PENANGANAN KASUS
KOMPILASI
PENANGANAN KASUS
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) DAN PEKERJA RUMAH TANGGA ANAK (PRTA)
International Labour Organization
KOMPILASI
PENANGANAN KASUS
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) DAN PEKERJA RUMAH TANGGA ANAK (PRTA)
Buku ini dipublikasikan dengan dukungan dari:
International Labour Organization
Pendanaan untuk penerbitan ini didukung oleh Departemen Perburuhan Amerika Serikat di bawah Cooperative Agreement No. IL-23990-13-75-K.
Isi dari penerbitan ini tidak serta merta merefleksikan pandangan atau kebijakan Departemen Perburuhan Amerika Serikat atau penyebutan nama dagang, produk komersil atau organisasi tidak mengimplikasikan dukungan oleh pemerintah Amerika Serikat.
DAFTAR ISI
Ucapan Terima Kasih 4
Kata Pengantar 5
BAB 1. PENDAHULUAN 7
BAB 2. KASUS-KASUS 9
A. Kasus Ketenagakerjaan 9
1. PHK karena Jatuh Sakit 9
2. PHK karena Dituduh Mencuri 12
3. PHK karena Menuntut Jaminan Kesehatan 14
4. PHK Tanpa Pesangon 16
5. PHK Setelah Mengajukan Cuti Melahirkan 19
6. PHK Tanpa Mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) 21
7. PHK Memperjuangkan Kontrak Kerja 25
B. Kasus Pidana Kriminalisasi Pekerja Rumah Tangga (PRT) 27
1. Kriminalisasi PRT 27
C. Kasus Pidana 34
1. PRT Korban Perdagangan Orang (Human Traficking) 34
2. PRT Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga 39
BAB 3. ANALISA 51
X. Xxxxxxan dan Tantangan 51
1. Hambatan dan Tantangan dalam Sistem Hukum 51
2. Hambatan dalam Proses Penanganan Kasus 57
B. Pembelajaran Terkait Strategi Penanganan Kasus 59
BAB 4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 61
UCAPAN TERIMAKASIH
Kompendium ini merupakan kompilasi penanganan kasus pekerja rumah tangga (PRT) dan pekerja rumah tangga anak (PRTA) yang dilakukan oleh LBH Jakarta dan LBH APIK Jakarta, dan Serikat Pekerja Domestik Pekerja Rumah Tangga (SPDPRT) Sapulidi. Mereka melakukan terobosan- terobosan dalam penanganan kasus-kasus tersebut. Banyak tantangan yang mereka hadapi dalam upaya memberikan bantuan hukum kepada PRT dan PRTA untuk mendapatkan keadilan. Seluruh pengalaman tersebut didokumentasikan agar dapat menjadi bahan pembelajaran bagi penanganan kasus PRT dan PRTA ke depannya.
SPDPRT Sapulidi merupakan salah satu serikat PRT yang aktif dalam memberikan pendampingan bagi para PRT yang menghadapi masalah hukum, termasuk yang terkait dengan ketenagakerjaan. Dalam melakukan pendampingan, mereka juga melakukan upaya-upaya dan strategi untuk membantu PRT memperoleh keadilan. Tidak jarang mereka berhadapan dengan majikan secara langsung untuk bernegosiasi, sebagai salah satu upaya agar PRT mendapatkan hak-haknya.
Terima kasih kepada semua pihak atas sumbangsih waktu, pikiran dan tenaga yang diberikan dalam menyusun Kompendium ini. Juga terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah terlibat dalam upaya pemenuhan hak PRT dan PRTA atas keadilan.
Xxx Xxnyusun:
Xxxx Xxxxxxxx – LBH Jakarta
Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxx – LBH Jakarta Xxxxxxx Xxxxx – LBH APIK Jakarta Xxxx Xxxxxxxxx – JALA PRT
Xxxx Xxxxxxxx – LBH APIK Jakarta
Xxx Editor Substansi:
Iit Rahmatin
Xxxxx Xxxxxx Munti
KATA PENGANTAR
Kondisi kerja pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia hingga kini cukup memprihatinkan, mereka mengalami diskriminasi dan berbagai kondisi kerja tidak layak. Padahal, PRT merupakan salah satu pekerja yang mempunyai kontribusi besar dalam kehidupan sosial dan ekonomi di masyarakat. Banyak masyarakat menggunakan jasa PRT untuk menggantikan posisinya menyelesaikan tugas di rumah agar dapat melakukan aktivitas sosial dan ekonomi di luar rumah.
Sayang, peran PRT yang cukup signifikan tidak diimbangi dengan timbal balik terhadap pengakuan dan jaminan kerja yang layak. Banyak permasalahan atas pengakuan dan jaminan kerja yang layak bagi PRT mulai dari proporsi jam kerja yang tidak jelas hingga upah kerja yang rendah.
Banyaknya permasalahan terhadap PRT salah satunya dikarenakan Indonesia belum mempunyai peraturan hukum untuk memberikan pelindungan terhadap hak-hak PRT sebagai pekerja, seperti perlindungan terhadap jam kerja, upah minimum, hak libur, keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan sosial dan juga hak-hak lainnya. Penyebab lain banyak munculnya permasalahan terhadap hak-hak PRT dikarenakan mayoritas PRT tidak memiliki kontrak kerja yang jelas dengan majikan mengenai hak dan kewajibannya sebagai PRT.
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Jakarta (LBH APIK Jakarta) adalah dua dari beberapa lembaga bantuan hukum bersama SPDPRT Sapulidi sebagai serikat pekerja domestik pekerja rumah tangga yang memiliki perhatian dan melakukan advokasi atas permasalahan PRT. Dengan dukungan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bekerja sama dengan JALA PRT, LBH Jakarta dan LBH APIK Jakarta, SPDPRT Sapulidi memberikan penguatan kapasitas organisasi PRT untuk meningkatkan akses terhadap keadilan bagi PRT/PRTA melalui pendampingan kasus. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Promosi Kerja Layak bagi PRT dan Penghapusan PRTA. Rekam jejak penanganan kasus- kasus PRT yang dilakukan oleh LBH Jakarta dan LBH APIK Jakarta ini kemudian didokumentasikan dalam bentuk Kompilasi.
Tujuan dari penyusunan Kompilasi ini adalah merekam pengalaman tentang kasus-kasus PRT/PRTA yang telah ditangani atau didampingi LBH Jakarta dan LBH APIK Jakarta dan SPDPRT Sapulidi. Selain itu, kompilasi ini juga bertujuan menyebarluaskan pengalaman penanganan kasus tersebut guna menjadi pembelajaran, baik bagi para PRT, organisasi pemberi bantuan hukum kepada PRT/PRTA, maupun aparat penegak hukum. Kompilasi diharapkan dapat menjadi salah satu referensi yang berguna dalam menangani kasus-kasus PRT/PRTA dan merespons kebutuhan hukum PRT dan PRTA.
JALA PRT mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada LBH Jakarta dan LBH APIK Jakarta dan SPDPRT Sapulidi yang telah menyusun Kompilasi ini dan juga kepada Iit Rahmatin dan Xxxxx Xxxxxx Munti yang telah berkontribusi dalam menyempurnakan Kompilasi ini. Akhir kata, semoga Kompilasi ini dapat memberikan pembelajaran berharga atas penanganan kasus-kasus PRT.
BAB 1.
PENDAHULUAN
Perlindungan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) dapat dikatakan masih jauh dari maksimal. Hal tersebut ditunjukkan dari berbagai pelanggaran hak PRT yang masih saja terjadi terus-menerus dan berulang. Bentuk-bentuk pelanggaran yang dialami PRT, antara lain tidak dibayarkannya upah, pesangon, jaminan sosial, upah lembur, PHK semena-mena, dan lainnya.
Salah satu dasar persoalan yang menjadi pemicu timbulnya pelanggaran, yakni ketidakjelasan hubungan kerja antara PRT dan majikan. Jika dilihat dari perspektif ketenagakerjaan, majikan bertindak selaku pemberi kerja dan PRT sebagai penerima kerja. Maka, seharusnya hubungan kerja antara PRT dan majikannya dilindungi oleh Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Namun, pada praktiknya hubungan kerja kedua belah pihak kerap tidak diakui. Hal itu membuat mekanisme penyelesaian masalah menjadi tidak jelas dan tidak ada jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak PRT begitu terjadi pelanggaran hak yang dialami oleh PRT.
Ketidakpastian mengenai pengaturan perlindungan PRT itu mengakibatkan hak-hak mereka untuk memperoleh penghidupan yang layak terus terlanggar. Salah satu penyebab lainnya adalah tidak adanya regulasi yang secara khusus mengatur perlindungan bagi PRT. Padahal, persoalan yang dialami oleh PRT maupun PRT anak (PRTA) memiliki karakteristik tersendiri. Di antaranya, mereka bekerja di sektor informal dan di ruang yang dianggap privat, yaitu domestik/rumah tangga. Hal ini menyebabkan sulitnya pihak yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap PRT/PRTA dan kondisi kerjanya.
Melihat kondisi tersebut, sangatlah penting dibuat undang-undang khusus yang mampu memberikan perlindungan bagi PRT. Saat ini, jaringan masyarakat sipil yang fokus pada advokasi perlindungan PRT (JALA PRT) sedang mendorong pengesahan RUU Perlindungan PRT di DPR. Proses pembahasan sudah dilakukan sejak tahun 2004, tetapi hingga saat ini RUU tersebut belum juga dibahas oleh DPR RI bersama pemerintah. Ketiadaan undang-undang yang memberikan perlindungan kepada PRT itu pada akhirnya melanggengkan pelanggaran hak-hak PRT/PRTA.
Di samping itu, perhatian terhadap perlindungan PRT juga masih minim di kalangan aparat penegak hukum dan masyarakat. Isu PRT masih kurang dipahami oleh aparat penegak hukum, sehingga mereka jarang melihat kasus pelanggaran hak PRT sebagai pelanggaran hukum yang serius. Begitupun masyarakat yang belum menghargai pekerjaan PRT dan hak-hak PRT, bahkan
kerap memperlakukan PRT sebagai warga kelas dua. Hal ini tidak terlepas dari kultur di masyarakat yang masih memandang rendah status/pekerjaan PRT.
Namun, pembiaran pelanggaran hak PRT juga disebabkan banyaknya PRT yang belum terorganisir karena akses PRT yang dibatasi atau tidak dijamin negara. Misal tidak ada atau keterbatasan informasi dan akses bantuan hukum. Di samping itu ada berbagai tekanan atau desakan situasi yang dihadapi oleh PRT dari berbagai pihak. Hal di atas sering menyebabkan PRT kemudian kesulitan melaporkan atau mengadukan kasusnya.
Jadi, jika kita melihat problematika perlindungan PRT, maka terdapat tiga hal yang menjadi persoalan mendasar, yakni dari aspek susbtansi/norma, struktur/sistem, dan kultur hukum. Ketiga hal tersebut perlu mendapat perhatian kita bersama, khususnya bagi rekan-rekan yang bekerja pada isu perlindungan PRT. Di bab berikutnya akan dibahas mengenai kasus-kasus PRT yang ditangani oleh anggota JALA PRT: LBH APIK Jakarta dan LBH Jakarta serta SPDPRT Sapulidi dari segi pidana dan perdata. Semoga pengalaman penanganan kasus yang disajikan dapat menjadi bahan refleksi dan pembelajaran kita bersama dalam melakukan penanganan kasus PRT ke depannya.
BAB 2.
KASUS-KASUS
Bagian Kedua dari tulisan ini menyajikan kasus-kasus yang menunjukkan masih adanya kesenjangan antara de jure dan de facto terhadap PRT/PRTA. Ada tiga jenis kasus yang dibahas dalam bab ini, yaitu kasus ketenagakerjaan, kriminalisasi pekerja rumah tangga, dan kasus pidana. Pada kasus ketenagakerjaan, ada 15 kasus yang akan dibahas. Kasus-kasus itu memperlihatkan perbedaan perlakuan dari pemberi kerja terkait pemenuhan hak-hak pekerja. Dari kasus ketenagakerjaan tersebut ditemukan 7 klasifikasi, yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK) karena sakit sebanyak 1 kasus, PHK karena dituduh mencuri sebanyak 2 kasus, PHK setelah PRT menuntut jaminan kesehatan berupa kartu Jaminan Kesehatan ataupun Jaminan Ketenagakerjaan sebanyak 1 kasus, PHK tanpa pesangon 3 kasus, PHK setelah PRT mengajukan cuti melahirkan sebanyak 1 kasus, PHK tanpa mendapatkan tunjangan hari raya (THR) sebanyak 6 kasus, dan PHK karena memperjuangkan Perjanjian Kerja sebanyak 1 kasus.
Pada kasus pidana, terdapat tiga klasifikasi kasus yang akan dibahas, yaitu kriminalisasi terhadap PRT, kasus perdagangan manusia, dan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada kasus kriminalisasi terhadap PRT, sebanyak 4 kasus membuat PRT harus berhadapan dengan proses hukum dan duduk di kursi pesakitan. Sementara itu, terdapat 2 kasus PRT sebagai korban perdagangan manusia dan 3 kasus PRT sebagai korban KDRT. Dalam kedua kelompok kasus terakhir, telah terjadi kekejaman dari majikan kepada PRT dalam bentuk penyekapan, penganiayaan fisik, psikis, dan penelantaran dalam rumah tangga.
A. KASUS KETENAGAKERJAAN
1. PHK karena Jatuh Sakit
Kasus ini terjadi pada seorang PRT yang di-PHK karena PRT mengalami sakit saat bekerja, sedangkan majikan tidak percaya. Bahkan, PRT dituduh telah mencemarkan nama baik majikannya.
KRONOLOGI
a) Kasus P
Seorang PRT perempuan berinisial P berusia 36 tahun tinggal di Jakarta Timur. Sejak Agustus 2014, P bekerja di rumah J yang tinggal di Aparteman Parama TB. Simatupang. Pekerjaan yang dilakukan
adalah membersihkan rumah, memberi makan anjing, membawa anjing jalan-jalan, dan lain-lain. P melakukan pekerjaannya mulai pukul 08.00 hingga 18.30 atau selama 10,5 jam per hari. Dari pekerjaannya, P mendapat upah sejumlah Rp 1.600.000 per bulan dengan rincian upah pokok (gaji) Rp 1.000.000 dan uang makan sejumlah Rp 600.000.
Pada minggu kedua Oktober 2014, P digigit anjing saat membersikan kamar X. X langsung berobat ke Klinik Stefanus di Cilandak. Karena di Klinik Xxxxxxxx tidak ada vaksin rabies, maka P dirujuk ke Puskesmas Cilandak. Kemudian dengan alasan yang sama, P dirujuk lagi ke Rumah Sakit (RS) Tarakan yang khusus menangani pasien digigit anjing. Setelah P mendapat surat rujukan dari RS Tarakan, P memberikan surat tersebut kepada Y, salah satu pegawai lain di rumah J.
Akibat luka gigitan anjing tersebut, P mengalami demam. Karena kondisi sakit, esok harinya P menelepon B-pegawai lain di rumah J-untuk meminta izin tidak masuk kerja. Namun, B mengatakan P harus masuk kerja. Akhirnya dalam kondisi demam, P tetap bekerja.
Saat bertemu dengan J, P meminta agar diobati di RS Tarakan sesuai rujukan Klinik Stefanus. Namun, J keberatan dengan alasan biaya perawatan anjingnya lebih mahal dari biaya pengobatannya. J juga tidak percaya bahwa P sakit akibat digigit anjing. Bahkan, J langsung memecat P dengan tuduhan telah mencemarkan nama baiknya.
Dua minggu kemudian, P mendapat pekerjaan sebagai PRT di apartemen yang sama pada seorang majikan berkewarganegaraan Korea berinisial M. Setelah diterima, P langsung bekerja. Namun, pada hari ketiga P diberhentikan secara tiba-tiba oleh M tanpa alasan yang jelas. P pun bertanya kepada M, tetapi tidak dijawab. Kemudian, P bertanya kepada satpam apartemen. P mendapat informasi bahwa dirinya telah masuk daftar hitam (blacklist) dan dilarang bekerja di lingkungan Apartemen Parama oleh J melalui selebaran yang dibuat oleh X.
P kemudian mengadukan permasalahannya ke LBH untuk mendapatkan pemulihan nama baik (rehabilitasi), sehingga P tidak dipandang negatif dan dapat bekerja kembali di apartemen tersebut. LBH mengirimkan surat peringatan (somasi) kepada M. Kemudian, kasus ini dapat diselesaikan dengan damai melalui uang kompensasi dari M kepada P.
ANALISA
Ketidakmampuan seorang pekerja karena sakit tentunya memberikan beban tersendiri bagi pekerja, salah satunya adalah risiko di-PHK. Namun, risiko itu seharusnya dapat dicegah jika majikan memahami tanggungjawabnya dalam memenuhi hak pekerja atas kesehatan dan keselamatan kerja. Faktanya, secara umum pekerja atau profesi PRT seringkali tidak memiliki posisi tawar terhadap majikannya.
Cerita kasus di atas memberikan gambaran bahwa kekuasaan seorang majikan atas PRT sangat kuat. Majikan dengan mudahnya melakukan PHK tanpa mempertimbangkan apa yang menjadi hak-hak PRT, seperti kesehatan dan keselamatan selama bekerja. Adanya kesenjangan status sosial antara majikan dan PRT telah membuat posisi PRT rentan mendapatkan perlakuan semena-mena dari majikan.
Belajar dari kasus ini, majikan semestinya memberikan pengobatan kepada PRT-nya yang sakit, bukan justru melakukan PHK. Larangan mem-PHK pekerja karena sakit sebenarnya sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam pasal 153 ayat 1 huruf a UU tersebut, pengusaha/perusahaan/ pemberi kerja dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus. Jika seorang pekerja diputuskan hubungan karena sakit, maka PHK batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan.
Sakit bukanlah keinginan pekerja dan sesuai UU Ketenagakerjaan, upah kerja tetap harus dibayar oleh pemberi kerja1. Begitu pun dengan perhitungan xxxxxxxx0 dan perhitungan uang perhargaan3 kepada pekerja.
Bagi pengusaha/pemberi kerja yang tidak mendaftarkan karyawan/pekerjanya ke BPJS, penggantian biaya sakit diberlakukan dengan mengganti biaya berobat yang bervariasi, yaitu meliputi biaya rawat jalan tingkat pertama, rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, penunjang diagnostik dari laboratorium medis pelayanan khusus dan pelayanan gawat darurat.
Dengan mengacu pada kasus di atas, P seharusnya tidak dapat di-PHK dan berhak memperoleh biaya pengobatan luka akibat digigit anjing. P juga berhak mendapatkan pemulihan nama baik akibat dari penghinaan yang dilakukan majikan kepadanya dengan cara melaporkan perbuatan majikan ke polisi.
Namun, P lebih memilih menyelesaikan kasusnya secara mediasi dengan majikan yang kedua untuk mendapatkan kompensasi dan pemulihan nama baik. P tidak memproses kasus pidana penghinaannya karena bentuk kekerasan yang bernuansa pidana tidak sepenuhnya dapat diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku. Apalagi tindak kekerasan (pidana) yang dialami oleh PRT kerap dianggap sebagai delik aduan dan mudah diselewengkan. Proses penyelesaian melalui mediasi pun dianggap lebih bisa menyelesaikan masalah dan PRT bisa kembali tenang dalam bekerja.
1 Pasal 9 UU Ketenagakerjaan menentukan tentang upah yang dibayarkan kepada pekerja yang sakit, sebagai berikut :
1. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus per seratus) dari upah;
2. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari upah;
3. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh per seratus) dari upah; dan
4. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima per seratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
2 Perhitungan uang pesangon yang ditetapkan berdasarkan pasal 156 Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 adalah:
1. Masa kerja kurang dari 1 tahun = 1 bulan upah
2. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun = 2 bulan upah
3. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun = 3 bulan upah
4. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun = 4 bulan upah
5. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun = 5 bulan upah
6. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 6 bulan upah
7. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun = 7 bulan upah
8. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun = 8 bulan upah masa kerja 8 tahun atau lebih = 9 bulan upah
3. Perhitungan uang penghargaan adalah sebagai berikut :
1. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 2 bulan upah
2. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun = 3 bulan upah
3. Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun = 4 bulan upah
4. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun = 5 bulan upah
5. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun = 6 bulan upah
6. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun = 7 bulan upah
7. Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun = 8 bulan upah
8. Masa kerja 24 tahun atau lebih = 10 bulan upah.
2. PHK karena Dituduh Mencuri
Terdapat dua kasus serupa pada PRT yang diberhentikan karena dituduh mencuri. Kasus pertama bermula dari kesalahpahaman antara PRT dan majikan. PRT menduga uang yang diambil adalah miliknya yang telah disimpan di atas lemari. Akibatnya, PRT diberhentikan karena dituduh mencuri uang majikannya sejumlah Rp 100.000. Setelah dilakukan upaya penyelesaian, PRT itu mendapatkan uang pesangon. Serupa dengan kasus tersebut, pada kasus kedua PRT di-PHK karena dituduh mencuri uang majikan. Namun, pada kasus ini, PRT mendapatkan uang pisah dan tidak mendapatkan uang pesangon.
