Contract
UU CIPTA KERJA & ATURAN PELAKSANANYA:
UPAYA PERAMPASAN HAK-HAK RAKYAT ATAS
TANAH & HAK-HAK PEKERJA
UU CIPTA KERJA & ATURAN PELAKSANANYA:
UPAYA PERAMPASAN HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH & HAK-HAK PEKERJA
LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA
PENANGGUNG JAWAB:
Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxx Xxx Xxxxxxxx
PENULIS:
Citra Referandum M Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxx S
Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxx Rezki Nata
Xxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxx Widin Florestu Safaraldy Raenanda X. Xxxxxx Xxxxx Xxxxxx
Xxxxx Xxxxx Xxxxx
PENYUNTING:
Xxxx Xxxxxx Xxxx Xxxxxxx
XXXXXX COVER & TATA LETAK:
Xxxxxx Xxxxx
Cetakan Pertama, Februari 2022
ISBN 978-623-6015-05-6
PENERBIT:
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Jalan Diponegoro No. 00 Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxx, XXX Xxxxxxx 00000 Xxxxxxxxx
Telp : (021) 3145518 | Faks : (021) 3912377
E-Mail : xxxxxxxxxx@xxxxxxxxxxxx.xx.xx Website : xxx.xxxxxxxxxxxx.xx.xx
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun dan dengan cara apapun tanpa i<in tertulis dari penerbit.
COVER BUKU:
Landscape Gunung Salak, Xxxxxx Xxxxx. Foto Buruh & Demo dari: xxxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxx-0/xxxx/xxxx-xxxxx-xxxxxx- tuntut-kenaikan-upah-16-persen. xxxxx://xxx.xxxxxx.xxx/ tren/read/2020/10/09/070300165/omnibus-law-sudah-diterapkan- di-luar-negeri-bagaimana-efektivitasnya-?page=all.
Riset ini merupakan bagian dari Program Strengthening rule of law in Indonesia anchored in access to justice efforts that promote sustainable development, kerjasama LBH Jakarta, ASF, dan ILRC yang didukung oleh The Directorate General for Development Cooperation and Humanitarian Aid (DGD) of Belgium. Pendapat dan isi yang dimaksud dalam publikasi ini tidak merepresentasikan pendapat dari Pemerintah Belgia.
Kata Pengantar
"When injustice becomes law, resistance becomes duty."
Xxxxxx Xxxxxxxxx
Kemunduran total demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia ditandai dengan berlakunya sebuah Undang-Undang (UU) sapu jagat yang kita kenal dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Meski berbungkus isu ketenagakerjaan, UU ini juga mengatur berbagai hal yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan warga termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya warga negara.
Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja yang dilakukan secara ugal-ugalan oleh Pemerintah dan DPR memang sudah semestinya ditolak publik. Bukan hanya prosesnya yang tidak demokratis dan merusak tatanan pembentukan peraturan perundang-undangan yang ideal, substansi UU ini membahayakan hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Tak ayal, penolakan keras dari seluruh lapisan masyarakat terus disuarakan sejak kemunculannya. Tak terkecuali para akademisi. Untuk mengkritik sinis pemerintah, Xxxxxx Xxxxx Fakultas Hukum UGM, Prof. Xxxxx X. Sumardjono, menukil disertasi ex mahasiswa yang pernah dibimbingnya yang kini menjadi bagian dari pemerintah dan pendukung UU tersebut. UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah bentuk kongkrit regulasi yang berkarakter ortodoks, represif dan otoriter. Pesan tersiratnya, seharusnya tidak pernah disahkan di sebuah negara demokrasi.
Sayangnya, penolakan luas dan masif publik tidak digubris Pemerintah dan DPR. Bahkan pada peringatan hari Hak Asasi Manusia 2021 yang lalu, Presiden Xxxxxx justru berdalih UU ini adalah bentuk komitmen pemerintah menegakkan hak asasi manusia lewat peningkatan akses keadilan sosial, ekonomi, dan budaya. Klaim ini tentu menyakitkan dan membingungkan masyarakat karena faktanya UU Cipta Kerja justru menjadi alat pemerintah untuk melanggar hak asasi manusia warganya. Oleh karena itu, untuk membongkar dan membantah klaim asal-asalan pemerintah tersebut sudah semestinya ada informasi yang berbasis riset ilmiah yang dapat dibagikan ke publik.
Fatalnya, regulasi inkonstitusional ini malah dilegitimasi oleh lembaga yang diharapkan menjadi penjaga konstitusi dan demokrasi. MK tidak tegas membatalkan UU ini meski dinyatakan secara jelas inkonstitusional dalam putusannya karena dibuat dengan mengabaikan keterbukaan dan partisipasi publik. Paradoks putusan MK dalam JR UU Cipta Kerja menunjukkan kegagalan para hakim MK menjalankan perannya sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi.
Hasil penelitian yang diterbit dalam buku ini adalah penjelasan mengapa UU Omnibus Law sudah selayaknya untuk kita tolak. Analisis kritis terkait proses penyusunan hingga pengesahan, perubahan substansi dan dampak pemberlakuannya khususnya terkait isu perburuhan dan pertanahan menjadi fokus kajian.
Akhir kata, Semoga riset ini dapat semakin membuka pikiran kritis kita dan memperkuat advokasi penolakan terhadap pemberlakuan UU Cipta Kerja serta menjadi pengingat untuk kita semua sebagai pemilik kedaulatan dalam negara demokrasi untuk tidak lelah bersuara dan menggugat setiap regulasi maupun kebijakan otoriter yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum karena jika akhirnya berlaku akan menjerat dan merampas hak asasi manusia kita semua sebagai warga negara.
Selamat membaca!
Bekasi, 8 Februari 2022
Direktur LBH Jakarta
Xxxx Xxxxxxx, S.H, M.H.
Daftar Isi
Kata Pengantar III
Daftar Singkatan IX
Daftar Tabel X
Bagian I: Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 10
C. Tujuan Riset 10
D. Konsep Kunci 11
E. Metodologi Riset 15
Bagian II: Cacat Hukum dalam Proses Legislasi
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja dan Xxxaturan Pelaksananya 17
A. Proses Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Nuansa Politis dan Bertentangan
dengan Hukum Positif Indonesia 19
B. Cacat Formil dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksanaannya 25
C. Respon Masyarakat atas Pembentukan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja 30
1. Respons Masyarakat Melalui Advokasi:
Demonstrasi Hingga Mahkamah Konstitusi 31
2. Advokasi Melalui Jalur Litigasi (Mekanisme Peradilan) 43
D. Tindakan Represif Pemerintah terhadap Respon Masyarakat yang Menolak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja 46
1. Propaganda “UU yang Baik" dengan Melibatkan Figur Publik dalam Kampanye Omnibus Law UU Cipta Kerja 47
2. Intimidasi dan Pembubaran Diskusi terkait Omnibus Law 48
3. Upaya Pembungkaman melalui Kebijakan Keamanan
yang Represif 50
4. Serangan Digital 51
5. Stigmatisasi untuk Mendelegitimasi Gerakan 52
6. Penghalangan dan Pembubaran Aksi 52
7. Penggunaan Kekuatan Berlebih dan Brutalitas Aparat 53
8. Penangkapan Sewenang-wenang dan Upaya Kriminalisasi 54
E. Ketidakpastian Status Hukum UU Cipta Kerja Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 91/PUU-XVIII/2020 55
Bagian III: Praktik Fleksibilitas Ketenagakerjaan dan Pelanggaran Hak Pekerja Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan
Peraturan Pelaksananya 62
A. Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja dalam Sistem Kerja Kontrak
Pasca Pengesahan UU Cipta Kerja 62
B. Politik Upah Murah dan Pengabaian Hak atas Pekerjaan
yang Layak 67
C. Lemahnya Penegakan Hukum Pidana di Indonesia 70
D. Kemudahan Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing di Indonesia 75
E. Perpanjangan Waktu Kerja Lembur 78
F. Pengurangan Hak Cuti dan Hak Libur Bagi Pekerja 80
1. Perubahan Istirahat Mingguan Bagi Pekerja
Akibat Berubahnya Jam Kerja 80
2. Pengaturan Hak Istirahat Panjang 81
G. Perluasan Penerapan Sistem Outsourcing 84
1. Batasan Jenis Pekerjaan yang Dapat Dialihdayakan
(Outsourcing) Semakin Kabur dan Tidak Jelas 85
2. Ketidakjelasan Jaminan Perlindungan Bagi Pekerja
Xxxxxxxx (Outsourcing) 87
3. Pekerja Semakin Rentan Diputus Hubungan Kerjanya 88
4. Pengurangan Hak-Hak Pekerja Pasca PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja) 92
Bagian IV: Ancaman Perampasan Tanah Rakyat 99
A. Bank Tanah, Perpanjangan Tangan Kepentingan Investor 100
B. Hak Pengelolaan, Jenis Hak Baru dari Kekeliruan
Menafsirkan Hak Menguasai Negara 110
C. Sentralxxxxx Xxxxxxxxx 000
D. Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah Merampas
Ruang Rakyat 120
E. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun bagi Warga
Negara Asing dan Badan Usaha Asing 127
F. Pendaftaran Tanah Menghilangkan Kekuatan Alat Bukti
Tertulis Tanah Bekas Milik Adat 128
G. Perampasan Tanah atau Penggusuran Paksa atas
Nama Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum 130
H. Peta Digital Sebagai Dasar Pemanfaatan Ruang 135
1. Sentralisasi Pemanfaatan Ruang yang Berorientasi
pada Kelancaran Investasi Melalui Peta Digital 136
2. Peta Digital Mereduksi Kompleksitas dan Realitas Sosial-Ekologis sehingga Berpotensi Merampas
Ruang Hidup Masyarakat 138
I. Penyederhanaan Tata Ruang dan Kebijakan Strategis Nasional 139
J. Pergeseran Norma Pemanfaatan Tata Ruang dan Hak Gugat Masyarakat 141
K. Perlakuan Istimewa Bagi Investor Melalui Proyek Strategis
Nasional 143
1. Proyek Strategis Nasional Untuk Kepentingan Kapital? 144
2. Proyek Strategis Nasional: Mesin Perampas Lahan Rakyat 146
Bagian V: Penutup 149
A. Kesimpulan 149
B. Rekomendasi 161
1. Presiden Menerbitkan Perppu Pencabutan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja 161
2. Perlunya Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Pemeriksaan Xxxx Xxxxx Konstitusi terkait Pemeriksaan
Perkara Pengujian UU Cipta Kerja 164
3. Negara Membuka Ruang Partisipasi Publik Secara
Transparan dan Akuntabel 168
4. Menghentikan Metode Omnibus Law dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 170
5. Pemerintah Melakukan Tindakan Afirmasi untuk
Melindungi Hak Kelompok Minoritas dan Rentan 171
6. Menghentikan Represifitas Aparat Penegak Hukum
dalam Menghadapi Aspirasi Masyarakat 173
7. Xxxxxx Xxxxxx Sub Direktorat Pidana Ketenagakerjaan
di Kepolisian RI 174
8. Penguatan Lembaga – lembaga Independen Negara 177
9. Memperluas dan Memperkuat Kesadaraan Kritis serta
Solidaritas Warga 186
10. Memperbaharui Manajemen Konsolidasi Jaringan dalam Menghadapi Isu Bersama 188
11. Mengembangkan Konsep Advokasi Alternatif 189
12. Perlu Adanya Riset Lanjutan Mengurai Fenomena
Kemitraan di Indonesia 193
13. Membuka Kanal Pos Pengaduan Masyarakat Terdampak
UU Cipta Kerja 195
Daftar Pustaka 197
Daftar Singkatan
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BUMN : Badan Usaha Milik Negara
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah HAM : Hak Asasi Manusia
HGB : Hak Guna Bangunan
HMSRS : Hak Milik atas Satuan Rumah Susun HPL : Hak Pengelolaan
ITE : Informasi dan Transaksi Elektronik
JKP : Jaminan Kehilangan Pekerjaan Kepmen : Keputusan Menteri
Komnas HAM : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kompolnas : Komisi Kepolisian Nasional
KY : Komisi Yudisial
LBH : Lembaga Bantuan Hukum
MA : Mahkamah Agung
MK : Mahkamah Konstitusi
No. : Nomor
ORI : Ombudsman Republik Indonesia
OSS : Online Single Submission
PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa
Perppu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang PHK : Pemutusan Hubungan Kerja
Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah
PKWT : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu PKWTT : Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu PSN : Proyek Strategis Nasional
PT : Perseroan Terbatas
PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara RUU : Rancangan Undang-Undang
RUU CK : Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja SPMH : Special Procedure Mandate Holders
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar
YLBHI : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Daftar Tabel
Tabel 1. Pernyataan Sikap Jaringan Masyarakat Sipil 32
Tabel 2. Perbandingan Besaran Xxxx Xxxxxxxx dalam
UU Ketenagakerjaan dan PP No. 35 Tahun 2021 93
Tabel 3. Perbandingan Ombudsman Republik Indonesia dengan
Folketingets Ombudsmand Denmark 180
Tabel 4. Komparasi Kewenangan Komisi Yudisial Indonesia
dengan Komisi Yudisial di Mayoritas Negara Eropa 183
Bagian I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Semangat pembangunan pada sektor perekonomian menjadi salah satu hal yang paling dikejar oleh rezim pemerintahan Xxxxxx-Xx'xxx Xxxx pada awal tahun 2020, dengan sudut pandang bahwa investor melalui modal besarnya akan hadir sebagai juru selamat terhadap perekonomian negara dan angka pengangguran di Indonesia yang begitu tinggi.1 Sehingga pemerintah memandang sangat perlu untuk menyusun regulasi yang “memanjakan" para investor. Tetapi, alih-alih membuka lapangan pekerjaan, rencana tersebut tidak berbanding lurus dengan substansi peraturan yang dibuat, di mana negara justru membiarkan warga negaranya berhadap- hadapan dengan korporat dan tenaga kerja asing yang siap menghisap kekayaan sumber daya alam serta sumber daya manusia. Peraturan tersebut adalah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja).
Pemerintah meyakini bahwa RUU Cipta Kerja dapat menciptakan lapangan pekerjaaan sebanyak 2,7 sampai 3 juta per tahun dan mendorong tercapainya target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7% sampai 6,0%. RUU Cipta Kerja menggadang-gadang metode omnibus law yang diharapkan dapat menyederhanakan regulasi.2 Terkait pertumbuhan ekonomi, Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) menilai RUU Cipta Kerja tidak akan menjamin adanya peningkatan investasi yang signifikan,
1 Berita Resmi Badan Pusat Statistik pada tanggal 5 Mei 2020 menunjukkan bahwa dari 137,91 juta orang, sebanyak 6,88 juta orang masih menganggur. Lihat Badan Pusat Statistik, Tingkat Pengangguran Terbuka, diakses dari (xxxxx://xxx.xxx.xx.xx/xxxxxxx/ materi_ind/materiBrsInd−20200505115439.pdf), pada tanggal 25 Februari 2021.
2 Kementerian Hukum dan HAM, Omnibus Law Sebagai Metode Penyederhanaan Regulasi, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xx.xx/xxxxxx/xxxxxxx−law−sebagai− metode−penyederhanaan−regulasi), pada tanggal 25 Februari 2021.
mengingat investor akan tetap mencermati fundamental ekonomi domestik dan dinamika eksternal sebagai aspek dasar dalam penanaman modal.3
Masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia memiliki alasan yang majemuk untuk menolak RUU Cipta Kerja. Masyarakat beranggapan bahwa RUU Cipta Kerja akan mengancam keberlangsungan lingkungan, memperbesar celah korupsi, merampas dan menghancurkan ruang hidup rakyat, menerapkan perbudakan modern melalui sistem fleksibilitas tenaga kerja, memiskinkan kelompok minoritas dan rentan, dan lain-lain.4 Namun demikian, untuk menjawab pertanyaan mengapa publik menolak RUU Cipta Kerja, perlu dilihat dari beberapa faktor penyebab yang muncul. Pertama, pada tahap legislasi RUU Cipta Kerja, kedua para aktor di balik penyusunan RUU Cipta Kerja, ketiga mengenai substansi RUU Cipta Kerja yang dalam kajian kali ini difokuskan pada sektor perburuhan dan sektor pertanahan.
Tahap Legislasi UU Cipta Kerja
Proses legislasi RUU Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus law belum dikenal dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan masih memiliki ambiguitas terhadap kedudukan omnibus law dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam penyusunannya, RUU Cipta Kerja penuh dengan pertentangan antara praktik dengan sistem hukum di Indonesia yang didasari oleh prinsip demokrasi. Dalam penyusunan suatu peraturan, prinsip demokrasi mewajibkan Presiden dan DPR RI sebagai manifestasi perpanjangan tangan dari kedaulatan rakyat memperhatikan secara sungguh-sungguh keinginan rakyat sebagai sumber kedaulatan yang dimiliki oleh negara dalam menjalankan kewenangannya.5
3 Xxxxx Xxxxxxxxx Adhinegara pada Nasional Kontan, Ekonomi Indef Sebut Omnibus Law Tidak Berpengaruh Signifikan Pada Investasi, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxx.xx.xx/ news/ekonom−indef−sebut−omnibus−law−tidak−berpengaruh−signifikan−pada−investasi), pada tanggal 2 Maret 2021.
4 Masyarakat menilai bahwa RUU Cipta Kerja melegitimasi investasi perusak lingkungan, prosedur legislasi yang cacat formil, perampasan dan penghancuran ruang hidup, legitimasi terhadap praktik perbudakan modern melalui sistem fleksibilitas tenaga kerja, dll. Lihat Fraksi Rakyat Indonesia, Kertas Posisi 12 Alasan Menolak Omnibus Law RUU Cilaka, diakses dari (xxxxx://xxx.xx.xx/xx−content/uploads/2020/01/12−ALASAN− MENOLAK−OMNIBUS−LAW−RUU−CILAKA.pdf), pada tanggal 2 Maret 2021.
5 Tim Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis Terhadap UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Pengesahan DPR 5 Oktober 2020), Edisi 2/5 November 2020, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, hlm. 14.
Proses legislasi RUU Cipta Kerja memiliki pola yang serupa dengan proses perubahan RUU tentang Perubahan Kedua UU Komisi Pemberantasan korupsi (RUU KPK) dan Revisi UU Mahkamah Konstitusi (UU MK). Ketiganya sama-sama dibentuk dalam waktu yang sangat singkat, minim partisipasi, tertutup dan tergesa-gesa. Hal ini diperparah dengan diterbitkannya Surat Presiden No. R-06/Pres/02/2020 perihal Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang ditandatangani pada 7 Februari 2020 oleh Presiden. Surat tersebut pada intinya mendorong proses legislasi RUU Cipta Kerja agar segera diselesaikan dalam kurun waktu 100 hari.
Hal ini tidak wajar mengingat muatan dalam RUU Cipta Kerja bersifat multi-sektoral antara substansi undang-undang yang satu dengan lainnya. Secara otomatis, penyusunan RUU ini juga menabrak prosedur proses legislasi yang telah ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011, khususnya mengenai proses perencanaan dan proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang begitu tertutup dan memangkas partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat adalah salah satu bentuk dari kedaulatan rakyat yang tidak dapat dimaknai terbatas pada pemilihan umum dalam skala daerah maupun nasional. Pada level kebijakan seperti proses penyusunan RUU Cipta Kerja, pembuat peraturan harus melibatkan masyarakat secara deliberatif.6 Ketiadaan partisipasi sejak awal berlanjut hingga proses pembahasan sampai pengesahan RUU ini. DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober 2020 tanpa draf final yang jelas. Publik kebingungan dengan banyaknya versi yang beredar seperti versi 905 halaman, 1.035 halaman, dan 1.028 halaman. Proses legislasi ini jelas cacat formil. Paska pengesahannya, masih terdapat perubahan substansi dalam UU Cipta Kerja yang bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011.7
Presiden telah menetapkan 49 aturan turunan UU Cipta Kerja, 45 peraturan pemerintah, dan 4 peraturan presiden. Aturan turunan ini diunggah
6 Dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang− Undangan, pada intinya setiap orang baik individu ataupun kelompok yang memiliki kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang−undangan berhak memberikan masukan dalam berbagai bentuk dan berhak atas akses terhadap rancangan peraturan perundangan tersebut.
7 Sekalipun berdalih bahwa Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang−Undangan memberikan tenggang waktu 7 hari paska pengesahan UU untuk melakukan perubahan, hal tersebut hanya diperbolehkan pada perubahan teknis penulisan.
melalui Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Kementerian Sekretariat Negara pada 21 Februari 2021. Proses penyusunannya tidak jauh berbeda dengan UU Cipta Kerja, sama-sama tertutup dan tidak melibatkan masyarakat. Bahkan, berbagai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tersebut disusun sebelum UU Cipta Kerja disahkan. Dalih pemerintah untuk merampingkan regulasi semakin terlihat inkonsisten. Pemerintah justru gagal sebab UU a quo malah melahirkan puluhan aturan turunan. Pada akhirnya, omnibus law menyebabkan terjadinya obesitas regulasi di Indonesia.
Kritik terhadap metode omnibus law tidak hanya terjadi di Indonesia pada saat ini. Jika kita kembali pada tahun 1901 kasus Commonwealth vs Xxxxxxx di Pengadilan Tinggi Pennsylvania Amerika Serikat, “Bills, popularly called omnibus bills, became a crying evil, not only from the confusion and distraction of the legislative mind by the jumbling together of incongruous subjects, but still more by the facility they afforded to corrupt combinations of minorities with different interests to force the passage of bills with provisions which could never succeed if they stood on their separate merits".8
Maka, semakin jelas bahwa metode omnibus law bukanlah metode yang ideal, begitu pula RUU Cipta Kerja karena dibangun berdasarkan 11 kluster yang memiliki corak atau paradigma hukum berbeda serta menimbulkan obesitas regulasi.9
Para Aktor di Balik UU Cipta Kerja
Pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 378 Tahun 2019 tentang Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) untuk Konsultasi Publik Omnibus Law.
8 L. Massicote, Omnibus Bills In Theory and Practicec, Canadian Parliamentary Review, 2013, diakses dari (xxxxx://xxxxxx.xx/x/0x0x), pada tanggal 1 Maret 2021.
9 11 Kluster dalam RUU Cipta Kerja meliputi: Penyederhanaan Perizinan Berusaha, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan dan Perlindugan UMKM, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi. Lihat Lembaga Bantuan Hukum Pers, Kertas Posisi RUU Cipta Lapangan Kerja terkait Kebebasan Informasi dan Pers, diakses dari (xxxxx://xxxxxxx.xxx/xx−content/uploads/2020/07/Kertas−Posisi−LBH− Pers−1.pdf), pada tanggal 1 Maret 2021.
Pasal 3 Kepmen mengatur bahwa tugas dari Satgas adalah 1) melakukan konsultasi publik Omnibus Law penciptaan lapangan kerja dan perpajakan,
2) melakukan inventarisasi masalah dan memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan Omnibus Law hasil konsultasi publik, dan 3) melaksanakan tugas terkait lainnya sesuai arahan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam rangka konsultasi publik Omnibus Law. Artinya, dominasi kewenangan dalam perumusan RUU Cipta Kerja berada pada pundak para pebisnis sekaligus pejabat negara yang terhimpun dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia serta asosiasi bisnis lainnya tanpa melibatkan kelompok masyarakat seperti serikat buruh, petani, masyarakat adat, dan kelompok masyarakat lainnya yang terdampak secara langsung akibat RUU Cipta Kerja tersebut.10
Anggota Satgas Omnibus Law yang berjumlah 127 ini sebagian besar adalah pengusaha yang diketuai oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Beberapa nama yang turut meramaikan kursi Satgas Omnibus Law adalah Xxxxxxxxx Xxxxxxxx. Selain Menko Perekonomian, ia juga pembentuk tim satgas dan memiliki relasi bisnis dengan PT. Multi Harapan Utama, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Sementara itu, Xxxxx Xxxxxxxx selain sebagai Ketua Kadin juga sebagai Ketua Satgas, mantan Wakil Ketua Tim Kampanye Xxxxxx-Xx'xxx, dan memiliki relasi bisnis dengan berbagai macam perusahaan, mulai dari perusahaan farmasi, properti, finansial, sampai klub sepak bola Internazionale Milan, dan lain-lain.11
Presiden Xxxx Xxxxxx sempat meminta para jajarannya untuk merampungkan draf RUU Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja, Perpajakan dan Usaha Mikro Kecil Menengah dengan segera. Ia menargetkan omnibus law dapat selesai sebelum 100 hari masa kerjanya (Xxxxxx-Ma'ruf). Kemudian, Xxxxxx juga sempat meminta kepada Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), Kepala Kejaksaan RI, Kepala KepolisIan RI dan seluruh kementerian terkait untuk melakukan pendekatan atau komunikasi kepada organsisasi kemasyarakatan yang menolak beleid. Pernyataan-pernyataan Presiden ini menunjukkan betapa prioritasnya Omnibus Law bagi para penguasa. LBH Jakarta sempat mengkritik pernyataan tersebut lantaran
10 Ibid.
11 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Siapa Sponsor di Balik Satgas dan Panja Omnibus Law?, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxx.xx.xx/xxxxx−sponsor−di−balik−satgas−dan− panja−omnibus−law), pada tanggal 1 Maret 2021.
mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negara. Xxxx Xxxxxxx (Direktur LBH Jakarta) berpendapat bahwa cara-cara yang dibangun oleh Xxxxxx adalah cara-cara yang jamak dilakukan oleh negara-negara otoriter. Pola komunikasi yang dimaksud cenderung bermakna intimidasi yang tentunya membatasi kritik rakyat atas kebijakan dan regulasi yang diusung oleh pemerintah.12
Perubahan Substansi
Mengenai perubahan substansi, UU Cipta Kerja nyata-nyata mengubah berbagai ketentuan demi akumulasi kapital dengan merampas ruang hidup rakyat. Berbagai perubahan pada sektor perburuhan dan pertanahan akan dianalisis lebih dalam pada kajian ini. Adapun beberapa topik terkait adalah:
1. Kemudahan mempekerjakan tenaga kerja asing;
2. Sistem kerja kontrak seumur hidup;
3. Waktu kerja lembur yang diperpanjang;
4. Pemangkasan istirahat/cuti panjang melalu perjanjian kerja;
5. Memperkuat politik upah murah;
6. Perluasan jenis pekerjaan dalam sistem alih daya atau outsourcing;
7. Kemudahan perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak karena lemahnya perlindungan negara;
8. Hak pekerja pasca PHK digerogoti, khususnya terhadap beberapa jenis alasan PHK; dan
9. Penghapusan norma tindak pidana perburuhan.
Perubahan regulasi pada sektor ketenagakerjaan ini telah menunjukan bahwa negara kian “pasif" melindungi dan memenuhi hak-hak normatif tenaga kerja. Buruh dibiarkan berhadap-hadapan dengan perusahaan di tengah relasi kuasa yang timpang.
