KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN TIDAK TERTULIS ATAU PERJANJIAN LISAN
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN TIDAK TERTULIS ATAU PERJANJIAN LISAN
xxxxx://xxx.xxxxxxxxx.xxx.xx/0000/00/xxxxx-0000-xxx-xxxxxxx-xxxxxx-xxx-xxxxxxxxxx-xxxxxxx.xxxx
I. PENDAHULUAN
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat, terdapat berbagai bentuk kerjasama pada sektor ekonomi yang terjadi di masyarakat seperti jual beli, utang- piutang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, pinjam-pakai dan lain sebagainya. Perkembangan kerjasama tersebut semakin banyak menimbulkan perikatan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya yang menimbulkan berbagai macam perjanjian.
Pada sektor ekonomi, terdapat banyak hubungan bisnis yang terjadi antara para pihak yang berkepentingan. Suatu kesepakatan dalam hubungan bisnis akan dituangkan di dalam perjanjian. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari permasalahan pada saat pelaksanaan perjanjian. Perjanjian dibuat untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak karena terdapat kepastian mengenai hak dan kewajiban yang timbul bagi kedua belah pihak.
Pada umumnya perjanjian antara kedua belah pihak tersebut dibuat secara tertulis, di mana hak dan kewajiban antara para pihak jelas dan pasti secara tertulis. Lain halnya apabila perjanjian tidak dibuat secara tertulis atau disebut dengan perjanjian lisan, para pihak akan sulit apabila suatu saat diperlukan pembuktian atas perjanjian lisan tersebut dalam hal terjadi wanprestasi.
Perjanjian secara lisan banyak terjadi dalam pergaulan masyarakat sederhana, serta merta sering tidak disadari namun sudah terjadi kesepakatan, misalnya dalam kegiatan berbelanja di toko, dipasar-pasar untuk kebutuhan sehari-hari.1 Dengan kata lain perjanjian lisan akan menjadi sah apabila hak dan kewajiban dari para pihak telah terpenuhi. Sedangkan perjanjian tertulis lazimnya dilakukan di masyarakat yang lebih modern, berkaitan dengan bisnis yang hubungan hukumnya lebih kompleks, dan biasanya menggunakan akta otentik ataupun akta di bawah tangan, serta menggunakan judul perjanjian.2
Semakin berkembangnya masyarakat, akan semakin kritis pola pikir masyarakat dalam melakukan suatu hubungan hukum yang dituangkan ke dalam bentuk perjanjian. Dengan demikian, terhadap perjanjian secara tertulis maupun tidak tertulis/lisan harus diketahui akibat hukum yang akan timbul di kemudian hari. Secara teori, perjanjian lisan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dalam hal pembuktian dibandingkan dengan perjanjian secara tertulis yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Walaupun, pada kenyataannya dalam masyarakat, banyak perjanjian tertulis yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Hal ini erat kaitannya dengan rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.” Dalam praktik selama ini kita belum memiliki rumusan baku tentang perjanjian. Berbagai buku atau ketentuan undang- undang mengunakan istilah perjanjian dalam bentuk yang berbeda-beda seperti kontrak, perikatan, pertalian atau persetujuan.3
1 I Xxxxx Xxxxxx dan I Dewa Xxxxxx Xxx Xxxxxx Xxxxx. 2010. Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Denpasar-Bali:Udayana University Press. Hal. 52.
2 Ibid. Hal. 51.
3 Xxxxx Xxxxxx. Kepastian Hukum Perjanjian Lisan. Diunggah tanggal 17 Juni 2015. Diakses dari xxxx://xxxxxxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxx-0-xxxxx-xxxxx-xxxxx-xx-x-xxxx-x.xxxx pada tanggal 19 Maret 2020. Pukul 13:50.
II. PERMASALAHAN
Berkaitan dengan “Kekuatan Hukum Perjanjian Tidak Tertulis atau Perjanjian Lisan” dapat dikemukakan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)?
