PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN
PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN
PERIODE I TAHUN ANGGARAN 2020 NOMOR: 490-Int-KLPPM/UNTAR/IV/2020
Pada hari ini Rabu tanggal 22 bulan April tahun 2020 yang bertanda tangan dibawah ini:
1. Nama : Jap Tji Beng, Ph.D.
Jabatan : Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Alamat :Letjen S. Parman No.1, Tomang, Grogol petamburan, Jakarta Barat, 11440 Selanjutnya disebut PihakPertama
2. Nama : Andryawan, S.H., M.H. Jabatan : Dosen Tetap
Fakultas : Hukum
Alamat : Letjen S. Parman No.1, Tomang, Grogol petamburan, Jakarta Barat, 11440
Bertindak untuk diri sendiri dan atas nama anggota pelaksana Penelitian:
a. Nama : Ardy Putra, S.H., M.Kn.
Jabatan : Dosen Tidak Tetap
b. Nama : Anton Jayadi, S.H., M.H.
Jabatan : Dosen Tidak Tetap
c. Nama : Anton, S.H., M.Kn. Jabatan : Dosen Tidak Tetap
Selanjutnya disebut Pihak Kedua
Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat mengadakan Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor 490-Int-KLPPM/UNTAR/IV/2020 sebagai berikut:
Pasal 1
(1). Pihak Pertama menugaskan Pihak Kedua untuk melaksanakan Penelitian atas nama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Tarumanagara dengan judul “Peran BHP2A IDI dalam memberikan Perlindungan Hukum terhadap Dokter”
(2). Biaya pelaksanaan penelitian sebagaimana dimaksud ayat (1) diatas dibebankan kepada
Pihak Pertama melalui anggaran Universitas Tarumanagara.
(3). Besaran biaya pelaksanaan yang diberikan kepada Pihak Kedua sebesar Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah), diberikan dalam 2 (dua) tahap masing-masing sebesar 50%.
(4). Pencairan biaya pelaksanaan Tahap I akan diberikan setelah penandatanganan Perjanjian Pelaksanaan Penelitian.
(5). Pencairan biaya pelaksanaan Tahap II akan diberikan setelah Pihak Kedua
melaksanakan Penelitian, mengumpulkan:
a. Hard copy berupa laporan akhir sebanyak 5 (lima) eksemplar, logbook 2 (dua) eksemplar, laporan pertanggungjawaban keuangan sebanyak 2 (dua) eksemplar, draft artikel ilmiah sebanyak 1 (satu) eksemplar; dan
b. Softcopy laporan akhir, logbook, laporan pertanggungjawaban keuangan, dan draft artikel ilmiah dalam bentuk CD sebanyak 2 (dua) keping.
(6). Rincian biaya pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) terlampir dalam Lampiran Rencana Penggunaan Biaya dan Rekapitulasi Penggunaan Biaya yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian ini.
(7). Penggunaan biaya penelitian oleh Pihak Kedua wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak melampaui batas biaya tiap pos anggaran yang telah ditetapkan; dan
b. Peralatan yang dibeli dengan anggaran biaya penelitian menjadi milik Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(8). Daftar peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatas wajib diserahkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah penelitian selesai.
Pasal 2
(1). Pelaksanaan kegiatan Penelitian akan dilakukan oleh Pihak Kedua sesuai dengan proposal yang telah disetujui dan mendapatkan pembiayaan dari Pihak Pertama.
(2). Pelaksanaan kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam Periode I, terhitung sejak Januari-Juni 2020
Pasal 3
(1). Pihak Pertama mengadakan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh Pihak Kedua.
(2). Pihak Kedua diwajibkan mengikuti kegiatan monitoring dan evaluasi sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Pihak Pertama.
(3). Sebelum pelaksanaanmonitoring dan evaluasi, Pihak Kedua wajib mengisi lembar monitoring dan evaluasi serta melampirkan laporan kemajuan pelaksanaan penelitian dan logbook.
(4). Laporan Kemajuan disusun oleh Pihak Kedua sesuai dengan Panduan Penelitian yang telah ditetapkan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
(5). Lembar monitoring dan evaluasi, laporan kemajuan dan logbook diserahkan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan.
Pasal 4
(1). Pihak Kedua wajib mengumpulkan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan luaran/draf luaran.
(2). Laporan Akhir disusun oleh Pihak Kedua sesuai dengan Panduan Penelitian yang telah ditetapkan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
(3). Logbook yang dikumpulkan memuat secara rinci tahapan kegiatan yang telah dilakukan oleh Pihak Kedua dalam pelaksanaan Penelitian.
(4). Laporan Pertanggungjawaban yang dikumpulkan Pihak Kedua memuat secara rinci penggunaan biaya pelaksanaan Penelitian yang disertai dengan bukti-bukti.
(5). Batas waktu pengumpulan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan luaran adalah laporan penelitian, poster penelitian, dan artikel ilmiah (Juni 2020)
(6). Apabila Pihak Kedua tidak mengumpulkan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan Luaran sebagaimana disebutkan dalam ayat (5), maka Pihak Pertama akan memberikan sanksi.
(7). Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa proposal penelitian pada periode berikutnya tidak akan diproses untuk mendapatkan pendanaan pembiayaan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Pasal 5
(1). Dalam hal tertentu Pihak Kedua dapat meminta kepada Pihak Pertama untuk memperpanjang batas waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (5) diatas dengan disertai alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2). Pihak Pertama berwenang memutuskan menerima atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3). Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) kali.
Pasal 6
(1). Pihak Pertama berhak mempublikasikan ringkasan laporan penelitian yang dibuat Pihak Kedua ke dalam salah satu jurnal ilmiah yang terbit di lingkungan Universitas Tarumanagara.
(2). Pihak Kedua memegang Hak Cipta dan mendapatkan Honorarium atas penerbitan ringkasan laporan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3). Pihak Kedua wajib membuat poster penelitian yang sudah/sedang dilaksanakan, untuk dipamerkan pada saat kegiatan Research Week tahun terkait.
(4) Pihak Kedua wajib membuat artikel penelitian yang sudah dilaksanakan untuk diikutsertakan dalam kegiatan International Multidiciplinary Research Conference on Sustanaible Development (IMRCSD) yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(5). Penggandaan dan publikasi dalam bentuk apapun atas hasil penelitian hanya dapat dilakukan oleh Pihak Kedua setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Pihak Pertama.
Pasal 7
(1). Apabila terjadi perselisihan menyangkut pelaksanaan Penelitian ini, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah.
(2). Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diserahkan kepada Pimpinan Universitas Tarumanagara.
(3). Keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bersifat final dan mengikat.
Demikian Perjanjian Pelaksanaan Penelitian ini dibuat dengan sebenar-benarnya pada hari, tanggal dan bulan tersebut diatas dalam rangkap 2 (dua), yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Pihak Pertama
Jap Tji Beng, Ph.D.
Pihak Kedua
Andryawan, S.H., M.H.
RENCANA PENGGUNAAN BIAYA (Rp)
Rencana Penggunan Biaya | Jumlah |
Honorarium | Rp 3.600.000,- |
Pelaksanaan penelitian | Rp 8.400.000,- |
REKAPITULASI RENCANA PENGGUNAAN BIAYA (Rp)
No. | Pos Anggaran | Tahap I | Tahap II | Jumlah |
1. | Honorarium | 1.800.000,- | 1.800.000,- | 3.600.000,- |
2. | Pelaksanaan penelitian | 4.200.000,- | 4.200.000,- | 8.400.000,- |
Jumlah | 6.000.000,- | 6.000.000,- | 12.000.000,- |
Jakarta, 22 April 2020
Peneliti,
(Andryawan, S.H., M.H.)
LAPORAN PENELITIAN YANG DIAJUKAN
KE LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
PERAN BHP2A IDI DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DOKTER
Disusun oleh:
Ketua Tim
Andryawan, S.H., M.H. (0320059003/10215006)
Anggota:
Ardy Putra, S.H., M.Kn. Anton Jayadi, S.H., M.H. Anton, S.H., M.Kn.
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA JAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN
Semester Genap / Tahun 2020
1. Judul : Peran BHP2A IDI dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Dokter.
2. Ketua
a. Nama dan Gelar : Andryawan, S.H., M.H.
b. NIDN/NIK : 0320059003 / 10215006
c. Jabatan/Gol : Asisten Ahli / III.B
d. Program Studi : Ilmu Hukum
e. Fakultas : Hukum
f. Bidang Keahlian : Hukum Kesehatan
g. Alamat Kantor : Jalan Letjen S. Parman No.1 Jakarta 11440
h. Nomor HP/Tlp/Email : 0899-888-6963 / andryawan@fh.untar.ac.id
3. Anggota Tim Penelitian
a. Jumlah Anggota : Dosen 3 orang
b. Nama Anggota I/Keahlian : Ardy Putra, S.H., M.Kn. / Hukum Perdata
c. Nama Anggota II/Keahlian : Anton Jayadi, S.H., M.H. / Hukum Bisnis
d. Nama Anggota III/Keahlian : Anton, S.H., M.Kn. / Hukum Perdata
e. Jumlah Mahasiswa : 3 orang
f. Nama Mahasiswa/NIM : Olivia Pauline/205160138, Anastasia
Prestika/205160137, Marshella/205160252
4. Lokasi Kegiatan Penelitian : DKI Jakarta
5. Luaran yang dihasilkan : Laporan Akhir, Artikel Ilmiah, Poster Penelitian
6. Jangka Waktu Pelaksanaan : Januari-Juni 2020
7. Biaya yang disetujui LPPM : Rp. 12.000.000,- (Dua Belas Juta Rupiah)
Jakarta, Juli 2020
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum Ketua
Prof. Dr. Amad Sudiro, S.H., M.H., M.M., M.Kn. Andryawan, S.H., M.H.
NIDN/NIK: 0307026701 / 10290010 NIDN/NIK: 0320059003 / 10215006
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Jap Tji Beng, PhD. NIDN/NIK: 0323085501 / 10381047
RINGKASAN
Dokter sebagai salah satu profesi yang dianggap luhur, mengemban tugas mulia untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat/pasien dalam rangka melaksanakan praktik kedokteran sebagaimana mandat dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan juga sumpah profesinya. Namun, tidak jarang kita mendapati ketika adanya pasien yang tidak memperoleh kesembuhan, maka pasien akan langsung menempuh jalur hukum untuk meminta pertanggungjawaban dari dokter yang menanganinya. Hal ini dikarenakan kurang dipahaminya pola hubungan hukum yang terjalin antara dokter dan pasien yang berupa perikatan yang mengupayakan/mengusahakan kesembuhan (inspanningsverbintenis), bukan perikatan yang menjanjikan/menghasilkan kesembuhan (resultaat verbintenis). Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi yang menaungi profesi kedokteran memiliki peran penting dalam memberikan perlindungan hukum terhadap para dokter anggotanya melalui organ Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A). Penelitian ini mengkaji upaya BHP2A dalam memberikan perlindungan hukum terhadap dokter-dokter yang berhadapan dengan sengketa medik, serta kendala-kendala yang dihadapinya.
Perlindungan hukum yang diberikan oleh BHP2A IDI terhadap dokter-dokter anggota yaitu dengan memberikan pendampingan dan bantuan hukum sejak proses sengketa medik diterima, hingga sengketa medik tersebut selesai. Dalam memberikan perlindungan hukum, BHP2A dihadapkan pada berbagai kendala, di antaranya seperti kurangnya pemahaman masyarakat akan macam-macam sengketa medik, masih kurangnya kepercayaan masyarakat akan penyelesaian sengketa medik oleh organisasi profesi, kesalahpahaman mengenai konsep malapraktik dalam praktik kedokteran.
Kata Kunci: Sengketa medik, BHP2A, dokter.
PRAKATA
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Peran BHP2A IDI Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Dokter”. Dalam kesempatan ini, Penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih Penulis ucapkan terutama kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (Prof. Dr. Amad Sudiro, S.H., M.H., M.M., M.Kn.);
2. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Tarumanagara (Jap Tji Beng, Ph.D.);
3. Ketua Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) (Dr. H.M. Nazar, Sp.B., MH.Kes);
4. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jakarta Barat (dr. Cecilia Padang, Ph.D., FACR.);
5. Serta untuk pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh Penulis, termasuk mahasiswa yang sudah berkontribusi dalam penelitian ini selaku asisten tim peneliti (Olivia Pauline Hartanti/205160138, Anastasia Prestika/205160137, Marshella/205160252);
Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan masukan guna penyempurnaan regulasi yang terkait dengan pemberian perlidungan hukum terhadap dokter di masa yang akan datang. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan- kekurangan dalam penelitian ini. Oleh sebab itu, kritik dan masukan yang bersifat konstruktif terhadap hasil penelitian ini sangat diharapkan untuk penyempurnaan hasil penelitian ini.
Jakarta, Juli 2020 Ketua Tim Peneliti
Andryawan, S.H., M.H. (0320059003/10215006)
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... | i |
RINGKASAN ............................................................................................. | ii |
PRAKATA ………………………………………………………………… | iii |
DAFTAR ISI ................................................................................................ | iv |
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................................................... B. Rumusan Masalah ................................................................. | 1 6 |
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien dalam Kontrak Terapeutik …………………………………………………. B. Wanprestasi dalam Malapraktik Kedokteran ........................ C. Informed Consent dalam Pelayanan Medis ........................... D. Teori Pendukung Informed Consent ………………………. | 8 9 17 26 |
BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ..................................................................... B. Sifat Penelitian ..................................................................... C. Jenis Data ............................................................................. D. Teknik Pengumpulan Data ................................................... E. Teknik Pengolahan Data ....................................................... F. Teknik Analisis Data ............................................................ | 35 36 36 37 38 38 |
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Wawancara dengan Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) ……………………………….. B. Hasil Wawancara dengan Pimpinan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jakarta Barat …………………….. C. Pembahasan ……………………………………………….. 1. Upaya BHP2A IDI dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Dokter yang Berhadapan dengan Sengketa Medik ……………………………………….. 2. Kendala-kendala yang Dihadapi oleh BHP2A IDI dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Dokter yang Berhadapan dengan Sengketa Medik ……. | 41 42 48 54 |
BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ………………………………………………... B. Saran ………………………………………………………. | 59 60 |
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... | 61 |
LAMPIRAN-LAMPIRAN |
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika berbicara mengenai layanan kesehatan, sudah barang tentu tidak bisa terlepas dari profesi dokter. Dokter sebagai salah satu komponen utama dalam pemberi layanan kesehatan, memiliki disiplin keilmuannya yang khas dalam melaksanakan praktik kedokteran di Indonesia. Peran dokter di sini sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat (pasien).
Ilmu kedokteran adalah cabang ilmu kesehatan yang mempelajari tentang tata cara mempertahankan kesehatan manusia dan mengembalikan manusia pada keadaan sehat dengan memberikan pengobatan pada penyakit dan cedera. Ilmu ini meliputi pengetahuan tentang sistem tubuh manusia dan penyakit serta pengobatannya, dan penerapan dari pengetahuan tersebut.1
Penerapan ilmu kedokteran tersebut diwujudkan dalam bentuk praktik kedokteran.2 Sejak tahun 2004, regulasi yang mengatur tentang praktik kedokteran mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pengaturan tersebut dimaksudkan unttuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter, serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter.
Praktik kedokteran yang terselenggara antara dokter dan pasien didasari oleh adanya suatu persetujuan yang telah diadakan oleh dokter dan pasien/keluarganya. Dari perspektif hukum perdata, hubungan tersebut berada dalam suatu perikatan hukum (verbintenis). Atas dasar perikatan yang terjalin
1 Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medis, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1984), hlm.57.
2 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
di antara keduanya, maka melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak, serta membentuk pertanggungjawaban hukum masing-masing.
Dalam melaksanakan praktik kedokteran, setiap dokter memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Prosedur Operasional (SOP)3, memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien/keluarganya, serta menerima imbalan jasa.
Dalam praktiknya, hubungan antara dokter dan pasien tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Tidak jarang didapati adanya dokter dan pasien yang terlibat konflik, sehingga mengharuskan keduanya saling berhadapan di instansi penegak hukum yang ada di negara ini. Namun, kondisi pengetahuan masyarakat Indonesia yang masih minim seputar hukum kesehatan4 kerap kali menimbulkan kesalahpahaman dalam menyikapi permasalahan yang muncul.
Istilah hukum kesehatan memang belum cukup lama dikenal oleh masyarakat, sehingga tidak mengherankan apabila pada akhirnya justru menimbulkan penanganan yang kurang tepat. Misalnya, ketika dijumpai adanya pasien yang bermasalah dengan dokter, asumsi masyarakat langsung mengarah pada tindakan malapraktik. Padahal jika dicermati secara seksama,
3 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, di mana Standar Operasional Prosedur (SOP) memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.
4 Van der Mijn memberi batasan pengertian hukum kesehatan sebagai berikut: “Health law can be defined as body of rules that relates directly to the care for health as well as to the application of general civil, criminal and administration law. Medical law, the study of the judicial relations to which the doctor is a party, is a part of health law. (Hukum kesehatan dapat dirumuskan sebagai kumpulan peraturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya dalam hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi. Adapun hukum medis mempelajari hubungan yuridis di mana dokter yang menjadi salah satu pihaknya adalah bagian dari hukum kesehatan).” Van der Mijn dalam Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm.7.
tidak semua sengketa medik dapat diklasifikasikan sebagai tindakan malapraktik.5
Dalam praktik kedokteran, profesi dokter terikat oleh 3 (tiga) instrumen pengawas, yaitu instrumen hukum, etika profesi, dan disiplin profesi. Ketiga instrumen tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda-beda manakala terjadi pelanggaran terhadap masing-masing. Yang marak dikatakan sebagai tindakan malapraktik oleh masyarakat luas dewasa ini lebih mengarah pada aspek pelanggaran hukum (baik secara perdata maupun pidana).
Pemahaman yang jelas dan utuh tentang jenis-jenis sengketa medik, tentunya akan berimplikasi pada penaganan yang cepat dan tepat terhadap sengketa tersebut, sehingga tidak berlarut-larut tanpa kepastian. Indonesia yang telah secara tegas menyatakan diri sebagai negara hukum (Pasal 1 Ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) tentunya
5 Coughlin’s Dictionary of Law memberi rumusan terhadap malapraktik sebagai berikut: “Professional misconduct on the part of a professional person, such as a physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, and veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties, e.g. intentional wrongdoing or unethical practice. (Malapraktik adalah sikap tindak profesional yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, insinyur, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dan dokter heran. Malapraktik bisa diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat peduli, kelalaian, kekurangan keterampilan atau kehati-hatian di dalam pelaksanaan kewajiban profesinya, seperti tindakan salah yang sengaja atau praktik yang bersifat tidak etis).” J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.12.
harus secara konsisten memastikan bahwa penyelenggaraan negara harus bersumber pada prinsip-prinsip negara hukum.
A.V. Dicey mengemukakan 3 (tiga) unsur utama dalam negara hukum yang meliputi:6
1. Supremasi hukum (supremacy of law), artinya bahwa tidak seorang pun yang dapat dihukum atau secara hukum dapat dibuat menderita tubuh dan harta bendanya kecuali atas pelanggaran hukum tertentu yang tertuang dalam tata cara hukum biasa di hadapan pengadilan umum negara.
2. Persamaan di depan hukum (equality before the law), artinya bahwa setiap orang apa pun pangkat atau kondisinya tunduk pada hukum biasa yang merupakan lingkup dan berada di dalam yurisdiksi mahkamah biasa. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa persamaan di depan hukum (equality before the law) berarti bahwa semua warga, baik selaku pejabat negara maupun sebagai individu biasa tunduk pada hukum yang sama dan diadili di pengadilan biasa yang sama. Jadi setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum dan apabila ia melanggar hukum, baik selaku pribadi atau individu maupun pejabat negara, ia akan diadili dengan hukum yang sama dan dalam peradilan yang sama pula.