12 Xxxxx Xxxxxxx, Kata LBH Jakarta ke Xxxxxx: Ini Ajak Diskusi atau Intimidasi?, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/00000000/xxxx−lbh−jakarta−ke−xxxxxx− ini−ajak−diskusi−atau−intimidasi).
Perubahan regulasi dan penyisipan bab khusus sektor pertanahan dalam UU Cipta Kerja menimbulkan masalah yang krusial untuk dicermati dan diteliti, meliputi:
1. Pembentukan Badan Bank Tanah yang merupakan perpanjangan tangan kepentingan investor;
2. Hak Pengelolaan menjadi salah satu jenis hak atas tanah;
3. Sentralisasi perizinan yang mengkhianati agenda reformasi, membuka lebar potensi tindak pidana korupsi, dan mengebiri hak partisipasi masyarakat;
4. Ruang atas tanah dan ruang bawah tanah yang merampas ruang hidup rakyat;
5. Warga negara asing dan badan hukum asing dapat memiliki hak atas satuan rumah susun;
6. Pendaftaran tanah menghilangkan kekuatan alat bukti tertulis tanah bekas milik adat;
7. Dipermudahnya perampasan tanah atau penggusuran paksa atas nama pengadaan tanah untuk kepentingan umum;
8. Pemanfaatan ruang hanya didasarkan pada peta digital bukan berdasarkan kondisi riil;
9. Penyederhanaan tata ruang dan kebijakan strategis nasional;
10. Pergeseran norma pemanfaatan tata ruang dan hak gugat masyarakat; dan
11. Perlakuan istimewa bagi investor melalui Proyek Strategis Nasional.
Substansi tersebut di atas telah mengakomodir pasal-pasal kontroversial yang semula masuk dalam RUU Pertanahan. Ketentuannya diselundupkan di pertengahan proses pembahasan tanpa adanya dasar hukum sebagai cantolan, bahkan bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Negara kian menambah bukti ketidakseriusannya menyelesaikan konflik-konflik agraria yang tengah menjamur. Berbagai kebijakan hanya didasari pada kepentingan komersil dan mengabaikan hak-hak warga negara. Wajar bila kemudian kasus-kasus
perampasan tanah rakyat yang diperuntukkan bagi pembangunan, perkebunan, pertambangan, industri dan varian kasus lainnya acap kali terjadi.
Laporan Akhir Tahun dan HAM YLBHI tahun 2019 mencatat 364 kasus konflik agraria di berbagai sektor yang tersebar di 17 provinsi di Indonesia. Konflik-konflik agraria tersebut melanggar sejumlah hak, baik hak atas penghidupan yang layak, hak milik atas lahan, hak atas lingkungan dan hak atas pangan, hak ganti rugi atas pencabutan hak milik hingga hak masyarakat adat untuk memiliki, mengelola dan mempertahankan sistem pengelolaan menurut hukum adatnya.13
Berdasarkan ketiga hal di atas, antara UU Cipta Kerja dan aksi demonstrasi memiliki hubungan kausalitas atau sebab akibat. Proses legislasi, aktor intelektual, dan perubahan substansi pada sektor perburuhan maupun pertanahan menjadi pemicu lahirnya embrio gerakan massa berdasar kesadaran. Selama proses pembahasan UU Cipta Kerja, kekecewaan rakyat terhadap rezim yang tidak berpihak pada “wong cilik” dimanifestasikan ke dalam aksi-aksi demonstrasi yang mengisi ruang-ruang publik di berbagai wilayah di Indonesia. Demonstrasi yang marak terjadi melibatkan berbagai elemen masyarakat seperti buruh, mahasiswa, pelajar, petani, perempuan, masyarakat adat dan lainnya. Gerakan ini tumbuh dari kesadaran publik, ikatan hubungan dan tujuan yang sama yakni membatalkan pengesahan UU Cipta Kerja.14
Salah satu aksi demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja terjadi pada tanggal 14 Agustus 2020. Aksi ini merupakan aksi gabungan dari berbagai elemen masyarakat yang menamai diri sebagai GEBRAK (Gerakan Buruh Bersama Rakyat). Oleh karena penolakan terhadap beleid amat besar, berbagai kalangan baik komunitas maupun individu turut hadir membersamai GEBRAK. Aksi demonstasi ini bermula (titik kumpul) di Kementerian Ketenagakerjaan RI, kemudian massa melanjutkan aksinya dengan long march sampai gedung DPR RI. Aksi damai kala itu tidak luput
13 Xxxx Xxxxxx Xxxx Xxxxxxx, et. all, Laporan Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2019 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia: Reformasi Dikorupsi Oligarki, (Jakarta: YLBHI), hlm. 61−63.
14 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pokok−Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 103.
dari berbagai tindakan represif aparat. Sekitar 187 orang yang hendak bergabung dalam barisan ditangkap oleh aparat, bahkan jauh sebelum mereka sampai di titik kumpul. Kebanyakan mereka ditangkap di sekitar stasiun dan pasar dekat lokasi aksi.15
Namun, pemerintah tetap “menutup telinga" dari suara-suara publik. Bahkan, pemerintah justru melawan reaksi publik dengan berbagai upaya represif. Pertama, Kapolri menerbitkan Surat Telegram No.STR/645/ X/PAM.3.2/2020 tertanggal 2 Oktober 2020 yang menyatakan bahwa Xxxxx juga harus mengalihkan isu unjuk rasa anti-omnibus law untuk mencegah penularan masif Covid-19. Surat telegram ini adalah upaya Xxxxx melakukan kontra narasi publik, giat fungsi intelijen agar mencegah demonstrasi, tidak memberikan izin keramaian atau unjuk rasa patroli siber hingga menindak rakyat yang menolak omnibus law.16 Kedua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran No. 1035/E/KM/2020 tentang Himbauan Pembelajaran Secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja. Hal ini merupakan usaha pemerintah untuk meredam penolakan pada elemen civitas akademika. Ketiga, praktik kekerasan dan berbagai tindakan brutal kepolisian di berbagai wilayah masif terjadi. Massa aksi dipukul, ditendang, ditembaki gas air mata, di-sweeping, perampasan ponsel, ditabrak dengan kendaraan aparat, dan ditangkap sewenang-wenang.17 Setidak-tidaknya Polda Metro Jaya telah menangkap 1.192 orang saat aksi massa tolak omnibus law.18 Berdasarkan data kepolisian, per 13 Oktober 2020, tercatat
5.198 peserta aksi yang ditangkap polisi. Selain penangkapan massa aksi, polisi juga melakukan kekerasan terhadap wartawan yang meliput demonstrasi di berbagai kota. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
15 Xxxxx Xxxxxxx, 6 Peserta Aksi Omnibus Law Masih Ditahan di Polda Metro Sabtu Pagi, diakses dari (xxxxx://xxxxx.xx/0−peserta−aksi−omnibus−law−masih−ditahan−di−polda− metro−sabtu−pagi−fX7z).
16 Siaran Pers Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Polri & Pemerintah Harus Hormati Undang−Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Yang menjamin Hak Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, diakses dari (xxxxx://xxxxx.xx.xx/xxxxxxxxx/xxxxxx−pers/polri− pemerintah−harus−hormati−undang−undang−dasar−negara−ri−tahun−1945−yang−menjamin− hak−menyampaikan−pendapat−di−muka−umum/), pada tanggal 6 Maret 2021.
17 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta Tahun 2020: Demokrasi Ditengah Oligarki & Pandemi, (Jakarta: LBH Jakarta, 2020), hlm. 57.
18 Xxxxxxxx Xxx Xxxxxxx, Polisi Amankan 1.192 Orang Yang Terlibat Rusuh Demo Tolak Omnibus Law di Jakarta, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/ 2020/10/09/13174611/polisi−amankan−1192−orang−yang−terlibat−rusuh−demo−tolak−omnibus− law−di?page=all), pada tanggal 6 Maret 2021.
mencatat ada 28 wartawan di 38 kota yang mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak omnibus law.19
Keempat, penghalangan akses bantuan hukum, di mana aparat kepolisian di berbagai wilayah menghalangi korban penangkapan sewenang- wenang untuk mendapatkan akses bantuan hukum. Lebih buruknya, LBH Jakarta menemukan adanya pemaksaan atas pasal-pasal yang bertujuan mengkriminalisasi korban. Bahkan, aparat penegak hukum juga memaksa korban untuk mengakui tindak pidana yang mereka tidak lakukan.20 Secara empirik, pemerintah menginjak-injak proses demokrasi dan prinsip konstitusionalitas terkait kedaulatan rakyat demi akumulasi kapital melalui UU Cipta Kerja.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, kami merumuskan masalah di bawah ini:
1. Bagaimana proses penyusunan hingga pengesahan Undang- Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?
2. Bagaimana perubahan substansi dan dampak pemberlakuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta aturan turunannya terkait isu perburuhan?
3. Bagaimana perubahan substansi dan dampak pemberlakuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta aturan turunannya terkait isu pertanahan?
C. Tujuan Riset
1. Mengurai proses penyusunan hingga pengesahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta aturan turunannya;
2. Menganalisis perubahan substansi dan dampak pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta aturan turunan terkait isu perburuhan dan pertanahan.
19 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Satu Tahun Xxxxxx−Ma’ruf: Menginjak− injak Hukum dan Hak Asasi Manusia, diakses dari (xxxxx://xxxxx.xx.xx/xxxxxxxxx/xxxxxx− pers/satu−tahun−xxxxxx−maruf−menginjak−injak−hukum−dan−hak−asasi−manusia/).
20 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Loc.Cit.
D. Konsep Kunci
Proses legislasi UU Cipta Kerja melalui metode omnibus law telah merusak konsep pembentukan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Mengingat UU Cipta Kerja justru menciptakan obesitas regulasi dengan banyaknya peraturan turunan. Kemudian UU Cipta Kerja yang bersifat multi sektoral ini dibentuk dalam waktu yang sangat singkat atas nama kepentingan oligarki sehingga mengenyampingkan hukum positif yang berlaku serta hak-hak warga negara, salah satunya partisipasi. Proses penyusunannya bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, baik prinsip maupun pasal- pasal lainnya.
Bab XV Ketentuan Penutup Pasal 185 huruf a UU Cipta Kerja memberikan batas waktu pengerjaan peraturan pelaksana paling lama tiga bulan, hal ini gagal terpenuhi. Jika dihitung mulai dari tanggal pengesahan UU Cipta Kerja sampai dengan penerbitan aturan turunan, jangka waktu terbilang lewat. Meski demikian, penyusunan dalam waktu singkat tetap bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 karena berpotensi mengakibatkan tumpang tindih pengaturan antara satu dengan lainnya dan selain itu juga tidak melibatkan masyarakat.
Sistem ketenagakerjaan di Indonesia setelah pengesahan UU Cipta Kerja kian bergeser menjadi alat pelaksana praktik neoliberalisme,21 di mana negara meletakkan pasar di atas segalanya. Negara dengan sengaja menciptakan pasar tenaga kerja yang begitu fleksibel sehingga berdampak pada pengabaian terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak normatif pekerja. Ciri fleksibilitas pasar kerja ditandai dengan menyurutnya peran negara untuk melindungi pekerja. Sebaliknya, negara justru memberi keleluasaan bagi pengusaha untuk mengatur bisnisnya termasuk masalah ketenagakerjaan ke dalam mekanisme pasar itu sendiri. Hubungan pemberi kerja dan pekerja menjadi kian timpang. Pekerja berdiri sendiri tanpa posisi tawar dan kehadiran negara.
21 Neoliberalisme merupakan suatu paham yang pada intinya menitikberatkan jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan pribadi. Konsolidasi neoliberalisme pada pada tahun 1979 menekankan doktrin kompetisi antar bangsa, wilayah, perusahaan dan individu sehingga terjadinya privatisasi, pelemahan serikat−serikat buruh dan perlindungan pasar tenaga kerja. Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Neoliberalisme (1), diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxxx.xxx/ 2009/08/neoliberalisme−1/).
Xxxxxan pasar kerja fleksibel di Indonesia disokong kuat oleh pemerintah, pengusaha dan kalangan ekonomi neoklasik. Gagasan ini dipandang sebagai sebuah langkah strategis untuk memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga beberapa langkah kebijakan diambil oleh pemerintah untuk melakukan restrukturisasi pasar kerja seperti:
1. Perubahan kebijakan ketenagakerjaan yang diintegrasikan ke dalam satu paket kebijakan dengan rencana pertumbuhan investasi seperti perpajakan, perijinan investasi, dan lain-lain;
2. Mengintegrasikan perubahan kebijakan ketenagakerjaan dengan konteks pemecahan masalah kemiskinan dan pengangguran.
Agenda terpenting dari perubahan kebijakan ketenagakerjaan tersebut adalah untuk menciptakan pasar kerja yang lebih fleksibel. Kebijakan pasar kerja yang fleksibel sebagaimana tercermin dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dipandang masih perlu lebih difleksibelkan.22
UU Cipta Kerja beserta aturan pelaksana pada sektor ketenagakerjaan telah mengancam nasib para pekerja dengan mengatur sistem kerja kontrak seumur hidup, karena jangka waktu masa kerja akan ditentukan berdasarkan kesepakatan yang mana relasi kuasa pastinya tidak berpihak pada para pekerja. Hal ini menyebabkan pekerja tidak memiliki jaminan atas kepastian kerja. Perluasan praktik outsourcing di mana larangan outsourcing pada jenis pekerjaan pokok/produksi telah dihapus, artinya segala jenis pekerjaan dapat menggunakan sistem outsourcing. Ketentuan ini sangat menguntungkan pihak perusahaan dimana tidak dibebani pemenuhan hak- hak normatif disertai pembayaran upah buruh yang amat murah. Kemudian, waktu kerja yang telah diperpanjang melalui pengaturan waktu kerja lembur. Aturan ini justru berdampak buruk bagi kinerja buruh dan kesehatannya.
Legitimasi terhadap politik upah murah. UU Cipta Kerja perlahan memupus harapan pekerja untuk mendapatkan kehidupan layak. UU Cipta Kerja mengatur sentralisasi kewenangan. Pemerintah pusat diberi kewenangan besar untuk menentukan besaran upah minimum. Pekerja menjadi kehilangan partisipasinya secara penuh untuk merumuskan upah
22 Hari Nugroho dan Xxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxx: Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara, hlm. 7.
minimum, dan berbagai masalah lainnya.23 UU Cipta Kerja juga melanggar hak-hak perempuan dimana metode hitung-hitungan produktivitas dan nominal upah berdasarkan satuan waktu dan hasil jelas mendiskriminasi perempuan yang dalam konstruksi sosialnya mengalami berbagai bentuk ketidakadilan gender. UU Cipta Kerja juga membuka ruang yang cukup lebar bagi pengusaha melakukan PHK massal, mengingat hal tersebut dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan hingga menambahkan alasan PHK, bahkan menghidupkan kembali alasan PHK karena efisiensi. Hal lain yang cukup parah adalah pengkerdilan pidana perburuhan, di mana terdapat beberapa jenis tindak pidana yang telah dihapus dan/atau diubah menjadi sanksi administratif.
Karakter legislasi di bidang pertanahan dan sumber daya alam pada periode paska Orde Baru memiliki karakteristik utama sebagai penerapan dari prinsip-prinsip neoliberalisme, antara lain: pertama, meningkatkan nilai ekonomi dari tanah dan sumber daya alam sebagai barang komersil, sehingga, yang tadinya merupakan barang publik yang memiliki nilai sosial dan ekologis direduksi menjadi barang ekonomis untuk lalu lintas perdagangan. Kedua, meningkatkan peran swasta dalam mengelola dan memanfaatkan tanah dan sumber daya alam. Hampir semua undang- undang baru diikuti dengan skema izin baru yang tentunya untuk memfasilitasi swasta dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam.24
Ketiga, legislasi yang bersifat represif karena seluruhnya mengatur mengenai tindak pidana di bidang tanah dan sumber daya alam. Praktiknya, pengaturan ini lebih banyak diterapkan kepada masyarakat miskin. Masyarakat dikriminalisasi sebagai ekses dari konflik agraria yang dialami oleh masyarakat dengan perusahaan maupun instansi pemerintahan.
23 Penjelasan terhadap perubahan substansi ketenagakerjaan pada UU Cipta Kerja mengacu pada Kertas Kebijakan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Citra Referandum dan Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx, Omnibus Law Cipta Kerja: Obsesi Pembangunan Yang Merampas Ruang dan Mengorbankan Pekerja, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxx.xx.xx/xx− content/uploads/2020/04/Kertas−Kebijakan−Omnibulaw−LBH−Jakarta.pdf), pada tanggal 10 Maret 2021, hlm. 9−15.
24 Xxxxx Xxxxxxx, Membaca Arah Politik Hukum Rancangan Undang−Undang Pertanahan, Makalah disampaikan dalam Workshop “Merumuskan Konsep dan Strategi Advokasi RUU Pertanahan’, diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan, Jakarta, 14 September 2016, hlm. 2.
Keempat, menyediakan forum kontestasi kepentingan antar berbagai kelompok, misalnya masyarakat adat. Namun pengaturannya tidak menjadikan nasib masyarakat adat semakin baik. Hal ini karena pengaturan operasional yang lemah jika dibanding dengan berbagai skema izin yang ditujukan kepada perusahaan.25
Xxxxxxxx pula pengaturannya dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya. UU a quo telah menyalin ulang pasal-pasal kontroversial dalam RUU Pertanahan. UU Cipta Kerja menggelar 'karpet merah' bagi pemodal melalui ratusan pasalnya. Pemilik modal dapat dengan leluasa mengelola dan memanfaatkan tanah dan sumber daya alam melalui kemudahan skema-skema perizinan yang disediakan. Penyederhanaan perizinan ini sepatutnya tidak serta merta dipandang sebagai birokrasi yang efektif, karena masyarakat justru kehilangan jalur-jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanahnya.
Badan Bank Tanah khusus dihadirkan untuk memberi kemudahan bagi para investor untuk menguasai tanah-tanah rakyat demi akumulasi kapital. Bank Tanah akan bertugas untuk menginventarisir tanah-tanah lalu membagikannya kepada korporasi melalui Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan menjadi hak tersendiri, di mana di atasnya dapat diterbitkan Hak Guna Usaha. Untuk memfasilitasi kegiatan ekonomi yang berpusat di kawasan-kawasan tertentu seperti Proyek Strategis Nasional dan Kawasan Ekonomi Khusus, UU Cipta Kerja menyediakan rumah susun yang dapat dimiliki oleh warga negara asing dan badan hukum asing. Selain itu, demi memenuhi kebutuhan ruang di perkotaan, UU Cipta Kerja mengatur berbagai pasal agar korporasi dapat menguasai ruang atas tanah dan ruang bawah tanah, sekaligus dapat dimanfaatkan untuk mempermudah lalu lintas perindustrian seperti peruntukan infrastruktur. Kemudian pengaturan proseduralnya dapat ditemukan dalam perubahan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dalam UU Cipta Kerja.
25 Ibid., hlm. 3.
E. Metodologi Riset
Riset ini adalah riset kualitatif dengan menggunakan metode sosio- legal yang meletakkan ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat interdisipliner. Ia memerlukan berbagai disiplin ilmu lain untuk menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di masyarakat.26 Penelitian dengan metode sosio-legal tidak terbatas pada normatif hukum saja, akan tetapi mengupas konteks lainnya seperti politik hukum, sosiologi hukum, analisis berbasis gender dan dampak lain yang muncul atas pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja.
Pengumpulan data dalam penelitian sosio-legal bertumpu pada data- data empirik yang ditemukan di lapangan, seperti hasil dari wawancara secara mendalam atau in depth interview dengan narasumber sebagai data primer.27 Selain itu, penelitian ini juga mengumpulkan data dan informasi melalui diskusi kelompok terfokus yang mengundang internal LBH Jakarta, serikat buruh, paralegal komunitas LBH Jakarta, organisasi bantuan hukum seperti YLBHI dan LBH Kantor di bawahnya, akademisi, lembaga penelitian, dan jaringan organisasi masyarakat sipil yang bergelut atau ahli di bidang perburuhan dan pertanahan. Riset ini juga menyajikan beberapa kasus yang terkait dengan isu yang dibahas, kasus-kasus tersebut merupakan kasus yang diterima oleh LBH Jakarta melalui mekanisme pengaduan/konsultasi hukum yang didokumentasikan dalam Case Management System LBH Jakarta.
Adapun beberapa akademisi yang hadir memberi pandangan adalah Xxxxxxxxxxx Xxxxxx, S.H., LL.M. (Universitas Mulawarman), Xxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxx, MA (Universitas Katolik Parahyangan), Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H., M.Hum. (Universitas Trunojoyo Madura), Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxx, S.H., LL.M. (Universitas Gadjah Mada), dan I Xxxxx Xxxxx Xxxx Xxxxxxx, S.H., LL.M., Ph.D. (Universitas Gadjah Mada).
Berikut beberapa organisasi masyarakat sipil yang hadir adalah Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Trade Union Rights Centre (TURC), Indonesia for
26 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Ilmu Hukum, Cetakan ke−VIII, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2014), hlm. 7.
27 Xxxxx Xxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxxx, Dualisme Penelitian Hukum Empiris & Normatif,
(Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 163.
Global Justice (IGJ), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Solidaritas Perempuan, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), dan Agrarian Resource Center (ARC).
Sementara beberapa Paralegal Komunitas LBH Jakarta yang turut hadir menyampaikan pendapat dan pengalamannya, Xxxx Xxxxxxxxxx (Paralegal Komunitas Muara Baru), Xxxxx (Paralegal Komunitas Guji Baru), Xxxxx Xxxxxxxxx (Paralegal Komunitas KNTI/ Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia), dan Xxxxxx X. Bendang (Paralegal Komunitas KoPK/ Koalisi Pejalan Kaki).
Sedangkan data sekunder riset ini diperoleh dari studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, jurnal hukum, buku-buku, artikel media di internet, dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. Metode pengolahan datanya menggunakan metode kualitatif, dimana temuannya dianalisis secara naratif.
***
Bagian II
Cacat Hukum dalam Proses Legislasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan
Pelaksananya
Terbitnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan peraturan pelaksananya tidak terlepas dari momen kemenangan Presiden Xxxx Xxxxxx pada Pemilihan Presiden (Pilpres) di tahun 2019. Dengan hanya dua pasangan calon presiden-wakil presiden pada Pilpres 2019, membuat preferensi pilihan politik warga terpolarisasi ke kedua belah pihak.
Meski demikian, berdasarkan data yang dilansir oleh XXXXX (Jaringan Advokasi Tambang), tercatat setidaknya kedua pasangan calon Presiden- Wakil Presiden pada Pilpres 2019 tersebut sama-sama didukung penuh oleh para pebisnis besar nasional.28 Dalam konteks ini dapat dilihat bahwa pebisnis sangat berperan penting dalam proses pemenangan pasangan calon presiden-wakil presiden yang di kemudian hari sedikit-banyak turut mempengaruhi kebijakan ekonomi-politik di Indonesia.29
28 Xxxxx, XXXXX, Paket Informasi Oligarki Tambang Di Balik Pilpres 2019, diakses dari (xxxx://xxx.xxxxx.xxx/xx−content/uploads/2019/02/Oligarki−Tambang−di−Balik−Pemilu− 2019.pdf). Lihat juga, CNN Indonesia, JATAM Sebut Pebisnis Raup Untung Siapapun Pemenang Pilpres, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxx/00000000000000− 32−385856/jatam−sebut−pebisnis−raup−untung−siapapun−pemenang−pilpres).