2. Bagaimana kekuatan mengikat dan pelaksanaan perjanjian tidak tertulis/lisan?
3. Bagaimanakah pembuktian secara hukum perjanjian tidak tertulis/lisan?
III. PEMBAHASAN
A. Pengaturan Perjanjian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
KUHPerdata adalah undang-undang yang merupakan sumber hukum formil sekaligus juga sumber hukum materil bagi hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia. Perjanjian diatur secara khusus dalam KUHPerdata, Buku III, Bab II tentang “Perikatan-perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian” dan Bab V sampai dengan Bab XVIII yang mengatur asas-asas hukum dan norma-norma hukum perjanjian pada umumnya, serta norma- norma hukum perjanjian yang mempunyai karakteristik khusus yang lebih dikenal dengan istilah perjanjian bernama (Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, 2012:32- 22).
Berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata mengenai perikatan, menjelaskan bahwa:
“Perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang.”4 Selanjutnya, Pasal 1333 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap orang lain atau lebih.”5
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni:6
1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 1233.
5 Ibid. Pasal 1333.
6 Ibid. Pasal 1320.
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab (causa) yang halal.
Persyaratan yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena berkenaan dengan subjek perjanjian. Sedangkan, persyaratan yang ketiga dan keempat berkenan dengan objek perjanjian dinamakan syarat objektif. 7
Perbedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar = voidable) suatu perjanjian. Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.8 Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut merupakan dasar lahirnya suatu perjanjian.
Di dalam hukum perjanjian kita mengenal lima asas penting yang sekaligus merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas tersebut adalah :
1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian
Kebebasan mengadakan perjanjian adalah salah satu asas dalam hukum umum yang berlaku di dunia. Asas ini memberi kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas yang memberi kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
7 Pasal 1320 KUHPerdata: Berikut Syarat Sah Perjanjian/Kontrak. Diakses dari xxxxx://xxx.xxxxxxxxx.xxx.xx/0000/00/xxxxx-0000-xxx-xxxxxxx-xxxxxx-xxx-xxxxxxxxxx-xxxxxxx.xxxx. Pada tanggal 19 Maret 2020. Pukul 13:34.
8 Ibid
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau tidak tertulis;
e. Menerima atau menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang bersifat rasional.
Semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi pembuatnya dengan kekuataan yang sama seperti undang-undang. Para pihak pembuat perjanjian bebas untuk membuat perjanjian dengan isi apa saja di dalam sebuah perjanjian dengan memperhatikan batasan-batasan hukum yang berlaku, termasuk didalamnya batasan norma kesusilaan yang hidup di tengah masyarakat.
2. Asas konsensualisme
Asas konsesualisme dapat ditelusuri dalam rumusan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal ini ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian itu sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas. Namun berbagai ketentuan undang-undang menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian harus dilakukan secara tertulis atau yang diharuskan dibuat dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (misalnya akta pendirian Perseroan Terbatas). Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas pacta sunt servanda
Asas ini diterjemahkan sebagai asas kepastian hukum terangkum dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Asas pacta sunt servanda menyatakan hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi atau campur tangan terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
4. Asas itikad baik
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa, “Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini menyatakan bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berlandaskan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak.
5. Asas kepribadian
Adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 dirumuskan, “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, kecuali untuk dirinya sendiri“. Pasal 1315 ini berkaitan dengan rumusan Pasal 1340 KUHPerdata, “Perjanjian-perjanjian hanya berlaku diantara pihak-pihak yang membuatnya”.9
Selain lima asas diatas, masih ada beberapa hal mendasar yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan perjanjian. Ketentuan ini berlaku universal dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Beberapa dari prinsip dasar tersebut adalah :
a. asas kepercayaan;
b. asas persamaan hukum;
c. asas keseimbangan;
d. asas kepastian hukum;
e. asas moral;
f. asas kepatutan;
