BAB II
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERLINDUNGAN KONSUMEN, DAN KEPAILITAN
A. Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, dimana masing-masing pihak bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam perjanjian tersebut.8 Perjanjian bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri yaitu dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menjadi dasar hukum perjanjian. Pasal 1313 KUHPerdata menjelaskan bahwa:
“Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.9
Para ahli hukum perdata pada umumnya sependapat dengan pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut, diantaranya Subekti dan Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx yang menyatakan bahwa:
8 Xxx Xxxanda Yusticia, Kamus Istilah Hukum Superlengkap Disusun Secara Alfabetis, Ringkas dan Komplet, Yogyakarta: C-Klik Media, 2018, hal. 345.
9 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313.
12
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.10
“Perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan”.11
Apabila perjanjian tersebut dilanggar, maka pihak yang melanggar akan mendapatkan sanksi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa:
a. Setiap pelanggaran perjanjian akan memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk memperoleh ganti rugi.
b. Apabila pelanggaran itu cukup berat, maka juga akan memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan perjanjian.
Mematuhi dan taat pada perjanjian adalah suatu komitmen dari para pihak untuk mempertahankan keberlangsungan isi dari perjanjian yang sedang dijalankan. Oleh karena itu, para pihak harus selalu menghormati dan menghargai isi perjanjian selama perjanjian itu berjalan. Hal-hal yang timbul dari aktivitas perjanjian adalah:
a. Merupakan pertemuan penawaran dan penerimaan.
b. Aktivitas perdata/pribadi.
x. Xxrancang sesuai dengan kesepakatan para pihak yang berkontrak.
d. Berlaku dan mengikat bagi para pihak yang menyepakatinya.
e. Tidak boleh dilakukan perubahan secara sepihak jika sudah disetujui.
10 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005, hal. 1.
11 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2014, hal. 290.
f. Tidak boleh disepakati melalui suatu proses paksaan, ataupun penipuan.
g. Kalau tidak dilaksanakan akan dihukum untuk membayar ganti rugi ataupun jika ada bunga yang dapat diambil dari harta debitor tersebut.12
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Mengingat begitu penting dan begitu kuatnya kekuatan mengikat suatu perjanjian, maka tidak sembarangan membuat perjanjian. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian menjadi sah dan mengikat para pihak. Syarat-syarat tersebut dikenal dengan istilah “syarat sahnya perjanjian” sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
x. Xxxxx hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.13
Keempat syarat tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat yang objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukannya itu. Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut (canceling),
12 Xxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Hukum Bisnis, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012, hal. 20.
13 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.Cit., Pasal 1320
sedangkan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum (null and void).
3. Asas-asas Perjanjian
Di dalam hukum perjanjian dikenal 5 (lima) asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sun servanda), asas iktikad baik, dan asas kepribadian.
Untuk jelasnya asas-asas dalam hukum perjanjian tersebut akan dijelaskan satu persatu dibawah ini;
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”.14
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.15 Asas kebebasan berkontrak merupakan sifat atau ciri khas dari Buku III KUHPerdata, yang hanya mengatur para
14 Ibid., Pasal 1338 ayat (1).
15 Xxxxx XX, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hal. 49.
pihak sehingga para pihak dapat saja mengenyampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.
x. Xxxx Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata, bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka akan melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, atau dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut telah bersifat obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian tersebut.
x. Xxxx Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian hukum, berkaitan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati isi/substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, sehingga mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap isi/substansi perjanjian tersebut. Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
d. Asas Itikad Baik
Ketentuan tentang asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menegaskan bahwa perjanjian harus dilaksanakan
dengan iktikad baik. Asas iktikad baik ini merupakan asas bahwa para pihak harus melaksanakan isi/substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
e. Asas Kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang akan melakukan dan/atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata yang menegaskan bahwa:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri”.16
“Perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya”.17 Akan tetapi seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk
kepentingan pihak ketiga dengan adanya suatu syarat yang ditentukan, hal ini diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata. Selanjutnya Pasal 1318 KUHPerdata mengatur perjanjian untuk kepentingan ahli waris dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.18
4. Jenis-jenis Perjanjian
Adapun jenis-jenis perjanjian yang sering dipergunakan dalam menjalankan usaha bisnis antara lain adalah perjanjian jual beli, perjanjian tukar
16 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.Cit., Pasal 1315.
