MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
-----------------------
PROSIDING
WORKSHOP PANCASILA, KONSTITUSI DAN KETATANEGARAAN BADAN PENGKAJIAN MPR RI
“PENGUATAN SISTEMEM PRESIDENSIIL”
2017
KERJASAMA ANTARA
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DENGAN
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
15-16 SEPTEMBER 2017
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya Laporan atau Prosiding Workshop Pancasila, Konstitusi dan Ketatanegaraan Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2017 dengan tema : ”Penegasan Sistemem Presidensiil” berhasil diselesaikan. Laporan ini mendiskripsikan seluruh aktivitas workshop, mulai dari aktivitas dalam fase persiapan, fase pelaksanaan dan fase pelaporan workshop.
Dengan selesainya laporan ini, sudah sepatutnya diucapkan terima kasih kepada:
1. Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, yang telah memberikan kepercayaan kepada Universitas Udayana untuk menyelenggarakan Workshop Pancasila, Konstitusi, dan Ketatanegaraan Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2017 ini.
2. Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Rektor Universitas Udayana yang memberikan dukungan yang penuh atas terselenggaranya kegiatan ini khususnya memberikan izin terselenggaranya kegiatan workshop ini.
3. Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang memberikan dukungan terhadap kelancaran dan terselenggaranya kegiatan workshop ini.
4. Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara, dan Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara dan Edward Tahunomas Lamury Hadjon, S.H., LL.M. dalam kegiatan ini sebagai Ketua Panitia Daerah Kuliah Umum Workshop Pancasila, Konstitusi, dan Ketatanegaraan Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2017 yang dengan sepenuhnya memberikan waktu, tenaga dan pikiran dalam terselenggaranya kegiatan kuliah umum ini.
5. Semua pihak yang tidak dapat disebuntukan satu per-satu yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan dan pelaporan Workshop Pancasila, Konstitusi, dan Ketatanegaraan Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2017 ini.
Adapun Workshop Pancasila, Konstitusi, dan Ketatanegaraan Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2017 ini dilaksanakan dalam rangka mencari jawaban terkait isu ketatanegaraan yang krusial didiskusikan dalam forum-forum ilmiah, yakni terkait penegasan dan penguatan sistemem presidensiil. Tujuan dari workshop ini dalam rangka memberikan rekomendasi kepada Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat perihal penegasan dan penguatan sistemem presidensiil dalam bingkai perubahan UUD NRI 1945 yang kelima mendatang. Adapun workshop ini dilaksanakan dengan metode diskusi panel.
LEMBAR KEYNOTE SPEECH PIMPINAN MPR RI
Keynote Speech Pimpinan MPR RI disusun oleh Biro Pengkajian MPR (Menyusul)
SAMBUTAN PEMBUKAAN WORKSHOP PANCASILA, KONSTITUSI DAN KETATANEGARAAN BADAN PENGKAJIAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA : PENEGASAN SISTEMEM PRESIDENSIAL
DISELENGGARAKAN OLEH
BADAN PENGKAJIAN DPR RI BEKERJASAMA DENGAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR BALI
Om Swastiastu, AssalammualaikumWarachmatullahi Wabarakatuh, Shalom,
Namo Buddhayah,
Salam Sejahtera untuk kita semua,
Pertama, kami sampaikan permohonan maaf dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang berhalangan hadir dan menugaskan Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana untuk membuka acara ini. Semoga hal ini tidak mengurangi makna dan tujuan dari Workshop ini.
Ytahun:
1. Ketua Badan Pengkajian MPR RI atau yang mewakili beliau.
2. Para anggota Badan Pengkajian MPR RI.
3. Para peserta Workshop Pancasila, Konstitusi dan Ketatanegaraan.
4. Para undangan yang hadir, diantaranya dari KPU Daerah Provinsi Bali.
Sesuai dengan ToR yang disiapkan oleh Badan Pengkajian MPR RI, dalam pertemuan ini kita akan mengkaji satu persoalan ketatanegaraan RI dengan tema: Penegasan Sistem Presidensial.
Penataan ketatanegaraan bukan persoalan yang mudah karena berkaitan dengan soal hukum dasar. Semoga diskusi ini dapat menghasilan pemikiran yang jernih dan baik dan bermanfaat bagi tugas MPR RI dan bagi nusa dan bangsa.
Kepada Badan Pengkajian MPR RI, Universitas Udayana mengucapkan terimakasih, semoga kerjasama ini tetap berlanjut dan memberi manfaat yang sebaik-baiknya.
Denpasar, 15 September 2017
a.n. Rektor Universitas Udayana, Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana
Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H. NIP. 19610720 198609 1 001
BUTIR-BUTIR REKOMENDASI WORKSHOP PANCASILA, KONSTITUSI DAN KETATANEGARAAN BADAN PENGKAJIAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT BEKERJASAMA DENGAN UNIVERSITAS UDAYANA PADA HARI JUM’AT DAN SABTU, 15-16 SEPTEMBER 2017
Novotel Hotel, Tuban, Badung, Bali, 15-16 September 2017 Tema Workshop : “Penguatan Sistemem Presidensiil”
BUTIR-BUTIR REKOMENDASI
Dalam workshop ini, terdapat dua kelompok besar yang telah dibagi oleh Panitia Pusat dan Panitia Daerah, dan berikut adalah hasil rekomendasi dari masing-masing kelompok berikut dengan rumusannya tertuang secara berurutan dari rekomendasi kelompok pertama dan kemudian rekomendasi kelompok kedua sebagai berikut :
HASIL PEMBAHASAN KELOMPOK I
Hasil diskusi kelompok satu dalam bentuk poin-poin penting, kajian lebih lengkap dan komprehensif ada di makalah setiap topik, notulen diskusi. Adapun poin-poin penting hasil diskusi:
1. Sistemem kepartaian yang ideal bagi penegasan sistemem pemerintahan presidensial dan pembiayaan partai politik (Makalah Oleh: Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H. M.H.; Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.; I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, SH. M.Kn.)
Konklusi:
(1) Multi partai tidak bisa dihindari dan merupakan keniscayaan, jumlah yang ideal dua atau maksimal tiga partai, dilihat dari basis partai lima partai.
(2) Membatasi jumlah partai dengan jalan menaikkan batas parliamentary tahunreshold
maksimal 6 persen dan berlaku untuk legislatiflatif tingkat pusat dan tingkat daerah.
(3) Daerah pemilihan diperkecil dari 3-10 menjadi maksimal 5 dalam satu daerah pemilihan.
(4) Pembiayaan partai dibiayai oleh partai itu sendiri, kurang setuju dibiayai oleh Negara.
(5) Pembagian kursi menggunakan d’Hondt dan Sainte Lague Modifikasi.
2. Desain Pemilu yang dapat mendorong penyederhanaan jumlah partai politik di Parlemen, korelasi Pemilu serentak dengan penegasan sistemem pemerintahan presidensial, serta penetapan ambang batas Parlemen dan presiden dalam rangka penegasan sistemem pemerintahan presidensial (Makalah oleh: Dr. Sukawati Lanang Perbawa, S.H., M.H.; Dr. I Wayan Jondra; Dra. Ni Luh Wirati )
Konklusi:
(1). Pemilu dengan sistemem dan proses yang sederhana, waktu yang bersamaan, dan partisipasi pemilih yang optimal.
(2). Sistemem distrik juga dikatakan bisa politik uang, tetapi mudah dan gampang diawasi.
(3). Pemilihan dilakukan secara serentak antara pemilihan legislatiflatif dan pemilihan eksekutifkutif dari tingkat pusat hingga tingkat daerah.
3. Langkah-langkah strategis untuk menyederhanakan jumlah fraksi di DPR yang diarahkan kepada pembentukan dua blok politik (pendukung dan penyeimbang pemerintah) (Makalah oleh Prof. Dr. Ibrahim R., S.H., M.H. dan Ni Putu Niti Suari Giri, S.H., M.H.)
Konklusi:
(1). Pembentukan fraksi di DPR berdasarkan pengelompokan partai politik pendukung pemerintah dan partai politik penyeimbang/kontrol pemerintah, dan dilakukan secara konsistemen.
(2). Perlu diatur secara tegas bahwa dua kelompok di badan perwakilan, kelompok penguasa dan oposisi, dan dilarang menyeberang kelompok oposisi ke yang berkuasa, oleh sebab itu pemilu legislatiflatif tidak bisa serentak, setiap dua tahun dipilih sepertiga anggota DPR.
4. Penataan ulang sistemem legislatiflasi: presiden tidak memiliki kekuasaan dalam pembentukan undang-undang, tetapi diberikan hak Veto. ( Makalah oleh: Dr. Jimmy Z. Usfunan, S.H., M.H.; Made Nurmawati, S.H., M.H.; Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H.)
Konklusi:
(1). Kalau Presiden tidak memiliki kekuasaan legislatiflatif, maka perlu penguatan tugas dan fungsi DPD menjadi DPD yang soft bicameral, punya tugas utama dan tambahan.
(2). Tugas utama DPD, yaitu fungsi legislatiflasi dan fungsi kontrol yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan atau penghapusan daerah otonom baru atau/dan sumber kekayaan daerah.
(3). Tugas tambahan DPD dapat diberikan untuk melakukan fit and proper test calon anggota Ombudsman, Komnas HAM, KPI, dan KPPU.
(4). Hak Veto presiden di Amerika Serikat ialah UU dibuat oleh DPR, dimintai persetujuan Senat, jika setuju dikirim ke presiden, presiden bisa veto atau tidak. Kalau diveto UU kembali ke DPR dan DPR pungut suara disetujui 2/3 untuk menolak veto, kemudian kirim ke Senat, pungut suara 2/3 setuju tolak veto presiden. Maka, UU itu harus dijalankan presiden.
5. Penataan ulang kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan atau pertimbangan untuk pengisian jabatan-jabatan tertentu serta penataan penggunaan hak DPR: hak interplasi, hak angket, hak menyatakan pendapat. (Makalah oleh: Dr. I Gusti Ayu Putri Kartika, S.H. M.H.; Dr. Made Gde Subha Karma Resen, S.H. M.Kn.)
Konklusi:
(1). Tugas dan fungsi utama dan tambahan DPR, tugas utama: Budgeting; legislatiflatif, dan pengawasan.
(2). Tugas tambahan yang berkaitan pertimbangan, persetujuan, pemilihan para pejabat, perlu dibatasi, sekarang DPR terlibat dalam penentuan jabatan banyak sekali:, yaitu: pilih Hakim Agung, KPK, KY, Gubernur dan Deputi Gubernur Bank Indonesia, KPU, Kapolri, Panglima TNI, Duta Besar.
(3). Pengurangan tugas tambahan DPR bertujuan untuk meningkatkan efektivitas tugas legislatiflasi, control, dan budgeting.
PERSONALIA KELOMPOK I:
1. Prof. Dr. Ibrahim R., S.H., M.H. (Ketua Kelompok)
2. Dr. Made Gde Subha Karma Resen, S.H., M.Kn. (Sekretaris Kelompok)
3. Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H. (Anggota Kelompok)
4. Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H. (Anggota Kelompok)
5. Dr. I Gusti Ayu Putri Kartika, S.H., M.H. (Anggota Kelompok)
6. Dr. Sukawati Lanang Perbawa, S.H., M.H. (Anggota Kelompok)
7. Dr. Jimmy Z. Usfunan, S.H., M.H. (Anggota Kelompok)
8. Dr. I Wayan Jondra (Anggota Kelompok)
9. Dra. Ni Luh Wirati, M.H. (Anggota Kelompok)
10. Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H. (Anggota Kelompok)
11. Made Nurmawati, S.H., M.H. (Anggota Kelompok)
12. I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, S.H., M.Kn. (Anggota Kelompok)
13. Ni Putu Niti Suari Giri, S.H., M.H. (Anggota Kelompok)
14. I Kadek Arimbawa (Anggota Badan Pengkajian MPR RI dari Kelompok DPD RI)
15. Drs. H. Fadholi (Anggota Badan Pengkajian MPR RI dari Fraksi Nasdem)
Notulen Kelompok I :
1. Bagus Hermanto (Fakultas Hukum Universitas Udayana)
2. Ida Bagus Gede Putra Agung Dhikshita (Fakultas Hukum Universitas Udayana)
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK II
Ketua: I Nengah Suantra, S.H., M.H. Sekretaris : Sagung Putri M.E. Purwani, S.H., M.H.
Pendahuluan
1. Umum
Diskusi Kelompok ini merupakan agenda utama dari seluruh rangkaian kegiatan Workshop Pancasila, Konstitusi dan Ketatanegaraan “Ketatanegaraan Penegasan Sistemem Presidensial”. Kegiatan diskusi berlangsung setelah acara Pembukaan dan penjelasan teknis pelaksanaan Workshop, dimulai pukul 13.30-17.00 WITA. Kegiatan diskusi dimulai dengan pemilihan Ketua dan Sekretaris Kelompok.
2. Maksud dan Tujuan
Di dalam Kerangka Acuan Workshop ditegaskan tujuan kegiatan yaitu:
1. Memperoleh masukan dari para pakar/akademisi, praktisi, tokoh masyarakatarakat mengenai langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk semakin mempertegas sistemem pemerintahan presidensial sebagai tindak lanjut dari Rekomendasi MPR masa jabatan 2009-2014, yakni melakukan penataan sistemem ketatanegaraan melalui perubahan kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Output Kegiatan Workshop adalah Rekomendasi dan Prosiding yang disusun oleh Panitia daerah dan disampaikan kepada Badan Pengkajian MPR melalui Biro Pengkajian Sekretariat Jenderal MPR, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah pelaksanaan workshop.
Diskusi Kelompok dilakukan dengan maksud untuk mendiskusikan dan melakukan pembahasan secara interaktif tematik permasalahan yang ditentukan oleh Panitia. Tujuannya yaitu untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang merupakan latar belakang permasalahan, berbagai pandangan dari peserta diskusi, dan menemukan solusi – rekomendasi terhadap permasalahan tersebut.
3. Ruang Lingkup
Kegiatan diskusi diawali dengan pemilihan ketua dan sekretaris kelompok. Kemudian mensepakati mekanisme jalannya diskusi. Tematik permasalahan yang didiskusikan yaitu:
a. Sinkronisasi reformulasi sistemem perencanaan pembangunan nasional model GBHN dengan sistemem pemerintahan presidensial.
b. Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR sebagai fasilitasi bagi lembaga-lembaga negara untuk menyampaikan laporan kinerja kepada rakyat, hubungannya dengan penegasan sistemem pemerintahan presidensial.
c. Kejelasan kewenangan wakil presiden dan relasi antara presiden dan wakil presiden.
d. Penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam sistemem pemerintahan presidensial, serta langkah-langkah strategis untuk menjawab pertanyaan keberadaan anggota DPD, antara keterpilihan dan keterwakilan dengan daerah.
e. Desain otonomi daerah dalam kerangka penegasan sistemem pemerintahan presidensial.
4. Dasar
Kerangka Acuan Workshop Pancasila, Konstitusi dan Ketatanegaraan Penegasan Sistemem Presidensial yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Kegiatan yang Dilaksanakan
Kegiatan yang dilakukan yaitu mendiskusikan dan membahasa tematik permasalahan tersebut di atas. Bahasan dilakukan secara kronologis per-tema mulai dari tema nomor 1 dan seterusnya. Bahasan setiap tema diawali dengan pemaparan oleh peserta yang mendapatkan tugas membuat paper tema tersebut. Setelah itu, diberikan kesempatan kepada peserta untuk membahas: memberikan masukan atau menanyakan permasalah yang belum jelas bahasan atas tema tersebut.
Jalannya diskusi sebagai berikut:
Topik 1: Sinkronisasi Reformasi Sistemem Perencanaan Pembangunan Nasional model GBHN dengan sistem pemerintahan presidensial
1. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sangat penting untuk adanya pelaksanaan pembangunan yang berkesinambungan dan konsistemen dalam rangka pencapaian tujuan Negara. Untuk itu, tujuan Negara yang tercantum di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan dasar Negara Pancasila harus dijadikan landasan penyusunan sistemem perencanaan pembangunan nasional. Visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden harus berdasarkan pada sistemem perencanaan pembangunan nasional. Bentuk hukum sistemem perencanaan pembangunan nasional model GBHN yaitu Ketetapan MPR
2. Pendapat lain menyatakan bahwa tidak perlu sistemem perencanaan pembangunan nasional model GBHN, tetapi cukup menggunakan RPJP dan RPJM yang materi muatannya sebagai penjabaran dari visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden. Bentuk hukum pengaturan RPJP dan RPJM yaitu UU dan peraturan pelaksanaannya.
3. Produk hukum Ketetapan sebagai wadah pengaturan Sistemem Perencanaan Pembangunan Nasional model GBHN tidak berimplikasi pada permasalahan perubahan status MPR RI menjadi lembaga tertinggi Negara, melainkan mencerminkan lembaga perwakilan seluruh rakyat Indonesia.
Topik 2: Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR sebagai Fasilitasi bagi lembaga Negara untuk menyampaikan laporan kinerja kepada rakyat, hubungannya dengan penegasan sistem pemerintahan presidensial.
1. Sidang tahunan MPR RI sangat penting sebagai wahana mempertahankan integritas bangsa dan konektivitas serta kontinuitas hubungan pusat dan daerah. Sidang tahunan MPR RI diselenggarakan untuk penyampaian laporan kinerja penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden sebagai konsekuensi Presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan sebagai laporan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR RI.
2. Dalam sidang tahunan tersebut laporan kinerja seluruh lembaga negara disampaikan kepada rakyat oleh Presiden sebagai kepala Negara.
3. Dengan demikian pelaksanaan sidang tahunan MPR RI memperkuat keberadaan sistemem Presidensial yang dianut dalam UUD NRI Tahun 1945.
Topik 3: Kejelasan kewenangan Wakil Presiden dan relasi antara Presiden dan Wakil Presiden.
1. Kewenangan Wakil Presiden yang diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945 sudah jelas sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 6A.
2. Dalam Pelaksanaan kekuasaan pemerintahan Negara dalam kerangka sistemem presidensial perlu kewenangan Wakil Presiden diatur secara fleksibel berdasarkan Keputusan Presiden.
3. Namun dalam rangka penegasan sistem presidensial, kewenangan Presiden dan Wakil Presiden harus diatur di dalam UU Kepresidenan, terutama berkaitan dengan pengisian jabatan-jabatan tertentu tidak memerlukan persetujuan atau pertimbangan DPR.
Topik 4: Penguatan kewenangan DPD dalam Sistemem pemerintahan presidensial, serta langkah-langkah strategis untuk menjawab pertanyaan keberadaan DPD antara keterpilihan dan keterwakilan dengan daerah.
1. Kewenangan DPD dalam sistemem pemerintahan presidensial perlu diperkuat, terutama di bidang legislatiflasi sebab DPD merupakan representasi keterwakilan daerah dalam rangka mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi daerah.
2. Penguatan kewenangan DPD dilakukan dengan mengamandemen beberapa pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, yaitu:
a. Pasal 5 ayat (1) yang menentukan: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. RUU yang masuk kewenangan DPD, Presiden berhak mengajukan RUU tersebut kepada DPD.
b. Pasal 20 ayat (1) yang menentukan: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislatiflasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.” DPD juga memiliki fungsi legislatiflasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan berkaitan dengan kewenangan DPD.
c. Pasal 22D. Pasal 22D perlu diimplementasikan sesuai dengan putusan MK No. 92/ PUU-X/2012.
3. Keanggotaan DPD tidak dapat berasal dari partai politik demi konsistemensi dengan prinsip representasi keterwakilan.
Topik 5: Desain Otonomi daerah dalam kerangka penegasan sistemem pemerintahan presidensial.
1. Otonomi daerah diberikan dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sistemem pemerintahan presidensial. Dalam sistemem pemerintahan presidensial kedudukan presiden harus kuat dan memiliki hubungan yang baik dan harmonis secara vertikal maupun horizontal.
2. Untuk menciptakan desain otonomi daerah dalam rangka penegasan system pemerintahan presidensial, maka perlu dilakukan rekonstruksi desain otonomi daerah yang ada, yaitu:
a. Prinsip otonomi diletakkan pada daerah provinsi.
b. Gubernur dipilih langsung oleh rakyat dan diangkat oleh presiden dengan pertimbangan karena gubernur disamping sebagai kepala daerah juga merupakan wakil pemerintah pusat yang ada di daerah.
c. Bupati dan walikota dipilih oleh DPRD Kabupaten/ Kota dan diangkat oleh gubernur dengan pertimbangan untuk memperkuat hubungan antara bupati dan gubernur sekaligus dengan pemerintah pusat.
d. Untuk memperkuat hubungan pusat dan daerah, dalam pemilihan Gubernur perlu ditetapkan kepala daerah tahunreshold sebesar 20% dan presiden memiliki hak sebesar 35%.
e. Pemilihan gubernur dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat untuk mendapatkan dua calon gubernur. Selanjutnya KPU menyampaikan kepada Presiden untuk menetapkan gubernur terpilih.
f. Pemilihan Bupati/ Walikota dilakukan pemilihan oleh DPRD Kabupaten/Kota untuk mendapatkan dua calon Bupati/ Walikota. Selanjutnya KPU menyampaikan kepada Gubernur untuk menetapkan Bupati/ Walikota terpilih.
Desain Otonomi daerah dalam kerangka penegasan sistemem pemerintahan presidensial digambarkan dalam diagram alir dibawah ini.
Ketua : I Nengah Suantra, SH.,MH
Sekretaris : Sagung Putri M.E. Purwani, SH.,MH
Pencatat : 1. Ni Putu Mella Manika
2. I Made Marta Wijaya
Peserta rapat : 1. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH
2. Prof. Dr. Made Subawa, SH.,M.S.
3. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum.
4. Dr. I Nyoman Suyatna, SH.,MH
5. Dr. I Gusti Bagus Suryawan, SH.,M.Hum.
6. I Ketut Sudiarta, SH.,MH
7. Nyoman Mas Aryani, SH.,MH
8. Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH.,M.Kn.,LLM
9. Edward Tahunomas Lamury Hadjon, SH.,LLM
10. Putu Novarisna Wiyatna, SH.,MH
Tuban, Badung – Bali, 16 September 2017
Pemimpin Rapat : I Nengah Suantra, SH.,MH Fakultas Hukum Universitas Udayana,
NIP. 19561231 198403 1 011
NOTULENSI WORKSHOP PANCASILA, KONSTITUSI DAN KETATANEGARAAN BADAN PENGKAJIAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT BEKERJASAMA DENGAN UNIVERSITAS UDAYANA PADA HARI JUM’AT DAN SABTU, 15-16 SEPTEMBER 2017
Novotel Hotel, Kuta, Badung, Bali, 15-16 September 2017 Tema Workshop : “Penguatan Sistemem Presidensiil”
PEMBUKAAN
Peserta Workshop Pancasila, Konstitusi dan Ketatanegaraan Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang hadir terlebih dahulu melakukan registrasi yang telah dibuka dari Pukul 08.30 WITA hingga Pukul 09.00 WITA di Meeting Room, Novotel Hotel, Tuban, Badung.
