DAFTAR ISI
DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI DKI JAKARTA
NASKAH AKADEMIK & DRAFT PERDA
PEMAJUAN
KEBUDAYAAN BETAWI
2023
YAYASAN SULUH PEMERINTAHAN
INDONESIA
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN....................................................... 1
X. Xxxxx Belakang........................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................ 17
C. Tujuan dan Kegunaan............................................. 17
D. Metode .................................................................... 18
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ........... 23
A. Kajian Teoretis ....................................................... 23
1. Budaya dan Kebudayaan ................................... 23
2. Pelestarian Budaya ............................................ 25
3. Sejarah Betawi................................................... 27
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma ................................................ 28
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi
masyarakat. ........................................................... 31
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban
keuangan negara .................................................... 53
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN ..................................... 57
A. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ........................................................... 59
B. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ................................................. 60
C. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia ............................................................... 61
D. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya......................................................... 63
E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah............................................. 71
F. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan ........................................... 79
G. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ................................................ 89
H. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017
tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah .................. 90
I. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan ........................................................... 92
J. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi .................................................................... 96
K. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor
229 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaan Betawi 106
L. Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Ikon Budaya Betawi 109
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN
YURIDIS 111
A. Landasan Filosofis 111
X. Xxxxxxan Sosiologis 114
X. Xxxxxxan Yuridis 117
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN
DAERAH 121
X. Xxxxxxxan dan Arah Pengaturan 121
B. Ruang Lingkup Materi Muatan 123
BAB VI PENUTUP 153
A. Kesimpulan 153
B. Rekomendasi 153
DAFTAR PUSTAKA 155
Lampiran 160
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial (homo homini socius) sehingga dalam melaksanakan kehidupannya membutuhkan orang lain (Xxxxxxx, 2017) (Xxxxxxxxx et al., 2019). Sesama manusia saling berinteraksi, saling berkomunikasi, dan saling tukar menukar untuk memenuhi kebutuhan dan menjalani kehidupan. Mereka saling hidup berdampingan dalam kurun waktu tertentu sehingga membentuk corak kehidupan tertentu yang disebut dengan budaya. Manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya (homo humanis) karena mampu menciptakan kebudayaan dalam kelompoknya yang didasarkan atas cipta, rasa, karsa, dan karya (Xxxxxxx et al., 2018) (Xxxxxxxxx et al., 2019).
Budaya dapat dimaknai sebagai akal budi (Xxxxx & Xxxxxxx, 2018), pikiran atau sejumlah pola sikap, keyakinan, dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti pada tingkah laku seseorang dalam suatu masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia) . Di sisi lain, budaya dimaknai pula sebagai pola asumsi dasar yang oleh suatu kelompok tertentu ditemukan, dibuka, atau dikembangkan melalui pelajaran untuk memecahkan masalah-masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan cukup lama. Hasilnya kemudian diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memandang, berpikir, dan merasa dalam kaitannya dengan masalah-masalah tersebut. Budaya secara ideal mengkomunikasikan secara jelas pesan-pesan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau bertindak, serta berperilaku dengan lingkungan sekitar (how we do things around here) (Xxxxxxx & Xxxxxxxx, 2002). Dari pemikiran tersebut dapat diinterpretasikan bahwa budaya memberikan arahan mengenai bagaimana seseorang harus berperilaku, bersikap, bertindak dalam suatu komunitas, kata ‘here’ dalam pengertian tersebut mengacu kepada komunitas tertentu, baik itu berbentuk organisasi atau masyarakat sehingga dapat dikatakan bahwa budaya merupakan cara hidup termasuk didalamnya cara berpikir, bertindak dan sebagainya dalam suatu komunitas tertentu seperti organisasi maupun masyarakat yang mempunyai karakteristik tertentu yang membedakannya dengan komunitas lainnya.
Kebudayaan merupakan kekayaan yang perlu dilindungi, dipelihara, dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai identitas bangsa. Karena kebudayaan tidak sebatas sebagai cara hidup dan corak pembeda dengan komunitas/bangsa lainnya tetapi juga untuk memperkokoh jati diri dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan (Maubak, 2009) (Nipur et al., 2022). Kebudayaan akan tumbuh dan
berkembang seiring dengan perubahan peradaban dunia. Kebudayaan akan hidup berdampingan menyesuaikan perubahan zaman.
Kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia mencerminkan perkembangan peradaban suatu bangsa atau suatu suku bangsa. Kebudayaan mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh suatu bangsa serta merupakan wujud dari kemampuan suatu bangsa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebudayaan berupa nilai-nilai agung yang dihasilkan melalui pengalaman hidup bersama suatu bangsa dalam jangka waktu yang panjang perlu dilestarikan agar tetap menjadi keunikan suatu bangsa. Sementara kebudayaan berupa ilmu pengetahuan dan teknologi perlu terus dikembangkan sesuai dengan tantangan zaman yang dihadapi oleh suatu bangsa atau suku bangsa.
Dimensi kebudayaan sangatlah luas. Tidak sebatas pada aspek warisan budaya dan ekspresi budaya tetapi juga mencakup dimensi pendidikan, ekonomi, ketahanan sosial budaya, literasi, dan gender. Sehingga dalam pembangunan kebudayaan mencakup lintas sektor yang perlu dikembangkan secara bersama-sama sebagai satu-kesatuan yang saling mempengaruhi (Ayuningtyas et al., 2019).
Negara Indonesia dikenal sebagai negara yang multi kebudayaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2010) setidaknya terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia. Suku yang paling banyak adalah Suku Jawa dengan jumlah populasi 40,22% (empat puluh koma dua puluh dua persen) dari total penduduk Indonesia. Kemudian diikuti oleh Suku Sunda sebanyak 15,50% (lima belas koma lima puluh persen), Suku Batak sebanyak 3,58% (tiga koma lima puluh delapan persen), Suku Sulawesi sebanyak 3,22% (tiga koma dua puluh dua persen), Suku Madura sebanyak 3,03% (tiga koma nol tiga persen), Suku Betawi sebanyak 2,88% (dua koma delapan puluh delapan persen), dan seterusnya. Masing- masing suku bangsa memiliki budayanya sendiri-sendiri yang membedakannya dengan suku bangsa lainnya.
Budaya Betawi merupakan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya suku Betawi. Suku Betawi umumnya tinggal di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang dulu merupakan wilayah Batavia. Suku Betawi terbentuk atas adanya percampuran akulturasi budaya dan genetik masyarakat yang tinggal di Batavia yakni etnis Sunda, Jawa, Melayu, Bugis, Ambon, Tiongkok hingga Arab. Karena telah menetap begitu lama dan terjadi percampuran adat istiadat, Bahasa, tradisi, nilai/norma maupun yang lainnya, lama kelamaan melebur menjadi satu dan menghasilkan identitas bersama yang dinamakan Betawi. Istilah Betawi sebagai suku diawali dengan dibentuknya organisasi pada tahun 1927 yang bernama Pemoeda Kaoem Betawi (Adryamarthanino, 2021). Sedangkan manusia Betawi diperkirakan telah ada sebelum masehi yang ditandai
dengan adanya situs pada bantaran Sungai Ciliwung dan beberapa artefak lainnya di Pulau Jawa (Khafia, 2023)
Betawi secara ciri kebudayaan dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yakni Betawi Tengah (Betawi Kota) dan Betawi Pinggiran (Ora), sedangkan secara geografis dibedakan menjadi 3 (tiga) yakni Betawi Tengah (Kota), Betawi Pinggir (Udik/Ora), dan Betawi Pesisir. Betawi Tengah (Kota) bertempat tinggal di Karisidenan Batavia (Jakarta Pusat) yang mendapatkan pengaruh kuat dari kebudayaan melayu-islam. Betawi Tengah mengalami urbanisasi, perkawinan, dan modernisasi yang paling tinggi sehingga akulturasi yang terjadi pun sangat tinggi. Betawi Pinggir (Udik/Ora) terdiri atas 2 (dua) kelompok yakni: (1) bagian Utara dan Barat, serta Tangerang, dan
(2) bagian Timur dan Selatan Jakarta, Bogor, dan Bekasi. Kelompok bagian Utara dan Barat, serta Tangerang dipengaruhi kebudayaan Cina sedangkan kelompok bagian Timur dan Selatan Jakarta, Bogor, dan Bekasi dipengaruhi kebudayaan Sunda. Betawi Pesisir dipengaruhi kebudayaan Melayu (Purbasari, 2010).
Masyarakat Betawi sebagai salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah DKI Jakarta sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu telah menghasilkan produk kebudayaan berupa nilai-nilai agung dan ilmu pengetahuan serta teknologi baik berupa hasil kebudayaan fisik (tangible) maupun yang berbentuk nonfisik (intangible). Sejalan dengan perjalanan waktu, saat ini wilayah DKI Jakarta tidak hanya didiami oleh kaum Betawi, melainkan juga didiami oleh masyarakat yang berasal dari berbagai suku bangsa dari seluruh wilayah di Indonesia. Jakarta menjadi tempat bertemunya berbagai budaya agung dari seluruh Indonesia dan bahkan dunia (melting pot). Kebudayaan Betawi saat ini berinteraksi secara intensif dengan berbagai kebudayaan lain dari seluruh wilayah Indonesia yang dapat membawa dampak terhadap perkembangan kebudayaan Betawi. Oleh karena itu, pemajuan kebudayaan Betawi menjadi fokus utama dalam pemajuan kebudayaan di wilayah DKI Jakarta, disamping pemajuan kebudayaan lain yang hidup dan berkembang serta mewarnai budaya di wilayah DKI Jakarta.
Budaya Betawi memiliki berbagai identitas. Melalui Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2017 telah ditetapkan 8 (delapan) ikon Budaya Betawi yang meliputi Ondel-Ondel, Kembang Kelapa (Manggar), Ornamen Xxxx Xxxxxx, Baju Sadariah (Sadarie), Kebaya Kerancang, Batik Betawi, Kerak Telor, dan Bir Pletok. Masing-masing ikon Budaya Betawi mempunyai filosofi didalamnya. Ikon Ondel-Ondel dimaknai sebagai lambang kekuatan dalam rangka terpeliharanya keamanan, ketertiban, tegas, berani, dan jujur. Ikon Kembang Kelapa (Manggar) dimaknai sebagai lambang kesejahteraan/kemakmuran, kemanfaatan dalam berkehidupan, keterbukaan sosial, dan simbol multikutur yang hidup dan berkembang di Provinsi DKI Jakarta. Ikon Ornamen Xxxx
Balang dimaknai sebagai lambang kegagahan, kewibawaan dan kokoh. Ikon Baju Sadariah (Sadarie) dimaknai sebagai lambang lelaki yang sopan, rendah hati, berwibawa, dan dinamis. Ikon Kebaya Kerancang dimaknai sebagai lambang kecantikan, keindahan, keceriaan, kedewasaan, dan pergaulan yang sesuai dengan aturan dan tuntunan leluhur. Ikon Batik Betawi dimaknai sebagai keseimbangan alam semesta dalam rangka mewujudkan keberkahan dan kesejahteraan. Ikon Kerak Telor dimaknai sebagai sisi kehidupan yang senantiasa mengalami perubahan lingkungan yang alamiah sehingga perlu harmonisasi dalam pergaulan. Ikon Bir Pletok dimaknai sebagai penopang kehidupan yang sehat lahir dan bathin, kemudian sebagai perlambang konsistensi dan tidak mudah menyerah dalam menjalani kehidupan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan berbagai kebijakan dan upaya melindungi, memelihara dan melestarikan Budaya Betawi. Hal ini sejalan dengan Konstitusi UUD 1945 Pasal
32 dimana Negara/Pemerintah berkewajiban memajukan kebudayaan sesuai dengan nilai budaya, dan memelihara Bahasa daerah sebagai suatu kekayaan. Berbagai produk hukum daerah yang telah ditetapkan antara lain Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, Peraturan Gubernur Nomor 229 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaan Betawi, dan Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi. Berbagai kebijakan dan upaya untuk melindungi, memelihara dan melestarikan Budaya Betawi tersebut merupakan bentuk komitmen melaksanakan mandat undang-undang kebudayaan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bertugas untuk menjamin kebebasan berekspresi, menjamin pelindungan atas ekspresi budaya, melaksanakan pemajuan kebudayaan, memelihara kebinekaan, mengelola informasi bidang kebudayaan, menyediakan sarana dan prasarana kebudayaan, menyediakan sumber pendanaan untuk pemajuan kebudayaan, membentuk mekanisme pelibatan masyarakat dalam pemajuan kebudayaan, mendorong peran aktif dan inisiatif masyarakat dalam pemajuan kebudayaan, serta menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan.
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa dalam bidang kebudayaan, Daerah Provinsi mempunyai kewenangan untuk pengelolaan kebudayaan, pelestarian tradisi masyarakat, pembinaan kesenian, pembinaan sejarah lokal, pembinaan lembaga adat. Selain itu, Daerah provinsi juga mempunyai kewenangan untuk menetapkan cagar budaya, pengelolaan cagar budaya, penerbitan izin membawa cagar budaya ke luar daerah provinsi, dan pengelolaan museum provinsi. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di
darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Sebagai langkah melaksanakan mandat peraturan perundang-undangan dan memajukan kebudayaan Betawi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Berbagai materi muatan yang diatur antara lain tujuan dan prinsip pelestarian kebudayaan Betawi, tugas dan wewenang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka melestarikan kebudayaan Betawi, Hak dan Kewajiban Masyarakat dalam rangka melestarikan kebudayaan Betawi, unsur penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi, pengembangan dan penyediaan data dan informasi dalam rangka melestarikan kebudayaan Betawi, pembinaan, pemantauan, dan evaluasi atas penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi, pembiayaan, penyelesaian perselisihan, dan sanksi administrasi bagi setiap orang atau badan hukum yang melanggar penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi.
Tujuan dari kegiatan pelestarian kebudayaan Betawi adalah
untuk:
1) melindungi, mengamankan, dan melestarikan budaya Betawi;
2) memelihara dan mengembangkan nilai-nilai tradisi Betawi yang merupakan jati diri dan sebagai perlambang kebanggaan masyarakat Betawi dalam masyarakat yang multikultural;
3) meningkatkan pemahaman kesadaran masyarakat terhadap kebudayaan Betawi;
4) meningkatkan kepedulian, kesadaran, dan aspirasi masyarakat terhadap peninggalan budaya Betawi;
5) membangkitkan semangat cinta tanah air, nasionalisme, dan patriotisme;
6) membangkitkan motivasi, memperkaya inspirasi, dan memperluas khasanah bagi masyarakat dalam berkarya dalam bidang kebudayaan; dan
7) mengembangkan kebudayaan Betawi untuk memperkuat jati diri.
Upaya untuk mewujudkan tujuan melestarikan kebudayaan
Betawi sebagaimana dimaksud dilaksanakan melalui unsur kesenian, kepurbakalaan, permuseuman, kesejarahan, kebahasanaan dan kesusastraan, adat istiadat, kepustakaan dan kenaskahan, perfilman, pakaian adat, kuliner, ornamen, dan cinderamata. Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan pembangunan Pusat Budaya Betawi di Setu Babakan dan Taman Budaya Xxxxxxxx Xxxxx.
Untuk mendukung pelestarian kebudayaan Betawi,
masyarakat berkewajiban untuk menjaga dan melestarikan, baik itu dalam bentuk inventarisasi nilai tradisi budaya Betawi, inventarisasi aset kekayaan budaya Betawi, peningkatan kegiatan pelestarian budaya Betawi, sosialisasi dan publikasi nilai-nilai budaya Betawi, serta fasilitasi pengembangan kualitas sumber daya manusia dalam melestarikan budaya Betawi.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 masih menggunakan paradigma kebijakan lama sesuai dengan pengaturan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pelestarian Cagar Budaya yang lebih menekankan pada aspek pelestarian dan fokus pada cagar budaya yakni warisan budaya yang bersifat kebendaan meliputi benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya. Sedangkan pada kebijakan baru Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2017 menekankan pada pemajuan kebudayaan untuk seluruh objek kebudayaan yakni tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, Bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Selain itu, perbedaan juga terjadi pada tujuan yang ingin diwujudkan. Tujuan pelestarian cagar budaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 adalah untuk melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia, meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui cagar budaya, memperkuat kepribadian bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tujuan pemajuan kebudayaan yaitu: mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa, memperkaya keberagaman budaya, memperteguh jati diri bangsa, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan citra bangsa, mewujudkan masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan rakyat, melestarikan warisan budaya bangsa, dan mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia. Dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4
Tahun 2015 kebudayaan dilihat sebagai cultural property (lebih berfokus kepada material cultural heritage) baik sebagai benda bergerak maupun tidak bergerak. Padahal kebudayaan juga seyogyanya mencakup warisan budaya yang tidak nyata (intangible cultural heritage) (Xxxxxxx, 2023). Sehingga mempunyai cakupan yang lebih luas sesuai dengan makna kebudayaan itu sendiri.
Dalam perkembangannya terjadi kegiatan yang dinilai tidak sejalan dengan kebijakan pemajuan kebudayaan Betawi dan upaya pengembangan budaya Betawi dinilai belum maksimal karena berbagai hal, terutama ketika terjadinya Pandemi Covid-19. Berbagai permasalahan yang berkembang sebagaimana yang tercantum dalam dokumen Renstra Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023-2026 (Dinas Kebudayaan Provinsi DKI
Jakarta, 2022) yakni belum optimalnya perlindungan budaya, dan belum optimalnya pembinaan budaya. Hal yang menjadi penyebab belum optimalnya perlindungan budaya dikarenakan belum optimalnya upaya perlindungan warisan budaya yang berdampak pada pencurian dan pengakuan warisan budaya oleh pihak lain. Sedangkan penyebab permasalahan belum optimalnya pembinaan budaya adalah karena belum optimalnya pembinaan untuk membentuk penguatan seni dan budaya, belum optimalnya konsistensi dalam pengadaan pagelaran seni dan budaya, serta belum optimalnya pengembangan sumber daya manusia seni dan budaya.
Belum optimalnya perlindungan budaya dikarenakan masih terjadinya kerusakan, penghancuran bahkan kehilangan cagar budaya. Hal tersebut terjadi karena adanya bencana, baik bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Pada tahun 2018 tercatat bahwa Provinsi DKI Jakarta mempunyai 726 Benda, Bangunan, Struktur, Lokasi, dan Satuan geografis yang diperlakukan sebagai cagar budaya. Selain itu, Provinsi DKI Jakarta juga mempunyai warisan budaya tak benda yang terdiri atas tradisi dan ekspresi lisan, seni pertunjukan, pengetahuan kebiasaan berperilaku terhadap alam dan semesta, serta kemahiran kerajinan tradisional. Berbagai warisan tersebut lambat laun mulai mengalami pergeseran seiring dengan proses asimilasi karena adanya pencampuran dua atau lebih kebudayaan. Hal ini dapat dipahami karena DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan bisnis yang ditinggali oleh berbagai suku bangsa seluruh Indonesia. Proses interaksi penduduk DKI Jakarta yang berasal dari suku bangsa tersebut dapat menimbulkan akulturasi (budaya baru) dan melemahkan budaya Betawi. Selain itu, melemahnya budaya Betawi juga dikarenakan adanya perkembangan teknologi informasi yang mendorong budaya asing masuk dan lambat laun menggantikan budaya Betawi.
Permasalahan berikutnya adalah rendahnya apresiasi seni dan karya budaya Betawi. Provinsi DKI Jakarta dikenal sebagai pusat pemerintahan dan bisnis telah menjadikannya sebagai wilayah paling sibuk di Indonesia. Akibatnya penduduk DKI Jakarta kurang memiliki waktu untuk terlibat dalam aktivitas budaya. Mobilisasi penduduk yang sangat cepat dan sibuk terhadap urusan masing-masing juga berdampak terhadap rendahnya minat terhadap budaya Betawi. Padahal dengan adanya pertunjukan seni budaya dapat mengurangi tingkat stres yang dirasakan penduduk DKI Jakarta (Toyoshima et al., 2022). Selain itu, berbagai produk yang merupakan ikon budaya Betawi juga jarang ditemukan. Sebagai contoh adalah batik Betawi, kerak telor dan bir pletok yang hanya ditemukan pada lokasi atau event tertentu saja. Hal ini secara tidak langsung akan melemahkan pemajuan kebudayaan Betawi. Oleh karena itu, pemajuan kebudayaan juga harus
dikembangkan melalui aspek pariwisata dan ekonomi (Tutwuri, 2020).
Rendahnya pewarisan budaya Betawi secara turun temurun juga menjadi permasalahan tersendiri. Para orang tua sudah jarang mengenalkan budaya Betawi kepada anak-anaknya. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan yang mampu mendorong anak-anak mau mengenal, mempunyai kepedulian, bahkan mempunyai minat terhadap Budaya Betawi. Perlu dibangun dan digalakkan baik itu di lingkungan keluarga, komunitas bahwa melalui institusi Pendidikan.
Ketersediaan sarana dan prasarana menjadi permasalahan berikutnya. Hal ini tentunya berdampak terhadap proses pembangunan dan pelestarian budaya Betawi. Jika sarana dan prasarana lengkap maka dapat menampilkan seluruh budaya Betawi. Selain itu, juga akan memudahkan dalam mengenalkan dan melestarikan budaya Betawi kepada khalayak umum. Perlu dilakukan revitalisasi terhadap ornamen, desain dan anjungan yang dapat menarik minat masyarakat untuk melihat dan mempelajari budaya Betawi. Oleh karena itu perlu ada dukungan pendanaan untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana dalam rangka melestarikan budaya Betawi.
Budaya Betawi juga belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Sering didapati bahwa ondel-ondel dimanfaatkan untuk mengemis atau meminta-minta. Ondel-Ondel merupakan lambang kekuatan dalam rangka terpeliharanya keamanan dan ketertiban, serta bermakna ketegasan, keberanian, dan kejujuran. Pertunjukan ondel-ondel yang semula sakral dan hanya pada momen dan tempat tertentu, sekarang dinilai sebaliknya sebagai faktor yang mengganggu masyarakat. Terhadap hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pernah menetapkan kebijakan yang melarang ondel-ondel sebagai alat untuk mengemis atau meminta-minta.
Indeks Pembangunan Budaya Jakarta juga mengalami penurunan. Pada tahun 2020 Indeks Pembangunan Budaya Jakarta adalah 57,13 mengalami penurunan menjadi 52,58 pada tahun 2021. Berbagai dimensi yang mengalami penurunan adalah dimensi ekonomi budaya, dimensi Pendidikan, dimensi ketahanan sosial budaya, dimensi ekspresi budaya, dimensi budaya literasi. Sedangkan untuk dimensi yang kenaikan adalah dimensi warisan budaya dan dimensi gender (Kementerian Pendidikan, 2022). Penyebab menurunnya Indeks Pembangunan Budaya Jakarta disebabkan karena kurangnya kapasitas regulasi dan kondisi struktural dan kultural masyarakat (terbelakang dalam Pendidikan, lemah dalam ekonomi, ketidakpercayaan diri, organisasi tidak tersistem, minimnya keterlibatan masyarakat inti, kecenderungan konflik, sikap pragmatis, dan kelemahan dalam visi membangun diri). Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diperlukan
penguatan regulasi (Revisi Peraturan Daerah) dan perbaikan kualitas kelembagaan (Hasanudin, 2023).
Kerja sama dengan Pemerintah, Badan Usaha, Lembaga, maupun masyarakat dalam rangka menggalakkan dan mengembangkan pelestarian budaya Betawi perlu ditingkatkan. Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014) telah membuka ruang kepada daerah untuk menjalin kerja sama pertukaran budaya, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Akan tetapi belum dilaksanakan secara optimal.
Kemajuan pembangunan Provinsi DKI Jakarta telah menjadikannya sebagai pusat pemerintahan, pusat diplomasi internasional, pusat bisnis, pusat suku dan budaya, dan daerah otonomi khusus. Hal ini berdampak terhadap kehidupan pelaku kesenian Betawi yang semakin terpinggirkan dari wilayah Provinsi DKI Jakarta dan menetap di pinggiran kota. Bahkan pelaku kesenian Betawi telah berpindah ke luar wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor. Hal ini semakin menyulitkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan memfasilitasi dan mengembangkan budaya Betawi karena diluar kewenangannya (Xxxxxxx, 2023).
Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sebagai langkah strategis untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia terhadap peradaban dunia. Hal ini sekaligus menandai kebijakan legal formal untuk memajukan kebudayaan karena sebelumnya belum terdapat payung hukum yang memadai dan hanya fokus upaya pelestarian bukan pemajuan. Langkah strategis ini adalah upaya untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa Indonesia. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 dapat menjadi momentum untuk melakukan perubahan paradigma pemajuan kebudayaan. Pemajuan kebudayaan tidak sebatas pada tangible cultural property tetapi juga mencakup aspek intangible cultural property dan folk cultural property. Pemajuan kebudayaan dilakukan melalui upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan. Upaya pelindungan kebudayaan dapat dilakukan melalui kegiatan seperti identifikasi/pendataan dan penetapan jenis kebudayaan serta penyimpanan benda kebudayaan pada museum maupun kegiatan pelindungan lainnya. Selanjutnya upaya pengembangan kebudayaan dilaksanakan melalui kegiatan penelitian, penyebarluasan, penciptaan budaya baru, penyerapan budaya daerah atau negara lain serta kerja sama kebudayaan dengan berbagai pihak lain. Kemudian upaya pemanfaatan kebudayaan dilakukan melalui berbagai kegiatan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat serta pihak swasta. Pemanfaatan kebudayaan ditujukan agar kebudayaan tetap hidup dan mewarnai kehidupan masyarakat DKI Jakarta. Pemerintah dan badan usaha harus berkontribusi secara nyata
untuk mendukung pemajuan kebudayaan seperti penggunaan produk kebudayaan dalam kegiatan sehari-hari. Masyarakat harus didorong untuk tetap mengamalkan nilai-nilai kebudayaan dan memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan upaya pembinaan kebudayaan dilakukan melalui pemberian bantuan, fasilitasi kegiatan, pendidikan, penyediaan pusat kebudayaan, pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan fasilitasi pendaftaran hak cipta atau paten produk kebudayaan Betawi.
Untuk meningkatkan peran serta masyarakat pelaku kebudayaan, maka perlu dibentuk Lembaga sebagai mitra Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang bertugas menggerakkan masyarakat dalam pemajuan kebudayaan dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan pemajuan kebudayaan. Dalam Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 disebutkan adanya Badan Musyawarah Masyarakat Betawi sebagai Lembaga/organisasi induk masyarakat Betawi, meskipun kedudukan dan perannya belum diatur lebih lanjut. Lembaga ini seyogyanya dilibatkan dalam mengidentifikasi kebudayaan serta memberikan masukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penetapan kebijakan dan program pemajuan kebudayaan Betawi maupun program lainnya yang terkait dengan kebudayaan Betawi.
Dalam perkembangannya, Badan Musyawarah Masyarakat Betawi telah berubah menjadi Majelis Kaum Betawi. Majelis Kaum Betawi merupakan lembaga kultural tertinggi sebagai wadah permusyawaratan kaum Betawi dalam memajukan kebudayaan Betawi. Lembaga ini bukan merupakan lembaga struktural Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melainkan lembaga kemasyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pemajuan kebudayaan Betawi. Peran Majelis Kaum Betawi perlu dioptimalkan dengan harapan pemajuan kebudayaan Betawi juga digerakkan dari dan oleh masyarakat sehingga menjadi bagian dari pola dan tata cara hidup sehari-hari. Dalam rangka mendukung kegiatan pemajuan kebudayaan Betawi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diharapkan menyediakan anggaran yang cukup, serta didukung oleh sumber pendanaan dari badan usaha dan masyarakat. Pendanaan pemajuan kebudayaan Betawi dilakukan melalui kolaborasi berbagai pihak yang terkait dengan pemajuan kebudayaan Betawi. Dalam rangka membangun kemandirian pendanaan terhadap kegiatan pemajuan kebudayaan Betawi dan kebudayaan lainnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu membentuk dana abadi kebudayaan atau dana perwalian kebudayaan sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017. Diharapkan dengan adanya dana abadi kebudayaan atau dana perwalian kebudayaan akan mempermudah pelaksanaan kegiatan pemajuan kebudayaan Betawi secara sistematis dan
berkelanjutan.
Pemberian insentif kepada pihak yang berkontribusi maupun sanksi administrasi bagi pihak yang melanggar upaya pemajuan kebudayaan Betawi juga perlu diatur. Insentif yang diberikan dapat berupa pengurangan dan/atau pembebasan pajak, pengurangan dan/atau pembebasan pungutan lain (retribusi) maupun dalam bentuk lain. Terbukti pemberian insentif dapat meningkatkan kinerja dan mendorong keterlibatan semua pihak (Yuniarsih & Xxxxxxx, 2008) (Xxxxxxx & Xxxxxxx, 2011) (Nurani, 2015). Selain itu, pemberian insentif juga berdampak positif terhadap pendapatan dan perekonomian (Indahsari & Xxxxxxxxx, 2021). Begitu pun dengan kebijakan pemberian sanksi administrasi bagi yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan. Penjatuhan sanksi bagi yang melanggar berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan pelanggar (Sabtohadi et al., 2021) (Nurdin et al., 2022). Bentuk penjatuhan sanksi administrasi dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, denda, pencabutan izin sementara, maupun pencabutan izin secara tetap (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, 2017).
Beberapa perubahan norma dalam Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 perlu dilakukan sebagai akibat adanya perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017. Perubahan tersebut mengatur kegiatan dalam pemajuan kebudayaan yang terdiri atas pembinaan, pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Dengan demikian pengaturan mengenai penyelenggaraan pelestarian budaya Betawi pada norma lama (Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015) akan disesuaikan dengan norma baru. Hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelestarian/penyelenggaraan pemajuan kebudayaan diatur dalam masing-masing bagian. Lebih jauh, objek pemajuan kebudayaan sebagai diatur dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan berbeda dengan unsur kebudayaan dalam norma lama Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015. Unsur kebudayaan sebagai dasar pelestarian kebudayaan Betawi sudah berbeda dengan objek pemajuan kebudayaan pada norma yang lebih tinggi sehingga terdapat perubahan objek pemajuan kebudayaan. Selain itu, pola pengaturan ke depan akan dilakukan perincian berdasarkan bentuk pemajuan kebudayaan, bukan berdasarkan unsur pemajuan.
Terhadap berbagai fenomena yang terjadi maka perlu dilakukan penyusunan revisi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang pelestarian kebudayaan Betawi dalam rangka menyelesaikan permasalahan, mengoptimalkan kegiatan pemajuan kebudayaan, dan menyelaraskan terhadap pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi masalah-masalah yang diuraikan dalam naskah akademik ini sebagai berikut:
1. Permasalahan dan kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan Pelestarian Budaya Betawi yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi?
2. Mengapa perlu dilakukan penyusunan Revisi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi?
3. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan xxxxxxx dalam penyusunan Revisi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi?
4. Apa sasaran, ruang lingkup, jangkauan, dan arah pengaturan yang akan diwujudkan dalam Revisi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi?
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam Pelestarian Budaya Betawi yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
2. Merumuskan urgensi pembentukan Rancangan Revisi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
3. Merumuskan dasar pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Revisi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
4. Merumuskan sasaran, ruang lingkup, jangkauan, dan arah pengaturan yang akan diwujudkan dalam Rancangan Revisi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
Naskah akademik ini digunakan sebagai acuan atau referensi dalam pengaturan, penyusunan dan pembahasan Rancangan Revisi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
D. Metode
Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode yang
berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lainnya. Naskah akademik ini dilakukan melalui metode yuridis normatif, yuridis empiris, dan Regulatory Impact Assessment (RIA) dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah berbagai norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, atau dokumen hukum lainnya. Berbagai peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud antara lain Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undnag Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Nomor 229 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaan Betawi, dan Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi.
2. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosio-legal. Metode yuridis empiris merupakan penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan, kemudian dilanjutkan dengan observasi yang mendalam untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap praktik (empiris) pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang diteliti. Mengapa peraturan perundang-undangan tersebut belum mampu mencapai tujuan dari pemajuan kebudayaan. Dalam penyusunan naskah akademik ini,
metode yuridis empiris dilaksanakan melalui focus group discussion dalam rangka mengumpulkan data/informasi sesuai dengan isu yang berkembang yang akan diatur dalam Peraturan daerah, dan wawancara mendalam (depth interview). Dalam pelaksanaan focus group discussion tersebut melibatkan Pemerintah pusat, Pemerintah daerah, ahli hukum, ahli kebudayaan, lembaga/organisasi kemasyarakatan yang bergerak dan/atau peduli terhadap kebudayaan Betawi, maupun pihak yang terkait dalam upaya pemajuan kebudayaan yang dipilih berdasarkan berbagai pertimbangan (purposive) yakni merupakan pihak yang bertugas dalam menyelenggarakan urusan kebudayaan, pihak yang ikut mendukung kelancaran kegiatan pemajuan kebudayaan, dan mengetahui perkembangan kebudayaan Betawi di Provinsi DKI Jakarta. Berbagai pihak yang diudang antara lain: Sekretaris Daerah, Deputi Gubernur Bidang Kebudayaan dan Pariwisata, Inspektur Provinsi, Dinas Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dinas Pendidikan, Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik, Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan, Dinas Bina Marga, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Dinas Pertamanan dan Hutan Kota, Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Pertanian, Dinas Perhubungan, Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Energi, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Asisten Pemerintahan, Asisten Kesejahteraan, Biro Hukum, Biro Organisasi dan Reformasi Birokrasi, Biro Kerja Sama, Biro Umum dan Administrasi, Biro Perekonomian dan Keuangan, Biro Pendidikan dan Mental Spiritual, Badan perencanaan Pembangunan Daerah, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Badan Pendapatan Daerah, Badan Pengelolaan Keuangan, Badan Pengelolaan Aset, Badan Pembinaan BUMD, Badan Kepegawaian, Walikota Administrasi, Bupati Administrasi, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA), Komite Seni Budaya Nusantara DKI Jakarta, Permata MH Thamrin, Sekretariat Bersama Ormas Betawi, Dewan Kesenian Jakarta, Komunitas Ondel-Ondel,
Pusat Studi Budaya, Sanggar Diva Tama Nusantara, Seniman Intelektual Betawi, Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi, serta Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia.
3. Metode Regulatory Impact Assessment (RIA) merupakan metode yang digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang secara sistematik dapat mengidentifikasi dan menilai dampak yang diinginkan dari peraturan perundang-undangan yang akan ditetapkan. Dalam hal ini akan dilakukan penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan terbaik yang akan diatur dalam Peraturan daerah Pemajuan Kebudayaan Betawi yang paling sesuai untuk mencapai tujuan yang ingin diwujudkan. Akan dikaji dari sisi legalitas maupun biaya dan manfaat yang diperoleh. Terhadap pilihan kebijakan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan akan dilakukan analisis terhadap biaya (cost) dan manfaat (benefit) pada masing-masing pilihan alternatif kebijakan. Dalam hal ini “biaya” adalah hal-hal negatif atau merugikan ketika pilihan kebijakan tersebut diambil, sedangkan “manfaat” adalah hal-hal positif atau menguntungkan.
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
A. Kajian Teoretis
Bagian ini akan membahas kajian teoretis mengenai konsep pelestarian budaya beserta konsep-konsep lain yang terkait dengan upaya pelestarian budaya.
1. Budaya dan Kebudayaan
Kebudayaan pada hakikatnya merupakan sesuatu yang sangat kompleks, sehingga para ahli selalu memberikan pengertian, pemahaman dan batasan yang bervariasi terhadap kebudayaan. Oleh karena itu sampai sekarang belum ada kesatuan pendapat dikalangan ahli mengenai definisi kebudayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Selain itu, kebudayaan juga memiliki arti keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Pada tahun 1952, Xxxxxxx dan Xxxxxxxxx mengiventarisasi sekitar 160 definisi kebudayaan yang dihasilkan oleh publikasi tentang kebudayaan selama lebih kurang tiga ratus lima puluh tahun, namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang prinsip dengan definisi pertama yang dicetuskan oleh Xxxxxx.
Dalam pengertian yang sangat luas, kebudayaan pertama sekali didefinisikan Xxxxxx pada tahun 1871 (dalam Xxxxxx Xxxxxxxx, 2003) sebagai keseluruhan bidang yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kemampuan- kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sebagaimana tertuang dalam buku Pengantar Antropologi (2012) karya Xxxxxx Xxxxxxxxxx, dkk. menurut E.B. Tylor (1871), kebudayaan adalah pengetahuan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan- kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Di sisi lain, kebudayaan mencakup yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan merupakan seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak Lebih lanjut mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang ditransmisi dan disebarkan secara sosial, baik bersifat eksistensial, normatif maupun simbolis, yang tercermin dalam tindakan (act) dan benda-benda hasil karya manusia (artifact). Xxxxx Xxxxxx mencatat bahwa “the culture of a societyis the
way of life of its members, the collection of ideas and the habit thay they learn share and transmit from generation to generation”. Jadi budaya adalah keseluruhan sikap dan pola prilaku serta pengetahuan. Dengan kata lain dapat dikatakan, kebudayaan adalah sebuah kebiasaan (habit) yang diwariskan dan dimiliki oleh sebuah kelompok masyarakat.
Namun demikian, paling tidak terdapat kesamaan pandangan tentang apa yang dimaksudkan dengan kebudayaan (culture) tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Xxxxxxxxxxxxxxxx, bahwa kebudayaan menyangkut keseluruhan sustu sistem gagasan, tindakan serta hasil karya manusia dalam kehidupan. Budaya menurut Xxxxxxxxxxxxxxxx mempunyai makna yang sama dengan kata colere yang kemudian 13 berkembang menjadi culture. Makna kata culture berkaitan dengan upaya untuk mengolah, mengubah alam. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa budaya sebagai pemikiran, adat istiadat, dan akal budi. Dengan kata lain turunan kata budaya yaitu kebudayaan mempunyai makna cara berpikir dan bertindak manusia. Menurut Xxxxxxxxxxxxxxxx terdapat 7 (tujuh) unsur kebudayaan yaitu Bahasa, sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. (Xxxxxxxxxxxxxxxx, 1984:2).
Terkait dengan arah pembangunan kebudayaan Indonesia, dapat diketahui dari ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal 32 (ayat 1) berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Dengan demikian kebudayaan berarti bahwa negara hadir dalam kaitannya dengan pengembangan kebudayaan daerah dalam hal ini kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan nasional Indonesia. Sebagai tindak lanjut atas ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam undang- undang tersebut ditegaskan mengenai kebudayaan nasional Indonesia dan hakikat pemajuan kebudayaan. ”Kebudayaan Nasional Indonesia adalah keseluruhan proses dan basil interaksi antar Kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia” (Pasal 1 nomor 2). ”Pemajuan Kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan” (Pasal 1 nomor 3).
2. Pelestarian Budaya
Pelestarian, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar lestari, yang artinya adalah tetap seperti
keadaannya semula; tidak berubah; bertahan; kekal (Kemendikbud melalui xxxxx://xxxx.xxxxxxxxx.xx.xx/xxxxx/xxxxxxx). Kemudian, dalam kaidah penggunaan Bahasa Indonesia, penggunaan awalan pe-dan akhiran– an artinya digunakan untuk menggambarkan sebuah proses atau upaya (kata kerja). Jadi berdasarkan kata kunci lestari ditambah awalan pe-dan akhiran–an, maka yang dimaksud pelestarian adalah proses, cara, perbuatan melestarikan, perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan; konservasi, pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman.
A.W. Xxxxxxx (2006:115) mengartikan pelestarian sebagai kegiatan atau yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes, dan selektif. Sedangkan budaya atau kebudayaan menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat. Obyek budaya yang mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk lebih lagi ditingkatkan dalam upaya pemajuannya diantaranya:
a. Tradisi Lisan;
b. Manuskrip;
c. Adat Istiadat;
d. Ritus;
e. Pengetahuan Tradisional;
f. Teknologi Tradisional;
g. Seni;
h. Bahasa;
i. Permainan Rakyat; dan
x. Xxxxxxxx Tradisional.
Pelestarian budaya lokal adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang. Pelestarian hanya bisa dilakukan secara efektif manakala benda yang dilestarikan itu tetap digunakan dan tetap ada dijalankan. Kapan budaya itu tak lagi digunakan maka budaya itu akan hilang.
Widjaya (2006:114) mengungkapkan bahwa kapan alat-alat itu tak lagi digunakan oleh masyarakat, alat-alat itu dengan sendirinya akan hilang. Sedangkan berdasarkan ketentuan Permendikbud 10/2014, pelestarian dilakukan dalam bentuk perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.
3. Sejarah Betawi
Betawi secara umum merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antar etnis dan bangsa di masa lalu.
Pendapat mengenai Kerajaan Salakanagara sebagai kerajaan tertua di Indonesia sebenarnya masih diperdebatkan di kalangan sejarawan. Banyak ahli sejarah yang mengatakan bahwa kerajaan Kutai adalah kerajaan pertama karena sudah muncul sejak abad ke-4. Namun jika ditelaah lebih jauh, ternyata Kerajaan Salakanagara sudah eksis sejak abad ke-2 yang artinya lebih awal jika dibandingkan Kerajaan Kutai martadipura di Kalimantan Timur.
Hanya saja, bukti sejarah yang menuliskan tentang kerajaan ini sangat minim sehingga sangat sulit dianggap sebagai kerajaan pertama di Indonesia. Asal usul Kerajaan Salakanagara didasarkan atas catatan perjalanan dari Cina yang menunjukkan jalinan kerja sama antara pedagang dengan dinasti Han pada abad ke 3 Masehi. Jauh sebelum itu, kerajaan diperkirakan berdiri pada abad ke-1 di Salakanagara oleh penguasa pertamanya adalah Xxx Xxxxx.
Hingga pada masa raja Xxxxxxxxxx XX kerajaan salaka negara mengalami kemunduran serta timbulnya kerajaan Tarumanegara abad 4 masehi kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India. Jadi dapat kita simpulkan sementara bahwa suku asli Betawi merupakan campuran dari suku Sunda dan suku-suku Nusantara serta bangsa pendatang.
Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jabodetabek dan sekitarnya. Mereka adalah keturunan penduduk yang bermukim di Batavia (nama kolonial dari Jakarta) dari sejak abad ke-17. Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil perkawinan antar etnis dan bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan etnis asli dengan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu dan lama hidup di Jakarta, seperti: Sunda, Melayu, Tionghoa, Jawa, Arab, Bugis, Belanda, Makassar, Portugis.
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma
Produk hukum yang menjadi dasar pengaturan bagi ketertiban umum dan ketentraman masyarakat ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah, dimana peraturan daerah merupakan salah satu bentuk dari produk hukum daerah selain peraturan kepala daerah dan peraturan bersama kepala daerah. Berdasarkan Pasal 263 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan pada pokoknya bahwa untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Peraturan Daerah. Dimana Peraturan Daerah tersebut dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.
Untuk penyusunan norma dalam rancangan peraturan daerah tentang pemajuan kebudayaan Betawi formil harus dilakukan berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundangan-undangan yang baik, yaitu:
1) kejelasan tujuan;
2) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
3) kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
4) dapat dilaksanakan;
5) kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6) kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Sedang secara substantif, materi muatan rancangan peraturan daerah harus sesuai dengan asas pemajuan kebudayaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, meliputi:
1) toleransi
bahwa pemajuan kebudayaan harus dilandasi dengan saling menghargai dan menghormati.
2) keberagaman;
bahwa pemajuan kebudayaan mengakui dan memelihara perbedaan suku bangsa, ras, agama dan kepercayaan.
3) kelokalan;
bahwa Pemajuan Kebudayaan memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.
4) lintas wilayah;
bahwa Pemajuan Kebudayaan memperhatikan dinamika budaya lokal tanpa dibatasi oleh batas administratif.
5) partisipatif;
bahwa Pemajuan Kebudayaan dilakukan dengan melibatkan peran aktif Setiap Orang baik secara langsung maupun tidak langsung.
6) manfaat;
bahwa upaya Pemajuan Kebudayaan berorientasi pada investasi masa depan sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan rakyat.
7) keberlanjutan;
bahwa upaya Pemajuan Kebudayaan dilaksanakan secara sistematis, terencana, berkesinambungan, dan berlangsung terus menerus dengan memastikan terjadi regenerasi Sumber Daya Manusia Kebudayaan dan memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang.
8) kebebasan berekspresi;
bahwa upaya Pemajuan Kebudayaan menjamin kebebasan individu atau kelompok dalam menyampaikan ekspresi kebudayaannya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.
9) keterpaduan;
bahwa Pemajuan Kebudayaan dilaksanakan secara terhubung dan terkoordinasi lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
10) kesederajatan;
bahwa Pemajuan Kebudayaan menjamin kedudukan yang sama dalam masyarakat yang memiliki Kebudayaan yang beragam.
11) gotong royong
bahwa Pemajuan Kebudayaan dilaksanakan dengan semangat kerja bersama yang tulus.
C. Kajian terhadap Praktek Penyelenggaraan, Kondisi yang ada, serta Permasalahan yang Dihadapi
Praktek penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi di DKI Jakarta saat ini dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Adapun program strategis dari Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta adalah 1) Program Pengembangan Kebudayaan; 2) Program Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya; dan 3) Program Pengelolaan Permuseuman sebagai berikut:
Tabel 1. Program, dan Capaian Indikator Program Urusan Pemerintahan Bidang Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2017-2021
Sumber: dokumen Renstra Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023-2026, 2023
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan selama kurun waktu tahun 2017 hingga 2021 indikator kebudayaan cenderung menunjukkan capaian yang positif. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pelaku seni budaya yang dilatih, kenaikan dari tahun 2017 sampai dengan 2021. Capaian kinerja pelaku seni budaya yang tampil dan unsur seni budaya yang dilestarikan terjadi peningkatan yang cukup tinggi di tahun 2021 walaupun ditengah Pandemi Covid 19, hal ini dipengaruhi oleh pelaksanaan event yang diselenggarakan di Jakarta dan keterlibatan pelaku seni budaya pada event tersebut baik yang dilaksanakan dengan menggunakan anggaran Pemerintah maupun event yang diselenggarakan hasil kolaborasi dengan swasta. Selain itu keberadaan organisasi/lembaga kebudayaan juga mendukung dalam memfasilitasi kegiatan pengembangan budaya. Adapun jumlah lembaga kebudayaan yang ada di Jakarta dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Lembaga Kebudayaan di Provinsi DKI Jakarta
No | Nama Lembaga Kebudayaan | Perubahan Nama Lembaga | Kotamadya Lokasi Lembaga Kebudayaan |
1 | 2 | 3 | 4 |
1 | LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi) | Jakarta Selatan | |
2 | yayasan tunas tunas kelape | Jakarta Selatan | |
3 | Sanggar Seni CITRA MUDA Jakarta | Jakarta Selatan | |
4 | FEALAC WARRIORS (PT Sister City Jaya) | Jakarta Barat | |
5 | YAYASAN PELAKU TEATER INDONESIA | Jakarta Utara |
No | Nama Lembaga Kebudayaan | Perubahan Nama Lembaga | Kotamadya Lokasi Lembaga Kebudayaan |
1 | 2 | 3 | 4 |
6 | Lembaga Kesenian Sulawesi Selatan (LKSS) DKI Jakarta | Jakarta Pusat | |
7 | Yayasan Seni Budaya Jakarta | Jakarta Pusat | |
8 | Perguruan silat banteng malang | Jakarta Selatan | |
9 | Yayasan Kampung Silat Petukangan | Jakarta Selatan | |
10 | Lembaga Media Kreatif Bangsa Jakarta | Jakarta Selatan | |
11 | LKSU (LEMBAGA KEBUDAYAAN SULAWESI UTARA) | Jakarta Pusat | |
12 | PUSAT STUDI BETAWI | Jakarta Timur | |
13 | Yayasan seni mushaf dan kebudayaan jakarta | Jakarta Barat | |
14 | Yayasan Setia Muda | Jakarta Selatan | |
15 | PERGURUAN SILAT GERAK ORAY INDONESIA | Jakarta Barat | |
16 | Badan kesenian kalimantan barat jakarta | Jakarta Timur | |
17 | Yayasan Utan Kayu (Komunitas Salihara) | Yayasan Komunitas Kesenian Salihara (Perub. 2022) | Jakarta Selatan |
18 | Yayasan Budaya Xxxxxx Xxxxxxx | Jakarta Timur | |
19 | -BKOMK (Badan Koordinasi Organisasi Musik Keroncong) | Jakarta Selatan | |
20 | LASQI (Perkumpulan Lembaga Seni dan Qasidah Indonesia) | Jakarta Selatan | |
21 | -DPW PPSBI DKI (Perkumpulan Penggiat Pariwisata Ekonomi Kreatif, Seni dan Budaya Indonesia Dewan Pimpinan Wilayah Prov. DKI Jakarta) | Jakarta Pusat |
No | Nama Lembaga Kebudayaan | Perubahan Nama Lembaga | Kotamadya Lokasi Lembaga Kebudayaan |
1 | 2 | 3 | 4 |
22 | -(BPSBS) Badan Pembina Seni Budaya Sunda DKI Jakarta | - | |
23 | -HIMMI (Himpunan Marawis Indonesia) | Jakarta Barat | |
24 | -BKPMK (Badan Koordinasi Pembinaan Musik Kolintang) | - | |
25 | -BKKB (Badan Koordinasi Kesenian Bali) | Jakarta Selatan | |
26 | -POKJ (Persatuan Organisasi Kesenian Jawa) | - | |
27 | KSB (Komunitas Seni Batak) | Jakarta Timur | |
28 | IKTMJ Lampung (Ikatan Keluarga Tanggai Mas Jaya Lampung) | Jakarta Selatan | |
29 | -AOMBI (Asosiasi Organisasi Musik Bambu Indonesia) | Jakarta Timur | |
30 | -IPPB (Institut Pengajar dan Pelatih Balet) | - | |
31 | -LPPDI Dongeng | Tangerang | |
32 | -LTJ (Lembaga Teater Jakarta) | Jakarta Pusat | |
33 | Paguyuban Reyog Ponorogo Jabodetabek | Jakarta Selatan | |
34 | -PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) | Jakarta Timur | |
35 | -(ANN) Asosiasi Nasyid Nusantara | Jakarta Barat | |
36 | -API (Asosiasi Pematung Indonesia) DKI JKT | - | |
37 | -BKLPM (Badan Koordinasi Lembaga- lembaga Pendidikan Musik) | - | |
38 | -LKAM (Lembaga Kebudayaan Alam Minangkabau) | - | |
39 | -LKM (Lembaga | - |
No | Nama Lembaga Kebudayaan | Perubahan Nama Lembaga | Kotamadya Lokasi Lembaga Kebudayaan |
1 | 2 | 3 | 4 |
Kebudayaan Maluku) | |||
40 | -LKRJ (Lembaga Kebudayaan Riau Jakarta) | Jakarta Selatan | |
41 | -LBPB (Lembaga Budaya Provinsi Bengkulu) | - | |
42 | -LPKA (Lembaga Pengembangan Kesenian Aceh) | - | |
43 | -LPKM (Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Melayu) DKI Jakarta | Jakarta Timur | |
44 | -LSBSS (Lembaga Seni Budaya Sumatera Selatan) | Jakarta Timur | |
45 | -MSJ (Masyarakat Sastra Jakarta) | Jakarta Timur | |
46 | -PAMARA (Paguyuban Macapat Radya Agung) | Jakarta Timur | |
47 | -PASSRI (Paguyuban Sanggar Seni Rupa Indonesia) | Jakarta Pusat | |
48 | -PMSKJ (Persaudaraan Masyarakat Seni Kontemporer Jakarta) | - | |
49 | -BKKI (Badan Kerjasama Kesenian Indonesia) Jakarta | Jakarta Selatan | |
50 | -YTK (Yayasan Teater Keliling) | Jakarta Selatan | |
51 | -Yayasan Paduan Suara Merah Putih | Bekasi | |
52 | YAYASAN XXXXXXXX XXXXX | Jakarta Selatan | |
53 | PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia) | Tangerang | |
54 | YHP (Yayasan Hari Puisi) | Jakarta Timur | |
55 | Yayasan Sanggar Betawi Mak Manih Nirin Kumpul | Jakarta Timur | |
56 | Yayasan Teras Anak Nusantara | Jakarta Barat |
No | Nama Lembaga Kebudayaan | Perubahan Nama Lembaga | Kotamadya Lokasi Lembaga Kebudayaan |
1 | 2 | 3 | 4 |
57 | Yayasan Ayodya Pala | Depok |
Sumber: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2023.
Sedangkan unsur seni budaya yang dilestarikan terjadi peningkatan di tahun 2021 yaitu pada unsur seni budaya mencapai 877 jenis. Kemudian terkait pengembangan kebudayaan, aspek revitalisasi museum menjadi hal yang tidak terlepaskan dan menjadi prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Adanya 12 (dua belas) Museum yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang berada di bawah pengelolaan Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun sayangnya saat ini jumlah kunjungan wisatawan yang berkunjung ke museum masih belum optimal, dikarenakan penyajian atraksi yang kurang atraktif dan monoton. Oleh karena itu, diperlukan sebuah terobosan untuk membuat museum kembali semarak dan dipenuhi pengunjung, baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Terobosan yang dimaksud adalah terobosan yang mampu meningkatkan peran publik dalam proses pengelolaan museum di DKI Jakarta.
Museum dan sektor budaya merupakan salah satu bagian vital yang terdampak akibat pandemi Covid-19. Akan tetapi, pandemi bisa menjadi pemicu inovasi penting dalam meningkatkan fokus pada cara baru pengalaman dan penyebaran wawasan budaya. Upaya untuk penyediaan data terstruktur terkait warisan budaya dan museum dapat dilakukan pada Wikidata yang dapat diakses dan disunting oleh siapa saja. Memang diperlukan kolaborasi baik dari penyediaan data tidak terstruktur serta data terstruktur untuk bahu-membahu mendukung upaya memuseumkan suatu data atau informasi mengenai budaya. Sehingga selanjutnya dapat dipakai dalam aplikasi teknologi atau kecerdasan artifisial.
Tatanan kehidupan sosial mulai berubah semenjak terjadinya pandemi Covid-19, kebijakan pembatasan sosial diterapkan pemerintah untuk menekan angka persebaran penyakit Covid-19. Kebijakan tersebut berdampak pada penutupan berbagai tempat yang memungkinkan terjadinya kerumunan seperti museum. Museum yang seharusnya dapat melakukan pelayanan informasi dan edukasi yang merupakan fungsi museum menjadi tidak dapat melakukan pelayanan dengan optimal. Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa museum kemudian menerapkan inovasi layanan sehingga fungsi museum tetap dapat dilaksanakan. Inovasi layanan yang diterapkan memanfaatkan teknologi digital sehingga pengelola lebih mudah melakukan pelayanan dan masyarakat semakin mudah mengakses museum. Inovasi layanan
museum yang telah diterapkan di Indonesia berupa : aplikasi museum, webinar, virtual reality, virtual tour, augmented reality, podcast, video mapping, media sosial museum, website museum. Inovasi layanan museum menjadikan museum tetap dapat melayani kebutuhan informasi dan edukasi bagi masyarakat luas. Masyarakat dapat dengan mudah mengakses museum kapanpun dan dimanapun, namun tetap dapat mendukung upaya pemerintah dengan menerapkan pembatasan kegiatan sosial diluar rumah.
Praktek penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi di DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi memiliki beberapa permasalahan, diantaranya:
1. Belum Optimalnya Perlindungan Budaya
Salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya. Artinya Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan baik pada rakyatnya dan seluruh kekayaan yang dimiliki di dalamnya, dalam hal ini tidak terkecuali perlindungan budaya tradisional. Jika melihat perkembangan saat ini, kebudayaan Indonesia pernah dan berulang kali diakui oleh masyarakat negara lain. Potensi resiko ini haruslah di minimalisasi dan dihilangkan, diperlukan upaya melakukan pendataan dan pencatatan budaya Indonesia sebagai warisan budaya masyarakat Indonesia. Dibutuhkan keterlibatan Pemerintah melalui peran dan dukungan dalam upaya perlindungan budaya, baik dari regulasi yang dikeluarkan maupun upaya lainnya. Sebagai contoh metode keberhasilan, dibutuhkan kolaborasi antar pengampu kepentingan, sehingga beberapa kebudayaan Indonesia berhasil dicatatkan di level Internasional (UNESCO) seperti, batik dan reog Ponorogo.
Dengan demikian, kebudayaan lokal betawi, bisa meniru metode keberhasilan ini dalam rangka pengidentifikasian, pendataan dan pencatatan di level Internasional. Dalam pengembangan sistem hukum yang ada, negara belum optimal membangun peraturan perundang-undangan yang mengarah kepada pengembangan sistem perlindungan budaya tradisional, terutama dalam hal ini budaya Betawi sebagai budaya khas DKI Jakarta. Selanjutnya bila kepastian hukumnya sudah ada, diperlukan optimalisasi penegakan hukum yang berjalan dengan baik.
Sebagaimana pengaturan Perda 4/2015 bahwa terdapat 2 (dua) urusan kebudayaan yang harus dikelola yaitu urusan kebudayaan dan urusan cagar budaya. Maka upaya perlindungan budaya, termasuk juga di dalamnya perlindungan terhadap cagar budaya. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Setelah suatu peninggalan sejarah/arkeologi/warisan budaya mendapatkan perlindungan hukum, maka disebutlah peninggalan tersebut sebagai cagar budaya. Karena dilindungi hukum, maka seharusnya cagar budaya juga terlindungi dari pengerusakan, penghancuran bahkan penghilangan cagar budaya. Permasalahan penegakan hukum juga masih menjadi masalah dalam perlindungan cagar budaya. Cagar Budaya merupakan warisan budaya materi yang memiliki umur 50 tahun atau memiliki kekhasan budaya suatu zaman tertentu, yang mengandung nilai penting terkait sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, serta kebudayaan (UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Cagar budaya merupakan sumber daya dimana konsepnya dikenal dengan istilah CRM (Cultural Resource Management). Dalam konsep CRM, penyebab utama rusak ataupun hilangnya sumber daya budaya adalah bencana. Bencana berdasarkan faktornya, bisa dikelompokkan menjadi bencana yang disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia atau bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007).
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh fenomena alam, seperti kejadian gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan sebagainya. Bencana non alam adalah bencana yang disebabkan oleh peristiwa non alam seperti kegagalan teknologi, kegagalan modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit seperti Pandemi Covid 19. Bencana sosial adalah bencana yang disebabkan oleh manusia, seperti kejadian konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, serta teror. Untuk itu, perlu dibangun suatu langkah mitigasi untuk perlindungan cagar budaya. Namun sebelum itu, perlindungan terlebih dahulu melalui pengidentifikasian, pendataan serta pencatatan cagar budaya. Upaya ini akan lebih baik lagi bila terpusat dalam suatu pangkalan data serta berbentuk konvensional maupun digital karena memiliki keunggulannya masing-masing.
DKI Jakarta merupakan kota bersejarah yang memiliki cagar budaya yang perlu dilestarikan. Pada titik-titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya, dalam hal ini Provinsi DKI Jakarta sampai dengan tahun 2018 telah memiliki 726 Benda, Bangunan, Struktur, Lokasi, dan Satuan Ruang Geografis yang diperlakukan sebagai cagar budaya. Perlindungan cagar budaya tidak hanya semata-mata melindungi monumen masa lampau untuk kepentingan sejarah atau nostalgia tentang zaman keemasan yang sudah lewat, namun juga terhadap benturan-benturan kepentingan yang pada akhirnya dapat mengancam keberadaan cagar budaya. Kita harus menyadari kekayaan warisan budaya
tidak dapat tergantikan dan memiliki potensi untuk hancur dan punah karena faktor alam, non alam maupun manusia. Rasa memiliki dan apresiasi juga harus terbangun sehingga dapat memunculkan peran serta masyarakat dalam menjaga dan melestarikan cagar budaya. Perlindungan cagar budaya di wilayah DKI Jakarta, haruslah menjadi perhatian Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Selain warisan budaya dalam bentuk cagar budaya, Provinsi DKI Jakarta juga kaya akan warisan budaya tak benda, yang mencakup: (a) Tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya tak benda; (b) Seni pertunjukan;
(c) Adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan-perayaan; (d) Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; serta (e) Kemahiran kerajinan tradisional.
250
200
150
100
50
0
2013
2014
2015
2016
2017
2018
Grafik 1. Jumlah Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia Tahun 2013-2018
Sumber: UNESCO (2022).
Untuk Warisan Budaya Tak benda DKI Jakarta Tahun 2017 yakni Kebaya Kerancang, Batik Betawi, Topeng Tunggal, Penganten Sunat, Rebana Biang, Hadroh Betawi, Dodol Betawi, dan Silat Cingkrik. Begitu beragamnya warisan nilai budaya luhur bangsa yang dimiliki, namun sayang sejauh ini pelestarian dan pemanfaatannya yang dapat mendatangkan nilai ekonomi belum secara optimal dilaksanakan.
Selain DKI Jakarta merupakan kota yang memiliki nilai- nilai, norma dan budaya kelokalannya, khususnya budaya betawi. Disisi lain, DKI Jakarta juga merupakan wilayah tempat berkumpul dan menetapnya masyarakat multi etnis dengan kategori kota megapolitan atau berpenduduk di atas 5 juta jiwa. Kekhawatiran akan hilang dan terkikisnya budaya asli lokal Betawi bisa diproyeksikan dengan dinamika fenomena terpinggirkannya masyarakat Betawi hingga tergeser keluar kota Jakarta. Saat ini, masyarakat Betawi hanya menempati urutan ke-3 dari etnis yang bermukim di DKI Jakarta setelah etnis Jawa dan Sunda.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa DKI Jakarta memiliki budaya keberagaman kota megapolitan. Berangkat dari pengertian bahwa budaya bersifat dinamis, maka asimilasi antar etnis ini di kota DKI Jakarta, telah memunculkan suatu kebudayaan baru yang lebih luas lagi. Budaya megapolitan ini juga
harus pula dijadikan fokus pemetaan keadaan, sehingga dapat lebih mampu menjelaskan masyarakat DKI Jakarta yang berbudaya dengan budaya yang seperti apa sehingga memiliki kejelasan identitas. Kejelasan identitas ini, dapat memunculkan rasa memiliki dan apresiasi yang sangat dibutuhkan dalam pelindungan dan pelestarian budaya.
Budaya masyarakat Betawi yang merupakan sistem nilai, adat istiadat yang dianut oleh masyarakat Betawi, yang di dalamnya terdapat pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan tata cara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya harus dipelihara dan dijaga kelestariannya. Sehingga Perlindungan Budaya Betawi menjadi tugas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota Negara kesatuan Republik Indonesia pasal 26 ayat (6), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain di daerah Provinsi DKI Jakarta. Namun demikian, seiring dengan kemajuan globalisasi, kebudayaan Betawi, seperti: Lenong Betawi, Tari Topeng, Silat Betawi, Ondel-Ondel dan Gambang Kromong sedikit demi sedikit mulai tenggelam dan perlahan terpengaruh dan bahkan ada yang tergantikan oleh budaya asing.
Semakin meningkatnya era modern dikalangan masyarakat Jakarta dengan teknologi yang sangat pesat memposisikan masyarakat Jakarta atau yang sering disebut Betawi lupa dengan seni budayanya sendiri. Akan sangat disayangkan jika seni dan budaya Betawi sampai hilang dan terlupakan. Rendahnya apresiasi seni dan karya budaya yang ditunjukkan dengan tingginya tingkat pembajakan karya seni dan budaya dikarenakan tidak maksimalnya Pemerintah dalam melaksanakan tindakan perlindungan terhadap karya suatu individu atau kelompok. Diperlukan adanya suatu kepastian hukum dan penegakan hukum terkait perlindungan terhadap karya. Secara ekonomi dengan tindakan pembajakan karya seni dan budaya membuat kesejahteraan para pelaku budaya menjadi tidak terjamin sehingga mereka tidak maksimal dalam berkarya. Karena Jakarta adalah ibukota yang menjadi pusat bisnis politik dan budaya, maka Jakarta memiliki daya tarik urbanisasi.
Dampaknya, Jakarta memiliki isu kepadatan penduduk, isu banjir akibat pengambilan air tanah dan isu kemacetan lalu lintas. Program penyelesaiannya adalah dengan pemerataan pembangunan sehingga terbangunnya pusat bisnis, politik dan budaya di kota-kota lainnya pada program Nasional. Rendahnya apresiasi seni dan karya budaya juga berhubungan tidak langsung dari Jakarta sebagai ibukota yang penduduknya sangat padat dengan belum maksimalnya sarana dan prasarana transportasi
bebas hambatan. Akibatnya mobilisasi penduduk Jakarta menjadi rendah dengan tingkat stres akibat kemacetan lalu lintas yang tinggi. Kemacetan merupakan sumber inefisiensi. Penduduk Jakarta tidak memiliki cukup waktu untuk bisa berpindah ke berbagai tempat tempat di seputar Jakarta. Akibatnya penduduk Jakarta tidak memiliki kelebihan waktu untuk terekspos dan terlibat dalam aktivitas budaya serta memiliki minat yang rendah.
Rencana perpindahan Ibukota dari Jakarta, justru menjadi solusi dan hal positif karena akan berimbas terhadap menurunnya penduduk Jakarta. Pemerintahan daerah juga bisa kembali menata ulang wilayahnya untuk penduduknya menjadi lebih bisa termobilisasi. Dampaknya akan berimbas pada penurunan tingkat stress dan mendapatkan tambahan waktu luang yang bisa pada akhirnya dimanfaatkan untuk menghibur diri dengan mengunjungi pusat pusat budaya bahkan melakukan aktivitas budaya yang akhirnya dapat meningkatkan apresiasi seni dan kreativitas budaya. Isu pandemi juga bisa dilihat sebagai hal yang mempengaruhi apresiasi seni dan kreativitas budaya.
Perilaku masyarakat betawi yang gemar bertamu dan bersilaturahmi, lambat laun akan mulai tergeserkan oleh budaya ucapan ucapan selamat, ucapan simpati, ucapan berbelasungkawa dan ucapan-ucapan lainnya hanya melalui media sosial digital tanpa lagi harus berkunjung dan bertemu secara fisik. Ruang-ruang maya digital dipenuhi oleh aktivitas masyarakat hingga berkembang menjadi budaya baru berbentuk budaya digital. Fenomena dari perilaku masyarakat diruang digital juga dirasakan telah bergeser dari nilai-nilai dan norma kearifan lokal. Sekarang ini contohnya, banyak kita jumpai berita-berita hoax dan perilaku perundungan (bully) diruang-ruang media digital yang tidak sesuai dengan budaya dan perilaku masyarakat Betawi.
Walau begitu, transformasi budaya konvensional menuju budaya digital adalah keniscayaan, Pembangunan karakter budaya ruang digital yang berakar kepada nilai-nilai kearifan lokal harus mampu bersaing dengan derasnya pengaruh kebudayaan luar mengingat sifat keterhubungan media digital. Namun demikian, ruang digital juga merupakan ruang berseni dan berkreasi yang memiliki nilai ekonomis bila dimanfaatkan. Permasalahannya, akibat kekurangan sumber daya manusia, sarana prasarana dan metode, membuat fenomena budaya digital ini belum mampu dimanfaatkan secara optimal.
Keterbatasan sarana dan prasarana budaya merupakan salah satu kendala dalam membangun menghasilkan seni dan karya budaya. Belum optimalnya upaya Pemerintah Daerah dalam membangun kecintaan pada budaya Betawi membuat seni dan karya budaya Betawi semakin terpinggirkan. Beberapa pemicunya antara lain belum optimalnya ketahanan dan keanekaragaman nilai
dan warisan budaya lokal akibat pengaruh budaya asing dan keterbatasan sarana dan prasarana kebudayaan yang ada.
Dampak permasalahan “Belum optimalnya perlindungan budaya DKI Jakarta” dipicu oleh beberapa akar permasalahan sebagai berikut:
a. warisan budaya yang dicuri, hilang, atau diakui pihak lain menunjukkan masih minimnya peran Pemerintah dalam melindungi kekayaan warisan budaya;
b. Banyak cagar budaya yang belum direstorasi dan mendapat perhatian khusus;
x. Xxxxxxnya kesadaran seluruh stake holder dalam membangun kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan budaya;
d. Rendahnya diplomasi budaya Indonesia ke dunia internasional membuat banyak warisan budaya Indonesia yang dimiliki oleh negara lain hilang begitu saja;
e. Basis data yang belum jelas membuat Pemerintah kesulitan dalam mengelola seluruh warisan budaya;
x. Xxxxawasan cagar budaya belum sepenuhnya ditangani dengan baik;
g. Belum adanya legal aspek yang memadai pelestarian cagar budaya; dan
x. Xxxxx ada SOP mitigasi bencana terhadap cagar budaya.
Dengan permasalahan di atas, terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan seperti:
a. inventarisasi jenis dan bentuk kebudayaan Betawi masing-masing objek pemajuan kebudayaan yang masih hidup dan berkembang di tengah masyarakat meliputi pencatatan, pendokumentasian, dan pemutakhiran data;
b. pengamanan dan pemeliharaan objek pemajuan kebudayaan Betawi yang berbentuk benda melalui penyimpanan pada museum atau tempat lainnya, atau penetapan sebagai cagar budaya;
c. atraksi atau penampilan objek pemajuan kebudayaan Betawi pada kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta;
d. publikasi terhadap informasi yang berkaitan dengan inventarisasi, pemeliharaan, pengamanan, dan penyelamatan atau penampilan objek pemajuan kebudayaan Betawi; dan
e. pengintegrasian ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan/atau menengah.
2. Belum Optimalnya Pembinaan Budaya
Pembinaan telah dilakukan oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dalam rangka memperbanyak praktisi seni dan budaya.
Dengan demikian, akan terbentuk penguatan seni dan budaya. Pembinaan ini telah dilakukan dengan berbagai cara, baik secara pemanfaatan sumber daya internal maupun eksternal. Sumber daya internal contohnya dengan memanfaatkan pamong kebudayaan sebagai perpanjangan tangan dalam merealisasikan fungsi dan tugas untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan. Dinas kebudayaan DKI Jakarta juga telah melakukan kolaborasi dengan praktisi dan sanggar-sanggar seni dan budaya dalam hal pembinaan budaya.
Permasalahan lain dari pembinaan budaya adalah masih belum optimalnya sarana dan prasarana dalam yang dapat menunjang aktivitas sanggar-sanggar seni dan budaya. Perlunya revitalisasi sarana dan prasarana tidak hanya dalam struktur dan fungsi bangunan saja, namun perlunya penambahan ornamen, desain dan anjungan yang kekinian pada pusat-pusat kebudayaan yang dapat menarik minat dan relevan dengan minat masyarakat sekarang. Budaya Betawi sebagai budaya lokal kota DKI Jakarta, terdiri dari berbagai macam seni dan budaya disegala lini kehidupan. Ada seni bela diri, kuliner Betawi, seni pertunjukan lenong Betawi, wayang golek Betawi, tanjidor, ondel-ondel, seni batik betawi dan banyak lagi seni dan budaya khas Betawi yang harus dijaga dan dilestarikan. Adalagi budaya Betawi dalam kategori kebendaan yang kebiasaan penggunaanya dan pembuatannya juga harus terestafetkan agar lestari. Pengetahuan dan keterampilan ini biasanya diwariskan secara turun-temurun dari orang tua ke anak.
Namun dewasa ini, kebiasaan estafet ini sudah jarang terjadi. Dengan demikian, estafet regenerasi pengetahuan dan keterampilan harus dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya menggencarkan sosialisasi pesan seni dan budaya kepada masyarakat DKI Jakarta, khususnya para pemuda sebagai generasi penerus seni dan budaya agar memiliki kewaspadaan (awareness), memiliki pengalaman terekspos seni dan budaya (experiencing), sehingga akhirnya diharapkan memiliki minat sebagai penikmat, maupun sebagai calon praktisi yang perlu pembinaan.
Kegiatan tersebut pada prakteknya biasa dilakukan pada pusat-pusat kebudayaan Betawi yang ada di DKI Jakarta, Adapun pusat kebudayaan tersebut secara rinci dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 3. Pusat Kebudayaan Betawi
No | Pusat Kebudayaan Betawi |
1 | Pusat Budaya Betawi Setu Babakan |
2 | Taman Xxxxxxxx Xxxx Jatinegara |
3 | Balai Budaya Condet |
4 | Pusat pelatihan seni budaya (PPSB) di 5 wilayah kota administrasi |
No | Pusat Kebudayaan Betawi |
5 | Gedung Kesenian Jakarta |
6 | Taman Xxxxxx Xxxxxxx |
7 | Taman Maju Bersama atau RPTRa |
Sumber: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2023.
