SKRIPSI
KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN ANTARA PT. JASA MARGA (PERSERO) TBK., PT. BANK MANDIRI (PERSERO) TBK. DAN KONSUMEN PENGGUNA E-TOLL CARD MANDIRI
SKRIPSI
Oleh : ANGGITA XXXXX XXXXX
NIM : 16410307
PROGRAM STUDI (S1) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2020
KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN ANTARA PT. JASA MARGA (PERSERO) TBK., PT. BANK MANDIRI (PERSERO) TBK. DAN KONSUMEN PENGGUNA E-TOLL CARD MANDIRI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana (Strata-1) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
Oleh:
XXXXXXX XXXXX XXXXX
No. Mahasiswa: 16410307
PROGRAM STUDI (S1) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2020
ii
KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN ANTARA PT. JASA MARGA (PERSERO) TBK., PT. BANK MANDIRI (PERSERO) TBK. DAN KONSUMEN PENGGUNA E-TOLL CARD MANDIRI
Telah diperiksa dan disetujui Dosen Pembimbing Tugas Akhir untuk diajukan ke depan TIM Penguji dalam Ujian Tugas Akhir / Pendadaran
pada tanggal 10 November 2020
Yogyakarta, 10 Oktober 2020 Dosen Pembmbing Tugas Akhir,
Bagya Xxxxx Xxxxxxx, S.H., M.Hum., Ph.D.
iii
SURAT PERNYATAAN
ORISINALITAS KARYA TULIS ILMIAH BERUPA TUGAS AKHIR MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Yang bertandatangan dibawah ini saya:
Nama : XXXXXXX XXXXX XXXXX
No. Mahasiswa 16410307
Adalah benar benar Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah melakukan Penulisan Karya Ilmiah (Tugas Akhir) berupa Skripsi yang berjudul:
KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN ANTARA PT. JASA MARGA (PERSERO) TBK., PT. BANK MANDIRI (PERSERO) TBK. DAN KONSUMEN PENGGUNA E-TOLL CARD MANDIRI
Karya ilmiah ini akan saya ajukan kepada tim penguji dalam ujian pendadaran yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini Saya menyatakan:
1. Bahwa karya tulis ilmiah ini adalah benar benar karya saya sendiri yang dalam penyusunanya tunduk dan patuh terhadap kaidah, etika, dan norma norma penulisan sebuah karya tulis ilmiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2. Bahwa saya menjamin hasil karya ilmiah ini benar-benar Asli (Orisinil), bebas dari unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai melakukan perbuatan
iv
v
CURICULUM VITAE
Nama Lengkap : Anggita Xxxxx Xxxxx
Tempat Lahir : Bantul
Tanggal Lahir : 18 Agustus 1997
Jenis Kelamin : Perempuan
Golongan Darah : B
Alamat Terakhir : Jl. Parangtritis Km 12.5, Ngaglik RT. 12,
Patalan, Jetis, Bantul, Yogyakarta
Alamat Asal : Jl. Parangtritis Km 12.5, Ngaglik RT. 12, Patalan, Jetis, Bantul, Yogyakarta
Identitas Orang Tua/Wali :
a. Nama Ayah : Pramana, X.X., X.X.
Pekerjaan Ayah : Pegawai Negeri Sipil
b. Nama Ibu : Xxx Xxxxxx, S.T., M.P.H. Pekerjaan Ibu : Pegawai Negeri Sipil
Alamat Orang Tua : Jl. Parangtritis Km 12.5, Ngaglik RT. 12,
Patalan, Jetis, Bantul, Yogyakarta
Riwayat Pendidikan :
a. SD : SDN Bantul Timur
b. SLTP : SMPN 1 Bantul
c. SLTA : SMAN 1 Jetis Bantul Organisasi :
1. Fungsionaris MEDKOMINFO Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (2017/2018)
2. Badan Sekretariat Jendral Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (2018/2019)
Yogyakarta, 06 September 2020 Xxxx Xxxsangkutan,
(XXXXXXX XXXXX XXXXX)
MOTTO
“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”
(Q.S Al-Baqarah 2 : 286)
“Work hard until you no longer need to introduce yourself” (Xxxxxx Xxxxxxx)
“Be the hero of your own movie.” (Xxx Xxxxx)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan khusus Kepada kedua Orang Tuaku tercinta,
Kakakku tersayang,
Seluruh Keluarga Besarku, Xxxxxxx-sahabat seperjuanganku,
dan Almamaterku, Universitas Islam Indonesia.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, ungkapan yang bisa penulis haturkan kepada sang pemilik kuasa ALLAH SWT, atas izin dan ridhanya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berujudul “Konstruksi Hukum Perjanjian antara PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. dan Konsumen Pengguna E-Toll Card Mandiri”. Tak lupa shalawat beserta salam kepada baginda Xxxx Xxxxxxxx XXX, keluarga, sahabat dan pengikut beliau.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan akademis dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1) Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Sebagaimana manusia lainnya, penulis menyadari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima untuk kemajuan proses belajar penulis kelak dikemudian hari.
Pada kesempatan kali ini pula penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. ALLAH SWT, karena berkat rahmat, hidayah dan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan lancar;
2. Kedua orang tua tercinta, Pramana dan Sri sudewi yang selalu memotivasi, tiada henti untuk mendoakan dan membantu penulis dengan ketulusan hati untuk berjuang dalam menuntut ilmu dan meraih pendidikan yang tinggi;
3. Kakak penulis tersayang, Xxxxx X. X. yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi;
4. Xxxxx Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, S.H., M.Hum., Ph.D selaku dosen pembimbing penulis yang dengan sabar dan ketekunan memberikan pengarahan kepada penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini;
5. Bapak Xx. Xxxxx Xxxxx X.X., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia;
6. Sahabat-sahabatku tersayang yang selalu ada dan menyemangati, menemani, mendukung dan menerima apa adanya penulis, Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxx Xxx X.;
7. Seluruh kawan-kawan penulis yang telah memberikan dukungan dan menyemangati, Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Xxxxxx Xxx, Findi Sridira, Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx M., Xxxxxxx Xxxxxx, Xxxxxxxxx Xxxxxx, dll.
8. Teman-teman seperjuangan KKN Unit 46 Demangan Klaten, Kepanitiaan PESTA 2017 Divisi Keamanan, Kepanitiaan D’CASE 2017 dan 2018, Lembaga Eksekutif Mahasiswa periode 2017/2018.
9. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut berpatisipasi dalam penulisan skripsi ini, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 06 September 2020
(XXXXXXX XXXXX XXXXX)
NIM : 16410307
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL I
HALAMAN PENGAJUAN II
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING III
HALAMAN PERNYATAAN ORISINAL KARYA TULIS iv
HALAMAN CURRICULUM VITAE vi
HALAMAN MOTTO vii
HALAMAN PERSEMBAHAN viii
KATA PENGANTAR iIX
DAFTAR ISI XII
ABSTRAK xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 10
C. Tujuan Penelitian 11
D. Manfaat Penelitian 11
E. Orisinalitas Penelitian 12
F. Tinjauan Pustaka 14
G. Definisi Operasional 16
H. Metode Penelitian 17
I. Sistematika Penulisan 21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERLINDUNGAN KONSUMEN, PEMBAYARAN NON TUNAI
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 23
1. Pengertian perjanjian 23
2. Bentuk-bentuk Perjanjian 26
3. Unsur-unsur Perjanjian 28
4. Syarat Sah Perjanjian 31
5. Asas-asas Hukum Perjanjian 34
6. Konstruksi Hukum dan Perjanjian 38
B. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen 40
1. Pengertian Perlindungan Konsumen 40
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen 45
3. Hak dan Kewajiban Konsumen 48
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 53
C. Tinjauan Umum tentang Pembayaran Non Tunai 58
1. Pengertian Pembayaran Non Tunai 58
2. Mekanisme Pembayaran Non Tunai 59
3. Regulasi Pembayaran Non Tunai 61
4. Peran PT. Jasa Marga Tbk. dalam Pembayaran Non Tunai 62
5. Penggunaan E-Toll Card dalam Pembayaran Non Tunai 63
BAB III KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN ANTARA PT. JASA MARGA (PERSERO) TBK., PT. BANK MANDIRI (PERSERO) TBK. DAN PENGGUNA E-TOLL CARD MANDIRI
A. Konstruksi Hukum Perjanjian antara PT. Jasa Marga, Bank Mandiri dan Pengguna E-Toll Card Mandiri 65
B. Perlindungan Konsumen atas Penggunaan E-Toll Card Mandiri 74
C. Perspektif Hukum Islam mengenai Konstruksi Hukum Perjanjian dan Perlindungan Konsumen atas Penggunaan E-Toll Card 81
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 89
B. Saran 91
DAFTAR PUSTAKA 93
ABSTRAK
Kelancaran lalu lintas di jalan tol dipengaruhi oleh waktu pelayanan yang diberikan kepada pengemudi saat mereka mengambil tiket di gardu/loket gerbang keluar tol saat membayar biaya administrasi yang dikenakan kepada pengguna jalan tol. Pada setiap jalan tol terdapat Gerbang Tol Otomatis (GTO), yang mana GTO tersebut dapat memudahkan para pengguna jalan tol untuk melakukan transaksi pembayaran hanya menggunakan electronic toll (e-toll) card. Sebagai upaya meningkatkan pelayanan transaksi di gardu tol, PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk telah bekerja sama dengan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. untuk mengimplementasikan e-Toll Card yang dilakukan secara bertahap di semua jalan tol. Terlepas dari nilai lebih layanan transaksi tol menggunakan e-toll card, masalah keamanan dan risiko masih mengganjal dalam transaksi menggunakan e-toll card. Perlu adanya jaminan kepastian hukum terhadap perlindungan konsumen pengguna e- toll card. Berangkat dari hal tersebut, maka muncul pertanyaan : Bagaimana konstruksi hukum perjanjian antara PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., dengan pengguna e-toll card Mandiri? Serta bagaimana perlindungan konsumen atas penggunaan e- toll card Mandiri?. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif yang bersifat kualitatif. Data penelitian didapatkan melalui data- data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga
memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya serta melalui pernyataan dari narasumber yaitu Xxxxx Xxxxxx, Manajer Tol Surabaya-Mojokerto PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk dan Xxxx Xxxxxx, Area Operations Manager di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. yang dimuat dalam surat kabar elektronik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, secara deskriptif kualitatif, apa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum sepenuhnya terealisasikan terutama dalam pelayanan dan hak-hak konsumen. Mengenai konstruksi hukum perjanjian antara pelaku usaha yang dalam hal ini merupakan PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk. dan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. dengan konsumen pengguna e-toll card Mandiri, perlu adanya perubahan aturan dikarenakan peraturan awal dalam perjanjian antar PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk. dan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. tersebut memiliki batas waktu serta dikarenakan adanya penghapusan kerjasama secara eksklusif.
Kata kunci : E-Toll Card, Konstruksi Hukum, Perjanjian, Perlindungan Konsumen
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebutuhan masyarakat di beberapa kota besar akan mobilitas semakin meningkat. Mobilitas tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan akan sarana prasarana guna menunjang berkembangnya negara. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan pembangunan sarana prasarana berupa jalan. Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan.1 Terdapat berbagai macam jalan, salah satu diantaranya adalah jalan tol. Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.2 Jalan tol merupakan bagian dari jalan bebas hambatan yang pada dasarnya merupakan jalan alternatif dimana disyaratkan harus tersedia jalan umum non-tol untuk memberikan pilihan kepada pengguna. Jalan tol di lihat dari fungsinya, memberikan alternatif bagi pelaku perjalanan untuk menghemat waktu tempuh, serta menikmati tingkat pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan jalan non-tol, keuntungan ini dikompensasikan dengan keharusan mengeluarkan biaya tambahan, dimana pengguna jalan non-tol dibebaskan dari tarif. Pembangunan jalan tol dimaksudkan untuk mewujudkan
1 xxxx://xxxxxxx.xxxxxx.xx.xx/000/0/XXX%00XX.xxx diakses pada tanggal 17 Oktober 2019, pukul 09.15 wib
2 Lihat ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 tentang
Jalan Tol
pemerataan pembangunan, meningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat perkembangannya.