29 “..Salah satu ciri yang penting dari relasi pengusaha dan penguasa adalah masuknya para pengusaha bisnis ke dalam jabatan publik atau elit kekuasaan. Setumpuk penelitian secara empiris dan komparatif menunjukkan bahwa para pengusaha khususnya di negara berkembang masuk ke lingkaran elit kekuasaan karena pengusaha ingin menikmati rente dari penguasa dengan memberikan imbalan finansial serta dukungan politik. Penelitian empiris di India, Pakistan, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan mengurai hubungan mesra penguasa dan pengusaha dalam mengejar rente ekonomi untuk membangun kelompok business−politico (Xxxxxxx Xxxx 1999). Xxxxxxxxx Xxxxx (1990) menyebut kapitalis yang berkembang di Asia Tenggara ini sebagai kapitalis semu (ersatz capitalist), yaitu pengusaha
Hingga terpilihnya Xxxx Xxxxxx sebagai Presiden RI di tahun 2019 untuk kedua kalinya, satu hal yang cukup mencolok adalah pernyataan politiknya saat menyampaikan pidato kemenangan sebagai Presiden RI pada Pilpres 2019. Dalam pidatonya, Presiden Xxxx Xxxxxx menyatakan bahwa ia akan membuat skema kebijakan yang mempermudah pebisnis untuk berinvestasi. Lebih jauh lagi, ia menyatakan akan 'memangkas' segala hal yang menghalang-halangi proses investasi di Indonesia.30
Pernyataan Presiden Xxxx Xxxxxx dalam pidato politik kemenangannya sebagai Presiden RI ternyata bukanlah pepesan kosong. Hal tersebut semakin dipertegas dan ditindaklanjuti dengan dibuatnya sebuah undang-undang yang dapat merevisi serta mencabut aturan-aturan di berbagai macam produk perundang-undangan yang selama ini dianggap 'menghambat' iklim investasi di Indonesia.31
Untuk itu setidaknya sejak November 2019, Pemerintah Indonesia mempercepat prroses pengundangan Rancangan Undang-undang (RUU) dengan metode Omnibus Law yang katanya dapat 'melancarkan' iklim investasi. Proses penyusunan Naskah Akademiknya maupun draf naskah RUU-nya yang cukup tebal dibuat dalam tempo waktu yang relatif singkat.32
Di sisi lain sudah muncul pelbagai kekhawatiran dari beberapa kalangan masyarakat, baik itu akademisi, peneliti, pengamat ekonomi dan politik,
yang tumbuh karena bergandeng mesra dengan rezim. Pengusaha semu ini membangun bisnis dengan memperoleh kemudahan (privilese) dan proteksi politik”. Xxxxx, Xxxxxxxx Xxx Xxxxx, “Relasi Pengusaha−Penguasa Dalam Demokrasi: Fenomena Rent Seeker Pengusaha jadi Penguasa”, Jurnal Publica FISIP Universitas Bandar Lampung, Vol 2, No. 1, (2012).
30 Agung D.H., Teks Lengkap Xxxxxx Xxxxxx Sebagai Presiden Terpilih di Sentul City, diakses dari (xxxxx://xxxxx.xx/xxxx−lengkap−pidato−xxxxxx−sebagai−presiden−terpilih−di−sentul− city−eef9).
31 Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxx, Menyoal Ide Omnibus Law Dalam Pidato Pelantikan Xxxxxx, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxx/xx0xxxx0x0xx0xx/ menyoal−ide− omnibus−law−dalam−pidato−pelantikan−xxxxxx?page=all).
32 Wacana pengundangan UU Cipta Kerja dengan skema Omnibus Law sudah dimulai sejak pidato Presiden Xxxx Xxxxxx pada 20 Oktober 2019. Artinya sejak saat itu sudah ada proses penyusunan naskah akademik serta naskah awal draf RUU Cipta Kerja, hingga akhirnya pada 12 Februari 2020 Pemerintah menyerahkan Surat Presiden dan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR RI untuk dibahas di parlemen. Jangka waktu tersebut sangatlah cepat untuk sebuah Undang−undang yang kompleks, multisektoral, dan tebal seperti UU Cipta Kerja. Lihat, Inggra Parandaru, Kronik RUU Cipta Lapangan Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxx.xxxxxx.xx/xxxx/xxxxxxxxxx/xxxxxxxxx/xxxxxx−ruu−cipta−lapangan− kerja).
maupun tokoh masyarakat, di mana rancangan undang-undang ini nampaknya seolah ditumpangi oleh berbagai kepentingan pebisnis besar untuk menjalankan ekspansi bisnisnya secara masif sebagai bentuk timbal- balik jasa pasca pemenangan Presiden Xxxx Xxxxxx pada Pilpres 2019.33
Seperti yang sudah diduga sejak awal, rancangan undang-undang tersebut juga ditujukan untuk melakukan deregulasi yang akan bersinggungan dengan kepentingan masyarakat banyak atas nama kemudahan berbisnis. Meskipun ternyata deregulasi tersebut di satu sisi mengorbankan kepentingan lain seperti perlindungan lingkungan hidup, pelindungan kelompok pekerja, dan lainnya.
Sejumlah kritik serta perdebatan terhadap internal-logika pengundangan rancangan undang-undang ini pada saat itu sudah mulai bermunculan. Beberapa penggiat studi hukum maupun kelompok masyarakat sipil menyoroti aspek krusial dalam pengundangan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya dalam konteks metode pengundangannya, korelasinya dengan bangunan politik hukum perundang-undangan yang sudah ada, serta aspek formil dalam proses legislasinya dan minimnya proses pelibatan warga dalam perumusannya melalui metode omnibus law.34
A. Proses Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Nuansa Politis dan Bertentangan dengan Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disinggung sedikit sebelumnya, proses penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga penerapan UU Cipta Kerja sarat kepentingan bisnis-politik. Hal ini dapat dilihat dari pelibatan 'para pemangku kepentingan' saat proses penyusunan naskah rancangan undang-undang, di mana mayoritas pihak yang dilibatkan dalam proses penyusunan adalah para pelaku bisnis maupun birokrat di sektor bisnis.
33 “Penelusuran kami mencatat setidaknya 57% anggota panja sendiri merupakan pelaku usaha. Selain itu, kami juga menemukan bahwa sebagian dari barisan para aktor ini pernah tercatat sebagai mantan tim sukses dan tim kampanye pada Pemilihan Presiden 2019 lalu,” ungkap Xxxxx Xxxxxxx, Direktur Tambang dan Energi Auriga Nusantara. Lihat, WALHI, Siapa Sponsor Di Balik Satgas dan Panja Omnibus Law?, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxx.xx.xx/xxxxx−sponsor−di−balik−satgas−dan−panja−omnibus−law).
34 Xxxxxxxx Xxxxx Putri, Pengamat Hukum: Banyak Negara Kapok Pakai Omnibus Law, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxx.xx/xxxx/0000000/xxxxxxxx−hukum−banyak−negara− kapok−pakai−omnibus−law/full&view=ok).
Di sisi lain, rancangan undang-undang yang kala itu sedang disusun adalah rancangan undang-undang yang akan berdampak kepada seluruh lapisan dan kelompok masyarakat, tidak hanya pebisnis/pelaku usaha saja, melainkan juga buruh, petani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat pesisir, kelompok perempuan dan anak, kelompok penyandang disabilitas, dan lainnya.
Semakin aneh ketika proses penyusunan naskah undang-undang terkesan eksklusif, elitis, tertutup, dan cenderung tergesa-gesa. Yang nampak di kemudian hari adalah proses legislasi UU Cipta Kerja maupun aturan turunannya cenderung dipaksakan.
Meski Pemerintah Indonesia sejak awal sudah menyampaikan bahwa penyusunan UU Cipta Kerja merupakan upaya Pemerintah untuk 'memperbaiki' ekosistem serta iklim investasi di Indonesia, namun pernyataan ini tidak dapat diterima sepenuhnya. Beberapa pakar bisnis, peneliti ekonomi, hingga organisasi internasional menyatakan bahwa keadaan investasi di Indonesia masih berada di lajur yang aman. Selain itu jika merujuk pada rilisan data Bank Dunia (World Bank) terkait Indeks Easy of Doing Business (EODB) di tahun 2019, nampak bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-73 dari 199 negara-negara dunia dan peringkat ini sendiri merupakan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.
Anehnya, persoalan hambatan kelancaran investasi di Indonesia yang lainnya yakni masalah korupsi tidak menjadi fokus perhatian Pemerintah Indonesia. Yang terjadi sebaliknya, lembaga anti rasuah di Indonesia yakni Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) justru dilemahkan fungsi dan wewenangnya dalam pemberantasan korupsi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini sedikit-banyak menimbulkan ketidakpastian berbisnis di Indonesia karena kepastian penegakan hukumnya yang lemah dan rawan menimbulkan ongkos produksi tidak pasti akibat potensi pungutan liarnya yang tinggi dan banyak.
Merujuk pada pendapat akademisi UGM Xxxxx Xxxxxxx, politik hukum UU Cipta Kerja termuat pada naskah akademiknya, yang setidaknya memuat dua teori dominan di dalamnya. Pertama, doktrin hukum dan pembangunan (law and development doctrine), di mana posisinya untuk
menghubungkan bangunan antara hukum dan ekonomi (kapitalisme) dalam konteks makro. Sedangkan yang kedua adalah analisis ekonomi atas hukum (economic analysis of law) yang digunakan sebagai pisau analisis mikro terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang terkait agar sejalan dengan penciptaan iklim investasi yang efesien.35
Doktrin hukum dan pembangunan dalam bangunan Undang-Undang Cipta Kerja digunakan untuk dapat mengembangkan kapitalisme, di mana instrumen dan institusi hukum formal-rasional yang ada dapat melakukan perhitungan dan prediksi. Selain itu, doktrin ini juga percaya bahwa ketertinggalan negara-negara berkembang sedikit-banyak disebabkan oleh fitur-fitur hukum yang masih tradisional dan tidak adaptif.
Selain itu, doktrin ini dalam kelanjutannya berkembang menjadi law and neoliberal market, di mana ia menempatkan secara eksplisit jika pasar dan pelaku usaha merupakan aktor sentral dalam agenda pembangunan. Maka dari itu, doktrin ini selalu mengarahkan agar institusi hukum dirancang sebagai sarana untuk memperluas jangkauan pasar serta mencegah kegagalan pasar.36
Meski demikian, doktrin hukum dan pembangunan dalam naskah UU Cipta Kerja ini kontradiktif dengan agenda global dan nasional di Indonesia yang hari ini sedang digaungkan. Misalnya terkait konsep agenda pembangunan itu sendiri yang hari ini bermodelkan SDGs (Sustainable Development Goals) atau pembangunan berkelanjutan, pada Naskah Akademik UU Cipta Kerja masih berpatokan pada model law and development state, dimana pembangunan hanya dimaknai pada ranah ekonomi-pasar semata.37
Kombinasi cara pikir law and neoliberal market dan law and development state ini kemudian terakumulasi pada tindakan represif Negara terhadap rakyatnya, di mana para pelaku usaha dijadikan sebagai agen utama pembangunan ekonomi dan mendapatkan tempat yang sangat istimewa di berbagai sektor-sektor, dan pada saat itu juga negara berperan
35 Xxxxx Xxxxxxx, Omnibus Law Cipta Kerja: Peneguhan Hukum Sebagai Instrumen Akumulasi Kapital, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxxx−law−cipta− kerja−peneguhan−hukum−sebagai−instrumen−akumulasi−kapital/).
36 Ibid.
37 Ibid.
memastikan target-target pertumbuhan pasar dan ekonomi terpenuhi. Walhasil, Negara menjadi benteng pengaman bagi agenda pasar, dan bertindak represif terhadap aktor-aktor yang dianggap berpotensi menghambat agenda pasar.38
Selain kuatnya cara pikir law and development serta law and neoliberal market, UU Cipta Kerja juga menggunakan pendekatan analisis ekonomi atas hukum (economic analysis of law), di mana pengaturan hukum dihitung berdasarkan untung-rugi dalam kacamata ekonomi, dalam arti nominal uang. Maka, segala persoalan yang di kemudian hari timbul akibat pengaturan ini cenderung diselesaikan melalui mekanisme yang ongkos biaya penyelesaiannya lebih cepat sekaligus lebih murah, meskipun ia belum tentu benar-benar menyelesaikan akar persoalannya.
Misalnya dalam hal lingkungan hidup, pengaturan terkait pelibatan dalam penyusunan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Awalnya, suatu kasus kerusakan lingkungan bisa turut melibatkan organisasi pemerhati lingkungan sebagai pihak yang memiliki kepentingan hukum di sana. Namun, organisasi pemerhati lingkungan dihapuskan perannya dan dibatasi hanya pada 'warga sekitar' yang dianggap terkena dampak langsung jika terjadi kerusakan lingkungan. Hal ini menyempitkan hubungan hukum dalam sebuah medan ekosistem lingkungan, di mana persoalan konflik lingkungan hanya dilihat dalam kerangka kalkulasi kerugian ekonomi semata.
Selain kuatnya cara pikir kapitalistik dan neoliberal, secara akademik pembahasan filosofis, sosiologis, dan yuridis tentang urgensi RUU Cipta Kerja dalam Naskah Akademiknya sangat tidak memadai. Terlebih, metode penyusunan Naskah Akademik RUU Cipta Kerja amat terbatas pilihan metodologisnya, yaitu pada metode penelitian yang bersifat normatif, bukan empiris atau bahkan sosio-legal. Argumentasi-argumentasi yang disusun relatif berdasarkan data statistik yang masih lemah dan masih perlu diuji hubungan (kausalitas) antara satu dengan lainnya.39
38 Ibid.
39 Tim Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020), hlm. 24.
Satu fitur yang melekat pada UU Cipta Kerja adalah proyek deregulasinya. Aturan-aturan yang dianggap 'menghambat' kelancaran berbisnis dihapuskan atau dirampingkan, meski aturan tersebut sebenarnya ada untuk melindungi kepentingan lain yang lebih besar seperti jaminan perlindungan lingkungan hidup, perlindungan hak pekerja, dan lain sebagainya. Pemretelan sejumlah norma aturan hukum di berbagai aturan perundang-undangan yang sebenarnya ditujukan untuk melindungi hak dan kepentingan kelompok warga masyarakat secara gamblang bertentangan dengan mandat konstitusi UUD NRI 1945. Maka, dari segi sistem hukum UU Cipta Kerja sendiri bertentangan dengan aturan hukum yang ada di atasnya (konstitusi), alias inkonstitusional secara substansi.
Tidak hanya itu, pada versinya yang masih berupa naskah draf RUU Cipta Lapangan Kerja, beberapa pengaturan dalam draf tersebut bertentangan dengan aturan hukum yang sudah ada maupun putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Lapangan Kerja yang menyebutkan jika peraturan pemerintah dapat digunakan untuk mengubah ketentuan dalam UU Cipta Kerja. Hal ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di mana kedudukan Peraturan Pemerintah berada di bawah Undang-Undang, sehingga ia tidak bisa mencabut ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang.
Selain itu ada juga ketentuan Pasal 166 RUU Cipta Lapangan Kerja yang menyebutkan jika Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah. Ketentuan ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal dalam Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa pengujian atau pembatalan Peraturan Daerah merupakan kewenangan konstitusional Mahkamah Agung.
Satu hal yang perlu disoroti dari proyek pengundangan UU Cipta Kerja adalah digunakannya metode Omnibus Law, di mana satu undang-undang dapat merevisi berbagai norma aturan yang tersebar di berbagai undang- undang, sekaligus dapat memunculkan norma aturan baru dalam undang- undang tersebut. Yang menjadi persoalan dari metode Omnibus Law ini adalah ia cenderung merusak bangunan politik hukum yang sudah mapan dan ada di setiap undang-undang yang direvisinya. Akibatnya tatanan
politik hukum dalam sistem hukum-perundang-undangan Indonesia menjadi rusak, dan tak sedikit masing-masing undang-undang yang terkena perubahan tersebut kehilangan ruh-semangat politik hukum dan visi pengundangannya.
Omnibus Law UU Cipta Kerja memberikan mandat yang begitu besar kepada pemerintah (eksekutif) untuk membuat aturan turunannya baik dalam bentuk PP, Permen, ataupun Perpres. Beberapa norma aturan yang di undang-undang sebelumnya diatur secara langsung di undang-undang, justru dihapuskan dan direvisi, serta dituliskan bahwa pengaturan atasnya akan diatur dalam aturan turunan/pelaksana. Sedangkan pengaturan dalam aturan pelaksana seperti PP, Permen, maupun Perpres proses pembuatannya cenderung tidak partisipatif dan satu arah (sesuai dengan keinginan instansi terkait).
Namun sayangnya, meskipun Omnibus Law UU Cipta Kerja termasuk dari mega-proyek pembuatan peraturan perundang-undangan, fakta menunjukkan bahwa belum ada evaluasi khusus tersendiri yang melibatkan seluruh kepentingan terkait atas masing-masing undang-undang yang terkena revisi. Padahal bila berbicara mengenai upaya pengubahan atau revisi terhadap suatu ketentuan dalam aturan perundang-undangan, mestinya diawali dengan tahap monitoring implementasi dan evaluasi terhadap implementasi aturan tersebut.40
Selain itu DPR-RI sebagai lembaga legislatif negara yang memiliki peran sentral dalam pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja sama sekali tidak menjadi aktor pengawas yang berguna saat membahas UU Cipta Kerja yang draftnya telah diajukan dari pemerintah (lembaga eksekutif). Xxxxxx xxxbahasan di DPR RI seolah hanya menjadi kegiatan seremonial dan formalitas semata karena komposisi koalisi politik di DPR RI yang hampir mayoritas merapat kepada koalisi politik pemerintah (eksekutif). Hal ini menyebabkan konfigurasi politik hukum UU Cipta Kerja hampir sepenuhnya
40 Hal ini turut dipertanyakan juga oleh Xxxx Xxxxx Damayana, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Sepengamatannya, pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja sama sekali tidak membahas spesifik mengenai implementasi maupun evaluasi terhadap aturan perundang−undangan yang terkena revisi lewat Omnibus Law UU Cipta Kerja. Lihat, Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxx, Pembahasan RUU Cipta Kerja Akan Dilanjutkan, PSHK Pertanyakan Evaluasi, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/ 06/17/06123001/pembahasan−ruu−cipta−kerja−akan−dilanjutkan−pshk−pertanyakan− evaluasi?page=all).
mengikuti keinginan dan pesanan dari pemerintah (eksekutif) dan menyisakan pembahasan RUU Cipta Kerja yang tak berarti serta janji-janji politik yang sama sekali tidak terealisasi secara konkrit.41
Dari sini dapat dilihat bahwa UU Cipta Kerja disusun dengan sangat tergesa-gesa, cenderung tertutup, tidak partisipatif, sarat akan kepentingan bisnis-politik, dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang sudah ada termasuk konstitusi UUD NRI 1945 itu sendiri. Kuatnya kepentingan pemain besar bisnis dalam proses penyusunan dan pengundangan UU Cipta Kerja menjadikan produk aturan ini hanya menjadi alat legitimasi bagi praktik eksploitasi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis. Akibatnya, kepentingan masyarakat terkait khususnya kelompok miskin dan pinggiran-termasuk di dalamnya kelompok petani, nelayan, masyarakat adat, buruh, dan lainnya- semakin terabaikan dan tergadaikan jaminan hak-hak kewarganegaraannya.
B. Cacat Formil dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksanaannya
Selain cacat dari segi substansi dan moral keadilan, dalam proses pembentukannya, UU Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya memiliki cacat formil. Kecacatan tersebut dapat dilihat dari tidak dipatuhinya urutan, proses, serta tahapan penyusunan serta pengundangan UU Cipta Kerja sebagaimana ketentuan hukum yang ada, khususnya berdasar UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hal ini bisa dilihat, misalnya dalam proses penyusunan naskah RUU Cipta Kerja yang minim partisipasi kelompok pemangku kepentingan terkait yang akan terdampak akibat diberlakukannya aturan UU Cipta Kerja ini, seperti kelompok masyarakat adat, kelompok petani, kelompok pegiat lingkungan, dan lain-lain.42 Alih-alih melibatkan, Pemerintah cenderung
41 Tidak hanya menjanjikan akan tetap melindungi buruh, DPR RI juga sempat menjanjikan bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja akan bersifat transparan. Namun xxxxx− janji tersebut ternyata hanya angin dan pepesan kosong semata, karena pada akhirnya UU Cipta Kerja mengurangi sejumlah hak−hak buruh dan juga di pembahasan akhir RUU Cipta Kerja proses pertemuan−pertemuan dan pembahasan penting mengenai RUU Cipta Kerja dilakukan secara diam−diam dan tak transparan. Lihat, Xxxxx Xxxxxxx, Omong Kosong Transparansi DPR dan Pemerintah Soal UU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxxx.xx/xxxxx− kosong−transparansi−dpr−dan−pemerintah−soal−uu−cipta−kerja−f54x).
42 Lihat, CNN Indonesia, Partisipasi Minim, Abai HAM, Disorot di Penyusunan Omnibus Law, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxx/00000000000000−32− 554920/partisipasi−minim−abai−ham−disorot−di−penyusunan−omnibus−law). Lihat juga,
menutup-nutupi proses penyusunan draf sembari tidak menghiraukan kritik dan masukan yang disampaikan oleh kelompok masyarakat sipil dan kelompok pemangku kepentingan terkait.43
Adapun cacat formil dalam proses penyusunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini dapat dikatakan hampir ada di semua tahapan, baik sejak awal hingga pasca diberlakukannya. Sejumlah ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dilabrak begitu saja dan seolah tidak menjadi pemandu bagi proses pembentukan UU Cipta Kerja.
Pertama, UU Cipta Kerja dimasukkan ke dalam Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) dan tetap dipaksakan dibahas, meskipun mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Padahal ketentuan Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2011 telah dengan jelas menyebutkan bahwa salah satu pertimbangan suatu rancangan undang-undang hendak dimasukkan ke dalam Prolegnas atau tidak adalah atas dasar “aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat".
Kedua, terdapat beberapa versi naskah RUU Cipta Kerja maupun naskah UU pasca pengesahannya. Hal ini menimbulkan kesimpangsiuran keberadaan naskah yang pasti dan benar di masyarakat, dan membuat masyarakat mengalami kesulitan untuk memberikan masukan, saran, dan kritik kepada Pemerintah. Peristiwa yang menghambat partisipasi warga dalam proses pengundangan suatu aturan undang-undang ini tentunya bertentangan dengan ketentuan Pasal 88 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011.
Komnas HAM, Komnas HAM: Penyusunan Omnibus Law Tidak Akuntabel dan Partisipatif, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxx.xx.xx/xxxxx.xxx/xxxx/0000/0/00/0000/xxxxxx− ham−penyusunan−omnibus−law−tidak−akuntabel−dan−partisipatif.html), dan lihat juga, Xxxx Xxxxxxxxxxx, KODE Inisiatif: Pengesahan RUU Cipta Kerja Tidak Partisipatif, Langgar Asas, Hingga Inkonstitusional, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxx/ lt5f7b4692c4104/kode−inisiatif−−pengesahan−ruu−cipta−kerja−tidak−partisipatif−−langgar− asas−−hingga−inkonstitusional/?page=all).
43 Detik News, PBNU: Legislasi UU Cipta Kerja Tertutup dan Tak Serap Aspirasi Publik, diakses dari (xxxxx://xxxx.xxxxx.xxx/xxxxxx/x−5206479/pbnu−legislasi−uu−cipta−kerja− tertutup−dan−tak−serap−aspirasi−publik). Lihat juga, Xxxxxx Xxxxx, Pemerintah Dinilai Abaikan Kritik Masyarakat Soal Pembahasan Omnibus Law , diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/00000000/xxxxxxxxxx−dinilai−abaikan− kritik−masyarakat−soal−pembahasan−omnibus−law). dan lihat juga, Kontan, Ditolak Buruh, Investor Global Juga Kritik Omnibus Law Cipta Kerja, Ini Penjelasannya, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxx.xx.xx/xxxx/xxxxxxx−buruh−investor−global−juga−kritik−omnibus− law−cipta−kerja−ini−penjelasannya).
Selain itu, pasca pengesahan ditemukan fakta jika ternyata ada beberapa naskah final RUU Cipta Kerja yang sudah diketuk palu, tidak hanya satu draf. Berdasarkan informasi dan berita yang beredar, setidaknya terdapat lima naskah yang beredar sampai naskah RUU Cipta Kerja diundangkan menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.44 Bahkan, para anggota legislatif DPR RI saat itu juga sempat mempertanyakan dan tidak mengetahui keberadaan naskah final RUU Cipta Kerja yang asli.45 Seiring dengan kesimpangsiuran mengenai naskah RUU yang final, ternyata ditemukan fakta juga bahwa ada perubahan dari segi substansi di dalam draf naskah final RUU Cipta Kerja. Hal ini merupakan tindakan melawan hukum baik secara formil maupun materil dalam penyusunan peraturan perundang- undangan yang sudah disahkan.46
Ketiga, proses penyusunan UU Cipta Kerja tidak memenuhi syarat “partisipatif", di mana kelompok masyarakat yang berkepentingan tidak dilibatkan secara penuh untuk memberikan saran, kritik, maupun masukan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011. Alih-alih menerima saran-kritik dan memperbaiki substansi-substansi norma dalam pasal-pasal draf UU Cipta Kerja, Pemerintah malah mengambil langkah respon represif terhadap warga-warga sipil yang dituding berbeda dengan Pemerintah.47
44 Xxxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxx, 5 Perubahan Naskah UU Cipta Kerja, Dari Versi 905 sampai 1187 Halaman, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxx.xx/xxxx/0000000/0−perubahan−naskah− uu−cipta−kerja−dari−versi−905−sampai−1−187−halaman). Detik News, 10 Beda Naskah UU Cipta Kerja Setelah Bolak−balik Berubah, diakses dari (xxxxx://xxxx.xxxxx.xxx/xxxxxx/x− 5212738/10−beda−naskah−uu−cipta−kerja−setelah−bolak−balik−berubah).