17 Ibid., Pasal 1340.
18 M. Muhtarom, “Asas-asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak”, Jurnal Suhuf, Vol. 26 No. 1, Mei 2014, hal. 53.
menukar, perjanjian sewa menyewa, perjanjian perburuhan, persekutuan, hibah, perjanjian pijam pakai, perjanjian pinjam meminjam, perjanjian untung- untungan, pemberian kuasa, perdamaian.19
Untuk jelasnya jenis-jenis dalam perjanjian yang digunakan dalam usaha bisnis adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian jual beli, yaitu suatu perjanjian, dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harganya yang telah diperjanjikan (Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1546 KUHPerdata).
b. Perjanjian tukar menukar, yaitu suatu perjanjian, dimana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain (Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUHPerdata).
c. Perjanjian sewa menyewa, yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran suatu harga, yang disanggupi pembayarannya (Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata).
d. Perjanjian perburuhan, yaitu suatu persetujuan dimana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si
19 Xxxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit., hal. 21-24.
majikan, untuk suatu waktu tertentu melakukan dengan pembayaran suatu harga, yang disanggupi pembayarannya (Pasal 1601a sampai dengan Pasal 1603z KUHPerdata).
e. Persekutuan, yaitu suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungannya (Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1665 KUHPerdata).
x. Xxxxx, yaitu suatu persetujuan dimana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma, dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan (Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 KUHPerdata).
g. Perjanjian pinjam pakai, suatu persetujuan dimana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewat suatu waktu tertentu, akan mengembalikannya (Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1753 KUHPerdata).
h. Perjanjian pinjam meminjam, suatu persetujuan dimana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula (Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1774 KUHPerdata).
i. Persetujuan untung-untungan, yaitu suatu persetujuan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu perjanjian yang belum tentu (Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791 KUHPerdata).
x. Xxxberian kuasa, yaitu adalah suatu persetujuan dimana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya meyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata).
k. Perdamaian, yaitu suatu persetujuan dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata).
5. Berakhirnya Perjanjian
Pada dasarnya perjanjian yang telah dibuat dan dilaksanakan oleh para pihak dapat berakhir atau hapus. Jika perjanjian tersebut berakhir atau hapus, maka perikatan (hubungan hukumnya) telah berakhir atau hapus juga. Sebaliknya, jika perikatan yang bersumber dari perjanjian berakhir atau hapus, maka perjanjiannya pun berakhir atau hapus.
Namun, terdapat logika lain yang diartikan sebagai pengecualian, yaitu suatu perikatan (hubungan hukum) dapat berakhir, namun perjanjiannya belum berakhir, seperti pembayaran harga barang oleh pembeli yang berakibat hukum perikatan mengenai pembayarannya menjadi berakhir atau hapus. Akan tetapi
perjanjian jual belinya belum berakhir atau hapus, karena perikatan mengenai penyerahan barang belum dilaksanakan oleh penjual.
Sebaliknya, perjanjian dapat berakhir atau hapus, tetapi perikatan yang bersumber dari perjanjian itu tidak berakhir atau tidak hapus. Sebagai contoh, perjanjian sewa menyewa sudah berakhir atau hapus, tetapi perikatan mengenai pembayaran uang sewa belum berakhir atau hapus, karena belum dibayar oleh penyewa.
Setidaknya terdapat beberapa alasan yang menyebabkan suatu perjanjian tersebut berakhir atau hapus, diantaranya:
a. Jangka waktu berakhirnya perjanjian/kontrak. Artinya, para pihak telah menentukan dengan tegas terkait jangka waktu berakhirnya perjanjian/kontrak. Jangka waktu berakhirnya perjanjian/kontrak telah ditentukan dalam pasal 1066 ayat (3) KUHPerdata.
b. Salah satu pihak telah meninggal dunia, misalnya dalam perjanjian/kontrak pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1813 KUHPerdata, perjanjian/kontrak perburuhan diatur pada Pasal 1603.
c. Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dan perjanjian/kontrak Perseroan diatur pada Pasal 1646 ayat (4) KUHPerdata.
d. Salah satu atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan perjanjian/kontrak.
e. Karena putusan hakim. Artinya, berdasarkan upaya hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak yang dirugikan di pengadilan, akhirnya pengadilan memutuskan untuk membatalkan suatu perjanjian/kontrak tersebut. Biasanya gugatan yang diajukan adalah gugatan cidera janji (wanprestasi) atau perbuatan melawan hukum.20
Adapun menurut Pasal 1381 KUHPerdata, berakhir atau hapusnya perjanjian disebabkan:
a. karena pembayaran;
20 Loc.Cit.
b. karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c. karena pembaharuan hutang;
d. karena perjumapaan utang atau kompensasi;
e. karena pencapuran utangnya;
f. karena pembebasan utangnya;
g. karena musnahnya barang yang terutang;
h. karena kebatalan atau pembatalan;
i. karena berlakunya suatu syarat batal;
j. karena lewatnya waktu.”21
B. Perlindungan Hukum
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan suatu hukum yang melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya.22
Tumbuhnya kesadaran negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen yang berada dalam posisi tawar yang lemah, dimulai dengan memikirkan berbagai kebijakan. Di masyarakat Eropa misalnya, gerakan awal perlindungan hukum bagi konsumen ditempuh melalui dua tahap program, yaitu program pertama pada tahun 1973 dan program kedua pada tahun 1981. Melalui program masyarakat Eropa, kecurangan produsen terhadap konsumen seperti bentuk kontrak standar, ketentuan perkreditan, dan penjualan yang
21 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.Cit., Pasal 1381.
22 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2014, hal. 53.
bersifat memaksa, perlindungan hukum terhadap konsumen yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi produk cacat, kasus iklan yang menyesatkan, serta masalah jaminan setelah pembelian produk (after sales service).23
2. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum
Secara teoritis, perlindungan hukum dibagi menjadi dua bentuk yaitu:
a. Perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan hukum yang sifatnya pencegahan. Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freis ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.
b. Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan hukum yang berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Di Indonesa pada saat ini terdapat berbagai badan yang secara parsial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi dua badan,
23 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Hak-hak Konsumen, Bandung: Nusa Media, 2015, hal. 36.
yaitu pengadilan dalam lingkup peradilan umum dan instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.24
C. Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Kedudukan konsumen pada umumnya masih lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan daya tawar, karena itu sangatlah dibutuhkan adanya undang-undang yang melindungi kepentingan-kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan. Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan perlindungan konsumen, maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam suatu produk hukum.
Hal ini penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha untuk menaatinya, dan juga hukum memiliki sanksi yang tegas. Mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan akibat tindakan pelaku usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen yang posisinya memang lemah, di samping ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen belum memadai.25
24 Xxxxx X.X. dan Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014, hal. 264.
25 Xxxxxxx Xxx Xxxxxxx, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta: Prenada Media Group, 2015, hal. 1.
Perlindungan konsumen merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa:
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.26
Perlindungan konsumen memiliki cakupan yang luas, meliputi perlindungan konsumen terhadap barang dan/atau jasa, yang berawal dari kegiatan untuk mendapatkan barang dan/atau jasa sampai dengan akibat-akibat dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut.27
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
Penjelasan mengenai pasal tersebut menyebutkan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
1. Asas manfaaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Op.Cit., Pasal 1 angka 1.
27 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana, 2013, hal. 22.
memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiel ataupun spiritual.
4. Xxxx keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, dan pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diisi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.28
Adapun tujuan perlindungan konsumen yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan atau jasa.
x. Xxningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.29
28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Op.Cit., Penjelasan Pasal 2.
29 Ibid., Pasal 3.
3. Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer yang secara harfiah diartikan sebagai orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu. Dari pengertian ini, terlihat bahwa ada pembedaan antara konsumen sebagai orang dengan konsumen sebagai perusahaan. Pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial, misalnya dijual atau diproduksi lagi.30
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan pengertian konsumen adalah:
“Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.31
Dari pengertian tersebut, terlihat bahwa yang dimaksud konsumen adalah pengguna atau pemanfaat terakhir dari suatu produk.
4. Hak dan Kewajiban Konsumen
Secara garis besar, hak-hak konsumen dapat dibagi menjadi tiga hak yang merupakan prinsip dasar, yaitu:
1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal maupun kerugian harta kekayaan.
2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar.
30 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Framework Sistem Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 49.
31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Op.Cit., Pasal 1 angka 2.
3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.32
Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen harus dipenuhi, baik oleh negara maupun pelaku usaha, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek. Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hak konsumen adalah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuaidengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.33
Adapun kewajiban konsumen yang diatur dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
32 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Op.Cit., hal. 6.
33 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Op.Cit., Pasal 5.
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.34
5. Pengertian Pelaku Usaha
Pelaku usaha biasa dikenal sebagai pengusaha. Pengusaha adalah pihak yang menghasilkan atau memproduksi barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, pengertian pelaku usaha termasuk didalamnya pembuat, grosir, leveransir dan pengecer profesional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan/atau jasa hingga sampai ke tangan konsumen.35
Adapun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan pengertian pelaku usaha adalah:
“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.36
6. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
34 Ibid., Pasal 5.
35 Mukti Xxxxx, Xxxx Xxxx Xxxxxxxxxxxx, dan Xxxxxxxx Xxxxx, Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019, hal. 27.
36 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Op.Cit., Pasal 1 angka 3.
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketakonsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidakdiakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.37
Adapun kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ataujasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaiandan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.38
37 Ibid., Pasal 6.
38 Ibid., Pasal 7.
D. Kepailitan
1. Pengertian Kepailitan
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap hutang-hutang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (finacial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.39
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, memberikan pengertian kepailitan adalah:
“Sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.40
Dari pengertian tersebut, kepailitan dianggap sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subjek hukum. Kepailitan secara apriori juga dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitor dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Kepailitan sering diidentikan
39 X. Xxxx Xxxxxx, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 1.
40 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 1 angka 1.
sebagai pengemplangan utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor.41
Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensrechts).
“Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor. Sedangkan prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya”.42
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Dari isi Pasal 2 ayat (1) tersebut, jika dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (2), (3), (4), (5) dan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dapat ditarik
41 X. Xxxx Xxxxxx, Op.Cit., hal 2.
42 Ibid., hal. 3.
kesimpulan bahwa syarat-syarat yuridis agar suatu subjek hukum dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut:
a. Adanya utang.
b. Minimal satu dari utang sudah jatuh waktu.
c. Minimal satu dari utang dapat ditagih.
d. Adanya debitor.
e. Adanya kreditor.
x. Xxxxxxxx lebih dari satu.
g. Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga yang berwenang.
h. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh:
1) Debitor.
2) Satu atau lebih kreditor.
3) Jaksa untuk kepentingan umum.
4) Bank Indonesia jika debitornya bank.
5) Bapepam jika debitornya: Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian.
6) Menteri keuangan jika debitornya: Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau BUMN di bidang kepentingan publik.
i. Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa syarat Pasal 2 ayat (1) tersebut telah terpenuhi.43
Beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yaitu untuk menghindari adanya:
a) Perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.
b) Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor.
c) Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah satu kreditor atau debitor sendiri.44
43 Manahan MP Sitompul, Hukum Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan: di Dalam dan di Laur Proses Pengadilan, Malang: Setara Press, 2017, hal. 54.
44 H. Man Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2006, hal. 72.
2. Asas-Asas Hukum Kepailitan
Sebenarnya asas hukum kepailitan Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari asas-asas hukum perdata, karena hukum kepailitan sebagai subsistem dari hukum perdata nasional merupakan bagian utuh dari hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Hukum kepailitan Indoensia, sebagian besar materi muatannya mengatur tentang sita dan eksekusi. Oleh karena itu, hukum kepailitan merupakan kebulatan yang utuh dengan peraturan tentang sita dan eksekusi yang diatur dalam hukum acara perdata.
Asas hukum yang umumnya berlaku dalam hukum perdata dan hukum acara perdata, juga menjadi asas hukum yang berlaku dalam hukum kepailitan Indonesia, kendatipun tidak disebutkan secara tegas. Asas hukum kepailitan yang diatur dalam hukum perdata merupakan asas umum hukum kepailitan Indonesia, sedangkan asas khususnya adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu:
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini diuraikan asas-asas hukum kepailitan sebagai berikut:
a. Asas Umum
Asas umum hukum kepailitan di Indonesia semula diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang disebut dengan prinsip kesamaan kedudukan kreditor (paritas creditorium) dan Pasal 1132 KUHPerdata yang disebut dengan prinsip pari passu prorata parte yaitu semua kreditor mempunyai
hak yang sama atas harta debitor, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Prinsip paritas creditorium diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata karena memberikan jaminan kepada semua kreditor. Prinsip ini, dalam asas-asas hukum jaminan, disebut jaminan umum.
Adapun yang diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata disebut jaminan khusus. Makna dari Pasal 1132 KUHPerdata adalah bahwa semua kreditor mempunyai hak yang sama atas aset debitor, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk lebih diutamakan atau didahulukan. Dalam praktik, jaminan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, sering kali tidak memuaskan kreditor, karena dianggap kurang memberikan rasa aman.
Meskipun makna dari Pasal 1132 KUHPerdata adalah semua kreditor mempunyai hak yang sama atas aset debitor, tetapi apabila dicermati secara seksama ketentuan tentang penyitaan (beslaag) aset debitor seperti yang diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata tersebut, tampak bahwa dalam pasal tersebut tidak diatur secara eksplisit bagaimana mekanisme yang harus ditempuh oleh para pihak yang ingin menggunakan pranata hukum kepailitan dalam menyelesaikan utang piutangnya.
Karena ketentuan tersebut masih sangat umum, bisa jadi para kreditor akan berlomba untuk menyita aset debitor dalam rangka menyelamatkan jaminan atas tagihannya. Apabila hal ini dibiarkan, bisa merugikan kreditor lain yang tidak sempat menyita aset debitor. Oleh
karena itu, dalam rangka menghindari adanya tindakan secara secara individual, dirasakan perlu adanya campur tangan melalui lembaga peradilan. Di samping itu, agar kreditor merasa lebih aman, juga diperlukan jaminan khusus, yaitu adanya benda-benda tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan piutangnya dan hanya berlaku bagi kreditor tersebut.45
b. Asas Khusus
Selain asas umum yang diatur dalam KUHPerdata, hukum kepailitan Indoenesia juga mempunyai asas khusus sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Asas-asas tersebut, antara lain:
1) Asas Keseimbangan. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
45 Xxxxxxx Xxx Xxxxxxx, Hukum Kepailitan di Indonesia: Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Prenada, 2020, hal. 37.
2) Asas Kelangsungan Usaha. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. Oleh karena itu permohonan pernyataan pailit seharusnya hanya dapat diajukan terhadap debitor yang insolven, yaitu yang tidak membayar utang-utangnya kepada kreditor mayoritas.
3) Asas Keadilan. Dalam kepailitan, asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak memedulikan kreditor lainnya.
4) Asas Integrasi. Asas integrasi dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Selain asas-asas tersebut, hukum kepailitan juga memiliki beberapa tujuan yaitu:
1. Memberi kesempatan kepada Debitur untuk berunding dengan para krediturnya untuk melakukan restrukturisasi utang, baik dengan penjadwalan kembali pelunasan utang Debitur, dengan atau tanpa
perubahan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan perjanjian utang, dengan atau tanpa pemberian pinjaman baru.
2. Melindungi para Kreditur konkuren untuk meperoleh hak mereka.
3. Menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitur di antara para Kreditur sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan Debitur kepada Kreditur konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing).
4. Memastikan siapa saja para Kreditur yang memiliki tagihan (piutang) terhadap Debitur pailit dengan melakukan pendaftaran para Kreditur.
5. Memastikan kebenaran jumlah dan keabsahan piutang para Kreditur dengan melakukan verifikasi.
6. Memberikan perlindungan kepada Debitur yang beritikad baik agar penagihan piutang Kreditur tidak langsung dilakukan terhadap para Debitur.
7. Melindungi para Kreditur dari Debitur yang hanya menguntungkan Kreditur tertentu.
8. Melindungi para Kreditur dari sesama Kreditur.
9. Pada US Bankruptcy Code, undang-undang tersebut memberikan fresh start bagi Debitur pailit yang beritikad baik setelah seluruh harta kekayaannya dilikuidasi dan hasilnya dibagikan kepada para Krediturnya.
10. Mencegah agar Debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para Kreditur.
11. Menegakkan ketentuan actio pauliana.
12. Menghukum pengurus perusahaan yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi sehingga dinyatakan paillit oleh pengadilan.46
Adapun menurut Xxxxxxxxx, semua hukum kepailitan, tanpa memedulikan kapan atau dimana diundangkan, memiliki tiga tujuan umum.
“Tujuan pertama, hukum kepailitan mengamankan dan membagi hasil penjualan harta milik Debitur secara adil kepada semua Krediturnya. Tujuan kedua, adalah untuk mencegah agar Debitur yang insolven tidak merugikan kepentingan Krediturnya. Dengan kata lain, hukum
46 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta: Kencana, 2016, hal. 5-9.
kepailitan bukan saja memberikan perlindungan kepada Kreditur dari sesama Kreditur yang lain tetapi juga memberikan perlindungan kepada Kreditur dari Debitur. Tujuan ketiga dari hukum kepailitan adalah memberikan perlindungan kepada Debitur yang beritikad baik dari para Krediturnya”.47
Menilik pada tujuan hukum kepailitan tersebut, bahwa proses kepailitan menghendaki adanya suatu recovery bagi debitor dan terlebih lagi bagi para kreditor. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan, sedangkan debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Jadi debitor merupakan pihak yang memiliki kewajiban kepada kreditor, yaitu kewajiban untuk membayar utangnya kepada kreditor, sehingga para kreditor dalam kepailitan memiliki hak-hak yang harus dilindungi. Namun demikian, debitor pailit pun, dengan adanya kepailitan, juga memiliki kesempatan untuk recovery, yaitu dengan membayar utang-utangnya melalui penjualan aset-aset yang dimilikinya, dimana penjualan aset-aset tersebut akan dilakukan oleh kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri setempat, dan yang kerjanya diawasi oleh hakim pengawas.48
47 Ibid., hal. 4.
00 Xxx.Xxx.
3. Akibat Kepailitan
Akibat hukum dari kepailitan adalah si pailit tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan kepengurusan dan pemilikan terhadap harta kekayaan atau aset. Tetapi kepailitan hanya mengenai harta benda debitor, bukan pribadinya, jadi ia tetap cakap untuk melakukan kepengurusan dan pemilikan harta yang berhubungan dengan pribadinya. Jadi tindakan yang membawa akibat-akibat hukum terhadap boedel pailit (asset) hanya dapat dilakukan oleh kurator yang ditunjuk dalam putusan pailit.
Dalam batas-batas tertentu si debitor pailit dapat melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum kekayaan sepanjang perbuatan tersebut akan mendatangkan keuntungan bagi harta pailit, kurator dapat meminta pembatalan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor pailit. Selanjutnya lebih jauh diatur tentang actio pauliana, yakni pembatalan atas segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum pernyatan pailit ditetapkan.49
a. Putusan Pailit Dapat Dijalankan Lebih Dahulu (Xxxxx Xxxxx)
Pada asasnya, putusan kepailitan adalah serta merta dan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut masih dilakukan suatu upaya hukum lebih lanjut. Akibat-akibat putusan pailit pun mutatis mutandis berlaku walaupun sedang ditempuh upaya hukum lebih
49 Manahan MP Sitompul, Op.Cit., hal. 48.
lanjut. Kurator yang didampingi oleh hakim pengawas dapat langsung menjalankan fungsinya untuk melakukan pengurusan dan pemberesan pailit. Sedangkan apabila putusan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya upaya hukum tersebut, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan maka tetap sah dan mengikat bagi debitor. 50
b. Sitaan Umum
Harta kekayaan debitor yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum beserta apa yang diperoleh selama kepailitan. Hal ini sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang mengenai arti kepailitan ini. Dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dikatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segalaa sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan Pasal 22 ini mengecualikan beberapa hal yang tidak termasuk dalam harta pailit, yakni:
1) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang digunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makanan
50 . X. Xxxx Xxxxxxx, Op.Cit., halaman 162
untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu.
2) Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas.
3) Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.
c. Kehilangan Wewenang Dalam Harta Kekayaan
Debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus (daden van behooren) dan melakukan perbuatan kepemilikan (daden van beschikking) terhadap harta kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan.
d. Perikatan setelah pailit segala perikatan debitor yang terbit setelah putusan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit. Jika ketentuan ini dilanggar oleh si pailit, maka perbuatannya tidak mengikat kekayaannya tersebut, kecuali perikatan tersebut mendatangkan keuntungan terhadap harta pailit.
e. Pembayaran Piutang Debitor Pailit
Pembayaran piutang si pailit setelah adanya putusan pailit tidak boleh dibayarkan pada si pailit, jika hal tersebut dilakukan maka tidak dibebaskan utang tersebut. Begitu pula terhadap tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban di bidang harta kekayaan tidak boleh
ditujukan oleh atau kepada si pailit melainkan harus oleh atau kepada kurator.
f. Hubungan Kerja Dengan Para Pekerja Perusahaan Pailit
Pekerja yang bekerja pada debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat lima) hari sebelumnya.
g. Actio Pauliana Dalam Kepailitan
Actio pauliana adalah hak yang diberikan oleh undang-undang kepada setiap kreditor untuk menuntut kebatalan dari segala tindakan debitor yang tidak diwajibkan, asal dapat dibuktikan bahwa pada saat tindakan itu dilakukan, debitor dan orang dengan siapa debitor sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengikatkan diri mengetahui bahwa mereka dengan tindakan itu menyebabkan kerugian kepada kreditor.
Sistem hukum perdata dikenal ada 3 (tiga) jenis actio pauliana,
yakni:
1) Actio pauliana (umum) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata.
2) Actio pauliana (waris) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1061 KUHPerdata.
3) Actio pauliana dalam kepailitan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.51
51 Ibid., hal. 164.