g. asas kebiasaan; dan
h. asas perlindungan.10
9 Xxxxx Xxxxxx. Op Cit.
10 Ibid.
B. Kekuatan Mengikat dari Perjanjian secara Lisan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata tidak disebutkan secara tegas mengenai “perjanjian secara tertulis”. KUHPerdata hanya mendefinisikan perjanjian sebagai perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri terhadap orang lain. Meskipun demikian, secara garis besar perjanjian dapat dibagi berdasarkan bentuknya yaitu secara lisan dan secara tertulis. Perjanjian lisan adalah perjanjian yang dibuat para pihak dengan kesepakatan cukup secara lisan saja, sedangkan perjanjian tertulis dibuat dalam bentuk tertulis (kontrak) baik berupa akta otentik atau akta di bawah tangan. Kekuatan hukum kedua jenis perjanjian ini sesungguhnya tidak terletak pada bentuknya yaitu apakah tertulis ataupun secara lisan. 11
Membuat suatu perjanjian pada dasarnya tidak terikat dengan suatu bentuk tertentu. KUHPerdata tidak menyebutkan secara sistematis tentang bentuk perjanjian. Setiap pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kebebasan dalam membuat perjanjian, dalam arti bebas membuat perjanjian secara lisan atau tertulis. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk (Xxxxx X.X., 2003:9):
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Secara umum, perjanjian sesuai dengan bentuk dibedakan atas:
1. Perjanjian Lisan
Yaitu perjanjian yang kesepakatan/klausul yang diperjanjikan disepakati secara lisan. Perjanjian lisan seperti ini tetaplah sah, tetapi yang menjadi masalah adalah jika ada sengketa yang lahir terkait dengan perjanjian ini maka para pihak akan kesulitan melakukan pembuktian.
2. Perjanjian tertulis
Bentuk perjanjian ini ada 2 yaitu perjanjian tertulis dengan akta dibawah tangan dan perjanjian tertulis dengan akta otentik.
11 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx. Kekuatan Hukum Perjanjian Lisan. Diakses dari xxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xx.xx/xxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxx/ pada tanggal 19 Maret 2020. Pukul 10:06.
Perjanjian tertulis dengan akta dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak saja tanpa melibatkan pejabat yang berwenang. Bagaimana jika tidak disertai dengan materai? Apakah perjanjian itu sah? Perjanjian tanpa disertai materai tetap sah, namun demikian yang menjadi masalah adalah bukti tertulis dari perjanjian tanpa materai tersebut tidak bisa dijadikan alat bukti karena hakim akan menolak menjadikannya sebagai alat bukti. Hal ini dikarenakan UU Bea Materai kita mengatur tentang itu. Perjanjian dengan akta dibawah tangan ini masih memberikan ruang bagi salah satu pihak untuk mengingkari isi perjanjian.
Adapun yang dimaksud dengan perjanjian dengan akta otentik adalah perjanjian yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat yang berwenang.12
Dengan demikian, pada dasarnya perjanjian yang dilaksanakan secara lisan tanpa dituangkan dalam kesepakatan secara tertulis baik melalui perjanjian bawah tangan maupun perjanjian dengan akta otentik, tetap diakui dan sah dilakukan berdasar kesepakatan para pihak, namun memiliki kekurangan yakni lemah dari sisi pembuktian. Atas hal tersebut, untuk perjanjian-perjanjian tertentu, terdapat undang-undang yang menentukan pembuatan perjanjiannya dalam bentuk tertulis dalam akta otentik, sebagai berikut (Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, 2012:146):
a. Perjanjian hibah harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris, kecuali perjanjian hibah hak atas tanah (vide Pasal 1682 KUHPerdata);
b. Perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotik atas kapal harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris (vide Pasal 1171 KUHPerdata);
c. Perjanjian pengalihan piutang yang dijamin dengan hipotik harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris (vide Pasal 1172 KUHPerdata);
d. Perjanjian subrogasi harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris (vide Pasal 1401 sub 2 KUHPerdata);
e. Perjanjian peralihan (khususnya jual beli dan hibah) hak atas tanah, kecuali melalui lelang, untuk tanah-tanah yang sudah terdaftar harus dalam bentuk tertulis dalam akta pejabat pembuat akta tanah (vide Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997);