KRONOLOGI
a) Kasus SM
SM adalah PRT perempuan berusia 36 tahun dan berdomisili di Jakarta Selatan. Ia bekerja sejak Maret 2012 pada pasangan suami-istri berkewarganegaraan Korea. Majikannya adalah pengusaha batu bara dengan inisial HSB (suami) dan CLD (istri). Mereka tinggal di Kencana Indah, Jakarta Selatan. Dalam perjanjian lisan antara SM dan majikan, SM bekerja sebagai juru masak di rumah HSB. Namun SM ternyata juga diwajibkan bekerja di rumah lain, yaitu di rumah PDJ, sesama warga negara Korea di sebuah apartemen daerah Pondok Indah. SM bekerja selama 10 jam per hari di dua rumah tersebut dengan upah sejumlah Rp 1.100.000 per rumah. Di rumah HSB, SM bekerja selama 1 tahun 8 bulan, sedangkan di rumah PDJ hingga (14 Januari 2015).
Permasalahan terjadi ketika pada 17 November 2014 malam hari, SM disuruh membeli satu ekor ayam kampung dan 10 butir telur ayam. Keesokan pagi pukul 08.00, CLD melarang SM memasak dengan alasan anaknya sakit. Satu jam kemudian, sekitar pukul 09.00, SM disuruh pergi belanja ke supermarket Hero dengan daftar belanja yang sudah dibuat oleh CLD. Dari belanjaan itu, terdapat uang kembalian sejumlah Rp 100.000 dan disimpan SM di atas rak. Ketika hendak pulang, SM mengambil uang tersebut karena dia menganggap itu uangnya. Di perjalanan pulang, CLS menanyakan uang yang ada di rak meja melalui SMS. Kemudian, sekitar pukul 15.00, CLD mengirim kembali pesan yang isinya memberhentikan SM dengan alasan sudah tidak cocok. Selanjutnya, malam hari pukul 19.00, SM mendatangi rumah CLD bermaksud meluruskan permasalahannya, tetapi SM tidak bisa bertemu dengan CLD dan HSB, melainkan ditemui oleh salah satu PRT lain berisial M. M memberikan sebuah amplop yang berisi uang sejumlah Rp 1.100.000 sebagai upah SM selama satu bulan terakhir.
Dua hari kemudian, 19 November 2014, CLD mengirim SMS meminta SM datang ke rumahnya membicarakan keinginan SM untuk mendapatkan pesangon sebesar tiga bulan gaji. Kemudian, terjadi kesepakatan bahwa SM akan mendapatkan pesangon sebesar 1,5 bulan gaji ditambah 18 hari, sehingga keseluruhan pesangon yang diterima adalah Rp 2.300.000. Namun, kesepakatan tersebut belum dilaksanakan.
SM pun tidak tinggal diam. Pada 2 Februari 2015, SM meminta bantuan LBH Jakarta untuk memperjuangkan haknya. Dengan bantuan LBH, SM melakukan somasi kepada CLD. Akhirnya, melalui kuasa hukum CLD, SM mendapatkan uang pesangon.
b) Kasus NSW
NSW adalah PRT perempuan berusia 48 tahun yang berdomisili di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Ia bekerja di rumah majikannya seorang warga negara asing (WNA) berinisial AD sejak tahun 2010. NSW bertugas membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Pekerjaannya itu dikerjakan mulai pukul 07.30-17.00 setiap Senin hingga Jumat dengan upah sebesar Rp 1.850.000 tanpa uang makan dan uang transportasi.
Setelah lima tahun bekerja, pada 4 Februari 2015, NSW diberhentikan dengan tuduhan mencuri barang. Namun, NSW yakin tidak melakukan perbuatan tersebut. NSW mendapatkan uang pisah sejumlah Rp 1.000.000 dan tidak mendapatkan pesangon. Padahal, ada kebiasaan bagi majikan WNA untuk memberikan pesangon sebesar dua bulan gaji per tahun kepada PRT yang diberhentikan. Karena NSW sudah bekerja selama lima tahun, maka ia meminta majikannya untuk membayar pesangon sebesar lima kali gaji, yaitu sejumlah Rp 9.250.000.
NSW telah berusaha menyampaikan keinginannya kepada AD, tetapi tidak berhasil. Kemudian, NSW meminta bantuan LBH Jakarta untuk menyelesaikan kasusnya. Adapun yang dilakukan LBH Jakarta adalah mengirimkan surat somasi dan pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Hingga saat ini, kasus tersebut masih dalam proses penyelesaian.
ANALISA
Pekerjaan rumah tangga adalah jenis pekerjaan yang dilakukan di rumah pribadi, sehingga kondisi kerja dan perlakuan majikan kepada PRT tidak terlihat oleh publik. Ada PRT yang bernasib baik, yaitu mendapatkan majikan yang perhatian dan mengerti hak-hak PRT. Namun, tidak sedikit pula PRT yang bernasib buruk dengan diperlakukan semena-mena oleh majikan, seperti diputuskan hubungan kerjanya karena dituduh mencuri. Cara majikan seperti itu sebenarnya sering dilakukan kepada PRT yang berusaha kabur karena tidak tahan dengan sikap majikan.
Gambaran pada kasus di atas menunjukkan lemahnya posisi PRT untuk membela diri dari tuduhan yang dilancarkan majikan terhadap dirinya. PRT hanya bisa pasrah menerima PHK secara sepihak. Bahkan, dalam banyak kasus, para saksi cenderung akan berpihak kepada majikan. Dalam posisi tawar yang lemah tersebut, akhirnya pilihan yang bisa dilakukan PRT adalah upaya mendapatkan hak-haknya, yaitu uang pesangon sesuai masa kerjanya.
Situasi ini menjadi pembelajaran untuk mendorong advokasi perlindungan hak-hak PRT, sehingga PRT dapat dilindungi dari kriminalisasi dan PHK semena-mena. Upaya mediasi memang menjadi peluang untuk mendapatkan secara cepat hak-hak PRT, seperti pesangon dari majikan. Namun, tindakan semena-mena majikan seharusnya mendapatkan sanksi yang setimpal dan hak PRT untuk mendapatkan pemulihan nama baik juga harus diperjuangkan.
3. PHK karena Menuntut Jaminan Kesehatan
Kasus ketiga ini berisi pengalaman seorang perempuan yang semula bekerja sebagai PRT, tetapi dalam perjalanannya juga diminta mengerjakan urusan perusahaan majikan. Alih-alih memperoleh tambahan gaji, majikan justru mendiskriminasikan ia dari pekerja lainnya dengan memberikan upah yang rendah. Selain itu, ia tidak mendapatkan uang lembur, cuti, Jamsostek, dan hak-hak lainnya. Ironisnya, saat ia menuntut jaminan kesehatan (BPJS) malah berujung pada PHK.
KRONOLOGI
a) Kasus SS
SS adalah PRT perempuan berusia 32 tahun dan berdomisili di Kunciran Indah Tangerang. Ia bekerja dengan majikan berinisial PCY di salah satu apartemen di Kuningan Jakarta Selatan sejak 25 Juni 2012. SS bertugas memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan terkadang ikut membantu acara yang dilaksanakan oleh kantor PCY, yakni PT CHE. SS menerima gaji Rp 2.700.000 untuk mengurusi dua unit apartemen milik PT CHE. Aktivitas perusahaan tersebut adalah kunjungan perwakilan dari kantor pusat, dinas pegawai dari luar negeri, dan lain-lain.
Dalam bekerja, SS diperlakukan berbeda dengan pekerja lainnya di PT CHE. SS tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja, di antaranya tidak pernah mendapatkan uang lembur, hak untuk cuti liburan pada akhir pekan, dan BPJS dengan alasan pekerjaan SS hanya sebagai PRT. Bahkan, keluar peraturan baru dari kantor yang menjelaskan SS hanya mendapatkan libur satu kali dalam setahun. Sejak 19 Desember 2015, SS sudah tidak tinggal di apartemen, tidak mendapatkan uang transportasi dan uang makan selama tiga bulan.
Untuk mendapatkan keadilan, pada 22 Desember 2015, SS meminta bantuan LBH terkait hak mendapatkan BPJS dan adanya perlakuan diskriminasi yang diterima SS dari majikan.
Menyikapi pengaduan SS, LBH Jakarta melakukan langkah sebagai berikut:
⬩ Mengirimkan surat somasi kepada Presiden Direktur PT CHE pada 4 Januari 2016 dengan tuntutan agar segera membayarkan BPJS. Kemudian, pada 11 Januari 2016 pukul 09.00 WIB, SS mendapatkan SMS dari salah satu karyawan PT CHE berinisial X. Xx meminta SS untuk datang ke kantor pukul 09.30. Kemudian, SS bertemu dengan Mr. N (Vice President of Project Management) dan X. Xxxxx pertemuan tersebut, SS langsung diberhentikan dengan mendapatkan gaji bulan Januari. Spontan SS menolak menerima uang dengan alasan akan berkoordinasi dengan pengacara (LBH).
⬩ Pada 29 Januari 2016, dilakukan pertemuan yang melibatkan LBH dan manajemen PT CHE. SS menuntut hak dengan rincian sebagai berikut:
A | Uang Pesangon | Rp 10.800.000 |
B | Uang Penggantian Hak | Rp 1.625.000 |
C | Uang Penghargaan Masa Kerja | Rp 5.400.000 |
D | Upah Lembur | Rp 40.824.526 |
E | Jaminan Sosial | Rp 8.624.526 |
Total | Rp 67.274.052 |
Setelah melalui dua kali perundingan, PT CHE menawarkan Rp 15.000.000 sebagai kompensasi PHK. Kemudian, SS memberikan perubahan penawaran bahwa PT CHE berkewajiban membayar kompensasi berupa uang pesangon, uang penggantian hak, uang penghargaan masa kerja, dan jaminan sosial (tanpa upah lembur) sejumlah Rp 26.444.526. Hasil perundingan menyepakati kompensasi PHK yang dapat dibayarkan PT CHE sejumlah Rp 22.000.000 disertai penandatanganan kesepakatan perdamaian.
ANALISA
PRT sebagai pekerja sudah seharusnya memperoleh haknya berupa jaminan sosial yang saat ini diselenggarakan oleh BPJS. BPJS merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial4.
UU BPJS menyebut dua kegiatan yang dilakukan, yaitu BPJS Kesehatan yang bertugas menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dengan begitu, pekerja tidak perlu khawatir terhadap risiko kerja bila memiliki kartu Jaminan Kesehatan ataupun Jaminan Ketenagakerjaan. Pekerja akan memperoleh perlindungan dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti penghasilan yang hilang atau berkurang. Santunan itu diberikan bila tenaga kerja mengalami kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia5.
Dalam peraturan tentang penyelenggaraan Jamsostek disebutkan bahwa setiap perusahaan yang memperkerjakan buruh minimal 10 orang atau membayar upah buruh minimal Rp 1.000.000 per bulan, wajib mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jamsostek. Pasal 15 ayat 1 UU BPJS juga menyebut pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program sosial yang diikuti.
Bila pemberi kerja tidak memenuhi kewajibannya tersebut, maka akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Sanksi
4 Xxxxxxx Xxxx, Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia , YLBHI, LBH Jakarta 2006 No 248 , Juli 2006, Hal 192.
5. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
yang diterapkan dapat berupa teguran lisan, denda, dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu6. Untuk sanksi administratif berupa teguran dan denda, dilakukan oleh BPJS, sedangkan sanksi berupa tidak mendapat pelayanan publik dilakukan oleh pemerintah daerah atas BPJS.
4. PHK Tanpa Pesangon
Kasus ini terjadi pada tiga orang PRT berinisial CAS, WNH, dan NUR-I. Ketiganya mengalami PHK secara sepihak tanpa mendapatkan pesangon. CAS mengawali pekerjaannya dengan perjanjian kerja, sedangkan dua lainnya membuat perjanjian kerja secara lisan.
KRONOLOGI
a) Kasus CAS
CAS adalah seorang PRT perempuan berusia 48 tahun dan tinggal di Cilandak Timur, Pasar Minggu. CAS bekerja di rumah pasangan suami-istri, DH dan AH yang beralamat di Shangri-La Residence Jakarta. CAS mulai bekerja pada Januari 2016 dengan perjanjian kerja, yakni bekerja Senin-Jumat pukul 06.30-18.00 dengan gaji Rp 4.000.000 per bulan dan apabila bekerja di luar jam kerja, mendapatkan uang lembur Rp 30.000 per jam. Tugas CAS adalah membantu anak majikan bersiap-siap pergi ke sekolah, mendampingi aktivitas dan keperluan anak sesudah jam sekolah, membersihkan dapur, memasak makanan untuk anak, dan menjaga kerapihan rumah. Selain itu, ia juga bertugas memelihara catatan yang akurat tentang jam kerjanya, pengeluaran, dan pembayaran, selalu siap dengan ponselnya (HP), serta segera memberitahukan majikan apabila anak sakit, terluka atau dalam keadaan darurat.
Pelanggaran terhadap hak CAS berawal pada libur Lebaran. CAS diberikan izin cuti hari raya selama satu minggu dari tanggal 4 hingga 11 Juli 2016. Karena tiket untuk tanggal 11 sudah habis, CAS meminta tambahan 2-3 hari cuti kerja dan majikan mengizinkan. Namun, pada 4 Juli 2016, CAS dipecat secara sepihak dengan tidak hormat, yakni melalui SMS tanpa alasan yang jelas.
Untuk memperjuangkan haknya, CAS meminta bantuan LBH Jakarta. Dengan dasar pasal 62 UU Ketenagakerjaan, CAS berhak atas kompensasi dari sisa kontrak jika diputus sepihak oleh majikan. Sayangnya, dalam perjanjian kerja tidak mencantumkan masa kerja. Karena itu, CAS tidak bisa meminta majikan membayarkan BPJS, tetapi tagihan-tagihan CAS selama sakit saat bekerja di rumah majikannya dapat diperjuangkan. CAS juga berhak menerima pesangon sebesar satu bulan gaji sesuai dengan UU Ketenagakerjaan.
Saat ini, kasus ini masih sedang dalam proses penyelesaian melalui mediasi antara LBH dan majikan. Surat somasi pertama telah dilayangkan LBH, tetapi diabaikan majikan. Kemudian, LBH mengirimkan kembali surat somasi yang kedua dan sedang menunggu respons dari majikan.
6 Pasal 17 ayat (2) , (3) , (4) dan (5) UU BPJS dan Pasal 5 ayat (2) PP No. 86 Tahun 2013
b) Kasus WNH
WNH adalah PRT perempuan berusia 34 tahun dan tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan. Sejak 26 Agustus 2015, WNH bekerja dengan KA di sebuah apartemen di daerah Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. WNH bertugas membersihkan rumah dan memasak dengan upah sejumlah Rp 2.000.000.
Permasalahan muncul setelah KA pergi ke New York selama dua bulan, pada bulan Juni dan Juli. Setelah KA pulang, WNH meminta haknya, yaitu upah selama dua bulan dan tunjangan hari raya (THR). KA tidak merespons permintaan WNH. KA justru memberhentikan WNH melalui SMS pada 29 Juli 2016. Karena itu, WNH menuntut majikan guna mendapatkan hak, yaitu upah dua bulan pada Juni dan Juli, THR tahun 2016, dan uang pesangon sebesar satu bulan gaji. Dengan demikian, hak yang seharusnya diterima oleh WNH sejumlah Rp 8.000.000. Kasus ini sedang dalam proses penyelesaian melalui mediasi antara pekerja dan majikan dengan bantuan LBH.
c) Kasus NUR-I
NUR-I adalah seorang PRT perempuan7 yang bekerja pada seorang majikan kewarganegaraan asing berinisial MO sejak 15 Agustus 2013 hingga 20 Januari 2017 (4 tahun, 5 bulan). NUR-I bertugas membersihkan rumah, mencuci, dan menyetrika dengan upah Rp 2.000.000. NUR-I telah di-PHK tanpa pesangon dan tidak menerima upah bulan terakhir oleh majikannya dengan alasan kendala keuangan.
Sesuai Pasal 51 UU Xxxxxxxxxxxxxxx, XXX-I seharusnya mendapatkan pesangon sejumlah Rp
10.000.000 dengan rincian upah Januari 2017 sebesar Rp 2.000.000,- dan uang pesangon selama empat bulan sebesar Rp 8.000.000.
Atas permasalahan tersebut, NUR-I meminta bantuan LBH Jakarta dan Serikat Pekerja Sapulidi. Pada 3 Februari 2017, LBH Jakarta telah melayangkan surat somasi pertama kepada majikan XXX-X, tetapi tidak ditanggapi. Kemudian, MO membuat iklan lowongan pekerjaan untuk PRT di rumahnya dalam beberapa situs lowongan kerja. Rekan-rekan NUR-I di Serikat PRT Sapulidi memanfaatkan tekanan melalui media sosial kepada MO agar hak-hak PRT NUR-I terpenuhi. Mereka berupaya menekan MO dengan berkomentar di media sosialnya seperti “Saya dengar kabar bahwa Anda tidak membayarkan pesangon PRT saudara sebelum ini?”. Selain itu, rekan kerja XXX-X juga menyebarluaskan rekam jejak yang tidak baik dari pihak majikan, sehingga kawan-kawan PRT tidak memasukkan lamaran pekerjaannya ke MO. Berkat upaya tersebut, majikan NUR-I memenuhi tuntutan hak sejumlah Rp
10.000.000 kepada NUR-I pada 15 Februari 2017.
7 Usia tidak diketahui
ANALISA
Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan, atau habis kontrak. Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Dalam UU Ketenagakerjaan, pemberi kerja dilarang melakukan PHK kepada pekerja dengan alasan sedang sakit, bela negara, beribadah, pernikahan, hamil/melahirkan/menyusui, pertalian darah, berserikat/berorganisasi, mengadukan tindak pidana, agama/aliran politik/suku/warna kulit/ golongan/jenis kelamin/kondisi fisik/status perkawinan, dan disabilitas.
Bila terjadi PHK, maka pengusaha/majikan diwajibkan membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Uang penggantian hak meliputi penggantian cuti tahunan yang belum diambil, biaya perjalanan pulang ke tempat buruh dan keluarganya pada saat awal diterima kerja, uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama8. Untuk perhitungan jumlah uang pesangon dan uang penghargaan telah diuraikan pada pembahasan Hukum Ketenagakerjaan untuk kasus PHK karena sakit.
Dalam kasus CAS, ia berhak mendapatkan uang pesangon sebesar satu bulan upah, sedangkan untuk kasus WNH, ia berhak mendapatkan uang pesangon sebesar dua bulan upah dan THR. Sementara pada kasus NUR-I, ia berhak mendapatkan pesangon sejumlah empat bulan upah dan satu bulan upah terakhir yang belum dibayar.
Karena itu, perlu upaya menemukan kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa, dalam hal ini pekerja dan majikan. Mediasi dengan peran mediator yang dilakukan LBH Jakarta pun dinilai menjadi langkah alternatif yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut.
Adapun, menurut Xxxxx Xxxxx, mediasi dipandang sebagai pranata sosial (sosial institution), bukan pranata hukum (legal institution). Perkembangan atau keberhasilan mediasi menjadi sangat tergantung pada sikap sosial masyarakat yang bersengketa. Dalam mediasi, aturan-aturan hukum yang bersifat mengatur (relegen recht) dapat dikesampingkan demi mencapai kesepakatan. Namun, aturan yang bersifat memaksa (dwingen recht) tentu saja tidak dapat dikesampingkan. Kesepakatan mediasi juga tidak dibenarkan kalau bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan kepentingan umum9.
Peranan serikat pekerja juga dirasa sangat penting dalam mendorong dan memperjuangkan peningkatan kondisis kerja yang lebih baik. Pun, organisasi itu dibutuhkan untuk memberikan perlindungan kepada PRT, baik dalam bekerja maupun berorganisasi menjadi anggota serikat pekerja PRT.
8 Ibid, hal. 198
9 Xxxxx Xxxxx, Mediasi Sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa, Varia Peradilan No. 248 Juli 2006, hal 13
Adapun definisi dari serikat pekerja adalah organisasi yang didirikan oleh, dari, dan untuk pekerja di dalam atau di luar perusahaan, milik negara atau pribadi, yang bersifat tidak terikat, terbuka, independen dan demokratis, dan dapat dipertanggungjawabkan untuk memperjuangkan, membela, serta melindungi hak-hak dan kepentingan pekerja, maupun untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya10.
Kebebasan membentuk serikat pekerja telah diakomodasi beberapa peraturan yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat11. Salah satunya, Pasal 28 E ayat (3) Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pada kasus perlindungan hak PRT, peran serikat pekerja sudah terlihat membuahkan hasil. Hal itu nampak dalam Kasus NUR-I. Serikat Pekerja Sapulidi telah bermanfaat dalam melindungi dan membantu XXX-X memperjuangkan hak-haknya.
