ARTIKEL
ARTIKEL
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN
KABUPATEN GARUT
--------------------------------------------------------------------------------
AAM PATHULOH
NPM. 169020025
PROGRAM DOKTOR ILMU SOSIAL
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG 2022
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis langkah-langkah tata kelola kolaboratif dalam implementasi kebijakan program Jaminan Kesehatan Nasional melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kabupaten Garut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dan melalui teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi, wawancara dengan beberapa narasumber, dan studi dokumentasi, dan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan Program JKN pada BPJS Kesehatan di Garut Kabupaten telah berlangsung. cukup baik, meskipun tidak lepas dari beberapa kekurangan, di sisi lain aspek keberhasilan implementasi kebijakan tersebut berjalan dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun pada beberapa aspek menunjukkan peningkatan seperti jumlah kepesertaan dan komitmen kepesertaan untuk membayar iuran kepesertaan, namun pada aspek lainnya belum dilaksanakan secara optimal termasuk kesiapan seluruh sumber daya kesehatan termasuk ketersediaan tenaga kesehatan. sumber daya, fasilitas kesehatan, alat kesehatan, dan anggaran kesehatan yang tidak memadai. baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kemudian langkah-langkah implementasi kebijakan program ini dilakukan melalui komunikasi, koordinasi dan kerjasama antara BPJS Kesehatan sebagai leading sector dengan instansi pemerintah terkait, pihak swasta, pemangku kepentingan dan juga masyarakat atau peserta program. Langkah lainnya adalah melalui penyediaan sumber daya kesehatan yang memadai secara kualitas dan kuantitas, serta disposisi kepemimpinan untuk mempengaruhi staf dan institusi di bawahnya untuk saling mendukung keberhasilan program. Langkah terakhir adalah penyederhanaan struktur birokrasi penyelenggaraan pelayanan bagi peserta atau calon peserta program agar dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara efektif dan efisien.
Kata kunci: tata kelola kolaboratif, pelaksanaan program JKN, BPJS Kesehatan
Abstract
This study aims to describe and analyze collaborative governance steps in implementing policies for the National Health Insurance program through the Health Social Security Administration (BPJS) in Garut Regency. The method used in this study is a descriptive qualitative method and through data collection techniques carried out by observation, interviews with several sources, and documentation studies, and the results of this study indicate that the implementation of the JKN Program policy at BPJS Health in Garut Regency has been ongoing. quite good, although it cannot be separated from several shortcomings, on the other hand aspects of the successful implementation of the policy are running properly in accordance with the applicable laws and regulations. However, in some aspects it shows an increase, such as the number of participants and the commitment of participants to pay membership dues, but in other aspects it has not been optimally implemented, including the readiness of all health resources including the availability of health human resources, health facilities, medical devices, and inadequate health budgets. both in terms of quality and quantity. Then the steps for implementing this program policy are carried out through communication, coordination and collaboration between BPJS Health as the leading sector and related government institutions, private parties, stakeholders and also the community or program participants. Another step is through the provision of adequate health resources in quality and quantity, as well as a leadership disposition to influence staff and subordinate institutions to support each other's success in the program. The final step is to simplify the bureaucratic structure of the administration of services for participants or prospective program participants in order to obtain health services effectively and efficiently.
Keywords: collaborative governance, JKN program implementation, BPJS Health
PENDAHULUAN
Kesehatan adalah hak asasi setiap orang, hak ini telah didokumentasikan sejak lama dalam beberapa dokumen/perjanjian internasional mengenai jaminan hak atas kesehatan seseorang. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 dan 34 menyatakan bahwa kesehatan merupakan hak dasar setiap warga negara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. UU RI No.23 Tahun 1992 jo UU RI No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga mengatur bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau (Xxxxxx & Gash, 2007).
Undang-undang di atas menekankan peran dan tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yaitu menyediakan dan menjamin agar warga negara memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Hal ini harus didukung dan melibatkan berbagai pihak melalui penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, baik dari sektor pemerintah, swasta maupun masyarakat. Keterlibatan berbagai pihak melalui pemetaan dan identifikasi masalah kesehatan menunjukkan potensi untuk mengembangkan dan memajukan program pelayanan kesehatan melalui kolaborasi sumber daya yang tersedia. Kolaborasi diawali dengan rencana pembangunan yang dibahas oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan instansi terkait melalui musyawarah untuk mengefektifkan pelaksanaan program kebijakan pelayanan kesehatan yaitu Collaborative Governance. Namun dengan banyaknya dinamika yang terjadi, sektor jaminan kesehatan disentralisasikan kembali ke pusat melalui pembentukan (lembaga) yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Lembaga BPJS dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2011 tentang BPJS. Pemerintah menunjuk PT Askes (Persero) sebagai penyelenggara jaminan sosial di bidang kesehatan. Perusahaan ini kemudian berubah menjadi BPJS Kesehatan. Salah satu produknya adalah Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Pemerintah menargetkan pada akhir tahun 2019 jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia sudah terlindungi oleh BPJS Kesehatan. Namun pada kenyataannya Dana Jaminan Sosial (DJS) yang tersedia di BPJS Kesehatan terus mengalami defisit (Xxxxxx et al., 2011).
Hingga akhirnya lembaga ini tidak mampu membayar semua klaim pembayaran yang diajukan oleh beberapa fasilitas kesehatan (faskes), baik rumah sakit, klinik, puskesmas, dokter maupun tenaga medis lainnya secara tepat waktu. Hal ini mengakibatkan penurunan pelayanan dan kekurangan sumber daya dari masing-masing fasilitas kesehatan, baik dari segi anggaran maupun kewajiban membayar tunggakan beberapa bulan gaji/tenaga medis honorer dan pengadaan alat kesehatan (alkes). Dampak lebih lanjut dari defisit anggaran BPJS Kesehatan adalah beberapa fasilitas kesehatan menolak melayani pasien JKN, terutama KIS bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Tak sedikit pasien pemegang KIS kritis hingga meninggal dunia karena tidak terlayani. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan (dari pengamat kebijakan dan kinerja lembaga pemerintah), bahwa adanya penyetoran (penggelapan) anggaran di badan BPJS Kesehatan. Alasan yang dikemukakan oleh BPJS Kesehatan antara lain fasilitas kesehatan memberikan data yang tidak akurat dan status akreditasi fasilitas kesehatan belum lengkap. Kondisi di atas menimbulkan gejolak di masyarakat umum dan pemerhati kebijakan, terutama setelah beberapa fasilitas kesehatan memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (Astuti, 2019). Padahal sejak beroperasi pada 1 Januari 2014 jumlah peserta BPJS Kesehatan secara nasional mengalami peningkatan (Beran et al., 2016).
Kinerja BPJS Kesehatan sulit mencapai target karena rata-rata jumlah peserta harus meningkat minimal 1,6 juta orang per bulan atau dua kali lipat dari capaian saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah peserta tidak sebanding dengan kinerja dan ketersediaan sumber daya yang memadai. Apalagi pada akhir tahun 2020 (per 1 November) terjadi penurunan jumlah peserta (penghapusan sementara) akibat kebijakan pendaftaran ulang sebagian peserta JKN Penerima Upah Negara. Berbagai permasalahan terkait penyelenggaraan BPJS Kesehatan sebagaimana dikemukakan di atas, selalu bersumber dari anggaran yang terbatas dan untuk di Kabupaten Garut sendiri BPJS Kesehatan masih memiliki tunggakan sebesar Rp. 50 miliar.
Meskipun sempat kehilangan kepercayaan dari beberapa kalangan karena memiliki klaim tunggakan yang sudah jatuh tempo sebesar Rp 3,7 Triliun dari seluruh faskes, namun per 1 Juli 2020 seluruh klaim tersebut sudah dibayar lunas berkat masuknya iuran peserta PBI APBN sebesar Rp 4,05 Triliun. Secara nasional, seluruh peserta Program JKN melalui BPJS Kesehatan dari berbagai kategori harus dilayani oleh berbagai faskes yang sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan atau terakreditasi, baik rumah sakit, puskesmas, klinik, dokter, apotek, optik, dan faskes lain sebanyak 27.076 unit (BPJS-Kesehatan, 2020c). Khusus di Kabupaten Garut, jumlah peserta program JKN-KIS terus meningkat dari 1.587.640 jiwa (72,1%) per Oktober 2017. Kemudian meningkat setahun kemudian menjadi 1.740.759 jiwa (78.35%). Lalu meningkat hingga mencapai hampir 1,9 juta jiwa (85%) pada Agustus 2019, lalu 92% pada Nopember 2020, dan pada Januari 2021 menurun menjadi 1.748.218 (72,84%), kemudian naik kembali menjadi 2.153.772 jiwa atau 85,65% dari total penduduk sekitar 2.514.515 jiwa per Agustus 2021 (Xxxxxxx, 2004).
Peserta integrasi Jamkesda dengan status PBI dari Pemda Garut pada 4 Agustus 2021 sebanyak 141.331 orang. Sedangkan jumlah masyarakat yang belum memiliki JKN-KIS sebanyak 300 ribuan jiwa atau 14,35% dari total jumlah penduduk. Sementara kolektabilitas iuran JKN dari segmen PBPU masih rendah hanya 27,90% atau terbayar Rp 00.000.000.000 dari total tagihan Rp 127.167.901.714. Artinya, sebanyak 132.712 peserta menunggak iuran dengan total tunggakan Rp 00.000.000.000 dari 163.885 jiwa peserta PBPU. Adapun kepesertaan Badan Usaha yang terdaftar per Juli 2021 baru 17 unit dari 682 unit dengan peserta 27.676 KK atau 60.643 orang.
Permasalahan-permasalahan yang terkait dengan implementasi kebijakan Program JKN melalui BPJS Kesehatan di Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut, merupakan gambaran tata kelola pelayanan kesehatan pada umumnya oleh pemerintah di sejumlah negara kawasan Asia-Pasific. Citra BPJS pada kenyataanya tidak sesuai dengan realita. Terdapat beragam masalah yang sulit untuk diatasi, salah satunya adalah permasalahan dalam manajemen klaim BPJS. Meskipun telah ada upaya dari pemerintah dalam mewujudkan upaya penyelesaian masalah yang ada, namun upaya-upaya tersebut tidak berjalan efektif karena beberapa faktor penghambat, sehingga diperlukan pembentukan dan penerapan konsep IMP (Identity Monitoring Program) yang terintegrasi antara Disduk Capil dengan BPJS (Doz, 2017).
Sistem administrasi dianggap rumit untuk dipahami dengan mudah oleh masyarakat. Perlu sosialisasi kepada masyarakat tentang kepesertaan BPJS dan penguatan koordinasi dengan pihak BPJS apabila ada masalah anggota kepesertaan pasien BPJS . Selain itu, secara internal di tiap FKTP juga perlu peningkatan pelayanan, karena SDM, khususnya bagian administratif, selain komputer yang ada sering error, juga masih banyak yang belum menguasai penggunaan komputer, sehingga sering salah dalam mengidentifikasi kepesertaan pasien JKN. Permasalahan utamanya adalah anggaran yang tersedia untuk mengatasi kelemahan-kelemahan sumber daya masih terbatas, sehingga integrasi akses pelayanan kesehatan masih terkendala,
Aspek dinamika kolaborasi kurang berjalan dengan baik, yaitu kondisi yang tidak menguntungkan semua pihak, sehingga terkesan masih terjadi saling melempar dan pelepasan tanggung jawab (ego sektoral). Hal ini sejalan dengan hasil analisis permasalahan BPJS Kesehatan dan solusinya yang terdapat pada tiga level, yaitu level kebijakan , level organisasi , dan level operasional . Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi dalam penerapan BPJS sangat memerlukan solusi kolaborasi tata kelola antara Pemerintah Pusat, BPJS, Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/ kota) dan masyarakat dengan menggunakan pendekatan berpikir sistem (Wohlgezogen & Zhelyazkov, 2012).
Permasalahan dalam implementasi kebijakan yang tersentralisasi, termasuk Program JKN oleh BPJS Kesehatan, adalah pemerintah menghadapi kendala kewenangan kebijakan kesehatan di tingkat pusat yang kompleks dan kewenangan yang terdesentralisasi ke level provinsi, kabupaten, dan kota pasca kelahiran Undang-Undang RI No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan belum optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan implementasi JKN secara nasional, diperlukan suatu mekanisme struktur hubungan hirarkis yang lebih kuat di tingkat pusat, daya tawar BPJS Kesehatan yang lebih kuat di daerah, dan policy emphasis yang lebih kuat dari Pemda (Gusnita, 2017).
Sementara itu, bila ditinjau dari konsep atau model sentralisasi dinamis Program JKN-KIS dan Jamkesda melalui BPJS Kesehatan secara nasional, permasalahan di atas disebabkan oleh adanya pergeseran kewenangan kebijakan, gap kondisi antar wilayah, serta kondisi di lapangan seringkali berbeda dengan data dan asumsi nasional. Oleh karena itu, hasil penelitian Xxxxxxxxxxxx (2014) merekomendasikan, bahwa program ini harus menerapkan model yang berfokus beberapa aspek sebagai berikut, memiliki rencana aksi yang jelas, kuat, berkelanjutan, memiliki komitmen yang sama dan berorientasi ke depan.
Berkaitan dengan beberapa permasalahan implementasi tatakelola pemerintahan dalam pelayanan Program JKN melalui BPJS Kesehatan, memerlukan penekanan pada pentingnya keterlibatan berbagai pihak untuk mencapai pelayanan kesehatan terbaik di Indonesia. Hal ini disebabkan, masalah yang timbul di BPJS tidak cukup dapat diatasi melalui langkah-langkah koordinasi dan kerjasama. Berdasarkan beberapa permasalahan dan temuan hasil penelitian sebagaimana telah dikemukakan menunjukkan, bahwa collaborative governance merupakan salah satu alternatif yang dinilai mampu mewujudkan percepatan implementasi kebijakan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan dalam rangka pemerataan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi seluruh warga. Selain itu, pentingnya collaborative governance juga dalam rangka mengatasi beberapa masalah yang menyebabkan target jumlah peserta program JKN sulit dikejar dan kendala-kendala lain di berbagai level kebijakan.
METODE
Penelitian ini mengambil objek tentang: Collaborative Governance dalam Implementasi Kebijakan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Kabupaten Garut. Selain itu penelitian ini juga turut menggunakan metode kualitatif-deskriptif, yaitu untuk mendeskripsikan masalah dan solusi, langkah-langkah implementasi kebijakan, peran masing-masing aktor, serta keberhasilan implementasi kebijakan. Hal ini mengacu pada pendapat Xxxxxxx (2013), bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Adapun teknik dan alat pengumpulan data penelitian ini meliputi, teknik pengamatan langsung (Observasi), teknik wawancara dan studi dokumentasi. Sedangkan analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model Xxxxx dan Xxxxxxxx (dalam Xxxxxxxx, 2010) yang terdiri atas tiga alur kegiatan, yaitu tahap reduksi data yakni dengan memilih data yang penting dan relevan dengan kajian penelitian, membuat kategori, membuang atau mengganti data yang tidak dipakai. Langkah selanjutnya dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi, kesimpulan penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena masalah dan rumusan masalah penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah di lapangan.Tahap terakhir dalam penelitian ini mencakup analisis data hasil reduksi dan penyajian. Interpretasi dilakukan terhadap data yang sudah memenuhi kredibilitas dan objektivitas penelitian sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah ditentukan (Xxxxxxx, 2012).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan Kebijakan Program Jaminan Kesehatan Nasional pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan di Kabupaten Garut
Menurut UU RI No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah fungsi kepala daerah untuk menyerap aspirasi, peningkatan partisipasi dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan, pengelolaan, dan penyelenggaraan pemerintah daerah juga merupakan fungsi dari kepala daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya atas dasar prinsip-prinsip demokrasi. Adapun penyelenggaraan pemerintahan menganut asas-asas sebagaimana tercantum dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme, yaitu kepastian hukum, tertib penyelenggara, kepentingan umum, transparansi, proporsional, profesional, akuntabel, efisien, dan efektif (Hanapiah, 2007).
Berkaitan dengan uraian di atas, pelaksanaan good governance di lembaga atau organisasi publik (pusat/daerah), menganut tiga prinsip sebagai berikut, transparansi, yaitu upaya untuk menciptakan kepercayaan antara pemerintah dengan masyarakat melalui penyediaan sarana informasi yang mudah diakses, partisipasi, yaitu kondisi yang mendorong setiap warga masyarakat untuk melaksanakan haknya menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, demi kepentingan masyarakat, baik langsung atau tidak langsung, sehingga proses pemerintahan berjalan sesuai asas pemerintahan rakyat dan akuntabilitas, yaitu pemerintah wajib mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahan secara periodik melalui DPR/MPR yang telah dipilih secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Prinsip-prinsip penyelenggaraan negara (organisasi publik) di atas menegaskan tentang pentingnya visi strategis, tanggung jawab, profesionalitas, komitmen, dan partisipasi seluruh pihak untuk membangun demi kemajuan pemerintahan daerah yang bermanfaat bagi semua. Hal inilah yang menjadi acuan pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan-kebijakan untuk menjabarkan sebagian kewenangan pusat yang dibebankan kepada daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan jajarannya harus mampu menyelenggarakan pemerintahan daerah melalui pelayanan publik yang baik, termasuk dalam bidang kesehatan. Berkaitan dengan bidang kesehatan, untuk mewujudkan pelayanan yang optimal dan prima, dibutuhkan landasan atau arah kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut melalui berbagai kebijakan, salah satu diantaranya adalah kebijakan Program JKN-KIS melalui BPJS Kesehatan (Houldin et al.,2004).
Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan secara komprehensif, adil, dan merata kepada seluruh penduduk untuk mendapatkan pelayanan, perlindungan, dan jaminan kesehatan yang layak, serta tidak diskriminatif. Maka pelaksanaan program JKN pada BPJS Kesehatan di Kabupaten Garut harus mencakup empat langkah, yaitu komunikasi antar pihak BPJS Kesehatan, lembaga-lembaga pemerintah terkait dan pihak swasta; penyediaan sumber daya kesehatan yang dibutuhkan dalam rangka mensukseskan Program JKN pada BPJS Kesehatan; disposisi sikap kepemimpinan dan kemampuan lembaga terkait terhadap Program JKN pada BPJS Kesehatan; serta struktur birokrasi yang mendukung efektivitas penerapan aturan Program JKN pada BPJS Kesehatan.
Komunikasi, koordinasi dan kerjasama sangat penting dilakukan oleh pihak BPJS Kesehatan selaku leading sector Program JKN dengan berbagai pihak terkait, baik lembaga pemerintah, swasta, stakeholder maupun masyarakat. Sejauh ini, komunikasi yang terjadi berjalan cukup baik dan terus mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik. Dukungan dari pemda Kabupaten Garut dan lembaga terkait berhasil mengatasi permasalahan tersebut secara tuntas per 1 Juli 2020 lalu. Hal ini menunjukkan, bahwa komunikasi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan implementasi suatu program (Xxxxxxx, 2016).
Selain itu tingkat ketersediaan sumber daya kesehatan mencakup ketersediaan secara kualitas dan kuantitas harus terpenuhi secara penuh, adapun sumber daya yang dimaksud meliputi tenaga kesehatan (SDM Kesehatan), baik tenaga medis (dokter), paramedis (perawat/bidan), maupun pegawai administratif di setiap faskes, termasuk sumber daya yang dimiliki oleh lembaga BPJS Kesehatan itu sendiri. Sumber daya lain adalah ketersediaan faskes (FKTP/FKRTL) maupun non RS/Puskesmas seperti apotik, klinik, praktek mandiri, dan lain-lain. Sementara sumber daya pendukung faskes adalah ketersediaan obat-obatan dan farmasi, serta alat dan teknologi kesehatan yang memadai. Adapun sumber daya yang tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan anggaran kesehatan, baik yang disediakan oleh pemerintah secara langsung maupun yang disediakan oleh setiap faskes. Kerena sumber daya yang harus dimiliki oleh suatu lembaga merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan implemenasi kebijakan program yang menjadi tugas dan kewajiban lembaga tersebut.
Kepemimpinan berperan dalam mewujudkan keberhasilan Program JKN pada BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan sebagai leading sector merupakan lembaga yang menginisiasi jaminan kesehatan nasional bagi seluruh masyarakat. Melalui kepemimpinan tercipta kondisi saling memahami, saling mendukung, dan saling menguatkan antar lembaga terkait dan stakeholder serta masyarakat peserta program. BPJS Kesehatan terus memperbaiki komitmen layanan dengan menyederhanakan berbagai aturan kepesertaan, diantaranya optimalisasi peran petugas Penanganan Pengaduan Peserta (PPP) di setiap RS yang mudah diakses oleh para pasien (peserta), peningkatan fungsi dan perluasan layanan Mobile Customer Services (MCS), penyederhanaan prosedur layanan hemodialysis (HD), perluasan RS dalam penyediaan sistem antrian elektronik, perluasan RS dalam penyediaan display tempat tidur dan keterisian tempat tidur atau bed occupation ratio (BOR), perluasan RS dalam layanan waiting list tindakan operasi, integrasi sistem informasi FKTP/FKRTL dengan sistem informasi BPJS Kesehatan, serta layanan e-claim dan klaim KIA (Kesehatan Ibu-Anak), layanan KB, dan lain-lain (Xxxxxxxxxx & Vanneste, 2017).
Kelancaran sistem layanan tersebut tidak lepas tentunya harus didukung oleh kelengkapan administratif aspek-aspek demografi calon peserta (KTP, KK dan surat keterangan lain) yang diberikan oleh dinas terkait (Disdukcapil). Oleh karena itu, Pemda Kabupaten Garut dengan kewenangannya menugaskan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) untuk membantu proses kepesertaan Program JKN secara efektif dan efisien. Di sisi lain jumlah tenaga kerja (SDM) kesehatan untuk mendukung Program JKN di Kabupaten Garut jauh dari mencukupi, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Tenaga kesehatan ini meliputi dokter, paramedis/perawat, bidan dan tenaga kesehatan formal lainnya. Terlebih pada saat penanganan dampak Pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir. Meski tiap tahun mengalami kenaikan, jumlah perawat masih belum memenuhi rasio terhadap jumlah populasi yang ideal dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Angka ideal rasio pemenuhan tenaga kesehatan dokter adalah 1:2.500. Saat ini, jumlah tenaga dokter mencapai sebanyak 160 orang dan apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk saat ini sekitar 2,6 juta jiwa, maka jumlah dokter yang seharusnya adalah 1.035 orang. Sementara rasio bidan sebanyak 1.158 orang (PTT dan PNS) terhadap jumlah penduduk sebesar 1:2.236 dari ideal 1:1.135. Permasalahan ini menyebabkan terjadinya layanan faskes yang tidak optimal terhadap para peserta JKN dan masyarakat umum, seperti antrian di setiap poli pemeriksaan dan perawatan, termasuk pengadministrasian data kunjungan peserta Program JKN. Hal ini berdampak secara berantai pada terjadinya keterlambatan pelayanan di BPJS Kesehatan yang disebabkan oleh pengadministrasian berkas yang kurang lengkap yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan pihak faskes (Kurniawan, 2007),
Secara keseluruhan, sebetulnya pengadaan SDM Kesehatan telah mengikuti standar kesehatan minimal di Puskesmas sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 43 Tahun 2019 tentang Puskesmas Pasal 17, yakni kelayakan standar layanan minimal Puskesmas adalah terpenuhinya tenaga dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga promosi kesehatan, tenaga sanitasi lingkungan, nutrisionis, tenaga apoteker atau tenaga teknis kefarmasiaan dan tenaga ahli teknologi laboratorium medik. Selain itu, juga terdapat kesepakatan dengan lembaga terkait dalam mendatangkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan melalui metode puskesmas BLU (Badan Layanan Umum).
Berdasarkan permasalahan ini pemerintah harus memberikan beberapa kemudahan terhadap para lulusan sekolah kesehatan dan kedokteran untuk segera mengamalkan ilmunya di sejumlah faskes. Pemerintah jangan setengah hati merekrut para calon tenaga kesehatan tersebut menjadi pegawai tetap melalui ikatan dinas yang memberikan kepastian masa depan mereka. Kalau perlu dengan fakta integritas dan perjanjian kerja, bila sudah lulus pendidikan wajib mengabdi di daerah asal selama waktu tertentu. Kemudian di tambah lagi dengan adanya fakta bahwa ketersediaan anggaran kesehatan Program JKN di Kabupaten Garut belum memadai, salah satunya disebabkan oleh penerimaan iuran dari berbagai sumber (jenis) peserta jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban BPJS membayar klaim dari seluruh faskes yang ada di Kabupaten Garut.
Meskipun demikian, masalah tunggakan atau defisit anggaran BPJS Kesehatan Garut tersebut sudah teratasi. Dengan adanya peningkatan kesadaran peserta BPJS Kesehatan Garut, maka terjadi pula peningkatan jumlah dan persentase penerimaan iuran dari berbagai segmen oleh BPJS Kesehatan, baik melalui iuran mandiri maupun iuran yang dibantu APBD. Hal ini tentu saja mengurangi jumlah defisit atau tunggakan iuran para peserta yang belum memenuhi kewajiban iurannya. Oleh karena itu, harus terus ditingkatkan melalui sosialisasi dan pembinaan peserta agar terjadi peningkatan kesadaran dari peserta, tidak hanya mengandalkan subsidi pemerintah (APBD) yang juga harus dibagi-bagi dengan pos kebijakan pemerintah lainnya. Sampai dengan Okober 2020 sebanyak 132.638 jiwa PBPU (81,82%) menunggak iuran dari total peserta sebanyak 162.108 jiwa, sedangkan yang lancar iurannya kurang dari 20%. Untuk mengatasi permasalahan tunggakan tersebut, mengacu pada regulasi aturan yang ada, dukungan untuk penyediaan anggaran Program JKN di Kabupaten Garut sangat baik, diantaranya sebagai berikut, sesuai dengan Permendagri No. 33 Tahun 2017, pemerintah pusat membantu iuran untuk masyarakat miskin dan tidak mampu (PBI). Dalam Perpres No. 64 Tahun 2020 nomenklatur PBI menjadi PBPU dan BP Pemda atau PB APBD yang mana untuk bulan Maret 2021 lalu jumlahnya mencapai 139.200 jiwa (Achim, 2016).
BPJS Kesehatan terus memperbaiki komitmen layanan dengan menyederhanakan berbagai aturan kepesertaan, diantaranya optimalisasi peran petugas Penanganan Pengaduan Peserta (PPP) di setiap RS yang mudah diakses oleh para pasien (peserta), peningkatan fungsi dan perluasan layanan Mobile Customer Services (MCS), penyederhanaan prosedur layanan hemodialysis (HD), perluasan RS dalam penyediaan sistem antrian elektronik, perluasan RS dalam penyediaan display tempat tidur dan keterisian tempat tidur atau bed occupation ratio (BOR), perluasan RS dalam layanan waiting list tindakan operasi, integrasi sistem informasi FKTP/FKRTL dengan sistem informasi BPJS Kesehatan, serta layanan e-claim dan klaim KIA (Kesehatan Ibu-Anak), layanan KB, dan lain-lain. Kelancaran sistem layanan tersebut tidak lepas tentunya harus didukung oleh kelengkapan administratif aspek-aspek demografi calon peserta (KTP, KK dan surat keterangan lain) yang diberikan oleh dinas terkait (Disdukcapil). Oleh karena itu, Pemda Kabupaten Garut dengan kewenangannya menugaskan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) untuk membantu proses kepesertaan Program JKN secara efektif dan efisien.
Tingkat Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Kabupaten Garut melalui Collaborative Governance dalam Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional pada BPJS Kesehatan di Kabupaten Garut
Hubungan dalam kolaborasi sangat kompleks karena prosesnya terus berkembang, interaktif dan dinamis. Kolaborasi antardisiplin adalah proses pertukaran pengetahuan, keahlian, tindakan dan pengembangan hubungan saling menguntungkan untuk menghasilkan gagasan baru melalui interaksi dinamis.Dinamika kolaborasi seluruh pihak untuk meningkatkan keberhasilan implementasi Program JKN melalui BPJS Kesehatan di Kabupaten Garut sudah berjalan cukup baik. Pembentukan nilai bersama, yaitu peningkatan kesehatan masyarakat merupakan tujuan utama dari kolaborasi dalam bidang kesehatan.Koordinasi yang dilakukan pemerintah daerah dalam hal ini BPJS Kesehatan Kabupaten Garut sudah sejak tahap perencanaan dilakukan dengan melibatkan berbagai elemen, baik lembaga-lembaga yang ada di lingkungan pemerintah daerah mulai tingkat atas sampai tingkat bawah (RT/RW), perusahaan (sektor swasta), kader JKN, para pemerhati kesehatan, hingga masyarakat umum. Koordinasi merupakan pengintegrasian dan penyelarasan tujuan-tujuan, rencana-rencana, dan kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan pada semua unsur yang tersebar di berbagai unit kerja atau unit fungsional untuk mencapai tujuan bersama atau untuk menghasilkan tindakan yang seragam, harmonis, efisien dan efektif. Koordinasi merupakan langkah yang harus dilakukan oleh pimpinan untuk menjamin semua kegiatan kerja berjalan harmonis dan efisien (Widya, 2017).
Salah satu wujud dari koordinasi yang cukup baik adalah terjalinnya kerjasama dalam usaha menutup seluruh tunggakan BPJS Kesehatan Garut terhadap sejumlah faskes, sehingga saat ini tidak ada lagi kejadian faskes yang menolak melayani pasien BPJS. Selain itu, melalui koordinasi yang baik, pemenuhan kebutuhan obat-obatan dan alat kesehatan juga tidak terbilang lancar dan tidak terlalu membebani masyarakat atau menambah panjang waktu perawatan pasien peserta Program JKN. Dengan perawatan jenis apapun dan penyakit apapun, peserta tidak perlu mengkhawatirkan biaya yang akan dikeluarkan, karena semuanya sudah dijamin oleh BPJS Kesehatan untuk semua kelas.
Dukungan perusahaan-perusahaan (sektor swasta) terhadap Program JKN juga semakin meningkat, hal ini disebabkan peningkatan kesadaran akan pentingnya kesehatan dengan biaya terjangkau semakin tinggi. Pihak perusahaan pun, bukan hanya menyediakan faskes sendiri secara internal perusahaan, tapi sudah mewajibkan para karyawannya untuk menjadi peserta Program JKN yang difasiliasi oleh perusahaan. Peningkatan peserta ini bukan muncul begitu saja, akan tetapi disebabkan oleh kesadaran para karyawan atas kesehatannya selama ini berkat adanya pembinaan, baik dari internal perusahaan maupun dari luar (petugas faskes atau petugas BPJS Kesehatan). Peningkatan peserta dari sektor swasta juga didorong oleh adanya Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN yang menyiratkan adanya sanksi-sanksi tertentu bagi perusahaan yang tidak mendaftarkan atau mewajibkan karyawannya menjadi peserta Program JKN (Eka & Xxxxx, 2019).
Dukungan sektor swasta juga menunjukkan, bahwa para pengelola perusahaan sangat concern terhadap kesehatan para karyawannya, agar produktivitasnya terjaga. Meskipun demikian, dukungan swasta masih belum optimal mengingat masih adanya perusahaan yang belum memberikan profil perusahaannya, khususnya yang terkait dengan layanan kesehatan para karyawannya. Bahkan dari awal Januari 2020 – Maret 2021 terjadi penurunan jumlah kepersertaan Program JKN melalui BPJS Kesehatan Garut dari 65.333 jiwa menjadi 57.880 jiwa dari sekitar 830 badan usaha aktif. Meskipun demikian, koordinasi harus lebih ditingkatkan agar dukungan swasta semakin meningkat. Selain itu partisipasi warga untuk menjadi anggota (kepesertaan) program JKN melalui BPJS di Kabupaten Garut bisa dibilang sangat antusias.
Hal ini merupakan wujud terjalinnya koordinasi semua stakeholder. Meskipun demikian, secara kualitas, khususnya komitmen dan tanggung jawab kepersertaan masih harus ditingkatkan, sehingga menjadi tugas bagi semua pihak untuk memperbaikinya, sekaligus untuk memperbaiki kualitas layanan lain, sehingga bila target semua warga menjadi peserta Program JKN tercapai akhir tahun ini, maka tinggal bagaimana pemerintah daerah mengakomodir seluruh kebutuhan layanan kesehatan peserta dapat terlayani dengan baik melalui penyediaan SDM yang memenuhi harapan secara kuantitas dan kualitas, penyediaan alkes yang mumpuni, serta peningkatan kualitas layanan kesehatan bagi seluruh warga tanpa diskriminasi.
Sampai akhir 2020 kepersertaan Program JKN melalui BPJS Kesehatan di Garut mencapai 92% (2,2 juta dari populasi 2,4 juta). Hal ini berarti antusiasme warga untuk ikut berpartisipasi menjadi peserta Program JKN melalui BPJS Kesehatan sangat baik. Tinggal masalah pembinaan dan koordinasi harus lebih ditingkatkan oleh seluruh stakeholder untuk meningkatkan komitmen bersama. Komitmen peserta terus meningkat, meskipun belum optimal. Hal ini mencakup prosedur pelayanan yang mengikuti aturan, ketaatan terhadap aturan, serta pembayaran iuran kepesertaan. Oleh karena itu, untuk mengimbangi komitmen tersebut, Pusat layanan BPJS Kesehatan menerbitkan Aplikasi Mobile JKN Faskes yang meliputi empat fungsi layanan primer meliputi first contact care, continouity, coordinate of care, dan comprehensive care, serta Pandawa (Pelayanan Administrasi melalui WA) (Xxxxxxxx, 2019).
Adapin wujud adanya konsensus seluruh stakeholder adalah pelaksanaan program JKN di Kabupaten Garut berlangsung sangat baik. Data terakhir 31 Agustus 2021 menunjukkan adanya dukungan luar biasa dari Dinas Tenaga Kerja untuk segmen peserta dari perusahaan. Hal ini menambah tingkat kolektabilitas perusahaan di Kabupaten Garut, meskipun masih ada tunggakan sekitar 8% dari 70-80 perusahaan. Hal ini menunjukkan, dukungan penuh dari perusahaan terhadap Program JKN untuk para karyawan. Aspek positif yang dapat diambil adalah perusahaan tertolong dengan adanya jaminan kesehatan para karyawannya, bukan hanya jaminan ketika mereka sakit atau membutuhkan perawatan, akan tetapi perusahaan pun membutuhkan jaminan, bahwa karyawannya dalam kondisi sehat fisik dan mental saat bekerja untuk meningkatkan produktivitas perusahaan. Untuk itu, setiap perusahaan seharusnya tidak ada istilah menunggak iuran para karyawannya yang menjadi peserta Program JKN melalui BPJS Kesehatan. Tinggal memikirkan dan mencari solusi bagaimana kalau ada permasalahan cara menyampaikannya harus secara objektif kepada BPJS Kesehatan untuk dicarikan jalan keluarnya.
Kemampuan para penggerak dalam implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan di Kabupaten Garut mencakup kemampuan kepemimpinan, kemampuan lembaga terkait mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dan memetakan kondisi infrastrukur dan derajat kesehatan warga, serta kemampuan para penggerak alam sosialisasi dan pembinaan program. Kemampuan para penggerak merupakan komponen penting dalam implementasi kebijakan Program JKN melalui BPJS Kesehatan. Berkaitan dengan kepemimpinan lembaga BPJS Kesehatan Kabupaten Garut dalam implementasi Program JKN, komunikasi merupakan aspek yang sangat penting dalam menjaga saling pengertian dan tukar-menukar informasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan khususnya pengelola faskes. Sampai saat ini, komunikasi masih cukup baik terjaga dan terus diintensifkan apalagi setelah terjadinya permasalahan tunggakan yang sangat besar sekitar setahun yang lalu. Pada akhirnya dengan komunikasi terjalin saling pengertian untuk sama-sama membantu mengurangi beban anggaran tunggakan yang dialami, sehingga BPJS Kesehatan Kabupaten Garut bisa dikatakan sudah mampu menutup seluruh tunggakan kepada tiap faskes (Nurhasana, 2018).
Aspek koordinasi dari bawah juga sangat penting untuk membantu warga masyarakat yang akan mendapatkan kepesertaan BPJS melalui pendataan yang dilakukan aparat desa/kelurahan, tentang kondisi layak-tidaknya mendapatkan jenis kepesertaan BPJS yang sesuai. Sementara untuk perusahan (pemberi upah), koordinasi juga penting untuk meyakinkan para karyawan yang mempunyai hak untuk mendapatkan tunjangan pelayanan kesehatan melalui pendaftaran kepesertaan karwayan tersebut atas nama perusahan. Komunikasi ini juga dilakukan sebagai sosialisasi setiap ada regulasi kebijakan baru dari BPJS Kesehatan, seperti penyesuaian besar iuran, serta hak dan kewajiban masing-masing peserta, termasuk layanan-layanan yang dapat di-cover oleh BPJS Kesehatan.
Terkait dengan koordinasi dan komunikasi kepemimpinan, konsistensi penyediaan bantuan anggaran juga harus dipertahankan dengan komitmen tinggi dalam mengoptimalkan cakupan kepesertaan program JKN. Hal lain yang terkait dengan kepemimpinan adalah ketegasan dari pimpinan dalam menegakkan aturan dan sanksi. Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN, diantaranya sebagai berikut, mengalokasikan anggaran dalam rangka Program JKN, memastikan seluruh penduduknya terdaftar dalam Program JKN, menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan sesuai standar kesehatan dan SDM kesehatan yang berkualitas di wilayahnya masing-masing, dan memastikan BUMD untuk mendaftarkan dan memberikan data yang lengkap dan benar bagi para Pengurus dan Pekerja beserta anggota keluarganya dan Program JKN (Xxxxxxx & Xxxxxxxxxxx, 2016).
Kemampuan para penggerak mengidentifikasi masalah dalam implementasi Program JKN melalui BPJS Kesehatan adalah aspek penting untuk mencapai efisiensi dan efektivitas program. Kemampuan yang dimiliki oleh para driver kebijakan Program JKN di Kabupaten Garut cukup baik atau cukup berhasil. Hasil identifikasi masalah dari para penggerak dikoordinasikan antara peserta dengan faskes yang dituju sesuai domisili atau langsung ke kantor BPJS kesehatan setempat. Kemampuan identifikasi permasalahan layanan kesehatan warga dan pemetaan masalah layanan kesehatan harus terus ditingkatkan, bukan hanya penekanan terhadap para penggeraknya, akan tetapi juga harus ditekankan kepada aspek-aspek yang mampu mendorong para penggerak tersebut memiliki komitmen tinggi untuk bertugas, misalnya jaminan kesejahteraan dan masa depan para penggerak tersebut juga perlu diperhatikan. Sebagai contoh, status kepegawainnya harus memiliki kepastian yang bisa menunjang darma baktinya dalam menjamin kesehatan seluruh warga.
Artinya, disamping para penggerak membina kesadaran warga dan peserta program, para penggerak pun harus diperhatikan kebutuhan aktualisasi dirinya. Hal ini sejalan dengan temuan, bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah klaim BPJS Kesehatan tidak berjalan secara efektif dikarenakan beberapa faktor, diantaranya adalah faktor internal mengenai pencairan klaim BPJS serta faktor eksternal yaitu masyarakat kurang menyadari bagaimana cara mengurus kartu BPJS disertai dengan persepsi bahwa pengurusan kartu BPJS menyusahkan serta beberapa faktor lain yang berhubungan dengan upaya kuratif (Qalbi et al.,2020).
Indikator akhir dari implementasi Program JKN melalui BPJS Kesehatan di Kabupaten Garut adalah keberhasilan meningkatkan IPKM, yaitu berdasarkan peningkatan Angka Harapan Hidup (AHH); penurunan Angka Kematian Ibu dari 100.000 melahirkan hidup (AKI), Angka Kematian Bayi dari 1000 kelahiran (AKB), dan Angka Prevalensi Balita Gizi Buruk dan Penyakit. Rangkaian indikator dalam IPKM di atas sesuai dengan model pendekatan kesehatan masyarakat yang dikembangkan WHO. Dasar kerangka konsep IPKM adalah monitoring dan evaluasi sistem kesehatan. WHO menggunakan pendekatan “The six building blocks of health system” untuk menggambarkan enam pilar pada penguatan sistem kesehatan. Enam pilar sistem kesehatan tersebut terdiri atas 1) pelayanan kesehatan, 2) tenaga kesehatan, 3) sistem informasi kesehatan, 4) akses terhadap alat kesehatan/vaksin/ teknologi, 5) pembiayaan kesehatan, serta 6) kepemimpinan dan sumber daya kesehatan (Kemenkes, 2019).
Prinsip umum indikator yang digunakan dalam penyusunan IPKM adalah sederhana, mudah, dapat diukur, bermanfaat, dipercaya, dan tepat waktu. Indikator-indikator terpilih dalam IPKM lebih menunjukkan dampak dari pembangunan kesehatan tahunsebelumnya dan menjadi acuan perencanaan program pembangunan kesehatan untuk tahun berikutnya. IPKM telah dikembangkan sejak tahun 2010 untuk memonitor pembangunan kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Indikator pembangunan kesehatan yang diukur dalam IPKM meliputi kesehatan balita, kesehatan ibu, penyakit menular, penyakit tidak menular, kesehatan reproduksi, dan status gizi (Suprianto & Mutiarin, 2017).
Akselerasi pembangunan pada dimensi kesehatan di Kabupaten Garut sangat perlu terus dilakukan terhadap faktor-faktor determinan yang mempengaruhi dimensi tersebut, yang tidak sebatas pada sektor kesehatan, namun melibatkan hampir seluruh sektor pembangunan yang meliputi pembangunan sarana dan prasarana kesehatan, infrastruktur, sanitasi, pendidikan dan lain sebagainya. Pada dasarnya, upaya yang harus dilakukan harus diarahkan untuk meningkatkan kecukupan dan aksesibilitas penduduk terhadap fasilitas-fasilitas kesehatan serta peningkatan responsivitas penduduk terhadap fasilitas-fasilitas kesehatan tersebut. Percepatan pelaksanaan program-program kesehatan untuk menekan angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan yang disertai dengan upaya mewujudkan fasilitas kesehatan yang memadai serta tenaga medis yang lebih merata, mutlak harus dijaga dan ditingkatkan konsistensinya. Sehingga diharapkan dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan secara optimal. Disamping itu, akselerasi pencapaian IPM diharapkan tidak hanya bertumpu pada dinas teknis saja, tetapi harus terintegrasi dengan tugas-tugas kecamatan, kelurahan dan pemerintahan desa, serta lebih diarahkan kepada perbaikan sarana-prasarana puskesmas dan seluruh jaringan kerjanya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal yang terkait dengan langkah-langkah collaborative governance dalam implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kabupaten Garut, yaitu sebagai berikut, Pelaksanaan kebijakan Program JKN pada BPJS Kesehatan di Kabupaten Garut sudah berlangsung cukup baik. Meskipun tidak lepas dari beberapa kekurangan, aspek-aspek keberhasilan implementasi kebijakan tersebut berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Langkah-langkah pelaksanaan kebijakan program ini dilakukan melalui jalinan komunikasi, koordinasi dan kerjasama antara BPJS Kesehatan sebagai leading sector dengan lembaga pemerintahan terkait, pihak swasta, stakeholder dan juga masyarakat atau peserta program. Langkah lainnya adalah melalui penyediaan sumber daya kesehatan yang memadai secara kualitas dan kuantitas, serta disposisi kepemimpinan untuk mempengaruhi para staf dan lembaga di bawahnya untuk saling mendukung keberhasilan program tersebut. Langkah terakhir adalah melalui penyederhanaan struktur birokrasi pengurusan administrasi layanan bagi peserta atau calon peserta program agar mendapatkan layanan kesehatan secara efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Xxxxxx, X., dan Gash, A. (2007). Collaborative governance in theory and practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18, 543-571.Published by Oxford University Press.
Xxxxxx, X., Xxxxxxx K, & Xxxxxxxx T, (2011). An Integrative Framework for Collaborative Governance. Journal of public administration research and theory, 22(1). 1–29.
Beran, D., Xxxxxx, S.A., Xxxxxx, G., Xxxxxxxx, Al, Xxxxxxx, C.L., Xxxxxx, G., Xxxxx, O., Xxxxxx, O., Bausch, F.J., Xxxxxx, N., Xxxxx, T. & Xxxxxxxx, F. (2016). Partnerships in global health and collaborative governance: lessons learnt from the Division of Tropical and Humanitarian Medicine at the Xxxxxx Xxxxxxxxxx Hospitals. Journal of Globalization and Health of BioMed Central. 12:14. 1-13. DOI 10.1186/s12992-016-0156-x.
Xxxxxxx, X. (2004). Another case of the Emperor's new clothes? Journal of Occupational and Organizational Psychology.
Doz, Y. (2017). "Inter-partner learning in strategic alliances". In Collaborative Strategy: Critical Issues for Alliances and Networks. Cheltenham, UK: Xxxxxx Xxxxx Publishing.
Xxxxxx, X., Xxxxxxxxxxx, F., & Xxxxxxxxxx, P. (2012). The two facets of collaboration: Cooperation and coordination in strategic alliances. The Academy of Management Annals, 6(1), 531-583.
Xxxxxxx, Xxx. (2017). Analisis Implementasi Jaminan Sosial Nasional pada BPJS Kota Metro. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora Universitas Islam Bandung. Vol 7, No.3, Th. 2017. 692-698
Hanapiah, P. (2007). Good Governance: Membangun Masyarakat Yang Demokratis dan Nasionalis. Artikel Ilmiah FISIP UNPAD.
Xxxxxxx, X. X., Xxxxxx, X. X., & Xxxxxx, D. G. (2004). Physician-nurse collaboration in research in the 21st century. Journal of Clinical Oncology, 22(5), 774-776.
Xxxxxxx. (2016). Evaluasi pelaksanaan program jkn di indonesia: kajian literatur. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. Vol. 05 No. 03. September 2016. 110-114
Xxxxxxxxxx, X., & Xxxxxxxx, B. (2017). "Collaboration in strategic alliances: cooperation and coordination". In Collaborative Strategy: Critical Issues for Alliances and Networks. Cheltenham, UK: Xxxxxx Xxxxx Publishing.
Xxxxxxxxx, X. 2007. Pergeseran Paradigma Administrasi Publik: Dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance. Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Vol. 7.
Xxxx, Xxxxx. (2016). Collaborative Governance in Health and Technology Policy: The Use and Effects of Procedural Policy Instruments. Journal of Institute of Public Management, Zurich University of Applied Sciences, Xxxxxxxxxxxx 00, 0000 Xxxxxxxxxx, Xxxxxxxland. DOI: 10.1177/0095399716664163. Published on August 10, 2016 by Sage Administration & Society p.1–27. Available: xxx.xxxxxxx.xxx
Xxxxxxxxxxxx, Xxxxx. (2017). Tata Kelola Kolaboratif Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional. Disertasi Program Doktor Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta
Xxxxxxx, S., Eka, A. & Xxxxx. (2019). Sosialisasi program jkn dalam meningkatkan partisipasi kepesertaan mandiri bpjs kesehatan di desa sungai belidak kecamatan sungai kakap kabupaten kubu raya. Jurnal Spirit Publik Volume 14, Nomor 1, April 2019. 1-15
Xxxxxxx, X.X. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya
Xxxxxxxx, C.R. (2019). Pola Hubungan Pusat-Daerah dalam Implementasi Program JKN. Disertasi Program Doktor Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Xxxxxxxxx, X. (2018). Kesinambungan Pembayaran Iuran JKN PBPU di Jabodetabek. Disertasi. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. (tidak diterbitkan).
Xxxxxxx, M. dan Xxxxxxxxxxx, H. (2016). Efektivitas program bpjs kesehatan di kota semarang. (Studi Kasus pada Pasien Pengguna Jasa BPJS Kesehatan di Puskesmas Srondol). Departemen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro. 1-14
Qalbi, N.S., Xxxxx, A.A.T. & Xxxxxxx, X.X. (2020). Implementasi imp (identity monitoring program): upaya penyelesaian manajemen klaim dalam jaminan kesehatan. Jurnal Legislatif Fakultas Hukum UNHAS. Volume 3 (2), Juni 2020. 219-234
Suprianto, A. & Xxxxxxxx, D. (2017). Evaluasi pelaksanaan jkn (studi tentang hubungan stakeholder, model pembiayaan dan outcome jkn di kabupaten bantul provinsi diy. Journal of Governance And Public Policy. Vol. 4 No. 1 February 2017. 71-107