang konteks operasional; pengetahuan ini membutuhkan pengetahuan orang dalam dan pemahaman yang kuat tentang kebutuhan dan harapan para pembuat keputusan. Sebagai bentuk pengetahuan profesional, pengetahuan birokrasi memberikan kontribusi signifikan terhadap proses kebijakan. Tanpa pengetahuan birokrasi yang kuat, menggunakan pengetahuan ilmiah dan lokal untuk pengaruh kebijakan dapat menimbulkan tantangan. Pengetahuan birokrasi sering menjadi penjaga gawang dan tidak boleh diremehkan. Namun, yang lebih buruk (dan ini sering terjadi di Indonesia) ‘pengetahuan birokrasi’ tidak lebih dari sekadar kumpulan laporan, pertemuan pakar, dan lokakarya.
Jenis pengetahuan ketiga, pengetahuan lokal, hanya akan dibahas secara singkat di sini, karena ini adalah subjek dari sisa buku ini. Pengetahuan lokal muncul dari pengalaman dan praktik masyarakat. Kadang-kadang disebut sebagai pengetahuan masyarakat (Xxxxx et al, 2012), pengetahuan pengalaman atau pengetahuan racikan (craft- knowledge)9. Durose dan Xxxxxxxxxx (2016) merujuk Xxxxx Xxxxxxxxx yang menyatakan bahwa kebijakan tidak boleh hanya bergantung pada sains, tetapi juga pada ‘seni’, yang mencakup antara lain pengetahuan lokal. Banyak pengetahuan yang kita miliki sebagai individu adalah pengetahuan pengalaman. Ini adalah pengetahuan yang kita miliki tentang bagaimana bertindak dalam masyarakat kita, nilai-nilai apa yang penting dalam masyarakat tempat kita hidup, dan apa yang akan memberi kita akses atau membuat kita terbuang. Kita belajar cara menyeberang jalan menggunakan pengetahuan pengalaman - kita belajar bahwa gerakan tangan membantu kita, atau bahwa di beberapa tempat kita harus menyeberang di lampu lalu lintas. Kerangka yang dikembangkan oleh FAO (2004) adalah titik awal yang berguna untuk menavigasi berbagai bentuk tipe pengetahuan lokal:
• Pengetahuan umum yang dimiliki oleh sebagian besar orang di masyarakat – misalnya hampir semua orang tahu cara memasak nasi (atau makanan pokok setempat).
• Pengetahuan bersama dipegang oleh banyak orang, tetapi tidak semua, anggota masyarakat - masyarakat desa yang memelihara ternak akan tahu lebih banyak tentang peternakan daripada mereka yang tidak memiliki ternak.
• Pengetahuan khusus dimiliki oleh beberapa orang yang mungkin memiliki pelatihan khusus atau magang - hanya beberapa penduduk desa yang akan menjadi tabib, bidan atau pandai besi.
9 Pengetahuan racikan seringkali bersifat tacit, tersirat, pengetahuan yang kita miliki untuk mengerjakan sesuatu. Seringkali tidak tersirat namun diwariskan secara verbal atau dengan memberikan contoh/kebiasaan. Xxxxx, misalnya tulisan Wood (2006). Pengetahuan eksperimental diuraikan sebagai “kebenaran yang didasarkan pengalaman pribadi” (Xxxxxxx, 1976).
Pengetahuan lokal sering tersirat atau secara tak terlihat dimiliki oleh masyarakat dalam suatu masyarakat. Artinya, kita mempelajarinya dengan mengamati orang lain atau secara trial and error. Kita jarang mengartikulasikan atau mendokumentasikannya. Kita belajar dari waktu ke waktu, bertindak dan melihat bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita. Pengetahuan lokal membantu kita memahami bagaimana bertindak di rumah kita, di tempat kerja kita dan dengan teman-teman kita. Ini membantu kita memahami apa yang sehat dan apa yang berbahaya. Ini membantu dengan hal-hal praktis di bidang pertanian juga, seperti Xxxxxxx (1998: 50) mencatat dari sebuah studi di Bali bahwa, ‘pengetahuan deskriptif desa untuk pohon, bambu, dan sumberdaya tanah, setidaknya, setara dengan, dan mungkin lebih rinci dari, data yang sesuai dari peneliti ilmiah yang terlatih ‘. Pengetahuan lokal dihasilkan oleh warga dari berbagai masyarakat yang berbeda dalam percakapan sehari-hari dan forum, sering diartikulasikan dalam masyarakat sipil dan melalui partisipasi masyarakat. Ini adalah bagian dari wacana kontekstual dan hidup, diperebutkan melalui interaksi sehari-hari dan melalui interpretasi oleh masyarakat dari berbagai bentuk pengetahuan yang merupakan bagian dari pengalaman hidup mereka - modal sosial yang memungkinkan individu untuk menjadi warga negara dan membangun masyarakat.
Tantangan untuk menggunakan pengetahuan lokal dan membagikan- nya dengan masyarakat lain, adalah bahwa penerusannya dilakukan melalui tradisi lisan dan belum dikodifikasikan. Kodifikasi akan membuat pengetahuan ini dapat diakses untuk kemudian digunakan dan disebarkan kepada pembuat kebijakan dan masyarakat lain, seperti yang akan kita lihat di Bab 5. Mengkodifikasi pengetahuan lokal juga berisiko membirokratiskan dan membekukannya sejak dini.
Pengetahuan lokal dilihat oleh mereka-mereka yang memilikinya sebagai produksi bersama antara masyarakat dan lingkungan mereka10.
10 Proses evolusi bersama (co-evolution) merujuk ke suatu proses saling beradaptasi yang berkesinambungan dan dinamis antara umat manusia dan lingkungan alamnya. Teori
co-evolusion menunjukkan bagaimana dunia sosial (sebagai contoh sistem pengetahuan) dan sistem ekologi saling terkait dan bagaimana mereka saling mempengaruhi. Co- evolusion membawa kepada proses adaptasi yang ajeg/konstan dalam suatu lingkungan
Dengan demikian, pengetahuan ini terus berkembang dan berubah, seperti halnya bentuk-bentuk lain dari perubahan pengetahuan dengan pembelajaran baru dan situasi baru. Pengetahuan lokal juga berdasar pada tempat dan kepemilikannya lebih bersifat tersebar, alih-alih terpusat. Adalah kelompok-kelompok tertentu (baik itu laki-laki, perempuan, anak-anak, petani, nelayan, dll.) yang memiliki pengetahuan lokal tertentu dan mengembangkannya sebagai bagian dari kelangsungan hidup dan pembangunan sosial ekonomi mereka. Studi kasus kami menggunakan berbagai definisi pengetahuan lokal:
• Sistem pengetahuan - tentang pertanian dan adaptasi iklim (PUSKA), melawan penambangan (POLGOV UGM), tentang konservasi hutan (BIGS) dan kehidupan berbasis sungai (LK3).
• Inovasi lokal - ekonomi lokal masyarakat (YKU), atau sistem asuransi kesehatan masyarakat (LAHA).
• Praktik masyarakat setempat - mewujudkan gaya hidup tradisional yang relevan untuk konservasi dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan, misalnya, berburu ikan paus (Poros Photo), pengelolaan air berbasis klan (Pikul), perikanan ramah lingkungan (PATTIRO) dan pengelolaan air berbasis masyarakat (PKPM).
Aktor kunci di ruang ini adalah lembaga advokasi, tokoh masyarakat, pemimpin agama dan praktisi pengobatan tradisional. Di sini juga ada tumpang tindih dengan aktor di ruang pengetahuan profesional. Seperti yang akan kita lihat di Bab 6, organisasi advokasi dapat memainkan peran yang sangat penting karena keberhasilan mereka tergantung pada pemahaman yang baik tentang ruang politik, tetapi mereka biasanya berangkat dari keinginan melindungi masyarakat pada masalah yang sangat penting bagi kepemimpinan dan seringkali tertanam dalam pengetahuan lokal (contohnya adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN). 11
yang terus berubah yang kemudian akan mengarah kepada keberagaman ((Xxxxxxx, 1992,
seperti dikutip dalam FAO (tanpa tahun)).
11 xxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxx/xxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxx-xxxxxxxxx-xxxx-
Interaksi antara sumber pengetahuan: pengetahuan lokal dan partisipasi masyarakat
Pengaruh kebijakan diperkuat ketika pengetahuan ilmiah, profesional dan lokal bekerja bersama. Kemampuan untuk bekerja di berbagai jenis pengetahuan ini adalah keterampilan khusus dari masyarakat yang berpengetahuan dan terlibat. Sering diwujudkan dalam kewirausahaan kebijakan (policy entrepreneur) (Kingdon, 1984). Kewirausahaan kebijakan dapat keluar dari segala bentuk pengetahuan, tetapi ialah seseorang yang mampu mengintegrasikan bentuk-bentuk pengetahuan lain ke dalam argumen dan advokasi mereka, dan melalui itu membawa sisi-sisi yang berbeda bersama di sekitar agenda bersama. Mereka adalah pemimpin dalam proses ko-produksi pengetahuan. Kasus-kasus menggambarkan pentingnya hubungan (antara jenis pengetahuan dan masyarakat yang berbeda dalam proses kebijakan), komunikasi (ide, nilai dan keyakinan), jaringan (untuk menggunakan sumberdaya lain untuk memahami proses politik) dan perubahan kelembagaan. Sementara pengetahuan lokal diterapkan oleh produsen dan aktor sosial itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari mereka, pengetahuan ilmiah (dan pada tingkat yang lebih rendah pengetahuan profesional) disebarkan oleh agen yang tidak mempraktikkannya sendiri (Xxxxxxx xx Xxxxxx, 2005: 159).
Konsisten dengan argumen ini, Durose dan Xxxxxxxxxx (2016) membuat kasus untuk model produksi bersama pembuatan kebijakan, memperlakukan semua bentuk pengetahuan sebagai bagian dari proses. Mengutip beberapa peneliti lain, mereka mengusulkan pendapat bahwa ‘produksi bersama [co-production] mengandung nilai melibatkan berbagai bentuk pengetahuan dan keahlian dalam proses kebijakan, dan bahkan mengarah pada pembuatan sintesis dari semua“bahan” berbeda dari “potongan teka-teki kebijakan’, sambil memastikan bahwa berbagai bentuk pengetahuan ini ‘terintegrasi, tidak dimusnahkan, tidak (lenyap) terserap’ (Durose xxx Xxxxxxxxxx, 2016: 40-41).
Setiap bentuk pengetahuan memiliki beberapa jenis organisasi
indigenous-peoples-alliance-archipelago
terkait. Tetapi kategori ini tidaklah kaku dan hanya mewakili bidang tempat pengetahuan dominan yang dihasilkan terjadi di setiap jenis organisasi. Perguruan tinggi memberikan pengetahuan profesional di samping mandat mereka di sekitar akumulasi pengetahuan ilmiah, sementara lembaga penelitian kebijakan dapat melakukan penelitian atau menjadi bagian dari pengetahuan lokal di bidang tertentu. Lembaga advokasi dapat menggunakan semua jenis pengetahuan. Mereka adalah aktor pengetahuan independen dalam ruang pengaruh kebijakan. Tetapi mereka sering bertindak bersama dengan kelompok masyarakat, dan sering lebih kuat ketika mereka bertindak bersama membawa beberapa jenis bukti untuk menghadapi masalah kebijakan atau melakukan upaya untuk mempengaruhi pembuat kebijakan.
Di luar argumen demokratis, ada alasan empiris mengapa mendiversifikasi sumber pengetahuan dalam pembuatan kebijakan bersifat penting. Sebagaimana diuraikan dalam Australian Women in Leadership Strategy (DFAT, 2015), bukti empiris menunjukkan bahwa beragam tim dan sumber pengetahuan menghasilkan hasil yang lebih kuat. Misalnya, penelitian telah menunjukkan bahwa organisasi dengan sejumlah besar perempuan di jajaran pimpinan bekerja lebih baik dalam berbagai indikator kinerja daripada organisasi yang jajaran pimpinannya cenderung bergender homogen. The “Wisdom of the Crowd, seperti yang disebut Surowiecki, lebih unggul daripada keputusan yang diambil oleh segelintir orang saja (Surowiecki, 2004). Ada business case untuk meningkatkan keragaman dan melibatkan lebih banyak orang dalam pengambilan keputusan: hasilnya adalah keputusan lebih baik.
