PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN NOMINEE AGREEMENT (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR: 82/PDT.G/2013/PN.DPS)
PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN NOMINEE AGREEMENT (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR: 82/PDT.G/2013/PN.DPS)
TESIS
OLEH :
NAMA : XXXXX XXXXXXXXX, S.H. NO. POKOK MHS : 14921035
BKU : KENOTARIATAN
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016
i
ii
iii
MOTTO
Motto:
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan)”.
( Q.S Al-Insyirah : 6-7)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tesis ini penulis persembahkan kepada:
1. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
2. Ibunda tercinta Suptya sunarsih dan ayahanda Xxx.
Xxxxxx,
3. Adikku Arobizar Primadana,
v
vi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penyusunan Tesis dengan judul “PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN NOMINEE AGREEMENT (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR:
82/PDT.G/2013/PN.DPS)” ini dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa shalawat sera salam penulis haturkan kepada junjungan besar kita Xxxx Xxxxxxxx XXX, beserta seluruh keluarga dan para sahabatnya tesis ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini tidak lepas dari bimbingan, dorongan, serta bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang terhormat kepada:
1. Xx. Xxxxxxx, S.H.,X.Xx. selaku Dosen Pembimbing Penyusunan Tugas akhir, yang telah memberikan bimbingan, nasihat, motivasi dan pengarahan dengan sabar kepada penulis selama menyusun dan menyelesaikan tesis ini.
2. Kedua orangtuaku Xxx. Xxxxxx dan Suptya sunarsih terimakasih atas segala doa dan motivasi selama ini.
3. Adikku Arobizar Primadana dan seluruh keluarga besarku.
4. Xxxxxxxx Xxxxx yang telah memberikan doa dan semangat kepada penulis selama Tugas Akhir ini.
5. Teman seperjuanganku Prayantika K, Xxxxxxxx Xxxxxx, Riza Awastika, Melati P, Xxxxxxx xxxxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxx Dhukas, Adimas W, Neky K, Fattahillah F, Fauziah
vii
Xxxxxxx, Xxxxxx F yang telah membantu penulis dan memberikan masukkan dalam menyelesaikan tesis ini.
6. Segenap pihak yang berjasa dalam proses pembelajaran dan penulisan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak memiliki kekurangan, baik dari segi isi maupun penyusunannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan kearah yang lebih baik lagi. Akan tetapi tetap berharap tesis ini memberikan khasanah yang lebih memperkaya kajian permasalahan hukum dibidang Perjanjian Nominee, serta semoga tesis ini memberikan manfaat dikemudian hari. Dengan iringan doa, semoga segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT, amin ya robbal „alamin.
Akhir kata, penulis berharap semoga apa yang tersusun dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Amin
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Yogyakarta, 25 Juli 2016
Xxxxx Xxxxxxxxx
viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGAJUAN ii
HALAMAN PERSETUJUAN iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
HALAMAN MOTTO v
HALAMAN PERSEMBAHAN vi
PERYATAAN ORISINALITAS vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI ix
ABSTRAK x
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 16
C. Tujuan Penelitian 16
D. Manfaat Penelitian 17
E. Keaslian Penelitian 18
F. Kerangka Teori 20
G. Metode Penelitian 25
H. Sistem Penulisan Data 30
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, NOMINEE AGREEMENT DAN NOTARIS 31
A. Pengertian Perjanjian 31
B. Syarat Sahnya Perjanjian 33
C. Kebatalan dan Pembatalan Perjanjian 38
D. Tinjauan Umum Nominee Agreement 45
1. Nominee Agreement 45
ix
2. Nominee Agreement Bidang Pertanahan Nasional 46
E.Tinjauan Umum Notaris 54
1. Notaris Sebagai Pejabat Umum 54
BAB III PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN
NOMINEE AGREEMENT (Studi Kasus Terhadap Putusan No: 82/PDT.G/2013/PN.DPS) 66
A. Pembuatan Akta Jual Beli yang Dibuat Oleh Notaris Mengenai Perjanjian Jual Beli Tanah dengan Nominee Agreement 66
B. Hakim Membatalkan Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Nomine Aggrement (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor: 82/PDT.G/2013/PN.DPS)… 80
BAB I V PENDAHULUAN 128
A. Kesimpulan… 128
B. Saran… 000
XXXXXX XXXXXXX 130
x
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul pembatalan perjanjian jual beli tanah dengan Nominee Agreement (studi kasus terhadap putusan nomor 82/PDT.G/2013/PN.DPS). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah ketidaksamaan antara idealita dengan realita. Masih banyaknya praktek penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing melalui perjanjian Nominee Agreement dengan menggunakan kedok warga negara Indonesia sehingga seolah-olah tidak melanggar undang-undang. Tindakan inipun dilegalkan oleh Notaris/PPAT yang notabene memahami dengan jelas hukum yang berlaku. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus. Spesifikasi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dan metode yang digunakan dalam pengolahan data maupun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yaitu suatu metode analisis data deskriptif analitis yang mengacu pada suatu masalah tertentu maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pembatalan perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement (studi kasus terhadap putusan nomor 82/PDT.G/2013/PN.DPS) adalah bahwa pembuatan akta yang dibuat oleh notaris mengenai jual beli atas tanah secara pinjam nama atau nominee agreement batal demi hukum hal ini telah mlenggar Undang-Undang KUHPerdata Pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata. Mengenai putusan hakim bahwa perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement tersebut batal. Karena perjanjian nominee tersebut tidak memenuhi syarat sahnya objektif yaitu terdapat kausa yang tidak halal dan hakim telah mempertimbangkan dalam in cassu adalah objek sengketa agar dijual lelang dan hasil penjualan lelang digunakan untuk membayar investasi yang telah ditanam oleh penggugat, dan untuk dibayarkan kepada pihak pembeli obyek sengketa. Sehingga dasar pertimbangan tersebut dapat dikatakan sebagai agar terpenuhinya unsure keadilan dan kemanfaatan. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus tidak berdasarkan undang-undang yang berlaku yaitu Pasal 21 dan Pasal 26 (2) UUPA yang bias berakibat objek sengketa jatuh ke negara.
Kata kunci : Notaris, Perjanjian Nominee, Putusan Pengadilan.
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan dewasa ini mulai banyak mengalami perubahan transformatif yang amat cepat, terutama kehidupan dibidang ekonomi. Terlebih lagi sejak terjadinya krisis ekonomi yang tidak hanya dialami oleh Indonesia, melainkan sudah menjadi masalah yang mengglobal sampai keseluruh dunia. Perubahan yang cepat tersebut seringkali tidak diiringi oleh perkembangan hukum yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan adanya ketimpangan antara perkembangan ekonomi dan perkembangan hukum yang berlaku.
Hal ini sangat dirasakan dalam bidang perdagangan, khususnya dibidang hukum perjanjian yang merupakan “jiwa” dan bidang perdagangan dasar hukum perjanjian yang berlaku di masyarakat adalah Burgerlijk Wet Boek atau disebut juga KUHPerdata.
KUHPerdata merupakan Undang-undang produk pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan sejak tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan Pasal 131 Indische Staate Regeling (I.S) dan S. 1847 No. 23 KUHPerdata melalui pengumuman gubernur general Hindia Belanda tanggal 31 Desember 1847.1 Dan sejak Indonesia merdeka, KUHPerdata tetap diberlakukan dengan berdasarkan pada Pasal 1 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
1
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.2
0 Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxxxx Mengenai Asas-asas Hukum Perdata, Cet 1, (Jakarta: PT Setio Acness, 2001), hlm. 7.
2 Xxxxx X.X, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Cet 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
hlm. 1.
1
KUHPerdata pada waktu itu tetap diberlakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum setelah Indonesia merdeka.3 KUHPerdata membahas hukum perdata secara rinci dengan membaginya ke dalam buku, yaitu:4
a. Buku I tentang pribadi;
b. Buku II tentang benda;
c. Buku III tentang perikatan;
d. Buku IV tentang bukti dan kadaluwarsanya.
Perkembangannya, KUHPerdata telah mengalami banyak perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Contohnya adalah dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sejak tanggal 24 September 1960, buku KUHPerdata sepanjang yang berkaitan dengan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik,5 telah dihapuskan. Dan sebagaian dari Buku I KUHPerdata telah dicabut sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.6 Buku IV menurut aliran modern sebenarnya termasuk dalam hukum acara atau hukum formil, bukan hukum materiil, karena berkaitan dengan pembuktian dalam beracara di pengadilan. Oleh karenanya sebaiknya buku IV dikeluarkan dari sistematika KUHPerdata.7
Sedangkan Buku III KUHPerdata masih tetap berlaku secara utuh. Dengan kata lain belum pernah ada produk undang-undang yang baru dan berlaku bagi semua orang untuk
3 Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, op. cit.,hlm. 58
4 J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Cet 3,(Bandung: Alumni, 1999), hlm. 1.
5 Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah), Cet 16 (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 5.
6 Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, op. cit.,hlm. 60.
7 Ibid., hlm. 61.
mengubah ketentuan-ketentuan yang ada dalam Buku III KUHPerdata. Hal ini membawa dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat. Contohnya adalah mengenai bentuk perjanjian. Di dalam KUHPerdata diatur beberapa bentuk perjanjian, di antaranya perjanjia jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, penitipan barang, pinjam meminjam, pemberian kuasa, hibah dan pinjam pakai.8 Saat ini di dalam masyarakat telah berkembang berbagai bentuk perjanjian diluar KUHPerdata atau disebut juga perjanjian innominaat atau perjanjian tak bernama. Contohnya adalah perjanjian beli sewa, perjanjian production sharing, joint venture, leasing, perjanjian nominee atau nominee agreement.9
Perjanjian innominaat merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1338 dan 1320 KUHPerdata. Namun perjanjian innominaat tidak diatur secara khusus di dalam KUHPerdata. KUHPerdata menyebutnya di dalam Pasal 1319 sebagai perjanjian yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu. Walaupun tidak diatur secara khusus di dalam KUHPerdata, terutama asas-asas hukum perjanjian yang terkandung di dalamnya.
Nominee agreement merupakan salah satu contoh dari perjanjian innominat. Di Indonesia nominee agreement timbul dan berkembang karena kebutuhan masyarakat yang menghendakinya. Namun, secara yuridis formal tidak ada pengaturan khusus mengenai nominee agreement. Hal ini karena pembuatan praktek perjanjian tersebut tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia.
Contoh dari nominee agreement yang akan penulis bahas dalam tesis ini adalah nominee agreement dibidang pertanahan, yaitu berkaitan dengan kepemilikan tanah oleh
8 Xxxxx X.X. loc. cit.
9 Ibid.,
warga negara asing di Indonesia, khususnya di daerah Bali. Semakin banyaknya warga negara asing yang hendak berinvestasi dan menetap di Indonesia, tentu saja memerlukan tanah untuk dapat mewujudkan maksud-maksudnya tersebut, seperti halnya dalam berinvestasi pembangunan sebuah villa atau hotel. Menanggapai keperluan warga Negara asing tersebut untuk mendapatkan tanah, kemudian pemerintah mengaturnya dalam Undang- Xxxxxx Xxxxx 0 Xxxxx 0000 Xxxxxxx Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang selanjutnya disebut UUPA. UUPA mengatur mengenai bentuk-bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing, berupa hak pakai dan hak sewa. Selain hal tersebut, ditegaskan juga dalam Undang-Undang Penanaman modal Pasal 33 ayat 1 bahwa penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.
Dalam hal ini warga neagara asing sebagai subyek hak pakai dan hak sewa diatur dalam Pasal 42 sub b dan Pasal 45 sub b UUPA. Pasal 42 yang dapat mempunyai hak pakai ialah: Warga Negara Indonesia, Orang asing yang berkedudukan di Indonesia, Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Sedangkan, Pasal 45 yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah; Warga Negara Indonesia, Orang asing yang berkedudukan di Indonesia, Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Jangkauan untuk memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang terjadi di tengah masyarakat masih rendah, misalnya terkait larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing UUPA tidak menyediakan pasal-pasal yang segera langsung bisa dipakai untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Xxxxxxxx dalam hal ini mengatakan bahwa sesuatu yang khayal apabila orang beranggapan, bahwa Undang-Undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas, peraturan-peratutran hukum sifatnya tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap.
Mengenai hak milik atas tanah terhadap warga negara asing, hal ini tidak diatur dalam UUPA. Dalam Pasal 21 UUPA dinyatakan bahwa:10
(1) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang- Undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
(4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini.
Pengaturan penguasaan tanah oleh warga negara asing sebagai subyek pemegang hak pakai selain diatur dalam UUPA, dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA, menyatakan bahwa:
“setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan- perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga Negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan Pasal 21 ayat (2), adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”
10 Mudjiono, Hukum Agraria, Cetakan I (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992), hlm. 9.
Sekiranya jelas bahwa warga negara asing sama sekali tidak boleh menguasai tanah di Indonesia dengan hak milik, hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari penguasaan warga Negara asing. Segala bentuk peralihan hak milik terhadap orang asing pun telah dicegah dengan ketentuan-ketentuan Pasal 26 ayat
(2) UUPA, yaitu setiap perbuatan pengalihan hak yang bertentangan dengan isi dari ketentuan tersebut akan mengakibatkan hak milik atas tanahnya akan jatuh pada Negara dan akan dikuasai oleh Negara, akan tetapi dalam realisasinya transaksi jual beli yang berkenaan dengan tanah, dilakukan oleh orang yang memiliki kewarganegaraan asing secara terselubung yaitu dengan mempergunakan seorang warga Negara Indonesia masih sering terjadi.
Walaupun pemerintah telah memberikan penguasaan tanah kepada warga negara asing berupa hak pakai dan hak sewa, namun dengan berbagai pertimbangan orang asing berupa hak pakai dan hak sewa, namun dengan berbagai pertimbangan orang asing yang ingin berinvestasi di Indonesia khususnya di Bali tetap menghendaki dengan status hak milik. Karena, hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pada kenyataanya nilai jual hak milik lebih tinggi dibandingkan dengan hak-hak yang lain, sedangkan prosedur hak pakai dianggap terlalu rumit serta kepemilikian dengan hak pakai memiliki batas waktu, apabila batas waktunya habis maka hak pakai haruslah diperpanjang. Begitu pula dengan hak sewa yang memiliki batas waktu.
Terhadap permasalahan yang dihadapi warga negara asing tersebut, maka dibuat suatu perjanjian, yang bermaksud memindahkan hak milik secara tidak langsung kepada warga Negara asing dalam bentuk :11
(a) Akta pengakuan utang.
(b) Pernyataan bahwa pihak warga negara Indonesia memperoleh fasilitas pinjam uang dari warga negara asing untuk digunakan membangun usaha.
(c) Pernyataan pihak warga Negara Indonesia bahwa tanah hak milik adalah milik pihak warga Negara asing.
(d) Kuasa menjual. Pihak warga Negara Indonesia memberi kuasa dengan hak substitusi kepada warga negara asing untuk menjual, melepaskan, atau memindahkan tanah hak milik yang terdaftar atas nama pihak warga negara Indonesia untuk meroya dan menyelesaikan semua kewajiban utang piutang pihak warga negara Indonesia.
(e) Kuasa roya. Pihak warga negara Indonesia member kuasa dengan hak substitusi kepada pihak warga negara asing secara khusus mewakili dan bertindak atas nama pihak warga negara Indonesia untuk meroya dan menyelesaikan semua kewajiban utang piutang pihak warga negara Indonesia.
(f) Sewa menyewa tanah. Warga Negara Indonesia sebagai pihak yang menyewakan tanah memberikan hak sewa kepada warga negara asing sebagai penyewa selama jangka waktu tertentu, misalnya 25 tahun, dapat diperpanjang dan tidak dapat dibatalkan sebelum berakhirnya jangka waktu sewa.