Kelancaran lalu lintas di jalan tol dipengaruhi oleh waktu pelayanan yang diberikan kepada pengemudi saat mereka mengambil tiket di gardu/loket gerbang keluar tol saat membayar biaya administrasi yang dikenakan kepada pengguna jalan tol. Berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa jalan tol tidak sepenuhnya bebas hambatan. Antrian panjang kendaraan di ruas jalan tol seringkali terjadi karena imbas dari antrian panjang gerbang tol. Beberapa literatur yang membahas mengenai permasalahan panjangnya antrian di gerbang tol menyebutkan bahwa antrian panjang di gerbang tol terjadi oleh karena adanya tingkat kedatangan kendaraan yang menuju ke gerbang tol tidak seimbang dengan tingkat pelayanan di gardu-gardu pelayanan. Antrian akan selesai atau kendaraan tidak lagi mengalami antrian pada saat satuan pelayanan sudah seimbang dengan lama waktu kedatangan. Lama waktu kumulatif yang dialami oleh kendaraan seperti diatas merupakan kerugian waktu produktif yang terbuang bagi para pengguna jalan.
Jalan tol merupakan bagian sistem jaringan jalan bebas hambatan yang mana penggunanya diwajibkan untuk membayar tol. Pada setiap jalan tol terdapat Gerbang Tol Otomatis (GTO), yang mana GTO tersebut dapat memudahkan para pengguna jalan tol untuk melakukan transaksi pembayaran hanya menggunakan electronic toll (e-toll) card. E-Toll Card
memiliki fungsi untuk bertransaksi menggantikan uang tunai sebagaimana pada hakikatnya e-toll card merupakan bentuk uang elektronik itu sendiri.
Sebagai upaya meningkatkan pelayanan transaksi di gardu tol, PT. Jasa Marga (Persero) Tbk telah bekerja sama dengan Bank Mandiri untuk mengimplementasikan e-Toll Card yang dilakukan secara bertahap di semua jalan tol sejak 2009. PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. terus berupaya untuk meningkatkan penggunaan e-toll card dengan memperluas akses perbankan selain Bank Mandiri. PT. Jasa Marga (Persero) Tbk melakukan kerjasama dengan tiga bank BUMN lainnya yaitu BRI, BTN dan BNI, untuk penerbitan dan penggunaan e-Toll Card. Upaya perluasan penggunaan e-Toll Card ini terus dilakukan yang bertujuan agar pemakaian e-Toll Card dapat semakin meningkat.
Kebijakan peraturan penggunaan transaksi tol non tunai di jalan tol disebutkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia Nomor 16/PRT/M/2017 tentang transaksi Tol Non Tunai di Jalan Tol di Jalan Tol, Pasal 6 ayat (1) dan ayat
(2) menjelaskan bahwa : 3
(1) Penyelenggaraan Transaksi Tol Non Tunai di Jalan Tol dilakukan dengan tahapan:
a. Penerapan Transaksi Tol Non Tunai sepenuhnya di seluruh jalan tol per 31 Oktober 2017; dan
3 Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 16/PRT/M/2017 tentang Transakasi Tol Non Tunai Di Jalan Tol.
b. Penerapan transaksi yang sepenuhnya menggunakan teknologi berbasis nirsentuh per 31 Desember 2018.
(2) Pada saat penerapan Transaksi Tol Non Tunai sepenuhnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberlakukan, seluruh ruas jalan tol tidak menerima transaksi tunai.
Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Menteri PUPR RI No. 16/PRT/M/2017 tersebut diatas, maka transaksi pada setiap pintu tol sudah mulai diberlakukan sistem transaksi non tunai secara bertahap pada setiap jalan tol yang berada di Indonesia. Hal tersebut tentu membuat setiap pengguna atau konsumen jalan tol diwajibkan memiliki e-toll card untuk dapat melakukan pembayaran pada setiap pintu tol. Tujuan dari diberlakukannya sistem pembayaran non tunai oleh pemerintah agar meningkatkan pelayanan terhadap pengguna jalan tol sehingga transaksi di jalan tol menjadi lebih efektif, efisien, aman dan nyaman.
Transaksi non tunai di gerbang tol adalah jenis transaksi yang menggunakan teknologi kartu elektronik dimana kartu ini diterbitkan baik oleh bank dan/atau lembaga keuangan non-bank yang telah mendapat perijinan. Berdasarkan ketentuan tersebut, muncul beberapa opsi mengenai produk kartu elektronik yang ditawarkan kepada pengguna jalan tol seperti Mandiri e-Toll Card, BNI Tap Cash, BCA Flazz, BRI Brizzi dan BTN Blink. Untuk mendapatkan kartu elektronik ini, pengguna jalan tol harus mengikuti persyaratan yang sudah ditetapkan oleh penerbit terutama terkait dengan harga pembelian kartu elektronik tersebut. Biaya pembelian
kartu elektronik ini akan dipotong dari saldo yang diisi sewaktu konsumen kartu elektronik mengisi saldo. Sebagai contoh; jika pengguna jalan tol memilih untuk membeli kartu Mandiri e-Toll maka pengguna akan mengeluarkan sejumlah uang Rp 20.000,00,- untuk membeli kartu tersebut diluar sejumlah uang lain yang akan dikeluarkan untuk membeli saldo atau dapat juga dipotong dari saldo tersebut. Tidak hanya Mandiri e-Toll saja, penerbit lain turut membebankan pembelian kartu elektronik kepada pengguna walaupun dengan harga yang berbeda-beda, seperti BNI Tap Cash sebesar Rp 10.000,00,- BRI Frizzi sebesar Rp 20.000,00,- serta BCA Flazz dan BTN Blink sebesar RP 25.000,00,-.4
Pasal 43 angka 3 UU No. 38 tahun 2004 menyebutkan bahwa :
“Pengguna jalan tol dikenakan kewajiban membayar tol yang digunakan untuk pengembalian investasi, pemeliharaan, dan pengembangan jalan tol”.5
Pengaturan mengenai tarif tol tersebut merupakan landasan bagi pengguna jalan tol sebagai konsumen untuk membayar jasa berupa jalan tol yang nantinya diharapkan sesuai dengan apa yang di dapat. Dalam konteks ini, pembayaran tarif tol digunakan untuk mendapatkan fasilitas jalan bebas hambatan yaitu jalan tol. E-toll menggunakan sistem RFID
4 Tegar Xxxxxxx Xxxxxxx, Tinjauan Yuridis Perlindungan Konsumen atas Keberlakuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 16/Prt/M/2017 tentang Transaksi Tol Nontunai di Jalan Tol berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Universitas Katolik Parahyangan, Fakultas Hukum : Bandung, 2019.
5 Pasal 43 angka 3 UU No. 38 tahun 2004 tentang Jalan.
(Radio Frequency Identification) yang memungkinkan transaksi dapat dilakukan dengan jarak jauh.6 E-toll card berbeda dengan kartu debit atau kartu kredit, e-toll card tidak memerlukan konfirmasi data atau otorisasi Personal Identification Number (PIN) ketika akan digunakan sebagai alat pembayaran dan tidak terkait langsung dengan rekening nasabah di bank. Hal tersebut dimungkinkan karena kartu dapat dipindahtangankan dan bisa digunakan oleh siapapun selama saldo masih mencukupi. Inilah yang membahayakan karena jika e-toll card hilang, maka saldo yang tersisa dapat digunakan oleh orang lain. Pada kenyataannya, e-toll card dengan nilai yang dapat di top up atau diisi ulang tidak termasuk dalam inventori bank sebagai salah satu lembaga yang mengeluarkan produk ini.7 Apabila terjadi pencurian atau penggunaan e-toll card yang bukan pengguna kartu tidak dapat dilacak keberadaannya dan kartu tersebut tidak dapat diblokir.
Posisi konsumen (dalam hal ini pengguna e-toll card) yang lemah dibanding pelaku usaha dan sering kali membuat konsumen menderita kerugian. Maka regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka mengatur dan melindungi kepentingan-kepentingan konsumen yang kemudian dikodifikasi ke dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi pelindung bagi penjaminan kepentingan-kepentingan konsumen.
6 xxxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/X-Xxxx, diakses pada tanggal 13 Desember 2019 pukul 13.15 wib.
7 Xxxxxxxxx Xxxxx Y, 2012, Mengontrol Pengeluaran Dengan Uang Elektronik (Selesai), Xxxxxx.xx.xx, xxxxx://xxxxxxxxxxxxxxx.xxxxxx.xx.xx/xxxx/xxxxxxxxxx-xxxxxxxxxxx- dengan-uang-elektronik-selesai, diakses pada tanggal 13 Desember 2019, pukul 14.01 wib.
Disebutkan pada Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengenai pengakuan negara Indonesia terhadap jaminan perlindungan hukum terhadap warga negaranya, yaitu:8
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Maka dari itu aspek perlindungan hukum terhadap pemegang e-toll card harus dijamin oleh negara dalam menjamin kegiatan ekonomi warga negaranya. Hal ini untuk memberikan rasa aman kepada warga negara khususnya pemegang e-toll card dalam menggunakan produk ini dan untuk menciptakan ketentraman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perlindungan terhadap pengguna e-toll card dipandang secara material maupun formal semakin terasa penting, mengingat semakin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi pelaku usaha atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai sasaran usaha tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumen lah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Mengingat hal itu semua tentu sudah menjadi keperluan yang
8 Lihat ketentuan Pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
mendesak akan adanya suatu perlindungan terhadap pengguna e-toll card sebagai konsumen, untuk segera dicarikan solusinya, mengingat demikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen. 9
Masalah lain yang sering timbul bagi pengguna e-toll card adalah kehilangan kartu. Misalnya saja contoh kasus Sakti Kurnia yang mengaku kehilangan kartu e-Toll saat melintas di jalan tol Surabaya-Mojokerto, sehingga kemudia ia dikenai denda sebanyak dua kali jarak terjauh yakni Rp 1.002.000,.10 Kehilangan kartu dapat menyebabkan denda sebesar dua kali tarif tol jarak terjauh. Hal tersebut tertulis dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2015 tentang Jalan Tol. Aturan tentang akibat kehilangan E-Toll di jalan tol sesuai dengan PP No. 15 Tahun 2015 tentang Jalan Tol, Pasal 86 ayat (2) :11
Pengguna jalan tol wajib membayar denda sebesar dua kali tarif tol jarak terjauh pada suatu luas wilayah dengan sistem tertutup dalam hal:
a. Pengguna jalan tol tidak dapat menunjukkan bukti tanda masuk jalan tol pada saat membayar jalan tol;
9 Xxxxxx Xxx Xxxx Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hlm. 5.
10 xxxxx://xxxxxxxxxxx.xxxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxxxxxx-xxxxxxxxx-xxxxxxx- rp-1-juta-akibat-e-toll-hilang-viral-di-medsos-ada-modus-pencurian. Diakses pada tanggal 13 Maret 2020, Pukul 20.31 wib.
11 xxxxx://xxxxxx.xxxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxx-xxxx-xxxxx-xxxxxxxxxx-xxxx- kehilangan-kartu-e-toll-tarifnya-dihitung-dari-jarak-terjauh?page=2. Diakses pada tanggal 13 Maret 2020, Pukul 21.00 wib.
b. Menunjukkan bukti tanda masuk yang rusak pada saat membayar tol;
c. Tidak dapat menunjukkan bukti tanda masuk yang benar atau sesuai dengan arah perjalanan pada saat membayar tol.
Idealitanya, PT. Jasa Marga Tbk bersama dengan perusahaan pengelola jalan tol lainnya melakukan tender dan memilih PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk. sebagai mitra dalam meluncurkan layanan transaksi pembayaran jalan tol terbaru dengan menggunakan sistem pembayaran non-tunai untuk digunakan di beberapa ruas jalan tol. Bank Mandiri yang bekerjasama dengan pengelola tol tersebut mengeluarkan produk perbankan berupa kartu pintar (smart card) dengan tujuan utama yaitu memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam melakukan transaksi. Kartu pintar tersebut diluncurkan dengan nama e-toll card. Berkaitan dengan e-toll card, produk perbankan tersebut tunduk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia Nomor 16/PRT/M/2017 tentang transaksi Tol Non Tunai di Jalan Tol di Jalan Tol, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2). Realitanya, e- toll card dengan nilai yang dapat di top up atau diisi ulang tidak termasuk dalam inventori bank sebagai salah satu lembaga yang mengeluarkan produk ini, sehingga apabila terjadi pencurian atau penggunaan e-toll card yang bukan pengguna kartu tidak dapat dilacak keberadaannya dan kartu tersebut tidak dapat diblokir.
Idealitanya, Bank Indonesia menyebutkan bahwa bank dapat mengganti kehilangan dana dalam uang elektronik nasabah. Hanya saja tidak semua kehilangan uang elektronik bisa diganti oleh bank karena terdapat syarat tertentu yang harus dipenuhi. Realitanya dalam praktik, kehilangan kartu dapat menyebabkan denda sebesar dua kali tarif tol jarak terjauh. Hal tersebut tertulis dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2015 tentang Jalan Tol. Aturan tentang kehilangan E-Toll di jalan tol sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2015 tentang Jalan Tol, Pasal 86 ayat (2). Pada syarat dan ketentuan mengenai penggunaan e-toll card juga disebutkan bahwa bank tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian akibat kartu yang rusak karena kelalaian pemegang kartu, hilang, dicuri atau digunakan oleh pihak yang tidak berwenang dan bank tidak akan mengganti kartu yang hilang dengan e-toll card yang baru. Pada poin lain dalam hal kehilangan kartu, bank tidak akan melakukan pemblokiran, tidak mengganti fisik kartu dan bank tidak mengembalikan saldo.12
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uaraian latar belakang masalah di atas maka dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut :
12 Aprianiza Humaerah, Analisis Xxxxxxx Xxxxxxxxx Pelaksanaan Produk Perbankan : E-Toll Card Bank Mandiri, Jakarta : FH UI, 2013, hlm. 13.
1. Bagaimana konstruksi hukum perjanjian antara PT. Xxxx Xxxxx, Bank Mandiri dan konsumen pengguna e-toll card Mandiri?
2. Bagaimana perlindungan konsumen atas penggunaan e-toll card
mandiri?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah jawaban dari rumusan masalah yang ditetapkan sebagai berikut :
1. Mengungkapkan dan menjelaskan mengenai konstruksi hukum perjanjian antara PT. Jasa Marga, Bank Mandiri dan konsumen pengguna e-toll card Mandiri.
2. Mengungkapkan dan menjelaskan mengenai perlindungan konsumen atas penggunaan e-toll card mandiri.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penulisan hukum yang ditulis oleh penulis adalah untuk :
1. Menyelesaikan tugas akhir pada perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
2. Memberikan dan menambah pengetahuan mengenai perlindungan konsumen ats penggunaan auto debit e-toll card mandiri.
3. Dengan adanya penulisan hukum ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan di bidang hukum perdata, khususnya hukum perlindungan
konsumen, juga dapat menjadi acuan bagi mahasiswa yang akan meneliti topik yang serupa.
E. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penulis membandingkan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan terlebih dahulu. Berikut contoh Skripsi dan Tesis dengan tema yang sama :
1. Xxxx Xxxxxxxxx Putri Xxxxxx dengan Judul “Perlindungan Hukum bagi Pengguna Layanan Jalan Tol oleh PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk di Jakarta” dalam skripsi tersebut membahas mengenai perlindugan hukum bagi pengguna layanan jalan tol oleh PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk. di Jakarta.
Penelitian ini berbeda dengan yang ditulis oleh penulis, perbedaan tersebut dapat dilihat dari pokok permasalahan dan subjek penelitiannya yaitu peneliti sebelumnya meneliti mengenai perlindugan hukum bagi pengguna layanan jalan tol oleh PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk. di Jakarta sedangkan penulis meneliti tentang Konstruksi Hukum Perjanjian antara PT. Jasa Marga, Bank Mandiri dan Konsumen Pengguna E-Toll Card Mandiri.
2. Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxx dengan Judul “Perlindungan Hukum bagi Pengguna E-toll Card terhadap Kontrak Standar yang Dibuat oleh PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk Padalarang” dalam tesis tersebut
membahas mengenai perlindungan hukum bagi pengguna e-toll card terhadap kontrak standar yang dibuat oleh PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk Padalarang.
Penelitian ini berbeda dengan yang ditulis oleh penulis, perbedaan tersebut dapat di lihat dari pokok permasalahan dan subjek penelitiannya yaitu peneliti sebelumnya meneliti mengenai perlindungan hukum bagi pengguna e-toll card terhadap kontrak standar yang dibuat oleh PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk Padalarang sedangkan penulis meneliti tentang Konstruksi Hukum Perjanjian antara PT. Jasa Marga, Bank Mandiri dan Konsumen Pengguna E-Toll Card Mandiri.
3. Sri Xxxxxx Xxxxx dengan judul “Pelaksanaan Transaksi Elektronik Tol Dihubungkan dengan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang jo Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen” dalam skripsi tersebut membahas mengenai pelaksanaan transaksi elektronik tol dihubungkan dengan pasal 23 undang-undang nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang jo pasal 4 undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Penelitian ini berbeda dengan yang ditulis oleh penulis, perbedaan tersebut dapat di lihat dari pokok permasalahan dan subjek penelitiannya yaitu peneliti sebelumnya meneliti mengenai pelaksanaan transaksi elektronik tol dihubungkan dengan pasal 23
undang-undang nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang jo pasal 4 undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sedangkan penulis meneliti tentang Konstruksi Hukum Perjanjian antara PT. Jasa Marga, Bank Mandiri dan Konsumen Pengguna E-Toll Card Mandiri.
F. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum tentang Jalan Tol
Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.13 Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol.14 Penyelenggaraan jalan tol dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil- hasilnya serta keseimbangan dalam pengembangan wilayah dengan memperhatikan keadilan, yang dapat dicapai dengan membina jaringan jalan yang dananya berasal dari pengguna jalan.15 Penyelenggaraan jalan tol bertujuan meningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat perkembangannya.16
13 Lihat Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, pasal 1 ayat (1).
14 Ibid , pasal 1 ayat (6)
15 Ibid , pasal 2 ayat (1)
16 Ibid , pasal 2 ayat (2)
Jalan tol adalah jalan umum dan merupakan bagian dari jaringan jalan bebas hambatan sebagai jalan nasional yang kepada penggunanya dikenakan tarif tol. Jalan tol merupakan bagian dari jalan bebas hambatan pada dasarnya merupakan jalan alternatif dimana disyaratkan harus tersedia jalan umum non tol untuk memberikan pilihan kepada pengguna. Dilihat dari fungsinya, jalan tol memberikan alternatif bagi pelaku perjalanan untuk menghemat waktu tempuh, serta menikmati tingkat pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan jalan non tol, keuntungan ini dikompensasikan dengan keharusan mengeluarkan biaya tambahan, dimana penggunaan jalan non-tol dibebaskan dari tarif.17
2. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa :
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”18 Pengertian diatas dapat dikatakan sebagai bentuk inisiatif dan usaha oleh pemerintah dalam memberikan kepastian hukum kepada konsumen dan juga sebagai representasi dari amanat konstitusi, Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Karena
17Herry T. Xxxx, Xxxxx X. Xxxxxxxxxxx, Xxxx Rahadian, Atribut Pelayanan Jalan Tol dalam Peningkatan Kualitas Berkendara (Studi Kasus : Jalan Tol Makassar), Konferensi Regional Teknik Xxxxx, xx-00, Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx Xxxxxxxxx, 2014, hlm. 2.
18 Xxxxxx Xxxx dan Xxxxxxxx Xxxx, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2014, hlm. 1.
posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.
3. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
Pengertian perjanjian di rumuskan sebagai suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikat kan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Menurut Xxxx. XX. X. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, di mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut. Menurut KRMT Tirtidiningrat, S.H. Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang.19
G. Definisi Operasional
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2. Perseroan Terbatas atau PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegaiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
19 Xxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2013 : hlm. 2-3.
saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang- undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
3. Jasa Marga adalah Badan Usaha Milik Negara di Indonesia yang bergerak di bidang penyelenggara jasa jalan tol.
4. E-toll card adalah kartu eletronik yang digunakan untuk membayar biaya masuk jalan tol di beberapa kota besar di Indonesia.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian hukum deskriptif kualitatif yakni suatu teknik yang menggambarkan dan menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya. Menurut Xxxxxxx, dengan menggunakan metode deskriptif berarti peneliti menganalisa data yang dikumpulkan dapat berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video tape, dokumentasi pribadi, catatan atau memo dan dokumen resmi lainnya.20
20 Xxxxxx Xxxx Xxxxxx, Pemanfaatan Media Sosial bagi Pengembangan Pemasaran UMKM (Studi Deskriptif Kualitatif pada Distro di Kota Surakarta), STMIK Duta Bangsa Surakarta : Surakarta, 2015, hlm. 47.
2. Pendekatan Penelitian
a. Pendekatan Undang-Undang (Statue Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-undang Dasar dengan Undang-undang, atau antara Undang-undang yang satu dengan Undang-undang yang lain, dst.
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.
c. Pendekatan Empiris
Pendekatan empiris yaitu pendekatan yang menelaah efektivitas suatu peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya merupakan penelitian perbandingan antara realitas hukum dan ideal hukum. Sehingga jenis pendekatan yang dilakukan adalah sosiologis yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan melalui suatu penelitian di lapangan yang dilakukan dengan cara studi dokumen resmi ataupun metode wawancara atau interview.
3. Subjek Penelitian
a. PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk.
b. PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
c. Pengguna e-toll card
4. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah konstruksi hukum perjanjian antara PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. dan konsumen pengguna e-toll card Mandiri dan perlindungan konsumen atas penggunaan e-toll card Mandiri.
5. Sumber Data Penelitian
a. Data Primer yaitu penulis melakukan pengumpulan data dengan cara membaca sejumlah literatur yang relevan dengan tinjauan mengenai Konstruksi Hukum Perjanjian antara PT. Jasa Marga, Bank Mandiri dan Konsumen Pengguna E-Toll Card Mandiri yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia Nomor 16/PRT/M/2017 tentang transaksi Tol Non Tunai di Jalan Tol di Jalan Tol, UU No. 38 tahun 2004 tentang Jalan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2015 tentang Jalan Tol.
b. Data sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang meliputi pendapat-pendapat para pakar hukum, buku-buku, artikel-artikel, dan hasil penelitian, yang berkaitan dengan tema penelitian.
c. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber dan jenis data diatas, maka teknik dan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ;
1) Bahan hukum primer adalah data yang berupa bahan hukum, dan berasal dari aturan yang mengikat seperti peraturan perundangan maupun perjanjian.
2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari berbagai jenis kepustakaan seperti buku, jurnal ilmiah, hasil penelitian, makalah, maupun internet serta melalui wawancara yang dilakukan secara tidak terstruktur atau wawancara langsung kepada reponden.
3) Bahan hukum tersier yaitu data yang diambil dari kamus, ensiklopedia guna membantu menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder.
6. Analisis Data
Analisis data yang akan digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif. Metode kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang tersusun secara teratur, runtut, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Selanjutnya akan dikaji berdasarkan pendapat para ahli, teori-teori hukum yang relevan, aturan-aturan yang berlaku dan argumentasi peneliti sendiri.
I. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu:
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, tinjauan pustaka, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN ANTARA PT. JASA MARGA, BANK MANDIRI DAN KONSUMEN PENGGUNA AUTO DEBIT E-TOLL CARD MANDIRI
Bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang perjanjian, perlindungan konsumen, pembayaran non tunai, dan e-toll card.
BAB III. KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN ANTARA PT. JASA MARGA, BANK MANDIRI DAN KONSUMEN PENGGUNA E-TOLL CARD MANDIRI
Bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan tentang Konstruksi Hukum Perjanjian antara PT. Jasa Marga, Bank Mandiri dan Konsumen Pengguna E-Toll Card Mandiri dan Perlindungan Konsumen atas Penggunaan E-Toll Card.
BAB IV. PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran dari penulis.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERLINDUNGAN KONSUMEN, PEMBAYARAN NON TUNAI
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
1. Pengertian perjanjian
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan perjanjian sebagai persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang ada dalam persetujuan itu.21
Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.22 Maksudnya bahwa suatu perjanjian adalah suatu recht handeling yang artinya suatu perbuatan di mana oleh orang-orang bersangkutan ditujukan agar timbul akibat hukum. Perjanjian adalah hubungan timbal balik atau bilateral antar para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, disamping memperoleh hak-hak dari perjanjian tersebut juga menerima kewajiban-kewajiban sebagai bentuk konsekuensi atas hak-hak yang diperolehnya.
21 Departemen Pendidikan Nasional, KBBI, dalam Xxxxxx Xxxxxxx, Hukum Perikatan (Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak, Kerja sama, dan Bisnis) Setara Press, 2016, hlm. 15
22 R. Subekti dan R. Xxxxxxxxxxxxx, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Xxxxxxx Xxxxxxxxx, Jakarta, 1985, hlm. 304.
Beberapa pakar hukum perdata mengemukakan pandangannya terkait definisi hukum perjanjian sebagai berikut :
x. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.23
b. X. Xxxxx Xxxxxxx, mengemukakan bahwa perjanjian mengandung suatu pengertian yang memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.
c. Subekti, mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan sesuatu.24 Perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua
orang atau lebih untuk melakukan sesuatu hal tertentu. Perjanjian merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi. Berdasarkan ketentuan pasal 1313 KUH Perdata, pengertian perjanjian mengandung beberapa unsur antara lain :
23 Xxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2013, hlm. 2
24Ratna Artha Windari, Hukum Perjanjian, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, hlm. 2.
a. Perbuatan. Penggunaan kata “perbuatan” pada rumusan tersebut lebih tepat diganti dengan kata “perbuatan hukum” atau “tindakan hukum”, karena perbuatan yang dimaksud disini adalah perbuatan yang membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikannya.
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih. Untuk adanya suatu perjanjian diperlukan paling sedikit dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan kesepakatan kehendak satu sama lain. Pihak tersebut adalah subjek hukum baik perorang maupun badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya. Dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak lain. Dalam suatu perjanjian orang tersebut akan terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendak sendiri.
Berdasarkan beberapa definisi perjanjian-perjanjian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian dapat menjadi suatu perbuatan hukum jika ada kata sepakat antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, kaitannya dengan apa yang telah menjadi kesepakatan dalam perjanjian, masing-masing pihak hendaknya saling menghormati hak dan kewajibannya masing-masing. 25
(QS. Al-Maidah : 1)
25 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxx Xxxxx, Fiqh Muamalat : Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam, Amzah, Jakarta, 2010, hlm. 15.
Xxxxxx Xxxxxx menyatakan bahwa “memenuhi janji” adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan sosial. Hukum kontrak berkaitan dengan pembentukan dan melaksanakan suatu janji. Suatu janji adalah suatu pernyataan tentang sesuatu kehendak yang akan terjadi atau tidak terjadi pada masa yang akan datang.26 Dapat dikatakan bahwa xxxxx merupakan pernyataan yang dibuat oleh seseorang kepada orang lain yang menyatakan suatu keadaan tertentu. Janji itu mengikat dan janji itu menimbulkan utang yang harus dipenuhi.27
2. Bentuk-bentuk Perjanjian
Beberapa bentuk kontrak atau perjanjian, dimana bentuk-bentuk tersebut dibedakan berdasarkan sumber hukumnya, bentuknya, aspek kewajibannya dan namanya.
Menurut sumber hukumnya kontrak dibedakan menjadi lima, yaitu :
a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga;
b. Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan;
c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara;
26 Xxxxx XxXxx Xxxxxx dan Gayland A. Jentz dalam Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (bagian pertama) cetakan pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 57.
27 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1995, hlm. 146.
e. Perjanjian yang bersumber dari hukum public.
Menurut bentuknya kontrak atau perjanjian dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Kontrak yang dibuat dalam bentuk yang tertulis, seperti yang diatur dalam pasal 1682 KUH Perdata, tentang perjanjian hibah yang harus dibuat dengan akta notaris;
b. Kontrak yang dibuat dalam bentuk yang tidak tertulis, yaitu kontrak yang dibuat secara lisan (pasal 1320 : perjanjian telah terjadi jika sudah ada kesepakatan dari para pihak yang membuatnya).
Jenis kontrak menurut aspek kewajibannya atau perjanjian timbal balik dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Perjanjian timbal balik tidak sempurna, perjanjian yang pihak yang lain wajib melakukan sesuatu;
b. Perjanjian sepihak, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban hanya pada satu pihak saja.
Menurut namanya, perjanjian dibedakan menjadi dua bentuk yaitu :
a. Perjanjian bernama (nominaat)
b. Perjanjian tidak bernama (innominaat)
Kontrak nominaat merupakan perjanjian yang ada dan terdapat dalam KUH Perdata sedangkan kontrak inominaat adalah perjanjian yang
tumbuh, timbul, hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagai akibat dari asas kebebasan berkontrak.28
3. Unsur-unsur Perjanjian
Suatu perjanjian apabila diuraikan unsur-unsur yang ada di dalamnya, maka unsur-unsur tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu sebagai berikut :
a. Unsur Esensialia
Prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakan secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian.29 Dari sekian banyak perjanjian yang diatur diluar Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang sering disebut dengan perjanjian tidak bernama, dalam hal ini dapat digolongkan kedalam 3 (tiga) golongan besar yaitu :30
1) Perjanjian yang secara prinsip masih mengandung unsur esensialia dari salah satu perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, misalnya perjanjian pemberian kredit oleh perbankan, yang mengandung unsur-unsur esensialia dari perjanjian pinjam meminjam. Terhadap jenis perjanjian ini, maka
28 Xxx Xxxxxxx, op. cit. hlm. 28-29.
29 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, 2003, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Jakarta, Xxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx, hlm. 85.
30 Ibid, hlm. 87-89.
ketentuan yang berlaku di dalam KUH Perdata sejauh perjanjian tersebut tidak boleh disimpangi dan atau mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak diatur secara khusus atau berada oleh para pihak, adalah mengikat bagi para pihak.
2) Perjanjian yang mengandung kombinasi dari unsur-unsur esensialia dari dua atau lebih perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, misalnya perjanjian sewa-beli, yang mengandung baik unsur-unsur esensialia jual beli maupun sewa menyewa yang diatur dalam KUH Perdata. Untuk perjanjian-perjanjian jenis ini, maka kita harus jeli untuk melihat unsur esensialia mana yang paling dominan, yang sebenarnya menjadi tujuan diadakan perjanjian ini, untuk kemudian dapat menentukan secara pasti ketentuan-ketentuan memaksa mana yang diatur dalam KUH Perdata yang dapat dan harus diterapkan untuk tiap-tiap perjanjia, serta ketentuan mana dalam KUH Perdata yang boleh disimpangi serta diatur secara berbada oleh para pihak.
3) Perjanjian yang samasekali tidak mengandung unsur-unsur esensialia dari perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, seperti misalnya perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi atau lebih popular dengan nama Finanscial Lease. Meskipun dalam perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi ini, diatur
mengenai masalah sewa menyewa dan opsi untuk membeli kebendaan yang disewa guna usahakan dengan hak opsi, namun jika dilihat dari sifat transaksi sewa guna usaha secara keseluruhan, transaksi ini tidak mengandung unsur sewa menyewa maupun jual beli, melainkan lebih merupakan suatu bentuk pembiayaan diluar lembaga perbankan. Jadi dalam hal ini harus dapat ditentukan terlebih dahulu unsur-unsur esensialia dari perjanjian ini, baru kemudia dapat kita kembangkan untuk mencari dan menentukan secara tepat kapan wanprestasi terjadi, apa akbiat-akibat wanprestasi tersebut, serta bagaimana menegakkan kembali kewajiban debitor yang sebenarnya terhadap kreditor tanpa merugikan kepentingan kreditor.
b. Unsur Naturalia
Unsur naturalia adalah unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam suatu perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.31 Unsur naturalia merupakan unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual-beli, pasti
31 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, 1999, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, hlm. 110-111
terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapt disimpangi oleoh para pihak, karena sifat jual-beli dimana penjual tidak mau menanggung cacat-cacat tersembungi dari kebendaan yang dijual olehnya.
c. Unsur Aksidentalia
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara Bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.32
4. Syarat Sah Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian telah diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, adalah, sebagai berikut :
a. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (sepakat);
b. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian;
c. Ada sesuatu hal tertentu;
d. Ada sesuatu sebab yang halal.
32 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Op Cit, hlm. 88-90.
Syarat yang pertama tentang kesepakatan atau Konsensus yang diatur dalam pasal 1320 ayat (1). Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Dengan “sepakat” atau oleh Subekti disebut “perideinan” dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, “setuju” atau “seia sekata” mengenai hal hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan (Subekti, 1984:1).
Pada syarat yang kedua tentang Kecakapan bertindak adalah Kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum (Xxxxx X.X., 2003 : 24). Syarat kedua ini berlaku bagi subyek hukum dari perjanjian. Dalam mengadakan kontrak, setiap subyek hukum harus memenuhi suatu kondisi tertentu agar dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Jika sup hukumnya adalah “orang” (natuurlke person) orang tersebut harus sudah dewasa. Namun jika subyeknya “badan hukum” (recht person) harus memenuhi syarat formal suatu badan hukum (Xxxxxxx XX, 2006 : 3). Dalam hal ini orang yang dapat membuat perjanjian adalah orang yang cakap dan wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 1330 seseorang dinyatakan tidak cakap untuk membuat perikatan adalah:
1. Orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang berada dibawah pengampunan;
3. Istri, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 tahun 1974 j.o. SEMA No. 3 tahun 1963.
Syarat yang ketiga yaitu adanya suatu hal tertentu atau adanya obyek perjanjian. Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi obyek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur (Xxxxx Xxxxxxx, 1986 : 10). Prestasi dapat berupa perbuatan positif atau perbuatan yang negative, artinya prestasi dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Prestasi harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan dan dapat dinilai dengan uang. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada dalam pasal 1332 KUH Perdata yaitu bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi obyek perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata bahwa barang yang diperjanjikan paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Pasal 1334 KUH Perdata menetapkan bahwa barang-barang yang aka nada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Yang tidak diperbolehkan adalah memper janjikan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka.
Syarat yang ke empat atau terakhir adalah adanya sebab atau causa yang halal. Pasal 1336 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan mengikat apabila dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang. Pengertian sebab yang halal
dapat kita lihat dalam ketentuan pasal 1337 KUH Perdata yang menyebutkan suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.33
5. Asas-asas Hukum Perjanjian
Sebagian besar dari peraturan hukum mengenai perjanjian bermuara dan mempunyai dasar pada asas-asas hukum. Asas-asas hukum merupakan dasar atau pokok karena bersifat fundamental. Lebih lanjut, asas-asas yang dikenal di dalam buku perjanjian klasik adalah asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda dan asas kepribadian.
a. Asas Kebebasan Berkontrak (Contracts Vrijheid)
Asas ini memperbolehkan setiap masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi apapun asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang. Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja bahkan diperbolehkan untuk membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dalam Buku III KUH Perdata. Xxxxxxx menguraikan asas kebebasan berkontrak yang isinya memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a) Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
33 Xxx Xxxxxxx, op. cit. hlm. 6-9.
c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d) Menentukan bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan.
Ke empat tersebut boleh dilakukan, namun tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Asas Konsensualisme
Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (konsensus) dari para pihak. Perjanjian pada dasarnya dapat dibuat secara bebas tidak terikat bentuk tertentu dan perjanjian itu telah lahir pada detik tercapainya kata sepakat dari para pihak. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal hal yang pokok dan tidaklah diharuskan adanya suatu formalitas tertentu.
Terdapat pengecualian dalam asas konsensualisme, yakni bahwa dalam perjanjian tertentu, oleh undang-undang ditetapkan adanya formalitas-formalitas tertentu. Pengecualian tersebut seperti perjanjian penghi bahan benda tidak bergerak (tanah) yang harus dilakukan dengan akta notaris. Jadi, perjanjian tersebut harus dalam bentuk tertulis. Apabila perjanjian semacam ini tidak dilakukan dengan akta notaris maka perjanjian tersebut batal.
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda dipatuhi sebagai sebuah prinsip yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan kata lain, asas ini melandasi pernyataan bahwa sebuah perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum sehingga para pihak terikat untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Perjanjian dibuat sendiri oleh para pihak dan mereka juga yang menentukan isinya serta cara pelaksanaannya. Perjanjian yang dibuat secara sah tersebut memunculkan akibat hukum yang sama dengan undang-undang bagi para pihak. Dalam pengertian ini, apabila salah satu pihak tidak atau lalai melaksanakan kewajibannya menurut perjanjian maka pihak lainnya yang dirugikan atau dilanggar haknya akan mendapat perlindungan hukum dari negara yang bersangkutan melalui pengadilan. Selanjutnya, para pihak harus memenuhi apa yang telah mereka sepakati dalam perjanjian yang telah mereka buat.
d. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian disimpulkan dari Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi “Pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikat kan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri”.
Perikatan hukum yang dilahirkan oleh suatu perjanjian hanya mengikat orang-orang yang membuat perjanjian itu dan tidak mengikat orang lain. Sebuah perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuat nya. Orang lain atau pihak ketiga tidak mempunyai sangkut-paut dengan perjanjian tersebut. Seseorang tidak diperbolehkan membuat perjanjian yang meletakkan kewajiban bagi orang lain atau pihak ketiga tanpa adanya kuasa dari pihak ketiga tersebut.
Dalam asas kepribadian, berlaku dua pengecualian sebagai berikut :
1) Janji untuk pihak ketiga
Pada janji ini, seseorang membuat suatu perjanjian yang isinya menjanjikan hak-hak orang lain.
2) Perjanjian garansi
Orang membuat perjanjian dengan orang lain, sebut saja A dan C. Dalam perjanjian ini, a menjanjikan bahwa orang lain ( C ) akan berbuat sesuatu dan A menjamin bahwa C pasti akan melaksanakan. Akan tetapi, jika C tidak melaksanakan sesuatu hal yang disebutkan dalam perjanjian ini maka A bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban C tersebut. Perjanjian ini lazim dipraktikkan dalam perbankan.
e. Asas Itikad Baik
Xxxxxxxx dan Xxxxxxx mengemukakan bahwa semua perjanjian yang dibuat harus dilandasi dengan itikad baik (in good faith). Lebih lanjut, pengertian itikad baik mempunyai dua arti, yaitu:
1) Perjanjian yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan;
2) Perjanjian yang dibuat harus mencerminkan suasana batin yang tidak menunjukkan adanya kesengajaan untuk merugikan pihak lain.34
6. Konstruksi Hukum dan Perjanjian
Perjanjian yang telah dibuat mengikat kedua belah pihak dan akan melahirkan prestasi bagi para pihak. Bentuk prestasi dalam perjanjian adalah berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dan memberikan sesuatu. Berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan dalam arti memberikan sesuatu, misalnya seorang pelukis membuat lukisan yang dipesan oleh seseorang. Sementara tidak berbuat sesuatu misalnya seorang pelukis tidak akan membuat lukisan yang sama dalam jumlah lebih dari satu. Ada kemungkinan suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan karena :
a. Keadaan memaksa atau overmacht
b. Wanprestasi
34 Arus Xxxxx Xxxxxxxx dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, Salemba Empat, Jakarta, 2015, hlm. 22-24
Keadaan memaksa atau overmacht adalah suatu keadaan atau peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya akan terjadi sehingga menghalangi seorang debitur untuk melakukan prestasi. Keadaan atau peristiwa tersebut diluar kesalahan debitur.
Bentuk overmacht dibedakan menjadi dua yaitu overmacht yang memaksa dan overmacht yang tidak memaksa. Overmacht mutlak yaitu apabila prestasi tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun juga sedangkan overmacht tidak mutlak pelaksanaan masih memungkinkan dengan pengorbanan yang besar dari salah satu pihak.
Wanprestasi adalah jika seorang debitur tidak melaksanakan sama sekali suatu prestasi atau keliru dalam melakukan suatu prestasi atau terlambat melakukan suatu prestasi. Seorang debit yang tidak dapat melaksanakan prestasi dan tidak dapat membuktikan bahwa tidak dapat melaksanakan prestasi itu diluar kesalahannya atau karena adanya suatu overmacht maka debitur dalam hal ini adalah bersalah.
Menurut Xxxx. Xxxxxxx, X.X. xxxprestasi ada empat macam bentuk yaitu :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Menurut Prof. Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx, S.H., bahwa seorang debitur dinyatakan wanprestasi harus memenuhi tiga unsur, yaitu :
a. Perbuatan yang dilakukan debitur tidak dapat disesalkan;
b. Akibatnya dapat dibuka lebih dahulu baik dalam arti yang obyektif, yaitu orang yang normal dapat menduga bahwa keadaan itu akan timbul, maupun dalam arti yang subyektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat menduga keadaan demikian akan timbul;
c. Dapat diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan nya.
Terjadinya wanprestasi tidak muncul secara kecuali jika memang telah disepakati dalam perjanjian oleh para pihak wanprestasi ada sejak tanggal yang ditetapkan dalam perjanjian terlampaui. Jika dalam perjanjian tidak ada kesepakatan sejak kapan wanprestasi terjadi, penentuan terjadinya wanprestasi dapat dilakukan dengan somasi atau in gebreke stelling.35
B. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya salah satu jenis undang-undang, seperti
35 Xxx Xxxxxxx, op. cit. hlm. 21-23
UUPK. Hukum perlindungan konsumen selalu berinteraksi dan berhubungan dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang dan cabang hukum itu senatiasa terdapat pihak yang berpredikat “konsumen”.36
Menurut UUPK pengertian perlindungan konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian barang atau jasa tersebut. Cakupan perlindungan konsumen dapat dibedakan dalam dua aspek yaitu :37
a. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam hal ini termasuk persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses distribusi, desain produk dan sebagainya. Apakah sudah sesuai dengan standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga persoalan tentang bagaimana konsumen mendapat penggantian ketika timbul kerugian karena memakai produk yang tidak sesuai;
36 Xxxxxxxx, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Cetakan ketiga, Grasindo, Jakarta, 2006, hlm. 1.
37 Xxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2014, hlm. 8.
b. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan peruna jual dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.
Pada saat ini hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam berbagai peraturan perundang-undangan umum yang sesungguhnya penerbitannya tidaklah ditunjukan untuk mengatur hubungan atau masalah konsumen dengan hubungan dan masalah konsumen termuat dalam lingkungan hukum perdata maupun hukum publik.38 Karena posisi konsumen yang lemah, ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.39 Perlindungan terhadap kepentingan konsumen pada dasarnya sudah diakomodasi oleh banyak perangkat hukum sejak lama.40 Secara sporadis berbagai kepentingan konsumen sudah dimuat dalam berbagai undang-undang, salah satunya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kehadiran Undang-undang
38 Az. Xxxxxxxx, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 62.
39 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxx, Hukum Perlindungan Konsumen, Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, FH Unlam Press, Banjarmasin, 2008, hlm. 2.
40 Ibid., hlm. 19.
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perilndungan konsumen di Indonesia. Diakui, bahwa undang-undang tersebut bukanlah yang pertama dan yang terakhir, karena sebelumnya telah ada beberapa rumusan hukum yang melindungi konsumen tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Undang-undang ini mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen, baik menyangkut hukum materiil maupun hukum formil mengenai penyelesaian sengketa konsumen.41
Dalam sejarah, perlindungan konsumen pernah secara prinsipil menganut asas the privity of contract. Artinya, pelaku usaha hanya dapat dimintakan pertanggung jawaban hukumnya sepanjang ada hubungan kontraktual antara dirinya dan konsumen. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila ada pandangan, hukum perlindungan konsumen berkorelasi erat dengan hukum perikatan, khususnya perikatan perdata.42
Berkaitan dengan pengertian hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen yang telah disebutkan di atas, maka disimpulkan beberapa pokok pemikiran :43
1. Hukum konsumen memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan hukum perlindungan konsumen;
41 Ibid., hlm. 20.
42 Xxxxxxxx, Op.Cit, hlm.13.
43 Xxxxxxx Xxx Xxxxxxx, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 58.
2. Subjek yang terlibat dalam perlindungan konsumen adalah masyarakat sebagai konsumen, dan di sisi lain pelaku usaha, atau pihak-pihak lain yang terkait, misalnya distributor, media cetak dan televisi, agen atau biro periklanan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan sebagainya;
3. Objek yang diatur adalah barang, dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha/produsen kepada konsumen;
4. Ketidaksetaraan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha mengakibatkan pemerintah mengeluarkan kaidah-kaidah hukum yang dapat menjamin dan melindungi konsumen.
Definisi hukum perlindungan konsumen tidak dicantumkan di dalam UUPK tetapi yang dicantumkan hanya mengenai definisi perlindungan konsumen. Definisi tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK, isinya yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-undang Perlindungan Konsumen/UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan
sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Asas hukum merupakan unsur penting dari suatu peraturan hukum. Asas hukum mengandung nilai-nilai etis yang berfungsi menghilangkan dan menetralisir kemungkinan terjadinya konflik dalam tatanan sistem hukum yang berlaku. Oleh karena itu, asas hukum merupakan ratio-legis dari peraturan hukum. Hukum sebagai suatu sistem tidak menghendaki adanya suatu konflik dalam sistem hukum tersebut, maka asas-asas hukum berfungsi sebagai penyelesaian konflik tersebut.
Beberapa asas yang menjadi pedoman bagi UUPK dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi konsumen. Asas-asas ini dirumuskan dalam Pasal 2 UUPK yang isinya “perlindungan konsumen berasaskan menfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 2 UUPK ditegaskan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :44
44 Xxxxxx Xxxx dan Xxxxxxxx Xxxx, Op. Cit, hlm. 25.
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Proses adilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spriritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Memerhatikan substandi Pasal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, tampak bahwa
perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia.45 Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :46
1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbanga; dan
3. Asas kepastian hukum.
Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan.47
Perlindungan konsumen diperlukan bagi konsumen karena kedudukan konsumen pada umumnya berapa pada kondisi yang lemah, baik karena pengetahuan mengenai hukum maupun kemempuan daya tawar dari pengusaha.
45 Ibid., hlm. 26.
46 Ibid.
47 Ibid., hlm. 28-30
Menurut Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, Perlindungan Konsumen memiliki tujuan yaitu :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3. Hak dan Kewajiban Konsumen
Signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang- undang merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu negara kesejahteraan, karena Undang-undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitudsi ekonomi, yaitu
konstitusi yang mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad sembilan sebelas. Melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan 9 (Sembilan) hak konsumen, yaitu :48
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau/jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan atau/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
48 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxx, Op.Cit., hlm.23.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.
Hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang- undang Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Xxxxxxx di depan Kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yang terdiri dari:49
1) Hak memperoleh keamanan;
2) Hak memilih;
3) Hak mendapatkan informasi;
4) Hak untuk didengar.
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak AsasiManusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (Organization of Consumer Union – IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu :50
1) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
2) Hak untuk memeproleh ganti rugi;
3) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
4) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
49 Xxxxxx Xxxx dan Xxxxxxxx Xxxx, Op.Cit., hlm. 39.
50 Ibid.
Beberapa rumusan tentang hak-hak konsumen yang telah dikemukakan, secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu :51
1) Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
2) Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; dan
3) Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.
Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga diwajibkan untuk :52
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk,
51 Ibid., hlm. 47.
52 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxx, Op. Cit, hlm. 24-25
namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab, jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.53
Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan atau/jasa. Hal ini tentu saja dibebankan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak perang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).
Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru, sebab sebelum diundangkannya UUPK hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh apparat kepolisian dan/atau kejaksaan.
Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk
53 Xxxxxx Xxxx dan Xxxxxxxx Xxxx, Op. Cit, hlm. 48.
mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hal ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.54
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak menggunakan istilah produsen melainkan menggunakan istilah pelaku usaha. Dalam Pasal 3 angka 1 disebutkan bahwa :55
“ Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan pupuk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak
Konsumen.
54 Ibid. hlm. 50
55 Pasal 3 ayat (1), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
yang dapat digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya Upeka tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam Directive. Pasal 3 Directive ditentukan bahwa :56
1. Produsen berarti pembuat produk akhir maka produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda perbedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;
2. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam Masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti Directive ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen;
3. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier makan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan foto itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), sekalipun nama produsen dicantumkan.
56 Xxxxxx Xxxx dan Xxxxxxxx Xxxx, Op. Cit., hlm. 9.
Pelaku usaha sebagai penyelenggara kegiatan usaha merupakan pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang produsen.57
Dalam kegiatan menjalankan usaha, undang-undang memberikan sejumlah hak dan membebankan sejumlah kewajiban dan larangan kepada produsen. Pengaturan tentang hak, kewajiban dan larangan itu dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara produsen dan konsumennya, sekaligus menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan perekonomian pada umumnya.
Hak produsen (pelaku usaha) menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.58
Sedangkan kewajiban produsen (pelaku usaha) menurut Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dna jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan pengguanaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kedapa konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dlam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dlam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.59 Dalam Undang-undang Perlindugan Konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan
59 Ibid, hlm. 54.
pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan pada saat transaksi dengan produsen.60
C. Tinjauan Umum tentang Pembayaran Non Tunai
1. Pengertian Pembayaran Non Tunai
Sistem pembayaran merupakan sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang dipakai yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Alat pembayaran telah berkembang pesat dan maju. Alat pembayaran yang pertama dikenal di dunia ini adalah sistem barter yang menukarkan uang dengan barang. Kesulitan dalam sistem barter inilah yang menciptakan adanya uang. Uang pertama kali berupa barang-barang yang dianggap
60 Ibid.
berharga oleh masyarakat di Kawasan tertentu. Selanjutnya uang berevolusi hingga berbentuk selembar kertas yang kita kenal sekarang dengan uang kartal/fiat money.61
Pembayaran non tunai dilakukan tidak dengan menggunakan fisik uang (uang kartal) sebagai alat pembayaran melainkan dengan inovasi-inovasi baru dalam pembayaran elektronis (electronic payment). Pembayaran elektronis ini merupakan pembayaran yang memanfaatkan teknologi informasi dan jaringan komunikasi. Pembayaran Elektronis tersebut antara lain yaitu phone banking, internet banking, pembayaran menggunakan kartu kredit serta kartu debit/Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Meskipun teknologi yang digunakan berbeda-beda, namun seluruh bentuk pembayaran elektronis tersebut terkait dengan rekening nasabah pada bank melalui proses otorisasi.62
2. Mekanisme Pembayaran Non Tunai
Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, salah satu wewenang Bank Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran adalah menetapkan penggunaan alat pembayaran. Penetapan penggunaan alat pembayaran ini dimaksudkan agar alat pembayaran yang digunakan
61 Umi Julaihah, Pembayaran Non Tunai : Persepsi Civitas Akademika FITK UIN Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxx Malang, Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Vol. 2 No. 1, Juli- Desember 2015, hlm. 65.
62 R. Serfianto, dkk, Untung dengan Kartu Kredit, Kartu ATM-Debit, & Uang Elektronik, Visi Media, Jakrta, 2012, hlm. 98.
dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan dan efisiensi bagi penggunanya.
Instrument pembayaran saat ini dapat diklasifikasikan atas tunai dan non tunai. Instrumen pembayaran tunai adalah uang kartal yang terdiri dari uang kertas dan uang logam. Sementara instrumen pembayaran non tunai, dapat dibagi lagi atas alat pembayaran non tunai dengan media kertas atau lazim disebut paper based instrument seperti cek, bilyet giro, wesel dan lain-lain serta alat pembayaran non tunai dengan media kartu atau disebut card-based instrument seperti kartu kredit, kartu debit, kartu ATM dan lain lain. Dengan semakin berkembangnya teknologi, saat ini mulai dikembangkan pula berbagai alat pembayaran yang menggunakan teknologi mikro chips yang dikenal dengan electronic money. Penggunaan masing masing alat pembayaran ini mempunyai implikasi yang berbeda beda terhadap berbagai aspek, seperti aspek hukum, teknis, sistem dan mekanisme operasional dan lain lain.
Pembayaran non tunai dapat menggunakan alat pembayaran dengan menggunakan kartu atau APMK, cek, Bilyet giro, nota debit, maupun uang elektronik. Berbagai macam definisi uang elektronik salah satunya adalah alat pembayaran yang menyimpan sejumlah nilai uang dalam perangkat elektronik berupa stored-value atau produk prepaid yang dimiliki konsumen. Untuk dapat digunakan, uang elektronik harus memiliki sifat yaitu dapat disimpan dan diambil di
lain waktu dan berguna ketika digunakan. Nilai uang di dalam akan berkurang apabila konsumen menggunakannya untuk pembayaran atas nilai ekonomi yang telah dinikmati.
Mekanisme pemindahan dana dilakukan dengan memasukkan atau menempelkan kartu ke dalam suatu alat pembaca, sedangkan uang digital mekanisme pemindahan dana dilakukan melalui suatu jaringan komunikasi pada saat melakukan pembayaran dengan berbagai macam alat untuk melakukan pembayaran contohnya dengan kode respon (QR CODE) atau alat komunikasi jarak dekat (NFC).
3. Regulasi Pembayaran Non Tunai
Regulasi mengenai pembayaran non tunai terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 18/17/PBI/2016 tentang uang elektronik. Kebijakan lain yang diterbitkan oleh pemerintah adalah PBI No. 19/8/PBI/2017 mengenai Gerbang Pembayaran Nasional. Tujuan dari diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) adalah untuk mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien dan andal serta dengan memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi, teknologi dan inovasi yang semakin maju, kompetitif dan terintegrasi maka kebijakan sistem pembayaran nasional perlu diarahkan pada pembagunan ketahanan, pengembangan yang terintegrasi dan berkesinambungan, serta peningkatan daya saing.
Pembayaran non tunai dapat menggunakan alat pembayaran dengan menggunakan kartu atau APMK, cek, bilyet giro, nota debit, maupun uang elektronik. Peraturan mengenai uang elektronik diatur dalam beberapa peraturan yaitu peraturan dari Bank Indonesia maupun dari Otoritas Jasa Keuangan. Beberapa peraturan tersebut ialah sebagai berikut :
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/17/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang elektronik yang sudah tidak berlaku lagi;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik;
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/21/DKSP tanggal
27 Septe,ber 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/11/DKSP perihal Penyelenggaraan Uang Elektronik;
d. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan.
4. Peran PT. Jasa Marga Tbk. dalam Pembayaran Non Tunai
Jasa Marga merupakan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang pengolahan, pemeliharaan dan pengadaan jaringan jalan tol di Indonesia. Untuk mendukung gerak pertumbuhan ekonomi
Indonesia membutuhkan jaringan jalan yang handal. Melalui Peraturan Pemerintah No. 04 Tahun 1978, pada tanggal 01 Maret 1978 Pemerintah mendirikan PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk. Tugas utama PT. Jasa Marga (Persero) Tbk adalah merencanakan, membangun, mengoperasikan, dan memelihara jalan tol serta sarana kelengkapannya agar jalan tol dapat berfungsi sebagai jalan bebas hambatan yang memberikan manfaat lebih tinggi daripada jalan umum yang bukan jalan tol.63
PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. menawarkan produk berupa infrastruktur jalan tol, tempat peristirahatan, pelayanan, tempat iklan dan lain-lain. PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk. juga melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, salah satunya pada bidang perbankan. PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. melakukan kerja sama dengan Bank Mandiri untuk produk E-Toll Card yang memiliki fungsi sebagai alat pembayaran pada jalan tol secara contactless.
5. Penggunaan E-Toll Card dalam Pembayaran Non Tunai
Peningkatan volume lalu lintas di jalan tol berdampak pada kemacetan di loket pembayaran tol dikarenakan transaksi yang dilakukan secara manual yang memakan waktu lama. Maka untuk mengantisipasi terjadinya kemacetan di jalan tol, dibutuhkan
63
xxxxx://xxx.xxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xx/xxxxxxxxxxxxxx/XxxxxxXxxxxxxxxx/Xxxxxxxx.xxxx, diakses pada tanggal 28 Juni 2020, pukul 14.36 wib.
kecepatan lebih tinggi dalam melakukan pembayaran tol dengan menggunakan layanan Eletronik Tol (E-Toll) atau Gerbang Tol Otomatis (GTO). Jika pembayaran jalan tol menggunakan GTO, maka akan mempercepat antrian kendaraan masuk jalan tol. Selain mempercepat pembayaran, penerapan GTO dapat meningkatkan pelayanan dan kelancaran berkendara di jalan tol.
Manfaat e-Toll Card bagi pemegang kartu adalah sebagai pengganti uang tunai, transaksi pembayaran tol lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan uang tunai. E-Toll Card dapat digunakan untuk transaksi di luar tol. Penggunaan transaksi non tunai ini dinyatakan sangat efektif, karena hanya melakukan transaksi kurang lebih 4 detik dengan menempelkan kartu e-toll card pada mesin transaksi tol otomatis.
