HAK TANGGUNGAN (SKMHT) ATAS TANAH
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN
HAK TANGGUNGAN (SKMHT) ATAS TANAH
YANG BELUM BERSERTIPIKAT JIKA DEBITOR WANPRESTASI
(STUDI KASUS DI PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT BALI DI GIANYAR )
TESIS
Disusun
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S2 Program Studi Magister Kenotariatan
Oleh :
Xxxx Xxxxx Xxxxxxxx Xxxx NIM 11010210400128
PEMBIMBING :
H. Xxxxxxx, SH., MH
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2012
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN
HAK TANGGUNGAN (SKMHT) ATAS TANAH
YANG BELUM BERSERTIPIKAT JIKA DEBITOR WANPRESTASI
(STUDI KASUS DI PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT BALI DI GIANYAR )
Disusun Oleh :
Xxxx Xxxxx Xxxxxxxx Xxxx 11010210400128
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 26 Maret 2012
Tesis ini telah diterima
Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
Mengetahui,
Pembimbing Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro
H. Xxxxxxx, SH.,MH H. Xxxxxxx, SH.,MH NIP. 19540624 198203 1 001 NIP. 19540624 198203 1 001
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : I Gde Xxxxx Xxxxxxxx Xxxx, dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1. Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan dalam tesis ini tidak terdapat karya orang lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar di Perguruan Tinggi atau lembaga pendidikan manapun. Pengambilan karya orang lain dalam tesis ini dilakukan dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka ;
2. Tidak berkeberatan untuk dipublikasikan oleh Universitas Diponegoro dengan sarana apapun, baik seluruhnya atau sebagian, untuk kepentingan akademik atau ilmiah yang non komersial sifatnya.
Semarang, Maret 2012 Yang menyatakan
I Gde Xxxxx Xxxxxxxx Xxxx
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam rangka memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro - Semarang.
Penulisan tesis ini dapat terwujud atas bantuan dan kerjasama berbagai pihak, untuk itu penghargaan yang setingi-tingginya dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada yang terhormat :
1. Xxxx. Xxxxxxxx P. Xxxx, MES, phD. Selaku Rektor Unversitas Diponegoro Semarang.
2. Xxxx. Xx. Xxx Xxxxx Xxxxx, SH., M. Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
3. H. Xxxxxxx, S.H., M.H. Selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.
4. Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxxxx, SH., MS. Selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.
5. H. Xxxxxxx, SH.,MH selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan sabar memberi masukan selama masa bimbingan.
6. Bapak dan Ibu Dosen, serta segenap karyawan bagian Tata Usaha Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.
7. IGK. Xxxxxxx Xxxx, SH.,X.Xx dan Xxx. X. Xxxx Xxxxx, SH selaku orang tua penulis, terima kasih atas segala dukungan doa dan curahan kasih yang diberikan tiada hentinya kepada putra kalian ini sehingga dapat menyelesaikan jenjang pendidikan strata dua.
8. A.A Xxxxx Xxxxx Xxxx, SH dan Tjok Istri Bintang Kencana Dewi Atas dorongan moral, mental, perhatian dan kasihnya yang selalu hangat.
9. Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxx, SH, Xxx Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, SH, Xxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxx, SH, Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, SH, Xxxxxxxxxxx, SH, Xxxxx Xxxx Xxxxx, SH, Xxxxxx Xxxxxxxx, SH, Nun Fadilah Muslimah, SH, Xxxx Xxx Xxxx Xxxxx, SH, Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxxxx, SH., X.xx, Made Xxx Xxxxx Xxxx, SH, I Made Xxxx Xxxxxx, SH, Xxxxxxx Firmanyo Soegianto, SH., X.xx, Xxxxxx Xxx Xxxxxxxx Xxxxx, SH., X.xx, Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxx, SH., X.xx, Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, SH, Xxxxxxxxx Xxxxxx, SH, Xxxxx Xxxxxx, SH, Xxxx Xxxx Xxxxxxx, SH, Xxx Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, SH, I Putu Xxx Xxxxxxxx Xxxxx, SH, Xxxx Xxx Xxxxxxx Xxxxxx, SH, Xxxxx Xxx Xxxxxx, SH, dan seluruh keluarga besar Xxxxxx Xxxx.
10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro angkatan 2010 dan 2011 tanpa kecuali, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Tuhan memberkati kalian….
Penulis menyadari sebagai karya manusia sudah tentu tulisan ini belumlah sempurna. Oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran guna penyempurnaan tesis ini.
Semarang, Maret 2012 P e n u l i s
Gede. Xxxxx Xxxxxxxx Xxxx
ABSTRAK
Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Dalam
Perjanjian Kredit Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat Jika Debitor Wanprestasi
(Studi Kasus Di PT. Bank Perkreditan Rakyat Bali Di Gianyar).
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah. Penjelasan Umum dari UUHT menyebutkan bahwa terdapat dua unsur mutlak dan hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek tanggungan, salah satunya adalah hak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam umum, pada Kantor Pertanahan. Dengan demikian setiap Obyek Hak Tanggungan harus terdaftar dan memiliki sertipikat hak atas tanah. Namun demikian terhadap tanah-tanah yang belum bersertipikat dapat pula dibebankan Hak Tanggungan sepanjang pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah suatu akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT untuk menguasakan debitor dalam pemberian kredit dengan jaminan tanah yang belum bersertipikat.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai pelaksanaan perjanjian kredit atas tanah yang belum bersertipikat pada Bank Perkreditan Rakyat Di Gianyar, dan bagaimana perlindungan hukum bagi kreditor dalam perjanjian kredit dengan SKMHT atas tanah jika debitor wanprestasi.
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis-empiris dan bersifat deskriptif analitis. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, yang dianalisis secara kualitatif.
Perjanjian kredit atas tanah yang belum bersertipikat tidak pemah dilakukan bank dengan membuat APHT secara langsung terhadap tanah-tanah yang belum bersertipikat. Bank dalam hal ini hanya sebatas membuat SKMHT saja. Pertimbangan hukum tidak dibuatnya APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar oleh karena terdapat kemungkinan hakhak atas tanah tersebut belum jelas kepemilikannya. Dalam prakteknya Notaris/PPAT selalu membuatkan SKMHT sesuai Pasal 15 (4) UUHT, untuk mengikat jaminan atas tanah-tanah yang belum bersertipikat yang akan dijadikan agunan. Menghadapi permasalahan terjadinya kredit belum dilunasi dengan agunan tanah yang belum bersertipikat sedangkan debitor wanprestasi, maka perlindungan hukum terhadap kreditor adalah akta dibawah tangan yang di waarmerking (dibukukan dalam buku khusus oleh notaris), SKMHT, akta otentik (grosse akta pengakuan hutang), dan Pasal 1131 KUH Perdata. Mengingat kedudukan kreditor hanya sebagai kreditor konkuren.
Kata kunci : Perlindungan Hukum, Perjanjian kredit, Tanah Belum Bersertipikat
ABSTRACT
Legal Protection For Creditors In
Credit Agreement with Mortgage Power of Attorney impose on Land That is not certificated If the debtor defaults
(Case Studies in PT. Rural Bank in Gianyar Bali).
Mortgage insurance is a right which is charged on land rights. General Explanation of UUHT mentioned that there are two essential elements of the land rights that can be used as a dependent object, one of which is of such rights in accordance with the applicable provisions shall be registered in the public, the Land Office. Thus every object of Mortgage must be registered and have a certificate of land rights. However, on lands that have not been certified can be charged along granting Mortgage Mortgage is done simultaneously with the application for registration of land rights are concerned. Power of Attorney for Mortgage charge (mortgage) is an authentic deed made by Notary / PPAT to authorize the debtor in the provision of credit to guarantee the land that has not been certified.
The problem in this research is on the implementation of working capital with the mortgage on the land that has not been certified in Gianyar Rural Bank, and how legal protection for creditors in the working capital with the mortgage if the debtor defaults.
The method in this research approach is empirical and juridical descriptive analytical. The data used in this study are primary and secondary data, which is then analyzed in a qualitative.
Agreement working capital loans to land that has not been certified by the bank never made a direct APHT on lands that have not been certified. Xxxxx in this case was limited to a mortgage only. Legal considerations are not made APHT (Deed of Encumbrance) on lands that have not been registered because there is the possibility of the rights of land ownership is unclear. In practice Notary / PPAT always make the mortgage in accordance with Article 15 (4) UUHT, to tie the security of lands that have not been certified to be used as collateral. the problem of unpaid loans with collateral of land that has not been certified while the debtor defaults, then the legal protection of creditors is a deed under hand in waarmerking (recorded in a special book by a notary), mortgage, deed of authentic (grosse deed of acknowledgment of debt), and Article 1131 Civil Code. Given the position of unsecured creditors only as a creditor.
Keywords: Legal Protection, credit agreement, Land Not certificated
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN KATA PENGANTAR ABSTRAK
ABSTRACT DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan Masalah 8
C. Tujuan Penelitian 8
D. Manfaat Penelitian 9
E. Kerangka Pemikiran 10
F. Metode Penelitian 16
1. Pendekatan Masalah 16
2. Spesifikasi Penelitian 17
3. Sumber Dan Jenis Data Penelitian 17
4. Teknik Pengumpulan Data 19
5. Teknik Analisa Data 19
G. Sistematika Penulisan 20
Bab II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 22
1. Pengertian Perjanjian Pada Umummnya 22
2. Syarat Sahnya Perjanjian 28
3. Asas Hukum Perjanjian 31
4. Wanprestasi dan Akibat Wanprestasi. 33
B. Tinjauan Umum Tentang Kredit Dan Perjanjian Kredit
1. Pengertian Kredit. 36
2. Pengertian Perjanjian Kredit. 39
3. Bentuk – Bentuk Perjanjian Kredit. 41
4. Fungsi Kredit. 45
C. Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan
1. Pengertian dan Ciri-Ciri Hak Tanggungan 48
2. Subjek dan Objek Hak Tanggungan 55
3. Asas-asas Hak Tanggungan 59
4. Pembebanan Hak Tanggungan 61
5. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 86
6. Hapusnya Hak Tanggungan 89
7. Eksekusi Hak Tanggungan 90
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat 92
B. Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat jika
debitor wanprestasi. 110
BAB IVPENUTUP
A. Kesimpulan 125
B. Saran 126
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Didalam kehidupan ekonomi sehari-hari keperluan akan dana sebagai alat untuk melakukan kegiatan ekonomi sangat diperlukan dan kebutuhan akan dana sebagai modal tersebut terus meningkat. Seperti diketahui tidak semua orang dalam masyarakat mempunyai dana/modal untuk melakukan kegiatan usaha. Biasanya dalam masyarakat ada sebagian yang mempunyai kelebihan dana tetapi kurang mampu atau kurang berani untuk melakukan/membuka usaha, sedangkan disisi lain ada sebagian masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berusaha tetapi tidak mempunyai dana.
Lembaga keuangan yang memberikan pinjaman dana juga telah banyak, mulai dari bank (pemerintah dan swasta), lembaga pegadaian dan lembaga keuangan bukan bank lainnya. Bahkan dalam praktek, transaksi pinjam meminjam dana dalam jumlah besar sering juga terjadi antar individu,misalnya sesama rekan bisnis.
