PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN PERIODE I TAHUN ANGGARAN 2021 NOMOR : 776-Int-KLPPM/UNTAR/V/2021
PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN PERIODE I TAHUN ANGGARAN 2021 NOMOR : 776-Int-KLPPM/UNTAR/V/2021
Pada hari ini Sabtu tanggal 15 bulan Mei tahun 2021 yang bertanda tangan di bawah
ini:
1. Nama : Xxx Xxx Xxxx, Ph.D.
Jabatan : Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Alamat : Letjen S. Xxxxxx Xx.0, Xxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx, 11440 selanjutnya disebut Pihak Pertama
2. Nama : Xxxxxxxxx X.X. Xxxxxx, X.X.,M.H. Jabatan : Dosen Tetap
Fakultas: Hukum
Alamat : Letjen S. Xxxxxx No. 0, Xxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx, 00000
Bertindak untuk diri sendiri dan atas nama anggota pelaksana Penelitian :
1. Nama : Xx. Xxxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H.
Jabatan : Dosen Universitas Trisakti selanjutnya disebut Pihak Kedua
Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat mengadakan Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor 776-Int-KLPPM/UNTAR/V/2021 sebagai berikut:
Pasal 1
(1). Pihak Pertama menugaskan Pihak Kedua untuk melaksanakan Penelitian atas nama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Tarumanagara dengan judul “Dampak Transplantasi Hukum Merek Dalam Menerapkan Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Kintamani (Kajian Pada Masyarakat Adat Kabupaten Bangli-Bali)”.
(2). Biaya pelaksanaan penelitian sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas dibebankan kepada Pihak Pertama melalui anggaran Universitas Tarumanagara.
(3). Besaran biaya pelaksanaan yang diberikan kepada Pihak Kedua sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), diberikan dalam 2 (dua) tahap masing-masing sebesar 50%.
(4). Pencairan biaya pelaksanaan Tahap I akan diberikan setelah penandatanganan Perjanjian Pelaksanaan Penelitian.
(5). Pencairan biaya pelaksanaan Tahap II akan diberikan setelah Pihak Kedua
melaksanakan Penelitian, mengumpulkan:
a. Hard copy berupa laporan akhir sebanyak 5 (lima) eksemplar, logbook 1(satu) eksemplar, laporan pertanggungjawaban keuangan sebanyak 1 (satu) eksemplar, luaran penelitian; dan
b. Softcopy laporan akhir, logbook, laporan pertanggungjawaban keuangan, dan luaran penelitian.
(6). Rincian biaya pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) terlampir dalam Lampiran Rencana Penggunaan Biaya dan Rekapitulasi Penggunaan Biaya yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian ini.
(7). Penggunaan biaya penelitian oleh Pihak Kedua wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak melampaui batas biaya tiap pos anggaran yang telah ditetapkan; dan
b. Peralatan yang dibeli dengan anggaran biaya penelitian menjadi milik Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(8). Daftar peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) di atas wajib diserahkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah penelitian selesai.
Pasal 2
(1). Pelaksanaan kegiatan Penelitian akan dilakukan oleh Pihak Kedua sesuai dengan proposal yang telah disetujui dan mendapatkan pembiayaan dari Pihak Pertama.
(2). Pelaksanaan kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam Periode II, terhitung sejak Januari – Juni 2021.
Pasal 3
(1). Pihak Pertama mengadakan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh Pihak Kedua.
(2). Pihak Kedua diwajibkan mengikuti kegiatan monitoring dan evaluasi sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Pihak Pertama.
(3). Sebelum pelaksanaan monitoring dan evaluasi, Pihak Kedua wajib mengisi lembar monitoring dan evaluasi serta melampirkan laporan kemajuan pelaksanaan penelitian dan logbook.
(4). Laporan Kemajuan disusun oleh Pihak Kedua sesuai dengan Panduan Penelitian yang telah ditetapkan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
(5). Lembar monitoring dan evaluasi, laporan kemajuan dan logbook diserahkan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan.
Pasal 4
(1). Pihak Kedua wajib mengumpulkan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan luaran.
(2). Laporan Akhir disusun oleh Pihak Kedua sesuai dengan Panduan Penelitian yang telah ditetapkan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
(3). Logbook yang dikumpulkan memuat secara rinci tahapan kegiatan yang telah dilakukan oleh Pihak Kedua dalam pelaksanaan Penelitian.
(4). Laporan Pertanggungjawaban yang dikumpulkan Pihak Kedua memuat secara rinci penggunaan biaya pelaksanaan Penelitian yang disertai dengan bukti-bukti.
(5). Batas waktu pengumpulan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan luaran wajib berupa Jurnal (Juni 2021).
(6). Apabila Pihak Kedua tidak mengumpulkan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan Luaran sebagaimana disebutkan dalam ayat (5), maka Pihak Pertama akan memberikan sanksi.
(7). Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa proposal penelitian pada periode berikutnya tidak akan diproses untuk mendapatkan pendanaan pembiayaan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Pasal 5
(1). Dalam hal tertentu Pihak Kedua dapat meminta kepada Pihak Pertama untuk memperpanjang batas waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (5) di atas dengan disertai alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2). Pihak Pertama berwenang memutuskan menerima atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3). Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) kali.
Pasal 6
(1). Pihak Pertama berhak mempublikasikan ringkasan laporan penelitian yang dibuat Pihak Kedua ke dalam salah satu jurnal ilmiah yang terbit di lingkungan Universitas Tarumanagara.
(2). Pihak Kedua memegang Hak Cipta dan mendapatkan Honorarium atas penerbitan ringkasan laporan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3). Pihak Kedua wajib membuat poster penelitian yang sudah/sedang dilaksanakan, untuk dipamerkan pada saat kegiatan Research Week tahun terkait.
(4). Pihak Kedua wajib membuat artikel penelitian yang sudah dilaksanakan untuk diikut sertakan dalam kegiatan International Conference yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(5). Penggandaan dan publikasi dalam bentuk apapun atas hasil penelitian hanya dapat dilakukan oleh Pihak Kedua setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Pihak Pertama.