12 Xxxxx Xxxxxx. Op Cit.
f. Perjanjian peralihan (khususnya perjanjian jual beli dan hibah) hak milik atas tanah satuan rumah susun, kecuali melalui lelang, harus dalam bentuk tertulis dalam akta pejabat pembuat akta tanah (vide Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997);
g. Perjanjian pemindahan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun dengan lelang harus dalam bentuk tertulis dalam akta pejabat pembuat akta tanah (vide PP Nomor 24 Tahun 1997);
h. Perjanjian pemberian kuasa membebankan hak tanggungan harus dalam bentuk tertulis dalam akta pejabat pembuat akta tanah (vide Pasal 15 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
i. Perjanjian jaminan hak tanggungan harus dalam bentuk tertulis dalam akta pejabat pembuat akta tanah (vide Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
j. Perjanjian jaminan fidusia harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris (vide Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun1999);
k. Perjanjian pendirian firma harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris (vide Pasal 22 KUH Dagang);
l. Perjanjian pendirian koperasi harus dalam bentuk tertulis dalam akta pejabat pembuat akta koperasi (vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992);
m. Perjanjian pendirian yayasan harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris (vide Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001); dan
n. Perjanjian pendirian perseroan terbatas harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris (vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007).
Perjanjian yang telah ditentukan oleh Undang-Undang tersebut harus diterapkan sebagaimana mestinya, karena jika tidak diterapkan, maka akibat hukumnya adalah perjanjian-perjanjian yang dibuat menjadi tidak sah, sehingga batal demi hukum, dan tidak menimbulkan perjanjian (perjanjian dianggap tidak pernah ada) (Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, 2012:147).
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, perjanjian tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan harus berbentuk tertulis tidak dapat berbentuk lisan. Selain perjanjian sebagaimana disebutkan di atas, dapat dibuat secara lisan.
C. Pembuktian Perjanjian Tidak Tertulis/Xxxxx di Pengadilan
Dalam hukum acara perdata, terkait pembuktian di pengadilan terdapat 5 (lima) alat bukti yang diatur di dalam Pasal 1866 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:13
Alat-alat bukti tersebut terdiri dari:
1. Bukti tulisan;
2. Bukti dengan saksi;
3. Persangkaan;
4. Pengakuan; dan
5. Sumpah.
Seperti yang telah dijelaskan mengenai syarat sahnya perjanjian pada rumusan Pasal 1320 KUHPerdata di atas, tidak ada keharusan bahwa suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis. Dengan demikian, terhadap perjanjian secara tidak tertulis/perjanjian lisan juga memiliki kekuatan mengikat antara para pihak yang melakukan kesepakatan/perikatan.
Namun demikian, dalam proses pembuktian suatu perkara perdata, lazimnya alat bukti yang dipergunakan oleh pihak yang mendalilkan sesuatu (Vide Pasal 163 HIR) adalah alat bukti surat. Hal ini karena dalam suatu hubungan keperdataan, suatu surat/akta memang sengaja dibuat dengan maksud untuk memudahkan proses pembuktian, apabila di kemudian hari terdapat sengketa perdata antara pihak-pihak yang terkait.14
Terjadi hubungan perdata di antara para pihak dalam bentuk perjanjian, tetapi tidak didukung oleh bukti-bukti. Dalam persoalan seperti itu, jangan kan penyelesaian non litigasi, secara litigasi pun sangat sulit, sebab setiap dalil
13 Op Cit. Pasal 1866.
14 Xxxxx, Xxxxxx. Tentang Pembuktian Perjanjian Tidak Tertulis. Diunggah pada tanggal 29 Mei 2013. Diakses dari xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxxxx/xxxxxx/xx00000000x00x0/xxxxxxx-xxxxxxxxxx- perjanjian-tidak-tertulis/ pada tanggal 19 Maret 2020. Pukul 20:58.