Keadaan tersebut diatas kemudian dapat menimbulkan hubungan antara pihak yang memiliki dana tetapi kurang mampu untuk melakukan/membuka usaha dengan pihak yang memiliki kemampuan untuk berusaha tetapi kurang atau bahkan tidak memiliki dana, mengadakan kesepakatan dalam mengelola kemampuan masing-masing pihak, dan kesepakatan tersebut merupakan awal dari
lahirnya perjanjian utang piutang atau perjanjian antara kreditor dan debitor.
Pasal 8 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 , menyebutkan bahwa : “dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjinkan”. Penjelasan dalam Pasal 8 Undang – Undang tersebut diatas dinyatakan, bahwa : “Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor utnuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan bank”.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilain yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari debitor. Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitor mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.
Agunan menurut Undang-undang Perbankan adalah jaminan kebendaan. Salah satu jaminan kebendaan yaitu Hak Tanggungan. Fungsi jaminan sendiri yaitu memberikan hak dan kekuasaan kepada bank selaku kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang- barang jaminan tersebut bilamana debitor wanprestasi atau terdapat kredit bermasalah. Sudah menjadi ketentuan dalam pemberian kredit tentang adanya suatu pengikatan jaminan atau agunan. Lembaga jaminan sebagai alat untuk mengamankan kredit yang diberikan oleh kreditor, dimana dengan adanya jaminan maka kreditor akan mendapatkan kepastian hukum bahwa piutangnya akan dilunasi.
Kegiatan pinjam meminjam uang yang dikaitkan dengan persyaratan penyerahan jaminan utang banyak dilakukan oleh perorangan dan berbagai badan usaha. Badan usaha umumnya secara tegas mensyaratkan kepada pihak peminjam untuk menyerahkan suatu barang (benda) sebagai objek jaminan utang pihak peminjam. Jaminan utang yang ditawarkan (diajukan) oleh piak peminjam umumnya akan dinilai oleh badan usaha sebelum diterima sebagai objek jaminan atas pinjaman yang diberikannya. Penilaian yang seharusnya dilakukan sebagaimana yang biasanya terjadi dibidang perbankan meliputi penilaian dari segi hukum dan ekonomi. Berdasarkan penilaian dari kedua segi tersebut diharapkan akan dapat disimpulkan kelayakannya sebagai jaminan utang yang baik dan
berharga.1 Dalam prakteknya, hal yang berkaitan dengan pemberian jaminan/agunan tersebut telah dilembagakan dan diatur secara lengkap, dan lembaga jaminan yang obyek jaminannya berupa tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah adalah hak tanggungan.
Hak Tanggungan adalah: "Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya."
Menurut Xxxxx Xxxxxxx Hak Tanggungan adalah "Hak penguasaan atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitor cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitor kepadanya."2
Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan
1 M. Bahsan, Hukum jaminan dan jaminan kredit perbankan Indonesia, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 2-3.
2 Xxxxx Xxxxxxx, “Konsepsi Pemikiran Tentang Undang-Undang Hak Tanggungan”, (Makalah disampaikan pada seminar nasional kesiapan dan persiapan dalam rangka pelaksanaan undang-undang Hak tanggungan, Bandung 27 mei 1996), hlm.1
akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.
Hak tanggungan ini bukanlah suatu istilah baru untuk suatu lembaga jaminan, tetapi Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan peraturan baru tentang adanya pranata jaminan utang dengan tanah sebagai jaminannya. Dengan berlakunya Undang- undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan maka ketentuan mengenai hipotik dan creditverband tidak berlaku lagi sepanjang mengenai tanah beserta benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah.
Pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap pemberian hak tanggungan yang dilakukan dihadapan
pejabat pembuat akta tanah dan tahap pendaftaran hak tanggungan yang dilakukan di kantor pertanahan kabupaten/kotamadya.3
Pada dasarnya Pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun dalam hal pemberi hak tanggungan berhalangan untuk hadir sendiri di hadapan PPAT karena sesuatu sebab, maka pemberi hak tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, yang dibuktikan dengan akta otentik yaitu berupa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).
Surat Kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh pemberi hak tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya sebagaimana ditetapkan. Tidak dipenuhinya syarat tersebut mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang beraati bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan untuk sebagai dasar pembuatan APHT.4
Ada beberapa alasan dibuatnya Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) diantaranya adalah:
1. Obyek Hak Tanggungan (tanahnya) berada di luar daerah kerja Notaris yang merangkap sebagai PPAT.
2. Obyek Hak tanggungan (tanahnya) belum sertifikat.
3. Obyek Hak tanggungan (tanahnya) belum dibalik nama keatas nama pemberi hak tanggungan.
3 Ibid, Hlm.8
4 Xxxxxxxx Xxxxxx & xxxxxxx, Hukum Jaminan, ( Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2008), hlm 73.
Jangka waktu berlakunya SKMHT terbatas sesuai dengan kondisi obyek Hak tanggungan (tanahnya) sesuai peraturan yang ditentukan dalam undang-undang hak tanggungan dan peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 Tentang penetapan Batas waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu.
Selain itu untuk pemberian hak tanggungan dalam penjaminan kredit tertentu pada bank, dengan berjalannya waktu maka nilai kredit tersebut dapat berubah menjadi naik atau turun dari nilai awal yang diperjanjikan. Perubahan yang terjadi dapat karena adanya perubahan dalam nilai plafond kredit tersebut baik karena lamnaya pembayaran. Karena adanya bunga atau terjadinya restrukturisasi atau rekondisi terhadap kredit dalam proses pelunasan utangnya.
Hal ini kemudian menjadi permasalahan tersendiri dalam pemakaian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk melakukan perjanjian kredit terutama kredit perbankan. Keadaan tersebut diakibatkan oleh perubahan nilai pertanggungan yang dibuat dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang sesuai dengan masa berlaku perpanjangan kredit tersebut.
Sebagaimana diketahui dalam perjanjian kredit niai kredit berubah dengan berjalannya waktu pembayaran apalagi kemudian terjadi perpanjangan masa kredit, sedangkan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan tidak berubah dan masih boleh berlaku sepanjang perjanjian kredit masih berjalan.
Adanya keadaan seperti tersebut jelas menimbulkan kesulitan bagi para pihak untuk menimbulkan kesulitan bagi para pihak untuk melindungi hak-haknya, yaitu hak pemberi pinjaman kredit untuk mendapatkan hak tanggungan sebagai jaminan untu pelunasan piutangnya.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti perlu melakukan penelitian yang akan dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat Jika Debitor Wanprestasi (Studi Kasus Di PT. Bank Perkreditan Rakyat Bali Di Gianyar).
B. Perumusan masalah
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk membatasi masalah dengan mengeidentifikasinya sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat ?
2. Bagaimana Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat jika debitor wanprestasi?
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk Mengetahui pelaksanaan perjanjian kredit dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan atas tanah yang belum bersertipikat.
2. Untuk Mengetahui Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat jika debitor wanprestasi.
D. Manfaat Penelitian
Dilihat dari segi manfaat penelitian ini, maka dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum khususnya yang menyangkut dengan Hak Tanggungan, sehingga memberikan tambahan wacana baru dalam mempelajari dan memahami ilmu hukum secara lebih tajam khususnya berkaitan dengan Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat Jika Debitor Wanprestasi (STUDI KASUS DI PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT BALI DI GIANYAR).
2. Manfaat Praktis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai data awal guna melakukan penjelajahan lebih lanjut dalam bidang kajian yang sama atau dalam bidang kajian yang memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan masukan atau sumbangan pemikiran bagi institusi hukum dalam mengambil kebijakan mengenai Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat Jika Debitor Wanprestasi.
c. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat berkaitan dengan masalah Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat Jika Debitor Wanprestasi.
JAMINAN
(TANAH BELUM BERSERTIPIKAT PASAL 10 ayat (3) UUHT
Notaris/PPAT
WANPRESTASI
PERJANJIAN KREDIT
SKMHT
KREDITOR
DEBITOR
E. Kerangka Pemikiran
PERLINDUNGAN HUKUM
Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk perkreditan bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya. Kebutuhan yang menyangkut kebutuhan produktif misalnya untuk meningkatkan dan memperluas kegiatan usahanya.5 Kredit modal kerja merupakan salah satu jenis dari kredit produktif, yaitu untuk kemajuan usaha dengan pemberian kredit modal kerja pada debitor.
5 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : CV. Xxxxxxxx, 2003), hlm 1
Suatu perjanjian kredit yang dilakukan antara pihak kreditor sebagai pemberi fasilitas kredit dan debitor sebagai pihak peminjam atau penerima kredit diperlukan suatu benda jaminan guna menjamin pelunasan hutang debitor serta meminimalkan resiko yang terjadi. Dan untuk menjamin kepastian hukum maka perjanjian kredit dilakukan dengan akta dibawah tangan atau akta otentik notariil.
Jaminan yang paling banyak dipergunakan sebagai agunan adalah berupa tanah, baik mencakup hak pakai, hak guna bangunan, hak milik, maupun hak guna usaha karena memiliki nilai yang umumnya terus meningkat.
Lembaga jaminan oleh lembaga perbankan dianggap paling efektif dan aman adalah tanah dengan jaminan Hak Tanggungan. Hal itu didasari adanya kemudahan dalam mengidentifikasi objek Hak Tanggungan, jelas dan pasti eksekusinya, di samping itu hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan harus dibayar terlebih dahulu dari tagihan lainnya dengan uang hasil pelelangan tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan.6 Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit, baik untuk kredit produktif maupun konsumtif, didasarkan pada pertimbangan tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi.7
6 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Penelitian tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit,(Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman Rl, 1998), hlm. 8
7 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Lembaga Jaminan Hak Tanggungan sebagai Penunjang Kegiatan Perkreditan Perbankan Nasional, Tesis, (Surabaya : Pascasarjana UNAIR, 1998), hlm. 7.
Secara yuridis yang harus diperhatikan dalam pemberian agunan tersebut adalah objek jaminan lebih baik milik debitor sendiri dan dalam kekuasan debitor, agunan tidak dalam sengketa, ada bukti kepemilikannya, dan masih berlaku serta memenuhi persyaratan untuk dapat diikat sebagai agunan (tidak sedang dijaminkan pada pihak lain). Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menjelaskan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Akan tetapi yang menjadi permasalahan yang terjadi adalah ketika masyarakat yang dalam hal ini sebagai debitor menjaminkan hak atas tanah yang belum bersertipikat kepada kreditor. Untuk platfon kredit modal kerja yang relatif kecil biasanya kreditor dengan pertimbangan resiko kecil dalam hal ini menerima jaminan hak atas tanah tersebut
sebagai jaminan dalam perjanjian kredit.
Menurut Penjelasan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, sangat dimungkinkan dilakukan pembebanan hak tanggungan hak atas tanah yang belum bersertipikat
asalkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut.
Untuk menjamin kepastian hukum, Kreditor sebagai pemberi kredit pada dasarnya mempunyai prinsip kehati-hatian. Dalam kaitannya dengan pemberian kredit modal kerja dengan jaminan hak tanggungan terhadap tanah yang belum bersertipikat, pengikatan perjanjian kredit diikuti dengan pembuatan Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dilakukan dihadapan Notaris/PPAT. Isi dan bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) berdasarkan ketentuan Pasal 17 dan Pasal 19 PP 10 tahun 1961, sedangkan ketentuannya terdapat dalam Pasal 15 Undang-Undang No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 15 ayat (3) atau ayat (4) UUHT, atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal (5) batal demi hukum. Ketentuan mengenai batas waktu berlakunya SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) dimaksudkan untuk mencegah berlarut-larutnya waktu pelaksanaan kuasa itu. Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan dibuatnya SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) baru.
Proses pelaksanaan perjanjian kredit modal kerja dengan jaminan hak tanggungan terhadap tanah yang belum bersertipikat hanya sebatas pembuatan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) saja, mengingat pemberian hak tanggungan yang dilakukan oleh PPAT pada tanah yang belum bersertipikat dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut di Kantor Pertanahan (Pasal 10 ayat (3) UUHT).
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Pencatatan atau pendaftaran Hak Tanggungan terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah. Oleh karena itu kepastian mengenai saat didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut adalah sangat penting terutama bagi kreditor dalam rangka untuk memperoleh kepastian mengenai kedudukan yang diutamakan baginya disamping untuk memenuhi asas publisitas. Dengan demikian pendaftaran Hak Tanggungan tersebut merupakan syarat mutlak untuk adanya Hak Tanggungan.8 Termasuk tanah yang belum bersertipikat.
8 Xxxxxx X. Xxxxxxxxx, Prosedur dan Persyaratan Pengalihan Jaminan Hipotik/Penggantian Kreditur Setelah Berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, (Makalah Disampaikan Pada Seminar Asset Securitization, Jakarta, 22 Nopember 1996), hlm. 3.
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan merupakan salah satu bentuk perjanjian tertulis dari pihak pemberi hak tanggungan kepada pihak penerima hak tanggungan untuk membebankan hak tanggungan.
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan merupakan surat kuasa khusus yang ditujukan kepada pemegang hak tanggungan atau pihak lain untuk mewakili diri pemberi hak tanggungan hadir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk melakukan pembebanan hak tanggungan, berhubung pemberi hak tanggungan tidak dapat datang menghadap sendiri untuk melakukan tindakan membebankan hak tanggungan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.9
F. Metode Penelitian
Metode berarti cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, sedangkan penelitian berarti suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporannya.10
Dengan menggunakan metode seseorang diharapkan mampu untuk menemukan dan menganalisa masalah tertentu sehingga dapat
9 Xxxxxxx Xxxxx, Hukum Jaminan Keperdataan, Cetakan Pertama (Jakarta : PT Sinar Grafika , 2008), hlm 438
10 Xxxxxx Xxxxxxx dan X. Xxx Xxxxxxx, Metodologi Penelitian, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2002), hlm 1
mengungkapkan suatu kebenaran, karena metode memberikan pedoman tentang cara bagaimana seorang ilmuwan mempelajari, memahami dan menganalisa permasalahan yang dihadapi.
1. Pendekatan Masalah
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terutama adalah pendekatan yuridis empiris.Yuridis empiris adalah mengidentifikasi dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang mempola.11 Pendekatan secara yuridis dalam penelitian ini adalah pendekatan dari segi peraturan perundang-undangan dan norma- norma hukum sesuai dengan permasalahan yang ada, sedangkan pendekatan empiris adalah menekankan penelitian yang bertujuan memperoleh pengetahuan empiris dengan jalan terjun langsung ke obyeknya.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu dimaksudkan untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang suatu keadaan atau gejala-gejala lainnya.12
Deskriptif artinya dalam penelitian ini analisis datanya tidak keluar dari lingkup sampel, bersifat deduktif, berdasarkan teori atau
hlm.51
Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Penelitian Hukum, cet,3, (Jakarta : Ul Press, 2005),
Lexy J. Xxxxxxx, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Bandung : PT Remaja Rosda
Karya, 2000), hlm
konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan data lainnya.13 Serta analitis artinya dalam penelitian ini analisis data mengarah menuju ke populasi data.14
3. Subjek dan Objek Penelitian
a. Subjek Penelitian
1) Kantor bank perkreditan rakyat (BPR) Bali
b. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat Jika Debitor Wanprestasi (Studi Kasus Di PT. Bank Perkreditan Rakyat Bali Di Gianyar).
4. Sumber dan Jenis Data
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan penelitian kepustakaan dan didukung penelitian lapangan, sehingga penelitian dilakukan dalam 2 tahap yaitu :
a. Penelitian kepustakaan (library research)
Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji, meneliti, dan menelusuri data sekunder yang berupa :
1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang isinya mengikat, berupa peraturan-peraturan yang mengatur tentang Hak Tanggungan, yang meliputi : Undang-undang
13Ibid, hlm 38
14Ibid, hlm 39
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas tanah Beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah (UUHT), Undang – undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
2) Bahan hukum sekunder berupa sumber data yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hokum primer seperti literature, karya ilmiah, hasil penelitian, lokakarya yang berkaitan dengan materi penelitian.
3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hokum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hokum primer maupun sekunder, dipergunakan untuk menunjang pembahasan masalah yang diperoleh dari kamus hokum dan kamus lain-lainnya.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian ini dilakukan dengan guna mendapatkan data primer sebagai pendukung bagi analisis hasil penelitian. Penelitian lapangan dilakukan dengan wawancara pada lembaga- lembaga yang terkait dengan permasalahan, antara lain untuk tata cara pembuatan akta-akta yang berhubungan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan pada Kantor Notaris
5. Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Studi Dokumen, yaitu mengumpulkan dan menganalisis data-data sekunder mengenai objek penelitian.
b. Wawancara, yaitu mengadakan Xxxxx jawab untuk memperoleh data primer secara langsung dengan informan.
6. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan yang digunakan untuk memperkuat data hasil penelitian kepustakaan, selanjutnya akan dilakukan pengeditan data. Setelah pengeditan data selesai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah pengolahan data dan selanjutnya akan dilakukan analisis. Dimana hasil analisis akan dipaparkan secara deskriptif, dengan harapan dapat menggambarkan secara jelas peraturan mengenai perjanjian pemberian surat kuasa dan peraturan tentang hak tanggungan atas tanah berdasarkan bahan- bahan hukum yang ada baik bahan hukum primer maupun sekunder, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh tentang permasalahan yang diteliti.
G. Sistematika penulisan
Dalam sistematika penelitian tesis ini dibagi dalam 4 Bab, yaitu :
BAB I. Pendahuluan
Pada bab ini menguraikan latar belakang, permusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran.kerangka teoritik, metode penelitian serta sistimatika penulisan
BAB II Tinjauan Pustaka
Pada bab ini akan diuraikan tinjauan umum tentang Perjanjian, Tinjauan umum tentang perjanjian Kredit, tinjauan umum tentang hak tanggungan (HT).
BAB III Hasil penelitian dan Pembahasan
Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan SKMHT Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat dan Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Dengan SKMHT Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat jika Debitor Wanprestasi.
BAB IV Penutup
Bagian ini merupakan bab penutup yaitu yang berisi simpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang diatur dalam buku III dengan judul Van Verbintenissen. Penggunaan istilah perjanjian tersebut dimaksudkan sebagai terjemahan overeenkomst. Dalam penggunaan istilah overeenkomst tersebut belum ada kesepakatan pendapat antara para sarjana hukum Indonesia untuk menterjemahkan kedalam istilah perjanjian atau persetujuan.
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, istilah overeenkomst menunjuk pada persetujuan, sedangkan untuk perjanjian masih dipakai istilah Verbintenissen.15
Subekti mengatakan bahwa perkataan "perikatan" (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan "perjanjian", sebab dalam Buku III itu, diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak
15 R Xxxxxxx, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur, 1973), hlm 3
berdasarkan persetujuan (zaakwarneming), tetapi sebagian besar dari Buku Ill ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan perjanjian. Jadi berisikan hukum perjanjian.16
Selanjutnya Subekti mengatakan bahwa perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit17. Xxxxxx Xxxxx merumuskan definisi perikatan bahwa perikatan adalah hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.18
Untuk lebih memberikan arti yang lebih operasional, maka Subekti berpendapat bahwa peristilahan perjanjian dan persetujuan tersebut menunjuk pada pengertian yang sama karena baik dalam perjanjian ataupun persetujuan terdapat dua belah pihak yang setuju melakukan prestasi tertentu.19
Pengertian perjanjian dapat ditemukan dalam Buku III KUH Perdata tepatnya pada Pasal 1313 yang berbunyi : " Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih."
Dari pengertian yang dijelaskan dalam Pasal 1313 ini pakar masih menganggap belum sempurna untuk menjelaskan arti
16 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,(Jakarta : PT.Intermasa), hlm.122
17 Ibid, hlm.122
18 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III (Hukum Perikatan dengan Penjelasannya),(Bandung : PT. Alumni, 1983), hlm 1
19 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT. Intermasa,1991), hlm 1
perjanjian. Hal yang dianggap belum sempurna untuk menjelaskan arti perjanjian. Hal yang dianggap belum sempurna dalam pengertian tersebut, bahwa perjanjian yang ada dalam Pasal 1313 KUH Perdata itu adalah perjanjian yang bersifat sepihak yaitu perjanjian yang hanya menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja. Hal ini memiliki kelemahan karena pada dasarnya suatu perjanjian itu harus datang dari adanya kesepakatan dari kedua belah pihak sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang memperjanjikan.
"Perjanjian itu adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat- akibat hukum."20
Namun dalam perkembangannya ketentuan yang ada dalam Pasal 1313 KUH Perdata tidak begitu memuaskan dan terdapat kelemahan-kelemahan karena :21
a. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian;
b. Tidak tampak adanya konsesualisme;
c. Bersifat dualisme.
Ketidak jelasan definisi dalam Pasal 1313 KHUH Perdata disebabkan karena rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatannya saja sehingga yang bukan perbuatan hukum pun
1996), hlm.103-104
20 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : PT. Liberty,
21 Xxxxx X.X, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta :PT. Sinar
Grafika, 2004), hlm.25
disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut dengan perjanjian adalah : "suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum".
Unsur-unsur perjanjian menurut teori lama adalah sebagai berikut :22
1. Adanya perbuatan hukum
2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang;
3. Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan atau dinyatakan;
4. Perbuatan hukum terjadi karena kerjasama antara dua orang atau lebih.
5. Pernyataan kehendak (wisverklaring) yang sesuai harus saling bergantung satu sama lain;
6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;
7. Akibat hukum untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik.
8. Persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-undangan.
Dalam beberapa pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh berbagai sarjana hukum diatas, hanya menekankan para pihak yang terlibat dalam perjanjian hanya semata-mata orang perorang saja. Dalam praktiknya banyak terjadi yang melakukan
22 Ibid, hlm 25
perjanjian adalah badan hukum yang merupakan subjek hukum. Dengan demikian, definisi-definisi diatas perlu dilengkapi. Menurut Xxxxx X.X perjanjian merupakan "hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya."23
Adapun unsur yang terkandung dalam definisi yang dikemukakan oleh Xxxxx X.X adalah sebagai berikut:
a. Adanya hubungan hukum, yaitu hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban;
b. Adanya subjek hukum, yang merupakan pendukung hak dan kewajiban;
c. Adanya prestasi; yaitu untuk melakukan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu; dan
d. Dibidang harta kekayaan.
Dari beberapa pendapat diatas dapat dilihat unsur-unsur perjanjian yaitu :
1. Adanya para pihak
Para pihak ini disebut sebagai subjek hukum perjanjian. Subjek hukum perjanjian dapat berupa manusia pribadi (natuurlijke person) dan badan hukum (recht person). Subjek
23 Xxxxx X.X, Op.Cit, hlm 27
hukum ini harus mampu melakukan perbuatan hukum seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
2. Adanya persetujuan para pihak.
Subjek hukum yang mengadakan perjanjian harus sepakat (pertemuan dan kehendak) mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak lain.
3. Adanya tujuan yang akan dicapai
Dalam setiap perjanjian harus ada tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak, kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi apabila mengadakan perjanjian dengan pihak lain.
4. Adanya prestasi yang akan dilaksanakan
Prestasi merupakan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
5. Adanya bentuk tertentu
Bentuk dari perjanjian perlu ditentukan, karena ada ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti dengan bentuk tertentu yang biasanya tertulis berupa akta. Perjanjian
juga dapat dibuat secara lisan, namun dapat juga dibuat secara tertulis apabila dikehendaki oleh para pihak.
6. Adanya syarat tertentu
Syarat-syarat ini biasanya terdiri atas syarat pokok yang menimbulkan hak dan kewajiban pokok. Syarat ini sebenarnya adalah sebagai isi perjanjian, karena dari syarat tersebut dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak.
2. Syarat-syarat Syahnya Perjanjian
Untuk berlakunya suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dimana syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata antara lain :
a. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya.
Maksud kata sepakat disini adalah sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak. Sepakat dapat juga dinamakan perizinan maksudnya adalah bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiya-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan.
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Untuk menentukan orang yang cakap adalah
orang yang tidak termasuk dalam bunyi Pasal 1330 KUH Perdata yaitu:
1) Belum dewasa
Penentuan orang belum dewasa dalam hal ini umumnya ditentukan dari umurnya. Namun mengenai batasan umur kedewasaan itu beraneka ragam, menurut Pasal 330 KUH Perdata orang yang dewasa adalah mereka yang sudah genap 21 tahun dan belum menikah. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris orang yang belum dewasa adalah mereka yang telah berusia 18 tahun atau mereka yang sudah menikah. Sedangkan menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedewasaan bagi laki-laki adalah mereka yang berumur 19 tahun dan bagi perempuan adalah mereka yang berumur 16 tahun. Pada umumnya terutama dalam yurisprudensi batasan mengenai umur kedewasaan untuk melakukan perbuatan hukum adalah mereka yang telah genap berumur 21 tahun atau sudah menikah."24
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
Menurut Pasal 433 KUH Perdata orang yang diletakkan dalam pengampuan adalah setiap orang dewasa
1985), hlm. 62
24 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : PT. Liberty,
yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak (hilang ingatan) dan mereka yang pemboros. Dalam hal ini pembentuk Undang-Undang memandang yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawab dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian.
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang- undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun setelah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, maka seorang perempuan yang masih bersuami berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap didepan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya.
c. Suatu hal tertentu.
Bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya menyangkut apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada ditangannya si berhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak
perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung dan ditetapkan.25
d. Suatu sebab yang halal
Dalam undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai "sebab", namun dalam istilah Latin sebab disebut causa, dimana dalam kamus hukum causa sendiri mempunyai arti dasar hukum, sebab atau alasan. Menurut Yurisprudensi yang dimaksud causa adalah isi atau maksud dari perjanjian, karena melalui syarat causa, didalam praktek maka ia merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian dibawah pengawasan hakim.
Berdasarkan keempat syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka syarat-syarat tersebut dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu:
a. Syarat Subjektif
Adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek- subjek perjanjian itu atau dengan kata lain, syarat-syarat yang hams dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian. Dimana syarat ini meliputi, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.
b. Syarat Objektif
25 R. Subekti, Op. Cit, hlm 19
Adalah suatu syarat yang menyangkut pada objek perjanjian itu, syarat ini meliputi suatu hal tertentu dalam suatu sebab yang halal.
3. Asas Hukum Perjanjian
Dalam Kamus Hukum istilah asas mempunyai arti sebagai dasar hukum atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir. Didalam hukum perjanjian di Indonesia ada beberapa asas yang perlu diperhatikan dalam membuat suatu perjanjian, yaitu meliputi:
a. Asas konsesuil
Maksud asas konsesuil ini adalah suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari para pihak yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formil misalnya perjanjian penghibahan mengenai benda tidak bergerak harus dilakukan dengan akta Notaris dan perjanjian perdamaian yang harus diadakan secara tertulis.
b. Asas Pacta Sun servanda
Dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata berbunyi :
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Maksud asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja baik perjanjian itu diatur dalam undang-undang maupun belum diatur dalam undang- undang. Adapun ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia yaitu :
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia membuat perjanjian;
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih suatu dari perjanjian yang akan dibuat;
4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
5. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yaitu bersifat optional;
6. Kebebasan untuk menentukan bentuk dari suatu perjanjian.
d. Asas iktikad baik
Arti iktikad baik dapat dibedakan kedalam dua pengertian yang pertama iktikad baik dalam arti subjektif adalah sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap bathin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan kedua iktikad baik dalam arti objektif adalah pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatuhan dan apa-apa yang dirasakan sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.
4. Wanprestasi Dan Akibat Wanprestasi
a. Pengertian Wanprestasi
Sebelum kita berbicara atau membahas tentang wanprestasi, terlebih dahulu kita mengetahui apa itu arti dari prestasi. Prestasi adalah segala sesuatu yang menjadi hak kreditur dan merupakan kewajiban bagi debitur. Menurut Xxxxx 1234 KUHPerdata, prestasi dapat berupa:
a) Memberi sesuatu;
b) Berbuat sesuatu;
c) Tidak berbuat sesuatu.
Prestasi dari perikatan harus memenuhi syarat:
a) Xxxxx diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban,kesusilaan, dan Undang-undang.
b) Harus tertentu atau dapat ditentukan.
c) Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia.26
Dalam pelaksanaan perjanjian, dapat terjadi wanprestasi yang berarti tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan bersama dalam perjanjian. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang menunjukkan debitur tidak berprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya) dan dia dapat dipersalahkan.
Tidak dipenuhinya kesalahan debitur itu dapat terjadi
26 Xxxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian di Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2009). Hlm. 79
karena dua hal, yaitu:
a) Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun karena kelalaian,
b) Karena keadaan memaksa (force majour), di luar kemampuan debitur.
b. Xxxxxx dan Wujud Wanprestasi
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa:
a) Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi,
b) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan,
c) Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya (terlambat),
d) Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.27
Pada kenyataannya, sangat sulit untuk menentukan apakah debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan, karena pada saat mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak menetukan waktu untuk melakukan suatu prestasi tersebut.
c. Akibat Hukum yang Timbul dari Wanprestasi
Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur,
27 Ibid, hlm. 80
yaitu :28
a) Menuntut pemenuhan perikatan,
b) Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbal-balik, menurut pembatalan perikatan,
c) Menuntut ganti rugi,
d) Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi,
e) Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
Akibat hukum yang timbul dari wanprestasi dapat juga disebabkan karena keadaan memaksa (force majour). Keadaan memaksa (force majour) yaitu salah satu alasan pembenar untuk membebaskan seseorang dari kewajiban untuk mengganti kerugian (Pasal 1244 dan Pasal 1445 KUHPerdata). Menurut Undang- undang ada tiga hal yang harus dipenuhi untuk adanya keadaan memaksa, yaitu:
a) Tidak memenuhi prestasi,
b) Ada sebab yang terletak di luar kesehatan debitur,
c) Faktor penyebab itu tidak terduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur.
Pasal 1244 KUHPerdata berbunyi:
“Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, apabila ia tidak dapat
28 Ibid, hlm 81-84
membuktikan bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”
B. Tinjauan Umum Tentang Kredit dan Perjanjian Kredit
1. Pengertian Kredit
Manusia adalah homo economicus dimana setiap gerak kehidupannya, manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia yang beraneka ragam itu, disatu sisi selalu meningkat seirama dengan tingkat perkembangan dan harkat kemanusiannya, sementara disisi lain kemampuan manusia itu mempunyai keterbatasan-keterbatasan tertentu. Atas dasar keterbatasan- keterbatasan itulah, manusia berusaha dan meminta bantuan pihak lain untuk memenuhi hasrat dan cita- citanya, termasuk dalam pengertian ini adalah bantuan permodalan guna meningkatkan usaha dan daya guna sesuatu barang atau jasa yang dimiliki dan biasanya untuk mendapatkan modal tersebut mereka membutuhkan kredit.
Dimasa sekarang istilah kredit bukan lagi merupakan monopoli masyarakat perkotaan saja melainkan telah masuk dalam pelosok-pelosok pedesaan bahkan istilah kredit ini telah dikenal secara umum dalam pergaulan hidup masyarakat. Pengertian kredit berasal dari bahasa Romawi "Credere". Yang berarti percaya. Dasar kredit tersebut adalah kepercayaan. Pihak yang memberikan
kredit atau yang disebut dengan kreditor percaya, bahwa penerima kredit atau yang disebut dengan kreditor mampu dan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan, baik menyangkut jangka waktu maupun prestasi dan kontra prestasi. Apabila seseorang memperoleh kredit dari suatu Bank, pada dasarnya adalah memperoleh kepercayaan dari Bank itu. Artinya dana yang telah berhasil dihimpun oleh Bank, disalurkan kembali kepada masyarakat dengan suatu kepercayaan atau keyakinan akan dapat dikembalikan kepada Bank, dan pada akhirnya akan dikembalikan lagi kepada pihak yang menitipkan dananya kepada Bank tersebut dengan suatu keberuntungan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, terdapat beberapa pengertian kredit sebagaimana yang dikemukakan oleh Xxxxxxxxxxx dan R.A. Xxxxx Warasasmita bahwa :29
1) Dalam pengertian umum, kredit didasarkan pada kepercayaan atas kemampuan sipeminjam untuk membayar sejumlah uang pada masa yang akan datang.
In a general sense, credit is a based on confidence in the debitor ability to make a money payment a some future time (Rolling G. Xxxxxx)
2) Pertukaran atau pemindahan sesuatu yang berharga baik berupa uang, barang maupun jasa dengan keyakinan bahwa ia
29 Xxxxxxxxxxx, H., Xxxxxxxxxxx, X.X Xxxxx, Analisis Kredit, dilengkapi Xxxxxx Xxxxxx, (Bandung : Pionir Jaya, 1991), hlm. 6
akan dapat/mampu membayar dengan nilai/harga yang sama diwaktu yang akan datang.