5. PHK Setelah Mengajukan Cuti Melahirkan
Hak untuk memperoleh xxxx melahirkan dan cuti setelah keguguran telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Namun, hak tersebut sangat sulit didapatkan oleh PRT, tergantung pada kehendak baik dari majikan. Kasus di bawah ini akan memberikan ilustrasi betapa sulitnya mendapatkan hak cuti melahirkan, bahkan berujung pada PHK.
KRONOLOGI
a) Kasus SGA
SGA adalah seorang PRT perempuan berusia 35 tahun yang berdomisili di Cipete Utara. Ia bekerja dengan CG, seorang WNA Amerika di Jl. X. Xxxxx, Jakarta Selatan. SGA bekerja sejak Juni 2012
10 Pasal 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
11 UU No. 28 Tahun 2000 tentang berlakunya UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Kerja yang mengatur prinsip-prinsip serikat pekerja yang antara lain :
- Hak pekerja membentuk serikat kerja
- Serikat pekerja dibentuk secara demokratis serta tidak boleh adanya campur tangan pihak lain.
a. Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949, tentang Hak Berorganisasi dan Kebebasan berserikat diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan UU No.18 Tahun 1956, tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No. 98 Tahun 1949 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama.
b. Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi ILO No. 187 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi.
x. Xxxxxxan TAP MPR No. XII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) secara jelas juga memberi arahan pada pelaksanaan kebebasan berserikat. Hal ini tertuang dalam Pasal 6 yang berbunyi :”Setiap orang berhak untuk memajukan diri dengan memperjuangkan hak-haknya secara kolektif serta membangun masyarakat, bangsa dan negara”. Pasal 19 menyatakan “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
d. UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, disahkan pada pada 4 Agustus 2000. Peraturan ini merupakan salah satu produk hukum yang mencerminkan era demokrasi dan kebebasan di berbagai bidang di Indonesia.
e. PerMenaker No. PER-201/MEN/1999 tentang Pendaftaran Serikat Pekerja
x. XxxXxxxxxx No. PER-16/MEN/2000 tentang tata cara Pendaftaran Serikat Pekerja
dengan masa kerja tiga tahun sembilan bulan. Sehari-hari SGA bertugas membersihkan rumah dan memasak dengan upah sejumlah Rp 2.600.000 per bulan.
SGA diberhentikan oleh CG setelah menyampaikan niatnya mengajukan izin cuti melahirkan. SGA sangat keberatan dengan PHK atas dirinya dan ia ingin bekerja kembali setelah cuti selesai. SGA pun meminta bantuan LBH Jakarta untuk mendapatkan haknya.
Terhadap kasus ini, LBH Jakarta telah mengirimkan tiga kali surat somasi kepada majikan dan saat ini sedang dalam proses pendampingan.
ANALISA
Fungsi (baca: potensi) reproduksi perempuan yang dapat mengalami haid, mengandung, melahirkan, serta menyusui yang tidak dimiliki oleh laki-laki, merupakan bagian penting dari kehidupan yang harus dihormati oleh setiap orang, termasuk majikan terhadap pekerja perempuannya. Perlindungan atas fungsi reproduksi sesungguhnya merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia kaum perempuan yang telah diakui secara internasional dan nasional12. Khusus dalam konteks ketenagakerjaan, hal itu telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Karena itu, PHK terhadap pekerja karena alasan kehamilan tidak dibenarkan. Ditegaskan pada Pasal 84 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan, bagi pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Bukan hanya melahirkan, perempuan yang mengalami keguguran juga berhak mendapat perlindungan. Pasal 82 Ayat (2) menyebut bahwa pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Selama menggunakan waktu istirahatnya, pekerja perempuan juga berhak mendapatkan jaminan upah penuh sebagaimana diatur dalam Pasal 84 UU Ketenagakerjaan, Pasal tersebut menegaskan bahwa “setiap pekerja yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.
Bagi pemberi kerja/pengusaha yang melakukan pelanggaran terhadap pasal 82 dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000 dan paling banyak Rp 400.000.000. Hal ini ditentukan dalam Pasal 185 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: ”Bahwa barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82,
Pasal 90 Ayat (1), Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu ) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah dan paling banyak Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah)”.
12 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984 menegaskan kewajiban setiap Negara/pemerintah untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja serta melindungi hak-hak reproduksi perempuan sebagai bagian dari tindakan affirmasi yang diperlukan. Selain itu dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan hak perempuan atas kesehatan reproduksi merupakan bagian dari HAM (Pasal 49 ayat (2) dan (3).
Meskipun UU Ketenagakerjaan mengatur dengan tegas perlindungan atas hak reproduksi perempuan, tetapi dalam praktiknya sering kali hak tersebut dilanggar. Pemberi kerja sering berusaha menghindari kewajiban memenuhi hak perempuan yang hamil dengan mencari-cari alasan lain, misalnya hubungan kerja sudah tidak harmonis. Bagi karyawan outsourcing, yang tidak dilindungi oleh kontrak kerja, bila mereka diketahui hamil, maka akan di-PHK atau diminta mengundurkan diri atau perusahaan berjanji akan dipekerjakan kembali jika sudah melahirkan. Begitupun bagi PRT, hak-hak tersebut sulit diperoleh karena PRT dipandang sebagai pekerjaan informal. Seperti yang terjadi pada kasus SGA di atas, PRT di-PHK setelah mengajukan cuti melahirkan.
Padahal, seseorang yang mengalami kehamilan harus tetap mendapatkan pelayanan kesehatan agar proses kehamilan dan kelahirannya dapat berjalan dengan baik. Maka bagi pekerja perempuan, termasuk PRT, berhak mendapatkan hak cuti melahirkan dengan memperoleh upah penuh.
6. PHK Tanpa Mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR)
THR adalah hak semua pekerja yang diterima menjelang hari raya keagamaan. Namun, bagaimana jika PHK dilakukan menjelang hari raya keagamaan? Ini merupakan akal-akalan pemberi kerja (majikan) untuk menghindari pembayaran THR. Berikut enam kasus yang dapat memberikan ilustrasi betapa sulitnya PRT untuk mendapatkan THR saat mengalami PHK menjelang hari raya.
KRONOLOGI
a) Kasus SLS
SLS seorang PRT laki-laki13 yang bekerja pada VSD sejak tahun 2015 hingga April 2016. SLS bekerja selama 15 jam sehari dari pukul 04.30 hingga 19.00 tanpa ada libur, dengan upah sebesar Rp
1.750.000. SLS bertugas merawat kebun dan mengurus binatang peliharaan, yakni anjing dan ayam. Selama bekerja, SLS tidak pernah mendapatkan uang lembur. Pada 30 April 2016, SLS diberhentikan tanpa mendapatkan upah bulan terakhir (April) dan uang pesangon, termasuk tidak mendapatkan THR.
Dengan bantuan LBH, kasus ini diselesaikan melalui mediasi dan sebelumnya mengirimkan dua kali surat somasi, yakni pada 3 Juli 2016 dan 8 Agustus 2016. SLS mendapat dua bulan upah, yaitu upah April 2016 dan uang pesangon sejumlah Rp 3.500.000.
b) Kasus TRY
TRY adalah seorang PRT perempuan14 berdomisili di Simprug, Jakarta Selatan. TRY sudah bekerja selama lebih dari delapan tahun sejak September 2006 dengan OS, berkewarganegaraan Jepang, di Istana Sahid, Sudirman. TRY betugas mencuci pakaian, menyetrika pakaian, dan memasak dengan upah setiap bulan sejumlah Rp 1.000.000.
13 Usia tidak diketahui
14 Usia tidak diketahui
Pada April 2016, TRY di-PHK secara sepihak oleh OS tanpa mendapatkan uang pesangon. Padahal, TRY seharusnya mendapatkan uang pesangon sebesar sembilan bulan upah, yaitu sejumlah Rp
9.000.000. Selain itu, ia juga berhak mendapatkan uang THR karena sudah bekerja lebih dari satu bulan secara terus menerus hingga masa kerja delapan tahun.
TRY meminta bantuan LBH Jakarta untuk menyelesaikan masalahnya. Langkah yang dilakukan LBH adalah mengupayakan jalur mediasi dengan majikan melalui surat somasi. Somasi pertama dilayangkan pada 3 Juli 2016. Namun, karena surat somasi pertama tidak ditanggapi, LBH mengirimkan surat somasi kedua pada 8 Agustus 2016. Surat kedua pun tidak direspons. Langkah selanjutnya, LBH akan mengirimkan surat somasi yang ketiga.
c) Kasus SSN
SSN adalah PRT perempuan berusia 40 tahun yang berdomisili di Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan. SSN bekerja di rumah Ibu LC dengan perjanjian lisan selama satu tahun mulai Juni 2015 hingga Juni 2016 di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. SS bertugas membersihkan rumah dengan menerima upah setiap bulan sejumlah Rp 2.500.000.
Pada Mei 2016, SSN mengalami PHK sepihak tanpa mendapatkan upah selama dua bulan, yaitu Maret-Mei dan uang pesangon sejumlah satu bulan upah. Padahal, hak-hak yang semestinya diterima SSN adalah upah untuk bulan Maret-Mei (Rp 2.500.000 X 2 = Rp 5.000.000) dan uang pesangon satu bulan upah Rp 2.500.000. Artinya, total hak SSN secara keseluruhan sebesar Rp
7.500.000. Selain itu, SSN juga tidak mendapatkan uang THR yang seharusnya menjadi haknya.
Dengan bantuan LBH, SSN memperjuangkan hak-haknya. Langkah yang dilakukan LBH adalah melakukan upaya mediasi dengan mengirimkan surat somasi kepada majikan. LBH telah melayangkan tiga kali surat somasi. Pertama, tanggal 1 Juli 2016, kedua, tanggal 8 Agustus 2016, dan ketiga, tanggal 7 September 2016. Namun, surat-surat somasi tersebut tidak tanggapi. Langkah berikutnya adalah LBH akan mengirim surat somasi yang keempat dan menjadi mediator dalam penyelesaian masalah.
x) Xxxxx ASN
XXX adalah PRT perempuan berusia 38 tahun. Ia bekerja mengasuh anak di rumah saudaranya berinisial EO yang berlokasi di Aparteman Pluit Jakarta Utara dengan perjanjian kerja selama lima bulan sejak 8 Februari 2016 hingga Juli 2016. ASN mendapatkan upah setiap bulan sebesar Rp
5.500.000. Pada bulan kedua, upah ASN naik menjadi Rp 6.000.000 per bulan karena tugas ASN bertambah selain mengasuh anak.
Pada Mei 2016, ASN diberhentikan dengan alasan EO diberhentikan dari pekerjaannya. Saat mengalami PHK, ASN tidak mendapatkan upah Mei, uang pesangon, dan THR. ASN juga telah masuk daftar hitam (blacklist) oleh majikannya dengan cara memasang foto ASN di apartemen.
XXX sangat keberatan dengan sikap EO. Ia pun kemudian meminta bantuan LBH. ASN berjuang untuk mendapatkan penggantian upah Mei 2016 dan uang pesangon sebesar satu bulan upah, sehingga secara keseluruhan hak yang seharusnya diterima adalah sejumlah Rp 12.000.000.
Dasar pertimbangan menuntut uang pesangon ada dalam pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Pasal-pasal itu menyebutkan bahwa jika terjadi PHK dan masa kerja kurang dari satu tahun, maka pekerja berhak mendapatkan uang pesangon sebanyak satu bulan upah. Selain itu, XXX juga menuntut untuk mendapatkan THR yang menjadi haknya.
LBH telah mengirimkan tiga surat somasi kepada EO, tetapi tidak ditanggapi.
e) Kasus INS
INS adalah PRT perempuan berusia 53 tahun asal Semarang, Jawa Tengah. Ia bekerja dan menginap di rumah majikan berinisial MS di Pondok Indah, Jakarta. INS bekerja setiap hari, tanpa ada libur, mulai pukul 03.30-selesai dengan tugas membersihkan rumah dan memasak.
Sejak Januari 2012, INS menerima upah setiap bulan sebesar Rp 1.200.000, lalu naik menjadi Rp.
1.300.000 per bulan pada 2013, dan kembali naik menjadi Rp 1.500.000 per bulan pada 2014 sampai permasalahan muncul. INS tidak memiliki batasan waktu kerja dan tidak pernah mendapatkan uang lembur.
Selama 13 bulan INS tidak mendapatkan upah, yakni dari Juli 2015 hingga Juli 2016. INS telah berusaha menyelesaikan masalahnya dengan cara menghubungi majikan, tetapi tidak berhasil. Ia ingin menuntut haknya sebagai PRT, yaitu upah selama 13 bulan x Rp 1.500.000 sejumlah Rp
19.500.000 dan satu bulan upah untuk uang THR Rp 1.500.000. Hak yang INS tuntut menjadi Rp 21.000.000.
Untuk memperjuangkan haknya, INS meminta bantuan LBH. Pada 19 Agustus 2016 LBH Jakarta telah melayangkan dua kali surat somasi kepada MS, masing-masing pada Agustus dan September 2016. Namun, tidak ada respons dari majikannya. LBH pun melaporkan dugaaan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHP. Laporan tersebut telah diterima, tetapi belum ada perkembangan dari kasus tersebut. Hingga saat ini, kasus INS masih dalam proses penanganan LBH Jakarta.
f) Kasus TN
TN adalah PRT perempuan berusia 56 tahun yang tinggal di Beji, Depok. Ia bekerja dengan sistem pulang pergi di apartemen RR di Jakarta Selatan sejak Oktober 2015. TN bekerja mulai pukul 08.00-
17.00 dengan tugas berbelanja keperluan majikan, membersihkan rumah, memasak, dan menyetrika pakaian. Atas pekerjaan tersebut, TN menerima upah setiap bulannya sejumlah Rp 3.500.000.
TN sering bekerja lembur, tetapi upah lembur yang dibayarkan kepadanya baru sebanyak tiga kali. Sejak Januari-Mei 2016, TN tidak menerima upah lembur. Pada 27 Mei 2016, TN diputuskan hubungan kerja secara sepihak oleh majikannya karena kesal melihat TN hanya mencuci satu buah piring di tempat pencucian piring.
TN tidak terima begitu saja pemecatan dari majikannya. TN ingin menuntut hak sebagai PRT, yaitu upah Mei 2016 sejumlah Rp 3.500.000, uang lembur dari Januari-Mei 2016, uang pesangon sebesar satu bulan upah, dan uang THR.
Kasus ini sedang dalam proses penyelesaian dengan mendapatkan bantuan dari LBH Jakarta. Langkah yang dilakukan adalah upaya mediasi dengan pihak majikan yang dilakukan dengan cara mengirim surat somasi. Surat somasi pertama diajukan pada 19 Agustus 2016. Lantaran surat somasi pertama tidak ditanggapi majikan, maka dilayangkan surat somasi kedua pada September 2016. Saat ini LBH sedang menunggu perkembangan perkara.
ANALISA
Banyak kasus PHK yang terjadi menjelang hari raya bagi umat muslim (Idul Fitri/Lebaran). Hal ini acapkali dilatarbelakangi motivasi pemberi kerja/pengusaha yang ingin menggugurkan kewajibannya membayar THR. Padahal, THR merupakan hak bagi semua pekerja dalam hubungan kerja. THR wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan atau dapat ditentukan pada waktu lain sesuai kesepakatan pemberi kerja dengan pekerja yang dituangkan dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama.
Pembayaran THR kepada pekerja wajib diberikan sekali dalam setahun oleh perusahaan atau pembayarannya sesuai dengan hari keagamaan masing-masing yang selambat-lambatnya dibayarkan sebelum hari raya keagamaan.
Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan, pengusaha wajib memberikan THR keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja satu bulan secara terus-menerus atau lebih. Hal itu berlaku bagi pekerja yang memiliki hubungan kerja, termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Terkait dengan besarnya THR, bagi buruh yang bermasa kerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih, maka mendapatkan THR sebesar satu bulan upah. Sementara itu, bagi pekerja yang bermasa kerja satu bulan secara terus-menerus, tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional dengan menghitung jumlah masa kerja dibagi 12 bulan dikali satu bulan upah. Namun, bagi perusahaan/ pemberi kerja yang telah mengatur pembayaran THR keagamaan dalam perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan ternyata lebih baik dan lebih besar dari ketentuan di atas, maka THR yang dibayarkan kepada pekerja/buruh harus dilakukan berdasarkan pada PP atau PKB tersebut.
Selain THR, tentunya PRT berhak pula mendapatkan uang pesangon, uang lembur, dan lainnya.
7. PHK Memperjuangkan Kontrak Kerja
Kasus di bawah ini adalah kasus PHK setelah PRT memperjuangkan hak membuat perjanjian kerja dengan majikannya. Dalam penyelesaian masalahnya mendapat bantuan pendampingan dari serikat pekerja.
KRONOLOGI
a) Kasus NUR-II
NUR-II adalah seorang PRT perempuan15 yang bekerja sejak September 2016 hingga Maret 2017 (lima bulan) pada seorang majikan berinisial Mr. XX yang tinggal di Apartemen Pakubuwono View. NUR-II bertugas mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan menyetrika dengan mendapatkan upah sejumlah Rp 1.300.000 per bulan. Pada 28 Februari 2017, NUR-II berinisiatif mengajukan permintaan kepada istri Mr. KO untuk membuat kontrak kerja. Kemudian istri Mr. KO berjanji akan membicarakannya bersama suaminya.
Selama beberapa hari NUR-II menunggu hasilnya. Secara tiba-tiba, pada 3 Maret 2017, NUR-II dicegah masuk pintu aparteman ketika hendak bekerja di unit lain. Ia lalu dibawa ke pos keamanan dengan alasan harus diperiksa dan dimintai keterangan terkait dengan kejadian pada Kamis malam, 2 Maret 2017. Pada malam itu, Mr. KO melapor kepada pihak keamanan apartemen bahwa ia telah kehilangan barang berupa uang dan dua buah jam tangan yang disimpan di brankas pribadi. Mr XX mengatakan pencuri melakukan aksinya dengan cara mencungkil brankas mengunakan sarung tangan. Xxxx berikutnya, pada 4 Maret 2017 pagi, NUR-II kembali datang untuk bekerja. Namun, sesampainya di depan pintu masuk aparteman, petugas keamanan melarang NUR-II naik ke tempat Mr. XX dan NUR II diminta untuk menunggu di pos keamanan. Sekitar 10 menit kemudian, Mr. XX datang bersama petugas keamanan. NUR-II diminta untuk mengaku bahwa dirinya yang mencuri. Bila NUR-II mengaku, Mr. XX tidak akan melaporkan kejadian pencurian tersebut ke polisi.
Sejak saat itulah NUR-II diberhentikan dengan tuduhan telah mencuri. NUR-II langsung memberikan penjelasan bahwa selama bekerja di tempat Mr. KO, ia tidak pernah menyentuh brankas. NUR-II pun menyatakan dirinya tidak mencuri barang seperti yang dituduhkan kepadanya.
Kemudian NUR-II menghubungi serikat pekerja Sapulidi. Dua jam kemudian, Diah dari Serikat Pekerja Sapulidi datang mendampingi NUR-II untuk menyelesaikan permasalahannya. NUR-II dan Xxxx meminta kepada petugas keamanan untuk membuka rekaman CCTV guna membuktikan kebenaran atas tuduhan majikan. Pihak keamanan pun meminta waktu seminggu untuk membuka rekaman tersebut dan berjanji akan memberitahukan hasilnya kepada NUR-II. Hingga saat ini, pihak keamanan apartemen belum memberikan kabar kepada NUR-II. NUR-II telah di-PHK dengan tuduhan mencuri setelah mengajukan kontrak kerja tertulis, sehingga NUR-II mengalami kerugian karena nama baiknya telah dicemarkan.
Atas kejadian itu NUR-II meminta penyelesaian masalahnya ke LBH Jakarta.
15 Usia tidak diketahui
ANALISA
Perjanjian adalah suatu peristiwa, di mana seorang atau salah satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal16. Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak17. Dari uraian tersebut, maka unsur utama dalam perjanjian kerja adalah adanya para pihak, yaitu pekerja, dan terdapat hal- hal yang disepakati (objek), yaitu menyangkut syarat-syarat kerja yang meliputi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja bisa berbentuk lisan atau secara tertulis.
Perjanjian kerja memuat empat poin utama. Pertama, adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan harus dilakukan oleh pekerja18. Kedua, adanya perintah dari pemberi kerja kepada pekerja. Ketiga, adanya upah yang diperjanjikan yang menjadi peranan penting dalam hubungan kerja. Keempat, waktu kerja19. Hubungan kerja dengan waktu tertentu dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, tetapi dapat juga tidak ditetapkan dalam hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja. Meskipun tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja, hubungan kerja dengan waktu tertentu pada dasarnya telah masuk dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam kasus di atas, PRT NUR-II telah melakukan perjanjian kerja untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan prestasi yang akan majikan berikan berupa upah dalam setiap bulannya. Bagi PRT, perjanjian kerja menjadi salah satu bagian penting untuk melindungi diri dalam pemenuhan haknya. Meskipun NUR-II tidak memiliki perjanjian kerja, PRT berhak mendapatkan perlindungan untuk mendapatkan hak-haknya20.