45 Xxxxxxxx Xxxxx Putri, Anggota DPR Tak Diberi Salinan Fisik RUU Cipta Kerja Saat Paripurna, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxx.xx/xxxx/0000000/xxxxxxx−dpr−tak−diberi− salinan−fisik−ruu−cipta−kerja−saat−paripurna). Lihat, Detik News, Xxxxx Xxx Ngaku Tak Tahu Naskah yang Disahkan di Paripurna itu UU Ciptaker, diakses dari (xxxxx://xxxx.xxxxx.xxx/ berita/d−5204879/fadli−zon−ngaku−tak−tahu−naskah−yang−disahkan−di−paripurna−uu−ciptaker).
46 Lihat, Xxxxx.xx, Ada Perubahan Substansi di UU Cipta Kerja, Pakar Hukum: Itu Pencurian Pasal, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxx.xx/xxxx/0000000/xxx−perubahan− subtansi−di−uu−cipta−kerja−pakar−hukum−itu−pencurian−pasal/full&view=ok).
47 Hal ini dapat dilihat saat menjelang pengesahan RUU Cipta Kerja dengan diterbitkannya Surat Telegram No. STR/645/X/ PAM.3.2/2020 tertanggal 2 Oktober 2020 oleh Kapolri dimana surat tersebut berisikan perintah Xxxxxxx untuk melakukan patroli siber, kontra narasi dan menindak rakyat yang menolak omnibus law. Selain itu ada juga tindakan kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian saat menghadang aksi demonstrasi warga yang menolak pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja di sepanjang 2020. Lihat, LBH Jakarta, CATAHU 2020: Demokrasi di Tengah Pandemi dan Oligarki, (Jakarta: LBH Jakarta, 2020), hlm. 56.
Keempat, pembuatan undang-undang dengan metode omnibus tidak dikenal sama sekali dan tidak ada prosedur dan batasan yang jelas dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akibatnya penerapan metode ini menjadikan proses pengundangan UU Cipta Kerja cenderung ugal-ugalan dan menjadi bola liar, di mana UU Cipta Kerja merevisi ketentuan-ketentuan krusial di berbagai aturan undang-undang yang justru menurunkan derajat kualitas undang- undang yang direvisinya tersebut. Ketiadaan aturan khusus yang spesifik dan detail mengenai tata cara pembentukan lewat metode omnibus juga menjadikan proses penyusunan UU Cipta Kerja ini sarat akan potensi maladministrasi penyusunan undang-undang.
Di sisi lain, perancangan perundang-undangan yang ada di Indonesia, baik dalam hal membuat undang-undang baru maupun merevisi undang- undang lama menganut konsep the single subject rule atau the one subject at a time act yakni konsep di mana pembuatan maupun revisi sebuah undang-undang mengatur satu subyek/tema/judul dalam satu undang- undang.48 Artinya, tradisi perancangan peraturan perundang-undangan di Indonesia cenderung membuat atau merevisi terkait satu judul undang- undang saja, dan hal ini lah yang sejak dahulu terus dipraktikkan dan juga diadopsi dalam konteks tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011.49 Hal ini berguna agar pembahasan norma aturan dalam satu undang-undang terfokus, ternaungi dalam satu visi-misi dan politik hukum undang-undangnya, demokratis dalam pembahasan dan penyusunannya, serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan-wewenang dalam penyusunan undang-undang.
Selain itu pembuatan Undang-undang dengan model omnibus juga muncul seiring meningkatnya 'tren eksekutifisasi' pembentukan undang- undang. Dalam trend ini, peran Pemerintah (eksekutif) sangat kuat dalam
48 Xxxxxxx X. Xxxxxxx, “Single Subject Rules And The Legislative Process”, University Of Pittsburgh Law Review, Vol. 67, No 4, 2006.
49 Meski begitu patut diakui juga, bahwa metode perancangan undang−undang ala Omnibus Law pernah terjadi beberapa kali di Indonesia, seperti dalam kasus perancangan Undang−undang Pokok Agraria 1960, UU Perkawinan 1974, Perppu Tentang Amnesti Pajak 2017, hingga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang−Undang No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid−19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
membentuk sebuah undang-undang, dan lembaga kekuasaan legislatif (parlemen atau DPR) tidak memainkan perannya sebagai pengawas yang jelas untuk menyeimbangi kepentingan eksekutif. Hal ini terjadi karena komposisi anggota DPR yang didominasi oleh perwakilan partai-partai politik koalisi Pemerintah.
Dalam posisi ini, pembuatan undang-undang dengan metode omnibus menjadi sangat berbahaya dan memiliki celah risiko yang besar, di mana lembaga legislatif atau parlemen justru ditundukkan oleh lembaga eksekutif dan menjadi tidak berdaya. Akibatnya DPR seolah menjadi lembaga legislatif 'tukang stempel' pembahasan paripurna atas undang-undang saja. Pembuatan undang-undang dengan metode omnibus juga menjadikan anggota parlemen atau legislatif mengalami kesulitan untuk meneliti dan menelaah secara seksama draf undang-undang yang diajukan oleh Pemerintah mengingat kompleksitas penyajian draft undang-undangnya. Selain itu risiko yang paling tinggi dari penyusunan undang-undang dengan metode omnibus adalah langkah radikalnya yang dengan cepat menghapus norma lama dan menciptakan norma baru.50 Hal ini berisiko bagi tata keseimbangan politik hukum yang sudah dibangun sebelumnya di undang- undang lama, dan menunjukkan betapa abusifnya metode pembuatan undang-undang dengan model omnibus.
Kelima, dalam konteks perancangan aturan turunan dari UU Cipta Kerja, tampak jika naskah rancangan aturan turunan (Peraturan Pemerintah) disusun secara beriringan dengan penyusunan draf UU Cipta Kerja itu sendiri. Artinya, naskah rancangan aturan turunan (Peraturan Pemerintah) telah dibuat sebelum UU Cipta Kerja disahkan melalui Rapat Paripurna DPR RI dan sebelum UU Cipta Kerja diundangkan/ditandatangani oleh Presiden RI.51 Ini dapat dilihat dari munculnya belasan naskah rancangan peraturan
50 “...The abuse of omnibus bills challenges our understanding of parliamentary democracy, where citizens elect representatives who consider different viewpoints in proposing, debating, and enacting laws. When parliamentarians relinquish this role and simply defer to the executive, which prepares government bills, they fail in their representative function and risk making a mockery out of the constitutional right to vote by emptying it of any substance”. Xxxxx, Xxxx X. Dodek, “Omnibus Bills: Constitutional Constraints and Legislative Liberations”, Ottawa Law Review, Vol. 48, No. 1, 2017.
51 Ini dapat dilihat dari diunggahnya sebagian dokumen elektronik draf naskah RPP aturan pelaksana UU Cipta Kerja (seperti RPP Pelaksanaan Undang−Undang tentang Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan, RPP Sinkronisasi Peraturan Perundang−Undangan Di Bawah UU, RPP Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum, dan
pemerintah yang muncul selang beberapa hari pasca disahkannya UU Cipta Kerja. Selain itu, nomor UU Cipta Kerja dalam naskah rancangan peraturan pemerintah masih kosong/dikosongkan. Maka, kemungkinan besar naskah Rancangan Peraturan Pemerintah sudah disusun sejak awal sebelum UU Cipta Kerja disahkan dan diundangkan. Menjadi sangat tidak masuk akal ketika kemudian pemerintah merancang sebuah aturan pelaksana undang- undang, namun undang-undangnya sendiri belum selesai dibahas dan belum disahkan, sedangkan aturan pelaksana tersebut dibuat berdasarkan ketentuan yang mengikat dan berlaku dalam undang-undang tersebut.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah menyatakan bahwa proses penyusunan dan pengesahan rancangan peraturan pemerintah ini dibuat secara terbuka dan warga dapat berpartisipasi atasnya. Namun, proses penyusunan awal yang dilakukan secara 'gelondongan' dengan penyusunan naskah RUU Cipta Kerja menunjukkan bahwa pernyataan pemerintah tersebut hanya pemanis belaka. Selain itu, sebagaimana disinggung di atas, peran pemerintah sangat dominan dan cenderung satu arah dalam proses penyusunan naskah Rancangan Peraturan Pemerintah.
C. Respon Masyarakat atas Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Kencangnya kepentingan dan upaya Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja dibarengi dengan kencangnya juga suara penolakan terhadap RUU Cipta Kerja dari kelompok masyarakat yang dirugikan oleh adanya RUU ini. Salah satunya adalah Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) yang terdiri atas puluhan organisasi, lembaga, maupun kelompok yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Pada Januari 2020, FRI yang juga beranggotakan LBH Jakarta mengeluarkan kertas kebijakan yang menerangkan 12 dampak buruk yang dapat dihadirkan oleh RUU Cipta Lapangan Kerja.52 Rumusan 12 dampak buruk tersebut
RPP Penyelesaian Ketidaksesuaian RTR dengan Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah di antara tanggal 10 s.d. 13 November 2020, hanya selang 1 (satu) bulan pasca disahkannya UU Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Daftar Rancangan Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxxxx.xx.xx/xxxxxxxx/xxxxx−rpp/).
52 Fraksi Rakyat Indonesia, Kertas Posisi Fraksi Rakyat Indonesia: Omnibus Law Cipta Kerja: Aturan Berwatak Kolonial, diakses dari (xxxxx://xxx.xx.xx/xx−content/uploads/ 2020/01/KERTAS−POSISI−FRAKSI−RAKYAT−INDONESIA.−LENGKAP).
bertajuk #Cilaka12 yang kemudian disinyalir menjadi salah satu alasan berubahnya nama RUU Cilaka menjadi RUU Cipta Kerja akibat buruknya tanggapan masyarakat atas namanya.
Pandemi COVID-19 yang telah merambah ke Indonesia sejak awal 2021 pun nyatanya tidak menyurutkan tekad pemerintah dan DPR untuk terus membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Ketika terbit himbauan untuk membatasi kegiatan keagamaan, menutup perkantoran, menjaga jarak, dan melakukan semua hal dari rumah, DPR malah terus membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja sepanjang tahun 2020.53 Masyarakat yang pada mulanya meminta penundaan pembahasan karena pandemi pun tersulut amarahnya dan menyuarakan penolakannya melalui demonstrasi yang berlangsung sepanjang tahun 2020.
Pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR pada 5 Oktober 2020 merupakan puncak dari akrobat percepatan pemerintah dan DPR dalam menghadirkan RUU Cipta Kerja. RUU yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini pun disambut penolakan besar-besaran oleh masyarakat sipil, mulai dari demonstrasi di lebih dari 30 kota yang diinisiasi oleh Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), aksi mogok nasional yang diinisiasi oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan juga penolakan oleh akademisi dan berbagai kelompok lainnya dalam masyarakat hingga kini.54
1. Respons Masyarakat Melalui Advokasi: Demonstrasi Hingga Mahkamah Konstitusi
Secara singkat, advokasi dapat didefinisikan sebagai tindakan memengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang.55 Sedangkan advokasi kebijakan dapat diartikan sebagai tindakan memengaruhi dan/atau mendukung sesuatu atau seseorang yang berkaitan dengan kebijakan publik seperti regulasi dan kebijakan pemerintah. Advokasi
53 Xxxxxxx Xxxxx, Paksaan Omnibus Law Ditengah Duka Pandemi COVID−19, diakses dari (xxxxx://xxxx.xx.xx/0000/00/00/xxxxxxx−omnibus−law−ditengah−duka−pandemi−covid− 19/).
54 Xxxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxx, Enam Hal tentang Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxx.xx/xxxx/0000000/xxxx−hal−tentang−pengesahan− omnibus−law−uu−cipta−kerja/full&view=ok).
55 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Petunjuk Tiga Advokasi − Pengelolaan Organisasi Pengusaha, (Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional, 2006), hlm. 7.
juga merupakan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan juga kegiatan untuk mendesak hadirnya perubahan sosial melalui respon terhadap perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, maupun evaluasi kebijakan.56
Sejak awal gagasan pembentukan hingga disahkan menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, berbagai elemen masyarakat sipil telah melakukan beragam cara advokasi untuk merespon kehadiran regulasi tersebut. Adapun beberapa upaya advokasi oleh masyarakat sipil adalah sebagai berikut:
a. Pernyataan Sikap dan Kertas Posisi/Kebijakan
Berbagai kelompok masyarakat sipil baik yang menggabungkan/mengorganisir diri ke dalam sebuah gerakan yang lebih besar maupun masing-masing kelompok telah beberapa kali melakukan advokasi penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja dengan mengeluarkan pernyataan sikap maupun kertas posisi/kebijakan yang berisikan sikap tiap elemen, rekomendasi, maupun poin tuntutan yang ada. Beberapa pernyataan sikap ataupun kertas posisi/kebijakan yang pernah ada dapat dirincikan sebagai berikut:
Tabel 1. Pernyataan Sikap Jaringan Masyarakat Sipil
No. | Elemen Masyarakat | Waktu | Pernyataan Sikap |
1. | Fraksi Rakyat | FRI menyatakan bahwa | |
Indonesia (FRI), | Omnibus Law akan | ||
yang berisikan | mematikan demokrasi, | ||
LBH Jakarta, | membawa kembali Indonesia | ||
YLBHI, | pada otoritarianisme dan | ||
Greenpeace, | sentralisasi, juga merupakan | ||
WALHI, | kemunduran suara rakyat | ||
Konfederasi | dalam pembuatan hukum. | ||
Kongres Aliansi | Selain itu, FRI juga menyoroti |
56 Kebijakan Kesehatan Indonesia, Pengertian Dasar Advokasi Kebijakan, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxx/xxxxx/xxxx/0000/).
No. | Elemen Masyarakat | Waktu | Pernyataan Sikap |
Serikat Buruh Indonesia (KASBI), dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya. | perihal kewenangan Presiden yang begitu besar, tidak mengatasi masalah reformasi birokrasi, tidak menjamin akan mendatangkan investasi dan menyejahterakan rakyat, juga minim perlindungan pekerja.57 | ||
2. | Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) | 20/2/2020 | KPA menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja turut memasukkan substansi kontroversial yang sebelumnya ada di RUU Pertanahan, seperti ketentuan tentang HPL, HGU yang diistimewakan, hapusnya sanksi tanah terlantar, adanya agenda pembentukan Bank Tanah, penyimpangan reforma agraria, dan adanya hak milik sarusun untuk investor asing. Selain itu, KPA juga menyoroti RUU Cipta Kerja yang akan memperparah kondisi ketimpangan penguasaan tanah, mempermudah perampasan dan penggusuran tanah, mempercepat alih fungsi tanah pertanian, juga memperkuat potensi kriminalisasi dan diskriminasi hak petani dan masyarakat adat.58 |
57 Fraksi Rakyat Indonesia, Kertas Posisi Fraksi Rakyat Indonesia: Omnibus Law Cipta Kerja: Aturan Berwatak Kolonial, diakses dari (xxxxx://xxx.xx.xx/xx−content/uploads/ 2020/01/KERTAS−POSISI−FRAKSI−RAKYAT−INDONESIA.−LENGKAP.pdf).
58 Konsorsium Pembaruan Agraria, Atas Nama Pengadaan Tanah Untuk Kemudahan Investasi, Omnibus Law Cipta Kerja Bahayakan Petani dan Masyarakat Adat, diakses dari
No. | Elemen Masyarakat | Waktu | Pernyataan Sikap |
3. | Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) | 6/4/2020 | Dalam surat terbuka yang ditandatangani oleh Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Xxx Xxxxxxxx, Walhi meminta DPR RI untuk menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law, bersama dengan beberapa peraturan lain, yaitu RKUHP dan RUU Minerba. Walhi menyoroti proses pembentukan RUU Cipta Kerja yang dilangsungkan di tengah kondisi krisis pandemi global. DPR dianggap tak memperhatikan kondisi pandemi yang membutuhkan lebih banyak perhatian dibanding memuluskan rancangan peraturan yang menuai penolakan masyarakat. Xxxxx pun sedari awal menyoroti RUU Cipta Kerja yang memperparah kemiskinan dan menghilangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.59 |
4. | 92 Akademisi dari | 22/4/2020 | 92 akademisi dari 67 Perguruan Tinggi menyatakan |
(xxxx://xxx.xx.xx/xxxxx/xxxx0/xxxxxx_xxxx/000/Xxxx_Xxxx_Xxxxxxxxx_Xxxxx_Xxxxx_ Kemudahan_Investasi Omnibus_Law_Cipta_Kerja_Bahayakan_Petani_dan_Masyarakat_ Adat/).
59 Xxxxx Xxxxxxx, Walhi: Hentikan Pembahasan RUU Omnibus Law dan RUU Minerba, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxxx/000000/xxxxx−hentikan−pembahasan− ruu−omnibus−law−dan−ruu−minerba).
No. | Elemen Masyarakat | Waktu | Pernyataan Sikap |
67 Perguruan Tinggi | bahwa Omnibus Law Cipta Kerja nyata-nyata meminggirkan hak rakyat. Proses pembahasan yang minim partisipasi publik, menindas kelas pekerja, juga mengancam kondisi lingkungan hidup menjadi alasan peminggiran hak-hak tersebut. | ||
5. | LBH Jakarta | 25/4/2020 | LBH Jakarta menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja akan menambah jumlah penggusuran paksa dan juga menyoroti pengadaan lahan yang dapat langsung dilaksanakan tanpa adanya konsultasi publik. Selain itu, RUU Cipta Kerja juga akan berimplikasi terhadap hilangnya hak-hak pekerja sehingga melegitimasi negara melakukan pemiskinan struktural.60 |
6. | 104 Pendeta Lintas Denominasi | 15/7/2020 | Sebanyak 104 pendeta lintas denominasi menganggap bahwa jika RUU Cipta Kerja disahkan, maka peraturan tersebut akan mengancam keselamatan lingkungan, ruang hidup warga/umat, dan |
60 LBH Jakarta, Peluncuran Kertas Kebijakan LBH Jakarta Tentang Omnibus Law RUU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxxx.xx.xx/xxxxxx−pers−peluncuran−kertas− kebijakan−lbh−jakarta−tentang−omnibus−law−ruu−cipta−kerja/).
No. | Elemen Masyarakat | Waktu | Pernyataan Sikap |
mengabaikan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Atas dasar itu, para pendeta tersebut mendesak pemerintah dan DPR RI agar membatalkan agenda pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan mendesak Presiden Xxxx Xxxxxx untuk menariknya.61 | |||
7. | Gerak Perempuan | 16/7/2020 | Gerak Perempuan berpendapat bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan mengancam kerentanan buruh/pekerja perempuan dan menghilangkan akses atas penghidupan yang layak. Selain itu, Omnibus Law juga mengancam perempuan di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan juga mengancam perempuan kelompok minoritas secara agama/keyakinan.62 |
8. | Amnesty International Indonesia | 19/8/2020 | Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja mengancam Hak Asasi Manusia (HAM). Amnesty menilai RUU Cipta |
61 Xxxxxx Xxxxxxx, Persekutuan Gereja−Gereja di Indonesia, Pernyataan Sikap Para Pendeta Terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxx.xx.xx/xxxxxxxxxx− sikap−para−pendeta−terkait−omnibus−law−ruu−cipta−kerja/).
62 Koalisi Bersihkan Indonesia, Kertas Posisi dan Pernyataan Sikap Menolak Omnibus Law, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx_xxxxxx_xxx_ pernyataan_sikap_menolak_omnibus_law).
No. | Elemen Masyarakat | Waktu | Pernyataan Sikap |
Kerja, baik secara proses pembentukan maupun substansi, berpotensi melanggar HAM juga bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia untuk melindungi HAM, terutama mengenai hak untuk bekerja dan hak di tempat kerja.63 | |||
9. | PP Muhammadiyah | 5/10/2020 | Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Xxxxxx Xxxxxxxx, menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja disahkan dengan penuh kekumuhan moralitas dan juga membunuh demokrasi. Terdapat juga permasalahan dalam hal sertifikasi halal dari RUU Omnibus Law yang dipaksakan di situasi sangat terbatas yang didukung juga oleh Surat Edaran Kapolri yang sangat represif.64 |
10. | Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) | 6/10/2020 | PUKAT UGM berpendapat bahwa pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja tidak memenuhi asas keterbukaan dan tidak mencerminkan harmonisasi juga simplifikasi |
63 Amnesty International Indonesia, RUU Cipta Kerja Ancam Hak Asasi Manusia, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxx.xx/xxx−cipta−kerja−ancam−hak−asasi−manusia/).
64 Xxxxx Xxxxxx, PP Muhammadiyah Kritik Keras Pengesahan UU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxx.xxxxx.xxx/xxxxxx/x−5201326/pp−muhammadiyah−kritik−keras−pengesahan− uu−cipta−kerja).
No. | Elemen Masyarakat | Waktu | Pernyataan Sikap |
peraturan perundang- undangan. Selain itu, Omnibus Law Cipta Kerja juga sarat akan sentralisasi kekuasaan dan potensi penyalahgunaan wewenang.65 | |||
11. | Aliansi Jurnalis Independen (AJI) | 7/10/2020 | Ketua Umum AJI, Xxxxx Xxxxx, dan Sekjen AJI, Revolusi Riza, turut menyoroti Omnibus Law yang pembahasannya tergesa-gesa, merugikan kelas pekerja, dan substansinya yang turut merevisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.66 |
12. | Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) | 9/10/2020 | K.H. Xxxx Xxxx Xxxxxx, Ketua Umum PBNU, menyatakan bahwa PBNU memiliki 9 poin sikap dalam memandang UU Cipta Kerja. NU menyoroti proses pembentukan UU Cipta Kerja yang terkesan terburu- buru jika mengokohkan dominasi negara dan oligarki. Selain itu, NU pun menyoroti perihal sentralisasi yang turut mengatur masalah sertifikasi halal. NU menganggap UU Cipta Kerja mengokohkan |
65 Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Rilis: Catatan PUKAT UGM Terhadap RUU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxxx.xxx.xx.xx/?xx0000).
66 Xxxxx Xxxxxx, 3 Pernyataan Sikap AJI Kecam Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxxx00.xxxxxx.xxx/xxxx/00000000/00/0000000/0−pernyataan− sikap−aji−kecam pengesahan−omnibus−law−uu−cipta−kerja).
No. | Elemen Masyarakat | Waktu | Pernyataan Sikap |
paradigma bias industri yang mengganggu sertifikasi halal.67 | |||
Persatuan Alumni 212 (PA 212), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, HRS Center, dan Front Pembela Islam (FPI) | 9/10/2020 | Penolakan yang disampaikan PA 212, GNPF Ulama, FPI, dan juga HRS Center tersebut utamanya menyoroti UU Cipta Kerja yang didominasi oligarki ekonomi asing dan tidak berpihak pada tenaga kerja lokal.68 |
Selain berbagai pernyataan sikap juga kertas posisi/kebijakan yang telah diperinci di atas, sejatinya masih terdapat banyak bentuk penolakan tertulis yang juga turut disuarakan oleh banyak komponen masyarakat sipil. Satu di antara berbagai elemen tersebut ialah elemen mahasiswa. Sedari awal gagasan Omnibus Law Cipta Kerja berhembus, kelompok mahasiswa telah mengkaji, melakukan penyikapan, dan juga menggabungkan diri dengan elemen masyarakat sipil lainnya untuk menolak Omnibus Law Cipta Kerja.
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengadakan diskusi publik yang bertempat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) pada tanggal 20 Februari 2020 untuk membahas rancangan peraturan kontroversial yang ketika itu masih bertajuk RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka). Diskusi publik yang turut menghadirkan Guru Besar FH UI Xxxx. Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxx selaku Direktur LBH Jakarta, Dosen
67 Xxxx Xxxxxxx, Sembilan Sikap PBNU soal UU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/000/0000000/xxxxxxxx−sikap−pbnu−soal− uu−cipta−kerja).
68 Warta Ekonomi, Simak, Ini Pernyataan Sikap FPI, GNPF Ulama, PA 212, dan HRS Center Soal UU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxx.xx.xx/xxxx000000/ simak−ini−pernyataan−sikap−fpi−gnpf−ulama−pa−212−dan−hrs−center−soal−uu−cipta−kerja).
Hukum Lingkungan FH UI, Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx, juga Xxxxxx Xxxxx selaku ekonom senior INDEF. Melalui kesempatan yang sama, Xxxxxx Xxxxx turut mengkritik Omnibus Law yang menurutnya tidak akan berdampak apapun bagi investasi yang nyatanya sedang dalam kondisi baik-baik saja disambung Xxxx. Xxxxx Xxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx yang mempersoalkan perihal proses harmonisasi yang ada juga perihal lingkungan hidup.69
Kemudian, BEM se-UI pun membuat serial kajian #KamiParasit yang membahas berbagai permasalahan dalam Omnibus Law Cipta Kerja mulai dari sektor perburuhan, lingkungan hidup, good governance, kesehatan, dan kefarmasian. Selain BEM se-UI, BEM Kema Universitas Padjajaran (BEM Kema Unpad) pun merilis catatan kritis Omnibus Law dari proses pembentukan yang ada, politik hukumnya, dan berbagai kontroversi lain di dalamnya. BEM Universitas Negeri Sebelas Maret (BEM UNS) pun turut menerbitkan kajian mengenai Omnibus Law dalam kaitannya dengan pendidikan yang kemudian diikuti banyak organisasi mahasiswa lainnya yang mengeluarkan hal serupa di sepanjang tahun 2020.
