RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA
Nomor 23/PUU-XX/2022
“Ketentuan Klausula Baku Pada Dokumen Dan/Atau Perjanjian”
I. PEMOHON
Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxx
Kuasa Hukum:
Xxxx Xxxxxxx Xxxxx Xxxxx, S.H., dkk, Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 3 Februari 2022.
Selanjutnya disebut sebagai Pemohon;
II. OBJEK PERMOHONAN
Permohonan Pengujian Materiil Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa Ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar”
2. Bahwa kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi tersebut telah dituangkan juga kedalam berbagai peraturan perundang-undangan, yakni (i) Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011; dan (ii) Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Bahwa Selain itu, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur jenis dan hierarki kedudukan UUD 1945 lebih tinggi daripada Undang- Undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang;
4. Bahwa Pemohon memohon untuk melakukan pengujian Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili permohonan ini.
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)
1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.”
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 11/PUU-V/2007, juga menyebutkan tentang kapasitas Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, yaitu:
a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.
3. Bahwa Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia dimana dalam hal ini, Pemohon pengguna transportasi online dalam beraktivitas sehari-hari.
4. Bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 11/PUU- V/2007, Pemohon merasa perlu penting untuk menjelaskan kronologis yang mengakibatkan Pemohon dirugikan secara langsung atas kata “Kerugian” yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPer yang dimaknai termasuk juga honorarium atas Jasa Hukum dari Penggugat kepada Pemohon incasu Tergugat.
5. Bahwa adapun kronologi dari kerugian konstitusional yang dialami Pemohon adalah sebagai berikut:
a. Bahwa karena mobilitas yang tinggi, dimana kala itu Pemohon berkuliah di UI, bekerja di DPRD DKI, riset skripsi di DPR RI, Pemohon pergi kemanapun menggunakan Grab Bike sehingga pemohon berhasil menyelesaikan challenge Xxxxxxxxxx pada 8 Agustus 2019.
b. Namun, reward sebesar Rp 1.000.000,00 tidak didapatkan Pemohon. Pemohon bingung dan segera mengkontak Grab Indonesia untuk menanyakan hal
tersebut. Pemohon hanya mendapat jawaban, “Menanggapi email Anda mengenai Challenges (Jugglenaut), mohon kesediaan dan kesabarannya untuk menunggu hingga proses ini selesai”
c. Hingga 21 Agustus 2019, yang mana sudah melewati jangka waktu, reward tetap tidak diberikan. Pemohon menghubungi Grab Indonesia kembali dan juga mengirimkan peringatan, yang lalu dijawab, “Anda tidak perlu khawatir, dan mohon kesediaannya untuk menunggu proses verifikasi hingga selesai, periode berakhir pada tanggal 31 Agustus 2019”.
d. Selain sudah melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sekarang terjadi pengingkaran terhadap ketentuan yang sudah diubahnya sendiri, padahal dijanjikan 7 hari kerja, namun sekarang Pemohon diminta menunggu hingga akhir bulan.
e. Pemohon tetap beritikad baik menunggu hingga 31 Agustus 2019 yang jatuh pada hari Sabtu. Namun, Pemohon tidak kunjung mendapatkan reward tersebut.
f. Sebagai itikad baik, Pemohon kemudian menunggu hingga hari Senin, 2 September 2019. Namun, tetap tidak ada reward, bahkan juga tidak ada keterangan atau penjelasan apapun,
g. Pemohon berpandangan bahwa gugatan Pemohon bukanlah hanya karena tidak diberikannya reward. Pemohon mempermasalahkan perbuatan Grab yang seenaknya mengubah klausula baku padahal perbuatan tersebut dilarang, bahkan mengingkari juga ketentuan yang sudah diganti dengan seenaknya sendiri, dan bahkan baru memberikan reward setelah digugat dahulu. Pemohon berharap ada refleksi untuk memperbaiki diri dari Grab Indonesia sendiri sehingga Pemohon melanjutkan perkara tersebut.
h. Perkara tersebut akhirnya diputus NO karena ada ketentuan klausula baku dalam penggunaan aplikasi Grab, bahwa sengketa antara Grab dan konsumen harus diselesaikan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia, bukan Pengadilan Negeri.
6. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon dengan diberlakukannya Pasal 18 ayat
(1) UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
7. Bahwa berdasarkan uraian diatas, kerugian konstitusional telah terjadi kepada Pemohon. Maka Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon Pengujian Undang-Undang dalam perkara a quo karena telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi beserta Penjelasannya dan syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007.
V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945
A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 8 ayat (1)
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945.
1. Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2. Pasal 33 ayat (4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(4)
VI. ALASAN PERMOHONAN
1. Bahwa tidak dicantumkannya kepastian dalam penentuan penyelesaian sengketa yang terdapat dalam klausula baku, maka Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin adanya pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2. Bahwa berdasarkan pernyataan pasal di atas, frasa “kepastian hukum yang adil” terdiri dari 2 (dua) rumusan kata yaitu kepastian hukum dan adil.
3. Bahwa suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk.
4. Bahwa terkait dengan frasa “perlakuan yang sama dihadapan hukum”, Berdasarkan Pasal 7 Declaration of Human Rights menyatakan bahwa:
“Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.”
5. Bahwa dalam Hukum perjanjian, Salah satu asas hukum yang dianut adalah “asas kebebasan berkontrak”, yang berarti setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat perjanjian macam apapun, sepanjang perjanjian itu dibuat secara sah dan beritikad baik, serta tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak dan hak asasi manusia. Pemahaman terhadap asas ini membawa pengertian bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengikatkan dirinya pada orang lain. Meskipun begitu, dalam era modern saat ini, Perusahaan-perusahaan menciptakan bentuk kontrak sebagai bagian untuk menstabilkan hubungan pasar. Bentuk kontrak yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak yaitu perjanjian baku (klausula baku).
6. Bahwa menurut Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen, Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Kemudian Menurut Xxxx. Xxxxxxx Xxxxxxx, pakar perlindungan
konsumen, Perjanjian baku merupakan perjanjian yang didalamnya terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pelaku usaha, tanpa mengikutsertakan konsumen dalam menyusun kontrak, sehingga konsumen tidak memiliki pilihan lain, dan dalam keadaan dibawah kekuasaannya. Sedangkan klausula baku adalah pasal-pasal yang terdapat dalam perjanjian baku. baik berbentuk elektronik/digital atau non-digital.
7. Bahwa tidak adanya kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum terbukti bahwa pelaku usaha menetapkan perihal penyelesaian sengketa secara sepihak hal tersebut menimbulkan rasa ketidakadilan serta merugikan pihak konsumen.
8. Bahwa perihal penyelesaian sengketa mempunyai pilihan dapat dilakukan di pengadilan atau di luar pengadilan secara sukarela seperti yang tertuang dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun kenyataannya hal tersebut tidak dapat dilakukan sehingga tidak terpenuhinya hak konsumen.
9. Bahwa frasa “dapat” dalam ketentuan tersebut menjadi tidak relevan ketika pelaku usaha menetapkan forum penyelesaian sengketa secara sepihak dalam klausula baku. Yang mana mengingat bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
10. Bahwa dalam dunia bisnis sering terdapat ketidakseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen. Terlebih lagi jika terkait masalah Xxxxxxxx Xxxx, konsumen cenderung tidak memiliki andil untuk menentukan isi nya, dan pelaku usaha dapat sesuai keinginannya memasangkan klausula baku baik pada perjanjian ataupun pada ketentuan yang dibuatnya untuk melindungi dirinya dari konsumen. Ketidakseimbangan hubungan tersebut merupakan salah satu alasan munculnya sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, yang dalam konteks terjadi perselisihan atau sengketa diantara para pihak dalam perjanjian, forum penyelesaian sengketa telah ditentukan berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU 8/1999
11. Bahwa beberapa aplikasi perdagangan elektronik (e-commerce) seperti diuraikan di atas, telah mencantumkan klausula baku berkaitan dengan pilihan forum (choice of forum) dan pilihan hukum (choice of law) dalam penyelesaian sengketa yang timbul. Dalam hal demikian secara normatif telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (2) UU 8/1999. Dalam hal terjadinya sengketa konsumen maka pilihan untuk menentukan hukum dan forum penyelesaian sengketa apa yang akan digunakan harus ditetapkan atas dasar kesepakatan para pihak dengan mempertimbangkan kemampuan masing-masing pihak secara seimbang. Pencantuman pilihan forum dan hukum melalui klausula baku yang seperti demikian telah menimbulkan ketidakseimbangan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen dimana kedudukan konsumen hanya memiliki pilihan untuk menyetujui atau menolak kesepakatan tersebut
12. Bahwa apabila menggunakan forum arbitrase dengan memperhatikan ketentuan biaya perkara berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menetapkan bahwa biaya perkara arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah atau dibebankan kepada para pihak secara seimbang. Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan biaya perkara di Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
13. Bahwa besarnya biaya berperkara yang harus ditanggung apabila menggunakan forum penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut akan sangat memberatkan bagi masyarakat pencari keadilan yang dirugikan akibat adanya kebijakan-kebijakan dari penyelenggara aplikasi yang dapat berubah sewaktu- waktu. Dengan adanya pencantuman klausula baku berupa penetapan pilihan forum dan hukum penyelesaian sengketa pada nyatanya telah mengabaikan prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan dalam perekonomian nasional yang ditetapkan dalam konstitusi Indonesia
14. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 yang membatalkan ketentuan dalam Pasal 45 dan Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutuskan amar selain yang yang ditetapkan dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2), memberi perintah kepada pembuat undang-undang, dan rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
15. Bahwa berdasarkan uraian sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka dengan tidak adanya pelarangan bagi pelaku usaha untuk mencantumkan forum penyelesaian sengketa konsumen pada perjanjian baku secara nyata dan jelas telah bertentangan dengan semangan penyelenggaraan perekonomian nasional yang ditetapkan konstitusi guna mewujudkan kesejahteraan rakyat.
VII. PETITUM
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk juga dan juga
“.... menetapkan dan/atau mengatur upaya penyelesaian sengketa konsumen secara sepihak tanpa persetujuan dan kesepakatan konsumen.”
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
4. Atau apabila Xxxxxxx Xxxxx Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
.