BAB III
KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN ANTARA PT. JASA MARGA (PERSERO) TBK., PT. BANK MANDIRI (PERSERO) TBK. DAN PENGGUNA E-TOLL CARD MANDIRI
A. Konstruksi Hukum Perjanjian antara PT. Jasa Marga, Bank Mandiri dan Pengguna E-Toll Card Mandiri
Perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti yaitu persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni :
a. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
c. Harus ada suatu hal tertentu; dan
d. Harus ada suatu sebab (kausa) yang halal.
Persyaratan yang pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian, sedangkan persyaratan ketiga dan keempat berkaitan dengan objek perjanjian. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukum dan dapat dibatalkannya suatu perjanjian. Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Perjanjian yang
dapat dibatalkan adalah sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku. Syarat sahnya perjanjian yang pertama adalah kata sepakat. Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (toestemming) jika memang menghendaki apa yang disepakati.64
Demi menunjang suatu perkembangan atau kemajuan suatu ekonomi, negara Indonesia membutuhkan suatu jaringan perlintasan yang dapat dipercaya dan memberikan hasil yang nyata. Melalui Peraturan Pemerintah No. 04 Tahun 1978, pada tanggal 01 Maret 1978 Pemerintah mendirikan PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk. Tugas utama PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. adalah merencanakan, membangun, mengoperasikan dan memelihara jalan tol serta sarana kelengkapannya agar jalan tol dapat berfungsi sebagai jalan bebas hambatan yang memberikan manfaat lebih tinggi daripada jalan umum yang bukan jalan tol.65
PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., merupakan suatu bank milik pemerintah yang didirikan pada tanggal 2 Oktober 1988 berdasarkan Akta Pendirian Perusahan Terbesar Nomor 10 yang
64 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Pt. Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2001, hlm. 164
65 xxxxx://xxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xx/xxxxxxxxxxxxxx/XxxxxxXxxxxxxxxx/Xxxxxxxx.xxxx, Diakses terakhir tanggal 12 September 2020.
dibuat di hadapan notaris Xxxxxxxx, S.H., dengan modal dasar sebesar Rp 16.000.000.000.000,00 (Enam Belas Triliun Rupiah) dan mulai dicatatkan pada Bursa Saham Jakarta dan Bursa Saham Surabaya (sekarang menjadi Bursa Efek Indonesia).66
PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk. bersama dengan perusahaan pengelola jalan tol lainnya melakukan perjanjian kerjasama sebagai suatu konsorsium antara para operator jalan tol dengan melaksanakan tender untuk melakukan Pengembangan Sistem Pembayaran Elektronik (Electronic Payment) menggunakan Teknologi Kartu Nir Sentuh (Contactless Smartcard). Dengan melakukan tender tersebut, perusahaan konsorsium jalan tol menunjuk Bank Mandiri sebagai mitra dalam melakukan Pengembangan Sistem Pembayaran tersebut dengan jangka waktu kontrak bersama adalah selama sepuluh tahun sejak penandatanganan kontrak, Bank mandiri menjadi mitra berdasarkan
:67
a. Surat Penetapan Pemenang Pengadaan Mitra Kerjasama pengembangan Sistem E-Payment dengan Teknologi Contactless Smartcard Nomor : AA.OPO3.1494, 804/DU-
hlm. 12.
66 Bank Mandiri, “Laporan Tahunan PT. Bank mandiri (Persero) Tbk. Tahun 2010”,
67 Perjanjian Kerjasama Pengembangan Sistem Pembayaran Elektronik (Electronic
Payment) dengan Teknologi Nir Sentuh (Contactless Smartcard) Nomor : 68/KONTRAK- DIR/2008, 75/SPJK-HK.04/X/2008, 152/PJ/M-1/X/2008, 006/BSDT-DIR/SKB/X/2008, DIR.PKS/038/2008.
PT.01/X/2008, 331.A/M-I/X/2008, 229/BSDT-DIR/X/2008,
tertanggal 16 Oktober 2008;
b. Surat Pengumuman Pemenang Pengadaan Mitra Kerjasama Pengembangan Sistem E-Payment dengan Teknologi Contactless Smartcard Nomor: 46/Pan-SKB-EP/X/08, tertanggal 10 Oktober 2008; dan
c. Surat Penawaran Akhir Bank Mandiri beserta lampiran- lampirannya Nomor: XXX.XXX/778/2008, tertanggal 11 September 2008.
Perjanjian Kerjasama antara Perusahaan Jalan Tol dan Bank Mandiri diatur lebih lanjut pada Perjanjian Kerjasama Pengembangan Sistem Pembayaran Elektronik (Electronic Payment) dengan Teknologi Kartu Nir Sentuh (Contactless Smartcard) Nomor : 68/KONTRAK- DIR/2008, 75/SPJK-HK.04/X/2008, 152/PJ/M-1/X/2008,
006/BSDT-DIR/SKB/X/2008, DIR.PKS/038/2008 yang untuk selanjutnya disebut dengan Perjanjian Kerjasama Sistem Pembayaran Elektronik dengan Teknologi Nir Sentuh.68
Pada umumnya produk yang dihasilkan oleh pihak perbankan tidak diatur oleh Bank Indonesia dan diserahkan pada masing- masing bank, namun untuk sistem pembayaran, diperlukan izin dari Bank Indonesia jika ingin mengeluarkan suatu instrumen pembayaran yang baru, sehingga Bank Indonesia akan mengatur
68 Aprianiza Humaerah, Analisis Yuridis Mekanisme Pelaksanaan Produk Perbankan: E-Toll Card Bank Mandiri, Fakultas Hukum Universitas Indonesia : Depok, 2013, hlm. 5.
mengenai perizinan apa saja yang diperlukan bagi bank atau lembaga bukan bank untuk mendapatkan izin tertentu. Selaku otoritas yang berwenang, Bank Indonesia memasukan e-toll card sebagai uang elektronik.
Dalam mengeluarkan e-toll card ini, Bank Mandiri mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/11/DASP tentang Uang Elektronik. Bank Mandiri menggunakan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia tersebut sebagai landasan hukum dalam mengeluarkan produk perbankan e- toll dikarenakan pengaturan mengenai uang elektronik telah terpisah dari peraturan Bank Indonesia nomor 14/2/PBI/2012 tentang perubahan atas peraturan Bank Indonesia nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK). Alasan dari uang elektronik diatur terpisah dari Peraturan Bank Indonesia APMK adalah karena salah satu ciri dari uang elektronik sebagai alat pembayaran yaitu adanya kegiatan Prabayar dari Pemegang kepada Penerbit Uang Elektronik, sebelum Pemegang menggunakannya untuk kepentingan transaksi pembayaran. Uang dari pemegang disimpan secara elektronik dalam bentuk suatu chip atau dalam suatu media server yang dikelola oleh Penerbit. Dengan media penyimpan chip maka bentuk uang
elektronik tidak selalu berupa kartu, sehingga kurang tepat jika uang elektronik dimasukkan sebagai APMK.69
Instrumen pembayaran elektronik baru digunakan Bank Mandiri sebagai instrumen dalam melakukan pembayaran tol yang cepat dan praktis. Karakteristik yang dimiliki oleh e-toll card berbeda dengan pembayaran elektronik yang ada pada kartu kredit atau kartu debit karena pembayaran dengan menggunakan uang elektronik ini tidak selalu memerlukan proses otorisasi untuk pembebanan ke rekening nasabah yang menggunakannya. Karakteristik yang dimiliki oleh uang elektronik berdasarkan Peraturan Bank Indonesia nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic money) yaitu tercantum dalam Pasal 1 yang berbunyi:70
“Uang Elektronik (Electronic Money) adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit;
b. Nilai uang disimpan secara elektronik dalam satu media seperti server atau chip;
69 Frequently Asked Questions PBI No. 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money), hlm. 1.
70 Bank Indonesia (a), Peraturan Bank Indonesia tentang Uang Elektronik, PBI No.
11/12/PBI/2009, LN No. 65 Tahun 2009, TLN No. 5001, ps. 1 angka 3.
c. Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit elektronik tersebut; dan
d. Nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.”
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia No. 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money), uang elektronik merupakan alat pembayaran yang mengharuskan pemegang kartu menyetorkan atas sejumlah nilai uang yang nantinya uang yang disetorkan tersebut akan tersimpan secara elektronik ke dalam kartu tersebut. Hal tersebut membuktikan bahwa uang elektronik termasuk dalam transaksi pembayaran dengan sistem prabayar karena mengharuskan adanya penyetoran sejumlah nilai uang terlebih dahulu.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa uang elektronik adalah alat pembayaran tunai dimana nilai nominal tersimpan dalam sebuah chip (biasanya chip tersimpan dalam sebuah kartu prabayar) dan transaksinya bersifat off-line yaitu tidak memerlukan hubungan langsung dengan bank karena dana dalam
uang elektronik tersebut bukan merupakan simpanan dari pengguna kartu.71
Perjanjian antara Bank Mandiri dengan PT Jasa Marga tersebut masih mengacu pada pasal 12 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 yaitu :
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang akan melakukan Kerjasama dengan pihak lain, maka Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib:
a. Melaporkan rencana kerjasama dengan pihak lain kepada Bank Indonesia;
b. Memiliki bukti mengenai keandalan dan keamanan sistem yang digunakan oleh pihak lain dalam penyelenggaraan uang elektronik yang antara lain dibuktikan dengan adanya:
1) Hasil audit teknologi informasi dari auditor independen; dan
2) Hasil sertifikasi yang dilakukan oleh principal, jika dipersyaratkan oleh principal.
c. Mensyaratkan kepada pihak lain dalam penyelenggaraan uang elektronik untuk menjaga kerahasiaan data.
71 Rosy Rahayu, Pengaruh Manfaat, Kemudahan Penggunaan dan Niat Menggunakan terhadap Penggunaan aktual Kartu Flazz BCA, Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung, 2012, hlm. 4
Bank Mandiri selaku penerbit uang elektronik telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 12 tersebut sehingga Bank Mandiri dapat melakukan kerjasama secara eksklusif dengan PT Jasa Marga, hal tersebut mengakibatkan pembayaran tol menggunakan uang elektronik hanya dapat dilakukan dengan satu kartu terbitan Bank Mandiri yaitu E-Toll card.
Berdasarkan Surat Penetapan Pemenang Pengadaan Mitra Kerjasama Pengembangan Sistem E-Payment dengan Teknologi Contactless Smartcard nomor: AA.OPO3.1494, 804/DU- PT.01/X/2008, 331.A/M-I/X/2008, 229/BSDT-DIR/X/2008,
tertanggal 16 Oktober 2008; menetapkan Bank Mandiri sebagai pemegang kerjasama ekslusif dengan PT Jasa Marga sehingga bank tersebut merupakan satu-satunya bank yang dapat melakukan pembayaran menggunakan E-Money, namun pada tahun 2013 Bank Indonesia sebagai regulator mendesak Bank Mandiri agar membuka akses pembayaran tol dengan menggunakan E-Money kepada bank- bank lain.72
Bank Indonesia melalui Peraturan Nomor 16/8/PBI/2014 telah melarang adanya kerjasama eksklusif dalam penyelenggaraan kegiatan E-Money terlebih lagi berkaitan dengan layanan umum atau Public Utility, larangan kerjasama eksklusif tersebut tertuang dalam
72 Hasil wawancara dengan Xxxx Xxxxxx, Area Operations Manager di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Dalam jurnal yang ditulis oleh Xxxxx,Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxx, “Analisis Penerapan Pembayaran Tol Menggunakan E-Money”, terdapat dalam xxxxx://xxxxxxxx0.xxxxx.xx.xx/xxxxx.xxx/xxx/xxxxxxx/xxxx/00000/00000 diakses terakhir tanggal 12 September 2020.
pasal 11 peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014. Kebijakan tersebut dinilai dapat menghambat pertumbuhan industri uang elektronik yang sehat dan kompetitif, sehingga Bank Indonesia mengeluarkan regulasi baru melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/8/PBI/2014 yang melarang adanya kerjasama antara penerbit dan terutama pihak penyedia layanan umum. Setelah dikeluarkannya peraturan Bank Indonesia Nomor 18/8/PBI/2014 ini menandakan tidak ada lagi pihak yang dapat melakukan kerjasama secara eksklusif. Akan tetapi dalam kasus ini Bank Mandiri telah bersedia membuka peluang untuk bank-bank lain yang ingin ikut menggunakan uang elektronik miliknya untuk pembayaran tol. Dengan demikian sesuai dengan ketentuan undang-undang maka para pihak yaitu Bank Mandiri dengan PT Jasa Marga harus menuangkan perubahan-perubahan tersebut ke dalam addendum.73
B. Perlindungan Konsumen atas Penggunaan E-Toll Card Mandiri
Setiap orang pada suatu waktu baik dalam posisi sendiri maupun berkelompok dalam keadaan apapun, pasti menjadi konsumen untuk suatu produk atau jasa tertentu. Keadaan ini pada beberapa sisi menunjukkan bahwa adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang
73 Xxxxx,Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxx, “Analisis Penerapan Pembayaran Tol Menggunakan E-Money”, terdapat dalam xxxxx://xxxxxxxx0.xxxxx.xx.xx/xxxxx.xxx/xxx/xxxxxxx/xxxx/00000/00000 diakses terakhir tanggal 12 September 2020.
aman. Dibutuhkan adanya perlindungan hukum bagi konsumen karena dalam pergaulan hidup mereka sehari-hari masih banyak ditemukan permasalahan konsumen yang diantaranya seperti konsumen yang dirugikan oleh produsen karena produk barang dan/atau jasa yang di konsumsinya. Hal tersebut yang menjadikan alasan konsumen kemudian menuntut ganti kerugian kepada pelaku usaha. Pelaku usaha memiliki kewajiban untuk mengganti kerugian apabila terjadi kerusakan pada barang dan/atau jasa yang telah sampai kepada konsumen, akan tetapi konsumen tersebut belum mendapatkan perlindungan hukum terhadap konsumen yang tepat dikarenakan masih lemahnya perlindungan hukum terhadap konsumen yang diberikan oleh pelaku usaha.
Dalam praktiknya, masih sering timbul masalah seperti kehilangan kartu. Misalnya saja contoh kasus Sakti Kurnia yang mengaku kehilangan kartu e-Toll saat melintas di jalan tol Surabaya- Mojokerto, sehingga kemudian ia dikenai denda sebanyak dua kali jarak terjauh yakni sebesar Rp 1.002.000,74 kemudian kasus e-toll card dengan nilai yang dapat di top up atau diisi ulang tidak termasuk dalam inventori bank sebagai salah satu lembaga yang mengeluarkan produk ini, sehingga apabila terjadi pencurian atau penggunaan e-toll card yang bukan pengguna kartu tidak dapat dilacak keberadaannya dan kartu tersebut tidak dapat diblokir.
74 xxxxx://xxxxxxxxxxx.xxxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxxxxxx-xxxxxxxxx-xxxxxxx- rp-1-juta-akibat-e-toll-hilang-viral-di-medsos-ada-modus-pencurian. Diakses pada tanggal 13 Maret 2020, Pukul 20.31 wib.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol dalam Pasal 86 ayat (2) menyatakan bahwa pengguna jalan tol wajib membayar denda sebesar dua kali tarif tol jarak terjauh pada ruas jalan tol dengan sistem tertutup dalam hal :
a. Pengguna jalan tol tidak dapat menunjukkan bukti tanda masuk jalan tol pada saat membayar tol;
b. Menunjukkan bukti tanda masuk yang rusak pada saat membayar tol;
c. Tidak dapat menunjukkan bukti tanda masuk yang benar atau sesuai dengan arah perjalanan pada saat membayar tol.
Mengenai kasus yang dialami Sakti Kurnia yang kehilangan kartu e-toll dan dikenai denda dua kali tarif jarak terjauh, PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk. menindaklanjuti informasi yang beredar di media sosial tersebut dengan mengkonfirmasi bahwa berita tersebut tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Menurut PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. pengenaan denda sebesar dua kali tarif tol jarak terjauh pada tol dengan sistem tertutup dikarenakan pengguna jalan tidak dapat menunjukkan bukti tanda masuk yang benar saat membayar tarif tol akibat dari penggunaan uang elektronik yang berbeda. Sesuai dengan Xxxaturan Pemerintah
(PP) No. 15 Tahun 2005, maka pengguna jalan tol wajib membayar dua kali tarif tol jarak terjauh di mana jarak terjauh barrier to barrier cluster 3 adalah Gerbang Tol (GT) Banyumanik sampai dengan GT Warugunung, yakni Rp 326.000. Jadi pengguna jalan yang telah melanggar ketentuan tersebut dikenakan denda sebesar Rp 652.000,-.75 Namun kenyataannya, pengguna tol yang bernama Sakti Kurnia membayar sejumlah uang sebesar Rp 1.002.000,-. Mengenai hal tersebut, Manajer Tol Surabaya- Mojokerto PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk, Xxxxx Xxxxxx dalam pernyataannya pada Surabaya Tribunnews mengklarifikasi bahwa berdasarkan denda yang mencapai Rp 1 juta tersebut kemungkinan pengguna tol tersebut menggunakan kendaraan golongan II yaitu truk diesel. Adapun kendaraan golongan II menggunakan tarif normal rute terjauh Cluster 3 dari GT Banyumanik hingga GT Warungunung Surabaya Rp 501.000,- sehingga denda tarif dua kali dari jarak terjauh cluster 3 ini berjumlah satu juta dua ribu rupiah.76 Kasus e-toll card dengan nilai yang dapat di top up atau diisi ulang tidak termasuk dalam inventori bank sebagai salah satu lembaga yang mengeluarkan produk ini, sehingga apabila terjadi
75 Press Release PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk., Nomor 129/2019 tanggal 21 Juni 2019, terdapat dalam https://xxx.xxxxxxxxx.xxx/public/id/aktivitas/detail.aspx?title=Penjelasan%20Jasa%20Marga%2 0Tentang%20Penanganan%20Transaksi%20Pengguna%20Jalan%20Dengan%20E- Toll%20Berbeda%20di%20Jalan%20Tol%20Surabaya-Mojokerto, Diakses terakhir tanggal 22 September 2020.
76 Hasil wawancara dengan Xxxxx Xxxxxx, Manajer Tol Surabaya-Mojokerto PT. Xxxx Xxxxx (Persero) Tbk terdapat dalam xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxx-xxxxxxxx- tol-sumo-didenda-rp-1-juta-karena-e-toll-hilang-ini-penjelasan-jasa-marga, Diakses terakhir tanggal 22 September 2020.
pencurian atau penggunaan e-toll card yang bukan pengguna kartu tidak dapat dilacak keberadaannya dan kartu tersebut tidak dapat diblokir. Hal tersebut dikarenakan e-toll card berbeda dengan kartu kredit maupun kartu debit, e-toll card tidak memerlukan konfirmasi data atau otorisasi Personal Identification Number (PIN) ketika akan digunakan sebagai alat pembayaran dan tidak terkait langsung dengan rekening nasabah di bank.
Konsumen pengguna jalan tol memiliki hak-hak untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan dari hukum, sebagaimana diatur oleh Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:77
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
77 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxxx, Perlindungan Hukum Konsumen Pengguna Jalan Tol Berbasis Uang Elektronik dari Perspektif Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar : Denpasar, 2018, hlm. 5.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Terkait dengan perlindungan konsumen terhadap pemegang e-toll card, pada hakikatnya e-toll card merupakan salah satu varian dari pada uang elektronik atau e-money. Lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disingkat UUPK diharapkan menjadi payung hukum di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen.
Undang undang perlindungan konsumen lebih menekankan kepada itikad baik pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang sampai pada tahap penjualan.78 Kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
78 Xxxxxx Xxxx dan Xxxxxxxx Xxxx, Op.Cit, hlm. 54.
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan disebabkan karena informasi tersebut merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis produk cacat yang sangat merugikan konsumen.79
Penerapan uang elektronik bukan tanpa resiko, sistem pembayaran canggih ini memiliki banyak celah yang dapat ditembus. Dalam penyelenggaraan uang elektronik, faktor utama yang mempengaruhi tingkat keamanan penggunanya antara lain instrumen atau peralatan yang digunakan, baik oleh konsumen maupun oleh pelaku usaha, aplikasi serta pertukaran data elektronik pada saat terjadinya transaksi.
Pada umumnya dalam memperoleh hak tidak terlepas dengan dilaksanakannya kewajiban karena antara hak dan kewajiban saling berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan. UUPK juga menetapkan kewajiban-kewajiban bagi konsumen yang tertuang dalam Pasal 5, yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
79 Xxxxxx Xxx Xxxx Kristiyanti, Op. Cit, hlm. 44.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Maka dari itu konsumen e-toll card sangat perlu untuk memastikan bahwa dirinya telah melaksanakan kewajiban- kewajibannya terlebih dahulu terkhusus membaca segala bentuk informasi, prosedur pemakaian atau e-toll card atau pemeliharaan yang disediakan oleh penerbit sesuai dengan kewajiban pelaku usaha atau penerbit e-toll card dalam Pasal 7 UUPK demi terhindarnya kerugian-kerugian yang mungkin akan diderita oleh konsumen atau bukan akibat kelalaiannya sendiri. Karena segala bentuk kerugian yang terjadi akibat kelalaian konsumen e-toll card dalam membaca informasi yang disediakan oleh penerbit terkait produknya tidak menjadi kewajiban dari pada penerbit untuk menanggung dan mengganti kerugian yang ada.80
C. Perspektif Hukum Islam mengenai Konstruksi Hukum Perjanjian dan Perlindungan Konsumen atas Penggunaan E- Toll Card
Pada hakikatnya, perjanjian dapat dilaksanakan apabila mendapat persetujuan dari kedua belah pihak yang cakap bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak
80 Xxxxxx Xxxxxxxx, Tinjauan Xxxxxxx Xxxlindungan Konsumen terhadap Kebijakan E-Toll Card, Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia : Makassar, 2019, hlm. 48-49
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Terdapat tiga asas pokok dalam hukum kontrak yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha maupun konsumen, yakni asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat nya kontrak, dan asas kebebasan berkontrak. Dalam hukum Islam terdapat asas-asas dari suatu akad kontrak. Asas tersebut berpengaruh pada status akad. Ketika asas ini tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan batal atau tdiak sahnya akad (kontrak) yang dibuat, adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut : Pertama, al-Hurriyah (kebebasan) asas ini merupakan prinsip dasar dari hukum kontrak Islam. Pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian atau kebebasan berkontrak; kedua, al-Musawah (persamaan dan kesetaraan) asas ini memberikan landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kedudukan yang sama antara satu dengan yang lain; ketiga, al- Adalah (keadilan); keempat, al-Ridha (kerelaan); kelima, ash-Shidiq (kejujuran dan kebenaran), keenam, al-Kitabah (tertulis).81
Dalam syarat dan ketentuan produk e-toll tidak tertera nomenklatur akad syariah apapun. Walaupun tidak terdapat nomenklatur akad dalam operasional, namun secara garis besar operasional produk ini cenderung menggunakan akad sarf atau akad
00 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Xx.Cit, hlm. 89.