Pasal 7
(1). Apabila Pihak Kedua tidak mengumpulkan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan Luaran sesuai dengan batas akhir yang ditetapkan, maka Pihak Pertama akan memberikan sanksi.
(2). Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah proposal penelitian pada periode berikutnya tidak akan diproses untuk mendapatkan pendanaan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Pasal 8
(1). Apabila terjadi perselisihan menyangkut pelaksanaan penelitian ini, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah.
(2). Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diserahkan kepada Pimpinan Universitas Tarumanagara.
(3). Keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bersifat final dan mengikat.
Demikian Perjanjian Pelaksanaan Penelitian ini dibuat dengan sebenar-benarnya pada hari, tanggal dan bulan tersebut diatas dalam rangkap 2 (dua), yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Pihak Pertama
Jap Tji Beng, Ph.D.
Pihak Kedua
Xxxxxxxxx X.X. Xxxxxx, X.X., X.X
RENCANA PENGGUNAAN BIAYA (Rp)
Rencana Penggunan Biaya | Jumlah |
Honorarium | Rp 2.000.000,- |
Pelaksanaan Penelitian | Rp 8.000.000,- |
REKAPITULASI RENCANA PENGGUNAAN BIAYA (Rp)
No. | Pos Anggaran | Tahap I | Tahap II | Jumlah |
1. | Honorarium | 1.000.000,- | 1.000.000,- | 2.000.000,- |
2. | Pelaksanaan penelitian | 4.000.000,- | 4.000.000,- | 8.000.000,- |
Jumlah | 5.000.000,- | 5.000.000,- | 10.000.000,- |
Jakarta, 10 Juni 2021 Peneliti,
(Xxxxxxxxx X.X. Xxxxxx, X.X., X.X)
TRANSPLANTASI HUKUM MEREK DALAM MELINDUNGI INDIKASI GEOGRAFIS KOPI KINTAMANI
(KAJIAN PADA MASYARAKAT BALI)
Xxxxxx Xxxxxxx
Xxxxx Fakultas Hukum Universitas Trisakti
(E-mail: xxxxxx.xxxxxxx@xxxxxxxx.xx.xx)
Xxxxxxxxx X.X. Kansil
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
(E-mail: XxxxxxxxxxxxxxxXxxxxxxxxxXXX@xxxxx.xxx )
Xxxxxxxx Xxxxx
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisaktii
(E-mail: xxxxxxxx.x@xxxxxxxx.xx.xx)
ABSTRAK
Setiap negara memiliki potensi yang berbeda dengan negara lain, misalnya Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan alam dan nilai kekerabatan yang erat. Di era globalisasi negara maju menerapkan transplantasi hukum merek untuk menstandarkan hukum merek dalam menunjang kepentingan mereka di pasar bebas. Salah satunya, perlindungan indikasi geografis yang telah diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Bagaimana transplantasi hukum dalam melindungi indikasi geografis kopi Kintamani untuk meningkatkan nilai ekonomi produknya? dan bagaimana upaya berbagai pihak di Kabupaten Bangli Bali dalam melestarikan lingkungan geografis kopi Kintamani? Jenis penelitian ini bersifat normatif dengan pendekatan budaya terhadap masyarakat dan menggunakan data sekunder serta dianalisis secara kualitatif. Transplantasi hukum berjalan seiring dengan budaya hukum masyarakat penghasil kopi. Hal ini, dapat dilihat dari pemahaman masyarakat dalam pengelolaan kopi yang dilindungi indikasi geografis dan upaya melestarikan geografisnya. Upaya masyarakat menjaga lingkungan geografisnya didukung oleh hubungan kekerabatan yang erat. Terpelihara lingkungan geografis merupakan salah satu syarat mempertahankan perlindungan indikasi geografis. Pemerintah Daerah dan berbagai pihak berupaya mempromosikan dan memasarkan produk kopi Kintamani. Namun, untuk meningkatkan nilai ekonomi dan menguasai pangsa pasar, perlu diupayakan untuk pendaftaran merek kolektif bagi produk kopi Kintamani.
Kata Kunci: Transplantasi Hukum Merek, Indikasi Geografis Kopi Kintamani
I. PENDAHULUAN
Di era globalisasi ini setiap Negara harus mampu mengembangkan potensinya untuk dapat berperan aktif di pasar bebas. Namun, globalisasi yang terjadi tidak dapat melepaskan diri dari transplantasi hukum modern Negara maju ke negara-negara berkembang. Transplantasi dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan Negara maju di pasar bebas. Di sisi lain, transplantasi hukum membawa pengaruh langsung bagi perubahan budaya hukum masyarakat lokal di Indonesia, mengingat budaya hukum masyarakat Indonesia yang
bersifat komunal. Perbedaan budaya hukum ini terkait dengan historis dan kondisi alam yang ada di berbagai Negara, misalnya Indonesia sebagai Negara agraris merupakan yang memiliki nilai kekerabatan yang kental berkonsep komunal, sedangkan Negara maju yang berlandaskan pada prinsip kompetisi dan kapitalis mendorong masyarakatnya bersifat individual.
Salah satu produk hukum modern yang harus ditransplantasi adalah perlindungan indikasi geografis, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, disingkat UU Merek dan IG.
Perlindungan indikasi geografis ini diawali dengan negara Perancis. Amerika mengakomodasi fungsi indikasi geografis dalam Undang-Undang mereknya dan memfungsikan sebagai merek kolektif. (Xxxxx Xxxxxxxx,2014:102). Oleh karena itu, negara maju memasukkan peraturan indikasi geografis telah lama mendapat pengakuan, terbukti dari dicantumkannya indikasi geografis dalam Pasal 22 ketentuan Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, disingkat TRIPs.
Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi besar untuk menghasilkan berbagai jenis tanaman dibidang pertanian yang berpotensi dilindungi indikasi geografis. Selama ini sudah cukup banyak produk yang dilindungi indikasi geografis, dan yang pertama kali mendapatkan perlindungan indikasi geografis pada Juli tahun 2007 adalah kopi Kintamani Bali.