16 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
17 Pasal 1 ayat 14 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
18 Pasal 1603a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan “ buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan seizin majikan ia dapat menyurh orang ketiga menggantikannya”
19 Pasal 59 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian waktu tertentu hanya dibuat untuk waktu tertentu, jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
20 Pasal 17 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Menentukan pekerja rumah tangga berhak :
a. Memperoleh informasi mengenai pengguna;
b. Mendapatkan perlakuan yang baik dari pengguna dan anggota keluarganya;
c. Mendapatkan upah sesuai Perjanjian Kerja;
d. Mendapatkan makanan dan minuman yang sehat;
e. Mendapatkan waktu istirahat yang cukup;
f. Mendapatkan hak cuti sesuai dengan kesepakatan;
g. Mendapatkan kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
h. Mendapatkan tunjangan hari raya; dan
i. Berkomunikasi dengan keluarganya.
B. Kasus Pidana Kriminalisasi Pekerja Rumah Tangga (PRT)
1. Kriminalisasi PRT
Empat buah kasus berikut ini menuturkan bagaimana seorang PRT rentan dikriminalisasi, sehingga harus berhadapan dengan hukum. PRT yang tidak memiliki posisi tawar dengan majikannya, rentan dipersalahkan oleh majikan. Bantuan hukum perlu hadir untuk bisa membela kepentingan kelompok yang dimarjinalkan seperti PRT ini.
KRONOLOGI
a) Kasus AM
AM seorang PRT pria berusia 71 tahun. Ia sudah 43 tahun bekerja dengan IRW di Bojong Gede, Bogor, yakni selama 21 tahun (1972-1993) bekerja sebagai supir pribadi dan 22 tahun (1993-2015) menjadi penjaga rumah IRW yang juga ditempatinya. AM diberi upah sejumlah Rp 250.000 per bulan. Selama AM menempati rumah IRW, biaya perawatan rumah dan listrik dibayar sendiri oleh AM. AM juga melakukan renovasi bangunan dengan uangnya sendiri, di antaranya mengganti genteng, lantai, pilar, kusen-kusen, memasang meteran listrik dan mesin air. Renovasi itu menghabiskan biaya sejumlah Rp 60.000.000.
Pada 2012, AM disuruh mengosongkan rumah. AM bersedia mengosongkan rumah tersebut jika IRW membayar lunas semua biaya perawatan rumah dan listrik selama AM menjaga rumah tersebut. Pada 30 Oktober 2014 dan 13 November 2014, AM menerima surat somasi dari IRW yang meminta AM dengan segera mengosongkan rumah. Karena AM tidak mau memenuhi keinginan IRW, pada 7 Januari 2016, AM dilaporkan kepada Kepolisian Resort Depok dengan tuduhan memasuki rumah atau pekarangan rumah tanpa izin pemiliknya. AM dikenakan Pasal 167 KUHP yang menyatakan: “Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi segera, diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan.”
Atas laporan tersebut, pada 23 Januari 2015, AM dipanggil kepolisian untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Kemudian, pada 27 Juni 2015 melalui telepon, penyidik meminta AM datang ke kepolisian untuk dilakukan pemeriksaan/pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kasus ini membuat AM dan istrinya harus menjalani proses hukum dengan dugaan tindak pidana melanggar pasal 167 ayat (1) KUHP.
Terdapat dua aspek hukum dalam penanganan kasus ini. Pertama, aspek ketenagakerjaan dan kedua, aspek hukum pidana.
(1) Aspek Ketenagakerjaan.
AM mengadukan permasalahan hukum ke Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Xxxxxxxxxxxxxx) Jakarta Pusat. Kemudian, pihak Xxxxxxxxxxxxxx menyarankan AM agar mengadukan permasalahannya ke Sudinakertrans Bogor lantaran AM bekerja di Bogor. Namun,
Sudinakertrans Bogor menolak dengan alasan Sudinastrans hanya menangani masalah tenaga kerja formal, yaitu buruh dan perusahaan.
(2) Aspek Hukum Pidana
Dalam menghadapi proses hukum, AM dan istrinya didampingi oleh LBH Jakarta mulai dari tingkat kepolisian hingga pemeriksaan di pengadilan. Pada tingkat kepolisian, LBH telah melaporkan penyidik ke Komisi Kepolisan Nasional (Kompolnas) pada 25 Juni 2015 dan ke Komnas HAM pada 27 Juni 2015. Laporan itu dibuat LBH karena polisi melakukan pemanggilan terhadap AM tanpa surat panggilan. Sedangkan pada proses pemeriksaan di pengadilan, saksi yang meringankan AM telah dihadirkan, yaitu DR, SB, dan ahli pidana bernama Xx. Xxxxxxxxx Xxxxxxx, S.H. dari Universitas Pelita Harapan. Xxxxxxxxx Xxxxxxx menerangkan tafsir pasal 167 ayat (1) KUHP. Perkara ini diputus pada 1 Februari 2016 dengan menyatakan AM dan istrinya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “masuk ke dalam rumah yang keberadaannya di situ dengan melawan hukum dan tidak segera pergi dari tempat itu atas pemintaan orang yang berhak” sesuai dengan unsur 167 ayat 1 KUHP. AM dan istrinya dijatuhi hukuman penjara satu bulan dari ancaman hukuman dalam undang-undang selama 9 bulan. Terhadap putusan tersebut, pada 5 Februari 2016, AM menyatakan keberatan atau banding ke Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat. Hingga saat ini, proses hukum di tingkat banding tersebut masih berjalan.
b) Kasus KS
KS adalah seorang PRT perempuan21 yang telah bekerja di rumah R, seorang warga negara Australia, sejak pertengahan April 2016. KS bekerja tiga hari dalam seminggu, yaitu Selasa, Kamis, dan Jumat mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.30 dengan upah Rp 150.000 per hari. Pada Mei 2016, KS menerima upah sejumlah Rp 2.000.000 per bulan, sedangkan untuk upah Juni 2016 belum dibayar. Selain majikannya, kedua orang tua LR juga tinggal di rumah tersebut. KS betugas membersihkan ruang tamu, ruang makan, ruang dapur, kamar mandi, dan kamar majikan (LR).
Pada suatu kesempatan, LR menyuruh KS agar tidak masuk kerja karena majikan akan pergi ke Singapura untuk mengurus ibu LR yang tengah dirawat di sana. KS mengikuti perintah LR. Saat LR pergi ke Singapura, yang menjaga rumah adalah satpam dan supir LR.
Pada saat LR pulang dari Singapura, LR menghubungi KS lewat SMS. LR mengirim pesan bahwa banyak perhiasan yang hilang di rumah LR. KS tidak tahu-menahu tentang perhiasan yang hilang, baik fisik maupun berat dan jumlahnya. Namun, LR menuduh KS yang mengambil perhiasan tersebut.
Pada 28 Juni 2016, KS dengan itikad baik datang kerumah majikan untuk mencari perhiasan yang hilang. Namun, KS malah dimarahi oleh majikan dan disuruh pulang tanpa diberi upah bulan Juni 2016. Kemudian, KS dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencurian sesuai Pasal 362 KUHP.
21 Usia tidak diketahui
KS meminta bantuan LBH APIK Jakarta saat diperiksa sebagai saksi di Polres Jakarta Selatan pada 9 September 2016. KS mengajukan dua orang saksi, yaitu BJ dan IS. Hingga saat ini, kasus tersebut masih dalam proses penyidikan.
c) Kasus SS
SS adalah PRT perempuan berusia 24 tahun. Ia bekerja bersama tiga PRT lainnya sebagai pengasuh anak di rumah seorang majikan berinisial X. SS mengasuh anak ketiga berinisial A yang berumur empat tahun.
Pada 25 Februari 2013, anak majikan (A) mengatakan kepada ibunya (T), “I suntik pantat U, I suntik ketek U”. T tidak senang dengan ucapan sang anak dan menuduh SS sudah mengajari anaknya mengucapkan kata-kata yang tidak sopan. SS menyangkalnya dan mengatakan bahwa sepengetahuan SS, ET yang mengajarkan ucapan itu. ET tidak terima dengan tuduhan SS. ET kemudian melapor pada T bahwa SS seringkali memarahi A, jika A tidak mau makan. SS pun berbalik menyangkal keterangan dari ET. SS mengaku dirinya hanya mengatakan kepada A, “Ayo makan. Jika tidak makan, tinggal pulang lah atau nanti ketuk kepalanya”. Namun, SS mengaku tidak pernah mengetuk kepala A. Ia hanya mengetuk meja.
Kemarahan T memuncak setelah mendapat laporan dari ET. SS lalu ditampar dua kali di pipi kiri dan pipi kanan, serta kepala dijambak dengan kedua tangan T. SS tidak terima dianiaya, lalu mengatakan pada T, “Jikalau majikan tidak suka, maka SS akan pulang kampung dan berhenti”. Setelah suami majikan datang ke rumah, SS diajak masuk ke dalam mobil dan dibawa ke Polres Jakarta Selatan. Di sana, SS langsung ditahan. ET dan AY menjadi saksi dalam kasus ini.
Dalam kondisi hamil SS tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal, ada CCTV yang dipasang di setiap sudut rumah T yang bisa membantu membebaskannya. Namun, SS menduga bukti pada rekaman CCTV tersebut sudah dihapus karena SS melihat suami T mendatangi pos keamanan. Terlihat oleh SS, ada petugas yang sedang memperbaiki CCTV dan menghapus bukti penganiayaan yang dilakukan T kepada SS.
Pada awal pemeriksaan di kepolisian, SS tidak didampingi pengacara. Kemudian, LBH APIK Jakarta mendamping SS sampai proses persidangan. Tekanan pun datang dari pihak kepolisian dengan melarang SS memakai layanan bantuan hukum dan meminta SS menyetujui pernyataan jaksa dengan iming-iming untuk “mempermudah” proses hukumnya. Namun, SS menolak dengan menyatakan, “Bapak ingin membantu atau menjebak saya, Pak? Kan saya tidak pernah melakukan hal tersebut (seperti yang dituduhkan majikan)”.
Pada 21 Mei 2013, sidang pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan digelar. SS didakwa dengan dakwaan alternatif. Pertama, melanggar pasal 80 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua, melanggar pasal 45 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Ketiga, melanggar Pasal 335 ayat 1 ke-1 KUHP.
Setelah melalui proses pemeriksaan di persidangan, pada 2 Agustus 2013, jaksa penuntut umum menuntut SS dihukum selama tujuh bulan penjara karena dianggap terbukti melanggar Pasal 80 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kemudian, LBH APIK Jakarta selaku penasihat hukum melakukan upaya pembelaan pada 12 Agustus 2013 dan pada 14 Agustus 2013. Xxxxx membacakan putusan dengan menyatakan SS bersalah telah melanggar UU Perlindungan Anak dengan pidana penjara selama enam bulan.
d) Kasus TH
TH adalah seorang PRT perempuan berusia 27 Tahun. Ia bekerja selama tujuh hari di rumah majikan berinisial ISW bersama PRT lainnya berinisial TT yang bekerja sebagai pengasuh bayi. Penyalur tenaga kerja menyalurkan TH bekerja di rumah ISW dengan menerima upah setiap bulannya Rp 130.000. TH bekerja dalam kondisi hamil tua, yakni menjelang usia kandungan sekitar tujuh bulan. TH sebelumnya mengalami kekerasan dalam pacaran. Pacarnya yang berinisial T tidak bertanggungjawab atas kehamilan TH.
Pada awalnya, TH akan bekerja sebagai guru les. Lalu, TH dibawa oleh penyalur ke rumah ISW. Ternyata ketika sampai di rumah ISW, TH bertugas memasak nasi, mencuci, dan membersihkan rumah. Sesekali TH juga membersihkan kamar tidur ISW bila disuruh. Setiap membersihkan kamar, ISW selalu ada di dalam kamar sambil memberikan instruksi kepada TH cara membersihkan tempat tidur.
Pada 9 Desember 1998, timbul niat TH untuk kabur dari rumah ISW karena merasa tidak betah. Ia tidak nyaman didikte oleh ISW setiap melakukan pekerjaan. Sesampainya di depan komplek rumah ISW, TH dicegat dan tasnya digeledah. Di dalam tas TH ditemukan walkman yang sudah rusak, handuk yang sudah terpakai milik anak ISW, dan sebuah sabun. Kemudian, ISW melaporkan TH ke polisi dan TH ditahan. Di kepolisian, ISW mengaku juga kehilangan uang Rp 500 ribu, $25, A$25, dan US$40. TH tidak pernah mengambil barang-barang tersebut dan tidak ada barang bukti sampai putusan pengadilan dibacakan. Namun, saat diperiksa polisi TH disuruh mengaku tindakan pencurian tersebut. TH pun ditahan di Rutan Pondok Bambu.
Pada pemeriksaan di kepolisian, TH tidak didampingi pengacara. Jelang persidangan digelar, keluarga TH pun mendatangi LBH APIK Jakarta untuk meminta pendampingan terhadap TH di Pengadilan Negeri Bekasi. Pada pemeriksaan di Pengadilan Negeri Bekasi, TH sudah didampingi pengacara dari LBH APIK Jakarta. Usia kehamilan TH kala itu makin bertambah dan sudah terlihat tanda-tanda akan segera melahirkan. TH sering mengalami sakit perut dengan frekuensi 2-5 menit sekali.
Dengan mempertimbangkan kondisi TH, pengacara LBH APIK Jakarta mengajukan permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan keluarga TH agar TH bisa melahirkan di rumah. Pengajuan itu dilakukan pada sidang pertama sebelum dakwaan dibacakan. Namun, majelis hakim tidak langsung mengabulkan permohoan tersebut. Majelis hakim menyatakan permohonan itu akan didiskusikan terlebih dahulu dan jawaban atas permohonan akan disampaikan pada sidang berikutnya dengan rentang waku satu minggu.
Selanjutnya, sidang dilanjutkan dengan pembacaan dawaan. TH didakwa melanggar primair pasal 363 ayat (1) ke 3e KUHP subsidair 362 KUHP tentang pencurian. Terhadap dakwaan jaksa penuntut umum, penasihat hukum terdakwa mengajukan eksepsi (bantahan) atas dakwaan.
Adapun proses persidangan digelar oleh dua orang hakim laki-laki dan satu orang hakim perempuan yang bertindak sebagai hakim anggota. Pada saat permohonan penangguhan diajukan, hakim perempuan tidak merespons dengan baik. Ia mengatakan tanda-tanda kehamilan seperti yang disampaikan dalam permohonan dianggap biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan. Namun, di balik itu, ketua majelis hakim meyakinkan permohonan TH akan dikabulkan.
Persidangan kedua setelah itu dilangsungkan dengan pembacaan eksepsi dari penasihat hukum terdakwa (TH). Sebelum persidangan ditutup, sesuai dengan janjinya, ketua majelis hakim membacakan penetapan atas permohonan penangguhan terdakwa. Permohonan dikabulkan. Hal ini menunjukkan penangguhan berlaku sejak hari dibacakannya sejak pukul 16.30. Selanjutnya, penasihat hukum terdakwa mengurus surat pengantar dari Pengadilan Negeri (PN Bekasi) untuk Rutan Pondok Bambu. Dengan penuh simpati, ketua majelis, petugas PN Bekasi, dan petugas kejaksaan Bekasi menunggu proses administrasi selesai. Ketua majelis hakim menunggu sampai surat pengantar untuk Rutan Pondok Bambu ditandatangani.
Sekitar pukul 19.00 WIB, TH sampai di Rutan Pondok Bambu. Namun, ia masih harus menunggu keputusan Kepala Rutan (Karutan) yang sedang ada urusan di luar lantaran proses itu sudah di luar jam kerja. Sekitar pukul 21.00, TH dinyatakan bisa dibawa pulang. Setelah mengurus administrasi di Rutan Pondok Bambu yang memakan waku hampir dua jam, TH keluar tahanan dengan perasaan lega. TH langsung dibawa ke rumah keluarganya. Sesuai perkiraan, keesokan harinya TH melahirkan sekitar pukul 00.30. TH melahirkan seorang anak perempuan yang sehat.
Proses persidangan tidak berhenti di situ. Persidangan ketiga digelar dengan agenda pembacaan putusan sela. Sebelum putusan dibacakan, Penasihat hukum menyampaikan terima kasih atas dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan dan menyampaikan informasi bahwa malam itu juga TH melahirkan. Ketua majelis hakim bersyukur dan mengucapkan selamat. Adapun eksepsi dari penasihat terdakwa ditolak dengan alasan eksepsi sudah masuk dalam pokok perkara.
Setelah melalui proses pembuktian, majikan TH (suami-istri) dan adik suami ISW diperiksa. Namun, TT tidak diperiksa, baik di kepolisian maupun di pengadilan. Penasihat hukum TH sulit menghadirkan TT karena TT masih bekerja dengan ISW. Barang bukti berupa uang seperti yang didakwakan kepada TH juga tidak ditemukan. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, TH menerangkan barang- barang tersebut diperoleh dari pengasuh anak bernama TT yang lebih dulu bekerja di rumah ISW. TH hanya mengikuti ajakan TT untuk mengambil sabun. Terdakwa (TH) mengikuti ajakan tersebut karena TT juga mengambil sabun dan pembalut wanita dari tempat penyimpanan barang-barang kebutuhan keluarga milik ISW. Sebagai orang yang baru bekerja di rumah tersebut, TH belum mengetahui apakah sabun untuk dirinya disediakan oleh majikan atau tidak. TH mengira sabun tersebut memang untuk memenuhi kebutuhan seluruh penghuni rumah. Karena itu, ia mengambil sabun dan pembalut wanita. Lagipula, terdakwa sedang membutuhkan sabun pada saat itu karena tidak membawanya dari rumah terdakwa sendiri.
Dari peristiwa itu, jaksa penuntut umum menyatakan TH bersalah karena melakukan pencurian sesuai Pasal 362 KUHP dan menuntut TH dengan hukuman empat bulan penjara. Dalam tuntutannya, jaksa penuntut umum menambah keterangan yang sebenarnya tidak pernah terungkap pada pemeriksaan saksi-saksi, terutama saksi ISW. Keterangan yang ditambahkan jaksa penuntut umum ialah ISW memberikan uang kepada TH Rp 10.000 setiap hari untuk membeli perlengkapan sehari- hari. Keterangan jaksa penuntut umum menyalahkan TH karena telah mengambil sabun dan handuk yang digunakan TH untuk mandi karena majikan (ISW) sudah memberi uang. Padahal, fakta sebenarnya dari keterangan ISW, ISW mempunyai kebiasaan untuk memberikan uang Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah) per hari kepada setiap PRT atau pengasuh anak yang bekerja di rumah untuk membeli perlengkapan sabun, sikat gigi, dan pembalut. Namun, ISW belum sempat memberikan uang tersebut kepada terdakwa (TH).
Dalam perkara ini, majelis hakim memutuskan TH dinyatakan bersalah melakukan pencurian. Lamanya hukuman TH diputuskan sama dengan masa tahanan yang sudah dijalaninya, sehingga TH tidak ditahan lagi.
ANALISA
Terjadinya kriminalisasi terhadap PRT tidak terlepas dari sistem hukum yang belum memberikan perlindungan bagi PRT. Sejak awal terjadinya hubungan kerja, PRT sudah tidak terlindungi oleh perjanjian kerja dengan majikan selaku pemberi kerja dan dengan penyalur. Kondisi itu didukung oleh lokasi kerja PRT di rumah tangga yang merupakan wilayah privat. Tidak adanya perjanjian kerja antara PRT dan majikan menyebabkan PRT tidak mengetahui hak dan kewajibannya.
Contohnya, pada kasus pertama. PRT sudah mengabdi dan merawat rumah majikan selama 43 tahun. Bahkan, jika dibiarkan tanpa renovasi dari uang pribadi PRT, rumah itu akan hancur. Dengan demikian, sangat logis bila PRT meminta ganti rugi. Namun, balasan yang diterima PRT justru jeratan pidana.
Contoh lainnya, pada kasus keempat. PRT mengambil sabun mandi milik majikan untuk membersihkan tubuhnya yang merupakan bagian dari pemeliharaan kesehatan. Bila ditinjau dari hak PRT untuk mendapatkan fasilitas pemeliharaan kesehatan dari majikannya, maka perbuatan PRT tersebut bukan merupakan pelanggaran. PRT melakukan hal itu karena dari awal, majikan tidak memberitahu xxx-xxx selaku PRT pada awal hubungan kerja dilakukan22.