Acara berikutnya dilanjuntukan dengan pembukaan oleh Moderator Panitia Daerah, Ibu I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, S.H., M.Kn. yang membuka Workshop Pancasila, Konstitusi dan Ketatanegaraan Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2017, bertemakan: “Penguatan Sistemem Presidensiil”.
Dalam kegiatan ini, acara dihadiri oleh anggota Badan Pengkajian MPR RI, para peserta dari berbagai Universitas di Bali, perwakilan dari KPU Provinsi Bali serta panitia teknis pusat maupun daerah, dengan rincian sebagai berikut :
Pertama, anggota Badan Pengkajian MPR RI, yakni sebagai berikut :
1) Martin Hutabarat, S.H. (Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, dari Fraksi P-Gerakan Rakyat Indonesia Raya).
2) M. Syukur, S.H. (Anggota Badan Pengkajian MPR RI, dari Kelompok DPD RI)
3) Drs. A.H. Mujib Rohmat (Anggota Badan Pengkajian MPR RI, dari Fraksi P-Golongan Karya).
4) I Kadek Arimbawa (Anggota Badan Pengkajian MPR RI, dari Kelompok DPD RI)
5) Drs. Fadholi (Anggota Badan Pengkajian MPR RI, dari Fraksi P-Nasional Demokrat).
Kedua, Kepala Biro Pengkajian Sekretariat Jenderal MPR RI, Drs. Yana Indrawan, M.Si.
Ketiga, Rektor Universitas Udayana yang dalam hal ini diwakili oleh Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana, Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.
Keempat, para peserta dari berbagai Universitas di Bali, perwakilan dari KPU Provinsi Bali serta panitia teknis pusat maupun daerah.
Kemudian, dilanjutkan dengan menyanyikan Lagu Indonesia Raya yang dipandu oleh dirigen dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Ni Putu Novarisna Wiyatna, S.H., M.H.
Acara berikutnya yakni pembacaan sambutan Rektor Universitas Udayana yang disampaikan oleh Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana, Dr. I Gede Yusa, S.H.,
M.H. sebagaimana terlampir, yang intinya terkait dengan poin-poin berikut ini :
Pertama, permohonan maaf dari Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana tidak dapat hadir untuk memberikan kata sambutan, dan dalam hal ini Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana ditugaskan untuk memberi kata sambutan, dengan harapan tidak mengurangi tujuan dan makna dari workshop ini.
Kedua, ucapan selamat datang kepada para anggota Badan Pengkajian MPR serta kepada seluruh peserta maupun panitia pusat dan daerah yang berkenan hadir dalam workshop ini.
Ketiga, harapan agar kiranya acara ini dapat menjadi wahana menjawab persoalan ketatanegaraan yang harus dikaji secara serius, dan berterima kasih kepada para ahli ketatanegaraan yang hadir pada kesempatan ini. Harapan juga dinyatakan kiranya acara ini dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bijak terkait sistemem presidensiil yang dianut di Indonesia, dan dapat membantu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk menyusun dan mengelola ketatanegaraan, dan hal tersebut adalah tugas yang berat terkait banyak aspek yang musti dipertimbangkan. Serta, harapan terakhir atas kegiatan diskusi ini, kiranya dapat menghasilkan hasil rekomendasi yang menjadi sebuah masukan konstruktif bagi gagasan perubahan kelima Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Acara berikutnya yakni pembacaan sambutan atau keynote speech Pimpinan Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, yang dalam kesempatan ini disampaikan oleh Martin Hutabarat, S.H.
Adapun poin-poin yang disampaikan yakni sebagai berikut :
Pertama, ucapan syukur atas rahmat dan karunia-Nya, dan dapat hadir dalam Workshop MPR RI 2017, dan memberikan penghargaan setinggi-setingginya kepada Rektor Universitas Udayana yang pada kesempatan ini diwakili oleh Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Kedua, kegiatan ini adalah langkah efektif, konstitusional, dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang membahas perihal Penegasan dan penguatan sistemem presidensial, yang mengemuka dikalangan akademisi ketatanegaraan, bahwasanya selaras dengan tujuan Negara yang termaktub dalam Pancasila dan UUD NRI 1945.
Ketiga, dalam diskusi ini akan dibahas perihal pilihan mana yang paling cocok dan sesuai dengan budaya politik di Indonesia, bahwa Indonesia pernah menerapkan sistemem parlementer dan tidak berhasil. Dan kemudian tergantikan dengan sistemem presidensiil kembali, dan dalam hal ini Eksekutifkutif dan Legislatiflatif, menjadi tiga cabang kekuasaan dan kemudian Dewan Perwakilan Rakyat dipilih oleh rakyat, Presiden dikonsentrasikan kekuasaannya, para menteri adalah pembantu presiden. Dari sisi historis, tampak terjadinya penyimpangan dan pengaburan terhadap konsepsi sistemem presidensiil sebagaimana praktik di era Presiden Soekarno dengan Orde Lamanya dan Presiden Soeharto dengan Orde Barunya, maupun pergolakan atau situasi politik. Dalam perubahan UUD NRI 1945, berbagai ruang kealpaan dalam Konstitusi, hendaknya diubah.
Keempat, beberapa kajian yang penting dapat menjadi aspirasi dari para akademisi pada kegiatan ini yakni : Sistem kepartaian yang ideal bagi penegasan sistemem pemerintahan presidensial dan pembiayaan partai politik, Desain pemilu yang dapat mendorong penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen, korelasi pemilu serentak dengan penegasan sistem pemerintahan presidensial, serta penetapan ambang batas parlemen dan presiden dalam kerangka penegasan sistemem pemerintahan presidensial, Langkah-langkah strategis untuk menyederhanaan jumlah fraksi di DPR yang diarahkan kepada pembentukan dua blok politik (pendukung dan penyeimbang pemerintah), Penataan ulang sistemem legislatiflasi: presiden tidak memiliki kekuasaan dalam pembentukan undang-undang, tetapi diberikan hak veto, Penataan ulang kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan atau pertimbangan untuk pengisian jabatan-jabatan tertentu, serta penataan penggunaan hak DPR: hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, Sinkronisasi reformulasi sistemem perencanaan pembangunan nasional model GBHN dengan sistemem pemerintahan presidensial, Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR sebagai fasilitasi bagi lembaga-lembaga negara untuk menyampaikan laporan kinerja kepada rakyat, hubungannya dengan penegasan sistem pemerintahan presidensial, Kejelasan kewenangan wakil presiden dan relasi antara presiden dan wakil presiden, Penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem pemerintahan presidensial, serta
langkah-langkah strategis untuk menjawab pertanyaan keberadaan anggota DPD, antara keterpilihan dan keterwakilan dengan daerah, serta Desain otonomi daerah dalam kerangka penegasan sistem pemerintahan presidensial.
Keenam, Gagasan yang telah dikemukakan adalah penting dan strategis, bagi MPR bahkan Negara Indonesia, dan menjadi forum ini sebagai forum gagasan terkait berbangsa bernegara dan proyeksi idealitika Bangsa Indonesia kedepan sesuai kebutuhan, peluang, dan tantangan.
Ketujuh, ucapan terimakasih pada kegiatan Workshop ini, dan dapat menjadi berguna bagi bangsa Indonesia.
Kemudian, dilanjuntukan dengan sesi foto bersama, sebagaimana terlampir dan disertai dengan penyerahan cinderamata dari Universitas Udayana kepada Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat, diwakili oleh Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H. Kemudian Martin Hutabarat, S.H., selaku Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI menyerahkan cinderamata Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada Wakil Dekan III FH UNUD, Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H, dilanjuntukan dengan sesi foto bersama antara peserta, panitia dan Pimpinan serta anggota Badan Pengkajian MPR RI.
Acara selanjutnya adalah pembacaan doa oleh petugas dari Panitia Daerah, yakni Putu Bagus Dananjaya. Kemudian, kegiatan workshop dilanjuntukan yakni penjelasan teknis workshop oleh Drs. Yana Indrawan, M.Si., selaku Kepala Biro Pengkajian MPR RI, dan kemudian dilanjuntukan dengan agenda istirahat, sembahyang dan makan siang (ISBAMA).
PEMBAHASAN
Acara workshop Pancasila, Konstitusi dan Ketatanegaraan Badan Pengkajian MPR RI dilanjuntukan dengan sesi diskusi kelompok yang masing-masing telah dibagi sesuai pembagian dari Panitia Daerah. Kemudian, masing-masing kelompok mendiskusikan sesuai dengan pembagian materi yang diberikan. Adapun pembagian tersebut yakni sebagai berikut:
DAFTAR PESERTA DAN MATERI BAHASAN
Kelompok 1
Peserta | Makalah/Materi Bahasan |
1. Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H 2. Dr. I Gede Yusa.,SH.,MH | Sistemem kepartaian yang ideal bagi penegasan sistemem pemerintahan presidensial dan pembiayaan partai politik. |
1. Dr. Sukawati Lanang Perbawa, SH,MH 2. Dr. Wayan Jondra 3. Dra. Ni Luh Wirati, M.H. | Desain pemilu yang dapat mendorong penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen, korelasi pemilu serentak dengan penegasan sistemem pemerintahan presidensial, serta penetapan ambang batas parlemen dan presiden dalam kerangka penegasan sistemem pemerintahan presidensial. |
1. Prof. Dr. Ibrahim R., S.H., M.Hum. 2. Ni Putu Niti Suari Giri, S.H., M.H. | Langkah-langkah strategis untuk menyederhanaan jumlah fraksi di DPR yang diarahkan kepada pembentukan dua blok politik (pendukung dan penyeimbang pemerintah). |
1. Dr. Jimmy Z. Usfunan, S.H., M.H. 2. Made Nurmawati, S.H., M.H. 3. Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H. | Penataan ulang sistemem legislatiflasi: presiden tidak memiliki kekuasaan dalam pembentukan undang-undang, tetapi diberikan hak veto. |
1. Dr. I G A Putri Kartika, S.H., M.H. 2. Dr. Made Gde Subha Karma Resen, S.H., M.Kn. | Penataan ulang kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan atau pertimbangan untuk pengisian jabatan-jabatan tertentu, serta penataan penggunaan hak DPR: hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat. |
Kelompok 2
Peserta | Makalah/Materi Bahasan |
1. Prof. Dr. I Made Subawa, S.H., M.S. 2. Prof.Dr. I Wayan Parsa.,SH., M.Hum. | Sinkronisasi reformulasi sistemem perencanaan pembangunan nasional model GBHN dengan sistemem pemerintahan presidensial. |
1. I Nengah Suantra.,SH.,MH. 2. Dessy Sukaasih.,SH.,MH. 3. | Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR sebagai fasilitasi bagi lembaga-lembaga negara untuk menyampaikan laporan kinerja kepada rakyat, hubungannya dengan penegasan sistemem pemerintahan presidensial. |
1. Edward T.L. Hadjon, SH., LLM 2. Nyoman Mas Aryani., SH.,MH 3. Ketut Ardani., SH., MKn | Kejelasan kewenangan wakil presiden dan relasi antara presiden dan wakil presiden. |
1. Dr. I.G.B Suryawan, SH, MH 2. Putu Novarisna Wiyatna, SH, MH | Penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam sistemem pemerintahan presidensial, serta langkah-langkah strategis untuk menjawab pertanyaan keberadaan anggota DPD, antara keterpilihan dan keterwakilan dengan daerah. |
1. Prof.Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH 2. Dr. I Nyoman Suyatna, SH.MH 3. I Ketut Sudiarta, SH.MH | Desain otonomi daerah dalam kerangka penegasan sistemem pemerintahan presidensial. |
Dalam hal ini tergambar dalam notulen kelompok masing-masing sebagai berikut :
NOTULEN DISKUSI KELOMPOK WORKSHOP PANCASILA, KETATANEGARAAN DAN KONSTITUSI BADAN PENGKAJIAN MPR RI TAHUN 2017
Oleh :
Panitia Daerah Badan Pengkajian MPR RI Tahun 2017 Novotel Hotel, Tuban, Badung, Bali, 15-16 September 2017
KELOMPOK PERTAMA
Adapun kelompok menunjuk secara aklamasi Prof. Dr. Ibrahim R., S.H., M.H. selaku Ketua Kelompok. Kemudian, Dr. Made Gde Subha Karma Resen, S.H., M.Kn. selaku Sekretaris Kelompok.
Kemudian Ketua Kelompok mempersilahkan kepada masing-masing peserta sesuai materi yang diberikan untuk mempersiapkan dirinya. Adapun secara terperinci disampaikan makalah dari masing-masing peserta yang terekam dalam notulen sebagai berikut :
Materi 1. Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H. dengan judul : “Sistemem Kepartaian yang Ideal Bagi Penegasan Sistemem Pemerintahan Preisdensial dan Pembiayaan Partai Politik”. Dengan uraiannya sebagai berikut :
Sistem kepartaian yang ada didunia kaitannya dengan pemerintahan, mono system dan sistem kepartaian multipartai.
Klasifikasi atas dasar jumlah partai yang berpengaruh dalam Badan Perwakilan :
a. Mono partai
b. Dua partai
c. Multi partai Eropa Juga Indonesia
Di era Orde Baru adanya partai tunggal memperkuat system presidensiil, pembangunan dapat berjalan lancar lima tahun sekali, terlebih MPR yang membuat, pelaksanaan Pemerintahan tidak diganggu oleh riak-riak. Sistem Kepartaian Tunggal, juga pernah dua partai politik dan Golkar, fusi beberapa partai politik, setelah tahun. 1971, beragama (PPP), Nasionalis (PDI), dan satu Golongan Karya. Terkait keinginan masyarakat di era reformasi, sistem. Partai tersebut tidak disenangi rakyat. Rakyat melalui MPR memberikan muncuLembaga Negaraya
banyak partai (multipartai), stlh UU 2 Tahun 1999, ada 48 partai politik. S.D. Tahun. 2014, 12 Partai Nasional dan 4 Partai Lokal. Dengan multipartai, tidak begitu politik, timbul kegaduhan dan riak-riak politik, yang awal dukung jadi tidak, yang tidak jadi dukung. Sesuai tema, maka diusulkan jalan tengah bila sistem Multipartai, ataupun monopartai, sesuai dengan kondisi bangsa, Indonesia menganut jalan tengah, terinspirasi dengan dasar Negara, sistem. 5 partai (Panca partai), ada partai yang berkeagamaan (Partai Ketuhanan), Partai Kemanusiaan, Partai Persatuan, Partai Kerakyatan dan Partai Keadilan. Sangat efektif, dalam hal penganggaran, tidak keluar banyak uang biayai partai politik.
Dalam hal ini, mengapa meski digabung :
1. Percepat tercapainya tujuan nasional dan cita-cita bangsa.
2. Mengurangi pekotak-kotakan dalam masyarakatarakat.
3. Perkaut partai dalam pendanaan dan sumber daya manusia.
4. Kemungkinan secara silih berganti partai yang memegang pemerintahan
5. Perkuat sistemem Pemerintahan Presidensiil Kemudian, terkait pembiayaan Partai politik :
1. Partai politik sebaiknya dibiayai kader, bukan anggota, bukan ambil dari kelompok usahawan atau swasta, khawatir terdapat politik balas budi. (Partai banyak, anggaran ditingkatkan, tentunya tidak bagus, seperti haLembaga Negaraya Indonesia saat ini).
2. Bantuan dari pemerintah.
3. Usaha lain atau kegiatan-kegiatan dari partai dalam rangka penguatan integritas, harus kurangi Sumbangan Swasta.
4. Sumbangan yang tidak mengikat.
Tanggapan :
1. Ketua Diskusi
Terdapat dua hal penting : sistem kepartaian dan biaya.
Bahwa, AS bukan dwipartai, namun multipartai, namun sistemem Pemilu mengakibatkan Dwipartai, jangan lupa, Indonesia Partai lahir, orang yang ingin jadi presiden buat partai, Demokrat berhasil, yang lain belum (Gerindra, Nasdem). Kedua, Biaya dari kader, bukan dari Negara.
2. Dr. Sukawati Lanang Perbawa
Satu hal, bahwa tidak setuju, fungsi partai politik, sudah banyak dijalankan. Partai politik ada yang sudah laksanakan semua fungsi atau belum. Bahwa, ada partai yang berdiri (silakan bisa berdiri asal persyaratan pembentukan Partai politik terpenuhi, yang agak berat), dan ada partai yang bisa ikut Pemilihan Umum (biasanya persyaratannya ditambah, timbul pertentangan dengan electoral threshold, dulu 3,5 ke 4 %, ikut pemilu belum tentu dpt kursi, MK jelaskan, ET, hanya terkena ET yakni DPR RI, dan DPRD tidak, tidak salah PBB dan PKPI yang tidak lolos 3,5% ET, kaitannya dengan penyederhanaan, ada social engineering atau social interaction, setuju, ada 5 instrumen by system, bisa 5 atau 6, sistem multi partai sederhana, by system berapa suara berapa PTnya; dan ada yang partai dapat kursi.
Prof. Ramlan Surbakti, menyebutkan :
1. 4% ET, 2. Pembagian kursi dulu kuota (DPP atau sistemem Hare, memang dari simulasi lebih menguntung partai kecil, metode matematika Politik Kurangi suara ke kursi, beda metode beda kursi), saat ini metode d’Hondt, maka menguntungkan partai besar, dan disetujui, dan partai kecil kehilangan kursi, beda komposisi; partai kecil makin sedikit, perkuat sistem. presidensiil; 3. Daerah pemilihan, berapa kursi yang dibagai di Daerah pemilihan itu, dan akibatkan partai kecil tidak dapat kursi. Contohnya Bali, 9 kursi, ketika satu daerah pemilihan, ditentukan 3-10, maka 1 Daerah pemilihan, jika 3-6, ada suara bali selatan atau bali utara. 4 dan 5 kursi, kemungkinan partai besar, kalau saat ini, dengan 3-10, partai kecil dapat, seperti Gerindra. Kalau formulasi daerah pemilihan yang diperkecil, maka PDI dan Golkar. Juga di Daerah pemilihan DPR Provinsi. 3-12, Denbar, begitu Partai kecil dapat. 4. Penyelenggaraan pemilu, bgmn pemilu serentak dan tidak serentak, kalau kasat mata, konsep pemberlakuan pemilu serentak bagus, kurangi biaya, waktu, suara suara, penyelenggara, juga partai politik.
Sistem kepartaian multi partai
Biaya, dibeberapa Negara, pembiayaan oleh partai politik sendiri, juga oleh pengusaha yang berikan bantuan, bedanya dengan Indonesia, sebaiknya didorong dari internal dan pengusaha, di AS, lihat dana partai oleh perseorangan, memang tugas KPU mengecek, partai politik maupun dana kampanya itu, harus dipertanggungjawaban ke public, disampaikan ke publik, dipakai apa. Setelah dimediakan, alat tersebut, diluar partai politik untuk mengontrol. Tidak ada yang tidak dibuka, bila tidak membuak dikenakan sanksi. Disisi lain, bila tidak transparan, digugurkan akibat tidak transparan berikan info. Terutama partai politik yang akan usung Presiden dan Wakil Parlemen.
Ibu Dra. Ni Luh Wirati, M.H.
Pembiayaan partai politik, memang dari pemerintah, banyak hal terjadi, tidak diatur secara spesifik, penggunaan anggaran oleh partai politik. Semestinya anggaran untuk pendidikan politik, hasilkan kandidat mumpuni dan bermanfaat bagi bangsa dan Negara. Pembiayaan harus ada pengaturan harus diaudit secara benar, sebaiknya anggaran berasal dari partai politik. Betul-betul bertanggungjawab pada internal, karena pemberian dari Negara, tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Negara. Tujuan tersebut tidak tercapai, dipergunakan untuk hal lainnya. Dan belum ada audit. Peruntukannya belum tepat. Masih, diatas 5 partai politik, perolehannya, dengan perolehan suara sistem. 1357, juga terbagi partai yang kecil.
Materi 2. Dr. Sukowati Lanang Perbawa, S.H., M.H.
Kalau tadi sistem. Pemilu dan presiden, salah satu, desain pemilu legislatiflatif, by system, ssu tadi. Democracy by law. By system, bisa sederhanakan partai. Kedua, ada bbrp persyaratan, 20%, dan yang terbaru, PEMILU serentak, secara etis Secara teoritis, agak terkejut, satu persoalan mekanisme, kedua konflik, dan sebagainya. Sudah simulasikan persoalan yang ada terkait teknis pemilu. Tahun 2019, Pemilu legislatif dan Pilpres, di Bali, contohnya dapat 5 surat suara, secara teknis, Pemilu makin sederhana, makin sulit, makin curang, tidak rigid. Dalam Pasal 6, pertanyaannya 2019, ini suara mana yang dipakai kalau mundur 2014, tidak ada korelasinya, kalau 2019, gimana, karena pemilu serentak. Kedua, bgmn partai politik yang baru. Legitimasi hukumnya bagaimana? Jokowi relevan pakai suara 2014, namun tidak 2019. Persoalan konflik, polanya, kampanye legislatif berbarengan dengan kampanye pilpres, bgmn partai yang berkoalisi, saat kampanye legislatif? Kampanye Pileg atau Pilpres. Kedua, yakin lebih terkenal capresnya, konstelasi Legislatif dengan Presiden memang berbeda, fungsi Presiden dan fungsi legislatif berbeda. Untuk legislatif berbeda. Masyarakat bingung juga. Sekaligus milik DPR. Kemudian, positifnya ketika berbarengan, murah, pemerintahan efektif, embarkasi pembagian partai oposisi dan pemeirntah jadi jelas. Jangan sampai terjadi calon tunggal. Secara demokrasi, kita tidak berharap. Tidak demokratis.
Tanggapan :
Rumit secara teknis. Pemilihan Umum serentak seperti apakah? Kalau deadlock, bagaimana?, gugat menggugat. Tidak bisa kita bayangkan. Model apa atau desain apa?.
Anggota Badan Pengkajian MPR, Drs. Fadholi :
Ada beberapa catatan:
Sebagai praktisi, anggota DPR dan anggota MPR. Mengagas masalah pemilihan, ada beberapa tahapan, ide Lembaga Negaranya ada 2 : Pilihan eksekutif. Atau pilihan legislatif. Waktunya disamakan. Dulu, hamper setiap tahun, kini serentak. Ada sisi ide Lembaga Negaraya, dan sisi lainnya. Ide Lembaga Negaranya bisa dicapai, pilihan eksekutif dan pilihan gubernur, bupati dan walikota. Bahwa, Kepala Daerah dan Presiden beda dengan legislatif, dan ranahnya berbeda. Kalau terjadi pemilihan legislatif, presiden bisa gabungan partai politik. Legislatif tidak. Bagaimana agar kedepan ada satu tahapan. Pilihan yang tersendiri. Satu kali pilihan legislatif dari daerah dan pusat, berbarengan.
Kedua, pilihan tidak besar cost nya, realitas, calonnya keluar uang yang besar, cost politik besar, tergantung good will dari pemerintah. Hilangkan money politic dalam bentuk apapun. Kalau andalkan Panitia pengawas, tidak cukup. Bila kemudian dikikis habis, lahir tokoh-tokoh, yang baik kalah dengan yang seolah-olah baik. Harus menekan money politic.