“Pengetahuan ke Kebijakan” dan pengetahuan lokal
Seperti yang kita lihat dalam Pendahuluan, ‘pengetahuan untuk kebijakan’ adalah proses saat data, bukti dan bentuk pengetahuan lain diciptakan, berubah menjadi kebijakan dan diimplementasikan dalam ‘pusaran energi politik, kepentingan pribadi dan lobi’ (Banks, 2009: 9). Ke dalam pusaran inilah kita sekarang bergerak.
Proses ini tidak hanya tentang data yang lebih canggih dan dapat
diakses, tetapi pemahaman yang lebih baik tentang konteks sosial pengetahuan dan hubungan ilmu sosial dengan pertimbangan politik. Pembuatan kebijakan membutuhkan lebih banyak bukti dan argumen yang sensitif secara kontekstual yang dibawa untuk menanggung masalah kebijakan atau masalah sosial - menyelidiki peningkatan jumlah perspektif yang relevan dan menambahkan lebih banyak sumber pengetahuan. Ini adalah pemahaman yang baik tentang interaksi yang membangun realitas, cara empiris tertanam dalam normatif. Jika Xxxxxxx Xxxxx (1972) benar bahwa kekuasaan membentuk preferensi kita, kita harus memiliki pemahaman yang lebih cerdas tentang konteks politik dan sosial dari pembuatan kebijakan.
Pengetahuan lokal berjalan seirama dengan pengetahuan ilmiah atau pengetahuan profesional. Studi kasus kami menunjukkan cara yang berbeda bahwa masyarakat dapat menghasilkan wacana mereka sendiri dan mereka sering bertindak menentang kerangka pembangunan yang dominan. Untuk itu, masyarakat setempat perlu diperkuat, sehingga memungkinkan mereka untuk membatasi ekstraksi pengetahuan lokal tanpa pandang bulu, untuk merundingkan bagaimana cara penelitian dilakukan, untuk memiliki suara dalam hal kekayaan intelektual pengetahuan lokal, dan untuk membela pengetahuan lokal sebagai harta mereka sendiri yang merupakan milik masyarakat mereka sementara tidak berbalik melawan ‘pihak-pihak lain’. Dalam situasi ini, pengetahuan lokal membutuhkan definisi dan peran yang lebih jelas sebagai ‘akal sehat bagi orang-orang yang memiliki kepekaan komunal yang sama’ (Xxxxxx, 1983).
Kasus BIGS dalam buku ini (studi kasus 6, Bab 4) melihat bagaimana pengetahuan lokal dan pengetahuan profesional harus bersatu untuk memecahkan tantangan. Ini mengingatkan kita bahwa prosesnya bisa panjang dan terperinci dan terkadang membutuhkan perubahan kelem- bagaan. BIGS mengkodifikasi pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan di pulau Jawa yang padat penduduk. Di Jawa, deforestasi, erosi dan hilangnya lapisan atas tanah menyebabkan berkurangnya produktivitas dan banjir besar di banyak daerah. Sementara
mengkodifikasi pengetahuan dan praktik lokal yang dapat mengurangi deforestasi, BIGS mulai membawa pejabat pemerintah daerah ke dalam diskusi dan untuk melihat praktik yang digunakan. Hal ini dilakukan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pengetahuan lokal ke dalam kebijakan untuk konservasi hutan.
Kesimpulan
Jadi, pengetahuan siapa yang penting dalam proses kebijakan? Kami telah membuat argumen bahwa ada berbagai bentuk pengetahuan dan kesemuanya memainkan peran dalam kebijakan publik. Kami selanjutnya berpendapat bahwa keterlibatan masyarakat dan pengenalan terhadap berbagai bentuk pengetahuan yang ada dalam setiap proses kebijakan merupakan hal yang penting. Sebagai masyarakat, kita cenderung memberikan keistimewaan pada pengetahuan ilmiah tetapi kami telah mendiskusikan contoh-contoh bentuk pengetahuan lain, dan sebagaimana ditunjukkan oleh kasus-kasus dalam buku ini dengan jelas mengilustrasikan, pengetahuan lokal penting dan memainkan peran penting. Selain pengetahuan individual, interaksi juga berperan sangat penting.
Pengetahuan profesional sering menjadi tempat untuk menerjemahkan bukti ilmiah dan jenis pengetahuan lain ke dalam pengetahuan yang efektif secara politik yang dibutuhkan untuk pembuatan kebijakan. Pengetahuan birokratis, misalnya, adalah fitur kunci dari banyak pengaruh kebijakan. Para birokrat tahu bagaimana sistem bekerja, mereka memahami bagaimana cara menyampaikan ide kepada pengambil keputusan, dan mereka dapat memblokir ide jika mereka mau. Produsen pengetahuan ilmiah harus belajar bagaimana menyajikan bukti mereka dengan cara yang relevan dengan kebijakan dan harus belajar bagaimana bekerja dengan birokrasi dan bentuk lain dari pengetahuan profesional untuk memiliki pengaruh. Pengetahuan lokal tidak selalu berinteraksi dengan mudah dengan birokrasi, tetapi dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk pengetahuan profesional lainnya dapat memainkan peran penting. Kadang-kadang interaksi tidak melalui
perantara tetapi melalui ide yang secara langsung menangkap imajinasi
pembuat kebijakan.
Akhirnya, kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa bukti dan pengetahuan tidak sendirian dalam mempengaruhi kebijakan (Xxxxxx, 2015). Produsen pengetahuan harus menyajikan bukti terbaik dan mereka harus mempresentasikannya dengan sangat persuasif. Tetapi para ilmuwan dan produsen pengetahuan lainnya harus mengakui bahwa bukti tidak selalu penting. Politik, keyakinan dan nilai-nilai memainkan peran sentral dan pengetahuan harus bergerak bersama pengaruh- pengaruh ini untuk menemukan tempatnya.
Bab 3.
Pengetahuan lokal dalam pembuatan kebijakan
demokratis
S
ebagaimana dibahas dalam Pendahuluan, keragaman sumber pengetahuan adalah ciri khas pembuatan kebijakan yang sehat. Namun tidak semua jenis pengetahuan dihargai dan mendapat sumberdaya yang sama di Indonesia. Banyak organisasi masyarakat yang ragu untuk berhubungan terlalu dekat dengan pemerintah karena berbagai alasan. Dan oleh karenanya, teknokrat, ilmuwan, dan pengambil keputusan seringkali enggan untuk terlibat dengan pengetahuan lokal yang mereka hasilkan. Akibatnya, ada ketidakpercayaan timbal balik yang hanya bisa diatasi dengan interaksi yang lebih baik dan rasa hormat
yang mendalam (Guggenheim, 2012; Xxxxxxxx dan Xxxxxxx, 2016).
Bab ini berpendapat bahwa memberi perhatian pada pengetahuan yang dihasilkan oleh masyarakat setempat sangat penting untuk pembuatan kebijakan yang lebih baik dan perwujudan demokrasi karena hal ini menyediakan konteks dan makna. Sektor pengetahuan suatu negara dapat ditingkatkan dengan membuka pembuatan kebijakan bagi partisipasi masyarakat dan mendemokrasikan ranah publik. Pendekatan- pendekatan ini, seperti yang akan kita lihat dalam bab-bab berikutnya yang memuat data empiris, dapat lebih berkelanjutan daripada desain- desain pembangunan top-down yang dihasilkan pemerintah dan dan para pakar.. Bab ini akan dimulai dengan paparan historis mengenai pengambilan kebijakan publik dan bagaimana kebijakan dibuat. Selanjutnya diuraikan bagaimana kami membangun sebuah pernyataan
bahwa pengetahuan lokal merupakan prasyarat untuk demokratisasi pembuatan kebijakan dan peningkatan kebijakan publik.
Kajian mengenai makna dan pengetahuan lokal
Definisi pengetahuan lokal terutama ditemukan dalam literatur antropologis. Xxxxxxxx Xxxxxx (1983) mendefinisikan pengetahuan lokal sebagai pengetahuan yang dimiliki secara lokal, oleh masyarakat setempat, suatu sistem budaya yang menjadi akal sehat bagi orang- orang yang berbagi kepekaan komunal. Penekanannya di sini adalah pada makna; interpretasi budaya adalah ‘bukan ilmu eksperimental dalam pencarian hukum tetapi ilmu interpretatif dalam pencarian makna’ (Xxxxxx, 1974: 5). Studi budaya politik dan kebijakan berpendapat bahwa keyakinan dan persepsi adalah bagian konstituen dari pemerintah dan pembuatan kebijakan. Politik harus dilihat tidak hanya sebagai persaingan atas sumberdaya yang langka, tetapi juga sebagai representasi dari praktik sejarah dan pengetahuan lokal (Xxxxxxxxx and Xxxxx, 1987; Xxxxxxx, 1988; Xxxxxxx, 1990; Xxxxxxxx, 1994; Xxxxxxxx, 1998; Xxxxxxx xx Xxxxxx, 2005; Xxxxxxx, 2014). Representasi budaya adalah instrumen untuk wacana politik. Simbolisme politik, ritual dan representasi normatif digunakan untuk pelaksanaan kekuasaan dan dominasi yang sah.
Kurangnya pemahaman budaya dalam demokrasi secara negatif mempengaruhi makna dasarnya: sebuah citra politik yang kuat dari harapan dan otonomi. Untuk mencapai hal ini, ‘demokrasi harus didorong oleh ‘roh’, mimpi sekuler kepercayaan dan hubungan timbal balik oleh rakyat dan untuk rakyat’ (Xxxxxxx, 2014: 13). Dalam sebuah studi tentang demokrasi dan kekerasan di Sri Lanka, Xxxxxxxx Xxxxxxx (2007: 15) mencatat bahwa ada sesuatu yang hilang ‘jika kita bersikeras untuk mengecualikan makna lokal dari definisi kita tentang politik’ (lihat juga Xxxxxxxx, 1998 untuk bagaimana memahami bentuk-bentuk lokal demokrasi di Senegal). Sama halnya, kurangnya makna dan konteks secara negatif akan mempengaruhi bagaimana pembuatan kebijakan diimplementasikan.
Sementara perspektif antropolog telah memberi kita pemahaman
penting tentang apa yang merupakan pengetahuan lokal (nilai, keyakinan dan makna) dan sifat pengetahuan lokal yang menggabungkan logika deskriptif dan logika tindakan (Yanow, 2003), analisis ekonomi-politik pengetahuan lokal membutuhkan konsep analitis tambahan, yang membantu kita untuk menganalisis dan memahami apakah produksi dan penggunaan pengetahuan lokal merupakan masukan atau lebih tepatnya hasil dari hubungan politik-ekonomi dalam masyarakat. Membedakan dimensi ekonomi-politik dari pengetahuan lokal dalam produksi dan penggunaannya, serta hubungan di antara mereka adalah penting, karena konteksnya beragam. Perspektif semacam itu membahas:
• Apa itu lokal?
• Orang (lokal) mana yang terlibat dan bagaimana?
• Definisi siapa yang berlaku?
• Siapa yang memiliki apa dan bagaimana kita tahu mereka melakukan
/ tidak melakukan?
• Siapa yang memutuskan penyerapan pengetahuan lokal?
• Siapa yang menang, siapa yang kalah?
Di sisi suplai (produksi pengetahuan), dimensi ekonomi-politik pengetahuan lokal dapat dianalisis dari perspektif sosio-ekonomi tentang struktur dan hierarki dalam masyarakat yang menghasilkan pengetahuan lokal karena ini adalah manifestasi kekuatan klasik yang akan membentuk struktur pengetahuan lokal. Dalam hal ini, pengetahuan lokal merupakan konsekuensi dari relasi kekuasaan dalam suatu masyarakat; ia dihasilkan oleh dan melalui struktur dan tatanan tertentu, dan memiliki hubungan yang dominan dan subordinatif - pengetahuan lokal mencerminkan struktur otoritas dan kekuasaan dalam masyarakat - esensi politik. Masyarakat jarang menggunakan pengetahuan lokal secara eksklusif; mereka mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dan profesional dari pengalaman hidup mereka sendiri. Ini adalah konsep pengetahuan lokal yang lebih luas yang mencerminkan hubungan antara ketiga jenis pengetahuan, dan yang memainkan peran penting dalam partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik.
Pada sisi permintaan (pembuatan kebijakan), pertanyaan ekonomi-
politik adalah tentang memahami insentif atau disinsentif yang mendukung atau menghambat penggunaan pengetahuan lokal; hal ini menginformasikan pengetahuan apa atau mekanisme perantara mana yang paling tepat untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan publik, serta mengapa beberapa jenis pengetahuan lebih dapat diterima atau cocok daripada yang lain. Berdasarkan studi kasus dari negara-negara Asia Xxxxxxxx, Xxxxxxx et al (2012) menyajikan kerangka kerja untuk memahami lanskap: bukti teknis saja tidak efektif dalam mempengaruhi pasar pengetahuan-ke-kebijakan lokal. Hanya pasokan inklusif dan antar- disiplin dari berbagai jenis pengetahuan oleh pemangku kepentingan yang berbeda akan menghasilkan hasil positif melalui pembentukkan lingkungan pemerintahan lokal yang lebih akuntabel, partisipatif dan transparan.
Seperti yang terlihat pada Gambar 2, Bab 1, pengembangan kebijakan tidak terjadi dengan cara yang dapat diprediksi. Ini berarti kita perlu fokus pada isu-isu nilai, konteks dan kekuasaan, masalah yang penting bagi orang-orang di tempat mereka tinggal dan bekerja. Seperti yang akan kita lihat di Bab 4 hingga 6, ada banyak inisiatif pengetahuan menarik yang muncul dari solusi spontan individual dan masyarakat di Indonesia. Ini kadang-kadang bisa lebih berkelanjutan daripada desain pembangunan top-down para pemimpin dan pakar negara. Inisiatif- inisiatif ini bersifat trial and error, iteratif (berulang), dan beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan alam dan buatan manusia - singkatnya, pada pengetahuan lokal yang muncul dari pengalaman dan praktik yang dialami.
Pengambilan kebijakan publik, kekuatan birokrasi dan pengetahuan lokal
Mari kita sejenak melihat ulang hubungan historis antara kebijakan publik dan berbagai bentuk pengetahuan, yang akan memungkinkan kita untuk lebih memahami pentingnya pengetahuan lokal saat ini. 70 tahun terakhir telah melihat munculnya tiga gelombang global pembuatan kebijakan dan manajemen publik, dicirikan sebagai, dari mendayung ke
mengarahkan dan melayani (From Rowing to Steering to Serving)
(Xxxxxxxx dan Xxxxxxxx, 2007).
Baik Rowing dan Xxxxxxxx memberikan kekuasaan utama bagi negara dalam manajemen publik. Pada fase Rowing, setelah Perang Dunia Kedua, kelahiran manajemen publik modern didominasi oleh teknokrat dengan pemikiran rekayasa sosial. Mereka menetapkan kebijakan dan sangat banyak berada di puncak piramida dalam manajemen publik (Weilar, 2009). Pada 1980-an, ‘manajemen publik baru’ muncul untuk mengatasi beberapa keterbatasan pendekatan sebelumnya (Hood, 1991). Itu memiliki penekanan pada menciptakan kembali pemerintah untuk mengadopsi pendekatan sektor swasta (Xxxxxxx dan Xxxxxxx, 1993). Fase Steering ini mengakui pada tingkat tertentu bahwa kegagalan sebelumnya adalah kurangnya peran masyarakat. Dalam Manajemen Publik Baru, masyarakat memilih antara barang publik, mengambil ideologi pasar bebas sebagai basis mereka. Namun layanan terus dirancang dan disampaikan oleh spesialis teknis dalam proses yang dimaksudkan untuk dimediasi oleh permintaan publik. Apa yang gagal disadari oleh pendekatan ini adalah pemerintah menjaga publik dan juga swasta. Pendekatan ini tidak dapat mengakomodasi kebaikan publik dan karena itu gagal.
Aliran-aliran manajemen publik baru ini gagal sebagian karena mereka tidak memperhitungkan pengetahuan lokal dan tidak secara efektif melibatkan masyarakat negara. Wildavsky dan Pressman (1973) menyampaikan poin yang sama dalam studi soal implementasi kebijakan di Amerika Serikat. Mereka menunjukkan bahwa kegagalan kebijakan pada implementasi tidak hanya tentang kompleksitas mekanisme kelembagaan tetapi juga bahwa kebijakan yang dirancang di tingkat nasional di Washington DC tidak memperhitungkan perbedaan regional, perbedaan desa-kota, dan sebagainya. Dengan kata lain, mereka tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masyarakat lokal dan dirancang tanpa manfaat dari masukan masyarakat.
Karena apa yang dilihat sebagai kegagalan manajemen publik baru
untuk melayani kepentingan publik inilah, dua dekade terakhir telah
dipenuhi oleh seruan untuk memperdalam demokrasi melalui peran baru untuk administrator publik, transparansi informasi dan akuntabilitas sosial. Terkadang disebut ‘layanan publik baru’ (Xxxxxxxx dan Xxxxxxxx, 2007) atau ‘demokrasi deliberatif’ (Xxxxxx dan Xxxxxx, 2005), fokusnya adalah pada peran pembuatan kebijakan dan manajemen publik untuk melayani publik, bukan sebaliknya. Dalam keterlibatan yang lebih mendalam dari ‘co-governance’ (Xxxxxxxx, 2004), masyarakat mengambil bagian dalam pembuatan kebijakan, pemantauan dan panggilan organisasi layanan dan pemerintah untuk memperhitungkan melalui sejumlah mekanisme, misalnya, ombudsman, mobilisasi publik, media massa atau sistem pengadilan. Ini bergerak di luar ‘partisipasi ritual’ dari proses perencanaan tradisional tick-the-box (Xxxxx dan Kothari, 2001, Xxxxxx dan Mohan, 2004) dan memungkinkan masyarakat untuk berperan lebih konstruktif dalam memantau dan memastikan bahwa standar pelayanan minimum tercapai .
Transisi dari ‘pemerintah ke tata kelola pemerintahan’ ini memiliki implikasi penting bagi diskusi kita tentang bukti dan pengetahuan. Kegagalan paradigma manajemen publik lama dan baru juga merupakan kegagalan negara yang berfokus pada sumber pengetahuan yang terbatas. Saat ini, pemerintah bukan lagi satu-satunya pemegang pengetahuan. Pertanyaannya adalah siapa yang memiliki pengetahuan dan masalah apa yang adil dari kontestasi berbagai jenis pengetahuan, baik yang digunakan untuk kebijakan maupun dalam produksi pengetahuan. Dengan demikian, peran serving pemerintah yang baru adalah, di satu sisi, untuk memfasilitasi dan mewujudkan sesuatu (menjadi ‘Indonesia Melayani’) dan, di sisi lain, menyediakan ruang untuk kontestasi dan berbagai sumber pengetahuan. Pejabat pemerintah perlu berinteraksi dengan orang bukan sebagai klien atau benda tetapi sebagai warga negara dengan hak dan pemegang pengetahuan lokal yang berharga. Keterampilan baru yang perlu dipelajari oleh pejabat pemerintah termasuk cara membuat ruang untuk keterlibatan masyarakat dalam keputusan dan pengawasan kebijakan, cara menugaskan (daripada menyediakan) berbagai layanan publik, dan
bagaimana memimpin negosiasi dan memobilisasi persetujuan tentang
kebijakan lokal yang diinginkan.
Bekerja secara Politis
Kebijakan publik adalah produk politik. Untuk meningkatkan penggunaan pengetahuan lokal dalam pembuatan kebijakan publik, kita perlu bekerja dengan pengetahuan lokal melalui dimensi politiknya. Pengetahuan lokal sebagai sensibilitas komunal bersama adalah representasi dari keprihatinan atau aspirasi bersama masyarakat. Dari perspektif politik, pengetahuan lokal adalah kelompok kepentingan. Pengetahuan lokal berada di bawah satu definisi yang berpengaruh dari kelompok kepentingan (Martini, 2012: 2): ‘asosiasi individu atau organisasi yang atas dasar satu atau lebih keprihatinan bersama, berupaya memengaruhi kebijakan publik demi kebaikannya’. Dalam konteks pembuatan kebijakan, kita bisa melihat pengetahuan lokal sebagai aspirasi politik bersama. Dalam hal ini, domain kontestasi dengan demikian bukan tentang bagaimana membuat pengetahuan lokal ilmiah sehingga dapat bersaing dengan pengetahuan ilmiah dalam hirarki pengetahuan, tetapi untuk mengakui pentingnya kontestasi dengan kelompok-kelompok kepentingan lain dalam mempengaruhi kebijakan. Produsen pengetahuan lokal, sebagai kelompok kepentingan, dapat fokus pada posisi mereka sebagai yang mewakili kepentingan publik dan memiliki pengetahuan lokal yang akan bersaing dengan kepentingan lain (ilmiah dan profesional).
Pengetahuan lokal, melalui platform representasi politik, dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi proses pembuatan kebijakan melalui aktor perantara (anggota DPRD, aktor masyarakat sipil atau bahkan yang disebut pelobi profesional) karena berusaha mempengaruhi tindakan legislatif. Upaya-upaya ini untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan dapat terjadi melalui berbagai mekanisme, termasuk komunikasi langsung dengan pejabat pemerintah, partisipasi dalam audiensi publik, penyusunan laporan kepada anggota pemerintah tentang isu-isu kebijakan tertentu, serta melalui media sosial dan
pengaturan wacana publik di media konvensional. . Dalam proses ini, sebagaimana dicatat oleh Xxxxxx (2007), pengetahuan lokal harus bekerja dengan berbagai jenis pengetahuan dan sumberdaya, seperti keahlian dalam masalah kebijakan, informasi tentang pendapat pembuat kebijakan lain, dan organisasi masyarakat.
Mengubah pengetahuan lokal menjadi sebuah kekuatan penekan dan platform kelompok kepentingan untuk menginformasikan kebijakan bukanlah kegiatan yang korup atau tidak sah12. Ini adalah tentang bekerja secara politis untuk memastikan bahwa aspirasi bersama masyarakat diadopsi dalam kebijakan publik. Platform kelompok kepentingan dapat meningkatkan pembuatan kebijakan, dan mereka memainkan peran penting dalam meminta pertanggungjawaban pemerintah dengan memberikan persetujuan masyarakat serta tekanan dalam proses legislatif dan regulasi. Di negara yang terdesentralisasi seperti Indonesia, pengaruh kelompok kepentingan melalui lobi adalah instrumen alternatif dari pengaruh politik vis-à-vis korupsi yang berpusat di sekitar partai politik (Xxxxxx, 2002).
Perlu dicatat bahwa keuntungan dan kerugian dari platform ini akan tergantung pada seberapa besar kekuatan kelompok kepentingan tersebut, serta bagaimana kekuatan didistribusikan di antara mereka (Martini, 2012). Seperti yang terlihat dalam satu studi kasus dalam buku ini, pengaruh yang tidak proporsional dari klan dominan dalam kebijakan perikanan pesisir di Maluku, misalnya, dapat menyebabkan pengaruh yang tidak semestinya atau penunggangan oleh kaum elit (elite capture) yang meminggirkan klan lain; sementara industri perburuan paus yang didominasi laki-laki di Lembata di Nusa Tenggara Timur mungkin telah
12 Terdapat perdebatan pro dan kontra terkait peran kelompok-kelompok berbasis kepentingan (interest groups) dalam pembuatan kebijakan (Xxxxxxxxx, 2009; Martini, 2012). Bekerja dengan kelompok ini bukanlah sebuah hal yang tidak patut karena sifatnya yang rentan kepentingan, namun merupakan merupakan sebuah elemen kunci dalam proses pengambilan kebijakan karena pada dasarnya prosesnya adalah sebuah kontestasi kepentingan. Xxxxxxx (2012) selanjutnya menguraikan manfaat dan kelemahan bekerja melalui kelompok berbasis kepentingan, terutama soal sejauhmana besar pengaruh kuasa yang dipunyai kelompok ini dan bagaimana kuasa ini dididistribusikan diantara mereka.
mengabaikan kebutuhan atau aspirasi perempuan di sekitar partisipasi dalam berburu ikan paus. Hubungan antara pembuat kebijakan dan kelompok kepentingan berjalan berdasarkan etika yang baik yang memisahkan demokrasi partisipatif dari pengaruh yang tidak semestinya. Fokus utama di sini adalah pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat untuk mempengaruhi proses kebijakan. Tetapi ada bentuk lain dari pengetahuan lokal. Salah satunya adalah pengetahuan agama, yang sekarang akan sejenak kita perhatikan. Ketika kita berpikir tentang proses menggunakan pengetahuan dan bukti, seringkali asumsi yang mendasari adalah bahwa jenis-jenis pengetahuan yang sah untuk mempengaruhi kebijakan, seperti penelitian, data dan bukti, semuanya sekuler. Namun, ada juga pengetahuan lokal yang mengacu pada kitab suci dan praktik keagamaan dan yang dapat berdampak positif terhadap
kebijakan publik.
Kotak 2. Pengetahuan agama sebagai bentuk pengetahuan lokal13
Sejak Zaman Pencerahan dalam pemikiran Barat, agama telah dipisahkan dari hal-hal yang disebut sekuler. Orang sekuler telah diistimewakan sebagai wilayah rasional, dan ilmiah, modern. Agama dipandang sebagai wilayah mistis, emosional, dan pra-modern. Dasawarsa keistimewaan sekuler memuncak dalam tesis sekularisasi - bahwa ketika negara-negara semakin maju, mereka akan sekuler. Tesis itu sekarang telah dibantah (Xxxxxx et al, 2012). Bukti empiris menunjukkan bangsa demi bangsa maju secara ekonomi dan politik, sementara perhatian publik dan swasta terhadap isu-isu agama tidak berkurang sama sekali, melainkan meningkat. Indonesia adalah contoh yang bagus untuk itu. Para sarjana sekarang berbicara tentang ‘dunia pasca-sekuler’. Munculnya perhatian ilmiah terhadap agama di antara para ilmuwan politik dan bahkan para ekonom layak mendapatkan
13 Terima kasih khusus untuk Xxxxx Xxxx yang telah menyusun bagian ini
perhatian.
Fenomena yang sama berlaku di dunia donor dan di antara mereka yang peduli dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Di masa lalu pengetahuan agama dianggap sebagai benteng sekularisme, tetapi dalam dekade-dekade tahun 2000-an, Bank Dunia, Departemen untuk Pembangunan Internasional (DfID) Inggris, dan donor lain telah mendanai penelitian dan proyek yang meneliti peran agama dalam pembangunan. Pekerjaan ini berkisar dari upaya instrumental untuk melibatkan masyarakat agama dalam inisiatif pembangunan (sesuatu yang Indonesia memiliki sejarah yang panjang), untuk pertimbangan tentang bagaimana kebijakan negara dapat dipengaruhi oleh masyarakat agama.
Di Asia, pemikiran politik dan filsafat tidak membatasi agama dari sekuler dengan cara yang sama seperti pemikiran politik barat, dan hubungan yang jauh lebih bernuansa dan terintegrasi antara agama dan politik. Prinsip pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konteks itu, Pemerintah Indonesia mengakui enam agama resmi. Ada hubungan langsung antara agama dan kebijakan, dan khususnya implementasi layanan publik. Warga negara Indonesia yang tidak memiliki KTP yang memvalidasi keanggotaan mereka dari salah satu dari enam agama ini tidak memiliki akses ke layanan publik, tidak dapat menghadiri sekolah umum, tidak dapat menikah secara hukum dan tidak dapat mendaftarkan kelahiran anak-anak mereka.14
Ini menimbulkan pertanyaan tentang pengetahuan agama siapa yang penting: Siapa yang memiliki wewenang untuk menentukan batasan bagi enam agama yang diakui negara? Siapa yang berada di dalam dan siapa berada diluar? Pada pengetahuan religius apa otoritas
14 Kementerian Dalam Negeri telah secara terbuka menyatakan bahwa warga negara tidak harus mengisi kolom ‘agama’ di KTP mereka, tetapi ini belum secara resmi diterjemahkan kedalam kebijakan atau hukum, sehingga belum diketahui semua pihak. Selanjutnya, pada bulan November 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pengikut agama pribumi tidak harus mengosongkan kolom ‘agama’ di KTP mereka, dan hal ini pada intinya merupakan pengakuan terhadap keberadaan agama pribumi. Apakah ini akan mengakibatkan berakhirnya kebijakan diskriminatif berdasarkan afiliasi agama masih harus dilihat.
itu seharusnya didasarkan? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting dalam menentukan bagaimana kebijakan publik dilaksanakan, dan relevansinya dengan kehidupan sehari-hari warga negara tergantung pada layanan tersebut. Beberapa cendekiawan Indonesia, di antaranya Xxxxxx Xxxxxx Xxxxx dari Universitas Gajah Mada, mengeksplorasi peran lembaga negara seperti Departemen Agama, lembaga negara semu seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Majelis Ulama Indonesia, dan organisasi non-pemerintah, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dalam mendefinisikan identitas agama dan karena hal ini akan memberikan warga negara tertentu akses ke layanan publik, sementara orang-orang lain tidak (Xxxxx 2014).
Di Asia pada umumnya, dan di Indonesia khususnya, ada pandangan bahwa ketika agama meresap kedalam kehidupan sehari-hari di banyak tingkatan, agama harus juga dipertimbangkan ketika mengembangkan dan menerapkan kebijakan publik. Tingkat kenyamanan dengan hubungan berpori antara agama dan politik, terutama ketika menyangkut kebijakan, memungkinkan kita untuk mempertimbangkan agama, dan pengetahuan agama, sebagai salah satu dari banyak faktor yang harus kita perhitungkan saat kita berusaha mengurangi kemiskinan, meningkatkan layanan publik, dan menstimulasi kesejahteraan ekonomi melalui kebijakan publik. Seperti diilustrasikan dalam kisah Pusat Manajemen Bencana Muhammadiyah di bawah ini, Indonesia memberikan contoh positif tentang bagaimana pengetahuan agama dan otoritas keagamaan dapat meningkatkan akses ke masyarakat yang terpinggirkan, memungkinkan penyebaran pesan dan praktik kesehatan dan pendidikan yang penting melalui jaringan nasional yang luas yang dimiliki organisasi keagamaan, atau memberikan legitimasi kepada kebijakan sosial pemerintah.
Salah satu organisasi tanggap bencana yang paling aktif dan
terkenal di Indonesia, Pusat Manajemen Bencana Muhammadiyah (MDMC), berbasis agama. Setelah tsunami Aceh 2004, jaringan- jaringan Muhammadiyah ditarik oleh lembaga-lembaga bantuan internasional dan nasional, karena mereka dapat bergerak cepat untuk masuk ke daerah-daerah yang terkena bencana. Masyarakat lokal
mempercayai mereka lebih dari pemerintah, dan mereka dapat dengan cepat memobilisasi dukungan, donasi dan bantuan dari keanggotaan besar mereka. Ketika pengalaman ini diulang setelah gempa Yogyakarta 2006, gempa Sumatera 2008 dan Gn. 2009 Letusan Merapi, para pemimpin Muhammadiyah menyadari bahwa mereka dapat memberikan kontribusi unik terhadap respons bencana di Indonesia. Akibatnya, mereka secara resmi mendirikan MDMC. MDMC membantu menerapkan kebijakan tanggap bencana di Indonesia, termasuk upaya pencegahan dan mitigasi. Lembaga ini jugamemberikan pelatihan mitigasi bencana di sekolah-sekolah dan rumah sakit di seluruh negeri. Tetapi bagaimana MDMC menggunakan pengetahuan agama dalam pekerjaannya, yang merupakan respon kemanusiaan dan oleh karena itu tidak berdasarkan agama? MDMC telah memanfaatkan pelatihan agama untuk menghasilkan beberapa makalah seperti, ‘Theologi bencana’, dan, ‘Ideologi hak asasi manusia pascabencana’. Makalah ini mengeksplorasi bagaimana ajaran agama membantu kita memahami bagaimana menanggapi pada saat bencana, dan tentang tanggung jawab orang untuk membantu semua manusia, terlepas dari agama. Xxxx dapat memberikan motivasi dan kenyamanan kepada orang- orang yang kehilangan orang-orang tercinta atau rumah-rumah akibat bencana. MDMC menggunakan posisinya yang unik sebagai organisasi tanggap bencana berbasis agama untuk membawa dua dunia pengetahuan agama dan kebijakan bencana bersama-sama dengan cara yang lebih efektif.
Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Partisipatif
Pembangunan partisipasif adalah melibatkan masyarakat secara sistematis dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan oleh kelompok masyarakat, menghubungkan mereka yang telah mengembangkan metode partisipatif untuk konsultasi, perencanaan dan pemantauan untuk agenda pemerintahan yang baru (Manor, 1998; Xxxxx, 2000; Xxxxxxx, 2001; Xxxx dan Xxxxxx, 2003). Tujuan dari keterlibatan masyarakat bukan untuk memastikan bahwa setiap orang senantiasa
mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi untuk mengubah hubungan kekuasaan kedalam bentuk rekonsiliasi yang lebih adil jika terjadi klaim-klaim yang saling bersaing15, dan untuk menambah keragaman ke klaim pengetahuan.
Pembangunan partisipatif ditahapan awal sering diukur dengan kehadiran masyarakat dalam pertemuan. Proyek pengembangan akan dianggap ‘partisipatif’ jika kita dapat menunjukkan data terpilah tentang jumlah masyarakat (berdasarkan jenis kelamin, idealnya) yang menghadiri pertemuan resmi. Ini adalah ukuran yang sangat rendah untuk partisipasi. Pemikiran terbaru soal pembangunan partisipatif lebih menekankan pada partisipasi yang substantif, pada isi ketimbang bentuk, yaitu soal seberapa jauh pengetahuan ilmiah, profesional, dan lokal digunakan dalam pembuatan kebijakan. Dengan kata lain, berapa banyak proses pengembangan kebijakan yang diinformasikan oleh ide dan aspirasi masyarakat: seberapa peka terhadap budaya, seberapa sensitif jender, seberapa inklusif? Mendudukkan masyarakat sebagai pusat dari proses pembangunan adalah soal relasi kuasa sehingga penilaian terhadap partisipasi masyarakat harus diihat dengan kerangka relasi kuasa negara dan masyarakat, bukan hanya soal prosedur. Di bawah pemikiran baru tentang pembangunan partisipatif ini, faktor utamanya bukanlah partisipasi masyarakat, tetapi demokratisasi pengetahuan: sejauh mana pengetahuan lokal disesuaikan dalam proses pembuatan keputusan pembangunan. Apa yang diketahui dan dipraktikkan orang dari waktu ke waktu harus menjadi bagian dari perancangan kebijakan dan proyek yang berusaha memberdayakan dan mengembangkan orang-orang ini, yang didefinisikan sebagai tersisihkan atau terpinggirkan.
Ada bahaya bahwa pengetahuan lokal dapat menjadi elitis ketika digunakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat melalui mobilisasi (Xxxxx dan Kothari, 2001). Pelembagaan gampong dalam provinsi Aceh (lihat Bab 4, studi kasus 7) adalah salah satu contohnya. Kebijakan, proyek, dan program dirancang dari atas. Di tingkat lokal, para pemimpin
15 Xxxx Xxxxxx, dikutip dari xxxx://xxxxxxxxxx.xxx/xx0x/xx-xxxxxxxx-xxxxxxxx-xxxxxxxx-x- swindle-or-a-bit-of-both-plus-why-im-excited-about-moocs/.
lokal memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan program-program ini hanya untuk menyediakan tenaga kerja atau untuk melegitimasi kegiatan operasional. Kondisi politik dan etika yang kondusif untuk proses pembangunan perlu ditetapkan dengan:16
• Mendapatkan persetujuan dari masyarakat.
• Memastikan kelompok masyarakat mendapatkan informasi yang memadai tentang program yang sedang dirancang; informasi yang tersedia cukup memadai dan relevan, dan dikemas dengan baik; orang dapat memahaminya; dan informasi dapat digunakan sebagai alat dalam pengambilan keputusan mereka.
• Menantang sistem representasi masyarakat yang ada sehingga proyek ini inklusif.
• Memastikan para wakil dipilih dan bertanggung jawab kepada warga/konstituen; mereka mewakili pandangan dan pendapat masyarakat mereka; dimensi politik ini kadang-kadang diabaikan dalam perdebatan tentang penggunaan pengetahuan lokal dalam pembangunan karena pengetahuan lokal dianggap sebagai mekanisme adat yang tidak selalu demokratis dan inklusif.
• Menyediakan platform untuk dialog.
• Menyepakati organisasi dan masyarakat apa yang harus didengar suaranya; terlibat dalam diskusi dan pengambilan keputusan yang tidak terganggu oleh struktur kekuatan proyek pembangunan; jika keputusannya berdasarkan pengetahuan lokal, orang tidak takut untuk membuat proposisi apa pun yang ingin mereka buat jika itu menjadi keprihatinan bersama di masyarakat.
Peran strategis lain dari pengetahuan lokal dalam mendemokrasikan proses pembangunan adalah dengan membuka diri untuk pengambilan keputusan yang inklusif. Desentralisasi adalah devolusi kekuasaan. Pengetahuan lokal menginformasikan struktur dan mekanisme yang tepat untuk manajemen sumberdaya dan proses pengambilan keputusan.
16 Diadaptasi dari Laaksonen 2006. Xxxxxxxx dan Xxxxxxxxxx memberiikan pendekatana
yang mirip dalam Breaking Xxxxxx’x Xxxxx.
Penggunaan utama dari pengetahuan lokal dalam pembangunan adalah pemberdayaan. Di sini, kekuasaan diberikan kepada orang-orang melalui penggunaan pengetahuan dan kapasitas asli yang tersedia di lapangan. Struktur partisipasi masyarakat setempat ini memungkinkan adanya dialog antara masyarakat pemilih dengan wakil mereka tentang masalah pembangunan dan solusinya. Pengetahuan lokal harus tersedia untuk berbagai kelompok masyarakat sehingga masyarakat setempat dapat menentukan proyek mana yang mereka sukai, bagaimana sumberdaya harus dimobilisasi secara internal, dan apa yang dibutuhkan dari luar.
Masyarakat saat ini lebih kompleks daripada generasi yang lalu. Di negara berpenghasilan menengah ke bawah seperti Indonesia, masalah pembangunan sederhana telah dibahas: membangun sekolah dan menetapkan anggaran pendidikan yang kuat, misalnya. Dengan globalisasi dan meningkatnya lapisan aktor dalam pemerintahan, solusinya jauh lebih rumit: bagaimana cara memastikan semua anak menempuh pendidikan di sekolah menengah bukan hanya masalah membangun sekolah; perlu penanganan banyak masalah sosial dan ekonomi, termasuk memastikan kualitas pengajaran, membangun prioritas masyarakat dalam pendidikan, menciptakan insentif untuk kehadiran di sekolah, dan lain-lain. Masalah-masalah ini tidak dapat dipecahkan secara teknis (Xxxxxxxxxxxxx et al, 2016). Harus dihimbau adanya perubahan perilaku tidak hanya dalam kebijakan dan praktik pemerintah yang melingkupi pendidikan universal, tetapi juga dari orang tua dan guru. Ada beberapa lapisan pemerintahan: Indonesia 2014 membuat keputusan terdesentralisasi ke 75.000 desa (Xxxxxx, Xxxxxxxxx dan Wetterberg, 2016), sementara di tingkat regional Indonesia adalah anggota Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Kemitraan Trans-Pasifik. Isu-isu seperti pertumbuhan yang adil dan perubahan iklim tidak dapat ditangani oleh satu kementerian saja. Kompleksitas menuntut pemerintah untuk berubah, menggunakan banyak sumber pengetahuan dan data untuk menemukan solusi yang tepat.
Struktur pemerintahan yang baru dan tuntutan masyarakat dapat memaksa instansi pemerintah untuk memperluas konsultasi publik,
melaksanakan praktik tata kelola partisipatif di tingkat lokal, mendorong partisipasi masyarakat, dan mengembangkan kemitraan baru dengan organisasi masyarakat sipil – Layanan Publik Baru. Pemerintahan, kebijakan, dan politik tidak lagi hanya untuk para pakar, politisi dan pejabat pemerintah. ‘De-profesionalisasi’ politik dan administrasi publik perlu dilakukan (Xxxxxxx, 2009), atau dalam kata-kata Xxxxx Xxxxx (2004: xi), ‘membongkar tirani teknik’ (breaking the tyranny of technique). Ini adalah sisi yang lebih positif, yakni demokratisasi kebijakan publik, pelibatan masyarakat dalam kebijakan publik, pengambilan keputusan dan proses pengetahuan-(disertakan) kedalam-kebijakan.
Dengan demikian kita perlu memperluas peran masyarakat dan pengetahuan lokal yang mereka miliki sehingga tidak hanya menjadi objek kebijakan negara, penerima pasif pendanaan pemerintah atau produsen kearifan lokal gaya lama. Kekecewaan terhadap politik arus utama adalah sesuatu yang telah kita lihat di Eropa dan Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir. Seperti disebutkan, ini telah melahirkan bentuk-bentuk baru populisme, politik warga negara, demokrasi deliberatif dan percobaan tata kelola. Yang menarik, perkembangan yang paling menarik terjadi di tingkat lokal, karena disitulah kepadatan kekuatan sosial dapat ditemukan dan di tingkat ini perekrutan politik dan pembangunan konstituensi terjadi. Di sana pula orang dapat menerjemahkan kebijakan nasional ke dalam program lokal terutama terkait isu-isu lokal yang berhubungan dengan ideologi nasional.
Pengetahuan ilmiah hanya dapat menambah nilai jika dihasilkan melalui proses pemahaman makna dan konteks lokal. Jika ‘yang penting adalah (melakukan) apa yang betul-betul dapat dijalankan’ (Xxxx Xxxxx, dikutip di Banks, 2009: 1), kita memerlukan pengetahuan lokal untuk menunjukkan apa yang mungkin akan berhasil dilakukan dalam kondisi apa dan untuk siapa. Akhir segalanya bukan terletak pada solusi kebijakannya; tapi bagaimana membuat kebijakan berfungsi - dan ini adalah kegagalan yang sering dilakukan masyarakat donor dalam mempromosikan solusi yang sensitif secara lokal. Menjadi lebih baik jika
kita melihat ide-ide kebijakan yang secara inheren adalah tentang pilihan dan preferensi politik. Kebijakan tanpa pengetahuan lokal cenderung akan salah sasaran dan acak, dan dampaknya mungkin positif, netral atau negatif. Memperkaya kebijakan dengan memasukkan pengetahuan lokal berkontribusi pada pengujian dan pengamatan faktual yang merupakan inti dari pengembangan pengetahuan untuk pembangunan nasional.
Kesimpulan
Paradigma tata kelola baru yang diperkenalkan dalam bab ini adalah tentang proses, politik, dan konteks. Melalui partisipasi masyarakat dan integrasi pengetahuan lokal dalam pembuatan kebijakan, hubungan antara masyarakat dan kepentingan publik dijalin. Hal ini memungkinkan masyarakat sebagai pengguna untuk memiliki pendapat yang lebih langsung, terinformasi dan kreatif dalam proses penulisan ulang kebijakan yang memberi arahan bagi perancangan and penyediaan layanan publik. Demokratisasi diperlukan dalam proses pembuatan kebijakan publik, yang di dalamnya warga berpartisipasi tidak hanya selama pemilihan umum tetapi juga pada masalah sehari-hari. Kekuasaan dihasilkan oleh aksi masyarakat. Tindakan politik berkelanjutan dimulai dengan ‘seribu pemberdayaan kecil’, dan bukan desain besar (Sandercock, 1998).
Pembuatan kebijakan pada dasarnya bersifat politis: “Nilai, minat, kepribadian, waktu, keadaan, dan kebetulan” singkatnya, demokrasi - menentukan apa yang sebenarnya terjadi ‘(Banks, 2009: 4). Kita harus menyelidiki masalah yang penting di wilayah tempat kita hidup (Flyvbjerg, 2001: 166). Jika ungkapan amat terkenal Xxxxx Xxxxxxx, “culture eats strategy for breakfast, lunch, and dinner,” yang secara komunikatif dapat diterjemahkan menjadi: “budaya akan mengalahkan strategi (menjadikan strategi seperti santapan pagi, siang atau malamnya)” benar, kita diharuskan untuk lebih memperhatikan makna dan konteks sosial yang membentuk konteks dan budaya - jika tidak kita akan berakhir dengan kebijakan yang di atas kertas sempurna tapi mungkin gagal dalam
implementasi—seperti yang sering kita keluhkan selama ini. Ketika penelitian mempengaruhi kebijakan, sebagaimana dicatat oleh Xxxxxx (2009: 50), ‘Selalu ada turbulensi akibat persinggungan berbagai faktor saat keputusan kebijakan dibuat dan hasil kebijakan diperoleh’. Dan dalam gejolak ini, kita perlu dibimbing oleh pengetahuan dan konteks yang diciptakan oleh masyarakat setempat.
Bab 4.
Cerita tentang Pengetahuan Lokal
P
ada tahun 2014, KSI memberikan hibah kepada 10 lembaga penelitian Indonesia untuk mendokumentasikan pengalaman mereka terkait pengetahuan lokal, khususnya tentang bagaimana pengetahuan lokal dihasilkan, dikelola dan dimanfaatkan untuk memengaruhi kebijakan dan praktik-praktik yang terjadi di masyarakat.17 Pada bulan April 2016, sebuah konferensi diselenggarakan sesudah 10 mitra menulis laporan tentang hasil penelitian merek18. Sebelum kami memberikan penjelasan yang lebih terperinci tentang bagaimana munculnya pengetahuan lokal pemanfaatannya, bab ini akan memberikan gambaran singkat tentang kasus-kasus yang dikaji oleh 10 lembaga penelitian mitra KSI sebagai konteks untuk mengantar ke bab-bab berikutnya yang bersifat lebih analitis. Kami mengangkat kisah-kisah ini dari laporan singkat yang disiapkan oleh organisasi-organisasi penerima
hibah sebelum konferensi berlangsung.
Studi Kasus 1: Air bersih untuk semua – Perkumpulan Pikul
Pada tahun 2010, masyarakat desa Baumata Timur di Nusa Tenggara Timur menerima kabar baik. Program pemerintah tentang Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) akan menjangkau desa mereka. Selamat tinggal krisis air bersih!, begitulah
17 Dari lebih dari 500 proposal yang diterima, 74% berasal dari LSM dan 21% dari perguruan tinggi (sisanya adalah individu dan instansi pemerintah). Sebanyak 31% berbasis di Pulau Jawa dan 7% berasal dari Maluku dan Papua. Sisanya terbagi secara merata antara Sumatera, Kalimantan, Sulawesi serta Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
18 Lihat xxxx://xxx.xxx-xxxxxxxxx.xxx/xx/xxxx/xxxxxx/xxxxxxxxx-xxxxxx-xxxxxxxxxx-xxx-
supports-local-knowledge-in-policy-making
harapan masyarakat Baumata. Proyek ini berhasil membangun empat bak penampung air (reservoir) baru, termasuk didalamnya satu reservoir yang menampung air dari sumber air di Baumata. Selain pembangunan bak penampung baru, proyek ini juga merehabilitasi empat bak penampung yang terlantar, yang dibangun oleh proyek lain pada tahun 2006 dan memperluas jaringan perpipaan hingga sekitar 500 meter. Untuk mendistribusikan air, sebuah pompa listrik dengan kapasitas
13.000 Kwh dipasang. Secara keseluruhan proyek ini menelan biaya sebesar Rp 275 juta (US $ 20,600), dengan dana yang berasal dari APBN dan APBD serta masyarakat sendiri. Namun, sejak proyek ini selesai pada bulan Desember 2010, air yang ditunggu-tunggu tidak pernah mengalir. Meteran listrik di pompa-pun telah dicabut oleh PLN.
Banyak daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki cerita serupa19. Proyek pemerintah yang menyediakan air bersih atau sistem irigasi sering berakhir dengan kegagalan. Saat ini, Nusa Tenggara Timur mengalami defisit air sekitar 1,5 miliar meter kubik per tahun. Kebutuhan air bersih hanya memenuhi 36 persen dari jumlah penduduk. Pemerintah provinsi telah menetapkan target bahwa pada tahun 2019 kebutuhan air semua masyarakat akan terpenuhi. Secara teknis dan hidrologis, target ini layak tercapai mengingat sumber daya air yang ada di provinsi tersebut. Namun mengapa begitu banyak proyek penyediaan air bersih yang tidak berkelanjutan? Apa yang salah? Dan apa solusinya? Perkumpulan Pikul yang berbasis di Kupang yakin bahwa salah satu alasannya adalah karena sangat sedikitnya faktor-faktor sosial politik di daerah tersebut yang diketahui, yang dapat menghambat keberlanjutan inisiatif pengelolaan air bersih di Nusa Tenggara Timur.
Menurut rencana pembangunan provinsi tahun 2014-2019,
19 Meskipun ada serangkaian proyek infrastruktur di provinsi ini, yang merupakan salah satu provinsi termiskin di Indonesia, rendahnya curah hujan rendah dan buruknya infrastruktur menyebabkan krisis air bersih terjadi setiap tahun di musim kemarau. Hal ini memaksa masyarakat setempat untuk mengkonsumsi air yang tidak higienis, karena penduduk tidak mampu membeli air dari PDAM dengan tarif yang menjulang. Selain itu, kekurangan air di provinsi ini dapat memberikan beban yang sangat tinggi bagi penanaman padi dan irigasi, sehingga mengakibatkan gagal panen (Asian Development Bank, 2012)
setidaknya ada 10 bendungan/saluran air, 200 bendungan irigasi dan
4.000 bendungan kecil yang akan dibangun. Melihat kasus bendungan Kolhua yang terletak di kota Kupang, rencana pembangunan tersebut mungkin tidak mudah untuk diwujudkan. Bendungan Kolhua, yang menelan biaya sebesar Rp 480 miliar (US$ 36 juta), memicu protes dan konflik karena masalah pembebasan lahan. Ini baru satu bendungan yang hanya membutuhkan 81 hektar lahan. Kesepuluh bendungan yang akan dibangun membutuhkan lahan seluas 15.490 hektar. Sulit untuk dibayangkan bahwa pembangunan ini akan terwujud dalam waktu dekat. Untuk menjajaki tantangan ini, Pikul melakukan penelitian di sejumlah lokasi di Nusa Tenggara Timur yang masyarakatnya telah berhasil mengelola sumber daya air untuk kebutuhan mereka sendiri dengan memanfaatkan pengetahuan lokal yang bersifat nirlaba dan pendekatan berbasis kearifan. Penelitian ini dilakukan di beberapa komunitas dan berbagai pendekatan telah diidentifikasi. Di desa Naip, misalnya, masyarakat berhasil dilibatkan dalam pengelolaan air berbasis klan; di Apui, pendekatan terhadap masyarakat yang diterapkan untuk mengelola air bersih adalah pendekatan berbasis gereja; di Noelbaki, masyarakat menggunakan pengelolaan air bersih berbasis kelompok kepentingan; di Uiasa, pendekatan pengelolaan air bersih berbasis desa digunakan; dan di Wehali, pengelolaan air bersih berbasis masyarakat adat dipraktikkan. Pikul menemukan bahwa ada 10 prinsip penggunaan pengetahuan lokal yang dibutuhkan agar pasokan air dapat mengalir ke semua masyarakat. Beberapa prinsip yang paling penting adalah sebagai
berikut:20
1. Masyarakat setuju bahwa meskipun sumber air berada di bawah tanah atau di kawasan milik klan tertentu, sumber ini masih akan dimanfaatkan dan dikelola secara kolektif. Kepemilikan sumber air tidak didasarkan pada pernyataan pribadi tetapi akan selalu berada di
20 Keenam prinsip lainnya adalah: 1) kebijakan pemberian sanksi secara bertahap (sanksi
untuk setiap pelanggaran akan diberikan secara bertahap, 2) mekanisme resolusi konflik,
3) pengakuan atas hak untuk berorganisasi, 4) pengelolaan hirarki berbasis masyarakat, 5)
pelibatan masyarakat, dan 6) tata kelola air yang mencerminkan struktur sosial budaya.
bawah kendali klan.
2. Sebagai sumber kehidupan dan mitos, sumber air berkaitan erat dengan struktur masyarakat adat setempat. Hubungan antara air dan manusia berada dalam sistem/ institusi lokal. Misalnya, dalam konteks kelompok Wehali air berkaitan dengan kekuatan xxxxxxxxxxxx, Xxxxxxx Maromak, yang merupakan asal mula penduduk setempat. Hubungan atau struktur adat yang berkaitan dengan subsistem air dilambangkan melalui rumah adat. Rumah adat berperan sebagai pengingat kolektif terhadap struktur dan proses pengelolaan air bersih sesuai dengan kepercayaan masyarakat setempat.
3. Sebagai identitas yang mengedepankan pengetahuan dan berbagai nilai kearifan lokal, secara fisik sumber air dikelola menurut kepercayaan masyarakat setempat. Di Naip dan Wehali, pemilik atau orang yang mengawasi sumber air tidak ingin mengubah bentuk fisik sumber air menjadi sistem yang lebih modern, seperti membuat waduk. Namun, di Noelbaki, Uiasa, dan Apui, ada upaya untuk menciptakan perubahan fisik dengan membangun waduk dan menggunakan sistem penangkapan air lainnya. Meskipun terdapat perbedaan dalam sistem penangkapan air, ada satu hal yang tetap sama, yaitu bahwa struktur pengelolaanya tetap berada di tangan klan yang menemukan sumber air.
4. Masalah pengelolaan sumber air berada di seputar hal-hal tertentu, yaitu pemilik klan, mitos, epik dan kisah-kisah di balik sumber air. Ada pula ritual dan peraturan yang jelas yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber air, identifikasi penerima manfaat, dan batas-batas fisik pasokan air. Prosedur dan struktur pengelolaan air bersih menjadi ingatan kolektif bagi masyarakat setempat. Ingatan kolektif adalah bentuk pengakuan dan tanggung jawab atas sumber daya yang ada.
Pikul menjadikan kearifan lokal sebagai acuan dalam memberikan rekomendasi tentang kewajiban pemerintah setempat dalam memenuhi hak-hak masyarakat untuk mendapatkan air bersih. Pikul berhasil memasukkan ide-ide yang terkandung dalam pengetahuan lokal dalam
perdebatan tentang pengelolaan air bersih. Enam naskah kebijakan disusun dan disosialisasikan untuk memicu munculnya wacana lokal dan dialog tentang kebijakan.21 Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) yang berada di lingkungan kantor dinas pekerjaan umum, yang merupakan kelompok kerja multi-partai yang mengelola air minum dan urusan kesehatan lingkungan, telah menunjukkan ketertarikan untuk menyebarluaskan temuan Pikul.
Studi Kasus 2: ‘Baleo! Baleo! Baleo!’ – Poros Photo
‘Baleo! Baleo! Baleo’. Adalah seruan yang memekik di telinga dan tetiba menggema di seluruh sudut leffo Lamalera. Seruan itu merupakan penanda bahwa seseorang melihat seekor ikan paus tampak berenang di perairan Lamalera. Lamalera, sebuah kampung di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.22 Penduduk Lamalera bergerak dengan cepat ke pantai yang menghadap ke Laut Sawu. Mereka tahu, di laut sana “kiriman dari Tuhan” telah tiba: ikan paus.
Peledang, perahu tradisional Lamalera, disiapkan. Para matros atau awak perahu bersiap di posisinya. Para penangkap ikan dengan tombak, dikenal dengan istilah lefa alap, juga masuk ke peledang. Xxx atau tali yang disimpan di rumah adat dipikul—dari sinilah muncul istilah “baleo”. Xxxxxx sang juru tikam yang memanggul leo bersiap menakhodai perahu-perahu.
Doa didaraskan, lalu peledang didorong menuju lautan. Lagu-lagu tradisional berkumandang, sebagai penyemangat untuk para laki-laki gagah berani pengarung lautan. Perburuan dimulai. Kerja sama yang baik dan pembagian peran yang sangat jelas antar awak peledang dan antar peledang membuat keberhasilan menikam paus cukup tinggi. Selain itu,
21 Keenam naskah kebijakan ini tersedia di xxx.xxxxxxxxxxxxxxxx.xxx/0000/00/ diseminasi-riset-air/.
22 Lamalera adalah sebuah desa yang berpenduduk sekitar 2,000 orang, yang terletak di pulau Lembata yang berbatu dan memiliki kegiatan pertanian yang sangat terbatas. Penduduknya bergantung pada sumber daya yang terdapat di laut dan sebagian besar masyarakat di Lembata berburu paus untuk memenuhi kebutuhan pokok saja (Xxxxxx, 1984; Xxxxxxx, 2014).
ada keyakinan bahwa perdamaian di darat membuat perburuan berlangsung dengan baik di laut. Jika seorang matros berlayar tanpa terlebih dahulu berdamai dengan keluarga atau musuhnya, perahunya akan menghadapi masalah selama perburuan.
Inilah tradisi berabad-abad silam yang masih terpelihara di Lamalera23. Biasanya, paus “berlabuh” pada medio April-November dalam perjalanan migrasi antara Samudera Hindia dan Pasifik. Ketika hewan-hewan laut raksasa melewati laut Sawu tepat di depan pintu pulau Lembata itulah, perburuan ikan paus pun dimulai. “Tapi di luar masa itu pun kerap ada paus,” kata Bona Bedding asal Lamalera.
Namun demikian, ada pertentangan yang terjadi antara perburuan paus, lembaga lingkungan hidup dan industri pariwisata. Untuk mendukung masyarakat setempat yang melakukan perburuan paus, Poros Photo memutuskan untuk menyampaikan pesan bahwa tradisi ini merupakan bagian integral dari cara hidup masyarakat dan benar-benar merupakan pandangan dunianya; menghapuskan tradisi ini tidak hanya akan menghilangkan mata pencaharian mereka, namun juga hal penting yang mendasari rasa kebersamaan sebagai masyarakat dan identitas mereka. Sebuah pameran foto dan film diselenggarakan, dan sebuah buku yang berisi esai foto diterbitkan untuk menyampaikan pesan bahwa praktik adat perburuan paus yang dilakukan oleh masyarakat berbeda dengan perburuan paus komersial.
Paus yang diburu hanya sperm whale (Physeter macrocphalus).
Sedangkan paus Xxxxxi jarang diburu karena sangat ganas dan paus biru
-- yang memiliki semburan tepat di atas kepala mereka-- diyakini sebagai penolong warga Lamalera,”Kami tidak memburu kelaru karena itu perintah nenek moyang,” kata mereka.
Pembagian hasil buruan merupakan tradisi turun-temurun yang
ditaati oleh semua orang Lamalera, sehingga dipastikan tidak ada
23 Menurut Xxxxxx (1984), dokumen Portugis yang berasal dari tahun 1624 dan tidak diketahui penyusunnya menggambarkan penduduk pulau sedang berburu paus dengan harpoon untuk mendapatkan minyak paus, dan menyiratkan bahwa mereka mengumpulkan dan menjual ambergris
rebutan. Pembagian mengikuti struktur sosial yaitu dimulai dengan tuan tanah, pemilik rumah yang posisinya tepat saat perahu mendapatkan ikan pertama kali, dan pemilik perahu, kemudian juru tikam, dan akhirnya seluruh warga, “Semua mendapat bagian,” ujar Bona Bedding. Bahkan para pemilik perahu pun masih mengingat kebaikan orang-orang yang memberikan kayu-kayu untuk membuat peledang. Xxxx mengaku pernah disuruh ayahnya untuk memberikan daging ke seseorang yang pohonnya ditebang untuk dijadikan perahu.
Setiap orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan bagian dari setiap paus yang ditangkap. Tidak hanya para lelaki yang bergabung dengan ekspedisi ini, tetapi janda, perempuan yang belum menikah, dan para istri yang suaminya tidak bisa lagi berlayar atau tidak memiliki kesempatan untuk menagkap paus juga menerima bagian. Untuk menerima berkah dari laut, masyarakat menukarnya dengan barang. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika paus dipotong (yaitu mekanisme pembagian dalam masyarakat selesai), beberapa perempuan duduk di sebelahnya dengan wadah yang diisi dengan barang-barang yang dapat ditukar dengan daging paus.
Proses ini menggambarkan bahwa sistem distribusi hasil perburuan didasarkan pada nilai-nilai budaya komunal dan bukannya akumulasi nilai-nilai ekonomi. Sebagai bagian dari sistem ekonomi yang lebih besar, daging paus juga disimpan sebagai ‘tabungan’ untuk acara-acara penting, seperti pernikahan atau kematian. Yang lebih penting lagi adalah dendeng paus menjadi mata uang untuk perdagangan di Lamalera, yang kadang-kadang berfungsi sebagai alat barter yang utama. Pedagang di pasar cenderung memprioritaskan barter daripada menggunakan uang tunai atau melakukan jual beli dengan orang-orang yang datang ke pasar. Poros Photo melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar membuat dokumentasi sederhana tentang pengamatan dan pengetahuan lokal melalui pameran interaktif dan multimedia. Pameran ini menyajikan peluang baru untuk merekam dan berbagi pengamatan dan pengetahuan lokal. Rekaman audio dan video ini mendokumentasikan pengamatan, pengetahuan, dan narasi seperti yang diceritakan oleh pemilik
pengetahuan lokal dan masyarakat dengan menggunakan bahasa masyarakat setempat dan mampu menyoroti pentingnya menghargai makna perburuan paus bagi masyarakat.
Studi Kasus 3: Pranata Mangsa: Ketika pengetahuan tradisional bertemu dengan sains – Pusat Kajian Antropologi, Universitas Indonesia (PUSKA UI)
Perubahan iklim dapat memicu efek domino pada atmosfer dunia. Xx Xxxx, yang melanda Afrika pada Februari 2015, telah menciptakan kekeringan sesudahnya. Namun, kehancuran yang disebabkan oleh Xx Xxxx tidak berhenti sampai di situ. Musim kering di beberapa wilayah tropis, seperti Indonesia, semakin lama semakin buruk. FAO menyatakan bahwa pada tahun 2015 dan 2016, Xx Xxxx menyebabkan kekeringan terburuk dalam 35 tahun.
Petani adalah salah satu kelompok yang secara langsung terpengaruh oleh perubahan iklim. Musim kemarau yang panjang, tingkat curah hujan yang tidak menentu dan suhu yang panas mengacaukan pola tanam yang telah mereka gunakan sejak lama. “Kita dapat merasakan perubahan iklim. Panasnya tak tertahankan sekarang,” kata Yusup, salah seorang petani padi di Indramayu yang terletak di pantai utara Jawa Barat, pada awal April 2016. Meskipun Indramayu merupakan salah satu penghasil beras utama di tingkat nasional, daerah ini tetap menjadi salah satu kawasan termiskin di Pulau Jawa, karena sebagian besar petani di sana tidak memiliki lahan dan hnya memperoleh sedikit keuntungan dari produksi beras. Mata pencaharian masyarakat secara bertahap berubah menjadi non-pertanian, dengan tingkat migrasi yang sangat tinggi, baik karena urbanisasi maupun karena menjadi buruh migran dengan upah murah di Asia Timur dan jazirah Arab.
Kecamatan Balongan di Xxxxxxxxx mengalami gagal panen pada akhir tahun 2015 karena rendahnya curah hujan dan tidak adanya sumber air lain. Menurut Xxxxx, perubahan iklim telah menurunkan tingkat curah hujan di Indramayu. Musim hujan pun telah bergeser. “Hujan biasanya mulai turun pada bulan Oktober, tetapi tahun ini (2015),
musim hujan baru dimulai pada akhir November,” kata Yusup. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengkonfirmasi pengamatan Yusup dengan pernyataan mereka diakhir 2015 bahwa musim tanam untuk tahun 2015 tertunda karena pergeseran musim hujan.
Sebagian besar petani mengandalkan perhitungan tradisional untuk menentukan musim tanam. Petani di Indramayu akrab dengan kalender pertanian yang disebut pranata mangsa.24 Petani di Lombok Timur menyebutnya warige, yaitu pedoman bertani yang menggunakan kalender peredaran bulan, menurut bulan Hijriyah. Jenis hujan yang akan turun diputuskan dengan melihat pada hari apa tanggal 1 Muharram jatuh. Sistem ini diwariskan secara turun temurun, dan menggunakan tanda-tanda alam, seperti posisi rasi bintang dan perilaku hewan untuk menentukan musim tanam.
Masalahnya adalah perubahan iklim telah membuat sistem tradisional seperti pranata mangsa dan warige tidak dapat diterapkan. Xxxxx mengatakan bahwa perhitungan musim tanam berdasarkan pranata mangsa bisa jauh berbeda dengan kondisi yang sebenarnya. “Ketika musim tanam seharusnya sudah dimulai, kekeringan yang panjang masih terjadi,” kata Yusup. “Petani harus belajar beradaptasi.” Pada prinsipnya, petani adalah pembelajar sejati. Dari tahun ke tahun, musim ke musim, dan hari ke hari, mereka belajar dari proses penanaman yang mereka lakukan, dari keberhasilan dan kegagalan. Mereka juga belajar dari orangtua dan orang-orang bijak yang berbagi pengalaman mereka. Para petani ini saling berbagi pengetahuan dan belajar dari satu sama lain. Beberapa petani menyadari bahwa situasi telah berubah. “Umur saya 50 tahun, dan baru tahun ini saya tidak mengalami hujan selama Bau Nyale,” kata seorang petani di Lombok Timur. Bau Nyale adalah festival rakyat
24 Pranata Mangsa berasal dari dua kata, pranata, yang berarti peraturan, dan mangsa, yang berarti musim atau waktu. Jadi, pranata mangsa adalah peraturan yang digunakan oleh petani untuk memutuskan atau melaksanakan pekerjaan mereka. Peraturan ini dicetuskan oleh Raja Xxxxxxxxxx XXX dan mulai digunakan pada 22 Juni 1856. Sistem ini digunakan, misalnya, untuk menjalankan usaha yang berhubungan dengan pertanian, misalnya bertani, atau menangkap ikan, bepergian ke luar daerah asal, dan berperang. Pranata mangsa adalah peraturan tentang musim berdasarkan kalender matahari.
yang merayakan kemunculan cacing laut nyale setiap tahun. Gerombolan manusia berduyun-duyun pergi ke laut untuk menangkap makhluk langka ini. “Biasanya, orang akan basah kuyup ketika mereka ingin menangkap nyale,” lanjut petani tersebut.25 Sementara itu, petani yang biasanya menanam berdasarkan kalender tanam tidak bisa lagi menggunakannya, karena perkiraan musim tanam salah.
Sekolah resmi yang ditujukan bagi petani, yaitu Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), berdiri selama beberapa waktu melalui program- program penjangkauan yang dikelola oleh pemerintah, namun pendekatan yang digunakan adalah model top-down yang hanya berlangsung selama satu musim tanam dan hanya mencakup wilayah- wilayah tertentu selama pelatihan. Xxxxxxx dan Xxxxx (2011) melaporkan bahwa kondisi spesifik di daerah setempat, seperti kondisi sosial dan teknis untuk produksi pertanian, memengaruhi kemampuan dan kemauan petani untuk menerapkan prakiraan iklim berdasarkan musim yang dajarkan melalui sekolah PPL. Sekolah-sekolah lapangan bermunculan sejak gerakan revolusi hijau (green revolution) melalui Bimbingan Masyarakat (BIMAS) dimulai pada tahun 1970-an oleh pemerintah pusat. Sayangnya, revolusi ini juga menyebabkan petani lebih mengandalkan paket pertanian komersial (benih, pupuk dan pestisida). Model top-down tidak berjalan dengan baik bagi petani lokal. Mereka menginginkan sekolah lapangan yang berkelanjutan dan partisipatif, sehingga mereka mendirikan kelompok tani dan kelompok pengukur curah hujan. Mereka tidak akan mempercayai sesuatu begitu saja sampai mereka melihat buktinya. Percobaan partisipatif yang melibatkan ilmuwan dan petani, serta yang dilakukan di antara petani saja diperlukan untuk menemukan metode penanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim.
25 Penduduk yang berasal dari suku Sasak di Lombok Timur percaya bahwa Bau Nyale adalah tanda bahwa musim hujan akan segera dimulai. Namun pada tahun 2015, upacara ini tidak diikuti oleh hujan, dan tidak ada cacing yang muncul. Ribuan orang berkumpul menunggu kemunculan cacing di permukaan laut, namun hanya beberapa dari mereka yang pulang membawa nyale.
Sejak tahun 2009, Kelompok Tani Indramayu, yang difasilitasi oleh PUSKA UI, telah belajar tentang agro-meteorologi di Warung Ilmiah Lapangan. Sejumlah kelompok tani, LSM lokal dan pakar agrometeorologi dari Indonesia, Belanda dan Afrika juga telah bekerja sama melalui program ini. Pada awal tahun 2015, program serupa diperkenalkan kepada petani di Lombok Timur, yang juga merupakan salah satu kabupaten yang sangat miskin dengan juga masalah migrasi tenaga kerja. Belajar memantau dan mengukur curah hujan membantu petani menanggapi perubahan iklim. Melalui kerja sama dengan PUSKA UI, sejumlah komunitas menggabungkan metode ilmiah dengan pemantauan kondisi sawah, perilaku hewan, hama dan penyakit tanaman, yang mereka catat secara rutin. “Hasil pemantauan ini menghasilkan estimasi periode musim tanam,” kata Yusup, yang merupakan anggota Kelompok Pengukur Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxx. Petani kini mengembangkan perilaku baru: mereka telah menjadi peneliti. Petani yang sebelumnya membawa cangkul sekarang juga membawa pulpen dan buku. Mengukur curah hujan dan mengamati ekosistem sawah dapat membantu petani menentukan waktu musim tanam yang tepat. Metode ini dipraktikkan setiap hari oleh petani di Indramayu dan Lombok Timur. “Ini merupakan
strategi adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim,” kata Yusup. “Kami mengukur curah hujan.” Ini adalah cara petani mengidentifikasi
diri mereka sebagai anggota Kelompok Pengukur Curah Hujan Indramayu, yang merupakan suatu perkumpulan, jaringan dan organisasi yang mengumpulkan para petani dari seluruh kecamatan di Indramayu untuk mempelajari agrometeorologi. Dalam tujuh tahun sejak pertama kali diperkenalkan di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, Warung Ilmiah Lapangan telah didirikan sebagai lembaga sosial untuk mempelajari agrometeorologi. Warung Ilmiah Lapangan adalah pendekatan baru dalam pendidikan, yang menjadi wadah bagi petani, ilmuwan dan pendidik untuk terlibat dalam dialog tentang pertukaran pengetahuan. Melalui dialog ini, pengetahuan dialihkan dari ilmuwan ke petani agar dapat diterapkan oleh petani sebagai pengamat aktif dan pembelajar. Petani mengamati curah hujan dan kondisi agroekosistem setiap hari,
mengukur curah hujan, mendokumentasikan hasil-hasilnya, serta menganalisis, mendiskusikan dan mengevaluasi semuanya bersama- sama.
Di Lombok, petani menamakan tempat orang berkumpul dalam hubungan social, berugaq. Masyarakat bertemu setidaknya satu kali dalam bulan untuk membahas hasil pengukuran curah hujan, pengamatan agrosistem dan skenario tentang musim. Para ilmuwan atau pendamping memberikan bantuan agar pengetahuan tentang agrometeorologi yang baru bagi petani dapat mereka terapkan. Alih pengetahuan dan teknologi komunikasi ini mencakup pengukuran curah hujan, perbandingan hasil panen dan upaya distribusi. Para ilmuwan mempelajari cara-cara agar sains dapat diterapkan dengan lebih baik dan memadukan pengetahuan tradisional atau pengetahuan lokal dengan pengetahuan ilmiah.
Pendekatan Warung Ilmiah Lapangan ini sangat berbeda dengan program penjangkauan pemerintah yang memiliki pendekatan top- down. Warung Ilmiah Lapangan menyediakan wadah pembelajaran interaktif antara petani dan fasilitator, membahas pengetahuan tradisional, pengetahuan empiris dan pengetahuan ilmiah. Pendekatan ini tidak berorientasi pada ‘bantuan’ atau ‘proyek’, namun memusatkan perhatian pada ‘pemberdayaan petani’ berdasarkan kondisi aktual dan kebutuhan petani, sehingga menjadi jauh lebih efektif. Pemerintah daerah di Indramayu dan Lombok Timur telah membahas tentang kemungkinan untuk melembagakan Warung Ilmiah Lapangan, yang membuat PUSKA UI bersemangat.
Studi Kasus 4: Kedaulatan menangkap ikan di sasi lompa, Haruku
– Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Jakarta
Sumber daya kelautan di wilayah Indonesia bagian timur sangat berlimpah, namun mendapat tekanan hebat, khususnya karena penggunaan teknik penangkapan ikan yang merusak yang telah terjadi sejak tahun 1980-an. Tekanan ekonomi dan pasar memberikan insentif yang kuat untuk lebih memperluas kegiatan perikanan. Para nelayan tradisional dengan perahu dan peralatan untuk menangkap ikan yang
berteknologi rendah serta pendidikan formal yang terbatas harus bersaing dengan kapal komersial yang membawa nelayan yang lebih muda dan lebih kuat. Pada saat yang sama, penegakan peraturan negara tentang perikanan lemah, dan instansi pengawasan pemerintah memiliki kelemahan yang serius dalam hal motivasi, koordinasi, pengetahuan, infrastruktur, dan pendanaan. Lembaga desa setempat, meskipun secara umum dihormati, kurang dipercaya oleh nelayan muda yang berorientasi komersial (Novaczek et al, 2001: 5). Ambruknya perekonomian nelayan lokal, dan persaingan antara kelompok-kelompok masyarakat telah menciptakan konflik di antara masyarakat itu sendiri26 dan antara masyarakat dengan sektor perdagangan yang tidak dapat dihindari apabila pengelolaan dan pengaturan resolusi konflik tidak disiapkan.
Untuk mengatasi tantangan ini, masyarakat yang tinggal di Kabupaten Maluku Tengah bergantung pada sasi, yaitu serangkaian peraturan dan sanksi yang mengatur sumber daya alam dan kehidupan di wilayah tersebut. Di berbagai kelompok masyarakat di Maluku Tengah, sasi bahkan telah menjadi bagian dari adat dalam kehidupan mereka. Sasi terbagi menjadi empat jenis: sasi laut, sasi rumah tangga, sasi sungai dan sasi hutan. Setiap sasi memiliki peraturan dan sanksi yang berbeda. Sanksi ditetapkan oleh Saniri, atau majelis adat, yang beranggotakan perwakilan dari lima soa (suku). Penegakan peraturan dan sanksi dilakukan oleh Kewang, yaitu lembaga tradisional yang bertugas mengawasi penerapan aturan-aturan yang terkandung dalam sasi. “Raja telah membangun sasi sejak zaman dahulu,” kata Vecky Saijka, seorang penduduk pulau Haruku, salah satu kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah dengan jumlah penduduk kurang lebih dari 30.000 (data tahun 2012).
26 Sejarah di Maluku menunjukkan bahwa sentimen keagamaan dan adat seringkali dikaitkan dengan konflik kemasyarakatan. Tahun 1999-2002 konflik di Maluku menelan korban jiwa sedikitnya 13 ribu orang dan jumlah pengungsi mencapai lebih dari 330 ribu jiwa. Dengan riwayat yang demikian, meningkatnya jumlah nelayan Muslim di daerah- daerah yang didominasi oleh kelompok Kristen di Pulau Haruku dapat memicu konflik karena hal ini juga menyangkut persoalan mata pencaharian. Untuk melihat gambaran singkat namun penting tentang asal mula konflik keagamaan di Maluku pada tahun 1999, lihat xxx Xxxxxxx (2000) dan Goss (2000).
Untuk menyoroti praktik lokal yang penting ini, PATTIRO mendokumentasikan upacara dan proses yang terdapat dalam sasi, serta melakukan analisis terhadap aktor-aktor kunci yang terlibat dalam peristiwa tersebut dan peran khusus mereka. PATTIRO memfasilitasi sejumlah pertemuan yang menyepakati rekomendasi yang dihasilkan oleh penelitian untuk diubah menjadi makalah akademis guna memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan mendalam tentang konsep, tujuan dan sasaran yang terkandung dalam sasi.
Pulau Haruku adalah salah satu kecamatan di Maluku Tengah yang menjunjung tinggi sasi. Di pulau ini, sasi yang paling populer adalah sasi lompa, yaitu sasi yang mengatur masyarakat yang membudidayakan dan memanen ikan lompa (Xxxxxxx baelama) yang hidup di sungai Learisa Kayeli dan laut Maluku. “Sasi lompa dibuat untuk mencegah agar masyarakat tidak kelaparan,” kata Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, “namun juga untuk melindungi sumber daya laut agar tidak terkuras habis.”
Sasi lompa adalah perpaduan antara sasi laut dan sasi sungai untuk mengatur budidaya ikan lompa. Pada siang hari (dari pukul 04.30 hingga 18.30), ikan lompa dan make berada di sungai Learisa, yang terletak
1.500 meter dari muara. Pada malam hari, mereka berenang ke muara menuju laut untuk mencari lebih banyak plankton.
Itu sebabnya ada dua jenis sasi dalam sasi lompa. Jika ikan berada di laut, masyarakat menggunakan sasi laut. Sasi ini mencegah masyarakat agar tidak menangkap ikan lompa di laut dalam. Ikan hanya boleh ditangkap di kawasan pesisir pada kedalaman air setinggi pinggang. Sasi ini juga melarang orang merusak terumbu karang tempat ikan lompa hidup. Di beberapa daerah, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penggunaan dinamit untuk menangkap lompa.
Ketika ikan berada di sungai, masyarakat menerapkan sasi sungai, yang melarang penangkapan ikan lompa dengan menggunakan jaring atau bore (racun ikan). Sasi ini juga mengatur lalu lintas sungai. Masyarakat dilarang menggunakan perahu bermotor di sungai, karena tumpahan minyak dan limbah akan membunuh bibit ikan dan plankton. Masyarakat dilarang untuk menangkap ikan jenis lain jika ada ikan lompa di dekatnya.
Ikan Lompa dapat dipanen atau dikumpulkan setidaknya tiga kali setahun. Upacara ini disebut ‘menutup sasi’, yang dilambangkan dengan menutup daerah muara untuk kegiatan penangkapan ikan, dan ‘membuka sasi’, yang berarti orang dapat memanen ikan lompa sebanyak yang mereka inginkan. Upacara ini melibatkan masyarakat dari semua suku. ‘Penutupan sasi’ biasanya diadakan pada bulan April atau Mei, ketika ikan dapat dilihat karena jumlahnya yang berlimpah dan berkumpul di sekitar pantai. Ketika peristiwa ini terjadi, masyarakat dilarang menangkap ikan dalam jumlah besar, baik dari sungai maupun dari laut. Setelah ‘menutup sasi’, acara dilanjutkan dengan ‘sasi panas’. Ini adalah upacara untuk memanggil ikan agar pergi ke sungai. Upacara ini dimulai pada pukul 2 pagi dan dengan diawali dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh kepala Kewang yang juga bertanggung jawab untuk menghukum atau mendisiplinkan masyarakat yang melanggar aturan- aturan ini. Setelah itu, kepala Kewang, yang kemudian diikuti orang- orang lainnya membakar daun kelapa untuk menarik perhatian ikan dan berjalan menuju bebatuan Kewang di sungai, diringi oleh musik yang berasal dari genderang. Ketika gendering berhenti, mereka kemudian berteriak, “Sirewei!”, yang berarti janji dan sumpah. Kemudian kepala Kewang menyampaikan pidatonya kepada masyarakat dan memberi hormat kepada para leluhur, makhluk hidup lain dan arwah. Pada saat
itu, ‘penutupan sasi’ secara resmi dilaksanakan.
Selama lima sampai tujuh bulan ke depan, ‘pembukaan sasi’ diadakan, biasanya setiap hari Jumat. Khusus untuk ‘membuka sasi’, Raja Haruku memiliki hak veto untuk memutuskan kapan waktu yang tepat untuk memanen ikan. Tokoh-tokoh adat lainnya hanya mengawasi acara tersebut. “Raja memutuskan setelah berkonsultasi dengan pejabat pemerintahan, bukan Kewang,” kata Xxxxx Xxxxxx. Waktu panen dan jumlah ikan yang dipanen adalah dua hal yang dipertimbangkan oleh raja ketika menentukan waktu yang tepat untuk ‘membuka sasi’.
Selama bertahun-tahun, sasi lompa dipatuhi. Akibatnya, selama acara pembukaan dan penutupan masyarakat dapat memanen berton ton ikan. Pendapatan dari panen ikan ini memperkuat ekonomi rakyat di
Haruku. Dengan pola panen yang sesuai yang diatur oleh sasi mereka mempertahankan ketersediaan ikan, sementara di pulau-pulau tetangga terjadi kelebihan ikan.
Namun, kadang-kadang masyarakat tidak mematuhi sasi lompa, terutama kaum muda atau pendatang. Masyarakat sering melihat perahu bermotor melintas di sungai dan mengganggu ikan. Anak-anak muda kadang-kadang melanggar sasi dan terus mengambil ikan bahkan selama periode ‘penutupan sasi’. Pelanggaran yang dilaporkan pada umumnya diberi peringatan pertama dan kedua. Namun, apabila pelanggaran terjadi untuk ketiga kalinya, Saniri, yaitu majelis masyarakat adat, akan memanggil pelaku pelanggaran untuk diminta penjelasannya. “Kami akan memanggil pihak pelapor untuk memberikan kesaksian, jadi kami tidak membuat keputusan saat itu juga. Kami memberi kesempatan karena pelaku pelanggaran memiliki hak untuk membela diri. Terserah pada mereka apakah pembelaan mereka masuk akal atau tidak. Para saksi juga akan dimintai kesaksiannya,” kata Xxxxx Xxxxxx, seorang pemimpin adat Kewang.
Studi Kasus 5: Sungai yang membawa kehidupan di kota – Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3), Banjarmasin,
Kalimantan Selatan
‘Sungai Martapura kalu tanang banyunya (Sungai Martapura airnya tenang).
Hilir mudik kayuhan jukung-jukung’ (Perahu hilir mudik di sunga)i.
Ini adalah baris pertama dari lirik lagu rakyat tradisional Banjar, Sungai Martapura. Membentang dari bendungan Riam Kanam di Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan, sungai Martapura mengalir sepanjang 17 kilometer, membelah kota Banjarmasin sebelum bergabung dengan sungai Barito yang jauh lebih besar. ‘Mancari nafakah rajaki nang halal, saharian hanyar bulik ka rumah’ (mencari nafkah yang
halal seharian sebelum pulang ke rumah), demikian lirik lagu itu selanjutnya. Lagu ini merupakan penutup dalam film dokumenter, ‘Sungai Kita, Hidup Kita’ yang dibuat oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3).
Sungai Martapura adalah salah satu prioritas utama tim LK3, karena jalur sungai ini sangat penting bagi kehidupan di kota Banjarmasin dan kabupaten di sekitarnya. Suku Banjar adalah kelompok etnis di Kalimantan Selatan yang berjumlah sekitar 3,5 juta orang, termasuk yang berdiam di Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Sebagian wilayah Banjarmasin berada di bawah permukaan laut, sehingga kota ini naik dan turun bersama pasang surut laut. Lanting (rumah panggung) berbaris di sepanjang berbagai aliran sungai yang membelah kota. Dengan menggunakan klotok kecil (perahu bermotor) untuk mengitari sungai dan kanal, berbagai kegiatan dapat terlihat: orang mandi, mencuci pakaian, bergosip, dan membeli buah, sayuran dan ikan dari pedagang perempuan di perahu kecil (Xxxxxxxxxx, 2016).
Delta Martapura dianggap sebagai pusat kota dan sumber mata pencaharian bagi masyarakat. Masyarakat bergantung pada sungai Martapura karena sungai ini berfungsi sebagai sarana transportasi dan interaksi, irigasi, drainase, ekologi dan sumber daya air untuk permukiman. Masalah utamanya adalah bahwa sungai ini sudah sangat tercemar akibat deforestasi dan sanitasi yang buruk, sehingga menyebabkan kerugian di bidang ekonomi dan ekologi.
Kondisi sungai yang tercemar bertambah buruk karena pemerintah daerah mengabaikan kearifan lokal. Tujuan film dokumenter yang diproduksi oleh LK3 tentang Martapura dan masyarakatnya adalah untuk menarik perhatian semua pihak, baik itu masyarakat maupun pemerintah setempat, akan pentingnya sungai dalam kehidupan masyarakat Banjar dan pentingnya kearifan lokal dalam mengelola sungai.
Sejarah orang Banjar adalah sejarah tentang sungai. Sebelum Kesultanan Banjar berdiri di muara sungai Barito pada tahun 1526, setiap penduduk desa menamai kelompok masyarakat yang mengurus bagian sungai mereka berdasarkan arah aliran sungai. Sei, yang artinya air atau