(g) Perpanjangan sewa menyewa. Pada saat yang bersamaan dengan pembuatan perjanjian sewa menyewa tanah (huruf f), dibuat sekaligus perpanjangan sewa menyewa selama 25 atau dengan ketentuan yang sama dengan huruf f.
(h) Perpanjangan sewa menyewa. Sekali lagi pada saat yang bersamaan dengan pembuatan perjanjian sewa menyewa tanah (huruf f dan g), dibuat perpanjangan sewa menyewa lagi untuk waktu 25 tahun dengan ketentuan yang sama dengan huruf f dan g.
(i) Kuasa. Pihak warga negara Indonesia memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pihak warga negara asing (penerima kuasa) untuk mewakili dan bertindak untuk atas nama pihak warga negara Indonesia mengurus segala urusan, memperhatikan kepentingannya, dan mewakili hak-hak pemberi kuasa untuk keperluan menyewakan dan mengurus izin mendirikan bangunan (IMB), menandatangi surat pemberitahuan pajak dan surat lain yang diperlukan, menghadap pejabat yang berwenang serta menandatangani semua dokumen yang diperlukan.
Upaya lain untuk memberikan kemungkinan bagi warga negara asing memiliki hak atas tanah yang dilarang oleh UUPA adalah dengan jalan melakukan jual beli atas nama
11 Maria SW. Sumardjono, 2007 , Alternative Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, (selanjutnya disebut Maria SW. Sumardjono I), Kompas, Jakarta, hlm. 16.
seorang warga negara Indonesia, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan. Disamping itu dilakukannya pembuatan perjanjian antara warga Negara Indonesia dan warga negara asing. Seperti halnya dalam kasus yang ada di Denpasar, Bali. Dimana ada seorang warga Negara asing yang bernama Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx (penggungat I) Bahwa sekitar tahun 1997 – 1998 ketika Penggugat sedang menginap di sebuah hotel di kawasan Kuta, Penggugat melihat di depan hotel tempatnya menginap terdapat rumah yang akan dijual. Melihat hal tersebut, Penggugat menyampaikan keinginannya untuk membeli rumah tersebut kepada Tergugat I yang merupakan seorang teman yang dikenalnya dari sebuah restoran yang sering dikunjunginya Tergugat I yang bernama Xxxxxx Xxxxxx. Bahwa Penggugat kemudian disarankan oleh Tergugat I untuk lebih baik membeli tanah kosong dan membangun sebuah villa ketimbang membeli rumah tersebut. Pada saat itu Tergugat I menyatakan kesediaannya untuk membantu Penggugat untuk mengawasi jalannya pembangunan termasuk mengawasi operasional villa tersebut apabila nantinya telah selesai. Mengingat Penggugat tidaklah berdomisili di Indonesia akhirnya Penggugat pun menyetujui saran dari Tergugat I. Kemudian pada tahun 1998 akhirnya Penggugat dengan uang miliknya sendiri membeli sebidang tanah yang terletak di daerah Kerobokan dengan SHM No. 3590/ Kerobokan seluas 1500m2. Karena Penggugat adalah warga Negara asing dan tidak boleh memiliki tanah hak milik di Indonesia, Tergugat I menyarankan pada Penggugat untuk menggunakan namanya saja di dalam Sertifikat dan berkali-kali meyakinkan Penggugat bahwa aset tanah yang dibelinya tersebut akan aman bersama Tergugat I.
Bahwa untuk meyakinkan Penggugat, Tergugat I kemudian di hadapan Notaris I Xxxxx Xxxxxx Xxxxx Wijaya, menandatangani Pernyataan No. 5 tanggal 3 November 1998 yang menyatakan bahwa seluruh uang pembelian atas tanah dengan SHM No.
3590/Kerobokan berasal dari Penggugat dan mengakui sepenuhnya kepemilikan atas tanah tersebut berada di tangan Penggugat. Bahwa kemudian pada tanggal 21 Oktober 2005, Penggugat dan Tergugat menandatangani Perjanjian yang berisi penegasan tentang uang untuk membeli dan membangun Objek Sengketa yang berasal dari Penggugat.
Semenjak Penggugat membeli tanah dan diatas namakan ke nama Tergugat I, Penggugat tidak pernah memegang Sertifikat Hak Milik atas Tanah dikarenakan Tergugat I meminta agar SHM tersebut tetap ada di Bali dengan alasan untuk memudahkan apabila dikemudian hari diperlukan untuk kepentingan administrasi. Pada tanggal 14 Mei 2012, atas sepengetahuan Penggugat, Tergugat I mendaftarkan Objek Sengketa di salah satu agen property untuk membantu menjual Objek Sengketa dengan harga Rp. 16.000.000.000,00 (Enam Belas Miliar Rupiah). Dengan hal tersebut kesepakatan untk menjual villa dengan harga tertinngi dengan sepengetahuan penggugat apabila villa tersebut hendal dijual. Perjanjian tersebut lebih dikenal dengan perjanjian pinjam nama atau nominee agreement.
Beberapa kali penggugat menanyakan sertifikat tersebut, Tergugat I menjawab bahwa sertifikat asli masih ada ditangan Tergugat I. setelah ditelusuri ternyata tanpa sepengetahuan Penggugat, secara diam-diam sertifikat tersebut telah dijual kepada Tergugat II yang bernama Farhat Said. Sertifikat tersebut dijual dengan harga yang jauh dibawah harga pasar, hal ini sangat merugikan pihak penggugat, yang kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Denpasar, Bali.
Kasus tersebut menggunakan nominee agreement , dimana warga negara asing dapat membeli dan menguasai bidang tanah di Bali dengan hak milik, yaitu dengan cara membeli tanah dengan menggunakan nama salah seorang penduduk Bali. Tanah yang dibeli oleh warga negara asing tersebut didaftarkan atas nama salah seorang penduduk bali dan antara
warga negara asing dengan orang yang dipakai namanya tersebut terikat dalam suatu perjanjian yaitu nominee agreement. perjanjian-perjanjian tersebut dilakukan dihadapan notaris. Terkadang notaris sendiri yang dengan sengaja memberikan jalan agar keinginan tersebut bisa terlaksana sesuai dengan keinginan orang asing. Kesepakatan tersebut, diwujudkan dalam surat perjanjian kemudian pernyataan dan kuasa menjual dibuat oleh kedua belah pihak dihadapan notaris, dengan maksud untuk memberikan kepastian hukum bagi warga negara asing dan warga negara Indonesia, yaitu memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dimana perjanjian yang dibuat oleh Xxxxx Xxxxxx dengan Xxxxxx xxxxxx tersebut merupakan penyelundupan hukum dan di dalam perjanjian tersebut terdapat causa yang tidak halal.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan suatu nominee agreement adalah bahwa suatu nominee agreement harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana yang diatur secara garis besarnya dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal tersebut harus diberlakukan dan tidak boleh disimpangi. Jika salah satu syarat tersebut ada yang tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan atau bahkan batal demi hukum.
Pentingnya notaris juga dapat dilihat dari kepastiannya dalam memberikan legal advice, dan melakukan verifikasi terhadap sebuah perjanjian, apakah sebuah perjanjian telah dibuat sesuai dengan kaidah pembuatan perjanjian yang benar dan tidak merugikan salah satu pihak, atau perjanjian tersebut dibuat dengan tidak memenuhi syarat. Sebaliknya apabila tugas dan wewenang yang diberikan oleh Negara kepada notaris tidak dilaksanakan dengan tepat dan sebaik-baiknya, maka kekeliruan dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh notaris dapat menimbulkan terganggunya kepastian hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-Undang lainnya. Sebagai pejabat umum yang memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat secara professional, notaris wajib untuk patuh dan tunduk kepada aturan-aturan yang membatasi, mengatur dan juga menuntun perilaku notaris dalam melaksanakan jabatannya. Hal ini sesuai dengan sumpah atau janji jabatan notaris yang termuat dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN “saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, pancasila dan Undang-Undang Dasar Nedara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta Peraturan perundang- undangan lainnya”.
Notaris selaku pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perUndang-Undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1), selain itu notaris juga berwenang pula untuk mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN dalam hal tersebut disebut legalisasi.
Fungsi keberadaan notaris di dalam memberikan jasanya sekaligus agar tidak berbenturan maupun melanggar hukum, karena fungsi notaris adalah secara professional terikat, sejauh kemampuannya untuk mencegah penyalahgunaan keadaan dari ketentuan hukum dan kesempatan yang diberikan oleh hukum. Perlu menjadi perhatian bahwa notaris
bukan merupakan jurus tulis kliennya, oleh karena itu notaris perlu mengkaji apakah yang diminta oleh para kliennya tersebut tidak bertentangan atau melanggar dengan peraturan perUndang-Undangan, atau bahkan telah terjadi praktek penyelundupan hukum.12
Penyelundupan hukum dengan akta notariil dianggap sebagai jalan keluar untuk melewati batasan-batasan dalam beberapa tindakan tertentu yang telah ditetapkan oleh peraturan Perundang-undangan. Penyelundupan hukum muncul sebagai suatu konsep baru yang sesungguhnya telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Salah satu tindakan yang melahirkan konsep baru sebagai upaya penyelundupan hukum adalah keinginan orang asing untuk memiliki/menguasai hak milik atas tanah di Indonesia dengan instrument perjanjian nominee secara notariil. Dengan kata lain suatu perjanjian nominee merupakan perjanjian yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (hak milik), dalam hal ini yakni orang asing dengan Warga Negara Indonesia, dengan maksud agar orang asing tersebut dapat menguasai atau memiliki tanah hak milik secara de facto namun secara dejure tanah hak milik tersebut diatasnamakan WNI. Dengan kata lain, WNI dipinjam namnya oleh orang asing (bertindak selaku nominee).
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang sebagaimana tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mempelajari dan meneliti lebih dalam mengenai “PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN NOMINEE AGREEMENT (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PERKARA NOMOR: 82/PDT.G/2013/PN.DPS)”.
00 X.X.Xxxx Xxxxxxxx, Xxxxxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx Apa dan Siapa Notaris Di Indonesia,(Surabaya: Putra Media Nusantara,2010),hlm. 3-4.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang tersebut, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana akta jual beli yang dibuat oleh Notaris mengenai perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement?
2. Mengapa hakim membatalkan perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement
(studi kasus terhadap putusan perkara nomor: 82/PDT.G/2013/PN.DPS)?
3. TujuanPenelitian
Tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui akta jual beli yang dibuat oleh Notaris mengenai perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang pembatalan perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement (studi kasus terhadap putusan perkara Nomor: 82/PDT.G/2013/PN.DPS).
4. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai analisis Putusan hakim Pengadilan Negeri Denpasar Nomor : 82/PDT.G/2013/PN.DPS Dalam perkara perjanjian nominee atau nominee agreement dan sebagaimana disebutkan di atas diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan bidang hukum khususnya bagi pembangunan hukum pertanahan
tentang pembatalan perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement (studi kasus terhadap putusan perkara No. 82/PDT.G/PN.DPS dan Notaris, diharapkan menjadi suatu yang bermanfaat sebagai sumbangsih dalam bidang hukum Kenotariatan yang berlaku umumnya, dan khususnya Ilmu Kenotariatan sebagai lembaga pencetak Notaris, agar dapat mencetak Notaris/PPAT yang handal dan profesional.
b. Manfaat Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran dan solusi terutama dalam Memberikan masukan kepada Hakim dalam mengambil kebijakan dalam sebuah putusan, begitu juga memberikan sumbangan bagi Warga Negara Asing maupun Warga Negara Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa yang timbul berkaitan dengan pemilikan hak atas tanah oleh Warga Negara Asing dan Notaris sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik agar akta tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan mempunyai nilai pembuktian yang sempurna, sehingga tercapai tujuan terhadap dibuatnya akta otentik oleh Notaris yaitu untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak serta memberikan saran dan masukan yang berkaitan dengan kepemilikan hak atas tanah di Indonesia.
5. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan penulis mengenai “PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN NOMINEE AGREEMENT (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PERKARA NOMOR:
82/PDT.G/2013/PN.DPS)”. Sampai saat ini belum ada, namun demikian penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan, meskipun demikian di
dalamnya tidak terdapat kesamaan. Dalam hal ini, penulis akan menjadikan hasil-hasil penelitian tersebut sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam melaksanakan penelitian hukum yang paling mendekati dengan penelitian yang dilakukan penulis, adapun hasil penelitian tersebut:
1. Tesis yang dibuat oleh Yohanes I Wayan Suryadi13, mahasiswa program studi magister kenotarian Universitas Gadjah Mada dengan judul “ tinjauan kekuatan akta pengakuan utang yang dibuat dihadapan notaris sebagai dasar pengalihan hak atas tanah, dengan permasalahannya: dapatkah akta pengakuan utang yang dibuat dihadapan notaris sebagai dasar pengalihan hak milik atas tanah, dalam kesimpulannya disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang berhak menguasai tanah dengan hak milik karena UUPA menganut prinsip nasionalitas sebagaimana diataur dalam Pasal 21 ayat (3) dan
(4) UUPA. Akta pengakuan utang yang dibuat dihadapan notaris memenuhi unsur pengakuan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA, sehingga pemindahan hak milik kepada subyek hukum orang warga Negara asing akan mengakibatkan kebatalan karena segala perbuatan hukum yang dilakukannya merupakan pelanggaran hukum. Dalam penulisannya menitik beratkan tentang kekuatan akta pengakuan utang yang dibuat dihadapan Notaris sebagai dasar pengalihan hak milik atas tanah oleh warga Negara asing, sedangkan yang dibuat oleh penulis ini lebih menitik beratkan pada pembatalan perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement.
13 Yohanes I Xxxxx Xxxxxxx, , “Tinjauan kekuatan Akta Pengakuan Utang Yang Dibuat Dihadapan Notaris Sebagai Dasar Pengalihan Hak Atas Tanah”, tesis, Yogyakarta: Program studi Magister Xxxxxxxxxxxx Xxxxxxxx Xxxxx XXX, 0000.
2. Tesis yang dibuat oleh I Ketut Arjana14 mahasiswa program pasca sarjana universitas Tujuh Belas Xxxxxxx Xxxxxxxx dengan judul Hak-Hak Atas Tanah yang dapat dimiliki oleh Warga Negara Asing di Kota Denpasar Provinsi Bali, dengan permasalahannya: hak-hak atas tanah apa saja dan bagaimana mekanisme perolehan hak atas tanah bagi warga Negara asing di Kota Denpasar”, dalam kesimpulannya disebutkan bahwa: (1) warga Negara asing dapat mempunyai tanah di Indonesia dengan hak pakai dan hak sewa dan ternyata di Kota Denpasar warga negara asing memiliki tanah dengan hak pakai dan
(2) di kota Denpasar seorang Warga Negara asing mempunyai tanah dengan hak pakai dengan mekanisme yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yaitu dengan cara membeli dan mekanismenya adalah melalui pelepasan hak yang dibuat dihadapan notaris dilanjutkan dengan permohonan hak kepada Negara. I Xxxxx Xxxxxx dalam penulisannya menitik beratkan tentang hak atas tanah yang dapat dimilki oleh orang asing di Kota Denpasar, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis ini menitik beratkan pada pembatalan perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement.
1. Berdasarkan kedua tesis diatas terlihat adanya persamaan tema yang diteliti, yaitu berkenaan dengan kepemilikan tanah yang dimiliki oleh Warga Negara Asing Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam tesis ini adalah pembatalan perjanjian jual beli tanah secara nominee agreement.