The transfer of something valuable to another, whether money, goods or services in the confidence that will be both willing and able, at a futureday, to pay its equivalent (Xxxxxx)
Terlepas dari banyaknya pendapat tentang pengertian kredit, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, memberikan definisi seperti disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 yang menentukan bahwa :
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Apabila diperhatikan, baik definisi menurut Undang-Undang maupun doktrin, ada beberapa hal yang menunjukkan ciri-ciri khusus dari kredit bank, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya ketersediaan uang tagihan pada bank untuk memberikan kepada pihak lain dengan kesepakatan dalam suatu perjanjian tertulis;
2. Subjek hukum yang mengelola kredit tersebut adalah bank;
3. Subjek hukum yang meminjam uang tersebut mempunyai kewajiban dan kesanggupan untuk mengembalikan pinjaman/kredit;
4. Adanya jangka waktu tertentu untuk pengembalian kredit;
5. Pengembalian pinjaman/kredit hams ditambah dengan bunga yang besarnya telah ditentukan lebih dahulu.
2. Pengertian Perjanjian Kredit
Beberapa Sarjana hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit dikuasai oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata Bab XIII Buku ke III karena perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam uang menurut KUH Perdata Pasal 1754 yang berbunyi:
Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.
Namun Sarjana Hukum yang lain berpendapat bahwa perjanjian kredit tidak dikuasai KUH Perdata tetapi perjanjian kredit memiliki identitas dan karakteristik sendiri. Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam hukum perdata.
Semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Perbankan, tidak mengenal istilah perjanjian kredit. Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10 Tanggal 3 Oktober 1966 Jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb Tanggal 8 Oktober 1966 yang menginstruksikan kepada masyarakat perbankan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun, Bank-Bank wajib mempergunakan akad perjanjian kredit.
Pengertian perjanjian Kredit:
"Perjanjian Kredit adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antar keduanya".
Oleh karena itu pengertian perjanjian kredit tidak terbatas pada apa yang telah dijelaskan diatas akan tetapi lebih luas lagi penafsirannya. Perjanjian kredit dapat juga disebut perjanjian pokok
(prinsipil) yang bersifat riil. Sabagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminannya adalah accesoir nya.30
3. Bentuk-bentuk Perjanjian Kredit
Baik didalam KUH Perdata maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan tidak ditentukan secara khusus mengenai bentuk dari perjanjian kredit bank, akan tetapi dalam kehidupan perekonomian sehari-hari perjanjian bukan melalui proses negoisasi yang seimbang antara para pihak. Perjanjian itu terjadi dengan cara pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku dalam suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak, kemudian disodorkan pada pihak lainnya untuk disetujui, dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negoisasi atas syarat-syarat yang disodorkan tersebut. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa bentuk perjanjian kredit bank, menunjuk pada perjanjian standard atau perjanjian baku atau perjanjian adhesi.
Bentuk perjanjian kredit bank yang menunjuk pada perjanjian standart ini dalam praktek perbankan di indonesia dapat dibuat dengan dua (2) cara, yaitu sebagai berikut:
a. Perjanjian kredit berupa akta dibawah tangan dalam bentuk formulir yang telah dipersiapkan isi atau klausula-klausula oleh bank dalam bentuk formulir tercetak;
30 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Bab-bab tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia
(Bandung : PT Citra Xxxxxx Xxxxxx, 1991), hlm 28
b. Perjanjian kredit berupa akta notaris (notariil), bahwa Notaris berpedoman pada model perjanjian kredit dari bank yang bersangkutan, sehingga Xxxxxxx hanya tinggal menandatangani isi dari perjanjian kredit tersebut.
Dengan demikian pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun akta notariil. Perjanjian kredit disini berfungsi sebagai panduan bank dalam perencanaan,pelaksanaan, pengorganisasian dan pengawasan pemberian kredit yang dilakukan oleh bank, sehingga bank tidak dirugikan dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank terjamin dengan sebaik- baiknya. Oleh karena itu, sebelum pemberian kredit dilakukan, bank harus sudah memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.
"Perjanjian yang hampir seluruh klausulnya sudah dibukukan oleh pemakainya dan pihak yang lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan yang belum dibukukan, hanyalah beberapa saja seperti, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan, dengan kata lain yang dibukukan bukan formulir perjanjian tetapi klausulanya."31
31 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,(Jakarta : Institut bankir Indonesia, 1993) hlm. 66
Adapun dalam perjanjian standart ini masih banyak terdapat kelemahan-kelemahan. Dalam perjanjian standart tersebut asas konsensualisme yang ada dalam Pasal 1320 juncto Pasal 1338 KUH Perdata telah dilanggar. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah juga tidak mengikat sebagai undang-undang.32
Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku sebagai suatu perjanjian, hal ini karena :
a. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu;
b. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya;
c. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku dilingkungan masyarakat dan
32 Subekti R, Xxxxx Xxxxxxxxan, (Bandung : Alumni, 1984), hlm 12
lalu lintas perdagangan.33
Dengan demikian keabsahan perjanjian baku terletak pada penerimaan masyarakat dan lalu lintas bisnis untuk memperlancar perdagangan dan bisnis. Dunia perdagangan dan bisnis membutuhkan kehadiran perjanjian baku guna menunjang dan menjamin kelangsungan hidup usaha perdagangan dan bisnis. Perjanjian baku pada umumnya mengandung klausula yang tidak setara antar pihak yang mempersiapkan dan pihak lainnya. Isi, aturan atau ketentuan dan syarat-syarat klausula terlebih dahulu dipersiapkan dan ditetapkan secara sepihak oleh yang membuat perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh pihak lainnya. Dengan sendirinya pihak yang mempersiapkan dan menuangkan sejumlah klausula yang menguntungkan dirinya, sedangkan pihak lain lalu dibebani dengan sejumlah kewajiban. Perjanjian baku yang tidak setara ini perlu diwaspadai.
Dalam perjanjian kredit bank hams diingat bahwa bank tidak hanya mewakili dirinya sebagai perusahaan bank saja, tetapi juga mengemban kepentingan masyarakat, yaitu masyarakat penyimpan dana selaku bagian dari sistem keuangan. Oleh karena itu, dalam menentukan apakah suatu klausula itu memberatkan, baik dalam bentuk klausula eksemsi atau dalam bentuk yang lain, perimbangannya sangat berbeda bila dibandingkan dengan
33 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Perjanjian Baku (standart), Perkembangannya Di Indonesia, dalam beberapa Guru Besar Berbicara Tentang hukum dan Pendidikan Hukum (kumpulan pidato pengukuhan) (Bandung :PT. Alumni, 1981), hlm.106
menentukan klausula-klausula dalam perjanjian baku, pada umumnya para pihaknya adalah perorangan atau perusahaan biasa. Atas dasar pertimbangan ini maka tidak dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan keadilan apabila didalam perjanjian kredit dimuat klausula yang dimaksudkan, justru untuk mempertahankan atau untuk melindungi eksistensi bank atau bertujuan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah dibidang moneter.34
4. Fungsi Kredit
Mengenai fungsi kredit, kalau kita perhatikan dengan seksama dalam kehidupan perekonomian, akan terlihat jelas bahwa bank memegang peranan yang sangat penting selaku lembaga keuangan yang membantu pemerintah untuk mencapai kemakmuran, khususnya dalam bidang perekonomian masyarakat.
Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, secara social maupun secara ekonomi bagi pihak kreditor dan debitor mereka memperoleh keuntungan, juga mengalami peningkatan kesejahteraan, sedangkan bagi Negara mengalami penambahan penerimaan dari pajak.
Dalam kehidupan perekonomian, bank memegang peranan sangat penting selaku lembaga keuangan yang membantu
34 "Xxxxx Xxxx Xxxxxxxx, Op. Cit. hlm 182-183
pemerintah mencapai kemakmuran rakyat, seperti disebutkan dalam penjelasan umum Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu bank mempunyai peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari Trilogi pembangunan. Peran mana terutama disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien, yang dengan berasaskan demokrasi ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Fungsi kredit pada garis besarnya adalah sebagai berikut:
d. Meningkatkan daya guna modal/uang; artinya nasabah menyimpan uang di bank dalam bentuk giro, deposito, atau tabungan. Uang yang diperoleh dari tabungan masyarakat atau dana yang tersimpan di bank tersebut tidak idle (diam), tetapi oleh bank kemudian disalurkan kepada usaha –usaha yang bermanfaat disektor riil. Dalam arti bahwa pengusaha memperoleh kredit dari bank, antara lain untuk memperluas usahanya, baik untuk peningkatan produksi, perdagangan, rehabilitasi maupun untuk memulai usaha baru.
e. Meningkatkan daya guna sesuatu barang; artinya dengan bantuan kredit dari bank, produsen dapat memproduksi bahan-bahan mentah menjadi bahan jadi, sehingga utility (daya guna) dari bahan tersebut menjadi meningkat.
Misalnya peningkatan peningkatan kelapa menjadi kopra, selanjutnya kopra menjadi minyak dan Iain-Iain.
f. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang; artinya kredit yang disalurkan melalui rekening-rekening Koran, pengusaha menciptakan pertambahan peredaran uang giral dan sejenisnya (giro bilyet, cheque, wesel, promes dan lain sebagainya). Juga melalui kredit, peredaran uang chartal akan lebih berkembang. Karena kredit menciptakan suatu kegairahan berusaha sehingga pengunaan uang akan bertambah baik secara kualitatif dan kuantitatif.
g. Meningkatkan kegairahan berusaha masyarakat; bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk yang selalu berusaha, melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengusaha kan selalu berhubungan dengan bank untuk memperoleh bantuan permodalan guna peningkatan usahanya, memperbesar volume usaha dan produktifitasnya.
h. Meningkatkan pendapatan nasional; bahwa para usahawan yang memperoleh kredit tentu saja berusaha dengan sebaik- baiknya untuk meningkatkan usahanya, peningkatan usaha berarti peningkatan (profit).
Sebagai alat hubungan internasional; yaitu melalui bantuan kredit antar Negara, yang popular disebut dengan
bantuan "G to G " (government to government). Maka hubungan antar Negara pemberi bantuan (kredit) dengan Negara penerima akan semakin erat.
C. Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan
1. Pengertian & Ciri – Ciri Hak Tanggungan
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembebanan hak atas tanah adalah Bab 21 Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berkaitan dengan hipotek dan credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190.
Lahirnya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan merupakan perintah dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Aqraria (selanjutnya disebut UUPA). Pasal 51 UUPA berbunyi "Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 39 diatur dalam undang-undang. Tetapi dalam Pasal 57 UUPA disebutkan bahwa selama undang-undang Hak Tanggungan belum terbentuk, maka digunakan ketentuan tentang hipotek sebagaimana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan credietverband. Perintah Pasal 51 UUPA baru terwujud setelah menunggu selama 36
tahun yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996.
Menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT disebutkan pengertian Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah: "Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya."
Menurut Xxxxx Xxxxxxx Hak Tanggungan adalah "Hak penguasaan atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitor cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitor kepadanya."35
Esensi dari definisi Hak Tanggungan yang disajikan oleh Xxxxx Xxxxxxx adalah pada hak penguasaan atas tanah. Hak penguasaan atas tanah merupakan wewenang untuk menguasai hak
35 Xxxxx Xxxxxxx Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,edisi 2007,hlm. 8
atas tanah. Hak penguasaan atas tanah oleh kreditor bukan untuk menguasai secara fisik, namun untuk menjualnya jika debitor cedera janji.
Penjelasan umum UUHT aangka 3 menyebutkan Hak Tanggungan sebagai Lembaga Hak Jaminan atas tanah yang kuat mengandung cirri-ciri :
1) Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;
Dari definisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Kreditor tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.
Pada bagian lain pengertian mengenai kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain dapat dilihat di dalam angka 4 Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan. Dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Hak Tanggungan itu bahwa yang dimaksudkan dengan "memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain" ialah : "bahwa jika kreditor cidera janji,
kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor lain yang lain.
Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan hukum yang berlaku".
Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan ditentukan sebagai berikut: Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya.
Asas ini adalah asas yang berlaku pula bagi hipotek yang telah digantikan oleh Hak Tanggungan sepanjang yang
menyangkut tanah. Dalam ilmu hukum asas ini dikenal sebagai droit de preference.
2) Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada atau disebut dengan droit do suit. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek Hak Tanggungan sudah dipindahkan hanya kepada pihak lain, kreditor pemegang Hak Tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika debitor cedera janji;
3) Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;
Asas spesialitas dalam Hak Tanggungan diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11 ayat (1) huruf e Undang- Undang Hak Tanggungan. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan mengatur bahwa pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan dan dalam Pasal 8 ayat (2) diatur mengenai kewenangan yang harus ada pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Ketentuan tersebut hanya terpenuhi apabila obyek Hak Tanggungan telah ada dan tertentu pula tanah itu tanah yang mana. Dalam Pasal
11 ayat (1) huruf e ditentukan bahwa di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan, jadi tidak mungkin memberikan uraian yang jelas apabila obyek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya.
Obyek Hak Tanggungan harus secara spesifik ditunjukkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e.
Asas spesialitas tidak berlaku sepanjang mengenai "benda-benda yang berkaitan dengan tanah" karena belum dapat diketahui apa wujud dari benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu dan juga baru akan ada di kemudian hari.
Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan mengatur bahwa atas Hak Tanggungan berlaku asas publisitas. Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan ini menyebutkan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Dalam Penjelasan Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa pendaftaran pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. Pendaftaran yang dilakukan merupakan
pemenuhan syarat publisitas sebagaimana disyaratkan dalam hukum kebendaan.36
4) Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditor dalam pelaksanaan eksekusi.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan diatur bahwa apabila debitor cidera janji maka pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan ini memberikan hak kepada pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang Hak Tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang debitor dalam hal debitor cidera janji. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
36 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Hak-Hak Atas Tanah, cet,1, (Jakarta : Prenada Media 2004), hlm.108.
Selain ciri-ciri di atas, keistimewaan kedudukan hukum kreditor pemegang Hak Tanggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 berbunyi: Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, objek Hak Tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi Hak Tanggungan sebelum kreditor pemegang Hak Tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan itu.
2. Subjek dan Objek Hak Tanggungan
a. Subjek Hak Tanggungan
Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Hak Tanggungan. Dalam kedua Pasal itu ditentukan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum dalam Hak Tanggungan adalah pemberi Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan.
Pemberi Hak Tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan terdiri dari perorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.37
a. Pemberi Hak Tanggungan
37 Ibid, hlm. 103-109
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan berbunyi: pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan bersangkutan.
" Dari bunyi Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan di atas diterangkan bahwa setiap orang maupun badan hukum dapat menjadi pemberi hak tanggungan sepanjang mereka mempunyai "kewenangan hukum" untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hak atas tanah yang akan dijadikan sebagai jaminan dengan dibebani hak tangungan.38
b. Pemegang Hak Tanggungan
Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi penerima hak tanggungan baik perseorangan maupun badan hukum. Pasal 9 Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan : pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Berbeda dengan pemberi hak tanggungan, terhadap penerima hak tanggungan tidak ada persyaratan khusus. Penerima hak tanggungan dapat orang perseorangan maupun badan hukum, bahkan orang asing atau badan hukum asing
38 Xxxxxxxx Xxxxx, Hukum Jaminan Keperdataan, Op. Cit hlm. 381
baik yang berkedudukan di Indonesia maupun di luar negeri dapat menjadi pemegang hak tanggungan.39
b. Objek Hak Tanggungan
Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan telah menentukan hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan yaitu:
a) Hak Milik;
b) Hak Guna Usaha;
c) Hak Guna Bangunan;
d) Hak Pakai atas Tanah Negara,
Menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;
e) Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
f) Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Yang dimaksud dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, sebagaimana dikemukakan di atas adalah hak- hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan hutang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
39 Ibid, hlm. 396
a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin berupa uang;
b. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;
c. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitor cedera janji benda yang dijadikan jaminan hutang akan dijual di muka umum;
d. Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.
Selain hak-hak atas tanah tersebut di atas, yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan adalah hak, atas tanah berikut bangunan (baik yang berada di atas maupun di bawah tanah), tanaman, dan hasil karya (misalnya candi, patung, gapura, dan relief) yang telah ada atau akan ada, yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya harus dinyatakan dengan tegas di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang bersangkutan.
Disamping hal di atas, sesuai dengan penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun yang didirikan di atas Hak Pakai atas tanah Negara juga dapat menjadi objek dari hak tanggungan.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan 2 unsur dari hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu:
c. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum yang terdapat pada Kantor pertanahan;
d. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan.
Dengan demikian, yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindah tangankan.
Sedangkan bagi Hak Pakai atas tanah Hak Milik dibuka kemungkinannya untuk dikemudian hari dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani. Hak Tanggungan jika dipenuhi persyaratannya.
3. Asas – Asas Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu mempunyai beberapa asas. Asas-asas Hak Tanggungan ini meliputi:
1) Asas Publisitas
Asas Publisitas ini dapat dilihat dalam Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa: pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Oleh karena itu dengan didaftarkannya Hak
Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.
2) Asas Spesialiatas
Di dalam penjelasan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggunan sebutkan bahwa ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut dalam APHT mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas Spesialitas dari Hak Tanggungan, baik mengenai objek, subjek maupun utang yang dijamin.
3) Asas Tidak Dapat Dibagi-bagi
Asas tidak dapat dibagi-bagi ditegaskan dalam Pasal 2 Ayat
(1) Undang-Undang Hak Tanggunan. Dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian dari objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan untuk sisa utang
yang belum dilunasi. Sedangkan pengecualian dari asas tidak dapat dibagi-bagi ini terdapat pada Pasal 2 Ayat (2) UUHT yang menyatakan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, yang dapat diperjanjikan dalam APHT yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.
4. Pembebanan Hak Tanggungan
Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap yaitu tahap pemberian Hak Tanggungan dan tahap pendaftaran Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan.
A. Tahap pemberian Hak Tanggungan
Dalam Pasal 10 Undang-Undang Hak Tanggungan ditentukan bahwa:
“pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.”
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan
Akta Pemberian Hak Tangguangan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan di kantor PPAT dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh pejabat tersebut, yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku-Tanah Hak Tanggungan dan Sertipikat Hak Tanggungan, dimana formulirnya disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Dalam Pasal 96 ayat (2) PMNA/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ditentukan, bahwa pembuatan APHT harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai bentuk yang ditetapkan oleh peraturan tersebut. Ditegaskan juga dalam ayat (3), bahwa kepala Kantor Pertanahan dilarang mendaftar Hak Tanggungan
yang diberikan bilamana APHT yang bersangkutan dibuat berdasarkan SKMHT yang pembuatannya tidak menggunakan formulir yang telah disediakan.40
Dalam rangka memenuhi syarat spesialitas, ditentukan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT bahwa di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:
a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
b. Domisisli pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf (a), dan apabila mereka ada yang berdomisili diluar Indonesia baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisli pilihan itu tidak dicantumkan, Kantor PPAT tempat pembuatan Akta pembarian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;
c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang meliputi juga nama dan identitas debitor, kalau pemberi Hak Tanggungan bukan debitor;
d. Nilai tanggungan
e. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
Ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUHT tersebut di atas menunjukkan adanya asas spesialitas pada Hak Tanggungan, baik
40 Xxxxx Xxxxxxx, Op.Cit, hlm, 432
mengenai subjek, objek, maupun utang yang dijamin. Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UUHT mengemukakan bahwa ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya Akta pemberian Hak Tanggungan. Tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut pada ayat ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan mengakibatkan APHT yang bersangkutan batal demi hukum.41
Dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji yang diberikan oleh kedua belah pihak, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT. Dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT ditentukan bahwa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain :
a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
c. Xxxxx yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera;
d. Xxxxx yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
41 ST. Xxxx xxxxxxxxx, Hak Tanggungan, Asas-asas,Ketentuan-ketentuan Pokok Dan Masalah Yang di Hadapi Oleh Perbankan, Alumni, Bandung, 1999, hlm.143
e. Xxxxx bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;
f. Xxxxx yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan yang pertama, bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
g. Xxxxx bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
h. Xxxxx bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
i. Xxxxx bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;
j. Xxxxx bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan
k. Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).
Pasal 11 ayat (2) berbeda dengan Pasal 11 ayat (1), apa yang disebut dalam ayat (1) merupakan muatan wajib, sedangkan apa yang disebut dalam ayat (2) berupa janji-janji yang sifatnya fakultatif, dalam arti boleh dikurangi ataupun ditambah, asal tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan. Dengan dicantumkannya janji-janji tersebut dalam APHT, yang akan disimpan di Kantor Pertanahan yang administrasinya bersifat terbuka untuk umum dan yang salinannya menjadi bagian dari sertipikat Hak Tanggungan juga terpenuhi syarat publisitas, dengan demikian janji-janji tersebut mempunyai sifat mengikat bagi pihak
ketiga.42
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan, Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pada intinya maksud ketentuan pasal-pasal tersebut di atas adalah PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. Dalam kedudukannya sebagaimana disebutkan di atas, maka akta-akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik.
42 Xxxxx Xxxxxxx, Op.Cit, hlm. 439
Pengertian perbuatan hukum “pembebanan hak atas tanah” yang pembuatan aktanya merupakan kewenangan PPAT, meliputi pembuatan akta Hak Guna Bangunan atas Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan pembuatan aktanya dalam rangka pembebanan Hak Tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini.43
Satu Hak Tanggungan dapat dibebankan pada lebih dari satu objek, dengan sendirinya pemberian dilakukan dengan satu APHT, dan ada kemungkinan seseorang PPAT diberi izin untuk membuat APHT yang objeknya lebih dari satu yang sebagian berada di luar wilayah kerjanya. Walaupun demikian karena administrasi pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh dan didasarkan pada wilayah masing-masing Kantor Pertanahan, objek- objek Hak Tanggungan tersebut semuanya harus berada di wilayah satu Kantor Pertanahan. Tidak mungkin dan tidak diperbolehkan seorang PPAT dengan izin siapapun (kalaupun ada pejabat yang secara keliru memberikan izin untuk itu) membuat APHT yang objeknya berada di wilayah lebih dari satu Kantor Pertanahan.44
Proses pemberian Hak Tanggungan dihadapan PPAT yaitu dengan dibuatkannya 2 (dua) lembar APHT yang semuanya asli (in originali), ditandatangani oleh pemberi Hak Tanggungan, kreditor penerima Hak Tanggungan dan dua orang saksi serta PPAT.
43 Xxxxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxx, Op.Cit, hlm 128
44 Xxxxx Xxxxxxx, Op.Cit, hlm 434
Dalam pembuatan APHT tidak ada minuut akta dan tidak juga dibuat salinannya dalam bentuk grosse. Lembar pertama akta tersebut disimpan di kantor PPAT lembar kedua dan satu lembar salinannya yang sudah diparaf oleh PPAT untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan sertipikat Hak Tanggungan, berikut warkah-warkah yang diperlukan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan.45
Apabila pemberi Hak Tanggungan karena satu dan lain hal tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT, maka pemberi Hak Tanggungan dapat menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disingkat SKMHT) dihadapan PPAT atau Notaris.
Sahnya suatu SKMHT selain harus dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus pula dipenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu :
a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan.
Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain”, dalam ketentuan ini misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan atau memperpanjang hak atas tanah
45 Ibid, hlm 434-435
b. Tidak memuat kuasa subtitusi
Yang dimaksud dengan pengertian subtitusi disini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Dengan demikian bukanlah merupakan subtitusi, apabila penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasannya untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada kepala cabangnya atau pihak lain.
c. Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan Kejelasan mengenai unsur-unsur pokok dalam pembebanan Hak Tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan perlindungan pemberi Hak Tanggungan
Konsekuensi apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan “batal demi hukum”, hal ini diatur dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT yang berbunyi “tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum. Hal ini berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT itu dikemukakan bahwa PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat Akta
Pemberian Hak Tanggungan, apabila Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut diatas.46
Menurut Pasal 15 ayat (3) UUHT, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Sedangkan menurut Pasal 15 ayat (4) UUHT, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.
Tanah yang belum terdaftar batas waktu penggunaan SKMHT ditentukan lebih lama dari pada tanah yang sudah didaftar, karena mengingat pembuatan APHT pada hak atas tanah yang belum terdaftar harus dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkuatan, yang terlebih dahulu perlu dilengkapi persyaratannya.47
Persyaratan bagi pendaftaran hak atas tanah yang belum terdaftar meliputi diserahkannya surat-surat yang memerlukan waktu untuk memperolehnya, misalnya surat keterangan riwayat
46 ST. Xxxx Xxxxxxxx, Op.Cit, hlm 105
47 Xxxxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxx, Op.Cit. hlm 147
tanah, surat keterangan dari Kantor Pertanahan bahwa tanah yang bersangkuatan belum bersertipikat, dan apabila bukti kepemilikan tanah tersebut masih atas nama orang yang sudah meninggal, surat keterangan waris.
Ketentuan mengenai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (3) dan (4) UUHT tersebut di atas tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagimana yang ditentukan oleh Pasal 15 ayat (5) UUHT. Dimana menurut penjelasan Pasal 15 ayat (5) UUHT tersebut, kredit tertentu yang dimaksud misalnya adalah kredit program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah, dan kredit lainnya yang sejenis. Penentuan berlaku batas waktunya SKMHT untuk jenis tersebut dilakukan oleh Menteri yang berwenang dibidang pertanahan setelah mengadakan kordinasi dan konsultasi dengan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan pejabat lain yang terkait.
Ketentuan pelaksanaan Pasal 15 ayat (5) UUHT tersebut adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepla BPN Nomor 4 tahun 1996 tentang penetapan batas waktu penggunaan surat kuasa membebankan Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu. Menurut Pasal 1 PMNA/KBPN tersebut dikatakan “SKMHT yang diberikan untuk menjamin
pelunasan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil”, dimana jenis-jenis Kredit Usaha Kecil yang dimaksud adalah :
a. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi :
1) Kredit kepada Koperasi Unit Desa
2) Kredit Usaha Tani
3) Kredit kepada Koperasi Primer untuk anggotanya
b. Kredit pemilikan rumah yang diberikan untuk pengadaan perumahan, yaitu :
1) Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m2 (duaratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2 (tujuhpuluh meter persegi)
2) Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 m2 (limapuluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m2 (tujuhpuluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya
3) Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana dimaksud huruf a dan b
c. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafond kredit tidak melebihi Rp. 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah), antara lain:
1) Kredit Umum Pedesaan (BRI)
2) Kredit Kelayakan Usaha (yag disalurkan oleh Bank Pemerintah).
Ketentuan mengenai batas waktu berlakunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dimaksud untuk mencegah berlarut-larutnya waktu pelaksanaan kuasa itu. Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan dibuatnya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang baru.48
Menurut ketentuan pasal 13 ayat (2) penyampaiannya wajib dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah ditandatanganinya, yaitu dengan cara datang sendiri ke Kantor Pertanahan atau dikirim dengan pos tercatat atau pun disampaikan melalui penerima HT yang bersedia menyerahkannya ke Kantor Pertanahan.
Keterlambatan pengiriman berkas tersebut tidak mengakibatkan batalnya APHT yang bersangkutan, maka walaupun pengirimannya terlambat Kepala Kantor Pertanahan tetap wajib memprosesnya, akan tetapi PPAT bertanggungjawab terhadap semua akibat, termasuk kerugian yang diderita pihak- pihak yang bersangkutan yang disebabkan oleh keterlambatan pengiriman berkas tersebut. Misalnya Hak Tanggungan yang diberikan tidak dapat didaftar, karena tanah yang bersangkutan
48 Ibid, hlm. 149
telah terlebih dahulu terkena sita jaminan, demikian juga dalam memilih cara pengirimannya. Risiko mengenai tidak terlaksananya ketentuan UUHT yang diakibatkan oleh pemilihan cara yang tidak tepat, menjadi tanggungjawab PPAT yang bersangkutan dan juga akan mempengaruhi penilaian terhadap pelaksanaan tugasnya oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Alat-alat bukti yang digunakan oleh PPAT dalam pembuatan APHT dan surat-surat dokumen yang wajib disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan terdapat rinciannya dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu tergantung pada keadaan objek Hak Tanggungan.
Dalam Pasal 114 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997 disebutkan bahwa:
“untuk pendaftaran Hak Tanggungan yang objeknya berupa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang sudah terdaftar atas nama pemberi Hak Tanggungan wajib selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta tersebut menyerahkan kepada Kantor Pertanahan berkas yang diperlukan yang terdiri dari :
a) Surat pengantar dari PPAT yang dibuat rangkap 2 (dua) dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan;
b) Surat permohonan pendaftaran Hak Tanggungan dari penerima hak tanggungan;
c) Fotocopy surat bukti identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
d) Sertipikat asli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi objek Hak Tanggungan;
e) Lembar ke-2 Akta Pemberian Hak Tanggungan;
f) Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf oleh PPAT yang bersangkutan untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan sertipikat Hak Tanggungan;
g) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, apabila pemberian hak Tanggungan dilakukan melalui kuasa.
Penyampaian berkas di atas dilakukan dengan surat pengantar PPAT, yang dibuat rangkap 2 (dua) dan menyebut secara lengkap jenis surat-surat dokumen yang disampaikan. Ketentuannya dibuat secara rinci untuk memastikan tanggal penerimaan surat-surat dokumen tersebut secara lengkap dan dengan demikian dapat dipastikan tanggal pembuatan Buku Tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan49
Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak yang lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan, akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan, artinya bahwa pemberian Hak Tanggungan dan pembuatan APHT- nya dapat dilakukan dalam keadaan tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan belum bersertipikat. Permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut diajukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dengan demikian pembuatan APHT tidak perlu menunggu sampai hak atas tanah yang dijadikan jaminan bersertipikat atas nama pemberi Hak
49 Xxxxx Xxxxxxx, Op.Cit, hlm. 435
Tanggungan. Adapun Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan konversi hak- hak yang lama menjadi Hak Milik menurut UUPA. 50
Apabila objek berupa hak atas tanah yang belum terdaftar, karena belum ada sertipikat, sebagai gantinya diserahkan Surat Keterangan dari Kantor Pertanahan atau pernyataan dari pemberi Hak Tanggungan, bahwa tanah yang bersangkutan belum terdaftar. Dokumen-dokumen lain yang disertakan adalah apa yang diperlukan untuk mendaftar pertama kali hak atas tanah yang bersangkutan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 dan Pasal 76 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor 3 tahun 1997.51
Menurut Pasal 39 ayat (1) F Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PPAT wajib menolak permintaan untuk membuat APHT, apabila tanah yang akan dijadikan objek Hak Tanggungan dalam sengketa atau perselisihan. Karena umumnya PPAT tidak mengetahui ada tidaknya sengketa mengenai tanah yang bersangkuatan, hal tersebut wajib ditanyakan kepada pihak pemberi Hak Tanggungan, jika jawabannya tidak tersangkut dalam suatu sengketa, di dalam APHT perlu
50 Ibid, hlm. 436
51 Ibid
dicantumkan pernyataan tersebut sebagai jaminan bagi kreditor penerima Hak Tanggungan.
Mengenai masalah tersebut di atas ditentukan dalam Pasal
100 PMNA Nomor 3 tahun 1997, bahwa PPAT wajib menolak membuat APHT, apabila olehnya diterima pemberitahuan tertulis, bahwa yang akan dijadikan objek Hak Tanggungan sedang disengketakan dari orang atau badan hukum yang menjadi pihak dalam sengketa. Pemberitahuan itu disertai dokumen laporan kepada pihak yang berwajib atau surat gugatan ke Pengadilan.52
B. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan
Pengertian pendaftaran adalah pencatatan adanya pembebanan, penghapusan, peralihan, pemecahan, penggabungan, hak sita, ganti nama dan lain-lain dalam kegiatan pendaftaran tanah, pada daftar-daftar di Kantor Pertanahan.53
Pasal 13 UUHT menetapkan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Dari pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dengan memberikan Hak Tanggungan saja, artinya dengan hanya menandatangani APHT- nya saja tidak lahir Hak Tanggungan dan karenanya perlu ditindaklanjuti dengan pendaftaran.
Peristiwa lahirnya Hak Tanggungan merupakan peristiwa yang penting sekali sehubungan dengan munculnya hak tagih
52 Ibid, hlm 348
53 Xxxxxx Xxxxxx, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,hlm.174
preferen dari kreditor, menentukan tingkat atau kedudukan kreditor terhadap sesama kreditor Preferent dan menentukan posisi kreditor dalam hal ada sita jaminan atas benda jaminan. Hal ini berbeda dengan kreditor konkuren yang akan mendapat pembayaran utang setelah pembayaran kreditor preferent lunas, apabila ada sisa, maka sisa harta benda debitor akan dibagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor konkuren secara berimbang.
Dalam rangka mengatur lebih lanjut mengenai pendaftaran Hak Tanggungan, Menteri Negara Agraria/Kepala BPN telah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 1996 tentang pendaftaran Hak Tanggungan.
kewaiban pendaftaran Hak Tanggungan sebagai perwujudan untuk memenuhi syarat publisitas dari Hak Tanggungan. Salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas, asas publisitas dapat diketahui dari pasal 13 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa:
“pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan oleh karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga”.
Dalam hal ini Hak Tanggungan tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Dengan selesai dilakukannya pendaftaran Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan yang bersangkutan lahir dan kreditor penerima Hak Tanggungan menjadi pemegang Hak
Tanggungan dengan mendapatkan hak preferent (utama).
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.54
Pendaftaran Hak Tanggungan telah ditentukan batas jangka waktunya, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan tanggal pembuatan Buku Tanah Hak Tanggungan itulah yang ditetapkan sebagai hari lahirnya Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Dalam hal pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan yang dibuat oleh Kantor Pertanahan tidak berlarut-larut sehingga dapat menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi kreditor, maka dalam Pasal 13 ayat (4) UUHT telah ditetapkan satu tanggal yang pasti sebagai tanggal buku-tanah Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh yang dihitung setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan untuk pendaftarannya. Lebih lanjut diatur bahwa apabila hari ketujuh merupakan hari libur, maka buku-tanah Hak Tanggungan tersebut diberi tanggal berdasarkan hari kerja berikutnya. Xxx Xxxxxxxxan lahir pada hari tanggal
54 Purwahi dPatrik dan Xxxxxxx, Op.cit, hlm.131
buku-tanah Hak Tanggungan bersangkutan.
Pada penjelasan Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa penetapan tanggal yang pasti sebagai tanggal penetapan buku tanah Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh dihitung dari hari dipenuhinya persyaratan berupa surat-surat untuk pendaftaran secara lengkap adalah agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tersebut tidak berlarut- larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum.
Uraian dasar perhitungan hari ketujuh, sebagaimana tersebut pada pasal 13 ayat (4) UUHT berbeda dengan penjelasannya, dimana penjelasannya mengatakan hari ketujuh dihitung “dari” hari dipenuhinya persyaratan, sedangkan pada bunyi pasalnya dihitung “setelah” penerimaan secara lengkap. Untuk tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, maka Menteri Negara Agraria/Kepala BPN menjelaskan dalam suratnya tertanggal 30 Mei 1996, Nomor 110-1544 bahwa:
”Kedua istilah tersebut, tidak mengakibatkan perhitungan berbeda. Untuk memudahkannya hendaknya dipergunakan cara menghitung sebagai berikut : Hari pertama setelah (atau dari) hari penerimaan dan pemenuhan berkas secara lengkap adalah hari berikut setelah (atau dari) hari penerimaan berkas atau hari pembukuan hak. dan
hari kedua adalah hari berikutnya lagi. Demikian seterusnya sehingga dapat ditentukan hari ketujuah. Jika hari ketujuh ini kebetulan jatuh pada hari libur pembukuan Hak Tanggungan diberi bertanggal hari kerja berikutnya”.
Pelaksanaan ketentuan Pasal 13 ayat (4) berikut penjelasannya yang lebih lanjut diuraikan lebih terperinci dengan surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, yang memberi konsekuensi bagi petugas pendaftaran Hak Tanggungan pada seluruh Kantor Pertanahan di Indonesia untuk melakukan proses pendaftaran Hak Tanggungan secara transparan dan terbuka. Kemudian setelah semua persyaratan untuk pendaftarannya telah dinyatakan lengkap, Kantor Pertanahan harus memberi tanda bukti penerimaan berkas yang sah, sehingga dengan demikian pemohon (kreditor/pemegang Hak Tanggungan atau kuasanya) berdasarkan tanggal yang tercantum pada bukti penerimaan berkas tersebut dapat memperkirakan waktu penyelesaian proses pendaftaran Hak Tanggungannya.
Kepastian tanggal buku tanah itu dimaksudkan agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi kepastian hukum, dengan adanya hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan itu lahir, asas publisitas terpenuhi dengan dibuatnya buku tanah Hak Tanggungan dan Hak Tanggungan mengikat pihak ketiga.55
Proses pendaftaran Hak Tanggungan adalah sebagai berikut56 :
55 Ibid, hlm 131-132
56 Xxxxx Xxxxxxx, Op.Cit, hlm 445-446
a. Pembukuan di dalam buku tanah Hak Tanggungan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Pendaftaran Hak Tanggungan oleh Kepala Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam APHT serta berkas pendaftarannya yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatnya buku tanah Hak Tanggungan, yang bentuknya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tentang Pendaftaran Tanah, dengan dibuatnya buku tanah tersebut Hak Tanggungan lahir dan kreditor menjadi kreditor pemegang Hak Tanggungan, dengan kedudukan mendahulu daripada kreditor–kreditor yang lain.
b. Tanggal kelahiran Hak Tanggungan
Mengingat pentingnya saat kelahiran Hak Tanggungan tersebut bagi kreditor oleh UUHT ditetapkan secara pasti tanggal pembuatan buku tanah yang bersangkutan dalam Pasal 13 ayat (4), tanggal tersebut adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Tanggal penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran Hak Tanggungan adalah:
1) Apabila objek Hak Tanggungan berupa Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan hak-hak atas tanah yang sudah didaftar atas nama pembari hak tanggungan: tanggal penerimaan berkasnya PPAT, yang dinyatakan pada lembar kedua surat pengantar PPAT yang memuat tandatangan Petugas Kantor Pertanahan dan disampaikan kembali kepada PPAT yang bersangkutan;
2) Apabila objek Hak Tangungan berupa Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan hak-hak atas tanah yang sudah didaftar tetapi belum dicatat atas nama pemberi Hak Tanggungan : tanggal pencatatan peralihan haknya pada Buku-tanah dan sertipikat haknya atas nama pemberi Hak Tanggungan;
3) Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang memerlukan pemisahan atau pemecahan hak atas tanah induk yang sudah didaftar dan pendaftaran haknya atas nama pemberi Hak Tanggungan terlebih dahulu: tanggal selesainya pemisahan atau pemecahan hak tersebut dan dibuatnya Buku-tanah dan diterbitkan sertipikat haknya atas nama pemberi Hak Tanggungan;
4) Apabila objek Hak Tanggungan berupa Hak Milik bekas hak milik adat yang belum didaftar: tanggal dibuatnya Buku- tanah dan diterbitkan sertipikat Hak Milik yang bersangkutan atas nama pemberi Hak Tanggungan.
c. Pencatatan adanya Hak Tanggungan dalam Buku-tanah dan sertipikat objek Hak Tanggungan.
Setelah dibuat Buku-tanahnya adanya Hak Tanggungan tersebut oleh Kepala Kantor Pertanahan dicatat pada Buku- tanah dan menyalinnya pada sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dijadikan jaminan. Dengan demikian selesailah acara pendaftran Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Sertipikat hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang telah dibubuhi salinan catatan adanya Hak Tanggungan tersebut, diserahkan kepada pemegang haknya, kecuali apabila ada janji tertulis untuk diserahkan kepada pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan
d. Objek-objek Hak Tanggungan yang berbeda tingkat penyelesaian pendaftarannya.
Ada kemungkinan bahwa yang dijadikan objek Hak Tanggungan dua atau lebih hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang masing-masing berbeda tingkat penyelesaian pendaftarannya. Semuanya terletak dalam wilayah satu Kantor Pertanahan dan dimiliki oleh satu pemberi Hak Tanggungan atau lebih. Pembuatan buku tanah Hak Tanggungan dan pencatatannya pada buku tanah serta sertipikat hak-hak yang bersangkutan diberi tanggal hari ketujuh setelah tanggal
pembukuan hak yang terakhir atas nama pemberi hak tanggungan, dengan ketentuan, bahwa apabila hari ketujuh tersebut jatuh pada hari libur, buku tanah hak tanggungan dan pencatatan tersebut diberi tanggal hari kerja berikutnya, hal ini diatur dalam Pasal 118 PMNA/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tentang Pendaftaran Tanah.
e. Arti pentingnya tanggal pembukuan
Kepastian mengenai tanggal kelahiran Hak Tanggungan tersebut bukan saja penting bagi diperolehnya kedudukan yang istimewa oleh kreditor, tetapi juga bagi penentuan peringkat Hak Tanggungannya, apabila ada kreditor pemegang Hak Tanggungan yang lain. Demikian juga jika Hak Tanggungan sudah didaftar, kedudukan kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan tidak terpengaruh oleh adanya sita jaminan yang diletakkan kemudian. Tetapi apabila sita jaminan diletakkan sebelum tanggal hari ketujuh, Hak Tanggungan yang diberikan tidak dapat didaftar, karena pemberian Hak Tanggungan tidak lagi diperbolehkan melakukan perbuatan hukum mengenai objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Bahwa kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk memberikan Hak Tanggungan harus ada pada saat pendaftarannya.
Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) UUHT menentukan bahwa
sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 14 ayat (4) UUHT ditentukan bahwa sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) UUHT, dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, namun kreditor dapat memperjanjikan lain dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, yaitu agar sertipikat hak atas tanah tersebut diserahkan kepada kreditor.57
Setelah sertipikat Hak Tanggungan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan dan sertipikat hak atas tanah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tangungan diserahkan oleh Xxxxxx pertanahan kepada pemeganag Hak Tanggungan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (5) UUHT.
5. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
Pada dasarnya pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan oleh pemilik sendiri hal ini sesuai dengan asas umum yang berlaku, bahwa pada dasarnya tindakan hukum harus dilakukan oleh yang berkepentingan sendiri. Hal tersebut bukan berarti tidak dapat disimpangi apabila suatu keadaan menghendakinya. Apabila suatu
57 ST, Xxxx Xxxxxxxx, Op.Cit, hlm. 146
tindakan hukum tidak dapat dilakukan oleh yang berkepentingan sendiri pada suatu keadaan, maka ia dapat menguasakan tindakannya tersebut pada seseorang yang ditunjuknya, sehingga apabila pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menghadap sendiri kepada PPAT pada saat pembuatan APHT, maka ia dapat menunjuk seseorang untuk bertindak atas namanya dengan terlebih dahulu memberikan SKMHT.
Menurut ketentuan Pasal 1171 ayat (2) KUH Perdata, kuasa untuk memasang hipotik harus dibuat dengan akta otentik. Di dalam praktiknya akta otentik itu adalah akta Notaris, tidak demikian halnya dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggugan (SKMHT). Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT. Dengan kata lain, sekalipun harus dibuat dengan akta otentik, pilihannya bukan hanya dengan akta Notaris saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta PPAT.58
Sahnya SKMHT selain harus dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus pula dipenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu, yaitu:
a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan Hak Tanggungan;
b. Tidak memuat kuasa subtitusi;
58 Ibid, hlm 103.