Sementara itu, ilustrasi kasus kedua dan ketiga merupakan gambaran kesewenang-wenangan majikan/pemberi kerja. Majikan begitu mudahnya menuduh PRT melakukan perbuatan pidana, padahal tidak ada saksi dan bukti yang mendukung perkara itu. Pada kasus TH, sejak awal aparat penegak hukum (polisi dan jaksa) beranggapan perkara pencurian adalah perkara biasa yang bisa diselesaikan dengan cepat, tanpa perlu didampingi penasihat hukum. Bagi masyarakat umum, pandangan itu mungkin bisa melegakan karena seperti memberi harapan bahwa terdakwa tidak akan berlama-lama mendekam dalam penjara. Namun, tidak demikian pada kenyataannya. Faktanya, yang dihadapi tetaplah sama, yakni tuduhan bahwa seorang PRT bersalah di hadapan
22 Ibid
hukum. Begitu pula dari segi pembuktian. Meskipun tidak ada saksi yang melihat langsung atau tidak ditemukan barang bukti, tetap saja terdakwa (PRT) dinyatakan terbukti bersalah23. Inilah yang dialami TH yang akhirnya dijatuhkan vonis empat bulan penjara. Xxxxxxpun pada SS yang dihukum enam bulan penjara oleh pengadilan negeri karena dianggap terbukti melakukan kekerasan kepada anak yang diasuhnya. Padahal, SS tidak melakukannya, tetapi PRT lain yang bekerja bersama SS di rumah yang sama. Namun, SS justru mengalami penganiayaan oleh majikannya. Kondisi itu diperburuk dengan tidak adanya saksi yang bisa membuktikan posisi SS. Pasalnya, saksi yang ada di persidangan lebih berpihak kepada majikan. Selain itu, aparat penegak hukum juga tidak sensitif terhadap posisi rentan yang dihadapi PRT. Alih-alih memastikan adanya penasihat hukum, aparat penegak hukum justru menganjurkan hal sebaliknya.
Fenomena kriminalisasi terhadap PRT di atas menjadi bukti bahwa sistem hukum dan sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia telah gagal dalam memberikan perlindungan dan keadilan bagi kelompok marjinal, seperti PRT. Di Indonesia, hukum justru menjadi alat bagi pemegang kekuasaan, dalam hal ini majikan, untuk bertindak semena-mena. Hukum belum mampu memberikan rasa keadilan kepada PRT sebagai orang yang lemah dan tertindas.
23 Pledoi Kasus TH
C. Kasus Pidana
1. PRT Korban Perdagangan Orang (Human Traficking)
Perdagangan orang merupakan kasus yang cukup tinggi dan memprihatinkan di Indonesia. Berdasarkan data dan fakta, korban terbanyak adalah kelompok rentan, perempuan dan anak perempuan. Ini sejalan dengan proses feminisasi kemiskinan di desa-desa. Penyebabnya yakni kebijakan dan sistem sosial budaya yang memarjinalkan perempuan.
Modus dan tujuan perdagangan manusia sangat beragam dan terus berkembang. Salah satunya dengan menjadikan korban sebagai PRT. Berikut adalah gambaran dua kasus PRT yang menggunakan modus tersebut.
KRONOLOGI
a) Kasus UM
UM adalah perempuan berusia 23 tahun asal Brebes, Jawa Tengah. Ia bekerja di rumah GT di Bandung. Pekerjaan ini yang diperolehnya sejak Februari 2014 melalui perusahaan penyedia jasa PRT, yakni PT. CK.
Ketika awal bekerja, UM menandatangani sebuah perjanjian kerja. Perjanjian kerja ini hanya dibuat satu rangkap yang disimpan majikan dan ia tidak mendapatkan salinannya.
Isi perjanjian tersebut adalah UM harus bekerja sejak pukul 05.00 hingga 21.00. Tugasnya membersikan rumah dengan upah Rp 1.300.000 per bulan. Selama bekerja, ia tidak boleh menggunakan/memakai telepon genggam.
Pada kenyataannya, UM bekerja tidak sesuai perjanjian yang ada. Tugasnya bukan membersihkan rumah, tapi mengurus bayi (baby sitter). Keadaan ini membuatnya merasa tidak nyaman. Setelah 10 hari bekerja, ia mengundurkan diri. Staf PT CK pun menjemput dan membawanya ke perusahaan.
Di PT. CK, UM menempati asrama II lantai 3. Ruangan ini terpisah dengan penghuni asrama lainnya. Alasannya, perusahaan menganggapnya bermasalah karena mengundurkan diri.
UM meminta izin kepada PT CK untuk pulang ke Brebes. Namun perusahaan tidak mengabulkan. Selama belum ada uang tebusan sebesar Rp 2.500.000, ia akan disekap di tempat tersebut.
Setelah delapan hari disekap, UM berhasil keluar. Ini berkat bantuan seorang sponsor/perantara yang membayar tebusan sebesar Rp 2.000.000.
UM bukanlah satu-satunya orang yang disekap PT CK. Ada beberapa pekerja lain yang mengalami itu karena dinyatakan bermasalah oleh perusahaan. Salah satunya adalah IH yang berusia 17 tahun. Menurut IH, di ruang itu orang bergantian keluar dan masuk setiap hari.
Tindakan PT. CK merupakan pelanggaran hukum dan masuk kualifikasi tindak pidana perdagangan orang. Perusahaan itu telah membatasi gerak, menyekap dan menjerat dengan hutang kepada
korban (UM dan IH) dan pencari kerja lainnya dengan tujuan eksploitasi, mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril.
Penyelesaian kasus tersebut melibatkan LBH Jakarta. Langkah yang dilakukan adalah mendampingi UM dalam melaporkan PT. CK ke Polda Metro Jaya pada 12 Maret 2016 atas dugaan pelanggaran Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 3 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan/atau Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan orang.
Kasus tersebut dihentikan kepolisian karena dianggap tidak cukup bukti. Namun untuk memperjuangkan haknya, pada 12 Agustus 2016 UM mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke pengadilan negeri. Gugatan itu saat ini sedang dalam proses persidangan.
b) Kasus FTN
FTN adalah pekerja rumah tangga anak (PRTA) asal Tegal, Jawa Tengah. Anak perempuan berusia 12 tahun ini bekerja dengan keluarga Xxxxxxx MS dan istrinya MU di Bogor, Jawa Barat sejak bulan Februari 2014.
FTN bertugas membersihkan rumah, mencuci piring, dan memasak. Semua itu dikerjakan dari pukul
04.00 hingga 24.00 (20 jam) sehari dengan upah Rp 900.000. Namun hingga kini ia belum menerima haknya tersebut.
FTN tidak bekerja sendiri. Ada 16 PRT lain yang bernasib sama dengannya di rumah tersebut. Tugas mereka juga menyapu, mengepel, membereskan rumah, dan memasak.
Selama bekerja di sana, FTN bersama 16 temannya mendapatkan kekerasan. Majikannya melakukan beberapa tindakan berupa :
⬩ Menampar pipi dengan menggunakan tangan dan penggorengan yang masih panas.
⬩ Menjambak rambut.
⬩ Menarik baju hingga terjatuh.
⬩ Menendang.
⬩ Memelintir puting di hadapan PRT perempuan dan laki-laki, saat ada yang meminta pulang kampung karena hamil.
⬩ Menghukum dengan cara tidak memberi makan.
⬩ Tidak memberikan gaji.
⬩ Mewajibkan bekerja secara terus menerus sejak pukul 04.00 hingga pukul 24.00 tanpa istirahat, kecuali istirahat makan pukul 09.00, 14.00 dan 22.00. Selama waktu kerja dilarang buang air besar dan kecil, juga harus menuruti perintah MU.
⬩ Tidak memberikan akses kepada PRT untuk berkomunikasi kepada keluarga, pulang kampung, menemui keluarga, melarang memiliki alat komunikasi dan berkomunikasi., Jika dilanggar MU akan menyita HP.
⬩ Mewajibkan bekerja meskipun dalam keadaan sakit dan; melarang beristirahat bekerja meskipun bekerja dalam keadaan sakit.
⬩ Jika berhenti bekerja PRT harus membayar ganti rugi antara Rp 1.000.000 sampai Rp
2.000.000. Bila tidak membayar , mereka diancam dilaporkan ke polisi dan memenjarakannya sehingga menimbulkan rasa takut.
⬩ Bila ada yang berusaha kabur, PRT akan ditampar pipi, didorong, ditendang ditarik baju sampai terjatuh.
⬩ Saat korban XX xxx melahirkan dan menyampaikan keinginannya melahirkan di kampung agar keluarga membantu biaya melahirkan, MU melarang. Akhirnya ia melahirkan di klinik dan MU meminta ganti rugi sejumlah Rp 14.450.000. Karena tidak mungkin PRT mengganti uang sebanyak itu, MU menghukum PRT bekerja tanpa batas waktu yang ditentukan.
⬩ Melarang PRT untuk keluar dari halaman rumah MU kecuali AH. Ini pun untuk keperluan yang masih dalam lingkup pekerjaan yang diperintahkan MU24.
Kasus penyiksaan PRT ini terungkap pada 13 Februari 2014 setelah FTN dan satu rekannya kabur. Mereka melaporkan kejadian yang dialaminya ke Polres Bogor. Lima hari kemudian tepatnya tanggal 18 Februari 2014, polisi mendatangi tempat kejadian perkara. Keesokannya pukul 19.30 seluruh korban dievakuasi. Pendampingan terhadap korban dilakukan secara bersama-sama LBH Keadilan Bogor dan LBH Jakarta sebagai kuasa hukum korban, serta LBH APIK Jakarta yang terlibat dalam penanganan advokasi (non litigasi).
Tersangka seharusnya dijerat dengan pasal berlapis. Ia melanggar Pasal 2 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman pidana 3-15 tahun, Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dengan ancaman pidana 5 tahun dan Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana 3 tahun 6 bulan penjara.
Namun pada saat proses evakuasi, pihak kepolisian menutup akses pendampingan hukum bagi para korban, yakni FTN dan kawan-kawan. Hal ini menyulitkan pendamping korban memastikan pemeriksaan polisi dalam kapasitas memperkuat laporan yang telah disampaikan korban FTN dan kawan-kawan atau memeriksa tindak pidana lain yang dilakukan terlapor MS dan MU.
Meski begitu, tim investigasi yang terdiri LBH Jakarta dan LBH Keadilan Bogor Raya menemukan fakta adanya keterlibatan pihak lain selain pelaku (Brigjen MS). Pihak ini memfasilitasi penyediaan jasa PRT yang berujung tindak pidana perdagangan orang.
Awalnya para korban diorganisir oleh pelaku lain dari wilayah timur Indonesia (Nusa Tenggara Timur, Maluku dan sebagainya). Pelaku ini membujuk korban dengan janji bekerja di perkebunan sawit di wilayah Sumatera. Namun korban dibawa ke terminal Pulogadung, Jakarta Timur, kemudian dibawa ke wilayah Bogor dan akhirnya sampai di rumah Brigjen MS.
24 Putusan Kasus FTN
Pada 21 Juli 2014, sidang perdana atas peristiwa penyekapan dan kekerasan terhadap PRT itu digelar di Pengadilan Negeri Bogor. Jaksa penuntut umum mendakwa MU dengan dakwaan primair menggunakan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta dakwaan subsidair dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT.
Jaksa penuntut umum juga menuntut terdakwa lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 150.000.000 subsidair lima bulan kurungan. Tuntutan ini sangat rendah jika dikaitkan dengan dakwaan yang disangkakan terhadap terdakwa.
Sidang ini berlangsung dari 21 Juli 2014 hingga 3 Maret 2015. Majelis hakim yang menangani perkara di Pengadilan Negeri Bogor menjatuhkan vonis atau putusan yang mencederai dan mengabaikan hak atas keadilan korban. Terdakwa hanya divonis bersalah satu tahun dengan masa percobaan selama dua tahun. Artinya, pidana tersebut tidak dijalani kecuali dalam masa percobaan tersebut, dilakukan tindak pidana lagi.
Dalam pembacaan putusan, Majelis hakim menggugurkan dua dakwaan primair terkait penerapan UU Perdagangan Orang dan UU Perlindungan Anak. Unsur penganiayaan dan eksploitasi dianggap tidak terbukti.
Hakim menimbang selama ini ke-17 pekerja rumah tangga itu diperlakukan dengan baik dan selalu diberikan kecukupan oleh terdakwa. “Tidak ada unsur penganiayaan dan eksploitasi para pembantu rumah tangga. Karena selama ini mereka selalu diberi makan dan bahkan yang memasaknya adalah terdakwa. Terdakwa juga membantu proses persalinan salah seorang pembantu dan membantu biaya perawatannya.”
Sementara, dakwaan sekunder soal perlakuan KDRT tetap dikenakan terhadap MS. Untuk itu, dalam sidang hakim menjatuhkan vonisnya atas MU. Namun, sekalipun ancaman hukuman dalam Pasal 44 UU PKDRT yang dikenakan hingga lima tahun, hakim hanya memvonis satu tahun. Itupun dengan masa percobaan dua tahun.
ANALISA
Di Indonesia, rekrutmen PRT sebagian besar melalui teman dan keluarga. Cara ini lebih banyak disukai karena memiliki peluang lebih besar menemukan majikan yang baik serta menghindari masalah.
Saluran rekrutmen lainnya ialah melalui para perantara informal seperti calo ataupun formal lewat agen penyalur25. Dari sinilah kerentanan PRT menjadi korban perdagangan, seperti yang dialami UM dan teman-temannya atas perlakuan PT. CK.
Para calo menawarkan iming-iming pekerjaan di kota bahkan luar negeri dengan gaji yang tinggi untuk menjebak korban yang berada di desa. Di sisi lain, perempuan dewasa dan terutama anak-anak perempuan rentan menjadi korban modus perdagangan orang melalui jeratan hutang, pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian dan seterusnya.
25 Xxxxxxxxx Xxx Xxxxxxxx, Upaya Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Sebagai Kelompok Masyarakat Yang Termarjinalkan di Indonesia, Jurnal Al-Xxxxx Xxxxxxxxx, Seri Pranata Sosial, vol 1 No. 1 Maret 2011, Hal 12
Pada kasus di atas, PT CK jelas telah melanggar Pasal 15 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yakni melakukan kejahatan korporasi. Pelakunya dapat dijatuhkan pidana penjara 3 hingga 15 tahun dengan pemberatan tiga kali dari pidana denda sebagaimana diatur dalam Pasal 2 (3x 120.000.000= Rp. 360.000.000).
Selain itu PT CK dapat dikenakan pidana tambahan denda berupa pencabutan izin usaha, perampasan hasil kekayaan hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus dan/ atau pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama. Jika tindak pidana tersebut dilakukan terhadap anak (18 tahun ke bawah), maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana pokoknya.
Selain UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, pelaku melanggar Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 74 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta Pasal 333 ayat 1 KUHP, yaitu tanpa hak dan tanpa kewenangan menahan korban di suatu tempat/ruangan. Selengkapnya Pasal 333 ayat 1 KUHP berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”. Terakhir, melanggar Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Pada kasus kedua, pelaku yang merupakan majikan korban juga didakwa jaksa penuntut umum dengan perbuatan tindak perdagangan orang. Ia melanggar Pasal 2 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ancaman pidana 3-15 tahun, Pasal 44 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dengan ancaman pidana lima tahun, serta perbuatan penyekapan yang melanggar Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana 3 tahun 6 bulan penjara.
Menurut Konvensi PBB, perdagangan manusia didefinisikan sebagai perekrutan, pengiriman/ pengangkutan, penindakan, penampungan, perampasan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau perkosaan, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.26
Definisi yang senada dituangkan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang menetapkan, bahwa “Tindakan perdagangan orang adalah melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
26 Xxxxxxxxxx, Xxxxxxxxx, Xxxxxxx, Perdagangan Anak: Beberapa Catatan Masalah Hukum, Hukum Perlindungan Perempuan &Anak, USAID, The Asia Foundation, Kemitraan Partnership, 2015, Hal. 489.
Kasus perdagangan orang ini diakui secara internasional dan nasional sebagai kejahatan luar biasa. Alasannya, kejahatan tersebut dilakukan secara sistematis/terorganisir. Tindakan ini tidak hanya melibatkan satu dua pelaku, tapi sebagai sebuah kelompok dengan modus kejahatan yang terus berkembang serta melintasi batas-batas wilayah suatu negara.
Untuk itu seharusnya, aparat penegak hukum tidak menangani kasus perdagangan orang secara konvensional. Pada kasus pertama, amat sangat disayangkan pihak kepolisian justru menghentikan penyidikan atas kasus perdagangan ini dengan alasan kurang bukti.
Seharusnya kepolisian bisa lebih proaktif dalam melakukan investigasi dan mengembangkan alat bukti. UU Tindak Pidana Perdagangan Orang bahkan telah memberikan kemudahan terkait alat bukti untuk penanganan kasus perdagangan orang.
Pada kasus kedua, penegak hukum juga terlihat bias karena pelaku merupakan pejabat TNI. Apalagi sejak awal akses pendamping kepada korban untuk memberikan bantuan hukum juga dihalangi. Putusan hakim juga sangat jauh dari rasa keadilan serta bertentangan dengan semangat UU Tindak Pidana Perdagangan Orang.
UU Tindak Pidana Perdagangan Orang itu memberikan ancaman minimal hukuman 3 tahun dan maksimal hingga 15 tahun disertai pemberatan satu pertiga bila korban adalah anak-anak.
2. PRT Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Tiga kasus di bawah merupakan gambaran kekejaman majikan terhadap PRT. Mereka melakukan berbagai bentuk penganiayaan dan eksploitasi terhadap PRT atau KDRT baik secara fisik, psikis maupun penelantaran dalam rumah tangga yakni dengan tidak dibayar upahnya.
Selain itu majikan membatasi gerak dan PRT tidak diberi makan secara layak, yakni hanya satu atau dua kali dalam sehari. Di sisi lain, pekerjaan yang dilakukan PRT cukup berat.
KRONOLOGI
a) Kasus SSM
SSM (perempuan, 22 tahun) bersama dengan ER ( perempuan, 23 tahun), MS (perempuan, 16 tahun) dan WD (perempuan, 19 tahun) menjadi PRT di rumah MD. MS bekerja selama sembilan tahun sejak 2007, ER bekerja selama enam tahun, MS bekerja selama tiga tahun sejak tahun 2013 dan WD selama enam tahun sejak 2010.
Selama bekerja di rumah MD, SSM dan tiga PRT lainnya ER,MS dan WD telah mengalami kekerasan fisik, psikis dan penelantaran dalam rumah tangga. SSM yang lebih sering mengalami kekerasan.
SSM mengalami penganiayaan dengan cara dipukul dengan gagang sapu, gantungan baju, ulekan, sikat kamar mandi, disiram air panas, bahkan dipaksa memakan kotoran kucing dan ayam. Jika menceritakan kejadian kekerasan itu, majikannya mengancam akan menghabisi keluarga SSM.
Bentuk kekerasan lain yang terjadi pada SSM dan kawan-kawannya adalah, tidak boleh keluar rumah dan pintu rumah selalu terkunci, kecuali WD. Ini karena WD bertugas berbelanja keperluan masak sehari-hari di pasar. Itupun jam 09.00 pagi harus sudah pulang. Jika mencoba kabur dari rumah maka diancam dilaporkan ke polisi dengan tuduhan mencuri.
Selain itu majikan (MD) melakukan penelantaran dalam rumah tangga karena memberi makan PRT hanya dua kali dalam sehari. Ia juga tidak pernah menggaji PRTnya. Padahal janji awalnya akan mengupah Rp 500.000 per bulan.
Kasus ini terungkap pada tanggal 7 Februari 2016, saat SSM berhasil kabur dari rumah pelaku (MD). Ia turun dari lantai tiga rumah pelaku menggunakan tali jemuran. Selanjutnya melaporkan MD ke Polsek Matraman. Polisi menggerebek dan menangkap MD dan suaminya.
Di sisi lain, SSM juga melakukan visum. Hasil visum itu menunjukkan, ia mengalami luka fisik berat hingga mata kanan buta, kuping kiri mengecil serta bibir sumbing dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Pelaku akhirnya dijerat Pasal 44 UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Jaksa Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum MD sembilan tahun penjara.
Keberhasilan dalam penanganan kasus ini berkat adanya kerjasama yang baik antara LBH APIK Jakarta dengan Kepolisian Metro Jakarta Timur. LBH APIK Jakarta melakukan bantuan hukum sejak di kepolisian hingga proses pemeriksaan di pengadilan.
(1) Di tingkat kepolisian, pendampingan dilakukan sejak proses pemeriksaan BAP, gelar perkara, pemeriksaan konfrontir, pembuatan Visum et Refertum dan lainya. LBH APIK Jakarta juga mengajukan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Alasannya, para korban telah mengalami ancaman dan tingkat kekerasan yang dialami mereka sangat berat. Akhirnya, perlindungan diperoleh sampai proses hukum selesai.
(2) Proses persidangan
Perkara ini didaftarkan dalam Perkara Pidana No. 619/Pid.sus/2016/PN. Jakarta Timur dengan terdakwa HR (suami) dan MD (istri). Jaksa penuntut umum menjerat pelaku dengan Pasal 44 Ayat 1 UU PKDRT.
Penasihat hukum MD menyatakan keberatan/eksepsi terhadap kliennya dengan alasan MD mengalami gangguan jiwa yang mengakibatkan dirinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan Pasal 44 KUHP. Namun eksepsi ditolak.
Dalam proses persidangan terungkap penyebab kekerasan yang dialami SSM. Hal ini berawal dari kejadian di sebuah hotel di Yogyakarta. Kepada istrinya, HR mengaku digoda dan dirayu SSM. Peristiwa itu lalu menyulut kecemburuan MD. Merasa terganggu dengan hal itu, MD melukai SSM hingga berkelanjutan.