3. Belum Optimalnya Pemanfaatan Budaya
Belum optimalnya pemanfaatan budaya dapat dilihat dari belum konsistensi diadakannya pagelaran seni dan budaya. Dalam hal perhelatan pagelaran seni dan budaya, setidaknya membutuhkan tempat pagelaran, seniman sebagai pelaku seni dan penonton. Promosi seni dan budaya juga belum secara optimal dilakukan. Volume diadakannya pagelaran seni dan budaya juga belum konsisten terutama dampak dari pandemi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini menjadi penghambat dilaksanakannya pelatihan dan pagelaran seni dan budaya. Pemanfaatan pusat-pusat budaya juga belum pula mencapai kapasitas penuh. Banyak hal dari pusat-pusat budaya yang masih bisa digali kemanfaatannya. Revitalisasi pusat-pusat budaya harus pula dibarengi dengan pengemasan ulang yang atraktif dan menarik minat masyarakat. Seni dan budaya bila diolah secara benar dan tepat sasaran akan menghasilkan tidak hanya citra baik, namun juga menghasilkan nilai ekonomis yang bisa menjadi kontribusi pendapatan para pihak. Dengan demikian, hal ini harus dipandang sebagai suatu aktivitas investasi yang berpotensi mendatangkan keuntungan. Sebagai contoh maraknya ondel-ondel yang digunakan untuk mengamen ditemukan di jalan raya dan tempat ramai.
Gambar 1. Penggunaan Ondel-ondel untuk Mengamen
Sumber: xxxxxxxxxxxxx.xx, 2023
Karya seni dan budaya tidak dapat dipungkiri, memiliki nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan. Keterlibatan para pihak, seperti masyarakat seni dan budaya dan terlebih khusus pihak swasta,
seharusnya dapat pula berperan sebagai Non State Actor (NSA) dalam rangka diplomasi budaya. Kolaborasi ini pada akhirnya sebetulnya dapat mendatangkan solusi bersama dalam bentuk keuntungan swasta maupun kepentingan nasional. Kerja sama pertukaran pelajar melalui Rumah Budaya Indonesia (RBI) yang sudah terbangun dibeberapa negara, juga dapat menjadi media memperkenalkan budaya Indonesia dalam pergaulan Internasional. Program pertukaran pelajar terkait budaya, nantinya diharapkan akan menghasilkan duta-duta budaya di negaranya masing- masing. Dengan demikian, pencurian budaya akan dapat dihentikan karena dunia internasional telah mengetahui dan mengenal budaya Indonesia, khususnya budaya Jakarta agar tidak diakui oleh negara lain dikemudian hari. Namun sayangnya upaya ini juga belum dilakukan secara optimal.
Di era globalisasi saat ini, hubungan antar negara menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari hubungan politik luar negeri. Diplomasi budaya menjadi salah satu cara untuk memperkuat kerja sama antar negara dan memajukan kepentingan nasional. Aktivasi diplomasi budaya sebagai bentuk diplomasi soft power, sangat cocok untuk Indonesia yang memiliki pandangan politik luar negeri bebas aktif. Diplomasi budaya juga akan menggambarkan peradaban masyarakat di suatu kota atau negara di kancah nasional dan internasional. Permasalahan yang masih dihadapi dalam rangka diplomasi budaya dan hubungan kerja sama internasional pada bidang kebudayaan antara lain, terbatasnya pengetahuan masyarakat baik daerah maupun negara lain tentang kekayaan budaya Jakarta, dan belum optimalnya pengembangan diplomasi, pertukaran, dan pameran kebudayaan di Kota Jakarta. Permasalahan tersebut berdampak pada hilangnya warisan budaya karena diklaim oleh daerah/negara lain serta tidak berkembangnya kebudayaan daerah yang berdampak pada kelangkaan dan kepunahan.
Kondisi tersebut dapat ditanggulangi apabila setiap stake holder, baik pemerintah, badan usaha, maupun masyarakat dapat berkontribusi dalam memaksimalkan pemanfaatan kebudayaan. Masing-masing aktor dapat berkontribusi sesuai dengan kemampuan dan karakternya, misalnya pemda dapat memberikan ruang pertunjukan, penampilan dan/atau pameran produk kebudayaan Betawi pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang melibatkan masyarakat. Badan usaha dapat melakukan fasilitasi penggunaan batik Betawi dan/atau ornamen gigi balang pada setiap bangunannya, serta melakukan kegiatan pemanfaatan kebudayaan Betawi melalui penyelenggaraan kegiatan kebudayaan baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan pihak lain bagi masyarakat dan badan usaha.
4. Belum Optimalnya Pengembangan Budaya
Disamping belum maksimalnya penyertaan Pemerintah, kendala utama juga berasal dari ketersediaan Sumber Daya Manusia sendiri. Sumber Daya Manusia seni dan budaya harus pula dikembangkan dan ditingkatkan. Terbatasnya Sumber Daya Manusia kebudayaan yang berkualitas bisa dilihat dari belum adanya pemetaan profesi dan standar kompetensi profesi, terbatasnya jumlah, kompetensi serta persebaran insan kebudayaan. Kemudian masalah dari pengembangan budaya, muncul pula dari belum optimalnya hasil penelitian dan pengembangan kebudayaan, keterbatasan sarana dan prasarana kebudayaan termasuk pemanfaatan teknologi, terbatasnya dukungan peraturan perundang-undangan kebudayaan, belum optimalnya sistem pendataan kebudayaan, belum optimalnya koordinasi antar instansi serta belum optimalnya kerja sama antarpihak yaitu, Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat secara umum.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan sumber daya kebudayaan antara lain, terbatasnya manusia kebudayaan yang berkualitas, yang ditunjukkan oleh belum adanya pemetaan profesi dan standar kompetensi profesi, terbatasnya jumlah, kompetensi dan persebaran insan kebudayaan serta tidak adanya regenerasi secara berkelanjutan terutama untuk bidang-bidang yang membutuhkan keahlian khusus serta terbatasnya tenaga dalam tata kelola di bidang kebudayaan, baik pada tingkat provinsi maupun wilayah. Selanjutnya belum optimalnya hasil penelitian dan pengembangan kebudayaan; terbatasnya sarana dan prasarana kebudayaan termasuk pemanfaatan teknologi, terbatasnya dukungan peraturan perundangan kebudayaan, belum optimalnya sistem pendataan kebudayaan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun perencanaan dan pengambilan kebijakan, belum optimalnya koordinasi antar instansi serta belum optimalnya kerja sama antarpihak, yaitu Pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Berkaitan dengan pengembangan kebudayaan Betawi, terdapat satu masalah utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah dan masyarakat yaitu berkaitan dengan apresiasi seni dan karya seni budaya Betawi. Provinsi DKI Jakarta dikenal sebagai pusat pemerintahan dan bisnis telah menjadikannya sebagai wilayah paling sibuk di Indonesia. Akibatnya penduduk DKI Jakarta kurang memiliki waktu untuk terlibat dalam aktivitas budaya. Mobilisasi penduduk yang sangat cepat dan sibuk terhadap urusan masing-masing juga berdampak terhadap rendahnya minat terhadap budaya Betawi. Padahal dengan adanya pertunjukan seni budaya dapat mengurangi tingkat stres yang dirasakan penduduk DKI Jakarta (Toyoshima et al., 2022). Selain itu, berbagai produk yang merupakan ikon budaya Betawi juga jarang ditemukan.
Sebagai contoh adalah batik Betawi, kerak telor dan bir pletok yang hanya ditemukan pada lokasi atau event tertentu saja. Hal ini secara tidak langsung akan melemahkan pemajuan kebudayaan Betawi. Oleh karena itu, pemajuan kebudayaan juga harus dikembangkan melalui aspek pariwisata dan ekonomi (Tutwuri, 2020).
Rendahnya pewarisan budaya Betawi secara turun temurun juga menjadi permasalahan tersendiri. Para orang tua sudah jarang mengenalkan budaya Betawi kepada anak-anaknya. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan yang mampu mendorong anak-anak mau mengenal, mempunyai kepedulian, bahkan mempunyai minat terhadap Budaya Betawi. Perlu dibangun dan digalakkan baik itu di lingkungan keluarga, komunitas bahwa melalui institusi Pendidikan.
Ketersediaan sarana dan prasarana menjadi permasalahan berikutnya. Hal ini tentunya berdampak terhadap proses pembangunan dan pelestarian budaya Betawi. Jika sarana dan prasarana lengkap maka dapat menampilkan seluruh budaya Betawi. Selain itu, juga akan memudahkan dalam mengenalkan dan melestarikan budaya Betawi kepada khalayak umum. Perlu dilakukan revitalisasi terhadap ornamen, desain dan anjungan yang dapat menarik minat masyarakat untuk melihat dan mempelajari budaya Betawi. Oleh karena itu perlu ada dukungan pendanaan untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana dalam rangka melestarikan budaya Betawi.
Oleh sebab itu, diperlukan partisipasi seluruh pihak khususnya pemerintah daerah dalam hal pengembangan kebudayaan Betawi. Beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah dengan:
a. penelitian dan pengembangan objek pemajuan kebudayaan Betawi dalam rangka meningkatkan mutu, tampilan dan daya tarik objek pemajuan kebudayaan Betawi tanpa mengubah/menghilangkan makna yang terkandung di dalam objek kebudayaan tersebut;
b. melakukan kerja sama dengan lembaga terkait baik dalam maupun luar negeri untuk menyebarluaskan kebudayaan Betawi dan mendukung penyelenggaraan pemajuan kebudayaan daerah lain di wilayah Provinsi DKI Jakarta yang dilakukan dalam rangka pemajuan kebudayaan Betawi.
c. pemberian insentif baik berupa pajak maupun nonpajak kepada pihak/lembaga yang secara langsung melakukan upaya Pemajuan Kebudayaan Betawi.
d. melakukan pengayaan keberagaman melalui penggabungan budaya, penyesuaian budaya sesuai dengan konteks ruang dan waktu, penciptaan kreasi baru atau kreasi hasil dari pengembangan budaya
sebelumnya; dan/atau penyerapan budaya asing yang menjadi bagian dari budaya Indonesia selama tidak menghilangkan identitas kebudayaan nasional Indonesia.
5. Adanya dua Lembaga adat Betawi
DKI Jakarta pada perkembangannya memiliki 2 (dua) Lembaga adat Betawi yang diakui dan masih eksis, yaitu Bamus Betawi dan Bamus Suku Betawi 1982. Kedua Lembaga tersebut memiliki kepengurusan sendiri dan saling mengklaim sebagai Lembaga yang merepresentasikan kebudayaan Betawi sehingga selama ini keduanya terpecah yang salah satu penyebabnya adalah masalah internal.
Kondisi demikian justru akan menjadi hambatan serius dalam upaya memajukan kebudayaan Betawi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan peleburan/penggabungan kedua Lembaga budaya Betawi tersebut yang pengelolaannya diatur sendiri oleh masyarakat Betawi melalui anggaran dasar organisasi.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Peraturan Daerah akan memiliki implikasi, baik terhadap aspek kehidupan masyarakat, maupun terhadap aspek beban keuangan daerah.
1. Implikasi terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat
Pemajuan Kebudayaan yang merupakan salah satu hasil karya para leluhur bangsa Indonesia, hendaknya dapat diperlakukan sebaik mungkin. Dengan mengetahui, memahami dan menelusuri adat budaya bangsa melalui tinggalan masa lalu diharapkan mampu menumbuhkembangkan rasa ikut memiliki tentang khasanah ragam budaya, yang dewasa ini lebih dikenal sebagai Warisan Budaya.
Rasa memiliki akan mendorong tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut melestarikan aset budaya bangsa perlu untuk ditumbuh kembangkan. Suatu kepunahan Warisan Budaya memang diakui disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya alam, binatang dan manusia. Oleh sebab itu, bila sumber daya manusianya (SDM) mampu memahami pentingnya pemajuan kebudayaan, maka kepunahan sedini mungkin akan dapat dicegah. Adanya potensi peningkatan partisipasi yang luas bagi masyarakat dalam pemajuan kebudayaan Betawi yang dijamin dan dilindungi dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, selain sebagai upaya efektif untuk memajukan budaya, juga dapat meningkatkan pendapat masyarakat melalui pemanfaatan kebudayaan Betawi. Sehingga secara langsung dapat mempercepat
pemerataan pembangunan dan meningkatkan PAD secara tidak langsung. Oleh sebab itu terdapat penambahan asas yang mendasar dalam pemajuan kebudayaan, yaitu asas partisipasi dan gotong royong.
Beberapa perubahan norma juga terjadi sebagai akibat dari adanya perubahan norma yang lebih tinggi dalam hal ini Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Perubahan tersebut mengatur kegiatan dalam pemajuan kebudayaan yang terdiri atas pembinaan, pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Dengan demikian pengaturan mengenai penyelenggaraan pelestarian budaya Betawi pada norma lama akan disesuaikan dengan norma baru. Hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelestarian/penyelenggaraan pemajuan kebudayaan diatur dalam masing-masing bagian.
Lebih jauh, objek pemajuan kebudayaan sebagai diatur dalam Undang Undang Pemajuan Kebudayaan berbeda dengan unsur kebudayaan dalam norma lama yang berlaku di DKI Jakarta. Unsur kebudayaan sebagai dasar pelestarian kebudayaan Betawi sudah berbeda dengan objek pemajuan kebudayaan pada norma yang leih tinggi sehingga terdapat perubahan objek pemajuan kebudayaan. Selain itu, pola pengaturan ke depan akan dilakukan perincian berdasarkan bentuk pemajuan kebudayaan, bukan berdasarkan unsur pemajuan.
Selanjutnya, berkaitan dengan pembinaan penyelenggaraan pelestarian kebudayaan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah pada norma lama, sesuai dengan norma baru, merupakan bagian dari upaya pemajuan kebudayaan. Sehingga kegiatan pembinaan akan diatur lebih rinci. Selain itu, berkaitan dengan adanya konflik, baik perorangan maupun organisasi yang selama ini dimediasi oleh pemerintah daerah secara musyawarah, saat ini dilakukan oleh Lembaga adat Betawi. Lembaga adat Betawi yang dimaksud sesuai dengan kesepakatan masyarakat Betawi yaitu majelis Kaum Betawi. Oleh sebab itu pengaturan internal mengenai Majelis Kaum Betawi, dalam norma baru, akan diatur dalam anggaran dasar.
2. Implikasi terhadap Aspek Beban Keuangan Negara Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa penerapan sistem
baru, apalagi yang berkaitan dengan diberlakukannya suatu peraturan perundang-undangan dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengatur tentang pemajuan Kebudayaan Betawi dipastikan akan memiliki dampak terhadap aspek beban keuangan daerah.
Beberapa perubahan yang terjadi seperti upaya pemberian insentif baik berupa pajak maupun nonpajak kepada pihak/lembaga yang secara langsung melakukan upaya Pemajuan Kebudayaan Betawi akan memberikan dampak terhadap struktur belanja dan penerimaan daerah. Beberapa kegiatan/upaya yang berimplikasi kepada struktur keuangan daerah adalah:
a. penggunaan ornamen yang menunjukkan ciri kebudayaan Betawi
b. pengadaan pakaian seragam bercirikan kebudayaan Betawi bagi aparatur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada hari tertentu
c. penyelenggaraan festival kebudayaan Betawi pada tingkat kecamatan, kota/kabupaten dan provinsi minimal 3 (tiga) bulan sekali
d. pemberian bantuan dana pembinaan/pelatihan rutin kepada lembaga/kelompok/sanggar yang melakukan Pemajuan Kebudayaan Betawi
e. pemberian hibah/bantuan dana kepada Majelis Kaum Betawi.
Aspek beban keuangan negara dan daerah yang dikeluarkan dari APBD terkait dengan perubahan norma ini memang ada dan dapat diprediksi. Akan tetapi, dengan adanya Perda ini manfaat yang didapatkan daerah akan jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran yang dikeluarkan. Dampak kedepannya bagi kelestarian sejarah dan kebudayaan serta terjaganya jejak sejarah Betawi yang dapat diwariskan pada generasi selanjutnya pasti lebih penting.
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dengan memperhatikan kondisi dan aspirasi masyarakat setempat. Untuk menguatkan pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah maka perlu menetapkan Peraturan daerah. Peraturan daerah merupakan salah satu instrumen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena Peraturan daerah berfungsi sebagai dasar hukum dan sarana pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Materi muatan dalam Peraturan daerah adalah untuk menjalankan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu materi muatan Peraturan daerah dapat berisi muatan lokal untuk menampung kondisi khusus yang terjadi di daerah. Mengingat peran strateginya sehingga perlu dipastikan bahwa Peraturan daerah harus sesuai dengan kebutuhan daerah dan dapat dilaksanakan agar dapat berfungsi secara maksimal dalam memperlancar penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Jika ada pelanggaran maka harus ditegakkan.
Peraturan daerah tentang Kebudayaan Betawi diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Dalam perkembangannya, terjadi perubahan kebijakan dan dinamika kebutuhan di daerah. Jakarta telah menjadi kota global yang ditandai dengan interaksi yang intensif antarsuku, agama, ras dan golongan. Selain itu, kebudayaan Betawi sebagai kebudayaan asli masyarakat Betawi yang tumbuh dan berkembang sejak zaman pra kemerdekaan perlu dilindungi, dikembangkan dan dimanfaatkan secara sistematis dan komprehensif di tengah perkembangan Jakarta sebagai kota global. Pemerintah pun telah menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 sebagai dasar hukum yang kokoh yang sebelumnya kurang memadai.
Berdasarkan dinamika di daerah maka Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi perlu dilakukan penyempurnaan. Berbagai penyempurnaan pengaturan antara lain:
(1) penyesuaian asas, tujuan dan objek pemajuan kebudayaan Betawi;
(2) upaya yang perlu dilakukan dalam rangka pelindungan kebudayaan Betawi;
(3) upaya yang perlu dilakukan dalam rangka pengembangan kebudayaan Betawi;
(4) upaya yang perlu dilakukan dalam rangka pemanfaatan Kebudayaan Betawi;
(5) upaya yang perlu dilakukan dalam rangka pembinaan kebudayaan Betawi;
(6) pembentukan, keanggotaan, struktur organisasi, tugas dan wewenang, pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian pengurus Majelis Kebudayaan Betawi serta hubungannya dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta;
(7) dukungan dan mekanisme pendanaan dalam rangka pemajuan kebudayaan Betawi;
(8) Pemberian penghargaan kepada pihak-pihak yang telah berjasa dalam pemajuan kebudayaan Betawi;
(9) Pelaksanaan kerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga di dalam maupun di luar negeri dalam rangka pemajuan kebudayaan Betawi; dan
(10) pelaksanaan pembinaan dan pengawasan untuk mengoptimalkan penyelenggaraan Pemajuan Kebudayaan Betawi.
Berdasarkan hal tersebut, berikut ini adalah hasil evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait dengan pemajuan kebudayaan Betawi:
A. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempunyai kewenangan untuk menjalankan urusan pemerintahan yang diotonomikan, sebagaimana bunyi Pasal 18 ayat (5) yakni:
“(5) pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”
Untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diotonomikan tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berhak menetapkan peraturan daerah sebagaimana bunyi Pasal 18 ayat (6) yakni:
“(6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”
Berdasarkan pengaturan tersebut maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berhak menetapkan Peraturan daerah tentang Pemajuan Kebudayaan Betawi, sebagai salah satu kewenangan yang diotonomikan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga termasuk salah satu daerah yang diberikan kekhususan yang membedakannya dengan daerah lain. Pengaturan tersebut diatur dan diakui dalam Pasal 18B ayat (1) yang berbunyi:
“(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang.”
Berbagai kekhususan tersebut diatur dalam Undang- Undang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta (Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, 2007). Kekhususan ini berdampak terhadap cakupan area/wilayah dan mekanisme pelaksanaan Peraturan daerah Pemajuan Kebudayaan Betawi.
B. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengamanatkan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau yang sering dikenal dengan istilah corporate social responsibility (CSR). Yang dimaksud dengan tanggungjawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi kehidupan Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Adapun besaran anggaran dana corporate social responsibility (CSR) dihitung oleh Perseroan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Apabila Perseroan tidak menganggarkan dana corporate social responsibility (CSR) tersebut maka dapat dikenakan sanksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 yang berbunyi:
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengani Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
C. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 mengatur kekhususan yang diberikan kepada Daerah Provinsi DKI Jakarta dibanding daerah lain. Berbagai kekhususan yang diberikan terkait dengan pemajuan kebudayaan Betawi antara lain:
1) Kewenangan (otonomi) di wilayah Provinsi DKI Jakarta berbeda dengan daerah provinsi lainnya. Karena kewenangan di wilayah Provinsi DKI Jakarta terletak pada tingkat provinsi sebagaimana bunyi Pasal 9 yaitu, ”Otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada tingkat provinsi.”, sedangkan daerah kabupaten atau kota bersifat administratif sebagaimana bunyi Pasal 7 yaitu, ”Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan kabupaten administrasi.”. Sehingga Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta yang ditetapkan berlaku pula pada kota administrasi dan kabupaten administrasi Provinsi DKI Jakarta;
2) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ditugaskan untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi dan budaya lain yang berada di daerah Provinsi DKI Jakarta sebagaimana yang dimandatkan dalam Pasal 26 ayat (6) yang berbunyi: ”Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang berada di daerah Provinsi DKI Jakarta”.
3) Untuk mengefektifkan pelaksanaan tugas pemajuan kebudayaan Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang berada di daerah Provinsi DKI Jakarta maka Gubernur dapat mendelegasikan upaya pemajuan kebudayaan Betawi kepada pemerintah kota administrasi/kabupaten administrasi, kecamatan dan kelurahan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 26 ayat (9)) yang berbunyi: ”Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta mendelegasikan sebagian kewenangan dan urusan pemerintahan kepada pemerintah kota administrasi/kabupaten administrasi, kecamatan dan kelurahan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat”.
4) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga dapat melaksanakan kerja sama dengan pemerintah provinsi lain, maupun kota di negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana bunyi Pasal 28 yang berbunyi:
(1) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah provinsi lain.
(2) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat melakukan kerja sama dengan kota di negara lain.
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
D. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya merupakan salah satu landasan utama dalam penyusunan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Adapun yang dimaksud dengan cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaanya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan (Pasal 1 angka 1). Sedangkan yang dimaksud dengan pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya (Pasal 1 angka 22).
Terdapat 9 (Sembilan) asas yang perlu dipedomani dalam pelestarian cagar budaya yaitu (Pasal 2):
(1) Pancasila, yakni Pelestarian Cagar Budaya dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai Pancasila;
(2) Bhineka Tunggal Ika, yakni Pelestarian Cagar Budaya senantiasa memperhatikan keberagaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
(3) Kenusantaraan, yakni setiap upaya Pelestarian Cagar Budaya harus memperhatikan kepentingan seluruh wilayah negara Indonesia;
(4) Keadilan, yakni Pelestarian Cagar Budaya mencerminkan rasa keadilan dan kesetaraan secara proporsional bagi setiap warga negara Indonesia;
(5) Ketertiban dan kepastian hukum, yakni setiap pengelolaan Pelestarian Cagar Budaya harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum;
(6) Kemanfaatan, yakni Pelestarian Cagar Budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dalam aspek agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata;
(7) Keberlanjutan, yakni upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dilakukan secara terus menerus dengan memperhatikan keseimbangan aspek ekologis;
(8) Partisipasi, yakni setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam Pelestarian Cagar Budaya; dan
(9) Transparansi dan akuntabilitas, yakni Pelestarian Cagar Budaya dipertanggungjawabkan kepada masyarakat secara transparan dan terbuka dengan memberikan informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif.
Tujuan dari pelestarian cagar budaya mencakup 5 (lima) hal yaitu (Pasal 3):
(1) melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia;
(2) meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya;
(3) memperkuat kepribadian bangsa;
(4) meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan
(5) mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.