yang akan dikemukakan harus dibuktikan. Permasalahan ini sering terjadi dalam perjanjian lisan, di mana salah satu pihak melakukan wanprestasi karena ia berdalih bahwa tidak pernah ada perjanjian. Kasus seperti itu perlu dikonstruksikan bukti-bukti agar perbuatan hukum itu dapat diselesaikan dengan dasar tuntutan yang jelas.15
Sebagai contoh dalam perjanjian utang-piutang secara lisan. Dalam hal suatu perjanjian utang-piutang secara lisan, maka alat-alat bukti lainnya selain alat bukti surat (vide: Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR) dapat diterapkan. Jika seorang pihak (Penggugat) ingin mendalilkan mengenai adanya suatu perjanjian utang-piutang secara lisan ke Pengadilan, maka Penggugat tersebut dapat mengajukan alat bukti saksi yang dapat menerangkan adanya perjanjian utang-piutang secara lisan tersebut. Dalam hal seorang Penggugat mengajukan saksi untuk menguatkan dalil mengenai adanya suatu perjanjian utang-piutang secara lisan, maka dikenal prinsip Unus Testis Ullus Testis yang ditegaskan dalam Pasal 1905 KUHPerdata, sebagai berikut: “Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka Pengadilan tidak boleh percaya”. Artinya bahwa seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau perjanjian, karena terdapat batas minimal pembuktian dalam mengajukan alat bukti saksi, yaitu paling sedikit dua orang saksi, atau satu orang saksi disertai dengan alat bukti yang lain, misalnya adanya pengakuan dari pihak lawan yang membuat perjanjian tersebut (vide: Pasal 176 HIR) atau dalam persangkaan (Pasal 173 HIR), misalnya sudah ada sebagian utang yang dicicil kepada Penggugat tersebut.16
Konstruksi hukum dengan saksi ini dapat dilakukan secara lisan, tetapi dengan ketentuan saksi tersebut tidak memiliki hubungan keluarga dengan para pihak (rumusan Pasal 1910 KUHPerdata) dan saksi cakap bertindak menurut hukum (rumusan Pasal 1330 KUHPerdata).17
15 Xxxxx Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx dan Igusti Xxx Xxxxx Xxxxxx. Hukum Perdata.Gakultas Hukum Univessitas Udayana.Kekuatan Mengikat Perjanian yang Dibuat Secara Lisan. Diakses dari xxxxx://xxx.xxxx.xx.xx/xxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxx/xxxxxxx/xxxx/00000/0000 pada tanggal 19Maret 2020. Pukul 10:55.
16 Xxxxx, Xxxxxx. Loc Cit.
17 I Xxxxx Xxxxxxxx dan I Xxxxx Xxxxxx. 2010. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Udayana University Press. Denpasar-Bali. Hal 40-41.
Terhadap pembuktian perjanjian tidak tertulis/lisan di pengadilan, telah terdapat Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 44/Pdt.G/2015/PN.Yyk yang menyatakan Xxx Xxxxxxx melakukan wanprestasi terhadap perjanjian lisan antara Xxxxxxx dengan Xxx Xxxxxxx. Bermula dari Xxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx membuat suatu perjanjian lisan yang isinya yaitu, bahwa Xxxxxxx membeli 3 (tiga) bidang tanah dan diatasnamakan Xxx Xxxxxxx, namun jika Xxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx tidak jadi menikah, Xxx Xxxxxxx harus mengembalikan ketiga tanah tersebut dan membaliknamakannya menjadi atas nama Xxxxxxx.
Ternyata Xxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx tidak jadi menikah, karena Xxx Xxxxxxx menikah dengan orang lain. Xxxxxxx meminta hak yang timbul dari perjanjian lisan tersebut namun Xxx Xxxxxxx menolaknya, justru Xxx Xxxxxxx menantang Xxxxxxx untuk diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Xxxxxxx xxxxxxxxx Xxx Xxxxxxx atas dasar wanprestasi di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Xxx Xxxxxxx dalam pembelaannya di Pengadilan Negeri Yogyakarta mendalilkan bahwa Xxx Xxxxxxx tidak pernah membuat perjanjian apapun dengan Xxxxxxx. Namun Pengadilan Xxxxxx Xxxxxxxxx tetap menyatakan Xxx Xxxxxxx melakukan wanprestasi.
Hakim dalam memutus perkara tersebut tentu saja menggunakan pertimbangan-pertimbangan. Adapun pertimbangan hukum yang menentukan perjanjian lisan antara Xxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx tetap memiliki kekuatan hukum, walaupun Xxx Xxxxxxx tidak mengakui/menyangkal perjanjian lisan tersebut. Kekuatan hukum yang dimaksud yaitu kekuatan untuk mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan juga kekuatan hukum dalam arti nilai pembuktian ketika perjanjian tersebut dijadikan sebagai alat bukti.