Di era pasar bebas ini perlindungan indikasi geografis memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Salah satu syarat memperoleh indikasi geografis produk yang memiliki rasa khas dan istimewa yang terkait langsung dengan linkungan geografisnya. Namun, perlindungan indikasi geografis bukan merupakan akhir tetapi awal dari proses hukumnya. Hal ini disebabkan perlindungan indikasi geografis tetap memperoleh perlindungan hukum selama produk pertanian tersebut dapat mempertahankan rasa yang khas dan unik dari produknya. Hal ini merupakan persyaratan yang tertuang dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis, disingkat UU Merek dan IG, untuk memperoleh perlindungan indikasi geografis barang harus berasal dari daerah asal yang memiliki keunikan yang tidak sama dengan daerah manapun di dunia ini. Oleh karena itu, barang yang menggunakan indikasi tersebut harus berhubungan dengan tempat atau daerah barang itu berasal, kualitas atau karakteristik dari produk tersebut dan kualitas atau karakteristik harus terkait dengan kondisi geografis dan karakteristik masyarakat tempat asal barang. (Xxxx Xxxxxxxx, 2005: 9&10)
Indikasi georafis merupakan salah satu aspek hukum yang dikenal dalam hak kekayaan intelektual. Dalam kenyataannya indikasi geografis dapat digolongkan dalam
kekayaan intelektual komunal, karena kepemilikan indikasi geografis dimiliki secara komunal oleh masyarakat penghasilnya. Khusus bagi kopi Kintamani dimiliki secara Bersama sama oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Kintamani, yang disingkat dengan MPIG Kopi Kintamani. (Berita Resmi Indikasi Geografis, 2007)
Salah satu aspek yang menarik adalah eratnya sistem kekerabatan di masyarakat Kabupaten Bangli Bali yang dikenal dengan istilah subak. dimana setiap desa yang disebut banjar di Kabupaten Bangli terlibat dalam mengelola dan mengembangkan kopi Kintamani untuk mendukung dan mempermudah pengelolaan kopi Kintamani masyarakat Kabupaten Bangli. Bentuk usaha koperasi dianggap sesuai dengan sistem kekerabatan masyarakat setempat yang komunal. Khusus dalam penelitian ini dipilih Koperasi Tani MPIG kopi Kintamani yang dikelola masyarakat Kabupaten Bangli. (I Xxxxx Xxxxxx, Juni 2007: 244)
Apabila dikaji secara lebih mendalam, kendala yang timbul berkaitan dengan indikasi geografis, bukan cara memperoleh sertifikat indikasi geografis tersebut. Namun, perlindungan indikasi geografis terkait erat dengan lingkungan geografis dan apabila terjadi kerusakan lingkungan geografisnya berakibat berakhirnya perlindungan indikasi geografis. Alasannya kerusakan lingkungan akan mengakibatkan turunnya kualitas barang yang diproduksinya. Sehingga daerah-daerah seperti Kabupaten Kintamani memiliki kewajiban untuk melestarikan lingkungan geografis dimana kopi Kintamani tersebut tumbuh agar kualitas kopinya tetap dapat terjamin. Sehingga dapat dikatakan bahwa perlindungan indikasi geografis akan berakhir bila lingkungan geografisnya berubah, baik terkait dengan alam ataupun manusianya. Berdasarkan konsep ini, maka perlindungan indikasi geografis adalah awal dari suatu perjalanan dan dapat berlangsung langgeng apabila semua pihak tetap dapat menjaga lingkungan geografisnya. Berkaitan dengan upaya untuk menjaga lingkungan geografis dipengaruhi oleh tingkat budaya hukum masyarakat Kabupaten Bangli untuk memelihara lingkungan geografis tersebut. Upaya memelihara lingkungan geografis dalam melindungi indikasi geografis terkait dengan kemampuan memahami UU Merek dan IG, khususnya mengenai perlindungan indikasi geografis dan memahami Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, selanjutnya disingkat dengan PP Indikasi Geografis.
Oleh karenanya, budaya hukum tidak dapat dilepaskan dengan tingkat pemahaman yang baik, yang selanjutnya diikuti dengan ketaatan serta perilaku hukum agar penerapan UU Merek dan IG khususnya perlindungan indikasi geografis dapat efektif. Hal lain yang perlu diketahui oleh masyarakat setempat bahwa perlindungan indikasi geografis juga terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual lainnya seperti merek atau paten
untuk melindungi teknologi dalam mengembangkan cara pengelolaan kopi tersebut sebagai satu kesatuan perlindungan.
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka permasalahan yang dibahas, adalah:
A. Bagaimana transplantasi hukum dalam melindungi indikasi geografis kopi Kintamani guna meningkatkan nilai ekonomi produknya?
B. Bagaimana upaya berbagai pihak di Kabupaten Bangli Bali dalam melestarikan lingkungan geografis kopi Kintamani?
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengunakan metode normatif dalam konteks hukum dengan pendekatan budaya, ( X’xx Xxxxxx, et all, 2019: 39) karena perlu memahami pemahaman masyarakat sebagai petani kopi Kintamani Bali. Oleh karena, hukum tidak bisa dipisahkan dari masyarakat sebagai pengguna hukum merek dan juga pelaksana hukum. Penelitian ini yang menggunakan data sekunder yang terbagi atas bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis. Untuk mendukung digunakan bahan hukum sekunder yaitu berbagai literatur bidang hukum merek dan indikasi geografis dan transplantasi hukum. (Xxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxx, 2002: 81&82) Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dengan menguraikan secara deskriptif penelitian ini tidak hanya mengungkapkan dan menggambarkan data mengenai peraturan yang ada, tetapi juga melakukan pengamatan social budaya masyarakat adat terkait pemahaman hukum masyarakat petani dan pemerintah daerah, terkait perlindungan indikasi geografis kopi Kintamani. (Afdol, 1 Januari 2002: 7&8)