Selain ini MD mengaku dirinya memiliki penyakit. Penyakit inilah yang membuat sikapnya menjadi tempramental dan tidak bisa mengontrol amarahnya. Jika mengalami stres, ia akan meluapkan emosinya tersebut kepada para PRT-nya.
MD mengatakan pemicunya adalah kegagalan perkawinan yang berkali-kali sehingga membuat dirinya depresi. Namin ia sudah berusaha berkonsultasi kepada ahli kejiwaan di RS Premier Jatinegara.
Dokter ahli jiwa mengatakan MD hanya datang satu kali ke RS. Premier Jatinegara. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter menyatakan bahwa MD mengalami depresi dengan tingkat sedang. Depresi yang dialami MD tidak berbahaya. Depresi bukan suatu awalan untuk mengarah ke gangguan jiwa atau gila. Artinya pemicu orang menjadi gila bukanlah depresi. Kedua hal ini berbeda.
Pada saat konsultasi, MD mengatakan salah satu pemicu depresi adalah perkawinan yang selalu gagal. Jadi jika emosinya sedang naik, PRT-nya akan menjadi tempat pelampiasan. Menurut dokter, MD seharusnya berobat secara rutin dan tidak cukup hanya sekali.
Setelah melalui rangkaian pemeriksaan, jaksa penuntut umum menuntut terdakwa (MD) sembilan tahun penjara. Kemudian pada tanggal 1 November 2016, Majelis hakim PN Jakarta Timur menjatuhkan putusan sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Atas keputusan tersebut terdakwa menyatakan banding/keberatan dan saat ini masih dalam proses pemeriksaan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
B) Kasus TP
TP adalah seorang PRT. Perempuan berusia 20 tahun ini bekerja sebagai pengasuh anak di rumah Xxxxx Xxxxxxxxxxxx alias Xxxx Xxx alias IH sejak Mei 2015.
IH merupakan putra mantan Wakil Presiden RI Xxxxxx Xxx. Ia juga seorang anggota Komisi IV DPRI RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan anggota Fraksi PPP DPR RI.
TP yang bekerja di Apartemen Ascot Lantai 14 itu bersama dua PRT lainnya yaitu END dan RSM. Ia dijanjikan akan digaji Rp 2.200.000 per bulan.
Namun, setelah lebaran dan dua bulan bekerja, tepatnya Juli 2015, TP mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh IH dan istri. Selain TP, dua teman PRT-nya juga mengalaminya.
Tindak kekerasan yang dilakukan adalah kekerasan fisik, psikis dan penelantaran dalam rumah tangga. TP mengalami kekerasan fisik jika majikan mendapati anaknya menangis. Ia dipukul dengan menggunakan kabel, diinjak-injak, dan ditendang lengannya dalam kondisi majikannya bersepatu. Ada ancaman akan dibunuh dan dihabisi keluarganya, bila kabur. IH dan istrinya juga menahan barang-barang pribadi korban seperti telepon genggam, kartu identitas dan dompet.
Kekerasan psikis yang dialami TP berupa dampak dari kekerasan fisik. Sedangkan bentuk penelantaran dalam rumah tangga yang dialami TP adalah pemberian makan satu kali dalam satu hari, dan hanya menerima gaji utuh pada Juni 2015. Gaji Juli masih terhutang Rp 200.000 serta gaji untuk bulan Agustus dan September belum di bayar.
Puncak kekerasan yang dialami TP terjadi pada 29 September 2015. Telinga korban dipukul keras hingga berdarah dan bengkak. Pundak dan kepala belakang juga dipukul berkali-kali dengan menggunakan tabung obat semprot nyamuk merek HIT berukuran besar. Tulang belakangnya
ditendang, pipi kiri dan kanan ditampar sangat keras, hingga gigi dan rahang korban sakit untuk bicara dan makan.
Keesokan harinya, tepatnya 30 September 2015, TP berhasil kabur menyelamatkan diri. Ia membawa sepotong pakaian dan meloncati pagar untuk keluar dari area apartemen. Setelah itu, berlari ke stasiun Karet dan menaiki kereta jurusan Bogor. Kemudian TP ditemukan salah satu staf LBH APIK Jakarta yang kebetulan menaiki kereta yang sama.
Didampingi LBH APIK Jakarta, kasus ini telah dilaporkan secara resmi ke Polda Metro Jaya sesuai laporan Polisi No. LP/3993/IX/2015/PMJ/Disreskrimum. Visum et Repertum, pemeriksaan THT dan psikologis dilakukan pada 1 September 2015.
TP tidak langsung dimintai keterangan sebagai korban karena kondisi yang tidak memungkinkan. Korban dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara (RS POLRI) untuk mendapatkan pengobatan atas luka- luka yang dialaminya.
Pada 27 Februari 2016 surat perintah dari presiden turun. Dua hari berselang, yakni 29 Februari 2016, IH ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan. Melalui persidangan pengadilan umum menuntut IH dua tahun penjara.
Sementara majelis hakim menyatakan IH bersalah karena melanggar Pasal 44 ayat (1) juncto pasal 5 huruf a UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, Xxxxxxx Xxxxx menghukum IH dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.
IH juga dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sesuai UU No. 27 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum dengan pemberhentian tidak hormat sebagai anggota dewan.
Selain mendampingi kasus hukum di Polda Metro Jaya dan MKD, LBH APIK juga melakukan upaya pemulihan TP dan dua temannya yang juga PRT di rumah IH. Ada juga pemeriksaan kesehatan di RS Polri dan menitipkan mereka ke rumah aman bekerja sama dengan LPSK.
Beberapa temuan yang terjadi dalam penanganan kasus ini yakni :
1. Pada pelaporan tindak pidana KDRT
a) Sejak awal pelaporan, kuasa hukum dan keluarga IH menginginkan pelaporan dicabut dengan memberikan kompensasi ganti rugi sejumlah Rp. 250.000.000. Namun, upaya tersebut gagal karena TP tetap ingin memproses secara hukum. Sebelumnya pihak keluarga IH sempat mengancam pendamping/LBH APIK Jakarta dengan membawa oknum TNI/Polri.
b) Pada proses penuntutan: Melalui kuasa hukumnya IH terus berupaya menghubungi TP untuk mencabut laporannya dan usaha tersebut tetap gagal.
c) Pada proses pemeriksaan di pengadilan: Kuasa hukum dan keluarga IH tetap bersikeras agar korban menerima ganti rugi yang ditawarkan sebelumnya. Keinginan itu akhirnya dipenuhi TP dan kedua temannya sebelum tuntutan dibacakan. Pemberian ganti rugi kepada TP dan temannya dipakai sebagai dasar untuk meringankan perbuatan IH. Kondisi ini terlihat dari pertimbangan tuntutan jaksa penuntut umum dalam tuntutannya dan
pertimbangan hakim dalam putusannya. Padahal ganti rugi merupakan hak korban dan tidak dapat ditawar serta dipertukarkan.
2. Pada pelaporan di MKD
Pada Oktober 2015 TP didampingi LBH APIK Jakarta, melaporkan IH ke MKD berkaitan dengan pelanggaran kode etik IH selaku anggota dewan. Pada proses ini, pemeriksaan terhadap IH membutuhkan waktu yang cukup lama.
Pihak MD3 menunggu proses di kepolisian untuk memeriksa IH. Sementara kepolisian tidak langsung memanggil IH dengan alasan menunggu persetujuan dari presiden.
Padahal aturan terkait pelanggaran kode etik menyebutkan pemeriksaan atas anggota dewan yang melakukan perbuatan tindak pidana seperti KDRT, tidak perlu menunggu izin presiden27.
Penanganan kasus TP tidak hanya secara litigasi, tapi juga upaya advokasi/non litigasi. Beberapa upaya non litigasi itu seperti melakukan konferensi pers, menggunakan petisi daring serta menyerahkan dukungan masyarakat kepada Polda Metro Jaya dan Mabes Polri serta Majelis Kehormatan Dewan di DPR RI.
Meski sejak awal ada tekanan untuk untuk berdamai, tapi akhirnya tetap berjalan dan diproses kepolisian. Hal ini tidak terlepas dari adanya kerjasama dengan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polda Metro, khususnya dukungan dan komitmen dari Kapolda saat itu untuk menahan IH. Polda tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan oleh kuasa hukum pelaku sehingga pelaku tetap ditahan dan diproses sampai disidangkan di pengadilan.
c) Kasus ASR
ASR adalah anak terakhir dari dua bersaudara. Orangtua dari perempuan yang berusia 24 tahun ini bekerja sebagai petani di Demak. Selepas lulus SMU, ASR bekerja sebagai PRT di Jakarta dan memutuskan menikah dengan X. Xxxnikahan itu tidak harmonis dan akhirnya mereka bercerai.
ASR kembali bekerja sebagai PRT di Jakarta melalui agen penyalur PRT. Ia bekerja pada pasangan suami-istri berinisial RK dan NK yang keduanya bekerja. Tugasnya antara lain memasak untuk keluarga, membuat bekal untuk NK, RK dan anak paling besar, memandikan anak hingga memakaikan bajunya, mengepel dan mengurus rumah tangga lainnya. Pekerjaannya itu dimulai pukul 05.00 hingga pukul 21.00
ASR memperoleh libur setiap hari Minggu. Ia memanfaatkannya untuk jalan-jalan dan sebagainya. Sampai akhirnya berkenalan dengan seorang laki-laki berinisial HEN. Pada suatu pertemuan, HEN memaksa ASR berhubungan seksual. Demi pacar, ASR terpaksa melakukannya hingga terjadi dua kali hubungan seksual.
Setelah beberapa bulan berpacaran dengan HEN, ASR mulai merasakan sakit pada perutnya. Saat itu, ia tidak mengetahui kalau hal tersebut adalah indikasi kehamilan. Alasannya ia sering terlambat haid dan sering makan mie mentah. Apalagi, ada riwayat sakit tifus.
27 Lihat UU MD3 Pasa 245 ayat (1)
ASR kemudian melakukan pemeriksaan pada kakinya di sebuah klinik dekat rumah. Ia mendapat obat dari dokter, tapi bengkak kakinya tidak berkurang dan ditambah sakit perutnya kembali muncul.
ASR kembali memeriksakan dirinya ke klinik yang sama. Dokter yang memeriksanya mengatakan tidak terjadi apa-apa, hanya sakit biasa. Namun, sepulangnya dari klinik, saat kembali ke kamar ASR merasakan pusing dan meminta air putih ke temannya berinisial YLA yang juga bekerja sebagai PRT.
ASR merasakan ingin buang air besar. Namun yang keluar justru darah yang cukup banyak. Awalnya ia mengira itu adalah darah haid biasa, tapi ternyata bayi perempuan.
Pada saat bayi keluar, ASR tidak mendengar teriakan bayi. Ia pun mencubit pipi bayi yang tidak menangis tersebut dan menunggu hingga 30 menit. Kemudian dalam kondisi panik, ASR membungkusnya ke dalam plastik yang ada di ruang tersebut.
Kondisi ASR diketahui oleh majikan, yang kemudian membawanya ke RS Cinere untuk dirawat. Majikannya membawa jasad bayi untuk dititipkan di kamar jenazah. Namun pihak rumah sakit menolak dan menyarankan lapor ke polisi
Di RS Cinere, ASR mendapatkan tindakan medis selama empat hari. Ia juga mendapat pengawasan dari polisi Polsek Cinere. Setelah itu dipindahkan ke RS Polri.
Dalam kondisi yang belum sehat dan belum stabil, penyidik Polsek Cinere menjemput ASR guna pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan dilakukan di Polsek Cinere dan ASR ditahan di Rutan Polres Depok. Ia mendapat pendampingan dari LBH APIK Jakarta sejak diproses di Polsek Cinere.
Pendampingan kasus ASR membutuhkan waktu yang panjang dan melelahkan. LBH APIK Jakarta merasa penanganan di Polsek Cinere kurang maksimal. Seharusnya kasus ASR dilakukan pemeriksaan oleh polisi khusus, dalam hal ini Unit Perlindungan Perempuan dan Anak. Atas dasar itu, LBH APIK Jakarta mengirim surat pelimpahan perkara ke Polres Depok. Selanjutnya perkara ASR ditangani oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Depok.
LBH APIK sebagai kuasa hukum ASR juga mengalami kesulitan mendapatkan salinan BAP tersangka sejak awal proses penyidikan di Polsek Cinere dan di Polres Depok. Berita Acara Pemeriksaan ASR sebagai tersangka baru diperoleh ketika perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Depok. ASR pun akhirnya ditahan di LP Paledang setelah perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Depok sejak Oktober.
Selain itu, pihak kepolisian tidak memperlihatkan keterbukaan kepada ASR maupun kepada tim kuasa hukum, salah satu contohnya tentang keberadaan bayi. ASR tidak pernah diperlihatkan bayi yang dilahirkannya, maupun lokasi pemakamannya. Pihak keluarga ayah XXX pun tidak pernah mengetahui tentang keberadaan bayi tersebut. Bahkan tidak pernah menerima penyerahan bayi tersebut setelah dilakukan otopsi untuk dimakamkan kemudian oleh pihak keluarga.
Ketidakseriusan lain dari pihak kepolisian adalah membuat BAP tambahan tanpa didampingi kuasa hukum, meskipun penandatanganan belum terjadi. Padahal penyidik mengetahui ASR didampingi kuasa hukum untuk menjalani kasus ini.
Karena format hasil BAP diganti, kuasa hukum tidak bersedia menandatanganinya. Alhasil dilakukan proses BAP ulang. Hal ini menunjukkan bahwa kepolisian telah melanggar prosedur pemeriksaan.
Dalam upaya mempersiapkan pembelaan untuk ASR, tim kuasa hukum menginvestigasi tempat kejadian perkara pada 6 Juni 2016. Caranya dengan mewawancarai orang-orang yang mengetahui kejadian, menemui dokter di Klinik Gandul dan RS Cinere serta mengajukan permohonan mendapatkan rekam medis ASR. Selain itu, melakukan konsultasi dengan dokter ahli kandungan di RS Xxxxx Xxxxxxxx.
Dalam proses persidangan di PN Depok, jaksa penuntut umum merumuskan surat dakwaan kepada ASR dengan dakwaan berlapis yaitu Pasal 340, 338, 341, 342 KUHP dan Pasal 80 UU Perlindungan Anak. Jaksa penuntut umum menghadirkan beberapa saksi seperti majikan ASR, teman PRT dan ahli kandungan. Sedangkan pihak kuasa hukum ASR menghadirkan dua orang ahli yaitu, ahli forensik Xx. Xxxxxxx Xxxxxx dan ahli kesehatan reproduksi XX. Xxxx Xxxxxxx.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan yang panjang, pada 31 Januari 2017 jaksa penuntut umum menyatakan ASR terbukti melanggar Pasal 80 ayat 3 jo Pasal 76 c UU Perlindungan Anak. jaksa penuntut umum menuntut ASR delapan tahun penjara.
Pada 7 Februari giliran kuasa hukum ASR mengajukan pembelaan/pledoi. Kemudian replik dari jaksa penuntut umum pada 14 Februari 2017. Replik adalah tanggapan jaksa penuntut umum atas nota pembelaan penasihat hukum terdakwa.
Dalam nota pembelaan, penasihat hukum menyimpulkan seluruh unsur-unsur dari dakwaan Pasal 80 ayat (3) jo Pasal 76 c UU No. 35 ahun 2014 atas perubahan UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah tidak terbukti. Alasannya, sebagai berikut:
⬩ Dalam uraian pembuktian unsur dalam tuntutan, jaksa tidak memilih salah satu unsur yang ada. Unsur tersebut di antaranya kata menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan atau turut serta melakukan KEKERASAN. Seharusnya jaksa memilih unsur yang sesuai dengan fakta persidangan. Apalagi unsur pasal ini bersifat alternatif. Karena tidak mungkin perbuatan melakukan sekaligus terbukti bersama-sama dengan perbuatan menempatkan, membiarkan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan kekerasan28
⬩ Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan penyebab kematian pada bayi menurut keterangan ahli xx. Xxxx Xxxxxxx, Sp.Og, dan keterangan ahli forensik xx. Xxxxxxx Xxxxxxx serta ahli kesehatan reproduksi XX. Xxxx Xxxxxxx, dapat diketahui penyebab kematian adalah sebagai berikut:
a) (xx. Xxxx Xxxxxxx, Sp.Og): Bayi meninggal di luar kandungan dengan penyebab kematian karena kotoran masuk ke dalam paru-paru dan menutup alveolus bayi tersebut. Kesimpulan ini didasarkan karena bayi kekurangan oksigen pada saat di dalam rahim yang mengakibatkan saluran dubur bayi akan mengalami relaksasi, kemudian pada saat yang bersamaan akan mengakibatkan peristaltik pada usus, seperti pada saat ASR mau buang air. Pada saat itu bayi buang kotoran dalam kandungan. Lalu pada saat bayi keluar dari vagina
28 Nota Pembelaan Kasus Asri, 2017, hal. 39.
kotoran tersebut terhirup dan masuk ke dalam paru-paru bayi dan menutup alveolusnya. Sehingga penyebab kematian dikarenakan kotoran masuk ke dalam paru-paru bayi.
b) (xx. Xxxxxxx Xxxxxxx) Pada pemeriksaan hispatologi forensik organ paru didapatkan alveoli dan telah mengembang berisi massa keratin, cairan, ketuban dan kotoran bayi. Kotoran bayi seharusnya tidak ada di dalam paru. Kotoran bayi dapat ada karena kekurangan oksigen yang menyebabkan relaksasi otot-otot sfingter anus, sehingga sfingter di dubur jadi longgar dan kotoran bayi keluar walau seharusnya tidak ada. Oksigen di dalam rahim itu menunjukkan fetal distress (gawat janin). Air ketuban itu harusnya berwarna putih bukan hijau. Dan di dalam paru tidak boleh ada air ketuban ataupun kotoran karena salurannya berbeda. Dalam visum ini ahli menyimpulkan bahwa hal ini terjadi di dalam kandungan. Bayi disimpulkan mati di dalam kandungan karena poin 18 mengatakan pada persambungan antara tulang-tulang kepala saling terpisah satu sama lain. Saat diotopsi menyambung dan tidak terlepas walaupun belum unifikasi/menyatu. Kemudian dikatakan bahwa selaput lunak otak utuh. Otak besar dan otak kecil lembek, tampak pucat menurut ahli mengindikasikan kematian di dalam kandungan dan itu disebut maserasi pembusukan di dalam.
c) (XX. Xxxx Xxxxxxx): Hasil pemeriksaan dokter menyatakan kedua kakinya bengkak. Kalau dalam konteks kesehatan reproduksi, kaki bengkak secara umum mengindikasikan metabolisme yang tidak bagus. Sangat mungkin jika ada indikasi tensi tinggi, kolesterol. Tensi tinggi bisa memicu preeklamsia dan memicu bayi lebih cepat lahir. Hingga ada dua kemungkinan, kalau cepat bisa terselamatkan dua-duanya. Kalau tidak, maaf, tinggal memilih mau menyelamatkan bayi atau ibunya. Preeklamsia lebih karena tensi tinggi yang tak terkendali dan itu mata rantainya banyak. Bisa kurang gizi, bisa terjadi terlalu capai, bisa stres. Sangat mungkin untuk terjadi kematian yang mendadak bagi bayi. Kaki bengkak itu bisa mengindikasikan preeklamsia tapi tidak selalu, tetap harus ada pemeriksaan29.
Inti dari ketiga ahli yang dihadirkan dalam persidangan itu adalah bayi ASR sudah meninggal sebelum terlahir (ahli forensik) atau setidaknya tidak lama sesaat dilahirkan (ahli kandungan). Kematiannya disebabkan kondisi sang bayi yang sangat lemah akibat kekurangan oksigen saat dalam rahim serta masuknya kotoran kedalam paru-parunya.
Penyataan dari para ahli tersebut sebenarnya memperkuat fakta yang disampaikan ASR bahwa dirinya tidak bermaksud menghilangkan nyawa bayinya. Namun, keterangan dari para ahli ini tampaknya tidak cukup meyakinkan aparat penegak hukum.
Pada 13 Februari 2017 PN Depok melalui Putusan No. 610/Pid.B/2016/PN. Xxxxx menyatakan ASR telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan terhadap anak yang menyebabkan anak mati. Pengadilan menjatuhkan pidana penjara kepada ASR selama enam tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000. Apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka akan digantikan dengan pidana kurungan selama tiga bulan30.
29 Nota Pembelaan Kasus ASR, hal. 54-55
30 Putusan Pengadilan Negeri Depok No. 610 /Pid.B/2016/PN.Xxx, Xxx. 38-39
Adapun yang menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut adalah terdakwa secara sadar dan dengan sengaja melakukan proses kelahiran anaknya tersebut di kamar mandi tanpa bantuan dari pihak dokter. Penyebabnya terdakwa merasa malu dan takut melahirkan diketahui oleh orang lain karena anak itu hasil hubungan intim terdakwa (ASR) dengan pacarnya.