6. Kerangka Teori
Ada banyak definisi atau pengertian dari perjanjian. Namun, semua definisi tersebut mempunyai unsur-unsur yang sama. Definisi-definisi tersebut dapat dilihat dari berbagai
14 Arjana I Ketut, “Hak-Hak Atas Tanah Yang Dapat Dimilki Oleh Warga Negara Asing di Kota Denpasar Provinsi Bali”, Tesis, Surabaya: Universitas Tujuh Belas Agustus, 2004.
sumber, misalnya peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli dan kamus, baik kamus Indonesia maupun bahasa asing lainnya. Menurut Xxxxxxx Xxxxxxx bahwasannya pengertian perjanjian itu sendiri adalah perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah perjanjian, orang-orang yang melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak.15 Namun perjanjian dalam KUHPerdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian, yang disebutkan dalam pasal 1313 KUHPerdata yaitu: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Selain mengenai pengertian perjanjian, adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, yakni syarat sahnya perjanjian. Sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian. yaitu:16
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang aman secara timbal balik.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut
15 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Cetakan III (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2011), hlm.3.
16 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 17.
hukum. Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang- orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3. Mengenai suatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.
4. Suatu sebab yang halal.
Sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiiri. Mengenai isi perjanjian harus halal artinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang, norma kesusilaan, dan ketertiban umum. Tidak bertentangan dengan Undang-Undang dalam kaitannya penguasaan tanah oleh orang asing semestinya ditafsirkan bahwa perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan UUPA. Secara subtantif ketentuan-ketentuan UUPA yang tidak dapat disimpangi adalah Pasal 9, Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2).17 Mengenai syarat ketiga dan keempat ini disebut sebagai syarat obyektif, karena menyangkut perjanjiannya sendiri atau obyek daripada perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek atau para pihak tersebut. Bila syarat ketiga dan keempat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, berarti sejak semula dianggap tidak pernah terjadi suatu perjanjian. Akibat dari kebatalan apakah batal demi hukum atau setelah adanya
17 Op. cit.,hlm. 17.
tuntutan akan kebatalannya mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu tidak mempunyai akibat hukum. 18
Suatu perjanjian dengan causa yang tidak halal dapat digunakan sebagai alasan batalnya perjanjian. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Ketentuan ini berhubungan pula dengan Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Adapun larangan bagi notaris dalam membuat suatu perjanjian, yaitu: 19
a. Notaris dilarang membuat akta perjanjian yang memihak kepada salah satu pihak.
b. Notaris dilarang membuat akta perjanjian yang bertentangan dengan akta sebelumnya.
c. Notaris dilarang membuat akta pencabutan perjanjian pemberian kuasa secara sepihak dimana akta pemberian kuasa tersebut telah ditanda tangani oleh kedua belah (pemberi kuasa dan penerima kuasa)
d. Notaris dilarang memberitahukan isi segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya) dan segala keterangan yang diperolehnya guna pembuatan akta.
e. Notaris dilarang untuk tidak membacakan isi akta kepada para pihak, kecuali para pihak sudah membacanya sendiri, mengerti dan menyetujui, hal demikian sebagaimana dinyatakan dalam penutup akta dan tiap halaman diparaf oleh para
00 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx xx Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx,(Xxxxxxx: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2007), hlm. 381.
19 Mulyoto, Perjanjian Teknik, Cara Membuat, dan Hukum Perjanjian Yang Harus Dikuasai,(Yogyakarta: Cakrawala Media, 2011), hlm. 17.
pihak/para penghadap, para saksi dan notaris sedangkan halaman terakhir ditandatangani para pihak, para saksi dan notaris.
f. Notaris dilarang membuat akta perjanjian yang bertentangan dengan Undang- Undang, ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
g. Notaris dilarang membuat akta simulasi (bohongan) lebih-lebih dalam hal untuk tujuan yang bertentangan dengan UU.
Kaitannya dengan jabatan notaris, notaris bukan hanya mengesahkan atau menstempel akta perjanjian tetapi ikut ambil bagian dari memenuhi dan merelatir kehendak pihak-pihak yang memerlukan dan mengatur agar tidak melanggar atau bertentangan dengan Undang-Undang. Perlu diingat dan dipahami bahwa mengatur disini maksudnya adalah notaris tidak boleh membantu pihak yang kelihatannya tidak melanggar dengan membuat akta yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Perilaku seperti ini dapat dikatan sebagai dader intelektual.20
Proses pembuatan akta sebagaimana tersebut diatas merupakan penyelundupan hukum dan melanggar hukum serta melanggar sumpah jabatan maupun sumpah pejabat. Permintaan pembuatan akta pembuatan akta seperti tersebut, notaris harus menolak secara tegas karena selain merupakan pelanggaran jabatan, akta nominee tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
20 A.A. Xxxx Xxxxxxxx, Op. cit., hlm. 38.
7. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporannya.21 Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran secara sisitematis, metodologi dan konsisten karena melalui, proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstrukruktif terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Dalam penulisan tesis penulis menggunakan metodologi penulisan sebagai berikut:
1. Obyek dari penelitian ini adalah pembatalan perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement (studi kasus terhadap putusan perkara No: 82/PDT.G/PN.DPS. Membahas Tentang akta jual beli yang dibuat oleh Notaris mengenai perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement dan pernyataan hakim mengenai pembatalan perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement (studi kasus terhadap perkara No: 82/PDT.G/2013/PN.DPS). Selain itu, juga membahas mengenai kitab Undang-Undang hukum perdata, Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar-dasar pokok agraria, Undang-Undang nomor 2 tahun 2014 tentang jabatan notaris, Undang- Undang Xx. 00 Xxxxx 0000 xxxxxxx Xxxxxxxxx Modal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1996 tentang pemilikan rumah temapt tinggal atau hunian oleh orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia, Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-2871 tanggal 8 Oktober 1996 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian oleh Orang Asing, dan Peraturan Menteri Negara
hlm. 1
21Cholid Xxxxxxx dan X. Xxx Xxxxxxx, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002),
Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing.
2. Sumber dan Jenis Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini, berupa data primer dan data sekunder. Adapun jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang berkaitan dengan penulisan tesis ini, yaitu terdiri dari:
1) kitab Undang-Undang hukum perdata,
2) Xxxxxx-Xxxxxx xxxxx 0 xxxxx 0000 xxxxxxx peraturan dasar-dasar pokok agraria,
3) Xxxxxx-Xxxxxx xxxxx 0 xxxxx 0000 xxxxxxx jabatan notaris,
4) Undang-Undang Xx. 00 Xxxxx 0000 xxxxxxx Xxxxxxxxx Modal,
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1996 tentang pemilikan rumah temapt tinggal atau hunian oleh orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
6) Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110- 2871 tanggal 8 Oktober 1996 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
41 Tahun 1996 tentang pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian oleh Orang Asing.
7) Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing.
b. Bahan Hukum Sekunder
Data sekunder ini terdiri dari peraturan Undang-Undangan, buku, makalah, majalah di bidang hukum, artikel dari internet yang berkaitan dengan penelitian, kamus, ensiklopedia serta bahan-bahan tulisan yang dapat dipergunakan untuk mendukung hasil penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Sebagai bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang digunakan peneliti dalam penelitian ini berupa kamus dan ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mempelajari, mengkaji dan menelaah bahan-bahan hukum yang baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
4. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasrkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.22
22 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 43.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif,23yaitu dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema Penelitian, meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundan-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.
Pilihan penelitian hukum secara normatif digunakan dalam penulisan ini dikarenakan permasalahan yang diangkat adalah mengenai akta jual beli yang dibuat oleh Notaris mengenai perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement dan pembatalan hakim mengenai perjanjian jual beli tanah dengan nominee agreement.
5. Analisis Penelitian
Seluruh data hasil penelitian dianalisis secara kualitatif artinya data sekunder dan dianalisis secara mendalam dan komprehensif. Penggunaan metode analisis secara kualitatif didasarkan pada pertimbangan bahwa data yang dianalisis beragam memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan yang lain, menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang bulat. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif, artinya metode menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum sehingga dari hasil penelitian yang telah diperoleh diharapkan dapat memberikan gambaran atau uraian yang bersifat deskriptif kualitatif.
23 Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 13.
8. Sistem Penulisan Data
Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, dimana masing-masing bab memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Gambaran yang lebih jelas mengenai penulisan hukum ini akan diuraikan dalam sistematika berikut:
Bab I Pendahuluan, yang menjelaskan mengenai latar belakang, perumusan masalah, maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan teori tentang Perjanjian, Nominee Agreement, Notaris. Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan.
BAB IV Penutup, yang di dalamnya berisikan kesimpulan yang merupakan jawaban umum dari permasalahan yang ditarik dari hasil penelitian dan saran-saran yang diharapkan dapat berguna bagi pihak terkait.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SECARA UMUM, NOMINEE AGREEMENT DAN NOTARIS
A. Pengertian Perjanjian
Ada banyak definisi atau pengertian dari perjanjian. namun, semua definisi tersebut mempunyai unsur-unsur yang sama. Definisi-definisi tersebut dapat dilihat dari berbagai sumber, misalnya peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli dan kamus, baik kamus bahasa Indonesia maupun bahasa asing lainnya. Menurut peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 1313 KUHPerdata, definisi perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Seorang ahli hukum, yaitu xxxx. Xxxxxxx berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanjian kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.24 Selain itu Menurut X. Xxxxx Xxxxxxx, “perjanjian atau verbintenis pengertiannya adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.25 A.Plito (yang dikutip oleh R. Setiawan) memakai istilah perikatan untuk verbentenis berpendapat: “perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar nama pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”.26 Selanjutnya Subekti berpendapat: “perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai harta kekayaan harta benda) antara dua orang,
24 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 1.
25 X. Xxxxx Xxxxxxx, Segi-segi Hukum Perjanjian, cekatan II,(Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6.
00 X. Xxxxxxxx, Xxxxx-Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxx,(Xxxxxxx: Putra A Bardin, 1999), hlm. 2.
26
yang member hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.27
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx berpendapat bahwa pengertian perjanjian itu sendiri adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.28 Sedangkan Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.29
Berdasarkan beberapa pandangan dari para sarjana tersebut diatas, bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa yang timbul dari suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.
Dari beberapa pengertian perjanjian tersebut diatas dapat ditarik unsur-unsur perjanjian, yaitu:
a. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang.
b. Ada persetujuan.
c. Adanya tujuan yang ingin dicapai dan ada prestasi yang dilaksanakan.
d. Adanya pihak-pihak maksudnya yaitu adanya subyek perjanjian yang dapat berupa orang dan atau badan hukum, subyek haruslah yang mampu melaksanakan perbuatan hukum yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
e. Adanya persetujuan yang maksudnya adalah apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lain, sedangkan tujuan yang hendak dicapai atau yang dimaksud adalah untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak melalui perjanjian-perjanjian, Undang-
27 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cetakan XXII,(Jakarta:Intermasa, 1989), hlm. 122
28 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm. 97
29 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu,(Bandung: sumur, 1985), hlm. 11.
Undang, dan kesusilaan. Kemudian prestasi yang dilaksanakan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat untuk sahnya perjanjian.
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Mengenai syarat sahnya perjanjian, hal ini diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menentukan:30
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang aman secara timbal balik.
Seseorang dikatakan telah memberikan persetujuannya atau sepakatnya (toestemming) kalau dia memang menghendaki apa yang disepakati. Sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain.31
Ada tiga macam sebab yang membuat kesepakatan tidak bebas seperti disebutkan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yaitu karena adanya kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), penipuan (bedrog). Jika mengandung ketiga hal tersebut maka sepakat merupakan sepakat yang tidak sah. Selain sepakat yang tidak sah yang ditimbulkan ketiga hal tersebut di atas masih ditambah lagi menurut yurisprudensi yang menyebabkan adanya ketidakbebasan dalam kata sepakat yaitu penyalahgunaan keadaan.
30 Subekti, op. cit,.hlm. 17.
31 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian,(Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hlm. 164-165.
Meskipun tidak ada suatu ketentuan yang secara pasti menetapkan bahwa suatu penawaran mengikat untuk suatu jangka waktu tertentu, tetapi orang menganggap bahwa suatu penawaran mengikatk untuk jangka waktu tertentu. Mengenai lamanya mengikat, tergantung pada keadaan. Para pihak dapat mengadakan kesepakatan untuk menyatakan bahwa penawaran mengikat untuk jangka waktu tertentu dan penerimaan hanya berlaku kalau diberikan dalam jangka waktu tertentu.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang- orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Adanya ketentuan mengenai orang-orang yang tidak cakap, melakukan suatu perbuatan hukum memang sudah selayaknya karena orang yang membuat suatu perjanjian akan terikat oleh perjanjian itu sehingga ia harus mempunyai cukup kemampuan untuk benar-benar menyadari akan tanggung jawab yang dipikulnya.
Orang yang berada dibawah pengampuan dan orang yang belum dewasa apabila melakukan suatu perbuatan hukum maka harus diwakili oleh wali atau orang tuanya
untuk orang yang belum dewasa sedangkan pengampu atau curator untuk orang yang berada dibawah pengampuan.
c. Mengenai suatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.
Suatu hal tertentu merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, yang merupakan pokok perjanjian. Prestasi ini harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.32
Syarat prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian.
Didalam Pasal 1333 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu persetujuan harus mempunyai syarat sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, sehingga di dalam suatu perjanjian obyek dari perjanjian itu harus tertentu atau setidak- tidaknya dapat ditentukan atau disebutkan jenisnya dengan jelas. Maksudnya adalah apabila perjanjian itu obyeknya mengenai suatu barang maka minimal harus disebutkan nama barang itu sudah ada, ditangan si berutang atau belum pada saat mengadakan perjanjian, tidak diharuskan ada di dalam Undang-Undang. Juga mengenai jumlahnya tidak perlu disebutkan, asalkan kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
d. Suatu sebab yang halal;
00 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxx,(Xxxxxxx: Pt. Citra Xxxxxx Xxxxx, 1990), hlm. 93.
Sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiiri. Mengenai isi perjanjian harus halal artinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang, norma kesusilaan, dan ketertiban umum. Tidak bertentangan dengan Undang-Undang dalam kaitannya penguasaan tanah oleh orang asing semestinya ditafsirkan bahwa perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan UUPA. Secara subtantif ketentuan-ketentuan UUPA yang tidak dapat disimpangi adalah Pasal 9, Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2).
Mengenai syarat ketiga dan keempat ini disebut sebagai syarat obyektif, karena menyangkut perjanjiannya sendiri atau obyek daripada perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek atau para pihak tersebut. Bila syarat ketiga dan keempat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, berarti sejak semula dianggap tidak pernah terjadi suatu perjanjian. Akibat dari kebatalan apakah batal demi hukum atau setelah adanya tuntutan akan kebatalnnya mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu tidak mempunyai akibat hukum. 33
Adapun syarat sahnya perjanjian diluar Pasal 1320 KUHPerdata:34
1) Harus dilakukan dengan itikad baik.
2) Harus tidak bertentangan dengan kebiasaan.
3) Harus berdasar atas asas kepatutan/kepantasan.
4) Harus tidak melanggar/tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
C. Kebatalan dan Pembatalan Perjanjian
33 Xxxxxxx Xxxxxxx, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2007), hlm. 3.
34 Mulyoto, Perjanjian Teknik, Cara Membuat, dan Hukum Perjanjian Yang Harus Dikuasai, Yogyakarta: Cakrawala Media, 2011.hlm. 3.
Pada Buku III KUHPerdata ditemukan banyak Pasal yang menyebut kata “batal, batalnya, membatalkan, pembatalan, kebatalan, dan batal demi hukum”. Sehubungan dengan hal itu maka isi keseluruhan restatement ini akan menegaskan kembali:35
1. Pengertian beberapa istilah, yaitu „batal‟, „batal demi hukum‟,‟dapat dibatalkan‟,‟membatalkan‟,‟pembatalan‟, dan kebatalan;
2. Dalam hal apa atau kondisi bagaimana suatu perjanjian yang menimbulkan perikatan bagi pihak yang membuatnya akan batal demi hukum atau dapat dibatalkan;
3. Siapa yang dapat meminta atau menuntut pembatalan suatu perjanjian, syarat agar tuntutan tersebut berhasil, dan siapa yang berwenang membatalkan perjanjian;
4. Batas waktu penuntutan pembatalan suatu perjanjian;
5. Akibat hukum dari perjanjian yang batal demi hukum atau yang dapat dibatalkan.
Kata „batal demi hukum‟ merupakan kata khas bidang hukum yang bermakna „tidak berlaku, tidak sah menurut hukum‟. Dalam pengertian umum, kata batal sudah berarti tidak berlaku, tidak sah. Jadi, walaupun kata “batal” sesungguhnya sudah cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah, rupaya kata „batal demi hukum‟ lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya tidak berlaku menurut pertimbangan subyektif seseorang atau menurut kesusilaan dan kepatutan. Batal demi hukum berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah karena berdasarkan hukum (atau dalam arti sempit berdasrkan peraturan perundang-undangan) memang begitulah adanya. Dengan demikian, batal demi hukum terjadi seketika, spontan, otomatis atau dengan sendirinya, sepanjnag persyaratan atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi.
35 Xxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, (Jakarta: NLRP, 2010), hlm. 4.
Kata „dapat dibatalkan‟ sangat berbeda maknanya dengan frasa „batal demi hukum‟ sebab‟ dapat dibatalkan menyiaratkan makna perlunya suatu tindakan aktif untuk membatalkan sesuatu, atau batalnya sesuatu itu terjadi tidak secara otomatis, tidak dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan agar sesuatu itu dibatalkan. Kecuali itu, kata „dapat dibatalkan‟ juga berarti bahwa sesuatu yang menjadi pokok persoalan tidak selalu harus dibatalkan, tetapi bila dikehendaki maka sesuatu itu dapat dimintakan pembatalannya.
Konteks hukum perjanjian Indonesia menurut KUHPerdata, terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. alasan itu dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori sebagai berikut:36
a. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum;
b. Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat:
1) Perjanjian batal demi hukum, atau
2) Perjanjian dapat dibatalkan;
c. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat;
d. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar action pauliana;
e. Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undang-undang.
Apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum, telah gagal,. Jadi
36 Ibid.,hlm 5.
tidak ada dasar untuk menuntut di muka hakim.37 Adapun alasan mengenai batal demi hukum, yaitu:38
1) Batal demi hukum karena syarat perjanjian formil tidak terpenuhi;
Menurut ahli hukum memberikan pengertian perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasrkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang- undang juga disyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum.39 Formalitas tertentu itu misalnya, tentang bentuk atau format perjanjian yang harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik ataupun akta dibawah tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh notaris atau pejabat hukum lain yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik menurut undang-undang.
Pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu yang harus dipenuhi untuk perjanjian formil diatas, memang merupakan pengecualian dari asas konsensualisme, suatu perjanjian sudah terbentuk dengan adanya kesepakatan dari pihak yang membuatnya. Kemudian, agar perjanjian itu sah adanya maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Namun, asas tersebut tidak cukup untuk perjanjian fomril karena masih ada formalitas lain yang diatur dalam undang-undang yang harus diaputi. Jadi perjanjian formil memang tidak cukup bila hanya berdasarkan pada asas konsensualisme. Apabila perbuatan hukum yang wajib dilakukan dalam bentuk formal tertentu yang diwajibkan oleh undang-undang tidak dipatuhi, akan berakibat bahwa perbuatan hukum tersebut batal demi hukum.40
37 Subekti, op.,cit.,hlm. 19.
38 Xxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, op,.cit.,hlm. 6.
39 Xxxxxxx Xxxxxxx, op. cit.,hlm. 47-48
40 Subekti, op.,cit.,hlm. 19.
2) Batal demi hukum karena syarat obyektif sahnya perjanjian tidak terpenuhi;
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya, atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang tidak mungkin dapat dilakukan, menjadi batal demi hukum. Tanpa objek yang jelas, perjanjian akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak. Perjanjian yang tidak jelas obyeknya bukanlah perjanjian yang sah sehingga ipso jure batal demi hukum.
Syarat objektif yang kedua untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab atau kausa yang halal. Pasal 1335 KUHPerdata yang berbunyi “suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.” Kausa suatu perjanjian dinyatakan bukan merupakan sebab yang halal sehingga terlarang, apabila kausa tersebut menurut Pasal 1337 KUHPerdata merupaka kausa yang “dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum.” Perjanjian seperti ini tidak boleh atau tidak dapat dilaksanakan sebab melanggar hukum atau kesusilaan atau ketertiban umum.
3) Batal demi hukum karena dibuat oleh orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum
Ketidakcakapan seseoranag untuk melakukan tindakan hukum harus dibedakan dengan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum. Mereka yang
tidak berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang oleh undang- undang dilarang melakukan tindakan hukum. Jadi, seseorang yanag oleh undang-undang dikualifikasi sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu, tidak berarti bahwa ia juga tidak cakap. Dengan kata lain, orang yang menurut undang-undang adalah cakap atau mampu melakukan tindakan hukum ternyata dapat tergolong sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu menurut undang-undang.
4) Batal demi hukum karena ada syarat batal yang terpenuhi
Perjanjian bersyarat yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut Pasal 1256 KUHPerdata adalah batal demi hukum. Pasal 1256 KUHPerdata menegaskan bahwa: “semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaanya semata-mata tergantung pada kemauan orang yang terikat. Tetapi jika perikatan tergantung pada suatu perbuatan yang pelaksanaanya berada dalam kekuasaan orang tersebut, dan perbuatan itu telah terjadi, maka perikatan itu adalah sah”. Alasan dari ketentuan ini masuk akal mengingat bahwa mengharapkan terjadinya suatu perjanjian semata-mata hanya pada kehendak atau kemauan seseoranag merupakan hal aneh kalau tak dapat disebut sia-sia, sebab perjanjian seperti itu tidak akan terjadi bila orang itu tidak menghendakinya.
Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau bahkan yang dilarang undang-undang, adalah batal demi hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1254 KUHPerdata yang berbunyi “semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan
persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku” aturan ini mirip dengan syarat objektif untu sahnya perjanjian, yaitu syarat kausa yang halal.
Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi semula pada saat tyimbulnya perikatan itu atau dengan kata lain perjanjian yang btaal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya. Pasal 1265 KUHPerdata mengatur hal ini dengan menyebutkan bahwa “ suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kempali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi”
sedangkan perjanjian dapat dibatalkan atau istilahnya yang disebut dengan pembatalan, yaitu perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif. Dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu ada, tetapi dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh salah satu pihak. Jadi berbeda dengan perjanjian batal demi hukum, dimana sejak semula perjanjian itu secara yuridis dianggap tidak pernah ada. 41
D. Tinjauan Umum Nominee Agreement
1. Nominee Agreement
Sistem hukum Indonesia sama sekali tidak dikenal mengenai nominee agreement, sehingga dengan demikian tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas mengenai
41 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxx, Hukum Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta: UII, 1989), hlm, 79.
nominee agreement ini. Atau dengan kata lain secara yuridis formal tidak ada pengaturan khusus mengenai nominee agreement. pada awalnya nominee agreement hanya dikenal dalam negara yang menganut sistem hukum common law, seperti inggris dan amerika serikat. Namun dalam perkembangan selanjutnya, perjanjian ini timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh kebutuhan masyarakat yang menghendakinya.
Menurut Xxxxx A. Xxxxxx dalam Balack‟s Law Dictionary, arti nominee adalah “one designed to act for another as his representative in a rather limited sense. It is used sometimes to signify an agent or trustee. It has no connotation, however, other than that of acting for another, in representation of another, or as the grantee of another.”42Terjemahannya, seseorang ditunjuk bertindak atas pihak lain sebagai perwakilan dalam pengertian terbatas. Ini digunakan sewaktu-waktu untuk ditanda tangani oleh agen atau orang kepercayaan. Tidak ada pengertian lain dari pada hanya bertindak sebagai perwakilan pihak lain atau sebagai penjamin pihak lain.
2. Nominee Agreement Bidang Pertanahan Nasional
Dasar perundang-undangan dari hukum tanah nasional adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang mulai diberlakukan pada tanggal 24 September 1960. UUPA memuat konsepsi, asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok dari hukum tanah nasional.43 Sedangkan mengenai pelaksanaanya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Konsepsi
1072.
42 Xxxxx A. Xxxxxx, Balack’s Law Dictionary with Guide to pronunciation, (weat Publishing, 1999) , hlm.
00 Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi
dan pelaksanaanya, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 170
dari hukum tanah nasional adalah komunalistik religious.44 Sifat komunalistik religious tersebut tersirat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan (2) UUPA. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUPA, yang menyatakan “bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah, air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.”45 Dan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi bahwa:46
“seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.”
Dapat disimpulkan bahwa seluruh tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia adalah milik dari rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa indoensia. Ini menunjukan sifat komunalistik konsepsi hukum tanah nasioanl. Sedangkan pernyataan bahwa “seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa” menunjukan sifat religious konsepsi hukum tanah nasional.
Berdasarkan konsepsi ini maka kemudian hukum tanah nasional membuat ketentuan bahwa hanya warga negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dan menguasai tanah hak milik.47 Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) UUPA, yang menyatakan bahwa dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta berada dibawah air.48 Dan Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi bahwa “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai maksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
44 Ibid.,hlm 214-215
45 Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah), Cet 16
,Jakarta: Djambatan, 2004.,hlm. 5.
46 Ibid.,
47 Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1).
48 Xxxxx Xxxxxxx, loc. cit.
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama- sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.49 Dapat disimpulkan bahwa secara yuridis yang dimaksud dengan tanah adalah permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada dibawah air, termasuk air laut.50
Hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk untuk menggunakan tanah dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Perkataan “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bangunan (non-pertanian), sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.51
Hak menguasai tanah di Indonesia diantaranya adalah hak milik. Hak milik ini satu-satunya hak yang hanya boleh dimiliki oleh warga negara Indonesia, sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 9 dan Pasal 21 ayat (1) UUPA. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA, hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dan bersifat turun temurun. Namun demikian, kekuatan dan kepenuhan dari hak milik tersebut dibatasi oleh fungsi social atas tanah, sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 6 UUPA. Arti dari fungsi social tersebut adalah bahwa penggunaan atas tanah oleh seseorang tidak boleh merugikan masyarakat. Pengertian yang lebih jauh ladai adalah bahwa dalam menggunakan tanah, kepentingan
49 Ibid.
50 Xxxxx Xxxxxxx, op. cit.,hlm. 6.
51 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Cetakan II,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 84.
pribadi/perseorangan harus seimbang dengan kepentingan masyarakat hingga kesejahteraan kedua belah pihak dapat tercapai dengan seadil-adilnya.52
Perkembangan selanjutnya, tidak hanya warga negara Indonesia saja yang dapat memiliki tanah dengan hak milik. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1b) peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, hak milik atas suatu tanah dapat diberikan kepada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. badan-badan hukum tersebut adalah:53
a. Bank pemerintah;
b. Badan keagamaan dan badan social yang ditunjuk oleh pemerintah.
Dari ketentuan Pasal 9 dan Pasal 21 ayat (1) UUPA, jelaslah bahwa warga negara asing tidak boleh menguasai tanah diseluruh Indonesia dengan hak milik. Bila terjadi seseorang warga negara asing membeli, mengadakan pertukaran, menerima hibah, ataupun mendapatkan warisan atas sebidang tanah yang dikuasai dengan hak milik, maka perbuatan hukum yang menjadi dasar perpindahan hak milik tersebut kepada warga negara asing tersebut batal karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara. Hal ini tersirat dalam ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Bahkan bila warga negara asing mendapatkan tanah yang dikuasai dengan hak milik tersebut karena pewarisan atau pencampuran harta karena perkawinan, maka hak milik atas tanah tersebut harus dilepaskan dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Bila hal tersebut tidak dilaksanakan, maka hak milik atas tanah tersebut menjadi hapus karena
52 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Hak-Hak Atas Tanah Seri Hukum Harta Kekayaan, (Jakarta:Prenada Media, 2004), hlm. 18.
53 Ibid., hlm. 80
hukum dan tanahnya menjadi ntanah negara. Ketentuan ini tersirat pada Pasal 21 ayat (3) UUPA. Dan ketentuan ini berlaku pula bagi warga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraanya. Xxxx xxxxx negara asing, negara hanya memperbolehkan mereka menguasai tanah dengan hak pakai atas tanah negara yang luasnmya terbatas.54
Adapun ketentuan-ketentuan mengenai larangan bagi warga negara asing untuk menguasai tanah di seluruh wilayah Indonesia dengan hak milik ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaanya, yaitu:55
1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1996 tentang pemilikan rumah temapt tinggal atau hunian oleh orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
2) Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-2871 tanggal 8 Oktober 1996 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian oleh Orang Asing;
3) Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing.
Perkembangan yang terjadi dewasa ini di dalam masyarakat, banyak warga negara asing yang memiliki persyaratan untuk memiliki tanah atau rumah atau hunian. Dan banyak diantara mereka di dalam prakteknya memiliki tanah dengan hak milik, yang seharusnya tidak diperbolehkan. Cara yang dipakai oleh warga negara asing untuk menguasai tanah dengan hak milik adalah dengan menggunakan nominee. dengan menggunakan nama seseorang atau lebih warga negara Indonesia di dalam sertifikat
54 Xxxxx Xxxxxxx, op. cit.,hlm. 287.
55 Ibid,.hlm. 282-296.
tanah yang mereka miliki. Atau dengan kata lain, tanah yang warga negara asing tersebut kuasai dengan hakm milik, baik berdasarkan jual beli ataupun tindakan hukum lainnya, didaftarkan atas nama seseorang atau lebih warga negara Indonesia. Warga negara Indonesia tersebut dapat saja merupakan salah satu penduduk bali ataupun penduduk dari kota lain.
Suatu perjanjian nominee dibuat sebagai penyelundupan hukum bagi orang asing untuk menguasai dan memiliki bidang tanah hak milik di Indonesia. Dalam hal ini orang asing sesungguhnya membeli sebidang tanah hak milik dengan menggunakan nama warga negara Indonesia, yaitu hak milik yang pada kenyataanya dibeli oleh orang asing tersebut namun dalam akta jual beli yang dilaksanakan dihadapan PPAT yang berwenang warga negara Indonesia adalah sebagai pihak pembeli dalam akta jual beli tersebut sehingga obyek tanah hak milik ini kemudia didaftarkan menjadi atas nama warga negara Indonesia tersebut. Didaftarkannya menjadi dan atas nama warga negara Indonesia pada sertipikat hak milik atas tanah yang sebenarnya dibeli atau dibayar oleh orang asing tersebut maka untuk memperoleh perlindungan hukumnya, diantara orang asing dengan warga negara Indonesia dibuatkan perikatan dalam satu atau beberapa perjanjian dan bahkan dalam akta pernyataan yang isinya bahwa uang keseluruhan untuk membeli tanah tersebut berasal dari warga negara asing.
Terhadap permasalahan yang dihadapi warga negara asing tersebut, maka dibuat suatu perjanjian, yang bermaksud memindahkan hak milik secara tidak langsung kepada warga Negara asing dalam bentuk :56
(j) Akta pengakuan utang.
56 Maria SW. Sumardjono, Alternative Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing (Selanjutnya disebut Maria SW. Sumardjono I),( Jakarta: Kompas, 2007) .hlm. 16.
(k) Pernyataan bahwa pihak warga negara Indonesia memperoleh fasilitas pinjam uang dari warga negara asing untuk digunakan membangun usaha.
(l) Pernyataan pihak warga Negara Indonesia bahwa tanah hak milik adalah milik pihak warga Negara asing.
(m)Kuasa menjual. Pihak warga Negara Indonesia memberi kuasa dengan hak substitusi kepada warga negara asing untuk menjual, melepaskan, atau memindahkan tanah hak milik yang terdaftar atas nama pihak warga negara Indonesia untuk meroya dan menyelesaikan semua kewajiban utang piutang pihak warga negara Indonesia.
(n) Kuasa roya. Pihak warga negara Indonesia member kuasa dengan hak substitusi kepada pihak warga negara asing secara khusus mewakili dan bertindak atas nama pihak warga negara Indonesia untuk meroya dan menyelesaikan semua kewajiban utang piutang pihak warga negara Indonesia.
(o) Sewa menyewa tanah. Warga Negara Indonesia sebagai pihak yang menyewakan tanah memberikan hak sewa kepada warga negara asing sebagai penyewa selama jangka waktu tertentu, misalnya 25 tahun, dapat diperpanjang dan tidak dapat dibatalkan sebelum berakhirnya jangka waktu sewa.
(p) Perpanjangan sewa menyewa. Pada saat yang bersamaan dengan pembuatan perjanjian sewa menyewa tanah (huruf f), dibuat sekaligus perpanjangan sewa menyewa selama 25 atau dengan ketentuan yang sama dengan huruf f.
(q) Perpanjangan sewa menyewa. Sekali lagi pada saat yang bersamaan dengan pembuatan perjanjian sewa menyewa tanah (huruf f dan g), dibuat perpanjangan sewa menyewa lagi untuk waktu 25 tahun dengan ketentuan yang sama dengan huruf f dan g.
(r) Kuasa. Pihak warga negara Indonesia memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pihak warga negara asing (penerima kuasa) untuk mewakili dan bertindak untuk atas nama pihak warga negara Indonesia mengurus segala urusan, memperhatikan kepentingannya, dan mewakili hak-hak pemberi kuasa untuk keperluan menyewakan dan mengurus izin mendirikan bangunan (IMB), menandatangi surat pemberitahuan pajak dan surat lain yang diperlukan, menghadap pejabat yang berwenang serta menandatangani semua dokumen yang diperlukan.
Pembuatan perjanjian nominee diatas dapat diindikasikan sebagai upaya penyelundupan hukum, karena telah menyampingkan syarat sahnya perjanjian dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
E. Tinjauan Umum Notaris
1. Notaris Sebagai Pejabat Umum
Pasal 1 angka 1 UUJN yang menyebutkan notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUJN. Kedudukan notaris sebagai pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lainnya, selama- sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, maka kewenangan tersebut menjadi kewenangan notaris. Yang dimaksud kewenangan lainnya tersebut tercantum didalam Pasal 15 UUJN :
a. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
b. Notaris berwenang pula:
1) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tanah dengan mendaftar dalam buku khusus.
2) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
3) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
4) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
7) Membuat akta risalah lelang.
Dengan demikian Notaris mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penerapan yang diperintahkan oleh peraturan perUndang-Undangan berdasarkan permintaan klien.
Selain kewenangan notaris adapun kewajiban notaris, kewajiban notaris merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh notaris, yang jika tidak dilakukan atau dilanggar, maka atas pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi terhadap notaris.57
a. Dalam menjalankan jabatannya, notaris wajib:
1) Bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
2) Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan dan meyimpannya sebagai bagian dari protokol notaris;
3) Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta;
4) Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
5) Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan kecuali Undang-Undang menentukan lain;
6) Menjilidkan akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam
57 Xxxxx Xxxxx, Hukum Notaris Indonesia, tafsir tematik terhadap UU No. 30 Tahun 200 Tentang Jabatan Notaris, Cetakan Ketiga, (Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, 2011), hlm. 86.
satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
7) Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
8) Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
9) Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;
10) Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf I atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
a) Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
b) Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambing negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
c) Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan
d) menerima magang calon Notaris.
a. Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in originali.
Notaris sebagai pejabat umum, menciptakan sebuah produk yang disebut akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.58
Keabsahan jabatan notaris sebagai pejabat umum juga bersumber dari Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Berdasarkan ketentuan ini jelas mempertegas bahwa suatu akta otentik harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, dan produk hukum notaris berupa akta otentik adalah merupakan pejabat umum.
Akta otentik tidak dapat dilepaskan dengan kekuatan pembuktiannya. Tujuan para penghadap datang ke hadapan notaris dan meminta menuangkannya dalam akta otentik baik untuk dibuat oleh notaris atau oleh penghadap adalah agar perbuatan hukum yang dilakukan mendapatkan kepastian hukum. Para pihak dapat menjadikan kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam akta otentik sebagai alat bukti yang kuat dan sempurna. Pasal 1870 KUHPerdata mengatur bahwa otentik memberikan kepastian diantara para pihak dan ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat didalamya.
Kekuatan pembuktian sempurna adalah kekuatan pembuktian pada alat bukti yang menyebabkan nilai pembuktian pada alat bukti yang menyebabkan nilai pembuktian pada alat bukti tersebut cukup pada dirinya sendiri. Cukup dalam arti bahwa tertentu tidak
58 Xxxxx Xxxxxxx, Pernanan Notaris Daalam Menciptakan Kepatutan Dalam Kontrak, Cetakan I, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2010)., hlm. 39.
membutuhkan alat bukti lain untuk membuktikan suatu peristiwa, hubungan hukum, maupun hak dan kewajiban. Sebagai contoh, sertipikat tanah sebagai akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna untuk membuktikan hak milik seseorang atas tanah dalam sertipikat tersebut, tanpa emmbutuhkan keterangan saksi atau bukti lainnya.59
Suatu akta merupakan suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dapat dijadikan bukti bila ada suatu peristiwa dan ditanda tangani.60 Dengan demikian, akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris diharapkan mampu menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Menurut R. Xxxxxxxx mengemukakan bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meski pun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena itu mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil (Ambtenaarvande Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta otentik untuk hal-hal tertentu, misal untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Hal tersebut karena pegawai catatan sipil oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta tersebut.61
Akta otentik yang merupakan produk hukum notaris ini dibedakan menjadi 2 (dua) jenis akta, yaitu Relaas Acte dan Partij Acte. Kedua akta ini merupakan akta otentik, namun memiliki perbedaan yaitu :62
00 X. Xxxxxx Xxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx Xx Xxxxxxxxx, Kajian Kontekstual Mengenai System Asas, Prinsip, Pembebanan dan Standar Pembuktian,(Yogyakarta: UII Press, 2013), hlm. 43.
60 R. Subekti, Hukum Perikatan,(Jakarta: Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2001), hlm. 48.
61 X. Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan,(Jakarta: Raja Grafindo Persaja, 1993), hlm. 12.
62 Xxxxx Xxxxx, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,(Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, 2008), hlm. 45.
a. Relaas Acte atau Berita Acara
Merupakan akta yang dibuat berdasarkan permintaan para pihak, terkait mencatat dan menuliskan segala sesuatu yang disaksikan, didengar dan dialami secara langsung oleh notaris, terkait segala sesuatu yang disampaikan dan dilakukan para pihak.
b. Partij Acte atau Akta Pihak
Merupakan akta yang dibuat dihadapan notaris berdasarkan keinginan para pihak yang dinyatakan dan disampaikan serta diterangkan sendiri oleh para pihak yang bersangkutan.
Setiap akta Notaris harus mengandung unsur kejelasan, kebenaran, kelengkapan dan keabsahan. Akta notaris termasuk akta perjanjian notariil agar diusahakan didalam pembuatan mengandung unsur-unsur tersebut, maksudnya bahwa mengandung unsur kejelasan adalah:63
1) Mulai dari judul akta harus mengandung/mencerminkan secara garis besar substansi dari isi akta;
2) Redaksi setiap Pasal tidak boleh berwayuh arti atau mempunyai arti lebih dari satu arti/bisa ditafsirkan lain;
3) Jangan berpindah ke Pasal yang lain sebelum tuntas terkait dengan redaksi Pasal tersebut.
4) Memuat secara detail segala sesuatu yang memang harus diatur dalam akta/perjanjian tersebut.
Mengandung unsur kebenaran yang artinya usahakan sepanjang dimungkinkan mengupayakan kebenaran material. Hal demikian bisa diupayakan dengan pemberian nasehat hukum kepada para penghadap terkait dengan akta yang akan dibuat dan dikemukakan akibat hukum dan sanksi dalam hal tidak mengemukakan atau menyampaikan segala sesuatu selain daripada yang sebenarnya.
63 Mulyoto, op. cit,.hlm. 25.
Berdasarkan pasal 1868 KUHPerdata yang telah disebutkan diatas, akta autentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang dan dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Akta otentik yang merupakan produk hukum seorang notaris sebagai pejabat umum memiliki kekuatan pembuktian yang penuh. Hal ini berdasarkan pada :64
(1) Kekuatan pembuktian lahir atau diri (Uitwendige Bewijskracht)
Kemampuan lahiriah akta otentik merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahan sebagain akta otentik. Jika dilihat dari luar, sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal atau membantah kebenaran akta otentik tersebut. Parameter untuk menentukan akta notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan notaris yang bersangkutanbaik pada minuta dan salinan dan adanya awal akta yang dimulai dari judul sampai akhir akta. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.
Akta otentik dengan sendirinya mempunyai kekuatan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik berdasarkan ketentuan perUndang-Undangan yang memenuhi syarat sebagai akta autentik dan sah menurut hukum. Berdasarkan hal tersebut maka beban pembuktian terdapat pada pihak yang membantah atau menyangkal keotentikan atau kebenaran akta tersebut.
(2) Kekuatan Pembuktian Formil (Formele bewijskracht)
64 Ibid., hlm. 72.
Akta Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul. Selain itu juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang disampaikan dihadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi, Notaris.
(3) Kekuatan pembuktian materil
Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar berkata (dihadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris.
Akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut. Sedangkan akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian, sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sempurna sebagaimana akta otentik.
Adapun larangan yang dibuat oleh notaris. Larangan notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang dilakukan oleh notaris, jika larangan ini dilanggar oleh notaris, maka kepada notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Yang dimaksud larangan notaris terdapat dalam Pasal 17 UUJN yaitu:
1. Notaris dilarang:
a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau pejabat lelang kelas II di luar tempat kedudukan notaris;
h. Menjadi notaris pengganti; atau
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris.
2. Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Pemberhentian sementara;
c. Pemberhentian dengan hormat; atau
d. Pemberhentian dengan tidak hormat.
BAB III
PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN NOMINEE
AGREEMENT (Studi Kasus Terhadap Putusan No:82/PDT.G/2013/PN.DPS)
A. Pembuatan Akta Jual Beli yang Dibuat Oleh Notaris Mengenai Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Nominee Agreement
Mengenai kepemilikan tanah di Indonesia, walaupun telah diatur dalam UUPA Pasal 21 mengenai subyek hak milik, namun dalam prakteknya sering terjadi penyalahgunaan terhadap ketentuan dari Pasal 21 UUPA tersebut. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa terdapat banyak sekali jenis pelanggaran yang dapat dilakukan baik oleh warga negara Indonesia maupun oleh warga negara asing dalam hal penguasaan tanah. Isi dari perjanjian tersebut sejatinya merupakan suatu penyelundupan hukum. Namun tidak dapat dapat dipungkiri bahwa hal seperti itu memang benar terjadi dan semakin berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UUPA menyebutkan bahwa “apabila orang asing memperoleh tanah hak milik karena warisan tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraanya, wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraanya. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”65
65 Mudjiono, Hukum Agraria, Cetakan I , (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta), 1992.
54
Pengaturan penguasaan tanah oleh warga negara asing selain itu juga diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA, menyatakan “setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga Negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan Pasal 21 ayat (2), adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”
Bahwa sudah jelas bahwa warga negara asing sama sekali tidak boleh menguasai tanah di Indonesia dengan hak milik, hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari penguasaan warga negara asing. Segala bentuk peralihan hak milik terhadap orang asing pun telah dicegah dengan ketentuan-ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA, setiap perbuatan pengalihan hak yang bertentangan dengan isi dari ketentuan tersebut akan mengakibatkan hak milik atas tanahnya akan jatuh pada negara dan dikuasai oleh negara, akan tetapi dalam realisasinya transaksi jual beli yang berkenaan dengan tanah, dilakukan oleh orang yang memiliki kewarganegaraan asing secara terselubung.
Praktek penguasaan tanah yang paling banyak terjadi dalam masyarakat adalah dengan cara menggunakan perjanjian nominee. Cara ini yang paling banyak dilakukan karena selain prosesnya mudah, hal tersebut juga aman dilakukan karena melibatkan pejabat umum dalam proses pembuatan aktanya dan terkesan tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku. Sama halnya dengan kasus yang penulis bahas tersebut, bahwasannya setelah
membuat perjanjian nominee yang telah dibuat oleh para pihak secara dibawah tangan, kemudian warga negara Indonesia tersebut menandatangani pernyataan sepihak yang isinya menyatakan bahwa seluruh uang pembelian atas tanah adalah berasal dari pihak warga negara asing dan mengakui sepenuhnya bahwa kepemilikan atas tanah tersebut berada di tangan warga negara asing yang dibuat dihadapan notaris.
Kasus tersebut telah terjadi di Denpasar, Bali, dimana penggungat yang merupakan warga negara Inggris bernama Xxxxx Xxxxxx Matheru dan tergugat I bernama I Xxxxxx Xxxxxx membuat perjanjian Pinjam Nama atau biasanya yang disebut dengan perjanjian nominee secara dibawah tangan dihadapan pejabat notaris kemudian membuat pernyataan dan kuasa untuk menjual. Hal tersebut agar pihak warga negara asing menjadi yakin dan merasa aman, dengan dibuatnya surat-surat dihadapan notaris, maka ada kepastian yang jelas. Jika diperhatikan konstruksi hukum terhadap pembuatan akta-akta tersebut sekiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuatan akta-akta yang dimaksud secara tidak langsung adalah untuk memberikan perlindungan hukum yang dipandang cukup dan yang baik bagi kepentingan warga negara asing dalam penguasaan hak atas tanah. Hal tersebut bertujuan untuk semata-mata untuk memperkuat posisi warga negara asing terhadap warga negara Indonesia mengenai hak milik atas tanah tersebut.
Landasan filosofis dibentuknya UUJN adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan melalui akta yang dibuat oleh notaris. Suatu akta notaris menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang jabatan Notaris, menyatakan “akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Sedangkan Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “ akta
otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat-pejabat umum, yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya.”
Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk akta otentik Notaris, juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut:66
1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum.
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang.
3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
Dimana setiap akta notaris atau akta yang dibuat oleh dan dihadapan notaris diberlakukan asas praduga sah, yang artinya bahwa akta notaris harus dianggap sah sampai dengan ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut tidak sah.67 Untuk menyatakan atau menilai bahwa suatu akta notaris adalah tidak sah yaitu dengan adanya putusan pengadilan yang telah memilki kekuatan hukum tetap. Selama belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka semua akta-akta yang dibuat oleh dan dihadapan notaris tersebut dianggap sah dan mengikat para pihak yang terkait didalamnya atau para pihak yang berkepentingan dalam akta tersebut. Hal inilah yang menjadi pegangan bagi para pihak terutama warga negara asing terhadap kepastian perjanjian yang dibuatnya. Adapun larangan bagi notaris dalam membuat perjanjian, yaitu:
66 Ibid.,hlm. 27.
67 Philips M. Xxxxxx, Asas vermaoden van rechtmatigheid, setiap tindakan pemerintah selalu dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya, cetakan pertama, (Surabaya: yuridika, 1993), hlm. 5.
Adapun larangan bagi notaris dalam membuat suatu perjanjian, yaitu: 68
a. Notaris dilarang membuat akta perjanjian yang memihak kepada salah satu pihak
b. Notaris dilarang membuat akta perjanjian yang bertentangan dengan akta sebelumnya.
c. Notaris dilarang membuat akta pencabutan perjanjian pemberian kuasa secara sepihak dimana akta pemberian kuasa tersebut telah ditanda tangani oleh kedua belah (pemberi kuasa dan penerima kuasa).
d. Notaris dilarang memberitahukan isi segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya) dan segala keterangan yang diperolehnya guna pembuatan akta.
e. Notaris dilarang untuk tidak membacakan isi akta kepada para pihak, kecuali para pihak sudah membacanya sendiri, mengerti dan menyetujui, hal demikian sebagaimana dinyatakan dalam penutup akta dan tiap halaman diparaf oleh para pihak/para penghadap, para saksi dan notaris sedangkan halaman terakhir ditandatangani para pihak, para saksi dan notaris.
f. Notaris dilarang membuat akta perjanjian yang bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
g. Notaris dilarang membuat akta simulasi (bohongan) lebih-lebih dalam hal untuk tujuan yang bertentangan dengan UU.
Setiap akta notaris juga harus mengandung unsure kejelasan, kebenaran, kelengkapan dan keabsahan. mengandung unsure kejelasan yang artinya:
1) Mulai dari judul akta harus mengandung/mencerminkan secara garis besar substansi dari isi akta;
68 Mulyoto, Perjanjian Teknik, Cara Membuat, dan Hukum Perjanjian Yang Harus Dikuasai, (Yogyakarta: Cakrawala Media, 2011), hlm. 17.
2) Redaksi setiap Pasal tidak boleh berwayuh arti atau mempunyai arti lebih dari satu arti/bisa ditafsirkan lain;
3) Jangan berpindah ke Pasal yang lain sebelum tuntas terkait dengan redaksi Pasal tersebut.
4) Memuat secara detail segala sesuatu yang memang harus diatur dalam akta/perjanjian tersebut.
Mengandung unsur kebenaran yang artinya usahakan sepanjang dimungkinkan mengupayakan kebenaran material. Hal demikian bisa diupayakan dengan pemberian nasehat hukum kepada para penghadap terkait dengan akta yang akan dibuat dan dikemukakan akibat hukum dan sanksi dalam hal tidak mengemukakan atau menyampaikan segala sesuatu selain daripada yang sebenarnya.
Akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT mengenai perjanjian jual beli atas nama secara pinjam nama atau nominee agreement dengan dibawah tangan yang kemudian menguatkannya dengan pernyataan dan kuasa menjual oleh dan dihadapan notaris, para pihak secara tidak langsung ingin melegalkan perbuatan hukum tersebut. Dengan, demikian perjanjian yang dibuat dari awal antara warga negara asing dan warga negara Indonesia sebagai nominee ini sebenarnya telah batal dan gagal memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Syarah sahnya perjanjian menurut Pasal 1320KUHPerdata:69
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang
69 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 200) .,hlm. 17.
satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang aman secara timbal balik.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang- orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
a. Mengenai suatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.
b. Suatu sebab yang halal;
Sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiiri. Mengenai isi perjanjian harus halal artinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang, norma kesusilaan, dan ketertiban umum. Tidak bertentangan dengan Undang-Undang dalam kaitannya penguasaan tanah oleh orang asing semestinya ditafsirkan bahwa perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan UUPA. Secara subtantif ketentuan-ketentuan UUPA yang tidak dapat
disimpangi adalah Pasal 9, Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2).70 Mengenai syarat ketiga dan keempat ini disebut sebagai syarat obyektif, karena menyangkut perjanjiannya sendiri atau obyek daripada perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek atau para pihak tersebut. Bila syarat ketiga dan keempat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, berarti sejak semula dianggap tidak pernah terjadi suatu perjanjian. Akibat dari kebatalan apakah batal demi hukum atau setelah adanya tuntutan akan kebatalnnya mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu tidak mempunyai akibat hukum. 71
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif karena kedua syarat tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat obyektif karena kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek perjanjian. Tidak dipenuhinya syarat subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian menjadi dapat dibatalkan, sedangkan tidak dipenuhinya syarat obyektif akan mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum yang artinya sejak semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Perjanjian nominee atau pinjam nama tidak memenuhi salah satu syarat obyektif perjanjian yaitu sebab yang halal dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata. Kemudian Pasal 1335 KUHPerdata yang berbunyi “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Dengan demikian, sama artinya bahwa perjanjian nominee atau pinjam nama dalam hal ini tidak mempunyai kekuatan. Sebab, perjanjian nominee hanyalah suatu perjanjian pura-pura, memiliki dasar sebab yang palsu yang sengaja dibuat antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia. Dalam melakukan dan membuat perjanjian atau berkontrak tentunya
70 Ibid
71 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Cetakan III, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2011). hlm. 381.
tidak bebas mutlak namun juga harus sesuai dengan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan “ suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Suatu sebab dalam perjanjian nominee atau pinjam nama ini jelas terlarang karena melanggar UUPA Pasal 26 ayat (2).
Perjanjian yang dibuat antara warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut diatas di dasarkan atas sebab yang palsu, yaitu perjanjian yang dibuat dengan pura-pura untuk menyembunyikan sebab yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh hukum yang berlaku. sehingga akibat hukum dari perjanjian pinjam nama (nominee) ini adalah batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Diawal kesepakatan dalam pembuatan perjanjian nominee tersebut sudah terdapat keinginan untuk merekayasa hukum sehingga dapat menyiasati hukum yang berlaku. Warga negara asing menginginkan warga Indonesia bahwa uang yang dipakai untuk membeli tanah adalah milik warga negara asing dan mengakui bahwa tanah tersebut adalah milik warga negara asing. Warga negara asing hanyalah meminjam nama dan identitas dari warga negara Indonesia agar dapat memiliki tanah hak milik. Sehingga para pihak tidak perlu mengadakan tuntutan pembatalan. Walupun sebenarnya para pihak yang membuat perjanjian adalah para pihak yang memang cakap untuk melakukan perjanjian.
Batal demi hukum menurut Pasal 1265 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan, ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila yang dimaksud terjadi”. Suatu perbuatan hukum atau perbuatan
yang dilakukan oleh subyek hukum akan menimbulkan akibat hukum. Jadi akibat hukum adalah segala akibat konsekuensi yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. Sehingga bagi warga negara asing maupun warga negara Indonesia yang merasa dirugikan atas batalnya perjanjian tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum, karena secara langsung kehilangan hak dan kewajibannya dari perjanjian yang sudah batal demi hukum.
Adapun terdapat asas-asas yang penting yang harus dipeerhatikan di dalam perjanjian, diantaranya adalah:
a) Asas kebebasan berkontrak
Dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang berbunyi: “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian
2. Mengadakan perjanjian dengan siaapapun
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya
4. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis dan lisan.
b) Asas pacta sunt servanda
Asas ini sering juga disebut dengan kepastian hukum. Asas ini berkaitan dengan akibat perjanjian dimana hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Mereka
tidak boleh melkuakn investasi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi : “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang.”
c) Asas itikad baik
Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata berbunyi “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu para pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu itikad baik nisbi yaitu orang memperhatikan sikap dan tingkah laku nyata dari subyek. Kedua itikad baik mutlak yaitu penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
Mengenai arti istilah nominee dalam praktek penguasaan tanah, menurut Maria SW Sumardjono, yang dimaksud dengan nominee atau trustee adalah perjanjian dengan menggunakan kuasa. Perjanjian dengan kuasa yang dimaksud adalah jenis-jenis perjanjian yang telah dibahas sebelumnya, yaitu perjanjian yang menggunakan nama WNI dan pihak WNI menyerahkan surat kuasa kepada orang asing untuk bebas melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah yang dimilikinya.72 Maka adanya perjanjian pinajam nama (nominee) yang diikuti dengan pernyataan dan kuasa menjual sebenarnya bertujuan untuk memberikan kedudukan hukum dan perlindungan hukum secara tidak langsung bagi warga negara asing itu sendiri dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi yang dilakukan oleh
72 Maria SW. Sumardjono, op. cit., hlm. 17.
warga negara Indonesia sebagai Indonesia. Namun hal ini justru berlawanan, kedudukan warga negara asing menjadi lemah karena adanya Pasal 26 (2) UUPA.
Akta-akta yang dibuat antara warga negara asing dan warga negara Indonesia itu menjadi tidak sah dan batal demi hukum, tanah menjadi obyek pun jatuh pada negara. Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh yang dihasilkan oleh notaris haruslah benar-benar berkualitas, sehingga masyarakat dapat menilai pejabat notaris debagai seorang yang professional. Dalam hal ini seharusnya Notaris dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris yang terdapat dalam Pasal 85, yaitu berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pemberhentian sementara;
d. Pemberhentian terhormat; dan
e. Pemberhentian tidak hormat.
Peran Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam hal ini sangatlah penting. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebaimana dimaksud dengan Undang-Undang, sehingga memerlukan pengetahuan yang luas dan keahlian yang khusus serta tanggung jawab yang berat karena untuk melayani kepentingan umum. Oleh karena itu, Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah itu lebih cermat dalam memahami dan menganalisa persoalan yang mungkin nantinya akan timbul sebagai akibat dari pembuatan akta-akta yang dibuatnya.
B. Hakim Membatalkan Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Nominee Agreement (Stusi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor:82/PDT.G/2013/PN.DPS)
Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa dan budaya yang menyatukan diri dalam suatu wadah Negara kesatuan republik Indonesia. Apabila hal ini dikaitkan dengan pertanahan, maka perbedaan karakteristik dan budaya tersebut menyebabkan beragamnya pola kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah yang ada dan berkembang antara daerah yang satu dengan yang lainnya.
Tanah juga merupakan harta yang sangat bernilai dimana setiap tahunnya selalu memiliki nilai jual yang tidak pernah surut. Tanah memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset, dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan social dikalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan. Sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.73
Permasalahan yang kerap kali timbul berkaitan dengan penguasaan hak atas tanah yaitu bahwa orang asing dilarang memiliki tanah dengan status hak milik sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) UUPA yang menyatakan “ hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Seesorang untuk memilki hak atas tnah yang berstatus hak milik karena merupakan hak yang terkuat dan terpenuh serta tidak ada kadaluarsanya. Hal inilah yang menyebabkan seseorang akan berupaya mengambil jalan pintas agar dapat menguasai hak milik atas tanah dengan suatu perbuatan hukum, dimana perbuatan hukum tersebut merupakan suatu penyelundupan hukum.
Kasus tersebut seperti halnya yang terjadi di Denpasar, Bali dimana kasus antara penggugat warga negara Inggris yaitu Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx dan tergugat I adalah Nyoman
hlm. 1.
73 Xxxxxx Xxxxxx, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia, 2007),
Sutapa, tergugat II Farhat Said, Tergugat III Xxxx Xxxxxx Xxxxxxx, SH (Notaris kabupaten daerah tingakat II badung, Bali), dan tergugat IV aadalah Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung, Bali. I xxxxxx xxxxxx (tergugat I) merupakan seorang teman yang dikenal oleh Xxxxx Xxxxxx (penggugat) disebuah restoran yang sering dikunjunginya. Kasus tersebut telah mendapatkan kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri Denpasar dengan Nomor 82/PDT.G/2013/PN.DPS.
a. Duduk Perkara
Pada tahun 1997-1998 penggugat yaitu Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx yang merupakan seorang warga negara Ainggris, ingin membeli rumah di depan hotel tempatnya menginap dikawasan Kuta. Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx (penggugat) menyampaikan keinginannya tersebut kepada I Xxxxxx Xxxxxx Xxxxx Negara Indonesia sebagai Tergugat I yang merupakan seorang teman yang dikenalnya direstoran yang sering dikunjunginya. Tergugat I menyarankan membeli tanah kosong dan membangun sebuah villa ketimbang membeli rumah tersebut. Tergugat I juga menyatakan kesediannya membantu penggugat mengawasi jalannya pembangunan dan operasioanal villa, apabila telah selesai. Mengingat penggugat tidat berdomisili di Indonesia maka penggugat menyetujui saran dari I Xxxxxx Xxxxxx (tergugat I) tersebut.
Tahun 1998 dengan uang sendiri penggugat membeli sebidang tanah yang terletak di Kerobokan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 3590/Kerobokan Seluas 1500 m2 (seribu limaratus meter persegi). Penggugat adalah warga negara asing dan tidak boleh memiliki tanah hak milik di Indonesia, tergugat I menyarankan penggugat menggunakan namanya dalam sertifikat dan menyakinkannya bahwa tanah tersebut akan aman bersama
tergugat I. agar lebih meyakinkan penggugat. Dihadapan notaris I Xxxxx Xxxxxx Xxxxx Wijaya, kemudian Tergugat I menandatangani pernyatan No. 5 tanggal 3 November 1998 yang mana isi dalam pernyatan tersebut adalah tergugat menyatakan bahwa seluruh uang pembelian atas tanah dengan SHM No. 3590/Kerobokan berasal dari penggugat dan mengakui sepenuhnya kepemilikan atas tanah tersebut berada ditangan penggugat. Selain surat pernyataan tersebut, tergugat I juga menandatangani Kuasa untuk menjual No. 6 tanggal 3 November 1998 dari tergugat I keapada penggugat.
Setelah membeli tanah tersebut diatas, kemudian dilakukan pemecahan atas SHM No. 3590/Kerobokan Untuk kepentingan jalan umum hingga muncullah SHM No. 8939/Kerobokan Kelod seluas 150 dengan surat ukur Xx. 000/0000 xxxxxxxx xx xxxxxxxxx Xxxxx, Xxxxx, Xxxxxx – Bali. Bahwa diatas tanah dengan SHM No. 8939/Kelurahan Kerobokan tersebut dibangunlah sebuah villa yang diberi nama “subaliku vila” (objek sengketa). Pada tanggal 21 Oktober 2005, penggugat dan tergugat I menandatangani perjanjian yang berisi tentang penegasan tentang uang untuk membeli dan membangun obyek sengketa yang berasal dari penggugat. Selain itu di dalam perjanjian tanggal 21 Oktober 2005 ini juga mengatur tentang:
a. Kesediaan tergugat I untuk membantu penggugat apabila objek sengketa akan dijual kepada pihak lain tidak terbatas pada penandatanganan akta-akta/surat-surat yang diperlukan sehubungan dengan penjualan objek sengketa;
b. Hak masing-masing pihak yaitu penggugat dan tergugat I untuk mencari pembeli yang nantinya akan dicari pembeli dengan harga tertinggi yang disepakati oleh Penggugat dan Tergugat I;
c. Pembagian keuntungan apabila objek sengketa dijual, dimana yang dimaksud dengan keuntungan adalah harga jual objek sengketa dikurangi harga beli tanah sebelumnya, biaya pembangunan villa sebesar Rp. 2000.000.000 ( Dua Miliar Rupiah), biaya broker, biaya notaris, pajak-pajak, dan biaya lain yang mungkin timbul berkenaan dengan penjualan objek sengketa. Pembagian keuntungan tersebut dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut:
- Penggugat sebesar 90% dari keuntungan;
- Tergugat I sebesar 10% dari keuntungan.
Maksud dari poin a adalah bahwa tergugat tidak hanya bersedia untuk melakukan penandatanganan akta-akta atau surat-surat yang diperlukan sehubungan dengan penjualan objek sengketa saja, akan tetapi juga melakukan segala sesuatu hal yang berhubungan atau diperlukan untuk kelancaran proses jual beli antara penggugat dan tergugat I.
Semenjak penggugat membeli tanah dan diatas namakan tergugat I, penggugat tidak pernah memegang sertifikat tersebut dikarenakan tergugat I meminta agar sertifikat tersebut tetap di Bali dengan alasan memudahkan apabila dikemudian hari diperlukan untuk kepentingan administrasi.
Tanggal 14 Mei 2012, dengan sepengetahuan penggugat, tergugat I mendaftarkan objek sengketa disalah satu agen property untuk membantu menjual objek sengketa dengan harga Rp. 16.000.000.000,00 (Enam Belas Miliar Rupiah). Sekitar Juli 2012 penggugat menyakan keberadaan sertifikatnya pada tergugat I karena ada pembeli yang tertarik pada objek sengketa dan tergugat I menyatakan bahwa sertifikat masih ada padanya. Pada 10 September 2012, Manager
operasional Subaliku Villa mendapatkan telepon dari seseorang yang mengaku sudah membeli objek sengketa dan berkeinginan untuk membuat janji dengan manager operasional subaliku villa. Keesokan harinya yaitu pada tanggal 11 September 2012, orang yang mengaku kuasa dari pemilik baru objek sengketa dating dan memberikan beberapa dokumen termasuk diantaranya adalah Akta Jual Beli No. 304/2012 tanggal 6 Agustus 2012 antara tergugat I dengan tergugat II dihadapan tergugat III. Kemudian disertakan SHM baru atas objek sengketa yang menunjukkan perubahan dari SHM No. 8939/Kel Kerobokan Kelod seluas
1.450 m2 (seribu empat ratus lima puluh meter persegi) dengan surat ukur No.
354/1999 tanggal 22 Mei 1999 terletak dikerobokan kelod, kuta utara, Badung, Bali, Menjadi SHM No. 5135/Kerobokan Kelod seluas 1.450 m2 (seribu empat ratus lima puluh meter persegi) dengan surat ukur No. 5.071/2012 terletak di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung-Bali dan kepemilikannya pun telah berubah dari tergugat I yaitu I Xxxxxx Xxxxxx kepada tergugat II yaitu Farhat Said.
Tergugat I telah menjual objek sengketa kepada Tergugat II tnapa sepengetahuan dan seiijin dari penggugat, objek sengketa dijual oleh Tergugat I senilai Rp. 6.500.000,00 (Enam Miliar limaratus ribu Rupiah) yanag mana sangat jauh dibawah harga pasar dan bukan harga tertinggi sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian. Hal tersebut mengakibatkan Penggugat telah mengalami kerugian material yaitu:
- Rp. 2.000.000.000,00 (Dua Miliar Rupiah), modal pembelian tanah dan biaya pembangunan objek sengketa yang mana merupakan hak dari penggugat berdasarkan perjanjian tanggal 21 Oktober 2005;
- Keuntungan sebesar 90% dari penjualn objek sengketa yang sesuai harga pasar sebesar :
= 90% x (harga pasar saat ini – Rp. 2000.000.000)
=90% x (Rp. 16.000.000.000 – Rp. 2000.000.000)
=90% x Rp. 14.000.000.000
=Rp. 12.600.000
Jadi total kerugian yang diderita oleh Penggugat adalah
Rp. 2000.000.000 + Rp. 12.600.000 = Rp. 00.000.000.000 (Empat Belas
Miliar Enam Ratus Juta Rupiah).
Perbuatan-perbuatan Tergugat I dan Tergugat II yaitu Farhat Said sebagai pembeli baru tersebut telah menimbulkan kerugian imateriil berupa terganggunya aktivitas dan pekerjaan sehari-hari serta terganggunya ketenangan dan kenyamanan hidup dari penggugat yang sejatinya tidak dapat dinilai dengan materi/uang. Akan tetapi agar gugatan ini tidak diilusioner maka sangatlah untuk mengganti kerugian tersebut dengan sejumlah uang sebesar Rp. 5.000.000.000,- (Lima Miliar Rupiah). Untuk menjamin agar putusan dalam perkara ini dapat segera dijalankan, maka Tergugat I dan Tergugat II harus dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 2000.000,-(Dua Juta Rupiah) setiap harinya apabila melakukan kelalaian dan keterlambatan dalam memenuhi isi putusan dalam perkara ini, terhitung sejak putusan diucapkan sampai dengan
dilaksanakan. Untuk menjamin gugatan Penggugat ini, maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Denpasar untuk dapat meletakkan sita jaminan terhadap objek sengketa yaitu sebidang tanah dengan SHM No. 5135, seluas 1.450 m2 (seribu empat ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kelurahan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung-Bali beserta bangunan berikut seluruh isi yang berada diatasnya.
Dalam gugatannya, pihak Penggugat mengajukan petitumnya yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan hukum perjanjian tanggal 21 Oktober 2005 antara Penggugat dan Tergugat I aadalh sah dan memilki kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan hukum bahwa perbuatan Tergugat I melakukan perikatan Akta Jual Beli No. 304/2012 tanggal 6 Agustus 2012 dengan Tergugat II atas Objek Sengketa tanpa sepengetahuan Penggugat adalah Perbuatan Melawan Hukum dan secara akibat dari dinyatakannya sebagai Perbuatan Melawan Hukum maka Perjanjian Pengikatan Jual Beli Xx. 00 xxxxxxx 00 Xxxxxxx 0000, Xxxxx No. 53 tanggal 12 Januari 2012, dan Akta Jual Beli No. No. 304/2012 tanggal 6 Agustus 2012 pun harus dinyatakan batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum apapun;
4. Menyatakan hukum bahwa perbuatan Tergugat I dan Tergugat II yang melakukan Jual Beli atas Objek Sengketa dengan harga di bawah harga pasar merupakan perbuatan melawan hukum dan dinyatakan batal demi hukum;
5. Menghukum Tergugat I untuk mengembalikan uang sebesar Rp.
6.500.000.000 (Enam Miliar Rupiah) kepada Tergugat II sebagai akibat dibatalkannya Perjanjian Pengikatan Jual Beli Xx. 00 xxxxxxx 00 Xxxxxxx 0000, Xxxxx No. 53 tanggal 12 Januari 2012, dan Akta Jual Beli No. No. 304/2012 tanggal 6 Agustus 2012;
6. Menyatakan hukum bahwa Sertifikat Hak Milik No. 5135, seluas 1.450m2 (Seribu Empat Ratus Lima Puluh Meter Persegi) terletak di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung – Bali atas nama Tergugat II yang dikeluarkan oleh Turut Tergugat adalah tidak sah dan batal demi hukum serta tidak memiliki kekuatan hukum apapun dan sebagai turunannya maka Turut Tergugat untuk menarik, memproses pembatalan Sertifikat Hak Milik No. 5135, seluas 1.450m2 (Seribu Empat Ratus Lima Puluh Meter Persegi) terletak di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung – Bali atas nama Tergugat II sebagai akibat dibatalkannya perjanjian pengikatan jual beli No304/2012 tanggal 6 agustus 2012, dan mengembalikan sertifikat hak milik No. 5135 tersebut menjadi atas nama tergugat I;
7. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar kerugian Materiil yang ditanggung oleh Penggugat secara tunai dan sekaligus dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak putusan berkekuatan hukum tetap kepada Penggugat sebesar Rp. 00.000.000.000 (Empat Belas Miliar Enam Ratus Juta Rupiah);
8. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III secara tanggung renteng untuk membayar kerugian Immateriil yang telah diderita oleh
Penggugat secara tunai dan sekaligus dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak putusan berkekuatan hukum tetap kepada Penggugat yaitu sebesar Rp. 5.000.000.000,- (Lima Milyar Rupiah);
9. Memerintahkan siapapun yang menduduki Objek Sengketa untuk mengosongkan Objek Sengketa dengan bantuan aparat yang berwenang apabila diperlukan;
10. Memerintahkan agar Objek Sengketa dijual lelang dan hasil penjualan digunakan untuk membayar kerugian Penggugat sebesar Rp. 00.000.000.000 (Empat Belas Miliar Enam Ratus Juta Rupiah) apabila Tergugat I dan Tergugat II tidak bisa membayar kerugian Materiil yang diderita oleh Penggugat;
11. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III secara tanggung renteng membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) setiap harinya apabila melakukan kelalaian dan keterlambatan dalam memenuhi isi putusan dalam perkara ini, terhitung sejak putusan diucapkan sampai dengan pelaksanaan isi putusan;
12. Menyatakan hukum bahwa sita jaminan (conservatoir beslaag) adalah sah dan berharga;
13. Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada bantahan, banding, kasasi maupun upaya hukum lainnya (Uitvoerbaar Bijvoorraad);
14. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III untuk secara tanggung renteng membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini;
b. Pertimbangan Hakim dan Putusan Pengadilan
Menimbang bahwa eksepsi bagian A Tergugat II dan Tergugat III menyatakan gugatan penggugat Error In Pesona (gemis aanhoedanigheid/diskualifikasi) bahwa penggugat tidak mempunyai hak dan kapasitas (diskulafikasi / gemis aanhoedanigheid menggugat tergugat II dan III dalam Perkara ini.
Menimbang, bahwa majelis hakim berpendapat adalah hak dari penggugat untuk penggugat siapa saja, yang menurut penggugat telah merugikan diri penggugat tidak terkecuali Tergugat II dan Tergugat III sehingga dengan demikian eksepsi bagian A tersebut tidak beralasan.
Menimbanh, bahwa dalam bagian B Tergugat II dan Tergugat III menyatakan gugatan Penggugat kabur (obscuur libel) antara lain:
a. Bahwa Gugatan Penggugat telah kabur (obscuur libel), karena dalam surat gugatan mengenai definisi dari Obyek Sengketa, Penggugat hanya menyebutkan alamat serta nomor Sertipikat dari Obyek Sengketa dan Penggugat sama sekali tidak menyebutkan batas-batas wilayah yang menjadi objek sengketa, dimana sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung: Putusan MA RI No. 1149 k/Sip/1979, tgl. 17 April 1979, dimana bila tidak dapat dijelaskan batas-batas tanah sengketa maka gugatan tidak dapat
Diterima;
b. Bahwa gugatan Penggugat telah kabur karena mencampur adukan permasalahan wanprestasi (Gugatan Butir 17 dan Gugatan Butir 7) dan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam gugatan butir 7 dan 17, Penggugat seolah – olah menunjukan adanya Perjanjian 7 Oktober 2005 yang mana Perjanjian tersebut mengatur tata
cara penjualan, saham dan pengaturan keuntungan serta operasi mengenai Vila Subaliku/Obyek Sengketa. Dalam butir 17, Penggugat menyatakan bahwa penggugat seharusnya mendapatkan keuntungan dan pendapatan dari penjualan sesuai dengan hitung- hitungan dalam perjanjian, yang mana dilanggar oleh Tergugat I sehingga menyebabkan kerugian materiil bagi Penggugat. Hal ini menjadi absuurd dan sangat tidak jelas, karena dalam petitumnya pun Penggugat menuntut penguatan atas Perjanjian tanggal 21 Oktober 2005 (Perjanjian Perdata) yang mana hal ini menajdi tidak jelas, apakah kita membahas mengenai gugatan PMH atau Wanprestasi;
c. Bahwa Mahkamah Agung pernah mengeluarkan Yurisprudensi berupa Putusan MA bernomor 1875 K/Pdt/1984 tanggal 24 April 1986. Dalam putusan MA itu disebutkan bahwa Penggabungan gugatan perbuatan melawan hukum dengan perbuatan ingkar janji tidak dapat dibenarkan dalam tertib beracara dan harus diselesaikan secara tersendiri pula. Selain itu, M Xxxxx Xxxxxxx dalam bukunya yang bertajuk Hukum Acara Perdata disebutkan bahwa tidak dibenarkan mencampuradukkan wanprestasi dengan PMH dalam ;gugatan;
Menimbang, bahwa Tergugat II dan Tergugat III dalam bagian point 1 menyatakan gugatan penggugat kabur karena tidak menebutkan batas-batas wilayah yang menjadi objek sengketa.
Menimbang, bahwa majelis hakim berpendapat, walaupun penggugat tidak menyebutkan batas-batas wilayah objek sengketa namun dalam point 5 dan 7 surat gugatan penggugat telah menyatakan XXX Xx. 0000/Xxx Xxxxxxxxx Xxxxx seluas 1.450
m2 (Seribu Empat Ratus Lima Puluh Meter Persegi) dengan surat ukur No. 354/1999 tanggal 22 Mei 1999 terletak di Kerobokan Kelod, Kuta Utara, Badung-Bali ada bangunan villa yang diberi nama subali villa yang selanjutnya disebut objek sengketa telah cukup menjelaskan tentang objek sengketa sehingga dengan demikian eksepsi dalam point 1 tersebut tidak beralasan.
Menimbang, bahwa dalam bagian B point 2 dan 3 menyatakan Gugatan Penggugat telah kabur karena mencampur adukan permasalahan wanprestasi (Gugatan butir 17 dan Gugatan butir 7) dan perbuatan melawan hukum;
Bahwa berdasarkan yurisprudensi MA Nomor 1875 K/Pdt/1984 tanggal 24 April 1986 dan X. Xxxxx Xxxxxxx dalam bukunya yang bertajuk hukum acara perdata disebutkan bahwa tidak dibenarkan mencampur adukkan wanprestasi dengan PMH dalam gugatan.
Menimbang, bahwa dalam gugatan penggugat butir 17 dan gugatan butir 7 tidak ada pernyataan tentang wanprestasi tetapi yang ada adalah perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat II dan Tergugat III merupakan perbuatan melawan hukum oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat eksepsi tersebut harus dinyatakan tidak beralasan.
Menimbang, bahwa dalam bagian C dari eksepsi Tergugat II dan Tergugat III menyatakan Penggugat telah sadar melakukan penyelundupan hukum dan melakukan perbuatan melawan hukum.
Menimbang, bahwa dari uraian tersebut yang menyebutkan alasan-alasannya yang terdapat dalam point 1 sampai point 5 adalah memerlukan pembuktian dan telah menyentuh dari perkara sehingga bukan lagi wilayah eksepsi maka dengan demikian majelis hakim berpendapat eksepsi dalam bagian C tersebut juga tidak beralasan.
Menimbang bahwa dalam bagian D eksepsi Tergugat II dan Tergugat III menyatakan Gugatan yang diajukan penggugat adalah Prematur, terlalu dini dan cenderung bagian dari konsipirasinya yang melawan hukum.
Menimbang, xxxxx xxxxx xxxxx 0 dan point 2 Penggugat telah melaporkan tindakan Tergugat I dalam menjual obyek sengketa sebagai tindakan penipuan dan penggelapan karena melanggar ketentuan Perjanjian 21 Oktober 2005 diantara mereka.
Menimbang, bahwa majelis hakim berpendapat putusan pidana tidaklah merupakan alasan menuntut untuk mendapatkan kompensasi dari tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I maka oleh karena itu eksepsi bagian B point 2 juga tidak beralasan.
Menimbang, bahwa eksepsi Tergugat bagain D point 3 oleh karena memerlukan pembuktian tentunya sudah masuk dalam pokok perkara bukan wilayah eksepsi, maka eksepsi point 3 tersebut juga tidak beralasan.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas majelis hakim berpendapat eksepsi Tergugat II dan Tergugat III harus ditolak karena tidak berasalan.
Dalam Pokok Perkara
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan surat gugatan penggugat adalah sebagaimana tersebut diatas.
Menimbang, bahwa adapun permasalahan inti dari gugatan penggugat adalah bahwa Tergugat I telah menjual obyek sengketa kepada Tergugat tanpa sepengetahuan dan seijin dari penggugat.
Bahwa jual beli tersebut telah dituangkan dalam akta jual beli No. 304/2012 tanggal 6 Agustus 2012.
Bahwa obyek sengketa dijual oleh Tergugat I kepada Tergugat II seharga Rp. 6.500.000.000,00 (Enam Miliar Lima Ratus Juta Rupiah) yang mana harga tersebut sangat jauh dari harga pasar.
Bahwa harga tanah dan bangunan yang terletak didaerah letak dari obyek sengketa adalah sebagaimana ditentukan dalam perjanjian tanggal 21 Oktober 2005.
Bahwa perbuatan Tergugat I dan Tergugat II melakukan jual beli dari obyek sengketa dengan harga jauh dibawah harga pasar adalah merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat.