IV. PEMBAHASAN
A. Transplantasi Hukum Dalam Melindungi Indikasi Geografis Kopi Kintamani Guna Meningkatkan Nilai Ekonomi Produknya.
Dinamika kehidupan ekonomi menyebabkan terjadinya pergeseran nilai secara cepat yang membentuk rasionalitas (khususnya rasionalitas efektivitas dan efisien). Berkembangnya pandangan tentang kebaikan dan kebenaran hanya sekedar opini dan
putusan berdasarkan cost and benefit. Hal ini menyebabkan budi nuranipun semakin menumpul dan menurut Nonet Selznick disebut legal moralism (hukum sok moralis). (Xxxxx Xxxxxxxxx,2009:2)
Kondisi ini mendorong negara industri menstandarkan hukum tentang perdagangan ke negara-negara berkembang. Konsepnya dikenal dengan teori transplantasi hukum termasuk dalam hukum merek. Menurut Xxxx Xxxxxx transplantasi hukum adalah perpindahan sistem hukum dari suatu Negara ke Negara lain atau dari suatu bangsa ke bangsa lain. Xxxxxx menegaskan bahwa, “what are borrowed or can be borrowed are legal rules, principles, institution and even structures.” (Xxx Xxxxxxxx, 2009:61) Perpindahan ini tidak hanya aturan hukumnya tetapi juga sistem hukumnya. transplantasi hukum dapat terjadi melalui dua cara, yaitu resepsi secara paksa dan resepsi secara suka rela. Menurut Xxxxxx Transplantasi hukum dapat dilakukan dengan suka rela melalui 3 kategori, yaitu(Xxx Xxxxxxxx, mengutip Watson Xxxx, 2009: 44 & 64) :
a. “Ketika suatu bangsa memindahkan hukum ke suatu territorial yang berbeda yang tidak ada peradapan yang dapat dibandingkan atau dibedakan, kemudian menerima hukum dalam kondisi tersebut.
b. Ketika suatu bangsa memindahkan hukum kepada territorial yang berbeda dan terdapat peradapan yang dapat dibandingkan,
c. Ketika suatu bangsa secara sukarela menerima sebagian besar dari sistem hukum suatu bangsa atau beberapa bangsa lainnya.”
Konsep tranplantasi hukum ini ditentang dengan oleh Xxxxxxxxxx Xxxx Xxx Xxxxxxx, Xxxxxx X. Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxxxx. Penolakan teori transplantasi hukum menganggap hukum merupakan bagian integral sebagai proses budaya, ideologi, atau moralitas suatu bangsa. Hukum dari suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dengan budaya masyarakat. Menurut Xxxxxxxxxx Xxxx Xxx Xxxxxxx, hukum merupakan sesuatu yang ditemukan dari nilai yang dianut masyarakat tertentu dan hukum tidak mempunyai kekuatan berlaku secara universal. Oleh karenanya, setiap bangsa mengembangkan hukumnya sendiri. (Xxx Xxxxxxxx, 2009: 68)
Transplantasi hukum menimbulkan pergeseran budaya, sehingga dapat berdampak langsung dengan budaya hukum. Menurut pendapat Xxxxxxxx, budaya hukum terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang ada dalam masyarakat. Sehingga dikenal adanya budaya hukum eksternal dan budaya hukum internal. Budaya hukum eksternal adalah budaya hukum pada populasi umum, sedangkan budaya hukum internal adalah budaya hukum anggota masyarakat yang menjalankan tugas-tugas hukum yang terspesialisasi. (Xxxxxxxx Xxxxxxxx, X.Xxxxx, 2009:17).
Lahirnya konsep budaya hukum eksternal dan budaya hukum internal diakibatkan dengan adanya perbedaan kepentingan dalam kelompok masyarakat. Keduanya menjadi faktor yang menggambarkan perilaku masyarakat, yang berdasarkan penilaian masyarakat mengenai mana yang dianggap berguna atau benar. Oleh karena itu, budaya hukum secara keseluruhan meliputi adat, kebiasaan, opini, cara bertindak dan berpikir yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauh dari hukum ( Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 2006:17). Xxxxx tersebut lahir dalam suatu komunitas sosial untuk menentukan baik atau buruknya suatu perbuatan. Sehingga dapat dikatakan hukum tidak dapat dilepaskan dari nilai yang hidup di masyarakat, selanjutnya nilai menjadi norma dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Indonesia yang terdiri dari suku-suku yang disebut dengan masyarakat adat. Pentingnya pengekuan masyarakat adat diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (1) UUD 1945 yang dalam isinya “negara menghormati dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat”. Hal ini dapat dijadikan landasan hukum yang cukup kuat agar negara mampu memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional masyarakat adat. Dalam ilmu antropologi pengertian dari masyarakat adat adalah suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi satu sama lain menurut sistem adat tertentu yang sifatnya terus menerus dan terikat dengan rasa identitas bersama.
Kesatuan hidup manusia memiliki ikatannya bersifat tradisional dari generasi ke generasi dan memiliki organisasi perkumpulan yang teratur. (Xxxxxx Xxxxxxxxxx, 2006: 73). Selanjutnya dalam RUU tentang perlindungan Masyarakat Adat memberikan definisi masyarakat adat adalah
“ kelompok masyarakat yang secara turun temurun hidup di wilaqyah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal usul leluhur, mempunyai hak hak yang lahir dari hubungan yang kuatdengan sumber daya alam dan memiliki adat, nilai dan identitas budaya yang khas yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang ditegakkan oleh lembaga-lembaga adat.”
Masyarakat adat Bali merupakan masyarakat patrilinel yang menarik garis pihak bapak. Susunan masyarakatnya termasuk dalam persekutuan teritorial yang berbentuk desa. Kehidupan kekerabatan masyarakat adat Bali ada dalam Banjar yang merupakan satu kesatuan adat. Kehidupan masyarakat adat Bali berpedoman dengan peraturan tertulis yang dinamakan awig-awig yang bersumber dari agama Hindu.
