BAB II
BAB II
BEBAN PAJAK TANGGUHAN, ASET PAJAK TANGGUHAN, UKURAN PERUSAHAAN DAN MANAJEMEN LABA
A. Pajak
1. Definisi dan Ciri-Ciri Pajak
Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang berasal dari pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 ayat 1 pajak didefinisikan sebagai:
“kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dari definisi pajak yang telah dijelaskan, pajak memiliki beberapa ciri.
Pajak merupakan “kontribusi wajib” mengartikan bahwa setiap orang, baik orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat subjektif dan objektif seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Perpajakan yang kemudian secara khusus disebut sebagai Wajib Pajak (WP). Kalimat “bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang” mengartikan bahwa pemerintah dapat menindak hukum baik dengan sanksi administratif maupun hukuman secara pidana untuk WP yang dengan sengaja tidak membayar pajak yang seharusnya dibayarkan.
9
Meskipun bersifat memaksa, manfaat yang diberikan pajak “tidak dapat dirasakan secara langsung” oleh WP. Ketika membayar pajak dalam jumlah tertentu, tidak terdapat manfaat secara khusus untuk masing-masing WP namun dapat memberikan manfaat secara umum bagi masyarakat luas. Pajak yang dibayarkan tersebut digunakan oleh negara untuk memberikan “manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan penjelasan tersebut, secara ringkas ciri-ciri pajak adalah:
a. Pajak merupakan kontribusi wajib oleh orang pribadi maupun badan,
b. Pajak bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
c. Pajak tidak memberikan imbalan secara langsung kepada pembayar,
d. Pajak digunakan oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
2. Sistem Pemungutan Pajak
Saat ini sistem pemungutan pajak di Indonesia terbagi menjadi 3 yaitu, self-assessment system, official assessment system, dan withholding system (Resmi, 2017). Ketiga sistem tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Self-Assessment System
Self-assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak (WP) untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang dengan berdasar pada undang- undang atau peraturan perpajakan yang berlaku (Resmi, 2017). WP merupakan pihak yang berperan secara aktif dalam menghitung, membayar dan melaporkan besarnya pajak yang harus dibayar ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui sistem administrasi online yang dibuat oleh pemerintah. Karena sistem ini menyerahkan wewenang kepada WP untuk menghitung, membayar, dan melaporkan, oleh karena itu WP harus memiliki sikap yang sadar untuk patuh sesuai dengan peraturan perpajakan. Selain itu, pemahaman WP terkait ketentuan yang berlaku juga diperlukan supaya jumlah pajak terutang yang dihitung sendiri sesuai jumlahnya dengan pajak terutang yang seharusnya sesuai ketentuan pajak yang berlaku.
Pemerintah dalam sistem ini berperan sebagai pengawas dari wajib pajak. Pemungutan pajak dengan Self-Assessment System dapat dilihat penerapannya pada mekanisme umum Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
b. Official Assessment System
Official assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada aparatur perpajakan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak dengan berdasar pada undang-undang atau peraturan perpajakan yang berlaku (Resmi, 2017). Sistem pemungutan ini menyerahkan segala urusan perpajakan menjadi wewenang fiskus atau aparat perpajakan sebagai pemungut pajak. Pihak pemungut pajak berhak untuk menentukan besarnya utang pajak WP orang pribadi atau badan dengan mengeluarkan surat ketetapan pajak. WP hanya perlu menunggu surat ketetapan pajak untuk kemudian membayarkan pajak sesuai jumlah yang telah ditentukan.
Sistem pemungutan pajak ini diterapkan pada Pajak Bumi Bangunan (PBB). Dalam mekanisme PBB, besarnya pajak terutang didasarkan pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebagai kantor perwakilan Direktorat Jenderal Pajak yang berkedudukan di pemerintahan daerah.
c. Withholding System
Withholding system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga (yang ditunjuk secara khusus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang dengan berdasar pada undang-undang atau peraturan perpajakan yang berlaku (Resmi, 2017). Pada sistem ini proses perhitungan dan pembayaran pajak terutang menjadi tanggung jawab pihak ketiga. Sistem pemungutan pajak ini dapat dilihat pada sistem pemotongan dan pemungutan misalnya pada pemotongan PPh pasal 21 karyawan, pemungutan PPh pasal 22, pemungutan PPh Pasal 23, dan pemungutan PPN oleh pemungut PPN (Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kontraktor dan bendaharawan pemerintah). Jadi WP tidak perlu lagi untuk pergi membayarkan pajak tersebut dan hanya perlu melaporkannya pada Surat Pemberitahuan (SPT).
B. Akuntansi Pajak
Akuntansi pajak merupakan bagian dari akuntansi yang diterapkan sesuai dengan peraturan perpajakan yang ada di Indonesia. Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan No 171/PMK.05/2007, akuntansi merupakan serangkaian
prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan. Dengan demikian, akuntansi pajak dapat diartikan sebagai proses mencatat, meringkas transaksi yang berhubungan dengan pajak dan berakhir dengan membuat laporan keuangan. Menurut Xxxxx dan Estralita (2012), akuntansi pajak merupakan bagian dari akuntansi komersial yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan digunakan untuk mencatat transaksi yang berhubungan dengan perpajakan.
Pada dasarnya akuntansi pajak dan komersial memiliki perbedaan. Hal ini terjadi karena perbedaan prinsip akrual dan realisasi dalam asas pembukuan, perbedaan metode penyusutan, amortisasi dan kompensasi kerugian fiskal. Karena hal tersebut maka terjadi perbedaan yang bersifat tetap dan temporer.
1. Perbedaan Tetap
Perbedaan tetap adalah perbedaan yang timbul sebagai akibat adanya perbedaan pengakuan beban dan pendapatan menurut akuntansi dan fiskal yang sifatnya tetap (Agoes dan Xxxxxxxxx, 0000). Xxxxxxxxx tetap akan berakibat pada laba/rugi komersial dan laba fiskal sebagai dasar menghitung pajak yang terutang.