Pertimbangan Xxxxx dalam memutus perkara tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hakim mempertimbangkan dalil dari Xxxxxxx yaitu telah terjadi kesepakatan antara Xxxxxxx dengan Xxx Xxxxxxx secara musyawarah yang disaksikan beberapa orang/saksi bahwa ketiga tanah tersebut nantinya untuk hadiah pernikahan kedua belah pihak (Xxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx) dan apabila pernikahan batal maka ketiga tanah tersebut akan dikembalikan dan
Xxx Xxxxxxx akan membaliknamakan ketiga tanah tersebut kepada Xxxxxxx. Dalil Xxxxxxx tersebut telah dikuatkan oleh saksi Xxxx Xxxxxxxxx yang menerangkan bahwa ada kesepakatan lisan antara Xxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx yaitu bahwa maksud Xxxxxxx membeli tanah dengan diatasnamakan Xxx Xxxxxxx adalah untuk hadiah pernikahan Xxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx, namun jika pernikahan tidak jadi maka Xxx Xxxxxxx mengembalikan tanah-tanah tersebut kepada Xxxxxxx, dan juga saksi Xxxx Xxx Xxxxxxxx yang menerangkan bahwa maksud Xxxxxxx membeli tanah-tanah adalah untuk hadiah pernikahan Xxxxxxx dengan Tergugat karena waktu itu masih ada hubungan asmara antara Xxxxxxx dengan Tergugat, dan apabila tidak jadi menikah maka akan dikembalikan kepada Xxxxxxx.
Pertimbangan Hakim tersebut dapat menentukan kekuatan hukum perjanjian lisan antara Xxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx. Xxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx diwajibkan untuk membuktikan dalilnya masing-masing.18
Hal tersebut di atas berdasarkan Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”19
2. Pertimbangan Xxxxx berikutnya adalah Xxxxx menimbang bahwa Pasal 1313 KUHPerdata, menyebutkan “Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. ”Perjanjian yang demikian mengikat para pihak secara hukum untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan di dalam perjanjian itu”.20
3. Hakim mempertimbangkan Pasal 1338 KUHPerdata, menyebutkan ”bahwa semua perjanjian dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi
18 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxx dan Tuhana. Kekuata Hukum Perjanjian Lisan Apabila Terjadi Wanprestasi (Studi Putusan Pengadilan Xxxxxx Xxxxxxxxx Nomor 44/PDT.G/2015/PN.YYK). Privat Law Vol.IV No.2 Juli –Desember 2016. Hal 117-118
19 Pasal 1865 KUHPerdata.
20 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxx dan Tuhana. Loc Cit.
mereka yang membuatnya”. Pengertian ini berkaitan dengan asas pacta sunt servanda yang artinya bahwa perjanjian tersebut wajib dilaksanakan bagi para pihak yang membuatnya.21
4. Hakim menimbang di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat perjanjian; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal. Hakim menimbang, bahwa sepakat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara tertulis, lisan diam-diam, simbol-simbol tertentu. Oleh karena itu perjanjian lisan merupakan perjanjian yang sah karena memenuhi unsur kata sepakat yang terdapat di dalam Pasal 1234 KUHPerdata yang menyebutkan “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu,dan tidak berbuat sesuatu”. Apabila ada pihak yang tidak melakukan prestasi tersebut maka ia telah melakukan wanprestasi.22
IV. PENUTUP
Perjanjian diatur secara khusus dalam KUHPerdata, Buku III, Bab II tentang “Perikatan-perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian” dan Bab V sampai dengan Bab XVIII yang mengatur asas asas hukum dan norma-norma hukum perjanjian pada umumnya, serta norma-norma hukum perjanjian yang mempunyai karakteristik khusus yang lebih dikenal dengan istilah perjanjian bernama.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni:
1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab (causa) yang halal.
21 Ibid. Hal 119.
22 Ibid.
Di dalam hukum perjanjian kita mengenal lima asas penting yang sekaligus merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas tersebut adalah:
1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian
Semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi pembuatnya dengan kekuataan yang sama seperti undang-undang. Para pihak pembuat perjanjian bebas untuk membuat perjanjian dengan isi apa saja di dalam sebuah perjanjian dengan memeperhatikan batasan-batasan hukum yang berlaku.
2. Asas konsensualisme
Dapat ditelusuri dalam rumusan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal ini ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian itu sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas. Namun berbagai ketentuan undang-undang menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian harus dilakukan secara tertulis atau yang diharuskan dibuat dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (misalnya akta pendirian Perseroan Terbatas). Asas konsensulisme yang dikenal dalam KUHPerdata berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas pacta sunt servanda
Asas ini diterjemahkan sebagai asas kepastian hukum terangkum dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.