Kedua, agar semua biaya sosialisasi politik itu ditanggung pemerintah, sosialisasi politik sangat baik. Ada saatnya sosialisasi dan kapan saatnya kerja. Agar satu rumusan money politic. Apapun bentuknya bisa dikikis habis. Penerima tidak disanksi, hanya pemberi, bagaimana kualitas yang dipilih. Makin kecil daerah pemilihan, makin baik. Bali 9 anggota DPR, kalau di AS, 330000 per distrik per wilayah, satu yang tertinggi, yang lain terbuang. Kalau banyak, partai besar saja yang dapat. Menyederhanakan partai, tidak akan pernah terjadi.
Keinginan calon masih tinggi, ketimbang keinginan rakyat. Keinginan rakyat masih kecil.
Gunakan cara seperti apa?
Di AS, democrat diundi dulu. Indonesia tidak punya.
Tambahan Pak Dr. Gede Yusa
Pemilu serentak dengan sistem. Pemerintahan Pemilu serentak 2019 adalah pemilu yang sgt sederhana, masyarakat. Di suatu daerah bisa 4-5 kali lakukan pemilihan dalam sekali coblos.
Dalam 5 tahun, terus kampanye kapan bisa bekerja. Kalau serentak, pemilihan legislatiflatif, hanya menambah surat suara. Kampanye tidak ada lagi di tahun-tahun pasca PEMILU. Kalau lima tahun sekali, selesai. Tidak jadi maslaah. Hanya, terkait dengan sengketa HPU, bgmn semua anggota Dewan, Bupati Gubernur. KPU lah jujur dan bersih dan tidak ikut permainan kotor, sehingga tidak akan jadi sengketa. Justru ciptakan pemeirntahan yang stabil. Penyederhanaan Partai politik, by system, ataupun peningkatan ET, namun juga pada Orde baru, dengan tujuan yang baik, menjadi rebut terus. Tetap berjalan. Kecurangan pelak. Di TPS, Pemeinrtah sebagai penyelenggara Pemilu. Terlebih daerah yang jauh dari keterjangkauan. Makin sedikit partai makin baik, dalam rangka capai tujuan nasional. Persiapan amandemen UUD 1945, hati kecil berdegup, sejauh mana berubahnya? Kalau bisa tidak diusah diutak atik, padahal yang naik motor, sistem politik yang carut maruk karena orangnya yang buruk. Banyak kok yang sukses, kembali pada orang, bangun character building. Cukup begitu. Perbaiki mentalnya.
Strategi penyederhanaan Partai politik : ET harus bertahap, dengan 3,5 % sudah banyak tereliminasi, nanti 4 %, makin tereliminasi. IdeaLembaga Negaraya 6 %, ada 5-6 partai. Bisa jadi 4 partai. Tidak cukup itu saja. Ada cara-cara lain, harus perkecil magnitude daerah pemilihan, 6-5, misalnya, otomatis partai besar yang dapat kursi. Yang ikut peserta PEMILU terbatas, skr ini, sudah semakin diketatkan harus 100% provinsi, 50 % kab/kota, untuk 2019 nanti. Kedepan harus ditingkatkan, kab. Atau kota 75-80%. Kemudian, mengurangi jumlah anggota DPR, tambah 15 kursi, biaya semankin bengkak, kacau konsep penghematan. Bawaslu Kab. Pun tetap, juga tambah beban anggaran, jauh dari efisiensi.
Jujur saja, tingkat Pemilu serentak, di daerah masih carut marut, ke depan, harus ke sana. Untuk nambah 1 surat suara, tahun. 2014, 1 TPS isinya 500 pemilih, tambah lagi, diisi 350 pemilih, karena rekap harus selesai 17 April 2019 Pukul 24.00 wita, resiko, dan pekerjaan bertambah, mudah2an KPU dapat menerobos. Rekap di tingkat Kecamatan. Jauh lebih baik, langsung ke Kabupaten/Kota.
Tanggapan Pak Lanang :
Jangan dicampurkan pemilu legislatif, dan pemilu eksekutifnya. Tataran konsep, teknis, praktis. Prinsipnya, makin sulit system, kecurangan makin tinggi. Masyarakat. Harus dilindungi pula, tanyakan pada masyarakat. Dengan varian calon. DPR mustinya simulasikan di tingkat Teknis, 4 suara, terlebih yang tertinggi langsung.
Tambah lagi surat suara yang lebih mudah dipilih, lebih mudah manipulasi, itu yang dicoblos, DPR Kabupaten bahwa itu yang musti disimulasikan, Pemilihan guber kab sudah jelas Legislatif. Variannya sgt tinggi, kecurangan tinggi. Plus Eksekutif., gimana caranya untuk mengontrol, terlebih saat menghitung. Pertimbangan, TPS dan simulasi, bagi legitimasi Pemilih dan calon.
Materi 3. Prof. Ibrahim R., S.H., M.H. Ni Putu Niti Suari Giri, S.H., M.H.
Singkat saja, akibat.
Teori jalan mundur. PT 4 atau 6 %, lahirkan 5 fraksi. Bila 10 lahir, 10 fraksi. Kalau makin tinggi, PT, partai yang dpt kursi, penuhi PT, bentuk fraksi, Ada 109 PDI-P dan 16 HANURA. Penyderhanaan sulit, hanya melalui PT saja. Makin kecil, fraksi makin kecil.
Kedua, bentuk blok, di Malaysia, ketat, kalau masiuk oposisi, tidak mudah bisa nyebrang, cenderung ke tokoh. Drpd ke partai.
Jadi persoalan. Kadang2, kita tidak mau disebut oposisi atau penyeimbang, akalu bisa dikosongkan. Sistem. Presidensiil AS, Trias Politika Check and balances Indonesia, muncul Lembaga Negara2 Ada 6 Lembaga Negara. msuyawarah tidak tercapai, apakah voting diharamkan? Pemilihan yang demokratis, secara teori dan hokum, pemenang 50%+1, sisanya Bupati 30%, akalupun ada yang 80% kebetulan bukan teorinya. Iran, 3186 menjadi 6 capres, tetap harus 50%+1, bila tidak satu putaran, maka dua putaran. Kompleks cara kalisis. DKI juga cenderung head to head. 200 ribu orang, di Papua 156 ribu orang, jawa 400 ribu orang, jadi persoalan, kemudian keseimbangan Jawa dengan luar jawa, kurang pas. Konsekuensinya ke system badan perwakilan, DPD posisinya tidak pas. Kalau situasi seperti ini, isinya yang diubah dengan waktu, susah. Banyak UU yang belum berlaku sudah diubah, atau Berlaku langsung diubah. PT lah yang menentukan. Bisa tidak diatur sistematis, bila masuk gerbong A atau gerbong B, hk. Adalah kebenaran consensus, sering langgar consensus, UU 7/2017 misal Lembaga Negaranya.
MPR :
Pertama, Bahwa angka ideal, 6%, maka secara alamiah terjadi komposisi partai, Saat ini, dengan syarat perhitungan Suara, akan mengeliminasi Partai politik. Perhitungan Saat ini berbeda dengan yang lain.
Yang punya kursi dengan sisa suara, uu 7 2017 ini akan hilang, kemungkinan fraksi hanya 5 partai saja. Cara perhitungan di sistem. Pemilu yang akan dating, akan mengurangi, suara yang besar, akan peroleh kursi yang besar. Akan terjadi fraksi hanya 5 saja. Kemarin diambil satu kursi, DPP, sisa terbanyak, sisa terbanyak, Saat ini tidak berlaku. Dengan system ini, perhitungan ini akan eliminasi.
Kedua, harus ada sikap politik yang tegas, kapan pendukung, pengusung atau oposisi?, biasanya yang jadi oposisi biasanya diluar parlemen, yang diparlemen, biasanya oposisi dengan interest tertentu. Belum ada oposisi yang tegas. Perlu ada rumusan yang tegas oposisi itu apa?. Yang bagaimana, apakah setiap kebijakan pemerintah?, itu perlu dirumuskan. Kemudian, hamper semua, maka bukan oposisi. Hanya konsep saja. Oposisi sebagai penyeimbang, bila tidak benar, harus berani beri masukan. Otomatis, cara perhitungan Besok ini akan mengeliminasi proses fraksi. Hanya ada 5-6 fraksi yang lolos.
Prof. Ibrahim :
UU PEMILU yang baru : Kalau itu yang terjadi, hasil pemilu tadi, bisa diujikan, sistemnya tidak bisa diuji.
KPU :
Beberapa metode Hare, atau Sainte, tidak ada perubahan hasil, sama persis. Kalau 1 3 5 7, tidak. Partai kecil, tidak ribut, karena hasiLembaga Negaraya, tidak banyak berubah. Kalau d’Hondt, berubah.
MPR :
Tergantung pada perolehan suara yang pertama dan kedua, hanya sisa suara.
Materi 4. Pak Dr. Jimmy Z. Usfunan, Ibu Made Nurmawati, S.H., M.H., dan Ibu Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H.
Penataan sistem legislasi.
Presiden Tidak miliki kekuas bentuk UU. Teori TRIAS POLITIKA, ada dua Lembaga yang bersinggungan, Legislatif. Dan Eksekutif. Ada DPR dan Presiden. Pengaturan dalam Konstitusi.
Bahwa dalam Pasal 20, adanya fungsi legislasi, DPR dan Presiden, saja. Asas kontekstualitas, tidak dibedakan penormaan.
Secara implisit, dalam pasal 20 tsb gunakan konsep hak veto, tidak eksplisit hak veto, di pasal 20 ayat (2), meskipun dikurangi dengan frasa pasal 20 ayat (5) yakni 30 hari. Hak veto sudah dianut. Disatu sisi dapat kita lihat, berusaha memformulasikan norma, menganut prinsip veto disisi lain tidak menganut prinsip veto. Ambigu prinsip veto di Indonesia. Tentunya, adanya bentuk model apa sistem yang digiring. Dengan dua karakter pilihan. Ayat (2) sebagai hak veto, perlu rumuskan ayat (5) terkait syarat, perlu 2/3 dewan atau syarat lainnya.
Prof. Ibrahim R. Penekannya :
Penataan ulang system legislatiflasi apakah dengan tidak berikan Pres. Bentuk UU, siapa yang perlu punya kewarganegaraan. Implikasi di situ. Kedua, yang disebut hak veto apa. Diveto apakah selesai. Ada mekanisme baru? AS, ada mekanisme yang baku.
Dr. I Gede Yusa :
Terkait dengan system pembentukan UU di Indonesia, sebenarnya UUD 45 ini tidak ingin merubah secara drastic terkait pembuatan UU dengan zaman dahulu, Raja buat UU, jalankan UU, adili UU ya.
Terkait dengan system veto, sebenarnya seperti di AS, bisa diterapkan, asalkan DPR yang ada, memang kualitas DPR seperti di AS, dengan DPR banyak staf ahli, bisa bentuk UU.
DPRnya diawal merdeka tidak begitu sahih, saat ini pun, staf ahli tidak sekaliber yang ideaLembaga Negarayua. Maka Pem/pres diberi kewarganegaraan susun UU. Punya ahli, tenaga yang luar biasa.
PT, Staf ahli peneliti punya eksekutifkutif. Tahu apa yang diinginkan. Dipakai Presiden, kurangi kekurangan DPR.
Kalau veto pemerintah tidak setuju dalam pembahasan UU, bisa saja veto, Veto kalau sudah setuju. Pasti tidak setuju, DPR tidak punya kemampuan. Apalagi, yang tidak ssu latar belakangnya. Presiden diberikan kewarganegaraan utuk susun secara bersama2. Veto rakyat atau LEMBAGA NEGARA, dengan menguji ke Mahkamah Konstitusi. Biarkan seperti itu, DPR dan Pres. Diberi kewarganegaraan bersama.
Prof. Ibrahim :
Presiden tidak miliki kewarganegaraan legislatiflatif, DPD ada dimana? Misal di AS, UU bisa dari senate bisa dari DPR. UU dibuat Senate jadi UU. Ok, dikirim ke DPR, DPR tidak boleh bahas terperinci, hanya setuju atau tidak. Minimal 50%+1, kemudian kirim ke Preisden, veto. Kembali ke senate, tidak veto, namun 2/3 nyatakan UU harus jalankan. DPR, kalau tidak tercapai 2/3, matilah UU tersebut. Kalau setuju, lalu ke Presiden, kalau veto lagi kembali ke senate, 2/3. Apakah nantinya seperti itu? Itu diveto, apa diveto, DPR ataukah 50%+1. Masing-masing diberikan kelembagaan masing-masing. Apakah veto tadi dengan tidak berikan… Checking power with power. jaga keseimbangan di AS.Yang mana?, Tetap pasal. Lupa. Pasal 20 diamandemen pertama, amandemen kedua lagi diamandemen lagi.
Materi 5. Dr. IGA. Putri Kartika, S.H., M.H., Dr. M.G. Subha Karma Resen, S.H., M.Kn.
Berhadapan pada kondisi dengan Pak Wayan Jondra, bicara penataan bisa dihapus diubah atau diganti. Dalam kondisi ini, mengalami kondisi ambivalen dan paradoks. Memang harus, satu sisi ingin mempertahankan. Karena cita kewarganegaraan ini diberi ini baik. Dulu pengangkatan jabatan ttu, dilakukan Kepala Negara Atau Kepala Pemerintah, pasca reformasi, terjadi pergeseran paradigma.
Turut sertanya DPR dalam sistem pemerintahan demokratis, DPR makin kuat pasca perubahan. Anggota BPK, KY, Persetujuan, pertimbangan, dlsb. (perlu persetujuan dari DPR). Example. Pengangkatan dubes, diatur dalam pasal 13 (2), memperhatikan pertimbangan DPR. Tentu saja hal ini memiliki arti yang baik dalam arti politik. Disisi lain, membawa kepentingan rakyat.
Pendekatan hukum, konstitusi sudah berikan kewarganegaraan, hanya, dalam pendekatan sejarah, seolah2 berbicara duta, ada pemimpin atau pejabat ttu diasingkan, hal2 tsb telah terungkap. Ambivalensi, tidak memposisikan diri. Harusnya diperkuat. Apa dasar DPR beri kewenangan. Hak angket, hak menyatakan pendapat. Akuntabilitas dan pendapat, jangan harus mengubah.
Ibu Dr. IGA. Putri Kartika, S.H., M.H. :
Berbicara penataan, perlu ada penyempurnaan pengaturan terkait kewarganegaraan DPR, karena dengan adanya Pasal 5 dengan Pasal 20, Saat ini DPR seolah2 DPR superior, lemahkan kedudukan Presiden dan DPD. Berdasarkan Pasal 20, legislasi ada di DPR. Harus ada check and balances, DPD dengan DPR, harus bisa perjuangkan hubungan pusat dng daerah, terkait ketahuan DPD. Dapat diberikan kekhawatiran, penyanderaan DPD oleh DPR. Perlu dapat pemikiran yang penting, supaya tidak terjadi demikian. Agar dapat ciptakan check and balances, DPD, DPR dan Presiden. Dalam praktiknya, anggota KY, Hakim Agung, Gubernur BI, KPK, BPK, Duta, melalaui DPR. Ditambah, kurangi atau bagaimana. Kapolri, Panglima TNI. Sering jadi persoalan politik
Di AS, ada 6000 pos jabatan yang diganti pasca Presiden terpilih. Menteri diberi klarifikasi oleh Senate, dpt dianulir bila kesalahan dpt dipertanggungjawaban oleh hk, maka tidak disetujui Senate, Jaksa Agung Pres. Bill Clinton, contohnya, pekerjakan imigran gelap, walau beralasan kemanusiaan. Jabatan duta, tidak diminta persetujuan. ASN. Tugas DPR untuk diminta pertimbangan banyak sekali, apa perlu dikurangi ditambah atau diberi pelimpahan ke DPD.
Pasal 17 misalnya, Presiden dibantu menteri-menteri negara. Pembantu Presiden, juga Panglima, Pejabat Negara setingkat Menteri, kecuali Inggris, menteri Kepegawaian tidak masuk dalam Kabinet.
Dr. Sukowati Lanang:
Agak rancu, pemisahan kekuasaan kita. Fungsi eksekutif dan legislatif serta Yudikatif, DPR, juga ikut-ikut lembaga kepresidenan. Seharusnya, masing-masing Lembaga Negara, tugas pokoknya apa?. Pertimbangan, persetujuan berbeda dalam perspektif Hukum Administrasi. Masing-masing punya proses di internal. Fungsi pokoknya disitu. Termasuk BI. Belum pula BPK. Kalau bagian dari controlling, tidak apa. DPR berhak mengontrol. Wakil rakyat berhak. Konsep checking power witahun power. Sejauh mana dan alat kontrolnya bagaimana? Boleh. Hanya tidak pada kasus yang berjalan, jadi pada masalah etika. Bukan masalah yang sesungguhnya. Pemerintah dan DPR yang wakili Negara. DPR boleh bertanya pada swasta, juga LEMBAGA NEGARA. Namun tidak bagi kasus yang sedang berjalan. Kalau sudah lewat tidak apa. Tugas pokok dan tugas tambahan Lembaga Negara apa?
Kadek Arimbawa :
Kewenangan DPR, memilih pimpinan, kami melihat dari unsur, di DPD, anggota DPR bekas mahasiswa, calonnya Guru Besarnya. Kewenangan, DPD ingi tambahan kewarganegaraan, bagaimana di internal. Di DPD, sudah mulai berjalan. Tidak ada lagi DPD tidak ajukan RUU.
Saat ini, RUU Perkelapasawitan. Sudah berjalan. Sistem Politik di Pimpinan DPD.
Kedua, tentunya, tidak menyalahkan namun melakukan. Tidak ada aturan dalam peruuan, DPD masuk dalam salah satu partai politik. Namun faktanya seperti itu. Kedepan, dalam perub. RUU, disebuntukan dalam UU MD3, Pencalonan anggota DPD, tidak kader partai. Ketidaksalahan karena tidak ada aturan. DPD dalam draft RUU Pemilu, hilang kewarganegaraannya, pemilihan melalui Gubernur. Pak Rovinus, mungkin ini fungsinya Ketum jadi Ketua Partai. Partai Nasdem, Partai Hanura. Terjadi perubahan. Ada kekuatan- kekuatan politik.
Prof. Ibrahim R. :
AS lahir 1776, Konstitusi 1787. Ratifikasi 60% dari 13 Negara. 1789. Perdebatan bicameral strong. Dipilih atau tidak. Sekarang, apakah di Indonesia.
Karena sistem, tidak bergerak. Ubah sistem ini agar bergerak, Mau diapakan. DPR mana tugasnya, DPD mana tugasnya. Tinggal komunikasi. Soal partai, tidak anggota Partai di Senate. Tidak atau belum pernah ada dari anggota DPR. Hanya para Senator dan Gubernur yang jadi calon Presiden. DPR dipilih secara demokratis. DPD juga. Kenapa tidak diberikan tugas yang sepadan. Anggota DPD tidak perlu ditambah. Tetapi kewenangan diberikan perimbangan. Calon anggota DPR ataupun DPD Sama suaranya. Tidak ada masalah. DPR, boleh mempansus semua LEMBAGA NEGARA. Ttp, ketika Pansus, apanya (masuk proses yudisial, haram berlanjut). DPR punya kewarganegaraan pengawasan. DPR tidak boleh. Kalau belum silahkan.
Pak Dr. Lanang :
Kewenangan tidak sama. Tinggal bentuk partai. Wajar misal ingin berkarier dipolitik. Agar punya kewenangan.
Kedua, agak berbeda rancang bangun senator dengan House of Representatives, masing- masing negara bagian sudah eksis. NKRI beda, tidak bisa, tidak bisa seperti di AS. Sehingga harus ada desain khusus pola di Indonesia berkaitan dengan Lembaga Negara. Apa disamakan fungsinya. Harus ada rancangan.
Prof. Ibrahim :
DPD kasih beberapa tugas, misalkan. Untuk anggaran, urusan DPR bukan Senate atau DPD. House of Representatives berwenang kaji RAPBN. Terdapat perdebatan dalam penyusunan konstitusi, ketimpangan demokrasi Negara bagian berpenduduk banyak dan sedikit di AS.
Kadek Arimbawa :
Penguatan DPD, hanya ada 7 usulan : Berhubungan dengan pusat dan daerah. Yang berhubungan dengan daerah. Tetap hubungan komunikasi politik di DPR dengan DPD. Tidak cair seperti saat ini. Harus bersama duduk di parlemen.
Masukan :
Drs. Fadholi :
Penyempurnaan rumusan2 itu. Ada satu tema dan rumusan. Kemudian, kesimpulan akhirnya. Ada satu kesimpulan. Murni hasil diskusi ini. Tetapi murni yang dikehendaki dari Hasil Workshop ini.
Kadek Arimbawa :
Hubungan pusat dan daerah.Tolak reklamasi Teluk Benoa. Lakukan langkah A, barangkali bertentangan dengan suara di daerah.padahal mewakili daerah. Kira-kira ada tidak usulan- usulan. Situasi Lembaga Negara DPD.Kedepan, apakah dimasukkan dalam aturan perubahan tersebut. DPD murni suara daerah. Karena ada kepentingan Daerah, yang terkontaminasi Urusan Daerah.
KELOMPOK PERTAMA
HARI KEDUA, SABTU, 16 SEPTEMBER 2017
Kemudian, pada hari kedua, kelompok pertama melanjutkan diskusi kelompok dengan notulen sebagai berikut :
Prof Ibrahim :
POIN 1 :
PAN punya basis dari Muhamadiyah, Nasionalis PDIP Golkar dsb. Kemarin ada usul menaikan batas parliamentary threshold menjadi 6%
Tapi apakah itu tidak melanggar prinsip demokrasi? Berdasarkan pengalaman ada partai yang mendapat anggota DPR tapi karena tidak memenuhi parliamentary threshold maka dia tidak jadi mendapatkannya
Dapil diperkecil dari 3-10 menjadi 5 , semakin kecil Dapil money politic masih belum bisa dihindari, namun semakin kecil, semakin mudah diawasi. Karena dilihat dilapangan semisal suatu Desa ada blocking yang susah diawasi.
Pembiayaan partai dibiayai oleh partai itu sendiri dan juga negara. Pembagian kursi menggunakan d’Hond dan saintelague modifikasi. Sainte Lague murni = 1 3 7
Sainte Lague modifikasi = 1 2 …
Secara pribadi saya tidak perlu ada Parliament Threshold.
Kita lihat secara sosiologisnya bahwa setiap partai memiliki basis masing-masing, sehingga boleh dikatakan secara jangka panjang/ jangka pendek akan menghilang atau bertahan.
Setelah dikaji apapun yang terjadi paling memungkinkan hanya menaikan batasnya menjadi 5%, jadi seperti di Malaysia harus konsisten oposisi/pemerintah.
POIN 2 :
Sistem distrik bisa dikatakan juga politik uang, namun lebih mudah diawasi apabila di Dapil yang besar, namun dapil kecil susah diawasi karena banyak oknum seperti di Desa sudah mengiming-imingi janji ,jadi hal ini cendrung kurang baik.