Selain gelombang penolakan masif dari dalam negeri, penolakan terhadap UU Cipta Kerja rupanya turut datang dari dunia internasional. Pada 6 Oktober 2020, Dewan Serikat Buruh Nasional (The Council of Global Union) mengirimkan surat yang juga ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Building and Wood Worker’s International (BWI), The International Trade Union Confederation (ITUC), International Union of Food, Agricultural, Hotel, Restaurant, Catering, Tobacco, and Allied Worker’s Associations (IUF), dan berbagai serikat buruh internasional lainnya. Surat tersebut berisikan permintaan agar Presiden Xxxx Xxxxxx membatalkan UU Cipta Kerja dan membuka ruang dialog dengan serikat buruh.70
69 Xxxxxxx Xxxxxxxx dan Qurratu Aina, Omnibus Law dan Segudang Kontroversi, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxx.xx/0000/00/00/xxxxxxx−law−dan−segudang−kontroversi/).
70 Xxxxx Xxxxx Xxxx, International Labor Union Federations Write to Xxxxxx to Protest Omnibus Law, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/ international−labor−union−federations−write−to−xxxxxx−to−protest−omnibus−law.html).
Pelaku investasi internasional pun menyatakan penolakannya terhadap UU Cipta Kerja. Sebanyak 35 investor global dengan nilai aset kelola sebesar 4.1 triliun dollar AS menulis surat terbuka untuk Presiden Xxxx Xxxxxx yang menyatakan kekhawatiran para investor global akan kondisi lingkungan hidup, hak asasi manusia, juga ketenagakerjaan akibat UU Cipta Kerja yang akan mempengaruhi daya tarik pasar Indonesia.71 Respon yang menohok ini menunjukkan bahwa peraturan yang seolah hadir demi lancarnya investasi asing nyatanya tak benar-benar tampak menarik bagi investor asing.
b. Aksi Demonstrasi dan Mogok Nasional
Omnibus Law Cipta Kerja yang mulai beredar gagasannya sejak akhir tahun 2019 direspons oleh berbagai kelompok masyarakat yang menolak melalui berbagai langkah advokasi yang juga beragam. Salah satu langkah yang dilakukan ialah dengan mengemukakan pendapat di muka umum melalui demonstrasi, aksi mogok, mimbar bebas, dan berbagai kegiatan serupa. Upaya demonstrasi, aksi mogok, dan berbagai penyampaian pendapat di muka umum lainnya dianggap penting demi menghadirkan kerasnya suara penolakan.
Pada 8 Maret 2020, berlangsung demonstrasi besar-besaran di Jakarta yang menyertakan penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja sebagai salah satu poin tuntutan di dalamnya. Aksi untuk memperingati Hari Perempuan Internasional (International Women Day) 2020 ini diinisiasi oleh Gerak Perempuan dengan turut mengajak berbagai elemen masyarakat sipil lainnya termasuk KASBI. Gerakan buruh yang ikut ke dalam demonstrasi besar tersebut menyerukan penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja yang akan mencederai hak buruh perempuan dan menuntut upah layak secara nasional.72
71 Xxxxx Xxxxxx, 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/000000000/00− investor−asing−nyatakan−keresahannya−terhadap−pengesahan−uu−cipta−kerja?page=all).
72 Sultan F. Xxxxxx, Buruh Perempuan Mendominasi Perayaan International Women’s Day 2020: Tolak Omnibus Law!, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxx− perempuan−mendominasi−perayaan−international−womens−day−2020−tolak−omnibus−law).
Merambahnya pandemi COVID-19 ke Indonesia berhasil memengaruhi kondisi perburuhan di Indonesia. Selain menyebabkan pembatasan demonstrasi, pandemi turut membuat jutaan buruh dirumahkan, mereka yang terjangkit virus meregang nyawa, dan banyak yang masih dipaksa bekerja di tengah kondisi ketidakpastian. Kondisi inilah yang menyebabkan para buruh terus menerus bersuara atas nasibnya dan juga meminta pemerintah dan DPR untuk menunda pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja.73
Menanggapi kondisi yang ada, Presiden KSPI, Xxxx Xxxxx, menyatakan bahwa ribuan buruh yang tersebar di ribuan pabrik di 24 kota se-Indonesia akan melangsungkan aksi demonstrasi pada 5 Agustus 2020. Aksi yang belakangan ditunda akibat tingginya angka penyebaran COVID-19 dan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh pemerintah ini mengusung penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja sebagai salah satu poin tuntutan.74
Diteruskannya pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja di DPR memantik amarah masyarakat yang mempertanyakan skala prioritas DPR di tengah pandemi COVID-19. Aksi demonstrasi pun kian menjamur menyikapi DPR yang terus membahas peraturan bermasalah di tengah himbauan menjaga jarak dan batasi kerumunan. Menyikapi itu, GEBRAK yang terdiri dari organisasi buruh, pertani, mahasiswa, dan perempuan melakukan aksi maraton selama 14-16 Agustus 2020 untuk menolak Omnibus Law Cipta Kerja dengan total massa aksi 10.000 peserta.75
Pengesahan Omnibus Law Cipta Xxxxx secara tiba-tiba pada 5 Oktober 2020 pun tak menurunkan semangat penolakan. Mulai dari ratusan buruh yang mengadakan demonstrasi di depan
73 Xxxxxx Xxxxxx, Tuntutan Diabaikan Pemerintah, Buruh Aksi Serentak 5 Agustus, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxx/00000000000000−92−672357/ tuntutan−diabaikan−pemerintah−buruh−aksi−serentak−5−agustus).
74 Xxxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxx, Aksi Demo 5 Agustus, Buruh Sampaikan Tiga Tuntutan ke Xxxxxx, diakses dari (xxxxx://xxxxxx.xxxxx.xx/xxxx/0000000/xxxx−demo−5−agustus−buruh− sampaikan−tiga−tuntutan−ke−xxxxxx).
75 Haryanti Puspa Sari, Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Gelar Demonstrasi di DPR 14 Agustus, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/00000000/xxxxx−ruu− cipta−kerja−buruh−gelar−demonstrasi−di−dpr−14−agustus?page=al l).
gedung DPRD Surabaya, demonstrasi di depan gedung DPRD Sumatera Utara, juga aksi massa besar-besaran di Jakarta 8 Oktober 2020. Sayangnya, demonstrasi besar-besaran di Jakarta tersebut dimanfaatkan oleh kelompok tak dikenal untuk menciptakan keadaan kacau, membakar halte TransJakarta, yang menurut Xxxxxx XXX XXX, Xxxxx Xxxxxxxx, telah direncanakan.76
Menanggapi pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja, KSPI juga turut menyuarakan penolakan dengan aksi mogok nasional selama tiga hari yaitu 6-8 Oktober 2020. Aksi mogok ribuan buruh se- Indonesia tersebut difokuskan di daerah industri besar seperti Jakarta, Karawang, Purwakarta, Surabaya, Batam, Gresik, Subang, dan sebagainya. Aksi mogok tersebut membuat ribuan buruh berhenti bekerja, keluar pabrik, dan menuntut pemerintah dan DPR untuk segera membatalkan UU Cipta Kerja.77
2. Advokasi Melalui Jalur Litigasi (Mekanisme Peradilan)
Selain upaya-upaya advokasi yang dilakukan di luar jalur litigasi, elemen masyarakat sipil juga melakukan advokasi di ranah litigasi untuk menolak kehadiran RUU Cipta Kerja yang kemudian menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Berbagai usaha tersebut dapat diperinci sebagai berikut:
a. Gugatan Surat Presiden Omnibus Law RUU Cipta Kerja ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Tanpa menghiraukan suara protes dari masyarakat akan hadirnya gagasan untuk menciptakan Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah malah terus berusaha mempercepat proses penyusunan rancangan yang ada. Pada 12 Februari 2020, Menko Perekonomian bersama Menteri Ketenagakerjaan menyerahkan Surat Presiden (Surpres) yang berisi pengajuan Omnibus Law Cipta Kerja kepada DPR RI. Surpres yang dikeluarkan dengan tergesa-gesa itu pun memancing lebih jauh reaksi masyarakat.
76 Narasi TV, Eksklusif, Saksi Mata Pembakaran Halte Sarinah, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxx.xx/xxxx−najwa/eksklusif−saksi−mata−pembakaran−halte−sarinah).
77 Xxxxxx Xxxxx, Buruh Lanjutkan Mogok Nasional, KSPI Pusatkan Aksi di Daerah industri, diakses dari (xxxxx://xxxxxx.xxxxx.xx/xxxx/0000000/xxxxx−lanjutkan−mogok− nasional−kspi−pusatkan−aksi−di−daerah−industri/full&view=ok).
Menyikapi hal tersebut, Xxxxxxxxxx dari YLBHI, Xxxxxxxxx dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Xxxx Xxxxxxx dari KPA, dan Merah Xxxxxxxxx Xxxxxx melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengenai Surpres No. R-06/Pres/02/2020 tentang RUU Cipta Kerja. Kuasa hukum dari para penggugat adalah Xxx Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) yang mewakili para penggugat dalam gugatan yang bertujuan untuk membatalkan Surpres dan meminta Presiden RI mencabutnya dengan harapan dihentikannya pembahasan RUU Cipta Kerja.78
Namun, pada 19 Oktober 2020, Xxxxxxx Xxxxx PTUN Jakarta memutuskan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena PTUN Jakarta dianggap tidak dapat mengadili perkara. Kekecewaan pun semakin memuncak ketika diketahui bahwa putusan sama sekali tidak memeriksa pokok perkara padahal persidangan yang telah berlangsung selama hampir tujuh bulan. Kecurigaan pun bermunculan saat TAUD menemukan adanya beberapa kejanggalan, yaitu:79
1) Saat pendaftaran gugatan, para penggugat diwajibkan menggunakan sistem administrasi perkara e-court tanpa dasar hukum;
2) Pengerahan aparat berlebihan selama proses persidangan;
3) Tergugat tidak memberi salinan Surpres kepada Penggugat;
4) Xxxxx tidak kunjung memberi keputusan atas permohonan penundaan berlakunya Surpres hingga putusan akhir;
5) Ahli pemerintah berpotensi memiliki konflik kepentingan karena terlibat dalam Satgas Omnibus Law;
6) Xxxxxxx Xxxxx dan Tergugat diduga mengulur waktu persidangan hingga pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja;
78 LBH Jakarta, Demokrasi di Tengah Oligarki & Pandemi: Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta Tahun 2020, (Jakarta: LBH Jakarta, 2020), hlm. 52.
79 Ibid, hlm. 52−54.
7) Putusan tidak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum; dan
8) Penggugat tidak mendapat salinan putusan saat tanggal pembacaan putusan.
Para penggugat pun kemudian melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PTTUN). Namun, upaya ini berujung pada hasil yang serupa di mana Majelis Hakim PTTUN menguatkan putusan PTUN Jakarta yang menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara.80 Tanpa keraguan, para penggugat Surpres pun kembali mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung (MA). Tetapi, upaya ini pun kandas. Pada 10 November 2021, MA juga menolak permohonan kasasi para pemohon.81
b. Uji Formil dan Materiil ke Mahkamah Konstitusi
Selain gugatan terkait Surpres RUU Cipta Kerja, terdapat juga langkah litigasi lainnya yang tengah dilalui oleh elemen masyarakat sipil. Upaya tersebut adalah menempuh mekanisme pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya pengujian tersebut mencakup upaya pengujian formil yaitu mengenai proses pembentukan perundang-undangan, juga pengujian materiil, mengenai substansi UU Cipta Kerja. Berbagai pengujian UU Cipta Kerja yang berlangsung di MK tersebut dapat diperinci sebagai berikut:
1) Perkara No. 87/PUU-XVIII/2020
Para pemohon mempersoalkan materi muatan dalam UU Cipta Kerja yang menghilangkan pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan, dan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu. Selain itu, UU Cipta Kerja juga telah mengubah formula perhitungan upah dan mengandung
80 LBH Jakarta, Gugatan Surpres Omnibus Law: Masyarakat Sipil Ajukan Kasasi, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxxx.xx.xx/xxxxxxx−surpres−omnibus−law−masyarakat−sipil−ajukan− kasasi/).
81 Xxxx Xxxxxxx, MA Tolak Kasasi YLBHI dkk Soal Surpres Omnibus Law ke DPR, diakses dari (xxxxx://xxxx.xxxxx.xxx/xxxxxx/x−5805474/ma−tolak−kasasi−ylbhi−dkk−soal−surpres− omnibus−law−ke−dpr).
substansi yang menciderai hak konstitusional pemohon.82
2) Perkara No. 95/PUU-XVII/2020
Terdapat beberapa pemohon dalam perkara tersebut yang mempersoalkan materi muatan UU Cipta Kerja dalam aspek yang berbeda. Pemohon I mempermasalahkan ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Perjanjian kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan merugikannya. Sedangkan Pemohon II dan Pemohon III merupakan pelajar dan mahasiswa yang mempermasalahkan perihal kapitalisasi dunia pendidikan menjadi ladang bisnis.83
3) Perkara No. 91/PUU-XVII/2020, Perkara No. 103/PUU- XVII/2020, Perkara No. 105/ PUU-XVII/2020, Perkara No. 107/PUU-XVII/2020, Perkara No. 4/PUU- XIX/2021, dan Perkara No. 6/PUU-XIX/2021
Para pemohon yang berbeda-beda dalam perkara yang berbeda-beda ini mempermasalahkan perihal formil dari UU Cipta Kerja. Para pemohon merasa bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja minim partisipasi publik, sehingga di dalam UU Cipta Kerja terdapat cacat formil.
D. Tindakan Represif Pemerintah terhadap Respon Masyarakat yang Menolak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Penolakan berbagai elemen masyarakat sipil terhadap UU Cipta Kerja dilakukan melalui berbagai cara, seperti menerbitkan kertas posisi, melakukan aksi mogok nasional, melaksanakan demonstrasi, dan berbagai upaya serupa lainnya. Hal ini merupakan bagian dari respons alamiah dari masyarakat sekaligus bagian dari upaya perjuangan hak asasi manusia yang dilakukan oleh masyarakat yang karenanya perlu didengar dan dihormati.
82 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang Perkara No. 87/PUU− XVII/2020 (Acara Pemeriksaan Pendahuluan I), November 2020.
83 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, UU Cipta Kerja Dituding Jadikan Pendidikan sebagai Ladang Bisnis, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxx.xx/xxxxx.xxx?xxxxx web.Berita&id=16739&menu=2, diakses pada 16 November 2021).
Namun sayangnya, respon dan sikap tindakan pemerintah dalam menanggapi arus penolakan Omnibus Law Cipta Kerja nyatanya mengabaikan Hak Asasi Manusia yang melekat pada warga penolak UU Cipta Kerja. Pemerintah pun membalas sikap penolakan tersebut melalui berbagai upaya-upaya yang represif, mulai dari pembungkaman yang terstruktur, penggunaan kekerasan, hingga melakukan kampanye dan menyebarkan stigma-stigma yang menghadirkan citra buruk terhadap gerakan menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Beragam tindakan pemerintah dalam merespon penolakan masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Propaganda ”UU yang Baik” dengan Melibatkan Figur Publik dalam Kampanye Omnibus Law UU Cipta Kerja
Ketika penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Cipta Kerja tengah kencang-kencangnya berhembus, publik justru dihebohkan dengan adanya para figur publik (artis dan influencer) yang turut mempromosikan Omnibus Law Cipta Kerja melalui akun media sosial yang mereka miliki. Mereka mempromosikan rancangan aturan bermasalah tersebut dengan mengunggah video pendek ke akun media sosial dengan tagar #IndonesiaButuhKerja. Kampanye itu dilakukan demi menghadirkan narasi bahwa RUU Cipta Kerja merupakan kebijakan yang baik bagi kaum pekerja.
Xxxxxx Xxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxx, Xxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, dan Xxxxx Xxxxxxx adalah beberapa figur publik yang turut terlibat dalam penggiringan opini publik untuk mendukung RUU Cipta Kerja tersebut. Promosi yang dilakukan oleh para figur publik tersebut pun menuai kritik dari warganet, politisi, juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Masyarakat menganggap para figur publik tersebut tidak memahami perasaan para pekerja yang sedang berjuang agar RUU Cipta Kerja tidak disahkan.84
Beberapa figur publik tersebut lalu mengaku bahwa mereka diperintahkan untuk membuat video kreatif dengan tagar
84 Xxxxx Xxxxxxx, Saat Artis Ramai−Ramai Minta Maaf Usai Promosikan RUU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/00000000/xxxx−artis− ramai−ramai−minta−maaf−usai−promosikan−ruu−cipta−kerja?page=all), pada tanggal 17 November 2021.
#IndonesiaButuhKerja tanpa tahu hal-hal penting lain yang terkait dengannya. Xxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, dua di antara para figur publik tersebut pun meminta maaf pada publik atas tindakan yang mereka lakukan.85 Walaupun telah dipenuhi berbagai kritik, yang telah dilakukan pemerintah melalui para figur publik sejatinya merupakan komunikasi politik pemerintah yang terorganisir demi pengesahan RUU Cipta Kerja secepat mungkin.
Komunikasi politik yang dilakukan oleh berbagai instansi, termasuk pemerintah sejatinya memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk membangun citra politik, membentuk dan membina pendapat umum, dan mendorong partisipasi politik. Tujuan dari komunikasi politik juga terkait erat dengan pesan politik si komunikator,86 sehingga dalam konteks memesan jasa para figur publik, pemerintah sejatinya telah mengesampingkan berbagai suara penolakan yang ada dengan berusaha membentuk pandangan publik bahwa RUU Cipta Kerja adalah kebijakan yang baik.
2. Intimidasi dan Pembubaran Diskusi terkait Omnibus Law
Metode represif minim penghargaan terhadap HAM kembali dilakukan aparat negara dengan mengintimidasi dan membubarkan diskusi-diskusi terkait Omnibus Law Cipta Kerja. Intimidasi melalui berbagai cara sejatinya bertentangan dengan HAM, karena mencederai rasa aman dan membungkam kebebasan untuk menyuarakan pendapat. Sama halnya dengan intimidasi, pembubaran diskusi juga merupakan tindakan melanggar HAM karena melanggar hak-hak tiap individu untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan isi pikiran.
Pada 8 Februari 2020, direncanakan sebuah diskusi yang diinisiasi oleh Federasi Pelajar Indonesia (Fijar) di sebuah kedai kopi di wilayah Jakarta Barat. Diskusi direncanakan mulai pada jam 19.00 WIB. Tetapi, sebelum sempat dibuka, pihak penyelenggara diskusi didatangi seorang polisi yang mengaku sebagai Kanit Intelkam. Orang ini menanyakan perizinan diskusi kepada panitia, lalu meminta peserta diskusi untuk
85 Ibid.
86 Xxx Xxxxxxxxx, Komunikasi Pemerintah dan Efektivitas Kebijakan, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxxxx.xx.xx/0000/00/XXXXXXXXXX−PEMERINTAH−DAN−EFEKTIVITAS− KEBIJAKAN−1.pdf), pada tanggal 17 November 2021.
membubarkan diskusi karena menentang kebijakan pemerintah. Anggota kepolisian yang diyakini sudah datang sejak sore tersebut mengintimidasi Ketua RT dan Karang Taruna setempat demi pembubaran diskusi.87
Kejadian serupa terjadi pada 17 Februari 2020 di Sekretariat KASBI di Jakarta Timur. Belasan orang tak dikenal mendatangi Sekretariat KASBI sekitar pukul 09.30 WIB, membakar ban, dan mengancam orang- orang yang menolak Omnibus Law.88 Selain tindakan intimidatif di depan kantor KASBI, para anggota KASBI yang senantiasa menyuarakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja rupanya juga diintimidasi untuk tidak banyak bicara soal RUU Cipta Kerja di media demi membungkam suara penolakan.89
Walaupun DPR telah menyetujui Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang, nyatanya intimidasi yang dialami oleh berbagai kelompok masyarakat sipil tak berhenti. Aksi unjuk rasa yang dilakukan di seluruh penjuru Indonesia pasca pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU pun masih diwarnai dengan beragam intimidasi. Kasus intimidasi yang lain dialami oleh para wartawan di Semarang ketika ingin meliput dan merekam penangkapan yang dilakukan aparat terhadap massa aksi tolak Omnibus Law. Sejumlah wartawan dipaksa belasan aparat kepolisian untuk menghapus video penangkapan tersebut.90 Tindakan intimidasi serupa juga dialami oleh wartawan di Jakarta, Solo, dan Makassar.
Selain intimidasi melalui tindakan fisik, berbagai ujaran intimidatif pun sering dilontarkan oleh berbagai aparatur negara, termasuk aparat kepolisian kepada masyarakat penolak UU Cipta Kerja. Misalnya
87 Xxx Xxxx Xxxxxxx, LBH Jakarta Terima Laporan Dugaan Intimidasi ke Penolak RUU Omnibus Law, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/000000/xxx−jakarta− terima−laporan−dugaan−intimidasi−ke−penolak−ruu−omnibus−law?page=all), pada tanggal 17 November 2021.
88 Ibid.
89 CNN Indonesia, Penolak Omnibus Law Ciptaker Dapat Teror dan Intimidasi, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxx/00000000000000−20−476626/penolak− omnibus−law−ciptaker−dapat−teror−dan−intimidasi), pada tanggal 17 November 2021.
90 Liputan6, Wartawan di Semarang Diduga Diintimidasi Polisi Saat Meliput Demo Tolak Omnibus Law, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxx0.xxx/xxxxxxxx/xxxx/0000000/ wartawan−di−semarang−diduga−diintimidasi−polisi−saat−meliput−demo−tolak−omnibus−law), pada tanggal 17 November 2021.
pernyataan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Xxxx Xxxxxx yang akan mengusut penyebar hoaks terkait Omnibus Law Cipta Kerja. Selain itu juga pernyataan dari berbagai aparat kepolisian seluruh Indonesia bahwa mereka akan menggunakan pasal karet UU ITE.91
3. Upaya Pembungkaman melalui Kebijakan Keamanan yang Represif
Upaya pembungkaman terhadap suara masyarakat sipil dilegitimasi oleh keluarnya kebijakan-kebijakan yang memberangus suara penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja. Misalnya dikeluarkannya Surat Telegram oleh Xxxxx. Ketika isu mengenai Omnibus Law Cipta Kerja, COVID-19, juga suara penolakan tengah berkumandang tinggi, Surat Telegram Polri No. ST 1100/IV/HUKM.7.1/2020 dan Surat Telegram Polri No. STR/645/X/PAM.3.2/2020 pun dihadirkan untuk membungkam mereka yang bersuara kritis.
Surat Telegram Polri No. ST 1100/IV/HUK.7.1/2020 dikeluarkan oleh Xxxxxxx berisi instruksi kepada seluruh jajaran kepolisian untuk melakukan patroli siber dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang melakukan penghinaan terhadap Presiden, pejabat, dan/atau lembaga negara lainnya. Berdasarkan temuan dari KontraS, saat kebijakan tersebut diterbitkan, terjadi lonjakan serangan terhadap kebebasan berekspresi dalam bentuk penangkapan orang-orang yang dianggap menyebarkan hoaks. Surat Telegram tersebut pun berhasil menjadi pemicu serangan kebebasan berekspresi yang seketika melonjak tinggi.92
Selain itu, pada 2 Oktober 2020, dimunculkan juga Surat Telegram Polri No. STR/645/X/PAM.3.2/2020. Surat Telegram tersebut menginstruksikan seluruh jajaran kepolisian untuk menggunakan fungsi intelijen dan deteksi dini demi mencegah, meredam, dan
91 Xxxxxxx Xxxxx Putri, Fraksi Rakyat Kecam Polisi yang Intimidasi Pengkritik Omnibus Law dengan UU ITE, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxx.xx/xxxx/0000000/xxxxxx−rakyat− kecam−polisi−yang−intimidasi−pengkritik−omnibus−law−dengan−uu−ite/), pada tanggal 17 November 2021.
92 Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Catatan Hari Ham 2020: HAM Dalam Bayang−Bayang Otoritarianisme, (Jakarta: KontraS, 2020), hlm. 6.
mengalihkan aksi unjuk rasa dengan dalih memutus rantai penyebaran COVID-19. Muatan dalam dua Surat Telegram tersebut jelas bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang menerangkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menjunjung tinggi HAM.93
Selain melalui aparat kepolisian, pembungkaman melalui kebijakan pun dilakukan untuk meredam suara mahasiswa dan akademisi. Hal ini terlihat dengan diterbitkannya Surat Edaran No. 1035/E/KM/2020 tentang Himbauan Pembelajaran Secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja. Melalui Surat Edaran tersebut, mahasiswa dihimbau untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan menolak Omnibus Law Cipta Kerja dengan dalih kesehatan mahasiswa. Selain itu, terdapat juga kebijakan internal di sejumlah kampus yang mengancam mahasiswa yang berdemonstrasi, seperti di UGM, UNY, dan sejumlah kampus lainnya.94
4. Serangan Digital
Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), terdapat beberapa bentuk serangan digital yang menyasar pihak- pihak yang kritis terhadap kebijakan negara. Bentuk-bentuk dari serangan digital tersebut adalah peretasan, pengambilalihan akun, penyebaran data pribadi, spam call, dan berbagai bentuk lainnya. Serangan digital tersebut bertujuan untuk menghalau suara-suara kritis dengan menghadirkan rasa takut di tengah masyarakat untuk bersuara.
Selama masa kisruh Omnibus Law Cipta Kerja berlangsung, terdapat beberapa bentuk serangan digital yang dialami masyarakat yang menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Selain upaya pengambilalihan paksa nomor hotline bantuan hukum bagi massa aksi di Surabaya dan berbagai serangan lainnya,95 penyerangan juga ditujukan pada sejumlah
93 Lihat, Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
94 Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Temuan Tindakan Kekerasan Aparat & Pembungkaman Negara Terhadap Aksi−Aksi Protes Menolak Omnibus Law di Berbagai Wilayah, diakses dari (xxxxx://xxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxxx−tindakan− kekerasan−aparat−pembungkaman−negara−terhadap−aksi−aksi−protes−menolak−omnibus− law−di−berbagai−wilayah/).
95 Ibid.
tokoh dan akun penting dalam penolakan Omnibus Law Cipta Kerja, seperti Xxxxx Xxxxxxxx (SAFEnet), Xxxxx Xxx Xxxxxxx (Ketua BEM UI), Merah Xxxxxxxxx (JATAM), akun media sosial FRI, akun media sosial YLBHI, dan banyak korban lainnya.
5. Stigmatisasi untuk Mendelegitimasi Gerakan
Dalam menanggapi respon penolakan masyarakat akan Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah turut menyebarkan pernyataan-pernyataan yang bertujuan untuk menghadirkan stigma negatif akan gerakan menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Pernyataan tersebut dihadirkan oleh sejumlah tokoh penting dalam pemerintahan, seperti Xxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxxxxxx Xxxxxxxx. Dalam pernyataannya secara xxxxxx, Xxxxxxx dan Airlangga kompak menyebutkan bahwa demonstrasi tolak Omnibus Law ditunggangi oleh kepentingan asing.96
Selain itu, terdapat mobilisasi sejumlah akun media sosial dan kelompok buzzer yang dikerahkan untuk menyebarluaskan fitnah keji demi menghadirkan stigma buruk pada penolakan Omnibus Law Cipta Kerja.97 Stigmatisasi tersebut dihadirkan dalam beragam bentuk, seperti menuding massa aksi adalah perusuh, penyebar COVID-19, tidak membaca lengkap rancangan peraturan, dan berbagai stigma negatif lainnya. Sejatinya, korban dari stigmatisasi ini ialah seluruh bagian dari masyarakat Indonesia yang dengan keras menolak RUU Cipta Kerja.
6. Penghalangan dan Pembubaran Aksi
Melaksanakan penyampaian pendapat di muka umum, baik melalui aksi demonstrasi, mimbar bebas, maupun pawai sejatinya merupakan bentuk pelaksanaan HAM yang dijamin oleh konstitusi. Begitu pun dalam konteks penolakan Omnibus Law Cipta Kerja, di mana berbagai kegiatan unjuk rasa tersebut adalah salah satu bentuk kegiatan untuk menolak hadirnya peraturan tersebut. Namun, terdapat
96 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxx, Kompak! Prabowo−Airlangga Tuding Ada Sponsor Demo Tolak Omnibus Law, diakses dari (xxxxx://xxxxxxx.xxxxx.xxx/xxxxxxxxxx/x−5212388/kompak− prabowo−airlangga−tuding−ada−sponsor−demo−tolak−omnibus−law),
97 Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Temuan Tindakan Kekerasan Aparat & Pembungkaman Negara Terhadap Aksi−Aksi Protes Menolak Omnibus Law di Berbagai Wilayah, diakses dari (xxxxx://xxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxxx−tindakan− kekerasan−aparat−pembungkaman−negara−terhadap−aksi−aksi−protes−menolak−omnibus− law−di−berbagai−wilayah/).
beberapa kejadian penghalangan dan pembubaran aksi tolak Omnibus Law yang nyata-nyata melanggar hukum dan HAM.
Peristiwa pencegatan dan pembubaran massa aksi di beberapa kota seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bogor, dan sejumlah kota lainnya merupakan salah satu respons yang dilakukan oleh aparat negara dalam menanggapi penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja. Berbagai kelompok masyarakat yang berniat untuk menyuarakan penolakan justru dihadirkan dengan aksi perburuan, pencegatan, pembubaran, dan penangkapan massa aksi yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Dalih yang digunakan ialah “pengamanan", sebuah istilah yang bermasalah karena tak pernah dikenal dalam hukum acara pidana di Indonesia.98
Selain itu, di berbagai daerah, massa aksi penolak Omnibus Law Cipta Kerja sengaja dibenturkan dengan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang diduga dimobilisasi oleh aparat sendiri. Indikasi tersebut muncul karena sikap diam aparat yang tak bertindak dalam benturan antara ormas dan massa aksi di sejumlah tempat, seperti di Makassar, Yogyakarta, dan berbagai daerah lainnya. Tindakan aparat kepolisian tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Ormas yang melarang Ormas untuk melakukan kegiatan dan wewenang aparat penegak hukum.99
7. Penggunaan Kekuatan Berlebih dan Brutalitas Aparat
Salah satu respons aparat yang patut disoroti dari sekian banyak respon aparat negara dalam menanggapi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja adalah aparat penegak hukum yang gemar menggunakan kekerasan dan bertindak brutal. Tercatat banyak aksi massa menolak Omnibus Law Cipta Kerja di seluruh Indonesia yang berhadapan dengan kekerasan oleh aparat, penembakan gas air mata, pemukulan, dan berbagai tindakan di luar koridor hukum lainnya.
Saat demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020 di sejumlah kota di Indonesia, aparat penegak hukum tampak tak segan bertindak arogan. Dalam aksi di Jakarta, meskipun
98 Ibid.
99 Ibid.
aksi pada mulanya dilaksanakan dengan kondusif, aparat tetap memukul mundur massa aksi dengan menggunakan tembakan gas air mata. Mereka juga melakukan sweeping pada massa aksi disertai dengan pemukulan dan penembakan gas air mata ke rumah-rumah warga di Cikini dan Kwitang. Penyerangan pun dilakukan pada mobil ambulans dan jurnalis yang meliput.100
Kejadian serupa pun terjadi di Makassar, di mana massa aksi yang menggelar aksi di depan Kantor DPRD Sulawesi Selatan ditembak water cannon dan gas air mata ketika ingin memasuki halaman kantor DPRD Sulawesi Selatan.101
8. Penangkapan Sewenang-wenang dan Upaya Kriminalisasi
Selain serangan digital, penggunaan kekuatan berlebih, dan tindakan merendahkan martabat lainnya, penangkapan sewenang- wenang dan kriminalisasi pun menjadi salah satu cara aparat penegak hukum untuk merespon sikap kritis masyarakat atas kehadiran UU Cipta Kerja. Tercatat sejak awal Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, terdapat ribuan massa aksi di ratusan titik yang ditangkap secara sewenang-wenang karena telah menyampaikan pendapat. Bahkan, Kadiv Humas Polri Xxxx Xxxxxx dengan bangga menyampaikan pernyataan terbuka pada publik bahwa Kepolisian telah menangkap 3.862 massa aksi per 9 Oktober 2020.102 Sebuah angka yang tentunya berpotensi terus bertambah.
Upaya kriminalisasi pada kelompok masyarakat yang kritis pun tak henti-hentinya menjadi satu di antara berbagai kiat-kiat buruk pemerintah untuk merespon penolakan UU Cipta Kerja. Sepanjang 7- 20 Oktober 2020, tercatat 18 orang di 7 provinsi menjadi korban kriminalisasi dengan dasar aturan karet UU ITE.103 Hal ini bertujuan
100 Syailendra Persada, Ini Situasi Demo Tolak Omnibus Law di 5 Kota Besar Pada Kamis, 8 Oktober 2020, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxx.xx/xxxx/0000000/xxx−situasi− demo−tolak−omnibus−law−di−5−kota−besar−pada−kamis−8−oktober−2020/full&view=ok).
101 CNN Indonesia, Video: Massa Aksi di Makassar Ditembak Water Canon, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxx/00000000000000−24−556101/video−massa− aksi−di−makassar−ditembak−water−cannon), pada tanggal 20 Februari 2022.
102 Xxxx Xxxx Xxxxxxx, Total Polisi Menangkap 3.862 Pedemo UU Ciptaker di Seluruh Indonesia, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxx.xx/xxxxxxxx/xxxxx/0x0xxx0X−total−polisi− menangkap−3−862−pedemo−uu−ciptaker−di−seluruh−indonesia).
untuk memproduksi rasa takut pada masyarakat dan meredam suara kritis publik terhadap UU Cipta Kerja.
E. Ketidakpastian Status Hukum UU Cipta Kerja Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 91/PUU-XVIII/2020
Omnibus Law UU Cipta Kerja pada mulanya disahkan pada 5 Oktober 2020. Namun tak lama kemudian, undang-undang tersebut kemudian diajukan pemeriksaan kembali secara konstitusional (judicial review) di Mahkamah Konstitusi RI. Tercatat beberapa permohonan Judicial Review UU Cipta Kerja yang diajukan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi.
Misalnya pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan perkara No. 87/PUU-XVIII/2020. Dalam permohonan tersebut para pemohon mempersoalkan materi muatan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang menghilangkan pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan, dan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu. Selain itu, UU Cipta Kerja juga telah mengubah formula perhitungan upah dan mengandung substansi yang menciderai hak konstitusional pemohon.
Selain itu pada Perkara Mahkamah Konstitusi RI No. 95/PUU-XVII/2020, beberapa pemohon dalam perkara tersebut mempersoalkan materi muatan Undang-Undang Cipta Kerja dalam aspek yang berbeda. Pemohon I mempermasalahkan ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Perjanjian kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan merugikannya. Sedangkan Pemohon II dan Pemohon III merupakan pelajar dan mahasiswa yang mempermasalahkan perihal kapitalisasi dunia pendidikan menjadi ladang bisnis.
Sedangkan dalam Perkara Mahkamah Konstitusi RI No. 91/PUU- XVII/2020, Perkara No. 103/PUU-XVII/2020, Perkara No. 105/ PUU-XVII/2020,
Perkara No. 107/PUU-XVII/2020, Perkara No. 4/PUU-XIX/2021, Perkara No. 6/PUU-XIX/2021, para pemohon yang berbeda-beda dalam perkara yang berbeda-beda ini mempermasalahkan perihal formil dari Undang-Undang Cipta Kerja. Para pemohon merasa bahwa proses pembentukan Undang- Undang Cipta Kerja minim partisipasi publik, maka dalam UU Cipta Kerja
103 Amnesty International Indonesia, Usut Bukti−Bukti Kekerasan Polisi Sepanjang Demo Tolak Omnibus Law, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxx.xx/xxxx−bukti−bukti−kekerasan− polisi−sepanjang−demo−tolak−omnibus−law/).
terdapat cacat formil khususnya dalam proses pembentukan perundang- undangannya.
Khusus dalam konteks pengujian masalah formalitas pengundangan UU Cipta Kerja, beberapa hal yang menjadi alasan pemohon dalam pengujian ini antara lain:104
Pertama, menurut para pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja dengan metode omnibus law menyebabkan ketidakjelasan jenis undang- undang yang dibentuk, apakah sebagai undang-undang baru atau undang- undang perubahan ataukah undang-undang pencabutan. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan undang-undang baru, pencabutan dan/atau perubahan undang-undang sebagaimana diatur dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kedua, menurut para pemohon, metode omnibus law tidak dikenal dalam UU No. 12 Tahun 2011 maupun UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang tidak pasti dan tidak baku. Hal ini bertentangan dengan konsiderans menimbang huruf b UU No. 12 Tahun 2011.
Ketiga, menurut para pemohon, terdapat perubahan materi muatan UU Cipta Kerja pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekedar teknis penulisan, melainkan juga perubahan yang bersifat substansial, termasuk juga kesalahan dalam pengutipan.
Keempat, menurut para pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan ketentuan Pasal 22A UUD 1945 serta asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f dan huruf g UU No. 12 Tahun 2011 yaitu asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para pemohon judicial review memohon kepada Mahkamah Konstitusi RI agar menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
104 Lihat, Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 91/PUU−XVIII/2020.
hukum mengikat, serta menyatakan ketentuan norma dalam undang- undang yang telah diubah, dihapus dan/atau yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam UU Cipta Kerja berlaku kembali.
Akhirnya, Mahkamah Konstitusi RI memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan dari uji formil UU Cipta Kerja melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 91/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa telah ditemukan fakta hukum bahwa tata cara pembentukan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan. Oleh karena norma Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f dan huruf g UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengharuskan terpenuhinya seluruh asas secara kumulatif, maka dengan tidak terpenuhinya satu asas saja ketentuan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 menjadi terabaikan oleh proses pembentukan UU Cipta Kerja.
Selain itu Mahkamah Konstitusi RI juga menyatakan dalam putusannya bahwa dalam persidangan telah terungkap fakta jika pembentuk undang- undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Meskipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang a quo. Sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU No. 11 Tahun 2020. Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal berdasarkan Pasal 96 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis.
Mahkamah Konstitusi RI juga menyoroti permasalahan tata cara pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 yang tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas- asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Karenanya, Mahkamah
Konstitusi RI beranggapan jika proses pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.
Meski demikian, terdapat beberapa Hakim Mahkamah Konstitusi RI yang memiliki dissenting opinion (pendapat berbeda) dari mayoritas Hakim Mahkamah Konstitusi RI yang memutus bahwa UU Cipta Kerja adalah inkonstitusional. Dissenting opinion tersebut disampaikan oleh Hakim Konstitusi Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx, Hakim Konstitusi Manahan M. P. Sitompul, dan Hakim Konstitusi Xxxxxx Xxxxxx P. Foekh dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 91/PUU-XVIII/2020. Dari dissenting opinion ini dapat terlihat bahwa tidak seluruh Hakim Mahkamah Konstitusi RI satu suara bulat dalam memandang persoalan UU Cipta Kerja.
Meskipun Mahkamah Konstitusi RI dalam Amar Putusannya pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun dalam Amar Putusan yang sama dinyatakan bahwa UU Cipta Kerja “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan".
Amar putusan ini meletakkan UU Cipta Kerja seolah-olah inkonstitusional dan batal demi hukum secara relatif (tidak absolut) atau dalam istilah Mahkamah Konstitusi disebut sebagai “inkonstitusional bersyarat". Hal ini menjadi aneh, mengingat putusan batal demi hukum artinya batal secara permanen dan absolut mengingat aturan hukum yang dinyatakan batal demi hukum sejak awal mengalami cacat khususnya di ranah formil, yang karenanya berimplikasi pada ketidakberlakuan substansi aturan secara otomatis/absolut.
Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 91/PUU-XVIII/2020 telah menciptakan kesimpangsiuran baru dalam praktik dunia hukum di Indonesia. YLBHI dan LBH se-Indonesia misalnya lewat Siaran Persnya tertanggal 25 November 2021 menyebutkan bahwa diduga kuat Mahkamah Konstitusi RI tunduk pada eksekutif, karena putusan yang diterbitkan seolah bentuk kompromi dan negosiasi kepentingan. Ini dapat dilihat dari amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang seharusnya menyatakan “batal" saja,
namun yang tertulis tidaklah batal demi hukum (mutlak), melainkan bersyarat, dan ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum.105
Xxxx. Xxxxx Xxxxxxxxx, Ph.D menyebutkan jika terdapat beberapa hal yang menimbulkan ambiguitas dari adanya Putusan MK RI No. 91/PUU- XVIII/2020.106
Pertama, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Namun, Mahkamah Konstitusi masih memberi waktu berlaku selama dua tahun dengan alasan sudah banyak aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan. Menurut Xxxxx Xxxxxxxxx, seharusnya agar tidak ambigu, Mahkamah Konstitusi RI berlaku tegas saja dengan membatalkan UU Cipta Kerja.
Kedua, terkait putusan-putusan yang bersamaan dikeluarkan Mahkamah Konstitusi tentang UU Cipta Kerja pada 25 November 2021. Dari 12 putusan yang dibacakan, Mahkamah Konstitusi menyatakan 10 putusan di antaranya kehilangan objek karena Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91 sudah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pertanyaan kritisnya, objek mana yang hilang? Bukankah meskipun dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, Mahkamah Konstitusi masih memberlakukan UU Cipta Kerja maksimal selama dua tahun? Menurut Xxxxx Xxxxxxxxx, dengan asumsi masih berlakunya aturan UU Cipta Kerja tersebut, maka seharusnya obyek uji materi terhadap UU Cipta Kerja dapat dianggap masih ada.
Ketiga, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja masih berlaku. Namun, 10 putusan Mahkamah Konstitusi yang lain terkait UU yang sama menyatakan permohonan tidak diterima. Bagaimana mungkin suatu putusan yang masih berlaku tidak boleh diuji isinya? Xxxxx Xxxxxxxxx mempertanyakan, dengan memutuskan tidak menerima semua pengujian materil itu, apakah putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi dasar
105 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Siaran Pers YLBHI dan 17 LBH Se− Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Pengujian Omnibus Law UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja: Putusan yang Mempermainkan Konstitusi dan Rakyat!, diakses dari (xxxxx://xxxxx.xx.xx/xxxxxxxxx/xxxxxx−pers/putusan−mahkamah−konstitusi−terkait− pengujian−omnibus−law−uu−11−tahun−2020−tentang−cipta−kerja−putusan−yang− mempermainkan−konstitusi−dan−rakyat/).
106 Tempo, Xxxxx Xxxxxxxxx: 5 Ambiguitas Putusan MK Soal Uji Materi UU Cipta Kerja, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxx.xxxxx.xx/xxxx/0000000/xxxxx−indrayana−5−ambiguitas− putusan−mk−soal−uji−materi−uu−cipta−kerja/full&view=ok).
terjadinya impunitas konstitusi bagi norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar UUD NRI 1945?
Keempat, putusan uji materi Mahkamah Konstitusi terhadap UU Cipta kerja menimbulkan multitafsir. Ada dua pendapat yang muncul, pertama kubu yang berpandangan UU Cipta Kerja masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun. Sedangkan kubu lainnya berpendapat UU Cipta Kerja tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali. Multitafsir ini jelas menimbulkan kesimpangsiuran status keberlakuan UU Cipta Kerja pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI.
Kelima, Putusan Mahkamah Konstitusi RI mengenai judicial review UU Cipta Kerja dinilai sangat ketat menerapkan formalitas pembuatan undang-undang, termasuk mengkiritisi minimnya ruang partisipasi publik. Namun, di sisi yang lain Mahkamah Konstitusi RI tidak menerapkan standar yang sama ketika menguji formal perubahan Undang-Undang KPK dan perubahan Undang-Undang Minerba, dimana proses revisi dua undang- undang tersebut juga super kilat dan minim partisipasi publik. Menurut Xxxxx Xxxxxxxxx, seharusnya kedua perubahan UU KPK dan UU Minerba itu pun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sama seperti UU Cipta Kerja.
Lima ambiguitas keberlakuan UU Cipta Kerja pada hari ini semakin menunjukkan adanya kegoyahan yang sifatnya fundamental dalam sistem hukum Indonesia, di mana hukum yang ada sedikit-banyak dinegosiasikan dan dipengaruhi oleh kekuasaan politik, alih-alih hukum yang mengontrol kekuasaan politik itu sendiri. Akibatnya, hukum menjadi terombang-ambing dan semakin jauh dari prinsip keadilan dan kepastian hukum.
Sebagai tambahan, para akademisi hukum yang bernaung di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada melalui siaran pers-nya tertanggal 15 Desember 2021 menuliskan beberapa catatan kritis terhadap Putusan MK RI No. 92 ini:107
1. Amar 3 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka pada dasarnya UU Cipta Kerja tidak dapat dilaksanakan.
107 Siaran Pers Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 15 Desember 2021, Presiden dan DPR Supaya Mencabut XXXX Sebagai Langkah Awal Melakukan Perbaikan Perbaikan Menindaklanjuti Putusan MK.
Oleh karena itu, satu-satunya yang bisa dilakukan oleh Presiden dan DPR terhadap UU Cipta Kerja ialah melakukan perbaikan, bukan menerapkannya;
2. Amar 7 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI menyatakan agar pemerintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Artinya, sebenarnya hampir tidak ada yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan UU Cipta Kerja di level lapangan/implementasi, karena sebagaimana klaimnya di dalam Naskah Akademik maupun konsideran UU Cipta Kerja sendiri bahwa ruang lingkup UU Cipta Kerja secara keseluruhan adalah mengatur hal yang bersifat strategis (Pasal 4 UU Cipta Kerja);
3. Dengan dinyatakannya oleh Putusan Mahkamah Konstitusi RI jika UU Cipta Kerja tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka seluruh peraturan pelaksananya, termasuk peraturan lain yang terkait dengan UU Cipta Kerja, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat untuk dijadikan sebagai dasar menyelesaikan permasalahan atau melaksanakan kewenangan terkait di dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep rantai keabsahan peraturan (the chain of validity), bahwa keberlakuan suatu peraturan harus didasarkan pada peraturan di atasnya yang masih memiliki kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut, LBH se- Indonesia yang berada di bawah naungan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) melalui Siaran Persnya tertanggal 25 November 2021 menilai bahwa dengan ini jelas Pemerintah Indonesia dan DPR RI telah salah, yakni melanggar Konstitusi dan melanggar prinsip pembuatan undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi RI ini menunjukkan juga bahwa pemerintah tidak bisa memberlakukan dulu UU Cipta Kerja dan harus menghentikan segala proses pembuatan dan penerapan semua aturan turunannya, yang artinya adalah pemerintah telah kehilangan legitimasi dalam menerapkan/melaksanakan UU Cipta Kerja.
***
Bagian III
Praktik Fleksibilitas Ketenagakerjaan dan Pelanggaran Hak Pekerja Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan
Pelaksananya
Patut diakui jika revisi ketentuan ketenagakerjaan pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) akan menciptakan iklim serta relasi hubungan industrial yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ini disebabkan adanya beberapa revisi terkait ketentuan mengenai skema kerja waktu tertentu, penambahan ketentuan terkait pemberian upah murah, revisi beberapa ketentuan hukum pidana ketenagakerjaan, revisi ketentuan terkait perekrutan tenaga kerja asing, hingga penambahan jam kerja lembur bagi pekerja.
Nampak bahwa iklim hubungan industrial yang hendak dibangun melalui UU Cipta Kerja adalah dengan menggenjot produktivitas yang sayangnya dilakukan dengan cara mengurangi jaminan perlindungan hak- hak pekerja dan cenderung mengeksploitasi kelompok pekerja itu sendiri. Dari perspektif kepentingan pelaku usaha, kondisi ini menjadi semacam lampu hijau untuk menjalankan roda-roda bisnisnya secara ekspansif. Padahal bisa jadi pemaksaan pemberlakuan UU Cipta Kerja menjadi bumerang bagi pemerintah dan pengusaha karena menimbulkan kekacauan dalam iklim dan relasi hubungan industrial di level akar rumput.
A. Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja dalam Sistem Kerja Kontrak Pasca Pengesahan UU Cipta Kerja
Dalam skema ekonomi kapitalisme, semua hal yang dianggap bagian dari komponen bisnis sangat tergantung pada modal (kapital) yang dimiliki. Artinya, modal memiliki peranan yang sangat penting dan sentral untuk
menggerakkan roda-roda kapitalisme, karena ia juga dijadikan sebagai pendukung ongkos produksi dan menggerakkan roda-roda produksi. Tanpa modal, aktivitas perekonomian kapitalisme tak akan bergerak sama sekali.
Di sisi lain, modal juga dituntut menghasilkan nilai lebih – alih-alih hanya modal saja. Untuk itu, pelaku usaha akan memutar modal ini agar ia menghasilkan keuntungan dengan cara memproduksi komoditas dan menjualnya ke pasar. Selain itu, penghisapan nilai lebih juga dilakukan dengan cara memotong ongkos produksi, seperti pembelian bahan produksi komoditas dengan harga yang lebih murah, membayar upah pekerja seminim mungkin, memangkas ongkos distribusi komoditas ke pasar, dan sebagainya.
Agar perputaran arus modal (kapital) ini menghasilkan nilai lebih dan memberikan keuntungan bagi pelaku pasar khususnya investor, maka dalam perspektif kapitalisme dan fundamentalisme pasar, arus modal tersebut harus diberikan kelancaran dan kebebasan dengan sedemikian rupa, yang tidak boleh dibatasi oleh kebijakan yang dianggap akan menghambat perputaran arus modal tersebut.
Mengingat praktik pasar bisnis juga berkaitan dengan sisi kepentingan publik, khususnya kebebasan berwirausaha bagi publik, penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam strategis oleh negara, dan juga distribusi kekayaan/kesejahteraan publik, dalam praktiknya negara tidak serta merta menghilangkan tanggung jawabnya dalam mengawasi ataupun mengintervensi pasar. Negara dalam kebanyakan praktiknya menerbitkan sejumlah kebijakan yang memastikan praktik pasar bisnis yang ada tidak merugikan kepentingan publik. Beberapa kebijakan tersebut antara lain:
1. Penguasaan dan pengelolaan kekayaan atau sumber daya alam strategis oleh negara ataupun entitas bisnis milik negara;
2. Penerapan pajak, bea, dan cukai;
3. Perizinan pendirian entitas bisnis dan izin usaha;
4. Perizinan lingkungan;
5. Penerapan kewajiban pertanggungjawaban sosial bagi korporasi (Corporate Social Responsibility), khususnya terhadap korporasi sektor tertentu;
6. Perlindungan hak-hak pekerja, termasuk perlindungan hak atas kerja dan upah yang layak serta perlindungan status hubungan kerja bagi pekerja; dan lain-lain.
Masing-masing kebijakan tersebut memiliki sisi politik hukumnya tersendiri yang pada intinya menunjukkan negara hendak menyelaraskan antara kepentingan bisnis yang berorientasi pada pencarian keuntungan semata dengan kepentingan publik yang berorientasi pada perlindungan dan pemenuhan hak warga negara, termasuk lingkungan hidup sekitar. Pada posisi ini, negara melakukan intervensi dan berperan sentral demi meminimalisir terjadinya praktik buas di arena pasar bisnis yang berpotensi merugikan kepentingan publik.
Meski demikian, pada hari-hari ini kebijakan-kebijakan penyelarasan antara kepentingan bisnis (privat) dengan kepentingan publik tidak terwujud sepenuhnya. Kenyataan politik di institusi-institusi kekuasaan formal negara seperti eksekutif maupun legislatif menunjukkan bahwa sangat banyak pelaku bisnis yang menduduki jabatan-jabatan publik strategis. Di sisi lain, nampak juga adanya upaya peminggiran agenda kepentingan publik, sekaligus penguatan agenda kepentingan bisnis (privat) yang berorientasi pada fleksibilisasi pasar untuk memperlancar arus modal sehingga dapat menghisap nilai lebih untuk mendapatkan keuntungan secara massif dan cepat.
Salah satu praktik kebijakan fleksibilisasi arus modal (kapital) terlihat dari diundangkannya Omnibus Law UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), di mana bagian klaster ketenagakerjaan mengubah sejumlah ketentuan yang ada di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta aturan turunannya. Undang-undang ini juga mengubah sejumlah ketentuan norma aturan perundang-undangan ketenagakerjaan menjadi lebih “ramah pasar dan investor", “fleksibel", sekaligus membuat posisi pekerja atau buruh menjadi semakin rentan.
Selama ini, sejumlah aturan hukum ketenagakerjaan yang ada, termasuk UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap sebagian pelaku pasar bisnis termasuk World Bank sebagai produk hukum yang cenderung kaku dan rigid, karena terlalu banyak memberikan posisi untung bagi pekerja atau buruh. Peraturan ini juga dianggap terlalu banyak membebankan tanggung jawab serta kewajiban kepada pengusaha atau perusahaan yang
implikasinya membuat ongkos produksi perusahaan terus meningkat. Hal ini yang kemudian membuat investor agak malas untuk berinvestasi di Indonesia.108
Tuduhan ini tentu menjadi sangat aneh bila kemudian dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Xxxxxx, Xxxxxx, Denmark, Austria, dan lainnya, di mana peringkat kelancaran bisnisnya berada di atas Indonesia, namun pemenuhan hak pekerjanya termasuk hak atas kerja dan upah yang layak juga dipenuhi dan dilindungi oleh negara.
Akibat dari desakan World Bank dan juga sejumlah pelaku-pelaku pasar bisnis, Pemerintah Indonesia hari ini turut melegitimasi praktik perentanan pekerja Indonesia melalui agenda fleksibilisasi pasar tenaga kerja yang tercermin pada pengubahan skema hubungan ketenagakerjaan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan juga outsorcing (alih daya).
Hubungan ketenagakerjaan PKWT sendiri pada dasarnya adalah hubungan ketenagakerjaan yang diperuntukkan pada pelaksanaan bisnis yang sifatnya musiman dan sekali selesai di suatu rentang waktu. Hal ini mengingat ada model bisnis-bisnis tertentu yang sifat produksi bisnisnya tidak dilakukan untuk kepentingan jangka panjang, namun hanya untuk jangka waktu pendek dan tertentu saja. Untuk itu, skema PKWT diatur dengan sedemikian rupa untuk mengakomodir model bisnis seperti itu.
Karena sifat jangka waktunya yang pendek dan tertentu saja, pengaturan batas maksimal waktu skema PKWT di Indonesia, khususnya dalam Pasal 59 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada mulanya bersifat sebentar, maksimal dua tahun dan boleh diperpanjang satu kali maksimal untuk maksimal lama kerja satu tahun.
Namun, dengan diundangkannya UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya sebagaimana yang tertuang pada PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, skema PKWT diubah dengan adanya 3 (tiga) jenis PKWT:
1. PKWT yang dibuat berdasarkan jangka waktu
108 World Bank Group, Economy Profile Indonesia: Doing Business 2020, Comparing Business Regulation in 190 Countries, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxx/ dam/doingBusiness/country/i/indonesia/IDN.pdf).
PKWT ini dibuat untuk pekerjaan yang waktu penyelesaiannya tidak terlalu lama; bersifat musiman, untuk produksi komoditas baru atau kegiatan baru, ataupun produk tambahan yang sifatnya masih dalam percobaan atau eksperimen/penjajakan.
Jika PKWT ini akan berakhir namun pekerjaannya belum selesai, maka PKWT tersebut dapat diperpanjang dengan ketentuan keseluruhan PKWT – baik itu jangka waktu maupun perpanjangannya – tidak boleh lebih dari lima tahun. Selain itu, jika dilakukan perpanjangan PKWT, maka ia dihitung juga sebagai masa kerja buruh/pekerja.
2. PKWT yang dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu PKWT ini diterapkan untuk pekerjaan yang pelaksanaannya
sekali selesai atau sifatnya sementara. Untuk itu di dalam PKWT dituangkan suatu klausul khususnya mengenai ruang lingkup dan batasan suatu pekerjaan yang dinyatakan selesai dan waktu penyelesaian pekerjaannya sama. Artinya, waktu penyelesaian pekerjaan disesuaikan dengan selesainya suatu pekerjaan.
Jika pun di kemudian hari pekerjaan yang dilaksanakan selesai lebih cepat dari jangka waktu yang sebelumnya telah disepakati dan tertuang di dalam PKWT di awal, maka PKWT tersebut berakhir demi hukum saat selesainya pekerjaan. Namun, jika pekerjaan tersebut belum selesai sesuai jangka waktu yang disepakati dalam PKWT, maka PKWT tersebut dapat diperpanjang sampai pekerjaan tersebut selesai dilaksanakan.
3. PKWT yang dibuat berdasarkan pekerjaan tertentu lainnya yang jenis dan sifat atau kegiatannya tidak tetap
PKWT ini diberlakukan untuk pekerjaan tertentu yang berubah- ubah dalam hal waktu pengerjaan, volume produksi pekerjaan, serta pembayaran upah berdasarkan kehadiran atau kerap disebut sebagai harian. Maka, PKWT ini lebih tepat diterapkan untuk pekerja harian, buruh harian lepas, dan sejenisnya.
Dengan diubahnya skema PKWT tersebut, posisi pekerja/buruh menjadi sangat rentan, mengingat pekerja/buruh bekerja di suatu tempat dengan
bayangan dapat mempertahankan kehidupannya dan juga mendapatkan pemasukan ekonomi yang sifatnya berkelanjutan. Sedangkan skema PKWT yang memperpanjang batas jangka waktu maksimal PKWT menjadi lima tahun menjadikan pekerja tidak memiliki status yang pasti atas proyeksi karir dan pekerjaannya ke depannya, karena rentan diberhentikan sepihak oleh pihak pengusaha atau perusahaan.
Praktik kontrak berulang-ulang kali serta tidak jelasnya jenis pekerjaan yang dilakoni oleh pekerja PKWT ini dapat ditemukan dalam salah satu pengaduan kasus di LBH Jakarta. Dalam kasus tersebut terdapat pekerja PT. IMS yang bekerja dalam jangka waktu tiga tahun sejak Januari 2019 sampai dengan Juli 2021. Pekerja tersebut bekerja di sektor esensial (di bagian Administration Coordinator), namun dalam praktiknya ia bekerja di ranah multifungsi, tidak sesuai dengan perjanjian kerja. Di sisi lain, ia diposisikan dalam perjanjian kerjanya sebagai pekerja PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu).109 Padahal PKWT sendiri semestinya diterapkan pada jenis pekerjaan yang sifatnya sementara waktu, musiman, dan berdasarkan proyek jangka waktu tertentu.
B. Politik Upah Murah dan Pengabaian Hak Atas Pekerjaan yang Layak
UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya meletakkan kelompok industri pasar sebagai titik sentral aktor pembangunan dan ekonomi. Segala hal yang berhubungan dengan biaya ongkos produksi yang ditanggung oleh pelaku usaha sedemikian rupa hendak ditekan dan diminimalisir agar dapat meringankan beban investasi pelaku usaha.
Hal ini berlaku juga pada skema kebijakan pengupahan di dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, di mana kebijakan pengupahan yang dirumuskan merujuk pada kepentingan pelaku usaha, khususnya kondisi bisnis perusahaan dan juga pertumbuhan ekonomi di suatu daerah.110 Padahal, jika berbicara mengenai kebijakan pengupahan, mestinya merujuk pada kondisi objektif dan riil pekerja, di mana upah pekerja diproyeksikan
109 Data bersumber dari pengaduan kasus sebagaimana terangkum di dalam Case Management System LBH Jakarta.
110 Lihat, Pasal 88C ayat (3) UU Ketenagakerjaan versi revisi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
agar pekerja dan keluarganya mendapatkan upah yang layak untuk penghidupannya, sehingga kehidupannya lebih sejahtera.
UU Cipta Kerja dan aturan turunannya meletakkan kebijakan pengupahan sebagai sebuah ongkos produksi yang menjadi beban bagi perusahaan. Dengan dalih dan tuduhan tanpa dasar yang menyebutkan bahwa ongkos upah di Indonesia cenderung mahal dan membuat investor enggan berbisnis di Indonesia, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya melegitimasi suatu kebijakan politik upah murah.
Kebijakan ini tertuang lebih lanjut khususnya di dalam Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 88 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP Pengupahan 2021). Kebijakan pengupahan di dalam Pasal 81 UU Cipta Kerja dan aturan turunannya sendiri mengalami pengurangan komponen yang berbeda dengan komponen sebagaimana diatur dan dimaksud di dalam UU Ketenagakerjaan, di mana ia hanya mencakup pada:
1. Upah minimum;
2. Struktur dan skala upah;
3. Upah kerja lembur;
4. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
5. Bentuk dan cara pembayaran upah;
6. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
7. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Hal ini berbeda dengan pengaturan yang ada di dalam Pasal 88 ayat
(3) UU Ketenagakerjaan sebelum direvisi dalam UU Cipta Kerja, di mana kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh mencakup pada:
1. Upah minimum;
2. Upah kerja lembur;
3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
6. Bentuk dan cara pembayaran upah;
7. Denda dan potongan upah;
8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
10. Upah untuk pembayaran pesangon; dan
11. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Dalam kebijakan pengupahan pada UU Cipta Kerja 2020 dan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan tersebut, upah bagi pekerja dirumuskan dan dikomposisikan berdasarkan pertimbangan kondisi ekonomi dan kondisi ketenagakerjaan.111 Hal ini ditentukan oleh variabel: paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.112 Adapun data mengenai pertumbuhan ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.113
Skema dan variabel untuk kebijakan pengupahan dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sebelumnya tertuang di dalam Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Rumusan tersebut diberlakukan secara universal di seluruh provinsi di Indonesia. Potensi kenaikan upah pekerja/buruh per-tahunnya dikisaran angka 8 sampai dengan 11 persen dari upah tahun sebelumnya. Angka nominal upah bisa saja terus bertambah, namun tidak dengan nilai upah itu sendiri.
Penentuan upah tersebut berbeda dengan skema dan variabel yang tertuang di dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen
111 Ibid.
112 Lihat, Pasal 25 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
113 Lihat, Pasal 25 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, di mana penentuan kebijakan pengupahan khususnya Upah Minimum bagi pekerja/buruh berdasarkan hasil peninjauan KHL (Komponen Kebutuhan Hidup Layak) yang ditinjau tiap tahun. Sedangkan di dalam aturan UU Cipta Kerja yang spesifiknya di PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, KHL hanya ditinjau selama lima tahun sekali, dan tidak menjadi salah satu faktor atau variabel penentu nominal angka kenaikan upah pekerja/buruh.
Dengan dipertahankannya skema kebijakan politik upah murah bagi pekerja/buruh lewat UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, Pemerintah Indonesia sebenarnya sedang menggadaikan nasib warganya sendiri khususnya yang berasal dari kelompok pekerja/buruh di hadapan investor dan korporasi. Politik upah murah bagi pekerja/buruh menjadikan kelompok ini mendapatkan pekerjaan yang tidak layak dan tidak setimpal dengan hasil upah yang didapatkan dan menyebabkan nasib kesejahteraan pekerja/buruh berpotensi tidak mengalami peningkatan di masa yang akan datang. Di sisi lain, Indonesia juga berupaya menggenjot daya beli masyarakat yang hari ini sedang lesu dan berimbas pada over produksi komoditas dan penurunan nilai harga komoditas serta produksi. Namun, agenda ini terancam gagal juga karena ketika tidak ada kenaikan nilai upah, buruh/pekerja lebih memilih menyimpan dan menabung upahnya ketimbang membeli barang.
C. Lemahnya Penegakan Hukum Pidana di Indonesia
Sejumlah aturan pengakuan dan perlindungan hak-hak normatif yang ada di dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia, baik dalam UU Ketenagakerjaan 2003 maupun pasca direvisi lewat UU Cipta Kerja mengandung konsekuensi hukum berupa perlindungan terhadap kepentingan immaterial dan kepentingan materiil bagi pekerja/buruh. Hal tersebut diatur karena sedikit-banyak dari hak-hak normatif pekerja/buruh berhubungan dengan nasib kesejahteraan kelompok pekerja/buruh dalam menghidupi dirinya maupun keluarganya.
Perlindungan hak-hak normatif pekerja ini selain dirumuskan dalam bentuk pengaturan yang sifatnya konstitutif (kewajiban pemenuhan hak oleh pengusaha/perusahaan terhadap pekerja) juga dirumuskan dalam bentuk penindakan/penegakan hukum lewat mekanisme pemberian sanksi, baik itu secara administrasi maupun pidana (penjara ataupun denda).
Rumusan pengaturan seperti ini menjadi penting untuk menjamin agar perlindungan hak normatif pekerja yang ada benar-benar ditegakkan secara hukum dengan jelas.
Dalam aturan-aturan hukum terkait isu ketenagakerjaan di Indonesia sebelum disahkannya UU Cipta Kerja termuat beberapa mekanisme sanksi sebagai bentuk jaminan perlindungan hak normatif pekerja. Ketentuan- ketentuan tersebut antara lain UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan, dan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Di antara sekian banyak peraturan perundang-undangan yang di dalamnya turut mengatur mekanisme sanksi tersebut, Undang-undang Ketenagakerjaan tahun 2003 memuat setidaknya 13 ketentuan yang mengatur sanksi bagi pelanggaran administratif dan enam ketentuan yang mengatur sanksi bagi tindak kejahatan-pidana. Sedangkan di UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh Tahun 2000 terdapat satu ketentuan yang mengatur sanksi bagi tindak pidana kejahatan-pidana dan lima ketentuan yang mengatur sanksi bagi pelanggaran administratif.
Dalam UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Tahun 2004 setidaknya terdapat delapan ketentuan yang mengatur sanksi bagi tindak pelanggaran dan sembilan ketentuan yang mengatur sanksi bagi tindak pelanggaran administratif. Di UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 2011, terdapat sembilan aturan saksi bagi tindak pidana-kejahatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan jaminan sosial termasuk bagi pekerja. Sedangkan di UU Keselamatan Kerja 1970, terdapat satu pengaturan sanksi bagi tindak pelanggaran, khususnya terkait pelanggaran mengenai aturan hukum keselamatan kerja.
Meski ada ragam dan banyak aturan sanksi yang berhubungan dengan isu ketenagakerjaan, namun implementasi di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana ketenagakerjaan (termasuk juga yang bersifat pelanggaran biasa ataupun pelanggaran administratif) masih sangat minim.
Baik penegak hukum dari unsur PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) pada Dinas Ketenagakerjaan maupun penegak hukum dari unsur Kepolisian RI saat mendapatkan pengaduan terkait pidana ketenagakerjaan kerap tidak serta merta menerima dan memproses pengaduan tersebut.
Selain itu, sejumlah pengaduan atas kasus pidana ketenagakerjaan justru diarahkan penyelesaiannya lewat mekanisme perselisihan hubungan industrial. Selain melepas pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pihak pengusaha/perusahaan, hal ini menunjukkan negara tidak mau proaktif dalam melindungi hak-hak buruh/pekerja. Ketika kasus pidana ketenagakerjaan diarahkan lewat mekanisme penyelesaian perselisihan, maka sama saja dengan menyuruh buruh/pekerja untuk bertarung sendirian melawan pengusaha/perusahaan yang jelas-jelas relasi keduanya tidaklah setara alias timpang.114
Dokumen Kertas Kebijakan LBH Jakarta yang ditulis pada tahun 2020 dengan tajuk “Urgensi Pembentukan Sub Direktorat Khusus Pidana Ketenagakerjaan di Kepolisian RI" mencatat bahwa minim dan lemahnya penegakan hukum pidana ketenagakerjaan di Indonesia disebabkan karena adanya permasalahan dalam sistem hukum di Indonesia, khususnya di tiga ranah: substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum.115
1. Permasalahan di Ranah Substansi Hukum
a. Desk Tenaga Kerja di Kepolisian tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan jelas;
b. Masih gamangnya kemutlakan sifat melawan hukum dalam hukum pidana ketenagakerjaan, khususnya berkaitan dengan delik-delik pidana ketenagakerjaan yang ada di dalam sejumlah aturan hukum ketenagakerjaan;
114 Pada rentang waktu 2017− 2018, menurut riset LBH Jakarta, setidaknya terdapat 1287 pekerja yang menjadi korban tindak pidana perburuhan di wilayah Jabodetabek dan Karawang. Jenis pelanggarannya antara lain: tindak pidana pemberangusan serikat (union busting), penetapan upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP), upah lembur tidak dibayarkan dan hak pensiun tidak diberikan. Gambaran ini, seolah menjadi puncak gunung es, menyimpan permasalahan yang lebih besar, tertimbun dan tidak banyak yang tertangani. Lihat, Xxx Xxxxxxxx, dkk, Kebalnya Sang Pemodal: Catatan Atas Penegakan Hukum Pidana Perburuhan, (Jakarta: LBH Jakarta, 2018).
115 Citra Referandum M., dkk., Kertas Kebijakan: Urgensi Pembentukan Sub Direktorat Khusus Pidana Ketenagakerjaan di Kepolisian RI, (Jakarta: LBH Jakarta, 2020).
c. Ketiadaan hukum formil pidana ketenagakerjaan yang mengatur khusus prosedural penyidikan pidana ketenagakerjaan, mengingat adanya kompleksitas dan kekhususan dalam proses pemeriksaan perkara pidana ketenagakerjaan;
2. Permasalahan di Ranah Struktur Hukum
a. Jumlah penyidik di Kepolisian tidak sebanding dengan jumlah perkara pidana yang ditangani;
b. Desk Pidana Tenaga Kerja Kepolisian hanya menjadi ruang konseling/ruang konsultasi hukum, tidak sampai dengan penerimaan laporan polisi maupun penanganan kasus secara khusus;
c. Ketiadaan Subdit Khusus Ketenagakerjaan di Kepolisian;
d. Kewenangan lembaga pengawas seperti Kompolnas RI masih terbatas dan tidak memiliki kewenangan penindakan yang kuat;
3. Permasalahan di Ranah Kultur Hukum
a. Minimnya pemahaman aparat penegak hukum terkait hukum pidana ketenagakerjaan;
b. Maraknya pelanggaran disiplin dan etik aparat penegak hukum dalam penanganan perkara;
c. Minimnya pengawasan terhadap penegakan hukum pidana perburuhan oleh Kepolisian;
d. Ancaman serangan balik pengusaha/perusahaan terhadap pekerja maupun serikat pekerja yang membuat laporan pidana perburuhan;
e. Minimnya pemahaman hukum pidana ketenagakerjaan bagi buruh, serikat dan organisasi bantuan hukum, sehingga advokasi yang dilakukan cenderung hanya melalui mekanisme perselisihan;
f. Minimnya kajian dan ahli hukum pidana ketenagakerjaan;
Seiring dengan melemahnya penegakan hukum pidana ketenagakerjaan, hadirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja turut mengubah sejumlah ketentuan
hukum pidana ketenagakerjaan khususnya yang ada di dalam UU Ketenagakerjaan 2003. Terdapat beberapa perubahan dan pengurangan dalam delik pidana UU Ketenagakerjaan 2003, misalnya:
1. Pemberi kerja yang tidak memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk apabila mempekerjakan tenaga kerja asing (Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 185 UU Ketenagakerjaan, menjadi juncto Pasal 190 UU Ketenagakerjaan). Sanksinya yang semula adalah sanksi pidana (kejahatan), diubah menjadi sanksi administratif;
2. Pemberi kerja tenaga kerja asing yang tidak menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku (Pasal 44 ayat (1) juncto Pasal 187 UU Ketenagakerjaan);
3. Lembaga pelatihan kerja swasta yang tidak memiliki izin atau tidak mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota (Pasal 14 ayat (2) juncto Pasal 188 Undang-Undang Ketenagakerjaan);
4. Penambahan delik pidana bagi pengusaha tidak membayarkan pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh (Pasal 156 ayat
(1) juncto Pasal 185 ayat 1 UU Ketenagakerjaan versi UU Cipta Kerja).
Dengan adanya perubahan terhadap beberapa ketentuan sanksi di dalam UU Ketenagakerjaan, upaya revisi dalam UU Cipta Kerja tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pematangan sistem hukum pidana ketenagakerjaan. Di sisi lain, melemahnya upaya penegakan hukum pidana ketenagakerjaan di Indonesia sebagaimana disebutkan di atas sedikit- banyak sudah mengakar di level sistemik, yang artinya perubahan ketentuan sanksi untuk perlindungan hak pekerja di UU Ketenagakerjaan lewat UU Cipta Kerja tak sepenuhnya maksimal dilakukan.
Kasus-kasus pelanggaran hukum pidana ketenagakerjaan sendiri marak terjadi di Indonesia, salah satunya diduga dilakukan oleh PT. URI, sebuah perusahaan di bilangan Tangerang, Banten. Pada tahun 2020 hingga pertengahan 2021, perusahaan tersebut diduga memotong upah pekerja- pekerjanya hingga 50% dari upah normal, di mana nominal upahnya menyentuh angka di bawah standar Upah Minimum. Tidak hanya itu, pekerja- pekerjanya yang bekerja lembur tidak mendapatkan upah lembur.
Praktik yang dilakukan oleh PT. URI ini merupakan praktik pelanggaran hukum pidana ketenagakerjaan, yang sayangnya tidak terdapat tindakan berarti dari instansi pengawas ketenagakerjaan maupun aparat penegak hukum setempat.116
D. Kemudahan Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing di Indonesia
Dengan bayangan bahwa Indonesia akan memberikan karpet mulus kepada investor sekaligus menciptakan “iklim yang ramah investasi" dengan meningkatnya jumlah investasi dan bisnis. Pemerintah Indonesia mengasumsikan UU Cipta Kerja akan turut meningkatkan kebutuhan pasar tenaga kerja untuk menopang pelaksanaan investasi dan bisnis di lapangan dan di perusahaan-perusahaan.
Melalui bayangan seperti itu pula, Pemerintah Indonesia seolah menganggap perlu untuk melenturkan aturan terkait rekruitmen tenaga kerja, khususnya Tenaga Kerja Asing dengan asumsi agar kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia tetap seimbang dan tetap dapat memenuhi kebutuhan produksi bagi perusahaan-perusahaan.
Untuk itu, aturan hukum yang berkaitan dengan rekruitmen tenaga kerja asing di Indonesia turut dipermudah dengan diundangkan UU Cipta Kerja. Hal ini dapat dilihat dari revisi aturan rekruitmen tenaga kerja yang ada di UU Ketenagakerjaan 2003, yang beberapa di antaranya adalah ketentuan mengenai:
1. Pemudahan syarat izin penggunaan Tenaga Kerja Asing, di mana sebelumnya dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan Tahun 2013, penggunaan Tenaga Kerja Asing oleh Pemberi Kerja wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat terkait. Selain itu terdapat juga sejumlah prosedur izin yang diatur di dalam Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018, antara lain Visa Tinggal; Terbatas (Vitas), Rencana Penggunaan TKA, dan Izin Menggunakan TKA.
Akan tetapi, ketentuan ini diubah dalam UU Cipta Kerja (perubahan atas Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan), sehingga penggunaan Tenaga Kerja Asing oleh Pemberi Kerja hanya perlu
116 Data bersumber dari pengaduan kasus yang masuk ke LBH Jakarta dan terangkum di Case Management System LBH Jakarta.
memiliki suatu Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
2. Pemudahan pemberian izin dan penggunaan Tenaga Xxxxx Xxxxx untuk posisi direksi, komisaris, hingga pemegang saham asing. Ini dapat dilihat dari adanya perubahan ketentuan di dalam Pasal 42 ayat (3) UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, di mana izin tertulis dipermudah hanya untuk pegawai diplomatik dan konsuler.
Namun di dalam versi perubahannya pada UU Cipta Kerja, pemudahan izin dan penggunaan ini diperluas. Pekerja bukan hanya tidak perlu mendapatkan izin tertulis, tetapi ada sejumlah posisi yang tidak perlu memiliki RPTKA, seperti direksi, komisaris, atau pemegang saham.