4. Asas itikad baik
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa, “Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
5. Asas kepribadian
Dari ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dapat dilihat bahwa KUHPerdata sendiri tidak menyebutkan secara tegas mengenai “perjanjian secara tertulis”. KUHPerdata hanya mendefinisikan perjanjian sebagai perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri terhadap orang lain. Meskipun demikian, secara garis besar perjanjian dapat dibagi berdasarkan bentuknya yaitu secara lisan dan secara tertulis.
Apabila suatu perjanjian lisan telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan rumusan Pasal 1320 KUHPerdata, maka tetaplah sah dan memiliki kekuatan hukum untuk menyatakan seseorang melakukan wanprestasi. Namun apabila perjanjian lisan tersebut disangkal/tidak diakui oleh pihak yang diduga melakukan wanprestasi, perjanjian lisan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menyatakan seseorang melakukan wanprestasi, karena perjanjian tersebut bisa benar adanya dan bisa juga tidak ada, tergantung dari pembuktian para pihak.
Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, Perjanjian secara lisan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang membuat karena para pihak harus mentaati apa yang telah disepakati di dalam perjanjian. Kewajiban yang timbul dari perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuat.
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Korea (Treaty On Extradition Between The Republic Of Indonesia And The Republic Of Korea)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kitab Undang-Undang HukumPerdata(burgrlijk Wetboek)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 44/Pdt.G/2015/PN.Yyk
Buku:
I Xxxxx Xxxxxx dan I Dewa Xxxxxx Xxx Xxxxxx Xxxxx. 2010. Implementasi Ketentuan- Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak. Denpasar- Bali:Udayana University Press
I Xxxxx Xxxxxxxx dan I Xxxxx Xxxxxx. 2010. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Udayana University Press. Denpasar-Bali
Xxxxxxxxxx, Xxxxxxxx. 2012. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalamPerspektif Filsafat, Teori,Dogmatik, dan Praktik Hukum. Bandung: CV.Xxxxxx Xxxx.
Xxxxx X.X. 2003. Hukum Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika
Jurnal:
Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxx dan Tuhana. Kekuatan Hukum Perjanjian Lisan Apabila Terjadi Wanprestasi (Studi Putusan Pengadilan Xxxxxx Xxxxxxxxx Nomor 44/PDT.G/2015/PN.YYK). Privat Law Vol.IV No.2 Juli –Desember 2016
Internet:
xxxxx://xxx.xxxxxxxxx.xxx.xx/0000/00/xxxxx-0000-xxx-xxxxxxx-xxxxxx-xxx-xxxxxxxxxx- kontrak.html
xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxxxx/xxxxxx/xx00000000x00x0/xxxxxxx- pembuktian-perjanjian-tidak-tertulis/. Xxxxxx Xxxxx. Tentang Pembuktian Perjanjian Tidak Tertulis.
xxxxx://xxx.xxxx.xx.xx/xxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxx/xxxxxxx/xxxx/00000/0000. Fajar Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx dan Igusti Xxx Xxxxx Xxxxxx. Kekuatan Mengikat Perjanjian yang Dibuat Secara Lisan. Hukum Perdata-Fakultas Hukum Universitas Udayana. xxxx://xxxxxxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxx-0-xxxxx-xxxxx-xxxxx-xx-x-xxxx-x.xxxx.
Xxxxx Xxxxxx. Kepastian Hukum Perjanjian Lisan. xxxxx://xxx.xxxxxxxxx.xxx.xx/0000/00/xxxxx-0000-xxx-xxxxxxx-xxxxxx-xxx- perjanjian-
kontrak.html. Pasal 1320 KUHPerdata: Berikut Syarat Sah Perjanjian/Kontrak. xxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xx.xx/xxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxx/. Xxxxxxx Xxxxx
Xxxxxxxx. Kekuatan Hukum Perjanjian Lisan.
Penulis :
Pelaksana BPK JDIH BPK Perwakilan Provinsi Jawa Tengah
Disclaimer :
Seluruh informasi yang disediakan dalam Tulisan Hukum adalah bersifat umum disediakan untuk tujuan pemberian Informasi Hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi.