BAB 2
11
BAB 2
PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA BANK DENGAN NOTARIS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Notaris Sebagai Pejabat Umum
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris14. Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah openbare amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa:
De notarissen zijn openbare ambetenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelinggen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen , dat bij authentiek geschrift bkijken zal, daarvan de dagteekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschriften en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door eene algemeene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voor hebehouden is. Dalam bahasa Indonesia bunyinya demikian: Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain15.
Dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris dan Pasal 1 butir 1 Undang- Undang Jabatan Notaris dapat diambil kesimpulan, bahwa tugas pokok Notaris
14 Indonesia, Peraturan Jabatan Notaris, Staatsblad No. 3 Tahun 1860. Ps. 1.
15 Xxxxx Xxxxx, Hukum Notaris Indonesia : Tafsiran Tematik Terhadap UU No. 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, cet. I, (Jakarta: Xxxxxx Xxxxxxx, 2008), hal. 12.
Universitas Indonesia
12
membuat akta otentik untuk kepentingan masyarakat sehingga Notaris digolongkan sebagai pejabat umum16. Arti penting dari profesi Notaris ialah bahwa ia karena Undang-Undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar17.
Notaris sebagai pejabat umum juga dapat ditelusuri pada Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”18.
Pandangan yang berbeda dalam mengungkapkan istilah Notaris sebagai penjabat umum dikemukakan xxxx XXXXX XXXXX. Beliau menyatakan “perlu diperhatikan bahwa istilah openbaar abtenar dalam kontek ini tidak bermakna umum, tetapi bermakna publik. Ambt pada dasarnya adalah jabatan publik. Dengan demikian jabatan notaris adalah jabatan publik tanpa perlu atribut openbaar”19. Berdasarkan rumusan tersebut XXXXX XXXXX, memberi karateristik Notaris sebagai berikut:
1. Sebagai Pejabat Negara. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara dan memiliki tugas yang sengaja dibuat
16 Pejabat umum xxxx xxx di indonesia tidak hanya Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pejabat Lelang juga digolongkan sebagai pejabat umum. Menurut pasal 1 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah dinyatakan “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai pembuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun”. Lihat: Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 28 Tahun 1998, LN No. Tahun 1998, TLN No. , ps. 1 ayat 1.
17 Adjie, op. cit., hal. 15.
18 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh
R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, cet. XXXIX, (Jakarta: Padya Paramita, 2008), hlm 475.
19 Xxxxx Xxxxx, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet. II, (Jakarta: Xxxxxx Xxxxxxx, 2009), hal. 31.
Universitas Indonesia
13
oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkup pekerjaan tetap;
2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu. Kewenangan dari seorang pejabat (Notaris) ada aturan hukumnya agar tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya;
3. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Pasal 2 Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dalam hal ini menteri yang membidangi hukum;
4. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya. Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tapi tidak menerima gaji, pensiun dari pemerintah, Xxxxxxx hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayani atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu; dan
5. Akuntabilitas atas pekerjaan kepada masyarakat. Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggungjawab untuk melayani masyarakat. Masyarakat dapat menggugat secara perdata Notaris, dan menuntut biaya ganti rugi, dan bunga jika teryata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat20.
Sejarah Notaris di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah Notariat di Nederland dan Xxxxxxx, xxxxxx bersumber dari hukum Notariat di Nederland atas dasar asas concordantie, sedangkan ketentuan di Negeri Nederland mengambil ketentuan-ketentuan dari hukum Notariat di Prancis (loi organique du notariat)21.
Notaris di Indonesia bermula pada saat di angkat sebagai Notaris pertama bernama XXXXXXXX XXXXXXX, menjabat sebagai sekretaris dari college van schepenen pada tanggal 27 Agustus 1620. Ia di tugaskan menjabat jabatan “notarius publicus” dalam wilayah kerja Kota Jakarta. Sebutan “notarius publicus” sesuai dengan tugasnya melayani kepentingan publik di wilayah Jakarta
20 Adjie, op. cit.
21 Menurut Soegondo, ketika Nederland dibawah kekuasaan Prancis untuk para Notaris diberlakukan ketentuan ventosewet, sehingga meskipun Nederland pada tahun 1813 telah mendapatkan kemerdekaan kembali tetapi Peraturan Notaris dari ventoswet yang berasal dari Xxxxxxx xxxxx tetap berlaku. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia : Suatu Penjelasan,cet. I, (Jakarta: CV Rajawali, 1982), hal. 22.
Universitas Indonesia
14
berupa pembuatan akta-akta, surat-surat, mencatat dalam buku tertentu dan lain- lainnya serta mengeluarkan salinan-salinannya. Awalnya, para Notaris adalah pegawai VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sehingga tidak memiliki kebebasan dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum yang melayani kepentingan masyarakat. Sesudah tahun 1650 Notaris benar-benar diberikan kebebasan dalam menjalankan tugasnya dan melarang para prokueur mencampuri pekerjaan Kenotariatan. Zaman ini terdapat kebijakan dari Pemerintah Xxxxxx Xxxxxxx xxxx menetapkan formasi atau kuota Notaris di setiap daerah.
Sesudah pengangkatan Notaris pertama oleh Gubernur Jendral XXX XXXXXXXXXXX XXXX, maka kemudian jumlah Notaris dalam Kota Jakarta ditambah sehubungan kebutuhan akan pejabat ini bertambah. Sementara itu di luar kota Jakarta timbul juga kebutuhan akan Notaris maka diangkatlah Notaris oleh penguasa pada saat itu. Keseluruhan pada tahun 1671 pejabat Notaris berjumlah lima orang dengan ketentuan empat orang bertempat tinggal di dalam kota Jakarta dan satu orang bertempat tinggal di luar kota Jakarta22. Ketentuan tersebut ditetapkan agar masing-masing Notaris bisa mendapatkan penghasilan yang layak. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah tetap memberlakukan Staatblads
1860 No. 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris sampai di pertengahan tahun 2004 diganti dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Padahal undang-undang induk dari peraturan jabatan Notaris yakni notariswet sendiri telah mengalami beberapa perubahan untuk menyesuaikan perkembangan hukum dan bisnis di Negeri Belanda23.
2.1.2 Kewenangan, Kewajiban Dan Larangan Bagi Notaris
Notaris dalam berperilaku dan menjalankan tugas, harus berpedoman pada Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Kedua aturan itu telah mengatur secara rinci kewenangan, kewajiban dan larangan bagi Notaris sebagai berikut:
22 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., hal. 48.
23 Ibid., hal. 49.
Universitas Indonesia
15
Kewenangan bagi Notaris di atur dalam Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris adalah:
1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang- undangan dan/ atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang;
2. Notaris berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan24.
Secara garis besar kewenangan Notaris tersebut dalam Pasal 15 Undang- Undang Jabatan Notaris dapat dibagi menjadi kewenangan umum Notaris, kewenangan khusus Notaris dan kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian25. Sedangkan dalam ketentuan Kode Etik Notaris tidak di jelaskan secara jelas kewenangan dari Notaris, namun merujuk pada Pasal 1 ayat 4 Kode Etik Notaris mengenai ketentuan umum dinyatakan bahwa Notaris adalah setiap orang yang memangku dan menjalankan jabatan sebagai pejabat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 15 Undang-Undang
24 Indonesia, op. cit., ps. 15.
25 Adjie, op. cit., hal. 78.
Universitas Indonesia
16
Jabatan Notaris, maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan yang di atur dalam Kode Etik Notaris sama dengan kewenangan yang di atur dalam ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris26. Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut ternyata Notaris sebagai penjabat umum memperoleh wewenang secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh Undang- Undang Jabatan Notaris sendiri, jadi bukan berasal dari lembaga lain seperti Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia27.
Kewajiban dalam ketentuan Kode Etik Notaris di artikan sebagai sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan yang harus dilakukan anggota perkumpulan maupun orang lain yang memangku jabatan Notaris dalam rangka menjaga dan memelihara citra serta wibawa lembaga Notariat dan menjunjung tinggi keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris28. Adapun kewajiban Notaris di atur dalam Pasal 16 Undang-Undang Jabatan Notaris meliputi:
1. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
26 Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., ps. 1 ayat 4.
27 Adjie, op. cit., hal. 78.
28 Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., ps. 1 ayat 10.
Universitas Indonesia
17
g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat Lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris; dan
m. menerima magang calon Notaris.
2. Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali;
3. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta:
a. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Penawaran pembayaran tunai;
c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d. Akta kuasa;
e. Keterangan kepemilikan; atau
f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata "berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua";
5. Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap;
6. Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
7. Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris;
8. Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan; dan
Universitas Indonesia
18
9. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat29.
Kode Etik Notaris juga mengatur mengenai kewajiban Notaris yang dituangkan dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris yaitu:
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris;
3. Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan ;
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris;
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan;
6. Mengutamakan kepentingan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorium;
8. Menetapkan satu kantor ditempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksnakana tugas dan jabatan sehari-hari;
9. Memasang satu buah papan nama di depan/ dilingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x80 cm, yang memuat:
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor surat keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/ fax . dasar papan nama bewarna putih dengan huruf bewarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas dan mudah dibaca, kecuali dilingkungan kantor tersebut tidak memungkinkan untuk memasang papan nama di maksud.
10. Hadir, mengikuti, berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan, menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan;
11. Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib;
12. Membayar uang duka untuk membantu ahli xxxxx xxxxx sejawat yang meninggal dunia;
13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan perkumpulan;
29 Indonesia. op. cit., ps. 16.
Universitas Indonesia
19
14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pebuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan dikantornya kecuali karena alsan-alasan yang sah;
15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silahturahim.
16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan / status sosialnya;
17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam :
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat 2 UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris;
c. Isi sumpah jabatan Notaris;
d. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ikatan notaris indonesia30.
Larangan menurut Pasal 11 Kode Etik Notaris adalah sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan apapun yang tidak boleh dilakukan oleh anggota perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris yang dapat menurunkan citra serta wibawa lembaga Notariat ataupun keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris. Larangan Notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang dilakukan oleh Notaris, jika larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris. Pasal 17 Undang-Undang Jabatan Notaris di uraikan larangan bagi Notaris meliputi:
1. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
2. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
3. Merangkap sebagai Pegawai Negeri;
4. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara;
5. Merangkap jabatan sebagai Advokat;
6. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
30 Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., ps. 3.
Universitas Indonesia
20
7. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;
8. Menjadi Notaris pengganti; atau
9. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan xxxxx xxxxx, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris31.
Sedangkan larangan yang di atur dalam Pasal 4 Kode Etik Notaris lebih mengedepankan mengenai perilaku Notaris dalam menjalankan jabatannya yang meliputi:
1. Mempunyai lebih dari satu kantor baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan;
2. Memasang papan nama dan/ atau tulisan yang berbunyi “notaris/ kantor notaris” di luar lingkungan kantor;
3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/ atau elektronik dalam bentuk:
a. Iklan;
b. Ucapan selamat;
c. Ucapan belasungkawa;
d. Ucapan terimakasih;
e. Kegiatan pemasaran;
f. Kegiatan sponsor baik dalam bidang social, keagamaan, maupun olahraga.
4. Bekerja sama dengan biro jasa/ orang/ badan hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien;
5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain;
6. Mengirim minuta kepada klien untuk ditandatangani
7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari notaris lain kepadanya baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain;
8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan xxxx xxxxxxx dokumen- dokumen yang telah diserahkan dan/ atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta kepadanya;
9. Melakukan usaha-usaha baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus kearah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris;
31 Indonesia, op. cit., ps. 17.
Universitas Indonesia
21
10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar xxxx xxxxx dalam jumlah yang lebih rendah dari honorium yang telah ditetapkan oleh perkumpulan;
11. Memperkerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan;
12. Menjelekkan dan/ atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/ atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/ atau membahayakan xxxxx, xxxx Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan xxxx xxxx bersifat tidak menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan atau rekan sejawat tersebut;
13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi;
14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap:
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat 2 UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
c. Isi sumpah jabatan notaris;
d. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Ikatan Notaris Indonesia32.
2.1.3 Sanksi-Sanksi Bagi Pelanggar Ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris Dan Kode Etik
Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup dalam suatu peraturan perundang-undangan. Adanya sanksi-sanksi tersebut dimaksudkan agar Notaris dapat bertindak benar sehingga produk Notaris berupa akta otentik dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para pihak yang membutuhkan. Undang-Undang jabatan Notaris menetapkan sanksi-sanksi yang tegas terhadap masing-masing jenis pelanggaran yang di atur dalam Pasal 84 yang menyatakan bahwa:
32 Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., ps. 4.