Kehidupan tradisional masyarakat adat tidak dapat dipisahkan dari nilai sakral yang berkonsep komunalistik. Dimana komunalistik merupakan salah satu simpul yang mengkondisikan keutuhan masyarakat sebagai kesatuan identitas. Oleh karena itu, sudah sewajarnya komunalistik mewarnai pembentukan hukum masyarakat dan menjadi makna penting dalam kehidupan masyarakat. (Xxxxxxxx Xxxxxxx, 1983: 3)
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa, hukum adat adalah wujud konkret dari nilai-nilai sosial budaya. Nilai budaya melahirkan corak masyarakat adat berbeda dengan masyarakat kapitalisme. Corak masyarakat adat menjelma dari mentalitas bangsa Indonesia yang oleh FD Xxxxxxxx telah mengkonstruksikan 4 corak hukum adat dalam masyarakat adat, yaitu (Xxxxxxxx Xxxxxxx, 1983: 48 & 49): corak komunal, corak regius magis, corak kontan dan corak kongrit. Sehingga dapat dikatakan bahwa corak komunal merupakan karakter kebarsamaan yang bersumber kesakralan. Berdasarkan alasan ini karya-karya yang dihasilkan masyarakat adat senantiasa diperuntukkan untuk komunitasnya dan pembuatannya berdasarkan landasan religius magis yang bernilai sakral. (Xxxxxxxxx Xxxxxxx Xxxx, 2016; 16)
Oleh karena itu, transplantasi hukum merek dalam UU Merek dan Indikasi Geografis dalam melindungi indikasi geografis masyarakat adat, seperti kopi Kintamani berpengaruh langsung dengan budaya komunal yang menjadi konsep hidupnya.
Konsep berpikir masyarakat terkait langsung dengan teori sistem hukum menurut Xxxxxxxx. Salah staunya unsur budaya hukum memegang peranan penting, karena menentukan terciptanya efektivitas hukum. Sehingga dalam penegakan hukum perlu memperhatikan secara signifikan transplantasi hukum dan budaya hukum masyarakat setempat. Selain, memperhatikan unsur budaya hukum juga perlu mengkombinasikan dengan unsur substansi dan unsur struktur.
Unsur struktur terkait dengan lembaga yang diciptakan oleh sistem hukum misalnya pengadilan, ataupun lembaga yang berperan dalam hukum yang menentukan proses pembentukan hukum dan penerapannya dalam masyarakat. Selain itu, unsur struktur terkait juga dengan institusi–institusi yang ditetapkan secara hukum positif, seperti Direktorat Jenderal Kekayaan intelektual. Unsur lain yang juga penting adalah unsur substansi yang merupakan aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu, dalam bentuk peraturan hukum seperti Undang-Undang No 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis serta peraturan pelaksana lainnya. (Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 2001: 7) Ketiga unsur ini saling terkait dalam penegakkan hukum dan harus saling melengkapi serta saling menyeimbangi.
Undang Merek dan Indikasi Geografis sebagai salah satu produk transplantasi hukum tentang Perlindungan indikasi geografis. Transplantasi dari hukum merek dituangkan secara khusus dalam ketentuan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights selanjutnya disingkat TRIPs, yang diatur secara khusus pada bagian 3 Pasal 22 sampai Pasal 24 TRIPs. Dalam Pasal 22 ayat (1) perjanjian TRIPs yang definisi indikasi geografis adalah:
“Indikasi yang menandakan bahwa suatu barang berasal dari wilayah territorial Negara anggota atau dari sebuah daerah atau daerah local di dalam wilayah territorial itu, yang membuat kualitas reputasi, atau karakter-karakter khusus lain dari barang tersebut dapat dikaitkan secara esensial kepada asal geografis barang.”
Ketentuan indikasi geografis diadopsi dalam TRIPs, salah satunya dari perjanjian Lisabon 1958. (Xxxxxxx Xxxxxx Xxx, 2006: 30 &31). Dalam Pasal 1 angka 7 UU No 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis yang memberi definisi indikasi geografis adalah:
“Indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena factor lingkungan geografis termasuk factor alam, factor manusia atau kombinasi kedua factor tersebut memberikan cirri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan”.
Perlindungan indikasi geografis lahir karena adanya pendaftaran sesuai Pasal 1 angka 8 UU Merek dan Indikasi geografis. Dalam Pasal ini dinyatakan “ hak eksklusif diberikan negara kepada pemegang hak indikasi geografis yang terdaftar, selama reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu yang dijadikan dasar diberikannya perlindungan hukum.” Kopi arabika Kintamani merupakan kopi yang memiliki rasa yang khas yaitu sedikit rasa asam.
Indikasi geografis dapat merujuk pada undang-undang untuk melindungi know how tradisional dan membantu mempertahankan nilai ekonomi dari barang-barang yang diproduksi secara lokal. Salah satunya kopi Kintamani dapat proses penanaman menggunakan metode tertentu. Pohon kopi ditanam diantara pohon jeruk, sehingga memberikan rasa yang unik dari kopi yang dihasilkan
Pada awalnya adanya pembinaan oleh ahli dari Perancis dan Taiwan yang membantu para petani kopi Kintamani sampai pendaftaran indikasi geografisnya pada Juli 2007. Sertifikat indikasi geografis kopi Kintamani diperoleh pada 5 Desember Tahun 2008. Sehingga dapat dikatakan bahwa lahirnya hak MPIG kopi Kintamani sejak tanggal dikeluarkan sertifikat. Namun, untuk mendaftarkan produk indikasi geografis perlu memperhatikan ketentuan Pasal 56 UU Merek dan Indikasi Geografis yang menyatakan
bahwa produk tersebut “tidak boleh bertentangan dengan ideologi, agama, kesusilaan dan peraturan yang berlaku”. Selain itu, produk tersebut “tidak boleh menyesatkan konsumen dan nama indikasi geografis tersebut tidak boleh menggunakan varietas tanaman.” Ketentuan Pasal 56 UU Merek dan Indikasi Geografis ini perlu diperhatikan oleh pemohon hak. Proses pendaftaran indikasi geografis ini melalui pemeriksaan substantif oleh Xxx Ahli indikasi geografis. Selain itu, Xxx ahli juga melakukan pengawasan secara berkala lingkungan geografis dari produk yang didaftarkan indikasi geografis.
