KONSEP PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA HAK ISTRI DAN ANAK DALAM PERKAWINAN POLIGAMI
KONSEP PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA HAK ISTRI DAN ANAK DALAM PERKAWINAN POLIGAMI
TESIS
OLEH:
XXXX XXXXXXX NPM: 1520020045
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN
2018
ABSTRAK
KONSEP PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA HAK ISTRI DAN ANAK DALAM PERKAWINAN POLIGAMI
Perkawinan poligami tidak hanya menimbulkan rasa kekecewaan terhadap isteri, tetapi juga menimbulkan rasa ketidakadilan terhadap kaum perempuan, apalagi haknya sebagai isteri dan hak anak telah diabaikan. Isteri yang dipoligami selalu merasa tersisihkan karena suami cenderung lebih memperhatikan isteri yang baru (isteri mudanya) ketimbang isteri pertama.
Permasalahan dalam penelitian ini mengenai perjanjian perkawinan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak isteri dan anak dalam perkawinan poligami, prinsip keadilan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak isteri dan anak dalam perkawinan poligami dan faktor penghambat secara internal dan eksternal dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak isteri dan anak dalam perkawinan poligami.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa penelitian hukum normatif karena penelitian hukum ini terfokus pada peraturan tertulis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan dengan menggunakan berbagai peraturan yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian, dalam hal ini adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian.
Hasil pembahasan perlindungan hak istri dan anak dalam perjanjian perkawinan dapat dilakukan melalui perjanjian sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan pada intinya berisikan kewajiban seorang suami yang berpoligami terutama di bidang hak istri terkait harta kekayaan dan anak berupa nafkah lahir batin yang wajib dipenuhi oleh suami yang berpoligami, termasuk larangan penggunaan kekerasan dalam perkawinan. Adanya putusan MK Nomor 69/PUU- XIII/2015, yaitu tentang Perjanjian Kawin. Bila sebelumnya perjanjian kawin hanya bisa dilakukan sebelum perkawinan, maka kini bisa dilakukan selama masa perkawinan berlangsung. Seorang suami boleh berpoligami tetapi dengan syarat keadilan. Keadilan mengandung pengertian hubungan yang harmonis dengan berbagai organisasi sosial. Keadilan tidak dapat didefinisikan karena keadilan merupakan sebuah tatanan ideal yang tidak rasional. Suami yang akan berpoligami harus mampu mewujudkan nilai keadilan dalam keluarga dengan tujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak. Faktor penyebab terjadinya poligani dalam masyarakat disebabkan kondisi keuangan suami tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan keluarga, orang tua kurang berminat untuk mendidik anak-anaknya, perselisihan antara anak dari keluarga, konflik para isteri, dan hubungan tidak rukun antara anak dengan orang tua laki- laki.
Kata kunci: Perjanjian Perkawinan, Perlindungan Hukum, Poligami
i
ABSTRACT
CONCEPT OF MARRIAGE AGREEMENT IN PROVIDING LEGAL PROTECTION TO WIFE AND CHILD RIGHTS
IN POLYGAMIC MARRIAGE
Polygamy marriage not only creates a sense of disillusionment with the wife, but also creates a sense of injustice towards women, let alone their rights as wives and children's rights have been ignored. The polygamous wife always feels left out because the husband tends to pay more attention to the new wife (his young wife) than the first wife.
The problems in this study on marriage agreements can provide legal protection for the rights of wives and children in polygamous marriages, the principle of justice in providing legal protection for the rights of wives and children in polygamous marriages and inhibiting factors internally and externally in providing legal protection against the rights of wives and children in polygamous marriages.
The method used in this study in the form of normative legal research because of this legal research focused on written regulations. The approach used is the legislation approach that is approach by using various rules that become the focus as well as the central theme of a research, in this case is the various laws related to the object of research.
The result of discussion of the protection of wife and child rights in marriage agreement can be done through agreement before marriage is held. The marriage agreement essentially contains the obligation of a polygamous husband especially in the sphere of wife rights related to property and children in the form of internal and spiritual livelihood that must be fulfilled by the polygamous husband, including the prohibition of the use of violence in marriage. The decision of the Court Number 69 / PUU-XIII / 2015, which is about the Marriage Agreement. If the previous marriage agreement can only be done before marriage, it can now be done during the marriage period. A husband may be polygamy but on condition of justice. Xxxxxxx implies a harmonious relationship with various social organizations. Justice can not be defined because justice is an irrational ideal. Husband to be polygamy must be able to realize the value of justice in the family with the aim to provide legal protection against the rights of wife and child. Factors causing polygism in the community due to the husband's financial condition is not sufficient to meet the needs of the family, parents are less interested to educate their children, disputes between children of the family, the conflicts of wives, and unfair relationships between children with male parents.
Keywords: Marriage Agreement, Legal Protection, Polygamy
ii
KATA PENGANTAR
Tidak ada yang mampu penulis dapat katakan selain ungkapan terima kasih yang tulus bagi kemuliaan kepada Allah SWT yang telah memberikan hikmat, kebijaksanaan, serta penyertaanNya dalam menuntun penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini dalam bentuk tesis yang berjudul “Konsep Perjanjian Perkawinan dalam Memberikan Perlindungan Hukum Kepada Hak Istri dan Anak dalam Perkawinan Poligami.” dalam rangka penyelesaian studi Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu, khususnya kepada :
1. Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Dr. Agussani, M.AP atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan ini.
2. Direktur Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Prof. Dr. Ediwarman SH, M.Hum.
3. Ketua Prodi Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Dr. H. Surya Perdana, SH M. Hum atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
4. Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya diucapkan kepada Bapak Prof. Dr. H. Xxxxxx, MA selaku pembimbing I, dan Bapak Isnina, SH., M. Hum selaku pembimbing II, yang dengan penuh
iii
perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran sehingga tesis ini selesai.
5. Para guru besar dan bapak serta ibu dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan menyalurkan ilmu kepada penulis.
6. Staf Administrasi dan pengajaran Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan selama penulis mengikuti perkuliahan.
7. Secara khusus, ayahanda xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx dan ibunda tersayang Dermawan yang telah memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis selama menyelesaikan tesis ini.
8. Rekan-rekan Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara yang telah memberi dorongan moril serta menjadi teman diskusi dalam penulisan tesis ini.
Akhirnya atas bantuan, motivasi serta bimbingan yang telah diberikan, penulis tidak dapat membalasnya. Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa agar selalu menyertai kita semua dengan harapan tesis ini dapat bermanfaat.
Medan, Januari 2018 Peneliti
(Dedi Pramana)
iv
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 12
C. Tujuan Penelitian 12
D. Manfaat Penelitian 13
E. Keaslian Penulisan 14
F. Kerangka Teori dan Konsep 19
1. Kerangka teori 19
2. Kerangka konsep 24
G. Metode Penelitian 25
1. Sifat penelitian 26
2. Jenis penelitian 26
3. Sumber dan jenis data penelitian 28
4. Teknik pengumpulan data 29
5. Analisis data 30
v
BAB II : PERJANJIAN PERKAWINAN MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ISTRI DAN ANAK 32
A. Pengertian Perkawinan 32
B. Syarat-syarat Sah Perkawinan 42
C. Perjanjian Perkawinan dapat Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri dan Anak dalam Perkawinan Poligami 50
BAB III : PRINSIP KEADILAN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ISTRI DAN ANAK 73
A. Landasan Hukum Poligami 73
B. Perkawinan Poligami Di Lingkungan Masyarakat 82
C. Prinsip Keadilan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri dan Anak dalam Perkawinan Poligami 94
BAB IV : FAKTOR PENGHAMBAT SECARA INTERNAL DAN EKSTERNAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ISTRI DAN ANAK DALAM PERKAWINAN POLIGAMI 105
A. Hambatan Internal Perlindungan Hukum Terhadap
Hak Istri dan Anak dalam Perkawinan Poligami 105
B. Hambatan Eksternal Perlindungan Hukum Terhadap
Hak Istri dan Anak dalam Perkawinan Poligami 109
C. Solusi Perlindungan Hukum Terhadap Hak Isteri dan Anak dalam Perkawinan Poligami 120
BAB V : PENUTUP 129
A. Kesimpulan 129
B. Saran 130
DAFTAR PUSTAKA
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, karena di dalamnya ada unsur-unsur hak dan kewajiban masing-masing pihak, menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan kewajiban suami istri maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak, kekayaan, dan faktor kependudukan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna (volwaardig).1
Bagi para pemeluk agama, perkawinan bersifat sakral yang mengandung ajaran-ajaran agama bagi para pemeluknya. Ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah ikatan perkawinan antara suami dan istri. Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih. Seorang pria dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami istri.
1 Titik Triwulan dan Trianto, Poligami Perspektif, Perikatan Nikah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), halaman 2.
1
Ikatan yang ada diantara mereka merupakan ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami istri yang berupa hak dan kewajiban.
Terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.2
Apabila suatu perkawinan tidak dilaksanakan menurut hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum, sehingga akibat dari perkawinan tersebut adalah tidak dilindungi oleh hukum yang berlaku, baik pihak suami-istri yang terikat perkawinan maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.3
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah suatu “tujuan ideal yang tinggi dan mencakup pengertian jasmaniah
2 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), halaman 8
3 Xxxx Xxxxxxxx, Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Luar nikah Menurut BW, (Yogyakarta: Laksbang Press, 2008), halaman. 1
dan rohaniah yang akan melahirkan keturunan”.4 Perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.5
Berdasarkan Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dari rumusan Pasal 26 KUH Perdata tersebut dapat diketahui bahwa KUH Perdata memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja. Artinya adalah bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Di samping itu KUH Perdata juga menganut asas monogami absolut dan melarang poligami. Larangan ini termasuk ketertiban umum, apabila dilanggar akan diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu.6
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yanga bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.7 Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh pasangan calon pengantin, baik laki-laki maupun perempuan sebelum perkawinan mereka dilangsungkan, dalam isi perjanjian tersebut mengikat hubungan perkawinan mereka.8
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan
4 M. Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rajawali, 2001), halaman.
3.
5 Xxxxxx Xxxxxx, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006), halaman 28
6 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), halaman. 23.
7 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), halaman 6.
8 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Xxxxxxxxxx Xxxxxxxxxx, (Jakarta: Visimedia, 2008), halaman 78.
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hanya apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan karena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
Asasnya monogami yaitu pada waktu yang bersamaan hanya boleh mempunyai seorang istri atau sebaliknya. Akan tetapi pembuat undang- undang masih menghayati pemikiran yang realistik dalam soal perkawinan, sehingga pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberi kemungkinan untuk beristri lebih dari satu orang dengan syarat harus ada izin dari pengadilan dan hal poligami itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan demikian dasar monogami dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak bersifat mutlak.9
Meskipun Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami, seperti yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.10 Namun dalam Pasal berikutnya dikatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.11
Kedua asas tersebut tentunya terdapat konsekuensi hukum yang sama, yaitu poligami diperbolehkan di negara Indonesia. Akan tetapi dengan persyaratan yang begitu ketat dan selektif. Hal ini disebutkan dengan tegas dalam Pasal 3
9 M. Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 2002), halaman 3.
10 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
11 Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan bahwa :
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri, begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.12
Penjelasan Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih satu, jika dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan, di dalam memberi putusan selain memeriksa persyaratan yang tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus mengingat pula, apakah ketentuan hukum perkawinan agama dari calon suami mengizinkan adanya poligami ataukah dilarang.
Sementara asas yang melekat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah asas poligami tertutup. Sebab secara tersurat dalam Pasal 55 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa asas perkawinanya adalah poligami. Namun pasal-pasal setelahnya mengindikasikan untuk menutup asas poligami tersebut dengan berbagai persyaratan yang begitu ketat, sehingga tidak memungkinkan bagi para pelaku poligami untuk menerapkannya dengan sewenang-wenang.
Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan bahwa:
12 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
(1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.13
Syarat yang disebutkan Pasal 55 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas merupakan hal yang terpenting dari poligami, sebab apabila syarat utama tersebut tidak mampu dipenuhi oleh suami, maka suami dilarang untuk berpoligami dan pengadilan agama pun tidak akan memberikan izin kepada suami untuk berpoligami.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang perjanjian perkawinan, hanya dinyatakan bahwa kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis yaitu perjanjian perkawinan. Dalam ketentuan ini tidak disebutkan batasan yang jelas, bahwa perjanjian perkawinan itu mengenai hal apa. Sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan mencakup banyak hal. Disamping itu Undang- Undang Perkawinan tidak mengatur lebih lanjut tentang bagaimana hukum perjanjian perkawinan yang dimaksud.14
Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu:
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Xxxxxxx pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
13 Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam.
14 Xxxxx X. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), halaman 67.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perjanjian perkawinan yang diadakan antara suami istri adalah perjanjian tertulis kecuali ta’lik talak yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, apapun yang diperjanjikan asalkan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, serta jika terjadi perjanjian perkawinan itu disahkan bukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan maka perjanjian itu tidak dapat dikatakan perjanjian perkawinan melainkan perjanjian biasa yang berlaku secara umum.15
Ketentuan tentang perjanjian perkawinan juga diatur dalam KUH Perdata Pasal 139, yang menetapkan bahwa dalam perjanjian kawin itu kedua calon suami istri dapat menyimpangi ketentuan yang ditetapkan, asal saja penyimpangan- penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Perjanjian kawin harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan dibuat sebelum perkawinan berlangsung, serta mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian itu dilekatkan pada pada akta nikah dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan surat nikah, dan perjanjian perkawinan dibuat atas persetujuan atau kehendak bersama, dibuat secara tertulis, disahkan oleh pegawai catatan sipil, serta tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.16
Perkawinan sebagai perbuatan hukum yang mana merupakan suatu perbuatan yang mengandung hak dan kewajiban bagi individu-individu yang melakukannya. Seorang pria dengan seorang wanita setelah melakukan
15 H.A. Damanhuri, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, (Bandung: Xxxxxx Xxxx, 2007), halaman 11.
00 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxxxxx, (Jakarta: Indonesia Legal Centre Publishing, 2002), halaman 30.
perkawinan akan menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu antara lain mengenai hubungan hukum antara suami istri dan mengenai harta benda perkawinan serta penghasilan mereka.17 Hal ini membuat, suami dan istri mempunyai kesepakatan yang bebas namun terbatas untuk menentukan isi perjanjian perkawinan dan akibat hukumnya.
Perjanjian perkawinan dapat diperjanjikan bagi pihak yang melakukan poligami diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya, sebagaimana terdapat dalam Pasal 52 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu”.
Perlindungan hukum yang terkandung dalam perjanjian perkawinan memang selama ini cenderung mengatur mengenai harta benda, sehingga esensinya memang ditujukan kepada pihak yang memiliki harta kekayaan lebih banyak. Akan tetapi pihak yang memiliki harta kekayaan lebih sedikit ataupun tidak mempunyai harta kekayaan tetap dapat menggunakan perjanjian perkawinan sebagai sarana perlindungan hukum. Isi perjanjian perkawinan dapat diperluas tidak hanya mengatur mengenai harta benda semata, melainkan juga dapat mengatur hal-hal lain yang dimungkinkan terjadi di dalam kehidupan rumah tangga. Misalnya perlindungan hukum bagi hak istri dan anak dalam perkawinan poligami dengan membuat suatu perjanjian. Perjanjian perkawinan yang ideal
17 Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Istri, Harta Benda Perkawinan), (Jakarta: Rizkita, 2009), halaman 128.
adalah perjanjian perkawinan yang dapat melindungi dan memberikan keadilan bagi pihak-pihak dalam perkawinan.
Perjanjian perkawinan dibuat dengan tujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang beriktikad baik dari pihak lain yang tidak beriktikad baik. Apabila dilain waktu timbul permasalahan-permasalahan diantara para pihak, perjanjian perkawinan dapat menjadi landasan bagi masing- masing pihak, yaitu suami dan istri, untuk melaksanakan dan memberikan batas- batas hak dan kewajiban diantara mereka.
Sebenarnya perkawinan poligami tidak hanya menimbulkan rasa kekecewaan terhadap istri, tetapi juga menimbulkan rasa ketidakadilan terhadap kaum perempuan, apalagi haknya sebagai istri dan hak anak telah diabaikan. Istri yang dipoligami selalu merasa tersisihkan karena suami cenderung lebih memperhatikan istri yang baru (istri mudanya) ketimbang istri pertama. Agaknya keharusan berlaku adil kepada kedua istrinya sulit diwujudkan.
Perkawinan poligami tidak terlepas dari adanya masalah harta dalam perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah mengatur tentang harta benda dalam perkawinan. Pasal 35 ayat (1) tentang harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 35 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tentang harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing- maing sebagai hadiah warisan adalah dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tentang kebolehan suami istri bertindak
terhadap harta bersama ata peretujuan kedua belah pihak. Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Jadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan peluang untuk memberlakukan sistem hukum yang dikehendaki oleh pihak-pihak untuk menyelesaikan pembagian harta bersama.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengakui adanya harta bersama. Pasal 85 KHI ditemukan adanya harta bersama dalam perkawinan, namun keberadaannya tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing. Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) KHI tercantum bahwa terhadap milik masing-masing tidak dikenalkan campuran harta; harta istri tetap harta istri, demikian juga harta suami. Pasal 87 KHI juga menyebutkan tentang harta bawaan tetap di bawah penguasaan masing- masing, baik berupa hadiah atau warisan sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan. Apabila dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat peluang kepada pihak-pihak menerapkan hukum lain untuk pembagian harta bersama jika terjadi perceraian, maka dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 88 menetapkan bahwa penyelesaiannya diajukan Pengadilan Agama. Ini artinya harus diselesaikan secara hukum islam, setengah dari harta bersama menjadi hak pasangan yang masih hidup. Sedangkan sisa yang setengah lagi dibagi ata dasar harta warisan.
Istilah harta bersama merupakan aturan yang dijumpai dalam lapangan hukum perdata pada bagian perjanjian perkawinan. Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama atau campuran harta kekayaan, dan harta bawaaan masing-masing menjadi hak milik masing-masing pula. Istri dapat mengajukan pemisahan harta kekayaan ke pengadilan jika suami mengorbankan kekayaan bersama, melakukan pengrusakan, pengobralan kekayaan dan sejenisnya. Kompilasi Hukum Islam mengakui keberadaan harta bersama sebagai salah satu kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Karena prinsip utama hukum keluarga Islam adalah bagaimana membangun keluarga inti, maka biaya yang harus dikeluarkan masing-masing pihak seperti untuk orang tua dan saudara lainnya.
Disadari atau tidak, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU/XII/2015 berdampak besar terhadap perkembangan hukum di Indonesia, terutama terkait dengan hukum perkawinanm yakni perjanjian perkawinan dan kepemilikan hak kebendaan di Indonesia. Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, hukum positif mengenai perjanjian kawin mengalami perubahan. Salah satu perubahan yang signifikan, perjanjian kawin bisa dibuat selama dalam ikatan perkawinan. Perubahan norma Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sangat membantu dan menguntungkan bagi Warga Negara Indonesia (WNI).18 Perjanjian perkawinan harus mempunyai nilai kemanfataan bagi para pihak dalam perkawinan. Selain sebagai perlindungan hukum bagi para pihak, perjanjian perkawinan juga memberikan manfaat dalam hal terjadi konflik di
18 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang perjannjian perkawinan.
lembaga pengadilan manakala terjadi perceraian. Sebagaimana telah menjadi rahasia umum bahwa, penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan membutuhkan waktu yang relatif lama dan juga dibutuhkan biaya besar.
Berdasarkan uraian di atas sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut, peneliti memutuskan untuk mengangkat permasalahan ini dalam sebuah tesis yang berjudul “Konsep Perjanjian Perkawinan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Kepada Hak Istri dan Anak Dalam Perkawinan Poligami.”
B. Perumusan Masalah
Permasalahan merupakan suatu persoalan harus dicari pemecahannya, guna memudahkan pembahasan agar tidak menyimpang dari materi pokok dalam penulisan tesis. Permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perjanjian perkawinan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak dalam perkawinan poligami?
2. Bagaimana prinsip keadilan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak dalam perkawinan poligami?
3. Apa yang menjadi faktor penghambat secara internal dan eksternal dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak dalam perkawinan poligami?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dikemukakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji dan menganalisis perjanjian perkawinan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak dalam perkawinan poligami.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis prinsip keadilan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak dalam perkawinan poligami.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis faktor penghambat secara internal dan eksternal dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak dalam perkawinan poligami.
D. Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dikemukakan peneliti dalam penulisan tesis ini adalah:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan konsep perjanjian perkawinan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak dalam perkawinan poligami.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hak istri dan anak dalam perkawinan poligami, upaya untuk meningkatkan adanya kepastian dan perlindungan hukum bagi istri dan anak dalam perjanjian pada perkawinan poligami. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para perancang peraturan perundang-undangan, agar mampu menciptakan produk hukum yang baik dan dapat berlaku secara efektif di
masyarakat mengenai perjanjian perkawinan sebagai sarana memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak dalam perkawinan poligami.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, di Magister Kenotariatan Univeristas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Konsep Perjanjian Perkawinan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Kepada Hak Istri dan Anak Dalam Perkawinan Poligami”, untuk melengkapi sebagai persyaratan menjadi Sarjana Hukum Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan pada Univeristas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
Tesis ini adalah asli, dan bukan merupakan tiruan atau duplikasi dari bentuk karya ilmiah sejenis atau bentuk lainnya yang telah dipublikasikan. Tesis ini belum pernah dipakai untuk mendapatkan gelar kesarjanaan di lingkungan Univeristas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). atau instansi lainnya.
Judul-judul tesis yang berkaitan dengan masalah konsep perjanjian perkawinan dalam memberikan perlindungan hukum kepada hak istri dan anak dalam perkawinan poligami juga pernah ditulis sebelumnya, antara lain :
1. Xxxx Xxxx Xxxx Xxxxxxxx, NIM: 087011085, Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan, Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2011, dengan judul “Perlindungan Terhadap Hak-Hak Istri Pada Perkawinan
Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”.
Permasalahan:
a. Bagaimana perlindungan hak-hak istri dalam perkawinan poligami yang telah dicatatkan?
b. Hal-hal apa saja yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan bagi istriyang dipoligami?
c. Apa akibat hukum jika suami yang berpoligami melanggar perjanjian perkawinan?
Hasil penelitian:
a. Perlindungan hak-hak istri dalam perkawinan poligami yang dicatatkan dapat dilakukan dengan perjanjian sebelum perkawinan dilangsungkan.
b. Akta perjanjian perkawinan tersebut bersifat akta autentik (notaril) yang terdiri dari beberapa pasal yang pada intinya berisikan hak-hak dan kewajiban seorang istri yang dipoligami terutama di bidang harta benda perkawinan, dan hak-hak lainnya yang berupa nafkah lahir batin yang wajib dipenuhi oleh suami yang berpoligami, termasuk larangan penggunaan kekerasan dalam perkawinan, hak-hak asuh anak bila terjadi perceraian.
c. Akibat hukum apabila suami melanggar hal-hal yang telah diperjanjikan dalam perjanjian sebelum perkawinan tersebut berlangsung, dapat diancam dengan hukuman ganti rugi sebagai pengganti hak-hak bagi pihak yang dirugikan. Bentuk ganti rugi yang dimaksud adalah ganti rugi
yang telah disepakati kedua belah pihak yang telah tertuang dalam perjanjian tersebut. Disamping itu pelanggaran perjanjian dapat pula dijadikan alasan oleh istri yang dipoligami untuk menuntut perceraian ke pengadilan Agama.
2. Endang Setya Rini, NIM B4B003082, Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan, Pasca Sarjana Universitas Universitas Diponegoro Semarang, Tahun 2006, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di Kabupaten Wonosobo”.
Permasalahan:
a. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami?
b. Faktor–faktor apakah yang menghambat pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami?
c. Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap hambatan yang terjadi dalam keluarga poligami?
Hasil penelitian:
a. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami di Kabupaten Wonosobo belum terlaksana dengan baik, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor perkawinan poligami yang terselubung, faktor penghasilan suami yang belum mencukupi sehingga anak-anak kurang terurus bahkan terlantar dalam hal pendidikan maupun kebutuhan lainnya.
b. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami adalah adanya poligami terselubung (perkawinan di bawah tangan) sehingga perkawinan yang demikian tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan anak yang dilahirkan juga tercatat sebagai anak luar nikah, dimana anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata terhadap ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
c. Upaya penanggulangan terhadap hambatan yang terjadi dalam keluarga poligami adalah mencari pekerjaan tambahan baik oleh istri maupun anak- anaknya yang sudah mampu bekerja dengan ayahnya sesudah pulang dari sekolah. Disamping itu juga si suami berusaha menegakkan kepemimpinannya dalam keluarga, bersifat obyektif dan netral, dan mencoba berlaku adil walaupun tidak terpenuhi semuanya akan tetapi dengan kebijaksanaan dan kasih sayang suami yang berani mengalah demi kerukunan keluarga sambil berusaha menjaga keseimbangan hak dan kewajiban.
3. Xxxxxx Xxxxxxx, NIM: 1120115049, Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan, Pasca Sarjana Universitas Andalas, Padang, Tahun 2014, dengan judul “Permohonan izin perkawinan Poligami Di Pengadilan Agama Kota Padang”.
Permasalahan:
a. Bagaimana proses permohonan izin perkawinan poligami di Pengadilan Agama kota Padang?
a. Bagaimana pelaksanaan perkawinan Poligami setelah mendapat izin poligami dari Pengadilan Agama kota Padang?
b. Apakah akibat hukum terhadap harta bersama pada perkawinan poligami?
Hasil penelitian:
a. Pelaksanaan Permohonan izin poligami pada Pengadilan Agama Padang telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yaitu Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa seorang suami yang akan mempunyai istri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan poligami pada pengadilan agama setempat.
b. Untuk pengaturan mengenai perkawinan dan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil di Indonesia terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, apabila seorang Pegawai Negeri Sipil Pria akan beristri lebih dari seorang, maka terlebih dahulu wajib memperoleh izin dari pejabat (pimpinan/atasan dari Pegawai Negeri Sipil tersebut) yang berwenang. Bagi seorang suami (termasuk Pegawai Negeri Sipil yang telah memperoleh izin) yang ingin beristri lebih dari seorang (poligami), harus mengajukan permohonan izin poligami secara tertulis kepada Pengadilan. Surat permohonan tersebut harus memuaat bukti-bukti dan alasan-alasannya yang lengkap yang mendasari permintaan izin melakukan poligami, serta harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang yang berlaku.
c. Akibat hukum dalam izin perkawinan poligami terhadap harta bersama, Pada umumnya dalam perkawinan di Indonesia khususnya di Padang terjadi percampuran harta, di mana harta bawaan masuk kedalam harta bersama sehingga hal ini menimbulkan ketidakjelasan antara satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini membuat perjanjian kawin merupakan salah satu tindakan pencegahan terjadinya sengketa terhadap harta bersama pada perkawinan poligami.
Bahwa tesis-tesis yang diuraikan diatas sangat berbeda dengan penulisan tesis ini yang menyangkut kajian normatif mengenai (1) bagaimana perjanjian perkawinan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak dalam perkawinan poligami, (2) bagaimana prinsip keadilan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak dalam perkawinan poligami, (3) Apa yang menjadi faktor penghambat secara internal dan eksternal dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak istri dan anak dalam perkawinan poligami.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka teori
Setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu yang terjadi. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori mengenal suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian. Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori perjanjian, perkawinan dan perlindungan hukum.
Perkawinan mempunyai akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan istri. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, dan sebagainya. Sedangkan Perjanjian adalah sesuatu yang kongkrit yang dapat dilihat dengan panca indera. Dalam praktek, perjanjian disebut juga kontrak yang menentukan hubungan hukum antara para pihak, sedangkan perikatan bersifat abstrak namun memiliki akibat hukum, karena para pihak harus mematuhi hubungan hukum yang terjadi di antara para pihak.
Secara prinsip, suatu perkawinan bukan merupakan bidang hukum perikatan, melainkan hukum keluarga. Karena itu hanya diperkenankan adanya kelangsungan suatu pembentukan keluarga sebagai sesuatu yang benar-benar atas kehendak yang disetujui bersama antara kedua pihak yang bersangkutan tanpa campur tangan pihak lain.19 Subekti berpandangan, suatu ikatan perkawinan merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.20
Dalam hubungan hukum, perjanjian kawin merupakan bagian dari hukum perjanjian terikat pada syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Sesuatu hal tertentu.
19 R. Xxxxxx Xxxxxxx, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), halaman 144.
20 R. Subekti, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, (Jakarta: Intermasa, 2002), halaman 23.
4. Sesuatu sebab yang halal.
Perjanjian kawin yaitu suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan.21
Menurut teori kehendak perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Kehendak seseorang akan sangat sulit diketahui oleh orang lain karena sangat bersifat batiniah, maka tidak jarang apa yang dikehendaki berbeda dengan pernyataan yang dinyatakan oleh orang tersebut. Apabila terjadi perbedaan dalam kehendak dan pernyataan tersebut, maka perjanjian akan terjadi sesuai dengan pernyataan pihak yang memberikan pernyataan tersebut.22
Selain itu, teori kepercayaan menjelaskan tidak semua pernyataan dapat melahirkan perjanjian, tetapi hanya pernyataan yang didasarkan atas kepercayaan yang dapat melahirkan perjanjian. Oleh karena itu, kepercayaan antara para pihak yang membuat perjanjian sangatlah penting dalam terjadinya suatu perjanjian.23
Meskipun perjanjian dikatakan lahir setelah adanya persesuaian kehendak dengan pernyataan dan kepercayaan, namun mengenai hal pokok yang berkaitan dengan isi dari perjanjian tersebut harus memperhatikan hal-hal yang menjadi dasar dari sah atau tidaknya suatu perjanjian. Dasar dari keabsahan suatu perjanjian dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Perjanjian perkawinan harus didasarkan atas adanya kesesuaian kehendak dengan pernyataan dan rasa saling percaya antara calon suami-istri yang hendak membuat Perjanjian Perkawinan. Apabila tidak didasari atas persamaan kehendak dan kepercayaan, maka Perjanjian Perkawinan tersebut tidak akan terwujud.
21 Xxxx Xxxx, Xxxxxxxx Perjanjian Pra-nikah?, xxxx://xxx. xxxxxxxxx.xxx/, diakses tanggal 29 Oktober 2017.
22 Xxxxx X.X, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), halaman 167
23 Ibid, halaman 168
Selain itu, para pihak juga harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dalam proses pembuatan perjanjian perkawinan, karena sah atau tidaknya perjanjian perkawinan tersebut tergantung dari pemenuhan syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dan tidak melanggar kesusilaan.
Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogami berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.24 Poligami adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orang-orang memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan semangat pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi perempuan dalam masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal kesulitan, karena tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Berbicara mengenai perlindungan hukum, hal tersebut merupakan salah satu hal terpenting dari unsur suatu negara hukum. Dianggap penting karena dalam pembentukan suatu negara akan dibentuk pula hukum yang mengatur tiap- tiap warga negaranya. Sudah lazim untuk diketahui bahwa suatu negara akan terjadi suatu hubungan timbal balik antara warga negaranya sendiri. Dalam hal tersebut akan melahirkan suatu hak dan kewajiban satu sama lain. Perlindungan hukum akan menjadi hak tiap warga negaranya.
24 Al-Qamar Hamid, Hukum Islam Alternatif Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hal aman 19.
Xxxxxxxxxx menjelaskan teori perlindungan hukum bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untukmenentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.25
Menurut Xxxxxxxxx X. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan bwedasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.26
Perlindungan hukum secara harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.27
25 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), halaman 54
26 Xxxxxxxxx X. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 2007), halaman 29.
27 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), halaman 38.
Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan keberadaan hukum. Hukum harus memberikan perlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Aparat penegak hukum wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsi sebagai suatu aturan hukum, maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan perlindungan pada tiap hubungan hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat diatur hukum.
2. Kerangka konsep
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional. 28 Pentingnya Kerangka konsep untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (clubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian.
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
1. Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan sanksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
2. Hukum adalah keseluruhan syarat berkehendak bebas dari orang yang satu untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, dengan mengikuti peraturan tentang kemerdekaan.
28 Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), halaman 3.
3. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan merupakan akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.
4. Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Selain poligami, dikenal juga poliandri yaitu seorang istri mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara yang harus dilalui dalam suatu proses penelitian. Penelitian sendiri adalah tiap usaha untuk mencari pengetahuan baru menurut prosedur yang sistematis dan terkontrol melalui data empiris (pengalaman), yang artinya dapat beberapa kali diuji dengan hasil yang sama.29
Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah, dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud.30
Sedangkan penelitian yang dalam bahasa inggris disebut dengan research, pada hakekatnya merupakan sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian (research)
29 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2010), halaman
6
30 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan Tehnik,
(Bandung: Tarsito, 2010), halaman 131.
orang mencari (search) temuan-temuan baru, berupa pengetahuan yang benar (truth, true knowledge), yang dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecahkan masalah.31
1. Sifat penelitian
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini supaya dapat memberikan hasil yang bermanfaat maka penelitian ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriftif. Deskripsi maksudnya adalah penelitian bertujuan mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat tentang permasalahan yang akan dibahas.32 Jadi penelitian bersifat deskriftif adalah suatu penelitian menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian.33 Jadi permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian bersifat deskriftif berkaitan dengan konsep perjanjian perkawinan dalam memberikan perlindungan hukum kepada hak istri dan anak dalam perkawinan poligami.
2. Jenis penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif karena penelitian hukum ini terfokus pada peraturan yang tertulis (law in book).34 Penelitian hukum normatif ini merupakan penelitian sistematika hukum yang dapat
31 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), halaman. 1
32 Xxxxxxx Xxxxxxxx, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal 36.
33 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI- Press), 2010), hal 15.
34 Xxxxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxx, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), halaman 118.
dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan tertentu yang bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok atau dasar hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum.
Penelitian dengan metode hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.35 Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai sebagai data sekunder. Dengan demikian jenis data yang diperoleh adalah data sekunder. Hal ini terjadi karena sifat dari penelitian yang dilakukan adalah berupa penelitian normatif, sehingga metode kepustakaan yang paling sesuai dengan sifat penelitian ini.
Permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lainnya serta kaitannya dengan penerapan dalam praktek. Pada metode yuridis normatif yang dilakukan penulis terdapat segi yuridis dan segi normatif. Pendekatan yuridis adalah suatu pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Segi yuridis terletak pada penggunaan pendekatan-pendekatan pada prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dalam meninjau, melihat serta menganalisa permasalahan. Faktor-faktor yuridisnya adalah peraturan atau norma-norma hukum berhubungan dengan buku-buku atau literatur- literatur yang digunakan untuk menyusun penulisan hukum ini berkisar
35 Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxx Xxxxxx, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindu Persada, 2013), halaman 13.
pada hukum perjanjian, perkawinan, hak dan kewaiban dalam perkawinan poligami sebagai disiplin ilmu hukum.
Sedangkan pendekatan normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder terhadap asas-asas hukum serta studi kasus yang dengan kata lain sering disebut sebagai penelitian hukum perpustakaan. Dari segi normatif dalam penelitian ini adalah acuan yang digunakan peneliti untuk menganalisa permasalahan yang ada, yaitu ketentuan-ketentuan peraturan hukum terhadap perjanjian perkawinan dalam perkawinan poligami.
Pendekatan dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum. Gutteridge, membedakan antara perbandingan hukum yang bersifat deskriptif yang tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan infomrasi dan perbadingan hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu, misalnya keinginan untuk menciptakan keseragaman hukum.36 Penelitian ini, peneliti akan membandingkan hukum secara horizontal yakni membandingkan hukum dengan hukum yang sederajat mengenai perjanjian perkawinan dalam perkawinan poligami yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Sumber dan jenis data penelitian
1) Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan yang terkait dengan fokus penelitian yaitu KUH Perdata, dan Undang-Undang
36 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Gorup, 2014), halaman 172.
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Perjanjian Kawin/
2) Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal hukum maupun literatur lainnya yang relevan dengan rumusan masalah. Serta didukung oleh bahan hukum tersier berupa kamus maupun ensiklopedia hukum perjanjian dan hukum yang berhubungan dengan perkawinan.
3) Bahan hukum tertier
Selain menggunakan bahan hukum primer dan hukum sekunder, penelitian ini juga akan menggunakan bahan hukum tertier. Bahan hukum tertier merupakan bahan hukum yang digunakan sebagai pelengkap dalam melakukan analisa terhadap suatu permasalahan. Bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia, artikel-artikel hukum maupun artikel lain yang terkait dengan penelitian.
4. Tehnik pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen, yaitu melakukan penelitian terhadap dokumen-dokumen yang erat kaitannya dengan objek penelitian guna mendapatkan landasan teoritis dan memperoleh informasi
dalam bentuk ketentuan formal dan melalui naskah resmi, berkaitan dengan perlindungan hukum dalam perjanjian perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
5. Analisis data
Analisis data dalam penelitian hukum mempergunakan metode pendekatan kualitatif bukan kuantitaif, karena tanpa mempergunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas angka persentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti.37
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data dilakukan dengan cara sistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis data.
Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data penelitian hukum normatif dengan cara data yang diperoleh di analisis secara deskriptif kualitatif yaitu analisa terhadap data yang tidak bisa dihitung. Bahan hukum yang diperoleh selanjutnya dilakukan pembahasan, pemeriksaan dan pengelompokan ke dalam bagian-bagian tertentu untuk diolah menjadi data informasi.
Norma hukum mengandung tujuan untuk melindungi kepentingan tertentu sehingga ketika ketentuan tersebut diterapkan maksud tersebut harus
37 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penulisan Tesis dan Disertasi), (Medan, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2013), halaman 123.
dipenuhi, penafsiran ini selanjutnya memperhitungkan konteks kemasyarakatan aktual. Cara ini tidak terlalu diarahkan untuk menemukan pertautan pada kehendak dari pembentuk undang-undang saat membentuknya dan kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis guna memperoleh kejelasan penyelesaian lalu ditarik kesimpulan guna menjawab permasalah penelitian yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal bersifat khusus.
.
BAB II
PERJANJIAN PERKAWINAN MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ISTRI DAN ANAK
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan yang dilakukan antara pasangan seorang pria dengan seorang wanita, pada hakekatnya merupakan naluri atau fitrah manusia sebagai mahluk sosial guna melanjutkan keturunannya. Oleh karenanya dilihat dari aspek fitrah manusia tersebut, pengaturan perkawinan tidak hanya didasarkan pada norma hukum yang dibuat oleh manusia saja, melainkan juga bersumber dari hukum Tuhan yang tertuang dalam hukum agama. Tinjauan perkawinan dari aspek agama dalam hal ini terutama dilihat dari hukum Islam yang merupakan keyakinan sebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut hukum Islam khususnya yang diatur dalam Ilmu Fiqih, pengertian perkawinan atau akad nikah adalah “Ikatan yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong- tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan merupakan muhrim.
Perkawinan menurut istilah bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata "kawin" yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga "pernikahan", yang berasal dari kata "nikah" yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh.38 sedangkan menurut Xxxxxxxxx menyatakan bahwa “perkawinan dalam istilah
38 WJS Poerwadarminta, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 2008), halaman 639.
32
agama disebut “nikah” ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai Allah”.39
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.40 Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan itu dilakukan dengan tujuan agar terciptanya keluarga yang kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena perkawinan itu sesuatu yang sangat sakral dan memiliki akibat hukumnya. Oleh karenanya, sebelum melakukan perkawinan ada baiknya kedua belah pihak mempertimbangkan dengan baik dan matang.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, yakni sila pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir dan jasmani, tetapi unsur batin dan rohani juga mempunyai peranan sangat penting. Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera yang merupakan tujuan perkawinan.41 Undang- Undang- Nomor 1 Tahun 1974 sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan
39 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2007), halaman 8.
40 Xxxxx Xxxxx, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), halaman 1.
41 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), halaman 9.
kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa.42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai suatu unifikasi hukum di bidang perkawinan dibentuk sesuai dengan dasar filosofis bangsa Indonesia yang majemuk dengan adanya 5 (lima) agama dan beraneka ragam adat istiadat maupun kebiasaan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, sehingga untuk menyatakan sah atau tidaknya suatu perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berpedoman pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh para pihak.
Apabila dicermati bunyi Pasal 1 tersebut, perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang terjalin antara seorang laki-laki dengan perempuan. Suci dalam arti ikatan yang terjalin didasarkan atas perasaan suka sama suka dan tidak ada paksaan serta didasari atas keyakinan dan kepercayaan yang dianut. Masyarakat beranggapan melalui ikatan lahir batin yang terjalin antara pasangan suami istri akan tercipta keluarga yang kekal dan bahagia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan payung hukum atau dasar hukum bagi masyarakat dalam hal pelaksanaan perkawinan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Perkawinan yang dilakukan oleh suami isteri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat-akibat di bidang hukum, salah satunya dalam bidang hukum kekayaan. Suami istri yang terikat dalam perkawinan sah, akan mempunyai harta benda baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. Hal inilah yang biasanya banyak menjadi dasar timbulnya
42 X.Xxxxxxx Xxxxx, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), halaman 4.
permasalahan di kemudian hari dalam kehidupan rumah tangga suami istri, sehingga dibuatnya perjanjian perkawinan akan menjadi salah satu solusi untuk mencegah timbulnya permasalahan mengenai harta benda kekayaan tersebut.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian mengenai perkawinan. Perkawinan dalam hukum perdata adalah perkawinan perdata, maksudnya adalah perkawinan hanya merupakan ikatan lahiriah antara pria dan wanita, unsur agama tidak dilihat. Tujuan perkawinan tidak untuk memperoleh keturunan.
Berdasarkan Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dari rumusan Pasal 26 KUH Perdata tersebut di atas dapat diketahui bahwa KUH Perdata memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja. Artinya adalah bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Di samping itu KUH Perdata juga menganut asas monogami absolut dan melarang poligami. Larangan ini termasuk ketertiban umum, apabila dilanggar akan diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu.
Beberapa pengertian perkawinan di atas, terdapat beberapa perbedaan tentang rumusan pengertian perkawinan terutama terlihat jelas perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut KUH Perdata dan menurut Undang- Undang Perkawinan. Perkawinan menurut KUH Perdata hanya sebagai
„perikatan perdata‟, sedangkan perkawinan menurut Undang-Undang
Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan „Perikatan Keagamaan‟.43
Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, tetapi terdapat satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Perjanjian di sini bukan sekedar perjanjian seperti jual beli atau sewa menyewa tetapi perjanjian dalam perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian yang suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang wanita.44
Adanya perbedaan di antara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu. Perkawinan tersebut haruslah diatur sesuai hukum perkawinan yang menetapkan tentang syarat-syarat sahnya perkawinan.
Pernikahan merupakan sebuah perintah agama yang diatur oleh syariat Islam dan merupakan satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama Islam. Dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama (syariat), namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Islam mensyari‟atkan pernikahan untuk membentuk mahligai keluarga
43 Hilman Xxxxxxxxxx, Loc.Cit.
44 Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), halaman 27.
sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup. Islam juga mengajarkan pernikahan merupakan suatu peristiwa yang patut disambut dengan rasa syukur dan gembira. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.45
Menurut Xxxxxx Xxxxxx: “Perkawinan adalah suatu perjanjian yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih- mengasihi, tentram dan bahagia.46 Dalam Islam, pernikahan merupakan perkara yang penting. Pada masa sebelum Islam, aturan dalam pernikahan tentu sangat berbeda dan mungkin bahkan lebih buruk ataupun dipandang rendah. Kedatangan Islam membawa perubahan agar manusia pada masa itu lebih baik keadaannya, hukumnya, adabnya, dan membawa berkah. Hubungan antar laki-laki dan perempuan diatur untuk menjaga fitrahnya. Hingga pada hubungan pernikahan, keluarga dan bertetangga.
Aturan dalam pernikahan ini telah membawa pengaruh yang besar pada perubahan peradaban sehingga tercipta masyarakat yang madani, sejahtera, adil dan makmur. Begitu pentingnya perkara pernikahan ini sehingga telah diatur dan dicontohkan dalam Al qur‟an, hadits, fiqih. Karena dari pernikahan ini merupakan awal dari pembinaan akhlak keluarga yang baik hingga akhlak pribadi, lingkungan tetangga, masyarakat dan negara.
Xxxxx Xxxxx Xxxxxx menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam
45 Xxxxx Xxxxxx dan Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam, Jurnal Yudisia, Volume 5, Nomor 2, 2014, halaman 287.
46 M. Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perkawinan Islam, (Jalarta: Bumi Aksara, 2008), halaman 2.
adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan dengan laki- laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul.47 Tujuan perkawinan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (keluarga yang tentram penuh kasih sayang). Tujuan- tujuan tersebut tidak selamanya dapat terwujud sesuai harapan, adakalanya dalam kehidupan rumah tagga terjadi salah paham, perselisihan, pertengkaran, yang berkepanjangan sehingga memicu putusnya hubungan antara suami istri. Penipuan yang dilakukan salah satu pihak sebelum perkawinan dilangsungkan dan dikemudian hari setelah perkawinan dilangsungkan diketahui oleh pihak lain dapat dijadikan alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan.
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah ialah ijab dan qabul (aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam.48
Perkataan zawaj digunakan di dalam Al-Qur‟an bermaksud pasangan. Dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina. Xxxxxxxxx pernikahan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan. Hingga perkembangan zaman sekarang inipun pernikahan menjadi sorotan masyarakat. Pernikahan bukanlah persoalan kecil dan sepele.
47 Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Liberty, 2006), halaman
86.
48 Anggit Tinarbuka, Hukum Pernikahan (Perkawinan) dalam Islam, xxxx://xx-xxxxxx.
xxxxxxxx.xx.xx/0000/00/xxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxx-xxxxx.xxxx, diakses tanggal 5 Januari 2018.
Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.49 Berdasarkan hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan
peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dengan demikian, perkawinan menurut hukum Adat merupakan suatu hubungan kelamin antara laki- laki dengan perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu antara kelompok kerabat laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Hubungan yang terjadi ini ditentukan dan diawasi oleh sistem norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat itu.50
Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.51
Perkawinan biasanya diartikan sebagai ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan membentuk suatu keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasangan demi pasangan itulah selanjutnya terlahir bayi-bayi pelanjut keturunan yang pada akhirnya mengisi dan mengubah warna kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, bagi masyarakat Jawa khususnya, makna sebuah perkawinan menjadi sangat penting. Selain harus jelas bibit, bebet, dan bobot bagi si calon pasangan, berbagai
49 Ibid
50 Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), halaman 154.
51 Ibid
perhitungan ritual lain harus pula diperhitungkan agar perkawinan itu bisa lestari, bahagia dan dimurahkan rejekinya oleh Tuhan Xxxx Xxxx Xxxxx, dan pada akhirnya melahirkan anak-anak yang cerdas, patuh kepada kedua orangtuanya, serta taat beribadah.52
Hubungan mereka setelah menjadi suami isteri bukanlah merupakan suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak, tetapi merupakan suatu paguyuban atau organisasi. Paguyuban hidup yang menjadi pokok ajang hidup suami-isteri selanjutnya beserta anak-anaknya. Paguyuban hidup tersebut lazimnya disebut somah (istilah Jawa yang artinya keluarga) dan dalam somah itu hubungan antara suami dan isteri itu adalah sedemikian rupa rapatnya, sehingga dalam pandangan orang Jawa mereka berdua itu merupakan ketunggalan.53
Bagi masyarakat Jawa perkawinan bukan hanya merupakan pembentukan rumah tangga yang baru, tetapi juga membentuk ikatan dua keluarga besar yang bisa jadi berbeda dalam segala hal, baik sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya. Ibarat anak sekolah, perkawinan merupakan sebuah wisuda bagi pasangan muda- mudi untuk nantinya menggapai ujian “pendidikan” kehidupan yang lebih tinggi dan berat.54
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga atau kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan
52 Xxxxxx Xxxxx, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa (Gaya Surakarta dan Yogyakarta), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), halaman 10.
53 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 2004), halaman 124.
54 Xxxxxx Xxxxx, Op.Cit, halaman 1.
xxxxxxxxx, dan untuk mempertahankan kewarasan. Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat juga berbeda antara suku bangsa yang satu dan daerah yang lain, begitu juga dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya.55
Masyarakat patrilinial, perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak lelaki (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan pembayaran uang jujur), di mana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut (masuk) dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya. Sebaliknya dalam masyarakat matrilineal, perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak perempuan (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami (semanda) di mana setelah terjadinya perkawinan suami ikut (masuk) dalam kekerabatan isteri dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang tuanya.56
Perkawinan adat dapat dibentuk dan dengan sistem antara lain:
1. Perkawianan jujur yaitu pelamaran di lakukan oleh pihak pria terhadap pihak wanita dan kemudian setelah perkawinan istri mengikuti kedudukan dan kediaman suami.
2. Perkawinan semanda yaitu pelamaran dilakukan oleh pihak wanita terhadap laki-laki dan setelah perkawinan suami mengikuti kedudukan dan kediaman
55 Hilman Xxxxxxxxxx, Loc.Cit.
56 Ibid, halaman 23.
istri.
3. Perkawinan perda cocok yaitu pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap wanita dan kemudian setelah perkawinan kedua suami-istri bebas menentukan kediaman mereka, yang terahir ini banyak berlaku dikalangan keluarga yang telah maju (madern).57
B. Syarat-syarat Sah Perkawinan
Untuk mewujudkan tujuan dari perkawinan sebagaimana tercantum dalam pengertian perkawinan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu : ”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka sebuah perkawinan haruslah dilengkapi dengan syarat-syarat sahnya perkawinan untuk menjamin kepastian hukum dari perkawinan itu sendiri.
Sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.
57 Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2007), halaman 8-9.
Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) itu, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan : Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari penjelasan itu dapat diambil kesimpulan bahwa sah atau tidaknya perkawinan itu tergantung daripada ketentuan agama dan kepercayaan dari masing- masing individu atau orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut. Syarat-syarat perkawinan ini merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam dengan pembatalan atau dapat dibatalkan. Adapun syarat-syarat perkawinan tersebut terbagi dua yaitu syarat materil dan syarat formil.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, syarat-syarat materil sahnya perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang- orang tersebut yang memberikan izin.
6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.58
Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, yang secara formil diuraikan menurut Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan direalisasikan dalam Pasal 3 sampai Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Secara singkat syarat formil ini dapat diuraikan sebagai berikut:
58 Wibowo Tunady, Syarat-syarat Sah Suatu Perkawinan, xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx. com/syarat-syarat-sahnya-suatu-perkawinan/, diakses 5 Januari 2018.
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;
2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;
3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing- masing.
4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.59
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan, apabila syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya hak dan kewajiban sebagai suami istri. Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada 2 (dua) :
1. Xxxxx mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadiknnya istri (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
2. Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.60
Syarat-syarat perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Syarat-syarat kedua mempelai.
a. Calon mempelai laki-laki.
Syari‟at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami berdasarkan ijtihad para ulama yaitu :
1) Calon suami beragama Islam.
2) Xxxxxx (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3) Orangnya diketahui dan tertentu.
59 Ibid
60 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxx. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), halaman 49.
4) Calon laki-laki itu jelas halal dikawin dengan calon istri.
5) Calon laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istri halal baginya.
6) Calon suami rela untuk melakukan perkawinan itu (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
7) Tidak sedang melakukan ihram.
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
9) Tidak sedang mempunyai istri empat (Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).61
b. Calon mempelai perempuan.
Syarat bagi mempelai perempuan yaitu :
1) Beragama Islam.
2) Terang bahwa ia wanita.
3) Wanita itu tentu orangnya.
4) Halal bagi calon suami (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
7) Tidak dalam ihram haji atau umrah.62
2. Syarat-syarat ijab kabul
61 Ibid, halaman 50
62 Ibid, halaman 56.
Xxxx adalah pernyataan dari calon pengantin perempuan yang diawali oleh wali. Hakikat dari ijab adalah sebagai pernyataan perempuan sebagai kehendak unutk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki sebagai suami sah. Qabul adalah pernyataan penerimaan dari calon penganitn laki-laki atas ijab calon penganuitn perempuan. Bentuk pernyataan penerimaan berupa sighat atau susunan kata-kata yang jelas yang memberikan pengertian bahwa laki- laki tersebut menerima atas ijab perempuan.63 Perkawinan wajib ijab dan Kabul dilakukan dengan lisan, inilah yang dinamakan akad nikah. Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa difahami. Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Xxxxxxx berpendapat membolehkan ada jarak antara ijab dan kabul asal masih dalam satu majelis dan tidak ada yang menunjukkan hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad tersebut.64
Lafadz yang digunakan akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat di dalam kitabullah dan sunnah. Demikian menurut Xxx-Xxxxx‟I dan Xxxxxxx. Sedangkan menurut Hanafi membolehkan kalimat yang lain yang tidak dengan Al-Qur‟an misalnya dengan kalimat hibah, sedekah, pemilikan, dan sebagainya.
63 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), halaman
63.
64 Xxxxxxxxx, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), halaman 602.
3. Syarat-syarat wali
Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil. Perkawinan tanpa wali tidaklah sah.65 Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu :
a. Bapak.
b. Kakek dan seterusnya keatas.
c. Saudara laki-laki sekandung/seayah.
d. Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah.
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung/seayah.
f. Paman sekandung/seayah.
g. Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah.
h. Saudara kakek.
i. Anak laki-laki saudara kakak.66
Dalam pernikahan ada beberapa macam wali yaitu :
a. Wali mujbir yaitu wali yang berhak mengawinkan tanpa menunggu keridhoan yang dikawinkan itu.
b. Wali nasab yaitu wali nikah yang mempunyai hubungan keluarga dengan calon pengantin perempuan. Wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, bapak, xxxxx beserta keturunnnya menurut garis patrilineal.
c. Wali hakim.67
4. Syarat-syarat saksi
65 Xxxxxxxxx, Op.Cit, halaman 603.
66 Ibid, halaman 604.
67 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), halaman 83.
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, melihat, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.68 Menurut golongan Xxxxxx dan Xxxxxxx, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut Xxxxxx boleh dua orang buta atau dua orang fasik. Orang tuli, orang mabuk dan orang tidur tidak boleh menjadi saksi. Sebagian besar ulama berpendapat saksi merupakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah.
Dalam hukum adat, rukun dan syarat perkawinan sama dengan yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu adanya calon mempelai laki-laki, calon mempelai wanita, wali nikah, adanya saksi dan dilaksanakan melalui ijab dan kabul.
Menurut hukum adat, pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dapat diklasifikasikan ke dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Mas kawin (bride price)
Mas kawin sebenarnya merupakan pemberian sejumlah harta benda dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dengan variasi sebagai berikut:
a. Harta benda tersebut diberikan kepada kerabat wanita, dengan selanjutnya menyerahkan pembagiannya kepada mereka.
b. Secara tegas menyerahkannya kepada perempuan yang bersangkutan.
c. Menyerahkan sebagian kepada perempuan dan sebagian kepada kaum kerabatnya.
68 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Loc.Cit.
2. Pembalasan jasa berupa tenaga kerja (bride service)
Bride service biasanya merupakan syarat di dalam keadaan darurat, misalnya, apabila suatu keluarga yang berpegang pada prinsip patrilineal tidak mempunyai putra, akan tetapi hanya mempunyai anak perempuan saja. Mungkin saja dalam keadaan demikian, akan diambil seorang menantu yang kurang mampu untuk memenuhi persyaratan mas kawin, dengan syarat bahwa pemuda tersebut harus bekerja pada orang tua istrinya (mertua).
3. Pertukaran gadis (bride exchange)
Pada bride exchange, biasanya laki-laki yang melamar seorang gadis untuk dinikahi, maka baginya diharuskan mengusahakan seorang perempuan lain atau gadis lain dari kerabat gadis yang dilamarnya agar bersedia menikah dengan laki-laki kerabat calon isterinya.69
C. Perjanjian Perkawinan dapat Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Istri dan Anak dalam Perkawinan Poligami
Apabila suatu perkawinan tidak dilaksanakan menurut hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum, sehingga akibat dari perkawinan tersebut adalah tidak dilindungi oleh hukum yang berlaku, baik pihak suami-isteri yang terikat perkawinan maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.70
Perkawinan mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, karena didalamnya ada unsur-unsur hak dan kewajiban masing-masing pihak, menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan
69 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), halaman 34-35.
70 Xxxx Xxxxxxxx, Loc.Cit.
kewajiban suami isteri maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak, kekayaan, dan faktor kependudukan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna (volwaardig).71 Salah satu hal penting dalam sebuah pernikahan adalah mengenai perjanjian kawin. Selama ini baru sebagian kecil masyarakat Indonesia melakukan perjanjian kawin. Anggapan bahwa setelah menikah segala sesuatu melebur menjadi satu membuat setiap pasangan merasa enggan untuk membuat perjanjian tersebut. Perjanjian kawin tak hanya memuat urusan harta benda saja, tetapi juga pembagian peran dan pengasuhan anak. Pendeknya, perjanjian kawin dianggap materialistik, tidak etis dan tidak sesuai adat ketimuran.
Perjanjian pranikah sering juga disebut dengan perjanjian perkawinan. Jika diuraikan secara etimologi, maka dapat merujuk pada dari dua akar kata, perjanjian dan pernikahan. Dalam bahasa Arab, janji atau perjanjian biasa disebut dengan atau,72 yang dapat diartikan dengan persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.73
71 Titik Triwulan dan Trianto, Poligami Perspektif, Perikatan Nikah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), halaman 2.
72 M. Xxxxx Xxxxxx, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), halaman 138.
73 Xxxxx Xxxxxx dan Firdaus Albar, Perjanjian Pranikah: Solusi Bagi Wanita, (Purwokerto: Jurnal Yin Yang, 2008), halaman 12.
Perjanjian perkawinan sendiri telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Menurut sistem KUH Perdata, maka harta kekayaan harta bersama yang menyeluruh (algehele gemeenschap van goederen) adalah akibat yang normal dari suatu perkawinan, sedangkan pembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta yang menyeluruh hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian kawin.
Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Xxxxxxx pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.74
Perjanjian perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dalam pembuatannya harus mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Apabila perjanjian perkawinan telah dibuat sesuai dengan syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dan tidak melanggar batas-batas
74 Rahmad, Perjanjian Perkawinan, xxxx://xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/ perjanjian -perkawinan.html, diakses 5 Januari 2018.
hukum, agama dan kesusilaan seperti tercantum dalam Pasal 29 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perjanjian tersebut sudah dapat dikatakan sah. Namun sahnya suatu Perjanjian Perkawinan seperti yang tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah setelah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang (calon suami istri) sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.75 Perjanjian perkawinan adalah suatu kesepakatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang akan melangsungkan perkawinan untuk memisahkan kepemilikan harta dan utang piutang, dan kesepakatan tentang sejumlah hal penting lain pada saat mengarungi bahtera rumah tangga.
Perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah suatu perjanjian yang dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, dimana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Anak-anak perlu mendapatkan perlindungan hukum demi menjamin hak- hak mereka. Mereka adalah aset negara yang penting untuk diperhatikan, mereka adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa kepadanya digantungkan dimasa yang
75 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie Recht), (Surabaya: Airlangga University Press, 2000), halaman 73.
akan datang. Jadi seharusnya seorang suami untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, harus terpenuhi syarat-syaratnya yaitu: adanya persetujuan istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri- istri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.76
Disamping persyaratan itu semua Pengadilan Agama sebagai lembaga yang memeriksa, memutus sebuah perkara sudah semestinya mempertimbangkan dampak dari poligami khususnya bagi anak-anak yang terlahir dari perkawinan sebelumnya. Namun pada kenyataannya itu semua dianggap sebagi hal yang biasa, pada dasarnya kalau dilihat dampaknya terhadap perkembangan anak baik mental, psikologi anak itu bisa saja terpukul akibat dari orang tuanya poligami. Kebahagiaan itu tidak akan terwujud dengan materi yang melimpah namun kebahagian seorang anak akan terwujud salah satunya apabila orangtuanya mampu memberikan perhatian dan kasih sayang yang tak terbatas padanya.
Perjanjian dalam perkawinan poligami tidak diatur apakah perjanjian tersebut berupa perjanjian lisan maupun perjanjian tulisan, akan tetapi perjanjian tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa: Ada atau tidaknya perjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun tertulis, apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan, perjanjian itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
76 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2012), halaman 162-163.
Perkawinan dalam hukum islam ialah sebuah kontrak, dan seperti kontrak- kontrak yang lain, perkawinan disimpulkan melalui pembinaan suatu penawaran (ijab) oleh satu pihak dan pemberian suatu penerimaan (kabul) oleh pihak yang lain. Bukan bentuk kata-katanya itu sendiri yang menjadi wajib, sepanjang maksudnya dapat disimpulkan (dipahami), maka suatu akad perkawinan adalah jelas (sah).77
Pengertian mengenai perkawinan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang namanya perkawinan adalah suatu kontrak/perjanjian antara seorang pria (ijab) dengan seorang wanita (kabul) untuk melaksanakan ibadah terhadap Allah SWT serta dalam melaksanakan suatu perkawinan harus memenuhi akad- akad perkawinan agar perkawinan tersebut menjadi jelas (sah).
Pada perkawinan poligami, perjanjian perkawinan ini merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap isteri dalam menjaga hak-haknya sebagai salah satu pihak dalam perkawinan poligami yang mungkin merasa dirugikan dengan adanya praktek poligami yang dilakukan pihak suami. Misalnya akta perjanjian kawin di luar persekutuan harta benda dalam perkawinan yang isinya antara lain tidak ada percampuran harta benda sehingga hutang yang dibuat masing-masing pihak menjadi tanggungan masing-masing pihak. Selain itu misalnya semua pengeluaran biaya pendidikan, pemeliharaan anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka seluruhnya menjadi tanggungan pihak suami.
Untuk memberikan perlindungan hukum bagi istri dan anak dalam perkawinan poligami, maka suami harus mampu menjamin keperluan hidup istri-
77 Xxxxxxxx Xxxx Xxxx, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 51.
istri dan anak-anak mereka sulit untuk memberikan ukuran-ukuran yang objektif, konkrit, dan pasti. Pada Pasal 41 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi ukuran objektif mengenai ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin kehidupan istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan:
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.
2. Surat keterangan pajak penghasilan.
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.78
Jika dalam menentukan mengenai kemampuan suami untuk menjamin keperluan istri-istri dan anak-anaknya maka dapat ditentukan mengenai jumlah kekayaan suami pada saat pengajuan permohonan ijin poligami. Jumlah kekayaan suami pada saat diajukan permohonan ijin poligami itu bersifat relatif, artinya jumlah kekayaan suami dapat berubah sewaktu-waktu dalam jangka waktu ke depan.
Hakim harus meneliti pada saat pemberian ijin poligami yang diajukan oleh suami yaitu sebagai berikut:
1. Hakim harus mendapatkan mengenai data-data bahwa akhlak dan sikap hidup orang yang bersangkutan benar-benar terpuji dari lingkungan kehidupan masyarakat sekitar, oleh karena itu hakim bisa memperoleh data-data yang dimaksud tersebut dari tetangga pemohon.
78 Yayan Sopyan, Op.Cit, halaman 164.
2. Xxxxxxxxxx secara langsung kepada si istri mengenai keadaan sosial ekonomi yang sebenarnya dari keluarga mereka serta tingkah laku si suami selama mereka hidup bersama.
3. Xxxxx dapat mencari kesimpulan motif dan permohonan persetujuan.79 Perlindungan terhadap hak-hak anak dan isteri pada perkawinan poligami
melalui perjanjian perkawinan didasarkan pada pengertian tanggung jawab dalam perjanjian yang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksa pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.80
Salah satu teori hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut teori kehendak, suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak diantara para pihak, yang harus dihormati dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak terdapat asumsi bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan terhadap para pihak.81
79 Mulyadi, Hukum Perdata: Akibat Hukum Perkawinan, xxxxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx, diakses tanggal 5 Januari 2018.
80 Kartini Muljadi dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), halaman 59.
81 Xxxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxxxx Xxxx, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2004), halaman 39.
Perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian sebagai sumber perikatan berbeda dari sumber perikatan lain, berdasarkan pada sifat kesukarelaan dari pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi terhadap lawan pihaknya dalam perikatan tersebut. Dalam perjanjian, pihak yang wajib untuk melakukan suatu prestasi, dalam hal ini debitur, dapat menentukan terlebih dahulu, dengan menyesuaikan pada kemampuannya untuk memenuhi prestasi dan untuk menyelaraskan dengan hak yang ada pada lawan pihaknya, apa, kapan, dimana, dan bagaimana ia akan memenuhi prestasinya.82
Untuk menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat, hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya atau pemenuhannya.
Prinsip-prinsip atau asas-asas yang menguasai hukum perjanjian yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan yaitu, asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat (pacta sunt servanda), dan asas itikad baik. Xxxx konsensualisme dilahirkan pada saat momentum awal perjanjian terjadi, yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya (Pasal 1320
82 Kartini Muljadi dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Op.Cit, halaman 14.
angka 1 KUH Perdata). Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat menentukan bentuk dan isi dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan dan bukanlah sesuatu yang terlarang (Pasal 1320 angka 4 KUH Perdata). Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi perjanjian ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau dapat dipersamakan dengan itu. Akibatnya perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sesuai asas pacta sunt servanda yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” dan asas itikad baik yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan : “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.83
Menurut bentuknya, ada perjanjian yang berbentuk baku dan ada berbentuk timbal balik. Dimaksud perjanjian baku adalah suatu perjanjian dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak, sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu dengan lainnya.84
Perjanjian perkawinan poligami dikategorikan sebagai perjanjian yang timbal balik (tidak baku), untuk melakukan hal-hal tertentu, dimana pihak pertama
83 Xxxxxxx Xxxxxxx, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata (Seri Hukum Bisnis), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), halaman 263.
84 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), halaman 43.
menghendaki dari pihak kedua agar dilakukannya suatu hal untuk mencapai sesuatu tujuan.
Anak-anak perlu mendapat perlindungan hukum demi menjamin hak-hak mereka. Mereka adalah aset negara yang paling penting untuk diperhatikan. Mereka adalah penerus cita–cita perjuangan bangsa. Kepadanyalah digantungkan segala harapan bangsa di masa yang akan datang. Karena itu perhatian yang besar sudah sepantasnya diberikan dalam rangka menyongsong hari esok yang lebih baik. Tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak adalah tanggung jawab semua pihak (pemerintah, masyarakat, dan keluarga ). Keluarga (orang tua ) adalah pihak pertama dan utama yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak, yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan Anak.
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapat perlindungan agar tidak mengalami kerugian, baik mental, fisik, maupun sosial.85 Anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dengan wajar.86
Berdasarkan Pasal 300 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa : seorang anak sah sampai ia menjadi dewasa tetap berada di bawah kekuasaan orang tua
85 Xxxxxx Xxxxxx, Perlindungan HukumTterhadap Anak Dan Perempuan, (Bandung: Refika Aditama, 2012), halaman 69.
86 Xxxxxxx Xxxxxx Xxxxxx, Advokasi Dan Hukum Perlindungn Anak, (Jakarta: Grasindo, 2002), halaman 18.
sepanjang perkawinan bapak dan ibunya, sekedar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Dengan demikian terhadap anak sah kekuasaan orang tua mulai pada saat si anak dilahirkan dan terhadap anak luar kawin yang kemudian di sahkan, pada saat ia di sahkan. Kekuasaan itu berakhir, jika si anak menjadi dewasa, jika perkawinan orang tuanya bubar atau jika kedua orang tuanya di bebaskan atau di pecat atau yang satu di bebaskan dan yang lain di pecat dari kekuasaan itu. Dengan meninggalnya si anak, maka kekuasaan orang tua tentu saja juga berakhir.87
Orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuh hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan kepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.88
Kekuasaan orang tua ini dapat saja dicabut akan tetapi orang tua tidak dibebaskan dari kewajiban memberi biaya nafkah anak hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 74 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa : salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan
87 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), halaman 15.
88 M. Xxxxx Xxxxxxx, Loc.Cit.
keputusan pengadilan dalam hal-hal : orang tua sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan orang tua berkelakuan sangat buruk.
Pengertian anak terkait dengan batasan umur, ditemukan banyak literatur memberi batasan umur anak yang berbeda-beda. Dalam hal ini, dapat ditelusuri berdasarkan fase-fase perkembangan anak yang menunjukkan kemampuan atau kecakapan seorang anak untuk bertindak. Hal ini juga mengakibatkan adanya penafsiran yang mengartikan istilah-istilah anak dan belum dewasa secara campur aduk sehingga ukuran atau batas umurnya juga berbeda-beda.89
Filosofi anak merupakan generasi muda, salah satu sumber daya manusia yang memiliki potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang akan datang, yang memiliki peran strategi serta mempunyai ciri atau sifat khusus, pembinaan dan perlindungan yang khusus pula.90 Anak sebagai generasi muda merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan memelihara, mempertahankan dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Untuk itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur.
Hak adalah kepentingan harus dilindungi, kewenangan yang diberikan oleh hukum objektif sebagai hukum subjektif. Hak bukanlah merupakan
89 Ade Maman Xxxxxxxx dan X. Satrio, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan bertindak berdasar Batasan Umur), (Jakarta: Gramedia, 2010), halaman 36.
90 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), halaman 76.
kumpulan peraturan atau kaedah, melainkan merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak lawan.91
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menegaskan bahwa, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. Pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara sangat perlu dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak dan terbinanya anak-anak ke arah kehidupan yang terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, nasionalisme, berakhlak mulia, serta anak-anak berprilaku positif.
Pemenuhan hak-hak anak masih terdapat sebagian besar orang tua belum memenuhi hak-hak anak dalam perkawinan poligami. Akibat perkawinan poligami terkadang hak-hak anak ada yang dikesampingkan, terutama yang berkaitan dengan hak-hak pokok anak yaitu biaya pemeliharaan, pendidikan, tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya. Terlebih lagi ketika orang tuanya sudah memiliki keluarga baru sehingga memungkinkan berkurangnya waktu untuk memenuhi hak-hak anaknya. Meskipun orang tua sudah tidak lagi dalam satu keluarga akan tetapi persoalan hak-hak anak tetap menjadi tanggung jawab orang tua dan tidak boleh dialihkan kepada orang lain selain kedua orang tuanya. Ada sebagian orang tua cenderung melalaikan tanggung jawabnya dalam
91 Tian Puspita Sari, Sinkronisasi Hak-hak Anak dalam Hukum Positif Indonesia, (Jurnal: Ilmu Hukum, Volume 14, Nomor 2, 2011), halaman 350.
memenuhi hak-hak anak, sehingga yang terjadi adalah anak seringkali dititipkan kepada keluarga terdekat ayah atau ibu. Tidak hanya itu, akibat dari perkawinan poligami selama ini psikologi anak mengalami perubahan. Sebagai dampaknya adalah anak jarang berkomunikasi dengan kedua orang tuanya, cenderung pendiam, malas, serta cenderung nakal dan sebagainya. Ini semua disebabkan karena adanya kurang perhatian orang tua terhadap hak-hak anaknya. Seperti halnya dengan perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perkawinan poligami membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-yang dilahirkan. Anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu keluarga yang tidak harmonis sebagaimana mestinya misalnya harus hidup dalam suatu keluarga dengan orang tua tunggal seperti dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja.
Hak-hak anak yang dilindungi hukum akan dapat berhasil guna bagi kehidupan anak, apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi:
1. Faktor ekonomi dan sosial yang dapat menunjang keluarga anak.
2. Nilai budaya yang memberikan kesempatan bagi pertumbuhan anak.
3. Solidaritas anggota masyarakat untuk meningkatkan kehidupan anak.92 Kehidupan keluarga khususnya keluaraga poligami, permasalahan
keluarga sering terjadi karena masing-masing orang yang terlibat di dalamnya berusaha untuk mendapatkan hak yang lebih besar tanpa diikuti dengan pelaksanaan kewajiban dengan baik, mungkin suami mengharuskan isteri- isterinya melayaninya dengan baik tapi kewajibannya kurang dipikirkan, mungkin
92 Xxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), halaman 21.
isteri tua menuntut bagian lebih banyak, belanja lebih banyak, bagian hari giliran datangnya suami lebih banyak dan hak-hak lain yang lebih besar tanpa menghiraukan kewajibannnya sebagai isteri atau sebagai ibu. Begitu pula isteri muda menuntut hak untuk lebih diperhatikan, minta bagian hari lebih banyak atau paling tidak sama dengan isteri tua, tetapi dia tidak mau menjalankan kewajibannya dengan baik, begitu juga anak-anaknya kurang tunduk kepada orang tuanya, kurang mau belajar giat dan sebagainya.
Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap istri dan anak dalam perkawinan poligami belum terlaksana dengan baik, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perkawinan poligami yang terselubung tanpa diketahui istri pertama dan penghasilan suami yang belum mencukupi sehingga anak-anak kurang terurus bahkan terlantar dalam hal pendidikan maupun kebutuhan lainnya.
Menurut pendapat penulis dalam dalam perkawinan poligami untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak steri dan anak:
1. Suami sebagai kepala keluarga seharusnya berusaha untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, dengan keseimbangan tersebut supaya permasalahan keluaraga dapat diatasi, minimal dapat ditekan sekecil mungkin.
2. Suami patut merasa beruntung karena tergolong manusia pilihan, tidak semua laki-laki kuat dan mampu berpoligami, tidak semua laki-laki mendapat kesempatan berpoligami, memang dia ditakdirkan untuk dapat melaksanakan poligami sehingga dia seharusnya berfikir lebih luas, dia memperoleh kesenangan yang laki-laki lain tidak memperolehnya, dia patut berterima kasih
kepada wanita yang bersedia dimadunya yakni istri-istrinya, karena tidak semua wanita mau dimadu atau mudah untuk dipoligami, sehingga dia harus lebih menyayangi istri-istrinya. Begitu pula sikap suami terhadap anak- anaknya yang memberikan kasih sayang secara ikhlas dari seorang ayah kepada anak-anaknya sehingga anak-anak dapat berkembang dengan baik dan tidak dipengaruhi oleh problem keluarga, orang tua perlu sekali memberikan dorongan kepada anak-anaknya agar berhasil dalam belajar, dalam berusaha dan lain sebagainya.
3. Apabila suami bersikap kasih sayang terhadap istri-istrinya dan anak-anak mereka maka istri-istrinya sebaliknya akan memberikan kasih sayang kepada suaminya, begitu pula anak-anak akan mengasihi dan menyayangi ayahnya, akan menghormati dan xxxxxxx pada ayahnya, dan apabila terjadi problem di rumah tangga akan mudah diselesaikan dengan baik.
4. Adanya kerelaan hati dari suami untuk berkorban demi keluarga, maka akan berhasil dalam membina keluarga. Laki-laki yang berani berpoligami harus dapat bersikap luwes yaitu mengalah untuk menang.
5. Suami selayaknya menjalankan kewajibannya dengan baik, menggauli istri- istrinya dengan baik, menyediakan kebutuhan keluarga menurut kemampuannya dengan sebaik-baiknya, tanpa banyak menuntut hak, seakan- akan suami memberi contoh kepada isteri-isteri dan anak-anaknya untuk berbuat serupa demi keluarga.
Kasih sayang suami terhadap istri-istri dan anak-anaknya merupakan tiang pokok dalam kehidupan dan ketentraman keluarga, tindakan suami tidak boleh
didasarkan kebencian ataupun balas dendam walaupun dia memarahi salah satu atau semua isterinya, begitu pula sikapnya terhadap anak-anaknya. Dia tahu kapan memarahi, kapan memberi pujian, kapan meberikan hadiah, dan seterusnya. Yang penting tindakan suami tersebut bukan didasarkan kebencian dan balas dendam tetapi didasarkan kasih sayang dan cinta mencintai.
Perlindungan hak-hak istri dan anak dalam perkawinan poligami yang dicatatkan dapat dilakukan melalui pembuatan perjanjian sebelum perkawinan dilangsungkan. Akta perjanjian perkawinan tersebut bersifat akta autentik (notaril) yang terdiri dari beberapa pasal yang pada intinya berisikan hak-hak dan kewajiban seorang suami yang dipoligami terutama di bidang hak isteri dan anak dan hak-hak lainnya yang berupa nafkah lahir batin yang wajib dipenuhi oleh suami yang berpoligami, termasuk larangan penggunaan kekerasan dalam perkawinan. Akibat hukum apabila suami melanggar hal-hal yang telah diperjanjikan dalam perjanjian sebelum perkawinan tersebut berlangsung, dapat diancam dengan hukuman ganti rugi sebagai pengganti hak-hak bagi pihak yang dirugikan. Bentuk ganti rugi yang dimaksud adalah ganti rugi yang telah disepakati kedua belah pihak yang telah tertuang dalam perjanjian tersebut. Disamping itu pelanggaran perjanjian dapat pula dijadikan alasan oleh istri yang dipoligami untuk menuntut perceraian ke pengadilan Agama.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian aturan mengenai perjanjian perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Melalui putusan tersebut, MK menyatakan perjanjian perkawinan dapat dilangsungkan sebelum dan selama masa perkawinan.93
Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Padahal dalam kenyataannya, ada fenomena suami istri yang karena alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan. Selama ini, sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian demikian harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris.
Berlakunya putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, maka perjanjian perkawinan mulai berlaku antara suami dan istri sejak perkawinan dilangsungkan. Isi yang diatur di dalam perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan pihak-pihak calon suami dan istri, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Adapun terhadap bentuk dan isi perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya.
Bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian perkawinan terhadap harta bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berlaku ketentuan tentang perjanjian perkawinan sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
93 Xxxx Xxxxxxxxx, Perjanjian Perkawinan dapat Dilakukan Selama Masa Perkawinan, xxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxxxxxxx.xx.xx/xxxxx.xxx?xxxxxxxx.Xxxxxx&xxx00000&xxxxx0#.XxxxX DMxXIU, diakses tanggal 31 Januari 2018.
Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memperluas makna perjanjian perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement). Walaupun Putusan MK tersebut dimohonkan oleh XXX yang menikah dengan XXX (perkawinan campuran), namun Putusan MK tersebut berlaku pula bagi pasangan menikah sesama WNI.94
Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, hukum perkawinan di Indonesia mengalami perkembangan signifikan, yang mulanya perjanjian perkawinan hanya dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan, namun kini dapat dilakukan selama masa perkawinan, dan berlaku sejak perkawinan diselenggarakan serta perjanjian perkawinan tersebut juga dapat dirubah/diperbarui selama masa perkawinan. Ketentuan ini bukan berlaku secara khusus bagi pelaku perkawinan campuran, namun kepada semua perkawinan secara umum.95
Perkawinan poligami tentunya berkaitan dengan harta kekayaan dalam perkawinan. Dalam hubungannya dengan harta kekayaan dalam perkawinan, banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri atas harta perkawinan sering diabaikan oleh para suami. Ketentuan ini juga dimungkinkan terjadi dalam perkawinan poligami. Harta perkawinan ini sering ditafsirkan kepemilikannya jika
94 Xxxx Xxxxxxx, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perjanjan Kawin Terhadap Perkawinan WNI, xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxxxx/xx0000x0xxxxxxx/xxxxxxxxxxx- putusan-mk-tentang-perjanjian-kawin-terhadap-perkawinan-wni, diakses tanggal 1 Februari 2018.
95 Nurmala, Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Hukum Perkawinan dan Hak Kebendaan di Indonesia, xxxx://xxxxxxxx-xxx.xxxxx.xx.xx/0000/00/00/xxxxxx-xxxxxxx- mahkamah-konstitusi-no-no-69puuxii2015-terhadap-hukum-perkawinan-dan-hak-kebendaan-di- indonesia/, diakses tanggal 1 Februari 2018.
yang bekerja atau yang berusaha mencari nafkah hanya suami saja. Kemudian terlebih jika kepemilikannya hanya ditafsirkan atas nama suami, padahal harta perkawinan tetaplah merupakan harta yang dimiliki oleh suami istri secara bersama-sama yang terikat dalam suatu perkawinan baik perkawinan monogami maupun perkawinan poligami meskipun istri tidak turut dalam mencari nafkah.96
Perkawinan poligami ini tentunya mempunyai akibat hukum tersendiri dalam perkawinan tersebut, yaitu terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan terjadi. Dalam hal putusnya perkawinan karena meninggal dunia bagi suami yang berpoligami akibat hukumnya pembagian harta warisan yang terdapat dalam harta bersama bagi laki-laki yang berpoligami tersebut.97
Kepemilikan harta bersama tersebut dihitung pada saat berlangsungnya akad nikah perkawinan yang kedua, ketiga, dan keempat. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam, yang mana dalam pasal tersebut diterangkan bentuk harta bersama dalam masalah poligami. Menurut ketentuan yang dirumuskan dalam pasal tersebut harta bersama dalam perkawinan poligami masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Bentuk harta bersama yang terdapat dalam perkawinan serial sama halnya dengan perkawinan poligami. Jika suami berpoligami dengan dua istri, maka dalam perkawinan tersebut terbentuk dua harta bersama antara suami dan masing-masing istri. Demikian seterusnya, tergantung pada jumlah istri dalam perkawinan poligami yang bersangkutan.98
96 Yawirman, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), halaman 215.
97 Satria Effendi, Problematika Hukum: Kekeluargaan Kontenporer, (Jakarta: Kencana, 2010), halaman 107.
98 M. Xxxxx Xxxxxxx, Kedudukan,Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali, 2009), halaman 283.
Apabila perceraian terjadi, maka yang menjadi masalah adalah tentang pembagian harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Hal ini disebabkan masing-masing pihak merasa berhak atas harta bersama tersebut tidak berbeda dengan putusnya perkawinan karena perceraian harta bersama juga turut andil menjadi timbulnya sengketa dalam putusnya perkawinan karena kematian, kematian adalah faktor kewarisan dalam Islam. Masalah harta bersama dalam perkawinan poligami merupakan masalah yang cukup pelik dan rumit dan dapat berakibat pada kerugian bagi setiap istri, apabila tidak dilakukan pembukuan yang rapi dan akuntabel.
Adanya putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, yaitu tentang Perjanjian Kawin. Bila sebelumnya perjanjian kawin hanya bisa dilakukan sebelum perkawinan, maka kini bisa dilakukan selama masa perkawinan berlangsung. Tujuannya yaitu:
1. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama atau gono-gini.
2. Atas utang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.
3. Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta izin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami/istri) dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.
4. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta izin dari pasangannya (suami/istri).99
Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
99 Xxxx Xxxxxxx, Putusan MK yang Mengubah Peta Hukum Perkawinan Setelah Berusia
42 Tahun, xxxxx://xxxx.xxxxx.xxx/xxxxxx/x-0000000/xxx-0-xxxxxxx-xx-xxxx-xxxxxxxx-xxxx- hukum-perkawinan-setelah-berusia-42-tahun, diakses 1 Februari 2018.
BAB III
PRINSIP KEADILAN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ISTRI DAN ANAK
A. Landasan Hukum Poligami
Poligami diberikan tempat dalam peraturan perundangan bukan berarti poligami dijadikan asas atau sesuatu yang mendasar dalam undang-undang perkawinan, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Poligami merupakan pengecualian saja, yang diberikan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya diperbolehkan. Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan merupakan jalan untuk penyatuan antara dua jiwa (laki-laki dan perempuan) yang sebelumnya hidup sebagai individu, begitu perkawinan sudah dilakukan maka, individu-individu tersebut memikirkan tujuan visi misi dari keluarga secara bersama. Berdasarkan ketentuan tersebut, hukum perkawinan Indonesia berasaskan monogami.
Poligami sulit dihindari, sebab poligami terjadi karena berbagai macam sebab, antara lain adanya kekurangan pada Pihak isteri sementara pihak suami enggan menceraikan isterinya karena berbagai alasan. Di samping itu juga disebabkan isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, seperti cacat fisik atau mental dan tidak dapat memberikan keturunan.
Pasal-pasal dalam perundang-undangan Indonesia tentang poligami sebenarnya sudah cukup berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar mampu berbuat adil dan mampu
73
xxxxxxxxx istri-istri dan anak-anaknya. Selain itu, perundang-undangan Indonesia berupaya menghargai isteri sebagai pasangan hidup. Terbukti bahwa untuk berpoligami suami harus mendapat persetujuan isteri. Untuk mencapai tujuan ini, perundang-undangan Indonesia memberikan kepercayaan yang besar kepada hakim pengadilan agama.100
Poligami juga tidak menutup kemungkinan menjadi sesuatu yang diminati oleh masyarakata Indonesia. Mulai dari permasalahan nafsu hypersex, pertengkaran dalam rumah tangga, perselingkuhan sampai keadaan dimana istri yang tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Meskipun dalam Islam ada lampu kuning untuk melakukan poligami, namun jika tidak bisa untuk berlaku adil maka diwajibkan untuk menikahi satu orang istri saja. Dari persyaratan “keadian” inilah yang masih dikesampingkan oleh sebagian banyak orang. Untuk itu lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai bentuk respon yang positif untuk mengatur seorang suami yang ingin menikah lebih dari satu orang. Tentunya dengan berdasarakan pada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi.
Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Selain poligami, dikenal juga poliandri yaitu seorang istri mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan.101 Seorang laki-laki yang beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama memang diperbolehkan dalam hukum
100 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang- Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS Leiden, 2002), halaman 58.
101 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), halaman 43.
islam. Tetapi pembolehan itu diberikan sebagai suatu pengecualian. Pembolehan diberikan dengan batasan-batasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang mendesak.102
Pengertian umum poligami dimana seorang suami memiliki lebih dari seorang isteri. Namun dalam praktiknya, awalnya seorang pria kawin dengan seorang wanita seperti layaknya perkawinan monogami, kemudian setelah berkeluarga dalam beberapa tahun pria tersebut kawin lagi dengan isteri keduanya tanpa menceraikan isteri pertamanya.103
Peristiwa perkawinan poligami banyak terjadi di masyarakat, maka muncul beberapa pendapat dan pemahaman terhadap perkawinan poligami, baik itu datang dari kalangan masyarakat awam maupun dari kalangan intelektual. Dimana umumnya mereka masih banyak yang menganggap bahwa perkawinan poligami tidak menunjukkan keadilan dan rasa manusiawi. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tersebut mengatur tentang azas yang dianutnya, yaitu azas monogami, bahwa baik untuk pria maupun wanita hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama yang mengizinkannya, seorang suami dapat beristerikan lebih dari seorang isteri, meskipun hal tersebut dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila memenuhi beberapa persyaratan tertentu dan diputuskan di pengadilan.104
102 Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2009), halaman 78.
103 Bibit Suprapto. Liku-liku Poligami, (Yogyakarta: Al Kautsar, 2010), halaman 12.
104 Arso Sastroatmojo, Hukum Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2008), halaman.33.
Di Indonesia masalah Poligami diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang aturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Bagi pegawai negeri sipil, aturannya dipisahkan melalui Perturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.105
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berikut aturan pelaksanaannya, pada prinsipnya selaras dengan ketentuan Hukum Islam. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada prinsipnya sitem yang dianut oleh hukum perkawinan Indonesia adalah asas monogami, satu suami untuk satu istri. Namun dalam hal atau alasan tertentu, seorang suami diberi izin untuk beristri lebih dari seorang. Hal ini tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai poligami menurut Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Seorang suami yang diberi izin utuk menikah lebih dari satu harus tergambar dalam serangkaian alasan yang berat. Adapun alasan yang dimaksud merupakan suatu hal yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan poligami
105 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), halaman
121.
karena memandang alasan-alasan tersebut menjadi penyebab ketidak bahagianya kehidupa rumah tangga mereka.
Hal ini tergambar dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:
1. Dalam hal seseorang suami akan beristri lebih dari seseorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.106
Dapat tidaknya seorang suami beristri lebih dari seorang ditentukan Pengadilan Agama berdasarkan terpenuhi atau tidaknya persyaratan yang dimaksudkan. Jadi meskipun seorang suami mempunyai alasan-alsan yang jelas untuk melakukn poligami, namun tetap harus memenihui persyaratan-persyartan yang sudah ditentukan. Hal ini tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:
1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan, sebagaimana dimaksudkan pasa 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istr/istri-istri.
106 Xxxxx Xxxx, Hukum Poligami Di Indonesia, xxxx://xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx.xxxxxxxx. xx.xx/0000/00/xxxxx-xxxxxxxx-xx-xxxxxxxxx.xxxx, diakses tanggal 6 Januari 2018.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri da anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a. pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimitai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selam sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan.107
Persyaratan-persyaratan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah persyaratan pilihan, artinya bagi yang akan menjalankan poligami harus menjelaskan alasan di antara ketiga alasan tersebut. Namun sebelumnya pemohon diharuskan memenuhi persyaratan kumulatf, seluruh persyaratan yang dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebelum diajukan ke pengadilan, sesuatu yang hampir mustahil teraksana.
Poligami menurut syariat Islam adalah suatu rukhsah (kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhsah bagi xxxxxxx dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan. Darurat yang dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya untuk bergaul dari seorang diri. Kecenderungan yang ada dalam diri laki-laki
107 Ibid
itulah seandainya syariat Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami niscaya akan membawa kepada perzinaan,oleh sebab itu poligami diperbolehkan dalam hukum Islam.108
Kompilasi Hukum Islam (KHI) seperti yang terlihat tidak berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam masalah poligami ini. Khusus yang beragama Islam pelaksanaan poligami diatur dalam Pasal 55 hingga Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa:
(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus berlaku adil terhadap isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu orang.109
Ketentuan Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa:
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
108 Surjanti, Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami Di Indonesia, Jurnal Bonorowo, Volume 1, Nomor, 2, 2014, halaman 13-14.
109 Ibid, halaman 19.
Pada pasal 57 Kompilasi Hukum Islam, Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila terdapat alasan-alasan sebagaimana disebut dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi pada dasarnya pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.110
Berdasarkan Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa:
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu:
a. Adanya pesetujuan isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister- isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua)
110 Ibid, halaman 19
tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim pengadilan.
Selanjutnya Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam, juga digambarkan betapa besarnya wewenang Pengadilan Agama dalam memberikan keizinan. Sehingga bagi isteri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suaminya untuk berpoligami, persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama. Pengadilan dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Pada sisi lain peranan Pengadilan Agama untuk mengabsahkan praktik poligami menjadi sangat menentukan bahkan dapat dikatakan satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas untuk mengizinkan poligami.
Pengadilan Agama sangat menentukan mengabsahkan praktik poligami karena dapat dikatakan satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas untuk mengizinkan poligami. Diperbolehkannya poligami itupun dengan batas sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka. Poligami boleh dilakukan jika keadaan benar-benar darurat.
Alasan-alasan yang dipakai Pengadilan Agama memberikan izin kepada suami berpoligami adalah:
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.111
111 Ibid, halaman 20
Ketiga alasan ini hanya ada dalam aturan normatifnya belaka. Sebab, dalam realitas dimasyarakat umumnya poligami dilakukan bukan karena ketiga alasan tersebut, melainkan hanya alasan syahwat.
Secara yuridis formal, poligami di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi penganut agama Islam. Walaupun pada dasarnya asas yang melekat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut merupakan asas monogami. Namun asas hukum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidaklah berimplikasi pada asas monogami mutlak akan tetapi asas monogami terbuka.112
B. Perkawinan Poligami Di Lingkungan Masyarakat
Poligami telah menjadi bagian gaya hidup laki-laki dan karenanya di lingkungan tertentu dan praktik ini telah membudaya. Faktanya poligami telah ada sejak zaman dulu bahkan sebelum adanya agama Islam dan terus terpelihara hingga kini dengan berbagai pembenaran dan legitimasi kultural, sosial, ekonomi dan agama. Poligami sebelum Islam mengambil bentuk yang tidak terbatas, dimana seorang suami boleh saja memiliki istri sebanyak mungkin sesuai keinginannya.
Poligami merupakan fenomena yang terjadi dalam suatu kehidupan masyarakat ketika seorang suami merasa mampu dan dapat berlaku adil terhadap
112 Xxxxx Xxxxxxxx, Bagaimana Perkawinan Poligami Menurut Undang-Undang Di Indonesia, xxxxx://xxx.xxxxxx.xx/x/xxxxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxxxxx-xxxxxxx-xxxxxx-xxxxxx-xx- indonesia/8201, diakses tanggal 6 Januari 2018.
istri-istrinya sehingga dapat tercapai keharmonisan dalam berumah tangga, oleh karenanya dalam aturan hukum, baik hukum Islam maupun Hukum positif tidak ada larangan untuk melakukan hal tersebut. Namun bukan berarti seseorang dengan mudahnya melakukan poligami, tapi harus melalui prosedur dan aturan hukum yang berlaku serta dengan alasan -alasan yang dapat dijadikan dalil untuk melakukan poligami. Namun dalam kenyataannya poligami sudah menjadi fenomena tersendiri karena banyaknya orang yang mengambil jalan tersebut sebagai solusi terakhir.
Secara umum poligami secara luas biasanya dipraktekkan oleh bangsa atau suku-suku nomaden yang hidup di alam yang keras dan gemar berperang. Dikalangan seperti ini poligami adalah sebuah kebutuhan karena kuat atau tidaknya suku mereka ditentukan oleh berapa banyak keturunan yang bisa dihasilkan terutama anak laki-laki karena laki-laki dalam komunitas ini dianggap sebagai komunitas militer. Sementara perempuan dianggap hanya sebagai asset untuk memproduksi keturunan yang bahkan juga dijadikan sebagai salah satu harta rampasan perang bila suku itu kalah atau juga dijadikan alat pertukaran demi perdamaian antar suku. Di kalangan bangsa atau suku-suku yang menetap serta tidak banyakmengalami ancaman militer, poligami umumnya hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja yang biasanya kalangan elite dan berkuasa dimana praktek ini djadikan sebagai salah satu simbol demi meningkatkan status dan sarana memamerkan kekayaan dan kekuasaannya. Sementara poligami dikalangan rakyat kebanyakan biasanya sangat jarang dilakukan, di Indonesia dimana praktek poligami di kalangan rakyat kebanyakan tidak umum dilakukan.
Praktek poligami memang menghasilkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Salah satunya poligami akan lebih banyak menghasilkan keuntungan pada pihak laki-laki dibandingkan pada perempuan. Salah satunya adalah dapat meningkatkan prestise di hadapan masyarakat karena mempunyai banyak istri. Sedangkan pihak istri lebih sering mendapatkan dampak negatif dari pernikahan poligami. Beberapa kerugian bagi pihak perempuan adalah bagi para isteri yang tinggal serumah dapat kehilangan privasi masing-masing.113
Xxxxxx dari poligami terhadap seorang istri sebagai berikut :
1. Dampak psikologis
Perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suami xxxxxxxxxxx adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suami.
2. Dampak ekonomi rumah tangga
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
3. Dampak hukum
Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga pernikahan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun pernikahan tersebut sah menurut
113 Edy, Dampak Positif dan Negatif Melakukan Poligami, xxxx://xx-x0x0.xxxxxxxx. xx.xx/0000/00/xxxxxx-xxxxxxx-xxx-xxxxxxx-xxxxxxxxx.xxxx, diakses tanggal 7 Januari 2018.
agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu pernikahan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
4. Dampak kesehatan
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau istri menjadi rentan terhadap Penyakit Menular Seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
5. Kekerasan terhadap perempuan
Baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.114
Agama Islam, sebagai salah satu agama yang mengizinkan praktek poligami, memberikan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi bagi seorang pria apabila mau melakukan poligami. Namun, pria tersebut harus dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Ketentuan ini untuk menghindari dampak negatif dari poligami, baik untuk sang pria maupun pihak perempuan.
Beberapa pengaruh negatif poligami terhadap isteri sebagai berikut :
1. Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para istri. Perasaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu istri dibandingkan dengan istri yang lain atau karena kurang adanya keadilan. Akan tetapi hal ini jarang terjadi apabila suami dan istri mengerti mengenai hak dan kewajibannya.
114 Ibid
2. Perasaan di atas juga bisasnya terwarisi kepada anak-anak dari masing- masing istri sehingga tidak mempunyai rasa persaudaraan.
3. Timbulnya tekanan batin pada istri pertama karena biasanya suami akan lebih mencintai istri barunya. Perasaan ini mengakibatkan istri pertama merasa kurang bahagia dalam hidupnya.115
Jika beberapa waktu yang lalu masyarakat kita masih alergi dengan istilah poligami, maka sekarang ini tidak demikian halnya. Sebagian dari masyarakat Indonesia bahkan dengan terang-terangan menyatakan bahwa mereka telah mempraktekkan poligami. Ada juga yang menjadikan praktek poligami sebagai bagian dari prestise yang tidak semua orang bisa melakukannya.
Masyarakat Indonesia secara umum memiliki dua pendapat tentang poligami. Sebagian besar dari mereka kurang atau tidak setuju dengan poligami dan mereka menentang praktek poligami karena efek negatifnya sangat besar bagi keluarga dan banyak menyakiti kaum perempuan. Sebagian yang lain (yang sedikit jumlahnya) setuju dengan alasan-alasan tertentu. Kelompok terakhir ini beralasan bahwa meskipun poligami memiliki banyak resiko, tetapi bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, khususnya Islam. Karena itu, yang banyak melakukan praktek poligami ini adalah masyarakat Muslim yang merasa mampu berbuat adil ketika melakukan praktek poligami.116
Poligami merupakan salah satu dampak sosial yang terjadi karena adanya benturan antara kekuatan ekspresif dengan kekuatan normatif. Kekuatan ekspresif timbul dari diri manusia yang di dalam kenyataan kadang-kadang dipengaruhi
115 Ibid
116 Xxxxxxx, Kontroversi Sekitar Xxxxxxx Xxxxxxxx, xxxxx://xxxxxxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx/ 2008/01/17/kontroversi-sekitar-masalah-poligami/, dikases, tanggal 7 Januari 2018.
oleh lingkungan sosial, tetapi yang lebih menentukan adalah lingkungan kebudayaan. Perkawinan ini sering diperbincangkan dalam semua lapisan masyarakat. Mulai dari masyarakat yang pro dan kontra dengan adanya perkawinan poligami ini.117
Dalam keluarga poligami sangat sering terdengar masalah-masalah yang sangat menyakitkan bagi perempuan, baik berupa kekerasan yang dilakukan oleh suami, maupun keadilan yang jarang tercipta di dalam keluarga yang diakibatkan oleh pernikahan poligami, karena seseorang susah untuk mengetahui atau mengukur apakah dia sudah berlaku adil terhadap isteri-isteri mereka. Inilah kenyataan yang sering terjadi di dalam masyarakat.
Pemahaman tentang poligami masih kurang sehingga pelaksanaan poligami sering menjadi masalah dalam masyarakat. Tetapi, di dalam Islam, ketentuan untuk bersikap adil terhadap semua istri inilah yang secara hukum dan moral membedakan pernikahan poligami dalam Islam dibanding praktik-praktik poligami lainnya. Tidak semua pernikahan poligami umat Islam dengan sendirinya islami. Pernikahan poligami tidak dengan sendirinya sesuai dengan pesan Islam. Justru poligami bertentangan dengan Islam apabila melanggar hak- hak kaum perempuan yang harus dihormati martabatnya, tidak memenuhi persyaratan, dan berbuat aniaya melalui pernikahan poligaminya tersebut. Hal ini berarti, untuk melakukan pernikahan poligami harus melihat diri sendiri apakah kita termasuk orang yang mampu bersikap adil atau tidak. Sangat sering tidak mampu menilai diri sendiri. Terkadang menilai lebih terhadap diri sehingga
117 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 2008), halaman 45.
menganggap diri memenuhi syarat, padahal tidak. persoalan poligami merupakan persoalan yang terlihat biasa karena cukup banyak masyarakat yang melakukan poligami. Tetapi, meskipun demikian, persoalan ini cukup rumit, karena pandangan masyarakat yang berbeda-beda atau respon masyarakat yang bernacam-macam baik masyarakat yang pro dengan poligami ataupun yang kontra dengan pernikahan poligami.
Perkawinan poligami sudah membudaya sejak dulu, status sosial laki-laki yang dianggap tinggi seolah mendukung terjadinya poligami. Peranan perempuan tidak sejajar dibandingkan laki-laki, laki-laki jauh di atas kaum perempuan yang menyebabkan kekuasaan laki-laki lebih mendominasi di dalam keluarga sangat terlihat, pandangan masyarakat yang mengagungkan bahwa laki-laki harus berada di atas kaum perempuan.
Perempuan di dalam kehidupan masyarakat lebih banyak menjadi obyek yang tidak memiliki akses serta keterlibatan seluas laki-laki dalam kegiatan publik ataupun dalam rumah tangga, keputusan dan penyelesaian persoalan dalam rumah tangga lebih banyak menjadi otoritas kaum laki-laki. Keadaan ini sering terlihat dari sikap laki-laki di dalam rumah tangga misalnya, perempuan selalu di posisikan di sumur, dapur, kasur, dan tidak jarang terlihat perempuan mempunyai beban yang berlebihan artinya, meskipun perempuan sudah berada di sumur, dapur, kasur tetapi mereka tetap bekerja di luar untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sementara seorang laki-laki cukup bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja, kodrat, harkat dan martabat perempuan jauh berbeda daripada laki- laki dalam pandangan masyarakat.
Kodrat, harkat dan martabat perempuan sering dikaitkan dengan status perempuan sebagai ibu rumah tangga atau istri yang hanya melayani anggota keluarga. ketidakadilan sangat jelas terlihat, tetapi bagi sebagian masyarakat, hal ini merupakan hal yang wajar yang menyebabkan laki-laki sangat diagungkan kedudukannya.
Seorang suami yang melakukan poligami tidak memerlukan waktu yang lama untuk melakukan proses menuju perkawinan poligami. Sangat jarang suami mengikuti prosedur hukum dalam mengajukan pernikahan poligami ke Pengadilan Agama. Apalagi persyaratan pokok yang mengatur psikologinya seperti yang tertera dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu mengajukan permohonan pengadilan dengan memenuhi berbagai syarat seperti; adanya persetujuan dari isteri-isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri, dan anak-anak mereka, selanjutnya adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri- istri dan anak-anak mereka.118
Perkawinam poligami yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat pada umumnya sering dilakukan dengan jalan pintas melalui prosedur agama dan pernikahan di bawah tangan, yang akibatnya selalu menuntut istri untuk menerima kehadiran istri kedua dari suaminya.
Poligami yang tidak seimbang, artinya tidak adanya konsep keadilan dalam pernikahan poligami, akan mengakibatkan kecemburuan sosial antara istri bahkan
118 Xxxxxxx Xxxxx, Wanita Islam Kepribadian dan Perjuangannya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), halaman 90.
menimbulkan perselisihan antar keluarga. Jumlah dan bentuk hubungan sosial dalam keluarga poligami sudah pasti bertambah dengan bertambahnya orang dalam unit keluarga. Setiap orang tidak saja memperhitungkan seberapa besar jumlah orang yang bertambah dalam keluarga tetapi sejumlah besar hubungan sosial. Dengan bertambahnya isteri maka hubungan akan semakin bertambah dalam suatu keluarga, interaksi yang terjadi semakin bertambah dan relasi juga akan bertembah. Dengan adanya relasi antara isteri, maka terjadi pula relasi antara anak di dalam keluarga poligami. Hal ini yang akan menyebabkan terjadinya interaksi antara anggota keluarga poligami. Interaksi yang terjadi didalam keluarga poligami ini tidak hanya terjadi dalam keadaan baik-baik saja, tetapi adakalanya interaksi yang tercipta akan menimbulkan perselisihan bahkan konflik antar anggota keluarga poligami yang disebabkan oleh banyak faktor. Disamping mempunyai dampak yang negatif konflik juga mampu memberikan dampak yang positif terhadap individu atau kelompok yang melakukan konflik.
Xxxxxxx ataupun disharmoni dalam relasi antara individu dalam unit sosial keluarga poligami tidak harus dipandang dari relasi antara suami dengan isteri ataupun relasi antara istri-istri pelaku poligami. Namun menelisik poligami perlu juga dilihat dari hubungan diantara anak-anaknya. Anak dalam keluarga merupakan bagian dari unit sosial keluarga, maka tentu untuk memahami persoalan poligami, relasi anak menjadi faktor penting.
Terjadinya peristiwa poligami tentu saja dilandasi dengan alasan yang berbeda-beda dari pelakunya, ada yang beralasan melakukan poligami karena isteri sebelumnya tidak bisa memberikan keturunan, sampai ada yang melakukan