Universitas Indonesia
22
Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1)
huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal xxxx xxxxx dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan Bunga kepada Notaris33.
Sanksi untuk memberikan ganti rugi, biaya dan bunga seperti dalam Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris dapat dikategorikan sebagai sanksi perdata34. Selain sanksi-sanksi yang yang diberikan terhadap pelanggaran perbuatan tersebut di atas, Pasal 85 menambahkan aturan mengenai pengenaan sanksi yang menyatakan:
Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1). huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c,
Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat
(1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa:teguran lisan;
a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian sementara;
c. Pemberhentian dengan hormat; atau
d. Pemberhentian dengan tidak hormat35.
Sanksi-sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris dapat dikategorikan sebagai sanksi administratif36. Sanksi yang terdapat
33 Indonesia, op. cit., ps. 84.
34 Adjie, op. cit., hal. 7.
35 Ibid., ps. 85.
36 Adji, loc. cit.
Universitas Indonesia
23
dalam Pasal 84 dan Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris, merupakan sanksi terhadap Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuat di hadapan dan oleh Notaris. Artinya ada persyaratan tertentu atau tindakan tertentu yang tidak dilakukan atau tidak dipenuhi oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatan, berupa kewajiban dan larangan yang di tercantum dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Sanksi-sanksi tersebut merupakan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Majelis Pengawas terhadap pelanggar kedua pasal tersebut37. Berbeda dengan ketentuan yang di atur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang mengatur secara eksplisit, Kode Etik Notaris menetapkan sanksi yang dikenakan kepada anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik, secara garis besar sebagaimana ternyata dalam Pasal 6 Kode Etik Notaris bahwa:
1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa:
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan;
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan; dan
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.
2. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut38.
Mengenai pengenaan sanksi pemecatan sementara kepada pelanggar aturan dalam Kode Etik, Pasal 13 Kode Etik Notaris menyebutkan:
Tanpa mengurangi ketentuan yang mengatur tentang prosedur atau tata cara maupun penjatuhan sanksi secara bertingkat, maka terhadap seorang anggota perkumpulan yang telah melanggar Undang-Undang No. 30
37 Dalam pelaksanaan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas, berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris Majelis Pengawas terdiri dari:
a. Majelis Pengawas Daerah;
b. Majelis Pengawas Wilayah; dan
c. Majelis Pengawas Pusat. Lihat: Indonesia, op. cit., ps. 68.
38 Ikatan Notaris Indonesia, op.cit., ps. 6.
Universitas Indonesia
24
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan yang bersangkutan dinyatakan bersalah, serta dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pengurus wajib memecat sementara sebagai anggota perkumpulan disertai usul kepada kongres agar anggota perkumpulan tersebut dipecat dari anggota perkumpulan”39.
2.2 Kasus Perjanjian Kerjasama Antara Bank Dengan Notaris
Perjanjian kerjasama yang terjadi antara Bank dengan Notaris, diawali dengan pengajuan penawaran oleh Notaris kepada Bank yang dituju40. Pada saat pengajuan penawaran tersebut, Bank akan meminta syarat-syarat tertentu di antaranya:
1. Surat permohonan penawaran kerjasama mengenai jasa-jasa pembuatan akta Notaris/PPAT;
2. Salinan keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pengangkatan Notaris;
3. Salinan keputusan Menteri Negara Agraria tentang pengangkatan Penjabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); dan
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 41.
Setelah dokumen tersebut di serahkan kepada pimpinan kantor cabang Bank. Pimpinan kantor cabang Bank, nantinya akan memeriksa permohonan kerjasama tersebut dengan pertimbangan tertentu. Menurut keterangan XXXX XXXXXXXXXXXX selaku credit officer Bank Tabungan Negara Cabang Pekanbaru:
Pertimbangan kita dalam memutuskan menjalin kerjasama dengan Bank dilihat dari pengalaman Notaris, semakin lama Notaris tersebut menjalankan kerjanya sebagai Notaris semakin bagus. Berikutnya kita lihat lagi di mana kedudukan Notaris tersebut. Biasanya Notaris yang dipilih harus memiliki kantor Notaris sama dengan kantor Bank. Selain
39 Ibid., ps. 13.
40 Lampiran 1
41 ibid
Universitas Indonesia
25
itu Notaris tersebut selain menjabat sebagai Notaris juga menjabat sebagai pejabat pembuat akta tanah. Hal ini bertujuan agar perjanjian kredit yang kita buat dalam bentuk akta, nantinya Notaris itu juga yang harus mengurusi pembebanan hak tanggungannya. Jadi kita tidak repot dan susah. Latar belakang Notaris tersebut juga kita perhatikan” 42.
Setelah Bank memeriksa kelengkapan syarat-syarat administrasi yang diminta lengkap. Selanjutnya Bank akan meminta daftar harga penyelesaian pekerjaan pembuatan akta, jika Bank tidak berkeberatan beberapa hari kemudian Bank akan memanggil Notaris untuk melakukan penandatanganan perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris43. Lazimnya perjanjian kerjasama tersebut di buat oleh Bank dalam bentuk perjanjian baku dan kemudian diajukan kepada Notaris untuk disetujui. Bahkan hampir tidak memberikan kebebasan kepada pihak Notaris untuk melakukan perundingan atas syarat-syarat yang diajukan dalam perjanjian. Bentuk perjanjian kerjasama dibuat dalam bentuk akta di bawahtangan yang ditandatatangani para pihak. Umumnya Bank-Bank yang cukup besar memiliki beberapa rekanan Notaris.
Dalam penelitian ini penulis, mengambil dua macam perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris dari Notaris yang berbeda untuk diperbandingkan. Perjanjian kerjasama yang pertama merupakan perjanjian kerjasama antara Bank Tabungan Negara dengan Notaris SY tentang legalisasi perjanjian kredit dan pembuatan akta-akta otentik. Selain itu juga ada perjanjian kerjasama Bank Tabungan Negara dengan Notaris MK tentang pembuatan akta-akta pengikatan kredit dan barang jaminan dan yang terakhir perjanjian kerjasama antara Bank Tabungan Negara dengan Notaris MK tentang pembuatan akta-akta kredit dan
42 Wawancara penulis dengan Xxxx Xxxxxxxx, credit officer dari Bank Tabungan Negara Cabang Pekanbaru, pada tanggal 20 april 2010.
43 Ibid.
Universitas Indonesia
26
jaminan. Selanjutnya penulis, akan membandingkan ketentuan yang diatur dalam masing-masing perjanjian sehingga dapat ditemukan perbedaan dan persamaaan. Berikut ini akan penulis uraikan sebagai berikut:
1. Perjanjian kerjasama antara Bank Tabungan Negara Cabang Pekanbaru dengan Notaris SY44.
Dalam perjanjian kerjasama ini SY bertindak dalam jabatannya selaku Notaris/PPAT yang berkedudukan di Pekanbaru. Kantor Notaris SY terletak di Jalan Jenderal Sudirman. Notaris SY diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2000. Sedangkan Bank Tabungan Negara dalam perjanjian ini diwakili oleh NU selaku kepala kantor cabang Bank Tabungan Negara Cabang Pekanbaru. Kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian kerjasama tentang legalisasi perjanjian kredit dan pembuatan akta-akta otentik dengan syarat tertentu. Perjanjian kerjasama ini terdiri atas delapan pasal yang mengatur mengenai ruang lingkup perjanjian kerjasama, tata cara penyerahan pekerjaan, pembiayaan/ honorarium, cara pembayaran, jangka waktu penyelesaian pekerjaan, denda dan sanksi, domisili hukum dan ketentuan penutup45.
2. Perjanjian kerjasama antara Bank Tabungan Negara Cabang Bekasi dengan Notaris MK & perjanjian kerjasama antara Bank Tabungan Negara Cabang Kelapa Gading Square dengan Notaris MK46.
Xxxxxxxxx sebagai pihak pertama yaitu Bank Tabungan Negara Cabang Bekasi yang diwakili oleh MY selaku kepala Cabang Bank Tabungan Negara Cabang Bekasi. Sedangkan pihak kedua adalah MK bertindak dalam jabatannya selaku Notaris/ PPAT untuk wilayah kerja DKI Jakarta dan berkedudukan di Jakarta Selatan. Kantor Notaris MK terletak di Kebayoran Baru. Diangkat sebagai Notaris pada tanggal 16 November 1989. Kedua belah pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam suatu kerjasama tentang legalisasi akta dan pembuatan akta-akta dengan sayarat tertentu. Perjanjian kerjasama ini terdiri atas sepuluh
44 Lampiran 4.
45 Ibid.
46 Lampiran 2-3.
Universitas Indonesia
27
pasal yang mengatur mengenai tugas pekerjaan, jangka waktu pelaksanaan kerja, denda, honor/ tarif, cara pembayaran, jangka waktu perjanjian, pemutusan perjanjian sepihak, tempat kedudukan hukum, penyelesaian perselisihan dan evaluasi. Tidak jauh berbeda dengan perjanjian sebelumnya, dalam perjanjian kerjasama perjanjian kerjasama antara Bank Tabungan Negara dengan Notaris MK tentang pembuatan akta-akta pengikatan kredit dan barang jaminan terdiri atas delapan pasal yang mengatur mengenai lingkup pekerjaan, tata cara penyerahan pekerjaan, imbalan jasa/fee, cara pembayaran fee, jangka waktu penyelesaian pekerjaan, sanksi-sanksi, domisili dan ketentuan penutup.
Perbedaan antara kedua perjanjian tersebut, apabila dibandingkan perjanjian sebelumnya yaitu:
1. Perjanjian kerjasama yang dibuat Bank Tabungan Negara Cabang Pekanbaru tidak menyebutkan secara rinci pekerjaan apa saja yang diberikan kepada Notaris SY, sedangkan pada Bank Tabungan Negara Cabang Bekasi merinci pekerjaan yang diberikan kepada Notaris MK sebagai berikut:
1. Pihak Bank memberikan pekerjaan kepada Notaris untuk melaksanakan pekerjaan sehubungan dengan realisasi KPR- BTN dan realisasi kredit lainnya yang meliputi legalisasi akta dan pembuatan akta-akta yang meliputi :
a. Legalisasi perjanjian kredit;
b. Pembuatan akta pengakuan hutang;
c. Surat kuasa untuk menjual atau
d. Akta pengakuan akta hutang dan kuasa menjual (alternatif b dan c);
e. Pembuatan akta jual beli tanah (AJB) atau perjanjian pengikatan untuk menjual dan membeli, dalam hal belum dapat ddibuat akta jual beli;
f. Pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT);
g. Pembuatan akta pemberian hak tangungan (APHT) dan mendaftarkan pada kantor pertanahan sehingga terbit sertifikat Hak tangungan apabila hal tersbeut dipadang perlu dan untuk itu diperlukan perintah khusus dari Pihak pertama untuk dilaksankana oleh pihak kedua; dan
h. Pembuatan akta lain yang dianggap perlu oleh pihak pertama.
Universitas Indonesia
28
2. Termasuk pekerjaan selain telah disebutkan pada Pasal 1 ayat 1 adalah pekerjaan untuk keperluan alih debitur KPR- BTN, (novasi subyektif pasif) diantaranya:
a. Akta novasi subjektif pasif (akta alih debitur) yang ditandatangani bank dan debitur kedua;
b. Pembuatan akta pembatalan atas akta-akta yang dibuat sebelumnya meliputi perjanjian kredit, pengakuan hutangdan kuasa menjual, kuasa membebankan hak tanggungan;
c. Akta atau surat lainnya yang sebelumnya dibuat antara debitur pertama dengan Bank Tabungan Negara persero;
d. Membuat perjanjian kredit baru, SKMHT baru dan APHT baru jika diperlukan; dan
e. Melakukan pengurusan peralihan hak atas tanah dari debitur pertama kepada debitur kedua.
3. Membuat akta-akta dalam pemberian Kredit Yasa Griya (KYG) atau kredit konstruksi dan jenis kredit lainnya;
4. Membantu dalam penyelesaiana sertifikat tanah yang bermasalah jika pihak pertama memberikan tugas pekerjaan;
5. Pekerjaan yang diberikan oleh pihak pertama kepada pihak kedua sesuai keahlian dan wewenang yang dimiliki dalam hubungan dengan pelaksanaan KPR-BTN, kredit lainnya maupun kegiatan pihak pertama lainnya di bindang perbankan
6. Membantu pihak pertama memastikan keberadaan dan keabsahan menurut hukum SHGB induk atau sertifikat hak lainnya untuk keprluan akad kredit yang diberikan kepada pihak pertama dalam membuat akta-akta pemberian kredit itu47.