Ketika berbicara partisipasi sudahkah pernah kita pikirkan saat hari Pemilu mengenai musim cuaca dll. Di Amerika itu memilih selalu hari selasa minggu pertama di bulan November, dan akan dilantik tanggal 20 Januari, kenapa diberikan 3 bulan jeda? Karena bila ada masalah silahkan bisa diproses. Jadi Hari Pemilu harus juga memikirkan kondisi geografis dll.
Penegakkan hukum saat terjadi kecurangan. Didalam kekuasaan kehakiman sengketa itu tidak boleh dibina, ketika ada yang tidak puas, diberikanlah kepuasan hingga kehakiman.
Rezim Pemilu. Pemilu itu waktu, jadi harus disetting sedemikian rupa. Saya lebih cendrung legislative dan eksekutif tidak bersamaan dipilihnya, karena bila bersamaan itu dapat mengancungkan situasi, jadi bisa terjadi gambling dan tidak memperkuat system presidensial tersebut. Apakah kita tawarkan setiap tahun tidak memilih anggota DPR sekaligus, jadi agar ada konsistensi, Kalau sekaligus kasihan juga polisi jika terjadi kerusuhan mereka akan kesusahan.
Jadi pemilihan serentak yang UU No 20 thn 2009 Sekarang setelah amandemen baru ada 2 UU, paradigmanya kedua undang-undangnya bergeser, seharusnya penterjemahaannya konstan, Dampak UU 22 harus diperhatikan. Pemilu bisa dilaksanakan bersamaan atau legislative terlebih dahulu. Lembaga legislative sekarang ini adalah Presiden & DPR, karena UU tidak bisa lahir tanpa persetujuan Presiden, jadi sebaiknya hak legislative presiden itu dihilangkan dan cukup hanya DPR saja yang menjadi lembaga legislative.
Kita ketika kritis di Badan konstituatif dekrit keluar,
Ketika sudah bicara amandemen itu merupakan perbuatan kelompok minoritas.
Untuk kelompok islam saya menggunkan seting pemerintahan nabi di Madinah, itu merupakan hasil kesepakatan Kristen,Yahudi & Islam,
Kenapa Soekarno pidatonya itu UUD hilang, beliau sadar bahwa UUD yang beliau buat itu masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diaturnya mengenai peraturan perubahan UU, dimana disana memberikan limit dalam melakukan amandemen.
Walaupun UUD 1945 pernah tidak berlaku, Konstitusi RIS juga sama Pancasila diambil utuh dalam pembukaannya. Kalau kita kedaerah pasti merasakan jika hal tersebut disinggung pasti akan sensitive. Pelaksanaan siding tahunan menurut saya tidak perlu, paling tidak Presiden pidato di DPR & DPD sudah cukup. Seperti di Inggris ada perdana menteri yang terpilih/kalah jadi tinggal serah kunci mobil langsung serah terima jabatan. Wakil Presiden itu pembantu presiden, di Indonesia ini perlu diubah jangan disumpah oleh MPR, kalau di Amerika oleh MA. Mengenai desain otonomi daerah , jadi Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen telah melahirkan 6 UU, setelah amandemen terjadi perbedaan paradigma. Kenapa sempat ada perbedaan mengenai Federal dan Kesatuan. Kita sudah konsisten kesatuan, tapi kadang2 UU 22 itu menggunakan logika federal, lalu UU 23 itu juga tidak jelas struktur yang mencerminkan bentuk negara kesatuan. Masalah SMA saja digeser dari tingkat kabupaten ke Provinsi tapi terlihatnya tidak siap, seperti yang saya katakana tadi sudah ada 6 UU dipusat dan daerah tetapi kenapa berbeda saja. Berdasarkan teori hubungan pusatdan daerah hanya ada 2 pintu yaitu asas desentralisasi dan sentralisasi dan Otonomi itu luas sekali mencakupnya.
Berdasarkan penelitian saya, ada daerah kabupaten yang penduukanya 14rb-20rb, sya berpikir kalau 20rb pendudukannya, dan calon anggota DPRnya itu 20, jadi berapa yang memilih, ini masalah gajinya.
Bapak Dr. Subha Karma :
Kadang didaerah itu kita dihadapkan kebutuhan anggaran kadang tentang pajak terkait pajak hiburan, golf itu sudah tidak termasuk olahraga, suatu sisi daerah disni . Kontraprestasi daerah itu seharusnya langsung diterima oleh daerah,
Dr. Lanang Prabawa :
POIN 2 :
Dalam system pemilu ada 4 hal termasuk tata cara pencoblosan,pencalonan,dll, contoh kalaupun Distrik namun cara mencoblosnya variannya tidak banyak , tentu sulit, hal ini cendrung mengakibatkan masyarakat tidak bisa mengikutinya langsung. Calon-calon itu sudah ada dipemilihan awal berdasarkan hasil seleksi dari partai. Penegakkan hukum pemilu variannya sangat banyak, banyak hal tapi tidak secara konferensif lembaganya. Penegakkan
hukum terpadu untuk pemilu kedepan agar nanti lebih baik. Pembentukan Fraksi di DPR berdasarkan arah mana mereka dukung, Oposisi atau Koalisi
Dr. I Wayan Jondra :
Jika dilihat secara teknis eksekutif tetap serentak. Jangan khawatir terhadap apabila ada gugatan dll. Karena di KPU itu sudah ada peraturan yang mengatur mengenai batas penggugatan dll. Namun apabila ada gugatan yang sudah lewat waktu makan hal tersebut merupakan keputusan yang Non eksekutorial. Pemilihan itu dibagi 2 mejadi yakni legislative dan eksekutif, bisa dilaksanakan secara serentak atau bersama.
Calon sekarang itu sudah tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk berkampanye karena sudah ditanggung oleh APBD dari hibah yang diberikan oleh APBN.
Dr. I Gede Yusa :
Saya tidak setuju bahwa pemilu itu dilaksanakan serentak sebanyak 2x, saya tetap melihat keputusan MK agar pemilu nanti memilih semuanya bersamaan. Jika kita melihat dizaman dahulu ketika perperangan antar Kerajaan terjadi, Patih, Raja, Prajurit berperang bersamaan sehingga menang kalahnya nanti akan langsung terlihat siapa yang berhak berkuasa.
Anggota MPR, Kadek Arimbawa :
Ada beberapa kajian akademis yang kiranya apakah pemilu ini akan membuat banyak masalah atau sedikit maslah barangkali hal ini bisa diselidiki dan diberikan masukan-masukan. Apakah itu tidak berarti bahwa DPR dan DPD itu berimbang atau sama strongnya,
Ibu Dr. IGA. Putri Kartika :
Saya tidak setuju dari awal untuk diamandemen, karena sebenarnya banyak sekali persoalan2 ketatanegaraan yang belum selesai sedangkan sekarang sudah mau diamandemen lagi. Untuk GBHN, menghidupkan sesuatu yang sudah mati menurut saya sulit, kalua kita melihat dari konsep hukum ,padalah kita tau GBHN itu sebagai haluan, sebenarnya kita sudah punya UUD, apalagi sekarang presiden itu langsung dipilih oleh rakyat, jadi Visi & Misi presiden itu dituangkan sesuai dengan tujuan negara, saya tidak setuju untuk memunculkan GBHN
kembali, karena sebenarnya kita sudah punya haluan negara juga, sebaiknya jangan melalui Haluan negara.
Design otonomi daerah sebenarnya ada 3 disitu, apakah dia menggunakan campuran , sentralisasi dll. atau negara federal atau campuran, karena hal ini masih Ambigu, kalau negara Indonesia merupakan negara kesatuan seharusnya semua kewenangan itu dikelola oleh pemerintah pusat, tapi yang terjadi sekarang Desentralisasi masih berjalan setengah hati, semesti kita sekarang harus mengkaji ulang pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan kita harus konsisten apakah kita akan menjadi negara kesatuan atau negara federal karena apabila ini tidak ditegaskan yang terjadi ialah seringnya perubahan UU. Seperti sekarnag di Bali akitannya denga SDA yang ada dikarangasem berkaitan dengan BINERBA, begitu muncul UU 32 kewenangan itu berada di kabupaten, tiba2 ada UU yang mengatakan bahwa kewenangan itu berada di Provinsi, ini yang kadang-kadang tidak dipahami daerah. Bayangkan Karangasem sekarang devisit anggaran, ambigu ini yang sekarang menjadi masalah.
Salah satu poin yang tidak boleh dilupakan dalam konteks negara kesatuan, agar tidak terjadi raja-raja kecil didaerah, pengawasan ini yang sangat penting sebenarnya dalam konteks negara kesatuan, sehingga sebenarnya kedaulatan itu sudah terpusat tidak boleh lagi tersebar didaerah- daerah. Pengawasan adalah hal utama untuk mempertegas konsep negara kesatuan.
Bu Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H. :
Dalam hal ini saya melihat dalam UU pemerintahan yang sekarang, dalam UU tersebut sudah ada design dimana ada design absolut, dan otonomi daerah itu apakah urusan pemerintah absolut atau konkuren dan urusat pemerintahan umum.
Dalam penjabarannya tentunya dilihat dari lampiran, sejauh mana otonomi yang berada diadaerah tersebut sudah sesuai dengan pola urusan konkuren.
KELOMPOK KEDUA
HARI PERTAMA, JUM’AT, 15 SEPTEMBER 2017
Pukul 11.35
Berdasarkan kesepakatan bersama Ketua diskusi Bapak Suantra Sekretaris Ibu Sagung Putri
Pukul 11.36 Kesepakatan bersama Ishoma dari dengan 11.30 s/d 12.30 pada rundown diubah menjadi 12.30 s/d 13.30
11.39 Disepakati Presentasi dan Tanya jawab sesuai urutan topik
11.42 diskusi dimulai
Pembahasan 1 topik satu
Sinkronisasi reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN dengan sistemem pemerintahan presidensial.
Pandangan 1 Prof. Subawa
Pertama trimakasi atas waktu yang diberikan Om swastiastu,
SebetuLembaga Negaraya isu ini sudah sering kali dibicarakan, berbicara model GBHN, saya lebih suka menggunakan istilah perencanaan pembangunan nasional, karena masing-masing kita tidak memiliki kemampuannya sama dalam mengemukakan atau menafsirkan ide ide yang menjadi tujuan dan cita-cita negara dalam konstitusi, maka sangat penting untuk membuat parameter pembangunan nasional jaka panjang
Faktanya, pembangunan nasional saat ini diterjemahkan dari visi misi kepala pemerintahan yaitu presiden, dimana hal ini baru cerminan dari kelompok yang membahas atau merancang visi misi
Dasar pemikiran adanya model GBHN dalam NRI, pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945
Terdapat dua asas, Asas perbantuan dengan asas otonomi daerah, harus tegas ada relasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
Harus ada perencanaan, jaka panjang apakah 20 tahun, 30 tahun atau 50 tahun, agar siapapun presidennya, gubenurnya, atau kepala pemerintahannya agar jelas benang merah yang menjadi acuan bagaimana pembangunan itu dilaksanakan, agar tidak berubah ubah tiap penggantian kepala pemerintahan baik pusat atau daerah, agar terjadi kontinuitas, singkronisasi aka nada kejelasan arah, pembiayaan dan yang terpenting pencapaiannya bisa diukur maka dipandang perlu model GBHN berisikan dasar-dasar, arah, tujuan, manfaat dari pembangunan jelas. Harus ditentukan produk output nya seperti apa, sehingga anggarannya dan administrasi jelas.
Makna otonomi sedikit melenceng, sebetuLembaga Negaraya maknanya ada dalam spirit ketatanegaraan, pemda tidak jorjoran melakukan pembangunan, harus ada sinkronisasi dengan Pem. Pusat
Mengeksekutifkusi APBN dan APBD itu ada kejelasan, antara jangka panjang nasional, jangka menengah daerah, akan jelas. APBDES, anggaran di curahkan ke desa, membutuhkan penjelasan alur pembangunan agar sesuai dan jelas penggunaannya.
Apabila kita setuju menghidupkan kembali GBHN, bagaimana cara mengisi substansi GBHN dalam konstitusi kembali, sementara kewenangan MPR untuk membuat produk hukum tidak ada, apakah mungkin dibuat peraturan MPR ?
Terkait Kelembagaan,
Masih lemah dalam memaknai pancasila sebagai pedomanan bangsa, dulu ada ipoleksusbudhukamnas kita sebagai negara hukum belum ada kejelasan untuk menangani ius konstituendum, harus ada perhatian yang serius terkait pembangunan nasional dengan menggunakan pancasila sebagai sumber dari segala hukum.
Menempatkan pancasila sebagai dasar negara, menghasilkan 2 asas, negara hukum pancasila, demokrasi pancasila masing masing mengerluarkan konsep yang apabila digabungkan dapat menjadikan acuan untuk mencapai tujuan negara.
Pandangan 2 Prof. Parsa
Masalah menghidupkan kembali GBHN menjadi pembicaraan yang sangat menarik terkait perlu tidaknya GBHN, jika iya bagaimana proses pembentukannya, banyak fraksi di DPR yang menghendaki kembalinya dibentuk GBHN sebagaimana seblum amandemen yakni Pasal 3, demikian juga di akademisi, mengingat sudah banyak terjadi perubahan di ketatanergaan.
Mengusulkan mengenai amandemen terbatas, upaya menghadirkan GBHN dengan amandemen tidak sederhana, karna suatu sistemem akan berpengaruh pada sub sistemem yang lain, penataan kewenangan antar kelembagaan.
Berpengaruh pula pada posisi MPR dalam konstitusi pasal 1 ayat 3 UUDNR sebelum amandemen I tidak terlepas dari posisi mpr sebagai lembaga tertinggi negara yang terjadi pada masa orde lama dan orde baru. Jika ada keinginan mengembalikan GBHN sama dengan mengembalikan posisi mpr sebagai lebaga tertinggi negara.
Setelah amandemen 4 perubahan ketatatanegaraan Presiden dan Wapres dipilih langsung oleh rakyat, dalam hal ini presiden menjabarkan program pembangunan langsung kepada rakyat, persoalan akan muncul ketika MPR kembali lembaga tertinggi negara sedangkan presiden dipilih langsung rakyat, ini akan mengarah pada system parlementer, bertentangan dengan kesepakatan untuk memperkuat system presidensial. Menggeser locus pegelolaan negara dari presiden ke parlemen, dikhawatirkan adanya praktik parlementer.
Presiden dipilih langsung oleh rakyat, presiden menjabarkan langsung visi misinya kepada rakyat, apabila MPR dikembalikan kewenangannya untuk membentuk GBHN, akan kembali menjadi sistemem parlementer. Bertentangan dengan cita-cita penguatan sistemem presidensil. Tidak perlu dibuat GBHN, Presiden sebagai kepala pemerintahan dalam hal membuat visi dan misi cukup mengacu pada tujuan negara sebagaimana terdapat dalam konstitusi. Tujuan negara sering di intepretasikan berbeda seperti adil dan makmur, tidak ada kesinambungan. Secara teknis boleh beda tapi tujuannya sama. RPJP 20 tahun RPJPM 5 tahun yang memuat visi misi presiden tertpilih tanpa mengesampingkan RPJP begitu juga di daerah.
Sesungguhnya subtsansi GBHN di dalam UU, Sudah ada bentuk hukum berupa Undang- Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistemem Perencanaan Nasional yang menjelaskan mengenai parameter pembangunan nasional, sehingga tidak perlu ada GBHN, harus diberikan kesempatan presiden terpilih untuk merelaisasikan janji-jani saat kampanye yang telah disetujui rakyat dengan hasil pemilihan itu sendiri.
Sebenarnya tidak perlu GBHN, presiden cukup berpengang pada tujuan negara, biarkan bergerak pada RPJM 5 taunnya, menghiudpkan GBHN denga mandemen kurang tepat, dapat dikataan sebagai langkah mundur system presidensil, dan menurunkan kinerja preisden terpilih yang akan terikat GBHN, implikasi juga dalam hubungan kelembagaan.
TANGGAPAN
1. Bapak Mujig, Fraksi Golkar, apakah GBHN ini mengikat dengan presiden, apabila tidak apa maknanya? apabila iya maka kedudukannya akan berada dibawah MPR, sebagai mandataris MPR, dimana MPR bisa mengawasi presiden. Untuk itu haluan negara yang akan dibuat disebut model GBHN, maka perlu dibahas seperti apa Model GBHN itu? maka RPJPM inilah yang termasuk Model GBHN hanya saja kontinuitasnya belum dapat dijamin.
2. Prof. Wairocana Presiden terpilih karena visi misinya, maka harus dilaksanakan. Presiden akan memegang peran penting dalam penetuan model GBHN. GBHN bisa dibuat kembali, tetapi tidak akan mengubah kedudukan Presiden dan MPR, GBHN ini dibuat sebagai suara rakyat dan menampung visi misi presiden yang disetujui oleh rakyat didalamnya. MPR wadah seluruh rakyat Indonesia maka bentuk GBHN ini tidak akan membuat Presiden mandataris MPR.
12.35 Diskusi di cukupkan, akan dilanjuntukan setelah ISHOMA. Jam 13. 30 lanjutan
Presentasi 2 topik Ke 5
Terkait dengan topik Desain otonomi daerah dalam kerangka penegasan sistemem pemerintahan presidensial, sebenarnya sesuai dengan TOR bukan penyelanggaraan tapi desain, namun saya memilih membahas bagaimana seharusnya penyelenggaraan Otonomi daerah dalam system presidensil.
Berangkat dari aspek yuridis pada Pasal 1 Ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945, walaupun pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam mengatur pemerintahannya namun harus sesuai dengan konstitusi, maka ini yang menjadi dasar dibentuknya Pasal 18 Ayat 1 UUD NDRI 1945.
Dalam bab 2 sebagai landasan, Presiden merupakan salah satu lembaga negara dengan system presidensial, tapi bukan satu satunya lembaga, ada pemisahan kekuasaan, dengan harapan adanya check and balances, dari lembaga-lembaga tersebut, presiden pemegang kekuasaan negara dan kekuasaan pemerintahan, tentunya presiden yang menjadi pimpinan pemerintahan
negara termasuk daerah, karena sebagaimana amanat konstitusi Negara Kesatuan RI berdasar pada daerah-daerah yang melaksanakan pemerintahan berdasarkan otonomi daerah.
UU No. 23 tahun 2014 mengatur mengenai pemda, pemda merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistemem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal tersebut tidak dapat menghapuskan hubungan pemerintah pusat dengan pemda, dekonsentrasi merupakan salah satu sarana pendekat ubungan, karrna pemda tidak bisa melepaskan diri, dengan kata lain, dekonsentrasi mengakomodir kebutuhan-kebutuhan pemeritah daerah ke pusat.
Daerah dalam perkembangannya, dprd dan kepala daerah dipilih rakyat, hal ini membuat masing masing kepala daerah menjalankan kedaulatan rakyat daerah.
Perpaduan dekonsentrasi dan desentralisasi mendukung hubungan pemda dan pem pusat, ketika uud dibahas dulu menjadi perdebatan terkait hubungan tersebut sehingga pemda itu tidak dianggap daerah federal.
Desentralisasi erat kaitannya dengan negara kesatuan, dari 116 negara kesatuan, 106 melaksanakan desentralisasi, demikian kita sebagai NKRI juga melaksanakan hal tersebut
Pemberian otonomi, dengan memberikan otonimi ini merupakan bentuk desentralisasi, maka ddengan demikian otonomi tidak membuat daerah berdiri sendiri namun tetap ada hubungannya dengan pemerintah pusat, presiden sebagai kepala pemerintahan tetP sebagai pusat kendali.
Pemegang kekuasaan presiden, dengan system presiden, seharusnya kekuasaan presiden kuat dalam hal mengatur pemerintahan daerah, pemda menyadari bahwa pemda merupaka turunan dari oemerintah pusat dipimpin presiden, maka pemda merupakan penyelanggara urusan pemerintah pusan di daerah.
Misal, pemerintahan pusat berdasarkan visi dan misi presiden terpilih, maka pemda harus mengikuti visi misi tersebut, nawacita = maka pemda menggudakan hal itu sebagai landasan pemerintahan daerah, jangankan tidak hadiri undangan.
Upaya yang harus dilaksanakan, bagaimana menyadarkan pemda akan relasinya dengan pemerintah pusat, bagaimana tidak merasa sebagai raja raja kecil, melainkan melakukan pemerintahan daerah berdasarkan visi misi pusat, sehingga betul betul dirasakan system presidensial.
Pandangan 2 Pak Sudiarta, kami beranjak dari ciri presidensial, jika dilihat konstitusi, masa jabatan presiden, kepala negara dan pemerintahan, check and balances dan impeachment. Jika ini di implikasikan, akan mengubah mind set pemda bahwa presiden bukan kepala pemerintahan
Diharapkan dapat mengikutsertakan pemerintah pusat dalam pemilihan kepala daerah, memberikan berapa persen suara presiden dalam pemilihan kepala daerah
Pandangan 3 Prof. Wairocana
Saya melihat desain otonomi daerah dalam presidensil, ternyata masi banyak persoalan yang muncul, ciri kha tidak terganggu eksekutifkutif dengan kekuasaan legislatiflatif, otonomi yang berjalan, adanya Minority government, kepala daerah, trace hold dari partai-partai minor, bergabung dengan partai pendukung kepala daerah, maka kedudukan eksekutifkutif lebih kuat dari legislatiflatif, tidak seperti sekarang tidak ada kuota.
Ulasan ketua diskusi
- Desainnya apabila merujuk pada uu 23/2014 jo 9/2015 Tampaknya masi seperti yang ada, dengan penegasan trace hold, maka peran pemerintah pusat dalam pemilukada tidak berlaku.
- Hubungan yang diinginkan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat belum tampak. Integritas kepala daerah kurang
- Urusan, masih menggunakan pola yang ada, atau desain baru dalam memperkuat presidensil belum tampak, Letak otonomi apakah masih seperti sekarang,dimana otonomi berada penuh di kabupaten, gubernur melaksanakan langsung penyelenggara pemerintah pusat atau akan berubah belum tampak.
Hal – hal Harus di diskusikan.
Sesi Diskusi
1. Bapak Suryawan, Agak melebar sedikit masalah makalah kebetulan saya sedang melakukan penelitian urusan konkren UU Kelautan bahwa nelayan pesisir tidak lagi dibawah keluatuan kabupaten. Kenapa justru hal ini tidak didesentraliasikan, harapannya kesejahteraan nelayan lebih baik. Dalam konsep ini presidensil malah membuat desentralisasi tidak jalan tapi lebih kuat ke pusat. Demikian pak ngurah.
2. Prof. Subawa, Konsep otonomi daerah, prinsip pertama NKRI yang dibagi provinsi, provinsi dibagi kabupaten, asas tugas pembantuan dan asas otonomi Spririt dalam penerapan peraturan perturan perundang-undangan, selain asas itu ada asas dekonsentralisasi dan desentralisasi, apakah asas ini memperkuat sistemem presidensial? Muncul kemudia asas konkuren dan asas umum, konsep kewenangan pusat dan daerah bagaimana, dan pusat dengan kabupaten apakah berjejang ? benang merahnya akan mencitakan control yang lebih baik, dalam praktik keliru tafsiran otonomi daerah dalam penerapanya sering terjadi kasus, di Balu 4 dari 9 kabupaten terjerat kasus. dari dulu begitu dinamikanya dan tidak ada konsistemensi penerapan konsep negara kesatuan.
