RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XVIII/2020
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XVIII/2020
“Pengaturan Organisasi, Administrasi dan Keuangan Pengadilan Pajak di bawah Kewenangan Mahkamah Agung”
I. PEMOHON
Dr. Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, S.H., M.H.
Kuasa Hukum:
Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H., dkk. Selanjutnya disebut Pemohon.
II. OBJEK PERMOHONAN
Pengujian materiil:
1. Frasa “Departemen Keuangan” dalam Pasal 5 ayat (2);
2. Frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan” dalam Pasal 8 ayat (1);
3. Frasa “Presiden dari para Xxxxx yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan” dalam Pasal 8 ayat (2);
4. Frasa “Keputusan Menteri” dalam Pasal 9 ayat (5);
5. Frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan” dalam Pasal 13 ayat (1);
6. Frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan” dalam Pasal 13 ayat (2);
7. Frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan” dalam Pasal 14;
8. Frasa “dengan Keputusan Presiden atas usul” dalam Pasal 16 ayat (1);
9. Frasa “Menteri dengan persetujuan” dalam Pasal 17 ayat (1);
10. Frasa “Keputusan Menteri” dalam Pasal 22 ayat (2);
11. Frasa “Departemen Keuangan” dalam Pasal 25 ayat (1);
12. Frasa “dengan Keputusan Menteri” dalam Pasal 27;
13. Frasa “dengan Keputusan Menteri” dalam Pasal 28 ayat (2);
14. Frasa “Menteri” dalam Pasal 29 ayat (4); dan
15. Frasa “Menteri” dalam Pasal 34 ayat (2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Xxxxxxx menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
2. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
3. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
4. Bahwa selanjutnya Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
x. xxxxxxxxxx lain yang diberikan oleh undang-undang”.
5. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution), juga berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum, sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi.
6. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melakukan pengujian a quo.
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)
1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan:
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan WNI;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
2. Bahwa Putusan Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, juga menyebutkan tentang kapasitas Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, yaitu:
a. Adanya hak dan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.
3. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan saat ini menjabat sebagai Hakim Yustisial pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung.
4. Bahwa berlakunya ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak menyebabkan masuknya kekuasaan Pemerintah incasu Menteri Keuangan ke dalam Pengadilan Pajak yang secara telah menabrak prinsip-prinsip kekuasan kehakiman yang merdeka. Masuknya kekuasan Pemerintah terdapat pada ketentuan-ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Pajak.
5. Bahwa selanjutnya dengan diberikannya sebagian besar urusan pembinaan, yakni pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan kepada Kementerian Keuangan, mengakibatkan tidak terbangunnya sistem pembinaan dan koordinasi yang selaras dalam penanganan penyelesaian sengketa pajak. Hal demikian menyebabkan menumpuknya beban penyelesaian perkara pajak di Mahkamah Agung, dan berdampak merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara dalam penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim.
6. Bahwa apabila permohonan a quo dikabulkan, maka pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, akan memulihkan hak konstitusional Pemohon sebagai seorang Hakim untuk dapat menjalankan tugas secara independen dan turut menjaga kemerdekaan dan kemandirian peradilan. Dengan demikian Xxxxxxx memiliki kedudukan hukum dalam permohonan pengujian undang-undang ini.
V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945
A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian materiil UU 14/2002
1. Pasal 5 ayat (2)
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.
2. Pasal 8 ayat (1)
Xxxxx diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
3. Pasal 8 ayat (2)
Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
4. Pasal 9 ayat (5)
Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
5. Pasal 13 ayat (1)
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena ... dst.
6. Pasal 13 ayat (2)
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena tenaganya dibutuhkan oleh negara untuk menjalankan tugas negara lainnya.
7. Pasal 14
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri, setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dengan alasan ... dst.
8. Pasal 16 ayat (1)
Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan Menteri.
9. Pasal 17 ayat (1)
Ketua, Wakil Ketua, dan Xxxxx sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
10. Pasal 22 ayat (2)
Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri.
11. Pasal 25 ayat (1)
Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan Departemen Keuangan.
12. Pasal 27
Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri.
13. Pasal 28 ayat (2)
Tata kerja kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
14. Pasal 29 ayat (4)
Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri.
15. Pasal 34 ayat (2)
Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. ...
b. ...
c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945.
1. Pasal 1 ayat (3)
Negara Indonesia adalah negara hukum.
2. Pasal 24 ayat (1)
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
3. Pasal 24 ayat (2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
VI. ALASAN PERMOHONAN
1. Bahwa berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) telah menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan pembinaan penyelesaian sengketa pajak, yang sebelumnya dipegang oleh Ketua Mahkamah Agung beralih ke Departemen Keuangan, yang dalam Pasal 5 ayat (1) diatur bahwa pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan BPSP dilakukan oleh Departemen Keuangan.
2. Bahwa oleh karena pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak yang dilakukan oleh BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan, dan oleh karena BPSP belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung, maka ditetapkan UU Pengadilan Pajak. Pasal 2 UU a quo menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
3. Bahwa pembinaan yang demikian, menunjukkan adanya inkonsistensi terhadap sistem peradilan yang ada, dan bertentangan dengan Pasal 24 ayat
(1) dan (2) UUD 1945 karena menempatkan badan peradilan di bawah eksekutif.
4. Bahwa terkait dengan urusan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak, pembentuk undang-undang menghendaki tidak boleh ada dualisme pembinaan sebagaimana yang terjadi dalam UU sebelumnya (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang BPSP), harus ada pemisahan tegas antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif dalam pembinaan penyelesaian sengketa pajak demi memperkuat kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
5. Bahwa dalam proses pembahasan RUU Pengadilan Pajak khususnya menyangkut original intent Pasal 5 UU Pengadilan Pajak, sikap Pemerintah menghendaki pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dialihkan ke Mahkamah Agung paling lambat 5 (lima) tahun sejak UU Pengadilan Pajak diundangkan. Sementara itu, beberapa fraksi di DPR menghendaki peralihan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak dialihkan ke Mahkamah Agung paling lama 3 tahun, dan ada pula yang
menghendaki cukup 1 tahun. Namun demikian, pada saat RUU Pengadilan Pajak diundangkan, norma Pasal 5 ayat (3) UU Pengadilan Pajak yang menyebutkan bahwa pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Badan Peradilan Pajak akan dialihkan ke Mahkamah Agung secara bertahap dihilangkan. Hal tersebut yang mengakibatkan urusan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan tetap berada dibawah kekuasaan Kementerian Keuangan.
6. Bahwa penempatan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus sebagaimana dalam UU Kekuasaan Kehakiman tidak tercantum dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU Pengadilan Pajak.
7. Bahwa Pengadilan Pajak adalah merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yaitu pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berada dibawah Kekuasaan Mahkamah Agung.
8. Bahwa telah jelas dan terang benderang bahwa seluruh badan peradilan yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung merupakan satu kesatuan yang harus dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan sesuai dengan amanat pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
9. Bahwa Mahkamah telah memberikan pemaknaan atas kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem badan peradilan dan kekuasaan kehakiman, diantaranya dalam Putusan Nomor 4/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 6/PUU-XIV/2016. Dimana secara tegas Mahkamah mengatakan bahwa kedudukan pengadilan Pajak adalah berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
10. Bahwa oleh karenanya demi tetap tegak dan terjaganya Konstitusi, maka Mahkamah harus mendudukan Pengadilan Pajak masuk ke dalam kekuasaan Mahkamah Agung dengan menempatkan frasa pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Hal tersebut tidaklah dapat dikatakan bahwa Mahkamah telah membuat norma baru, karena sejatinya norma tersebut sudah ada incasu dalam Pasal 5 ayat
(2) UU Pengadilan Pajak. Hanya saja penempatan norma tersebut
mengakibatkan adanya pertentangan norma karena telah melanggar ketentuan norma Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
11. Bahwa dengan diberikannya urusan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan kepada Kementerian Keuangan tanpa adanya tenggat waktu peralihan sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, mengakibatkan diaturnya kewenangan Kementerian Keuangan ke dalam Pengadilan Pajak sangat besar, sebagaimana Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Pajak.
12. Bahwa dengan besarnya kewenangan yang diberikan kepada Kementerian Keuangan, menyebabkan besarnya potensi Pengadilan Pajak tidak independen dalam menjalankan kewenangan yang dimiliki, karena Kementerian Keuangan (Dirjen Pajak) merupakan salah satu pihak yang selalu menjadi tergugat dalam sengketa pajak.
13. Berdasarkan seluruh uraian diatas, sangat penting kiranya bagi Mahkamah untuk meluruskan dan mendudukan urusan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, demi terwujudnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman terwujudnya kemandirian lembaga peradilan incasu Pengadilan Pajak, dan memberikan pemisahan tegas antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif, serta agar tetap tegaknya prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
VII. PETITUM
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan:
2.1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Departemen Keuangan” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Agung”. Sehingga ketentuan norma Pasal 5 ayat (2)
selengkapnya berbunyi Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2.2. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Hakim diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung”.
2.3. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 8 ayat (2) selengkapnya berbunyi “Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung”.
2.4. Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Keputusan Menteri” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dengan Peraturan Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 9 ayat (5) selengkapnya berbunyi “Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.”
2.5. Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 13 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung karena: x. xxxxxxxxxx sendiri; b. sakit jasmani dan rohani terus menerus; c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; atau d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.”
2.6. Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 13 ayat (2) selengkapnya berbunyi “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena tenaganya dibutuhkan oleh negara untuk menjalankan tugas negara lainnya.”
2.7. Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 14 selengkapnya berbunyi “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dengan alasan: a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; b. melakukan perbuatan tercela; c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; d. melanggar sumpah/janji jabatan; atau e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.”
2.8. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “dengan Keputusan Presiden atas usul” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “oleh” dan terhadap frasa “dan Menteri” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 16 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta
tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.”
2.9. Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri dengan persetujuan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 17 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.”
2.10.Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Keputusan Menteri” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “peraturan perundang-undangan” sehingga ketentuan norma Pasal 22 ayat (2) selengkapnya berbunyi “Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan peraturan perundang-undangan.”
2.11.Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Departemen Keuangan” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 25 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan Mahkamah Agung.”
2.12.Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “dengan Keputusan Menteri” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “oleh Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 27 selengkapnya
berbunyi “Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur oleh Mahkamah Agung.”
2.13.Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “dengan Keputusan Menteri” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “oleh Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 28 ayat (2) selengkapnya berbunyi “Tata kerja kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Peraturan Mahkamah Agung.”
2.14.Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 29 ayat (4) selengkapnya berbunyi “Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung.”
2.15.Pasal 34 ayat (2) huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 34 ayat (2) huruf c selengkapnya berbunyi “Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.”
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau, apabila Yang Xxxxx Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxx berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).