Menimbang, bahwa Tergugat I, II dan III membantah isi surat gugatan tersebut, oleh karena dibantah selanjutnya Penggugat harus membuktikan dalil-dalil gugatannya tersebut.
Menimbang, bahwa benar pada Tahun 1998 Penggugat dengan uang miliknya sendiri membeli sebidang tanah yang terletak didaerah kerobokan dengan SHM No. 0000/Xxxxxxxxx xxxxxx 0000 x0. Karena Penggugat adalah warga negara asing dan tidak boleh memiliki tanah hak milik di Indonesia, maka Penggugat menggunakan nama Tergugat I di dalam sertifikat tersebut.
Bahwa benar setelah membeli tanah tersebut, kemudian dilakukan pemecahan atas SHM No. 3590/Kel Kerobokan Kelod seluas 1.450 m2 (Seribu Empat Ratus Lima Puluh Meter Persegi) dengan Surat Ukur No. 354/1999 tanggal 22 Mei 1999 terletak di Kerobokan Kelod, Kuta Utara, Badung-Bali.
Menimbang, bahwa bersdarkan bukti P-1 terbukti I Xxxxxx Xxxxxx (Tergugat I) menerima uang dari Penggugat sebesar Rp. 247.500.000,- (Dua Ratus Empat Puluh Tujuh Juta Lima Ratus Rupiah) untuk pembayaran tanah tersebut diatas.
Menimbang, bahwa benar Penggugat diatas tanah seluas 1.450 m2 (Seribu Empat Ratus Lima Puluh Meter Persegi) telah mendirikan bangunan villa yang dikenal dengan nama Subaliku Villa dengan biaya sepenuhnya berasal dari Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx (Penggugat) bukti P-5: menimbang bahwa benar dalam proses pembuatan jual beli tersebut yang dibuat dihadapan notaris telah dikeluarkan biaya sebesar Rp. 350.000,- (Tiga Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) bukti P-4.
Menimbang, bahwa benar I Xxxxxx Xxxxxx (Tergugat I) membuat kuasa dengan Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx (Penggugat) untuk menjual atau mengalihkan hak atas sebidang tanah dengan SHM No. 3590/Kerobokan seluas 1.500 m2. Berdasarkan bukti P-3.
Menimbang, bahwa I Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx I menyatakan segala keuangan dari pembelian tanah dengan SHM No. 3590/Kerobokan seluas 1.500 m2. Seluruhnya berasal dari Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx (Penggugat) berdasarkan bukti P-2.
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi Penggugat yaitu:
1. Saksi I Xxxxxx Xxxxxxxx;
2. Saksi I Xxxxx Xxxxxx;
3. Saksi Ni Luh Xxxxxxx;
4. Saksi Xxxx Xxxxxxxx;
5. Saksi Xxx Xxxxx Xxxxxxx;
6. Ngurah Alit Sutiaka;
7. Saki I Xxxxx Xxxxx;
8. Saksi Xxxxx Arryono, pada intinya menyatakan Penggugat adalah pemilik tanah dan Villa Subaliku dan Tergugat I adalah mitra kerja dari Penggugat.
Menimbang, bahwa dalah pakta sertifikat tanah yang menjadi obyek sengketa tidak pernah dipegang oleh Penggugat tapi berada pada kekuasaan Tergugat I.
Menimbang, bahwa adalah Benar Tergugat I telah menyalah gunakan kepercayaan Penggugat dengan cara diam-diam dengan Tergugat II telah melakukan transaksi jual-beli terhadap obyek sengketa dihadapan Tergugat III dengan kesepakatan harga Rp. 6.500.000.000,- (Enam Miliar Lima Ratus Juta Rupiah) berdasarkan bukti T.II- 1, T.II-3, T.II-4, T.II-5, T.II-6, T.II-7.
Menimbang, bahwa untuk menyatakan telah terjadi jual beli antara Tergugat I dengan Tergugat II tersebut kuasa Tergugat II telah menghadirkan saksi-saksi yaitu Xxxxx Xxxxxx menerangkan tidak melihat pada waktu penandatanganan Akta jual beli antara Tergugat I dengan Tergugat II.
Bahwa pada waktu transaksi jual beli di Notaris Xxx Xxxxxx Xxxxxxx Tergugat I menyatakan sertifikat ada dinotaris lain dan saksi tidak mengetahui mengapa sertifikat ada di notaris lain.
Bahwa saksi tidak mengetahui tentang sertifikat dijaminkan oleh Tergugat I menyatakan sertifikat ada di notaris lain dan saksi tidak mengetahui mengapa sertifikat ada dinotaris lain.
Bahwa saksi Kedafi menerangkan berada dikantor notaris tapi tidak dalam ruang notaris sehingga tidak mengetahui secara langsung transaksinya.
Bahwa saksi mengetahui kesepakatan harga setelah penandatanganan akta jual beli yaitu Rp. 6,5 Miliar.
Menimbang, bahwa Majelis hakim sependapat dengan kuasa hukum Tergugat I dan Tergugat III yang dalam eksepsinya menyatakan perjanjian yang dilakukan oleh penggugat dengan Tergugat I adalah perjanjian Nominee;
Menimbang, bahwa cirri-ciri dari perjanjian Nominee adalah :
a. Terdapatnya 2 jenis kepemilikan yaitu kepemilikan secara hukum ( de jure ) dan kepemilikan secara tidak langsung (de facto);
b. Dalam kepemilikan tanah di Indonesia dalam hal ini Warga Negara Indonesia terdaftar sebagai pemilik yang sah dan tercatat dalam sertifikat tanah dan buku tanah di Badan Pertanahan Nasional setempat;
c. Terdapat Nominee Agreement yang wajib ditandatangani antara Nominee dan benefisiari (pemilik tidak langsung) sebagai landasan dari penggunaan konsep nominee;
d. Pihak Nominee menerima fee dalam jumlah tertentu sebagai konpensasi penggunaan nama dan identitas dirinya untuk kepentingan benefisiari (pemilik tidak langsung)
Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat perjanjian Nominee telah menimbulkan ketidak pastian hukum dimana ada dua kepemilikan terhadap tanah yaitu kepemilikan secara hukum (de jure) dan kepemilikan secara tidak langsung (de facto) ;
Menimbang, bahwa terkait dengan perkara aquo dimana Tergugat I sebagai pemilik secara hukum atas tanah obyek sengketa dan Penggugat sebagai pemilik tidak langsung (de facto) maka Majelis Hakim berpendapat sesuai dengan ketentuan pasal 21 Undang Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 menyatakan tidak memperbolehkan Warga Negara Asing memiliki tanah dengan hak milik;
Menimbang, bahwa oleh karena itu segala perjanjian yang dibuat antara Tergugat I dengan Penggugat menjadi batal sedangkan perjanjian jual beli yang dilakukan oleh Tergugat I terhadap pihak penjual tanah adalah sah;
Sehingga dengan demikian perjanjian Nominee antara Penggugat dengan Tergugat I yaitu X-0, X-0, X-0 adalah batal karena bertentangan dengan ketentuan pasal 1337 KUHPerdata;
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah perjanjian jual beli yang dilakukan antara Tergugat I dengan Tergugat II adalah sah atau tidak;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim akan mencermati akta perjanjian No. 52 tanggal 12 Januari 2012;
Xxxxx xxxxx xxxx xxxxxxxxxx Xx. 00 xxxxxxx 00 Januari 2012 pasal 2 dalam aline kedua berbunyi apabila pihak pertama mau membatalkan jual beli ini atau membeli kembali maka pihak pertama berjanji dan mengikat diri akan memberi konpensasi sebesar Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) kepada pihak kedua sehingga total yang harus dibayarkan pada pihak kedua sebesar Rp. 6.500.000.000,- (enam milyar lima ratus juta rupiah) sesuai dengan harga jual;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat perjanjian yang dilakukan antara Tergugat I dengan Tergugat II dihadapan Tergugat III adalah konsep perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali;
Menimbang, bahwa sejak diundangkannya Undang Undang pokok Agraria No.5 Tahun 1960 perihal jual beli tanah tidak lagi tunduk kepada KUHPerdata karena sudah diatur secara tegas dalam Undang Undang pokok Agraria yang bersumber pada hukum
adat. Oleh karena itu segala perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali harus dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan undang –undang;
Menimbang, bahwa oleh karena itu maka akta perjanjian Xx. 00 xxxxxxx 00 Xxxxxxx 0000 xxxxxx tidak sah;
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mencermati akta perjanjian Xx. 00 xxxxxxx 00 Xxxxxxx 0000, xxxxxx telah perjanjian tersebut melanggar ketentuan pasal 1320 KUHPerdata tentang adanya cacat kehendak;
Menimbang, bahwa dalam perkembangan hukum ada perjanjian yang disebut perjanjian dengan penyalah guna keadaan;
Bahwa penyalah guna keadaan adalah salah satu pihak mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain menyalahi suatu keadaan kekhususan seperti ketergantungan. Contohnya adalah penyalah guna keadaan karena keunggulan ekonomi;
Menimbang, bahwa penyalah guna keadaan yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam membuat suatu perjanjian merupakan cacat kehendak dimana ada pihak dalam keadaan tidak bebas melakukan perjanjian dikarenakan tekanan, sehingga dapat dibatalkan karena tidak memenuhi kesepakatan sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata;
Menimbang, bahwa apabila dikaitkan dengan akta perjanjian No. 52 tanggal 12 Januari 2012 tersebut terdapat petunjuk yang menyatakan perjanjian tersebut adalah perjanjian yang menyalah gunakan keadaan karena keunggulan ekonomi salah satu pihak adalah :
a. Bahwa Tergugat I dalam perjanjian tersebut telah mempunyai hutang terhadap pihak lain dan selanjutnya atau dilunasi dengan membuat hutang baru sebagaimana disebut dalam akta perjanjian No. 52 tanggal 12 Januari 2012 tersebut;
b. Bahwa Tergugat I dibebani konpensasi atas hutang sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dengan konfensasi sebesar Rp. 1.500.000.000,- ( satu milyar lima ratus juta rupiah) konpensasi tersebut/kalau dihitung sama dengan bunga sebesar 30
% per enam bulan;
c. Bahwa Tergugat I menuruti saja kehendak Tergugat II walaupun tahu harga tanah dan bangunan tersebut dijual dengan harga Rp. 6.500.000.000,- (enam milyar lima ratus juta rupiah) yang mana menurut saksi ahli Xx. Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx Msc.seharusnya tanah dan bangunan tersebut pada waktu itu dapat dijual dengan harga Rp. 8,5 Milyar sampai Rp. 9 Milyar;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat akta perjanjian No. 52 tanggal 12 Januari 2012 tersebut adalah cacat kehendak sehingga bertentangan dengan ketentuan pasal 1320 KUHPerdata maka akta perjanjian Xx. 00 xxxxxxx 00 Xxxxxxx 0000 xxxxxx xxxxx;
Menimbang, bahwa oleh karena perjanjian Xx. 00 xxxxxxx 00 Xxxxxxx 0000 xxxxxxxxxx xxxxx dengan alasan dua pelanggaran hukum yaitu:
a. Perjanjian tersebut dibuat dengan kontruksi hukum perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali;
b. Perjanjian tersebut cacat kehendak melanggar ketentuan pasal 1320 KUHPerdata;
Bahwa akibat batalnya perjanjian No. 52 Tanggal 12 Januari 2012 tersebut maka seluruh perjanjian yang mengikuti perjanjian tersebut menajdi batal pada yaitu:
a. Akta kuasa Nomor 53 tanggal 12 Januari 2012, bukti T-II-2;
b. Akta Jual Beli Nomor 304 tanggal 6 Agustus 2012 bukti T-II-3;
Menimbang, bahwa dengan batalnya akta jual beli tertanggal 6 Agustus 2012 maka berakibat sertifikat tanah SHM No. 5135/Kerobokan Kelod dinyatakan tidak berkekuatan hukum.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan keadilan maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan tuntutan subsider dari Penggugat;
Menimbang, bahwa dengan dinyatakannya sertifikat tanah SHM No. 5135/Kerobokan Kelod tidak berkekuatan hukum maka adalah adil untuk mengembalikan tanah dan bangunan kesertifikat atas nama tergugat I I Xxxxxx Xxxxxx;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat Tergugat I telah memanfaatkan perjanjian Nominee tersebut untuk kepentingan dan keuntungan dirinya sehingga merugikan pihak Penggugat maka adalah layak apabila tanah dan bangunan yang dimiliki oleh Tergugat I adalah merupakan investasi dari Penggugat;
Menimbang, bahwa untuk mengembalikan investasi yang sudah ditanamkan di tanah dan bangunan tersebut maka adalah layak tanah dan bangunan atas nama Tergugat I dilelang;
Menimbang, bahwa menurut pendapat saksi ahli Xx. Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx Msc. Menyatakan nilai tanah pada bulan Agustus 2012 disekitar Villa Subaliku adalah 4 sampai 5 juta rupiah per 1 M2 dan sekarang harga tanah didaerah Kerobokan adalah 18 juta sampai 20 juta rupiah per 1 M2;
Menimbang, bahwa pada waktu nilai tanah dan bangunan Villa Subaliku adalah 8,5 sampai 9 milyar rupiah bulan Agustus 2012, adalah wajar apabila sekarang dinilai
sebanding dengan naiknya harga tanah sampai 20 juta rupiah per 1 M2, harga tanah dan bangunan Villa Subaliku dinilai seharga minimal 18 milyar rupiah;
Menimbang, bahwa adalah adil apabila investasi penggugat dikembalikan senilai Rp.12 Milyar dan sisanya dikembalikan kepada Tergugat I untuk membayar hutangnya kepada tergugat II sebesar Rp. 6.500.000.000,- (enam milyar lima ratus juta rupiah) akibat batalnya jual beli antara Tergugat I dengan Tergugat II;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah dipertimbangkan ternyata telah dapat menjelaskan duduk perkara antara Penggugat dengan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III sehingga terhadap bukti-bukti lainnya tidak perlu lagi dipertimbangkan baik bukti dari pihak Penggugat maupun bukti dari pihak Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III Menimbang, bahwa tentang tuntutan-tuntutan Penggugat lainnya karena tidak beralasan harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena itu maka gugatan Penggugat dikabulkan untuk sebagian;
Menimbang, bahwa tentang biaya perkara oleh karena Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III dinyatakan kalah maka biaya perkara dibebankan pada mereka;
Mengingat dan memperhatikan peraturan PerUndang-Undangan yang bersangkutan.
MENGADILI :
Dalam Eksepsi;
- Menolak Eksepsi Tergugat II dan Tergugat III; Dalam Pokok Perkara;
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian ;
2. Menyatakan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
3. Menyatakan Perjanjian Jual Beli Xx. 00 xxxxxxx 00 Xxxxxxx 0000, Xxxxx No. 53 tanggal 12 Januari 2012, dan Akta Jual Beli No. No. 304/2012 tanggal 6 Agustus 2012 dinyatakan batal ;
4. Menyatakan Sertifikat Hak Milik No. 5135, seluas 1.450 m2 (Seribu Empat Ratus Lima Puluh Meter Persegi) terletak di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung – Bali atas nama Farhat Said ( Tergugat II ) tidak berkekuatan Hukum;
5. Memerintahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Badung, Bali (Turut Tergugat) untuk mengembalikan Sertifikat Hak Milik No. 5135, seluas 1.450m2 (Seribu Empat Ratus Lima Puluh Meter Persegi) terletak di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung – Bali menjadi atas nama I Xxxxxx Xxxxxx (Tergugat I);
6. Memerintahkan agar Objek Sengketa dijual lelang dan hasil penjualan lelang digunakan untuk membayar investasi yang telah ditanam Penggugat sebesar Rp. 12.000.000.000 (Dua Belas Miliar Rupiah) ;
7. Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 891.000,- (delapan ratus sembilan puluh satu ribu rupiah ).