Akibat perbuatan terdakwa (ASR) yang melahirkan anaknya di kamar mandi membuat anak tersebut meninggal dunia31. Majelis hakim juga berkesimpulan bahwa ASR tidak mencerminkan seorang ibu yang baik menjadi pertimbangan yang memberatkan ASR32.
ANALISA
PRT adalah sebuah pekerjaan yang sangat membutuhkan perlindungan hukum dan sosial. Alasannya pekerjaan di sektor rumah tangga sangat rentan mengalami berbagai kekerasan mulai dari tempat perekrutan (rumah sponsor/calo), selama bekerja dan setelah kembali ke kampung halamannya.
Dalam Pasal 2 ayat 1 huruf c UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga meliputi juga orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tersebut. Sehingga, bila terjadi kekerasan pada PRT dapat menggunakan UU PKDRT sebagai payung hukum.
Pada kasus pertama (SSM) dan kedua (TP) perbuatan majikan dijerat dengan UU PKDRT karena perbuatannya termasuk katagori Kekerasan Dalam Rumah Tangga33. Pasal yang diterapkan adalah Pasal 44 UU PKDRT dengan hukuman penjara 1 tahun, 6 bulan dan pada kasus kedua dengan hukuman penjara selama sembilan tahun.
Di samping menggunakan penerapan pasal 44 UU PKDRT34 pelaku harusnya dapat dijerat/dikenakan dengan Pasal 9 jo 49 huruf a UU PKDRT terkait menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya. Ancaman pidananya paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.00035 . Bisa juga dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) tentang kekerasan psikis.
31 Ibid, hal. 36
32 Ibid, hal. 38
33 Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukm dalam lingkup rumah tangga. (pasal 1 UU PKDRT)
34 Pasal 44 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa:
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00.
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00.
35 Pasal 49 huruf a UU PKDRT menetapkan sebagai berikut: “Dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 setiap orang yang :
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2)
Urgensinya memasukan Pasal 9 jo Pasal 49 huruf a UU PKDRT karena pelaku telah melakukan penelantaran dalam rumah tangga. Penelantaran dalam rumah tangga yang dilakukan oleh majikan/ pelaku adalah tidak memberikan gaji selama bekerja kepada SSM, tidak penuh dalam memberikan upah kepada TP, tidak memberikan kehidupan perawatan dan pemeliharaan yaitu hanya diberikan makan dua kali dalam sehari kepada SSM dan satu kali sehari kepada TP.
Sayangnya, kedua pasal di atas yakni terkait penelantaran rumah tangga tidak diterapkan oleh aparat penegak hukum dalam kasus pertama dan kedua. Padahal PRT termasuk dalam definisi dari ruang lingkup rumah tangga. Sementara definisi penelantaran pada unsur penelantaran dalam rumah tangga yang dimaksud dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah “Setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggung jawab seseorang dalam rumah tangga yang menurut hukum seseorang itu telah ditetapkan sebagai pemegang tanggung jawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan keluarganya36.
Mengacu UU PKDRT, penelantaran rumah tangga meliputi dua tindakan:
a. Orang yang mempunyai kewajiban secara hukum karena persetujuan atau perjanjian memberikan kehidupan, perawatan dan pemeliharaan kepada orang tersebut dalam lingkup rumah tangga namun tidak melaksanakan kewajibannya tersebut;
b. Setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan di luar rumah sehinga korban berada di bawah kendali orang tersebut37.
Secara yuridis, sebelum lahirnya UU PKDRT, seseorang yang sengaja menempatkan atau membiarkan orang dalam keadaan sengsara padahal menurut hukum baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu. Ini diatur dalam pasal 304 KUHP. Ancaman pidananya paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.38
Pada kasus ketiga, ASR harus berhadapan dengan hukum sebagai pelaku/tersangka/terdakwa atas kematian bayinya akibat tidak adanya pengetahuan dan pengalaman dalam melahirkan. Apalagi ia tidak mengetahui mengenai kehamilannya bingung akan apa yang terjadi dan yang seharusnya dilakukan. Namun, akhirnya tetap didakwa melanggar Pasal 80 ayat (3) jo Pasal 76 c UU No. 35 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Di sisi lain, majikan ASR juga tidak memiliki kepekaan anggota rumah tangga. Hal ini menandakan seorang PRT mengalami pengabaian dari majikan. Keadaan tersebut mematahkan anggapan PRT adalah bagian dari keluarga majikan tanpa dibarengi adanya kedekatan emosional. Yang terjadi adalah hubungan keluarga yang dibangun atas dasar pemanfaatan tenaga untuk melakukan pekerjaan rumah tangga.
36 Prof. Dr. X. Xxxxxxx, SH., Menelantarkan Keluarga Merupakan Delik Omisionis, Varia Peradilan No. 303, Februari 2011, Hal.1
37 Xxxx Xxxxxxxxxxxx dan Umi Lasmina, Hukum Keluarga, Masalah perempuan dan Anak dalam Panduan Bantuan Hukum Indonesia, YLBHI, PSHK, 2006, hal. 119.
38 Iit Rahmatin, Penafsiran Sanksi Penelantaran Dalam Rumah Tangga. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Peradilan Pidana, Analisa Konsistensi Putusan., MAPPI UI-LBH APIK Jakarta, 2016, Hal. 119.
Kasus yang dialami ASR memperlihatkan bagaimana ketidakadilan berlangsung atas seorang perempuan PRT. Apalagi sejak awal sudah mendapatkan stigma sebagai pelaku kejahatan ‘pembunuh bayi’. Aparat penegak hukum tidak mempertimbangkan situasi PRT yang kondisinya lemah dan tidak diuntungkan, seperti tidak memiliki akses atas informasi dan layanan terkait kesehatan reproduksinya, khususnya kehamilannya. ASR justru diperlakukan sebagai pesakitan, bahkan akses terhadap bantuan hukum juga dipersulit kepolisian. Xxxxxxpun sikap jaksa yang menuntut delapan tahun penjara sama sekali tidak mempertimbangkan posisi dan status sosial ASR yang memiliki hambatan untuk melindungi dirinya dan keselamatan bayinya.
BAB 3.
ANALISA
X. Xxxxxxan dan Tantangan
1. Hambatan dan Tantangan dalam Sistem Hukum
Dari pengalaman penanganan kasus-kasus PRT yang dilakukan LBH Jakarta dan LBH APIK Jakarta yang telah diuraikan, memperlihatkan kendala dan tantangan yang tidak sedikit. Tidak semua kasus PRT/PRTA bisa diselesaikan dengan cepat dan mudah. Bahkan ada kasus yang tidak berhasil mendapatkan klaim sesuai dengan jenis pertanggungjawaban dan kerugian yang dialaminya. Beberapa kendala yang menjadi hambatan dalam penanganan kasus PRT, di antaranya :
Di Indonesia, saat ini sistem hukum yang ada belum mampu memberikan keadilan dan perlindungan hukum terhadap para perempuan korban kekerasan. Hal ini disebabkan karena sistem hukum Indonesia yang merupakan bentukan kolonial masih lemah dan bias gender dalam melayani kepentingan perempuan korban kekerasan. Faktor-fakor yang menyebabkan lemahnya sistem hukum tersebut dapat dilihat dari unsur yang membentuknya, yaitu substansi, struktur dan budaya hukum.
1.1. Permasalahan dalam substansi/norma hukum dan implementasinya
Penanganan kasus-kasus PRT/PRTA masih belum efektif karena tidak memadainya regulasi dan kebijakan yang mengakui PRT sebagai pekerja, termasuk dalam memberikan perlindungan atas hak-hak ketenagakerjaan mereka. Kelemahan dalam aspek substansi hukum tersebut menyebabkan banyaknya pelanggaran yang terjadi tanpa ada hukuman bagi pelakunya.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang memuat sejumlah kecil ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban para pemberi kerja. Hanya satu sub-bab dari sebuah ketentuan yang menjelaskan kewajiban seorang ‘pemberi kerja’ terhadap yang diberi kerja. Aturan itu menyebutkan dalam mempekerjakan orang, para majikan/pemberi kerja “berkewajiban untuk memberikan perlindungan yang harus pula memasukkan perlindungan bagi kesejahteraan, keamanan dan kesehatan mereka, baik mental maupun fisik”.
Namun, UU itu membedakan usaha milik “pengusaha” dan “pemberi kerja,” dan mewajibkan hanya pengusaha untuk menaati ketentuan dalam undang-undang ini mengenai perjanjian kerja, upah minimum, waktu kerja lembur, jam kerja, waktu istirahat, dan hari libur. Majikan PRT tidak
dianggap sebagai pengusaha, dan oleh karenanya PRT tidak dilindungi oleh ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan ini.
Situasi itu menyebabkan sulitnya menggunakan mekanisme penyelesaian hubungan industrial untuk menyelesaikan kasus-kasus ketenagakerjaan yang dihadapi PRT. Apalagi, PRT masih dikecualikan dari UU Ketenagakerjaan karena dianggap bukan pekerja.
Di sisi lain, Menteri Tenaga Kerja sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Di dalam peraturan tersebut yang dimaksud PRT adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain. Pengguna PRT (majikan) adalah orang perseorangan yang mempekerjakan PRT dengan membayar upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain. Lembaga penyalur PRT (LPPRT) adalah badan usaha yang telah mendapat izin tertulis dari gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk merekrut dan menyalurkan PRT.
Diatur pula hak dan kewajiban PRT dan pengguna PRT. Hak dan kewajiban tersebut harus dituangkan di dalam perjanjian kerja tertulis atau lisan antara PRT dengan pengguna PRT/majikan yang dapat dipahami oleh kedua pihak serta diketahui oleh ketua Xxxxx Xxxxxxxx atau dengan sebutan lain.
Dengan peraturan menteri itu seharusnya PRT dapat mengakses hak-haknya sebagai pekerja seperti perlindungan kontrak kerja dengan majikan. Apalagi ada banyak PRT yang mengalami proses hukum, baik sebagai korban maupun sebagai tersangka akibat tidak adanya perjanjian kerja. Tidak adanya perjanjian kerja ini membuat posisi PRT semakin lemah dan tidak terlindungi, khususnya bila terjadi perselisihan. Ini dialami pada kasus SS dan TH.
Namun kedudukan peraturan menteri sebagai aturan hukum kurang kuat dibandingkan UU Ketenagakerjaan. Peraturan menteri sejauh ini belum efektif diberlakukan hingga saat ini.
Di sisi lain, ada beberapa aturan yang lebih efektif melindungi PRT. Salah satunya adalah UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Aturan ini bisa digunakan karena selain permasalahan ketenagakerjaan seperti PHK tanpa pesangon, upah yang tidak dibayarkan, tidak mendapat jaminan kesehatan dan THR, kasus-kasus yang dialami PRT juga terkait kasus pidana seperti penganiayaan, penyekapan, perdagangan orang dan kekerasan lainnya.
UU No. 23 Tahun 2004 menyebutkan secara eksplisit PRT sebagai bagian dari anggota rumah tangga dan turut mendapatkan perlindungan dari kekerasan yang terjadi di lingkup rumah tangga. Aturan ini dapat menjerat majikan dan anggota rumah tangga lainnya yang melakukan kekerasan terhadap PRT baik yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, ataupun penelantaran rumah tangga.
Selain UU PKDRT, aturan lainnya yang bisa digunakan dalam kasus pidana terhadap PRT yakni UU Perlindungan Anak untuk kasus PRTA, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk kasus perdagangan orang, KUHP untuk pidana umum seperti penipuan dan penggelapan, KUHAP terkait peluang penggabungan perkara pidana dengan ganti kerugian bagi korban serta UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Perlindungan Saksi dan Korban. Meskipun sudah ada beberapa aturan perundangan yang positif untuk melindungi PRT dari
tindak kejahatan, implementasinya masih sangat lemah, serta tidak sesuai dengan harapan seperti yang tercermin dari kasus-kasus yang diceritakan di atas.
UU PKDRT sebenarnya cukup efektif digunakan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa PRT, terutama untuk kasus kekerasan fisik. Namun belum berhasil diaplikasikan berkaitan dengan pelanggaran hak PRT tentang upah yang tidak dibayar, jaminan kesehatan dan lainnya, yang seharusnya termasuk dalam penelantaran rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PKDRT35. Bagi yang melanggar akan dipidana penjara selama tiga tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000.
Dalam praktiknya ketentuan tentang penelantaran rumah tangga masih terbatas diterapkan pada ruang lingkup rumah tangga yang memiliki hubungan darah
Ini mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi, penelantaran rumah tangga ialah pelanggaran kewajiban orang tua kepada anaknya.
UU PKDRT juga tidak memberikan perlindungan bagi keluarga korban yang mengalami ancaman dan sebagainya. Perlindungan hanya diberikan kepada korban. Sementara, mengenai pembuktian, UU ini sudah cukup progresif dengan adanya ketentuan pada Pasal 5536. Pasal itu menyebutkan satu saksi korban dengan disertai suatu alat bukti lainnya sudah cukup menjerat pelaku di pengadilan sebagai terdakwa. Meski demikian, dalam praktik di lapangan, seringkali aparat penegakan hukum berpendapat jika hanya ada satu saksi dan satu alat bukti itu masih kurang.
UU PKDRT ini seharusnya juga mendorong peran aktif masyarakat mencegah adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 15 UU itu37 mewajibkan siapa pun yang menyaksikan atau mengetahui adanya kekerasan dalam rumah tangga, berusaha mencegah serta memberikan perlindungan dan bantuan kepada korban. Namun, kenyataannya peran masyarakat untuk kasus PRT masih minim.
Permasalahan implementasi hukum ada juga dalam hal restitusi. Restitusi ini tidak diatur secara khusus dalam UU PKDRT dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Peluang penggabungan perkara pidana dengan ganti rugi diatur pada pasal 98 ayat 1 KUHAP.
Meski demikian dalam kasus-kasus PRT peluang restitusi ini jarang dipakai oleh aparat penegak hukum. Alhasil, mereka yang meminta ganti rugi tidak bisa difasilitasi oleh negara. Permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan pasal 98 ayat (2) diajukan selambat-lambatnya sebelum jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.
39 Pasal 9 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menentukan bahwa:
a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut;
b. Penelentaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan di luar rumah sehinga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
37 Pasal 55 UU PKDRT menentukan bahwa : “Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”.
38 Pasal 15 UU PKDRT menentukan bahwa :
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau megetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan dururat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Persoalan juga muncul terkait mekanisme pemberian perlindungan kepada korban dan saksi. Jika mengacu UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hal itu harus dijalankan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK ). Mekanisme di LPSK cenderung formalistik dan birokratis.
Alhasil, LPSK belum mampu memberikan perlindungan yang segera kepada korban, terutama yang membutuhkan tindakan responsif. LPSK juga tidak memiliki perwakilan di setiap provinsi, sehingga korban yang berada di luar Jabodetabek sulit mengakses hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan.
a. Berkaitan dengan peran serikat pekerja, sebenarnya ada UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Aturan itu memberi peluang yang besar bagi PRT secara bebas, mandiri, terbuka, demokratis dan bertanggung jawab untuk membentuk serikat pekerja untuk memperjuangkan hak, kepentingan PRT dan keluarganya.
Selain aturan itu, ada juga Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (PerMenaker) No. PER-201/ MEN/1999 tentang Pendaftaran Serikat Pekerja. Aturan ini juga memberikan peluang kepada PRT untuk membentuk serikat pekerja.
Sayangnya, kedua peraturan di atas belum bisa dilakukan dengan maksimal. Aturan itu juga kurang efektif dan belum dapat diterapkan bagi PRT. Bahkan belum tersosialisasikan dengan baik kepada PRT.
1.2 Permasalahan Struktur Hukum
Masih rendahnya kesadaran dari aparat penegak hukum terkait hak-hak PRT turut melanggengkan pelanggaran yang terus terjadi dan berulang. Hal ini terlihat dari penolakan laporan atau pengaduan mengenai pelanggaran hak normatif yang dialami oleh PRT. Selain itu, peran aparat penegak hukum, baik polisi, xxxxx, xxxxx dan advokat di Indonesia agaknya belum menunjukkan keseriusannya dalam penegakan hukum pidana untuk menekan berbagai tindak pidana khususnya terhadap kasus yang dialami oleh PRT. Hal ini yang menyebabkan UU yang sudah ada tidak berhasil diimplementasikan sepenuhnya untuk melindungi hak-hak PRT.
Pada kasus kriminalisasi terhadap PRT, aparat penegak hukum hanya menjadi corong undang- undang tanpa memperhitungkan konsteks dan situasi serta hak-hak PRT yang telah dilanggar. Contoh, dalam proses pelaporan, kepolisian seolah tidak dapat menolak laporan atau pengaduan majikan terhadap PRT. Laporan itu langsung ditindaklanjuti tanpa mengecek ulang motif pelaporan majikan kepada PRT. Apalagi mengidentifikasi pelanggaran hak-hak PRT di balik laporan tersebut.
Sementara hak-hak PRT sebagai tersangka seringkali diabaikan atau dihambat. Beberapa hak tersebut di antaranya untuk mendapatkan bantuan hukum sejak awal pemeriksaan, hak atas kesehatan reproduksi, dan hak mendapatkan berkas perkara untuk kepentingan pembelaan. Padahal, semua itu sudah diatur dalam KUHAP dan Perkapolri No. 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan. Kepolisian seharusnya lebih responsif. Jika pemeriksaan tersangka menemukan tindak pidana oleh majikan, penyidik dapat membuat laporan polisi berdasarkan temuan tersebut.
Penyidik juga cenderung menganggap tersangka adalah pihak yang memiliki akses melakukan tindak pidana yang dituduhkan, walaupun dalam rumah tersebut banyak pekerja atau PRT lainnya. Hal ini terjadi seperti pada kasus SS yang dijerat dengan UU Perlindungan Anak juga kasus kriminalisasi PRT lainnya.
Keengganan sesama pekerja/PRT memberikan kesaksian atau justru bersaksi yang memberatkan temannya, diterima begitu saja oleh aparat penegak hukum. Padahal ada faktor relasi kuasa yakni kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan, serta situasi psikologis lainnya yang menimbulkan kerentanan PRT terhadap majikannya. Aparat penegak hukum seharusnya bisa mengidentifikasi faktor-faktor sosial dan psikologis dalam merespons laporan kasus, berbagai sehingga dapat menginvestigasi lebih mendalam guna mengungkap kejadian yang sebenarnya.
Selain itu, dalam kasus kekerasan yang menjadikan PRTA sebagai korban hanya diperlakukan sebagai delik aduan. Padahal pidana anak termasuk pidana umum. Begitupun dalam kasus KDRT yang merupakan delik biasa.
Dalam konteks ketenagakerjaan, meskipun Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) dalam Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT memiliki kewenangan melakukan pengawasan kepada Pengguna PRT (majikan) dan LPPRT, namun fungsi tersebut belum sepenuhnya dilakukan. Hal ini menunjukkan masih lemahnya dinas ketenagakerjaan setempat memberikan perlindungan kepada PRT. Apalagi proses penyelesaian dengan menggunakan mekanisme penyelesaian hubungan industrial tidak bisa diterapkan kepada PRT karena PRT masih dikecualikan dari UU Ketenagakerjaan. Lemahnya peran dinas ketenagakerjaan setempat dalam pengawasan terhadap hubungan kerja PRT dengan majikan, juga terhadap penyalur, menyebabkan pelanggaran hak-hak PRT terjadi secara terus-menerus.
Hambatan yang dialami PRT adalah tidak adanya atau minimnya akses PRT dalam informasi, berorganisasi dan bantuan hukum. Karena PRT bekerja tanpa layanan bekal pendidikan pelatihan sebagai pekerja dan jaminan perlindungan. Dalam relasi kuasa, PRT sering sekali mengalami ancaman tekanan yang menyebabkan PRT tidak melaporkan ataupun menyerah pada keadaan.
Selain itu, pemberi kerja juga tidak mengakui keberadaan serikat pekerja PRT. Bahkan cenderung menghalang-halangi mereka untuk berorganisasi. Majikan beranggapan dengan berorganisasi maka PRT akan lebih berani dan kemudian akan melakukan PHK karena aktif berorganisasi.
1.3. Permasalahan Kultur Hukum
Rendahnya pengakuan dan kesadaran terhadap keberadaan PRT sebagai pekerja yang memiliki hak-haknya tidak hanya terjadi di kalangan aparat penegak hukum, tetapi pada umumnya juga di masyarakat. Permasalahan tersebut berdampak pada minimnya perlindungan yang dapat diberikan oleh masyarakat.
Masyarakat belum memahami betapa pentingnya perlindungan terhadap PRT. Padahal masyarakat lah yang memiliki kedekatan dengan pekerjaan dan kehidupan PRT. Apalagi, pekerjaan-pekerjaan PRT
bersinggungan dengan aktivitas masyarakat sehari-hari. Hal ini seharusnya membuat masyarakat berkepentingan dalam memberikan perlindungan.
Selain itu, kebanyakan masyarakat masih menilai kasus yang menimpa PRT sebagai masalah privat karena terjadi di lingkup rumah tangga. Alhasil mereka tidak berani melakukan pelaporan kepada kepolisian. Bahkan melakukan penyelamatan baik itu dari masyarakat ataupun aparat pemerintah di lingkungannya seperti RT, RW LMK, lurah sampai camat pun terkadang menghadapi kesulitan.
Kendala lainnya adalah tidak tercatatnya data PRT di dalam lingkungan PRT bekerja. Hal ini mengakibatkan secara administratif tidak diketahui jumlah PRT yang berada di lingkungannya.
Di sisi lain, PRT juga masih banyak yang belum memahami dan mengetahui hak-haknya sebagai pekerja. Akibatnya mereka menjadi tidak sadar ketika haknya dilanggar. Alhasil tidak ada PRT yang mencoba mengadu, melaporkan, dan bertindak protes atas pelanggaran yang terjadi.
Seringkali pelaporan kasus-kasus yang dialami PRT dalam kondisi sudah sangat parah. Itupun bukan mereka yang membuat laporan, tapi orang lain yang prihatin terhadap kasusnya. Sebagai contoh, dua kasus yang dialami TP dan SSM yang berhasil meloloskan diri dengan cara melarikan diri setelah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun mengalami kekerasan dari majikan.
Selain itu, tidak banyak PRT juga yang memiliki keberanian melarikan diri atau langsung melaporkan kekerasan yang dialaminya. Penyebabnya adalah adanya ancaman dari majikan.
PRT yang berhasil menyelamatkan diri dari penyiksaan majikannya hanya berharap dapat pulang ke rumah/kampungnya. Sedangkan yang berani membuat laporan ke kepolisian, seringkali mengalami kesulitan karena tidak ada saksi yang mau memberikan keterangan di polisi. Alasannya, saksi yang melihat kejadian masih keluarga pelaku atau teman PRT lain yang masih bekerja di tempat yang sama. Bukti-bukti kejadian berlangsungnya perbuatan pidana seperti CCTV dihilangkan oleh pelaku.
Selain itu, PRT tidak memahami akan pentingnya membentuk solidaritas dalam serikat pekerja., Keadaan ini diakibatkan rendahnya pengetahuan PRT. Mereka belum memiliki kesatuan rasa, harapan dan keyakinan untuk bersama-sama memperjuangkan hak-haknya yang masih terabaikan. Para PRT lebih memikirkan penghidupan masing-masing karena jika berorganisasi maka majikan akan memotong upahnya bahkan melakukan PHK.
Secara umum keberadaan PRT kurang mendapatkan perhargaan sehingga tidak memperoleh perlindungan serta pengakuan baik secara hukum maupun sosial. Padahal, sebagai pelaku kerja kerumahtanggaan mereka memiliki peran reproduktif sekaligus produktif yang penting dalam keluarga/rumah tangga. Akibatnya mereka rentan menghadapi berbagai bentuk kekerasan (fisik, sksual, psikis dan ekonomi). Karena adanya ketimpangan kelas dan relasi kekuasaan, sangat jarang PRT yang mampu melawan kekerasan yang mereka hadapi42.
Permasalahan sosial lainnya yang dihadapi PRT juga tidak terlepas dari pola pikir masyarakat patriarki yang bias gender dan juga sikap feodalistik tradisional serta modern. Selama ini konteks budaya masih bernuansa feodalistik-kapitalistik. Konsep itu sama-sama memiliki kecenderungan
42 Kompilasi Kertas Kebijakan LBH APIk Jakarta Bagian I, Mewujudkan Jaminan Perlindungan atas Hak dan Akse Keadilan Bagi Perempuan di Indonesia, YLBH APIK Jakarta, 2015, Hal. 179.
dan mengarah pada suatu kondisi perbudakan (domestic slavery). Konsep itu menempatkan para PRT sebagai hamba sahaya yang harus mengabdi mutlak dengan segenap totalitas mereka. Dalam praktik perbudakan ini, seolah-olah ada hak kepemilikan oleh seseorang atas yang lainnya dan sangat potensial menimbulkan kekerasan terhadap pihak yang tersubordinasi dalam hal ini PRT43.
2. Hambatan dalam Proses Penanganan Kasus
2.1. Proses Pembuktian
Bila PRT berhadapan dengan hukum sebagai tersangka/terdakwa, proses pembuktian PRT sebagai tersangka bisa berjalan dengan cepat dan unsur pembuktian selalu kuat. Hal ini karena para saksi “mudah didapatkan”. Saksi dalam perkara ini adalah relasi terdekat majikan atau sesama PRT yang bekerja dalam satu rumah. Selain itu ada relasi kuasa yang tidak seimbang antara PRT dengan majikan, yang dalam hal ini bertindak sebagai pelapor. Saksi tidak akan mengelak memberikan kesaksian pada kasus yang dilaporkan oleh majikan, karena jika tidak mau maka dia terancam akan di-PHK.
Ketika PRT menjadi tersangka/terdakwa, hak-hak mereka cenderung diabaikan oleh penyidik dan jaksa. Misalnya, pada Kasus ASR, pemeriksaan awal di kepolisian PRT tidak didampingi penasihat hukum. Padahal hukum memberikan kewajiban kepadanya untuk di dampingi sesuai Pasal 56 KUHAP. Meskipun sudah didampingi penasihat hukum, polisi masih melakukan pemeriksaan (BAP) tanpa melibatkan PRT.
Lain halnya ketika PRT yang menjadi korban. Teman seprofesinya tidak mau memberikan kesaksiannya karena takut. Apalagi posisi mereka di bawah kekuasaan serta pengaruh majikannya. Adanya relasi kuasa antara majikan dengan PRT yang menjadi saksi ini menyulitkan berjalannya proses hukum akibat kurangnya bukti dan saksi. Selain itu, para saksi yang mengetahui kejadian tersebut merasa memiliki hubungan keluarga atau hubungan kerja dengan majikan sehingga mereka enggan atau takut membantu korban dalam memberikan kesaksian di kantor polisi.
2.2. Proses Pelaporan
Bila PRT sebagai korban, proses pelaporan ke polisi seringkali berakhir dengan perdamaian. Caranya melalui pemberian sejumlah uang atau adanya ancaman akan dilaporkan balik oleh pelaku/majikan. Alhasil pelapor disarankan berdamai dengan majikannya. Bila pelaporan ke polisi dilanjutkan membutuhkan waktu yang lama tanpa ada kejelasan proses, sehingga PRT sudah jenuh dalam menghadapi kasusnya.
Bila PRT sebagai tersangka, prosesnya cenderung cepat. Hukuman bagi pelaku juga lebih tinggi dibandingkan dengan pelaporan PRT sebagai korban untuk jenis pelanggaran yang sama. Contohnya kasus SS. Ia dituduh menjadi pelaku kekerasan psikis kepada anak majikannya. Akhirnya dihukum enam bulan penjara oleh PN Jakarta Timur. Sebaliknya kasus PRTA dengan korban FTN
43 Ibid, hal. 182.
dan kawannya berjumlah 16 orang, sang majikan yang juga pelaku kekerasan hanya dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Padahal majikannya melakukan tiga pelanggaran yaitu UU PKDRT, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU Perlindungan Anak
Lamanya proses hukum mengakibatkan PRT tidak sabar menunggu dan memutuskan pulang kampung serta tidak diketahui keberadaannya. Hal ini menjadi kendala ketika ada pemeriksaan kepolisian untuk pembuatan BAP tambahan pada korban sebagai saksi. Alhasil kasusnya menjadi tidak jelas;
Para PRT yang menjadi korban juga tidak memahami bahwa kekerasan yang dialaminya adalah bagian dari bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan merupakan kejahatan. Korban enggan melaporkan kasusnya karena merasa itu hal biasa. Mereka memilih pulang ke kampungnya karena merasa aman dan tenang. Selain itu, mereka enggan melapor karena khawatir dengan risiko yang akan diterima seperti diberhentikan, masuk daftar hitam dari lingkungannya, atau dituduh mencuri.
Para PRT ini berani melapor ketika kekerasan yang dialami tidak tertahankan seperti menimbulkan luka berat. Itupun, setelah berhasil meloloskan diri dan mengambil risiko atas ancaman kekerasan dari majikan bila melapor. Contohnya adalah kasus TH dan kasus SSM bersama empat temannya. Para PRT yang menjadi korban ini sampai harus mendapatkan pengamanan dan perlindungan ekstra dengan melibatkan LPSK.
Minimnya akses komunikasi dan informasi yang dimiliki PRT perempuan juga membuat kasus sulit terungkap. Hal ini karena majikan melarang berkomunikasi dan menahan alat komunikasi.
Penyebab lain keadilan bagi PRT perempuan sulit ditegakkan adalah belum terbangunnya sensitivitas gender di kalangan aparat penegak hukum, serta adanya bias kelas. Salah satu contohnya adalah menjatuhkan hukuman yang ringan bagi pelaku, tanpa memperhatikan efek psikologi korban.
Prosedur administrasi juga bisa menjadi ganjalan dalam kasus kekerasan. Untuk kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota legislatif, memerlukan izin presiden agar dapat dilakukan pemeriksaan kepada pelaku.
B. Pembelajaran Terkait Strategi Penanganan Kasus
Strategi yang paling banyak ditempuh dalam penanganan kasus PRT dalah mendorong upaya mediasi antara PRT dengan majikan. Strategi ini diterapkan karena keterbatasan aturan ketenagakerjaan yang bisa diterapkan. Jadi dengan mediasi, mereka bisa mendapatkan haknya seperti pesangon. Dalam beberapa kasus, strategi ini cukup berhasil terutama bagi PRT yang memiliki kontrak kerja dengan majikannya.
Menurut Xxxxx Xxxxx, ada berbagai keuntungan dari strategi mediasi yaitu menghindari kalah menang. Alhasil kemenangan yang diraih mendapatkan kemenangan moril dan reputasi, mempersingkat waktu penyelesaian perkara dan tidak menimbulkan efek sosial44.
Namun, tidak semua kasus bisa diterapkan upaya mediasi, khususnya kasus-kasus yang terkait dengan kekerasan fisik atau kasus-kasus pidana. Upaya penanganan yang dilakukan terkait kasus kekerasan PRT tersebut adalah dengan melaporkan secara hukum ke kepolisian dan menjerat pelaku dengan menggunakan aturan yang sudah ada seperti UU PKDRT, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta UU Perlindungan Anak.
Meski demikian, upaya melaporkan ke kepolisian untuk diproses hukum tidak cukup dalam penanganan kasus PRT. Eksisnya hambatan struktural termasuk minimnya perspektif APH dalam merespon isu PRT ini, membutuhkan upaya lain dalam penanganan kasus PRT, selain proses hukum (litigasi).
Upaya tersebut, yakni melakukan kerja-kerja advokasi (non litigasi) secara terus menerus seperti menggalang dukungan publik melalui konferensi pers, petisi daring, bincang-bincang (talkshow) di media, melakukan pendekatan kepada aparat, pemerintah maupun legislatif. Strategi inilah yang dilakukan selama ini oleh LBH APIK Jakarta bersama LBH Jakarta dan Jala PRT. Strategi advokasi tersebut terbukti cukup berhasil mendorong kasus-kasus PRT agar dapat diproses hingga ke pengadilan. Salah satu contoh kasusnya adalah kasus TP dan SSM.
44 Xxxxx Xxxxx, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesain Sengketa, Varia Peradilan No. 248 Juli 2006, Hal 5. Keuntungan mediasi menurut Xxxxx Xxxxx:
1. Ada dua asas penting dalam mediasi. Pertama: menghindari “kalah menang”(win-lose), melainkan “sama-sama menang” (win-win solution). Sama- sama menang tidak saja dalam arti ekonomi atau keuangan, melainkan termasuk juga kemenangan moril, reputasi (nama baik dan kepercayaam). Kedua: putusan tidak mengutamakan pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran kepatutan dan rasa keadilan.
2. Telah pula dikemukakan, penyelesaian melalui mediasi mempersingkat waktu penyelesaian dibandingkan berperkara. Perpanjang-panjang waktu berperkara tidak semata-mata beban ekonomi keuangan. Tidak kalah penting adalah beban psikologis yang akan mempengaruhi berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara.
3. Bagi masyarakat Indonesia, berperkara menimbulkan efek sosial, yaitu putusnya silaturahim (hubungan persaudaraan atau hubungan sosial). Bukan saja antar pihak yang berperkara. Efek sosial dapat meluas sampai kepada hubungan kekerabatan yang lebih luas. Hal ini dapat terjadi karena suatu perkara bukan saja menjadi kepentingan dan “harga diri” yang berperkara, melainkan dapat merambat pada kerabat. Dengan cara mediasi, hal-hal tersebut dapat dihindari. Hubungan silaturahim yang retak dapat direkatkan kembali.
4. Mediasi sangat sesuai dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia yang mengutamakan dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan dan gotong royong. Dasar-dasar tersebut telah membentuk tingkah laku toleransi, mudah memaafkan, dan mengedepankan sikap mendahulukan kepentingan bersama (komunal). Mediasi merupakan instrumen yang baik untuk menyelesaikan sengketa guna menjaga dasar-dasar kekerabatan, paguyuban, atau kekeluargaan.
5. Mediasi merupakan gejala global. Menyadari peliknya berperkara (ongkos, waktu, hukum yang makin kompleks, reputasi, dan lain-lain ) maka mediasi sebagai alternatif cara penyelesaian sengketa telah berkembang secara global.
6. Dipandang dari sudut penyelenggaraan peradilan, ada beberapa keuntungan mediasi.
Pertama: Makin banyak sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi akan mengurangi tekanan jumlah perkara yang masuk ke pengadilan. Hal ini akan berpengaruh pada kemungkinan penunggakan penyelesaian perkara. Xxxxx mempunyai kesempatan mendalami sedalam-dalamnya setiap perkara, yang akan meningkatkan mutu putusan baik untuk kepentingan perkembangan hukum maupun kepentingan pihak yang berperkara. Kedua: Pada tingkat kepercayaan sosial yang rendah terhadap reputasi hakim, mediasi merupakan salah satu alat penangkal, karena penyelesaian mediasi ditentukan oleh pihak-pihak, bukan oleh hakim.
Ketiga: secara berangsur-angsur berperkara di pengadilan dapat lebih diarahkan pada persoalan-persoalan hukum (bukan nilai perkara) yang kompleks dan mendasar yang akan mempengaruhi perkembangan hukum bahkan ilmu hukum.
Dari upaya-upaya penanganan yang sudah dilakukan, masih ada beberapa peluang strategi penanganan kasus PRT yang perlu terus dimaksimalkan untuk bisa ditempuh, yakni melalui:
a. Gugatan perbuatan melawan hukum untuk perkara perdata (tunduk pada BW (Burgelijke Wetbook)/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
b. Gugatan wanprestasi bagi yang memiliki perjanjian kerja.
c. Memperkarakan secara pidana dari kasus-kasus ketenagakerjaan dengan menggunakan ketentuan dalam KUHP maupun UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga seperti penelantaran rumah tangga atau ekonomi. Cara ini bisa ditempuh terutama bagi kasus-kasus yang tidak bisa dimediasikan.
d. Meminta terus menerus kepada jaksa penuntut umum mengenai upaya penggabungan perkara pidana dengan ganti kerugian, misalnya dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kasus perdagangan manusia.
BAB 4.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kompleksnya permasalahan PRT dilatarbelakangi banyak faktor. Salah satunya adalah kondisi kerja. Situasi kerja PRT yang berada di wilayah privat (rumah tangga) membuat orang luar tidak mengetahui bila terjadi hal-hal yang mencurigakan. Apalagi bila rumah tangga tersebut tertutup, majikan tidak bergaul atau majikan tidak memperbolehkan PRT berelasi dengan tetangga sekitar.
Seandainya pun diketahui ada persoalan yang menimpa PRT seperti kekerasan yang dilakukan oleh majikannya, lingkungan sekitar cenderung tidak peduli. Alasannya, hal itu dianggap sebagai persoalan rumah tangga orang lain (masalah domestik) dan tidak mau “campur tangan”.
Seorang PRT juga masih dipandang sebagai “milik” majikan. Jadi, jika terjadi masalah menjadi tanggung jawab majikan. Selain itu, relasi yang dibangun antara majikan dengan PRT bukanlah relasi yang setara.
Posisi PRT sedemikian rentan berhadapan dengan kekuasaan majikan. Demikian lemahnya posisi PRT, sehingga bisa dibilang seolah ‘hanya soal nasib’ saja, bila kebetulan mendapatkan majikan yang baik. Sebaliknya, bila bertemu majikan yang tidak baik, dia akan menjadi bulan-bulanan perlakuan buruk sang majikan.
Kasus-kasus yang telah dipaparkan memberi gambaran tentang kerentanan PRT terhadap berbagai bentuk kesewenangan majikan. Mempertimbangkan situasi sosial yang dialami PRT, maka kasus- kasus yang muncul diyakini seperti permukaan ‘gunung es’. Masih banyak kasus-kasus serupa yang menimpa PRT, tapi tidak terungkap.
Selain adanya faktor relasi kuasa berdasarkan kelas dan status sosial, persoalan PRT juga tidak lepas dari persoalan gender. Pekerjaan rumah tangga dianggap pekerjaan perempuan yang tidak membutuhkan keterampilan khusus, sehingga tidak cukup dihargai seperti layaknya di luar rumah.
Dengan latarbelakang situasi sosial tersebut, alih-alih memberikan perlindungan, sistem hukum yang ada saat ini malah dijadikan senjata untuk menjerat PRT. Adagium bahwa “hukum itu netral” sebagaimana dipelajari dalam pemikiran hukum konvensional yang diterapkan oleh penegak hukum, pada akhirnya memberikan dampak ketidakadilan bagi kelompok masyarakat bawah (marjinal) seperti kelompok PRT. Sebaliknya hukum, hanya melayani kepentingan kekuasaan (majikan).
Selain itu, aturan yang ada terbukti sejauh ini tidak bisa digunakan sepenuhnya untuk kepentingan PRT mendapatkan hak-haknya. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Pertama, aturannya yang
memang tidak memadai dan tidak eksplisit seperti aturan ketenagakerjaan. Kedua, karena tidak diimplementasikan dengan sungguh-sungguh seperti UU PKDRT, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang dan aturan pidana lainnya, baik oleh pemerintah, khususnya aparat penegak hukum maupun masyarakat secara keseluruhan.
Dengan berbagai kelemahan tersebut, sudah seharusnya negara hadir untuk mengoreksi dan memperbaikinya melalui aturan perundangan yang khusus serta langkah-langkah strategis lainnya.
Berikut rekomendasi yang perlu segera dijalankan oleh pemerintah, legislatif dan aparat penegak hukum:
1. Norma Hukum
a. Mendorong pengesahan RUU Perlindungan PRT sebagai RUU khusus yang mengakui dan memberikan perlindungan atas hak-hak PRT sebagai pekerja. Disahkannya RUU tersebut dapat menjadi solusi atas permasalahan PRT, mulai dari pidana maupun ketenagakerjaan. Sehingga UU Perlindungan PRT dapat dijadikan payung hukum bagi perlindungan PRT.
b. Mengajukan uji materi terhadap UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait penafsiran “hubungan kerja”. Tujuannya agar PRT masuk dalam kategori pihak yang menerima pekerjaan.
c. Mengefektifkan pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
d. Mengefektifkan pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dan Xxxaturan Menteri Tenaga Kerja dan Trasmigrasi No. PER-201/MEN/1999 tentang Pendaftaran Serikat Pekerja.
e. Meratifikasi Konvensi ILO No 189 tentang Pekerjaan Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.
f. Menerapkan secara maksimal aturan hukum yang positif untuk kepentingan PRT seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU Perlindungan Anak. Diharapkan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak hanya untuk kekerasan fisik tetapi juga penelantaran rumah tangga.
2. Struktur Hukum
a. Membuat suatu unit atau satuan tugas khusus perlindungan PRT yang terdiri dari unsur perwakilan lembaga negara, aparat penegak hukum, akademisi, dan aktivis dari organisasi masyarakat sipil.
b. Menerapkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang sensitif gender dan berperspektif HAM, termasuk hak-hak perempuan, anak dan kelompok marjinal seperti PRT,
c. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dari aparat penegak hukum, pemerintah pusat dan daerah hingga tingkat paling bawah serta kapasitas legislatif sehingga memahami terhadap permasalahan PRT dan hak-haknya.
d. Melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus PRT.
e. Melakukan kampanye pentingnya perlindungan hukum bagi PRT.
3. Kultur
a. Meningkatkan kesadaran PRT mengenai hak-haknya sebagai pekerja, dan kapasitas untuk bernegosiasi dengan pihak lain terutama majikan dan penyalur.
b. Meningkatkan kesadaran kelompok-kelompok di masyarakat mengenai situasi dan kerja layak bagi PRT.
c. Mendorong terbentuknya pusat-pusat layanan dan bantuan berbasis komunitas untuk pencegahan dan perlindungan dari kekerasan yang dapat diakses oleh PRT.
d. Membangun kesadaran PRT untuk berorganisasi dan mendorong terbentuknya serikat pekerja PRT yang berbadan hukum dan terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja di wilayahnya masing-masing.