3. Due process of law, artinya bahwa konstitusi dijiwai oleh rule of law dengan alasan-alasan bahwa prinsip-prinsip umum konstitusi yang merupakan hasil keputusan yudisial yang menentukan hak-hak individu pada kasus tertentu yang dibawa ke muka pengadilan atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala tindakan negara harus berdasar atas hukum dan tidak ada suatu tindakan apa pun yang tidak memiliki dasar hukum.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien terbentuk karena kesepakatan yang tertuang dalam kontrak terapeutik di saat pasien memberikan persetujuannya (informed consent) pada dokter untuk melakukan tindakan
6 A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Pengantar Studi Hukum Konstitusi), terjemahan Nurhadi, (Bandung: Nusa Media, 2007), hlm.254-259.
medis setelah diberikannya penjelasan pada pasien dan dimengerti olehnya.7 Prestasi yang diharapkan oleh para pihak adalah mencapai kesembuhan, namun berbeda dengan perikatan pada umumnya yang menjanjikan hasil sebagai tujuan akhir yang hendak dicapai, perikatan antara dokter dan pasien disebut dengan perikatan usaha (inspanningsverbintenis). Dalam perikatan tersebut, salah satu pihak berusaha untuk berbuat sesuatu secara maksimal dan dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya kepada pihak lainnya.
Namun dalam praksis, tidak jarang kita mendapati pemberitaan bahwa adanya dokter yang digugat secara perdata oleh pasien/keluarganya karena kesembuhan yang diharapkan tidak didapatkan. Bahkan lebih ekstrem dokter dilaporkan secara pidana kepada pihak kepolisian karena kelalaiannya yang telah menyebabkan hilangnya nyawa pasien.
Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita semakin kritis terhadap segala fenomena yang terjadi. Namun, sikap kritis tersebut tidak jarang justru malah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Fenomena tersebut juga terjadi di dalam dunia kedokteran, di mana seperti ada upaya untuk kriminalisasi terhadap profesi dokter.
Memang benar negara ini adalah negara hukum, yang mana segala tindakan seseorang yang dirasa telah merugikan pihak lain, dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Namun perlu juga dipahami dan disikapi dengan cermat apakah tindakan medis yang dilakukan oleh dokter sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Karena bagaimanapun juga, profesi dokter termasuk profesi yang mengemban tugas mulia dalam upaya menyelamatkan nyawa manusia dari penyakit yang dideritanya, sehingga sangat tidak bisa diterima oleh nalar apabila ada dokter yang dengan sengaja mempertaruhkan profesinya demi tujuan-tujuan yang tidak sejalan dengan sumpah profesinya.
Fenomena maraknya dokter yang digugat secara perdata dan/atau dituntut secara pidana oleh pasien/keluarganya ini disebabkan oleh pemahaman bahwa perikatan antara dokter dan pasien merupakan perikatan yang menjanjikan hasil (resultaats verbintenis). Akibat dari pemahaman
7 Adami Chazawi, Malapraktik Kedokteran, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.40.
tersebut, maka ketika pasien/keluarganya tidak memperoleh kesembuhan sebagaimana yang diharapkan, maka mereka beranggapan bahwa dokter telah cedera janji (wanprestasi) sehingga dapat (bahkan harus) bertanggung jawab.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi8 yang menaungi profesi ini memiliki fungsi sebagai organisasi pemersatu, pembina, dan pemberdaya dokter di Indonesia. Salah satu organ IDI adalah Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A), yang berada baik di tingkat Pengurus Besar (PB) IDI, maupun di tingkat wilayah maupun cabang.
Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) IDI, BHP2A memiliki tugas dan wewenang yang vital dalam upaya memberikan advokasi kepada para anggota IDI yang berhadapan dengan sengketa medik. Namun apakah peran tersebut sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya, menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Atas dasar uraian latar belakang tersebut, maka Penulis merasa perlu untuk dilakukan kajian secara komprehensif mengenai “Peran Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Dokter”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh BHP2A IDI dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap dokter yang berhadapan dengan sengketa medik?
8 Organisasi profesi merupakan wadah pengembangan profesi, tempat para penyandang profesi melakukan tukar-menukar informasi, menyelesaikan permasalahan profesi, dan membela hak-hak anggotanya. Untuk itu, organisasi ini memiliki unsur-unsur yang salah satu misi utamanya adalah makin menyebarkan citra positif dari profesi tersebut.
Organisasi profesi yang solid biasanya mempunyai wibawa yang tinggi di mata para anggotanya. Soliditas organisasi tersebut antara lain ditandai dengan penggunaan indikator- indikator yang sama di antara para anggotanya dalam memandang suatu pelanggaran etika profesi. Shidarta, Moralitas Profesi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm.107.
2. Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh BHP2A IDI dalam memberikan perlindungan hukum terhadap dokter yang berhadapan dengan sengketa medik?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien dalam Kontrak Terapeutik
Dari sudut hukum perdata, hubungan hukum antara dokter dan pasien berada dalam suatu perikatan hukum (verbintenis). Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua atau lebih subjek hukum untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu (Pasal 1313 jo. Pasal 1234 KUH Perdata) yang disebut prestasi.
Dalam hubungan hukum antara dokter dan pasien, di samping melahirkan hak dan kewajiban para pihak, juga membentuk pertanggungjawaban hukum masing-masing. Bagi pihak dokter, prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu in casu tidak berbuat salah atau keliru dalam perlakuan medis yang semata-mata ditujukan bagi kepentingan kesehatan pasien, adalah kewajiban hukum yang sangat mendasar dalam perjanjian dokter dan pasien (kontrak terapeutik).9
Ukuran perlakuan berbuat sesuatu secara maksimal dan dengan sebaik- baiknya atau tidak berbuat sesuatu yang tidak perlu, didasarkan pada standar profesi medis dan standar prosedur. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, ukuran itu disebutkan dengan istilah “Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasional” (Pasal 50 jo. Pasal 51). Adapun dalam Pasal 44 Ayat (1) disebutkan bahwa “dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan10 kedokteran atau kedokteran gigi”.
Dari perspektif hukum perdata, malapraktik kedokteran terjadi apabila perlakuan salah dokter dalam hubungannya dengan pemberian prestasi pelayanan medis pada pasien yang menimbulkan kerugian keperdataan. Hal ini sering kali bersamaan dengan akibat yang menjadi unsur tindak pidana
9 Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebutkan “kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien”.
10 Standar pelayanan adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.
tertentu. Unsur adanya kerugian kesehatan fisik, jiwa, maupun nyawa pasien akibat dari salah perlakuan oleh dokter, merupakan unsur esensial malapraktik kedokteran baik secara perdata maupun pidana. Dengan timbulnya kerugian perdata bagi pasien sebagai dasar terbentuknya pertanggungjawaban hukum perdata bagi dokter.11
Hubungan hukum dokter dan pasien diklasifikasikan sebagai perikatan yang lahir karena suatu kesepakatan maupun perikatan yang lahir karena undang-undang. Maka dari itu, pelanggaran kewajiban hukum dokter dalam suatu perikatan hukum karena kesepakatan (kontrak terapeutik) membawa suatu keadaan wanprestasi. Pelanggaran hukum dokter terhadap kewajiban dokter karena undang-undang membawa suatu keadaan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
B. Wanprestasi dalam Malapraktik Kedokteran
Beban pertanggungjawaban dokter terhadap akibat malapraktik kedokteran dari sebab wanprestasi lebih luas dari sebab perbuatan melawan hukum, karena dari Pasal 1236 jo. Pasal 1239 KUH Perdata selain penggantian kerugian, pasien juga dapat menuntut biaya dan bunga. Akan tetapi jika dilihat dari macam kerugian yang dapat dituntut, maka kerugian dari sebab perbuatan melawan hukum lebih luas dari pada kerugian akibat wanprestasi. Tuntutan terhadap kerugian idiil (immateriil) akibat dari perbuatan melawan hukum dapat dilakukan, sedangkan wanprestasi tidak.
Tidak diperolehnya kesembuhan oleh pasien bukan merupakan alasan yang dapat dijadikan dasar sebagai suatu tuntutan wanprestasi terhadap dokter. Selama perlakuan medis dokter tidak menyimpang dari standar profesi medis dan standar prosedur operasional, maka dokter tidak dapat dipersalahkan atau dimintakan pertanggungjawaban. Hal ini dikarenakan oleh hubungan antara dokter dan pasien bukan hubungan yang memuat kewajiban hukum dokter yang berorientasikan pada hasil (resultaat) pelayanan medis, melainkan kewajiban untuk perlakuan medis dengan sebaik-baiknya dan secara
11 Adami Chazawi, Op.Cit., hlm.36.
maksimal, tidak salah langkah atau salah prosedur (berdasarkan standar profesi dan standar prosedur operasional).12
Kontrak terapeutik antara dokter dan pasien bukan merupakan perjanjian yang ditujukan pada hasil perbuatan (resultaat), karena objek dalam perjanjian terapeutik bukan hasil pelayanan medis oleh dokter, tetapi tingkah laku atau perlakuan pelayanan medis yang sesuai. Dokter tidak bisa dan tidak mampu menjamin hasil akhir.13 Berbuat sesuatu yang seharusnya diperbuat dan tidak berbuat sesuatu yang seharusnya tidak diperbuat adalah suatu prestasi dokter dan menjadi kewajiban hukum dokter dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan pasien, yang sekaligus menjadi hak pasien yang dapat dituntut pelaksanaannya pada dokter.
Hubungan hukum yang demikian didasari oleh rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Hubungan saling percaya (vertouwen) ini disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia. Walaupun bagi kedua belah pihak kesembuhan merupakan tujuan akhir dari kontrak terapeutik. Akan tetapi, hasil dari suatu tindakan medis bukanlah sesuatu yang mutlak dan dapat dituntut pemenuhannya. Perikatan hukum antara dokter dan pasien termasuk jenis perikatan hukum yang disebut dengan perikatan usaha (inspanningsverbintenis)14, yaitu suatu bentuk perikatan yang isi prestasinya ialah salah satu pihak berusaha untuk berbuat sesuatu secara maksimal dan dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya kepada pihak lain. Kewajiban pokok dokter terhadap pasiennya adalah inspanning, yaitu suatu usaha keras dan sungguh-sungguh yang diperlukan unuk behoud dan menyembuhkan kesehatan dari pasien. Ukuran sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya bagi dokter dalam hubungan hukum dokter dan pasien adalah standar profesi medis, standar prosedur operasional, kebutuhan medis pasien, dan prinsip- prinsip umum dalam profesi kedokteran. Hasil dari perlakuan penyembuhan, pemulihan atau pemeliharaan kesehatan pasien bukanlah menjadi kewajiban
12 Adami Chazawi, Op.Cit., hlm.37.
13 Bahar Azwar, Sang Dokter, (Jakarta: Kesaint Blank, 2002), hlm.50.
14 Oemar Seno Adji, Profesi Dokter, (Jakarta: Erlangga, 1991), hlm.109.
hukum dokter, melainkan kewajiban moral belaka, yang akibatnya bukan sanksi hukum, tetapi moral dan sosial.15
Jadi sepanjang perlakuan medis terhadap pasien telah dilakukan secara benar dan patut menurut standar profesi dan standar prosedur operasional, serta sesuai dengan kebutuhan pasien, tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan tidak melahirkan malapraktik kedokteran. Namun, apabila setelah perlakuan medis terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana yang diharapkan (tanpa penyembuhan) atau bisa jadi lebih parah sifatnya menyakitkan, oleh sebab perlakuan medis dokter yang menyalahi standar profesi atau standar prosedur operasional atau tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, maka dokter dapat berada dalam keadaan malapraktik kedokteran. Tentu dengan syarat yaitu tidak sembuh atau lebih parah penyakit pasien setelah perlakuan medis, dan dari sudut standar profesi, standar prosedur operasional, dan prinsip-prinsip umum kedokteran, keadaan itu benar-benar sebagai akibat langsung (causaal verband) dari salah perlakuan medis dari dokter. Jika syarat ini ada, maka dokter telah berada dalam kondisi malapraktik kedokteran, oleh sebab itu pasien berhak menuntut penggantian kerugian atas kesalahan perlakuan medis dokter tersebut. Dalam hal apabila akibat yang ditimbulkan lebih parah penyakitnya sampai pada akibat tertentu yang memenuhi kriteria dalam hukum pidana, seperti kematian atau luka (Pasal 359 jo. Pasal 360 KUH Pidana), maka dimungkinkan timbul pertanggungjawaban pidana yang wujudnya bukan sekadar penggantian kerugian (perdata) saja, melainkan bisa jadi pemidanaan juga.16
Kesepakatan dalam kontrak terapeutik timbul baik secara diam maupun secara tegas dan lebih bersifat kepercayaan. Adalah tidak wajar apabila kesepakatan itu dibuat dalam bentuk tertulis apalagi autentik. Kecuali dalam hal perlakuan medis yang mengandung risiko tinggi, seperti tindakan medis berupa pembedahan (operasi), hal ini menjadi wajib.17
15 Adami Chazawi, Op.Cit., hlm.38.
16 Ibid., hlm.38-39.
17 Ibid., hlm.39.
Dalam keadaan biasa, bukan berarti tidak boleh dibuat secara tertulis, apalagi dalam bentuk akta autentik sekalipun. Ketidakwajaran itu hanya karena hubungan dokter dan pasien didasari hubungan kepercayaan, di samping alasan tidak praktis, terlalu mengada-ada dan sangat birokratis, juga memerlukan waktu yang panjang, dan dapat membawa kerugian bagi pasien sendiri. Dalam pelayanan medis tertentu yang sangat berisiko, wajib dibuat dalam bentuk tertulis, yang dalam praktik kedokteran sekadar dimintakan persetujuan (informed consent) pada pasien/keluarga terdekat, jika karena penyakitnya pasien tidak mampu memberikan persetujuan.18
Persetujuan semacam ini tidak dapat dipakai sebagai alasan pembenar perlakuan medis yang menyimpang. Informed consent pasien/keluarganya hanya sekadar membebaskan risiko hukum bagi timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dalam hal perlakuan medis yang benar dan tidak menyimpang. Meskipun ada persetujuan semacam itu, apabila perlakuan medis dilakukan secara salah yang menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki, dokter juga tetap terbebani tanggung jawab terhadap akibatnya.19
Hubungan hukum dokter dan pasien terbentuk karena kesepakatan. Kesepakatan dalam kontrak terapeutik terbentuk pada saat pasien memberikan persetujuannya (informed consent) pada dokter untuk melakukan tindakan medis setelah dokter memberikan penjelasan pada pasien dan dimengerti olehnya. Logika hukumnya ialah dokter yang berpraktik telah melakukan penawaran umum (openbare aanbod) dalam hal memberikan jasa pelayanan medis sebagai syarat pertama dari terbentuknya kesepakatan. Pada dasarnya, pasien yang datang menghadap untuk dilayani dokter adalah wujud dari penerimaan penawaran tersebut. Namun karena adanya kewajiban dokter untuk memberikan penjelasan, maka penjelasan oleh dokter ini harus dianggap masih dalam rangka penawaran atau penegasan penawaran. Menurut hukum, kesepakatan terjadi apabila ada penawaran oleh satu pihak, dan penawaran diterima atau disetujui oleh pihak lain. Sebagaimana diketahui bahwa
18 Ibid.
19 Ibid., hlm.39-40.
kesepakatan merupakan sumber dari perikatan hukum (Pasal 1233 KUH Perdata).20
Menghadapnya pasien pada dokter merupakan wujud dari suatu kehendak agar kepada dirinya diberikan pelayanan medis sesuai dengan keperluan menurut standar profesi kedokteran dan standar prosedur operasional yang berlaku. Kemudian dokter mengambil langkah pemeriksaan. Langkah pertama yang dilakukan dokter apapun wujudnya, misalnya bertanya pada pasien, kemudian memberikan penjelasan secara lengkap (Pasal 45 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 jo. Pasal 68 Ayat (2) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2014) harus dianggap suatu penegasan dari openbare aanbod dokter. Di sini ada kewajiban moral atau etika dokter yang melakukan langkah-langkah pada pasien yang datang menghadapnya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Setelah diberikan penjelasan, pasien memberikan persetujuan secara diam-diam atau tegas pada dokter untuk dilakukan tindakan medis. Dari sudut hukum, untuk terbentuknya transaksi terapeutik diletakkan pada persetujuan pasien, sedangkan dokter berada pada pihak yang mengadakan openbare aanbod.21
Hubungan hukum dalam kontrak terapeutik memuat hak-hak dan kewajiban hukum para pihak secara umum yang berlaku bagi dokter dan pasien, walaupun tidak dibuat secara formal tertulis. Pelaksanaan kewajiban hukum dokter selalu dibayangi adanya risiko, baik bagi pasien maupun dokter. Bagi pasien, pelayanan dokter dapat membawa kerugian kesehatan atau nyawa. Bagi dokter, berupa sanksi mulai dari yang ringan sampai yang terberat, yang bersifat moral kemasyarakatan sampai hukum (baik berupa sanksi administrasi, perdata, dan pidana). Kewajiban perlakuan medis secara umum artinya harus sesuai standar umum kedokteran atau standar profesi medis dan standar prosedur operasional, walaupun pasien tidak mengerti isi standar tersebut. Pelanggaran terhadap standar profesi dan standar prosedur
20 Ibid., hlm.40.
21 Ibid.
operasional ini merupakan salah satu syarat dari terjadinya malapraktik kedokteran.22
Wanprestasi dalam arti harfiah adalah prestasi yang buruk23, yang pada dasarnya menitikberatkan adanya pelanggaran terhadap isi kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian/kontrak oleh salah satu pihak. Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa:
1. Tidak memberikan prestasi sama sekali sebagaimana yang diperjanjikan;
2. Memberikan prestasi tidak sebagaimana mestinya, tidak sesuai kualitas atau kuantitas sebagaimana yang diperjanjikan;
3. Memberikan prestasi akan tetapi sudah terlambat, tidak tepat waktu sebagaimana yang diperjanjikan;
4. Memberikan prestasi yang lain dari yang diperjanjikan semula.
Wanprestasi dokter dari kontrak terapeutik dapat berupa salah satu atau beberapa dari empat bentuk wanprestasi di atas. Sebagaimana kontrak terapeutik yang merupakan inspanningsverbintenis, di mana kewajiban atau prestasi dokter yang harus dijalankan pada pasien adalah perlakuan medis yang sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya sesuai dengan standar profesi medis atau standar prosedur operasional. Dengan demikian, wanprestasi dokter paling dekat pada bentuk pelanggaran kewajiban pada poin kedua dan keempat. Dokter telah memberikan prestasi pelayanan medis pada pasien, namun tidak sebagaimana mestinya, yakni melanggar standar profesi medis atau standar prosedur operasional. Dokter memberikan prestasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien adalah bentuk wanprestasi pada poin keempat.
Keadaan wanprestasi dalam malapraktik kedokteran hanya terjadi karena pelanggaran kesepakatan oleh pihak dokter walaupun kewajiban pasien tidak dipenuhi. Namun tidak dipenuhinya kewajiban pasien, seperti tidak patuh pada petunjuk dan nasihat dokter atau melanggar kewajiban pasien untuk memberikan keterangan yang benar dan jujur yang berakibat buruk, memang
22 Ibid., hlm.41.
23 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1985), hlm.45.
ada pengaruhnya terhadap tanggung jawab dokter baik dari yang berat sampai membebaskan pertanggungjawaban sama sekali. Bukan mustahil pelanggaran kewajiban oleh pasien sendiri begitu kuat pengaruhnya terhadap diagnosis maupun terapi dokter, yang menyebabkan perlakuan medis dokter salah dan menjadi fatal akibatnya.
Dalam kondisi tersebut, tidak tertutup kemungkinan dari sebab pelanggaran kewajiban pasien untuk memberikan keterangan yang benar dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perlakuan medis dokter. Tentu tidak mudah pelimpahan tanggung jawab dokter pada pasien dalam hal terjadi malapraktik dokter yang semula tidak memenuhi kewajibannya dalam kontrak terapeutik semacam itu. Disebabkan ketiadaan keseimbangan antara dokter dan pasien dalam banyak hal terutama di bidang ilmu.
Dalam hubungan dokter dan pasien, keduanya berada dalam ketiadaan keseimbangan. Dokter memiliki ilmu dan dengan ilmunya itu dokter mengetahui segala hal mengenai penyakit pasien dan terapinya. Dengan demikian, mewajibkan dokter untuk tidak mudah begitu saja percaya pada keterangan pasien yang umumnya awam bahkan sangat awam mengenai penderitaan atau penyakitnya.
Tidak ada ukuran yang berlaku secara umum yang dapat digunakan untuk menilai pengaruh setiap pelanggaran kewajiban pasien sendiri terhadap salah prakik dokter, melainkan akan bergantung pada setiap kasus atau bersifat kasuistis. Penilaian atau pengujian dengan berbagai pertimbangan dari berbagai sudut mengenai kasus nyata yang terjadi sangat menentukan.24
24 Contoh konkret kasus dr. Setianingrum di Pati pada tahun 1979. Pangkal kejadian disebabkan suntikan streptomycin 1 cc pada pasien yang tidak tahan terhadap obat tersebut. Ketika ditanya oleh dokter, pasien menerangkan bahwa dia sebelumnya pernah berobat ke dokter lain dan disuntik streptomycin. Dokter percaya, setelah suntikan dilakukan, ternyata sebaliknya berakibat fatal yakni kematian. Dalam kasus ini jelas ada peran pasien sendiri atas kematiannya. Menurut Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Tinggi Semarang, peran pasien sendiri terhadap kematiannya tidak menjadi bahan pertimbangan, karena kedua tingkat pengadilan tersebut mempersalahkan dokter, atas sikap percaya (culpoos) terhadap keterangan pasien yang awam terhadap obat dan penyakit. Namun ternyata, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 600/K/Pid/1983 berpendapat lain dan membebaskan terdakwa. Pertimbangan Mahkamah Agung bahwa terdakwa sebagai dokter yang baru berpengalaman kerja selama 4 tahun yang sedang bertugas di Puskesmas yang serba terbatas sarananya tidak mungkin untuk diharapkan melakukan hal-hal seperti yang dikehendaki saksi (pendapat ahli) dr. Imam Parsudi, misalnya melakukan
Prestasi dokter dalam transaksi terapeutik ialah prestasi berbuat sesuatu dalam pelayanan medis pada pasien dengan sebaik-baiknya dan secermat- cermatnya. Ukuran cermat dan sebaik-baiknya adalah standar profesi medis dan standar prosedur operasional, termasuk pula kebutuhan medis pasien dan kebiasaan umum yang wajar dari sudut disiplin kedokteran. Selain adanya perjanjian in casu kewajiban melakukan prestasi, dalam setiap wanprestasi terkandung aspek kerugian bagi pihak lain.
Wujud kerugian dalam prestasi pelayanan dokter harus benar-benar akibat (causaal verband) dari perlakuan medis yang menyalahi standar profesi kedokteran atau standar prosedur operasional. Dalam mengukur ada atau tidaknya causaal verband ajaran causalitas doktrin hukum pidana dapat digunakan. Dalam hal ini, ilmu kedokteran juga sangat berperan untuk menguji dan mengukur ada atau tidaknya causaal verband tersebut. Di sinilah letak hubungan antara disiplin ilmu kedokteran dan ilmu hukum khususnya dalam hal wanprestasi dokter maupun perbuatan melawan hukum dokter.
Wujud kerugian akibat wanprestasi (malapraktik kedokteran) hanya berupa kerugian materiil yang dapat diukur dengan nilai uang terutama biaya perawatan, biaya perjalanan, biaya obat-obatan (pengobatan). Kerugian- kerugian ini dapat dituntut oleh pasien/ahli warisnya pada dokter atau rumah sakit yang melakukan perawatan. Tentu saja kerugian ini harus dibuktikan. Selain membuktikan perlakuan dokter yang menyimpang dari standar profesi, juga harus dibuktikan kerugian adalah akibat langsung dari perlakuan dokter yang menyimpang. Pada dasarnya perlakuan medis yang menyimpang dari standar profesi dan adanya kerugian adalah unsur kumulatif yang harus ada pada setiap malapraktik kedokteran.
penyuntikan adrenalin langsung ke jantung atau pemberian cairan infus, pemberian zat asam dan lain tindakan yang memerlukan sarana yang rumit.
Tampak sekali bahwa pertimbangan hukum Mahkamah Agung, telah bergeser dari kelalaian terapi sebagai penyebab utama kematian pasien sebagaimana pertimbangan semula Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Tinggi Semarang ke arah fase timbulnya gejala kematian berupa upaya mencegah kematian setelah terapi memberikan suntikan streptomycin. Pertimbangan putusan Mahkamah Agung ini tetap terbuka peluang untuk diperdebatkan di kalangan akademisi hukum. Adami Chazawi, Op.Cit., hlm.42-43.
Sementara itu, kerugian idiil (immateriil) misalnya kehilangan harapan kesembuhan, rasa penderitaan atau kesakitan yang berkepanjangan, kehilangan bagian tubuh tertentu, hilangnya ingatan, hilangnya penglihatan, luka-luka bahkan sampai pada kematian pasien bukan kerugian yang dapat dituntut atas dasar wanprestasi. Namun dapat dituntut atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata.
C. Informed Consent dalam Pelayanan Medis
Informed consent bermula karena adanya hubungan antara dokter dan pasien melalui transaksi terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, baik itu pemberi pelayanan (medical providers) maupun penerima pelayanan (medical receiver) yang mengikat dan harus dihormati oleh kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak terapeutik tersebut.25
Dokter sebagai medical providers mempunyai kewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan berupa diagnosis pengobatan dan tindakan medik lainnya yang terbaik menurut pengetahuan standar profesi yang dimilikinya, sedangkan di sisi lain pasien sebagai penerima (medical receiver) mempunyai hak untuk menentukan pelayanan kesehatan berupa pengobatan atau tindakan medik lain yang akan dilakukan terhadap dirinya.26
Realitas dalam pelaksanaan informed consent menimbulkan berbagai permasalahan, terutama dokter yang hendak melakukan suatu diagnosis medis terhadap pasien sering kali menimbulkan ketidaksesuaian pandangan antara keinginan dokter dan keinginan pasien/keluarganya. Ketidaksesuaian ini disebabkan karena pada umumnya dokter hanya melihat pasien dari segi medisnya saja, sedangkan pertimbangan lain yang diperhitungkan oleh pasien dan keluarganya, seperti keadaan psikis, keuangan, dan keadaan keluarga yang dapat mempengaruhi keputusan pasien kurang diperlukan oleh dokter. Oleh
25 Muntaha, Hukum Pidana Malapraktik (Pertanggungjawaban dan Penghapus Pidana), (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm.23.
26 Ibid.
sebab itu, diperlukan suatu persetujuan tindakan medis atau biasa disebut dengan informed consent.27
Pengertian informed consent ini telah banyak dipaparkan oleh sejumlah ahli hukum, antara lain:
1. Hanafiah memberi arti informed consent dengan menjabarkan asal muasal katanya, yakni formed yang berarti telah diberitahukan/telah disampaikan atau telah diinformasikan dan consent yang memiliki arti persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian, istilah informed consent didefinisikan sebagai suatu persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah pasien menerima penjelasan.28
2. Veronika Komalasari memberi pengertian informed consent sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.29
Dipandang dari kedudukan para pihak, maka informed consent merupakan syarat subjektif untuk terjadinya transaksi terapeutik yang bertumpu pada dua jenis hak asasi yang bersifat hak dasar dari setiap diri manusia, yaitu hak asasi atas informasi dan hak asasi untuk menentukan nasib sendiri. Para pihak dalam kaitannya dengan persetujuan tindakan medis telah mengikatkan diri dan mematuhi isi dari persetujuan serta menerima risiko dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dan pasien berhak menuntut apabila terjadi kesalahan dan kelalaian yang mengakibatkan adanya cacat fisik maupun nonfisik di dalam pelaksanaan tindakan medis tersebut.30
Informed consent yang diberikan oleh pasien terhadap dokter untuk melakukan tindakan medis, tidak menjamin dokter bebas dari segala tuntutan hukum. Artinya, sepanjang tindakan medis tidak menimbulkan risiko, hal itu
27 Ibid., hlm.23-24.
28 Hanafiah dalam Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter (Buku I), (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), hlm.127.
29 D. Veronika Komalasari dalam Anny Isfandyarie, Ibid.
30 Muntaha, Op.Cit., hlm.24.
tidak menimbulkan masalah, tetapi apabila terjadi risiko yang berakibat pada terjadinya cacat baik secara fisik maupun nonfisik, maka dokter dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum.31
Kedudukan informed consent dalam melakukan tindakan medis sangat penting. Sehubungan dengan hal tersebut, Benyamin Cardozo mengingatkan bahwa:32 “Every human being of adult years and sound mind has a right to determine what shall be done with his own body and a surgeon who performs and operator without his patient’s commits an assault, for which he is liable in damages (setiap manusia dewasa yang berpikiran sehat berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya sendiri, dan seorang ahli bedah yang melakukan suatu profesi tanpa izin pasiennya, dapat dianggap telah melanggar hukum, di mana ia bertanggung jawab atas segala kerusahakn yang timbul).”
Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa informed consent merupakan suatu dasar adanya tindakan dokter untuk melaksanakan suatu pelayanan medis kepada pasien, di mana tindakan tersebut dianggap sebagai suatu hubungan hukum yang dapat menimbulkan peristiwa hukum, yakni dengan adanya akibat hukum yang ditimbulkannya sendiri dari tindakan medis tersebut.33
Informed consent dianggap sebagai standar pelayanan dokter terhadap pasien, benar-benar harus dapat dipertanggungjawabkan, oleh karenanya seorang dokter benar-benar harus mampu memberi informasi yang akurat dan dapat dimengerti oleh calon pasiennya agar dalam melakukan tindakan medis, pasien sudah dapat mengetahui tentang risiko medis yang mungkin dapat terjadi terhadapnya.34
Terhadap informed consent, Veronika Komalasari mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:35
31 Ibid., hlm.24-25.
32 Benyamin Cardozo dalam J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.24.
33 Muntaha, Op.Cit., hlm.25-26.
34 Ibid.
35 Ibid., hlm.25-26.
1. Informed consent merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri bagi pasien dan hak pasien atas informasi telah terpenuhi dalam pelaksanaan praktik dokter.
2. Informed consent dimaksudkan untuk melindungi hak individual pasien dari tindakan sah atas integritasnya oleh dokter, dan juga dapat melindungi dokter dari tuntutan pelanggaran hak atas integritas pribadi pasien termaksud.
3. Dasar pertimbangan kewajiban memberikan informasi atas setiap tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter adalah persetujuan pasien. Oleh karena itu, agar pasien dapat memberikan keputusan untuk menyetujui dilakukannya tindakan medik tertentu dalam pengobatan atau perawatannya, pasien harus memahami permasalahan kesehatan yang dihadapinya. Untuk itu, diperlukan informasi yang sejelas-jelasnya dari dokter tentang tujuan, cara, dan manfaat yang dapat diharapkan dari tindakan medik tertentu, serta risiko yang mungkin timbul sebagai akibat dari tindakan tersebut sehingga timbul kepercayaan pasien terhadap dokter yang menanganinya.
4. Dokter sebagai tenaga profesional di bidang kedokteran mempunyai kemampuan yang sangat dibutuhkan oleh pasien yang merasa tidak berdaya untuk mengatasi masalah kesehatannya. Di sisi lain, guna tercapainya tujuan pengobatan dan perawatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien termaksud, diperlukan informasi yang akurat dari pasien tentang riwayat penyakitnya. Untuk itu, hubungan interpersonal antara dokter dan pasien merupakan kegiatan terpenting yang sangat bermanfaat bagi kesembuhan pasien dan keberhasilan dokter dalam memberikan pengobatan.
Muntaha berpandangan bahwa informed consent merupakan suatu standar pelayanan medis yang harus ada sebelum tindakan medis dilakukan, karena dengan adanya kesepakatan ini para pihak telah mengikatkan diri sehingga timbul hak dan kewajiban, dan di sisi lain juga berfungsi sebagai
dasar untuk menuntut apabila terjadi tindakan medis di luar apa yang telah disepakati atau diperjanjikan.36
Konsekuensi dari tindakan yang tidak sesuai dengan informed consent dapat berakibat pada adanya tuntutan secara perdata, berupa tuntutan ganti rugi apabila dalam tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter menimbulkan kerugian pada pasien. Di sisi lain, tuntutan pidana dapat pula muncul bilamana dalam tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terdapat kesalahan, baik kesengajaan maupun kelalaian yang berakibat adanya cacat fisik maupun nonfisik yang dialami oleh pasien.37
Dalam hubungannya dengan pemberian pemahaman terhadap informed consent, pasien tidak harus diberi beban yang berat untuk menjelaskan terkait kesehatannya, termasuk mengenai riwayat penyakit yang dideritanya, sebab setiap pasien mempunyai keterbatasan intelektual yang berbeda-beda. Oleh karenanya, peran seorang dokter untuk menerapkan ilmunya secara profesional sangat penting, sebab hal tersebut berkaitan dengan penentuan tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasiennya.38
Dalam keadaan demikian, posisi dokter adalah sebagai penyelenggara profesi medik yang memonopoli teknik-teknik pengobatan dan perawatan. Tidak hanya itu, seorang dokter mempunyai peran yang disebut sebagai otonomi profesi yang bebas dan tidak dibatasi oleh lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tugasnya secara profesional. Relasi yang dibangun antara dokter dan pasien dalam kondisi demikian adalah relasi apa yang disebut dengan pola penyakit (disease model), yang ditandai oleh sifat-sifat nonpribadi untuk menjalin relasi tersebut sehingga pasien dapat takluk.39
Informed consent sebagai suatu kesepakatan untuk diadakannya tindakan medik oleh dokter terhadap pasien, ditandai dengan adanya gejala pola penyakit yang diderita oleh pasien tersebut. Konsepsi pola penyakit pada umumnya menghendaki suatu fakta bahwa masyarakat mencari bantuan
36 Ibid., hlm.26.
37 Ibid., hlm.26-27.
38 Ibid., hlm.27.
39 Ibid.
karena menderita gejala-gejala disfungsionalisasi fisik, dalam arti sakit sehingga organ-organ tubuh tidak lagi berfungsi secara optimal dan maksimal.40
Dalam berbagai penelitian di era modern dewasa ini, pola penyakit, terutama sejak abad ke-20, telah ditinggalkan untuk dijadikan dasar bagi perjanjian terapeutik, termasuk soal informed consent. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Suchman berpendapat bahwa dalam hubungan dokter dan pasien, setidaknya terdapat 5 (lima) tahap relasi dokter dan pasien, yaitu:41 (i) tahap gejala penyakit; (ii) tahap pengakuan mengidap sakit dan penyakit; (iii) tahap kontrak pelayanan medik; (iv) tahap kontrak terapeutik dengan peran ketergantungan pihak pasien; dan (v) tahap pemulihan dan rehabilitasi.
Tahapan di atas menunjukkan bahwa pemberian persetujuan untuk dilakukan tindakan medis dari pasien kepada dokter yang akan melakukan tindakan medis pada hakikatnya adalah untuk memberikan keleluasaan pasien dalam memilih tindakan medis apa yang sesuai dengan kesanggupan secara finansial dan berat ringannya penyakit yang dideritanya.42
Pemberian informed consent dari pasien kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada prinsipnya terdapat 2 (dua) bentuk, yaitu expressed dan implied. Expressed artinya persetujuan itu dinyatakan secara jelas baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written). Adapun implied artinya persetujuan ini tidak secara terang-terangan dinyatakan, melainkan tersirat. Adanya informed consent ini sekaligus memberi pegangan bagi dokter dalam melakukan tindakan medis sesuai dengan profesinya, dan bagi pasien sebagai bentuk perlindungan hukum bilamana dalam suatu tindakan medis terdapat akibat atau risiko medis yang dialaminya.43
Oleh karena itu, informed consent bertujuan memberikan kepastian terhadap perlindungan hukum bagi pasien dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap dirinya, sebab
40 Ibid.
41 Ibid., hlm.27-28.
42 Ibid., hlm.28.
43 Ibid.
informed consent tidak lain adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atas keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.44
Melihat dari hubungan antara dokter dan pasien terkait informed consent, tidak hanya mencakup hubungan berdasarkan tindakan medik semata, melainkan juga terdapat hubungan hukum yang ditimbulkan oleh suatu persetujuan untuk melakukan tindakan medik. Sejalan dengan hal tersebut, Wila Chandrawila Supriadi menyatakan bahwa hubungan pasien, dokter, dan rumah sakit selain berbentuk hubungan medik, juga berbentuk hubungan hukum. sebagai hubungan medik, maka hubungan itu akan diatur oleh kaidah- kaidah medik, sedangkan sebagai hubungan hukum akan diatur oleh kaidah- kaidah hukum.45
Suatu informed consent akan melahirkan kewajiban dari salah satu pihak untuk melakukan suatu tindakan yang diperlukan oleh pihak lain yang merupakan haknya, dalam hal ini, pasien yang diikat perjanjian pelayanan kesehatan. Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Pasal 53 Ayat (2) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.46
Dalam menentukan persetujuan pemberian informed consent dari pasien/keluarganya, peran informasi yang akurat dari dokter tentang penyakit dan risiko medik sangat penting artinya, sebab dengan penjelasan tersebut pasien dan keluarganya dapat dengan sadar menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan. Hal ini sesuai dnegan penegasan dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585 Tahun 198947 yang menyatakan
44 Ibid.
45 Wila Chandrawila Supriadi dalam Sutarno, Hukum Kesehatan Eutanasia, Keadilan, dan Hukum Positif di Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), hlm.45.
46 Muntaha, Op.Cit., hlm.28-29.
47 Di dalam ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 ditegaskan akan pentingnya informed consent bagi dokter dan pasien sehubungan dengan tindakan medis yang dilakukan, di mana ditegaskan:
bahwa persetujuan diberikan oleh pasien/keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.48
Penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter bagi pasien sifatnya begitu urgent, sebab pada prinsipnya melakukan suatu perbuatan atas tubuh seseorang tanpa persetujuan dari yang memiliki tubuh tersebut merupakan tindakan yang tidak saja melanggar etika, melainkan juga melanggar hukum, dalam hal ini hukum pidana, bahkan bisa dikatakan melanggar hak asasi manusia.49
Salah satu sebab pentingnya informed consent diberikan oleh pasien adalah karena apabila diamati, perkembangan hubungan antara dokter dan pasien terdapat pergeseran hubungan, dari yang semula bersifat paternalistik ke arah hubungan yang lebih bersifat konsumerisme. Keadaan demikian menimbulkan kesadaran bagi pasien bahwa dirinya mempunyai hak untuk mengetahui dengan pasti treatment seperti apa yang akan diberikan oleh dokter, dan bahkan berhak berkonsultasi dengan dokter lain tentang penyakitnya. Oleh karena itu, dokter mempunyai kewajiban untuk menjelaskan kepada pasiennya tentang hal-hal yang penting tentang pengobatan tersebut.50
Secara yuridis, informed consent mempunyai peranan sebagai sarana bagi dokter untuk menghindari jeratan sanksi pidana, sebab tanpa persetujuan untuk melakukan tindakan medik dari pasien, maka tindakan medik yang dilakukan (misalnya pembedahan) dapat disetarakan dengan tindakan penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 KUH Pidana.51
a) bahwa dalam menjalankan profesi kedokteran perlu ditetapkan landasan hukum untuk menjadi pedoman bagi para dokter, baik dalam bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik, maupun pada praktik perorangan atau bersama;
b) bahwa pengaturan tentang persetujuan tindakan medik atau informed consent merupakan suatu hal yang berkaitan erat dengan tindakan medik yang dilakukan oleh dokter, dan oleh karenanya perlu diatur dalam suatu Peraturan Menteri Kesehatan.
48 Muntaha, Op.Cit., hlm.29.
49 Ibid.
50 Ibid.
51 Ibid., hlm.30.
Begitu pula dalam tindakan pembiusan yang akan dilakukan oleh seorang dokter anestesi juga setara dengan tindakan membuat seseorang dalam keadaan tidak sadarkan diri, yang berarti melakukan kekerasan sesuai dengan ketentuan Pasal 89 KUH Pidana. Mengenai informed consent dalam hukum kesehatan, secara komprehensif diuraikan oleh Munir Fuady bahwa:52
“Suatu persetujuan dari pihak pasien (atau keluarga pasien jika pasien tidak mungkin memberikan persetujuan), secara bebas dan bernalar, atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter atas tubuhnya atau atas diagnosistik, terapeutik, dan paliatif (menghilangkan rasa sakit), yang dilakukan oleh dokter. Persetujuan mana diberikan oleh pasien setelah pasien tersebut diberikan informasi yang cukup dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien sehingga pasien dapat mengambil keputusan yang tepat tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter tersebut, termasuk informasi tentang maksud dan tujuan diagnostik, paliatif, dan pengobatan, semua fakta penting, risiko-risiko, dan efek samping ataupun komplikasi yang mungkin akan terjadi, kerugian dan keuntungan pengobatan dengan cara tersebut, alternatif lain yang tersedia, besarnya biaya yang akan dikeluarkan, prosentase kegagalan, keadaan setelah pengobatan, dan pengalaman dokter tersebut.”
Pandangan ini menunjukkan bahwa dokter dalam memberikan tindakan medis harus memperhitungkan segala risiko yang mungkin terjadi terhadap diri pasiennya. Dengan demikian, di sinilah pentingnya informasi secara jelas disampaikan kepada pasien dan keluarganya sebelum tindakan medis dilakukan. Sekali lagi, harus dipahami bahwa tindakan medis seorang dokter terhadap pasien tidak selamanya membuahkan hasil sebagaimana yang tercantum di dalam informed consent, namun terkadang ada bias dari apa yang telah disepakati yang pada akhirnya terjadi akibat yang harus ditanggung oleh pasien.53
Adanya akibat yang ditimbulkan oleh tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tersebut membawa implikasi hukum bagi kedua belah pihak, yang tidak hanya pada bidang hukum perdata, tetapi lebih penting di dalam hukum pidana, di mana dengan akibat tersebut seorang dokter dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum dari tindakan yang
52 Munir Fuady, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malapraktek Dokter), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm.47.
53 Muntaha, Op.Cit., hlm.31.
mengakibatkan seorang pasien tidak dapat lagi melaksanakan pekerjaannya sebagaimana biasanya.54
D. Teori Pendukung Informed Consent
Dalam perkembangan teknologi kedokteran saat ini, informed consent tidak hanya berpengaruh terhadap bidang riset dan penelitian klinis, tetapi juga terhadap tindakan-tindakan diagnosis dan terapeutik. Adanya perkembangan teknologi di bidang pelayanan kesehatan, menjadikan diagnosis dan tindakan terapeutik tidak dapat ditebak akibatnya terhadap tubuh sehingga batas- batasnya tidak benar-benar tegas. Hal ini membuat hubungan dokter dan pasien menjadi lebih kompleks. Untuk itu, informed consent harus benar- benar diperhatikan terutama oleh dokter yang secara etik bertanggung jawab terhadap keselamatan pasiennya.
Informed consent adalah bagian dari hak asasi pasien yang memerlukan pelayanan kesehatan, karena itu pasien berhak menolak dilakukan suatu tindakan terhadap dirinya atas dasar informasi yang telah diperoleh dari dokter yang akan melakukan sebuah tindakan medis tertentu.
Keputusan ini merupakan suatu fenomena yang timbul dari berbagai tindakan dokter yang terjadi dalam praktik yang juga sekaligus sebagai antisipasi ke depan bagi dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasiennya, karena tanpa diperolehnya sebuah persetujuan, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dianggap sebagai tindakan melanggar hukum yang dapat dikenakan sanksi apabila terdapat unsur pidananya. Oleh karena itu, menurut Nusye K.I. Jayanti informed consent merupakan suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau walinya yang berhak kepada dokter untuk melakukan suatu tindakan medis terhadap pasien sesudah pasien atau wali itu memperoleh informasi lengkap dan memahami tindakan itu. Dengan kata lain, informed consent disebut juga persetujuan tindakan medik.55
54 Ibid.
55 Nusye K.I. Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malapraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm.89.
Secara hukum, suatu persetujuan dapat terjadi baik tertulis maupun tidak tertulis (persetujuan secara diam-diam). Dalam kejadian sehari-hari, sehubungan dengan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan tindakan medis, pada praktiknya pasien yang datang berobat kepada dokter, baik itu di rumah sakit maupun pada praktik perseorangan dianggap telah memberikan persetujuannya untuk dilakukan tindakan medis yang sifatnya hanya pemeriksaan fisik, tetapi apabila memerlukan suatu tindakan medis yang lebih kompleks diperlukan informasi yang jelas dalam bentuk informed consent.56
Persetujuan tindakan untuk melakukan tindakan medis yang kompleks, di mana mengandung risiko yang terkadang tidak dapat diperhitungkan sejak awal, yang dapat menyebabkan hilangnya jiwa atau cacat permanen diharuskan memperoleh persetujuan secara tertulis agar suatu saat apabila diperlukan, maka persetujuan itu dapat dijadikan bukti. Informed consent dalam fungsinya sebagai barang bukti, maka sebagaimana yang dikatakan oleh Kartono Muhammad bahwa informed consent yang lebih dikaitkan dengan pengertian hukum pada dasarnya mempunyai landasan etik. Dasar etik yang termuat dalam informed consent ini adalah keharusan bagi setiap dokter untuk menghormati kemandirian (otonomi) pasiennya.57
Sebagai landasan etik, maka sebelum dilakukan suatu tindakan medis, seorang dokter dalam menjalankan praktik secara umum memiliki beberapa tahap yang harus dilalui, yaitu sebagai berikut:58
1. Menentukan diagnosis yang ditandai dengan kegiatan berikut:
a. Eksplorasi, yaitu dokter berusaha mendapatkan informasi dari pasien mengenai apa alasan untuk bertemu dengan dokter dan apa harapan- harapannya berkaitan dengan kemampuan dokter dan kondisi kesehatan pasien. Dalam hal ini, dokter bersikap pasif dan lebih banyak mendengar keluhan pasien dan dokter bertanya sesuatu untuk lebih mengerti kondisi kesehatan pasien.
56 Muntaha, Op.Cit., hlm.32.
57 Kartono Muhammad dalam Nusye K.I. Jayanti, Ibid., hlm.92.
58 Muntaha, Op.Cit., hlm.35.
b. Anamnesa, yaitu sebelum dilakukan suatu diagnosis, dokter mencari informasi tentang riwayat penyakit pasien atau perawatan yang pernah dialaminya, juga di samping itu tentang riwayat penyakit dari keluarganya yang mengalami penyakit sama, dan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2. Menyangkut informasi tentang pemeriksaan. Pada tahap ini dokter hanya memberikan suatu gambaran terhadap penyakit pasien berdasarkan diagnosis yang telah dilakukan, diagnosis mana yang disampaikan adalah diagnosis yang paling mendekati hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan.
3. Menyangkut informasi yang berhubungan dengan kemungkinan dilakukan suatu terapi. Tindakan ini dilakukan setelah dokter mengadakan diagnosis, kemudian dokter berkewajiban untuk memberikan informasi dan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang kemungkinan tindakan terapi.
4. Kesepakatan. Pada tahap ini pasien dibantu oleh dokter untuk memilih cara yang terbaik terhadap tindakan medis apa yang akan dilakukan oleh dokter tersebut sehingga ada kesepakatan bagi kedua belah pihak.
Dalam pandangan yang menganut falsafah konsekuensialis yang menganggap baik atau buruk suatu perbuatan berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai, menganggap informed consent sebagai suatu yang baik. Menurut Nusye K.I. Jayanti hal tersebut dikarenakan:59 (1) meningkatkan kemandirian seseorang; (2) melindungi pasien; (3) menghindari penipuan dan pemerasan; (4) memacu sikap teliti pada pihak dokter; dan (5) meningkatkan keikutsertaan masyarakat.
Dilihat dari sudut pandang kepentingan pasien, informed consent tidak lain merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi yang cukup mengenai tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter serta akibat dari tindakan medis tersebut dalam pelayanan kesehatan yang akan dilakukan oleh dokter yang bersangkutan. Adapun dari sudut pandang dokter, informed consent tidak lain merupakan salah satu aspek kewajiban dokter untuk
59 Ibid., hlm.91.
memberikan informasi yang cukup, dibutuhkan atau tidak dibutuhkan kepada pasiennya.60
Kewajiban dokter untuk memberikan informasi kepada pasiennya merupakan salah satu kewajiban hukum utama dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan berupa pemberian tindakan medis bagi pasien, di mana kewajiban hukum yang utama tersebut bagi dokter berupa:61
1. Kewajiban melakukan diagnosis penyakit bagi setiap pasien yang memerlukan pelayanan kesehatan dan tindakan medis;
2. Kewajiban mengobati pasien;
3. Kewajiban memberikan informasi yang cukup kepada pasien dengan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh pasien, baik diminta maupun tidak diminta;
4. Kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari pasien secara sukarela tanpa paksaan maupun penekanan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter setelah mendapatkan informasi yang cukup dan jelas dari dokter tersebut;
5. Keabsahan suatu informed consent untuk dijadikan sebagai acuan dalam melakukan tindakan medis oleh dokter, apabila pasien telah memberikan persetujuan kepada dokter untuk dilakukan tindakan medis, maka tindakan tersebut dapat dilakukan dengan kriteria minimal:
a. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter;
b. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan;
c. Kesukarelaan tanpa paksaan dan tekanan dalam memberikan persetujuan.
Secara yuridis, kompetensi merupakan suatu kemampuan untuk dapat dibebankan tanggung jawab hukum bagi seseorang untuk berbuat dalam melakukan kewajiban hukum maupun dalam menuntut hak-haknya secara
60 Muntaha, Op.Cit., hlm.34.
61 Ibid., hlm.34-35.
hukum. Kemampuan bertanggung jawab secara hukum, terutama di dalam hukum pidana dilihat dari dua aspek.62
Pertama, kemampuan bertanggung jawab secara psikis, di mana seseorang tidak terganggu kejiwaannya sehingga setiap tindakan yang dilakukannya didasari pada kehendak serta kesadaran akan akibat dari tindakan yang akan dilakukan. Kedua, kemampuan bertanggung jawab secara fisik, yaitu apabila telah cakap dan memenuhi umur yang telah ditentukan oleh aturan perundang-undangan yang berlaku.63
Sebagai suatu kewajiban hukum bagi seorang dokter untuk mendapatkan informed consent dari pasiennya, maka terdapat berbagai teori yang melandasi kewajiban tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Munir Fuady, yaitu:64
1. Teori Manfaat kepada Pergaulan Hidup
Menurut teori ini, keharusan untuk mendapatkan informed consent bukan halnya baik bagi pasien saja, melainkan juga bermanfaat kepada pergaulan hidup secara keseluruhan. Bayangkan saja betapa kacau jadinya kehidupan masyarakat jika dokter seenaknya mengoperasi pasiennya tanpa meminta persetujuan dari pihak pasien si punya tubuh dan nyawa, atau persetujuan diberikan, tetapi tanpa dilandasi pengetahuan yang cukup dari pihak pasiennya, yang apabila diberikan informasi yang cukup kepada pasien, mungkin saja pasien tersebut tidak menyetujui tindakan dokter yang bersangkutan. Menurut Muntaha, untuk mendapat utilitas yang maksimal dalam teori ini diperlukan suatu pendampingan pasien dari keluarganya untuk menjelaskan secara detail mengenai informasi yang disampaikan dokter sebelum informed consent diberikan.
2. Teori Manfaat kepada Pasien
Karena tindakan medis yang dilakukan oleh dokter adalah untuk kepentingan pasien, maka dokter dilarang melakukan tindakan yang merugikan kepentingan pasiennya. Sebaliknya, dokter diharapkan untuk
62 Ibid., hlm.35.
63 Ibid.
64 Munir Fuady, Op.Cit., hlm.49.
melakukan apa yang dapat membawa manfaat bagi pasiennya. Oleh karena itu, diberlakukannya persyaratan informed consent juga merupakan salah satu upaya untuk memberikan manfaat bagi pasien. Sebab, dengan adanya informed consent, pihak pasien diberikan informasi yang cukup perihal pengobatannya sehingga pasien tersebut ikut berpartisipasi secara tepat dalam usaha menyembuhkan penyakitnya.
3. Teori Penentuan Nasib Sendiri
Tubuh adalah bagian yang paling berharga bagi manusia. Oleh karena itu, secara hukum maupun secara moral tidak ada satu orang pun, tidak juga dokter dapat berbuat sesuatu terhadap tubuh orang lain tanpa persetujuan dari manusia yang memiliki tubuh tersebut. Manusia mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri (hak otonom). Pada prinsipnya, melakukan suatu perbuatan atas tubuh seseorang tanpa persetujuan dari yang memiliki tubuh tersebut merupakan tindakan melanggar etika, hukum perdata, hukum pidana, bahkan melanggar hak asasi manusia. Dengan demikian, hanya pasienlah yang berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya sendiri (self determination). Dengan demikian, setiap pengobatan yang dilakukan oleh dokter terhadap tubuh pasien, haruslah dengan persetujuan (consent) dari pasien tersebut.
Perkembangan di bidang kesehatan dewasa ini, perihal informed consent sudah menjadi hal yang mutlak diperlukan, tidak hanya dalam dunia kedokteran, tetapi juga dalam dunia hukum modern. Hal ini tidak lain disebabkan oleh adanya perkembangan pengakuan atas harkat dan martabat manusia yang lebih besar. Adanya perkembangan hubungan antara dokter dan pasien, di mana dalam sistem kedokteran klasik, hubungan tersebut bersifat paternalistik atau hubungan fidusia (fiduciary relationship) di mana pasien seakan-akan hanya pasrah pada keinginan dokter untuk melakukan suatu tindakan medis dengan harapan bahwa dengan tindakan tersebut pasien dapat sembuh dari penyakit yang dideritanya.65
65 Muntaha, Op.Cit., hlm.36.
Sejalan dengan perkembangan dinamika masyarakat dewasa ini, pendekatan klasik yang demikian dipandang sudah tidak sesuai lagi, maka dikembangkanlah pendekatan kedokteran modern, di mana hubungan dokter dan pasien tidak lagi sebagai hubungan yang bersifat fiduciary relationship, tetapi lebih pada hubungan yang bersifat otonom yang mengedepankan pada penghormatan terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri terhadap tubuhnya (self determination). Dengan demikian, kedudukan dokter dan pasien secara hukum menjadi setara. Oleh karena itu, untuk mendapatkan persetujuan dari pasien sebagai dasar dokter dalam melakukan pengobatan, dokter harus memberikan informasi yang cukup kepada pasien. Hubungan inilah dari segi keilmuan baik dari ilmu hukum maupun dari ilmu kedokteran yang dinamakan dengan doktrin informed consent.66
Informed consent merupakan manifestasi dari perlindungan pasien dalam mendapatkan pengobatan dari dokter. Oleh karenanya, mendapatkan informasi dari dokter agar pasien dapat memberikan informed consent-nya adalah bagian dari Bill of Rights terhadap pasien. Sebagai contoh, di Amerika Serikat pada tahun 1992, The American Hospital Association telah menerbitkan Bill of Rights terhadap pasien, di mana di dalamnya memuat beberapa hal sebagai berikut:67 (1) hak atas kepedulian dokter; (2) penghormatan terhadap privasi dari klien; (3) hak atas kerahasiaan informasi; (4) hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan cukup; (5) hak untuk mendapatkan/diperlihatkan rekam medis (medical records).
Dalam melakukan suatu tindakan medis, kedudukan dan fungsi informed consent semakin penting. Hal ini disebabkan oleh adanya perkembangan kesadaran dinamika masyarakat sehingga terjadi paradigma pola pikir terhadap hubungan dokter dan pasien dari pola pikir klasik menjadi pola pikir yang otonom. Hal ini disebabkan beberapa faktor sebagai berikut:68
1. Karena semakin tinggi kesadaran akan pentingnya perlindungan hak asasi, termasuk hak untuk menentukan diri sendiri (self determination);
66 Ibid., hlm.36-37.
67 Munir Fuady, Op.Cit., hlm.51-52.
68 Ibid., hlm.52-53.
2. Karena semakin tingginya kesadaran hak-hak pasien, termasuk hak untuk memproses secara hukum jika terjadi tindakan malapraktik oleh dokter;
3. Akibat perkembangan teknologi informasi yang cepat, masyarakat (pasien) menjadi semakin kritis;
4. Akibat perkembangan yang pesat di bidang teknologi kedokteran, pasien semakin sulit memahami teknologi tersebut tanpa penjelasan yang baik oleh dokter;
5. Sebagai pengaruh prinsip-prinsip bisnis ke dalam profesi kedokteran, menyebabkan hubungan antara dokter dan pasien menjadi hubungan bisnis yang impersonal;
6. Sebagai pengaruh globalisasi, di mana praktik di luar negeri atau praktik dokter asing di Indonesia yang sudah sangat maju dalam mempraktikkan doktrin informed consent ini;
7. Karena kedudukan pasien umumnya lemah dan tidak setara dengan kedudukan dokter sehingga perlu aturan yang membuat kedudukan keduanya menjadi setara. Lemahnya kedudukan pasien disebabkan oleh:
(a) kurangnya pengetahuan pasien terhadap teknik kedokteran; (b) pasien di bawah tekanan psikis dan mental karena sakit; dan (c) pasien tidak dalam keadaan bebas karena penyakitnya itu.
Dalam kondisi yang demikian, maka informed consent mempunyai peran yang sangat strategis, tidak hanya dalam penyetaraan kedudukan antara pasien dan dokter, melainkan juga dalam memberi perlindungan hak asasi pasien dalam kaitannya dengan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.69
Dalam melakukan suatu persetujuan informed consent, hukum membolehkan dilakukan secara lisan maupun tertulism hanya saja Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengharuskan adanya persetujuan tertulis untuk kasus-kasus yang berisiko tinggi dan ditandatangani oleh orang-orang yang berhak memberikan persetujuan. Dalam hal ini, fungsi informed consent sangat diperlukan dalam rangka
69 Muntaha, Op.Cit., hlm.38.
mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa terjadi terhadap tindakan dokter dalam rangka melakukan pelayanan medis bagi pasien.70
Munir Fuady mengemukakan perlunya informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai fungsi:71
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia;
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination);
3. Upaya mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien (self security);
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter;
5. Mendorong diambil putusan yang lebih rasional;
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan;
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Diberikannya persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis, tidak berarti bahwa dokter telah terbebas dari pertanggungjawaban secara hukum apabila melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standar profesinya dan keilmuan yang dimilikinya serta menyimpang dari apa yang telah disepakati di dalam informed consent, meskipun dokter memenuhi kewajiban meminta informed consent, namun dokter tersebut masih memungkinkan untuk dimintai pertanggungjawaban secara hukum apabila tindakannya terindikasi medikal malapraktik dalam pelayanan kesehatan terhadap pasiennya.72
Menurut Muntaha, informed consent juga berfungsi sebagai standar bagi dokter di dalam melakukan tindakan medis bagi pasiennya yang memerlukan pelayanan kesehatan.73
70 Ibid.
71 Munir Fuady, Op.Cit., hlm.53.
72 Muntaha, Op.Cit., hlm.39.
73 Ibid.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.74 Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).75
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.76
Dalam penelitian ini, kajian dilakukan terhadap taraf sinkronisasi vertikal yaitu meneliti keserasian hukum positif agar tidak bertentangan berdasarkan hierarki perundang-undangan (stufenbautheory).77 Adapun taraf
74 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hlm.34.
75 Ibid.
76 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (a), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm.35.
77 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder) yang mencakup: (a) penelitian terhadap asas-asas hukum yaitu penelitian terhadap unsur-unsur hukum baik unsur ideal (normwissenschaft/sollenwissenschaft) yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum melalui filsafat hukum dan unsur nyata (tatsachenwissenschaft/seinwissenschaft) yang menghasilkan tata hukum tertentu (tertulis); (b) penelitian terhadap sistematika hukum yaitu mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok dalam hukum seperti subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum dalam peraturan perundang-undangan; (c) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal yaitu meneliti keserasian hukum positif (peraturan perundang-undangan) agar tidak bertentangan berdasarkan hierarki perundang-undangan (stufenbautheory); (d) perbandingan hukum yaitu membangun pengetahuan umum mengenai hukum positif dengan membandingkan sistem hukum di satu negara dengan sistem hukum di negara lainnya; dan (e) sejarah hukum yaitu meneliti perkembangan hukum positif (peraturan perundang-undangan) dalam kurun waktu
sinkronisasi vertikal yang dimaksud adalah kesesuaian berbagai regulasi yang mengatur mengenai pemberian perlindungan hukum terhadap dokter-dokter yang berhadapan dengan sengketa medik.
B. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah preskriptif, sebagaimana dikatakan oleh Peter Mahmud Marzuki bahwa tujuan dari penelitian hukum yakni memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya dilakukan, bukan membuktikan kebenaran dari hipotesis. Dalam penelitian ini, Penulis berusaha untuk memberikan gambaran mengenai upaya-upaya yang dilakukan oleh BHP2A IDI dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap dokter-dokter yang berhadapan dengan sengketa medik serta kendala-kendala yang dihadapinya.
C. Jenis Data
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam melakukan penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Untuk memecahkan isu hukum sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, maka diperlukan data. Ada pun jenis data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.78 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim.79 Bahan hukum primer yang digunakan oleh Penulis dalam melakukan penelitian ini terdiri dari:
tertentu. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), hlm.15.
78 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.47.
79 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (b), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), hlm.181.
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
b. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Dokter Indonesia Tahun 2015;
c. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Tahun 2012;
d. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.80
3. Bahan hukum tersier, yaitu berupa Kamus Hukum.
4. Bahan Non Hukum, yaitu terdiri dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan hasil wawancara dengan Jajaran Pimpinan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Jajaran Pimpinan Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) PB IDI, dan Jajaran Pimpinan IDI Cabang Jakarta Barat.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan studi pustaka (library research) terhadap bahan- bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun penelusuran melalui media online. Selain itu, juga akan dilakukan pengumpulan data sekunder dengan teknik wawancara dengan narasumber, yaitu Jajaran Pimpinan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Jajaran Pimpinan Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) PB IDI, Jajaran Pimpinan IDI Cabang Jakarta Barat.
80 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm.54.
E. Teknik Pengolahan Data
Setelah data dan bahan hukum dikumpulkan, tahap selanjutnya adalah melakukan pengolahan data, yaitu mengelola data sedemikian rupa sehingga data dan bahan hukum tersebut tersusun secara runtut, sistematis, sehingga akan memudahkan dalam melakukan analisis. Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan makna apa pun bagi tujuan penelitian. Oleh karena itu, tepat kiranya bahwa setelah pengumpulan data ini, kemudian melakukan kegiatan pengolahan data. Pengolahan data demikian disebut juga sebagai klasifikasi data, yaitu melakukan klasifikasi terhadap data dan bahan hukum yang telah terkumpul ke dalam kelas-kelas dari gejala-gejala yang sama atau yang dianggap sama.81
Berkaitan dengan metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini, maka pengolahan bahan berwujud kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Dalam hal ini pengolahan bahan dilakukan dengan cara melakukan seleksi data sekunder atau bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis, tentu saja hal tersebut dilakukan secara logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran umum dari hasil penelitian.82
F. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupaya melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah, atau memberi
81 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Op.Cit., hlm.180.
82 Ibid., hlm.181.
komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori.83
Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif. Metode analisis kualitatif dipergunakan untuk menganalisis dan mengeksplanasi hasil penelitian, dan kemudian menyajikan secara kualitatif.84 Selain itu, dalam melakukan analisis juga digunakan interpretasi gramatikal dan subsumtif.85 Digunakannya metode interpretasi gramatikal dalam penelitian ini karena Penulis melakukan penafsiran kata-kata atau istilah yang terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan mengenai pemberian bantuan hukum terhadap dokter.
Dalam melakukan analisis data, juga digunakan metode pendekatan. Dengan menggunakan metode pendekatan, diharapkan akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.86 Metode pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode pendekatan undang-undang (statute approach).87
83 Ibid., hlm.183.
84 Tundjung Herning Sitabuana, “Penyelesaian Masalah Diskriminasi Terhadap Etnis Cina (Studi Tentang Perkembangan Politik Hukum di Bidang Kewarganegaraan Republik Indonesia)”, (Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Diponegoro, 2011), hlm.94.
85 Interpretasi subsumtif adalah penerapan suatu teks perundang-undangan terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan silogisme. Silogisme adalah bentuk berpikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum (premis mayor atau peraturan perundang-undangan) dan hal-hal yang bersifat khusus (premis minor atau peristiwa).
Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam perundang- undangan sesuai kaidah bahasa (hukum tata bahasa) yang berlaku. Bagi A. Pitlo, interpretasi gramatikal berarti mencoba menangkap arti sesuatu teks/peraturan menurut bunyi kata-katanya. Lihat: Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan), (Yogyakarta: UII Press, 2012), hlm.111.
86 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm.133.
87 Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara satu undang-undang dengan undang- undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legis atau dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang, peneliti sebenarnya mampu menangkap kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang itu. Dengan memahami kandungan filosofis yang ada di belakang undang-undang itu, peneliti tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dan isu yang dihadapi. Ibid., hlm.133-134.
Metode pendekatan ini dipilih karena dalam penelitian ini Penulis melakukan telaah terhadap semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanganan sengketa medik.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Wawancara dengan Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI)88
BHP2A merupakan badan kelengkapan dari IDI yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan pembinaan dan pengawasan praktik dokter dalam kesadaran hukum kesehatan/kedokteran, serta membela anggota dalam menjalankan profesinya, baik yang menyangkut masalah etik, hukum, administrasi, atau organisasi, baik diminta atau tidak diminta.
Dalam implementasi praktik kedokteran, berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pasien/keluarga pasien yang mengetahui adanya dugaan kesalahan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter, dapat mengadukan hal tersebut ke MKDKI, namun tidak menutup kemungkinan dilakukannya pengaduan sejenis ke lembaga lain (baik kepolisian, organisasi profesi, maupun pengadilan). Untuk pelanggaran hukum (khususnya pidana), maka pengaduan ditujukan ke pihak kepolisian dan dokter yang bersangkutan bisa meminta ke BHP2A untuk diberikan bantuan hukum.
Lain halnya jika pengaduan ditujukan ke MKDKI, maka MKDKI akan melihat apakah dugaan pelanggaran yang dilaporkan tersebut merupakan pelanggaran disiplin, etika, atau hukum. Jika ditemukan adanya indikasi pelanggaran disiplin, maka laporan pengaduan akan diselesaikan oleh MKDKI. Sedangkan jika ditemukan adanya indikasi pelanggaran etika, maka laporan akan diteruskan ke IDI untuk diproses oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Kecuali jika pengaduan tersebut murni merupakan pelanggaran hukum (tindak pidana), maka MKDKI akan menolak laporan tersebut.
88 Wawancara ini dilakukan terhadap: (a) Dr. H.M. Nazar, Sp.B., MH.Kes.; (b) Dr. Efrilla, S.H., M.H.; (c) Dr. Emil Dinar Makotjo Wibowo, Sp.U.; dan (d) Dr. Lucky Azizah Bawazier, S.H., M.H., Sp.PD-KGH.
BHP2A memiliki peran sebagai lembaga yang memverifikasi apakah suatu pengaduan yang diterima merupakan pelanggaran terhadap etika atau hukum. Jika dokter yang diadukan tersebut melakukan pelanggaran etika, maka BHP2A akan meneruskan pengaduan tersebut kepada MKEK dan juga memberikan pendampingan hukum kepada dokter yang bersangkutan, baik diminta maupun tanpa diminta.
Pengaduan mengenai adanya dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh dokter, akan diteruskan ke MKEK untuk disidangkan. Dalam MKEK terdapat kemahkamahan etik, yang mana nantinya akan bertugas menindaklanjuti pengaduan dengan melakukan pemanggilan terhadap dokter yang diadukan untuk dimintai keterangan dan diperiksa.
Setiap pengaduan yang diajukan ke BHP2A tentunya dimaksudkan untuk memperoleh penyelesaian secara damai bagi para pihak. Selama dugaan pelanggaran yang diadukan masih dalam koridor profesi dokter, maka IDI yang akan bertanggung jawab untuk menyelesaikan pelanggaran tersebut melalui organ-organnya, baik melalui BHP2A maupun MKEK. Namun berbeda halnya jika terdapat unsur tindak pidana, maka BHP2A akan mengantarkan dokter teradu untuk diproses lebih lanjut oleh pihak kepolisian.
Dokumentasi Penulis saat melakukan wawancara dengan Pimpinan Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) di Sekretariat Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI).
B. Hasil Wawancara dengan Pimpinan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jakarta Barat89
Dalam praktik kedokteran, terdapat berbagai macam sengketa medik, yang meliputi: pelanggaran hukum, etik, dan disiplin profesi. MKEK merupakan lembaga concern dalam menangani dugaan pelanggaran etik dokter, sedangkan untuk pelanggaran disiplin profesi menjadi kewenangan dari MKDKI.
Masyarakat awam terkadang kurang memahami macam-macam sengketa medik tersebut, sehingga masyarakat yang sering keliru ketika menyampaikan pengaduan, yang mana sering kali tidak sesuai dengan yurisdiksi dari lembaga yang menerima pengaduan tersebut. Misalnya, tidak jarang MKEK menerima pengaduan dari masyarakat yang tidak sesuai dengan yurisdiksi MKEK (mengadili dugaan pelanggaran etika). Demikian pula halnya dengan MKDKI yang seharusnya mengadili dugaan pelanggaran disiplin profesi, juga tidak jarang malah menerima pengaduan dari masyarakat yang terkait dengan pelanggaran etika atau hukum yang dilakukan oleh dokter teradu.
Apabila terjadi kondisi demikian, maka baik MKEK maupun MKDKI akan melakukan pemeriksaan awal guna menetapkan apakah benar pengaduan yang diterima tersebut sudah sesuai dengan yurisdiksi MKEK maupun MKDKI. Jika tidak sesuai, maka MKEK maupun MKDKI akan meneruskan pengaduan tersebut ke lembaga terkait sesuai dengan jenis sengketa medik yang diadukan. Jika terdapat unsur pelanggaran hukum, maka MKEK dan MKDKI akan meneruskan ke BHP2A untuk memberikan pendampingan kepada dokter teradu dalam menjalani proses hukum (baik secara perdata maupun pidana).
Sanksi etik yang diberikan oleh MKEK kepada dokter lebih bersifat pembinaan dengan harapan dokter tersebut dapat menyadari perbuatannya dan
89 Wawancara ini dilakukan terhadap pimpinan IDI cabang Jakarta Barat yang terdiri atas:
(a) Dr. Cecilia Padang, Ph.D., FACR; (b) Dr. Arjani Gandadinata; (c) Dr. Oktavianus Ch. Salim;
(d) Dr. Muhamad Hasan; (e) Dr. Muliono, S.H., M.Kes.; (f) Dr. Ria Gayatri; (g) Dr. Yustin Simatupang, Sp.A.; dan (h) Dr. Chairudin.
dapat memperbaiki diri ke depannya demi terjaganya keluhuran dari profesi kedokteran itu sendiri.
IDI sangat menyayangkan kondisi praksis di masyarakat yang kerapkali melakukan kriminalisasi terhadap profesi dokter. Tidak jarang kita melihat kondisi di mana dokter sering digugat secara perdata oleh pasien/keluarganya, bahkan lebih jauh dari itu dokter malah dilaporkan secara pidana ke pihak kepolisian. Pada dasarnya, tidak ada seorang dokter pun yang berkeinginan untuk mencederai atau bahkan menghilangkan nyawa pasien, karena sesuai dengan sumpah dokter diikrarkan saat pelantikan dokter, setiap dokter diwajibkan untuk menolong/menyelamatkan nyawa pasien, bukan malah sebaliknya.
Pengetahuan masyarakat awam yang terbatas, sering kali menganggap dokter sebagai „dewa‟ yang mana harus bisa memberikan kesembuhan pada pasien. Padahal sebagaimana kita ketahui, dokter hanyalah perantara bagi pasien untuk memperoleh kesembuhan. Atau dengan kata lain, dokter hanya mengupayakan kesembuhan, bukan menjanjikan kesembuhan.
Masyarakat awam sering kurang memahami pola hubungan antara dokter dan pasien ini, sehingga kerapkali kita menjumpai/menemukan pemberitaan adanya dokter yang digugat/dilaporkan ke polisi karena dianggap telah melakukan tindakan malapraktik. Seorang dokter hanya dapat dikatakan/dianggap telah melakukan malapraktik apabila adanya standar operasional prosedur tindakan medis yang tidak dilakukan/disimpangi oleh dokter tersebut dalam tata laksana praktik kedokteran. Namun, apabila dokter sudah melaksanakan setiap prosedur yang diharuskan, maka dokter tersebut tidak bisa dikatakan telah melakukan malapraktik, meskipun hasil akhir dari tindakan medis tersebut bukanlah kesembuhan seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh reaksi tubuh masing-masing pasien terhadap suatu tindakan medis yang sama, sangat dimungkinkan beragam. Sehingga belum tentu suatu tindakan medis yang sama akan memberikan hasil yang sama pula pada pasien yang berbeda. Kecuali apabila diketemukan adanya unsur kelalaian dari diri dokter tersebut dalam melakukan tindakan medis, maka atas
kelalaiannya itu dokter dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum dan dapat dikualifikasikan sebagai tindakan malapraktik90.
Setiap ada permasalahan antara dokter dan pasien, sangat disarankan untuk langsung bisa menyampaikan laporan ke IDI cabang terdekat. IDI cabang Jakarta Barat telah mengadakan Nota Kesepahaman (MoU) dengan pihak Polda DKI Jakarta yang isinya bahwa pihak kepolisian tidak boleh melakukan penangkapan terhadap dokter tanpa didampingi oleh IDI. Selain itu, setiap ada permasalahan antara dokter dan pasien, IDI wajib melakukan upaya mediasi terlebih dahulu yang mana mengacu pada ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016.
Ketika MKEK menerima pengaduan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran etik, maka langkah awal yang diambil oleh MKEK adalah melakukan pemanggilan terhadap dokter yang bersangkutan guna meminta klarifikasi apakah laporan tersebut merupakan dugaan pelanggaran etika atau disiplin profesi. Dalam tahapan ini, BHP2A memiliki peran guna memberikan pendampingan/bantuan hukum terhadap dokter teradu.
Sejauh ini, setiap ada permasalahan antara dokter (anggota IDI cabang Jakarta Barat) dan pasien, maka pihak IDI cabang Jakarta Barat akan melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait untuk dimintakan klarifikasi. Dalam konteks ini, BHP2A yang mengambil peran untuk mencoba memediasikan para pihak. Untuk di wilayah Jakarta Barat, IDI berani memastikan bahwa dokter-dokter anggota IDI cabang Jakarta Barat sangat taat dan memegang teguh etika profesi kedokteran, karena para dokter menyadari bahwa IDI adalah organisasi yang memayungi profesi mereka.
90 Secara etimologi “malapraktik” berasal dari kata malpractice yang artinya cara mengobati yang salah atau tindakan yang salah. Malapraktik merupakan tindakan profesional yang tidak benar/kegagalan profesi untuk menerapkan keterampilan. Jadi, malapraktik medis adalah tindakan seorang profesional medis yang salah dan mengakibatkan kerugian pasien.
Secara harafiah, “mal” mempunyai arti “salah”, sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan/tindakan”, sehingga malapraktik berarti pelaksanaan/tindakan yang salah.
Arti malapraktik secara medis adalah kelalaian seorang dokter menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan berdasarkan ukuran yang lazim orang lain dalam mengobati pasien dengan ukuran standar di lingkungan yang sama. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik. Mudakir Iskandar Syah, Tuntutan Hukum Malapraktik Medis, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2019), hlm.1-2.
PB IDI juga sering menerima pengaduan dari masyarakat atas tindakan dokter, dan kemudian PB IDI akan meneruskan pengaduan tersebut ke IDI cabang sesuai dengan domisili dokter teradu terdaftar sebagai anggota. Namun, apabila para pihak merasa tidak puas dengan penyelesaian yang diputuskan oleh IDI cabang, maka dapat ditempuh upaya banding ke IDI wilayah. PB IDI hanya akan mengambil peran apabila terdapat kasus pelanggaran etika yang besar dan menjadi isu nasional.
Jika penyelesaian sengketa etika telah selesai dilaksanakan, maka IDI cabang akan membuat surat interen untuk disampaikan kepada PB IDI pada saat forum Muktamar IDI. Hal-hal yang dilaporkan oleh IDI cabang meliputi jumlah pengaduan yang diterima, jumlah pengaduan yang sedang berproses, dan jumlah pengaduan yang yang sudah diselesaikan.
Sebelum melaksanakan tindakan medis, setiap dokter wajib menjelaskan kepada pasien/keluarganya terkait dengan risiko yang mungkin terjadi dari suatu tindakan medis. Setelah diberikan penjelasan yang memadai, maka dokter wajib meminta persetujuan dari pasien/keluarganya sebelum melakukan tindakan medis (baik secara lisan maupun tertulis dalam bentuk informed consent91).
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mewajibkan setiap dokter untuk membuat dan menyimpan rekam medis (medical record) pasien, namun setelah melebihi waktu 5 (lima) tahun, medical record tersebut diperbolehkan untuk dimusnahkan.
Dalam praktik dewasa ini, sering terjadi kekeliruan bahwa dokter yang terindikasi melakukan pelanggaran disiplin profesi dan sudah diputus oleh MKDKI, kemudian malah dokter yang bersangkutan harus dihadapkan kembali dengan proses hukum yang diajukan oleh pasien/keluarganya di pengadilan negeri (baik secara perdata maupun pidana). Dalam hal ini,
91 Komalasari memberi pengertian informed consent sebagai suatu kesepakatan/ persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi. Muntaha, Hukum Pidana Malapraktik (Pertanggungjawaban dan Penghapus Pidana), (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm.24.
ketentuan Pasal 79 Ayat (4) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 50 Tahun 2017 sudah secara tegas menyatakan bahwa putusan MKDKI tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti dalam peradilan perdata maupun pidana, sehingga IDI berpendapat bahwa adalah sebuah kekeliruan jika ada masyarakat yang menjadikan putusan MKDKI sebagai alat bukti untuk meminta pertanggungjawaban hukum (secara perdata maupun pidana) dari dokter yang bersangkutan.
Berbeda halnya dengan MKEK, putusan MKEK bersifat tertutup, sehingga putusan MKEK tidak bisa dipublikasikan ke khalayak umum. Selain itu, mekanisme penyelesaian sengketa etik yang dilaksanakan secara berjenjang dirasa sudah memberikan kesempatan yang luas bagi dokter teradu untuk menguji membela diri melalui upaya hukum banding ke MKEK wilayah, hingga kasasi ke MKEK pusat.
IDI memiliki peran penting dalam penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) maupun Surat Izin Praktik (SIP) yang dimiliki oleh dokter. Setiap dokter hanya akan bisa memperoleh STR dan SIP apabila mendapatkan rekomendasi dari IDI.
Pada dasarnya MKEK maupun MKDKI bersifat netral dan berusaha seobjektif mungkin dalam menjatuhkan memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa medik yang ada. Tidak mungkin MKEK dan MKDKI menjalankan tugasnya dengan sembarangan/semena-mena hanya atas dasar unsur subjektivitas terhadap dokter teradu. Karena pada dasarnya tujuan dari MKEK dan MKDKI adalah melindungi dokter anggota.
Terkait dengan pidana kebiri kimia sebagai sanksi tambahan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual anak di bawah umur. IDI secara tegas menolak penjatuhan pidana tersebut apabila pelaksanaan eksekusinya melibatkan profesi dokter sebagai eksekutor walaupun tindakan tersebut merupakan perintah undang-undang/putusan pengadilan. Hal ini dikarenakan mengikutsertakan dokter sebagai eksekutor merupakan suatu hal yang bertentangan dengan sumpah profesi dokter yang telah diikrarkan oleh tiap- tiap dokter sebelum dilantik.
Dokumentasi Penulis saat melakukan wawancara dengan Pimpinan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Jakarta Barat di Sekretariat Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
cabang Jakarta Barat.
C. Pembahasan
1. Upaya BHP2A IDI dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Dokter yang Berhadapan dengan Sengketa Medik
BHP2A merupakan salah satu badan kelengkapan dari IDI (baik di tingkat pusat, wilayah, maupun cabang) yang memiliki tugas dan wewenang: (a) melakukan telaah hukum terhadap rancangan peraturan- peraturan dan ketetapan-ketetapan organisasi; (b) melakukan telaah hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anggota dan organisasi; dan (c) melakukan pembinaan dan pembelaan anggota dalam menjalankan profesinya.
Sebagai badan yang bertugas melakukan pembinaan dan pembelaan terhadap anggota, BHP2A memiliki peran sentral ketika adanya sengketa medik yang melibatkan anggota profesi dokter dan pasien/masyarakat. Pasien/masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindakan dokter, dapat mengajukan pengaduan ke BHP2A yang terdapat pada IDI cabang, wilayah, maupun pusat.
BHP2A akan melakukan pemeriksaan awal terhadap pengaduan yang masuk guna menentukan jenis sengketa medik yang terjadi. Setidaknya terdapat 3 (tiga) macam sengketa medik, yaitu sengketa hukum (pidana/perdata), sengketa etik, dan sengketa disiplin profesi.
Jika pengaduan yang diajukan mengandung unsur pelanggaran etik, maka BHP2A akan meneruskan pengaduan tersebut ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) setempat guna diproses. Hal ini dikarenakan MKEK adalah lembaga yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan ada/tidaknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh dokter teradu, serta menetapkan sanksi etik bagi dokter yang terbukti melakukan pelanggaran etik.
Lain halnya apabila pengaduan tersebut mengandung unsur pelanggaran disiplin profesi, maka BHP2A akan meneruskan pengaduan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) guna dilakukan pemeriksaan. MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan ada/tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan oleh dokter teradu, serta menetapkan sanksi disiplin bagi dokter yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin.
Terakhir, apabila pengaduan yang diterima oleh BHP2A merupakan sengketa hukum (pidana/perdata), maka BHP2A akan meneruskan meneruskan pengaduan tersebut ke lembaga hukum yang berwenang (kepolisian/pengadilan).
Dari masing-masing jenis sengketa tersebut, BHP2A akan menawarkan bantuan hukum berupa pendampingan bagi dokter yang diadukan oleh pasien/masyarakat, baik saat berperkara di MKEK, MKDKI, maupun pengadilan. Jadi, BHP2A menyediakan jasa bantuan hukum bagi dokter-dokter anggota yang menghadapi sengketa medik, baik diminta maupun tanpa diminta.
Keberadaan BHP2A juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi dokter-dokter anggota IDI yang harus berhadapan dengan sengketa medik. Hal ini dikarenakan profesi dokter sangat erat hubungannya dengan nyawa/keselamatan pasien. Pemahaman masyarakat luas yang masih menganggap bahwa hubungan dokter dan pasien dipersamakan dengan hubungan hukum perdata umumnya seperti jual- beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Pola hubungan hukum tersebut
lebih menitikberatkan pencapaian prestasi berupa „hasil‟ (resultaat verbintenis). Hal ini tentu berbeda dengan hubungan hukum yang terjalin antara dokter dan pasien, yang sering disebut sebagai kontrak terapeutik. Dalam kontrak terapeutik, prestasi yang hendak dicapai bukanlah hasil berupa kesembuhan pasien, melainkan upaya maksimal dokter guna mengupayakan kesembuhan pasien (inspanning verbintenis).
Pemahaman yang kurang tepat inilah yang menyebabkan sering kali pasien/masyarakat mengadukan dokter karena adanya rasa tidak puas atas tindakan medis yang diberikan oleh dokter. Umumnya mereka (pasien/masyarakat) berharap dapat memperoleh kesembuhan setelah mereka mengeluarkan sejumlah uang/materi sebagai syarat menjalani tindakan medis yang diberikan oleh dokter/rumah sakit. Ukuran kesembuhan yang diharapkan adalah kembali pada kondisi seperti semula (awal). Ekspektasi yang demikian tentunya tidak bisa sepenuhnya dibenarkan, mengingat sifat khas dari kontrak terapeutik itu sendiri. Dalam kontrak terapeutik, dokter berikhtiar secara maksimal untuk mencari dan menentukan terapi penyembuhan yang paling tepat bagi pasien.92
Sifat khas tersebut yang hingga kini belum sepenuhnya dipahami secara tepat oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang cenderung memaknai kesembuhan sebagai hasil akhir dari suatu kotrak terapeutik yang mutlak harus dipenuhi/dicapai. Maka tidak mengherankan apabila kesembuhan yang diharapkan tidak tercapai, pasien/masyarakat akan mengambil langkah hukum guna mengejar pertanggungjawaban dari dokter yang bersangkutan.
Pemahaman yang ada saat ini tentunya perlu diluruskan agar tidak semakin menimbulkan kesesatan. Tidak bisa kita sangkal bahwa profesi dokter memang sangat erat hubungannya dengan keselamatan/nyawa pasien, di mana tugas utama profesi ini adalah mengupayakan
92 Hermien Hadiati Koeswadji, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan: Asas-asas dan Permasalahan Implementasinya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.61.
kesembuhan pasien. Hal ini tercermin dari isi sumpah profesi dokter (Hippocratic Oath) yang wajib dilafalkan dan diimplementasikan oleh setiap penyandang profesi dokter.
Setiap dokter wajib (tanpa terkecuali) mengimplementasikan sumpah profesi dan kode etik kedokteran dalam tugas praktik kedokteran yang mereka lakukan. Hal ini dimaksudkan demi menjaga keluhuran dari profesi dokter di mata masyarakat. Namun, tidak jarang pula kita mendapati adanya dokter-dokter yang melakukan pelanggaran pelaksanaan praktik kedokteran. Pada kondisi demikian, peran BHP2A menjadi penting guna menindaklanjuti adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh dokter, baik berupa pelanggaran hukum, etik, maupun disiplin profesi.
Dalam konteks pembinaan hukum, BHP2A mensosialisasikan berbagai regulasi yang terkait dengan praktik kedokteran secara berkelanjutan. Tujuan dari pembinaan hukum terhadap dokter sebagai anggota IDI yaitu: (a) agar dokter dapat menjauhkan diri dari pelanggaran aturan organisasi, disiplin, dan hukum dalam melaksanakan profesinya;
(b) untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan; (c) untuk meningkatkan citra profesi kedokteran, dan (d) mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter.
Dalam konteks pembelaan hukum, BHP2A melakukan pembelaan terhadap anggota IDI yang mengalami masalah dalam melaksanakan tugas/pekerjaan profesinya, yang berkaitan dengan tindakan pelanggaran disiplin kedokteran, tindakan pelanggaran hukum kedokteran/kesehatan, pelanggaran etika, maupun sebagai korban dalam lingkup profesinya. Pembelaan ini bertujuan agar para anggota IDI mendapat perlindungan dan pembelaan dalam menjalankan profesinya, serta demi tegaknya keadilan bagi anggota dalam penyelesaian masalah etika, disiplin profesi, hukum, pekerjaan profesi, pendidikan, dan organisasi profesi.
BHP2A memberikan bantuan pembelaan hukum terhadap semua anggota IDI yang mengalami masalah medik, baik atas permintaan
maupun tanpa permintaan, selama anggota IDI yang bersangkutan tidak menolak pembelaan dari BHP2A. Permintaan bantuan hukum dapat langsung dilakukan oleh anggota IDI yang sedang bermasalah dan/atau permintaan dari pengurus IDI lainnya. Upaya pembelaan anggota IDI dilakukan melalui pendekatan personal, upaya administrasi/organisatoris, upaya mediasi, serta upaya jalur hukum.
Dalam menangani sengketa medik, BHP2A melakukan tahapan sebagai berikut: Pertama, BHP2A menerima pengaduan/laporan perihal adanya sengketa medik. Pelaporan dapat berasal dari: (i) pasien/keluarga/kuasa hukum pasien atau pihak lain yang merasa dirugikan akibat tindakan dokter yang diduga adanya pelanggaran yang dilakukan dokter; (ii) dokter yang sedang bermasalah (dokter teradu/terlapor); (iii) pihak-pihak yang mengetahui adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan dokter; dan/atau (iv) pemberitaan media cetak dan/atau elektronik atau sudah menjadi isu publik (public issue).
Selanjutnya BHP2A akan melakukan verifikasi mengenai identitas pengadu dan identitas dokter teradu/terlapor. Selain itu, BHP2A akan berkoordinasi dengan IDI setempat guna mencari informasi lebih lanjut perihal pengaduan sengketa tersebut.
Pengurus BHP2A selanjutnya melakukan analisa terhadap laporan sengketa medik yang terjadi guna mengetahui jenis sengketa medik yang terjadi (etika, disiplin profesi, atau hukum). Suatu sengketa diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: (i) „putih‟ apabila sengketa tersebut tidak mengandung unsur etika, disiplin profesi, maupun hukum;
(ii) „abu‟abu‟ apabila sengketa tersebut belum jelas; dan (iii) „hitam‟ apabila sengketa tersebut mengandung unsur pelanggaran hukum, baik secara perdata atau pidana.
Terhadap sengketa medik „putih‟, BHP2A akan dilakukan pendampingan dan pembelaan terhadap dokter teradu/terlapor, sedangkan untuk sengketa medik „abu-abu‟ akan dilakukan pemanggilan terhadap dokter teradu/terlapor. Apabila ditemukan adanya dugaan pelanggaran
etika kedokteran, maka sengketa medik tersebut akan dilimpahkan ke MKEK untuk diperiksa, diadili, serta diputus. Dalam pemeriksaan di MKEK, pengurus BHP2A akan melakukan pembinaan dan pembelaan terhadap dokter teradu/terlapor.
Jika ditemukan adanya unsur pelanggaran disiplin profesi kedokteran, maka sengketa tersebut akan dilimpahkan ke MKDKI untuk diperiksa, diadili, dan diputus. Dalam pemeriksaan di MKDKI, pengurus BHP2A akan melakukan pembelaan dan pendampingan terhadap dokter teradu/terlapor, serta menyiapkan keterangan ahli. Dokter yang dinyatakan bersalah oleh MKDKI dan dijatuhi sanksi disiplin akan dilakukan pembinaan oleh BHP2A.
Terhadap kasus „hitam‟, BHP2A akan memeriksa administrasi dokter teradu/terlapor dalam hal apakah yang bersangkutan memenuhi syarat sebagai anggota IDI dan memiliki izin praktik. Selanjutnya BHP2A akan memberikan arahan dan petunjuk mengenai proses penegakan hukum kepada dokter teradu/terlapor agar tidak keluar dari norma hukum yang berlaku. BHP2A memfasilitasi dokter teradu/terlapor dalam hal menyediakan saksi maupun ahli yang meringankan guna kepentingan penyidikan maupun pemeriksaan perkara di pengadilan. BHP2A bersama dengan penasehat hukum93 dari dokter teradu/terlapor melakukan pendampingan dan pembelaan selama proses penyidikan, pemeriksaan di persidangan, hingga selesainya sengketa.
Dalam penyelesaian sengketa medik, BHP2A berkomitmen untuk mendahulukan upaya mediasi, baik untuk pelanggaran etika, disiplin profesi, maupun hukum sebelum dilimpahkan ke lembaga penegak hukum.
Setelah sengketa medik terselesaikan, maka dilakukan rehabilitasi dengan cara pembinaan oleh BHP2A baik di tingkat Pengurus Besar (PB), wilayah, maupun cabang yang meliputi pemulihan nama baik,
93 Untuk penasehat hukum diutamakan yang memiliki pemahaman atas hukum kesehatan/kedokteran, serta memiliki kerja sama dengan IDI.
memotivasi dan membangkitkan semangat untuk kembali bekerja berlandaskan etika profesi dan aturan-aturan lain yang berlaku agar terhindar dari masalah di kemudian hari.
Eksistensi BHP2A dalam memberikan perlindungan hukum terhadap dokter anggota yang berhadapan dengan sengketa medik merupakan perwujudan nyata dari peran organisasi profesi dokter (IDI) dalam menyelesaikan permasalahan profesi dan membela hak-hak anggotanya. IDI sebagai organisasi profesi yang menaungi profesi dokter di Indonesia merupakan wadah pengembangan profesi, tempat para penyandang profesi melakukan tukar-menukar informasi, menyelesaikan permasalahan profesi, serta membela hak-hak anggotanya. Maka dari itu, sudah menjadi tugas utama dari IDI untuk menjaga dan menyebarkan citra positif dari profesi dokter.94 Dengan terjaganya citra positif profesi dokter, maka akan berdampak langsung pada kepercayaan pasien/masyarakat sebagai konsumen/pengguna jasa medis.
2. Kendala-kendala yang Dihadapi oleh BHP2A IDI dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Dokter yang Berhadapan dengan Sengketa Medik
Sebagai badan kelengkapan dari IDI, BHP2A memiliki peran yang penting dalam memberikan pembinaan dan pembelaan hukum terhadap dokter anggota IDI yang berhadapan dengan sengketa medik. Dalam menjalankan praktik kedokteran, profesi ini kerap dihadapkan pada situasi yang memiliki risiko tinggi, yaitu bersinggungan langsung dengan nyawa/keselamatan pasien. Kondisi demikian memang sudah menjadi kewajiban utama dari profesi dokter, maka dari itu profesi ini perlu diberikan perlindungan hukum secara layak agar siapa pun yang menyandang profesi ini tidak diselimuti rasa khawatir akan dipersalahkan oleh pasien/keluarga pasien manakala tidak diperolehnya kesembuhan.
94 Shidarta, Op.Cit., hlm.107.
Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa hubungan hukum antara dokter dan pasien tertuang dalam suatu kontrak terapeutik, yang mana isinya mengandung sebuah ikhtiar dari dokter untuk mencari dan menentukan terapi penyembuhan yang paling tepat bagi pasien. Kekhasnya hubungan antara dokter dan pasien ini belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian besar masyarakat luas, sehingga tidak jarang kita mendapati adanya dokter yang diperkarakan oleh pasien/keluarga pasien dengan alasan tidak diperolehnya kesembuhan, cedera/cacat, atau bahkan meninggalnya pasien.
Dalam kondisi demikian, peran hukum sangat diperlukan guna memberikan kepastian mengenai pengaturan hubungan keduanya. Sebelum Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ada, tidak ada regulasi yang secara spesifik/khusus mengatur tentang Hukum Kedokteran. Adapun yang dijadikan rujukan bagi masyarakat sebagai payung hukum manakala terjadi sengketa medik adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, juga ada KUH Pidana maupun KUH Perdata.
Kebiasaan masyarakat untuk menggunakan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 sebagai regulasi dalam menghadapi sengketa medik tentunya tidak sepenuhnya berdampak baik dan cenderung sebaliknya, yaitu dengan semakin menguatnya pemahaman atas hubungan dokter dan pasien layaknya hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan, mengingat kekhasan dari hubungan keduanya sebagaimana yang telah Penulis sampaikan sebelumnya.
Pemahaman yang mempersamakan hubungan dokter dan pasien seperti hubungan antara pelaku usaha dan konsumen tentunya berdampak negatif pada pemenuhan prestasi oleh si dokter. Pasien yang datang kepada dokter guna mendapatkan pertolongan medis akan menaruh ekspektasi bahwa ia „akan dan pasti‟ memperoleh kesembuhan dari si dokter. Ekspektasi yang demikian tingginya tentunya didasarkan pada besarnya biaya yang pasien keluarkan/bayarkan.
Kondisi inilah yang kerapkali menimbulkan fenomena pasien melaporkan dokter kepada pihak yang berwajib sebagai akibat tidak diperolehnya kesembuhan sebagaimana ekspektasi pasien/masyarakat. Hal ini tentu perlu diluruskan, mengingat fakta bahwa dokter tetaplah hanya seorang pribadi manusia yang memiliki kemampuan yang terbatas. Sebagai penyandang profesi dokter, seseorang memang memiliki bekal keilmuan dan keahlian guna melaksanakan praktik kedokteran. Namun, perlu dipahami juga bahwa keberhasilan dari suatu tindakan medis dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti kondisi fisik pasien, waktu penanganan medis, jenis obat-obatan, kelengkapan peralatan medis, dan sebagainya.
Berbagai faktor tersebut yang belum dipahami secara utuh oleh masyarakat, sehingga kerapkali mempersalahkan dokter ketika kesembuhan yang diharapkan tidak diperoleh. Pasien/keluarganya yang sudah mengeluarkan sejumlah uang, memiliki persepsi bahwa kesembuhan mutlak akan diperoleh dari dokter yang memberikan pertolongan medis.
Profesi dokter menyadari bahwa suatu tindakan medis yang diberikan kepada seorang pasien, belum tentu akan memberikan hasil yang serupa pada pasien yang lain. Maka dari itu, dalam menjalankan praktik kedokteran terdapat SOP yang berisikan sejumlah instruksi/langkah- langkah yang dibakukan dalam menjalankan suatu tindakan medis. Dengan SOP tersebut, setiap tindakan medis yang dilakukan oleh setiap dokter menjadi jelas dan terukur.
Sering kali kita mendengar istilah adanya dokter yang diduga telah melakukan malapraktik karena telah menyebabkan pasiennya cacat atau bahkan meninggal dunia. Konsep malapraktik sendiri belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat mengartikan malapraktik berdasarkan hasil akhir. Padahal dalam dunia kedokteran, suatu tindakan medis dapat dijustifikasi sebagai sebuah tindakan malapraktik apabila adanya SOP yang dilanggar oleh dokter yang
bersangkutan. Jadi tidak menitikberatkan pada hasil akhir dari suatu tindakan medis. Perbedaan pandangan ini yang harus diluruskan agar pemahaman masyarakat menjadi semakin terbuka perihal tindakan medis mana yang dapat dikatakan sebagai malapraktik/bukan.
Selain itu, belum dipahaminya secara utuh bahwa profesi dokter tidak hanya mendapat pengawasan dari aspek hukum, melainkan juga aspek etika profesi dan disiplin profesi. Ketiga aspek ini memiliki konsekuensi pada jenis pelanggaran, lembaga yang berwenang untuk memeriksa/mengadili/memutus pelanggaran, serta jenis sanksi yang dijatuhkan pada dokter yang melanggar.
Jika masyarakat memahami ketiga aspek tersebut, maka masyarakat dapat secara jelas mengetahui kepada siapa mereka harus melapor apabila adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh dokter, tanpa harus melapor ke BHP2A terlebih dahulu, sehingga penyelesaian sengketa medis menjadi lebih efisien dan tepat sasaran.
Penyelesaian sengketa medis yang efisien dan tepat sasaran, lebih jauh lagi tentunya akan menghasilkan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa medis tersebut. Di tengah masyarakat, masih adanya anggapan bahwa adanya upaya untuk saling melindungi antar sejawat dokter. Stigma ini yang kemudian dapat menggerus kepercayaan masyarakat akan adanya titik terang dalam penyelesaian sengketa medis. Jika melihat ketentuan Pasal 18 KODEKI, masyarakat awam akan mengartikan bahwa adanya larangan untuk saling menjatuhkan antar sesama rekan sejawat dokter.
Ketentuan tersebut kemudian diartikan secara meluas, yang berujung pada adanya rasa kurang percaya bahwa penyelesaian sengketa medis akan memberikan keadilan bagi masyarakat. Hingga saat ini, para penegak hukum sendiri belum menemui kesepahaman mengenai apa
makna dan ukuran dari keadilan yang dapat memuaskan seluruh pihak.95 Menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga peradilan guna menghadirkan keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam sengketa medik.
Selain keadilan, lembaga peradilan juga tidak boleh melupakan adanya tujuan hukum lainnya, seperti kepastian, ketertiban, dan kemanfaatan. Dalam menyelesaikan sengketa medik, perlu kecermatan dan kehati-hatian agar penyelesaian akhir yang dihasilkan mampu mengakomodir semua aspek dari tujuan hukum tersebut secara proporsional, tanpa mengesampingkan satu sama lain.
95 Jauh sebelumnya Gustav Radbruch pernah menyatakan bahwa “Hukum bisa saja tidak adil…, tetapi hukum hanyalah hukum karena maunya adil.” Franz Magnis-Suseno, Etika Politik (Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern), (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm.82.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari paparan pada Bab sebelumnya, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa BHP2A merupakan organ kelengkapan dari IDI yang berada pada tingkat Pengurus Besar, wilayah, maupun cabang. Salah satu tugas yang diemban oleh BHP2A adalah memberikan pembelaan terhadap anggota IDI yang terlibat sengketa medik, baik itu sengketa hukum, setika profesi, maupun disiplin profesi. Pembelaan yang dimaksud meliputi pemanggilan, pendampingan, hingga memfasilitasi tersedianya ahli guna memberikan keterangan pada proses persidangan sengketa medik tersebut. Pembelaan yang diberikan oleh BHP2A dimulai sejak sengketa medik diajukan/dilaporkan hingga sengketa tersebut selesai/telah diputus oleh lembaga peradilan (pengadilan/MKEK/MKDKI).
2. Bahwa dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anggota IDI, BHP2A dihadapkan pada berbagai kendala, yaitu: (a) kurangnya pemahaman masyarakat akan macam-macam sengketa medik (hukum/etik/disiplin profesi) yang memiliki konsekuensi pada lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut; (b) adanya sentimen negatif dari masyarakat perihal adanya upaya saling melindungi antar sesama sejawat dokter, sehingga masyarakat kurang percaya dengan penyelesaian sengketa medik yang dilakukan oleh organisasi profesi dokter (IDI); dan (c) masih belum adanya persepsi yang sama mengenai tindakan malapraktik medik, sehingga masyarakat kerap menggunakan hasil akhir sebagai parameter untuk menentukan apakah suatu tindakan medik dapat dikatakan benar/malapraktik.
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut, maka Penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Perlu adanya sosialisasi secara berkesinambungan kepada masyarakat perihal tugas dan wewenang dari BHP2A agar masyarakat mengetahui langkah-langkah apa yang harus mereka tempuh ketika menghadapi sengketa medik dalam kehidupan sehari-hari
2. Perlu adanya pembinaan terhadap para dokter anggota perihal hukum, etika profesi, maupun disiplin profesi demi meminimalisir jumlah anggota yang terlibat dengan sengketa medik.
3. Perlu adanya sosialisasi mengenai hukum kedokteran kepada masyarakat luas agar masyarakat semakin memahami dengan baik mengenai hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari kontrak terapeutik yang terjalin antara dokter dan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Oemar Seno. Profesi Dokter. Jakarta: Erlangga, 1991.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Azwar, Bahar. Sang Dokter. Jakarta: Kesaint Blank, 2002.
Chazawi, Adami. Malapraktik Kedokteran. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Dewata, Mukti Fajar Nur dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010.
Dicey, A.V. Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Pengantar Studi Hukum Konstitusi), terjemahan Nurhadi. Bandung: Nusa Media, 2007.
Fuady, Munir. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malapraktek Dokter).
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Guwandi, J. Hukum Medik (Medical Law). Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Isfandyarie, Anny. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter (Buku I).
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.
Jayanti, Nusye K.I. Penyelesaian Hukum dalam Malapraktek Kedokteran.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009.
Koeswadji, Hermien Hardiati. Hukum dan Masalah Medis. Surabaya: Universitas Airlangga, 1984.
. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan: Asas-asas dan Permasalahan Implementasinya. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Kusumohamidjojo, Budiono. Teori Hukum: Dilema antara Hukum dan Kekuasaan. Bandung: Yrama Widya, 2019.
Machmud, Syahrul. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek. Bandung: Mandar Maju, 2008.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.
Muntaha. Hukum Pidana Malapraktik (Pertanggungjawaban dan Penghapus Pidana). Jakarta: Sinar Grafika, 2017.
Shidarta. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir. Bandung: Refika Aditama, 2009.
Siswati, Sri. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Sitabuana, Tundjung Herning. “Penyelesaian Masalah Diskriminasi Terhadap Etnis Cina (Studi Tentang Perkembangan Politik Hukum di Bidang Kewarganegaraan Republik Indonesia)”. Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Diponegoro, 2011.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: Raja Grafindo, 1995.
Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1985.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik (Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern). Jakarta: Gramedia, 1987.
Sutarno. Hukum Kesehatan Eutanasia, Keadilan, dan Hukum Positif di Indonesia.
Malang: Setara Press, 2014.
Sutiyoso, Bambang. Metode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan). Yogyakarta: UII Press, 2012.
Syah, Mudakir Iskandar. Tuntutan Hukum Malapraktik Medis. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2019.
Triwibowo, Cecep. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika, 2014.
Wahjorpramono, Eka Julianta. Konsekuensi Hukum dalam Profesi Medik.
Bandung: Karya Putra Darwati, 2012.
JADWAL KEGIATAN PENELITIAN
“Peran BHP2A IDI dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Dokter”
No. | Hari / Tanggal | Tempat | Keterangan |
1. | 20-22 Jan 2020 | FH UNTAR | Diskusi penentuan topik penelitian |
2. | 27-29 Jan 2020 | FH UNTAR | Diskusi dan inventarisasi peraturan |
3. | 30 Jan 2020 | FH UNTAR | Menentukan narasumber |
4. | 3-14 Feb 2020 | FH UNTAR | Pembuatan proposal penelitian |
5. | 17 Feb 2020 | FH UNTAR | Cetak proposal penelitian dan penjilidan proposal |
6. | 18 Feb 2020 | LPPM UNTAR | Penyerahan proposal penelitian ke DPPM UNTAR |
7. | 24 Feb 2020 | Sekretariat Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) | Survey lokasi penelitian |
8. | 25 Feb 2020 | BHP2A IDI | Survey lokasi penelitian |
9. | 28 Feb 2020 | Sekretariat IDI Cabang Jakarta Barat | Survey lokasi penelitian |
10. | 2 Mar 2020 | Sekretariat IDI Cabang Jakarta Pusat | Survey lokasi penelitian |
11. | 9 Mar 2020 | Sekretariat PB IDI | Wawancara dengan BHP2A IDI |
12. | 12 Mar 2020 | Sekretariat IDI Cabang Jakarta Barat | Wawancara dengan pimpinan IDI Cabang Jakarta Barat |
13. | 23 Mei 2020 | Penandatanganan SPK Penelitian | |
14. | 25 Mei s/d Juli 2020 | Penyusunan laporan akhir penelitian |
Jakarta, 4 Agustus 2020 Ketua Tim Peneliti
Andryawan, S.H., M.H.
Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Sengketa Medik
Andryawan, Ardy Putra, Anton Jayadi, Anton
Abstrak
Dokter sebagai salah satu profesi yang dianggap luhur/terhormat, mengemban tugas mulia untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat/pasien dalam rangka melaksanakan praktik kedokteran sebagaimana amanah dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan juga sumpah profesi dokter. Namun, tidak jarang kita mendapati adanya dokter yang harus terlibat sengketa medik dengan pasien/keluarga pasien. Pola hubungan hukum yang terjalin antara dokter dan pasien, belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat, sehingga dokter kerap dilaporkan oleh pasien/keluarga pasien ketika tidak diperolehnya kesembuhan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi yang menaungi profesi dokter memiliki peran yang sentral dalam memberikan perlindungan hukum terhadap dokter anggotanya melalui organ Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A). Tulisan ini berisikan kajian mengenai upaya BHP2A dalam memberikan perlindungan hukum terhadap dokter yang berhadapan dengan sengketa medik serta kendala-kendala yang dihadapinya.
Kata kunci: Sengketa medik, BHP2A, dokter.
A. Pendahuluan
Ketika berbicara mengenai layanan kesehatan, sudah barang tentu tidak bisa terlepas dari profesi dokter. Dokter sebagai salah satu komponen utama dalam pemberi layanan kesehatan, memiliki disiplin keilmuannya yang khas dalam melaksanakan praktik kedokteran di Indonesia. Peran dokter di sini sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat (pasien).
Ilmu kedokteran adalah cabang ilmu kesehatan yang mempelajari tentang tata cara mempertahankan kesehatan manusia dan mengembalikan manusia pada keadaan sehat dengan memberikan pengobatan pada penyakit dan cedera. Ilmu ini meliputi pengetahuan tentang sistem tubuh manusia dan penyakit serta pengobatannya, dan penerapan dari pengetahuan tersebut.1
1 Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medis, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1984), hlm.57.
Penerapan ilmu kedokteran tersebut diwujudkan dalam bentuk praktik kedokteran.2 Sejak tahun 2004, regulasi yang mengatur tentang praktik kedokteran mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pengaturan tersebut dimaksudkan unttuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter, serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter.
Praktik kedokteran yang terselenggara antara dokter dan pasien didasari oleh adanya suatu persetujuan yang telah diadakan oleh dokter dan pasien/keluarganya. Dari perspektif hukum perdata, hubungan tersebut berada dalam suatu perikatan hukum (verbintenis). Atas dasar perikatan yang terjalin di antara keduanya, maka melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak, serta membentuk pertanggungjawaban hukum masing-masing.
Dalam melaksanakan praktik kedokteran, setiap dokter memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Prosedur Operasional (SOP)3, memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien/keluarganya, serta menerima imbalan jasa.
Dalam praktiknya, hubungan antara dokter dan pasien tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Tidak jarang didapati adanya dokter dan pasien yang terlibat konflik, sehingga mengharuskan keduanya saling berhadapan di instansi penegak hukum yang ada di negara ini. Namun, kondisi pengetahuan masyarakat
2 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
3 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, di mana Standar Operasional Prosedur (SOP) memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.
Indonesia yang masih minim seputar hukum kesehatan4 kerap kali menimbulkan kesalahpahaman dalam menyikapi permasalahan yang muncul.
Istilah hukum kesehatan memang belum cukup lama dikenal oleh masyarakat, sehingga tidak mengherankan apabila pada akhirnya justru menimbulkan penanganan yang kurang tepat. Misalnya, ketika dijumpai adanya pasien yang bermasalah dengan dokter, asumsi masyarakat langsung mengarah pada tindakan malapraktik. Padahal jika dicermati secara seksama, tidak semua sengketa medik dapat diklasifikasikan sebagai tindakan malapraktik.5
Dalam praktik kedokteran, profesi dokter terikat oleh 3 (tiga) instrumen pengawas, yaitu instrumen hukum, etika profesi, dan disiplin profesi. Ketiga instrumen tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda-beda manakala terjadi pelanggaran terhadap masing-masing. Yang marak dikatakan sebagai tindakan malapraktik oleh masyarakat luas dewasa ini lebih mengarah pada aspek pelanggaran hukum (baik secara perdata maupun pidana).
4 Van der Mijn memberi batasan pengertian hukum kesehatan sebagai berikut: “Health law can be defined as body of rules that relates directly to the care for health as well as to the application of general civil, criminal and administration law. Medical law, the study of the judicial relations to which the doctor is a party, is a part of health law. (Hukum kesehatan dapat dirumuskan sebagai kumpulan peraturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya dalam hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi. Adapun hukum medis mempelajari hubungan yuridis di mana dokter yang menjadi salah satu pihaknya adalah bagian dari hukum kesehatan).” Van der Mijn dalam Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm.7.
5 Coughlin’s Dictionary of Law memberi rumusan terhadap malapraktik sebagai berikut: “Professional misconduct on the part of a professional person, such as a physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, and veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties, e.g. intentional wrongdoing or unethical practice. (Malapraktik adalah sikap tindak profesional yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, insinyur, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dan dokter heran. Malapraktik bisa diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat peduli, kelalaian, kekurangan keterampilan atau kehati-hatian di dalam pelaksanaan kewajiban profesinya, seperti tindakan salah yang sengaja atau praktik yang bersifat tidak etis).” J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.12.
Pemahaman yang jelas dan utuh tentang jenis-jenis sengketa medik, tentunya akan berimplikasi pada penaganan yang cepat dan tepat terhadap sengketa tersebut, sehingga tidak berlarut-larut tanpa kepastian. Indonesia yang telah secara tegas menyatakan diri sebagai negara hukum (Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) tentunya harus secara konsisten memastikan bahwa penyelenggaraan negara harus bersumber pada prinsip-prinsip negara hukum.
A.V. Dicey mengemukakan 3 (tiga) unsur utama dalam negara hukum yang meliputi:6
1. Supremasi hukum (supremacy of law), artinya bahwa tidak seorang pun yang dapat dihukum atau secara hukum dapat dibuat menderita tubuh dan harta bendanya kecuali atas pelanggaran hukum tertentu yang tertuang dalam tata cara hukum biasa di hadapan pengadilan umum negara.
2. Persamaan di depan hukum (equality before the law), artinya bahwa setiap orang apa pun pangkat atau kondisinya tunduk pada hukum biasa yang merupakan lingkup dan berada di dalam yurisdiksi mahkamah biasa. Secara
6 A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Pengantar Studi Hukum Konstitusi), terjemahan Nurhadi, (Bandung: Nusa Media, 2007), hlm.254-259.
sederhana, dapat dikatakan bahwa persamaan di depan hukum (equality before the law) berarti bahwa semua warga, baik selaku pejabat negara maupun sebagai individu biasa tunduk pada hukum yang sama dan diadili di pengadilan biasa yang sama. Jadi setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum dan apabila ia melanggar hukum, baik selaku pribadi atau individu maupun pejabat negara, ia akan diadili dengan hukum yang sama dan dalam peradilan yang sama pula.
3. Due process of law, artinya bahwa konstitusi dijiwai oleh rule of law dengan alasan-alasan bahwa prinsip-prinsip umum konstitusi yang merupakan hasil keputusan yudisial yang menentukan hak-hak individu pada kasus tertentu yang dibawa ke muka pengadilan atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala tindakan negara harus berdasar atas hukum dan tidak ada suatu tindakan apa pun yang tidak memiliki dasar hukum.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien terbentuk karena kesepakatan yang tertuang dalam kontrak terapeutik di saat pasien memberikan persetujuannya (informed consent) pada dokter untuk melakukan tindakan medis setelah diberikannya penjelasan pada pasien dan dimengerti olehnya.7 Prestasi yang diharapkan oleh para pihak adalah mencapai kesembuhan, namun berbeda dengan perikatan pada umumnya yang menjanjikan hasil sebagai tujuan akhir yang hendak dicapai, perikatan antara dokter dan pasien disebut dengan perikatan usaha (inspanningsverbintenis). Dalam perikatan tersebut, salah satu pihak berusaha untuk berbuat sesuatu secara maksimal dan dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya kepada pihak lainnya.
Namun dalam praksis, tidak jarang kita mendapati pemberitaan bahwa adanya dokter yang digugat secara perdata oleh pasien/keluarganya karena kesembuhan yang diharapkan tidak didapatkan. Bahkan lebih ekstrem dokter
7 Adami Chazawi, Malapraktik Kedokteran, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.40.
dilaporkan secara pidana kepada pihak kepolisian karena kelalaiannya yang telah menyebabkan hilangnya nyawa pasien.
Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita semakin kritis terhadap segala fenomena yang terjadi. Namun, sikap kritis tersebut tidak jarang justru malah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Fenomena tersebut juga terjadi di dalam dunia kedokteran, di mana seperti ada upaya untuk kriminalisasi terhadap profesi dokter.
Memang benar negara ini adalah negara hukum, yang mana segala tindakan seseorang yang dirasa telah merugikan pihak lain, dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Namun perlu juga dipahami dan disikapi dengan cermat apakah tindakan medis yang dilakukan oleh dokter sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Karena bagaimanapun juga, profesi dokter termasuk profesi yang mengemban tugas mulia dalam upaya menyelamatkan nyawa manusia dari penyakit yang dideritanya, sehingga sangat tidak bisa diterima oleh nalar apabila ada dokter yang dengan sengaja mempertaruhkan profesinya demi tujuan-tujuan yang tidak sejalan dengan sumpah profesinya.
Fenomena maraknya dokter yang digugat secara perdata dan/atau dituntut secara pidana oleh pasien/keluarganya ini disebabkan oleh pemahaman bahwa perikatan antara dokter dan pasien merupakan perikatan yang menjanjikan hasil (resultaats verbintenis). Akibat dari pemahaman tersebut, maka ketika pasien/keluarganya tidak memperoleh kesembuhan sebagaimana yang diharapkan, maka mereka beranggapan bahwa dokter telah cedera janji (wanprestasi) sehingga dapat (bahkan harus) bertanggung jawab.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi8 yang menaungi profesi ini memiliki fungsi sebagai organisasi pemersatu, pembina, dan
8 Organisasi profesi merupakan wadah pengembangan profesi, tempat para penyandang profesi melakukan tukar-menukar informasi, menyelesaikan permasalahan profesi, dan membela hak- hak anggotanya. Untuk itu, organisasi ini memiliki unsur-unsur yang salah satu misi utamanya adalah makin menyebarkan citra positif dari profesi tersebut.
pemberdaya dokter di Indonesia. Salah satu organ IDI adalah Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A), yang berada baik di tingkat Pengurus Besar (PB) IDI, maupun di tingkat wilayah maupun cabang.
Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) IDI, BHP2A memiliki tugas dan wewenang yang vital dalam upaya memberikan advokasi kepada para anggota IDI yang berhadapan dengan sengketa medik. Namun apakah peran tersebut sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya, menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Atas dasar uraian latar belakang tersebut, maka Penulis merasa perlu untuk dilakukan kajian secara komprehensif mengenai “Peran Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Dokter”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh BHP2A IDI dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap dokter yang berhadapan dengan sengketa medik?
2. Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh BHP2A IDI dalam memberikan perlindungan hukum terhadap dokter yang berhadapan dengan sengketa medik?
C. Pembahasan
1. Upaya BHP2A IDI dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Dokter yang Berhadapan dengan Sengketa Medik
BHP2A merupakan salah satu badan kelengkapan dari IDI (baik di tingkat pusat, wilayah, maupun cabang) yang memiliki tugas dan wewenang:
Organisasi profesi yang solid biasanya mempunyai wibawa yang tinggi di mata para anggotanya. Soliditas organisasi tersebut antara lain ditandai dengan penggunaan indikator-indikator yang sama di antara para anggotanya dalam memandang suatu pelanggaran etika profesi. Shidarta, Moralitas Profesi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm.107.
(a) melakukan telaah hukum terhadap rancangan peraturan-peraturan dan ketetapan-ketetapan organisasi; (b) melakukan telaah hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anggota dan organisasi; dan (c) melakukan pembinaan dan pembelaan anggota dalam menjalankan profesinya.
Sebagai badan yang bertugas melakukan pembinaan dan pembelaan terhadap anggota, BHP2A memiliki peran sentral ketika adanya sengketa medik yang melibatkan anggota profesi dokter dan pasien/masyarakat. Pasien/masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindakan dokter, dapat mengajukan pengaduan ke BHP2A yang terdapat pada IDI cabang, wilayah, maupun pusat.
BHP2A akan melakukan pemeriksaan awal terhadap pengaduan yang masuk guna menentukan jenis sengketa medik yang terjadi. Setidaknya terdapat 3 (tiga) macam sengketa medik, yaitu sengketa hukum (pidana/perdata), sengketa etik, dan sengketa disiplin profesi.
Jika pengaduan yang diajukan mengandung unsur pelanggaran etik, maka BHP2A akan meneruskan pengaduan tersebut ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) setempat guna diproses. Hal ini dikarenakan MKEK adalah lembaga yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan ada/tidaknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh dokter teradu, serta menetapkan sanksi etik bagi dokter yang terbukti melakukan pelanggaran etik.
Lain halnya apabila pengaduan tersebut mengandung unsur pelanggaran disiplin profesi, maka BHP2A akan meneruskan pengaduan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) guna dilakukan pemeriksaan. MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan ada/tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan oleh dokter teradu, serta menetapkan sanksi disiplin bagi dokter yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin.
Terakhir, apabila pengaduan yang diterima oleh BHP2A merupakan sengketa hukum (pidana/perdata), maka BHP2A akan meneruskan meneruskan pengaduan tersebut ke lembaga hukum yang berwenang (kepolisian/pengadilan).
Dari masing-masing jenis sengketa tersebut, BHP2A akan menawarkan bantuan hukum berupa pendampingan bagi dokter yang diadukan oleh pasien/masyarakat, baik saat berperkara di MKEK, MKDKI, maupun pengadilan. Jadi, BHP2A menyediakan jasa bantuan hukum bagi dokter- dokter anggota yang menghadapi sengketa medik, baik diminta maupun tanpa diminta.
Keberadaan BHP2A juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi dokter-dokter anggota IDI yang harus berhadapan dengan sengketa medik. Hal ini dikarenakan profesi dokter sangat erat hubungannya dengan nyawa/keselamatan pasien. Pemahaman masyarakat luas yang masih menganggap bahwa hubungan dokter dan pasien dipersamakan dengan hubungan hukum perdata umumnya seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Pola hubungan hukum tersebut lebih menitikberatkan pencapaian prestasi berupa „hasil‟ (resultaat verbintenis). Hal ini tentu berbeda dengan hubungan hukum yang terjalin antara dokter dan pasien, yang sering disebut sebagai kontrak terapeutik. Dalam kontrak terapeutik, prestasi yang hendak dicapai bukanlah hasil berupa kesembuhan pasien, melainkan upaya maksimal dokter guna mengupayakan kesembuhan pasien (inspanning verbintenis).
Pemahaman yang kurang tepat inilah yang menyebabkan sering kali pasien/masyarakat mengadukan dokter karena adanya rasa tidak puas atas tindakan medis yang diberikan oleh dokter. Umumnya mereka (pasien/masyarakat) berharap dapat memperoleh kesembuhan setelah mereka mengeluarkan sejumlah uang/materi sebagai syarat menjalani tindakan medis yang diberikan oleh dokter/rumah sakit. Ukuran kesembuhan yang
diharapkan adalah kembali pada kondisi seperti semula (awal). Ekspektasi yang demikian tentunya tidak bisa sepenuhnya dibenarkan, mengingat sifat khas dari kontrak terapeutik itu sendiri. Dalam kontrak terapeutik, dokter berikhtiar secara maksimal untuk mencari dan menentukan terapi penyembuhan yang paling tepat bagi pasien.9
Sifat khas tersebut yang hingga kini belum sepenuhnya dipahami secara tepat oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang cenderung memaknai kesembuhan sebagai hasil akhir dari suatu kotrak terapeutik yang mutlak harus dipenuhi/dicapai. Maka tidak mengherankan apabila kesembuhan yang diharapkan tidak tercapai, pasien/masyarakat akan mengambil langkah hukum guna mengejar pertanggungjawaban dari dokter yang bersangkutan.
Pemahaman yang ada saat ini tentunya perlu diluruskan agar tidak semakin menimbulkan kesesatan. Tidak bisa kita sangkal bahwa profesi dokter memang sangat erat hubungannya dengan keselamatan/nyawa pasien, di mana tugas utama profesi ini adalah mengupayakan kesembuhan pasien. Hal ini tercermin dari isi sumpah profesi dokter (Hippocratic Oath) yang wajib dilafalkan dan diimplementasikan oleh setiap penyandang profesi dokter.
Setiap dokter wajib (tanpa terkecuali) mengimplementasikan sumpah profesi dan kode etik kedokteran dalam tugas praktik kedokteran yang mereka lakukan. Hal ini dimaksudkan demi menjaga keluhuran dari profesi dokter di mata masyarakat. Namun, tidak jarang pula kita mendapati adanya dokter-dokter yang melakukan pelanggaran pelaksanaan praktik kedokteran. Pada kondisi demikian, peran BHP2A menjadi penting guna menindaklanjuti adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh dokter, baik berupa pelanggaran hukum, etik, maupun disiplin profesi.
9 Hermien Hadiati Koeswadji, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan: Asas-asas dan Permasalahan Implementasinya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.61.
Dalam konteks pembinaan hukum, BHP2A mensosialisasikan berbagai regulasi yang terkait dengan praktik kedokteran secara berkelanjutan. Tujuan dari pembinaan hukum terhadap dokter sebagai anggota IDI yaitu: (a) agar dokter dapat menjauhkan diri dari pelanggaran aturan organisasi, disiplin, dan hukum dalam melaksanakan profesinya; (b) untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan; (c) untuk meningkatkan citra profesi kedokteran, dan
(d) mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter.
Dalam konteks pembelaan hukum, BHP2A melakukan pembelaan terhadap anggota IDI yang mengalami masalah dalam melaksanakan tugas/pekerjaan profesinya, yang berkaitan dengan tindakan pelanggaran disiplin kedokteran, tindakan pelanggaran hukum kedokteran/kesehatan, pelanggaran etika, maupun sebagai korban dalam lingkup profesinya. Pembelaan ini bertujuan agar para anggota IDI mendapat perlindungan dan pembelaan dalam menjalankan profesinya, serta demi tegaknya keadilan bagi anggota dalam penyelesaian masalah etika, disiplin profesi, hukum, pekerjaan profesi, pendidikan, dan organisasi profesi.
BHP2A memberikan bantuan pembelaan hukum terhadap semua anggota IDI yang mengalami masalah medik, baik atas permintaan maupun tanpa permintaan, selama anggota IDI yang bersangkutan tidak menolak pembelaan dari BHP2A. Permintaan bantuan hukum dapat langsung dilakukan oleh anggota IDI yang sedang bermasalah dan/atau permintaan dari pengurus IDI lainnya. Upaya pembelaan anggota IDI dilakukan melalui pendekatan personal, upaya administrasi/organisatoris, upaya mediasi, serta upaya jalur hukum.
Dalam menangani sengketa medik, BHP2A melakukan tahapan sebagai berikut: Pertama, BHP2A menerima pengaduan/laporan perihal adanya sengketa medik. Pelaporan dapat berasal dari: (i) pasien/keluarga/kuasa hukum pasien atau pihak lain yang merasa dirugikan akibat tindakan dokter yang diduga adanya pelanggaran yang dilakukan dokter; (ii) dokter yang
sedang bermasalah (dokter teradu/terlapor); (iii) pihak-pihak yang mengetahui adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan dokter; dan/atau (iv) pemberitaan media cetak dan/atau elektronik atau sudah menjadi isu publik (public issue).
Selanjutnya BHP2A akan melakukan verifikasi mengenai identitas pengadu dan identitas dokter teradu/terlapor. Selain itu, BHP2A akan berkoordinasi dengan IDI setempat guna mencari informasi lebih lanjut perihal pengaduan sengketa tersebut.
Pengurus BHP2A selanjutnya melakukan analisa terhadap laporan sengketa medik yang terjadi guna mengetahui jenis sengketa medik yang terjadi (etika, disiplin profesi, atau hukum). Suatu sengketa diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: (i) „putih‟ apabila sengketa tersebut tidak mengandung unsur etika, disiplin profesi, maupun hukum; (ii) „abu‟abu‟ apabila sengketa tersebut belum jelas; dan (iii) „hitam‟ apabila sengketa tersebut mengandung unsur pelanggaran hukum, baik secara perdata atau pidana.
Terhadap sengketa medik „putih‟, BHP2A akan dilakukan pendampingan dan pembelaan terhadap dokter teradu/terlapor, sedangkan untuk sengketa medik „abu-abu‟ akan dilakukan pemanggilan terhadap dokter teradu/terlapor. Apabila ditemukan adanya dugaan pelanggaran etika kedokteran, maka sengketa medik tersebut akan dilimpahkan ke MKEK untuk diperiksa, diadili, serta diputus. Dalam pemeriksaan di MKEK, pengurus BHP2A akan melakukan pembinaan dan pembelaan terhadap dokter teradu/terlapor.
Jika ditemukan adanya unsur pelanggaran disiplin profesi kedokteran, maka sengketa tersebut akan dilimpahkan ke MKDKI untuk diperiksa, diadili, dan diputus. Dalam pemeriksaan di MKDKI, pengurus BHP2A akan melakukan pembelaan dan pendampingan terhadap dokter teradu/terlapor,
serta menyiapkan keterangan ahli. Dokter yang dinyatakan bersalah oleh MKDKI dan dijatuhi sanksi disiplin akan dilakukan pembinaan oleh BHP2A. Terhadap kasus „hitam‟, BHP2A akan memeriksa administrasi dokter teradu/terlapor dalam hal apakah yang bersangkutan memenuhi syarat sebagai anggota IDI dan memiliki izin praktik. Selanjutnya BHP2A akan memberikan arahan dan petunjuk mengenai proses penegakan hukum kepada dokter teradu/terlapor agar tidak keluar dari norma hukum yang berlaku. BHP2A memfasilitasi dokter teradu/terlapor dalam hal menyediakan saksi maupun ahli yang meringankan guna kepentingan penyidikan maupun pemeriksaan perkara di pengadilan. BHP2A bersama dengan penasehat hukum10 dari dokter teradu/terlapor melakukan pendampingan dan pembelaan selama proses penyidikan, pemeriksaan di persidangan, hingga
selesainya sengketa.
Dalam penyelesaian sengketa medik, BHP2A berkomitmen untuk mendahulukan upaya mediasi, baik untuk pelanggaran etika, disiplin profesi, maupun hukum sebelum dilimpahkan ke lembaga penegak hukum.
Setelah sengketa medik terselesaikan, maka dilakukan rehabilitasi dengan cara pembinaan oleh BHP2A baik di tingkat Pengurus Besar (PB), wilayah, maupun cabang yang meliputi pemulihan nama baik, memotivasi dan membangkitkan semangat untuk kembali bekerja berlandaskan etika profesi dan aturan-aturan lain yang berlaku agar terhindar dari masalah di kemudian hari.
Eksistensi BHP2A dalam memberikan perlindungan hukum terhadap dokter anggota yang berhadapan dengan sengketa medik merupakan perwujudan nyata dari peran organisasi profesi dokter (IDI) dalam menyelesaikan permasalahan profesi dan membela hak-hak anggotanya. IDI sebagai organisasi profesi yang menaungi profesi dokter di Indonesia
10 Untuk penasehat hukum diutamakan yang memiliki pemahaman atas hukum kesehatan/kedokteran, serta memiliki kerja sama dengan IDI.
merupakan wadah pengembangan profesi, tempat para penyandang profesi melakukan tukar-menukar informasi, menyelesaikan permasalahan profesi, serta membela hak-hak anggotanya. Maka dari itu, sudah menjadi tugas utama dari IDI untuk menjaga dan menyebarkan citra positif dari profesi dokter.11 Dengan terjaganya citra positif profesi dokter, maka akan berdampak langsung pada kepercayaan pasien/masyarakat sebagai konsumen/pengguna jasa medis.
2. Kendala-kendala yang Dihadapi oleh BHP2A IDI dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Dokter yang Berhadapan dengan Sengketa Medik
Sebagai badan kelengkapan dari IDI, BHP2A memiliki peran yang penting dalam memberikan pembinaan dan pembelaan hukum terhadap dokter anggota IDI yang berhadapan dengan sengketa medik. Dalam menjalankan praktik kedokteran, profesi ini kerap dihadapkan pada situasi yang memiliki risiko tinggi, yaitu bersinggungan langsung dengan nyawa/keselamatan pasien. Kondisi demikian memang sudah menjadi kewajiban utama dari profesi dokter, maka dari itu profesi ini perlu diberikan perlindungan hukum secara layak agar siapa pun yang menyandang profesi ini tidak diselimuti rasa khawatir akan dipersalahkan oleh pasien/keluarga pasien manakala tidak diperolehnya kesembuhan.
Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa hubungan hukum antara dokter dan pasien tertuang dalam suatu kontrak terapeutik, yang mana isinya mengandung sebuah ikhtiar dari dokter untuk mencari dan menentukan terapi penyembuhan yang paling tepat bagi pasien. Kekhasnya hubungan antara dokter dan pasien ini belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian besar masyarakat luas, sehingga tidak jarang kita mendapati adanya
11 Shidarta, Op.Cit., hlm.107.
dokter yang diperkarakan oleh pasien/keluarga pasien dengan alasan tidak diperolehnya kesembuhan, cedera/cacat, atau bahkan meninggalnya pasien.
Dalam kondisi demikian, peran hukum sangat diperlukan guna memberikan kepastian mengenai pengaturan hubungan keduanya. Sebelum Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ada, tidak ada regulasi yang secara spesifik/khusus mengatur tentang Hukum Kedokteran. Adapun yang dijadikan rujukan bagi masyarakat sebagai payung hukum manakala terjadi sengketa medik adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, juga ada KUH Pidana maupun KUH Perdata.
Kebiasaan masyarakat untuk menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 sebagai regulasi dalam menghadapi sengketa medik tentunya tidak sepenuhnya berdampak baik dan cenderung sebaliknya, yaitu dengan semakin menguatnya pemahaman atas hubungan dokter dan pasien layaknya hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan, mengingat kekhasan dari hubungan keduanya sebagaimana yang telah Penulis sampaikan sebelumnya.
Pemahaman yang mempersamakan hubungan dokter dan pasien seperti hubungan antara pelaku usaha dan konsumen tentunya berdampak negatif pada pemenuhan prestasi oleh si dokter. Pasien yang datang kepada dokter guna mendapatkan pertolongan medis akan menaruh ekspektasi bahwa ia
„akan dan pasti‟ memperoleh kesembuhan dari si dokter. Ekspektasi yang demikian tingginya tentunya didasarkan pada besarnya biaya yang pasien keluarkan/bayarkan.
Kondisi inilah yang kerapkali menimbulkan fenomena pasien melaporkan dokter kepada pihak yang berwajib sebagai akibat tidak diperolehnya kesembuhan sebagaimana ekspektasi pasien/masyarakat. Hal ini tentu perlu diluruskan, mengingat fakta bahwa dokter tetaplah hanya seorang pribadi manusia yang memiliki kemampuan yang terbatas. Sebagai
penyandang profesi dokter, seseorang memang memiliki bekal keilmuan dan keahlian guna melaksanakan praktik kedokteran. Namun, perlu dipahami juga bahwa keberhasilan dari suatu tindakan medis dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti kondisi fisik pasien, waktu penanganan medis, jenis obat-obatan, kelengkapan peralatan medis, dan sebagainya.
Berbagai faktor tersebut yang belum dipahami secara utuh oleh masyarakat, sehingga kerapkali mempersalahkan dokter ketika kesembuhan yang diharapkan tidak diperoleh. Pasien/keluarganya yang sudah mengeluarkan sejumlah uang, memiliki persepsi bahwa kesembuhan mutlak akan diperoleh dari dokter yang memberikan pertolongan medis.
Profesi dokter menyadari bahwa suatu tindakan medis yang diberikan kepada seorang pasien, belum tentu akan memberikan hasil yang serupa pada pasien yang lain. Maka dari itu, dalam menjalankan praktik kedokteran terdapat SOP yang berisikan sejumlah instruksi/langkah-langkah yang dibakukan dalam menjalankan suatu tindakan medis. Dengan SOP tersebut, setiap tindakan medis yang dilakukan oleh setiap dokter menjadi jelas dan terukur.
Sering kali kita mendengar istilah adanya dokter yang diduga telah melakukan malapraktik karena telah menyebabkan pasiennya cacat atau bahkan meninggal dunia. Konsep malapraktik sendiri belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat mengartikan malapraktik berdasarkan hasil akhir. Padahal dalam dunia kedokteran, suatu tindakan medis dapat dijustifikasi sebagai sebuah tindakan malapraktik apabila adanya SOP yang dilanggar oleh dokter yang bersangkutan. Jadi tidak menitikberatkan pada hasil akhir dari suatu tindakan medis. Perbedaan pandangan ini yang harus diluruskan agar pemahaman masyarakat menjadi semakin terbuka perihal tindakan medis mana yang dapat dikatakan sebagai malapraktik/bukan.
Selain itu, belum dipahaminya secara utuh bahwa profesi dokter tidak hanya mendapat pengawasan dari aspek hukum, melainkan juga aspek etika profesi dan disiplin profesi. Ketiga aspek ini memiliki konsekuensi pada jenis pelanggaran, lembaga yang berwenang untuk memeriksa/mengadili/memutus pelanggaran, serta jenis sanksi yang dijatuhkan pada dokter yang melanggar.
Jika masyarakat memahami ketiga aspek tersebut, maka masyarakat dapat secara jelas mengetahui kepada siapa mereka harus melapor apabila adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh dokter, tanpa harus melapor ke BHP2A terlebih dahulu, sehingga penyelesaian sengketa medis menjadi lebih efisien dan tepat sasaran.
Penyelesaian sengketa medis yang efisien dan tepat sasaran, lebih jauh lagi tentunya akan menghasilkan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa medis tersebut. Di tengah masyarakat, masih adanya anggapan bahwa adanya upaya untuk saling melindungi antar sejawat dokter. Stigma ini yang kemudian dapat menggerus kepercayaan masyarakat akan adanya titik terang dalam penyelesaian sengketa medis. Jika melihat ketentuan Pasal 18 KODEKI, masyarakat awam akan mengartikan bahwa adanya larangan untuk saling menjatuhkan antar sesama rekan sejawat dokter.
Ketentuan tersebut kemudian diartikan secara meluas, yang berujung pada adanya rasa kurang percaya bahwa penyelesaian sengketa medis akan memberikan keadilan bagi masyarakat. Hingga saat ini, para penegak hukum sendiri belum menemui kesepahaman mengenai apa makna dan ukuran dari keadilan yang dapat memuaskan seluruh pihak.12 Menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga peradilan guna menghadirkan keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam sengketa medik.
12 Jauh sebelumnya Gustav Radbruch pernah menyatakan bahwa “Hukum bisa saja tidak adil…, tetapi hukum hanyalah hukum karena maunya adil.” Franz Magnis-Suseno, Etika Politik (Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern), (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm.82.
Selain keadilan, lembaga peradilan juga tidak boleh melupakan adanya tujuan hukum lainnya, seperti kepastian, ketertiban, dan kemanfaatan. Dalam menyelesaikan sengketa medik, perlu kecermatan dan kehati-hatian agar penyelesaian akhir yang dihasilkan mampu mengakomodir semua aspek dari tujuan hukum tersebut secara proporsional, tanpa mengesampingkan satu sama lain.
D. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa BHP2A merupakan organ kelengkapan dari IDI yang berada pada tingkat Pengurus Besar, wilayah, maupun cabang. Salah satu tugas yang diemban oleh BHP2A adalah memberikan pembelaan terhadap anggota IDI yang terlibat sengketa medik, baik itu sengketa hukum, setika profesi, maupun disiplin profesi. Pembelaan yang dimaksud meliputi pemanggilan, pendampingan, hingga memfasilitasi tersedianya ahli guna memberikan keterangan pada proses persidangan sengketa medik tersebut. Pembelaan yang diberikan oleh BHP2A dimulai sejak sengketa medik diajukan/dilaporkan hingga sengketa tersebut selesai/telah diputus oleh lembaga peradilan (pengadilan/MKEK/MKDKI).
2. Bahwa dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anggota IDI, BHP2A dihadapkan pada berbagai kendala, yaitu: (a) kurangnya pemahaman masyarakat akan macam-macam sengketa medik (hukum/etik/disiplin profesi) yang memiliki konsekuensi pada lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut; (b) adanya sentimen negatif dari masyarakat perihal adanya upaya saling melindungi antar sesama sejawat dokter, sehingga masyarakat kurang percaya dengan penyelesaian sengketa medik yang dilakukan oleh organisasi profesi dokter (IDI); dan (c) masih belum adanya persepsi yang sama mengenai tindakan malapraktik medik, sehingga
masyarakat kerap menggunakan hasil akhir sebagai parameter untuk menentukan apakah suatu tindakan medik dapat dikatakan benar/malapraktik.
E. Daftar Pustaka
Adami Chazawi. Malapraktik Kedokteran. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
A.V. Dicey. Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Pengantar Studi Hukum Konstitusi), terjemahan Nurhadi. Bandung: Nusa Media, 2007.
Franz Magnis-Suseno. Etika Politik (Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern). Jakarta: Gramedia, 1987.
Hermien Hardiati Koeswadji. Hukum dan Masalah Medis. Surabaya: Universitas Airlangga, 1984.
. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan: Asas-asas dan Permasalahan Implementasinya. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran.
J. Guwandi. Hukum Medik (Medical Law). Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Shidarta. Moralitas Profesi Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2009.
Syahrul Machmud. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek. Bandung: Mandar Maju, 2008.