Ini dapat dilihat dalam versi perubahan Pasal 42 ayat (3) UU Ketenagakerjaan di dalam UU Cipta Kerja, di mana disebutkan bahwa: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan terkait kewajiban bagi pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing untuk memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat tidak berlaku bagi: a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start up) berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
3. Penghapusan detail aturan mengenai RPTKA di dalam UU Ketenagakerjaan versi revisi UU Cipta Kerja. Ini dapat dilihat di dalam Pasal 43 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, di mana terdapat aturan detail mengenai RPTKA. Detail keterangan yang perlu dicantumkan di dalam RPTKA tersebut antara lain mengenai alasan penggunaan Tenaga Kerja Asing, jabatan atau kedudukan Tenaga Kerja Asing dalam struktur perusahaan, jangka waktu kerja, hingga penunjukan WNI sebagai pendamping Tenaga Kerja Asing.
Selain itu terdapat juga penghapusan ketentuan mengenai larangan penggunaan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan personalia sebagaimana diatur sebelumnya di dalam ketentuan Pasal 43 ayat
(5) UU Ketenagakerjaan Tahun 2003. Namun, detail keterangan mengenai RPTKA dalam Pasal 43 UU Ketenagakerjaan dan juga larangan penggunaan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan personalia itu dihapus dalam ketentuan UU Cipta Kerja, dan dialihkan pengaturannya ke dalam PP No. 34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing.
Pengalihan pengaturan dari Undang-Undang ke dalam Peraturan Pemerintah ini nampak sebagai bagian dari strategi Pemerintah Indonesia untuk dapat mengubah substansi peraturan di kemudian hari, karena mekanisme pengubahan peraturan pemerintah cenderung lebih mudah dan satu arah (eksekutif- sentris) ketimbang pengubahan peraturan di dalam undang- undang yang cenderung lebih lama karena adanya mekanisme koreksi dan pembahasan oleh legislatif (DPR RI).
4. Penghapusan ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi bagi Tenaga Kerja Asing yang hendak bekerja di Indonesia di dalam UU Cipta Kerja. Ketentuan ini sebelumnya tertuang dalam Pasal 44 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, namun dihapus oleh UU Cipta Kerja. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing, pengaturannya dialihkan ke dalam bentuk produk hukum penetapan/keputusan (beschikking) menteri setelah mendapat masukan dari kementerian/lembaga terkait.
Pengalihan pengaturan seperti ini nampaknya juga merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mempermudah upaya revisi ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi bagi Tenaga Kerja Asing yang hendak bekerja di Indonesia yang hanya perlu diubah di level aturan pemerintah (eksekutif).
5. Selanjutnya adalah penghapusan ketentuan mengenai kewajiban perusahaan untuk memulangkan Tenaga Kerja Asing yang sebelumnya diatur di Pasal 48 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003. Pengaturan ketentuan ini dialihkan ke Pasal 7 ayat (1) huruf c
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing, yang nampaknya sama: sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk mempermudah upaya revisi ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi bagi Tenaga Kerja Asing yang hendak bekerja di Indonesia yang hanya perlu diubah di level aturan pemerintah (eksekutif).
Bila diperhatikan secara seksama, pengaturan mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing di dalam UU Cipta Kerja kluster Ketenagakerjaan banyak yang dihapus detail pengaturannya dan dialihkan pengaturannya ke dalam peraturan pemerintah maupun peraturan menteri, dalam hal ini produk peraturan yang dikeluarkan oleh eksekutif.
Padahal semestinya pengaturan tersebut tidak dialihkan serta merta dan harus tetap dipertahankan di level undang-undang, mengingat undang- undang mengatur hal-hal yang menjadi pokok aturan dan bersifat prinsipil. Beberapa pengaturan mengenai Tenaga Kerja Asing yang dihapus pada dasarnya bersifat pokok dan prinsipil, sedangkan peraturan pemerintah maupun aturan di bawah undang-undang memuat hal-hal yang bersifat teknis yang dapat diubah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan.
Hal ini menandakan adanya peluang pemudahan perubahan aturan mekanisme penggunaan Tenaga Kerja Asing di kemudian hari karena pengaturan di dalam peraturan pemerintah ataupun aturan lainnya di lingkup lembaga eksekutif sangat mudah dilakukan tanpa kontrol yang berarti ketimbang pengaturan di level undang-undang yang relatif lebih sulit karena harus melalui proses pembahasan oleh legislatif (DPR RI). Pada akhirnya risiko invasi Tenaga Kerja Asing ke Indonesia semakin tinggi dan berpotensi menimbulkan gesekan persaingan tenaga kerja yang tidak sehat di level lapangan-perusahaan.
E. Perpanjangan Waktu Kerja Lembur
Mengingat dinamisnya kegiatan produksi di perusahaan atau tempat kerja, terkadang sewaktu-waktu pekerja melakukan pekerjaannya melebihi batas maksimal jam kerja, misalnya tujuh atau delapan jam kerja sehari. Kelebihan waktu kerja tersebut kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan dengan menugaskan pekerjanya untuk bekerja lembur.
Dalam aturan Pasal 78 ayat (1) huruf b UU Ketenagakerjaan Tahun 2003, waktu kerja lembur bagi pekerja dibatasi maksimal tiga jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu. Namun dalam UU Cipta Kerja, Pasal 78 ayat (1) UU Ketenagakerjaan ini diubah, dengan menyatakan bahwa waktu kerja lembur dapat dilakukan paling lama empat jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu.
Dengan penambahan waktu jam kerja lembur dari maksimal tiga jam sehari menjadi maksimal empat jam sehari dan tidak ada perubahan ketentuan jam kerja pekerja/buruh dalam sehari, yakni tetap tujuh dan delapan jam kerja sehari menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia lewat UU Cipta Kerja ini hendak memberikan peluang kepada pihak pengusaha/perusahaan untuk meningkatkan produktifitas bisnisnya karena pekerja dapat dipekerjakan lembur sampai dengan empat jam dalam sehari dan jam kerjanya dalam sehari tidak ada pengurangan. Aturan ini telah memberikan peluang eksploitasi tenaga pekerja/buruh dalam bekerja yang dilakukan oleh pengusaha/perusahaan.
Pengaturan mengenai waktu jam kerja dalam sehari bagi pekerja/buruh di Indonesia nampaknya sama sekali tidak memberikan kemajuan bagi pekerja/buruh. Tentang ini, negara-negara lain justru terus saling mengupayakan pengurangan jam kerja bagi pekerja/buruh. Misalnya Perancis, di negara ini jam kerja pekerja/buruh dalam seminggu tak lebih dari 35 jam kerja, atau dalam lima hari kerja ada tujuh jam kerja.
Sedangkan di Swedia, sejak tahun 2016 Pemerintah Swedia menetapkan bahwa jam kerja bagi pekerja/buruh hanya enam jam sehari, maka dalam seminggu terdapat 30 jam efektif kerja. Keputusan ini ternyata mempunyai maksud agar karyawan yang bekerja masih mempunyai energi untuk menyelesaikan aktivitas di luar jam kantor. Tentu saja kebijakan ini disambut antusias oleh penduduk Swedia karena mengurangi stress saat bekerja dan mempunyai lebih banyak waktu untuk berkumpul dengan orang terdekat.
Pemberlakuan kerja lembur bahkan sampai empat jam sehari memiliki dampak buruk. Pertama, ada potensi gangguan kesehatan mental yang dialami oleh pekerja karena pikiran dan tenaganya diforsir sedemikian rupa tanpa diberikan waktu istirahat yang layak dan cukup. Kedua, ada potensi disharmonis hubungan keluarga yang dialami oleh pekerja, khususnya pekerja yang sudah membangun keluarga atau berumah tangga, karena
pekerja tersebut lebih memprioritaskan pekerjaannya ketimbang keluarganya dengan dalih mengikuti perintah perusahaan untuk bekerja lembur.
F. Pengurangan Hak Cuti dan Hak Libur Bagi Pekerja
Dengan asumsi mempermudah kegiatan investasi dan menggenjot produktifitas bisnis di Indonesia, UU Cipta Kerja melakukan pengurangan terhadap hak cuti dan hak libur bagi Pekerja. Cuti dan libur bagi pekerja dianggap sebagai hambatan produktifitas bisnis di Indonesia, karena dengan adanya cuti dan libur pekerja tidak melakukan aktifitas pekerjaannya untuk memproduksi komoditas barang maupun jasa.
Padahal cuti dan libur bagi pekerja pada dasarnya merupakan bagian dari upaya untuk menjaga kesehatan mental dan fisik pekerja (recovery) akibat pekerja dipekerjakan secara terus menerus. Dalam jangka panjang, bila kesehatan mental dan fisik pekerja terjaga dengan baik, maka hal tersebut akan berdampak juga pada penjagaan dan peningkatan kualitas produksi kerja yang dilakukan oleh pekerja.
Adapun perubahan norma aturan terkait cuti dan libur bagi pekerja pasca diundangkannya UU Cipta Kerja adalah sebagai berikut:
1. Perubahan istirahat mingguan bagi pekerja akibat berubahnya jam kerja
Di dalam UU Ketenagakerjaan telah diatur bahwa terdapat dua skema penentuan jam kerja pekerja/buruh, yaitu;117
a. Satu hari libur dan enam hari kerja dalam 1 minggu dengan waktu 1 hari kerja maksimal 7 jam kerja.
b. Dua hari libur dan lima hari kerja dalam 1 minggu dengan waktu 1 hari kerja maksimal 8 jam kerja.
Meskipun Pasal 81 angka 21 UU Cipta Kerja tidak menghapus ketentuan Pasal 77 UU Ketenagakerjaan yang mengatur dua skema jam kerja, namun terdapat kejanggalan bila melihat ketentuan Pasal 81 dalam UU Cipta Kerja yang menghapus frasa “2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu".
117 Lihat, Pasal 77 dan Pasal 79 ayat (2) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di sisi lain, UU Cipta Kerja 'mendelegasikan' pengaturan terkait pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan untuk diatur di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.118 Pendelegasian pengaturan seperti ini melepaskan tanggung jawab jaminan perlindungan hak pekerja, yang semestinya diatur di level aturan perundang-undangan, menjadi diatur di level aturan perusahaan.
Hal tersebut berpotensi melemahkan posisi perlindungan pekerja, karena jaminan pengaturan perlindungan hak pekerja dilimpahkan ke perusahaan, sedangkan saat proses negosiasi, baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, maupun Perjanjian Kerja Bersama, para pekerja tidak memiliki daya tawar yang cukup tinggi saat berhadapan atau bernegosiasi dengan pihak pengusaha.
2. Pengaturan hak istirahat panjang
Perubahan norma juga terjadi pada jenis cuti yang wajib diberikan oleh perusahaan kepada pekerja. Ketentuan UU Ketenagakerjaan selain mengatur mengenai hak cuti tahunan bagi pekerja juga mengatur hak istirahat panjang bagi pekerja yang bekerja di “perusahaan tertentu".119
Lebih lanjut, “perusahaan tertentu" yang dimaksud dalam Pasal 79 ayat 5 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP. 51/MEN/IV/2004 tentang Istirahat Panjang Pada Perusahaan Tertentu (Kepmenaker 51/2004). Dalam Kepmenaker ini dijelaskan bahwa yang dimaksud istirahat panjang adalah istirahat yang diberikan kepada pekerja/buruh setelah masa kerja enam tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama. Perusahaan yang sama adalah perusahaan yang berada dalam satu badan hukum.
Perusahaan yang wajib melaksanakan istirahat panjang adalah perusahaan yang selama ini telah melaksanakan istirahat panjang sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri ini (Kepmenaker 51/2004).
118 Lihat, Pasal 81 angka 21 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
119 Lihat, Pasal 79 ayat (2d), ayat (4) dan ayat (5) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Adapun hak karyawan dalam menjalankan hak atas istirahat panjangnya diatur pada ketentuan Pasal 3 Kepmenaker 51/2004.120 Bila hak istirahat panjang tersebut tidak dipakai oleh pekerja, maka berdasarkan ketentuan Pasal 6 Kepmenaker 51/2004, pekerja tersebut berhak untuk mendapatkan kompensasi saat ia mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).121
Namun, ketentuan mengenai hak istirahat panjang ini diubah dalam UU Cipta Kerja, tepatnya pada Pasal 81 angka 23 ayat (5) UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang berbunyi, “Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”
Istilah “perusahaan tertentu" ini kemudian diatur juga pada Pasal 35 ayat (2) PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT dan PKWTT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, yang berbunyi, “Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Perusahaan yang dapat memberikan istirahat panjang dan pelaksanaannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Xxxxx Xxxsama.”
Frasa “dapat" sebagaimana tercantum dalam dua ketentuan di atas (Pasal 81 angka 23 ayat (5) UU No. 11/2020 dan Pasal 35 ayat 2 PP Nomor 35 Tahun 2021) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: mampu; sanggup; bisa; boleh; mungkin. Sehingga, perubahan tersebut memiliki konsekuensi terhadap perubahan konsep mengenai pemberian hak istirahat panjang kepada pekerja oleh
120 Lihat, Pasal 3 Kepmenaker No. 51 Tahun 2004 tentang Istirahat Panjang pada Perusahaan Tertentu, berbunyi; (1) Pekerja/buruh yang melaksanakan hak istirahat panjang pada tahun ketujuh dan kedelapan, tidak berhak atas istirahat tahunan pada tahun tersebut;
(2) Selama menjalankan hak istirahat panjang pekerja/buruh berhak atas upah penuh dan pada pelaksanaan istirahat panjang tahun kedelapan pekerja/buruh diberikan kompensasi hak istirahat tahunan sebesar setengah bulan gaji; (3) Gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap.
121 Pasal 6 Kepmenaker 51 Tahun 2004 tentang Istirahat Panjang pada Perusahaan Tertentu, berbunyi; “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, tetapi pekerja/buruh belum menggunakan hak istirahat panjangnya dan hak tersebut belum gugur atau pengusaha menunda pelaksanaan istirahat panjang tersebut, maka pekerja/buruh berhak atas suatu pembayaran upah dan kompensasi hak istirahat panjang yang seharusnya diterima”.
perusahaan, yang dalam rezim UU Ketenagakerjaan merupakan “suatu bentuk kewajiban" menjadi pengalihan kewenangan kepada perusahaan untuk menentukan pemberian tersebut yang sifatnya “pilihan atau opsional".
Pemangkasan hak cuti atau istirahat panjang bagi pekerja merupakan bentuk kemunduran terhadap kewajiban pengusaha dalam mengapresiasi pekerjanya yang telah bekerja dan mendedikasikan waktu serta tenaganya pada suatu perusahaan dalam jangka waktu cukup lama secara terus menerus. Pemangkasan hak cuti dari suatu bentuk kewajiban menjadi sebuah pilihan berdampak pula pada terampasnya hak bagi pekerja jika terjadi pemutusan hubungan kerja jika memperhatikan ketentuan Pasal 6 Kepmenaker No. 51/2004 yang merupakan aturan turunan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Di sini pekerja tidak mendapatkan kompensasi bila tidak menggunakan hak cuti libur panjangnya.
Padahal dengan adanya beban kerja yang berat dan pengurangan waktu istirahat pada pekerja akan berpotensi meningkatkan kelelahan dan stress para pekerja tersebut.122 Kelelahan dan stress juga dapat meningkatkan risiko cedera dan kecelakaan kerja. Selain itu, pemotongan cuti panjang juga berdampak hilangnya waktu pekerja untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, mengurangi waktu bersama keluarga, dan waktu untuk merawat anak.
Selanjutnya, terkait hak lainnya seperti hak cuti haid, melahirkan dan keguguran yang diatur dalam Pasal 80, 82 dan 84, serta kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah bagi buruh yang merujuk hak cuti menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptis anak, dan cuti karena adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 93 UU Ketenagakerjaan, dalam UU Cipta Kerja tidak terdapat pembahasan, perubahan, ataupun penghapusan pasal-pasal tersebut, sehingga aturannya masih merujuk pada ketentuan UU Ketenagakerjaan.
122 International Labour Organization, Dalam Menghadapi Pandemi: Memastikan Keselamatan dan Kesehatan di Tempat Kerja, diakses dari (xxxxx://xxx.xxx.xxx/xxxxx0/ groups/public/−−−asia/−−−ro−bangkok/−−−ilo−jakarta/documents/publication/wcms_742959. pdf).
G. Perluasan Penerapan Sistem Outsourcing
Sistem hukum perburuhan di Indonesia mengalami perubahan besar sesaat setelah terjadi krisis ekonomi ditahun 1997, di mana hukum perburuhan diubah dengan mengikuti sistem pasar fleksibel. Hal ini yang kemudian melahirkan Paket Undang-undang Perburuhan yaitu: UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perslisihan Hubungan Industrial.123 Khusus dalam UU Ketenagakerjaan 2003, model pasar tenaga kerja yang difleksibilisasi nampak dari adanya legalisasi ketentuan sistem outsourcing untuk jenis hubungan ketenagakerjaan antara pekerja dengan perusahaan/pengusaha.
Outsourcing sendiri adalah sebuah hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem kontrak, tetapi kontrak tersebut bukan diberikan secara langsung oleh perusahaan pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan penyedia tenaga kerja.124 Istilah outsourcing dalam sejarahnya resmi dipergunakan di dalam Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011. Meski tidak disebutkan secara eksplisit, pengaturan outsourcing dalam rezim Undang-Undang Ketenagakerjaan dapat ditemukan pada Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, ada dua macam bentuk Perjanjian Kerja outsourcing yaitu “Perjanjian Kerja Pemborongan" dan “Perjanjian Kerja Penyediaan Xxxx Xxxxx atau Pekerja".
Kebijakan Pasar Kerja Fleksibel (Flexibility Labour Market) ini sendiri sebenarnya bagian dari syarat yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia bila hendak mendapatkan bantuan dari IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia (World Bank) dalam kaitannya untuk menangani krisis ekonomi 1997. Dengan asumsi dapat memperbaiki iklim investasi dan fleksibilitas tenaga kerja, kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel melalui pengaturan outsourcing diasumsikan dapat mempercepat dan memfleksibelisasi arus modal sehingga dapat meningkatkan iklim investasi.125 Namun, kebijakan tersebut di satu sisi yang lain justru
123 Xxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Perburuhan, Desentralisasi dan Rekonstrukri Rezim Perburuhan ‘Baru’, (TURC, Jakarta: TURC, 2007), hlm. 7.
124 Khakim, A., Pengantar Hukum Ketanagkerjaan Indonesia Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, Edisi Revisi, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2007). hlm. 72 − 73.
125 Xxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxx, Diskriminatif dan Eksploitatif (Praktek Xxxxx Xxxxxxx dan
menjadikan posisi buruh/pekerja semakin rentan, karena selain tidak memiliki status kepastian karir kerja, juga tidak memiliki hak-hak yang dimiliki pekerja tetap.
1. Batasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsourcing) semakin kabur dan tidak jelas
Istilah Alih Daya dalam Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja memperjelas legitimasi atas penerapan sistem outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia. Sebelumnya, ketentuan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan 2003 mengatur bahwa pekerjaan alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi (dalam artian hanya untuk jenis pekerjaan kegiatan penunjang) atau bukan bagian dari inti bisnis, misalnya seperti: pelayanan kebersihan (cleaning service), penyediaan makanan bagi pekerja (catering), tenaga pengaman (security), usaha penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja. Namun, dalam UU Cipta Kerja tidak ada lagi ketentuan batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya.126
Artinya, UU Cipta Kerja memberi peluang bagi perusahaan alih daya untuk mempekerjakan pekerja dalam berbagai tugas hingga ke ranah jenis pekerjaan yang sifatnya bukan penunjang. Hal ini berpotensi membuat penggunaan tenaga alih daya semakin tidak terkontrol jika tidak ada regulasi turunan dari UU Cipta Kerja untuk mengatur lebih lanjut. Pertama, pengusaha dapat melakukan pemborongan dengan lebih leluasa karena unsur 'pelaksanaan “sebagian" pekerjaan' dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan dihapus. Konsekuensi yuridis dari penghapusan pasal ini ditafsirkan bahwa seluruh jenis pekerjaan bisa diterapkan sistem outsourcing.
Diubahnya ketentuan mengenai jenis pekerjaan yang dapat dialih daya serta larangan mengalihkan jenis pekerjaan yang bersifat pokok dan utama dalam produksi menciptakan kebingungan, baik bagi perusahaan ataupun pekerja/buruh karena tidak ada panduan dan menimbulkan masalah ketenagakerjaan. Oleh karenanya, seluruh jenis
Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia, (Jakarta: Akatiga− FSPMI−FES), hlm. XV.
126 Lihat, Pasal 81 Angka 20 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
dan sifat pekerjaan dapat dialihdayakan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja.
Penggunaan sistem kerja outsourcing ini akan semakin diminati pengusaha karena berbiaya murah dan pengusaha tidak perlu lagi memikirkan kewajiban untuk memenuhi hak-hak pekerja secara penuh. Selain itu, pekerja juga harus menghadapi masalah penyunatan hak- hak oleh perusahaan penyedia jasa pekerja. Pekerja/buruh berpotensi besar akan kehilangan perlindungan atas hak-haknya terutama hak atas pekerjaan yang layak. Kondisi ini akan benar-benar menciptakan sebuah pasar tenaga kerja bebas, di mana pekerja/buruh, terancam hak-haknya dan diperlakukan sebagaimana komoditas barang dalam bentuk tenaga.
Dampak yang timbul dan dialami oleh pekerja/buruh dalam UU Cipta Kerja ini berpotensi memperparah kondisi ketenagakerjaan, secara spesifik buruh akan kehilangan hak atas pekerjaan yang layak. Padahal dalam praktik terdapat banyak pelanggaran praktik alih daya seperti pelanggaran ketentuan upah, jam kerja, serta jenis pekerjaan yang dialihdayakan, tidak memberikan upah layak, tidak memberikan tunjangan yang sesuai, dan tidak mengikutkan pekerja dalam BPJS Ketenagakerjaan. Pelanggaran yang dialami tidak hanya dilakukan oleh instansi swasta, tetapi juga oleh instansi pemerintah yang menggunakan pekerja alih daya.
Di sisi lain, sistem pengawasan terhadap pengadaan pekerja alih daya oleh perusahaan sendiri terlihat tidak berjalan secara optimal, karena minim dan lemahnya struktur pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia.127 Ini dapat dilihat dari tidak sebandingnya dengan kemampuan pengawasan ketenagakerjaan yang ada di lapangan. Jumlah pengawas ketenagakerjaan yang ada di Indonesia sendiri hanya
1.574 orang, sementara jumlah tenaga kerja mencapai 13.138.048 orang yang tersebar di 252.280 perusahaan menjadi penyebab kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan, idealnya seorang pengawas ketenagakerjaan wajib memeriksa paling sedikit lima perusahaan setiap bulan atau 60 perusahaan dalam satu
127 Triyono, Problematika Buruh Outsourcing, diakses dari (xxxxx://xxxxxxxxxxxx. xxxx.xx.xx/xx/xxxxxx−kependudukan/ketenagakerjaan/66−problematika−buruh−outsourcing).
tahun.128 Dengan dibukanya keran fleksibilitas tenaga kerja melalui perluasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan ketimpangan ini akan menjadi lebih parah, sebab banyaknya timbul perusahaan beserta tenaga kerja yang harus diawasi dan dilindungi hak-haknya tidak sebanding dengan tata kelola serta peningkatan jumlah pengawas ketenagakerjaan. Sehingga, besar kemungkinan akan banyak praktik pelanggaran yang lolos.
2. Ketidakjelasan jaminan perlindungan bagi pekerja alihdaya (outsourcing)
Satu hal prinsipil yang terkandung dalam rezim ketenagakerjaan ala UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah bagaimana mudah dalam merekrut dan memecat pekerja (easy hire, easy fire). Pasal 81 Angka 18 dan 19 dalam UU Cipta Kerja telah menghapus ketentuan yang dimuat dalam Pasal 64 dan 65 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur ketentuan mengenai pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang wajib untuk dibuat secara tertulis. Penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65 menunjukkan posisi negara yang seolah tidak ingin masuk ke dalam ranah perjanjian bisnis (perdata) dan lepas dari tanggung jawab perlindungan hak pekerja secara eksplisit di level peraturan perundang- undangan. Pengaturan lebih lanjut yang didelegasikan ke dalam aturan di level perjanjian kerja ataupun peraturan perusahaan telah menempatkan pekerja pada posisi rentan ketika berhadapan atau bernegosiasi dengan perusahaan sebagai pemberi kerja, karena relasi antar keduanya tidak setara alias timpang.129
Dalam skema outsourcing, setidaknya terdapat dua perusahaan, yaitu perusahaan alih daya, sebagai penyedia jasa, dan perusahaan pengguna jasa. Salah satu poin penting dalam perubahan norma pada UU Cipta Kerja, beserta aturan turunan pelaksanaannya adalah
128 Xxx Xxxxxxx Karunia, Xxxxxxx: Pengawas Ketenagakerjaan Tak Sebanding Jumlah Perusahaan yang Diawasi, diakses dari (xxxxx://xxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/ 210000226/xxxxxxx−−pengawas−ketenagakerjaan−tak−sebanding−jumlah−perusahaan−yang− diawasi).
129 Xxx Xxxx DA dan Xxxx Xxxxxxx, Melek Omnibus Law II: Menyoal Fleksibilitas Aturan PKWT−Outsourcing, diakses dari (xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxx/ lt5e67e40d8a92e/melek−omnibus−law−ii−−menyoal−fleksibilitas−aturan−pkwt−outsourcing).