IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAGI HASIL DALAM SISTEM PEMBIAYAAN PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG MEDAN
IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAGI HASIL DALAM SISTEM PEMBIAYAAN PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG MEDAN
TESIS
OLEH:
CHAIRUNNISA 1720020025
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN
2019
IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAGI HASIL DALAM SISTEM PEMBIAYAAN PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG MEDAN
Oleh : Chairunnisa
ABSTRAK
Perjanjian bagi hasil adalah bentuk return (perolehan kembaliannya) dari kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap. Besar-kecilnya perolehan kembali itu bergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi. Implementasi perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan di bank syariah haruslah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan, untuk menganalisis hambatan dalam implementasi perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan dan untuk menganalisis peran Dewan Pengawas Syariah dalam pengawasan implementasi perjanjian bagi hasil. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis melalui pendekatan yuridis empiris. Jenis penelitian yang digunakan yaitu normatif dan empiris. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan memilih bahan pustaka atau data sekunder dan penelitian hukum empiris yaitu penelitian hukum yang meneliti data primer yang diperoleh langsung dari sumbernya. Subyek penelitian ini ialah Pegawai Bank Sumut Syariah Cabang Medan dengan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Hasil penelitian yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian implementasi perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan diatur dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. Akan tetapi pada pelaksanaannya Bank Sumut Syariah Cabang Medan menetapkan nominal angka dalam melakukan kegiatan pembiayaan. Hambatan dalam implementasi perjanjian bagi hasil terlihat pada faktor internal yaitu kurangnya sosialisasi oleh pihak bank kepada masyarakat mengenai produk kegiatan yang menggunakan prinsip syariah dan juga faktor eksternal terlihat pada kesadaran masyarakat untuk melakukan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah terutama untuk masyarakat muslim. Pengawasan yang dilakukan oleh DPS terhadap Bank Sumut Syariah Cabang Medan belum maksimal dikarenakan minimnya anggota DPS yang mengawasi pelaksanaan kegiatan produk bank.
Kata Kunci : Implementasi, Perjanjian Bagi Hasil, Sistem Pembiayaan
THE IMPLEMENTATION OF PROFIT SHARING AGREEMENT TOWARD FINANCIAL SYSTEM SUMUT SYARIAH BANK IN MEDAN
By: Chairunnisa
ABSTRACT
Profit sharing agreement is a form of return (acquisition of return) of an investment contract, from time to time, uncertain and not fixed. The amount of the recovery depends on the results that actually happened. The implementation of profit-sharing agreements in the financial system in Islamic banks must be accordance with applicable laws and regulations, not based in conflict with Islamic sharia.
This study aimed to analyze the implementation of profit sharing agreements in financial system of Bank Xxxxx Xxxxxxx Medan to analyze the obstacles in implementation of profit sharing agreements and to analyze the role of the sharia supervisory board in supervising the implementation. This research is an analytical descriptive through empirical juridical approach. The type of research that used is normative and empirical. Normative legal research is a research conducted by selecting library material or secondary data and empirical legal research is legal research by examining primary data obtained directly from the source. The subjects of this study were the employees of Bank Sumut Syariah Medan with a purposive sampling technique. The results obtained by both primary and secondary data were analyzed qualitatively and presented descriptively.
Based on the research results of the implementation of profit sharing agreements in the financing system regulated in Undang-Undang Number 21 of 2008 concerning about Islamic banking. However, on its implementation, Bank Sumut Syariah Medan have set some nominal figures in conducting financial activities. The obstacles of implementation can be seen from internal factors, namely the lack of socialization by banks to the public regarding product activities using sharia principles and also external factors seen in public awareness to conduct banking activities based on sharia principles, especially for Muslim communities. Supervision conducted by DPS on Bank Sumut Syariah Medan has not been maximized due to the lack of DPS members who oversee the implementation of sharia bank product.
Keywords: Implementation, Profit Sharing Agreement, Financial System
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirrobbil’alamin dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya dan tidak lupa juga shalawat dan salam semoga senantiasa curah kepada junjungan Xxxx Xxxxxxxx XXX, keluarga serta sahabatnya yang telah menuntun kita umat Islam ke jalan yang benar sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis merupakan salah satu persyaratan bagi setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan studinya di Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Sehubungan dengan itu, disusun tesis yang berjudul: Implementasi Perjanjian Bagi Hasil dalam Sistem Pembiayaan pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan.
Dengan selesainya tesis ini, perkenanlah diucapakan terima kasih yang tidak terhingga Kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Bapak Dr. X. Xxxxxxxx M.AP dan juga kepada Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Bapak Xx. Xxxxxxx Xxxxx, M.AP atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana ini.
Terimakasih kepada Kepala Prodi Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Bapak Xx. Xxx Xxxxxx Xxxxx, S.H., M.Hum,
terimakasih atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya diucapkan kepada Bapak Xxxx. Xx. Xxxxx Xxxxxx, M.A selaku dosen pembimbing I, yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan ide, saran dan kritiknya, serta Ibu Xx. Xxx Xxxxxxx, S.H., M.H selaku dosen pembimbing II, yang telah banyak membantu penulis dalam ide dan penulisan serta ide pada penelitian ini sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Terima kasih yang tak terhingga diucapkan kepada Bank Sumut Syariah Cabang Medan dan Unit Usaha Syariah Bank Sumut, Staf Bank Sumut Syariah Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxx Xxxx dan Rizky yang telah memberikan data dan waktunya untuk melakukan wawancara dengan penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
Disampaikan juga penghargaan kepada seluruh staf pengajar Magister Kenotariatan dan staf biro Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan motivasi serta semangat untuk dapat menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini dengan baik.
Tak terlupakan penghargaan dan terimakasih disampaikan kepada (orang- orang yang telah memberikan kontribusinya) atas bantuan dan dorongan yang diberikan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Secara khusus dengan rasa hormat dan penghargaan yang setinggi- tingginya diberikan kepada:
1. Ayahanda Xxx. X. Xxxxxxx Xxxxxxxx dan terutama kepada Xxxxxx Xxx. Xxxxxxx
Xxxxxxx, M.AP, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta yang selalu memanjatkan doa yang tiada henti kepada Allah SWT, bekerja keras dan berusaha sekuat tenaga agar penulis dapat tetap melanjutkan pendidikan ke tingkat Strata dua untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan dan tak henti-hentinya memberikan dukungan baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
2. Abang tersayang Xxxxxxxx Xxxxx yang turut memotivasi agar terselesaikannya tesis ini.
3. Untuk sahabat tersayang Xxxx Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, X.X, Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, S.H., X.Xx, Xxxxx Xxxxxxxx Elvilia B, S.H, Xxxxxxx Xxx Xxxxxxx, S.H, Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx yang selalu ada dan selalu memberikan semangat, doa, dan dukungan yang tiada hentinya saat proses hingga selesainya penulisan tesis ini.
4. Untuk Kakak dan Abang tersayang Xxxxxx, S.S., Xxxxx Xxxxxx S.S., X.Xx, Xxxx Artama, A.Md, Xxxxxx Xxxxxxx, A.Md, Xxxx Xxxxxxx, S.P., M.P, Xxxxxx Xxxxx Xxxx Xxxxxxx, yang memberikan semangat, doa, dan dukungan yang tiada hentinya saat proses hingga selesainya penulisan tesis ini.
5. Untuk sahabat tersayang Xxxxx Xxxxxxxxx, S.H., X.Xx, Xxxxxx Xxxxxxxx, S.H, Xxxxx Xxxx, S.H,. X.Xx, Xxxx Xxxxxxx Xxxxx, S.H, Xxxxxxxx Xxxxxx, S.H., X.Xx, Xxx Xxxxxx, S.H., X.Xx, Xxxx Xxxxxxxxx, S.H., X.Xx, Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx, S.H, Xxxx Xxxxx Xxxx, X.XX, Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Xxxxxxxxx Xxxxx, X.Xxx yang telah memberikan doa dan dampak positif hingga selesainya penulisan tesis ini.
6. Untuk Sahabat-sahabat penulis Xxxxx Xxxxxx, S.T, Xxxxxx Xxxxxxxx, X.XX, Xxx Xxxxanny, S.E, Xxxx Xxxxxx atas dukungan dan doa yang diberikan sehingga dapat selesainya tesis ini.
7. Untuk teman-teman penulis Xxxx Xxxxxx Xxxxxx, S.H., Xxx, Xxxx Xxxxxxx, S.H, Xxxxx Xxxxxxxxx, S.H., X.Xx, dan Kelas A Kenotariatan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari tesis ini jauh dari kesempurnaaan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu penulis harapkan agar terciptanya kesempurnaan di dalamnya. Akhir kata penulis mengucapkan sekian dan terima kasih .
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Medan, 18 Oktober 2019 Penulis,
Chairunnisa
1720020025
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .......................................................................................... | i |
ABSTRACT........................................................................................ | ii |
KATA PENGANTAR .......................................................................... | iii |
DAFTAR ISI ....................................................................................... | vii |
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................... | 1 |
X. Xxxxx Belakang ........................................................................... | 1 |
B. Perumusan Masalah .................................................................. | 11 |
C. Tujuan Penelitian........................................................................ | 11 |
D. Manfaat Penelitian...................................................................... | 12 |
E. Keaslian Penelitian ..................................................................... | 12 |
F. Kerangka Teori Dan Konsep ...................................................... | 14 |
1. Kerangka Teori....................................................................... | 14 |
2. Kerangka Konsep................................................................... | 26 |
G. METODE PENELITIAN .............................................................. | 28 |
1. Spesifikasi Penelitian ............................................................. | 28 |
2. Metode Pendekatan ............................................................... | 28 |
3. Lokasi Penelitian .................................................................... | 29 |
4. Alat Pengumpul Data ............................................................. | 29 |
5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan data ..................... | 31 |
6. Analisis Data .......................................................................... | 31 |
BAB II : IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAGI HASIL DALAM PEMBIAYAAN PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG MEDAN 33
A. Pengaturan Hukum tentang Prinsip Bagi Hasil pada Bank Sumut Syariah 33
B. Bentuk-bentuk Produk Bagi Hasil pada Bank Sumut Syariah 45
C. Implementasi Perjanjian Bagi Hasil dalam Pembiayaan pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan 56
BAB III : HAMBATAN DALAM IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAGI HASIL SISTEM PEMBIAYAAN PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG MEDAN 84
A. Hubungan Hukum antara Bank dengan Nasabah dalam Pembiayaan Syariah 84
B. Bentuk-bentuk Pembiayaan dengan Perjanjian Bagi Hasil di Bank Sumut Syariah Cabang Medan 86
X. Xxxxxxan dalam Implementasi Perjanjian Bagi Hasil dalam Pembiayaan pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan 95
BAB IV : PERAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH DALAM PENGAWASAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAGI HASIL PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG MEDAN 105
X. Xxxxx dan Wewenang Dewan Pengawas Syariah pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan 105
B. Bentuk Pengawasan Dewan Pengawas Syariah terhadap Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan 113
C. Pengawasan Dewan Syariah terhadap Dewan Pengawas Syariah Bank Sumut Syariah 116
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 124
A. Kesimpulan 124
B. Saran 125
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seluruh aspek kehidupan dalam peradaban modern saat ini tidak terlepas dan ditopang sepenuhnya oleh uang. Tidak ada satu peradaban di dunia ini yang tidak mengenal dan menggunakan uang. Kalaupun ada, maka perekonomian dalam peradaban tersebut pasti stagnan dan tidak berkembang.
Kehadiran bank sangat dibutuhkan untuk mengendalikan kemajuan perdagangan yang sangat pesat. Tanpa bank, para pedagang harus membawa kepingan uangnya, berupa emas ke manapun mereka pergi, sehingga dalam banyak hal menghambat urusan dagangnya. Lahirnya bank terjadi karena desakan dan kebutuhan para pedagang agar perdagangan dapat lebih lancar dan berkembang.1
Lain halnya di negara-negara berkembang, seperti Indonesia pemahaman tentang bank di negeri ini baru sepotong. Sebagian masyarakat hanya memahami bank sebatas tempat meminjam dan menyimpan uang belaka. Bahkan terkadang sebagian masyarakat sama sekali belum memahami bank secara utuh, sehingga pandangan tentang bank sering diartikan secara keliru. Selebihnya banyak masyarakat yang tidak paham sama sekali tentang dunia perbankan. Semua ini tentu dapat dipahami karena pengenalan dunia perbankan secara utuh terhadap
1 Rimsky K Xxxxxxxxx, 2002, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, halaman 92.
masyarakat sangatlah minim, sehingga tidak mengherankan keruntuhan dunia perbankan pun tidak terlepas dari kurang pahamnya pengelola perbankan di tanah air dalam memahami dunia perbankan secara utuh.
Dunia modern sekarang ini menganggap peranan perbankan dalam memajukan perekonomian suatu negara sangatlah besar. Hampir semua sektor yang berhubungan dengan berbagai kegiatan keuangan selalu membutuhkan jasa bank. Oleh karena itu, saat ini dan di masa yang akan datang masyarakat tidak akan dapat lepas dari dunia perbankan, jika hendak menjalani aktivitas keuangan, baik perorangan maupun lembaga, baik sosial atau perusahaan.
Dewasa ini bank sangat banyak bermunculan, baik dari yang milik pemerintah maupun swasta, konvensional maupun syariah. Bank merupakan salah satu lembaga yang paling dibutuhkan untuk saat ini bahkan sampai ke depannya. Masyarakat dapat mengenal itu semua berkat perkembangan perdagangan dunia yang selalu terkait dengan perkembangan perbankan.
Bank yang berdasarkan prinsip syariah belum lama ini berkembang di Indonesia. Bank Muamalat Indonesia adalah bank umum pertama yang menerapkan prinsip syariah dalam menjalankan operasionalnya. Bank tersebut didirikan pada 1 November 1991, yang diprakarsai oleh Xxxxxxx Xxxxx Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia. Namun di luar negeri terutama di Negara-negara Timur Tengah bank yang menjalankan operasionalnya berdasarkan prinsip syariah sudah berkembang pesat
sejak lama, seperti di Pakistan pada tahun 1940, Mesir pada tahun 1963, Arab Saudi pada tahun 1975, dan Kuwait pada tahun 1977.
Sejak awal kelahirannya, tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan prinsip syariah adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonomi masyarakat yang berlandaskan Alquran dan Sunnah.
Ajaran Islam mengatakan sumber daya alam di bumi ini tidak terbatas. Allah menciptakan alam semesta dan isinya dengan jumlah yang tidak dapat dihitung. Kekayaan alam ini tidak terbatas. Namun untuk memperoleh hasil ciptaan-Nya, ada yang dapat langsung dinikmati, dan ada yang perlu dilakukan upaya keras untuk mendapatkannya. Upaya yang perlu dilakukan oleh manusia ialah dengan ilmu yang dimiliki, maka harta kekayaan yang terdapat di alam semesta dapat diperoleh. Sumber daya alam di bumi dan di langit itu tidak terbatas, namun kemampuan manusia yang terbatas, sehingga manusia tidak mampu untuk mengambil semua harta yang telah tersedia di bumi.
Manusia di dunia, pada umumnya lebih mementingkan meraih kesejahteraan di dunia dibanding dengan kebahagiaan di akhirat. Manusia lebih suka mengejar kehidupan dunia dibanding kehidupan setelah kematian, padahal sebenarnya kehidupan dunia ini hanya sementara.
Lahirnya perbankan syariah juga didasari oleh kegiatan bank konvensional yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Seperti contoh pada bank konvensional dalam transaksi simpan-pinjam dana, si
pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakan akan terjadi untung ataupun rugi.2
Manusia dalam melaksanakan segala kegiatan dalam hidupnya, tidak terlepas dari permasalahan yang menyangkut ekonomi. Saat ini kebanyakan orang menyimpan uang atau hartanya dalam sebuah bank dan tidak hanya itu segala aktifitas termasuk pembelian barang, permintaan pinjaman, pembayaran gaji, rekening atau apapun saat ini dapat dilakukan dengan mudah karena adanya bank.
Bank yang dikenal sebagai lembaga keuangan dan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat memiliki fungsinya tersendiri dan diatur sedemikian rupa. Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia juga memiliki pandangannya tersendiri terhadap keberadaan bank sebagai lembaga ekonomi dan keuangan.
Keberadaan bank di dunia memang seringkali menjadi perdebatan di antara para ulama terutama bank konvensional. Ada beberapa
2Muhammad Xxxxxx Xxxxxxx, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press, halaman 38.
pendapat mengenai penggunaan jasa bank konvensional dalam Islam, ada pihak yang memperbolehkan transaksi dilakukan melalui bank konvensional asalkan tidak menggunakan sistem bunga atau mengambil pinjaman dengan tambahan bunga karena bunga bank menurut islam adalah riba yang haram hukumnya sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah SWT berikut ini :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan ta’atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Xxx Xxxxx: 130-132).
Ayat lain menyebutkan bahwa orang yang memakan riba adalah seperti orang yang terkena penyakit dan mereka diancam dengan azab neraka di akhirat kelak.
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 275-280).
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang- orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An Nisa’: 161).
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kami berikan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang – orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS: Ar Ruum: 39).
Karena pinjaman berbunga dari bank konvensional dilarang dalam agama Islam maka ada baiknya jika umat islam selalu mempertimbangkan dengan baik jika ingin meminjam dana dari bank konvensional, dan ada baiknya jika kita menggunakan layanan jasa bank syariah yang tidak mengandung riba dan menguntungkan kedua belah pihak.
Bank berdasarkan prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan
lainnya. Dalam menentukan harga atau mencari keuntungan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut3 :
1. Pembiayaan berdasarkan bagi hasil (mudharabah);
2. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah);
3. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (xxxxxxxxx);
4. Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah);
5. Atau dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Kredit pembiayaan berdasarkan prinsip syariah jangka pendek dari Bank Indonesia ini adalah kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek dari bank yang bersangkutan. Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah ini hanya diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank yang mengalami kesulitan dana dengan menggunakan agunan sesuai ketentuan yang berlaku.
Adapun dasar hukum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah oleh Bank Indonesia ini adalah ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa pemberian kredit
3Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, 2014, Pengantar Perbankan, Jakarta: Gaung Persada Press Group, halaman 21.
atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada bank yang dimaksudkan dalam pasal ini hanya dilakukan untuk mengatasi kesulitan bank karena adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dengan arus dana keluar. Jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari yang dimaksudkan pada ayat ini merupakan jangka waktu maksimum yang dimungkinkan termasuk perpanjangannya.
Jika kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia sepenuhnya berhak mencairkan agunan yang dikuasainya dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Bank yang dapat memperoleh bantuan likuiditas adalah bank yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, misalnya secara nyata berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia bahwa bank yang bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek, memiliki agunan yang cukup dan apabila diperlukan, akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi bank tersebut.
Perbankan syariah muncul sebagai reaksi adanya praktek perbankan konvensional yang bertumpu pada bunga dimana bunga yang dianggap sebagai riba kurang memberikan keadilan kepada masyarakat dari hanya menguntungkan pihak perbankan saja. Oleh karena itu bank syariah muncul dengan menawarkan sistem bagi hasil yang dianggap lebih adil dan merupakan core product perbankan syariah. Akan tetapi pada perjalanannya bank syariah belum mengedepankan sistem bagi
hasil yang benar. Karena pembiayaan dalam sistem bagi hasil mengandung resiko tinggi dan memiliki jangka waktu yang lebih panjang.
Menurut Pasal 1 angka (7) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan bank syariah adalah bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah menurut Pasal 1 angka (12) adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, fatwa secara bahasa diartikan sebagai petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Dalam ilmu Usul Fikih, fatwa diartikan sebagai pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa dapat pribadi, lembaga maupun kelompok masyarakat. Fatwa yang diberikan oleh pemberi fatwa (mufti) tidak mesti diikuti oleh orang yang meminta fatwa (mustafti), dan karenanya fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat. Di Indonesia lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa lembaga keuangan syariah (LKS) termasuk perbankan syariah adalah Dewan Syariah Nasional Indonesia- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). DSN didirikan oleh MUI pada tahun 1999. Latar belakang dibentuknya DSN-MUI antara lain adalah untuk mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan
mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam, dan juga merupakan langkah efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa akan ditampung dan dibahas bersama agar diperoleh kesamaan pandangan dalam penanganannya oleh masing-masing Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada di lembaga keuangan syariah.
Pelaksanaan perjanjian bagi hasil dalam hal kegiatan penghimpunan dana dalam Bank Sumut Syariah cukup mendapat kepercayaan dari masyarakat, akan tetapi dalam hal penyaluran dana yang dilakukan bank syariah dalam bentuk pembiayaan masih cukup banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pembiayaan di bank syariah tidak berbeda dengan kredit di bank konvensional atau belum benar-benar diterapkan sesuai hukum islam.
Praktek kegiatan bagi hasil yang dilakukan pada produk Bank Sumut Syariah cabang medan khususnya dalam penyaluran dana dianggap masih mengikuti hukum bank konvensional. Akibatnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank yang berlabel syariah masih rendah.
Berdasarkan argumentasi tersebut, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah penelitian dengan judul Implementasi Perjanjian Bagi
Hasil dalam Sistem Pembiayaan pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan.
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini terkait dengan judul di atas adalah :
1. Bagaimana implementasi perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan pada Bank Sumut Syariah cabang medan?
2. Apa saja hambatan dalam implementasi perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan pada Bank Sumut Syariah cabang medan?
3. Bagaimana peran dewan pengawas syariah dalam pengawasan implementasi perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan pada Bank Sumut Syariah cabang medan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian terhadap ketiga permasalahan dalam proposal tesis ini adalah :
1. Untuk menganalisis implementasi perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan pada Bank Sumut Syariah cabang medan.
2. Untuk menganalisis hambatan dalam implementasi perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan pada Bank Sumut Syariah cabang medan.
3. Untuk menganalisis peran dewan pengawas syariah dalam pengawasan implementasi perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan pada Bank Sumut Syariah cabang medan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian dalam tesis ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik secara teoritis maupun secara praktis antara lain :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya;
2. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada bank syariah, nasabah yang akan melakukan kegiatan usaha pada bank syariah dan juga pemerintah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.
E. Keaslian Penelitian
Keaslian suatu penelitian dalam proses pembuatan suatu karya ilmiah berbentuk tesis merupakan salah satu bagian terpenting yang tidak terpisahkan dari kesempurnaannya sehingga sebelumnya perlu dipastikan pernah tidaknya penelitian mengenai judul tesis ini dilakukan pihak lain.
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran yang dilakukan di perpustakaan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dan sepanjang yang diketahui tidak ada penelitian yang mengangkat judul
”Implementasi Perjanjian Bagi Hasil Dalam Sistem Pembiayaan Pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan”.
Bila ditelusuri lebih jauh, di luar lingkungan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, pernah terdapat karya ilmiah yang judulnya hampir sama dengan penelitian ini yakni :
1. Analisis Pelaksanaan Sistem Pembiayaan Bagi Hasil Pada Bank Umum Syariah Di Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi Atas Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri)” oleh Ikit, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Studi Hukum Islam Kosentrasi Keuangan Dan Perbankan Syariah, dengan mengangkat permasalahan antara lain:
a. Bagaimana pelaksanaan sistem pembiayaan bagi hasil pada bank umum syariah di Daerah Istimewa Yogyakarta?
b. Apa saja permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan sistem pembiayaan bagi hasil pada bank umum syariah di Daerah Istimewa Yogyakarta?
2. Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syariah (Tinjauan Umum pada BTN Syariah Cabang Semarang) oleh Xxxxxx Xxxxxxx, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, dengan mengangkat permasalahan antara lain :
a. Bagaimana ketentuan tentang sistem bagi hasil pada bank syariah?
b. Bagaimana pelaksanaan sistem bagi hasil pada BTN Syariah Semarang?
c. Apa saja hambatan dalam pelaksanaan sistem bagi hasil pada BTN Syariah Semarang?
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terlihat pada sampel bank syariah yang diteliti. Walaupun sumber hukum tetap memakai sumber hukum nasional, akan tetapi pada pelaksanaan bagi hasil yang diterapkan oleh tiap bank akan berbeda. Penelitian ini juga fokus kepada akad atau perjanjian bagi hasil dalam produk pembiayaan di bank tersebut.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.4 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara tentang bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.5
Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian
4M. Xxxxx Xxxxx, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, halaman 80.
5Burhan Ashshofa, 2003, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, halaman 23.
hukum.6 Kerangka teori adalah kemampuan seorang peneliti dalam mengaplikasikan pola berpikirnya dalam menyusun secara sistematis teori-teori yang mendukung permasalahan penelitian. Menurut Xxxxxxxxx, teori adalah himpunan konstruk (konsep), defenisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut. Teori berguna menjadi titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Fungsi teori sendiri adalah untuk menerangkan, meramalkan, memprediksi, dan menemukan keterpautan fakta yang ada secara sistematis.
Fungsi teori dalam penelitian adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.7 Oleh karenanya, teori hukum yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah teori perjanjian, teori kepastian hukum dan teori kebijakan.
a. Teori Perjanjian
Teori perjanjian digunakan dalam penelitian ini untuk memecahkan rumusan masalah pertama mengingat tesis ini membahas mengenai Implementasi Perjanjian Bagi Hasil dalam Sistem Pembiayaan pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan. Teori perjanjian sangat berguna sebagai pisau analisis dalam
6Soerjono Soekanto dan Xxx Xxxxxxx, 2012, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, halaman 7.
7Lexy J, Xxxxxxx, 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, halaman 35.
menjawab rumusan masalah yang pertama yaitu mengenai ketentuan perjanjian bagi hasil dalam perbankan syariah.
Salah satu bentuk hukum yang berperan nyata dan penting bagi kehidupan masyarakat adalah hukum perjanjian. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda yaitu overeenkomst dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah contract/agreement. Perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menentukan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat adanya suatu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain atau dapat juga dikatakan hukum perjanjian adalah suatu hukum yang terbentuk akibat seseorang yang berjanji kepada orang lain untuk melakukan sesuatu hal. Kedua belah pihak dalam hal ini telah menyetujui untuk melakukan suatu perjanjian tanpa adanya paksaan maupun keputusan yang hanya bersifat satu pihak.8
X. Xxxxx Xxxxxxx mengemukakan pendapatnya mengenai perjanjian: “Suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.9
122.
8 Subekti, 1998, Pokok –pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT.Intermasa, halaman
9Syahmin AK, 2006, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, halaman 1.
Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dalam hukum Eropa Kontinental yang diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal tersebut menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:
1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak: Syarat pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau consensus para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.10
2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum; kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Menurut X. Xxxxxxx: Yang dimaksud kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut Undang-undang dinyatakan tidak cakap.11
3) Suatu hal tertentu; adapun yang dimaksud suatu hal atau objek tertentu (eenbepaald onderwerp) dalam Pasal 1320 B syarat 3,
10Xxxxx HS,xx.xx, 2006, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Jakarta: Sinar Grafika, halaman 9.
11Soeroso, 2010, Perjanjian di bawah Tangan, Jakarta: Sinar Grafika, halaman
12.
adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak.
4) Adanya Kausa yang halal; Pada pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian causa yang halal (orzaak). Dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya menyebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab dapat diartikan terlarang apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana. Jika bank konvensional membayar bunga kepada nasabahnya, maka bank syariah membayar bagi hasil atas keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Kesepakatan bagi hasil ini ditetapkan dengan suatu angka tingkat rasio bagi hasil atau nisbah.
Bagi hasil merupakan bentuk dari perjanjian kerja sama antara pemodal dan pengelola modal dengan menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana diantara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua belah pihak sesuai dengan nisbah kesepakatan di awal perjanjian dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
Bagi hasil adalah bentuk return (perolehan kembaliannya) dari kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap. Besar-kecilnya perolehan kembali itu bergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bagi hasil merupakan salah satu praktik perbankan syariah.
Nisbah bagi hasil merupakan persentase keuntungan yang akan diperoleh pemodal (shahibul mal) dan pengelola (mudharib) yang ditentukan berdasarkan kesepakatan di antara keduanya. Karakteristik nisbah bagi hasil adalah sebagai berikut:
1) Persentase, nisbah atau bagi hasil harus dinyatakan dalam persentase (%), bukan dalam nominal uang tertentu;
2) Bagi untung dan bagi rugi, pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan porsi modal masing-masing pihak;
3) Jaminan, jaminan yang akan diminta terkait dengan karakteristik yang dimiliki oleh nasabah karena jika kerugian diakibatkan oleh keburukan karakter nasabah, maka yang menanggung adalah nasabah. Akan tetapi jika kerugian diakibatkan oleh bank, maka bank yang akan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
4) Besaran nisbah, angka besaran nisbah bagi hasil muncul sebagai hasil tawar-menawar yang dilandasi oleh kata sepakat dari kedua belah pihak.
5) Cara menyelesaikan kerugian, kerugian akan ditanggung dari keuntungan terlebih dahulu karena keuntungan adalah pelindung modal. Jika kerugian melebihi keuntungan, maka diambil dari pokok modal.
b. Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Undang–undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.12
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan kaum fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian
12Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, halaman 158.
kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.
Asas kepastian hukum yaitu asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara. Asas kepastian hukum memiliki dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan.
Asas kepastian hukum dalam banyak keadaan menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali suatu keputusan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Dengan kata lain, asas ini mengehendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan. Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta bahwa keputusan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada keputusan-keputusan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas.
Asas kepastian hukum memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya. Unsur ini memegang peran misalnya pada
pemberian kuasa surat-surat perintah secara tepat dan dengan tidak mungkin adanya berbagai tafsiran yang dituju harus dapat terlihat, kewajiban-kewajiban apa yang dibebankan kepadanya. Asas ini berkaitan dengan prinsip dalam hukum administrasi negara yaitu asa het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea causa, yang berarti setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum oleh hakim administrasi.
Xxxxxxx Xxxxxxx mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat dijadikan sebagai pedoman perilaku bagi semua orang.13 Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum memiliki dua segi yaitu dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum. Hal ini berarti pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam suatu hal tertentu sebelum ia memulai perkara dan perlindungan bagi para pihak dalam kesewenangan hakim. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna.
13A. Xxxxxxx Xxxxx, 2009, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum, Jakarta: Fikahati Aneska, halaman 205.
Negara Indonesia merupakan penganut sistem hukum Eropa Kontinental yang diderivasi dari negara kolonial pada era penjajahan. Hukum tertulis merupakan khas dari Eropa Kontinental dengan groundnorm. Pelanggaran atau tindak kejahatan dapat di pidana apabila telah ada Undang-undang atau hukum tertulis terlebih dahulu. Berbeda dengan sistem hukum anglo saxon yang menggunakan supremasi hukum berasal dari hakim dengan menggali di pengadilan, maka eropa kontinental sangat kental dengan unsur kepastian hukum.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.14
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran yuridis- dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan
14Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya, halaman 23.
hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Perjanjian bagi hasil menganut teori kepastian hukum yaitu perjanjian tersebut harus dilaksanakan secara tertulis, walaupun Indonesia mengenal perjanjian secara lisan namun tidak berlaku pada perjanjian bagi hasil agar terciptanya kepastian hukum.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik bank maupun nasabah menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang dilakukan dan juga tidak akan terjadi kendala dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil tersebut berdasarkan prinsip syariah.
x. Xxxxx Xxbijakan
Teori kebijakan menurut Xxxxx dan Pewitt yaitu kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut. 15Menurut Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu dan menurut Xxx Xxxxxxx menyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip- prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
15xxxxx://xxxxxxxxxxxxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxxxxx-xxxxxxxxx-xxx-xxxxx-
kebijakan-mediaurbanplanner/ diakses pada tanggal 20 April 2019 pukul 19.32.
Selain 3 teori diatas kebijakan pun dapat didefinisikan sesuai dengan teori yang mengikutinya, antara lain yaitu:
1) Teori kelembagaan memandang kebijakan sebagai aktivitas kelembagaan dimana struktur dan lembaga pemerintah merupakan pusat kegiatan politik;
2) Teori kelompok yang memandang kebijakan sebagai keseimbangan kelompok yang tercapai dalam perjuangan kelompok pada suatu saat tertentu. Kebijakan pemerintah dapat juga dipandang sebagai nilai-nilai kelompok elit yang memerintah;
3) Teori elit memandang kebijakan pemerintah sebagai nilai-nilai kelompok elit yang memerintah;
4) Teori rasional memandang kebijakan sebagai pencapaian tujuan secara efisien melalui sistem pengambilan keputusan yang tetap;
5) Teori inkremental, kebijakan dipandang sebagai variasi terhadap kebijakan masa lampau atau dengan kata lain kebijakan pemerintah yang ada sekarang ini merupakan kelanjutan kebijakan pemerintah pada waktu yang lalu yang disertai modifikasi secara bertahap;
6) Teori permainan memandang kebijakan sebagai pilihan yang rasional dalam situasi-situasi yang saling bersaing;
7) Teori kebijakan yang lain adalah teori campuran yang merupakan gabungan model rasional komprehensif dan inkremental.
Pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang dilakukan oleh bank syariah haruslah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang paling penting adalah mengikuti ajaran-ajaran Islam yang berdasarkan pada Alquran dan Sunnah.
2. Kerangka Konsep
Sebelum membahas penelitian ini, maka harus terlebih dahulu memahami istilah-istilah yang muncul dalam penelitian ini. Perlu dibuat definisi konsep tersebut agar makna variabel yang diterapkan dalam topik ini tidak menimbulkan perbedaan penafsiran.
a. Implementasi
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Implementasi adalah pelaksanaan atau penerapan. Pengertian implementasi menurut Xxxx Xxxxxxx yaitu tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh sekelompok individu yang telah ditunjuk untuk menyelesaikan suatu tujuan yang telah ditetapan sebelumnya.16
b. Perjanjian Bagi Hasil
Perjanjian bagi hasil adalah bentuk return (perolehan kembaliannya) dari kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap. Besar-kecilnya perolehan kembali itu bergantung
16xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxxxx-xxxxxxxxxxxx/, diakses pada tanggal 20 September 2019 pukul 16.55 wib.
pada hasil usaha yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bagi hasil merupakan salah satu praktik perbankan syariah.17
c. Sistem Pembiayaan
Sistem pembiayaan adalah pendanaan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.18
d. Bank Syariah
Bank syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum Islam, dan dalam kegiataannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah. Imbalan yang diterima oleh bank syariah maupun yang dibayarkan kepada nasabah tergantung dari akad dan perjanjian antara nasabah dan bank.19
17Adiwarman Xxxxx, 2004, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, halaman 191.
18Veithzal Xxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxx, 2010, Islamic Banking, Jakarta: Bumi Aksara, halaman 681.
19 Ismail. 2015. Perbankan Syariah. Surabaya: Prenadamedia Group, halaman
32.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi di lapangan serta mengaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaan yang terjadi di lapangan. Mengungkap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.20
Penelitian ini akan menjabarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kemudian dikaitkan dengan teori-teori ilmu hukum serta praktek pelaksanaannya mengenai perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan pada Bank Sumut Syariah cabang medan.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan pada penelitian ini adalah melalui pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian dengan meneliti data primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian bagi hasil, terhadap data sekunder di lapangan karena hukum pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat. Artinya keberadaan hukum tidak dapat
20X. Xxxxxxxxx Xxx, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 105.
dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta prilaku masyarakat yang terkait dengan lembaga hukum tersebut.21
Ediwarman menjelaskan jika peneliti menggunakan pendekatan metode empiris dalam penelitiannya, maka peneliti memulai penelitiannya dari berlakuya hukum positif dan pengaruh berlakunya hukum tersebut terhadap kehidupan masyarakat serta pengaruh non hukum terhadap terbentuknya ketentuan hukum positif tersebut.22 Akhirnya, kegunaan penelitian hukum sosiologis (empiris) adalah untuk mengetahui bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk proses penegakan hukum (Law enforcement). Karena penelitian jenis ini dapat mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang ada dibalik pelaksanaan dan penegakan hukum.23
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian diperlukan bagi penelitian hukum terutama bagi penelitian hukum empiris, dan lokasi penelitian harus disesuaikan dengan judul dan permasalahan penelitian. Oleh karena itu maka lokasi penelitian ini dilakukan di Bank Sumut Syariah Cabang Medan dan Unit Usaha Syariah Bank Sumut.
4. Alat Pengumpul Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder, yaitu:
21Ibid.
22Ediwarman, 2015, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penulisan Tesis dan Disertasi), Medan: Sofmedia, halaman 100.
23Xxxxxxxxx & Xxxxxx Xxxxxx, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, halaman 134.
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber asli di lapangan yang terdiri dari wawancara (interview).
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari berbagai sumber yang telah ada seperti di kepustakaan, data sekunder terdiri dari:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari Alquran, Hadis, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bank syariah.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer seperti doktrin (pendapat para ahli), buku-buku, jurnal hukum, makalah, buku- buku fikih yang berhubungan dengan penelitian ini.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dengan melakukan pengkajian dan analisis terhadap data yang telah diperoleh dari hasil penelitian data primer dan data sekunder. Dalam hal ini diperoleh dari kamus umum, majalah, internet, ensiklopedi serta bahan-bahan
diluar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi data.
5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Prosedur pengambilan dan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari serta menganalisa data yang berkaitan dengan objek penelitian dan peraturan perundang undangan, menelaah pelaksanaannya dan kemudian mengambil kesimpulan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Studi kepustakaan atau studi dokumen, yaitu dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain, untuk memperoleh data sekunder.
b. Penelitian lapangan dilakukan untuk menghimpun data primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada narasumber, dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara.
6. Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapat sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan yang memberikan telaah yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung,
menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori yang telah dikuasai.
Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu analisis terhadap data-data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata, dan menganalisa bahan-bahan hukum. Kemudian peneliti menentukan data atau bahan hukum yang memiliki kualitas sebagai data atau bahan hukum yang diharapkan atau diperlukan, dan data atau bahan hukum mana yang tidak relevan dan tidak ada hubungannya dengan materi penelitian, sehingga dalam analisis dengan pendekatan kualitatif ini yang dipentingkan adalah kualitas data, kualitas data yang berhubungan dengan norma-norma, asas-asas, dan kaidah-kaidah yang relevan dengan implementasi perjanjian bagi hasil dalam sistem pembiayaan pada Bank Sumut Syariah.
BAB II
IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAGI HASIL DALAM SISTEM PEMBIAYAAN PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG MEDAN
D. Pengaturan Hukum tentang Perjanjian Bagi Hasil pada Bank Sumut Syariah
Dasar hukum pertama di dalam mengoperasionalkan bank syariah adalah Alquran dan hadis. Beberapa ayat di dalam Alquran sebagai dasar operasional bank syariah antara lain: ayat-ayat yang melarang transaksi riba (QS. Al Baqarah: 275), (QS. Ar Ruum: 39), (QS. An Nisa’: 161), Xxx Xxxxx: 130-132), (QS. Al Baqarah 275-278); larangan memakan harta orang lain secara bathil (QS. An Nisa’: 29) serta hadis – hadis Rasulullah yang senada dengan hal itu.24
“Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.“ (HR Muslim no. 2971, dalam kitab al-Masaqqah).
“Xxxxxxxxxx XXX melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai keinginan kita.” (HR Xxxxxxx xx. 2034, kitab al-Buyu).
24Neneng Nurhasanah & Xxxxx Xxxx, Hukum Perbankan Syariah Konsep dan Regulasi, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 8.
Selain beberapa ayat Alquran dan hadis, maka berdasarkan hukum positif, landasan dalam mengoperasionalkan bank syariah adalah Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah (sebelum lahir Undang-undang ini, landasan operasional bank syariah adalah Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan). Dalam hal mana sebatas diakomodirnya prinsip syariah dalam operasional bank, yakni di dalam Pasal 1 angka 3 jo angka 13 Undang-undang nomor 10
tahun 1998.25
Latar belakang dikeluarkannya regulasi perbankan syariah ini, yaitu:26
1. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional Indonesia berupa terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, pengembangan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah;
2. Adanya kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah yang semakin meningkat;
3. Perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional; dan
25Xxxx Xxxxx Xxxxxxxx, 2012, Penyelesaian Sengketa dalam Praktik Perbankan Syariah, Yogyakarta: Parama Publishing, halaman 14.
26Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, 2011, Hukum Perbankan Syariah, Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, halaman 2-3.
4. Pengaturan mengenai perbankan syariah melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 belum spesifik.
Adapun dasar pijakan keluarnya Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah meliputi beberapa peraturan perundang- undangan yang telah ada sebelumnya, yaitu:27
1. Pasal 20 jo Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 10 tahun 1998;
3. Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2004;
4. Undang-undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;
5. Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pengaturan mengenai produk-produk perbankan syariah, semula didasarkan pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Kemudian karena produk hukum berupa fatwa secara yuridis tidak mempunyai kekuatan mengikat secara umum (terbatas pada orang yang meminta fatwa), maka ada pendapat bahwa fatwa yang dibuat oleh
27 Ibid, halaman 3.
DSN-MUI hendaknya dijadikan sebagai hukum positif dengan jalan memasukkannya ke dalam peraturan perundang-undangan.
Adapun Fatwa DSN-MUI yang terkait dengan produk-produk perbankan syariah antara lain :
1. Fatwa Nomor 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro;
2. Fatwa Nomor 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan;
3. Fatwa Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah;
4. Fatwa Nomor 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Saham;
5. Fatwa Nomor 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istihna;
6. Fatwa Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah.
Mengingat kewenangan pengaturan terhadap bank secara teknis ada pada Bank Indonesia, maka ketentuan yang ada dalam Fatwa DSN tepat jika dimasukkan ke dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Untuk itu, pada tahun 2005 keluarlah PBI Nomor 7/46/PBI tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan usaha berdasarkan prinsip syariah. PBI dimaksud pada tahun 2007 dicabut dengan PBI Nomor 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah. Dalam rangka menyesuaikan dengan Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah PBI Nomor 9/19/PBI/2007 diubah dengan Nomor 10/16/PBI/2008.
Eksistensi dari perbankan syariah di Indonesia melalui Undang- undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan benar-benar telah diakui. Hal ini tampak dalam kata-kata bank berdasarkan pada prinsip syariah. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (13) Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 disebutkan bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil, pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal, prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan, atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan, atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain.
Kegiatan usaha bank syariah sebelum Undang-undang perbankan syariah ini mendasarkan pada Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Peraturan Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia, antara lain yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/25/PBI/2006.
Sementara untuk operasional produk mendasarkan pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan Bank Indonesia ini telah dicabut melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Mengenai pelaksanaan prinsip syariah dalam produk perbankan secara teknis diatur melalui Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Pasal 2 menyatakan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa, bank wajib memenuhi prinsip syariah, yakni dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan, kemaslahatan, dan universalisme serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, dzalim, niswah, dan objek haram.
Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia tersebut menegaskan bahwa prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan sebagai berikut:28
28 Ibid, halaman 40
1. Dalam kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antara lain akad wadi’ah dan mudharabah.
2. Dalam kegiatan penyaluran dana berupa pembiayaan dengan mempergunakan antara lain akad mudharabah, musyrarakah, murabahah, salam, istishna, ijarah, ijarah muntahiya bitamlik dan qardh; dan
3. Dalam kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan antara lain akad kafalah, hawalah, dan sharf.
Perbankan merupakan lembaga keuangan yang taat akan pengaturan. Hal ini mengingat bank adalah bank lembaga yang mengedepankan prinsip kepercayaan dalam kegiatan operasionalnya. Di samping prinsip kepercayaan, bank juga harus melaksanakan prinsip pengelolaan lain yakni prinsip kehati-hatian. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak disebutkan secara tegas mengenai pengertian dari prinsip kehati-hatian. Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 hanya menyebutkan bahwa: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud prinsip kehati-hatian adalah pengendalian risiko melalui penerapan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku secara konsisten.29
29Xxxxxxx, Nindyo, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, halaman 262.
Perbankan merupakan institusi yang keberadaannya sangat memerlukan adanya kepercayaan dari masyarakat. Ruh dari perbankan adalah kepercayaan, sehingga apabila kepercayaan masyarakat hilang maka habislah perbankan. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat bank hendaknya mampu melaksanakan dengan optimal prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Prinsip kehati-hatian dikenal dalam Undang-undang Perbankan antara lain tertuang dalam ketentuan Pasal 8, yakni bahwa dalam memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Ayat (2) menyatakan bahwa bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Prinsip kehati-hatian juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, Pasal 35 menyebutkan bank syariah dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Hal ini perlu dalam rangka menjamin terlaksananya pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, bank memiliki dan menerapkan antara lain sistem pengawasan internal.
Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan khususnya dalam hal bank hendak menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Prinsip kehati-hatian pada hakikatnya juga memberikan perlindungan hukum bagi nasabah secara implisit, khususnya bagi nasabah penyimpan dana. Intinya adalah bahwa bank harus berhati-hati dalam menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat kepada bank dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
Undang-undang perbankan syariah mengatur mengenai implementasi prinsip kehati-hatian ini dalam Pasal 23 yaitu mengenai kelayakan penyaluran dana. Inti pengaturannya yaitu bahwa bank syariah harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum bank syariah menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas. Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud, bank syariah wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam Pasal 19 ayat (2) menyatakan mengenai kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh Unit Usaha Syariah, yaitu sebagai berikut :
1. Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
2. Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
3. Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
5. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
6. Menyalurkan pembiayaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
7. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
8. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;
9. Membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syariah, antara lain, seperti akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah atau hawalah;
10. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
11. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah;
12. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah;
13. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah berdasarkan prinsip syariah;
14. Memberikan fasilitas later of credit atau bank garansi berdasarkan prinsip syariah; dan
15. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan dibidang perbankan dan dibidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat pula:
1. Melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan prinsip syariah;
2. Melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundang – undangan di bidang pasar modal;
3. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
4. Menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan prinsip syariah dengan menggunakan secara elektronik;
5. Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan prinsip syariah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan
6. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha bank umum syariah lainnya yang berdasarkan prinsip syariah.
Bank syariah di samping mempunyai hak untuk melakukan kegiatan usaha tertentu sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip syariah, pada dirinya juga melekat beberapa larangan. Larangan- larangan dimaksud dapat kita jumpai dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Perbankan Syariah mengenai larangan unit usaha syariah.
Unit Usaha Syariah berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dikenakan larangan- larangan sebagai berikut :
1. Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah;
2. Melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;
3. Melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) huruf c; dan
4. Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
X. Xxxxxx – bentuk Produk Bagi Hasil pada Bank Sumut Syariah
Adapun bentuk produk Bank Sumut Syariah yang menggunakan prinsip bagi hasil dilihat dari sumber dana dan penyaluran dana di PT. Bank Sumut Unit Usaha Syariah adalah sebagai berikut:
1. Produk Penghimpunan Xxxx
a. Giro Wadi’ah
Giro adalah simpanan pada bank (perseorangan atau badan hukum), dalam mata uang rupiah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau bilyet giro, saran perintah pembayaran lainnya atau dengan pemindahbukuan. Simpanan giro yang dibenarkan secara syariah yaitu simpanan giro yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah. Simpanan giro wadi’ah yaitu titipan dana pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan
cara pemindahbukuan, merupakan produk penghimpunan dana pada Unit Usaha Syariah.
b. Giro Umat
Giro Umat adalah produk penghimpunan dana pada unit usaha syariah yang merupakan jenis investasi pada bank dari nasabah perseorangan, badan usaha atau gabungan (joint Account) yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro dan sarana perintah pembayaran lainnya atau yang dapat dipersamakan dengan itu. Pembagian keuntungan kepada pemilik dana dan sebagai imbalan atas pemakaian dana dimaksud, bank memberikan imbalan dalam bentuk bagi hasil.
c. Tabungan Marwah
Tabungan yang dibenarkan secara syariah yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip wadi’ah dan mudharabah. Tabungan marwah adalah jenis tabungan dengan prinsip wadi’ah/titipan, bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan dan tidak ada imbalan yang diisyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari pihak bank.
d. Tabungan Marhamah
Tabungan Marhamah adalah jenis investasi pada bank bagi perseorangan, badan atau gabungan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat yang disepakati bersama
antara pemilik dana (shahibul maal) dan bank (Mudharib). Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
e. Tabungan Makbul
Tabungan Makbul yaitu produk tabungan khusus Bank Sumut Syariah sebagai sarana penitipan dana BPIH penabung perseorangan secara bertahap ataupun sekaligus dan tidak dapat melakukan transaksi penarikan serta terkoneksi secara online dengan aplikasi SISKOHAT untuk mendapatkan nomor porsi dan pelunasan BPIH.
f. Deposito Ibadah
Deposito ibadah adalah simpanan dana berjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan berdasarkan perjanjian antara nasabah dengan bank. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad mudharabah.
g. Deposito iB Plus
Deposito iB plus adalah deposito yang memiliki fasilitas santunan asuransi jiwa dengan jangka waktu 6 (enam) dan 12 (dua belas bulan).
h. Tabungan Simpanan Pelajar (Simpel) iB
Tabungan simpel iB adalah tabungan untuk siswa yang diterbitkan secara nasional oleh bank-bank di Indonesia yang dikembangkan oleh otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komite
Pengembangan Jasa Keuangan Syariah (KPJKS) dalam rangka edukasi dan inklusi keuangan untuk mendorong budaya menabung sejak dini. Tabungan ini merupakan investasi yang berprinsip mudharabah (bagi hasil) yang dapat dipergunakan oleh bank (mudharib) dengan imbalan bagi hasil untuk nasabah (shahibul maal). Sasarannya untuk perorangan untuk siswi warga Negara Indonesia, dari mulai tingkat PAUD, TK, SD, SMP, SMA, Madrasah (Mi, MTs, MA) atau sederajat yang berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun dan belum menikah.
i. Tabungan iB Rencana
Tabungan iB rencana adalah tabungan yang berfungsi sebagai sarana simpanan jangka panjang bagi nasabah yang ingin mengumpulkan dana yang tidak dapat ditarik hingga jangka waktu yang disepakati serta dilindungi oleh asuransi jiwa. Tabungan ini merupakan investasi yang berprinsip mudharabah (bagi hasil) yang dapat dipergunakan oleh bank (mudharib) dengan imbalan bagi hasil untuk nasabah (shahibul maal). Sasaran untuk nasabah perorangan yang ingin merencanakan investasi di masa yang akan datang.
j. Tabungan Prioritas
Tabungan prioritas adalah tabungan dengan layanan sumut syariah yang ditujukan untuk nasabah yang memiliki saldo tertentu di Bank Sumut Syariah.
2. Produk Pembiayaan
a. Jual Beli Murabahah MK;
b. Jual Beli IB Serbaguna Modal Kerja;
c. Jual Beli Murabahah INV;
d. Jual Beli Murabahah-Mikro IB Investasi SS II;
e. Jual Beli Murabahah IB Serbaguna Investasi;
f. Jual Beli Murabahah Konsumsi;
g. Jual Beli Murabahah KPR Syariah Bersubsidi;
h. Jual Beli Murabahah KPRS Syariah Bersubsidi;
i. Jual Beli Murabahah-PEG Serba Guna JK Panjang;
x. Xxxx Beli Murabahah JK Panjang Sisa Masa Kerja PEG;
k. Jual Beli Murabahah-PEG Serba Guna JK Menengah;
l. Jual Beli Murabahah KPR IB Griya;
m. Jual Beli Murabahah-KPR Sejahtera Syariah Tapak;
n. Jual Beli Murabahah-PP Ruko/Rukan;
o. Jual Beli Murabahah IB Serba Guna Konsumsi;
p. Jual Beli Murabahah IB Serba Guna Pegawai;
q. Jual Beli Murabahah IB Serba Guna PMG Berkelompok;
x. Xxxx Beli Murabahah IB Pensiun;
s. Jual Beli Murabahah-Sindikasi;
t. Pembiayaan Mudharabah Modal Kerja;
u. Pembiayaan Mudharabah Modal Kerja PPUM;
v. Pembiayaan IB Modal Kerja-Mudharabah;
w. PBY MDH – MK IB Berkelompok;
x. Pembiayaan Musyarakah Modal Kerja;
y. Pembiayaan IB Modal Kerja-Musyarakah;
z. Pembiayaan Musyarakah Mikro IB Modal Kerja SS II; aa. Pembiayaan IB Musyarakah Sindikasi;
bb. Pembiayaan IB Musyarakah-Rekening Koran; cc. MMQ-KPR Type 22 <= Type < 70;
dd. MMQ-KPR Type <= 21; ee. MMQ-KPR Type >= 70;
ff. MMQ Ruko/Rukan; gg. Gadai Emas Syariah;
hh. Pembiayaan IB Dana Talangan Haji;
ii. Piutang Qard-Talangan Umroh;
Bank sumut adalah salah satu bank di Indonesia dengan nama
perusahaan PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara, yang
berkantor pusat di Xxxxx Xxxx Xxxxxx Xx. 18 Medan, Sumatera Utara. PT
BPD Sumut atau yang lebih dikenal dengan Bank Sumut adalah sebuah bank pembangunan daerah bersifat devisa didirikan pada tanggal 4
November 1961. Bank Sumut dibentuk dengan status Perseroan
Terbatas.
Pendirian unit usaha syariah didasarkan pada kultur masyarakat Sumatera Utara yang religius, khususnya umat Islam yang semakin sadar
akan pentingnya menjalankan ajarannya dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi.
Gagasan dan wacana untuk mendirikan Unit Usaha Syariah sebenarnya telah berkembang cukup lama di kalangan stakeholder bank sumut, khususnya direksi dan komisaris, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang memberikan kesempatan bagi bank konvensional untuk mendirikan unit usaha syariah.
Komitmen untuk mendirikan unit usaha syariah semakin menguat seiring dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa bunga haram. Tentunya, fatwa ini mendorong keinginan masyarakat muslim untuk mendapatkan layanan jasa-jasa perbankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Pembiayaan bank syariah dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain:
1. Pembiayaan Dilihat dari Tujuan Penggunaan
Dilihat dari tujuan penggunaannya, pembiayaan dibagi menjadi tiga jenis yaitu pembiayaan investasi, modal kerja dan konsumsi. Perbedaan masing-masing jenis pembiayaan disebabkan karena adanya perbedaan tujuan penggunaannya. Perbedaan ini juga akan berpengaruh pada cara pencairan, pembayaran angsuran, dan jangka waktunya.
a. Pembiayaan investasi, diberikan oleh bank syariah kepada nasabah untuk pengadaan barang-barang modal yang
mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun. Secara umum, pembiayaan investasi ini ditujukan untuk pendirian perusahaan atau proyek baru maupun proyek pengembangan, modernisasi mesin dan peralatan, pembelian alat angkutan yang digunakan untuk kelancaran usaha, serta perluasan usaha. Pembiayaan investasi umumnya diberikan dalam nominal besar, serta jangka panjang dan menengah.
b. Pembiayaan modal kerja, digunakan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja yang biasanya habis dalam satu siklus usaha. Pembiayaan modal kerja ini diberikan dalam jangka pendek yaitu selama-lamanya satu tahun. Kebutuhan yang dapat dibiayai dengan menggunakan pembiayaan modal kerja antara lain kebutuhan bahan baku, biaya upah, pembelian barang-barang dagangan, dan kebutuhan dana lain yang sifatnya hanya digunakan selama satu tahun, serta kebutuhan dana yang diperlukan untuk menutup piutang perusahaan.
c. Pembiayaan konsumsi, diberikan kepada nasabah untuk membeli barang-barang untuk keperluan pribadi dan tidak untuk keperluan usaha.
2. Pembiayaan Dilihat dari Jangka Waktunya
a. Pembiayaan jangka pendek, yaitu pembiayaan yang diberikan dengan jangka waktu maksimal satu tahun. Pembiayaan jangka pendek biasanya diberikan oleh bank syariah untuk membiayai
modal kerja perusahaan yang mempunyai siklus usaha dalam satu tahun, dan pengembaliannya disesuaikan dengan kemampuan nasabah.
b. Pembiayaan jangka menengah, diberikan dengan jangka waktu antara satu tahun hingga tiga tahun. Pembiayaan ini dapat diberikan dalam bentuk pembiayaan modal kerja, investasi, dan konsumsi.
c. Pembiayaan jangka panjang, diberikan dengan jangka waktu lebih dari tiga tahun. Pembiayaan ini pada umumnya diberikan dalam bentuk pembiayaan investasi, misalnya untuk pembelian gedung, pembangunan proyek, pengadaan mesin dan peralatan, yang nominalnya besar serta pembiayaan konsumsi yang nilainya besar, misalnya pembiayaan untuk pembelian rumah.
3. Pembiayaan Dilihat dari Sektor Usaha
a. Sektor industri, pembiayaan yang diberikan kepada nasabah yang bergerak dalam sektor industri, yaitu sektor usaha yang mengubah bentuk dari bahan baku menjadi barang jadi atau mengubah suatu barang menjadi barang lain yang memiliki faedah lebih tinggi. Beberapa contoh sektor industri antara lain; industri elektronik, pertambangan, kimia, dan tekstil.
b. Sektor perdagangan, pembiayaan ini diberikan kepada pengusaha yang bergerak dalam bidang perdagangan, baik perdagangan kecil, menengah, dan besar. Pembiayaan ini diberikan dengan
tujuan untuk memperluas usaha nasabah dalam usaha perdagangan, misalnya untuk memperbesar jumlah penjualan atau memperbesar pasar.
c. Sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan, pembiayaan ini diberikan dalam rangka meningkatkan hasil di sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan, serta perikanan.
d. Sektor jasa, beberapa sektor jasa yang dapat diberikan kredit oleh bank yaitu jasa pendidikan, jasa rumah sakit, jasa angkutan, dan jasa lainnya yaitu profesi, pengacara, dokter, insinyur, dan akuntan.
e. Sektor perumahan, bank syariah memberikan pembiayaan kepada mitra usaha yang bergerak di bidang pembangunan perumahan. Pada umumnya diberikan dalam bentuk pembiayaan konstruksi, yaitu pembiayaan untuk pembangunan perumahan. Cara pembayaran kembali yaitu dipotong dari rumah yang telah terjual.
4. Pembiayaan Dilihat dari Segi Jaminan
a. Pembiayaan dengan jaminan, merupakam jenis pembiayaan yang didukung dengan jaminan yang cukup. Agunan atau jaminan dapat digolongkan menjadi jaminan perorangan, benda berwujud, dan benda tidak berwujud.
b. Pembiayaan tanpa jaminan, pembiayaan yang diberikan kepada nasabah tanpa di dukung adanya jaminan. Pembiayaan ini diberikan oleh bank syariah atas dasar kepercayaan. Pembiayaan
tanpa jaminan ini resikonya tinggi karena tidak ada pengaman yang dimiliki oleh bank syariah apabila nasabah wanprestasi. Dalam hal nasabah tidak mampu membayar dan macet, maka tidak ada sumber pembayaran kedua yang dapat digunakan untuk menutup resiko pembiayaan. Bank tidak memiliki sumber pelunasan kedua karena bank tidak memiliki jaminan yang dapat dijual.
5. Pembiayaan Dilihat dari Jumlahnya
a. Pembiayaan retail, merupakan pembiayaan yang diberikan kepada individu atau pengusaha dengan skala usaha sangat kecil. Jumlah pembiayaan yang dapat diberikan hingga Rp 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Pembiayaan ini dapat diberikan dengan tujuan konsumsi, investasi kecil, dan pembiayaan modal kerja.
b. Pembiayaan menengah, pembiayaan yang diberikan kepada pengusaha pada level menengah, dengan batasan antara Rp 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) hingga Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
c. Pembiayaan korporasi, merupakan pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dengan jumlah nominal yang besar dan diperuntukkan kepada nasabah besar. Misalnya, jumlah pembiayaan lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dikelompokkan dalam pembiayaan korporasi. Dalam praktiknya,
setiap bank mengelompokkan pembiayaan korporasi sesuai dengan skala bank masing-maisng, sehingga tidak ada ukuran yang jelas tentang batasan minimal pembiayaan korporasi.
F. Implementasi Prinsip Bagi Hasil dalam Pembiayaan pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan
Akta pembiayaan pada perbankan syariah dapat dibuat dalam dua jenis, yakni akta yang dibuat di bawah tangan dan akta yang dibuat secara notariil. Prosedur terjadinya akad pembiayaan pada Bank Sumut Syariah yaitu bank membuat akad pembiayaan dan memberikan kepada notaris untuk dibuatkan akta pembiayaan tersebut. Selanjutnya notaris meminta data-data identitas nasabah, data jaminan, dan surat persetujuan pembiayaannya. Kemudian notaris melakukan pengecekan terhadap jaminan yang akan diikat. Setelah semua berkas telah terpenuhi, notaris hadir untuk penandatanganan akta tersebut sesuai waktu yang telah disepakati dengan pihak bank dan nasabah. Akta pembiayaan notaril maupun dalam bentuk perjanjian dibawah tangan telah dibacakan sebelumnya sebelum seluruh pihak menandatangani akad tersebut.30
Notaris ikut serta dalam pembuatan akta pembiayaan apabila akad tersebut dalam bentuk akta notaril, jika akta tersebut menggunakan perjanjian dibawah tangan, notaris tidak dilibatkan dalam pemuatan akad tersebut. Xxxxxxx juga tidak ikut serta dalam pembuatan akad tersebut, bank membuat akad tersebut secara sepihak, nasabah tidak dapat turut
30Wawancara dengan Risna tanggal 24 September 2019 di Kantor Notaris Risna,
serta untuk bernegosiasi terhadap pembuatan akad tersebut dan selanjutnya jika nasabah menandatangani akad tersebut, itu diartikan bahwa nasabah tersebut telah sepakat pada perjanjian yang akan dilakukan.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat.
Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris (jabatan) dalam masyarakat hingga sekarang masih disegani. Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seorang dapat memperoleh nasihat, segala sesuatu yang ditulis dan ditetapkannya (konstatir) adalah benar, hal ini dikarenakan notaris merupakan pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum, sehingga perlu kecerdasan, kecermatan dan kehaati-hatian dalam proses pembuatan akta agar tidak terjadi kesalahan yang akan berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari.31
Notaris dalam memformulasikan akta akad perbankan syariah, harus memperhatikan dan menerapkan hal yang diatur didalam Undang- undang Jabatan Notaris, serta pentingnya pemahaman di bidang perbankan syariah.
31M. Xxxxxxx Xxxx Xxxxx, 2017, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris, Yogyakarta: UII Press, halaman 7-10.
Peraturan khusus mengenai bentuk akta syariah atau klausul akta akad syariah (kontrak) belum ada sampai sejauh ini. Pada prakteknya, akad yang dibuat antara pihak bank dan nasabah masih mengacu pada hukum positif, begitu juga akad pembiayaaan yang dibuat notariil. Akad pembiayaan yang dibuat secara notariil, agar dapat disebut sebagai akta otentik harus memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, yang muatannya sebagai berikut: “suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat” .
Unsur-unsur dari Pasal tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut, pertama, akta dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang- undang. Kedua, dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Seorang notaris mempunyai tanggung jawab terhadap akta akad pembiayaan perbankan syariah yang dibuat di hadapannya secara otentik. Terhadap akta akad tersebut, notaris mempunyai tanggung jawab penuh tentang kebenaran dan ketepatan konstruksi akad agar terpenuhinya syarat subyektif maupun objektif atas akad/perjanjian tersebut, sehingga akta akad yang dibuat di hadapan notaris tersebut benar dan secara otentik sangat mendasar menjadi akta akad yang mempunyai kekuatan nilai pembuktian yang sempurna. Notaris dalam memformulasikan akta akad atas permintaan para pihak berdasar pada tata cara atau mekanisme/prosedur pembuatan akta notaris.
Pencatatan dianjurkan di dalam Alquran pada QS. Al-Baqarah 282-
283 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah de- ngan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’.
Perbankan syariah tidak mengenal perjanjian kredit akan tetapi mengenal pembiayaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka (25) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (untuk selanjutnya disebut UUPS) dan atas pembiayaan tersebut dapat diberikan agunan. Dalam ketentuan Pasal 1 Angka 25 UUPS ditegaskan bahwa: “Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun
benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas.”
Meskipun telah ada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang juga memerlukan barang atau benda jaminan tambahan, ternyata dalam penjaminan tersebut masih mempergunakan Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT), Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), serta Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang tidak syariah dan juga belum ada lelang syariah. Contohnya dalam SKMHT dan UUHT misalnya masih ada kalimat pelunasan utang, perjanjian utang-piutang, kreditor, debitor dan kredit dalam lembaga perbankan yang melaksanakan kegiatan secara konvensional. Padahal, kata-kata tersebut tidak dikenal dalam akad perbankan syariah karena bergantung pada akad yang dibuat antara nasabah dan bank syariah.32
Hak tanggungan pada prinsipnya ada untuk tujuan menjamin pelunasan suatu utang/kredit yang selama ini dikenal dalam sistem hukum keperdataan atau dalam hal ini adalah perbankan konvensional, akan tetapi dalam prakteknya perbankan syariah juga menggunakan lembaga hak tanggungan sebagai cara untuk mengikat jaminan atas tanah yang diberikan oleh nasabah/penerima fasilitas pembiayaan kepada bank syariah. Padahal prinsip dan teori antara utang pada sistem konvensional dengan sistem pembiayaan pada perbankan syariah adalah berbeda.
32Xxxxx Xxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxxx,2017, Akta Notaris untuk Perbankan Syariah, Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, halaman 68-69.
Definisi yang ada di dalam Undang–undang Perbankan dan Undang-undang Perbankan Syariah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa utang/kredit dan pembiayaan keduanya merupakan bentuk fasilitas penyediaan dana yang diberikan oleh perbankan, akan tetapi secara prinsip utang/kredit (dalam perbankan konvensional) dengan pembiayaan (dalam perbankan syariah) secara garis besar merupakan suatu hal yang sangat berbeda. Perbedaan itu dapat dilihat dari keuntungan atau imbalan yang diterima oleh bank atas penyediaan dana yang bank berikan. Pada kredit/utang yang diberikan oleh bank konvensional pengembalian atas dana yang dipinjamkan disertai dengan adanya pemberian bunga, sedangkan di dalam perbankan syariah tidak dikenal bahkan dilarang adanya pemberian bunga/riba.33
Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 10/2008 menyatakan bagi hasil termasuk salah satu bentuk pembiayaan. Yang dimaksud dengan pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa (Pasal 1 angka 8 PBI 10/2008):
1. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
3. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’;
4. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
33Agus Xxxxxxxx, 2016, Hukum Perbankan Syariah, Malang: Setara Press, halaman 43.
5. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multi jasa.
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan/atau unit usaha syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam UU 21/2008.
Secara luas terdapat banyak asas dalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak sendiri berasal dari freedom of contract sehingga menurunkan beberapa asas penting yang terdapat dalam Buku III Kitab Undang-undang Perdata. Namun, agar penelitian ini dapat terarah dan menghasilkan sesuai tujuan penelitian, maka penelitian ini mengambil empat asas penting yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, dan asas itikad baik.34
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan; dan (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.” Jika melihat
34Agus Xxxxx Xxxxxxx, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Prenada Media Group, halaman 194.
pernyataan di atas, asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam membuat perjanjian. Karena kebebasan ini pula sehingga Buku III yang mengatur tentang perikatan ini juga dapat dikatakan menganut sistem terbuka, artinya para pihak yang membuat perjanjian bebas membuat perjanjian, walaupun aturan khususnya tidak terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.35
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme merupakan asas dalam hukum perjanjian yang penting karena asas ini menekankan pada awal mula penyusunan perjanjian. Konsensus berasal dari kata consensus yang berarti persetujuan umum. Asas Konsensualisme diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh “asas konsensualisme”. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme. Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak di antara para pihak yang membuat
35 Xxxxx XX. 2013. Hukum Kontrak. Jakarrta: Sinar Grafika, halaman 9.
perjanjian tersebut. Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Berdasarkan prinsip ini, para pelaku harus melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakatinya dan dituangkan dalam perjanjan. Menurut asas ini kesepakatan para pihak itu mengikat sebagaimana layaknya Undang-undang bagai para pihak yang membuatnya. Karena adanya janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling berprestasi, maka ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata sepakat, dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan
mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.36
4. Itikad Baik
Asas itikad baik dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. “Asas itikad baik (goodfaith) menurut Subekti merupakan salah satu sendi terpenting dalam hukum perjanjian. Selanjutnya Subekti berpendapat bahwa perjanjian dengan itikad baik adalah melaksanakan perjanjian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan”. Berdasarkan pengertian itikad baik dalam kontrak/perjanjian tersebut maka unsur yang utama adalah kejujuran. Kejujuran para pihak dalam perjanjian ini meliputi pada kejujuran atas identitas diri dan kejujuran atas kehendak dan tujuan para pihak. Kejujuran adalah unsur yang utama dalam pembuatan perjanjian/kontrak karena ketidakjujuran salah satu pihak dalam perjanjian/kontrak dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak lainnya.37 Asas ini harus dianggap ada pada waktu negoisasi, pelaksanaan perjanjian hingga penyelesaian sengketa. Asas ini penting karena
36Huala Adole. 2010, Dasar–dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: PT Xxxxxx Xxxxxxx, halaman 25.
37Subekti, 1998, Pokok –pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT.Intermasa, halaman
41.
dengan hanya adanya prinsip inilah rasa percaya yang sangat dibutuhkan dalam bisnis agar pembuatan perjanjian dapat direalisasikan. Tanpa adanya goodfaith dari para pihak, sangatlah sulit perjanjian dapat dibuat. Kalaupun perjanjian sudah ditandatangani, pelaksanaan perjanjian tersebut pastilah akan sulit untuk berjalan dengan baik apabila prinsip ini tidak ada.
Hubungan antara subjek hukum dalam Islam salah satunya tercipta melalui hubungan kontraktual yaitu dengan membuat suatu perjanjian atau akad. Dewasa ini pokok-pokok dalam perjanjian Islam, banyak dipakai oleh setiap orang yang menghendaki adanya transaksi yang bebas bunga, sebagai upaya untuk menghindari riba. Praktek yang banyak terjadi adalah sistem bunga yang dipakai dalam perbankan konvensional. Karena sifatnya yang berdasarkan syariah, maka produk- produk bank syariah tidak sama dengan produk-produk bank konvensional, yakni adanya larangan memakai sistem bunga bank, yang dikategorikan sebagai riba, larangan melakukan transaksi yang mengandung unsur judi, ketidakpastian dan bathil.38
Prinsip bagi hasil timbul sebagai gantinya, yaitu jika ada hasil pada usaha nasabah yang didanai oleh suatu bank syariah, maka hasil tersebutlah yang akan dibagi di antara bank dengan pihak nasabah. Selain itu produk-produk dari bank syariah harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam yang melarang riba. Beberapa produk syariah
38Khotibul Umam, 2015, Perbankan Syariah Dasar-dasar dan Dinamika Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, halamam 60
memang ada counterpart-nya dalam produk bank yang umum, sementara yang lainnya terasa asing sama sekali. Bahkan beberapa prinsip dalam perbankan secara konvensional terpaksa dilarang yang ini merupakan konsekuensi dari pengakuan terhadap eksistensi dari bank syariah itu sendiri. Di antara prinsip hukum perbankan yang dilanggar oleh bank syariah adalah menjadi pemegang saham pada perusahaan lain yang dibiayainya sendiri dan menjadi pembeli barang modal/barang perdagangan untuk perusahaan/orang lain.
Bank syariah menetapkan nisbah bagi hasil terhadap produk- produk pembiayaan yang berbasis Natural Umcertainty Contracts (NUC), yakni akad bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktu, seperti mudharabah dan musyarakah. Secara teknis yang dimaksud dengan marjin keuntungan adalah persentase tertentu yang ditetapkan per tahun perhitungan marjin keuntungan secara harian, maka jumlah hari dalam setahun ditetapkan 360 hari; perhitungan marjin keuntungan secara bulanan, maka setahun ditetapkan 12 bulan.
Penetapan bagi hasil pembiayaan ditentukan dengan mempertimbangkan sebagai berikut39 :
1. Referensi tingkat (marjin) keuntungan, yaitu referensi tingkat (marjin) keuntungan yang ditetapkan oleh rapat ALCO.
2. Perkiraan tingkat keuntungan bisnis yang dibiayai, dihitung dengan mempertimbangkan sebagai berikut:
39Adiwarman X. Xxxxx, 2016, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, halaman 280.
a. Perkiraan Penjualan;
b. Volume penjualan setiap transaksi atau volume penjualan setiap bulan;
c. Sales turn-over atau frekuensi penjualan setiap bulan;
d. Flutuasi harga penjualan;
e. Rentang harga penjualan yang dapat dinegosiasikan;
x. Xxxxxx keuntungan setiap transaksi.
3. Lama Cash to cash cycle :
a. Lama proses barang;
b. Lama persediaan;
c. Lama piutang.
4. Perkiraan biaya-biaya langsung
Pengertian biaya-biaya langsung adalah biaya yang langsung berkaitan dengan kegiatan penjualan seperti biaya pengangkutan, biaya pengemasan, dan biaya-biaya lain yang lazim dikategorikan dalam cost of goods sold (COGS).
5. Perkiraan biaya-biaya tidak langsung
Pengertian biaya-biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak langsung berkaitan dengan kegiatan penjualan, seperti biaya sewa kantor, biaya gaji karyawan, dan biaya-biaya lain yang lazim dikategorikan dalam overhead cost (OHC).
6. Delayed Factor
Delayed Factor adalah tambahan waktu yang ditambahkan pada cash tto cash cycle untuk mengantisipasi timbulnya keterlambatan pembayaran dari nasabah kepada bank.
Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk persentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal Rp tertentu. Sebagai contoh, jika nisbah keuntungan itu 50:50, 70:30, 60:40, atau bahkan 99:1, maka nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan porsi setoran modal, tentu saja bila disepakati dengan ketentuan nisbah keuntungan sebesar porsi setoran modal.
Ketentuan di atas itu merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak investasi. Dalam kontrak ini, return dan timing cash flow kita tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Bila laba bisnisnya besar, maka kedua belah pihak mendapat bagian yang besar, begitu juga sebaliknya. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk persentase, bukan dalam bentuk nominal rupiah (Rp) tertentu.
Kegiatan bisnis tidak selamanya mendapatkan keuntungan. Apabila bisnis dalam akad mudharabah ini mendatangkan kerugian, pembagian kerugian itu bukan berdasarkan nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Berarti bank yang harus menanggung segala kerugian yang terjadi. Namun demikian, ketentuan pembagian
kerugian seperti di atas itu hanya berlaku bila kerugian yang terjadi hanya murni diakibatkan oleh resiko bisnis, bukan karena resiko karakter buruk mudharib. Bila kerugian terjadi karena karakter buruk, misalnya karena mudharib lalai dan/atau melanggar persyaratan-persyaratan kontrak mudharabah, maka bank tidak perlu menanggung kerugian tersebut.
Penerapan akad musyarakah pada Bank Sumut Syariah cabang Medan sebagaimana data yang penulis himpun di lapangan terdapat dalam berbagai produk pembiayaan yang telah dijabarkan sebelumnya. Tujuan adanya akad musyarakah pada Bank Xxxxx Xxxxxxx adalah untuk membantu dan mengembangkan permodalan dan pembiayaan bagi nasabah. Prosedur pengajuan pembiayaan musyarakah di Bank Sumut Syariah cabang Medan, langkah pertama yang dilakukan yaitu nasabah mengajukan permohonan pembiayaan atau penyediaan fasilitas musyarakah, kemudian bank akan menganalisa kemampuan membayar dan keberadaan jaminan, selanjutnya bank akan menganalisa usaha yang akan dijalani oleh nasabah setelah dinyatakan layak, kemudian diadakanlah akad pembiayaan antara nasabah dan bank pada tahap akhirnya, nasabah menyiapkan skill dan modal sedangkan bank akan menyiapkan modal untuk nasabah.
Produk Bank Xxxxx Xxxxxxx dalam pembiayaan yang menggunakan akad musyarakah digunakan untuk pembiayaan modal kerja di mana bank yang merupakan partner pada tahap awal dari sebuah usaha atau proses produksi. Dalam model pembiayaan ini, pihak bank
akan menyediakan dana untuk membeli asset atau alat-alat produksi, begitu juga dengan partner musyarakah lainnya. Setelah usaha berjalan dan dapat mendatangkan keuntungan porsi kepemilikan bank atas asset atau alat produksi akan berkurang karena dibeli para partner lainnya dan pada akhirnya akan menjadi nol. Dalam pembiayaan musyarakah ini, diperlukan jaminan. Besarnya nilai jaminan telah diukur dan ditentukan oleh pihak bank.
Pembiayaan musyarakah dengan prinsip bagi hasil pada bank syariah menetapkan syarat-syarat umum untuk sebuah pembiayaan, yaitu40:
1. Surat permohonan tertulis dengan dilampiri proposal yang memuat antara lain gambaran umum usaha, rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu penggunaan dana;
2. Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat ijin umum perusahaan dan tanda daftar perusahaan.;
3. Laporan keuangan seperti neraca dan laporan rugi laba, data persediaan terakhir, data penjualan, dan fotocopy rekening bank.
Perjanjian musyarakah yaitu pembiayaan dengan penyertaan modal, di mana dua atau lebih mitra berkontribusi untuk memberikan modal suatu investasi. Dengan kata lain musyarakah merupakan perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih pemilik modal (uang atau
40Xxxxxxxx Xxx, 2008, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta:Sinar Grafika, halaman
26.
barang) untuk membiayai suatu usaha di mana masing-masing pihak berhak atas segala sesuatu keuntungan dari usaha tersebut yang dibagi berdasar persetujuan sesuai porsi masing-masing.
Prinsip bagi hasil berdasar perjanjian musyarakah sebagaimana tersebut di atas, menunjukkan suatu hubungan hukum antara dua pihak yaitu pihak bank (shahibul maal) sebagai penyedia dana dengan nasabah (mudharib) sebagai pihak pengelola dana. Hubungan hukum tersebut akan menimbulkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban maupun tanggung jawab pada masing-masing pihak. Prinsip-prinsip bagi hasil berdasarkan perjanjian musyarakah, terkait dengan pembiayaan terhadap nasabah yaitu dapat tercermin dari hak dan kewajiban masing-masing pihak, yaitu pihak bank (shahibul maal) dengan pihak nasabah pengelola dana (mudharib), adalah sebagai berikut :
1. Menjalankan usaha sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak.
2. Bertindak untuk dan atas nama serta mewakili para pihak baik di luar ataupun di muka pengadilan, kecuali dalam hal:
a. Meminjam dan atau meminjamkan asset milik syirkah dan atau melakukan tindakan yang dapat menimbulkan beban tanggungan pada syirkah atau pihak pertama;
b. Menjual dan mengasingkan asset milik syirkah.
3. Memelihara, menjaga serta menyelamatkan modal para pihak.
4. Membebaskan seluruh harta kekayaan milik pihak kedua yang dijaminkan untuk kepentingan pihak pertama berdasarkan akad ini dari beban penjaminan terhadap pihak lain.
5. Mengelola dan menyelenggarakan pembukuan atas modal secara jujur dengan itikad baik dalam pembukuan sendiri.
Sekalipun prinsip atau ketentuan syariah bukan merupakan hukum positif, tetapi prinsip atau ketentuan syariah berkedudukan sebagai hukum kebiasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1347 KUHPerdata. Oleh karena itu berlaku terhadap hubungan hukum antara bank dan nasabahnya sepanjang belum diatur dalam perjanjian dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang memaksa dalam hukum perjanjian (asas kebiasaan).
Menurut Pasal 1347 KUHPerdata, hal-hal yang menurut kebiasaan yang selamanya diperjanjikan secara diam-diam, dianggap telah dimasukkan pula ke dalam perjanjian itu, meskipun hal yang demikian itu tidak secara tegas dinyatakan dalam perjanjian. Mengkaji dari aspek hukum jaminan, pembiayaan terhadap nasabah dengan penerapan prinsip bagi hasil, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa: Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasar prinsip syariah.
Ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa agunan atau jaminan diberlakukan dalam penerapan prinsip bagi hasil dalam
pembiayaan terhadap nasabah. Secara umum Undang-undang sudah mengatur tentang jaminan yang dikenal dengan asas umum hukum jaminan, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1131 KUH Perdata, bahwa: “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”
Pembiayaan berdasar prinsip bagi hasil, mengandung resiko, sehingga perlunya bank syariah menambahkan adanya agunan sebagai jaminan. Sebagaimana tersirat di dalam Alquran surat Al Baqarah ayat
283. Di samping harus memperhatikan asas-asas pembiayaan berdasar prinsip syariah, dalam arti keyakinan atau kesanggupan nasabah untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Musyarakah merupakan penanaman dana dari pemilik dana untuk mencampurkan dana mereka pada usaha tertentu, dengan bagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian di tanggung oleh para pemilik dana berdasarkan bagian dana masing-masing. Dalam hal ini, bank syariah dan nasabah yang membutuhkan pembiayaan bersama-sama membiayai dan mengelola suatu usaha atau proyek secara bersama atas prinsip bagi hasil, sesuai dengan penyertaannya, di mana keuntungan dan kerugian dibagi secara profesional sebagaimana kesepakatan awal.
Perhitungan bagi hasil nasabah adalah dengan cara mengakumulasikan bagi hasil harian nasabah. Adapun cara untuk menghitung bagi hasil harian adalah dengan cara sebagai berikut:
Bagi hasil harian : (A/1000 x B x (Nisbah/100)/ C Keterangan :
A = Saldo akhir hari nasabah B = Angka indeks
C = Jumlah hari dalam bulan berjalan Angka Indeks per hari adalah sebagai berikut :
B = D / E
Keterangan:
D = Profit produk mudharabah (pendapatan yang akan didistribusikan untuk tabungan)
E = Saldo rata – rata dana pihak ketiga mudharabah
Profit produk mudharabah adalah sebagai berikut :
F = Saldo rata – rata DPK mudharabah setelah dikurangi GWM G = Saldo rata – rata pembiayaan
H = Akumulasi pendapatan pembiayaan dalam satu periode
Contoh perhitungan :
Dianggap:
• Saldo akhir hari nasabah Rp 1.000.000,-
• Saldo rata – rata DPK mudharabah Rp 2.000.000,-
• Saldo rata – rata DPK mudharabah setelah dikurangi GWM Rp 1.880.000.000,-
• Saldo rata – rata pembiayaan dan penempatan Rp 2.100.000.000,-
• Akumulasi pendapatan pembiayaan dan penempatan dalam satu bulan Rp 290.000.000,-
• Nisbah tabungan nasabah 35%
• Jumlah hari pada bulan berjalan 31 hari Maka profit produk mudharabah adalah :
1.880.000.000 x 2.100.000.000 / 290.000.000= 00.000.000.000
Sedangkan untuk angka indeks adalah :
00.000.000.000 / 2.000.000.000 = 6,81
Jadi bagi hasil harian nasabah dengan saldo akhir Rp 1.000.000 adalah (100.000.000 / 1.000) x 6,81 x (35/100) / 31 = 77,0
Contoh pembiayaan menggunakan akad musyarakah dalam pembiayaan di Bank Sumut Syariah cabang Medan. Terkait kedudukan para pihak, mereka terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut. Yang pertama bahwa dalam rangka menjalankan suatu kegiatan usaha, pihak kedua memerlukan tambahan sejumlah dana, dan untuk memenuhi hal tersebut pihak kedua telah mengajukan permohonan kepada pihak pertama untuk menyediakan pembiayaannya, yang dari pendapatan/keuntungan usaha itu kelak akan dibagi di antara kedua belah pihak berdasarkan prinsip bagi hasil. Dan yang kedua bahwa terhadap permohonan pihak kedua tersebut, pihak pertama telah menyatakan
persetujuannya menyediakan tambahan dana terhadap kegiatan usaha yang akan dijalankan pihak kedua sedangkan terhadap pembagian pendapatan/keuntungan berdasarkan prinsip bagi hasilnya.
Pembiayaan dan jangka waktu dan penggunaannya, kedua belah pihak sepakat memasukkan modalnya untuk membiayai usaha/proyek pembangunan 3 unit ruko di Perumahan Griya Mawar Wisata Jl. Karya Wisata Kel. Gedung Johor Kec. Medan Johor Kota Medan, yang permohonannya telah diajukan oleh pihak kedua kepada pihak pertama sebagaimana yang dilampirkan pada dan karenanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari akad ini. Kedua belah pihak masing- masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan sebagai penyertaan modal membiayai usaha/proyek sebagaimana ayat 1 pasal ini, yaitu pihak pertama sebesar Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) yang merupakan 52,33% dari sharing modal usaha, dan pihak kedua sebesar Rp 422.050.600,- (empat ratus dua puluh dua juta lima puluh ribu enam ratus rupiah) yang merupakan 47,67% dari sharing modal usaha, yang dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaan atau proyek tersebut. Kerjasama ini berlangsung untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak tanggal akad ini ditandatangani kedua belah pihak dan berakhir pada tanggal 11 Desember 2020.
Kesepakatan nisbah bagi hasil pada akad pembiayaan musyarakah
yaitu:
1. Pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati oleh masing-masing 84,30% dari pendapatan untuk pihak kedua dan 15,70% dari pendapatan untuk pihak pertama;
2. Kedua belah pihak sepakat, bahwa bagi hasil tersebut tidak berubah sepanjang jangka waktu investasi terkecuali berdasarkan kesepakatan bersama dituangkan dalam suatu addendum dan tidak berlaku surut yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akad ini;
3. Kedua belah pihak sepakat, pembayaran nisbah bagi hasil pada ayat
1 di atas dapat ditetapkan secara berjenjang yang besarnya berbeda-beda berdasarkan pada awal akad ini yaitu proporsional sesuai dengan penjualan unit ruko (disesuaikan dengan penjualan) untuk pembayaran bagi hasil disesuaikan dengan cash flow pembiayaan dengan minimum perbulan apabila tidak ada penjualan Rp 10.000.000,-.
Penjaminan pembayaran kembali atau pelunasan hutang tepat pada waktu dan jumlah yang telah disepakati kedua belah pihak berdasarkan akad ini, maka pihak kedua dengan ini menyerahkan agunan tambahan dan membuat pengikatan agunan kepada pihak pertama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jenis dan surat barang agunan yang diserahkan pihak kedua kepada pihak pertama yaitu berupa sebidang tanah pertapakan seluas kurang lebih 500 meter persegi,
berikut segala sesuatu yang ada dan yang akan ada di atasnya pada saat sekarang maupun di masa yang akan datang yang terletak di Jl. Karya Wisata Kel. Gedung Johor Kota Medan, sesuai dengan sertifikat hak milik no. 948/Kel. Gedung Johor tanggal 31 Maret 1997 an. Xxxx Xxxxxxxxxxx Xxxxx, AJB atas nama Xxxx Xxxxxx (komanditer).
Bank Xxxxx Xxxxxxx sebagai salah satu pihak, berperan dalam melakukan akad pembiayaan dengan menentukan porsi yang harus dibayarkan oleh nasabah setiap bulannya. Xxxxx, salah seorang staff di Bank Sumut Syariah cabang Medan mengatakan, penentuan porsi tersebut dinamakan proyeksi. Pihak bank akan menanyakan kesanggupan dan juga kemungkinan keuntungan yang akan didapatkan oleh nasabah setiap bulannya. Salah satu aturan dari prinsip syariah adalah tidak boleh menentukan porsi itu di awal.41
Bank syariah adalah bank yang dalam keseluruhan kegiatannya berdasarkan prinsip syariah. Jika nasabah mengalami kerugian, prinsip bagi hasil yang diatur di dalam aturan syariah yaitu bagi untung dan bagi rugi. Maka, jika nasabah mengalami kerugian, bank juga turut merasakan kerugian tersebut. Tetapi di Bank Sumut Syariah, apabila terjadi kerugian pada nasabah dalam usahanya, bank tidak turut rugi dikarenakan nasabah harus tetap bayar sesuai proyeksi di awal. Dan juga ada batas minimal sejumlah uang yang harus dibayarkan nasabah tiap bulannya. Agunan juga telah diberikan pihak nasabah kepada pihak bank, jadi jika
41Wawancara dengan Rizky tanggal 20 Mei 2019 di Bank Sumut Syariah Cabang
Medan.
nasabah menyatakan tidak sanggup melunasi hutangnya, agunan tersebut akan di ambil alih oleh bank dan akan di lelang.
Wanprestasi yang diperjanjikan di dalam akad pembiayaan musyarakah yaitu terdapat pada pasal 13, menyimpang dari ketentuan dalam pasal 2, pihak pertama berhak untuk menuntut/menagih pembayaran dari pihak kedua dan atau siapapun juga yang memperoleh hak darinya, atas sebagian atau seluruh jumlah kewajiban pihak kedua kepada pihak pertama berdasarkan akad ini, untuk dibayar dengan seketika dan sekaligus, tanpa diperlukan adanya surat pemberitahuan, surat teguran, atau surat lainnya apabila terjadi salah satu hal atau peristiwa tersebut di bawah ini:
1. Pihak kedua tidak melaksanakan pembayaran atas kewajibannya kepada pihak pertama sesuai dengan saat yang ditetapkan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 akad ini;
2. Dokumen, surat-surat bukti kepemilikan atau hak lainnya atas barang-barang yang dijadikan jaminan dan atau pernyataan pengakuan sebagaimana tersebut pada Pasal 11 akad ini ternyata palsu atau tidak benar isinya, dan atau pihak kedua melakukan perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan salah satu hal yang ditentukan dalam Pasal 6 dan atau Pasal 13 akad ini;
3. Sebagian atau seluruh harta kekayaan pihak kedua disita oleh pengadilan atau pihak yang berwajib;
4. Pihak kedua berkelakuan sebagai pemboros, pemabuk, ditaruh di bawah pengampuan dalam keadaan insolvensi, dinyatakan pailit atau dilikuidasi.
Pelanggaran yang dijelaskan dalam akad pembiayaan musyarakah terdapat dalam Pasal 14 yang menjelaskan pihak kedua dianggap telah melanggar syarat-syarat akad ini bila terbukti pihak kedua melakukan salah satu perbuatan-perbuatan atau lebih sebagai berikut:
1. Menggunakan modal yang diberikan pihak pertama di luar tujuan atau rencana kerja yang telah mendapat persetujuan tertulis dari pihak pertama;
2. Melakukan pengalihan usaha dengan cara apapun, termasuk dan tidak terbatas pada melakukan penggabungan, konsolidasi, dan atau akuisisi dengan pihak lain;
3. Menjalankan usahanya tidak sesuai dengan ketentuan teknis yang diharuskan pihak pertama;
4. Melakukan pendaftaran untuk memohon dinyatakan pailit oleh pengadilan;
5. Lalai tidak memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain;
6. Menolak atau menghalang-halangi pihak pertama dalam melakukan pengawasan dan atau pemeriksaan sebagaimana diatur dalam pasal 15.
Pasal 15 mengatur mengenai pengawasan dan pemeriksaan. Pihak pertama atau kuasanya berhak untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pembukuan dan jalannya pengelolaan usaha yang difasilitasi modal oleh pihak pertama berdasarkan akad ini, serta hal-hal lain yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengannya, termasuk dan tidak terbatas pada pembuatan fotokopinya.
Perjanjian yang dicantumkan di dalam akad pembiayaan Bank Xxxxx Xxxxxxx hanya menjelaskan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak nasabah. Seharusnya di dalam akad harus mencantumkan pelanggaran yang akan terjadi atau dilakukan oleh kedua belah pihak. Karena kesepakatan dalam perjanjian harus bertindak adil dan tidak boleh ada unsur paksaan. Pada kenyataannya, nasabah harus menerima semua kebijaka yang telah diatur oleh pihak bank, dan tidak boleh melakukan negosiasi. Apabila nasabah menandatangani akad pembiayaan, berarti nasabah sepakat dengan apa saja yang telah dicantumkan di dalam akad tersebut.
Implementasi perjanjian bagi hasil dalam pembiayaan pada Bank Sumut Syariah cabang medan sudah cukup baik, tetapi masih ada kekurangan yang tampak yaitu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum Islam yang dituangkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia melarang penetapan bagi hasil dengan nominal angka uang. Penetapan bagi hasil hanya boleh dituangkan dengan persen. Tetapi pada kenyataannya, Bank Sumut Syariah cabang
medan dalam melakukan produk pembiayaan, menetapkan nominal angka yang harus dibayarkan nasabah setiap bulannya sebelum melaksanakan akad tersebut.
BAB III
HAMBATAN DALAM IMPLEMENTASI PERJANJIAN BAGI HASIL DALAM SISTEM PEMBIAYAAN PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG MEDAN
D. Hubungan Hukum antara Bank dengan Nasabah dalam Pembiayaan Syariah
Hubungan hukum antara bank syariah dengan nasabah dalam pembiayaan terjalin dalam bentuk peraturan bank yang bersangkutan yang berisi ketentuan dan syarat yang disetujui oleh nasabah. Dalam konteks bank syariah, hubungan tersebut diwujudkan melalui akad-akad yang terjadi antara nasabah dengan pihak bank. Akad tersebut diantaranya :
1. Wadiah. Dalam tabungan wadiah bank menerima tabungan dari nasabah dalam bentuk tabungan bebas. Sedangkan akad yang diikat oleh bank dengan nasabah dalam bentuk wadiah. Titipan nasabah tersebut tidak menanggung resiko kerugian, dan bank memberikan bonus kepada nasabah. Bonus tabungan wadiah itu dapat diperhitungkan secara harian dan dibayarkan kepada nasabah pada setiap bulannya.
2. Musyarakah, merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan usaha tertentu. Dalam praktik perbankan musyarakah diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek. Nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari proyek dibagi
sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dahulu mengembalikan dana yang dipakai nasabah.
3. Mudharabah. Dalam pembiayaan mudharabah, bank mengadakan akad dengan nasabah. Bank menyediakan pembiayaan modal usaha bagi proyek yang dikelola oleh pengusaha. Keuntungan yang diperoleh akan dibagi perjanjian bagi hasil sesuai dengan kesepakatan yang telah diikat oleh bank dan perusahaan tersebut.
Hubungan hukum antara bank syariah dan nasabah peminjam dana pada akad pembiayaan mudharabah dan musyarakah di bank syariah dapat dilihat dalam penerapan hukum syariah dalam konteks hukum positif juga dapat diwujudkan dalam kegiatan perbankan syariah. Sebagaimana umumnya, setiap transaksi antara bank syariah dengan nasabah, terutama yang berbentuk pemberian fasilitas pembiayaan selalu dituangkan dalam suatu surat perjanjian.
Berkaitan dengan hal ini, para pihak yang melakukan hubungan hukum, yaitu bank syariah dan nasabah, dapat memasukkan aspek-aspek syariah dalam konteks hukum positif Indonesia sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Pada praktiknya penyusunan suatu perjanjian antara bank syariah dengan nasabah, dari sisi hukum positif, selain mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga harus merujuk kepada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sedangkan dari sisi
syariah, para pihak tersebut berpedoman kepada fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
E. Bentuk-bentuk Pembiayaan dengan Perjanjian Bagi Hasil di Bank Sumut Syariah Cabang Medan
Unit usaha syariah yang dimiliki oleh bank sumut banyak mempunyai produk yaitu dalam hal penghimpunan dana dan penyaluran dana. Penulis disini membahas tentang prinsip bagi hasil dalam sistem pembiayaan, jadi hanya membahas sistem terkait dengan kegiatan penyaluran dana. Adapun produk Bank Sumut Syariah dalam kegiatan penyaluran dana atau pembiayaan yaitu:
1. Pembiayaan Mikro iB SUMUT Sejahtera II
Pembiayaan mikro iB sumut sejahtera II merupakan pembiayaan yang dapat menggunakan akad murabahah atau akad musyarakah untuk melayani segmen pembiayaan mikro, yaitu dapat berupa pembiayaan; Modal kerja dengan jangka waktu pembiayaan adalah mulai 6 bulan s/d 24 bulan maupun keperluan investasi dengan jangka waktu 12 sd 36 bulan. Pembiayaan mikro iB sumut sejahtera II bertujuan untuk meningkatkan akses usaha mikro yang ada di masyarakat terhadap pelayanan pembiayaan dan menjadikan Bank Sumut Syariah sebagai agen pembangunan di daerah untuk mendukung peningkatan dan perkembangan usaha di sektor riil untuk masyarakat berpenghasilan rendah khususnya di Provinsi Sumatera Utara. Pembiayaan ini memproritaskan kepada masyarakat atau