3. Asas desentralisasi koordinasi dan sentralisasi konsepnya subordinasi, takutnya kembali pada konsep yang dulu terpusat.
4. Terima kasih atas pertanyaannya, pola hubungan, dewasa ini sejak 22 tahun 99 hubungan pemerintah pusat dan daerah, sejak dihapusnya pemda 1 dan pemda 2 seakan keduanya mempunyai kedudukan yang sama. Artinya begini, kalau dalam pemikiran saya yang dipilih langsung oleh rakyat yaitu gubernur, sedangkan bupati walikota dipilih oleh DPRD dan diangkat dan ditetapkan oleh gub, ada ketrgantunga natara bupati, gub dan presiden. Kemudian mengenai urusan tetap seluas-luasnya tapi diliat mana yang perlu diberikan wajib atau konkuran sehinga status pendelgasiannya jelas, saat ini kurang begitu jelas. Mengenai otonomi menanyakan konsentrasi otonomi kalao sata padadaerah tingkat satu atau provinsi, sehingga permasalaahan pak suantra menjadi kuat dan tergantung. Kemudian mengenai kelautan yag diungkapkan pa suryawan, masalah kelautan tidak ada batas-batasnya, seperti haLembaga Negaraya hutan
berdasarkan ekosistemem, mengapa menarik maslaah kelauatan dalam praktiknya hasil kerja menteri kelautan saat ini snagat mensejahterkaan kehdiupan nelayan. Otonomi kelautan lebih di provinsi, jika di kabupaten, provinsi seakan tak memiliki wilayah dan ada Tarik menarik dan ada perubahan efisiensi. MisaLembaga Negaraya air bawah tanah dul di provinsi kemudian di Tarik kab dan tarik lagi ke provinsi. Kekuatan partai politik snagt kuat dalam pegambilan kebijakan yang memicu kurang efisiennya. MisaLembaga Negaraya membuat peraturan perundang-undangan yang dulu ada di MPR dicabut dan dibalikan lagi. Memang benar sekali, kalau dalam UUD NRI 1945 dan UU 23 TAHUN 2014, Yang ada asas tugas pembantuan dan asas otonomi. Tugas asas dekonsentrasi terkait pada kekuatan negara, meski tidak diakui dalam UU tapi MPR mengakui hal itu, seperti haLembaga Negaraya negara federal asas pemerintah daerah selalu membentuk 3 asas yatiu asas desenentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Yang tujuanya untuk mendekatkan pemda dan pusat. Dalam negara kesatuan, pemda dan pusat ada koordiniasi.
5. Pak suantra, sependapat dengan konsep ottonomi yang diajukan oleh Prof. Wairocana yaitu dalam pemikiran saya yang dipilih langsung oleh rakyat yaitu gubernur, sedangkan bupati walikota dipilih oleh DPRD dan diangkat dan ditetapkan oleh gub, ada relasi antara bupati, gub dan presiden, dimana kepala daerah merupakan perpanjangan tangan dari presiden yang akan melaksanakan pemerintahan pusat dalam pemerintahan daerah.
6. Kesimpulannya sepakat design otonomi yaitu seperti yang telah dijelaskan oleh pemateri yaitu Pak Suyatna, Prof Wairocana dan Pak Ketut Sudiarta.
14.20 selesai
Tanggal, 15 September 2017 Pukul 14.21 WITA
Presentasi 3 dengan topik ke 3
1. Oleh Bapak Edward
Saya mengawali pembahasan ini dengan adanya kecurigaan mengapa perlu ada bahasan ini? Hal ini didasari oleh adanya carut marut kesolidan pemerintah saat pemerintahan presiden
SBY. Selama 10 tahun menjabat banyak sekali terjadi pembelahan jajaran eksekutifkutif, banyak terjadi konfrontatif oleh anggota kabinet dalam hal ini menteri-menteri terhadap presiden dan wakil presiden saat itu, maka terlihat serangan terselubung di dalam internal pemerintah. Kemudian saya lanjuntukan dari segi yuridis tentang kewenangan atributif wakil presiden dalam konstitusi yaitu Pasal 4 ayat (1) dan (2), dimana masa awal pembentukan boleh ada dua wakil presiden, namun kemudian disepakati hanya seorang wakil presiden. Lain haLembaga Negaraya dengan menteri, wakil presiden hanya satu dan sama dengan presiden karena pemilihannya satu paket yaitu calon presiden dan wakil presiden sedangkan pemilihan menteri itu dipilih langsung oleh presiden setelah terpilih.
Wakil presiden memiliki kewenangan yang sama dengan presiden, sesuai dengan amanat Pasal 4, wakil presiden membantu presiden dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dalam hal ini tindakan nyata wakil presiden adalah mandat presiden, menurut Prof. Jimly, wakil presiden tetap wakil bukan sebagai perdana menteri, wakil presiden harus tetap meminta pertimbangan presiden dalam melakukan sesuatu kecuali ada halangan (tetap) pada presiden dapat dilaksanakan oleh wakil presiden dalam Pasal 8 ayat (1) UUD NRI 1945. Wakil Presiden tidak dapat membuat produk hukum, dikarenakan tanggung gugat dan tanggung jawab ada di tangan presiden. Jika kewenangan itu diberikan akan bertentangan dengan konstitusi, dan bersifat delegasi semu akan terjadi juga dualisme kekuatan eksekutifkutif nantinya.
Kesimpulannya, tidak perlu di buat UU tentang kewenangan wakil presiden, karena sudah jelas wewenangnya dalam Pasal 4 UUD NRI 1945 sebagian tugas presiden dapat dilaksanakan oleh wakil presiden dalam keadaan tertentu yaitu presiden berhalangan. Hubungannya tetap sebagai wakil yang membantu secara berdampingan dan harus siap sedia diangkat sebagai presiden apabila presiden mangkat dan berhalangan terus melaksanakan tugasnya, pelaksana mandataris presiden oleh wakil presiden.
2. Oleh Ibu Mas
Terimakasih bapak ibu, berkaitan dengan topik, saya hanya membuat makalah, dan akan menambahkan mengenai topik ini. Membicarakan mengenai kekuasaan eksekutifkutif, kita menjalakan kemauan negara karena ini adalah negara demokrasi. Kita juga melihat konstitusi dalam perspektif negara modern yaitu saat ini bukan melaksanakan UU saja tapi juga meningkatkan keamanan dalam luar negeri, bila dilihat Bab 3 uud nri 1945 kekuasaan pemerintahan, pasal 4 ayat (1) tidak mengalami perubahan. Pada dasarnya telah memperkuat sistemem presidensiil karena tidak ada pembedaan presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan. Presiden dan wakil presiden pasangan langsung dipilih rakyat, satu kesatuan namun organ yang berbeda. Sehingga dalam konstitusi tidak menjelaskan kewenangan wakil presien agar lebih fleksibel presiden membagi tugasnya kepada wakil presiden. Pembagian tersebut tidak sama dengan pembagian tugas presiden dengan menteri, karena kewenangan wakil presiden adalah wakil yang mewakili presiden, pengganti dari presiden yang bisa diberhentikan, pembantu dalam roda pemerintahan, mendampingi presiden, dan juga wakil presiden yang mandiri dalam bertemu rakyat dan berorganisasi.
Wacana perlu adanya wakil presiden lebih dari satu, dalam system pertangunggjawaban dari jabatan tersebut, dalam pengaturan kebijakan tersebut, secara obyektif perlu pengaturan hubugan presiden dan wakil presiden. Terlebih apabila dari partai politik yang berbeda, secara subyektif kepercayaan presiden dan wakil presiden juga berpengaruh dan juga kompetensi dari wakil presiden juga menjadi pertimbangan dalam pemberian wewenang wakil presiden oleh presiden. Maka perlu diperjelas, mungkin amandemen atau dibuat udang-undang dengan lembaga presiden.
Sesi Tanya Jawab
1. Pertanyaan Pak Edward: Jika ada UU, akan ada masalah, apakah presiden perlu mengikuti UU yang dibuat sebelum ia terpilih? mungkin lebih tepat dibuat peraturan kedalam yang diatur oleh kesekretariatan Negara.
2. Pertanyaan lanjutan : Berangkat dari pasal 4 ayat 1, hanya presiden sebagai kepala pemerintahan, dalam ayat 2 dibatu oleh wakil presiden, maka makna membantu itu apa
? secara eksplisit perlu diatur dalam UU atau keppres saja cukup ?
3. Pertanyaan lanjutan : dalam Bab 3, pasal 6 sampai dengan pasal 16 dimana pasal 10 – 15 kepala negara, apakah perlu dibuat pembagian tugas berdasarkan pasal 4, 10-15 ? mengikuti pola itu atau hanya mengikuti status quo saat ini?
4. Tanggapan Pak Edward : cukup dengan keppres diatur kedalam (koordinasikan dengan kesekretariatan negara), karena dengan UU akan berganti terus di tiap tiap selesai pemilu jika presiden terpilih berbeda pendapat dengan presiden sebelumnnya seiring dengan bergantinya presiden. Usulan jelas, pembagian tugas fleksibel, melalui keppres itu sendiri.
5. Tanggapan Prof. Wairocana : Saya agak berbeda, dalam rangka memperkuat system presidensial, membentuk UU bagiamana kewenangan, kedudukan dan hal-hal lainnya? Agar jelas. Contohnya seperti haLembaga Negaraya pendapat saya yang kurang setuju akan tidak terlibatnya DPR dalam fit-proper test mengangkatan Kapolri, Panglima TNI, Hakim MK dll. Dalam hal ini UU dibuat bukan untuk mengatur kewenangan tetapi dalam hal ini agar DPR tidak telibat dalam hal menunjuk pembantu presiden. Contoh lain dalam ini pertentangan pernyataan yang sering terjadi saat ini antara wapres JK dan Presiden Jokowi. Sehingga prinsip-prinsip dasar dan lembaga harus di atur dalam UU agar DPR tidak mendominasi segala kewenagan eksekutifkutif. UsuLembaga Negaraya yaitu membuat UU Pertanggungjawbaan Pejabat Negara Pada Presiden. Di dalam UU itu tidak ada mandat, sehingga wakil presiden tidak perlu bertanggungjawab ke presiden karena boleh menjalan sebagaian tugas presiden tetapi tetap itu juga tanggungajwabnya presiden. Kalau menteri itu mandat tapi yang pertanggungajawabannya tetap kepada presiden karena dia diangkat sama presiden. Juga dalam UU ini tidak ada pembagian tugas dalam tetapi lebih mengatur tentang koordinasi antara presiden dan wakiLembaga Negaraya. Sebenarnya juga tidak perlu di utak-atik mengenai apakah membentuk UU ini atau tidak, tetapi yang perlu disikapi campur tangan DPR dalam kewenangn dan kekuasaan kepresidenan selama ini. Yang di atur dalam UU Lembaga Kepresidenan yaitu menghilangkan dominasi dan campur tangan DPR dalam menjalankan kewenangan kepresidenan.
6. Tanggapan Prof. Subawa : Memperkuat kekuasaan presidensial yaitu antara presiden dan wakil presiden. Membeprkuat hubungan presiden dan wapres bukan sebatas hubungan atasan dan bawahan itu mandate tidak boleh dalam bentuk hukum apakah itu keputusan atau perintah. Tetapi sekarang kedudukan presiden dan wapres bukan itu karena saat ini kan kedudukannya sejajar. Adanya bentuk hukum dengan UU, kita sudah memiliki UU Kementerian terlebih dulu padahal ideaLembaga Negaraya seharusnya UU itu ada setelah UU Kepresidenan. Sehingga saya setuju adanya UU
Lembaga Kepresiden yaitu UU yang mengatur kewenanangan presiden, wapres dan menteri-menterinya. Sehingga hubungan presiden dengan wakil dan presiden dengan menteri-menterinya lebih jelas.
7. Tanggapan Pak Suyatna: Sudah selesai sebenarnya, saat pak Edward sudah selesai dengan tidak ada UU lagi tentang itu. Presiden dan Wakl Preisden satu kesatuaan baik tugas dan lain lainnya. Mengapa perlu wakil presiden? Karena presiden membawahi bnayak lembaga dan menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Pasti akan banyak agenda dan kunjungan-kunjungan dan wapres menggantikan tugas yang ditinggalkan oleh presiden saat ada tugas yang berbarengan oleh presiden. Tidak perlu buat UU karena UUD NRI 1945 sudah memberikan tugas masing-masing.
8. Tanggapan Pak Suryawan : Setahu saya UU Lembaga Kepresidenan belum ada sampai saat ini, mendengarkan pendapat Prof Ngurah saya merasa perlu adanya UU untuk mengatur tentang Lembaga Kepresiden bahwa dalam hakikatnya UU itu untuk break down substansi UUD untuk memperjelas isinya. Sehingga mempertegas lagi wakil presiden dan menteri.
9. Tanggapan Pak Sudiarta : Kenapa badan kajian mengangkat topik ini? Karena dalam tor ini untuk membahas topik ini. Jika ada topik maka ada masalah yang terjadi untuk diselesaikan.
KESIMPULAN
Perlu adanya UU kejelasan kewenangan wapres dan relasi antar presiden dan wapres tanpa menerjemahkan kewenanagn yang ada dalam UUD mengenai hal tersebut.
1. Kesepakatan perlu ada pegaturan
2. Mengani bentuk hukumnya ada dua pilihan yaitu buat UU atau memakai Keppres
Presentasi 4 dengan topik ke 4
1. Oleh Bapak Surya
Bapak ibu yang saya hormati, masalah DPD ini kita semua sudah tau, berpulang kembali pada pasal 22 konstitusi, risalah pembahasan amandemen uud menimbulkan pertentangan,
justru malah mengkerdilkan lagi kewenangan DPD. Dalam praktek DPD tidak punya wewenang untuk mengajukan UU, melalui DPR, MK memberikan penegasan dalam PUU seharusnya DPD mempunyai kewenangan legislatiflasi, dinonaktifkan oleh UU 27, hal ini tidak dilakukan dalam praktek, muncul UU MD3 2014 tidak ada pergantian kewenangan DPD, UU 12/11 banyak hal hal yang dianulir MK dalam pembuatan perundang-undangan. Dengan demikian secara empiris, Pak Deni Indrayana mengatakan DPD antara ada dan tiada, saya mencoba merekontruksi, DPD seharusnya memiliki keseimbangan dengan DPR.
Dalam fungsi legislatiflasi, baru 1 UU yang inisiatif dari DPD UU Kelautan, sampai sekarang baru ada RUU Wawasan Nusantara namun belum dijadikan UU sampai sekarang. Mengapa menjadi masalah, karena keberadaan DPD sebenarnya untuk mengakomodir aspirasi daerah, kemudian keseimbangann ini dapat dikaitkan dengan keberadaan DPD, MPR merupakan gabungan dari anggota DPR dan DPD, bukan DPR dan DPD, seharusnya MPR adalah joit secion karena dari segi jumlah kalah DPD 4 kali 33 provinsi, DPD 440. Dalam hal kamar, jumlah kamar belum jelas apakah kita ini bikameral atau trikameral. Satu satunya solusi adalah amandemen, karena pengujian UU oleh MK saja diabaikan, ini merupakan politik dan kehendak seluruh rakyat, harapanya dpd hanya menjadi salah satu materi yang dibahas dalam amandemen, bahwa pengaturan retribusi kewenangan DPD harus dilakukan dengan mengubah Pasal 22 UUD NRI 1945 kewenangan pembentukan tidak hanya DPD dan presiden tapi melibatkan DPD. Asumsi terhadap parlemen kita bikameral, karena pada kenyataannya fungsi legislatiflasi diutamakan untuk DPR, pada akhirnya akan bermuara pada ranah DPR dalam menjalankan fungsi legislatiflasi itu adalah DPR. Dalam pasal 5 dan 10 tidak ada melibatkan DPD dalam hal pembentukan perundang-undangan.
Tanggapan Prof Wairocana : kewenangan khusus membentuk undang-undang, persoalan lainnya kan kewanangan DPD dalam membahas bersama dengan DPR dan Presiden ?
Jawaban Pak Surya : Sampai PUU 79, tidak ikut memutus, DPD tidak ikut menyetujui hanya mengajukan dan membahas, maka kewenangan memutuskannya tidak ikut, maka solusinya amandemen pasal 20 UUD NRI 1945.
Tambahan 1 oleh Ibu Iik
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia negara demokratis pasal 1 ayat 2, maka harus terdapat lembaga keterwakilan, setelah amandemen bertambah DPD untuk mengakomodir aspirasi daerah, yuridisnya UU MD 3. DPD terbatas kewenangannya, karena DPD tidak ikut
serta menyetujui, kewenangan DPD kewenangan atribusi pasal 22 C dan 22 D, dalam pengaturan DPD ini memiliki 3 kewenangan (pembacaan pasal). Jika kita bandingkan dengan kewenangan DPR sangat timpang, DPD subordinasi dari DPR, terkait pertanyaan Prof Ngurah, kewenangan DPD memang direduksi, dalam pembahasan tingkat 1 yakni pembahasaan RUU, karena tidak semua tahapan dapat diikuti oleh DPR. DPD hanya berwenang untuk membahas RUU mengenai otonomi daerah dan lain sebagainya, sangat disayangkan DPD tidak dapat memberi persetujuan terkait RRU yang juga iya bahas sebelumnya.
Tambahan 2 Oleh Ibu Dyah
Saya mencoba menyampaikan kembali kepada topik pembahasan, fungsi legislatiflasi saya lihat dari sisi, keberadaan DPD apakah meningkatkan system presidensial, negara terbagi atas provinsi, kabupaten dan kota, apakah DPD mempunyai andil dalam system presidensil ? Jelas ada karena DPD punya akses untuk menyampaikan kepentingan bagian negara adalah DPD karena DPD dapat untuk menyingkirkan kepentingan politik dalam DPR. DPD memiliki komite, pembagian tugasnya jelas dan cakupannya luas, fungsinya membantu pekerjaan pemerintah. Sekarang apakah DPD ada gunanya dalam penguatan system presidensiil? Ada, karena ia merupakan keterwakilan langsung dari daerah yang membawa aspirasi daerah. Perlu hati hati juga sebenarnya, apabila dikuatkan kembali takutnya akan menyamakan keberadaan negara kesatuan dengan negara federal karena kewenangan yang diberikan akan sama dengan senat pada negara federal.
Sesi Tanya Jawab
Moderator : Masaih ada banyak hal yan perlu dibahas, berangkat dari UUD NRI 45 terkait kewenangan leglislasi perlu diperjelas dengan adanya amandeman pasal-pasal terkait kewenangan legislatiflasi. Masih ada kewenangan lain DPR yang tidak miliki oleh DPD yaitu impacment presiden dan ketentuan lain yang kewenangan dimiliki oleh DPR, apakah mesti perlu diubah untuk menambah kewenangan DPD?
Tangapan Buk Diah: Pendapat pribadi, segala sesuatu disamakan antara DPR dan DPD, apa yang dimiliki DPR harus sama dngn DPD? Tidak begitu, karena ada hal-hal yang menyangkut tentang daerah dan itu sesuai amanat UUD dilibatkanlah DPD itu. DPD lembaga negara yang paling paham tentang keperluan daerah diluar kepentingan partai politik yang dimiliki oleh DPR.
Tanggapan Pak Surya : Berkaitan dengan ratifikasi, seperti haLembaga Negaraya itu tetap saja polanya dalam hal persetujuan akhirnya DPD juga terlibat. Saya fokusnya dipenguatan kewengaan legislatiflasi dalam paper ini, tetapi yang dapat kami singgung dalam hal pegawasan akan diserahkan kepada DPR agar nanti DPRyang akan menindaklanjuti apakah akan dilanjuntukan atau tidak sesuai kehendak DPR. Andai DPD memmliki kapasitas dengan DPR, maka tentu saja DPD akan berperang khsususnya dalam legislatiflasi merancang UU, DPD dan DPR memiliki area sendiri sebelum berperang dengan pemerintah/presiden. Sehingga memperkuat check and balances antara legislatif dan eksekutif.
Moderator : Bahwa DPD tidak dapat ikut sepenuhnya dalam membentuk UU itu terjadi saat ini. DPD adalah keterwakilan daerah, namun saat ini banyak anggota DPD berasal dari partai politik. Bagaimana mengenai sifat keterwakilannya?
Tanggapan Prof Ngurah Wairocana : Lebih condong keterwakilan daerah dan semestinya tidak ada unsur politik termasuk menjadi anggota suatu partai politik, golongan karena merupakan perwakilan daerah yang membawa aspirasi daerah bukan aspirasi partai politik ataupun golongannya.
Tangggapan Pak Suyatna : Saat ini DPD seakan berjuang sendiri sehingga para anggota DPD masuk ke partai politik untuk bertahan. Jika ini ditambah kewenangannya maka system presidensil melemah bukan menguat jika kondisi anggota DPD terbaur dengan elit partai politik.
Tanggapan Pak Sudiarta : Apakah DPD dihapuskan saja? jika saat ini masuk dan mambawa kepentingan partai politik karena sudah abu-abu kepentingannya.
KESIMPULAN
DPD harus dikuatkan dibidang legislatiflasi dan ikut dalam setiap tahap tahapan pembuatan RUU tetapi sepanjang kewenangan itu membahas UU dengan daerah.
Pembahasan 5 Topik 2
Pandangan Pak Suantra
Pasal 2 ayat 2 uud, mpr bersidang sedikitny 1 kali dalam lima tahun, risalah kenapa demikian karena jumlah anggotanya banyak, diartikan boleh lebih dari sekali, yang pasti diawal dan diakhir masa sidang atau jabatan.
Historis, dari bpupki kemudian ada knip, tahun 65 ada mprs, sesuai dengan yamin dan supomo, MPR representasikan seluruh rakyat, tidak saja jumlah anggota besar, tapi juga representasi rakyat pelaksana kedulatan negara.
Kekuasaan yang besar dan anggota yang besar tidak efektif kalua sekali setahun, namun pelaksanaan kewenangannya tidk bisa tanpa sidang
Sidang taunan suatu keniscayaan, masalahnya apa boleh lebih dari dua kali ?
Ternyata banyak pendapat, sidang mpr mubasir, tidak efektif dan efisien, hanya seremonial dan boros anggaran.
Sidang tahunan ini sejatinya perlu dilakukan sebagai suatu perwujudan system presidensiil, laporan kinerja presiden kepada semua lembaga negara, sidang tahunan 2017 diawali MPR dengan melakukan road show dengan menanyakan pada lembaga-lembaga negara, perlukah ada sidang tahunan, hampir semua menghendaki perlu.
Dalam sidang tahunan, Presiden membacakan laporan kinerja seluruh lembaga untuk efisiensi waktu. Yang lebih penting, aktifitas tersebut membuat rakyat mengetahui kinerja lembaga negara, berupa control rakyat. Selain itu momentum tersebut dapat mempererat relasi negara, seluruh masyarakatarakat melalui representasinya hadir dalam siding tahunan, saya melihat ini lah makna penting siding tahunan, bukan hanya rutinitas tapi mempererat integrasi negara untuk memperkuat negara kesatuan republik Indonesia.
Kesan dan pesan MPR dan presiden bisa diilakukan dalam kontek mempererat NKRI, usulan menghadirkan gubernur untuk sidang tahunan. Dari pada negara di korupsi, lebih baik membayar mahal untuk mempererat negara.
Tanggapan
Prof subawa, saya setuju untuk mengakomodir kekeluargaan dan musyawarah mufakat, memperkuat presidensiil, meningkatkan kualitas nasionalisme.
Pak suryawan, dari aspek format mpr dulu dan sekarang beda, dulu lem tertinggi maka ini keniscayaan, yang menjadi pertanyaan berapa besarkah anggaran yang digunakan untuk sidang tahunan ?
Pak Suyatna, Masing masing daerah memiliki kebudayaan yang berbeda, maka bida diundang semua gubernur bahkan bupati diundang sesekali. Tidak hanya kepentingan elit politik tapi untuk nkri
Tambahan Pak Suantra Perlu dicermati lagi, sidang tahunan dalam status quo tidak sesuai dengan tatib, karena berbarengan dengan konvensi ketatanegaraan pidato kenegaraan presiden, Ada 3 agenda, konvensi ketatanegaraan, sidang anggaran, dan laporan kinerja masing masing lembaga negara.
Tambahan Bapak Yana (MPR)
Gambaran sidang tahunan, gagasan awal menghilangkan sidang bersama dpr dan dpd karena dipandang lebih tepat pidato presiden di mpr, sidang tahunan ini rangkaian dari konvensi ketatanegaraan sehingga, ada laporan lembaga negara diakhiri pidato presiden
Menjadi aneh kalau pres membacakan laporan kinerja lembaga negara, karena lembaga negara setara, apa kapasitas presiden ?
Anggaran tidak keluar, praktis karena dibebankan pada DPR atau DPD yang menjadi host, biaya MPR hanya hal hal kecil seperti undangan / honor
Konstitusi tidak menghendaki lembaga MPR sebagai lembaga yang permanen, MPR hanya adhoc saja sepanjang sidang DPR dengan DPD, tapi tidak sesuai dengan ketentuan pasal berikutnya karena ada ketentuan apabila DPR dan DPD tidak bisa melantik maka diberikan pada pimpinan MPR, apabila ada pimpinan mana bisa tidak permanen ?
MPR seperti dinas kebakaran, hanya bekerja saat ada kebakaran karena kewenangannya tidak permanen, bekerjanya 5 tahun sekali. Banyak pendapat mengatakan MPR tugasnya mengada ngada, banyak yang mengatakan dibubarkan saja
Pertanyan Prof, Wirocana, Tapi Kualitas kewenangannya kan jantung dalam ketatanegaraan ?
Tanggapan Pak Yana, Presiden disumpah, tidak pernah dilantik oleh MPR, MPR hanya menyaksikan saja, karena tidak ada produk hukumnya, kenapa bukan tap, karena apabila nanti
ada sidang parimpurna pelantikan presiden, jika ada yang tidak setuju ya batal presiden diangkat. Ketika presiden di impeachment pun tidak ada bentuk hukum.
Kembali ke sidang MPR, kejadian lain yang mendasari Presiden sby menyampaikan keuangan di sidang tahunan, dpd ingin mengulur karena diundang lagi untuk sidang, karena hal tersebut menyalahi aturan, maka dibuat sidang tahunan.
Sidang tahunan, memang mengundang gubernur. DPD dan DPR ini yang mengundang. Kesimpulannya, Sidang tahunan tetap diadakan.
16.31 kelima topik telah selesai dibahas, untuk besok rumusan untuk sidang pleno dibahas untuk menggantikan jam diskusi di pukul 08.30.
KELOMPOK KEDUA
HARI KEDUA, SABTU, 16 SEPTEMBER 2017
09.20 WITA Tanggal 16 September 2017
Tambahan materi oleh Prof. Ngurah Wariocana pada Topik kelima
Dalam hal pelaksanaan otonomi tersbut perlu dipahami dua konsep dasar yaitu konsep negara kesatuan republic Indonesia untuk memahami konsep pelaksanaan otonomi itu dan sistemem presidensial untuk memperkuat sistemem presidensial dalam pelaksanaannya. Sehingga kedudukan presiden harus kuat terhadap DPR dan Gubernur karena saat ini dalam menjalankan kewenangannya sering direcoki saat terjadi perbedaan pandangan dan kepentinga. Ide utama yang saya ajukan yaitu membuat UU Kepresidenan agar kita mengetahui apa sih tugas dan kewenangan Presiden dan pembantunya.
Sistemem pilkada dalam status quo adalah multi partai…
Pemilihan kepala daerah yang dapat dilaksanakan yaitu, pemilihan gubernur langsung oleh rakyat, maksudnya agar gubernur mewakili seluruh rakyar daerah dan juga perwakilan pemerintah nasional karena bagian dari perpanjangan tangan pemerintah pusat. Sementara Bupati akan dipilih oleh DPRD selaku representasi rakyat daerah.
Selanjutnya, dari pemilihan langsung terhadap Gubernur akan terpilih 2 kandidat, yang kemudian diberikan suara 35% kepada presiden untuk memilih gubernur, demikian pula
pemilihan Bupati ketika terpilih 2 calon akan diberikan kuota 35% pada gubernur untuk memilih bupati sebagaimana sistemem pemilihan rector.
Maka, hubungan pemerintah pusat dengan daerah semakin jelas, gubernur benar-benar merasa sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat, dan Bupati tidak ada alasan untuk tidak turut pada Gubernur, dengan kata lain penguatan hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Tambahan Pak Suantra, usulan bagus seperti apa yang didiskusikan sebelumnya, dalam hal memperkuat sistemem presidensil dapat memperkuat, namun sebenarnya apabila kita tetap pada keadaan sekarang tetap bisa memperkuat sistemem presidensil dengan dasar pasal 18 konstitusi. Koreksinya, apakah 2 calon tersebut merupakan paket atau hanya calon gubernur saja ?
Prof. Wairocana, sebetuLembaga Negaraya paket atau tidak bukan masalah, tapi akan lebih baik kandidat yang terpilih berupa pasangan gubernur dan wagub (paket)
Prof. Subawa, Idenya bagus namun kan UU Pemilu sudah berlaku dan dilaksanakan, Ide nya masuk akal untuk keterlibatan presiden dalam pemilihan kepala daerah, tambahannya perlu ada landasan filosofi mengapa dibedakan, gubernur dipilih langsung dan bupati dipilih DPRD.
Pak Sudiarta : kenapa gubernur dipilih langsung oleh rakyat ? tetapi kenapa bupati atau walikota dipilih oleh DRPD?
Prof. Wairocana : dalam kedudukannya Gubernur memiliki dua tugas yaitu sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah provinsi. Sehingga dapat dipilih oleh rakyat langsung, sedangkan mengapa bupati atau walikota dipilih oleh DRPD dan diangkat oleh Gubernur telepas dari penghematan biaya, hiruk pikuk politik dan perpecahan di masyarakatarakat, hal ini diajukan untuk memperkuat hubungan Gubenur dan Bupati/Walikota karena ada pengikat hubungan kedudukan yang dimiliki oleh Bupati/Walikota dengan Gubernur sebab pengangkatannya tergantung pada Gubernur. Selama ini yang terjadi kan sering Bupati dan Walikota tidak hadir malah mendelegasikan pada kadis terkadang juga ke staf saat menghadiri rapat bersama Gubernur hal ini terjadi kan karena Bupati dan Walikota merasa sejajar kedudukannya dengan Gubernur karena dipilih langsung oleh rakyat.
Pak Suyatna : jika usulan ini diajukan banyak yang resistemen jika gagasan ini yang diajukan, namun ini memang relevan diajukan selama didasari dengan argumentasi yang logis berdasar
yuridis. Bila perlu ditingkatkan dalam naskah akademis agar semakin kuat kedudukan usulannya ini.
Pak Sudiarta : usulan ini memang layak karena diusulkan dengan terlebih dulu di lakukan dengan metode analisis SWOT.
09.47 diskusi tambahan berakhir
09.53 lanjutan pembahasan laporan dikusi.
Laporan diskusi dibuat berdasarkan PERMEN DISTEK 20 Tahun 2015 tentang Naskah Dinas Usulan memasukan TOR dalam maksud dan tujuan.
Pembahasan topic 1
Perubahan beberapa redaksional, kemudian RPJP dan RPJM disampaikan undang-undangnya Prosedurnya tidak perlu ? dalam hal mengawinkan visi misi presiden dengan MPR.
Nomor 1 model GBHN.
Nomor 2 Rpjp dalam bentuk undang-undang.
Kalau sudah GBHN pasti mengubah kembali kedudukan MPR, tapii usulan kita tidak, MPR hanya lembaga perwakilan seluruh rakyat.
Tambahkan Model pada kata GBHN menjadi Model GBHN. Lanjutan Topik 2
Walaupun kita sudah sepakat, tpi sebenarnya sidang tahunan ini memperkuat atau memperlemah ?
Kalau dalam hal meminta pertanggungjawaban kepada MPR melemahkan, tapi kalau laporan kinerja pada rakyat yang diwakili oleh MPR, ini memperkuat.
Pembahasan redaksional kontinuitas.
Sidang tahunan MPR RI diadakan untuk penyampaian laporan kinerja penyelenggaraan pemerintahan oleh presiden,
Perlu ditambahkan sebagai konsekuensi presiden dipilih langsung oleh rakyat ? (disepakati) Penambahan redaksional, Bukan sebagai pertanggungjawaban presiden pada MPR Tambahan penjelasan, dengan demikian sidang tahunan memperkuat sistemem presidensil.
Lanjutan Topik 3
Penjelesan wakil presiden dan relasi
Kalau wakil presiden huruf kapitaLembaga Negaraya besar atau tidak?
Kemarin prof Parsa dan Edward tidak perlu UU tentang Kepresidenan, berkmebang kemudin baagiamna hubungan presiden dengan lembaga lain, kalau hubungan presiden dan wakiLembaga Negaraya tidak perlu diatur lebih lanjut. Boleh diperluas frasa tentang kepresidenan? Kan topiknya itu tentang wakil presiden?
Boleh saja, karena di sambutan kemarin juga di sebuntukan ada usul tentang UU tentang kepresidenan
Redaksional, sistemem presidensil mendadi sistemem presidensial.
Penjelasan, bahwa perlu penegasan kewenangan presiden dan wapres dalam bentuk undang- undang dan/atau kepres (presiden yang mengatur)
Kepres akan membuat presiden lebih fleksibel dalam membuat keputusan
Karena pada dasarnya, pertanggung jawaban akan dilakukan oleh presiden, wapres tidak.
Tambahan, UU Kepresidenan berkaitan juga dengan jabatan-jabatan yang dipilih presiden, tanpa pertimbangan MPR
Lanjutan Topik 4
Membahas, apakah perlu penomoran dalam setiap pandangan yang disampaikan, disepakati pada pandangn yang berbeda dicantumkan nomor, untuk pandangan yang sama
tambahan dari MPR, kembali ke topik 2
sempat dibahas tidak, apakah presiden yang melaporkan atau masing masing lembaga
larena kan semua lembaga sama rata, road show menyepakatkan lembaga menyampaikan masing masing, tapi presiden tidak setuju karena akan mengembalikan posisi MPR menjadi lembaga tertinggi.
muncul pertanyaan, apakah tidak seharusnya semua menyampaikan sendiri-sendiri karena nanti akan eksekutifkutif heavy ? karena agendanya hanya laporan seluruh lembaga negara bukan pertangungjawaban.
Pak Suantra, tidak menjadi masalah apabila presiden yang menyampaikan laporan karena presiden melaksanakan wewenangnya sebagai kepala negara, simbul integritas negara, jadi seluruh lembaga negara menyerahkan ke presiden.
Prof Wairocana, sistemem pemerintahan presidensil kan harusnya memang presiden yang bertanggung jawab, maka kepala negara lebih pas.
Pak Sudiarta, apakah tidak bertentangan dengan UUD ?
Jawaban Pak Suantra dengan Prof. Wairocana, Tidak karena dalam bab 3 ini adalah kekuasan pemerintahan, terdapat wewenang presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Tidak apa apa presiden membacakan laporan kepada rakyat melalui MPR, karena presiden dipilih oleh rakyat
Lanjut pembahasan topik 4.
Tambahan redaksional, dalam hal penguatan sistemem presidensial, wewenang DPD dalam hal fungsi legislatiflasi perlu dikuatkan
Penguatan kewenangan DPD dapat dilakukan dengan melakukan amandemen pasal 20 UUD NRI 1945
APA PERLU LEBIH RINCI, PASAL 20 AYAT 1 DIUBAH TAMBAHKAN REDAKSIONAL DPD, KEMUDIAN PASAL 20 AYAT 2 MENAMBAHKAN DPD DISANA.
USUL MENGUBAH PASAL 5, KARENA RUU YANG INGIN DIAJUKAN PRESIDEN
HANYA DPR, SERING DILUPAKAN BAHWA DPD memiliki kewenangan juga untuk merancang undang-undang terkhusu pembahasan daerah.
Tambahan, yang paling mendasar sepakat tidak kita dengan istilah bicameral, misaLembaga Negaraya pada kewenangan dpd, atau condong ke pendapat pak jimli, termasuk dalam trikameral dimana mpr memiliki kewenangan sendiri.
Dpd yang sekarang, perwakilan wilayah atau juga sektoral ? sekarang dpd punya komite, menjadikan dpd bukan perwakilan wilayah tapi perwakilan isu.
Dpd harus dilepas dari partai politik, watak dpd ini juga wataknya partai.
Apa gak sekalian penegasan bicameral atau trikameral, kalau bicameral konsekuensinya membuat undang-undang, nah kira-kira presiden bisa kerja kah ?
Pemikiran saya, DPD tetap terbatas, membuat uu untuk persoalan daerah, untuk uu yang diluar urusan daerah tetap seperti status quo.
UsuLembaga Negaraya begitu karena pernah dalam pengajuan PMK, Judicial Review ke MK masih memberbolehkan partai masuk dalam DPD
Berarti ada dua, dalam tingkat wilayah sampai dalam pengambilan keputusan namun dalam ranah peraturan hanya dalam tahap pengusulan
Mengenai sanksinya bagaimana? Nanti di atur mengenai setelah jadi anggota DPD jika di masuk partai politik mengenai sanksinya nanti
Fungsi pengawasan yang berkaitan dengan fungsi DPD. Pasal 22 D tentang anggota DPD itu isinya pembatasan pada otonomi daerah
Dalam pasal 22 d kan sudah dibatasi, kira-kira gimana gus? Ya intinya, kira-kira justru mengusulkan agar tegas dengan menghilangkan kata “dapat” dengan perlu di implemntasikan sesuai dengan Putusan MK terakhir yaitu 92 tahun 2012.
Seharusnya non partai politik itu anggota DPD. Dengan kalimat, dalam keanggotan DPD tidak dapat berasal dari partai politik demi konsistemensi dengan prinsip representasi keterwakilan daerah.
Sehingga pututsan MK itu perlu ditinjau kembali atau dibuatkan UU kembali dengan mengubah UU MD3 kembali.
Pembahasan topik 5
Tambahan redaksional, Yang memberikan kewenangan kepada presiden sebagai kepala pemerintahan
Perubahan redaksional dalam rangka menjdari dalam kerangka
Tambahan nomor 1. Otonomi daerah diberikan dalam rangka memperkuat Negara kesatuan dengan sistemem presidensial
Dalam sistemem pemerintahan presidensial, kedudukan presiden harus kuat, terutama hubungannya dengan DPR dan Gubernur
Tambahan, Presiden harus memiliki hubungan yang baik dan harmonis secara vertical dengan horizontal
Untuk menciptakan desain otonomi daerah dalam rangka penguatan system presidensial, perlu merekonstruksi desain otonomi daerah yang ada yaitu :
a. Prinsip otonomi diletakkan pada daerah provinsi
b. Gubernur dipilih langsung oleh rakyat dan diangkat oleh presiden dengan pertimbangan, karena gubernur disamping sebagai kepala daerah juga merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah (sebagai instansi vertical pemerintahan pusat).
c. Bupati dan walikota dipilih oleh DPRD kabupaten/kota dan diangkat oleh gubernur dengan pertimbangan untuk memperkuat hubungan bupati dengan gubernur dan juga pemerintah pusat.
d. Untuk memperkuat hubungan pusat dengan daerah, dalam pemilihan gubernur perlu ditetapkan kepala daerah tahunreshold 20%, dan presiden memiliki 35% hak suara.
e. Pemilihan gubernur dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyatuntuk mendapatkan dua calon oleh KPU, kemudian KPU menyampaikan pada presiden untuk memilih gubernur
f. Pemilihan bupati/walikota dilakukan pemilihan oleh DPRD kabupaten/kota untuk mendapatkan dua calon oleh KPU, kemudian KPU menyampaikan pada gubernur untuk memilih bupati/wlikota
Penambahan bagan dalam hasil diskusi untuk memperjelas teknis. Pukul 12.05 laporan hasil diskusi selesai.
Adapun berikut adalah rumusan ringkas dari hasil diskusi kelompok kedua dalam Workshop Pancasila, Konstitusi dan Ketatanegaraan Badan Pengkajian MPR RI :
NOTULA WORKSHOP KELOMPOK KEDUA
Rapat : Workshop Ketatanegaraan Penegasan Sistemem Presidensial.
Hari/Tanggal : Jumat, 15 September 2017.
Sabtu, 16 September 2017.
Tempat: di Hotel Novotel Bandara Ngurah Rai, Badung – Bali.
Waktu rapat : Jumat 15 September 2017, Pukul: 08.30-17.00 WITA. Sabtu, 16 September 2017, Pukul: 08.30-15.00 WITA
Acara : Sesuai dengan Jadwal Kegiatan Terlampir. Pimpinan rapat :
Ketua : I Nengah Suantra, SH.,MH
Sekretaris : Sagung Putri M.E. Purwani, SH.,MH
Pencatat : 1. Ni Putu Mella Manika
2. I Made Marta Wijaya
Peserta rapat : 1. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH
2. Prof. Dr. Made Subawa, SH.,MS
3. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,MH
4. Dr. I Nyoman Suyatna, SH.,MH
5. Dr. I Gusti Bagus Suryawan, SH.,MH
6. I Ketut Sudiarta, SH.,MH
7. Ni Nyoman Mas Ariyani, SH.,MH
8. Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH.,M.Kn.,LLM
9. Edward Thomas Lamury Hadjon, SH.,LL.M.
10. Putu Novarisna Wiyatna, SH.,MH Persoalan yang dibahas :
1. Sinkronisasi Reformasi Sistemem Perencanaan Pembangunan Nasional Model GBHN Dengan Sistemem Pemerintahan Presidensial
2. Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR Sebagai Fasilitasi Bagi Lembaga Negara Untuk Menyampaiakan Laporan Kinerja Kepada Rakyat, Hubungannya Dengan Penegasan System Pemerintahan Presidensial
3. Kejelasan Kewenangan Wakil Presiden Dan Relasi Antara Presiden Dan Wakil Presiden
4. Penguatan Kewenanagan DPD Dalam Sistemem Pemerintah Presidensial, Serta Langkah- Langkah Strategis Untuk Menjawab Petanyaan Keberadaan Anggota DPD, Antara Keterpilihan Dan Keterwakilan Dengan Daerah
5. Desain Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penegasan Sistemem Pemerintahan Presidensial
Tanggapan peserta rapat :
Topik 1: Sinkronisasi Reformasi Sistemem Perencanaan Pembangunan Nasional model GBHN dengan sistemem pemerintahan presidensial
Prof. Dr. Made Subawa, SH.,MS:
Isu ini telah dibicarakan antara FH dengan MPR, 🡪 perencanaan nasional jangka panjang. Sangat penting ada blue print, mengenai nama dipersilahkan. Pembangunan nasional diterjemahkan dengan visi misi, sesuai klp. Negara:Presiden, Prov.:Gubernur. Ide dasar adalah NKRI, terkait dengan asas yang ada dalam visi misi. Harus ada perencanaan nasional jangka panjang baik 30, 20…, siapapun preseidennya supaya jelas dan tidak berubah setiap pergantian pimpinan, sehingga tidak terjadi perubahan. Hal ini juga terkait dengan pencapaian, supaya jelas arah, tujuan dan manfaatnya, dan jelas terukur. Sehingga terkait dengan anggaran yang juga jelas. Makna otonomi, hal ini
ada dalam spirit dari Negara kesatuan. Provinsi terkait dengan kabupaten kota, supaya jelas arah dan pertanggungjawabannya.
Mengeksekutifkusi APBN dan APBD pun jelas. Saat ini desa telah mendapatkan anggaran apakah ini akan terkait dengan anggaran desa. Sekarang kembali pada MPR, sehingga bisa kembali pada GBHN. Pasal 7 (1) UU No. 12/2011 istilah tersebut bias diganti menjadi Ketetapan MPR. Jika dipakai UU maka perdebatan itu akan mengarah pada MPR, DPR dan Presiden. IPOLEKSOSBUDHANKAM🡪 IPOLEKSOSUBUDHANKAM
Pancasila sumber dari segala sumber hukum dan dasar Negara🡪 akan menghasilkan dasar Negara 🡪 konsep hukum pancasila+konsep demokrasi pancasila 🡪 konsep bernegara
Perlu adanya MPR.
Produk hukum : GBHN dan TAP MPR
Filosofis : Daerah, Masyarakatarakat setuju atau tidak
Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,MH:
GBHN perlu atau tidak, masalah penghidupan kembali GBHN, ada yang mengusulkan melalui amandemen terbatas, melalui system ini akan terkait dengan penataan kelembagaan. Ini juga tidak terlepas dari posisi MPR sebelum amandemen. Sehingga kalau ada keinginan mengembalikan GBHN maka posisi akan dikembalikan seperti semua MPR sebagai lembaga tertinggi. Pola pembangunan jangka tertentu.
Amandemen ke 4, presiden+wakil dipilih oleh rakyat, presiden menjabarkan prioritas yang ditawarkan, persoallan akan muncul pada saat Presiden dipilih oleh rakyat ini terkait akan berubah menjadi parlemen, persoalan lain jika MPR menjadi lembaga tertinggi system parlementer. Presiden terikat pada pertanggungjawaban dengan lembaga pembuat GBHN. Program pembangunan akan menjadi berubah jika pada saat presiden membuat program kerja, dan akan berbeda saat periode berakhir dan presiden baru akan membuat program baru sehingga tidak terjadi kesinambungan.
Terkait Presidensial setelah terjadi amandemen, lahirlah UU No. 25/2004 🡪 RPJP 🡪 RPJM yang memuat visi misi presiden terpilih yang merujuk pada pembangunan nasional.
Instrumen Hukum : UU RPJP
Substansi GBHN 🡪 di dalam UU sehingga tidak perlu ada GBHN
Visi presiden mengikiti tujuan Negara, presiden diberi kesempatan untuk memenuhi janji2 presiden terpilih
Presiden hanya merujuk pada program kerja nasional, berpegang teguh pada pembangunan nasional.
Pola GBHN itu akan berbenturan dengan presiden sial dan berbenturan dengan lembaga-lembaga.
Sesungguhnya subtsansi GBHN di dalam UU, Sudah ada bentuk hukum berupa Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistemem Perencanaan Nasional yang menjelaskan mengenai parameter pembangunan nasional, sehingga tidak perlu ada GBHN, harus diberikan kesempatan presiden terpilih untuk merelaisasikan janji-jani saat kampanye yang telah disetujui rakyat dengan hasil pemilihan itu sendiri.
Sebenarnya tidak perlu GBHN, presiden cukup berpengang pada tujuan negara, biarkan bergerak pada RPJM 5 taunnya, menghiudpkan GBHN denga mandemen kurang tepat, dapat dikataan sebagai langkah mundur system presidensil, dan menurunkan kinerja preisden terpilih yang akan terikat GBHN, implikasi juga dalam hubungan kelembagaan.
Pak Muji (Fraksi Golkar)
Forum Rektor memiliki NA 🡪 2013 Perlu membuat GBHN
Kontiyuitas pembangunan melalui GBHN Adanya kokniktifiti anatar pusat dan daerah Produk hukum Tap MPR 🡪 amandemen
Hukum Biasa 🡪 lingkungan di yudisial reviu : MK Produk hukum: Presiden, DPR
RPJPM🡪 pemerintah ini akan menjadi persoalan jika menjadi hukum biasa
Persoalan pertama: model GBHN🡪 melalui Tap MPR, apakah GBHN itu 🡪 UU biasa Persoalan kedua: RSPPM yang sekarang inilah merupakan GBHN
Prof Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH
Secara filosopi, bahwa presiden itu terpilih karena visi dan misi nya, rakyat memilih, oleh karena itu dalam konteks ini presiden memegang peranan penting; RPJP siapa yang membuat, masalah kenegaraan itu adalah produk politik, maukah presiden baru itu terikat dengan produk dari presiden lama
Bentuk GBHN tetapi tidak ada konteks status dari MPR bukan merupakan lembaga tertinggi, dia merupakan lembaga penuh dari rakyat, presiden bukan amanat dari MPR, visi dan Misi menampilkan pada DPR dan MPR. Dari proses itu GBHN secara filosopi suara rakyat secara bulat yang diwakili oleh MPR jadi visi misi Presiden, demikian hal itu tidak menjadi persoalan, GBHN dipersilahkan, tapi bukan berarti MPR adalah lembaga tertinggi.
Persoalannya :
- Apakah masalah jika MPR diberikan kewenangan
- Produk hukumnya:
- Modelnya bagaimana:
Kesimpulan Topik 1;
Bentuk GBHN tetapi tidak ada konteks status dari MPR bukan merupakan lembaga tertinggi, dia merupakan lembaga penuh dari rakyat, presiden bukan amanat dari MPR, visi dan Misi menampilkan pada DPR dan MPR. Dari proses itu GBHN secara filosopi suara rakyat secara bulat yang diwakili oleh MPR jadi visi misi Presiden, demikian hal itu tidak menjadi persoalan, GBHN dipersilahkan, tapi bukan berarti MPR adalah lembaga tertinggi.
Topik 2: Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR sebagai Fasilitasi bagi lembaga Negara untuk menyampaiakan laporan kinerja kepada rakyat, hubungannya dengan penegasan system pemerintahan presidensial
I Nengah Suantra, SH.,MH
Pasal 2 (2) MPR 1x dalam 5 tahun 🡪 boleh lebih dari 1x,
BPPKI ketentuan ini masih tetap asli, ini mempertimbangkan jumlah MPR yang besar.
Di awal masa siudang 🡪 pelantikan, diakhir masa sidang 🡪 pertanggungjawaban
Dari segi MPR cikal bakal KNIT BPUPKI, 1965 Pempres 1 dan 2 itu menunjukkan bahwa MPR badan yang merepresentasikan selkuruh rakyak lebih dimaknai merupakan perwujudan seluruh rakyat, sebagai pelaksana kedaulatn rakyat setelah amandemen, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat
Tidak efektif dan effisien jika sidang dilaksanakan 1x, sidang tersebut adalah merupakan suatu keharusan. Refleksi dari pelaksanaan sidang ada banyak pendapat mengatakan sidang MPR itu tidak efektif, sifat ceremonial, tp ada yang mengatakan sidang itu amat sangat penting, dimana dalam sidang tersebut, adalah perupakan laporan pertanggungjawaban apa yang telah dikerjakan oleh pemerintah presiden harus melaporka tugas dan wewenang di setiap lembaga2 negara.
Dari :
1. Presiden dapat melaporkan pelaksanaan tugas dari lembaga Negara dan sekaligus pengawasan oleh rakyat
2. Sidang tahunan MPR sebagai suatu even upaya mempererat ingrasi bangsa, dalam sidang tsb tidak hanya MPR hadir, namun berbagai kalangan hadir dalam sidang🡪makna penting, bukan rutinitas, tp memperat kesatuan. Juga terkait dengan hub pusat dan daerah
3. Sidang tahunan tetap penting dalam konteks, integrasi bangsa.
Tata pelaksanaan semestinya tidak dilaksanakan bersamaan dengan sidang tahunan, dengan event yang berbeda.
Prof Dr. I Made Subawa, SH.,MS
Asas kekeluargaan, integrasi dan memperkuat kesatuan bangsa. Gubernur seharusnya juga diundang dalam sidang tahunan.
Dr. I Gusti Bagus Suryawan, SH.,MH
Dari aspek format dulu secara lembaga tertinggi 🡪 keniscayaan.
Pak Yana (Anggota MPR)
Siding tahunan adalah menghilangkan gagasan memisahkan siding MPR dengan DPR, sidang tahunan merupakan rangkaian , memberikan kesempatan kepada lembaga- lembaga negara dan kepada presiden untuk memeberikan kesempatan kepada presiden untuk melaporkan kegiatan presiden, namu hal ini lama kelamaan tidak disetujui oleh DPR dan DPD.
Persoalan biaya sebenarnya tidak ada biaya. Pasal 9 (2) UUD lembaga MPR dibentuk secara permanen, namun tugas MPR hanya jika diperlukan.
Kesimpulan Topik 2:
Sidang tahunan MPR sebagai suatu even upaya mempererat ingrasi bangsa, dalam sidang tsb tidak hanya MPR hadir, namun berbagai kalangan hadir dalam sidang🡪makna penting, bukan rutinitas, tp memperat kesatuan. Juga terkait dengan hub pusat dan daerah. Sidang tahunan tetap penting dalam konteks, integrasi bangsa.
Topik 3: Kejelasan kewenangan Wakil presiden dan relasi antara Presiden dan wakil presiden
Edward Tahunomas Lamury Hadjon, SH.,LLM Kewenangan atribusi bagi wakil presiden 🡪 UUD Pasal 4(1) (2) presiden dibantu oleh wakil presiden
Pasal 6 dan pasal 6A🡪 pemilihan presiden dibarengi pemilihan wakil presiden. Wakil presiden melaksanakan beberapa kewenangan presiden
Wakil presiden bertindak atas nama presiden, wakil presiden tidak dapat membuat atau mengeluarkan produk hukum
Tidak perlu dibentuk UU tersendiri, hub presiden dan wakil presiden saling mendampingi 🡪 hub mandate.
Tidak perlu ada pengaturan khusus berupa UU, ini terkait dengan nanti saat presiden terpilihnya presiden baru. Ada pembagian tugas namun Cukup dengan diatur ke dalam berdasarkan KEPRES.
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH
Persoalan tugas presiden dan wakil presiden dalam hal ini terkait dengan presidensial, dibentuk uu terutama hub dan kedudukan yang berhub dengan hal2 tertentu. Tugasnya dirinci lebih lanjut itu yang perlu ada pengaturannya. Jadi lembaga saja yang diatur.
Seperti saat ini pernyataan presiden dan wakil presiden sering kali bertentangan 🡪 hal2 itulah yang perlu diatur dikaitkan dengan lembaga2 negara.
Presiden dibantu oleh wakil presiden 🡪 ini merupakan mandate, jadi tanggungjawab ada di presiden
Mentri diangkat oleh presiden bukanlah delegasi dan berbentuk instruksi, ini merupakan mandate, mentri bertanggungjawab kepada presiden.
Prof. Dr. I Made Subawa, SH.,MS
1. Konsep presidensil🡪 memperkuat tugas presiden
2. Kewenanagan presiden dan wakil presiden hub ini adalah mandate, ini akibat hukumya harus dipikirkan, 🡪 1 struktur,
3. Ada uu kepresidenan (UU terkait dengan tugas2, wewenang)
Ni Nyoman Mas Ariyani, SH.,MH
Kekuasaan eksekutifkutif🡪 Negara demokrasi terkait dengan pelaksanaan Negara
Seorang presiden dapat membagi tugasnya dengan wakil presiden, namun tugas yang dilimpahkan kepada mentri berbeda dengan tugas kepada wakil presiden.
Permasalahan
Apakah ada pembagian tugas kekuasaan eksekutifkutif Pasal 4 UUD dan Pasal 10 -15 🡪 kekuasaan Negara Mandatnya dimana
Kesimpulan Topik 3:
Persoalan tugas presiden dan wakil presiden dalam hal ini terkait dengan presidensial, dibentuk uu terutama hub dan kedudukan yang berhub dengan hal2 tertentu. Tugasnya dirinci lebih lanjut itu yang perlu ada pengaturannya. Jadi lembaga saja yang diatur.
Presiden dibantu oleh wakil presiden 🡪 ini merupakan mandate, jadi tanggungjawab ada di presiden
Mentri diangkat oleh presiden bukanlah delegasi dan berbentuk instruksi, ini merupakan mandate, mentri bertanggungjawab kepada presiden
Topik 4: Penguatan kewenangan DPR dalam Sistemem pemerintahan presidensil, serta langkah-langkah strategis untuk menjawab pertanyaan keberadaan DPD anatar keterpilihan dan keterwakilan dengan daerah
Dr. I Gusti Bagus Suryawan, SH.,MH
DPD adalah merupakan hal yang berkaitan dengan Pasal 22 UUD, amandemen risalah, adanya pro kontra,. UU 27 29 ini mengkerdilkan DPD, tidak memiliki hak inisiatif, dilakukan melalui DPR. PUU 92/2012 MK memberikan penegasan seharusnya DPD memiliki legislatiflasi, putusan MK itu diabaikan bahwa DPR akan merivisi UU no 17/2014.
DPD seharusnya memiliki keseimbangan dan kewenangan dari DPR, ada 1 UU usul inisiatif DPD 🡪 UU kelautan
Utusan daerah itulah yang menjadi DPD. DPD adalah sub ordinat dari DPR.
DPD tidak ikut dalam penyetujuan dan pemutusan suatu pembahasan, DPD hanya memberikan usulan saja, selanjutnya akan diselesaiakan dan diputuskan oleh DPR.
Putu Novarisna Wiyatna, SH.,MH
Lembaga perwakilan 🡪 MPR+DPR 🡪 perubahan ke 3 Kewenangan yang diberikan kepada DPD
- Memberikan usulan
- Kewenanagan Atribusi
Kewenangan yang dilakukan oleh DPD di daerah:
1. Mengajukan ususlan kepada DPR
2. Otonomi daerah
3. Pengembangan daerah
Kewenanagan yang diberikan kepada DPD timbul ketimpangan dengan DPR, DPD adalah adalah sub ordinat dengan DPR. Kewenanagan hanya sebatas pengantar musyawarah dan pendapat mini
Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH.,M.Kn.,LLM
Fungsi legislatiflasi, dilihat dari sisi keberadaan PDP, presiden memiliki kewenangan kepala Negara 🡪 DPD memiliki fungsi, melalui DPD ada keterwakilan masyarakata daerah, meskipun ada DPRD di daerah, sehingga anggap penting keberadaan DPD.
Kedudukan presiden keitanya sebagai kepala pemerintahan, DPD ada komite I-IV cukup luas, fungsinya membantu pekerjaan. Keberadaan DPD sangat diperlukan oleh presiden. Penguatan DPD perlu diperhatikan jika dikaitkan dengan system federal, namun berbeda dengan Negara kesatuan, hanya perlu diberikan ruang bagi DPD, tanpa memiliki kewenanagan seperti senat.
Tidak sama tugas DPR dan DPD, tidak sama tugas dan kewenangan. DPD lembaga yang paling tau kondisi di daerah.
DPD terkait dengan inspitmen, itu adalah terkaitnya dengan DPR yang saling mengisi. DPD dapat dihapuskan jika tidak ada.
Persoalan :
1. Kewenanagan DPD yang dimiliki oleh DPR mengenai inspitmen, apakah DPD diberikan, ini terkait juga terkait dengan pengangkatan duta dan konsul
Kesimpulan Topik 4:
Harus ada penguatan Pasal 21, Pasal 22.D UUD harus di kuatkan yang kaitannya dengan legislatiflasi, tetapi masih ada pembatasan bahwa DPD tidak dapat ikut sepenuhnya setiap UU, DPD dapat ikut penuh jika itu UU yang ada kaiatannya dengan DPD
DPD merupakan keterwakilan jadi tidak boleh ada unsur politik, bukan keterpilihan. Representasi regional, banyak anggota DPD yang anggota partai politik.
Topik 5: Desain Otonomi daerah dalam kerangka penegasan sistemem pemerintahan presidensial
Dr. I Nyoman Suyatna, SH.,MH
UUD NRI 1945, pasal 1 (1 dan 2) 🡪 penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD. Pemberian otonomi daerah ini interkait dengan penyelenggaraan presidensial
Dalam pemerintahan presidensial ada pemisahan kekuasaan terhadap eksekutifkutif, legislatiflatif dan yudikatif. Presiden pemegang kekuasaan pemerintahan Negara. presiden sebagai pimpinan kekuasaan Negara.
Otonomi daerah diberikan kepada daerah dapat dilihat dalam UUD, sesuai dengan ketentuan berdasarkan pada uu no 23/2014 pemda. Ada pemerintah pusat yaitu presiden yang dibantu oleh wakil dan mentri2 dalam kontek desentralisasi ada pemerintah daerah sebagai pelaksana di daerah. Desentralisasi dan dekonsentrasi sangat mendukung tetap terpeliharanya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Daerah dalam
perkembangan terakhir, pemerintah daerah dan DPRD dipilih melalui pemilihan. Bertolak dari pemberian kekuasaan otonomi daerah diberikan seluas-luasnya dalam mengurus pemerintahan bukan berarti berdiri sendiri. Urusan dalam Negara kesatuan tetap merupakan satu kesatuan. Presidensial bahwa presiden tetap memiliki kekuasaan yang kuat untuk menjadi pimpinan tertinggi.
Pemerintah daerah merupakan turunan dari pemerintah pusat. Dengan demikian pemerintah daerah adalah penyelenggara pemerintahan di daerah, seharusnya pemerintah daerah sejalan dengan apa yang menjadi beban dari pemerintah pusat. Seharusnya pemerintah daerah melaksanakan visi dan misi pemerintah pusat. Segala apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah merupakan pelaksana dari apa yang digariskan oleh pusat. Upaya2 itulah untuk menjadi satu visi dilaksanakan sesuai dengan presidensial. Otonomi jika diletakkan di kabupaten kota, sehingga terlihat provinsi tidak memiliki wilayah.
Mengenai UU no 23/2014, penyelenggaraan pemerintahan daerah
Dekonsentrasi terkait dengan tugas kekuasaan pemerintah daerah🡪. MPR mengakui hal tersebut.
I Ketut Ketut Sudiarta, SH.,MH
Ciri2 presidensial ada 4🡪 UUD
- Adanya masa jabatan
- Saling mengawasi dan mengimbangi
- Kepala Negara sekaligus menjadi kepala pemerintahan
- Tidak terganggunya interfensi eksekutifkutif oleh legislatiflatif
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH
Desain otonomi daerah, masih banyak persoalan2 yang muncul
- Kedudukan posisi eksekutifkutif lebih kuat dari pada saat ini ini dikaitkan dengan pemilihan gubernur.
Merujuk pada UU no 23/2014
Pola hub: uu 22/99, sejak dihapusnya PEMDA tk 1, 2, terlihat sejajar, dalam konteks memperkuat ini terkait dengan pemilukada, yang dipilih langsung oleh rakyat adalah gubernur, Bupati dipilih oleh DPRD yang dilantik oleh gubernur.
Mengenai otonomi 🡪 pemerintahan daerah di provinsi (Tingkat1) sehingga permasalahan semakin kuat hubungan dengan pola kerjanya.
Persoalan yang muncul:
1. Pemilihan kepala daerah🡪 dipilih langsung oleh rakyat 🡪 presood
2. Hub pusat dengan daerah keterkaitan presiden dengan daerah belum tampak, hub belum jelas, Karena saat ini terjadi presdiden susah mengundang gubernur dst, terlihat integritas kurang
3. Urusan masih pada pola yang ada saat ini, atau ada desain baru yang terkait dengan presidensil
4. Letak otonomi apakah masih seperti saat ini?
Prof Dr. I Made Subawa,SH., MH
Pasal 18 UUD tugas perbantuan dan otonomi daerah Dekontentrasi dan asas desentralisasi
Asas konkuren Asas absolut
Asas sub ordonansi
Letak otonomi tidak dilaksanakan, harus ada ketegasan hub antara gubernur dengan bupati,
Kesimpulan Topik 5:
Mengenai otonomi 🡪 pemerintahan daerah di provinsi (Tingkat1) sehingga permasalahan semakin kuat hubungan dengan pola kerjanya
Pola hub: uu 22/99, sejak dihapusnya PEMDA tk 1, 2, terlihat sejajar, dalam konteks memperkuat ini terkait dengan pemilukada, yang dipilih langsung oleh rakyat adalah gubernur, Bupati dipilih oleh DPRD yang dilantik oleh gubernur
Pemimpin Rapat : I Nengah Suantra, SH.,MH Fakultas Hukum Universitas,
NIP. 19561231 198403 1 011
DISKUSI PANEL ANTARA KELOMPOK PERTAMA DENGAN KELOMPOK KEDUA
Workshop ini kemudian dilanjuntukan dengan sesi Diskusi Panel bertajuk Penegasan Sistemem Presidensiil, yang dibuka oleh Moderator, I Ketut Sudiarta, S.H., M.H., yang kemudian mempersilahkan para wakil dari kelompok masing-masing untuk bersiap-siap yakni Prof. Dr. Ibrahim R., S.H., M.H., mewakili Kelompok Pertama serta I Nengah Suantra, S.H., M.H.
Dalam hal ini, moderator memberikan arahan bahwa sesi diskusi panel baru dibuka pada Pukul 13.30 WITA hingga Pukul 15.30 WITA. Dengan alokasi waktu dua jam tersebut, dan terdapat dua narasumber yang menyampaikan materi, dan moderator membagi waktu 15 menit pada masing-masing para Ketua Kelompok, dan sisa waktu kepada para peserta untuk diskusi. Diharapkan tidak terdapat silang pendapat yang tajam, dan tiga narasumber memberi pokok pikiran, selebihnya atau kurangnya dapat diperkuat oleh peserta, serta harapan dari moderator, agar sesi diskusi panel ini mendapat masukan yang lebih banyak dari narasumber yang berbeda maupun peserta.
Perwakilan Kelompok Pertama diwakili oleh Prof. Dr. Ibrahim R., S.H., M.H., memberikan penekanan terkait tema diskusi dengan hasil rekomendasi kelompok pertama yang terurai sebagai berikut :
SINKRONISASI REFORMULASI SISTEMEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL MODEL GBHN DENGAN SISTEMEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL
(Sudut Pandang Kajian Berdasarkan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945)*
Oleh :
Prof. Dr. I Made Subawa, S.H., M.S. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemikiran
Suatu kegiatan pembangunan, terlebih itu pembangunan nasional seharusnya ditentukan dasar, arah, tujuan, manfaat dan luarannya bagi pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Perencanaan pembangunan yang disusun memiliki : dasar, arah, tujuan serta manfaat yang berupa luaran dari hasil pembangunan tersebutlah sangat diharapkan sebagai perencanaan pembangunan nasional yang baik, terukur dan jelas tahapannya. Bangsa dan negara Indonesia di dalam melaksanakan pembangunan pernah menerapkan model GBHN dan telah berjalan dengan baik, (hemat penulis ambil sisi baiknya).Dipandang dari arah, wawasan dan perencanaan pembangunan di dalam negara kesatuan Republik Indonesia maka keberadaan model GBHN memiliki arti dan fungsi sangat penting di dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional sesuai yang tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUDNRI tahun 1945.
*) Disampaikan dalam Workshop kerjasama MPR RI dan Fakultas Hukum Universitas tanggal 15-16 September 2017 di Hotel Novotel Ngurah Rai Bali.
Dengan demikian sangat penting artinya adanya suatu haluan negara yang merupakan pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional secara berkesinambungan. Bila dilakukan identifikasi maka banyak hal yang menyangkut arah perencanaan dari haluan pembangunan bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia yang mestinya ditetapkan untuk jangka panjang. Dalam kesempatan yang baik ini saya akan mengemukakan hal- hal penting dan mendasar dari sudut disiplin ilmu yang saya tekuni yaitu Ilmu Hukum Tata Negara yang kiranya perlu dijadikan bahan dalam pertimbangn penyusunan “model GBHN” di dalam system Pemerintahan Presidensial.
1. Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia;
2. Pancasila sebagai pandangan hidup dan keperibadian bangsa Indonesia;
3. Pancasila sebagai dasar negara;
4. Pancasila sebagai Ilmu Hukum Tata Negara; dan
5. Pancasila sumber dari segala sumber hukum negara.
1.2. Landasan Teoritis
Di pandang dari idee hukum di dalam bernegara bahwa prinsip-prinsip dasar dari kedaulatan rakyat dan demokrasi telah diletakan di dalam Pancasila dan Pembukaan UUDNRI tahun 1945. Di dalam sila ke empat dari Pancasila telah diletakan ide dan prinsip dari demokrasi yakni : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Jadi dalam hal ini kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dilengkapi dengan landasan ide pemikiran yaitu : berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengenai idee kedaulatan rakyat dapat ditelusuri dalam alinea keempat UUDNRI tahun 1945 yaitu sebagai berikut :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusulah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Bila dilakukan kajian idee bernegara, idee hukum, idee kedaulatan rakyat dan idee demokrasi yang termaktub dalam alenia keempat Pembukaan UUDNRI tahun 1945 dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUDNRI tahun 1945 yang menentukan : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”, dan Pasal 1 ayat (3) UUDNRI tahun 1945 yang menentukan : “Negara Indonesia adalah negara Hukum”. Berdasarkan ketentuan dalam alenia keempat Pembukaan UUDNRI tahun 1945 dan ketentuan Pasal 1 ayat
(2) dan ayat (3) UUDNRI tahun 1945 seperti paparan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa Negara Hukum Indonesia menganut Supremasi Hukum, dalam hal ini Supremasi UUD/Konstitusi. Dalam kaitan dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, itu artinya kedaulatan rakyat dilaksanakan berdasarkan hukum yaitu hukum tertinggi dalam negara Indonesia adalah berbentuk UUDNRI tahun 1945. MPR sebagai lembaga negara dalam hal ini juga melaksanakan kedaulatan rakyat. Dalam rangka menjaga dan meluhurkan kedudukan UUDNRI tahun 1945 sebagai tertib hukum tertinggi dan sumber hukum
tertinggi di negara Indonesia dibentuklah peradilan Mahkamah Konstitusi. Di era sekarang ideology Pancasila disebut atau dimaknai sebagai ideology kerja, yakni kerja dalam artian proses pembangunan nasional harus dilandasi oleh spirit nilai-nilai Pancasila.
1.4.Medode Kajian
Metode kajian yang digunakan di dalam melakukan kajian terhadap kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar adalah kajian hukum normative. Kajian secara hukum normative terhadap kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD dilengkapi dengan pendekatan :
1.4.1. Pendekatan perundang-undangan;
1.4.2. Pendekatan Konsep hukum;
1.4.3. Pendekatan Filsafat hukum.
Berdasarkan tiga pendekatan tersebut sangat diharapkan dapat melakukan kajian dengan baik terhadap Pancasila sebagai Hukum Tata Negara Indonesia dan kajian terhadap hakekat Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pendekatan norma Undang-undang dalam hal ini akan ditelusuri ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUDNRI tahun 1945. Pertama, apa hakekat kajian dari kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedua, apa hakekat Indonesia sebagai negara hukum. MPR sebagai lembaga negara apakah juga sebagai pelaksana dari kedaultan rakyat, oleh karena itu MPR memiliki wewenang menyusun GBHN. Kewenangan yang dimiliki MPR diperkuat dengan dimasukannya Ketetapan MPR sebagai peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.12 tahun 2011. Mengenai pendekatan konsep hukum dan fisafat hukum ditelusuri dalam Pancasila dan Pembukaan UUDNRI tahun 1945, Khususnya sila keempat dan alenia keempat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kajian Pancasila sebagai dasar negara dan Hukum Tata Negara Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai hukum tata negara Indonesia kajiannya harus berdasarkan kajian ilmu hukum. Melakukan Kajian terhadap ilmu hukum adalah kajian yang bersifat khas, oleh karena itu kajian terhadap ilmu hukum disebut pula kajian ilmu hukum yang memiliki sifat “Sui Generis”(Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati : h. 1). Sebagai ilmu yang memiliki sifat “Sui Generis” baik menyangkut obyek kajiannya maupun metodenya. Artinya dalam melakukan kajian terhadap ilmu hukum tidak begitu saja dapat menggunakan metode kajian ilmu lain. Inilah ciri khas dari ilmu hukum memilki medote kajian tersendiri sehingga sering juga disebut bahwa ilmu hukum memiliki keperibadian sendiri.
Kajian Pancasila sebagai formula ideology (kebangsaan) mengenai dasar negara dituangkan dalam UUD 1945 (A.M.W.Pranarka, 1985 : h.320). Status Pancasila sebagai dasar negara sudah banyak dibahas, diantaranya :
1). Notonagoro dalam pidatonya berjudul :Beberapa Hal Mengenai Falsafah
Pancasila, mengemukakan bahwa Pancasila merupakan :
StaatfundamentaLembaga Negaraorm. (Notonagoro ,1970 : h.20);
2). A.Hamid S. Attamimi dalam makalah berjudul : Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia (1991);
3). Bung Karno dalam pidatonya mengatakan; bahwa Pancasila sebagai “Philosophische Grondslag” atau dasar filsafat yakni pikiran yang sedalam- dalamnya untuk di atasnya didirikan negara Indonesia.
(Kirdi Dipoyudo, 1984 : h.10)
Landasan kajian dan sudut pandang yang digunakan ke tiga sumber tersebut di atas beragam, namun kajian yang dibutuhkan adalah kajian yang tepat dalam menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dan Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Dikutif dari tulisan Philipus M. Hadjon, Pancasila sebagai dasar negara dan hukum tata negara, Menurut A.M.W.Pranarka memaparkan ada tiga tahap evolusi status Pancasila.
1. Ideologi kebangsaan mengenai dasar negara (BPUPKI);
2. Ideologi kebangsaan dituangkan menjadi dasar negara dalam konstitusi (18 Agustus 1945);
3. Fase kritik, dalam fase kritik ini terjadi eksplisitas status Pancasila sebagai dasar negara, sumber hukum dan ideology nasional.(A.M.W.Pranarka,1985 : h.320,321).
Dari paparan tersebut di atas tentang kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dapat dirinci sebagai berikut :
1. Bung Karno : Mengatakan Pancasila sebagai “Philosophische Grondslag”.
2. Notonagoro : Mengemukakan Pancasila sebagai “Staats Fundamental Norm”.
3. A.Hamid.S.Attamimi : Mengemukakan disamping sebagai Staatsfundamental norm”
atau “Grund Norm” dan Pancasila merupakan “Rechtsidee”.
Dari paparan di atas maka pendapat no.1 dan no.3 digunakan sebagai dasar kajian Pancasila sebagai Hukum Tata Negara.
Skema 1 : Pancasila sebagai Hukum Tata Negara dalam lapisan Ilmu Hukum
LAPISAN ILMU HUKUM PANCASILA
(PHILOSOPHISCHE GRUNDSLAG)
FILSAFAT HUKUM FILSAFAT HUKUM PANCASILA RECHTS IDEE PANCASILA
TEORI HUKUM TEORI HUKUM (PANCASILA)
DOGMATIK HUKUM DOGMATIK HUKUM PANCASILA
(ILMU HUKUM POSITIF INDONESIA)
HUKUM DAN PRAKTEK HUKUM HUKUM DAN PRAKTEK HUKUM (MEMBENTU DAN MENERAPKAN (MEMBENTUK DAN MENERAPKAN HUKUM PANCASILA) HUKUM PANCASILA)
Skema 2:
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN HUKUM TATA NEGARA
HUKUM TATA NEGARA BERLANDASKAN :
ASAS-ASAS ASAS-ASAS
NEGARA HUKUM DEMOKRASI
PANCASILA PANCASILA
MELAHIRKAN KONSEP MELAHIRKAN KONSEP
NEGARA HUKUM PANCASILA DEMOKRASI PANCASILA
KARAKTER NEGARA HUKUM PANCASILA
Skema 3 :
KEDUDUKAN HUKUM TATA NEGARA TERHADAP BIDANG HUKUM LAINNYA
PANCASILA SEBAGAI HUKUM TATA NEGARA BASIC LAW
HUKUM PERDATA HUKUM ADMINISTRASI HUKUM PIDANA BERSUMBER PADA BERSUMBER PADA BERSUMBER PADA PANCASILA PANCASILA PANCASILA
(Dikutif dari Philipus M. Hadjon, 1998 : h. 9,10,11).
2.2. Hakekat Kedaulatan berada di tangan Rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar
Landasan kajian mengenai hakekat kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dilakukan dari sudut pandang :
2.2.1. Landasan kajian berdasarkan Nilai-nilai Pancasila, khususnya nilai dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Kajian ini semestinya dilandasi dan diperkuat dengan pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai dari Pancasila secara utuh dan benar. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal terhadap pemahaman, penghayatan
dan pengamalan nilai-nilai Pancasila, harus dilakukan pengakajian berdasarkan “Filsafat Ilmu”. Apa ontology dari Pancasila, Apa axiology dari Pancasila dan Bagaimana Epistemologi kajian dari nilai-nilai Pancasila.
Kajian terhadap nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan tidak terpisah atau lepas dari nilai-nilai yang lainnya dalam Pancasila. Jadi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip inilah yang menjadi landasan dalam proses pembangunan nasional yang mengemuka sekarang dengan sebutan “ bahwa spirit ideology Pancasila sebagai landasan kerja”.
2.2.2. Landasan kajian berdasarkan idee bernegara dan berbangsa yang diletakan dalam Pembukaan UUDNRI tahun 1945, khususnya idee …” berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam konteks ini sangat jelas dikehendaki bahwa hakekat kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, pemahaman dan pelaksanaannya dilandasi oleh nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, yakni dilandasai oleh nilai-nilai : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
MPR sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat dan sebagai lembaga negara juga ikut mengemban kedaulatan rakyat menurut Undang-Undang Dasar.
2.2.3. Landasan kajian berdasarkan ketentuan hukum tertinggi dalam negara
hukum Indonesia (Periksa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Propinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Ketentuan hukum dalam UUDNRI tahun 1945 yang digunakan mengkaji “Hakekat Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
1. Teori hierarki Peraturan perundang-undangan yang menempatkan kedudukan UUD pada tempat tertinggi (supreme), periksa Pasal 7 ayat (1) UU No.12 tahun 2011.
2. Prinsip-prinsip negara hukum.(Pasal 1 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945.
3. Teori kewenangan/kekuasaan (“Rectahunsmag”).
4. Prinsip yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUDNRI tahun 1945 yakni : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar”.
Hemat saya ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUDNRI tahun 1945 sudah tepat, oleh karena sudah menempatkan prinsip supremasi hukum (Supremasi UUD) dan tidak lagi menganut supremasi MPR. Walaupun MPR tidak lagi memegang kekuasaan tertinggi (supreme), namun MPR sebagai lembaga negara juga menjalankan
“kedaulatan rakyat” karena printah Undang-Undang Dasar. Sebagai lembaga negara dan menjalankan kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar, hemat pemikiran saya dalam hal inilah MPR mengemban fungsi menyusun model GBHN sebagai dasar, arah, tujuan dan tahapan dari perncanaan pembangunan Nasional. Apalagi ketetapan MPR sudah menjadi peraturan perundang-undangan (Pasal 7 ayat (1) UU No.12 tahun 2011), hal inilah digunakan sebagai dasar hukum penyusunan “model GBHN”. Reformulasi system perencanaan pembangunan Nasional Model GBHN harus sikron dengan Sistemem Presidensial.
BAB III
SINKRONISASI REFORMULASI SISTEMEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL MODEL GBHN DENGAN SISTEMEM PRESIDENSIAL
Melakukan kajian mengenai “Penataan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan system Perencanaan Pembangunan Nasional model GBHN, maka kajiannya seharusnya diawali dari sudut pandang : kedudukan, kewenangan, dan fungsi MPR RI kemudian diformat berdasarkan spirit dan idee bernegara yang terkandung dalam Pancasila dan UUDNRI tahun 1945. Kajian mengenai kedudukan, kewenangan dan fungsi dari Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan spirit nilai-nilai Pancasila dan idee bernegara yang terkandung dalam UUDNRI tahun 1945, terutama idee yang terkandung dalam Pembukaannya merupakan hal yang sangat mendasar untuk memposisikan MPR dalam perencanaan pembangunan nasional. MPR RI sebagai lembaga negara adalah memiliki wewenang untuk melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan UUD.(Pasal 1 ayat (2) UUDNRI tahun 1945). Dalam struktur ketatanegaraan negara republic Indonesia MPR RI
berkedudukan sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat dan sebagai lembaga negara yang berwenang melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan UUD, maka menurut hemat pemikiran saya berdasarkan kedudukan yang demikian MPR RI memiliki wewenang :
1. Menetapkan model GBHN bersama-sama Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota), DPRD, Perguruan Tinggi, dan unsur daerah yang lainnya. Inti dari model GBHN adalah meletakkan : dasar, arah, tujuan, yang terukur dari tahapan perencanaan pembangunan nasional.
2. Berdasarkan model GBHN maka diharapkan ada sinkronisasi dan harmonisasi dari tahapan pembangunan nasional yang jelas dan terukur.
3. Sinkronisasi dan harmonisasi terutama dalam tahapan : RPJPN, RPJMN dan RPJMD termasuk RPJMDES.
4. Sinkronisasi dan harmonisasi yang dimaksud dalam tahapan : RPJPN, RPJMN, RPJMD daan RPJMDES adalah dalam pelaksanaan system Presidensial di dalam Negara Kesatuan republic Indonesia.
5. Jadi pelaksanaan pembangunan Nasional harus sinkron antara pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah dan desa.
Berdasarkan pemikiran tersebut akhirnya saya berpendapat : bahwa suatu kegiatan pembangunan, terlebih itu pembangunan nasional seharusnya ditentukan terlebih dahulu mengenai dasar, arah, tujuan, manfaat dan luarannya bagi pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Perencanaan pembangunan yang disusun memiliki : dasar, arah, tujuan
serta manfaat yang berupa luaran dari hasil pembangunan tersebutlah nantinya sangat diharapkan sebagai perencanaan pembangunan nasional yang baik, terukur dan jelas tahapannya dalam model GBHN. Sejarah ketatanegaraan negara Republik Indonesia mencatat bahwa; Bangsa dan negara Indonesia di dalam melaksanakan pembangunan pernah menerapkan model GBHN dan telah berjalan dengan baik, (ambil sisi baiknya dari GBHN dulu).
Dipandang dari arah, wawasan dan perencanaan pembangunan di dalam negara kesatuan Republik Indonesia maka keberadaan model GBHN memiliki arti dan fungsi sangat penting di dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional sesuai yang tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUDNRI tahun 1945. Dengan demikian sangat penting artinya adanya suatu haluan negara yang merupakan pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional secara berkesinambungan. Bila dilakukan identifikasi maka banyak hal yang menyangkut arah perencanaan dari haluan pembangunan bangsa dan Negara Nesatuan Republic Indonesia yang mestinya ditetapkan untuk jangka panjang, (menyangkut “IPOLEKSOSBUDHUHAMKAMNAS”). Dalam kesempatan yang baik ini saya akan mengemukakan hal-hal penting dan mendasar dari sudut disiplin ilmu yang saya tekuni yaitu Ilmu Hukum Tata Negara yang kiranya perlu dijadikan bahan dalam pertimbangn penyusunan “model GBHN” ke depan sebagai dasar perencanaan pembangunan nasional di dalam negara hukum Pancasila, yakni sebagai berikut :
1. Meletakkan prinsip-prinsip dasar mengenai “Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya”.
2. Meletakkan dasar-dasar pencerahan mengenai spirit nilai-nilai Pancasila sebagai karakter jiwa bangsa Indonesia.
3. Meletakkan dasar-dasar pemahaman, penghayatan dan pengamalan dari nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup dan keperibadian bangsa Indonesia;(ambil sisi baik dari pola P4 dulu).
4. Meletakkan dasar, arah, tujuan, manfaat dari kajian Pancasila sebagai dasar negara hukum Republik Indonesia.
5. Meletakkan dasar, arah, tujuan, manfaat dan fungsi kajian Pancasila sebagai Ilmu Hukum Tata Negara.
6. Meletakkan dasar, arah, tujuan, manfaat Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan dalam penerapan peraturan perundang-undangan.
7. Alasan dikemukakan pemikiran tersebut, oleh karena “Indonesia adalah Negara Hukum” yang berdasarkan Pancasila. Hal inilah seharusnya mendapat kajian yang mendalam dan sungguh- sungguh dalam rangka pembangunan bangsa dan negara Indonesia.
Kembali saya tegaskan dalam tulisan ini bahwa Prinsip-prinsip yang sangat penting tersebut dikaji dalam rangka menempatkan “model GBHN” sebagai : dasar,arah, tujuan dari pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu menurut hemat saya pengkajiannya dilakukan secara mendalam dan sungguh- sungguh dari sudut pandang :
1. ONTOLOGI “MODEL GBHN” (Apakah hakekat model GBHN itu?)
2. AKSIOLOGI “MODEL GBHN” (Untuk apakah model GBHN itu, dalam arti apa manfaatnya ?)
3. EPISTEMOLOGI “MODEL GBHN” (Bagaimana cara/metode pelaksanaannya dari model GBHN itu ?)
a. Landasan ideal.
b. Landasan Konstitusional.
c. Landasan Oprasional.
d. Jangka waktu model GBHN. (10 tahun atau berapa tahun…….)
e. Tahapan pelaksanaan dan pertanggungjawaban model GBHN.(1 tahun, 5 tahun atau…….tahun).
4. Apakah Ketetapan MPR RI Peraturan Perundang-undangan ? Seharusnya “ya”, oleh karena Ketetapan MPR RI ditempatkan pada urutan kedua dalam hierarkie Peraturan Perundang-undangan. (Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
5. Apakah dasar, arah, tujuan dan tahapan dari pembangunan nasional sudah sinkron dalam bentuk : RPJPN (dasarnya UU), RPJMN (dasarnya visi,misi Presiden), dan RPJMD (dasarnya visi,misi Gubernur/Bupati/Walikota). Persoalan ini memerlukan kajian yang sungguh-sungguh dan mendalam karena menyangkut tujuan hidup bernegara sesuai spirit Pancasila dan idee bernegara seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUNRI tahun 1945.
Dalam rangka melakukan kajian terhadap hakekat Pancasila kaitannya dengan kajian model GBHN, maka dilakukan kajian Pancasila sebagai dasar negara dan Pancasila sebgai Hukum Tata Negara. Menempatkan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, itu artinya dilakukan kajian terhadap Pancasila sebagai Hukum Tata Negara Indonesia. Melakukan kajian terhadap Pancasila sebagai Hukum
Tata Negara Indonesia, maka akan lahirlah dua asas yang sangat fundamental dalam kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Kedua asas yang fundamental dimaksud adalah : pertama, “asas-asas Negara hukum Pancasila”, dan kedua, “asas-asas demokrasi Pancasila”. Asas-asas negara hukum Pancasila akan melahirkan konsep negara hukum Pancasila, dan asas-asas demokrasi Pancasila akan melahirkan konsep demokrasi Pancasila.(Philipus M. Hadjon,h.10). Menurut hemat saya prinsip- prinsip negara hukum Pancasila dan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila tersebut merupakan dua hal yang sangat mendasar sifatnya di dalam membangun system ketatanegaraan negara Hukum Pancasila. Khusus yang berkaitan dengan pembangunan hukum Nasional, maka kajian terhadap ketentuan Pasal 2 Undang- Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menentukan bahwa :”Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara”, hendaknya dilakukan dengan benar pula.
Semua ketentuan tersebut sangat membutuhkan keakhlian (“ARS”) yang berbesik pada ilmu hukum hkususnya keahlian dalam Ilmu Hukum Tata Negara untuk melakukan kajian Pancasila sebagai dasar negara Hukum Indonesia. Hemat pemikiran saya kajian terhadap Pancasila sebagai Hukum Tata Negara Indonesia harus dilakukan dengan benar (termasuk di dalamnya melakukan kajan Pancasila sebagai Ilmu Hukum dalam arti yang Luas). Setelah melakukan kajian Pancasila sebagai Hukum Tata Negara tersebut final, barulah melakukan kajian terhadap “Prinsip kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar”, dan bagaimana kewenangan MPR sebagai lembaga negara dalam melaksanakan kedaulatan rakyat.
Pemikiran ini diajukan oleh karena Indonesia adalah Negara hukum. Dalam hal ini kajiannya adalah Indonesia sebagai negara hukum Pancasila. Sebagai negara hukum Pancasila maka harus mengutamakan/berdasarkan prinsip-prinsip hukum yaitu:
1. Mengutamakan keadilan;
2. Mengutamakan Kemanfaatan (kesejahteraan rakyat); dan
3. Mengutamakan Kepastian hukum.
Oleh karena UUDNRI tahun 1945 adalah sebagai ketentuan hukum tertinggi dalam negara hukum Pancasila, maka pelaksanaan kedaulatan berada di tangan rakat itu dilaksanakan berdasarkan UUD, dalam kontek hal itu menurut hemat saya negara Indonesia menganut “supremasi UUD”, bukan “supremasi MPR”, tetapi MPR sebagai lembaga negara juga sebagai pelaksana kedaulatan rakyat menurut Undang-Undang Dasar.
Bila diidentifikasi maka MPR adalah :
1. Sebagai lembaga “Majelis Permusyawaratan Rakyat”;
2. Sebagai lembaga negara pelaksana kedaulatan rakyat menurut UUD;
3. Memiliki Ketetapan MPR yang merupakan peraturan perundang- undangan;
4. Ketiga hal tersebut dapat digunakan sebagai dasar kewenangan MPR dalam penyusunan perencanaan pembangunan nasional seperti “model GBHN”.
Dalam rangka mewujudkan sinkronisasi pelaksanaan Pembangunan Nasional antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah dan desa, maka menurut hemat saya “Sistemem Pemerintahan Presidensial” harus dipertegas di dalam UUDNKRI tahun 1945.
BAB IV
PENEGASAN DAN PENGUATAN SISTEMEM PRESIDENSIIL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
4.1. Latar Belakang Pemikiran Penegasan dan Penguatan system Presidensial
Undang-Undang Dasar atau Konstitusi merupakan bentuk dasar pengaturan mengenai dasar Negara, bentuk Negara, bentuk Pemerintahan, karakter Negara (hukum), karakter demokrasi, system Pemerintahan dan hal-hal yang bersifat mendasar lainnya. Undang- Undang Dasar 1945 baik sebelum amandemen maupun setelah amandemen menurut pemahaman penulis belum mengatur secara jelas dan pasti mengenai :
a. dasar Negara Pancasila.
b. bentuk Negara Kesatuan.
c. bentuk pemerintahan Republik.
d. Karakter Negara hukum Pancasila.
e. Karakter Demokrasi Pancasila.
f. System pemerintahan Presidensiil.
g. Dan hal-hal mendasar lainnya.
Dalam kaitan hidup berbangsa dan bernegara hukum di Indonesia Bung Karno sudah meletakkan “Pancasila sebagai Filosophisce Grongslag” yakni Pancasila sebagai landasan dasar filsafat di mana di atasnya dibangun bangsa dan Negara Indonesia. Prinsip ini belum dipahami dengan baik pada tataran konsep maupun dalam tataran peraktek. Dalam rangka melakukan kajian yang bersifat mendasar menuju karakter Negara hukum Pancasila di Indonesia, seharusnya prinsip Pancasila sebagai dasar Negara yang melahirkan dua prinsip yang sangat mendasar di
Indonesia dilakukan kajian secara sungguh-sungguh. Kedua prinsip yang dimaksud adalah :
1). Prinsip Negara Hukum Pancasila; dan 2). Prinsip Demokrasi Pancasila.
Berdasarkan kedua prinsip tersebut yaitu prinsip Negara hukum Pancasila dan prinsip demokrasi Pancasila maka lahirlah identitas kepribadian bangsa Indonesia di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam penegasan dan penguatan terhadap system pemerintahan Presidensiil. Berdasarkan pemahaman dan pengamatan Penulis mengenai system Presidensiil di Indonesia memang penting adanya penegasan dan penguatan baik tataran konsep, pengaturan dalam Undang-Undan Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 maupun dalam tataran praktek. Oleh karena itulah Penulis sangat setuju dengan agenda Workshop, dan menurut hemat penulis hal ini merupakan persoalan yang sangat prinsip dan mendasar dalam menata system Pemerintahan Presidensiil di negara Hukum Pancasila.
4.2. Tujuan dan manfaat
a. Kajian dalam tulisan ini bertujuan untuk mendapatkan konsep pemikiran bahwa pentingnya penegasan dalam arti pengaturan “Sistemem Presidensiil di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.
b. Berdasarkan ketegasan pengaturan system Presidensiil di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka pemikiran penulis hal tersebut akan bermanfaat di dalam memperkuat system Pemerintahan Presidensiil di dalam praktek.