2. Mengenai jangka waktu penyelesaian pekerjaan antara kedua perjanjian kerjasama terdapat perbedaan. Pada perjanjian kerjasama Bank Tabungan Negara Cabang Pekanbaru ditetapkan bahwa jangka waktu penyelesaian pekerjaan selambat-lambatnya dua bulan terhitung sejak diterimanya dokumen oleh Notaris. Bila dibandingkan ketentuan dalam perjanjian Bank Tabungan Negara Indonesia Cabang Bekasi
47 Lampiran 2.
Universitas Indonesia
29
dan Kelapa Gading Square, jangka waktu yang diberikan yaitu 45 hari hingga 3 bulan48.
3. Mengenai jangka waktu perjanjian kerjasama, untuk Bank Tabungan Negara Cabang Pekanbaru, tidak ditentukan berapa lama perjanjian ini berlangsung. Pada Bank Tabungan Negara Cabang Bekasi ditetapkan jangka waktu perjanjian kerjasama berlangsung selama satu tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan pertimbangan Bank Tabungan Negara Cabang Bekasi, sedangkan Bank Tabungan Negara Cabang Kelapa Gadig Square perjanjian kerjasama berlangsung untuk jangka waktu tiga tahun dan dapat diperpanjang.
4. Alasan berakhirnya perjanjian kerjasama pada Bank Tabungan Negara Cabang Pekanbaru dan Cabang Kelapa Gading Square tidak jelaskan secara jelas. Kedua perjanjian ini hanya menyebutkan keterlambatan Notaris dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya, maka Notaris tersebut dianggap tidak mampu bekerjasama dengan Bank sehingga dapat menjadi alasan bagi Bank untuk mengakhiri perjanjian kerjasama secara sepihak49. Berbeda dari kedua ketentuan tersebut dalam perjanjian kerjasama Bank Tabungan Negara Cabang Bekasi ditetapkan pemutusan perjanjian sepihak oleh Bank apabila Notaris tersebut:
1. Meninggal dunia;
2. Sakit berkepanjangan sehingga tidak dapat melaksanakan pekerjaan;
3. Izin notaris dicabut oleh pihak yang berwenang;
4. Secara langsung maupun tidak langsung dengan sengaja memperlambat penyelesaiaan pekerjaan; dan
5. Bilamana penyelesaian pekerjaan yang dilakukan notaris tidak sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian tersebut50.
48 Lampiran 2-3.
49 Ibid.
50 Lampiran 2.
Universitas Indonesia
30
Pemutusan perjanjian secara sepihak oleh Bank, seringkali menjadi alasan bagi Bank untuk menghentikan kerjasama dengan Notaris apabila Notaris melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan seperti dalam hal perjanjian kredit Bank yang dibuat dengan akta Notaris, maka Bank akan meminta Notaris untuk memedomani klausul-klausul dari model perjanjian kredit dari Bank. Apabila Notaris rekanan tidak menuruti keinginan Bank tersebut, Bank menghentikan membuat akta pada Notaris rekanan itu51.
5. Perbedaan yang terakhir yaitu adanya ketentuan mengenai evaluasi yang dilakukan Bank Tabungan Negara Cabang Bekasi terhadap kinerja Notaris dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya. Hal ini tidak diatur dalam perjanjian kerjasama yang dibuat Bank Tabungan Negara Cabang Kelapa Gading Square dan Cabang Pekanbaru.
Perlu di ketahui bahwa perjanjian kerjasama seperti tersebut di atas, tidak dilakukan oleh semua Notaris. Terdapat pula Notaris yang tidak membuat perjanjian kerjasama sebagaimana tersebut di atas, namun Bank tetap menggunakan jasanya dalam hal pembuatan akta otentik ataupun pelayanan jasa Notaris lainnya. Bahkan bagi Notaris yang telah memiliki kualitas dan kepercayaan, apabila Bank ternyata tetap memberikan perjanjian yang demikian, maka Notaris yang bersangkutan akan menolaknya. Karena kawatir perjanjian yang demikian dapat bertentangan dengan Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, selain dapat mempengaruhi keberpihakan Notaris dalam membuat akta otentik. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan penelitian, para pihak yang menghadap Notaris pada umumnya adalah pihak yang buta hukum. Sehingga mereka tidak tahu akta apa yang harus dibuat dan kadangkala keinginan para pihak belum tepat secara hukum.52
51 Wawancara dengan Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Notaris berkedudukan di Pekanbaru, xxxxx xxxxx xxxxx 00, tanggal 10 april 2010
52 Ibid.
Universitas Indonesia
31
2.3 Perjanjian Kerjasama Antara Bank Dengan Notaris Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Sehubungan dengan adanya perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris yang pada umum mengikuti ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka dalam penelitian ini penulis terlebih dahulu membahas dan menerangkan mengenai bentuk dan isi dari perjanjian kerjasama sebagaimana di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Maksud dan tujuannya agar dapat diketahui apakah perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris telah memenuhi syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sehingga dapat lebih memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerjasama.
2.3.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerjasama Untuk Melakukan Pekerjaan Sebagaimana Di Atur Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Perjanjian kerjasama merupakan perjanjian campuran yaitu perjanjian yang mengandung dua atau lebih ketentuan-ketentuan Undang-Undang dari perjanjian bernama53. Perjanjian Kerjasama antara Bank dan Notaris memiliki kemiripan dengan perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Undang-Undang membagi perjanjian untuk melakukan perkerjaan dalam tiga macam yaitu54:
1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu;
2. Perjanjian kerja/ perburuhan; dan
3. Perjanjian pemborongan pekerjaan.
Dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, salah satu pihak menginginkan pihak lawannya melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, untuk itu ia bersedia meberikan imbalan55. Menurut SUBEKTI hubungan antara seorang Notaris dengan seorang yang datang kepadanya untuk dibuatkan
53 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., hal. 82.
54 R. Subekti, Aneka perjanjian, cet. X, (Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hal. 57.
55 Ibid., hal. 58.
Universitas Indonesia
32
suatu akte dan lainnya dapat digolongkan kepada perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu56. Merujuk pada pendapat SUBEKTI, perjanjian kerjasama antara Bank dan Notaris mendekati perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu. Hal tersebut sesuai dengan esensi dari perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu dimana terdapat kewajiban dari pihak yang menerima pekerjaan untuk menyelesaikan perbuatan-perbuatan jasa pembuatan akta otentik sesuai keahliannya dan untuk itu pihak yang memberikan pekerjaan wajib membayar harga penyelesaian pekerjaan tersebut (Fee) sesuai dengan kesepakatan.
Berdasarkan keterangan di atas maka dalam tesis ini penulis terlebih dahulu membahas dan menerangkan mengenai bentuk dan isi dari perjanjian, sebagaimana di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk menjadi bahan perbandingan dengan bentuk dan isi dari perjanjian kerjasama yang secara hukum dapat dikatakan sejenis. Maksud dan tujuan dari perbandingan ini adalah agar dapat diketahui apa dan bagaimana ketentuan dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dapat di adopsi di perjanjian kerjasama sehingga dapat lebih memberikan perlindungan, keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerjasama.
1. Pengertian perjanjian pada umumnya
Berbicara mengenai ilmu hukum, pemahaman atau pengertian dirasa sangat penting, karena dengan pengertian tersebut akan dapat dikemukakan suatu pandangan atau pendapat. Tidak jarang pemahaman dari suatu istilah berbeda- beda atau bahkan mempunyai pendapat yang sama. Istilah perjanjian misalnya, sebagian kalangan mengartikan perjanjian sama dengan kontrak57.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1313, telah memberikan pengertian dari Perjanjian bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”58. Pengertian perjanjian lainnya dikemukakan oleh
56 Ibid.
57 Tan Thong Kie membatasi istilah perjanjian sama dengan kontrak yang dalam bahasa belanda disebut oveerenkomst. Lihat : Xxx Xxxxx Xxx, op. cit., hal. 365.
58 R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 338.
Universitas Indonesia
33
SUBEKTI yang dikutip DAENG NAJA bahwa “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”59
XXXX XXXXXXX memberikan pengertian tersendiri mengenai perjanjian atau kontrak sebagaimana dikutip oleh XXXXX XXXX XXXXXXXXX bahwa “suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seseorang dimana ia berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud bahwa orang lain itu akan menerimanya”60.
Pengertian perjanjian tersebut oleh para sarjana hukum perdata, tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap xxxxxx xxxx dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin merupakan perjanjian yang sifatnya berbeda dengan perjanjian yang di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada buku III dimana kriterianya dapat dinilai secara materil atau dengan kata lain dinilai dengan uang61.
Dari pengertian yang dikemukakan di atas, secara jelas terdapat suatu konsesus antara para pihak, pihak yang satu setuju dan pihak lainnya juga setuju untuk melaksanakan perjanjian kerjasama pada dasarnya perjanjian kerjasama merupakan perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yangmenimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.
Perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. XXXXXXX XXXXXXX dan XXXXXXX XXXXXXX menyatakan dari rumusan pengertian perikatan yang diberikan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat empat unsur perikatan, yaitu:
a. Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum;
59 H. R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi : The Banker Hand Book, cet. I, (Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx, 2005), hal. 175.
60 Xxxxx Xxxx Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. cet. I, (Jakarta: PT Pustaka Utama Garfiti, 2009), hal. 24.
61 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Et. Al., Kompilasi Hukum Perikatan. cet. I, (Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx, 2001), hal. 65.
Universitas Indonesia
34
b. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (pihak);
c. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan; dan
d. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan (prestasi) 62.
Namun, apabila kita berbicara mengenai pengertian perjanjian, maka keempat unsur perikatan di atas termasuk dalam unsur perjanjian dan ada baiknya apabila unsur tersebut ditambah dengan unsur lahirnya perjanjian. Maksud unsur lahirnya perjanjian yaitu hubungan hukum yang terjadi antara para pihak timbul sejak adanya persetujuan atau kehendak para pihak63.
Mengenai perjanjian kerjasama menurut SUBEKTI Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu merupakan perjanjian dimana suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mana ia bersedia bayar upah64. Biasanya pihak lawan adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya juga memasang tarif untuk jasanya itu. Upahnya biasanya dinamakan honorarium. Dengan demikian inti dari perjanjian kerjasama tersebut adalah adanya kewajiban dari salah satu pihak untuk melakukan suatu perkerjaan tertentu berdasarkan keahliannya.
Perjanjian untuk melakukan suatu perbuatan, mengenai ketentuan khusus yang mengaturnya dapat dilihat dalam Pasal 1239 dan 1240 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata65. Mengenai ketentuan umumnya, sepanjang tidak telah
62 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan Pada Umumnya. cet. II, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 17.
63 Unsur tersebut menurut pandangan penulis didasari dari makna yang tersirat dari Pasal 1233 yang menyatakan “tiap-tiap perikatan dilahirkan , baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”
64 Ibid., hal. 58.
65 Pasal 1239 berbunyi “tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannyamendapat penyelesaiannya dalam kewajiban, memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”. Sedangkan Pasal 1240 berbunyi : “dalam pada itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan xxxx xxxxx untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang;
Universitas Indonesia
35
diatur secara khusus, maka perjanjian kerjasama ini tunduk pada peraturan– peraturan umum tentang perikatan yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada asasnya ketentuan umum berlaku untuk semua perjanjian, kecuali ketentuan khusus menyimpanginya66. Ketentuan umum tentang perikatan yang lahir dari perjanjian memang sangat diperlukan sehubungan dengan berlakunya asas kebebasan berkontrak.
2. Jangka waktu dan bentuk perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan
Keberadaan dari jangka waktu perjanjian bukanlah suatu syarat mutlak terjadinya perjanjian. Meskipun bukanlah sesuatu yang penting untuk berlakunya perjanjian, penulis tetap melihat bahwa penentuan jangka waktu berlakunya perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah sangat penting. Pentingnya ditentukan jangka waktu tertentu atas masa pemberian pekerjaan untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah untuk melindungi dan memberikan kepastian hukum keberlakuan dari perjanjian. Sehingga seorang yang sedang melakukan suatu pekerjaan tidak boleh menghentikan secara sepihak perjanjian tersebut sebelum lewat waktu meskipun dengan dalih ia hendak mencari orang lain untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Atas dasar itulah maka sebaiknya perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan itu dibuat dengan tulisan dengan harapan agar dapat dibuktikan dengan jelas kapan jangka waktu perjanjian ini berakhir. Sehingga jika masa jangka waktu pekerjaan berakhir yang ditentukan telah lewat xxxx xxxx xxxxx perjanjian itupun juga berakhir tanpa perlu suatu pemberhentian itu67. Sebaliknya jika jangka waktu dari perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan tidak dibuat dengan tulisan maka pihak yang memberikan pekerjaan berhak untuk menghentikan perjanjian setiap waktu tertentu asalkan ia sudah memberitahukan jauh sebelumnya bahwa ia hendak menghentikan perjanjian.
3. Hak dan kewajiban para pihak
dengan tidak mengurangi hak untuk menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu” Lihat : R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 324.
66 J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, cet. III, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 72.
67 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, op. cit., hal. 53.
Universitas Indonesia
36
Dalam setiap perjanjian, pada umumnya selalu terdapat kewajiban yang melekat pada masing-masing pihak. Kewajiban tersebut adalah suatu prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak agar perjanjian tersebut dapat dilaksanakan. Prestasi pada umumnya ada untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu68. Kewajiban yang terdapat dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu yaitu penerima pekerjaan (debitor) berkewajiban untuk melaksanakan pekerjaan dan jasa tertentu untuk kepentingan pemberi kerja (kreditor) sedangkan pemberi kerja berkewajiban untuk memberikan imbalan berupa gaji atau upah yang dikenal dengan honorarium.
4. Syarat sah perjanjian
Untuk mengetahui bahwa suatu perjanjian itu sah, maka harus memenuhi empat syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang dituangkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di antaranya 69:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri
Kata sepakat dalam mengadakan suatu perjanjian mempunyai arti bahwa kedua belah pihak harus mempunyai kebebasan kehendak70. Kebebasan berkehendak dapat terjadi apabila para pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat dari perwujudan kehendak itu. XXXXX XXXX XXXXXXXXX menyebut kebebasan kehendak sama dengan kebebasan berkontrak (Freedom of Contract). Beliau menyatakan bahwa “Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun perundang-undangan lainnya tidak menentukan secara tegas berlakunya “asas kebebasan berkontrak” bagi perjanjian-perjanjian yang dibuat menurut hukum Indonesia”71. Namun tidaklah berarti bahwa asas kebebasan berkontrak tidak menguasai hukum perjanjian Indonesia. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 1329 Kitab Undang-Undang
68 Tan Thong Kie, op. cit., hal. 368.
69 R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 339.
70 “Pengertian sepakat dilukiskan sebagai peryataan kehendak yang di setujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak”. Lihat : Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, op. cit., hal. 74
71 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, op. cit., hal. 51.
Universitas Indonesia
37
Hukum Perdata yang menentukan bahwa setiap orang cakap untuk melakukan suatu perjanjian kecuali apabila ia dinyatakan tidak cakap oleh Undang-Undang.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada dasarnya menghendaki kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata72.
Kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih klausul dari perjanjian yang akan dibuatnya;
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian; dan
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang- undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional)73.
Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Adanya paksaan menunjukan tidak adanya sepakat dan membuat perjanjian batal xxxx xxxxx. Paksaan adalah suatu ancaman melawan hukum yang akan menimbulkan suatu kerugian terhadap seorang atau harta bendanya, dengan maksud agar orang itu melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan74. Penipuan terjadi jika salah satu pihak memakai keterampilannya sedemikian rupa sehingga pihak lain tidak akan mengadakan perjanjian termaksud tanpa adanya tipu muslihat itu. Sedangkan pemahaman kekhilafan menurut Pasal 1322 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa khilaf hanya membatalkan perjanjian apabila
72 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. cet. II (Jakarta : Raja Garfindo Persada, 2006), hal. 95.
73 Ibid., hal. 54.
74 Tan Thong Kie, op. cit., hal. 408.
Universitas Indonesia
38
mengenai hakikat (zelfstandigheid) barang yang menjadi pokok perjanjian. Perjanjian yang timbul secara demikian dalam beberapa hal dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang. Mengenai batasan umur seseorang dianggap dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum di beberapa Undang-Undang berbeda. Menurut Pasal 330 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”75. Sehingga dapat dipahami bahwa seseorang dianggap dewasa apabila telah mencapai umur 21 tahun dan atau sudah kawin. Sedangkan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 7 ayat 1, ditentukan batasan umur seseorang dapat melakukan perkawinan bahwa “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun ”76. Berbeda dengan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Jabatan Notaris dalam Pasal 39 ayat 1 menetapkan syarat-syarat seorang penghadap yang cakap melakukan perbuatan hukum yaitu paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum77. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum ditentukan dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu,
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
a. Orang-orang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan
75 R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 90.
76 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019. ps. 7 ayat 1.
77 Indonesia, op. cit., ps. 39 ayat 1.
Universitas Indonesia
39
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu78.
3. Suatu pokok persoalan tertentu
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi/ pokok perjanjian. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan wujud prestasi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi kewajiban:
a. Untuk memberikan sesuatu;
b. Untuk melakukan / berbuat sesuatu; dan
c. Untuk tidak melakukan sesuatu79.
Menurut X. SATRIO, dengan demikian dapat dikatakan semua perikatan yang bersumber dari perjanjian dapat digolongkan kedalam salah satu dari ketiga kelompok di atas80. Suatu prestasi harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan dan dapat dinilai dengan uang. Pengertian dapat ditentukan artinya dalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan atau dapat ditentukan secara cukup.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
Ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak menjelaskan pengertian dari causa yang halal. Namun Pasal 1337 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata memberikan batasan causa yang terlarang yaitu suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusialaan dan ketertiban Umum81.
78 R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 341. 79 R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 323. 80 J. Satrio, op. cit., hal. 50.
81 R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 342
Universitas Indonesia
40
Keempat syarat tersebut harus dipenuhi secara kolektif, untuk sahnya suatu perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Akan tetapi apabila para pihak tidak xxx xxxx keberatan maka perjanjian itu telah dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal xxxx xxxxx. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
5. Akibat hukum dalam perjanjian untuk berbuat sesuatu
Setiap perjanjian yang sah, mengikat para pihak. Menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, “semua persetujuan, yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”82. XXXXXX XXXXX XXXXXXXXXXX berpendapat “dengan istilah semua, maka pembentuk Undang-Undang menunjukan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian tidak bernama”83. Sehingga para pihak yang sepakat dalam perjanjian tersebut harus melaksanakan hak dan kewajibannya. Menurut XXXXXX XXXX dan SAKKA PATI bahwa “dalam perjanjian untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, si debitur juga diwajibkan membayar ganti kerugian jika dia lalai untuk berbuat sesuatu sebagaimana yang dijanjikan”84. Dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban dari perjanjian yang dibuat, maka terdapat beberapa akibat hukum dari itu antara lain:
a. Pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi85;
82 R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 342.
83 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, op. cit., hal. 82.
84 Xxxxxx Xxxx dan Xxxxx Xxxx. Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, cet. I, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) ,hal. 9.
85 “Berdasarkan Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, xxx xxx cara penentuan titik awal perhitungan ganti kerugian yaitu sebagai berikut:
1. Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai tetapi tetap melalaikannya; dan
2. Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka waktu yang telah ditentukan tersebut” lihat : Ahmadi Miru dan Sakka Pati. op. cit., hal. 12-13.
Universitas Indonesia
41
b. Pihak yang dirugikam dapat mengajukan supaya perikatan diakhiri, disertai dengan ganti kerugian, bunga, biaya lainnya serta keuntungan- keuntungan lain yang diharapkan;
c. Pihak yang dirugikan dapat mengajukan agar perikatan diteruskan; dan
d. Pihak yang dirugikan dapat mengajukan agar perikatan dapat diteruskan, disertai dengan ganti kerugian, bunga, biaya lainnya serta keuntungan-keuntungan lain yang diharapkan86.
Pasal 1241 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan “apabila perikatan tidak dilaksanakannya, maka kreditor boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya debitur”87. Pembebanan biaya yang dimaksud hanya tepat jika memang pihak yang menerima pekerjaan tersebut telah menerima imbalan dari pihak penerima jasa88.
2.3.2 Perjanjian Kerjasama Antara Bank Dengan Notaris Dikaitkan Dengan Perjanjian Untuk Melakukan Jasa-Jasa Tertentu
Berdasarkan konsep dan teori perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang telah penulis uraikan sebelumnya selanjutnya akan diperbandingkan dengan Perjanjian kerjasama antara Bank dan Notaris, sehingga dapat diketahui apakah bentuk perjanjian kerjasama ini sesuai dengan bentuk perjanjian pekerjaan untuk melakukan jasa-jasa tertentu dan apakah perjanjian kerjasama ini memenuhi syarat sah perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Secara garis besar bentuk kerja sama yang diperjanjikan dalam perjanjian kerjasama adalah untuk pembuatan akta-akta yang berkaitan dengan penyaluran kredit beserta akta pendukung lainnya yang tujuannya untuk mengamankan kepentingan Pihak Bank. Beberapa aspek hukum yang akan dibahas di antaranya:
86 Xxxxx Xxxxxx, Arbitrase dan Hukum Bisnis, cet. I, (Pekanbaru: UIRPres, 2005), hal.
113.
87 R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 324.
88 Xxxxxx Xxxx dan Xxxxx Xxxx. op. cit., hal. 11.
Universitas Indonesia
42
1. Pengertian dan dasar hukum perjanjian kerjasama
Dalam perjanjian kerjasama antara Bank dan Notaris tentang penyediaan jasa-jasa Notaris tidak dinyatakan secara tegas pengertian dari perjanjian kerjasama. Namun apabila kita rujuk kedalam Kamus Bahasa Indonesia,
Perjanjian kerjasama terdiri dari kata perjanjian dan kerjasama sedangkan arti perjanjian menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing akan menaati apa yang disebutkan dalam perjanjian itu. Kata kerja sendiri dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan (diperbuat), sedangkan kata sama yaitu perbuatan bantu membantu atau dilakukan bersama-sama89.
Berdasarkan penjelasan Kamus Umum Bahasa Indonesia perjanjian kerjasama memiliki pengertian yaitu suatu perjanjian untuk melakukan sesuatu, yang dikerjakan secara bersama-sama oleh kedua belah pihak untuk melaksanakan isi dari perjanjian.
Mengenai keberlakuannya pada dasarnya perjanjian kerjasama adalah suatu perjanjian konsensual, artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kata sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu barang/ jasa dan harga. Dengan demikian perjanjian kerjasama ini mengikat Bank dan Xxxxxxx selaku para pihak yang membuat perjanjian kerjasama setelah tercapainya kesepakatan antara para pihak mengenai objek hak dan kewajiban serta isi dari perjanjian kerjasama. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai salah satu dasar hukum dalam perjanjian kerja sama hal tersebut ditegaskan dalam pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”90. Dengan demikian sepanjang perjanjian tidak menentukan lain dan tidak melanggar ketertiban umum serta peraturan perundang-
89 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia:Edisi Ketiga, cet. I, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 231.
90R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 339.
Universitas Indonesia
43
undangan yang berlaku maka segala ketentuan umum tentang perikatan yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga berlaku dalam perjanjian kerjasama. Pernyataan ini diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai asas kebebasan berkontrak dimana sepanjang memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Undang-Undang dan tidak melanggar ketertiban umum maka perjanjian kerjasama itu berlaku sah sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya91.
2. Para pihak dalam perjanjian kerjasama
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak92. Usaha Bank Umum yang di atur Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dalam Pasal 6 meliputi:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
2. Memberikan kredit ;
3. Menerbitkan surat pengakuan hutang ;
4. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya :
a. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ;
b. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ;
c. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah ;
d. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ;
e. Obligasi ;
f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;
g. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;
91 R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 342.
92 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perbankan, UU No. 10 tahun 1998, LN No. 182
Tahun 1998, TLN No. 3790. ps. 7 ayat 1.
Universitas Indonesia
44
5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah ;
6. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada Bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya ;
7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan antar pihak ketiga ;
8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga ;
9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak ;
10. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek ;
11. Dihapus ;
12. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan xxxx xxxxxx ;
13. Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
14. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Merujuk dari uraian di atas diketahui bahwa Bank xxxx xxxxx satu usahanya adalah memberikan kredit atau pinjaman kepada masyarakat (peorangan atau lembaga) yang memenuhi syarat yang ditetapkan Bank. Penulis mengambil dua perbandingan perjanjian kerjasama Bank dengan Notaris dalam wilayah yang berbeda yaitu Kota Pekanbaru, Jakarta dan Bekasi.
Pihak selanjutnya yaitu Notaris yang telah memenuhi persyaratan dan wewenang untuk menjalankan profesinya sebagai Notaris/ PPAT, yang mempunyai tempat kedudukan dan wilayah jabatan sama dengan Bank bersangkutan, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
3. Jangka waktu dan ruang lingkup kerja.
Dalam praktek terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris tidak ditentukan jangka waktunya dan ada juga yang menentukan jangka waktu perjanjian yaitu disepakati berlaku selama beberapa tahun dan dapat diperpanjang dengan ketentuan pihak yang akan memperpanjang perjanjian kerjasama harus memberitahukan maskud tersebut secara tertulis kepada pihak lain. Jangka waktu perjanjian kerjasama antara Bank dan Notaris berlangsung selama satu tahun
Universitas Indonesia
45
sampai tiga tahun tergantung kebijakan kantor cabang Bank, sejak ditadatangani perjanjian ini. Apabila perjanjian ini berakhir dimungkinkan untuk diperpanjang pihak Bank dengan mempertimbangkan kinerja Notaris tersebut, dengan ketentuan tiga bulan sebelum berakhirnya perjanjian pihak Bank akan memberitahukan diperpanjang atau tidak diperpanjangnya perjanjian ini. Jika dilihat jangka waktu pelaksanaan pembuatan dan penyelesaian akta-kata oleh Notaris berkisar antara 45 sampai dengan 60 hari kalender sejak tanggal akad kredit dan hanya dapat diperpanjang atas pertimbangan dan persetujuan pihak Bank. Sedangkan ruang lingkup pekerjaan berupa pembuatan akta-akta pada saat akad kredit yang berkaitan dengan penyaluran kredit kepada debitur per jenis kredit sebagai beraikut:
a. Legalisasi perjanjian kredit;
b. Pembuatan akta pengakuan hutang;
c. Surat kuasa untuk menjual; atau
d. Akta pengakuan hutang dan kuasa menjual;
e. Pembuatan akta jual beli tanah atau perjanjian pengikatan untuk menjual dan membeli dalam hal belum dapat dibuat akta jual beli;
f. Pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan;
g. Pembuatan akta pemberian hak tanggungan dan mendaftarkan pada kantor pertanahan sehingga timbul sertipikat hak tanggungan apabila hal tersebut dipandang perlu dan untuk itu diperlukan perintah khusus dari Bank untuk dilaksanakan oleh pihak kedua;
h. Corporate guarantie, personal guarantie, akta cessie, akta
subordinasi; dan/ atau
i. Pembuatan akta lain yang dianggap perlu oleh Bank93.
3. Hak dan kewajiban para pihak
Dalam perjanjian kerjasama baik Bank maupun Notaris mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi. Atas dasar itu maka pada sub bab ini kan dijabarkan masing-masing hak dan kewajiban dari para pihak, baik itu Bank maupun Notaris. Secara garis besar, yang menjadi hak dan kewajiban Bank dan Notaris dalam perjanjian kerja sama ini adalah sebagai berikut:
93 Lampiran 2-3
Universitas Indonesia
46
1. Hak dari Bank yaitu memberikan pekerjaan kepada Notaris dan meminta penyelesaian dari pekerjaan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Selanjutnya menerima pembayaran denda atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang diberikan kepada Notaris, Menetapkan perpanjangan jangka waktu perjanjian kerjasama dan Pemutusan perjanjian secara sepihak oleh Bank. Sedangkan kewajiban Bank yaitu menyerahkan berkas-berkas yang berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan, membayar honorarium Notaris setelah penyelesaian pekerjaan.
2. Hak dari Notaris yaitu menerima pembayaran honorarium dari Bank setelah penyelesaian pekerjaan, menerima berkas-berkas sehubungan dengan penyelesaian pekerjaan dari Bank. Sedangkan kewajiban Notaris yaitu menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Bank dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerjasama, membayar denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan, meneliti kebenaran dari berkas yang diberikan kepada Notaris sehubungan penyelesaian pekerjaan.
Melihat dari hak dan kewajiban yang terdapat pada Bank dan Notaris dalam perjanjian kerjasama, terlihat adanya ketidak seimbangan hak dan kewajiban terhadap Notaris. Hal ini tercermin dari adanya klausul pemutusan perjanjian secara sepihak oleh Bank sebelum berakhirnya perjanjian kerjasama. Seyogyanya dalam perjanjian kerjasama harus mengakomondir segala macam pengaturan yang bersifat menjaga keseimbangan hak dan kewajiban para pihak94.
5. Keabsahan perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris Merujuk ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang telah penulis uraikan di atas, maka dapatlah di telaah keabsahan perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris. Pertama mengenai sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Baik Bank maupun Notaris telah sepakat mengikatkan diri dalam perjanjian kerjasama, dengan pembubuhan tanda tanganan keduanya. Menurut THAN THONG KIE “bahwa membubuhkan tanda tangan atau sidik jari oleh sementara masyarakat tidak hanya dirasa penting sekali dan berbobot, tetapi
94 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., hal. 82.
Universitas Indonesia
47
juga dianggap terikat dirinya terhadap apa yang ditandatangani atau di bawah apa ia membubuhkan sidik jarinya”95.
Kedua mengenai kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Subjek perjanjian kerjasama adalah Badan Hukum dengan orang. Kecakapan dari sudut pandang pihak Bank tidak perlu diragukan lagi karena berdasarkan contoh perjanjian kerjasama yang penulis peroleh diketahui bahwa Bank telah berbadan hukum berdasarkan keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sedangkan yang mewakili Bank dalam perjanjian merupakan orang yang berwenang untuk itu berdasarkan kuasa dari direktur Bank tersebut. Selanjutnya Notaris, tentu saja sudah cakap untuk melakukan tindakan hukum dalam suatu perjanjian karena untuk dapat diangkat sebagai Notaris minimal telah mencapai umur 27 (dua puluh tujuh) tahun96. Ketiga berkenaan dengan suatu hal tertentu, dimana telah penulis uraikan sebelumnya bahwa objek pekerjaan dari perjanjian kerjasama tersebut telah diatur secara rinci dalam ruang lingkup pekerjaan. Kedua belah pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam suatu kerjasama tentang legalisasi akta, pembuatan akta-akta dengan ketentuan tertentu. Keempat mengenai suatu sebab yang tidak dilarang. Tidak ditemukan aturan peraturan perundang-undangan secara tegas melarang Bank dalam pembuatan perjanjian kerjasama ini. Berdasarkan analisis lebih mendalam terhadap substansi dari perjanjian kerjasama dan pelaksanaan dalam praktek diketahui terdapat pelanggaran peraturan Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Sehingga penulis berpendapat bahwa syarat keempat mengenai keabsahan perjanjian kerjasama ini tidak terpenuhi. Akibat hukumnya, perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris dapat batal xxxx xxxxx (nietig) karena tidak memenuhi syarat objektif. Untuk lebih jelas bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris sebagaimana tersebut di atas, maka penulis menguraikan pada sub bab di bawah ini.
Berdasarkan aspek-aspek hukum yang telah penulis uraikan di atas, perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris mengarah pada perjanjian kerja/
95 Thang Thong Kie, op. cit., hal. 472.
96 Indonesia, op. cit., ps. 3 huruf c.
Universitas Indonesia
48
borongan. Dimana hal ini tampak ketika Notaris melakukan pekerjaan untuk membuat akta-akta tertentu terdapat unsur-unsur perjanjian kerja yaitu97:
1. Melakukan suatu pekerjaan tertentu;
bahwa implementasi dari perjanjian kerja tersebut, salah satu pihak yaitu si pekerja harus melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam perjanjian kerja. Bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut pada prinsipnya harus dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian kerja dan tidak dapat digantikan orang lain. Berdasarkan hal tersebut, maka Xxxxxxx selaku pihak dalam perjanjian harus melaksanakan pekerjaan untuk membuat akta Notaris ataupun pelayanan jasa Notaris sesuai dengan apa yang diberikan dan diperintah oleh Bank. Pihak Bank selaku pihak yang memberikan pekerjaan kepada Notaris untuk dapat dikerjakan oleh Notaris sesuai dengan keinginan Bank
2. Dibawah perintah;
Dalam melakukan pekerjaan harus tunduk pada perintah orang lain yaitu si majikan sebagai pihak pemberi kerja. Dalam hal ini Notaris harus tunduk pada pihak Bank yang telah memberikan pekerjaan kepada Notaris untuk membuat akta otentik maupun pemberian jasa lainnya. Berdasarkan perjanjian Notaris harus melakukan pembuatan akta dan pemberian jasa Notaris berdasarkan perintah dari Bank.
3. Dengan upah; dan
Setelah menyelesaikan pekerjaan, maka diberikan upah bagi pekerja, dikaitkan dengan perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris tersebut maka yang dimaksud dengan upah adalah honorarium yang diperjanjikan antara Bank, Notaris dan nasabah setelah pekerjaan diselesaikan. Notaris diberikan pembayaran atas pekerjaan yang telah dilakukannya dengan diperjanjikan dalam perjanjian tersebut.
4. Dalam waktu tertentu.
Bahwa pekerjaan harus dilakukan dalam waktu tertentu, pekerjaan dilakukan oleh pekerja sesuai dengan waktu yang telah disepakati maupun diperjanjikan. Dalam perjanjian antara Bank dengan Notaris
42-43.
97Suhwardi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal.
Universitas Indonesia
49
tersebut terdapat klausul mengenai waktu yang ditetapkan bagi Notaris dalam menyelesaikan pembuatan akta Notaris ataupun pelayanan jasa lainnya.
2.4 Keberadaan Perjanjian Kerjasama Antara Bank Dengan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Dan Kode Etik Notaris.
Keberadaan Notaris tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat akan pentingnya alat bukti yang kuat dalam setiap peristiwa hukum. Oleh karena itu, Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya kepada masyarakat harus dengan baik. Hal tersebut hanya dapat terlaksana, jika Notaris tersebut berperilaku sesuai dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.
Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris memberikan pedoman bagi Notaris untuk melaksanakan jabatan dan berperilaku sehari-hari. Kedua ketentuan tersebut diperlengkapi dengan sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Beberapa praktisi Notaris yang berperan aktif dalam kepengurusan Ikatan Notaris Indonesia, melarang Notaris membuat pengikatan dengan Bank melalui perjanjian kerjasama dalam pembuatan akta Notaris, sebagaimana dinyatakan oleh HARUN KAMIL98 saat menjadi pembicara di Kongres Ikatan Notaris Indonesia yang diselenggarakan di Surabaya bahwa,
Notaris kerap diminta Bank untuk membuat perjanjian kredit di bawah intervensi Bank. Klausul perjanjian pun lebih banyak ditentukan oleh Bank. Ujung-ujungnya nasabah yang dibebankan dalam perjanjian itu. Notaris tak bisa berbuat banyak. Menurut Xxxxx Xxxxx, Mantan Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia (INI) tersebut merasa perihatin lantaran Bank kerap mendikte Notaris ketika menyusun persyaratan kredit. Menurutnya, Xxxx selalu meminta Notaris untuk membuat perjanjian kredit yang memberatkan nasabah. Bank juga lebih dominan dalam menyusun klausul perjanjian kredit. Bahkan terkadang, perjanjian yang dibuat tidak memenuhi syarat untuk membuat akta kredit. Misalnya karena
98 Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia, Masa Bhakti 1996-2003 dan Staff Pengajar Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia
50
surat jaminan bermasalah, namun Bank memaksa Notaris untuk membuat akta. Kalau begini, sebaiknya Xxxxxxx menolak99.
Xxx xxxxxx juga diutarakan oleh DARWANI SIDI BAKAROEDIN100, beliau berpendapat bahwa,
Tindakan yang dilakukan Bank dengan Notaris yang membuat perjanjian kerjasama penyediaan jasa-jasa Notaris telah melanggar ketentuan Kode Etik Notaris. Karena pada dasarnya Notaris sebagai pejabat publik, melayani kepentingan masyarakat siapa saja yang datang kepadanya tanpa harus ada pengikatan sebelumnya. Jadi tidak perlu xxx xxxx namanya perjanjian kerjasama apalagi dibuat secara tertulis. Justru, dengan adanya perjanjian kerjasama tersebut dikhawatirkan Notaris itu tunduk pada perintah Bank. Memang dalam Kode Etik Notaris maupun Undang- Undang Jabatan Notaris tidak xxx xxxx mengatur secara tegas bahwa Notaris tidak boleh membuat perjanjian kerjasama terhadap pihak manapun, namun kita bisa lihat dari maksud diadakan perjanjian tersebut dan implikasi dalam pelaksanaan perjanjian tersebut101.
Larangan ini timbul karena dalam praktek terdapat beberapa ketentuan yang di atur dalam perjanjian kerjasama menyimpang dari kaedah, nilai dan aturan dalam ketentuan Kode Etik Notaris maupun Undang–Undang Jabatan Notaris, serta dapat menimbulkan sikap ketidak mandirian dan menghilangkan sikap ketidak berpihakkan Notaris kepada salah satu klien. Beberapa ketentuan Undang- Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris yang dilanggar sehubungan dengan perjanjian kerjasama terjadi dalam praktek sebagai berikut:
99 http//xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/ menguak tabir di balik perjanjian kredit ala notaris-bank.
100 Tim Perumus Kode Etik Notaris, Komisi Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 27 Januari 2005 dan Staff Pengajar Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
101 Wawancara penulis dengan Xxxxxxx Xxxx Xxxxxxxxxx, Xxx Xxxxxxx Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 22 Mei 2010.
Universitas Indonesia
51
1. Pasal 4 angka 5 Kode Etik Notaris menyatakan Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dilarang menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain102.
Maksud yang terkandung dalam aturan ini adalah bahwa Notaris tidak boleh menandatangani akta yang proses pembuatannya telah dipersiapkan oleh Notaris lain atau pihak tertentu, seolah-olah akta tersebut buatannya sendiri. Tujuan dari aturan ini agar Notaris dalam proses pembuatan minuta akta terlebih dahulu memperhatikan ketentuan hukum xxxx xxx dalam akta serta memenuhi unsur perlindungan bagi para pihak (ketertidakpihakkan). Sehingga dapat diketahui apakah rumusan akta tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang- undangan, karena Notaris di Indonesia menganut Sistem Hukum Latin Eropa Kontinental yang mempunyai wewenang memberikan legal advise dan memeriksa apakah sebuah perjanjian yang dibuat telah memenuhi kaidah perjanjian yang benar dan tidak merugikan salah satu pihak103.
Berdasarkan kasus yang telah penulis uraikan sebelumnya, pada kenyataannya Notaris kerap diminta Bank untuk membuat perjanjian kredit di bawah intervensi Bank104. Intervensi itu tampak ketika klausul yang di tuangkan dalam perjanjian lebih banyak ditentukan oleh Bank. Bank akan meminta Notaris membuat akta perjanjian terutama akta Perjanjian Kredit berpedoman kepada model Perjanjian Kredit dari Bank yang bersangkutan, bahkan terkadang terhadap akta Perjanjian Kredit memiliki kesamaan secara keseluruhan dengan rumusan akta Perjanjian Kredit yang telah diadakan Bank sebelumnya.
Beberapa Klausul yang diminta untuk dicantumkan dalam perjanjian kredit seperti perubahan suku bunga yang sewaktu-waktu bisa berubah secara sepihak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada nasabah debitur105. Hal ini
102 Ikatan Notaris Indonesia, op.cit., ps. 4 angka 5.
103 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., hal 8.
104 “Dalam praktik perbankan di Indonesia, Bank-Bank membuat perjanjian kredit dengan 2 bentuk atau cara yaitu:
1. Perjanjian kredit berupa akta di bawah tangan, dan
2. Perjanjian kredit berupa akta notaris”. Lihat : Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, op. cit., hal. 201.
105 Lampiran 5
Universitas Indonesia
52
menunjukan tidak ada jaminan keamanan informasi yang diberikan oleh Bank sebagai pelaku usaha dalam penggunaan jasa-jasa yang diberikan kepada nasabah debitur. Klausul ini terindikasi sebagai klausul eksonerasi karena adanya upaya perlindungan Bank sebagai pelaku usaha untuk mengurangi atau mengalihkan resiko yang mungkin timbul kemudian hari. Menurut X. XXXXXX berpendapat bahwa, “kalusula eksonerasi sebagai suatu klausula dalam suatu perjanjian dan karenanya disepakati oleh para pihak dalam mana ditetapkan adanya pembebasan atau pembatasan dari tangung jawab tertentu, yang secara normal menurut hukum seharusnya menjadi tanggung jawabnya”106. Selanjutnya klausul berupa syarat– syarat umum kredit yang menyatakan “terhadap perjanjian pengakuan hutang ini dan segala akibatnya berlaku pula syarat-syarat umum perjanjian penjaminan dan kredit Bank Tabungan Negara yang telah disetujui oleh dan mengikat pengambil kredit/ yang berhutang serta merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian pengakuan hutang ini, sekalipun syarat-syarat tersebut dilampirkan atau tidak dilampirkan dalam perjanjian pengakuan hutang ini”107. Menurut XXXXX XXXX SJAHDENI bahwa, “perjanjian yang mengandung klausul seperti itu tidak sah berdasarkan Pasal 1320 ayat 3 dan Pasal 1333 KUHPerdata”108. Menurut 1320 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ”adanya suatu hal tertentu” yang berarti bahwa harus telah ada terlebih dahulu suatu hal yang diperjanjikan itu. Pencantuman di dalam suatu perjanjian kredit klausul bahwa nasabah debitur tunduk kepada ”syarat-syarat baik yang dilampirkan maupun tidak dilampirkan dalam perjanjian pengakuan hutang“ jelas suatu hal yang akan diperjanjikan itu belum dapat diketahui karenanya petunjuk dan peraturan Bank masih akan ditentukan kemudian oleh Bank. Sedangkan apabila suatu hal tertentu itu ternyata di kemudian hari menyangkut barang, maka menurut Pasal 1333 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata barang itu paling sedikit sudah harus diketahui jenisnya. Dari bunyi klausul di atas maka tidaklah mungkin untuk mengetahui jenis dari barang itu karena hal itu masih akan ditentukan kemudian oleh Bank.
106 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari PerjanjianI, cet. V, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995) hal. 119.
107Ibid.
108 R. Subekti dan X. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 341.
Universitas Indonesia
53
Pada akhirnya nasabah yang dibebankan dalam perjanjian itu karena memiliki bargaining power yang lemah, sedangkan Notaris tidak bisa berbuat banyak karena sudah terikat perjanjian dengan Bank. Seharusnya Notaris menolak, apabila pihak Bank memaksa untuk membuat suatu perjanjian/akta otentik lainnya yang merugikan pihak nasabah karena bertentangan dengan aturan hukum.
Pemerintah dalam hal ini telah memberikan perlindungan kepada nasabah selaku konsumen perbankan melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen109. Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengatur tentang ketentuan pencantuman klausul baku, apabila pihak Bank mencantumkan klausul baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka nasabah sebagai konsumen yang menggunakan jasa perbankan dapat menggugatnya atau lapor ke BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dan Notaris yang memaksakan diri untuk membuat
109 Pasal 18 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Xxxxxxxx menyebutkan:
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha xxxxxx menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung untuk melakukan tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau menikmati jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; dan
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap, barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal xxxx xxxxx.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Lihat: Indonesia. Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821. Ps. 18.
Universitas Indonesia
54
perjanjian/akta ontentik yang bertentangan dengan hukum positif di Indonesia harus bertanggung jawab secara moral dan hukum khususnya110.
Menurut hemat penulis, ketika Bank yang memiliki bargaining position yang lebih kuat dibandingkan nasabah, sehingga Bank dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah (nasabah) untuk mengikuti syarat-syarat perjanjian yang diberikan kepadanya, seyogianya Notaris perlu campur tangan untuk melindungi pihak nasabah dengan cara membuat akta perjanjian kredit yang tidak hanya melindungi kepentingan-kepentingan dari Bank saja, namun juga melindungi kepentingan-kepentingan nasabah debitur.
2. Pasal 4 angka 13 Kode Etik Notaris menyatakan, Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dilarang: membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi111.
Sebagai pejabat umum, Notaris harus memiliki perilaku profesional. Salah satunya dalam memberikan pelayanan terhadap pihak yang membutuhkan jasa-jasa Notaris, bertindak secara proporsional tidak tergantung pada besar kecil bayarannya. Pasal 4 angka 13 Kode Etik Notaris di atas menegaskan kepada para Notaris bahwa dalam menjalankan jabatannya, tidak boleh memberikan pelayanan secara eklusif kepada satu intansi atau lembaga terlebih lagi, membentuk kelompok yang dapat mengahalangi masuknya Notaris lain masuk dalam instansi atau lembaga tersebut.
Pelayanan yang eklusif tersebut dapat diketahui dalam perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris. Adanya klausul dalam perjanjian yang menetapkan jangka waktu penyelesaian pekerjaan pembuatan akta-akta dalam
110 http//xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxxxx kerjasama bank dan notaris
111 Ikatan Notaris Indonesia, op.cit., ps. 4 angka 13.
Universitas Indonesia
55
jangka waktu 45 sampai 60 hari sejak akad kredit, menyebabkan Notaris mendahulukan pelayanan pembuatan akta-akta kepunyaan Bank dari pada klien lainnya meskipun klien tersebut terlebih dahulu meminta bantuan Notaris. Selain itu biaya pembuatan akta otentik terhadap Bank lebih murah dari klien lain. Perilaku Notaris itu menggambarkan bagaimana seorang Notaris memperlakukan secara eklusif pihak Bank ketimbang penghadap lainnya. Perbuatan Notaris yang mendahulukan Bank disebabkan kekhawatiran Notaris mendapat sanksi-sanksi dari Bank karena keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Sanksi-sanksi yang diberikan berupa denda berkisar 5 % (lima persen) dari total nilai tagihan atau pemutusan pekerjaan secara sepihak.
Selanjutnya implikasi dari perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris, Bank hanya ingin bekerja dengan Notaris rekanan yang dipilihnya yaitu Notaris yang sebelumnya telah membuat perjanjian kerjasama dengan Bank dan tidak ingin menggunakan Notaris lain. Tidak jarang ketika nasabah Bank hendak menggunakan jasa notaris yang bukan rekanan Bank, Bank menolak dengan alasan Bank telah menunjuk Notaris rekanannya. Sikap Bank itu menutup kemungkinan bagi Notaris lain yang bukan rekanan untuk berpartisipasi memberikan bantuan jasa-jasa pembuatan akta Notaris. Menurut hemat penulis, tindakan Xxxx menolak kehadiran Notaris lain merupakan kontra prestasi dari pelayanan eklusif yang diberikan Notaris rekanan, yang ingin mendapat seluruh pekerjaan dari Bank. Lebih lanjut semestinya pihak Bank memahami betul bahwa dalam kaca mata hukum setiap orang yang diangkat sebagai Notaris mempunyai hak yang sama dalam pembuatan akta-akta otentik. Mengenai pelanggaran terhadap Pasal 4 angka 13 seharusnya Notaris wajib memperlakukan Notaris
Universitas Indonesia
56
lainnya sebagai keluarga seprofesi sehingga diantara sesama Notaris harus saling menghormati, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silahturahmi112.
3. Pasal 4 angka 10 Kode Etik Notaris menyatakan, Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dilarang: menetapkan honorarium yang harus dibayar xxxx xxxxx dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan perkumpulan113.
Beberapa kasus termasuk dalam kasus penelitian ini, tidak jarang pada saat penawaran kerjasama antara Bank dengan Notaris, Notaris melakukan negosiasi honor, layaknya pekerja atau pembisnis pada umumnya. Bahkan terkadang Notaris membanting honornya demi mendapatkan ”hak kosesi” pembuatan akta di Bank tersebut. Seperti Kasus yang terjadi dalam kerjasama antara Bank Tabungan Negara dengan Notaris SY dan MK dalam perjanjian disebutkan harga pembuatan akta tertentu sangat murah dan bersifat tetap tidak tergantung dari besar kecilnya nilai ekonomis dari objek akta itu.
Menurut hemat penulis, penetapan honor yang lebih rendah dianggap dapat menciptakan persaingan yang tidak sehat di antara para Notaris. Undang- Undang Jabatan Notaris secara tersirat melarang timbulnya persaingan tidak sehat sebagaimana teryata dalam penjelasan Pasal 17 huruf a yang menyatakan bahwa larangan dalam ketentuan tersebut dimaksud untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat
112xxxx://xxxxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxxxxx-xxx-xxxx-xxxx-xxxxxxx.xxxx 113Ikatan Notaris Indonesia, op.cit., ps. 4 angka 10.
Universitas Indonesia
57
antar Notaris dalam menjalankan jabatannya114. Kode Etik Notaris sendiri secara tegas melarang pebuatan yang menimbulkan persaingan tidak sehat antar Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 4 angka 9 Kode Etik Notaris yaitu ”Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dilarang: melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus kearah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris”115. Imbas dari persaingan yang tidak sehat berdampak pada penurunan harkat dan martabat Notaris itu sendiri dimata masyarakat. Oleh karena itu penentuan honorarium yang diserahkan kepada perkumpulan Notaris yaitu Ikatan Notaris Indonesia menetapkan besar honorarium bagi anggotanya.
Merujuk pada Pasal 36 Undang-Undang Jabatan Notaris, mengenai honorarium dinyatakan honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya116. Lebih lanjut mengenai nilai ekonomis ditentukan dari nilai objek akta tersebut dengan
114 Pasal 17 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris berbunyi: “notaris dilarang : menjalankan jabatannya diluar wilayah jabatannya”. Lihat: Indonesia, op. cit., ps. 17 huruf a.
115 Ikatan Notaris Indonesia, op.cit., ps. 4 angka 9.
116 Pasal 36 berbunyi :
1. Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya.
2. Besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya.
3. Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dari objek setiap akta sebagai berikut:
a. sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau ekuivalen gram emas ketika itu, honorarium yang diterima paling besar adalah 2,5% (dua koma lima persen);
b. di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima paling besar 1,5 % (satu koma lima persen); atau
c. di atas Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima didasarkan pada kesepakatan antara Notaris dengan para pihak, tetapi tidak melebihi 1 % (satu persen) dari objek yang dibuatkan aktanya.
4. Nilai sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap akta dengan honorarium yang diterima paling besar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).Lihat: Indonesia, op. cit., ps. 36.
Universitas Indonesia
58
ketentuan semakin besar nilai ekonomis objek akta semakin kecil persentase honorariumnya begitu juga sebaliknya semakin kecil nilai ekonomis objek akta semakin besar pula persentase honorarium pembuatan akta tersebut. Dalam ketentuan pasal ini memang tidak ditetapkan besar honorarium, minimum yang berhak diterima Notaris. Sehingga apabila kita bandingkan antara Pasal 4 angka 10 Kode Etik Notaris dengan Pasal 36 Undang-Undang Jabatan Notaris, aturan kode etik lebih memberikan jaminan untuk tetap menjaga tidak terjadinya persaingan yang tidak sehat di antara para Notaris.
4. Pasal 4 angka 4 Kode Etik Notaris berbunyi: Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dilarang: bekerja sama dengan biro jasa/ orang/ badan hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien117.
Bank yang telah memiliki Notaris rekanan tidak ingin menggunakan jasa- jasa Notaris lain selain Notaris rekanan. Apabila dikaji lebih jauh, tindakan Bank dalam hal ini berstatus sebagai badan hukum pada hakekatnya dianggap bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien, sehingga Notaris dapat dikategorikan telah bekerjasama sama dengan Bank untuk mendapatkan klien berupa nasabah Bank itu sendiri. Pendapat ini dilandasi pada fakta bahwa Bank yang membawa nasabahnya untuk membuat akta otentik ataupun pelayanan jasa lainnya kepada Notaris yang sebelumnya telah membuat perjanjian kerjasama dengan Bank bersangkutan.
Bahkan terkadang, akta yang dibuat tidak memenuhi syarat untuk membuat akta otentik. Seperti tidak melakukan pembacaan akta dihadapan para pihak dan saksi-saksi oleh Notaris atau penandatanganan akta tidak dilakukan bersamaan oleh penghadap pada saat pembacaan akta, namun Bank memaksa Notaris untuk membuat akta tersebut dengan alasan tertentu. Perbuatan ini
117 Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., ps. 4 angka 4.
Universitas Indonesia
59
melanggar ketentuan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf L Undang-Undang Jabatan Notaris yang berbunyi “dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris”118.
Padahal pembacaan akta oleh Notaris dan seketika ditandatangani oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris merupakan salah satu syarat otensitas suatu akta. Apabila syarat ini tidak dilakukan akta yang dibuat oleh Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Sedangkan Pasal
16 ayat 7 Undang-Undang Jabatan Notaris, mengecualikan tidak dilakukan pembacaan akta oleh Notaris, jika dikehendaki oleh penghadap agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isi akta tersebut dengan ketentuan hal tersebut dicantumkan dalam akta. Sebaliknya jika penghadap tidak berkehendak seperti itu, maka Notaris wajib untuk membacakan, ditandatangani oleh para penghadap, saksi-saksi dan Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Jabatan Notaris. Menurut G. H. S. TOBING menyatakan ”pembacaan oleh Notaris ini adalah bagian dari verlijden (pembacaan dan penandatanganan) dari akta. Oleh karena akta itu dibuat oleh Notaris, maka pembacaannya juga harus dilakukan oleh Notaris sendiri dan tidak disuruh bacakan oleh asisten atau pegawai Notaris tertentu”119.
5. Pasal 4 angka 3 Kode Etik Notaris menyatakan, Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dilarang: melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendirian maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik dalam bentuk:
a. Iklan ;
b. Ucapan selamat;
118 Indonesia, op. cit., ps. 36.
119 G. H. S. Tobing, op. cit., hal 34.
Universitas Indonesia
60
c. Ucapan belasungkawa;
d. Ucapan terimakasih;
e. Kegiatan pemasaran; dan
f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan maupun olahraga120.
Bentuk publikasi dan promosi diri yang dilakukan Notaris beragam dengan menerbitkan iklan dalam surat kabar harian hingga penggunaan jaringan internet. Belakangan ini bentuk promosi diri yang dilakukan Notaris semakin berkembang dan lihai, satu diantaranya dengan pengajuan penawaran kerjasama yang diajukan Notaris kepada Bank. Tujuannya agar Bank berikut nasabah menggunakan jasa-jasa Notaris tersebut dalam pembuatan akta-akta yang dibutuhkan.
XXXXXXX X. XXXXX mengartikan promosi sebagai ”penggunaan segala macam insentif yang dilakukan produsen untuk mendorong konsumen dalam membeli suatu produk atau jasa yang dapat dipengaruhi nilai penjualan bagi produsen, baik dalam bentuk harga maupun nilai yang diperoleh”121. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia menguraikan ”promosi antara lain adalah perkenalan (dalam rangka usaha dagang, dsb), reklame”122. Sehingga dapat dipahami bahwa promosi dilakukan sebagai upaya untuk memperkenalkan suatu produk baik barang maupun jasa.
Hakekatnya promosi dimaksudkan untuk mempengaruhi tingkat pendapatan atau penjualan barang maupun jasa. Dalam dunia bisnis hal ini merupakan syarat mutlak untuk kemajuan suatu usaha, tetapi bagi Notaris ini merupakan suatu hal yang bersifat dilematis. Satu sisi hal ini menjadi suatu kebutuhan bagi seorang Notaris terutama yang baru membuka kantor, dalam arti ia butuh dikenal oleh publik mengenai keberadaannya sebagai seorang Notaris,
120 Ikatan Notaris Indonesia, op.cit., ps. 4 angka 3.
121 Xxxxxxx X. Xxxxx, Promotion Management and Marketing Communication, cet. XIII, (Jakarta: The Drydenpress, 1993), hal. 442.
122 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hal. 1105.
Universitas Indonesia
61
namun disisi lain Kode Etik Notaris melarang dengan tegas Notaris melakukan publikasi dan promosi diri. Menurut DYAH ASTUTY PERTIWI, Notaris di Bandung berpendapat bahwa promosi tidak akan mengakibatkan persaingan tidak sehat, jika dalam promosi para Notaris berpegang pada Kode Etik Notaris. Namun menurutnya, pada kenyataannya banyak Notaris yang tidak mengindahkan Kode Etik aturan promosi tersebut, karena sejauh ini belum pernah ada sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya123.
Dalam Pasal 4 angka 3 Kode Etik Notaris seorang Notaris dilarang untuk melakukan kegiatan yang bersifat promosi atau mengiklankan diri, dengan memuat nama dan jabatan melalui media cetak maupun elektronik. Menurut hemat penulis, tindakan Notaris rekanan Bank yang mengajukan penawaran jasa- jasa Notaris dapat dianggap bagian dari promosi diri dalam bentuk kegiatan pemasaran. XXXXXXX XXXXXXX mengartikan kegiatan pemasaran sebagai ”suatu sistem keseluruhan dari kegiatan bisnis yang ditunjukkan untuk merencanakan menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasayang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli xxxx xxx maupun pembeli potensial”124. Apabila arti dari kegiatan pemasaran di atas dihubungkan dengan proses penawaran jasa-jasa Notaris yang dilakukan Notaris rekanan terdapat unsur-unsur yang mirip yaitu:
1. Penawaran yang diajukan Notaris dalam bentuk surat permohonan penawaran jasa-jasa Notaris di dalamnya dicantumkan nama, jabatan, tempat kedudukan beserta wilayah kerja, alamat kantor dan pengalaman Notaris.
2. Penawaran yang diajukan Notaris dalam bentuk surat permohonan penawaran berasal dari inisiatif Notaris yang bersangkutan bukan atas permintaan dari Bank, sehingga tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan memasarkan jasa-jasa Notaris.
123 Etty Kurniawaty, “Larangan Melakukan Promosi Bagi Notaris Dalam Menjalankan Profesinya Menurut Kode Etik Notaris Sebagai Upaya Menghindari Persaingan Tidak Sehat Antara Notaris”. (Tesis Magister Universitas Padjadjaran, Bandung, 2008), hal.67.
124 Xxxx Xxxxxxx dan Irawan, Xxxxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxx, cet. XIII, (Yogyakarta: Liberty, 2008), hal. 5.
Universitas Indonesia
62
3. Penawaran yang diajukan Notaris, lazimnya disertai lampiran daftar harga/ honorarium penyelesaian pembuatan akta-akta tertentu, dengan ketentuan besar honorarium yang sangat rendah, karena besar honorarium menjadi pertimbangan bagi Bank memilih Notaris rekanan.
Adanya unsur-unsur tersebut di atas dalam promosi yang dilakukan Notaris seperti tersebut di atas membuktikan bahwa ketentuan Kode Etik Notaris mengenai larangan melakukan promosi dilanggar demi kepentingan memperoleh klien. Kesengajaan Notaris melanggar aturan tersebut bertujuan untuk mensiasati persaingan yang semakin ketat. Hal ini tentunya dapat mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris. Perbuatan-perbuatan demikian itu merendahkan martabat dan jabatan Notaris, seolah-olah jabatan Notaris itu sama dengan barang dagangan. Padahal larangan promosi yang dimuat dalam Pasal 4 angka 3 Kode Etik Notaris merupakan konsekuensi logis dari kedudukan Notaris sebagai pejabat umum dan bukan sebagai pengusaha/ kantor badan usaha sehingga publikasi/ promosi tidak dapat dibenarkan.
2.5 Pengaruh Perjanjian Kerjasama Antara Bank Dengan Notaris Terhadap Kemandirian Dan Ketertidakpihakkan Notaris Dalam Membuat Akta Otentik.
Selaku pejabat umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas Negara, Notaris berbeda dengan profesi hukum lainnya seperti jaksa, advokat (pengacara) dan polisi yang juga diangkat oleh Negara. Walaupun menurut Pasal 2 Undang-Undang Jabatan Notaris menyatakan “Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri”125, tidak menjadikan Notaris berada dibawah intervensi dan kendali dari pemerintah. Justru Notaris dalam menjalankan jabatannya tetap bersifat mandiri, tidak memihak (netral) dan tidak mudah terpengaruh dengan mengikuti pandangan yang terjadi disekitarnya melainkan membentuk penilaian dan mempunyai pendirian tersendiri126. Baik Undang-
125 Indonesia, op. cit., ps. 2.
126 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, op. cit., hal. 64.
Universitas Indonesia
63
Undang Jabatan Notaris maupun Kode Etik Notaris menginginkan agar Notaris bertindak mandiri dan tidak berpihak sebagaimana dituangkan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris dan Pasal 3 angka 4 Kode Etik Notaris. Sangat pentingnya bertindak mandiri dan tidak berpihak bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya kewajiban tersebut tidak hanya harus dipenuhi bagi Notaris yang menjalankan jabatanya secara perorangan, namun juga terhadap Notaris yang membentuk persekutuan perdata. Pasal 20 ayat 1 menyatakan “Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakkan dalam menjalankan jabatannya”127.
Sifat mandiri dan tidak berpihak dari Notaris tercermin dalam bentuk sumpah jabatan Notaris yang berbunyi “saya bersumpah/ berjanji: bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak”128. Bahkan Undang-Undang Jabatan Notaris menginginkan agar setiap Notaris tidak hanya mempunyai sikap mandiri dan tidak berpihak, namun juga wajib memiliki sikap jujur, seksama dan menjaga kepentingan pihak terkait sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris, “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”129. Kelima sikap ini adalah dasar karakter seorang pejabat Notaris yaitu:
1. Amanah berarti dapat dipercaya melaksanakan tugasnya yaitu melaksanakan perintah dari para pihak/ orang yang menghendaki Notaris untuk menuangkan maksud dan keinginannya dalam suatu akta dan para pihak membubuhkan tanda tangan pada akhir akta;
2. Jujur yaitu tidak berbohong atau menutup-nutupi segala sesuatu;
3. Seksama yaitu berhati-hati dan teliti dalam menyusun redaksi akta agar tidak merugikan pihak lain.;
127 Indonesia, op. cit., ps. 20 ayat 1.
128 Ibid., ps. 4 ayat 2.
129 Ibid., ps. 16 ayat 1.
Universitas Indonesia
64
4. Mandiri yaitu Notaris memutuskan sendiri akta yang dibuat itu berstruktur hukum yang tepat serta dapat memberikan penyuluhan hukum kepada klien; dan
5. Tidak berpihak yaitu netral, tidak memihak pada satu pihak menjaga sikap, tingkah laku dan menjalankan kewajiban sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan , martabat dan tanggung jawab sebagai Notaris. Menjaga sikap dan tingkah laku maksudnya harus mempunyai sifat professional baik dalam maupun diluar kantor.
Kelima sikap yang harus dimiliki Notaris tersebut harus dipenuhi dalam rangka menjaga kehormatan, martabat dan tangungjawab sebagai Notaris.
Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan di atas berkenaan dengan sikap kemandirian dan ketidakberpihakan, pada dasarnya Notaris berada diluar kepentingan para pihak baik Bank maupun nasabah. Menurut XXXXXXX XXXXXXX bahwa Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara tidak memihak dan bebas (impartiality and independency, onpartijdige en onafhankelijke rol)130. Namun setelah penulis melakukan analisa lebih jauh terhadap substansi dan pelaksanaan perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris ternyata mempengaruhi sikap mandiri dan ketidakberpihakkan Notaris dalam menjalankan jabatannya.
Secara ringkas sikap tidak mandiri dan ketertidakpihakan tercermin dari sikap Notaris selaku penjabat yang diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tunduk pada aturan-aturan Bank melalui point-point perjanjian kerjasama yang diadakan Bank dengan Notaris. Sikap keberpihakkan Notaris kepada Bank tampak melalaui serangkaian intervensi yang diberikan kepada Notaris yang pada akhirnya menguntungkan kepentingan Bank dan disisi lain merugikan kepentingan nasabah. Kondisi ini diperburuk dengan sikap Notaris yang tidak memberikan penjelasan hukum berkenaan dengan akta yang dibuatnya kepada pihak nasabah. Sehingga pihak nasabah tidak mengetahui resiko yang akan dihadapi nasabah setelah menandatangani akta itu. Seharusnya Notaris dapat memberikan penjelasan dan informasi dengan jelas dan lengkap, baik mengenai hak dan kewajiban maupun resiko hukum dari para pihak mengenai akta yang
130 Xxxxxxx Xxxxxxx, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Cet. 3, (Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx, 2007), hal. 22.
Universitas Indonesia
65
ditandatangani, sehingga para pihak mengetahui keuntungan maupun kerugian yang akan timbul dengan dibuatnya perjanjian tersebut dan mendapatkan hak yang sama dalam pembuatan akta. Menurut XXXXXXX XXXX XXXXXXXXXX menyatakan bahwa,
Pada hakekatnya perjanjian, akan mengikat para pihak yang membuatnya, dengan dibuatkannya perjanjian secara tertulis dalam bentuk perjanjian kerjasama itu berarti Notaris rekanan Bank menundukan diri kepada Bank atau terikat pada ketentuan dan perintah Bank. Apabila sudah tunduk pada Bank pastinya Notaris berpihak pada Bank khususnya dalam pembuatan akta-akta otentik. Kalau sudah berpihak pada Bank otomatis Notaris itu tidak mandiri lagi dalam pembuatan akta-akta di Bank tersebut131.
Menurut hemat penulis, seyogianya pihak Bank yang juga bertindak sebagai penghadap Notaris tidak perlu melakukan perjanjian kerjasama tentang penyediaan jasa-jasa Notaris, karena pada dasarnya kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan alat bukti kuat. Oleh karena itu pelayanan kepada masyarakat wajib diutamakan dan kapan saja bisa dimintakan tanpa harus mengadakan perjanjian baik lisan maupun tulisan, sebagaimana ternyata dalam Pasal 16 ayat 1 huruf d Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa “dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, terkecuali ada alasan untuk menolaknya”132. Pendapat senada juga dikemukakan xxxx XXXXX XXXXX yang menyatakan bahwa,
para penghadap datang kepada Notaris karena keinginan para penghadap sendiri dan pada dasarnya semua Notaris terbuka untuk siapa saja dan suatu hal tidak tepat jika tiap orang yang datang kepada Notaris terlebih
131 Wawancara penulis dengan Xxxxxxx Xxxx Xxxxxxxxxx, Xxx Xxxxxxx Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 22 Mei 2010.
132 Indonesia, op. cit., ps. 16 ayat 1 huruf d.
Universitas Indonesia
66
dahulu harus membuat perjanjian pemberian kuasa untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dalam hal ini membuat akta133.
Adapun alasan-alasan penolakan Notaris untuk memberikan pelayanan jasanya yaitu:
1. Apabila Notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi berhalangan karena fisik;
2. Apabila Notaris tidak ada karena dalam cuti, jadi karena sebab yang sah;
3. Apabila Notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapat melayani orang lain;
4. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat sesuatu akta, tidak diserahkan kepada Notaris;
5. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh Notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya;
6. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea materai yang diwajibkan;
7. Apabila karena pemberian jasa tersebut, Notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum; dan
8. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa Xxxxxxx membuat akta dalam Bahasa Indonesia tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang- orang yang menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga Xxxxxxx tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka134.
Apabila kita merujuk pada penjelasan Pasal 16 ayat 1 huruf d Undang- Undang Jabatan Notaris dinyatakan,
yang dimaksud dengan alasan untuk menolaknya adalah alasan yang mengakibatkan Notaris tidak berpihak seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan Notaris sendiri atau dengan suami istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan pebuatan atau hal lain yang tidak bolehkan Undang-Undang 135.
133 Xxxxx xxxxx, op. cit., hal. 17.
134 R. Soegondo Notodisoerjo, op. cit., hal. 97-98.
135 Indonesia, op. cit.,penjelasan ps. 16 ayat 1 huruf d.
Universitas Indonesia
67
Menurut hemat penulis, Pasal 16 ayat 1 huruf d Undang-Undang Jabatan Notaris bersifat limitatif dalam menentukan alasan penolakan Notaris memberikan pelayanannya yaitu apabila pelayanan yang diberikan menimbulkan sikap berpihak pada salah satu penghadap, sehingga dapat dipahami bersama bahwa keadaan yang menyebabkan pelayanan jasa-jasa Notaris yang menimbulkan sikap berpihak tidak hanya dibatasi terhadap perumpamaan di atas saja, tetapi menurut pandangan penulis termasuk juga pemberian pelayanan jasa-jasa Notaris yang dilandasi dengan perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sebaiknya Notaris dapat menolak segala bentuk pengikatan termasuk perjanjian kerjasama dengan Bank mengenai penyediaan jasa-jasa Notaris. Sebab perjanjian kerjasama itu dapat mengarahkan Notaris untuk melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum136. Apabila Notaris tetap melaksanakan perjanjian kerjasama dengan Bank, maka akan dikenakan sanksi sebagaimana dimasud dalam Undang- Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa akibat dari adanya perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris membuat Notaris menjadi tidak mandiri dan berpihak kepada Bank, dengan begitu Notaris telah melanggar kewajiban Notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris. Pelanggaran terhadap Pasal 16 ayat 1 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris, menurut Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris dapat dikenakan sanksi administratif berupa137:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pemberhentian sementara;
d. Pemberhentian dengan hormat; atau
e. pemberhentian dengan tidak hormat.
136 R. Soegondo Notodisoerjo, op. cit., hal. 98.
137 Indonesia, op. cit., ps. 85.
Universitas Indonesia
68
Sebelumnya secara tegas disebutkan pada Pasal 12 Undang-Undang Jabatan Notaris, disebutkan hal-hal yang dapat membuat Notaris diberhentikan dengan tidak hormat yaitu:
a. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
b. Berada dibawah pengampuan secara terus menerus lebih dari tiga tahun;
c. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris; atau
d. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan138.
Lembaga yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi administrasi adalah Majelis Pengawas sesuai kewenangan yang dimilikinya. Majelis Pengawas Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Jabatan Notaris tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, karena Majelis Pengawas Daerah berwenang dan berkewajiban sebatas untuk membuat dan menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Wilayah. Majelis Pengawas Wilayah yang mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis yang bersifat final139. Kewenangan lainnya yang dimiliki oleh Majelis Pengawas Wilayah dengan mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat, berupa pemberhentian sementara tiga bulan sampai dengan enam bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat.
Majelis Pengawas Pusat menurut Pasal 77 Undang-Undang Jabatan Notaris berwenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran baik pelanggaran jabatan maupun Kode Etik Notaris yaitu dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri. Dengan demikian sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis dan pemberhentian sementara merupakan kewenangan Majelis Pengawas, sedangkan untuk sanksi
138Ibid., ps. 12.
139Ibid., ps. 73.
Universitas Indonesia
69
xxxxxxxxxxxxx dengan tidak hormat menjadi kewenangan Menteri. Menurut XXXXXXX XXXX XXXXXXXXXX menyatakan bahwa,
praktek perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris dapat di atasi dan dicegah apabila Majelis Pengawas memperketat pengawasan terhadap setiap Notaris karena selama ini yang terjadi lemahnya pengawasan dari Majelis Pengawas dan Dewan Kehormatan terhadap permasalahan ini. Bahkan mungkin tidak ada kasus yang ditindak terhadap praktek perjanjian kerjasama yang dilakukan Notaris dengan Bank140.
Selain sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris, Notaris rekanan Bank dapat dikenakan sanksi indisipliner oleh Organisasi, jika melanggar kewajiban Notaris yang tertuang dalam Pasal 3 angka 4 Kode Etik Notaris. Menurut Pasal 6 Kode Etik Notaris, sanksi yang akan dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa:
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan. Pengenaan sanksi-sanksi tersebut di atas terhadap anggota yang melanggar
Kode Etik disesuaikan dengan Kwantitas dan kwalitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut141.
Lembaga yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi indisipliner adalah Dewan Kehormatan bersama Pengurus Perkumpulan sesuai kewenangan yang dimilikinya142. Dewan Kehormatan Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 9 Kode Etik Notaris memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris sebatas pengenaan sanksi teguran dan peringatan, sedangkan untuk schorsing dan
140 Wawancara penulis dengan Xxxxxxx Xxxx Xxxxxxxxxx, Xxx Xxxxxxx Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 22 Mei 2010.
141 Ikatan Notaris Indonesia, op.cit., ps. 6 angka 2.
142 Ibid., ps.8.
Universitas Indonesia
70
onzetting dari anggota perkumpulan wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pengurus Perkumpulan Daerah. Pengenaan sanksi tersebut tidak bersifat final, sehingga memungkinkan untuk dilakukan upaya banding pada tingkat banding melalui Dewan Kehormatan Wilayah dan tingkat akhir melalui Dewan Kehormatan Pusat.