Pengawasan ini terkait langsung dengan jangka waktu perlindungan indikasi geografis sesuai Perlindungan indikasi geografis ditentukan oleh terpelihara lingkungan geografis yang menentukan ciri dan kualitas produk yang dihasilkan. Ketentuan ini diatur Pasal 61 ayat (1) UU No 20 tahun 2016 yang isinya: “Indikasi Geografis dilindungi selama terjaganya reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya pelindungan Indikasi Geografis pada suatu barang.”Ketentuan Pasal 61 ayat 1 ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 PP Indikasi Geografis yang isinya “indikasi geografis dilindungi selama karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada” Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat penghasil indikasi geografis, wajib menjaga kualitas lingkungan geografisnya agar perlindungan indikasi geografis dapat terus terjaga untuk menjamin mutu produknya.
Indikasi geografis merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual yang unik, karena indikasi geografis dapat dikatakan perlindungan yang berbasis pengetahuan tradisional yang berkonsep komunal. (Xxxx Xxxxxxxxxx Wiradirja dan Xxxxxxx Xxxxxx, 2017:17). Berdasarkan pemahaman ini, maka kepemilikan indikasi geografis pada kopi Kintamani, di pegang haknya oleh masyarakat perlindungan indikasi geografis kopi Kintamani, yang disingkat MPIG kopi Kintamani. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 53 ayat 3 UU no 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis mengatur pihak- pihak yang berhak mendaftarkan indikasi geografis tersebut, yaitu:
“Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan:a. lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatubarang dan/atau produk berupa: sumber daya alam; barang kerajinan tangan; atau 3. hasil industri.b. pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota.”
Berdasarkan ketentuan pasal diatas dapat terlihat, bahwa indikasi geografis merupakan kepemilikan secara komunal yang dikuasai oleh masyarakat yang
menghasilkannya. Aspek nilai komunal yang melekat pada indikasi geografis juga dapat dilihat pada jangka waktu perlindungan hukumnya yang tidak mengenal batas waktu selama kondisi lingkungan geografis termasuk lingkungan alamnya tidak berubah.
MPIG kopi Kintamani terdiri dari 110 anggota yang terdiri dari terdiri dari kelompok petani produsen kopi gelondong merah yang beranggotakan subak abian (petani kebun), pengolah kopi dengan anggota kelompok subak abian, pengolahan, dan penyangrai swasta yang tersebar di sejumlah daerah. (Xxxxx Xxxxxxxxx, 2021:1). Masyarakat Kabupaten Bangli yang umumnya petani kopi yang tergabung dalam Masyarakat Pengguna Indikasi Geografis, selanjutnya disingkat dengan MPIG Kopi Kintamani.
Transplantasi hukum merek dan indikasi geografis dikaitkan dengan budaya hukum masyarakat petani dan pihak terkait cukup baik. Secara mayoritas pengetahuan dan pemahaman masyarakat petani di Kabupaten Bangli Bali tentang UU merek dan Indikasi geografis mencapai 70 %. Tingginya pengetahuan masyarakat petani, karena seringnya dilakukan sosialisasi tentang pentingnya merek dan indikasi geografis bagi produk mereka oleh pihak swasta dan pemerintah Hal ini dapat terlihat pada diagram lingkar di bawah ini:
Gambar 1. Pengetahuan UU Merek & Indikasi Geografis Bagi Petani Kopi
30%
70%
Memiliki pengetahuan UU Merek dan Indikasi Geografis Tidak Memiliki pengetahuan UU Merek dan Indikasi Geografis
Berdasarkan pengamatan dan diskusi dengan masyarakat petani lebih mudah menerima UU merek dan indikasi geografis mengenai pentingnya perlindungan indikasi geografis kopi Kintamani, karena menganggap bahwa perlindungan merek maupun indikasi geografis dapat meningkatkan nilai ekonomi produk kopinya. Penerimaan
masyarakat petani dan pihak terkait yang tergabung dalam MPIG Kopi Kintamani dapat dilihat di bawah ini:
Gambar 2. Penerimaan Perlindungan
Indikasi Geografis Bagi Masyarakat Kabupaten Bangli
20%
80%
Masyarakat memiliki perlindungan
Indikasi Geografis
Masyarakat tidak memiliki perlindungan
Indikasi Geografis
Penerimaan masyarakat dipengaruhi oleh tingkat kesadaran masyarakat petani kopi Kintamani dan pihak terkait dengan mendaftarkan indikasi geografis dan merek B- 36 untuk produknya pada Juni Tahun 2007. Masyarakat telah memahami pentingnya menjadi pemegang hak merek dan pemilik indikasi geografis.
Gambar 3. Pemegang hak atas Kopi Kintamani
20%
80%
Masyarakat memiliki perlindungan Merek Masyarakat tidak memiliki perlindungan Merek
Selama ini, merek yang telah didaftarkan merek B-36. Namun, sebaiknya penghasil kopi Kintamani dapat menggunakan merek kolektif, mengingat pengelola
indikasi geografis kopi Kintamani adalah koperasi. Oleh karena, pemilik merek kolektif adalah asosiasi atau suatu wadah usaha termasuk koperasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsep merek kolektif merupakan pengecualian dari prinsip merek yang dianggap sebagai simbol asal yang mengidentifikasi sumber barang atau jasa. (Xxxxx Xxxxxx, 2015: 279)
Merek kolektif dikenal dalam Pasal 1 angka 4 UU Merek dan Indikasi Geografis yang menyatakan bahwa meek kolektif adalah
“Merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik berkaitan dengan sifat, ciri umum dan mutunya, serta pengawasan diperdagangkan oleh beberapa orang dan badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan atau jasa yang sejenis.”
Syarat formalitas pendaftaran merek kolektif sedikit berbeda dengan merek biasa. Pada Pendaftaran merek kolektif ada keharusan untuk melampirkan anggaran dasar yang memuat ketentuan mengenai karateristik barang atau jasa termasuk hak dan kewajiban anggota. Dalam anggaran dasar juga mencantumkan pengawasan dan sanksi apabila ada pihak yang melanggar. (Ranti Xxxxx xxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxx, 2021: 116).
Keberadaan merek kolektif bagi dunia usaha lebih efektif digunakan bagi usaha kecil dan usaha menengah termasuk koperasi. Pada prinsipnya merek kolektif ini merupakan merek yang digunakan secara Bersama-sama untuk meningkatkan nilai ekonomi dari mereknya dan menguasai pangsa pasar.
Berdasarkan pemahaman ini, ada baiknya kopi Kintamani minimal dilindungi dua hak di bidang hak kekayaan intelektual, yaitu perlindungan indikasi geografis dan perlindungan merek kolektif. Penggunaan merek kolektif dapat menjadi salah satu alat untuk menguasai pasar dan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat yang tergabung dalam MPIG Kopi Kintamani.
B. Upaya Berbagai Pihak Di Kabupaten Bangli Bali Dalam Melestarikan Lingkungan Geografis Kopi Kintamani.
Kondisi masyarakat Kabupaten Bangli Bali, yang memiliki budaya hukum tinggi telah mampu mengantisipasi transplantasi hukum merek dalam melindungi indikasi geografis kopi Kintamani. Masyarakat petani maupun pihak terkait yang tergabung dalam MPIG Kopi Kitamani memahami, bahwa perlindungan indikasi geografis hanya merupakan langkah awal dari proses perlindungan hukum, justru yang
paling terpenting adalah menjaga lingkungan geografis agar produk pertanian dihasilkan, tetap terjaga kualitas kopi Kintamani. kekerabatan yang erat sesama anggota masyarakat.
Berkaitan dengan pelestarian lingkungan, masyarakat petani tetap menjaganya dengan menanam pohon jeruk diantara pohon kopi. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan rasa khas pada kopinya. Selain itu, sistem pengolaan tetap dijaga sesuai dengan prosedur yang sudah ada.
Di sisi lain pelestarian lingkungan geografis, bukan hanya menjadi tanggung jawab masyarakat yang telah melakukan monitoring mandiri, tetapi juga tanggungjawab oleh produsen secara individu. Selain itu, peran aktif Pemerintah Kabupaten Bangli dilakukan dengan cara melakukan pengawasan bersama-sama instansi terkait yaitu Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan dalam bentuk kunjungan rutin ke petani kopi untuk memberikan penyuluhan dan memeriksa hasil biji kopi agar mutunya tetap terjaga.
Dalam hal ini, Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan telah melakukan pelatihan dan pengawasan terhadap kualitas kopi Kintamani. Selain itu, Xxx Ahli indikasi Geografis juga bertugas melakukan pengawasan serta monitoring pada pemakai indikasi geografis yang hasilnya disampaikan kepada Direktorat Jenderal dan lembaga lain yang terkait. Hal ini dilakukan untuk menghindari kondisi lingkungan geografis tersebut rusak atau berubah strukturnya, sebab akibat rusaknya lingkungan geografis berdampak pada berakhir perlindungan indikasi geografis. Pelestarian lingkungan geografis merupakan suatu keharusan yang dilakukan sesuai amanat UU Merek dan Indikasi Geografis.
Pemerintah Kabupaten Bangli juga memberikan dukungan dan berperan aktif untuk menyiapkan berbagai perijinan, melakukan promosi dan membentuk kerja sama dengan berbagai instansi terkait, seperti Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan. Para instansi terkait juga melakukan pelatihan dan pengawasan terhadap kualitas kopi Kintamani.
Berdasarkan upaya hukum yang dilakukan selama ini, dapat dikatakan bahwa budaya hukum masyarakat cukup baik. Sehingga transplantasi hukum merek dalam melindungi indikasi geografis kopi Kintamani, berjalan seiring dan tidak berdampak negatif bagi budaya hukum masyarakat adat yang berprofesi sebagai petani. Pemahaman dan penerimaan masyarakat adat Kabupaten Bangli Bali dan pihak yang terkait terhadap diperolehnya sertifikat indikasi geografis dan hak atas merek B-36 pada Juni 2007.
Selain itu, masyarakat petani penghasil kopi Kintamani juga selama ini senantiasa memakai logo indikasi geografis dalam kemasannya sebagai salah satu kewajiban yang ditetapkan UU Merek dan Indikasi Geografis.
Tabel 1: Pendaftaran HKI Produk Kopi Kintamani
No | Uraian | Telah Terlaksana | Belum Terlaksana | Keterangan |
1 | Pemakaian indikasi geografis | v | Telah mendapatkan sertifikat | |
2 | Pemakaian Merek | v | Telah mendapatkan sertifikat | |
*Data diolah pada tanggal 22 Juli sampai 24 Juli 2020.
Pemerintah Kabupaten Bangli juga memberikan dukungan dan berperan aktif untuk menyiapkan berbagai perijinan, melakukan promosi dan membentuk kerjasama dengan berbagai instansi terkait. Aspek lain yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah daerah adalah memasarkan produk tersebut secara internasional.
Strategi masyarakat yang tergabung dalam MPIG kopi Kintamani, telah memasarkan produk kopinya dengan bekerja sama dengan swasta untuk mengekspor ke Amerika, Itali, Eropa dan Jepang. Alasannya pemasaran dilakukan untuk pada skala ekspor, karena harga kopi Kintamani cukup mahal untuk pasar dalam negeri. Sehingga dikhawatirkan sulit untuk dijangkau pada konsumen pasar dalam negeri
Tabel 2: Strategi Pemasaran Indikasi Geografis Kopi Kintamani yang Dilakukan
Masyarakat Bangli
No | Uraian | Ekspor | Pasar Dalam Negeri | Keterangan |
1 | Koperasi | v | - | |
2 | Swasta | v | ||
3 | Pemerintah Kabupaten Bangli | - | - | Membantu melakukan promosi |
*Data diolah pada tanggal 25 Juli sampai 26 Juli 2020
Masyarakat adat Bali termasuk masyarakat Kabupaten Bangli Bali memiliki sistem kekerabatan yang baik. Sehingga mampu bekerjasama mewujudkan langkah-
langkah pragmatis secara tepat dalam maksimal nilai ekonomi dari pemasaran kopi Kintamani. Perlu dilakukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan pemasaran secara luas ditingkat internasional adalah perlu adanya peran aktif Pemerintah pusat untuk mempromosikan dan melakukan pendampingan dalam memperluas promosi ke pasar internasional. Sehingga dapat meningkatkan pendapat masyarakat yang tergabung dalam MPIG dan juga daerah.