Benda, bangunan atau struktur dapat diusulkan sebagai cagar budaya apabila memenuhi 4 (empat) kriteria yakni (Pasal 5):
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
Pendidikan, agama, dan.atau kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Adapun bentuk dan sifat benda cagar budaya yakni (Pasal
6):
a. berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia;
b. bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan
c. merupakan kesatuan atau kelompok.
Kemudian untuk bangunan dapat dikategorikan sebagai
bangunan cagar budaya apabila memenuhi kriteria yakni (Pasal 7):
a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
b. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.
Selanjutnya untuk struktur cagar budaya yakni (Pasal 8):
a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
b. Sebagian atau seluruhnya menyatu dengan formasi alam.
Terakhir terkait dengan situs dan kawasan cagar budaya, bahwa lokasi dapat ditetapkan sebagai situs cagar budaya apabila (Pasal 9):
a. mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar bucaya; dan
b. menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.
Sedangkan satuan geografis yang dapat ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya apabila memenuhi persyaratan yakni (Pasal 10):
a. mengandung 2 (dua)situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan;
b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
d. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas;
e. memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan
f. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempunyai kewajiban untuk melakukan inventarisasi dan pendaftaran cagar budaya (kebudayaan Betawi) yang berada di wilayahnya berdasarkan kewenangannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (3) yang berbunyi:
“(3) Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pendaftaran Cagar Budaya yang dikuasai oleh Negara atau yang tidak diketahui pemiliknya sesuai dengan tingkat kewenangannya.”
Kemudian hasil dari pendaftaran tersebut wajib dilengkapi dengan informasi/keterangan (deskripsi) dan dokumentasi atas benda cagar budaya tersebut, sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (5) yang berbunyi:
“(5) Hasil pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus dilengkapi dengan deskripsi dan dokumentasinya.”
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga dituntut untuk aktif mempublikasikan dan menyebarkan informasi tentang cagar budaya dengan memperhatikan aspek keamanan dan kerahasiaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 yang berbunyi:
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan upaya aktif mencatat dan menyebarluaskan informasi tentang Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan keamanan dan kerahasiaan data yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Setiap orang yang turut serta berupaya melakukan pelestarian cagar budaya yang dimiliki/dikuasainya berhak mendapatkan dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagaimana bunyi Pasal 54 yakni:
“Setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas
upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai.”
Sebaliknya setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah atau menghalangi upaya pelestarian cagar budaya sebagaimana bunyi Pasal 55 yakni:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya.”
Dalam rangka mewujudkan tujuan pelestarian cagar budaya, Pemerintah daerah mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Adapun tugas Pemerintah daerah dalam rangka pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya yaitu (Pasal 95 ayat (2)):
(1) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan Cagar Budaya;
(2) mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya;
(3) menyelenggarakan penelitian dan pengembangan Cagar Budaya;
(4) menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat;
(5) menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;
(6) memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya;
(7) menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami bencana;
(8) melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap pelestarian warisan budaya; dan
(9) mengalokasikan dana bagi kepentingan pelestarian Cagar Budaya.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk (Pasal 96 ayat (1):
(1) menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya;
(2) mengoordinasikan pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor dan wilayah;
(3) menghimpun data Cagar Budaya;
(4) menetapkan peringkat Cagar Budaya;
(5) menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;
(6) membuat peraturan pengelolaan Cagar Budaya;
(7) menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;
(8) melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;
(9) mengelola kawasan Cagar Budaya;
(10) mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis bidang Pelestarian, Penelitian, dan museum;
(11) mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang kepurbakalaan;
(12) memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah melakukan pelestarian Cagar Budaya;
(13) memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk kepentingan Pengamanan;
(14) melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;
(15) menetapkan batas situs dan kawasan; dan
(16) menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.
Kemudian pendanaan untuk mendukung pelaksanaan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah (Pusat), Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta, dan masyarakat. Sedangkan sumber pendaan berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), hasil pemanfaatan cagar budaya, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana bunyi Pasal 98 ayat
(1) dan ayat (2) yaitu:
“(1) Pendanaan Pelestarian Cagar Budaya menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c. Hasil pemanfaatan Cagar Budaya; dan/atau
d. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Agar kegiatan pelestarian cagar budaya sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melaksanakan pengawasan sesuai dengan kewenangannya. Di sisi lain, masyarakat juga boleh ikut serta melakukan pengawasan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 99 yang berbunyi:
“(1) Pemerintah dan Pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pengawasan Pelestarian Cagar Budaya sesuai dengan kewenangannya.
(2) Masyarakat ikut berperan serta dalam pengawasan Pelestarian Cagar Budaya.”
Bagi setiap orang yang sengaja mencegah, menghalang- halangi, atau menggagalkan upaya pelestarian cagar budaya, merusak, bahkan mencuri dan bertindak sebagai penadah cagar budaya maka dapat dikenakan sanksi denda bahkan pidana, sebagaimana bunyi Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106 sebagai berikut:’
Pasal 104 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang- halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Kemudian Pasal 105 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.
Dan bunyi Pasal 106 yakni:
“(1) Setiap orang yang mencuri Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang menadah hasil pencurian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga berhak mengatur sanksi dalam Peraturan daerah (teguran, denda, pidana, maupun dalam bentuk lain) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Tahun 1945 yang menegaskan bahwa ”susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang- undang”. Politik hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah diarahkan dan ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan melalui asas otonomi dan tugas pembantuan serta
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan untuk melaksanakan amanah Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dengan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Salah satu materi pokok yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan, termasuk salah satunya adalah urusan kebudayaan. Dalam Pasal 12 ayat (2) huruf p ditetapkan bahwa kebudayaan merupakan salah satu urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Karena merupakan urusan pemerintahan wajib maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib menyelenggarakan urusan kebudayaan tersebut. Adapun ruang lingkup urusan kebudayaan yang diserahkan kepada daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota diuraikan sebagai berikut:
Tabel 4. Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Penyelenggaraan Urusan Kebudayaan
NO | SUB URUSAN | DAERAH PROVINSI | DAERAH KABUPATEN/KOTA |
1 | kebudayaan | a. Pengelolaan kebudayaan yang masyarakat pelakunya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. | a. Pengelolaan kebudayaan yang masyarakat pelakunya dalam Daerah kabupaten/kota. b. Pelestarian tradisi yang masyarakat penganutnya |
NO | SUB URUSAN | DAERAH PROVINSI | DAERAH KABUPATEN/KOTA |
b. Pelestarian tradisi yang masyarakat penganutnya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. c. Pembinaan lembaga adat yang penganutnya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. | dalam Daerah kabupaten/kota. c. Pembinaan lembaga adat yang penganutnya dalam Daerah kabupaten/kota. | ||
2 | Kesenian Tradisional | Pembinaan kesenian yang masyarakat pelakunya lintas Daerah kabupaten/kota. | Pembinaan kesenian yang masyarakat pelakunya dalam Daerah kabupaten/kota |
3 | Sejarah | Pembinaan sejarah lokal provinsi. | Pembinaan sejarah lokal kabupaten/kota. |
4 | Cagar Budaya | a. Penetapan cagar budaya peringkat provinsi. b. Pengelolaan cagar budaya peringkat provinsi. c. Penerbitan izin membawa cagar budaya ke luar Daerah provinsi. | a. Penetapan cagar budaya peringkat kabupaten/kota. b. Pengelolaan cagar budaya peringkat kabupaten/kota. c. Penerbitan izin membawa cagar budaya ke luar Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. |
5 | Permuseuman | Pengelolaan museum provinsi. | Pengelolaan museum kabupaten/kota. |
Sumber: Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, 2023
Karena otonomi daerah DKI Jakarta diletakkan di tingkat provinsi sedangkan daerah kabupaten/kota merupakan wilayah administrasi maka kewenangan penyelenggaraan urusan kebudayaan daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah Provinsi DKI Jakarta.
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan urusan pemajuan kebudayaan Betawi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat menguatkan landasan hukum dalam bentuk Peraturan daerah. Pembentukan Peraturan daerah adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Di sisi lain, pengaturan dalam Peraturan daerah dapat memuat materi muatan lokal (kebudayaan Betawi) sesuai dengan kondisi daerah, sebagaimana bunyi Pasal 236 sebagai berikut:
”(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persatuan bersama kepala daerah;
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Agar Peraturan daerah pemajuan Kebudayaan Betawi yang ditetapkan sesuai dengan kondisi daerah maka masyarakat berhak memberikan masukan baik lisan maupun tertulis dalam pembentukan Peraturan daerah sebagaimana bunyi Pasal 237 ayat
(3) yakni:
”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda.”
Selanjutnya agar Peraturan daerah Pemajuan Kebudayaan Betawi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien maka dalam Peraturan daerah dapat diatur pemberian sanksi, baik itu sanksi administratif, pidana kurungan paling lama 6 bulan, denda paling banyak Rp50.000.000,00, maupun mengembalikan pada keadaan semula. Pemberian sanksi administratif dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan, penghentian tetap kegiatan, pencabutan sementara izin, pencabutan tetap izin, denda administratif, dan/atau sanksi administratif lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana bunyi Pasal 238 yakni:
”(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(4) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada keadaan semula dan sanksi administratif.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin;
g. denda administratif; dan/atau
h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memilih berbagai sanksi yang akan diterapkan bagi pihak yang tidak melaksanakan kewajiban mendukung upaya pemajuan kebudayaan Betawi.
Untuk memajukan kebudayaan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga dapat melaksanakan kerja sama di bidang budaya. Pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan Pemerintah daerah, Pihak Ketiga (Badan Usaha/Organisasi Kemasyarakatan) maupun lembaga/pemerintah daerah di luar negeri, sebagaimana bunyi Pasal 363 ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut:
”(1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Daerah dengan:
a. Daerah lain;
b. pihak ketiga; dan/atau
c. lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga dan/atau pemerintah daerah di luar negeri dalam hal pertukaran budaya, sebagaimana bunyi Pasal 367 ayat (1) huruf b sebagai berikut:
”(1) Kerja sama Daerah dengan lembaga dan/atau pemerintah daerah di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (2) huruf c meliputi:
a. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. pertukaran budaya;
c. peningkatan kemampuan teknis dan manajemen pemerintahan;
d. promosi potensi Daerah; dan
e. kerja sama lainnya yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta juga dimandatkan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk urusan pemajuan kebudayaan Betawi. Adanya partisipasi masyarakat akan meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap kebudayaan Betawi sehingga kebudayaan Betawi akan tumbuh dan berkembang. Suatu kepunahan warisan budaya memang diakui disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya alam, binatang dan manusia. Oleh sebab itu, bila sumber daya manusia kebudayaan mampu memahami pentingnya pemajuan kebudayaan Betawi, maka kepunahan sedini mungkin dapat dicegah. Adanya peningkatan partisipasi yang luas bagi masyarakat dalam pemajuan kebudayaan Betawi yang dijamin dan dilindungi dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, selain sebagai upaya efektif untuk memajukan budaya, juga dapat meningkatkan pendapat masyarakat melalui pemanfaatan kebudayaan Betawi. Sehingga secara langsung dapat mempercepat pemerataan pembangunan dan meningkatkan PAD secara tidak langsung. Oleh sebab itu terdapat penambahan asas yang mendasar dalam pemajuan kebudayaan, yaitu asas partisipasi dan gotong royong.
Bentuk partisipasi masyarakat dapat berupa penyampaian aspirasi, konsultasi bahkan kemitraan. Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta melaksanakan penguatan kapasitas bagi organisasi atau kelompok masyarakat agar bisa secara efektif berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 354).
F. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 merupakan landasan hukum utama dalam pemajuan Kebudayaan Betawi. Karena kebudayaan tidak hanya dilindungi tetapi juga menyangkut bagaimana dikembangkan, dimanfaatkan dan dibina sesuai dengan dinamika perkembangan global. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2017 juga sebagai dasar mengapa perlunya perubahan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 berisikan 9 Bab dengan 61 Pasal. Berbagai ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2017 meliputi:
(1) Ketentuan Umum;
(2) Pemajuan Kebudayaan;
(3) Hak dan Kewajiban berbagai Pihak yang terlibat dalam Pemajuan Kebudayaan;
(4) Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dalam Pemajuan Kebudayaan;
(5) Pendanaan dalam rangka Pemajuan Kebudayaan;
(6) Pemberian Penghargaan bagi Pihak yang berprestasi maupun yang berkontribusi luar biasa dalam Pemajuan Kebudayaan;
(7) Larangan untuk menghancurkan, merusak, menghilangkan atau tidak berfungsinya sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayan.
(8) Ketentuan Pidana bagi Setiap Orang atau Korporasi yang melakukan hal yang dilarang, dan
(9) Ketentuan Penutup.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 telah ditegaskan bahwa kebudayaan merupakan kekayaan dan identitas bangsa sehingga perlu dilindungi dan dikembangkan dalam rangka membangun masa depan dan peradaban bangsa. Kemudian telah ditetapkan 11 (sebelas) asas dalam rangka Pemajuan Kebudayaan (Pasal 3) yakni:
a. Toleransi, bahwa Pemajuan Kebudayaan dilandasi dengan saling menghargai dan menghormati;
b. Keberagaman, bahwa Pemajuan Kebudayaan mengakui dan memelihara perbedaan suku bangsa, ras, agama, dan kepercayaan;
x. Xxxxxxxxx, bahwa Pemajuan Kebudayaan memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal;
d. Lintas wilayah, bahwa Pemajuan Kebudayaan memperhatikan dinamika budaya lokal tanpa dibatasi oleh batas administratif;
e. Partisipatif, bahwa Pemajuan Kebudayaan dilakukan dengan melibatkan peran aktif setiap orang, baik secara langsung maupun tidak langsung;
x. Xxxxxxx, bahwa Pemajuan Kebudayaan berorientasi pada investasi masa depan sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan rakyat;
g. Keberlanjutan, bahwa Pemajuan Kebudayaan
dilaksanakan secara sistematis, terencana, berkesinambungan, dan berlangsung terus-menerus dengan memastikan terjadi regenerasi sumber daya manusia kebudayaan dan memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang;
h. Kebebasan Berekspresi, bahwa upaya Pemajuan Kebudayaan menjamin kebebasan individu atau kelompok dalam menyampaikan ekspresi kebudayaannya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
i. Keterpaduan, bahwa Pemajuan Kebudayaan dilaksanakan secara terhubung dan terkoordinasi lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan;
x. Xxsetaraan, bahwa Pemajuan Kebudayaan menjamin kedudukan yang sama dalam masyarakat yang memiliki Kebudayaan yang beragam; dan
x. Xxxxxx Xxxxxx, bahwa Pemajuan Kebudayaan dilaksanakan dengan semangat kerja bersama yang tulus.
Kesebelas asas pemajuan kebudayaan ini juga menjadi asas dalam Pemajuan Kebudayaan Betawi yang akan dimuat dalam perubahan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahu n 2015.
Tujuan dari pemajuan kebudayaan adalah untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman budaya, memperteguh jati diri bangsa, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan citra bangsa, mewujudkan masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan rakyat, melestarikan warisan budaya bangsa, dan mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia (Pasal 4). Tujuan ini juga akan menjadi dasar dalam Pemajuan Kebudayaan Betawi. Dalam rangka mewujudkan tujuan pemajuan kebudayaan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pengarusutamaan kebudayaan melalui pendidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 yang berbunyi:
”Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pengarusutamaan Kebudayaan melalui pendidikan untuk mencapai tujuan Pemajuan Kebudayaan.”
Terdapat 10 (sepuluh) objek dalam Pemajuan Kebudayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5. Kesepuluh objek Pemajuan Kebudayaan ini juga menjadi Objek Pemajuan Kebudayaan Betawi yakni:
(1) Tradisi lisan, adalah tuturan yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat, antara lain, sejarah lisan, dongeng, rapalan, pantun, dan cerita rakyat.
(2) Manuskrip, adalah naskah beserta segala informasi yang terkandung di dalamnya, yang memiliki nilai
budaya dan sejarah, antara lain, serat, babad, hikayat, dan kitab.
(3) Adat istiadat, adalah kebiasaan yang didasarkan pada nilai tertentu dan dilakukan oleh kelompok masyarakat secara terus-menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya, antara lain, tata kelola lingkungan dan tata cara penyelesaian sengketa.
(4) Ritus, adalah tata cara pelaksanaan upacara atau kegiatan yang didasarkan pada nilai tertentu dan dilakukan oleh kelompok masyarakat secara terus- menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya, antara lain, berbagai perayaan, peringatan kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian, dan ritual kepercayaan beserta perlengkapannya.
(5) Pengetahuan tradisional, adalah seluruh ide dan gagasan dalam masyarakat, yang mengandung nilai- nilai setempat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan, dikembangkan secara terus-menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya. Pengetahuan tradisional antara lain kerajinan, busana, metode penyehatan, jamu, makanan dan minuman tradisional, serta pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta.
(6) Teknologi tradisional, adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang atau cara yang diperlukan bagi kelangsungan atau kenyamanan hidup manusia dalam bentuk produk, kemahiran, dan keterampilan masyarakat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan, dikembangkan secara terus-menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya. Teknologi tradisional antara lain arsitektur, perkakas pengolahan sawah, alat transportasi, dan sistem irigasi.
(7) Seni, adalah ekspresi artistik individu, kolektif, atau komunal, yang berbasis warisan budaya maupun berbasis kreativitas penciptaan baru, yang terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan dan/atau medium. Seni antara lain seni pertunjukan, seni rupa, seni sastra, film, seni musik, dan seni media.
(8) Bahasa, adalah sarana komunikasi antarmanusia, baik berbentuk lisan, tulisan, maupun isyarat, antara lain, bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
(9) Permainan rakyat, adalah berbagai permainan yang didasarkan pada nilai tertentu dan dilakukan oleh kelompok masyarakat secara terus menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya, yang bertujuan
untuk menghibur diri, antara lain, permainan kelereng, congklak, gasing, dan gobak sodor.
(10) Olahraga tradisional, adalah berbagai aktivitas fisik dan/atau mental yang bertujuan untuk menyehatkan diri, peningkatan daya tahan tubuh, didasarkan pada nilai tertentu, dilakukan oleh kelompok masyarakat secara terus-menerus' dan diwariskan pada generasi berikutnya, antara lain, bela diri, pasola, lompat batu, dan debus.
Untuk mendukung pelaksanaan pemajuan kebudayaan maka dibentuk sistem pendataan kebudayaan terpadu. Sistem pendataan kebudayaan terpadu harus dapat diakses semua orang, dan data didalamnya digunakan sebagai acuan data utama dalam pemajuan kebudayaan (Pasal 15).
Untuk memajukan kebudayaan dilaksanakan berbagai upaya berupa:
(1) pelindungan;
(2) pengembangan;
(3) pemanfaatan; dan
(4) pembinaan.
Upaya pelindungan objek pemajuan kebudayaan sebagaimana dimaksud dilaksanakan melalui kegiatan inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, dan publikasi objek pemajuan kebudayaan. Kegiatan inventarisasi objek pemajuan kebudayaan dilaksanakan melalui tahapan pencatatan dan pendokumentasian, penetapan, dan pemutakhiran data, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) yang berbunyi:
“(1) Inventarisasi Objek Pemajuan Kebudayaan terdiri atas tahapan:
a. pencatatan dan pendokumentasian;
b. penetapan; dan
c. pemutakhiran data.
(2) Inventarisasi Objek Pemajuan Kebudayaan dilakukan melalui Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu.”
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib melakukan pengamanan Objek Pemajuan Kebudayaan. Di sisi lain, semua pihak juga dapat berperan aktif untuk melakukan pengamanan Objek Pemajuan Kebudayaan. Kegiatan pengamanan objek pemajuan kebudayaan dilaksanakan dengan cara pemutakhiran data dalam sistem pendataan terpadu, mewariskan kepada generasi berikutnya, dan memperjuangkan objek pemajuan kebudayaan sebagai warisan budaya dunia (Pasal 22). Kegiatan pemeliharaan objek pemajuan kebudayaan dilaksanakan dengan cara menjaga nilai keluhuran dan kearifan objek pemajuan kebudayaan, menggunakan objek pemajuan kebudayaan dalam kegiatan sehari-hari, menjaga keanekaragaman objek pemajuan kebudayaan, menghidupkan dan menjaga
ekosistem kebudayaan pada setiap objek pemajuan kebudayaan, serta mewariskan objek pemajuan kebudayaan kepada generasi penerusnya (Pasal 24 ayat (4)). Kegiatan penyelamatan objek pemajuan kebudayaan dilaksanakan dengan cara revitalisasi, repatriasi, dan/atau restorasi (Pasal 26 ayat (3)). Sedangkan kegiatan publikasi objek pemajuan kebudayaan dilaksanakan dengan menyebarkan informasi ke publik baik di dalam negeri maupun di luar negeri melalui berbagai media (Pasal 28 ayat (3)).
Upaya pengembangan objek pemajuan kebudayaan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau setiap orang dengan cara penyebarluasan, pengkajian dan pengayaan keberagaman (Pasal 30). Begitu pun dengan upaya pemanfaatan juga dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau setiap orang. Upaya pemanfaatan sebagaimana dimaksud dilakukan untuk membangun karakter bangsa, meningkatkan ketahanan budaya; meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan peran aktif dan pengaruh hubungan internasional (Pasal 32). Pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan untuk membangun karakter bangsa dan meningkatkan ketahanan budaya dilaksanakan melalui internalisasi nilai budaya, inovasi, peningkatan adaptasi menghadapi perubahan, komunikasi lintas budaya, dan kolaborasi antarbudaya (Pasal 33).
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diwajibkan untuk melakukan pembinaan pemajuan kebudayaan Betawi. Pembinaan sebagaimana dimaksud dilakukan dalam rangka meningkatkan jumlah dan mutu SDM Kebudayaan, Lembaga Kebudayaan, dan Pranata Kebudayaan. Adapun peningkatan mutu SDM Kebudayaan, Lembaga Kebudayaan, dan Pranata Kebudayaan dilaksanakan dengan cara peningkatan pendidikan dan pelatihan di bidang kebudayaan, standardisasi dan sertifikasi SDM kebudayaan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan, dan/atau peningkatan kapasitas tata kelola lembaga kebudayaan dan pranata kebudayaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 yang berbunyi:
”(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus melakukan Pembinaan Pemajuan Kebudayaan.
(2) Pembianaan dilakukan untuk meningkatkan jumlah dan mutu Sumber Daya Manusia Kebudayaan, lembaga Kebudayaan, dan pranata Kebudayaan.
(3) Peningkatan mutu Sumber Daya Manusia Kebudayaan, lembaga Kebudayaan, dan pranata Kebudayaan dilakukan melalui:
a. peningkatan pendidikan dan pelatihan di bidang Kebudayaan.
b. standarisasi dan sertifikasi Sumber Daya Manusia Kebudayaan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan; dan/atau
c. peningkatan kapasitas tata kelola lembaga Kebudayaan dan pranata Kebudayaan.”
Dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan, setiap orang mempunyai hak dan kewajiban. Hak sebagaimana dimaksud yaitu berekspresi, mendapatkan pelindungan atas hasil ekspresi budayanya, berpartisipasi dalam Pemajuan Kebudayaan, mendapatkan akses informasi mengenai Kebudayaan, memanfaatkan sarana dan prasarana Kebudayaan, dan memperoleh manfaat dari Pemajuan Kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan (Pasal 41). Sedangkan kewajiban setiap orang dalam rangka pemajuan kebudayaan yaitu mendukung upaya Pemajuan Kebudayaan, memelihara kebinekaan, mendorong lahirnya interaksi antarbudaya, mempromosikan Kebudayaan Nasional Indonesia, dan memelihara sarana dan prasarana Kebudayaan (Pasal 42).
Tidak hanya kepada perorangan, secara kelembagaan pun mempunyai peran. Pemerintah provinsi telah ditetapkan mempunyai tugas dan kewenangan dalam rangka pemajuan kebudayaan. Tugas Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta dalam pemajuan kebudayaan meliputi (Pasal 44):
(1) menjamin kebebasan berekspresi;
(2) menjamin pelindungan atas ekspresi budaya;
(3) melaksanakan Pemajuan Kebudayaan;
(4) memelihara kebinekaan;
(5) mengelola informasi di bidang Kebudayaan;
(6) menyediakan sarana dan prasarana Kebudayaan;
(7) menyediakan sumber pendanaan untuk Pemajuan Kebudayaan;
(8) membentuk mekanisme pelibatan masyarakat dalam Pemajuan Kebudayaan;
(9) mendorong peran aktif dan inisiatif masyarakat dalam Pemajuan Kebudayaan; dan
(10) menghidupkan dan menjaga ekosistem Kebudayaan yang berkelanjutan.
Sedangkan kewenangan Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka pemajuan kebudayaan sesuai wilayah administratifnya meliputi (Pasal 46):
(1) merumuskan dan menetapkan kebijakan Pemajuan Kebudayaan;
(2) merencanakan, menyelenggarakan, dan mengawasi Pemajuan Kebudayaan;
(3) merumuskan dan menetapkan mekanisme pelibatan masyarakat dalam Pemajuan Kebudayaan; dan
(4) merumuskan dan menetapkan mekanisme pendanaan dalam Pemajuan Kebudayaan.
Kemudian untuk mendukung pelaksanaan pemajuan kebudayaan juga telah diatur mekanisme pendanaan. Adapun yang menjadi pertimbangan dalam pendanaan pemajuan kebudayaan adalah investasi (Pasal 47). Pendanaan kegiatan dalam rangka rangka pemajuan kebudayaan berasal dari 4 (empat) sumber yakni (Pasal 48 ayat (2)):
(1) APBN;
(2) APBD;
(3) Masyarakat; dan/atau
(4) Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di sisi lain, agar upaya pemajuan kebudayaan dapat berkelanjutan maka Pemerintah Pusat membentuk dana perwalian kebudayaan. Pembentukan dana perwalian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 49).
Terhadap orang perorangan yang berkontribusi luar biasa dalam pemajuan kebudayaan diberikan penghargaan yang sepadan (Pasal 50 ayat (1)). Selain penghargaan, setiap orang yang berjasa dan berkontribusi luar biasa dalam pemajuan kebudayaan juga dapat diberikan fasilitas untuk mengembangkan karyanya (Pasal 51). Kemudian dapat juga diberikan insentif dengan mekanisme pemberian yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Insetif sebagaimana dimaksud dapat berupa pengurangan dan/atau pembebasan pajak, pengurangan dan/atau pembebasan pungutan lain, serta pembebasan bea impor/ekspor sementara (Pasal 52).
Selain hak dan pemberian penghargaan, orang perorangan juga dilarang melakukan berbagai hal yang dapat menghambat upaya pemajuan kebudayaan. Bahwa setiap orang dilarang secara melawan hukum menghancurkan, merusak, menghilangkan, atau mengakibatkan tidak dapat dipakainya sarana dan prasarana pemajuan kebudayaan (Pasal 53). Apabila terdapat pihak yang melakukan larangan tersebut maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Pasal 55). Selain itu, setiap orang juga dilarang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan sistem pendataan kebudayaan terpadu tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Pasal 54). Apabila terdapat pihak yang melakukan larangan tersebut maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Pasal 56). Korporasi juga dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (2) berupa:
(1) pencabutan izin usaha;
(2) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
(3) pencabutan status badan hukum;
(4) pemecatan pengurus; dan/atau
(5) pelarangan kepada pengurus mendirikan korporasi untuk bidang usaha yang sama.
G. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 mengatur bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dibebankan ke anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf a yang berbunyi: “penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD.” Berdasarkan pengaturan tersebut maka berbagai kebijakan,
program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka pemajuan kebudayaan Betawi didanai dari APBD. Adapun kebijakan, program dan kegiatan yang dilaksanakan antara lain:
a. penggunaan ornamen yang menunjukkan ciri kebudayaan Betawi
b. pengadaan pakaian seragam bercirikan kebudayaan Betawi bagi aparatur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada hari tertentu
c. penyelenggaraan festival kebudayaan Betawi pada tingkat kecamatan, kota/kabupaten dan provinsi minimal 3 (tiga) bulan sekali
d. pemberian bantuan dana pembinaan/pelatihan rutin kepada lembaga/kelompok/sanggar yang melakukan Pemajuan Kebudayaan Betawi
e. pemberian hibah/bantuan dana kepada Majelis Kaum Betawi.
H. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Dalam rangka menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan secara efektif dan efisien maka perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan, termasuk didalamnya adalah pemajuan kebudayaan Betawi. Kegiatan pembinaan dimaksudkan untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan pemerintahan sedangkan kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 1).
Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan kepada daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Pembinaan sebagaimana dimaksud dapat berupa fasilitasi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan, serta
penelitian dan pengembangan, sebagaimana bunyi Pasal 3 ayat (8) yakni:
“(8) Pembinaan umum dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) dilakukan dalam bentuk fasilitasi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan.”
Selain dalam bentuk fasilitasi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, Pembinaan juga dapat berupa pemberian penghargaan dan fasilitasi khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 30 yang berbunyi:
“Selain bentuk pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (8), pembinaan juga dapat berupa pemberian penghargaan dan fasilitasi khusus.”
Gubernur Provinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan pemajuan kebudayaan Betawi dibantu oleh perangkat gubernur (Dinas Kebudayaan) (Pasal 3 ayat (4) dan Pasal 10 ayat (6)).
Pendanaan dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan pemajuan kebudayaan Betawi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dibebankan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) karena hal tersebut termasuk kedalam tugas dan kewenangan pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 yang berbunyi:
“Pendanaan Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat bersumber dari anggaran dan pendapatan belanja negara dan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah bersumber dari anggaran dan pendapatan belanja daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
I. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021 merupakan mandat dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (4), Pasal 15 ayat (7), Pasal 18 ayat (3), Pasal 21, Pasal 23,
Pasal 25, Pasal 27, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33 ayat (2), Pasal 34
ayat (3), Pasal 36 ayat (2), Pasal 40, Pasal 50 ayat (2), Pasal 51 ayat
(3), dan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2Ol7 tentang Pemajuan Kebudayaan. Secara umum Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021 mengatur 7 (tujuh) hal yaitu:
(1) Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan;
(2) Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu;
(3) Pelindungan;
(4) Pengembangan;
(5) Pemanfaatan;
(6) Pembinaan; dan
(7) Penghargaan.
Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan merupakan pedoman bagi Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pemajuan Kebudayaan (Pasal 1). Adapun isi dari Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan yakni visi dan misi pemajuan kebudayaan, tujuan dan sasaran, perencanaan, pembagian wewenang, dan alat ukur capaian yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Pasal 4). Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan sebagai dimaksud disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau setiap 5 (lima) tahun (Pasal 6).
Pembentukan Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu bertujuan untuk (Pasal 8):
(1) Mendukung pelaksanaan pemajuan kebudayaan;
(2) Menciptakan sistem data kebudayaan yang akurat, efektif, efisien, dan mudah diakses untuk digunakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, dan/atau setiap orang; dan
(3) Mewujudkan basis data tunggal yang representatif dan terintegrasi.
Adapun data yang terkandung dalam Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu berupa:
(1) Objek pemajuan kebudayaan;
(2) Sumber daya manusia kebudayaan, lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan;
(3) Sarana dan prasarana kebudayaan; dan
(4) Data lain terkait kebudayaan.
Setiap orang harus dapat mengakses Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu. Akan tetapi penyediaan informasi yang dapat diakses oleh setiap orang tersebut harus mempertimbangkan aspek kedaulatan, keamanan dan ketahanan nasional (Pasal 16).
Kegiatan pelindungan pemajuan kebudayaan dilakukan melalui inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, dan publikasi. Sedangkan kegiatan pengembangan dilaksanakan dengan cara penyebarluasan, pengkajian dan pengayaan keberagaman (Pasal 67). Penyebarluasan dalam rangka pengembangan objek pemajuan kebudayaan dilaksanakan melalui diseminasi dan pemberdayaan masyarakat Indonesia di luar negeri (Pasal 68). Pengkajian dalam rangka pengembangan objek pemajuan kebudayaan dilaksanakan melalui penelitian ilmiah dan pengkajian tradisional (Pasal 72). Pengayaan keberagaman dalam rangka pengembangan objek pemajuan kebudayaan dilaksanakan melalui penggabungan budaya, penyesuaian budaya sesuai konteks ruang dan waktu, menciptakan kreasi baru atau kreasi hasil dari pengembangan budaya sebelumnya, dan/atau penyerapan budaya
asing yang menjadi bagian budaya Indonesia selama tidak menghilangkan identitas kebudayaan nasional Indonesia (Pasal 73).
Pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan dilaksanakan oleh Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah terhadap objek yang telah diinventarisasi dalam Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu (Pasal 75). Pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan dilaksanakan dalam rangka membangun karakter bangsa, meningkatkan ketahanan budaya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan peran aktif dan pengaruh Indonesia dalam hubungan internasional (Pasal 76). Adapun aktivitas yang dilakukan untuk membangun karakter bangsa dan meningkatkan ketahanan budaya yaitu internalisasi nilai budaya, inovasi, peningkatan adaptasi menghadapi perubahan, komunikasi lintas budaya, dan/atau kolaborasi antarbudaya (Pasal 77). Kemudian aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan adalah pengolahan objek pemajuan kebudayaan menjadi sebuah produk. Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah wajib memfasilitasi pengolahan objek pemajuan kebudayaan menjadi produk. Adapun fasilitasi sebagaimana dimaksud berupa:
(1) pencatatan ciptaan atau pendaftaran paten, merek, desain industri, dan/atau indikasi geografis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) dukungan penelitian dan pengembangan objek pemajuan kebudayaan menjadi produk;
(3) akses permodalan bagi pengembangan objek pemajuan kebudayaan menjadi produk;
(4) kebijakan insentif yang mendorong masyarakat untuk mengembangkan objek pemajuan kebudayaan menjadi produk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
(5) bimbingan teknis atau pelatihan; dan/atau
(6) bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembinaan pemajuan kebudayaan dilakukan oleh Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah kepada sumber daya manusia kebudayaan, lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan (Pasal 84 dan Pasal 85). Kegiatan pembinaan dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan mutu sumber daya manusia kebudayaan, lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan. Peningkatan mutu sebagaimana dimaksud dilaksanakan melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan di bidang kebudayaan, standardisasi dan sertifikasi sumber daya manusia kebudayaan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan; dan/atau peningkatan kapasitas tata kelola lembaga kebudayaan dan pranata kebudayaan (Pasal 86).
Penghargaan dapat diberikan kepada pihak-pihak yang berprestasi atau berkontribusi luar biasa dalam pemajuan kebudayaan. Adapun kriteria untuk menentukan pihak yang berprestasi atau berkontribusi luar biasa dalam pemajuan kebudayaan yakni (Pasal 92):
(1) menunjukkan dedikasi dalam Pelindungan, Pengembangan, dan/atau Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan;
(2) melahirkan gagasan atau pemikiran yang berpengaruh dalam Pemajuan Kebudayaan; dan/atau
(3) menghasilkan karya yang berpengaruh di tingkat daerah, nasional, dan/atau internasional.
Selain diberikan penghargaan, pihak yang berprestasi atau berkontribusi luar biasa dapat diberikan fasilitas berupa bantuan pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun kriteria untuk memperoleh fasilitas tersebut yakni (Pasal 94):
(1) berkiprah dalam Pemajuan Kebudayaan paling singkat 15 (lima belas) tahun;
(2) memiliki peran penting dalam melindungi, mengembangkan, dan/atau memanfaatkan Objek Pemajuan Kebudayaan; dan/atau
(3) memiliki karya yang berpengaruh di tingkat daerah, nasional, dan/atau internasional.
Pemerintah daerah juga dapat memberikan insentif kepada setiap orang yang berkontribusi dalam pemajuan kebudayaan. Insentif sebagaimana dimaksud dapat berupa pengurangan atau pembebasan pajak daerah, dan/atau pengurangan atau pembebasan pungutan lain (Pasal 96). Adapun tata cara pemberian insentif dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan bidang perpajakan, kepabeanan, cukai, penerimaan negara bukan pajak, dan retribusi daerah (Pasal 98).
J. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi
Dalam rangka menjamin terpeliharanya kebudayaan Betawi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015. Berbagai materi muatan yang diatur mencakup: tujuan dan prinsip pelestarian kebudayaan Betawi, tugas dan wewenang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka melestarikan kebudayaan Betawi, hak dan kewajiban masyarakat dalam rangka melestarikan kebudayaan Betawi, unsur penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi, pengembangan dan penyediaan data dan informasi dalam rangka melestarikan kebudayaan Betawi, pembinaan, pemantauan, dan evaluasi atas penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi, pembiayaan, penyelesaian perselisihan, dan sanksi administrasi bagi setiap
orang atau badan hukum yang melanggar penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi.
Tujuan dari kegiatan pelestarian kebudayaan Betawi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 adalah untuk:
1) melindungi, mengamankan, dan melestarikan budaya Betawi;
2) memelihara dan mengembangkan nilai-nilai tradisi Betawi yang merupakan jati diri dan sebagai perlambang kebanggaan masyarakat Betawi dalam masyarakat yang multikultural;
3) meningkatkan pemahaman kesadaran masyarakat terhadap kebudayaan Betawi;
4) meningkatkan kepedulian, kesadaran, dan aspirasi masyarakat terhadap peninggalan budaya Betawi;
5) membangkitkan semangat cinta tanah air, nasionalisme, dan patriotis;
6) membangkitkan motivasi, memperkaya inspirasi, dan memperluas khasanah bagi masyarakat dalam berkarya dalam bidang kebudayaan; dan
7) mengembangkan kebudayaan Betawi untuk memperkuat jati diri.
Kegiatan pelestarian kebudayaan Betawi didasarkan atas 5 (lima) prinsip sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3, yaitu:
(1) keterbukaan;
(2) akuntabilitas;
(3) kepastian hukum;
(4) keberpihakan; dan
(5) keberlanjutan.
Upaya untuk melestarikan kebudayaan Betawi dilaksanakan melalui pendidikan, perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, pemeliharaan, serta pembinaan, pemantauan dan evaluasi (Pasal 9). Kegiatan melestarikan kebudayaan Betawi dilaksanakan melalui unsur kesenian, kepurbakalaan, permuseuman, kesejarahan, kebahasanaan dan kesusastraan, adat istiadat, kepustakaan dan kenaskahan, perfilman, pakaian adat, kuliner, ornamen, dan cinderamata (Pasal 10).
Kegiatan melestarikan kebudayaan Betawi pada unsur kesenian bertujuan untuk (Pasal 11):
(1) meningkatkan kesinambungan usaha pengelolaan, penelitian, peningkatan mutu, penyebarluasan kesenian, peningkatan daya cipta dan daya penampilan, serta peningkatan apresiasi kesenian Betawi;
(2) meningkatkan kreativitas dan produktivitas seniman untuk berkarya bagi kesenian Betawi; dan
(3) meningkatkan sikap positif masyarakat terhadap kesenian Betawi melalui pendidikan dan apresiasi seni di sekolah dan di luar sekolah.
Untuk mewujudkan tujuan pelestarian kebudayaan Betawi pada unsur kesenian tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama masyarakat mempunyai kewajiban yaitu:
(1) mewujudkan iklim kesenian tradisional Betawi dan kontemporer yang sehat, bebas, dan dinamis;
(2) meningkatkan kesejahteraan dan terlindunginya hak cipta dan hak kekayaan dan intelektual seniman Betawi;
(3) menata lembaga kesenian yang kreatif, responsif, proaktif dan dinamis terhadap kebutuhan dan pertumbuhan kesenian Betawi;
(4) meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian Betawi;
(5) meningkatkan profesionalisme penyelenggaraan kesenian Betawi;
(6) mendorong dan memfasilitasi perkumpulan seni dan organisasi atau lembaga kemasyarakatan dalam pelestarian kesenian Betawi;
(7) mengembangkan sistem pemberian penghargaan;
(8) memanfaatkan ruang publik, hotel, tempat perbelanjaan, kantor pemerintahan, gedung kesenian, gedung sekolah dan media massa sebagai upaya pelestarian kesenian Betawi;
(9) mendorong tumbuhnya industri alat kesenian Betawi;
(10) merefieksi dan mengevaluasi kegiatan penyelenggaraan pelestarian kesenian Betawi; dan
(11) membina dan memfasilitasi perkumpulan atau paguyuban kesenian Betawi.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melaksanakan pengembangan program dan kegiatan pelestarian kesenian Betawi dengan melibatkan masyarakat, seniman, para ahli, dan pihak lain yang berkepentingan (Pasal 13).
Kegiatan melestarikan kebudayaan Betawi pada unsur kepurbakalaan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan/atau masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 18, dilaksanakan melalui kegiatan:
(1) pendataan, pencatatan, dan pendokumentasian terhadap tinggalan budaya Betawi yang tersebar di daerah dan/atau di luar daerah dan/atau yang telah dikuasai masyarakat;
(2) penyelamatan penemuan tinggalan budaya Betawi yang berada di atas dan masih terpendam/terkubur di dalam tanah;
(3) pengkajian ulang penemuan tinggalan budaya Betawi;
(4) pengaturan pemanfaatan kepurbakalaan bagi kepentingan sosial, pendidikan, pariwisata; dan
(5) mensosialisasikan penemuan tinggalan budaya Betawi kepada masyarakat secara berkala.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan sosialisasi kepurbakalaan yang melibatkan masyarakat, para ahli, atau pihak lain yang berkepentingan sesuai dengan standar teknis arkeologi secara terarah, sistematis, dan luas (Pasal 19).
Kegiatan melestarikan kebudayaan Betawi pada unsur permuseuman dilaksanakan melalui kegiatan pengumpulan, pengkajian, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda dan situs bernilai budaya dan ilmu pengetahuan sejarah dan lingkungan. Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib mempunyai museum Betawi (Pasal 23). Benda yang menjadi koleksi museum harus memenuhi kriteria yaitu (Pasal 24 ayat (1):
(1) memiliki nilai budaya, sejarah dan ilmiah;
(2) memiliki identitas menurut bentuk dan wujudnya, tipe dan gayanya, fungsi dan asalnya secara historis, geografis, genus dalam orde biologi atau periodisasi dalam geologi; dan
(3) dapat menjadi monumen dalam sejarah dan budaya Betawi.
Museum Betawi sebagaimana dimaksud dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, rekreasi atau pariwisata, sepanjang tidak mengakibatkan kerusakan koleksi museum (Pasal 25 ayat (1).
Kegiatan melestarikan kebudayaan Betawi pada unsur kesejarahan dilaksanakan melalui kegiatan (Pasal 27 ayat (1)):
(1) pemeliharaan, perlindungan dan pengkajian sumber sejarah sebagai bahan penulisan sejarah Betawi;
(2) penelitian dan penulisan sejarah daerah secara obyektif dan ilmiah serta ilmiah populer, dan sastra sejarah Betawi;
(3) pemilahan dan pemeliharaan hasil penulisan sejarah Betawi; dan
(4) pemanfaatan hasil penulisan sejarah Betawi harus disosialisasikan melalui pendidikan dasar dan menengah, media massa penerbitan berkala dan sarana publikasi lain yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Dalam pelestarian kebudayaan Betawi pada unsur kesejarahan, pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib memfasilitasi penulisan kesejarahan Betawi yang dilaksanakan masyarakat (Pasal 27 ayat (2)).
Kegiatan melestarikan kebudayaan Betawi pada unsur nilai tradisi dan adat istiadat dilaksanakan melalui kegiatan (Pasal 28 ayat (2)):
(1) pengkajian, pemeliharaan dan pengembangan nilai tradisi dan adat istiadat Betawi yang dipedomani oleh masyarakat dalam berperilaku dan bertindak, yang meliputi aspek ungkapan, peribahasa, upacara, cerita
dan permainan rakyat, naskah kuno, pengetahuan, sistem kemasyarakatan, masyarakat kampung budaya Betawi, dan nilai tradisi lainnya yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Betawi;
(2) pemilahan dan pemeliharaan terhadap nilai tradisi dan adat istiadat yang disesuaikan dengan perkembangan zaman;
(3) perlindungan terhadap masyarakat yang menggunakan dan mengembangkan nilai tradisi serta adat istiadat dalam kehidupannya; dan
(4) mensosialisasikan hasil kajian nilai tradisi Betawi kepada masyarakat luas.
Dalam pelaksanaan kegiatan melestarikan kebudayaan Betawi pada unsur nilai tradisi dan adat istiadat di atas, harus memperhatikan berbagai hal yakni (Pasal 28 ayat (3)):
(1) nilai agama;
(2) tradisi, nilai, norma, etika, dan hukum adat;
(3) sifat kerahasiaan dan kesucian unsur-unsur budaya tertentu yang dipertahankan oleh masyarakat;
(4) kepentingan umum, kepentingan komunitas, dan kepentingan kelompok dalam masyarakat;
(5) jati diri daerah dan bangsa;
(6) kemanfaatan bagi masyarakat; dan
(7) peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Bersama tokoh masyarakat menetapkan jenis pakaian adat Betawi. Penggunaan pakaian adat Betawi dilaksanakan pada (Pasal 30):
(1) peringatan Ulang Tahun Kota Jakarta;
(2) lebaran Betawi; dan
(3) hari kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam satu minggu bagi Aparatur Pemerintah Daerah.
Sedangkan untuk ornamen ciri khas budaya Betawi dilaksanakan melalui (Pasal 31 ayat (1)):
(1) pemakaian ornamen khas budaya Betawi pada bangunan publik, gedung yang sudah ada/berdiri dan yang akan dibangun milik Pemerintahan Daerah; dan
(2) menempatkan ornamen khas Budaya Betawi pada bagian dinding gapura dan/atau tugu yang berfungsi sebagai batas wilayah kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten administrasi, dan daerah.
Selain itu, bagi Pengelola dan/atau penyelenggara tempat hiburan, hotel, restoran, dan biro perjalanan wajib menyediakan, souvenir/cinderamata Betawi kepada pengunjung. Kemudian para pengelola hotel pada minggu keempat setiap bulan, Hari Ulang Tahun Jakarta dan Lebaran Betawi wajib menampilkan kesenian Betawi, serta menghidangkan makanan khas Betawi pada Hari Ulang Tahun Jakarta dan Lebaran Betawi (Pasal 34).
Dalam pelaksanaan kegiatan melestarikan kebudayaan Betawi pada unsur perfilman, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib memfasilitasi pembuatan film dokumenter mengenai warisan budaya Betawi (Pasal 37 ayat (1)). Untuk menggerakkan pembuatan film dokumenter tersebut, Gubernur dapat memberikan insentif keringanan pajak dan retribusi untuk pembuatan film dokumenter (Pasal 38).
Untuk menyediakan data dan informasi kebudayaan Betawi yang komprehensif dan terintegrasi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun sistem informasi yang sekurang-kurangnya memuat (Pasal 40 ayat (1)):
(1) Jenis kesenian Betawi;
(2) Kesejarahan Betawi;
(3) Permuseuman Betawi;
(4) Kebahasaan dan kesusastraan Betawi;
(5) Nilai tradisi dan adar istiadat Betawi;
(6) Kepustakaan dan kenaskahan Betawi;
(7) Perfilman Betawi;
(8) Pakaian adat Betawi;
(9) Kuliner khas Betawi;
(10) Arsitektur Betawi; dan
(11) Data dan informasi lain yang diperlukan dalam pelestarian kebudayaan Betawi.
Selain itu, Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta juga bertugas melaksanakan pembinaan. Kegiatan pembinaan dilaksanakan melalui (Pasal 42 ayat (2)):
(1) Sosialisasi;
(2) Bimbingan teknis, supervisi, dan konsultasi;
(3) Pendidikan dan pelatihan;
(4) Penelitian dan pengembangan;
(5) Pengembangan sistem informasi dan komunikasi;
(6) Penyebarluasan informasi kepada masyarakat; dan
(7) Pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.
Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta juga melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala (Pasal 44). Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam rangka memonitor perkembangan upaya pelestarian kebudayaan Betawi.
Pembiayaan dalam rangka pelestarian kebudayaan Betawi dapat diperoleh dari berbagai sumber. Apabila kegiatan pelestarian kebudayaan Betawi dilaksanakan oleh Pemerintah daerah maka bersumber dari APBD (Pasal 45). Sedangkan kegiatan pelestarian kebudayaan Betawi yang dilaksanakan oleh masyarakat bersumber dari masyarakat, maupun bantuan dari Pemerintah provinsi DKI Jakarta (Pasal 46).
Apabila dalam pelaksanaan kegiatan pelestarian kebudayaan Betawi terjadi perselisihan maka terdapat 3 (tiga) cara
untuk menyelesaikan yaitu musyawarah antar pihak, fasilitasi oleh Gubernur, dan proses hukum. Perselisihan yang terjadi antar perorangan, antar organisasi kemasyarakatan maupun forum komunikasi masyarakat kebudayaan diselesaikan secara musyawarah para pihak dengan melakukan mediasi dan rekonsiliasi. Apabila musyawarah tersebut tidak menyelesaikan perselisihan maka Gubernur Provinsi DKI Jakarta dapat memfasilitasi penyelesaian perselisihan yang terjadi antar pihak tersebut. Jika perselisihan belum juga terselesaikan maka mekanisme penyelesaian dapat dilakukan melalui proses hukum (Pasal 47).
Bagi Pihak yang melanggar upaya melestarikan kebudayaan Betawi maka dapat dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, dan penundaan pemberian layanan publik (Pasal 48). Diharapkan dengan adanya sanksi administratif yang akan dikenakan kepada Pihak yang melanggar maka upaya melestarikan kebudayaan Betawi dapat dilaksanakan secara lancar dan didukung seluruh pihak.
Dalam perkembangannya, Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum dan dinamika masyarakat. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 lebih mengutamakan aspek inventarisasi, pemeliharaan, dan pengamanan dibanding aspek pemajuan kebudayaan Betawi. Hal ini tidak terlepas dari landasan hukum yang digunakan saat itu yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2010, berbagai cagar budaya yang berkaitan dengan kebudayaan Betawi baik itu dalam bentuk benda, bangunan, struktur, situs dan kawasan harus dilindungi dan dikelola oleh Pemerintah daerah agar produk/ikon kebudayaan Betawi tetap terpelihara dan dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengetahuan kebudayaan. Dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 kebudayaan dilihat sebagai cultural property yang lebih difokuskan pada material cultural heritage baik sebagai benda bergerak maupun tidak bergerak. Padahal kebudayaan juga seyogyanya mencakup warisan budaya yang tidak nyata atau intangible cultural heritage.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, kebudayaan tidak hanya dipelihara dan digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan tetapi kebudayaan harus dimanfaatkan sebagai identitas bangsa dan investasi membangun masa depan dan peradaban bangsa. Kebudayaan sebagai instrumen untuk menguatkan ideologi, politik, keamanan, sosial, ekonomi, dan kesejahteraan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 juga mengamanatkan dilaksanakannya pembinaan SDM Kebudayaan,
Lembaga Kebudayaan, dan Paranata Kebudayaan serta memperluas peran aktif dan inisiatif masyarakat. Berbagai pengaturan tersebut belum diatur dan perlu ada perbaikan pengaturan dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015.
Dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015, Lembaga Kebudayaan/Kultural Masyarakat Betawi belum diatur. Sesuai mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 bahwa Lembaga Kebudayaan harus dipetakan, diinventarisir, dilibatkan dan dilakukan pembinaan sebagai upaya peningkatan kapasitas tata kelola kelembagaan yang lebih bermutu. Sehingga dalam revisi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 akan diatur mengenai pembentukan, kedudukan, keanggotaan, kelembagaan, tugas, dan wewenang Lembaga Kebudayaan/Kultural Masyarakat Betawi. Selain itu, akan diatur pula bagaimana hubungan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Lembaga Kebudayaan/Kultural Masyarakat Betawi dalam rangka pemajuan kebudayaan Betawi, baik itu dalam rangka penetapan jenis dan bentuk kebudayaan Betawi, penyusunan program dan kegiatan dalam rangka pemjauan kebudayaan Betawi, serta mekanisme pemberian masukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka pemajuan kebudayaan Betawi.
Untuk mengefektifkan kebijakan pemajuan kebudayaan Betawi, dalam revisi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 juga akan memperluas pemberian insentif dan pemberian sanksi yang lebih berat bagi yang melanggar. Dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015, pemberian insentif berupa keringanan pajak dan retribusi daerah hanya diberikan untuk objek film dokumenter budaya Betawi tetapi dalam pengaturan baru pemberian insentif diberikan terhadap seluruh objek pemajuan kebudayaan Betawi. Sanksi yang diberikan bagi yang melanggar kewajiban juga diperberat, tidak hanya berupa teguran tertulis dan penundaan layanan publik tetapi juga dijatuhi hukuman denda, pencabutan izin sementara, bahkan pencabutan izin penghentian kegiatan usaha secara tetap. Diharapkan dengan adanya kebijakan ini maka upaya pemajuan kebudayaan Betawi dalam dilaksanakan secara efektif dan efisien.
K. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 229 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaan Betawi
Penetapan Peraturan Gubernur Nomor 229 Tahun 2016 adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (4), Pasal 6 ayat (2), Pasal 17, Pasal 22, Pasal 26, Pasal 27 ayat (3), Pasal 31 ayat (2),
Pasal 36, Pasal 39 dan Pasal 41 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015. Sebagai peraturan pelaksanaan maka Peraturan Gubernur Nomor 229 Tahun 2016 memuat tindak lanjut secara detail pelaksanaan yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4
Tahun 2015, terutama menyangkut unsur pelestarian kebudayaan Betawi.
Dalam Peraturan Gubernur Nomor 229 Tahun 2016 telah diatur mengenai teknis penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi pada 12 (dua belas) unsur kebudayaan yakni kesenian, kepurbakalaan, permuseuman, kesejarahan, kebahasaan dan kesusastraan, nilai tradisi dan adat istiadat, pakaian Betawi, kepustakaan dan kenaskahan, ornamen/arsitektur, souvenir/cinderamata, kuliner, dan perfilman (Pasal 3). Pelaksanaan kegiatan kedua belas unsur kebudayaan sebagaimana dimaksud sama dengan yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor
4 Tahun 2015 hanya saja diatur lebih detail. Misalnya dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 diatur bahwa dalam rangka meningkatkan apresiasi kegiatan kesenian Betawi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan/atau masyarakat melaksanakan lomba kesenian Betawi, pagelaran kesenian Betawi, pemberian penghargaan, pemberian jaminan sosial dan kegiatan lain. Kegiatan lain sebagaimana dimaksud kemudian dirincikan dalam Peraturan Gubernur Nomor 229 Tahun 2016 yakni pendidikan, keterampilan, festival, perlindungan hak cipta, serta pendataan, pencatatan dan pendokumentasian (Pasal 4). Kemudian kegiatan perlombaan dalam unsur kesenian juga dirincikan yang meliputi: tunggal/solo, kelompok/grup, festival kreativitas seni tari, festival music, festival palang pintu, lomba seni Lukis, dan/atau lomba cipta lagu (Pasal 9 ayat (3)). Contoh lainnya adalah terkait dengan penghargaan, jika dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 hanya menyebut penghargaan secara umum, tetapi dalam Peraturan Gubernur Nomor 229 Tahun 2016 sudah dirincikan. Bahwa penghargaan yang diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta berupa tanda kehormatan. Adapun jenis tanda kehormatan sebagaimana dimaksud terdiri atas (Pasal 12 ayat (2)):
(1) Tingkat utama, berupa gelar pahlawan daerah, dan piagam penghargaan.
(2) Tingkat madya, berupa bintang daerah, dan piagam penghargaan.
(3) Tingkat pratama, berupa Satyalencana Daerah.
Kemudian dalam Peraturan Gubernur Nomor 229 Tahun 2016 juga diatur terkait dengan kerja sama dalam penyelenggaraan kegiatan pelestarian kebudayaan Betawi. Kepala Dinas dan Kepala SKPD terkait dalam penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi dapat bekerja sama dengan perorangan, komunitas dan/atau perguruan tinggi. Kerja sama dalam penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi sebagaimana dimaksud, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan (Pasal 68). Selain itu, diatur juga tentang Duta Kebudayaan Betawi. Bahwa dalam rangka pelestarian kebudayaan Betawi, Kepala Dinas menyelenggarakan pemilihan Abang dan None
Jakarta sebagai duta kebudayaan Betawi. Pemilihan Abang dan None Jakarta sebagai duta kebudayaan Betawi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 72). Cara pelaksanaan pembinaan pun lebih rinci yakni dalam bentuk koordinasi, pemberian standar, bimbingan teknis, supervisi dan konsultasi, penelitian dan pengembangan, penyebaran informasi, dan pengembangan kesadaran masyarakat dan tanggung jawab pelaku usaha (Pasal 73 ayat (1). Kemudian teknis dan tahapan pemberian sanksi administratif juga diatur secara detail (Pasal 76 sampai Pasal 81).
L. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi
Dalam Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2017 telah ditetapkan 8 (delapan) ikon budaya Betawi yang mempunyai bentuk, filosofi, fungsi, penggunaan dan penempatan. Penetapan ikon budaya Betawi tersebut dimaksudkan sebagai upaya pelestarian melalui pengenalan ciri khas masyarakat Betawi dan jati diri Provinsi DKI Jakarta sebagai daya tarik wisata (Pasal 2)). Tujuan ditetapkannya ikon budaya Betawi adalah untuk meningkatkan rasa ikut memiliki dan menanamkan kebanggaan terhadap budaya Betawi secara aktif dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah; dan sebagai sarana promosi kepariwisataan dan mendorong perkembangan industri kreatif berbasis budaya (Pasal 3).
Rincian 8 (delapan) ikon Budaya Betawi tersebut meliputi (Pasal 1 ayat (2)):
1) Ondel-Ondel, dimaknai sebagai lambang kekuatan dalam rangka terpeliharanya keamanan, ketertiban, tegas, berani, dan jujur.
2) Kembang Kelapa (Manggar), dimaknai sebagai lambang kesejahteraan/kemakmuran, kemanfaatan dalam berkehidupan, keterbukaan sosial, dan simbol multikutur yang hidup dan berkembang di Provinsi DKI Jakarta;
3) Ornamen Xxxx Xxxxxx, dimaknai sebagai lambang kegagahan, kewibawaan dan kokoh;
4) Baju Sadariah (Sadarie), dimaknai sebagai lambang lelaki yang sopan, rendah hati, berwibawa, dan dinamis;
5) Kebaya Kerancang, dimaknai sebagai lambang kecantikan, keindahan, keceriaan, kedewasaan, dan pergaulan yang sesuai dengan aturan dan tuntunan leluhur;
6) Batik Betawi, dimaknai sebagai keseimbangan alam semesta dalam rangka mewujudkan keberkahan dan kesejahteraan
7) Kerak Telor, dimaknai sebagai sisi kehidupan yang
senantiasa mengalami perubahan lingkungan yang alamiah sehingga perlu harmonisasi dalam pergaulan; dan
8) Bir Pletok, dimaknai sebagai penopang kehidupan yang sehat lahir dan bathin, kemudian sebagai perlambang konsistensi dan tidak mudah menyerah dalam menjalani kehidupan.
Berbagai ikon budaya Betawi tersebut dapat disesuaikan dengan perkembangan kebudayaan Betawi yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN XXXXXXX
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis esensinya dapat ditemukan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menentukan “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara”. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar tujuan negara sebagaimana tertuang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dapat diwujudkan. Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta mengenai pemajuan kebudayaan adalah salah satu wujud dari upaya mencapai tujuan tersebut.
Hubungannya dengan kebudayaan, xxx Xxxxxxx (1989) dalam bukunya Strategi kebudayaan mengatakan bahwa manusia modern hendaklah disadarkan tentang kebudayaan. Hal bermakna bahwa melek akan kebudayaan adalah tugas manusia modern dan oleh sebab itu manusia perlu secara aktif memikirkan dan merencanakan arah yang akan ditempuh oleh kebudayaan. Lebih lanjut, xxx Xxxxxxx mengatakan bahwa “…kini kebudayaan dipandang sebagai suatu yang lebih dinamis, bukan statis atau kaku”. Hal ini relevan mengingat kata kebudayaan pada awalnya diartikan sebagai sebuah kata benda yang dimaknai sebuah koleksi barang-barang, kesenian, buku, alat, dan lain-lain. Saat ini, kebudayaan selalu dikaitkan dengan aktivitas manusia (hasil cipta, rasa, dan karsa) tradisi membuat alat-alat, tata cara upacara, tari- tarian, cara mendidik, bahkan hingga model resepsi pernikahan, dan lain-lain.
Salah satu bentuk kebudayaan menurut xxx Xxxxxxx adalah tradisi, dan tradisi dapat dimaknai sebagai pewarisan atau penerusan norma, adat istiadat, kaidah dan harta. Tetapi tradisi tersebut, menurut xxx Xxxxxxx, tidak dapat diubah melainkan justru dipadukan dengan perbuatan manusia. Oleh sebab itu, manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu, apakah menolak, menerima, atau mengubahnya. Dengan dasar pemikiran demikian, kebudayaan selalu berkaitan dengan perubahan- perubahan atau histori bagaimana manusia memberikan wujud atau corak baru terhadap kebudayaan yang sudah ada.
Hubungannya dengan aktivitas manusia, pandangan xxx Xxxxxxx kemudian diperluas oleh Bagus (1988) dalam bukunya Dinamika Kebudayaan sebagai Sistem Komunikasi. Bagus mengatakan bahwa sebaiknya kebudayaan tersebut dipandang sebagai sistem komunikasi dalam arti bahwa kebudayaan dalam
interaksi manusia pada kehidupan masyarakat merupakan media ekspresi melalui berbagai bentuk lambang atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan gagasan dan sebagainya yang mengandung Informasi dan pesan. Aktivitas atau pola ini mengalir sesuai dengan dinamika masyarakat, dan kandungan informasi yang dihasilkan akan terikat dengan ruang dan waktu. Dengan kata lain, makna yang dihasilkan dari kebudayaan akan senada dengan bobot lingkungan yang dihadapinya.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka kebudayaan mutlak membutuhkan manusia untuk tetap eksis. Eksistensi tersebut dapat diwujudkan dengan upaya manusia dalam menggali, melestarikan dan memahami serta melakukan transfer Informasi kepada generasi berikutnya. Oleh sebab itu, kebudayaan dan aktivitas manusia tidak bisa dipisahkan sehingga aktivitas manusia tersebut yang perlu untuk dikelola dalam rangka menjamin kebudayaan agar tetap eksis. Senada dengan hal tersebut, Xxxx mengatakan bahwa ciri khas kebudayaan adalah kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri.
Premis yang diajukan Kant sejalan dengan nilai-nilai masyarakat Betawi yang telah eksis sejak sebelum kemerdekaan, yaitu belajar sendiri. Belajar sendiri adalah sebuah kemampuan didaktik bagaimana masyarakat belajar pada apa yang diwariskan orang tua dan diwariskan tradisi. Pewarisan tersebut, tidak hanya pada benda melainkan pada nilai, norma dan kebiasaan baik. Di titik ini, nilai tersebut juga berbentuk pemajuan kebudayaan Betawi secara utuh dan menyeluruh.
Betawi dan kebudayaan Betawi sudah eksis sejak sebelum masehi hingga saat ini. Sebelum masehi, manusia Betawi telah ada ditandai dengan berbagai situs yang ditemukan dihampir bantaran sungai ciliwung dan beberapa artefak lainnya di Pulau Jawa. Setelah masehi, tepatnya pada tahun 130 masehi, Dewawarman mendirikan kerajaan Salakanagara yang oleh Xxxxxx (2023) disebut sebagai kerajaan tertua di Pulau Jawa. Masa kolonial eropa pada tahun 1981, Xxxxxxx Xxxxxxx, ayah dari X. X. Xxxxxxx, mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi dan memiliki kecabangan Pemoeda Kaoem Betawi. Lebih jauh, Xxxxxx (2023) mengungkapkan bahwa Suku Betawi adalah suku yang ada di Pulau Jawa terutama di kawasan Sunda Kelapa (Jakarta dan sekitarnya), yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu dan memiliki peradaban yang turun temurun”.
Sejak dulu hingga saat ini, menurut Xxxxxx (2023), karakteristik masyarakat Betawi adalah egaliter, inklusif, dan moderat. Karakteristik tersebut yang mengakibatkan kebudayaan Betawi terbuka terhadap nilai-nilai eksternal yang berasal dari suku dan daerah lain. Kondisi ini, di satu sisi akan menjadikan masyarakat Betawi mampu untuk meningkatkan toleransi dan pengetahuan mereka terhadap pelestarian budayanya. Di sisi lain
berpotensi mengaburkan nilai-nilai kebudayaan Betawi apabila tidak dikelola dengan baik.
Kondisi tersebut menuntut perlunya pemajuan kebudayaan Betawi sebagai kebudayaan asli masyarakat Betawi yang tumbuh dan berkembang sejak zaman pra kemerdekaan secara sistematis, terpadu, terarah dan terencana di tengah perkembangan Jakarta sebagai kota global.
B. Landasan Sosiologis
Xxxxxxan sosiologis dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan menekankan pada adanya relasi antara kebijakan yang dibuat dan kenyataan di masyarakat. Dalam hubungan dengan kebudayaan, Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menentukan: (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Berdasarkan amanat tersebut telah dibentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Atas dasar hal tersebut, pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta mempunyai kewajiban untuk melindungi dan memperkuat eksistensi budaya Betawi dengan membentuk Perda Pemajuan Kebudayaan Betawi. Berkenan dengan proses penyusunan Ranperda tentang Pemajuan Kebudayaan Betawi, maka dalam Naskah Akademik dibutuhkan pendekatan kajian sosiologis mengenai kebudayaan Indonesia dan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat Jakarta sendiri sebagai objek kajian.
Indonesia adalah sebuah lanskap yang di atasnya tumbuh beragam entitas kebudayaan. Dalam perspektif sosiologi, bangsa Indonesia terdiri dari berbagai varian kelompok sosial yang hidup berdampingan dan muncul dari berbagai kategori sosial bentukan masyarakat itu sendiri, seperti beragamnya kelompok, golongan, lapisan, hingga jejaring sosial. Asumsi ini sudah cukup jelas memperlihatkan bahwa masyarakat di Indonesia begitu majemuk dan plural.
Ahimsa-Putra (2009) melihat bahwa kekayaan budaya Indonesia yang beragam dapat dimaknai secara positif dan negatif. Menjadi positif bila kekayaan itu dipandang sebagai berkah dan kekuatan bagi bangsa ini, dan menjadi negatif jika kemajemukan itu dianggap potensial memicu konflik atau masalah bagi kesatuan dan keutuhan 43 bangsa Indonesia. Seturut dengan pendapat ini, Xxxxxx, 1993 (dalam Hayat, 2012: 9- 10) menyatakan jika bangsa Indonesia tidak pandai mengelola keanekaragaman agama, etnik, budaya dan lain-lainnya, maka Indonesia akan dapat pecah menjadi negara-negara kecil. Apabila potensi sosio-kultural itu
tidak dikelola dengan baik, besar kemungkinan akan melahirkan pergesekan-pergesekan kultural yang berujung pada ketidakstabilan politik dan integrasi bangsa.
Agar kekayaan dan kemajemukan budaya bangsa dapat memperkokoh NKRI, diperlukan upaya nyata, salah satunya good will pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dan dilanjutkan dengan Peraturan Daerah tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Betawi. Legitimasi ini diperlukan karena kebudayaan Indonesia paling tidak mengandung tujuh potensi sosio-kultural yang telah terbukti menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu keanekaragaman kearifan lokal, keanekaragaman bahasa, keanekaragaman seni, keaneka-ragaman warisan budaya, keanekaragaman religi, keanekaragaman falsafah hidup, dan budaya nasional dan globalisasi. Ketujuh ragam potensi ini telah menjadi saripati yang dimanifestasikan ke dalam ragam suku, etnis, kebiasaan, norma, dan tata nilai.
Kekayaan budaya, baik Indonesia maupun Betawi, haruslah memberikan manfaat yang besar kepada pendukungnya/masyarakatnya. Tujuan ini didasarkan atas pandangan Xxxxxx (1973) yang menyatakan bahwa kebudayaan juga adalah “mekanisme kontrol” bagi kelakuan dan tindakantindakan manusia atau dalam definisi Xxxxxxx dan Xxxxxxx (1971) sebagai “pola-pola bagi kelakuan manusia”. Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada di sekitarnya. Lebih lanjut, Xxxxxx (1973) menyatakan kebudayaan sebagai wujud respon manusia terhadap tantangan yang dihadapinya dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Hal ini dapat terjadi karena kebudayaan melingkupi nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dimiliki oleh setiap manusia.
Berdasarkan uraian di atas, secara fungsional kebudayaan Betawi dapat memperkuat 1) sebagai aset, modal sosial dan investasi masa depan dalam membangun peradaban Betawi dan Indonesia pada umumnya. Atas pandangan ini, kebudayaan Betawi tidak bisa hanya diukur dengan mengkuantifikasinya melalui angka-angka semata, tetapi lebih bersifat esensial karena dijiwai dari akulturasi beberapa budaya lain; 2) sebagai napas dari kelangsungan hidup, darah kepribadian, mentalitas dan nilai-nilai
kebangsaan pada pewaris dan generasi mudanya sehingga akan memberikan semacam platform ke mana budaya Betawi akan diarahkan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, berbagai tradisi dan adat istiadat Budaya Betawi, serta festival/kernaval sangat penting artinya untuk mengembangkan dan memelihara ketahanan masyarakat Betawi dan ketahanan Nasional.
X. Xxxxxxan Yuridis
Pembentukan peraturan daerah tentang Pemajuan Kebudayaan Betawi merupakan implementasi dari perubahan ketentuan perundang-undangan makro. Sebelumnya terdapat Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi yang terbit dengan mengacu pada banyak peraturan perundang-undangan, diantaranya:
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah- Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman;
3. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
5. Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan;
6. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Usaha Perfilman;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum;
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat;
10. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 dan Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan;
11. Peraturan Menteri Kebudayaan dan pariwisata Nomor PM.40/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian benda Cagar Budaya dan Situs;
12. Peraturan Menteri Kebudayaan dan pariwisata Nomor PM.45/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Permuseuman;
13. Peraturan Menteri Kebudayaan dan pariwisata Nomor PM.47/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pemetaan Sejarah;
14. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Kepariwisataan; dan
15. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan.
Beberapa peraturan di atas, menjadi dasar tersusunnya Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, jika disimak secara mendalam merupakan upaya untuk melestarikan kebudayaan agar tidak punah, tidak mudah rusak, tidak hilang, dan tetap terjaga. Dengan demikian tujuan pelestarian tersebut ditujukan kepada jenis kebudayaan berbentuk benda dan seni. Sementara globalisasi dan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) semakin berpotensi mengkaburkan nilai-nilai kebudayaan Betawi. Ancaman eksistensi kebudayaan Betawi dengan perkembangan TIK perlu diantisipasi dengan memajukan kebudayaannya. Hal ini dikarenakan, pada era saat ini, kebudayaan tidak akan bisa eksis tanpa ada upaya peningkatan nilai ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu paradigma pelestarian kebudayaan perlu bergeser menjadi paradigma pemajuan kebudayaan.
Pergeseran paradigma tersebut ternyata diakomodir oleh pemerintah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Istilah pemajuan kebudayaan dilatarbelakangi kesadaran pemerintah akan posisi kebudayaan nasional dalam menghadapi tantangan global sehingga kebudayaan tidak hanya dianggap sebagai hal yang perlu dilestarikan, melainkan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa. Selain itu, istilah pemajuan digunakan untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia melalui langkah strategis melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan, dimana istilah pelestarian termasuk dalam defenisi pelindungan sebagaimana diatur dalam ketentuan umum Undang- Undang Pemajuan kebudayaan. Pelindungan adalah upaya menjaga keberlanjutan Kebudayaan yang dilakukan dengan cara inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, dan publikasi.
Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pemajuan Kebudayaan Betawi ini bertujuan untuk melakukan penyempurnaan atas ketentuan yang telah diatur dalam Perda 4 Tahun 2015 yang materi muatannya sudah tidak relevan lagi dengan dinamika pemajuan kebudayaan nasional pada umumnya, dan kebudayaan Betawi pada khususnya. Rancangan Perda ini akan mengatur hal-hal yang sebelumnya belum diatur dalam Peraturan Daerah sebelumnya.
Adapun materi muatan yang akan dimuat dalam Rancangan peraturan Daerah ini meliputi objek pemajuan kebudayaan, bentuk pelindungan kebudayaan Betawi, bentuk pengembangan kebudayaan Betawi, bentuk pemanfaatan kebudayaan Betawi, bentuk pembinaan kebudayaan Betawi oleh Pemerintah daerah,
kelompok masyarakat, badan usaha, dan aktor lain, pengaturan mengenai Majelis Kaum Betawi yang pada aturan lama tidak diatur, pemajuan kebudayaan lain, kerangka pendanaan, pemberian penghargaan, serta pembinaan dan pengawasan.
Pengaturan dalam Rancangan Perda ini diharapkan dapat mengoptimalkan upaya pemerintah daerah dan masyarakat Provinsi DKI Jakarta dalam memajukan kebudayaan Betawi sehingga kebudayaan Betawi tetap eksis sebagai entitas lokal sekaligus identitas kebudayaan nasional serta mampu adaptif terhadap perubahan global dan perkembangan TIK.
Terakhir, norma yang akan dibuat mengenai pemajuan kebudayaan Betawi ini adalah berbentuk peraturan daerah. Hal ini dikarenakan substansi pengaturan ini mengandung kewajiban, larangan, dan ijin yang ditujukan kepada masyarakat. Sehingga norma harus berbentuk Undang Undang (nasional) dan peraturan daerah (local). Dengan demikian, pengaturan mengenai pemajuan kebudayaan harus dalam bentuk peraturan daerah, tidak dalam bentuk lain.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
X. Xxxxxxxan dan Arah Pengaturan
Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan maupun urusan pemerintahan yang ditugas-pembantuankan. Salah satu urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah urusan kebudayaan. Untuk melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud, Kepala daerah bersama DPRD membentuk Peraturan Daerah. Pembentukan Peraturan Daerah adalah untuk menguatkan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah tersebut sesuai dengan perkembangan dinamika lokal maupun melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Penyusunan kajian dan naskah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pemajuan Kebudayaan Betawi ini dimaksudkan untuk mendorong kebudayaan Betawi yang merupakan kebudayaan asli masyarakat Betawi yang telah tumbuh dan berkembang sejak zaman pra kemerdekaan dapat terus dilindungi, dikembangkan dan dimanfaatkan di tengah perubahan daerah Jakarta sebagai kota global. Tinjauan baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis dalam kajian ini menunjukkan perlunya optimalisasi memajukan kebudayaan Betawi melalui penyempurnaan pengaturan dalam Peraturan daerah Pemajuan Kebudayan Betawi.
Penyempurnaan pengaturan ini merupakan langkah tepat mengingat instrumen hukum yang mengatur kebudayaan Betawi yang masih berlaku saat ini yakni Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi sudah tidak sesuai dengan dinamika masyarakat dan perkembangan hukum sehingga perlu diganti. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan semakin menguatkan pentingnya menjaga dan memajukan kebudayaan secara nasional. Kebudayaan merupakan kekayaan dan identitas bangsa sehingga menjadi investasi untuk membangun peradaban bangsa. Untuk memajukan kebudayaan Betawi maka perlu adanya penguatan prinsip pemajuan kebudayaan, kejelasan objek pemajuan kebudayaan, perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan Kebudayaan Betawi, penguatan kedudukan dan peran Majelis Kebudayaan Betawi, serta dukungan pendanaan dalam rangka Pemajuan Kebudayaan Betawi. Rumusan pengaturan dalam Rancangan Peraturan daerah Pemajuan Kebudayaan Betawi ini memiliki jangkauan pengaturan pada tiga hal yaitu (i) tindak lanjut pengaturan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, (ii) evaluasi terhadap norma dalam Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi yang tidak sesuai dengan perkembangan hukum, dan (iii) penyesuaian pengaturan sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat. Ketiga hal ini diharapkan mampu memberikan landasan yang kuat bagi penguatan pengaturan Pemajuan Kebudayaan Betawi di daerah Provinsi DKI Jakarta sehingga Rancangan Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta ini akan memiliki daya guna dan hasil guna yang baik dalam Pemajuan Kebudayaan Betawi.
Dari aspek arah pengaturannya terdapat 10 (sepuluh) hal yang hendak dituju dalam Rancangan Peraturan daerah tentang Pemajuan Kemajuan Betawi ini, yaitu (i) Ketentuan umum, pengaturan asas, tujuan dan objek Pemajuan Kebudayaan Betawi;
(ii) pengaturan mengenai upaya Pelindungan Kebudayaan Betawi;
(iii) pengaturan mengenai upaya Pengembangan Kebudayaan Betawi; (iv) pengaturan mengenai upaya Pemanfaatan Kebudayaan Betawi; (v) pengaturan mengenai upaya Pembinaan Kebudayaan Betawi, (vi) pengaturan tentang kedudukan, keanggotaan, struktur organisasi, tugas dan wewenang, pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian pengurus Majelis Kaum Betawi, serta bagaimana hubungan Majelis Kaum Betawi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta; (vii) pengaturan tentang dukungan dan kerangka pendanaan dalam rangka Pemajuan Kebudayaan Betawi, (viii) pengaturan tentang pemberian penghargaan bagi pihak yang berjasa dan/atau berprestasi dalam Pemajuan Kebudayaan Betawi,
(ix) pengaturan tentang kerja sama untuk Pemajuan Kebudayaan Betawi, dan (x) pengaturan mekanisme pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka Pemajuan Kebudayaan Betawi. Diharapkan dengan berbagai pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah ini maka pelaksanaan Pemajuan Kebudayaan Betawi lebih optimal sesuai dengan kondisi Provinsi DKI Jakarta sebagai kota global.
B. Ruang Lingkup Materi Muatan
Materi muatan yang disusun dalam rancangan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta ini merupakan rumusan solusi dalam rangka pemajuan kebudayaan yang didasarkan atas kajian yuridis normatif dan yuridis empiris (sosio-legal). Materi muatan yang dimaksud meliputi:
1. Ketentuan Umum, Asas, Tujuan dan Objek Pemajuan Kebudayaan Betawi
Pada bagian Ketentuan Umum, Asas, Tujuan dan Objek Pemajuan Kebudayaan berisi berbagai definisi, asas,
tujuan dan objek pemajuan kebudayaan Betawi sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan dan dinamika masyarakat Provinsi DKI Jakarta.
Berbagai definisi dalam ketentuan umum disesuaikan dengan kebutuhan pengaturan yang meliputi:
(1) Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta yang selanjutnya disebut Provinsi DKI Jakarta adalah provinsi yang mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah Gubernur dan Perangkat Daerah Provinsi DKI Jakarta sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
(4) Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
(5) Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah Provinsi DKI Jakarta.
(6) Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat.
(7) Pemajuan Kebudayaan Betawi adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Betawi sebagai bagian dari budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan.
(8) Pelindungan Kebudayaan Betawi adalah upaya menjaga keberlanjutan kebudayaan Betawi yang dilakukan dengan cara inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, dan
publikasi.
(9) Pengembangan Kebudayaan Betawi adalah upaya menghidupkan ekosistem kebudayaan Betawi serta meningkatkan, memperkaya, dan menyebarluaskan kebudayaan betawi.
(10) Pemanfaatan Kebudayaan Betawi adalah upaya pendayagunaan objek pemajuan kebudayaan Betawi untuk menguatkan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dalam mewujudkan tujuan nasional.
(11) Pembinaan Kebudayaan Betawi adalah upaya pemberdayaan sumber daya manusia kebudayaan, lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan Betawi dalam meningkatkan dan memperluas peran aktif dan inisiatif masyarakat.
(12) Objek Pemajuan Kebudayaan adalah unsur kebudayaan yang menjadi sasaran utama pemajuan kebudayaan.
(13) Sumber Daya Manusia Kebudayaan adalah orang yang bergiat, bekerja, dan/atau berkarya dalam bidang yang berkaitan dengan objek pemajuan kebudayaan.
(14) Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
(15) Dinas adalah perangkat daerah Provinsi DKI Jakarta yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kebudayaan.
(16) Lembaga Kemasyarakatan Daerah adalah wadah partisipasi Masyarakat sebagai mitra pemerintah daerah.
(17) Masyarakat Betawi adalah orang yang berasal dari suku Betawi atau orang yang diterima dan/atau diakui sebagai masyarakat Betawi.
Pengaturan ini merujuk pada ketentuan Undang- Undang Nomor 12 tahun 2011. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 tahun 2011 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan bahwa ketentuan umum berisi batasan pengertian atau definisi, atau singkatan/akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi.
Kemudian dalam pengaturan asas Pemajuan
Kebudayaan Betawi menyesuaikan dengan rumusan yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017). Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Pasal 3 diatur bahwa terdapat 11 (sebelas) asas pemajuan kebudayaan yang kemudian disesuaikan dalam konteks kebudayaan Betawi sehingga rumusannya menjadi sebagai berikut:
(1) Toleransi, bahwa Pemajuan Kebudayaan Betawi dilandasi dengan saling menghargai dan menghormati.
(2) Keberagaman, bahwa Pemajuan Kebudayaan Betawi mengakui dan memelihara perbedaan suku bangsa, ras, agama, dan kepercayaan.
(3) Kelokalan, bahwa Pemajuan Kebudayaan Betawi memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.
(4) Lintas wilayah, bahwa Pemajuan Kebudayaan Betawi memperhatikan dinamika budaya lokal tanpa dibatasi oleh batas administratif.
(5) Partisipatif, bahwa Pemajuan Kebudayaan Betawi dilakukan dengan melibatkan peran aktif setiap orang, baik secara langsung maupun tidak langsung.
(6) Manfaat, bahwa Pemajuan Kebudayaan Betawi berorientasi pada investasi masa depan sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan rakyat.
(7) Keberlanjutan, bahwa Pemajuan Kebudayaan Betawi dilaksanakan secara sistematis, terencana, berkesinambungan, dan berlangsung terus-menerus dengan memastikan terjadi regenerasi sumber daya manusia kebudayaan dan memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang.
(8) Kebebasan Berekspresi, bahwa upaya Pemajuan Kebudayaan Betawi menjamin kebebasan individu atau kelompok dalam menyampaikan ekspresi kebudayaannya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.
(9) Keterpaduan, bahwa Pemajuan Kebudayaan Betawi dilaksanakan secara terhubung dan terkoordinasi lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
(10) Kesetaraan, bahwa Pemajuan Kebudayaan Betawi menjamin kedudukan yang sama dalam
masyarakat yang memiliki Kebudayaan yang beragam.
(11) Xxxxxx Xxxxxx, bahwa Pemajuan Kebudayaan Betawi dilaksanakan dengan semangat kerja bersama yang tulus.
Adapun kegiatan Pemajuan Kebudayaan Betawi bertujuan untuk:
a. Mengembangkan nilai-nilai luhur budaya Betawi;
b. Memperkaya keberagaman budaya;
c. Memperteguh jati diri masyarakat Betawi;
d. Memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa;
e. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
f. Meningkatkan citra masyarakat Betawi;
g. Mewujudkan masyarakat madani;
x. Xxningkatkan kesejahteraan rakyat;
i. Melestarikan warisan budaya Betawi; dan
j. Mempengaruhi arah perkembangan peradaban nasional.
Tujuan Pemajuan Kebudayaan Betawi tersebut juga merujuk pada tujuan pemajuan kebudayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017. Dalam pemajuan kebudayaan Betawi juga memperhatikan kebudayaan lainnya yang hidup dan berkembang di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memfasilitasi komunitas adat atau perkumpulan masyarakat pelaku kebudayaan lain yang berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta untuk dapat menyelenggarakan pemajuan kebudayaannya masing- masing. Hal ini sesuai dengan mandat Pasal 26 ayat (6) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian yang menjadi objek dari Pemajuan Kebudayaan Betawi mencakup 10 (sepuluh) objek yakni:
a. Tradisi lisan;
b. Manuskrip;
c. Adat istiadat;
d. Ritus;
e. Pengetahuan tradisional;
f. Teknologi tradisional;
g. Seni;
h. Bahasa;
i. Permainan rakyat; dan
x. Xxxxxxxx tradisional.
Tujuan dan objek Pemajuan Kebudayaan Betawi tersebut juga selaras dengan Pasal 5 Undang-Undang
Pemajuan Kebudayaan. Kemudian Gubernur DKI Jakarta menetapkan jenis dan bentuk dari 10 (sepuluh) objek kebudayaan tersebut yang sesuai dengan kebudayaan Betawi. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat mengajak Lembaga kebudayaan Betawi (Majelis Kaum Betawi) sebagai mitra untuk menentukan jenis dan bentuk objek kebudayaan Betawi.
2. Pelindungan Kebudayaan Betawi
Pelindungan Kebudayaan Betawi merupakan upaya untuk menjaga keberlanjutan kebudayaan Betawi. Pada bagian Pelindungan Kebudayaan Betawi diatur tentang berbagai tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka memberikan pelindungan terhadap kebudayaan Betawi. Berbagai tindakan perlindungan sebagaimana dimaksud meliputi:
(1) inventarisasi jenis dan bentuk kebudayaan Betawi masing-masing objek pemajuan kebudayaan yang masih hidup dan berkembang di tengah masyarakat meliputi pencatatan, pendokumentasian, dan pemutakhiran data;
(2) pengamanan dan pemeliharaan objek pemajuan kebudayaan Betawi yang berbentuk benda melalui penyimpanan pada museum atau tempat lainnya, atau penetapan sebagai cagar budaya;
(3) atraksi atau penampilan objek pemajuan kebudayaan Betawi pada kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta;
(4) publikasi terhadap informasi yang berkaitan dengan inventarisasi, pemeliharaan, pengamanan, dan penyelamatan atau penampilan objek pemajuan kebudayaan Betawi; dan
(5) pengintegrasian ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan/atau menengah.
Berbagai upaya pelindungan kebudayaan Betawi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan Provinsi DKI Jakarta dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017. Inventarisasi objek pemajuan kebudayaan Betawi perlu digalakkan agar tersedia data yang valid dan terkini (up to date). Diharapkan dengan tersedianya data tersebut upaya pelindungan kebudayaan Betawi dapat dilaksanakan secara optimal. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga perlu menyelenggarakan atraksi atau menampilkan objek kebudayaan Betawi pada kegiatan yang
dilaksanakan serta mempublikasikannya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga, menghormati, mengenalkan dan mewariskan objek pemajuan kebudayaan Betawi kepada masyarakat luas. Sebagai upaya pelindungan secara berkelanjutan dan sistematis maka materi terkait objek pemajuan kebudayaan Betawi perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum Pendidikan dasar dan/atau menengah sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pendidikan dasar merupakan tahapan awal membangun peradaban masa depan. Diharapkan dengan adanya integrasi materi terkait objek pemajuan kebudayaan Betawi ke dalam kurikulum maka akan menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai yang kuat terkait kebudayaan Betawi.
3. Pengembangan Kebudayaan Betawi
Pengembangan Kebudayaan Betawi adalah upaya menghidupkan ekosistem kebudayaan Betawi serta meningkatkan, memperkaya, dan menyebarluaskan kebudayaan Betawi. Pada bagian Pengembangan Kebudayaan Betawi ini diatur tentang berbagai tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka mengembangkan kebudayaan Betawi. Berbagai tindakan mengembangkan kebudayaan Betawi sebagaimana dimaksud meliputi:
(1) penelitian dan pengembangan objek kebudayaan Betawi dalam rangka meningkatkan mutu, tampilan dan daya tarik kebudayaan Betawi tanpa mengubah/menghilangkan makna yang terkandung di dalam objek kebudayaan. Hal ini sejalan dengan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021. Mutu dan tampilan objek pemajuan kebudayaan Betawi perlu ditingkatkan agar mampu memberikan daya tarik kepada masyarakat. Di sisi lain, mutu dan daya tarik objek pemajuan kebudayaan Betawi perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Kreasi dan inovasi mutlak diperlukan agar menarik minat generasi berikutnya tanpa mengubah/menghilangkan makna yang terkandung di dalam objek kebudayaan Betawi.
(2) melakukan kerja sama dengan lembaga terkait baik dalam maupun luar negeri dalam rangka menyebarluaskan kebudayaan Betawi dan mendukung penyelenggaraan pemajuan kebudayaan daerah lain di wilayah Provinsi DKI
Jakarta yang dilakukan dalam rangka pemajuan kebudayaan Betawi. Berdasarkan pengaturan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana beberapa diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja) bahwa Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, baik itu dengan Pemerintah Daerah di dalam negeri (Provinsi/Kota/Kabupaten) maupun Pemerintah Daerah di luar negeri dalam bidang kebudayaan. Kerja sama sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam rangka memperkenalkan nilai budaya, baik itu melalui diseminasi maupun pemberdayaan masyarakat. Diseminasi dapat dilakukan melalui pertukaran budaya, promosi, fasilitasi pameran, festival, maupun fasilitasi sumber daya manusia kebudayaan dalam kegiatan kebudayaan.
(3) menyediakan insentif baik berupa pajak maupun nonpajak kepada pihak/lembaga yang secara langsung melakukan upaya pemajuan kebudayaan Betawi. Pemberian insentif dimaksudkan agar semakin banyak pihak yang mau terlibat untuk pemajuan kebudayaan Betawi. Insentif yang diberikan dapat berupa pengurangan dan/atau pembebasan pajak, pengurangan dan/atau pembebasan pungutan lain (retribusi) maupun dalam bentuk lain. Pemberian insentif kepada pihak yang berkontribusi dalam upaya pemajuan kebudayaan Betawi ini dimungkinkan sesuai dengan koridor Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Pasal 52 ayat (1) yang berbunyi: “Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif kepada Setiap Orang yang memberikan kontribusi dalam Pemajuan Kebudayaan”.
(4) melakukan pengayaan keberagaman melalui penggabungan budaya, penyesuaian budaya sesuai dengan konteks ruang dan waktu, penciptaan kreasi baru atau kreasi hasil dari pengembangan budaya sebelumnya, dan/atau penyerapan budaya asing yang menjadi bagian dari budaya Indonesia selama tidak
menghilangkan identitas kebudayaan nasional Indonesia. Penggabungan budaya dapat dilakukan melalui mempertemukan 2 (dua) budaya atau lebih dalam rangka menghasilkan budaya baru. Penyesuaian budaya dilakukan dengan memodifikasi objek pemajuan kebudayaan dengan harapan masyarakat dan generasi penerus memiliki minat karena masih relevan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga dapat melakukan kerja sama dan riset bidang kebudayaan dengan pemerintah daerah/lembaga di luar negeri untuk penyerapan budaya asing menjadi bagian dari budaya Betawi tanpa menghilangkan identitas kebudayaan Betawi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021.
4. Pemanfaatan Kebudayaan Betawi
Pemanfaatan Kebudayaan Betawi merupakan upaya pendayagunaan objek pemajuan kebudayaan Betawi untuk menguatkan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dalam mewujudkan tujuan nasional. Pada bagian Pemanfaatan Kebudayaan Betawi ini diatur tentang pihak-pihak yang dapat memanfaatkan kebudayaan Betawi, dan upaya memberikan ruang bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan budaya Betawi yang pengaturannya ditetapkan oleh Gubernur. Adapun pihak- pihak yang dapat memanfaatkan Kebudayaan Betawi yakni:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta;
c. Badan Usaha;
d. Lembaga, kelompok, dan organisasi non pemerintah; dan
e. Masyarakat.
Bentuk dukungan yang diharapkan dari Pemerintah Pusat dalam rangka pemanfaatan kebudayaan Betawi adalah dengan menggunakan ornamen yang menunjukkan ciri kebudayaan Betawi pada bangunan yang berlokasi di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Dengan penggunaan ornamen tersebut akan semakin menyemarakkan pengenalan kebudayaan Betawi secara masif, terstruktur dan berkelanjutan.
Kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka pemanfaatan Kebudayaan Betawi yakni memberikan ruang pertunjukan, penampilan dan/atau pameran produk kebudayaan Betawi
pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang melibatkan masyarakat. Selain itu bangunan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menggunakan ornamen yang menunjukkan ciri kebudayaan Betawi. Gubernur menetapkan pakaian seragam bercirikan kebudayaan Betawi bagi Aparatur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada hari tertentu. Bahan pakaian seragam bercirikan kebudayaan Betawi bagi Aparatur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengutamakan buatan lokal di wilayah DKI Jakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Hal ini juga sebagai dukungan pengembangan ekonomi lokal sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Provinsi DKI Jakarta.
Dalam rangka pemanfaatan kebudayaan Betawi, Dinas Kebudayaan menyelenggarakan festival kebudayaan Betawi secara rutin pada tingkat kecamatan, kota/kabupaten dan provinsi minimal 3 (tiga) bulan sekali. Selain itu, Dinas juga menyelenggarakan lomba objek kebudayaan Betawi pada tingkat kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten dan provinsi. Kebijakan ini dipilih sebagai alternatif terbaik bagaimana menghidupkan kembali kebudayaan Betawi secara terstruktur, masif, dan berkesinambungan sehingga masyarakat luas dapat mengenali dan tertarik dengan kebudayaan Betawi yang sekarang mulai tergerus arus globalisasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan festival dan lomba objek kebudayaan Betawi diatur dalam peraturan gubernur karena pengaturannya terlalu teknis.
Kegiatan yang dilaksanakan oleh Badan Usaha dalam rangka pemanfaatan objek kebudayaan Betawi yakni Badan usaha dengan karyawan lebih dari 20 (dua puluh) orang wajib memfasilitasi penggunaan pakaian seragam yang bercirikan kebudayaan Betawi pada hari tertentu dalam setiap minggu. Bagi Badan Usaha yang belum mampu melaksanakan kebijakan tersebut maka dapat mengajukan dispensasi kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan pakaian seragam yang bercirikan kebudayaan Betawi bagi karyawan diatur dengan Peraturan Gubernur. Mempertimbangkan jumlah Badan Usaha di wilayah Provinsi DKI Jakarta yang sangat banyak sehingga memiliki dampak yang sangat besar dan signifikan maka bagi Badan Usaha yang tidak melaksanakan kebijakan penggunaan pakaian seragam yang bercirikan kebudayaan Betawi pada hari tertentu tersebut maka akan dikenakan sanksi administrasi. Sanksi administrasi dapat berupa teguran tertulis, denda setinggi- tingginya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah), pencabutan
izin usaha atau penghentian kegiatan usaha sementara, dan/atau pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan usaha tetap. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penjatuhan sanksi sangat mempengaruhi tingkat kepatuhan untuk melaksanakan kebijakan pemerintahan (Indahsari & Xxxxxxxxx, 2021) (Nurdin et al., 2022). Diharapkan dengan adanya sanksi tersebut dapat meningkatkan kepatuhan dan mengurangi pihak-pihak yang melanggar dalam rangka pemajuan kebudayaan Betawi.
Bagi Badan Usaha yang mempunyai kantor sendiri harus menggunakan ornamen kebudayaan Betawi. Sedangkan bagi Badan Usaha yang tidak mempunyai kantor sendiri, maka Badan Usaha harus menggunakan simbol kebudayaan Betawi di dalam kantor. Ketentuan lebih lanjut mengenai ornamen kebudayaan Betawi diatur dalam Peraturan Gubernur. Ornamen kebudayaan Betawi merupakan olah geometris fauna, flora maupun bentuk lain. Ornamen tersebut dapat berupa bunga melati, bunga mawar, bunga cempaka, bunga sedap malam, bunga kenanga, bunga matahari, bunga kimhong, bunga kacapiring, bunga delima, bunga kecubung dan bunga jambu mete. Selain itu dapat juga berbentuk tumpal, simbol matahari, macan, buaya, burung merak, buaya, kuda, langkan, tanduk kepala rusa, kaligrafi, gigi balang maupun pucuk rebung (Widyani, 2019). Berbagai ornamen tersebut dapat bertambah sesuai dengan pengembangan kebudayaan Betawi. Dengan banyaknya ornamen tersebut maka Badan Usaha diharapkan tidak keberatan dan mendukung penuh upaya pemajuan kebudayaan Betawi. Kebijakan ini sangat strategis karena secara tindak langsung akan membangun ekosistem kebudayaan.
Badan usaha yang berdomisili di wilayah DKI Jakarta juga harus mengalokasikan sebagian anggaran tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) untuk pemajuan kebudayaan Betawi. Hal ini sebagai pelaksanaan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”. Yang dimaksud dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Besaran Tanggung Jawab