Contoh perbedaan tetap adalah pemberian natura atau kenikmatan untuk karyawan. Undang-undang perpajakan pasal 4 ayat 2 tentang pajak final mengatur bahwa natura atau kenikmatan bukanlah penghasilan bagi karyawan tetapi juga tidak dapat dikurangkan untuk dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan. Hal tersebut berakibat
jumlah laba fiskal akan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan laba komersial.
2. Perbedaan Temporer
Perbedaan temporer adalah perbedaan yang terjadi karena perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi dan pajak dalam beberapa hal seperti akrual dan realisasi, penyusutan dan amortisasi, penilaian persediaan dan kompensasi kerugian fiskal (Agoes dan Xxxxxxxxx, 0000). Xxxxxxxxx perlakuan ini mewajibkan perusahaan untuk melakukan penyesuaian laba menurut akuntansi dengan ketentuan perpajakan atau yang disebut dengan koreksi fiskal. Informasi laba yang muncul pada laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan merupakan angka-angka yang telah disesuaikan untuk kepentingan perpajakan maupun pertanggungjawaban kepada stakeholders dalam satu laporan keuangan.
Contoh perbedaan temporer adalah perbedaan dalam metode penyusutan aset tetap. Undang-Undang Perpajakan Xx. 00 xxxxx 0000 xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx hanya memperbolehkan metode penyusutan dengan garis lurus (straight line method) dan saldo menurun (double decline method) dengan masa manfaat dan tarif yang telah diatur berdasarkan pengelompokan harta. Sedangkan dalam akuntansi komersial terdapat lebih banyak pilihan metode yang dapat diterapkan seperti, metode garis lurus (straight line method), metode jumlah angka tahun (sum of the year digit method), metode saldo menurun atau saldo
menurun ganda (declining/double declining balance method), metode jasa jam (service hours method) dan metode unit produksi (productive output method) (Waluyo, 2012). Secara keseluruhan beban penyusutan menurut akuntansi atau perpajakan berjumlah sama hanya saja jumlah alokasi tiap tahunnya berbeda.
Dalam PSAK 46 dijelaskan bahwa perbedaan temporer adalah perbedaan jumlah tercatat aset atau liabilitas dalam laporan posisi keuangan dan DPP. Perbedaan temporer dibagi menjadi dua jenis yaitu perbedaan temporer kena pajak dan perbedaan temporer yang dapat dikurangkan. Secara rinci perbedaan tersebut dibahas sebagai berikut:
a. Perbedaan Temporer Kena Pajak
PSAK 00 xxxxxxxxxxx xxxxx xxxxxxx xxxxxxxxx temporer kena pajak diakui sebagai liabilitas pajak tangguhan kecuali yang timbul dari:
1) pengakuan awal goodwill atau
2) pengakuan awal aset atau liabilitas yang:
a) bukan kombinasi bisnis dan,
b) pada saat transaksi tidak mempengaruhi laba akuntansi atau laba kena pajak (rugi pajak)
Pengakuan aset mengandung makna bahwa jumlah tercatat aset tersebut akan terpulihkan dalam bentuk manfaat ekonomi yang akan didapatkan perusahaan pada periode masa depan. Apabila jumlah aset lebih besar dibandingkan dasar pengenaan pajaknya
(DPP), maka jumlah manfaat ekonomi kena pajak akan melebihi jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan pajak. Perbedaan ini merupakan perbedaan temporer kena pajak dan kewajiban untuk membayar pajak penghasilan pada periode masa depan yang dihasilkan merupakan liabilitas pajak tangguhan. Ketika perusahaan memulihkan jumlah tercatat aset, maka perbedaan temporer kena pajak akan terealisasi menjadi laba kena pajak. Hal ini membuat kemungkinan besar bahwa manfaat ekonomi akan mengalir dari entitas dalam bentuk pembayaran pajak.
Beberapa perbedaan temporer timbul ketika penghasilan atau beban diakui dalam perhitungan laba akuntansi pada periode yang berbeda dengan periode penghasilan atau beban tersebut diakui dalam perhitungan kena pajak. Contohnya adalah pendapatan bunga, penyusutan, dan biaya pengembangan. Selain itu aset teridentifikasi yang diperoleh dan liabilitas yang diambil alih dalam kombinasi bisnis diakui pada nilai wajar namun tidak ada penyesuaian setara yang dibuat untuk tujuan pajak juga menyebabkan perbedaan temporer. Perbedaan temporer juga muncul karena aset direvaluasi dan tidak dilakukan penyesuaian setara yang dibuat untuk tujuan pajak.
b. Perbedaan Temporer Dapat Dikurangkan
PSAK 46 menjelaskan aset pajak tangguhan diakui untuk seluruh perbedaan temporer yang dapat dikurangkan sepanjang
kemungkinan besar laba kena pajak akan tersedia sehingga perbedaan temporer dapat dimanfaatkan untuk mengurangi laba yang dimaksud, kecuali jika aset pajak tangguhan timbul dari pengakuan awal aset atau liabilitas dalam transaksi yang:
1) Bukan kombinasi bisnis dan
2) Pada saat transaksi tidak mempengaruhi laba akuntansi atau laba kena pajak (rugi pajak)
Pengakuan liabilitas mengandung makna bahwa jumlah tercatat liabilitas akan diselesaikan di periode masa depan dengan aliran sumber daya yang mengandung manfaat ekonomi. Ketika sumber daya tersebut digunakan untuk menyelesaikan liabilitas, sebagian atau seluruh jumlah sumber daya tersebut dapat dikurangkan dari laba kena pajak pada periode setelah pengakuan liabilitas.
Perbedaan temporer pada kasus ini adalah selisih antara jumlah tercatat liabilitas dan DPPnya. Karena hal tersebut maka timbul aset pajak tangguhan berupa pajak penghasilan yang dapat dipulihkan di periode masa depan, yaitu saat bagian dari liabilitas tersebut dapat dikurangkan dalam perhitungan laba kena pajak. Jika jumlah tercatat aset lebih rendah daripada DPPnya, maka selisihnya merupakan aset pajak tangguhan berupa pajak penghasilan yang dapat dipulihkan di periode masa depan. Contoh dari perbedaan temporer yang dapat dikurangkan yang menghasilkan aset pajak tangguhan adalah biaya imbalan pasca kerja, biaya riset, aset teridentifikasi yang diperoleh
dan liabilitas yang diambil alih dalam proses kombinasi bisnis dengan nilai wajar pada tanggal akuisisi, dan aset tertentu yang mungkin dicatat pada nilai wajar atau direvaluasi tanpa penyesuaian setara yang dibuat untuk tujuan pajak akan dapat dikurangkan jika DPP aset melebihi jumlah tercatatnya.
Pembalikan perbedaan temporer dapat dikurangkan menghasilkan pengurangan dalam menentukan laba kena pajak periode masa depan. Akan tetapi, manfaat ekonomi berupa pengurangan pembayaran pajak hanya akan dinikmati perusahaan jika memiliki laba kena pajak dalam jumlah yang memadai sehingga realisasi tersebut dapat dimanfaatkan. Karena hal tersebut, entitas mengakui aset pajak tangguhan hanya jika kemungkinan besar laba kena pajak akan tersedia dalam jumlah yang memadai, sehingga perbedaan temporer ini dapat dimanfaatkan. Dalam proses menilai apakah laba kena pajak akan tersedia sehingga perusahaan dapat memanfaatkan perbedaan temporer ini, perusahaan mempertimbangkan apakah peraturan pajak membatasi sumber laba kena pajak yang dapat dikurangkan pada saat pembalikan perbedaan temporer dapat dikurangkan.
3. Rekonsiliasi (Koreksi) Fiskal
Rekonsiliasi (koreksi) fiskal merupakan proses penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan perpajakan untuk menghasilkan
penghasilan atau laba yang sesuai dengan ketentuan perpajakan (Agoes dan Estralita, 2012). Laba fiskal yang didapatkan dari proses koreksi fiskal akan digunakan perusahaan sebagai dasar perhitungan pajak penghasilan (PPh) dan pelaporan pajak. Selain hal tersebut, koreksi fiskal juga dilakukan supaya perusahaan cukup membuat satu laporan keuangan berdasarkan PSAK dan telah disesuaikan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan sifatnya, koreksi fiskal dibagi menjadi dua:
a. Koreksi Fiskal Positif
Koreksi fiskal positif terjadi apabila laba menurut fiskal bertambah (Agoes dan Estralita, 2012). Hal tersebut disebabkan adanya biaya-biaya yang tidak diperkenankan oleh peraturan perpajakan sebagaimana ada diatur dalam Undang-Undang Perpajakan Xx. 00 xxxxx 0000 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx Pasal 9. Koreksi fiskal positif dilakukan akibat adanya:
1) Beban yang tidak diakui oleh pajak (non-deductible expense),
2) Penyusutan komersial lebih besar dibandingkan penyusutan fiskal,
3) Amortisasi komersial lebih besar dibandingkan amortisasi fiskal,
Karena biaya-biaya yang tidak boleh diakui ini, laba yang diakui menjadi lebih besar dari laba yang sebenarnya diperoleh perusahaan pada periode tersebut. Kondisi ini menyebabkan laba
kena pajak menjadi naik dan menyebabkan beda temporer yang dapat dikurangkan.
b. Koreksi Fiskal Negatif
Koreksi fiskal negatif terjadi apabila laba menurut fiskal berkurang (Agoes dan Estralita, 2012). Koreksi fiskal negatif biasanya dilakukan akibat adanya:
1) Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak,
2) Penghasilan yang dikenakan pajak final,
3) Penyusutan komersial lebih kecil dibandingkan penyusutan fiskal,
4) Amortisasi komersial lebih kecil dibandingkan amortisasi fiskal,
5) Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya.
Karena koreksi fiskal negatif, pendapatan komersial menjadi lebih besar dibandingkan pendapatan fiskal. Selain itu, biaya-biaya komersial lebih kecil dibandingkan biaya-biaya fiskal. Lebih besarnya biaya dan kecilnya pendapatan ini menjadikan laba kena pajak turun. Hal tersebut akan menyebabkan beda temporer kena pajak.
4. Akuntansi Pajak Penghasilan (Berdasarkan PSAK 46)
Akuntansi pajak penghasilan membedakan laba menjadi dua yaitu laba komersial dan laba fiskal. Laba komersial merupakan laba yang
dihitung dengan menggunakan prinsip akuntansi yang tertuang pada PSAK, sedangkan laba fiskal adalah laba yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan (Agoes dan Estralita, 2012). PSAK 46 diterapkan dalam pembuatan laporan keuangan guna memenuhi kepentingan baik stakeholders maupun institusi perpajakan.
Dalam penyusunan laporan keuangan, perbedaan temporer mendapat perhatian khusus karena perusahaan perlu dilakukan penyesuaian melalui rekonsiliasi (koreksi fiskal) untuk kemudian laporan keuangan dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban kepada stakeholders juga sebagai dasar untuk kepentingan pelaporan pajak.
Beban pajak penghasilan terdiri dari beban pajak kini dan beban pajak tangguhan atau manfaat (penghasilan) pajak tangguhan. PSAK 46 menjelaskan bahwa seluruh perbedaan temporer kena pajak diakui sebagai liabilitas pajak tangguhan. Agoes dan Estralita (2012) menjelaskan bahwa liabilitas pajak tangguhan timbul apabila perbedaan temporer menyebabkan koreksi negatif yang akan menimbulkan beban ekonomi di masa yang akan datang. Beban tersebut terjadi karena beban pajak menurut akuntansi lebih besar dibanding menurut peraturan perpajakan. Hal ini menyebabkan perusahaan masih harus mengeluarkan sumber daya ekonomi di masa depan untuk melunasi beban pajak yang masih kurang dibayar akibat perbedaan temporer. Dengan demikian perusahaan juga harus mengakui adanya beban pajak tangguhan pada laporan keuangannya.
Aset pajak tangguhan diakui untuk seluruh perbedaan temporer dapat dikurangkan sepanjang kemungkinan besar laba kena pajak akan tersedia sehingga perbedaan temporer dapat dimanfaatkan untuk mengurangi laba kena pajak (PSAK 46). Selain perbedaan temporer yang dapat dikurangkan, aset pajak tangguhan juga muncul akibat adanya akumulasi rugi pajak belum dikompensasi dan akumulasi kredit pajak belum dimanfaatkan. Menurut Xxxxx dan Estralita (2012), aset pajak tangguhan timbul apabila perbedaan temporer menyebabkan koreksi positif. Kondisi ini akan membuat laba yang diakui menjadi lebih besar dari kondisi yang sesungguhnya. Karena hal tersebut perusahaan mengakui beban pajak menurut akuntansi lebih kecil dibanding menurut peraturan pajak. Akibat dari kondisi tersebut, perusahaan akan mendapat manfaat ekonomi di masa yang akan datang dan harus diakui pada laporan keuangannya.
a. Pencatatan dan Penyajian
Pengakuan aset pajak tangguhan dan beban pajak tangguhan dilakukan terhadap rugi fiskal yang dapat dikompensasi dan beda temporer antara laporan keuangan komersial dengan fiskal yang dikenakan pajak, dikalikan dengan tarif pajak yang berlaku (Agoes dan Estralita, 2012). Pencatatan aset pajak tangguhan dilakukan dengan jurnal; aset pajak tangguhan pada debit (D) dan manfaat (penghasilan) pajak tangguhan pada kredit (K). Sedangkan pencatatan beban pajak tangguhan dilakukan dengan jurnal; beban
pajak tangguhan pada debit (D) dan liabilitas pajak tangguhan pada kredit (K).
C. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan (firm size) adalah merupakan suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya menurut berbagai cara seperti total modal, total aset dan pendapatan (Hartono,2013). Semakin besar ketiga hal tersebut menunjukkan kondisi perusahaan yang semakin kuat (Xxxxxxx, 2007). Pada penelitian sebelumnya, total aset digunakan menjadi indikator dalam ukuran perusahaan. Hal ini disebabkan total aset dinilai lebih stabil dibanding indikator yang lainnya. Penggunaan aset untuk mengukur ukuran perusahaan juga berhubungan dengan adanya aset lancar dan aset tetap pada suatu perusahaan. Aset tetap memiliki kaitan dengan adanya depresiasi yang harus dilakukan. Metode dalam melakukan depresiasi aset tetap akan mempengaruhi jumlah laba periode dan hal tersebut juga secara khusus diatur dalam peraturan perpajakan.
Menurut Undang-Undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, ukuran perusahaan dapat diklasifikasikan menjadi dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Xxxxx Xxxxx
Merupakan usaha produktif milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memiliki aset (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) maksimal Rp 50.000.000 dan penjualan tahunan maksimal Rp 300.000.000.
2. Usaha Kecil
Merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar. Yang termasuk dalam usaha kecil memiliki aset (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) lebih dari Rp 50.000.000 – Rp 500.000.000 dan penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 – Rp 2.500.000.000.
3. Usaha Menengah
Merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha kecil atau usaha besar. Usaha yang masuk dalam kategori usaha menengah memiliki aset (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) lebih dari Rp 500.000.000 – Rp 10.000.000.000 dan penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000 – Rp 50.000.000.000.
4. Usaha Besar
Merupakan usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah aset atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari usaha menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha asing yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia dan
usaha patungan. Usaha yang masuk dalam kategori usaha besar memiliki aset (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) lebih dari Rp 10.000.000.000 dan penjualan tahunan lebih dari Rp 50.000.000.000.
Untuk mengetahui seberapa besar ukuran perusahaan, terdapat indikator untuk menentukannya. Menurut Xxxxxxx (2013), ukuran perusahaan diukur dengan logaritma natural (Ln) dari total aset. Hal ini dikarenakan besarnya total aset masing-masing perusahaan berbeda dan bahkan memiliki selisih yang besar sehingga menyebabkan nilai yang ekstrim.
D. Manajemen Laba
1. Definisi Manajemen Laba
Laporan keuangan berisi berbagai informasi mengenai perusahaan. Salah satu informasi yang penting dan banyak mendapatkan perhatian pihak internal perusahaan adalah laba. Meskipun laba bukan satu-satunya informasi yang tersedia, laba sering menjadi dasar pembuatan keputusan stakeholders. Karena kecenderungan berfokus pada informasi laba sebagai dasar pembuatan keputusan, pihak manajemen memanfaatkannya untuk memanipulasi laporan laba dengan menggunakan kebebasan memilih kebijakan akuntansi yang ada. Dalam menyusun laporan keuangan, pihak manajemen diperbolehkan untuk memilih metode akuntansi yang digunakan selama metode tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku. Pemilihan metode akuntansi yang secara
sengaja dengan tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba (Xxxxx dkk., 2005 dalam Aditama, 2013)
Manajemen laba adalah suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi (Xxxxxxxx, 1989 dalam Xxxxxxxxxxx, 2008). Intervensi dalam konteks ini adalah upaya pihak manajemen untuk mengelabui stakeholder yang membutuhkan informasi tentang kinerja dan kondisi perusahaan. Selain Xxxxxxxx, manajemen laba juga dijelaskan Xxxxx (2015) sebagai pilihan manajemen terhadap kebijakan akuntansi atau tindakan nyata yang mempengaruhi laba guna mencapai beberapa tujuan laba yang akan dilaporkan. Dari kedua pengertian manajemen laba, terlihat bahwa manajemen laba merupakan aktivitas “mempengaruhi” laporan keuangan. Cara yang digunakan manajemen laba tentunya juga beragam. Dapat dengan memanipulasi data atau informasi keuangan maupun dengan pemilihan metode yang tidak melanggar SAK yang berlaku yang pada muaranya bertujuan untuk memperoleh keuntungan.
2. Teori yang Menjelaskan Praktik Manajemen Laba
Munculnya praktik manajemen laba yang dilakukan pihak manajemen dapat dijelaskan oleh dua teori yaitu agency theory (teori keagenan) dan positive accounting theory (teori akuntansi positif).
a. Agency Theory (Teori Keagenan)
Supriyono (2018) mendefinisikan teori keagenan sebagai hubungan antara prinsipal (pemilik) dan agen (manajer) dimana prinsipal mengontrak agen untuk bekerja demi kepentingan atau tujuan prinsipal. Pemegang saham atau pemilik merupakan prinsipal yang menyediakan fasilitas dan dana untuk kebutuhan operasional perusahaan. Mereka juga mendelegasikan wewenang untuk pengambilan keputusan bisnis kepada pihak manajemen yang merupakan perwakilan atau agen.
Hubungan antara prinsipal dan agen tentunya mengalami konflik. Xxxxxx, et. al. (2012) menjelaskan bahwa salah satu asumsi utama dari teori keagenan adalah bahwa agen tidak selalu bertindak sesuai yang dikehendaki prinsipal. Perbedaan tujuan antara prinsipal dan agen ini dapat menimbulkan konflik. Sebagai contoh, pihak prinsipal termotivasi untuk mensejahterakan dirinya sendiri melalui pembagian dividen atau kenaikan harga saham perusahaan, sedangkan pihak agen termotivasi untuk meningkatkan kompensasi atau bonus.
Konflik karena perbedaan kepentingan ini akan meningkat ketika pihak prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kondisi perusahaan dan kinerja agen karena adanya keterbatasan dalam memonitor aktivitas agen. Lain halnya dengan agen, karena adanya delegasi wewenang yang diberikan sebagai pelaksana operasional bisnis perusahaan, agen memiliki lebih banyak informasi. Kesenjangan jumlah informasi yang dimiliki prinsipal dan agen yang terjadi dikenal
sebagai asimetri informasi. Karena adanya asimetri informasi dan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen, agen akan cenderung menyembunyikan informasi dan menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada prinsipal, terutama informasi mengenai pengukuran kinerja agen.
b. Positive Accounting Theory (Xxxxx Xxxxxxxxx Positif)
Teori akuntansi positif ini dipelopori oleh Xxxxx dan Xxxxxxxxx (1986) menjelaskan bahwa faktor-faktor ekonomi tertentu dapat dikaitkan dengan perilaku manajer atau pembuat laporan keuangan. Waluyo (2016) menjelaskan bahwa teori akuntansi positif merupakan bagian dari teori agensi karena dalam teori ini mengakui adanya tiga hubungan keagenan yang tercermin dalam hipotesisnya. Hipotesis tersebut diantaranya:
1) The Bonus Plan Hypothesis
Perusahaan yang memiliki rencana bonus atau kompensasi, pihak manajemen akan cenderung memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat mempermainkan besar kecilnya angka-angka akuntansi dalam laporan keuangan. Hal tersebut dilakukan supaya pihak manajemen memperoleh bonus yang maksimal karena kinerja pihak manajemen salah satunya diukur dengan besarnya tingkat laba yang diperoleh perusahaan.
2) The Debt-to-Equity Hypothesis (Debt Covenant Hypothesis)
Hipotesis ini berkaitan dengan syarat yang harus dipenuhi perusahaan dalam perjanjian utang. Perjanjian utang tersebut memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi perusahaan sebagai peminjam selama masa perjanjian. Namun ketika perusahaan mulai terindikasi melanggar perjanjian utang, maka pihak manajemen perusahaan akan berusaha menghindari hal itu terjadi dengan memilih metode-metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba (income increasing).
3) The Political Cost
Perusahaan ketika berhadapan dengan biaya politik, akan cenderung memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat memperkecil laba dengan tujuan untuk meminimalkan biaya politik yang harus mereka tanggung. Biaya politik meliputi semua biaya yang harus ditanggung perusahaan yang berkaitan dengan regulasi pemerintah, subsidi, pajak dan lain sebagainya.
3. Motivasi Manajemen Laba
Pihak manajemen tentunya melakukan manajemen laba tidak terlepas dari adanya motivasi. Xxxxx (2000) mengemukakan bahwa terdapat beberapa motivasi yang mendorong pihak manajemen melakukan manajemen laba. Motivasi tersebut diantaranya:
a. Bonus Purpose (Motivasi Bonus)
Perusahaan menggunakan kebijakan pemberian bonus atau kompensasi untuk memacu dan berharap adanya peningkatan pada kinerja karyawan (dalam konteks ini pihak manajemen). Karena laba sering kali dijadikan indikator dalam menilai kinerja pihak manajemen yang harus dicapai dalam periode tertentu. Karena itu, pihak manajemen akan berupaya mengatur laba yang dilaporkan agar dapat memaksimalkan bonus atau kompensasi yang akan diterimanya.
b. Other Contractual Motivation (Motivasi Kontraktual Lainnya) Pihak manajemen memiliki kecenderungan untuk memilih metode- metode akuntansi yang dapat memenuhi kewajiban kontraktual yang harus dipenuhi. Apabila perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, perusahaan akan menerima sanksi. Oleh karena itu, pihak manajemen melakukan manajemen laba untuk memenuhi perjanjian.
c. Political Motivation (Motivasi Politik)
Perusahaan yang tergolong dalam perusahaan besar dan termasuk dalam industri strategis akan cenderung menjadi perusahaan monopoli. Perusahaan akan melakukan manajemen laba untuk mengurangi visibility-nya dengan menggunakan metode-metode akuntansi untuk menurunkan tingkat laba bersih yang dilaporkan.
d. Taxation Motivation (Motivasi Pajak)
Pihak manajemen termotivasi untuk melakukan manajemen laba untuk mempengaruhi besarnya jumlah pajak yang harus dibayarkan perusahaan kepada negara dengan cara menurunkan laba untuk mengurangi beban pajak yang harus dibayarkan.
e. Chief Executive Officer (Pergantian CEO)
Motivasi melakukan manajemen laba akan muncul di sekitar waktu pergantian CEO. Hal ini terjadi karena CEO yang akan diganti melakukan pendekatan strategi dengan cara memaksimalkan laba supaya di akhir jabatannya kinerjanya dinilai baik.
f. Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang pertama kali akan melakukan go public belum memiliki nilai pasar. Karena hal tersebut, pihak manajemen akan melakukan manajemen laba pada laporan keuangannya dengan tujuan dapat menaikkan harga saham perusahaan pada saat IPO.
g. Communicate Information to Investors (Pemberian Informasi kepada Investor)
Pihak manajemen melakukan manajemen laba agar laporan keuangan perusahaan yang akan disajikan untuk investor terlihat baik. Hal ini disebabkan karena investor memiliki kecenderungan untuk melihat laporan keuangan untuk menilai perusahaan. Pada umumnya investor akan melihat laba yang ada pada laporan saat ini untuk
meninjau kemungkinan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
4. Jenis Manajemen Laba
Pemilihan metode akuntansi harus dilakukan dengan baik oleh pihak manajemen dalam rangka melakukan manajemen laba. Karena itu, pihak manajemen harus memiliki strategi supaya manajemen laba yang dilakukan jangan sampai diketahui pihak luar. Strategi yang akan diambil pihak manajemen berhubungan erat dengan jenis manajemen laba yang akan dilakukan. Xxxxx (2000) mengemukakan terdapat beberapa jenis manajemen laba, diantaranya:
a. Taking a Bath
Taking a bath biasanya terjadi pada saat reorganisasi perusahaan seperti pergantian CEO baru. Manajemen laba jenis ini mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian pada periode berjalan sehingga mengharuskan pihak manajemen untuk membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang. Akibat hal tersebut, laba periode berikutnya akan lebih tinggi dari yang semestinya.
b. Income Minimization
Income minimization atau meminimalkan laba dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba periode mendatang diperkirakan akan turun, hal tersebut dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
c. Income Maximization
Income maximization atau memaksimalkan laba dilakukan supaya kinerja perusahaan terlihat baik terlepas dari bagaimana kondisi nyata perusahaan. Manajemen laba jenis ini biasanya dilakukan pada perusahaan yang menentukan bonus atau kompensasi manajemen berdasarkan laba yang dihasilkan, atau perusahaan yang sedang menghadapi kesepakatan utang atau kredit dan perusahaan yang akan melakukan penawaran perdananya di pasar modal (IPO).
d. Income Smoothing
Income smoothing atau perataan laba merupakan bentuk manajemen laba yang paling sering digunakan. Pihak manajemen melakukan perataan laba untuk mengurangi tingkat fluktuasi laba sehingga perusahaan terlihat lebih stabil dan tidak beresiko tinggi. Jika perusahaan terlihat stabil dan tidak beresiko tinggi, investor akan tertarik menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut.
5. Pengukuran Manajemen Laba
Pengukuran manajemen laba pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model Xxxxx dimodifikasi oleh Xxxxxx (modified Jones model). Model ini merupakan modifikasi dari model Xxxxx sebelumnya yang didesain untuk mengeliminasi kecenderungan untuk menggunakan perkiraan yang bisa salah dari model Xxxxx untuk menentukan discretionary accrual (DA) ketika discretionary dilakukan terhadap pendapatan. Xxxxxxxxxxx (2008) menjelaskan discretionary accrual sebagai komponen
akrual hasil rekayasa manajerial dengan memanfaatkan kebebasan dan keleluasaan dalam estimasi dan pemakaian standar akuntansi. Sedangkan non-discretionary accrual adalah komponen akrual yang diperoleh secara alamiah dari dasar pencatatan akrual dengan mengikuti standar akuntansi yang diterima umum.
Kelebihan dari modified Jones model adalah memecah total akrual menjadi empat komponen utama yaitu discretionary current accrual, discretionary long-term accrual, non-discretionary current accrual dan non-discretionary long-term accrual (Xxxxxxxxxxx, 2008). Discretionary current accrual dan non-discretionary current accrual adalah akrual dari aset lancar, sedangkan discretionary long-term accrual dan non- discretionary long-term accrual berasal dari aset tidak lancar.
Terdapat beberapa tahap pengukuran dalam modified Jones model yang dimulai dari mencari jumlah total akrual pada suatu periode, selanjutnya menentukan koefisien dan regresi akrual. Langkah selanjutnya adalah menentukan nilai non-discretionary accrual (NDA) dan menentukan nilai discretionary accrual (DA).
E. Kerangka Konseptual
1. Pengaruh Beban Pajak Tangguhan Terhadap Manajemen Laba
Beban pajak tangguhan merupakan akibat dari beda temporer kena pajak yang akan mempengaruhi jumlah laba yang diakui pada suatu periode. Beban pajak tangguhan menyebabkan jumlah laba menurut komersial lebih
besar dibanding jumlah laba menurut fiskal. Perusahaan yang mengakui adanya beban pajak tangguhan pada periode berjalan harus mengakui liabilitas pajak tangguhan dalam laporan keuangan. Beban pajak tangguhan dilakukan dengan menggeser pengakuan beban pajak periode berjalan ke masa depan. Metode yang paling banyak dilakukan adalah dengan memperpanjang umur ekonomi suatu aset tetap, sehingga jumlah beban depresiasi setiap tahun yang diakui cenderung lebih kecil jumlahnya. Pihak manajemen sebagai pihak yang memiliki campur tangan dalam pembuatan laporan keuangan dan akses informasi yang lebih banyak dibandingkan pihak lain akan cenderung memanfaatkan beban pajak tangguhan untuk mencetak jumlah laba akuntansi yang besar. Karena mengurangi atau menunda pengakuan beban, laba periode berjalan menjadi maksimal untuk kepentingan pelaporan keuangan komersial dan penundaan pengeluaran sumber daya ekonomi guna melunasi kurang bayar pajak akibat perbedaan pengakuan.
2. Pengaruh Aset Pajak Tangguhan Terhadap Manajemen Laba
Aset pajak tangguhan merupakan akibat dari beda temporer yang dapat dimanfaatkan. Akibatnya jumlah laba fiskal lebih besar dibanding laba komersial pada suatu periode. Perusahaan yang mengakui adanya aset pajak tangguhan harus mengakui adanya manfaat pajak tangguhan pada laporan keuangannya. Metode yang banyak digunakan untuk dapat memanfaatkan asset pajak tangguhan dilakukan dengan memperpendek umur ekonomi suatu aset. Dengan semakin pendeknya umur ekonomi suatu aset, maka
semakin besar beban depresiasi pada tahun awal pengakuannya, namun pada akhirnya nanti semakin kecil beban depresiasi yang diakui. Pihak manajemen memilih untuk membayar lebih banyak pada masa sekarang, namun semakin kecil di masa depan dengan manfaat yang akan diterima juga pada masa depan. Manfaat ini berupa manfaat ekonomis yang dapat dikurangkan dari pajak yang harus dibayarkan selama jumlahnya ada untuk direalisasi. Karena sumber daya ekonomi yang seharusnya digunakan untuk membayar pajak dapat diminimalisir dengan memanfaatkan aset pajak tangguhan, maka pihak manajemen perusahaan dapat memaksimalkan jumlah laba yang didapat pada periode tersebut.
3. Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen Laba
Ukuran perusahaan merupakan skala yang dapat diukur dengan berbagai cara, namun cara yang paling umum digunakan untuk mengukur ukuran perusahaan ialah total aset. Adanya aset tetap pada komponen total aset akan dipengaruhi oleh depresiasi atau amortisasi. Depresiasi atau amortisasi yang dilakukan menurut metode akuntansi yang dipilih pihak manajemen akan berbeda jumlahnya dengan menurut peraturan perpajakan. Semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar juga kewajiban pihak manajemen untuk memberi pertanggungjawaban kepada stakeholder melalui laporan keuangan. Karena tanggungjawab yang besar, pihak manajemen akan semakin berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan. Hal ini membuat semakin kecil kemungkinan pihak manajemen untuk melakukan manajemen laba.
F. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang menggunakan variabel beban pajak tangguhan, aset pajak tangguhan dan ukuran perusahaan sebagai variabel independen serta manajemen laba sebagai variabel dependen pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Astutik dan Titik (2016) dengan judul Pengaruh Perencanaan Pajak dan Beban Pajak Tangguhan Terhadap Manajemen Laba menggunakan perusahaan manufaktur bidang food and beverages yang terdaftar di BEI periode 2012-2014 sebagai objek penelitian. Data yang dikumpulkan kemudian diuji dengan menggunakan uji regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan Fitriany (2016) dengan judul Pengaruh Aset Pajak Tangguhan, Beban Pajak Tangguhan dan Perencanaan Pajak terhadap Manajemen Laba menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2011-2013 sebagai objek penelitian. Data yang dikumpulkan kemudian diuji dengan menggunakan uji regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aset pajak tangguhan dan perencanaan pajak berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba sedangkan beban pajak tangguhan tidak berpengaruh.
Penelitian yang dilakukan Wardani dan Desifa (2018) dengan judul Pengaruh Tax Planning, Ukuran Perusahaan dan Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Manajemen Laba menggunakan perusahaan
manufaktur sub sektor makanan dan minuman yang terdaftar di BEI periode 2012-2016 sebagai objek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tax planning tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, sedangkan ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba dan CSR berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan Xxxxx (2018) dengan judul Pengaruh Tax Planning, Beban Pajak Tangguhan dan Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba menggunakan perusahaan industri barang konsumsi yang terdaftar di BEI periode 2012-2016 sebagai objek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tax planning dan ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba sedangkan beban pajak tangguhan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan Putra dan Kurnia (2019) dengan judul Pengaruh Aset Pajak Tangguhan, Beban Pajak Tangguhan dan Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba menggunakan perusahaan manufaktur bidang food and beverage yang terdaftar di BEI periode 2016-2017 sebagai objek penelitian. Data yang dikumpulkan kemudian diuji dengan menggunakan uji regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aset pajak tangguhan berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba sedangkan beban pajak tangguhan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba dan perencanaan pajak tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
G. Pengembangan Hipotesis
1. Pengaruh Beban Pajak Tangguhan Terhadap Manajemen Laba
Beban pajak tangguhan terjadi akibat perbedaan temporer kena pajak. Perbedaan temporer ini menyebabkan adanya perbedaan jumlah laba yang dilaporkan secara akuntansi dan fiskal. Pihak manajemen sebagai pihak yang memiliki akses informasi lebih banyak dan berwenang pada proses pelaporan keuangan perusahaan akan cenderung melakukan penundaan pengakuan terhadap jumlah pajak yang terutang di tahun berjalan. Hal tersebut dilakukan karena adanya motivasi untuk memaksimalkan laba yang dihasilkan.
Dengan dilakukannya penundaan atas pengakuan pajak tahun berjalan ke masa mendatang, maka laba periode yang diperoleh dapat tercapai secara maksimal. Kinerja pihak manajemen juga akan dianggap baik. Maka semakin besar jumlah beban pajak tangguhan, dapat menjadi indikasi semakin besar juga manajemen laba yang dilakukan.
Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan Putra dan Kurnia (2019) menunjukkan hasil beban pajak tangguhan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Namun hasil penelitian yang dilakukan Astutik dan Titik (2016) menunjukkan hasil beban pajak tangguhan berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Hasil ini sejalan dengan konsep yang dijelaskan sebelumnya. Pihak manajemen memiliki kecenderungan untuk melakukan manajemen laba dengan menghindari pengakuan beban pajak berjalan dalam laporan keuangan untuk tujuan memaksimalkan laba periode. Karena
penundaan pengakuan tersebut, jumlah beban pajak tangguhan yang diakui semakin besar. Semakin besarnya jumlah beban pajak tangguhan, dapat mengindikasikan semakin besar juga kemungkinan perusahaan melakukan manajemen laba.
Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Ha1 = Beban pajak tangguhan berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
2. Pengaruh Aset Pajak Tangguhan Terhadap Manajemen Laba
Aset pajak tangguhan muncul karena adanya perbedaan temporer yang dapat dikurangkan. Perbedaan temporer yang dapat dikurangkan menyebabkan adanya perbedaan jumlah laba yang dilaporkan secara akuntansi dan fiskal. Pihak manajemen sebagai pihak yang memiliki informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain dan wewenang atas penyusunan laporan keuangan akan cenderung memanfaatkan aset pajak tangguhan. Dengan diakuinya aset pajak tangguhan, perusahaan juga harus mengakui adanya manfaat pajak tangguhan. Manfaat pajak tangguhan yang diakui akan memberikan manfaat ekonomi pada perusahaan.
Manfaat ekonomi tersebut berupa pengurangan jumlah pajak yang harus dibayarkan. Hal tersebut membuat perusahaan tidak perlu untuk mengeluarkan sumber daya ekonomi pada periode saat jumlah aset pajak tangguhan ada untuk direalisasi. Dengan adanya manfaat dari aset pajak tangguhan, perusahaan dapat meminimalisir jumlah sumber daya ekonomi yang mengalir dari perusahaan. Sehingga dengan hal tersebut, pihak
manajemen dapat memaksimalkan jumlah laba yang diperoleh. Karena laba yang diperoleh dapat maksimal, maka kinerja pihak manajemen juga dianggap baik. Maka semakin besar jumlah aset pajak tangguhan, dapat menjadi indikasi semakin besar kemungkinan manajemen laba dilakukan.
Sejalan dengan konsep yang telah dijelaskan, penelitian Fitriany (2016) menemukan bahwa aset pajak tangguhan memiliki pengaruh positif terhadap manajemen laba. Pengaruh positif ditunjukkan dengan semakin besar jumlah aset pajak tangguhan, maka semakin besar juga manfaat ekonomi yang didapatkan perusahaan. Hal tersebut terjadi karena sifat dari aset pajak tangguhan sebagai beda temporer yang dapat dikurangkan sehingga perusahaan tidak perlu untuk mengeluarkan sumber daya ekonomi untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Putra dan Kurnia (2019) dalam penelitiannya mendapatkan hasil semakin tinggi jumlah aset pajak tangguhan, semakin tinggi indikasi perusahaan melakukan manajemen laba dengan alasan bonus yang akan diperoleh pihak manajemen dan meminimalisir keluarnya sumber daya ekonomi perusahaan.
Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Ha2 = Aset pajak tangguhan berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
3. Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen Laba
Ukuran perusahaan adalah skala ukuran yang digunakan untuk menentukan bagaimana perusahaan akan diklasifikasikan dengan melihat berbagai macam aspek yang ada di perusahaan. Aspek-aspek yang
digunakan untuk mengukur besar kecilnya seperti total modal, total aset, pendapatan maupun penjualan perusahaan. Perusahaan dengan ukuran besar memiliki tanggung jawab yang besar juga pada stakeholders. Pihak manajemen mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya perusahaan melalui laporan keuangan. Karena besarnya tanggung jawab yang ditanggung, pihak manajemen akan semakin berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan. Hal ini menjadikan minat pihak manajemen untuk melakukan manajemen laba semakin kecil. Pihak manajemen akan cenderung menekan tindakan-tindakan yang beresiko akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan termasuk manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan Xxxxx (2018) menunjukkan hasil ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Berbeda dengan hasil penelitian tersebut, Wardani dan Desifa (2018) menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap ukuran perusahaan. Hasil pengaruh negatif tersebut sejalan dengan konsep yang telah dijelaskan sebelumnya. Semakin besar tanggungjawab yang dimiliki perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, semakin meningkat juga kehati- hatian pengelolaan perusahaan karena semakin besar ukuran perusahaan, maka semakin banyak juga perhatian dari berbagai pihak. Karena hal tersebut semakin besar ukuran perusahaan, semakin kecil peluang perusahaan tersebut melakukan manajemen laba.
Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Ha3 = Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
H. Ikhtisar Pembahasan
Manajemen laba merupakan suatu tindakan intervensi yang dilakukan dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi (Xxxxxxxx, 1989 dalam Xxxxxxxxxxx, 2008). Sering kali manajemen laba terjadi karena adanya konflik kepentingan dan asimetri informasi antara pihak manajemen dengan pemilik. Karena laba merupakan salah satu indikator kinerja pihak manajemen, pihak manajemen akan berupaya untuk menyajikan laporan keuangan yang baik.
Ukuran Perusahaan (X3)
Aset Pajak Tangguhan (X2)
Xxxxxxxxx Xxxx (Y)
Beban Pajak Tangguhan (X1)
+
+
-
Gambar 2. 1 Model Penelitian
Standar akuntansi yang berlaku di Indonesia mengizinkan pihak manajemen untuk memilih metode akuntansi yang diterima secara umum dalam penyusunan laporan keuangannya. Dari sisi oportunis, kebebasan ini tentu dimanfaatkan pihak manajemen untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Karena hal tersebut, pihak manajemen akan cenderung memanfaatkan celah peraturan yang berlaku dengan memanfaatkan komponen akuntansi untuk
memainkan angka-angka dalam laporan keuangan. Di sisi lain, pihak manajemen perusahaan juga bertanggung jawab kepada para pemangku kepentingan dalam menyajikan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban. Tanggung jawab pihak manajemen akan semakin besar berbanding lurus dengan ukuran perusahaan yang dikelola. Dengan adanya hal tersebut maka pihak manajemen perusahaan akan lebih berhati-hati atau tidak agresif dalam melakukan manajemen laba.