V.PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Transplantasi hukum tidak selalu menimbulkan dampak negatif terhadap budaya hukum masyarakat Kabupaten Bangli. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingginya budaya hukum masyarakat Kabupaten Bangli, yang tercermin dengan baik tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya melindungi kopi Kintamaninya melalui indikasi geografis dan hak atas merek. Selain itu, kekerabatan masyarakat Kabupaten Bangli yang erat membuat masyarakat dapat menciptakan sistem yang tepat dalam mengelola indikasi geografis kopi Kintamani di daerahnya. Selain itu, masyarakat petani dan pihak terkait yang tergabung dalam MPIG kopi Kintamani serta Permerintah Daerah telah mampu menjaga pelestarian lingkungan geografis kopi Kintamani.
2. Upaya yang dilakukan berbagai pihak dan pemerintah daerah yang senantiasa melakukan monitoring, penyuluhan, promosi untuk membantu petani kopi. Salah satu upaya pragmatis dilakukan monitoring pelestarian lingkungan geografis dan menjaga mutu kopi. Masyarakat dan produsen bertanggungjawab melakukan monitoring mandiri. Selain itu, adanya strategi pemasaran yang tepat dalam mengembangkan dan pemanfaatkan produk kopi Kintamani yang dilindungi indikasi geografis. Di samping itu, Pemerintah Kabupaten Bangli memberikan dukungan penuh dengan mempermudah segala perijinan yang dibutuhkan. Sikap ini membentuk perilaku hukum dalam masyarakat yang dibuktikan dengan ketaat hukum dan menciptakan kesadaran hukum yang tinggi di masyarakat.
B. Saran
1. Perlu adanya peran aktif Pemerintah Pusat untuk melakukan promosi secara luas guna meningkatkan pemasaran di tingkat internasional, Sehingga dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat yang tergabung dalam MPIG dan Daerah Bali.
2. Perlu adanya sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman pentingnya merek kolektif bagi produk indikasi geografis kopi Kintamani dalam meningkatkan nilai ekonomi produknya dan menguasai pangsa pasar internasional.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Xxxxxxxx, Xxx, (2009), Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan, Salatiga: Griya Media.
Djened, Rahmi, (2015), Hukum Merek Trade Xxxx Xxx, Dalam Era Global dan Integrasi Ekonomi, (Jakarta: Prenadamedia.
Xxxxxx A’an, Dyah Ochtorina, Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx, (2019), Penelitian Hukum Doktrinal, Jember: LaksBang Justitia,
Xxxxxxxxxx, Xxxxxx, (2006), Antropologi Hukum Indonesia, Bandung: Alumni. Xxxxxxxx, Xxxxxxxx, American Law An Introduction, Diterjemahkan Xxxxxx Xxxxxx,
Jakarta: Tatanusa.
Xxxxxxxx Xxxxxxxx, (2009), The Legal System, A Social Prespective, diterjemahkan X.Xxxxx, Bandung: Nusa Media.
Xxxxx Xxxxx, Mayana dan Xxxxx Xxxxxxx,(2021), Hukum Merek, Perkembangan Aktual Perlindungan Merek Dalam Konteks Ekonomi Kreatif di Era Distrupsi Digital, Jakarta: Refika.
Xxxxxx Xxx Xxxxxxx, (2006), Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis, Bandung: Alumni.
Xxxxxxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxx, (2017), Pengetahuan Tradisional dan Hak Kekayaan Intelektual, perlindungan Pengetahuan Tradisional Berdasarkan Asas Keadilan Melalui Sui Generis Intellectual Property System, Jakarta: Refika.
Xxxxxxxx, Xxxxxxxx, (1980), Hukum dan masyarakat, Bandung: Angkasa. Xxxxxxxx, Xxxxxxxx, (2006) Hukum Dalam Jagat Ketertiban,Jakarta: Uki Press.
Xxxxxxx Xxxx, Xxxxxxxxx, (2014), Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang, Jakarta: Prenadamedia.
Xxxxxxxx, Xxxx, (2005) “ Kepentingan Negara berkembang Terhadap Hak atas Indikasi Geografis Sumber Daya Genetika dan pengetahuan Masyarakat”, Depok: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum UI.
Xxxxxxxxx, Xxxxx, (2014), Xxx Xxxxxxan Intelektual, Konsepsi, Opini dan Aktualisasi,
Jakarta: Penaku
Xxxxxxx, Xxxxxxxx, (2013), Hukum Adat Indonesia, Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum Di Indonesia, Bandung: Nuasa Aulia.
Xxxxxxxxxxxxxx, Xxxxxxxxx, (2013), Hukum Konsep dan Metode, Malang: Setara Press.
B. Jurnal
Afdol. (Januari 2002) “Teknologi Informasi dan Upaya Masyarakat Dalam Menanggulangi Pengaruhnya, Studi Kasus Pada Penyiaran Film Melalui Laser Disc/VDC Di Desa Rawa Panjang Kecamatan Bojong Gede, Bogor, “ Jurnal Penelitian Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol 3 No.1
Xxxxxx, X.Xxxxx, (Juni 2017) “Kinerja Kelembagaan Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Kintamani”, Jurnal Agrobisnis dan Sosial ekonomi Pertanian, Vol. 2, No. 1.
Berita Resmi Indikasi Geografis Xxxx Xxxxxxxxx, Direktorat Jenderal Xxx Xxxxxxan Intelektual, 2007
Xxxxxxxx, Xxxxx,(2009), “Revitalisasi Pemikiran Prof. Mr Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx Tentang Pancasila Berkaitan Dengan Pengembangan Tatanan Hukum Nasional Indonesia,” Oratio Dies FH. UNPAR.
C. Artikel Internet
Xxxxxxxxx, Xxxxx, “Dinas PKP Bangli Bakal Optimalkan Pengolahan Kopi di Subak Abian”, https ://xxx.xx.xx/ singaraja /ekonomi / 1016873/ dinas - pkp- bangli- bakal- optimalkan- pengolahan-kopi-di-subak-abian, diakses pada tanggal 1 November 2021
D.Peraturan Perundang Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandeman II
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis Indonesia, Peraturan Pemerintah , Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis.