SKRIPSI
SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA SAMA KEMITRAAN PERTASHOP
Disusun dan diajukan oleh: XXXXXX XXXXXXXXXXXX B011171366
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2023
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA SAMA KEMITRAAN PERTASHOP
OLEH:
XXXXXX XXXXXXXXXXXX NIM : B011171366
SKRIPSI
Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada Departemen Hukum Perdata Program Studi Ilmu Hukum
PEMINATAN HUKUM PERDATA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2023
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA SAMA KEMITRAAN PERTASHOP
XXxxxxx dan diajukan oleh:
XXXXXX XXXXXXXXXXXX B011171366
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian yang dibentuk dalam rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana Departemen Hukum Keperdataan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
pada hari Kamis 15 Juni 2023
dan dinyatakan telah memenuhi syarat kelulusan Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Xx. Xxxxx Xxxxx, S.H., X.X Xxxxxxxx, S.H.,M.H
NIP. 197304202005012001 NIP. 198702262014042001
Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Hukum
Xx. X. Xxxxx Xxxxxxxxxx, S.H., X.Xx NIP. 198408182010121005
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa:
Nama : Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx
NIM : B011171366
Departemen : Hukum Keperdataan
Judul : “Tinjauan Xxxxxxx Xxxjanjian Xxxxx Xxxx Kemitraan Pertashop” Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi.
Makassar, 14 Juni 2023
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Xx. Xxxxx Xxxxx, S.H.,X.X Xxxxxxxx, S.H.,M.H
NIP. 197304202005012001 NIP. 198702262014042001
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx
NIM : B011171366
Program Studi : Ilmu Hukum Jenjang : S1
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Tinjauan Xxxxxxx Xxxjanjian Kerjasama Kemitraan Pertashop” adalah karya saya sendiri dan tidak melanggar hak cipta pihak lain. Apabila dikemudian hari skripsi karya saya ini terbukti bahwa sebagian atau keseluruhannya adalah hasil karya orang lain yang saya pergunakan dengan cara melanggar hak cipta pihak lain, maka saya bersedia menerima sanksinya.
Makassar, 14 Juni 2023
Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx
ABSTRAK
XXXXXX XXXXXXXXXXXX (B011171366) dengan judul “Tinjauan Xxxxxxx Xxxxxxxxan Kerja sama Kemitraan Pertashop”. Di bawah bimbingan Xxxxx Xxxxx sebagai Pembimbing Utama dan Xxxxxxxx sebagai Pembimbing Pendamping.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kekuatan mengikat perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya dan untuk mengkaji perlindungan hukum mitra dalam perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual yang kemudian dijabarkan dalam bentuk preskriptif.
Adapun hasil penelitian ini yaitu, 1) Perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop memiliki kekuatan mengikat karena telah memenuhi Pasal 1320 BW tentang syarat sah perjanjian yaitu kesepakatan, cakap, hal tertentu, dan sebab yang halal. Dalam subtansinya mengatur hak dan kewajiban, pengakhiran kontrak, kelalaian, pola penyelesaian sengketa, dan korespondensi serta dalam subtansinya telah mengatur sanksi dan terdapat klausul yang dapat membuat salah satu pihak dirugikan apabila terjadi wanprestasi. 2) Perlindungan hukum terhadap mitra berupa asas iktikad baik dan prinsip kemitraan dalam perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya dalam penyusunan maupun pelaksanaannya belum terpenuhi dengan baik. Pengaturan hak dan kewajiban yang tidak seimbang tidak mencerminkan asas iktikad baik dan prinsip kemitraan.
Kata kunci : Perjanjian, Xxxxxxxxx, Tinjauan Xxxxxxx.
ABSTRACT
XXXXXX XXXXXXXXXXXX (B011171366) with the title “Juridical Review of the Pertashop Partnership Cooperation Agreement”. Supervised by Xxxxx Xxxxx and Xxxxxxxx.
This research aims to examine the binding streght of the Pertashop cooperation agreement between PT Pertamina Patra Niaga and its partners and to examine the legal protection of partners in the Pertashop cooperation agreement between PT Pertamina Patra Niaga and its partners.
This research was conducted using normative research methods with a statutory approach and a conceptual apporoach which were then elaborated in a prescriptive form.
The result of this research are, 1) The Pertashop business cooperation agreement has binding power because it has fulfilled Article 1320 BW concerning the legal term of the agreement, namely agreement, ability, certain matters, and lawful reasons. In its substance it regulates right and obligations, termination of contracts, negligence, patterns of dispute resolution, and correspondence as well as in its substance it has regulated sanctions and there are clauses that can make one of the parties disadvantaged if a default occurs. 2) Legal protection for partners in the form of the principle of good faith and the principle of partnership in the Pertashop cooperation agreement between PT Pertamina Patra Niaga and its partners in the preparation and implementation has not been fulfilled properly. An unequal arrangement of rights and obligation does not reflect the principle of good faith and partnership principles.
Keywords: Agreement, Juridicial Review, Pertashop.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerja Sama Kemitraan Pertashop” sebagai tugas akhir penulis dalam rangka menyelesaikan studi strata satu dan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unversitas Hasanuddin.
Pada kesempatan ini, penulis dengan hormat dan segala kerendahan hati menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah senantiasa hadir dan mendampingi penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini hingga dapat terselesaikan dengan baik. Terkhusus kepada kedua orang tua penulis, La Pati dan Ruliana yang senantiasa mendidik, menyayangi dan mengasihi serta memberikan perhatian dengan penuh ketulusan dan kesabaran, juga dukungan secara moriil maupun materil yang tiada hentinya. Selain itu penulis juga hendak menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada:
1. Prof. Xx. Xx. Xxxxxxxxxx Xxxxx, X.Xx. selaku Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. drg. Xxxxxxxx Xxxxxx, X.Xxx., Ph.D., Xx.XX(K). selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Xxxx. Xxxxxxx, X.Xx., Sc., Ph.D., Apt. selaku Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Pengembangan, dan Keuangan, Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum, selaku Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia, Alumni, dan Sistem Informasi, Prof. Dr.
Eng. Xxx Xxxxxxx, S.T., M.Phil. selaku Wakil Rektor Bidang Kemitraan, Inovasi, Kewirausahaan dan Bisnis.
2. Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxxx, S.H., M.H., M.A.P. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Xx. Xxxxxx, S.H., LLM. Selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Xxxx. Xx. Xxx Xxxxxx Xxxxxxxxx X.X., M.A. selaku Wakil Dekan Bidang Perencanaan, Sumber Daya, dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan juga selaku Penasehat Akademik penulis, dan Dr. Xxxxxxxxx, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang, Kemitraan, Riset, dan Inovasi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
3. Xx. Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxx X.X., X.Xx. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
4. Xx. Xxxxx Xxxxx, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Utama penulis juga selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Amaliyah, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Pendamping penulis juga selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang senantiasa meluangkan waktu dalam memberikan arahan dan saran yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
5. Dr. Xxxxx X. Xxxxx, S.H., M.H selaku penilai I dan Xx. Xxxxxx, S.H., M.H. selaku penilai II atas segala saran, masukan, dan ilmu yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini;
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan begitu banyak ilmu, nasihat dan pengalaman yang begitu berkesan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
7. PT. Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi atas segala bantuan dan arahan yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
8. Mitra usaha Pertashop, yaitu PT Anugerah Xxxxxx Xxxxx dan PT Khadijah Gas Mandiri atas segala bantuan dan arahan yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
9. Seluruh Pegawai dan Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas segala bantuan dan dukungan dalam hal penyelesaian skripsi ini;
10. Keluarga Besar PLEDOI 2017, terimakasih atas segala pengalaman dan cerita yang begitu berkesan selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
11. Kelarga Besar CYCLONE, terimakasih atas segala semangat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Terimakasih atas segala bentuk bantuan dan dukungan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki begitu banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Olehnya itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Harapan penulis agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi setiap insan pembelajar yang membaca skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin secara khusus dan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara umum. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, penulis ucapkan Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabaraktuh.
Makassar, 14 Juni 2023
Penulis Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
HALAMAN PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN v
XXX XX KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN KERJA SAMA PENGUSAHAAN PERTASHOP ANTARA PT PERTAMINA PATRA NIAGA DENGAN MITRANYA 19
B. Memorandum of Understanding 40
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM MITRA DALAM PERJANJIAN KERJA SAMA PENGUSAHAAN PERTASHOP ANTARA PT PERTAMINA PATRA NIAGA DENGAN MITRANYA 56
A. Perlindungan Hukum 56
B. Kemitraan 59
C. Pertashop 71
D. Analisis Perlindungan Hukum Mitra Dalam Perjanjian Pengusahaan Pertashop Antara PT Pertamina Patra Niaga Dengan Mitranya 74
BAB IV PENUTUP 84
A. Kesimpulan 84
B. Saran 85
DAFTAR PUSTAKA 86
LAMPIRAN 90
BAB I PENDAHULUAN
X. Xxxxx Belakang Masalah
Perkembangan dunia usaha di Indonesia saat ini tergolong sangat pesat, ada banyak jenis-jenis usaha yang mulai berkembang seperti di bidang kuliner, retail pakaian, jasa pelayanan, dan lain-lain. Terlebih pada era kecanggihan informasi dan teknologi sekarang ini, apapun bisa diperjualbelikan dengan cepat dan mudah sehingga para pelaku usaha dituntut untuk bertahan dan bersaing dalam mengembangkan usahanya di dunia bisnis.
Suasana persaingan yang semakin kompetitif membuat keberadaan usaha mikro kecil dituntut untuk tetap bersaing dengan pelaku usaha lainnya karena dianggap cukup representatif dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Dalam perkembangannya, baik dalam pengembangan sumberdaya manusia maupun pengembangan kelembagaan atau usaha, kemitraan adalah salah satu strategi yang biasa dipilih dan ditempuh. Kemitraan usaha merupakan suatu strategi untuk dapat mengembangkan usaha mikro kecil dan secara morill kerja sama ini sangat diperlukan adanya dukungan yang maksimal dari pihak pengusaha besar melalui paket pembinaan.
Di Indonesia kemitraan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah (selanjutnya disebut dengan UU UMKM 2008) dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021
tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (selanjutnya disebut dengan PP Kemudahan, Pelindungan dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM 2021). Pasal 1 UU UMKM 2008 menentukan kemitraan merupakan kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha besar.
Kemitraan sejatinya merupakan solusi yang tepat bagi pihak yang mencita-citakan adanya percepatan progres pembangunan. Kemitraan merupakan model pengelolaan sumber daya yang tepat bila terkait dengan barang publik (public goods). Dalam kemitraan, seluruh elemen mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya. Secara umum, prinsip-prinsip kemitraan adalah persamaan atau equality, keterbukaan atau transparasi dan saling menguntungkan atau mutual benefit.1
PT Pertamina (Persero) yang selanjutnya akan disebut PT Pertamina adalah perusahaan minyak dan gas bumi yang dimiliki pemerintah Indonesia yang dilimpahkan kewenangan untuk melaksanakan kegiatan yang mencakup pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi, berikut pendistribusiannya ke seluruh pelosok tanah air. Produk yang dikelola PT Pertamina meliputi Bahan Bakar Minyak (BBM) Public Service Obligation (PSO) dan Bahan Bakar
1 Try Kurniaty, “Pola Kemitraan Usaha Tani Teh Di Kabupaten Kulonprogo”, Jurnal Masepi, Fakultas Pertanian Instiper, Vol.3, Nomor 1 April 2018, hlm. 1-2.
Minyak (BBM) non PSO, Bahan Bakar Khusus (BBK), Gas, non BBM, dan Petrokimia.2
PT Pertamina telah merampungkan restrukturisasinya dengan membentuk 6 subholding yaitu Subholding Upstream, Subholding Refining and Petrochemical, Subholding Commercial and Trading, Subholding Gas, Subholding Integrated Marine Logistics, dan Subholding Power and New Renewable Energy, yang mengurus bisnis perseroan dari hulu hingga hilir.3 Dalam rangka pendistribusian ke seluruh pelosok Indonesia PT Pertamina melalui anak perusahaannya yaitu PT Pertamina Patra Niaga4 sebagai Subholding Comercial and Trading membuka peluang kerja sama kemitraan bisnis Pertashop.5
Pertashop adalah SPBU mini yang resmi bermitra dengan PT Pertamina Patra Niaga, dimana harga yang dijual Pertashop sama dengan BBM yang dijual di SPBU Pertamina dan pasokan BBM-nya dipasok langsung oleh PT Pertamina melalui truk tangki PT Pertamina Patra Niaga. Pendirian Pertashop berarti menjadi penyalur BBM skala kecil.
Pertashop hadir untuk dijadikan peluang usaha bagi masyarakat yang tertarik menjadi calon mitra PT Pertamina Patra Niaga untuk meningkatkan
2 PT.Pertamina (persero), “Sejarah Pertamina”, diakses dari xxxx://xxx.xxxxxxxxx.xxx, diakses pada tanggal 12 Januari 2022.
3 Ibid.
4 PT Pertamina Patra Niaga merupakan anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang bergerak disektor hilir industri minyak dan gas.
5 Pertashop merupakan outlet penjualan berskala tertentu yang dipersiapkan untuk melayani kebutuhan konsumen Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi, Liquefied Petroleum Gas (LPG) non subsidi, dan produk ritel Pertamina lainnya dengan mengutamakan lokasi pelayanannya di desa atau di kota yang membutuhkan pelayanan ritel Pertamina.
kegiatan ekonomi dan memaksimalkan potensi daerah, selain menjadi salah satu solusi untuk membangun ketahanan energi, Pertashop juga menjadi lokomotif baru dalam pengembangan ekonomi desa serta pembukaan lapangan kerja. Hingga akhir bulan Desember 2021 sebanyak 185 Pertashop sudah beroperasi di Sulawesi Selatan.6
PT Pertamina Patra Niaga melakukan pemasaran dengan cara bekerja sama dengan pengusaha/mitra usaha dan dilandasi sebuah perjanjian. Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban atas suatu prestasi. Artinya, pihak yang satu memiliki hak atas suatu prestasi, sedangkan pihak yang lain berkewajiban memenuhi prestasi tersebut. Para pihak yang mengadakan perjanjian, bebas untuk menentukan objek perjanjian, bentuk perjanjian, serta sistem hukum mana perjanjian tersebut akan tunduk serta mekanisme yang akan ditempuh apabila terjadi masalah di kemudian hari terkait perjanjian yang telah dibuat.7 Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Artinya, perikatan lahir dari perxxxxxxx, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian8
Berdasarkan pada prinsip asas kebebasan berkontrak, maka setiap orang dapat dengan bebas membuat perjanjian dengan relasi bisnis. Asas ini
6 Akun Instagram Official, Pertaminasulawesi, xxxxx://xxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxxxxxxx?xxxxxxxXxXxXXX0X, diakses pada tanggal 26 Desember 2021.
7 Firman Adonara, 2014, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung,
hlm. 3.
8 Xxxxxxx Xxxxxxx, 2014, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Xxxx Xxxxxxxx
Persada, Jakarta, hlm. 91.
menetapkan para pihak bebas untuk membuat perjanjian atau kerja sama apa saja, baik yang sudah ada maupun yang belum ada pengaturannya sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan9.
Sebelum melakukan kerja sama bisnis umumnya para pihak akan membuat Memorandum of Understanding (MoU). MoU adalah perjanjian pendahuluan yang dilakukan oleh para pihak yang substansinya berisi hal-hal pokok saja seperti apa yang menjadi objek perjanjian dan nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail.10 MoU merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan dalam bentuk tertulis sehingga MoU yang dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang menjadi landasan penyusunan dalam melakukan perjanjian bisnis.11
MoU yang merupakan suatu perjanjian pendahuluan maka pengaturannya tetap mengacu pada Pasal 1320 BW yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, cakap, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Disamping itu yang dapat dijadikan dasar hukum pembuatan MoU adalah Pasal 1338 ayat (1) BW yang mengatur bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya12
9 Xxxxxx Xxxxxxx, 2016, Hukum PerikatanTeori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak, Kerja Sama, dan Bisnis, Setara Press, Malang, hlm. vi.
10 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, 2019, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 46-47.
11 Xxxxxx Xxxxxxx Op. cit. hlm. 98.
12 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Op. cit, hlm. 48.
MoU yang pada dasarnya memiliki esensi dan fungsi sebagai perjanjian prakontrak, pada kenyataannya masih sering digunakan sebagai suatu tahapan yang berbeda. Hal inilah yang kemudian dapat menimbulkan kontroversi sebab adanya inkonsistensi dalam pemakaiannya. Pada praktiknya, banyak MoU yang telah disepakati para pihak namun belum ditindaklanjuti dengan perjanjian sebenarnya yang lebih rinci langsung digunakan sebagai dasar menjalankan program-program kerja sama, seperti yang dialami oleh mitra pengelola Pertashop yang berlokasi di Kecamatan Marang, Kabupaten Pangkep dan mitra yang berlokasi di Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros yang merupakan mitra dari PT Pertamina Patra Niaga. Pengoperasian Pertashop tersebut menggunakan perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian baku yang diberikan oleh PT Pertamina Xxxxx Xxxxx.
Merujuk substansi yang diatur dalam perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop tersebut, maka dapat dikatakan perjanjian tersebut adalah MoU atau perjanjian pendahuluan. Perjanjian kerja sama ini mengatur jangka waktu perjanjian ini selama 3 bulan.13 Kemudian juga menentukan jika pihak kedua telah memenuhi dan melengkapi persyaratan administrasi maupun dokumen perizinan berusaha, maka selanjutnya terhadap ketentuan terkait pengusahaan Pertashop akan diatur lebih secara terperinci dalam suatu perjanjian kerja sama (perjanjian definitif).14 Namun setelah persyaratan
13 Angka 4 Perjanjian Kerja Sama Pengusahaan Pertashop.
14 Angka 6 Perjanjian Kerja Sama Pengusahaan Pertashop.
administrasi dan dokumen perizinan dilengkapi oleh mitra PT Pertamina Patra Niaga dan usaha Pertashop sudah berjalan, surat perjanjian kerja sama tersebut tidak direalisasikan.15
Perjanjian kerja sama ini mengatur hal-hal pokok saja sehingga terdapat hal-hal yang tidak diinginkan dalam pengoperasian usaha Pertashop tersebut seperti dalam hal keterlambatan pengiriman BBM yang sampai berhari-hari dan menyebabkan kekosongan BBM pada Pertashop sehingga unit Pertashop tidak dapat menjual BBM. Hal ini kemudian memberikan kerugian kepada pihak pengusaha Pertashop.16
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, tampak beroperasinya Pertashop oleh mitra PT Pertamina Patra Niaga hanya menggunakan perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop yang mana baru merupakan perjanjian pendahuluan atau MoU, karena itu penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut mengenai hal ini karena pada praktiknya perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop yang telah disepakati para pihak langsung digunakan sebagai dasar menjalankan kerja sama tanpa diikuti perjanjian yang lebih rinci.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kekuatan mengikat perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya?
15 Prapenelitian, Mitra usaha Pertashop, pada tanggal 23 April 2022 – 25 Juli 2022.
16 Prapenelitian, Loc. cit.
2. Bagaimana perlindungan hukum mitra dalam perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengkaji kekuatan mengikat perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya.
2. Untuk mengkaji perlindungan hukum mitra dalam perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penulisan ini diharapkan menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis, mahasiswa, pemerintah, maupun masyarakat umum mengenai kemitraan dalam perjanjian kerja sama Pertashop.
2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan masyarakat terkait kemitraan dalam perjanjian kerja sama Pertashop.
E. Keaslian Penelitian
Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap judul dan permasalahan yang sama di Universitas Hasanuddin dan respository online beberapa perguruan tinggi di Indonesia, diperoleh hasil bahwa terdapat 2 penelitian yang berkaitan dengan pembahasan permasalahan pada skripsi ini antara lain:
1. Tesis berjudul “Perjanjian Kerjasama PT. Pertamina (Persero) Dengan Pengusahaan SPBU Dalam Penyaluran Dan Pemasaran Bahan Bakar Minyak (BBM)” oleh Xxxxxx Xxxxxxx dari Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Tahun 2016. Penelitian ini mengkaji substansi perjanjian kerja sama antara PT Pertamina (Persero) dengan pengusaha SPBU dalam hal Penyaluran dan Pemasaran Bahan Bakar Minyak (BBM) dan bagaimana keseimbangan hak dan kewajiban antara PT. Pertamina (Persero) dengan pengusaha SPBU dalam perjanjian kerja sama Penyaluran dan Pemasaran Bahan Bakar Minyak (BBM). Hasil penelitian bahwa perjanjian kerja sama Penyaluran dan Pemasaran Bahan Bakar Minyak (BBM) antara PT. Pertamia (Persero) dengan pengusaha SPBU dibuat secara tertulis dan dituangkan dalam bentuk akta perjanjian kerja sama, klausula- klausula dalam perjanjian tersebut telah dibuat secara sepihak oleh PT. Xxxxxxxxx dan pengusaha SPBU dipersilahkan untuk membaca dan mempelajarinya. Kedudukan pihak kedua kedua atau pengusaha bermaksud menyalurkan dan memasarkan BBM milik pihak pertama, didalam perjanjian kerjasama PT. Pertamina dengan pengusahan SPBU, telah melahirkan hubungan hukum. Hubungan hukum inilah yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja sama pengusahaan SPBU tersebut.
Terdapat kemiripan dalam hal objek penelitian dengan skripsi ini, yaitu meneliti perjanjian kerja sama SPBU Pertamina dengan mitra usaha. Hal yang menjadi perbedaan mendasar antara penelitian ini dengan tesis
yang telah ditulis sebelumnya adalah dalam hal objek penelitian, yaitu tesis tersebut meneliti perjanjian kerja sama SPBU Pertamina antara PT Pertamina dengan pihak pengusaha sedangkan penulis meneliti perjanjian kerja sama Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitra. Dalam kerja sama SPBU Pertamina yang diteliti dalam tesis tersebut telah menggunakan perjanjian kerja sama (perjanjian definitif) dalam pelaksanaan kerja samanya sedangkan pada skripsi ini perjanjian yang digunakan oleh para pihak adalah perjanjian pendahuluan yang memuat hal-hal pokok saja sehingga hak dan kewajiban para pihak belum diatur secara lebih rinci.
Pada tesis tersebut meneliti substansi perjanjian kerja sama antara PT Pertamina (Persero) dengan pengusaha SPBU dalam hal Penyaluran dan Pemasaran Bahan Bakar Minyak (BBM) dan keseimbangan hak dan kewajiban antara PT. Pertamina (Persero) dengan pengusaha SPBU dalam perjanjian kerja sama Penyaluran dan Pemasaran Bahan Bakar Minyak (BBM), sedangkan dalam penelitian ini meneliti kekuatan mengikat perjanjian yang digunakan dalam kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya dan perlindungan hukum mitra dalam perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya.
2. Skripsi berjudul “Perjanjian Kerjasama SPBU Pertamina "Pasti Pas” oleh Riska Purbasari dari Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, tahun 2009. Penelitian ini mengkaji tentang karakteristik perjanjian kerja sama
pengusahaan SPBU Pertamina “PASTI PAS” antara Pertamina (Persero) dengan SPBU dan bagaimana tanggung gugat para pihak dalam pelaksanaan perjanjian kerja sama pengusahaan SPBU Pertamina “PASTI PAS”. Hasil penelitian bahwa perjanjian kerjasama pengusahaan SPBU Pertamina “PASTI PAS” memiliki karakteristik perjanjian waralaba. Selanjutnya, dalam hal tanggung gugat terkait wanprestasi terdapat ketidakseimbangan pengaturan, yakni apabila yang melakukan wanprestasi adalah pihak pengusaha maka pihak pengusaha diwajibkan oleh PERTAMINA untuk melakukan pemenuhan prestasi. Berbeda halnya apabila PERTAMINA yang melakukan wanprestasi, dalam perjanjian tidak dijelaskan mengenai kewajiban PERTAMINA untuk melakukan pemenuhan prestasi seperti halnya Ketika pengusaha melakukan wanprestasi.
Terdapat kemiripan dalam hal objek penelitian dengan skripsi ini, yaitu meneliti perjanjian kerja sama SPBU Pertamina dengan mitra usaha. Hal yang menjadi perbedaan mendasar antara penelitian ini dengan skripsi yang telah ditulis sebelumnya adalah dalam hal objek penelitian, yaitu skripsi tersebut meneliti perjanjian kerja sama SPBU Pertamina dengan pihak mitra, sedangkan penulis meneliti perjanjian kerja sama Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitra. Dalam kerja sama SPBU Pertamina yang diteliti dalam skripsi tersebut telah menggunakan perjanjian kerja sama (perjanjian definitif) dalam pelaksanaan kerja samanya sedangkan pada skripsi ini perjanjian yang
digunakan oleh para pihak adalah perjanjian pendahuluan yang memuat hal-hal pokok saja sehingga hak dan kewajiban para pihak belum diatur secara lebih rinci.
Pada skripsi tersebut meneliti tentang karakteristik perjanjian kerja sama pengusahaan SPBU Pertamia Pasti Pas dan tanggung gugat para pihak dalam perjanjian kerja sama tersebut sedangkan dalam penelitian ini meneliti kekuatan mengikat perjanjian yang digunakan dalam kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya dan perlindungan hukum mitra dalam perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya.
3. Skripsi berjudul “Kedudukan PT. Pertamina Dalam Melaksanakan Perjanjian Kerjasama Dengan Mitra Usaha SPBU” oleh Xxxxx Xxxxx Xxxxx dari Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara tahun 2019. Penelitian ini mengkaji bentuk perjanjian kerja sama PT Pertamina dengan mitra usaha SPBU dan kedudukan PT Pertamina dalam melaksanakan perjanjian kerja sama dengan mitra usaha SPBU serta permasalahan- permasalahan hukum pada pelaksanaan perjanjian kerja sama kemitraan pada PT Pertamina dan mitra usaha SPBU. Hasil penelitian bahwa terdapat 3 bentuk perjanjian kerja sama yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat oleh PT Pertamina, yaitu COCO (Compeny Owned Company Operated), DODO (Dealer Owned Dealer Operated), CODO (Company Owned Dealer Operated) dimana PT Pertamina berkedudukan sebagai
pemerintah yang harus menetapkan prinsip Good Corporate Governance dalam melakukan perjanjian kerja sama tersebut, didalam perjanjian kerja sama tersebut terdapat 2 jenis pelanggaran yaitu pelanggaran administrasi dan pelanggaran operasi yang dapat terkena sanksi sesuai perjanjian kerja sama tersebut.
Terdapat kemiripan dalam hal objek penelitian dengan skripsi ini, yaitu meneliti perjanjian kerja sama SPBU Pertamina dengan mitra usaha. Hal yang menjadi perbedaan mendasar antara penelitian ini dengan skripsi yang telah ditulis sebelumnya adalah dalam hal objek penelitian, yaitu skripsi tersebut meneliti perjanjian kerja sama SPBU Pertamina dengan pihak mitra sedangkan penulis meneliti perjanjian kerja sama Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitra. Dalam perjanjian kerja sama SPBU Pertamina yang diteliti dalam skripsi tersebut telah menggunakan perjanjian kerja sama (perjanjian definitif) dalam pelaksanaan kerja samanya, sedangkan pada skripsi ini perjanjian yang digunakan oleh para pihak adalah perjanjian pendahuluan yang memuat hal-hal pokok saja sehingga hak dan kewajiban para pihak belum diatur secara lebih rinci.
Pada skripsi tersebut meneliti tentang bentuk perjanjian kerja sama yang terdapat dalam perjanjian baku yang dibuat oleh PT Pertamina dan kedudukan PT Pertamina dalam melakukan perjanjian kerja sama tersebut sedangkan dalam skripsi ini akan meneliti kekuatan mengikat perjanjian yang digunakan dalam kerja sama pengusahaan Pertashop
antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya dan perlindungan hukum mitra dalam perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya.
Setelah mengkaji beberapa skripsi di atas, maka penulis menyatakan bahwa penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Xxxxxxx Xxxjanjian Kerja Sama Kemitraan Pertashop” sebelumnya belum pernah ada yang membahasnya dan merupakan murni hasil pemikiran penulis. Dengan demikian, maka keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada unsur plagiarism, ilmiah serta terbuka untuk kritik yang bersifat membangun.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum ini merupakan tipe penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara menganalisis asas- asas hukum (ketentuan-ketentuan yang ada) dan doktrin-doktrin serta penerapannya dalam peristiwa hukum yang terjadi.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach), adalah pendekatan dengan cara menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan yang berkaitan dengan isu
hukum yang diteliti.17
b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach), adalalah pendekatan dengan berdasarkan pada pendapat-pendapat dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum sebagai dasar untuk membangun argumentasi hukum untuk menyelesaikan masalah hukum yang dihadapi.18
3. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis dan berhubungan dengan objek penelitian.19 Bahan hukum primer terdiri dari perundang- undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, maupun putusan hakim (yurisprudensi).20 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Burgerlijk Wetboek voor Indonesie ( Staatsblad tahun 1847 Nomor 23 yang selanjutnya disebut BW).
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
17 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, 2017, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana, Kencana, Jakarta, hlm. 133.
18 Xxxxxxxx, 2020, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, Mataram,
hlm. 57.
19 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1989, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia
(UIPress), Jakarta, hlm. 93.
20 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Op.Cit, hal.181
Kecil, Dan Menengah.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
5. UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
6. Perjanjian Kerja Sama Pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitra.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum Primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, naskah akademik, maupun hasil karya para pakar hukum.21 Bahan sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari bahan dan kajian pustaka melalui berbagai studi kepustakaan seperti buku, undang-undang, jurnal, kamus, ensiklopedia, literatur serta data lainnya yang menjadi bahan pijakan dan bahan referensi mengenai studi kompeherensif yang berkaitan dengan penelitian ini dalam hal ini hukum perjanjian dan kemitraan.
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum yang dipakai adalah studi kepustakaan (bibliography study) serta studi dokumen
21 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Kajian Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13.
(document study), berdasarkan isu hukum dan metode pendekatan yang dipakai dalam mengumpulkan bahan hukum maka langkah-langkah yang dilakukan, yakni:
a. Melakukan identifikasi bahan hukum yang relevan, di mana bahan hukum tersebut diperoleh dari perpustakaan, dan tulisan-tulisan hukum dari berbagai media massa resmi serta informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum seperti perjanjian/kontrak kerja sama pihak tertentu.
b. Melakukan inventarisir bahan hukum yang diperlukan sesuai batasan penelitian penulis berdasarkan bahan hukum yang berkaitan dengan kekuatan mengikat perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop dan perlindungan hukum mitra dalam perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop.
c. Mencatat dan mengutip bahan yang diperlukan seperti doktrin- doktrin hukum yang berkaitan dengan penelitian penulis.
d. Melakukan analisis bahan hukum yang diperoleh sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian.
5. Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh diidentifikasi dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual untuk mendapatkan konklusi, sehingga mampu menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini yang kemudian
menjabarkannya dalam bentuk preskriptif untuk menjawab permasalahan hukum yang diteliti.
BAB II
KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN KERJA SAMA PENGUSAHAAN PERTASHOP ANTARA PT PERTAMINA PATRA NIAGA DENGAN MITRANYA
A. Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Istilah perjanjian juga sering disebut dengan istilah kontrak. Kontrak atau contracs (dalam bahasa Inggris) dan overeenkomst (dalam bahasa Belanda) dalam pengertian yang lebih luas sering juga disebut sebagai perjanjian. Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud istilah perjanjian dengan kontrak adalah suatu peristiwa hukum yang sama karena intinya adalah peristiwa dimana para pihak telah bersepakat mengenai hal-hal yang akan diperjanjikan dan berkewajiban untuk menaati dan melaksanakan sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut dengan perikatan (verbintenis).22
Sebuah perjanjian dapat terbentuk apabila terjadi sebuah penawaran (offer) yang diberikan oleh satu pihak dan kemudian diterima (acceptance) oleh pihak lainnya.23 Buku III BW berjudul “Perihal Perikatan” perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian” sebab dalam buku
00 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx, 0000, Hukum Perikatan, Pustaka Setia, Bandung, hlm.
119.
23 Xxxxxx, Seng, 2015, Manajemen kontrak konstruksi, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hlm. 37.
III itu, diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perikatan yang timbul dari perbuatan seseorang yang sesuai dengan hukum (zaakwaarneming).
Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III BW ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.24 Perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana 2 orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.25
Definisi perjanjian yang telah diuraikan di dalam Pasal 1313 BW, terdapat beberapa kelemahan dan kekurangan menurut para sarjana. Menurut Setiawan rumusan Pasal 1313 BW selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan digunakanya
24 Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa, Bandung, hlm. 122.
25 Ibid. hlm. 120.
perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan xxxxxxxx dan perbuatan melawan hukum.26
Sehubungan dengan itu menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut yaitu: 27
a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 BW.
x. Xxxxxxxannya menjadi “perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
2. Asas-Asas Perjanjian
Terdapat 4 asas secara umum yang harus dimengerti dalam membuat suatu perjanjian, yaitu:28
a. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme terkandung di dalam syarat pertama Pasal 1320 BW, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian sah jika terdapat kesepakatan diantara para pihak yang nantinya akan mengikat para pihak. Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kesesuaian kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.
26 Johanes, dkk, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Aditama, Jakarta, hlm. 41.
27 Ibid, hlm. 42.
28 Xxxxxx Xxxxxxxx, 2013, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, Bagian Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 90-92
Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.29
b. Asas Pacta Sunt Servanda (Kekuatan Mengikatnya Kontrak)
Asas kekuatan mengikatnya perjanjian atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda adalah asas yang berkaitan dengan akibat dari suatu perjanjian. Asas pacta sunt servanda diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya bahwa undang-undang mengakui dan menempatkan posisi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sejajar dengan pembuatan undang- undang.
x. Xxxx Kebebasan Berkontrak
Xxxx kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang mempunyai posisi yang sentral dalam hukum kontrak, meskipun tidak dituangkan menjadi aturan hukum tetapi asas kebebasan berkontrak ini memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual di antara para pihak. Asas kebebasan
29 Xxxxxx Xxxx Hutagalung, 2013, Kontrak Bisnis di Asean, Pengaruh Sistem Hukum Common Law dan Civil Law, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 49.
berkontrak merupakan tiang sistem hukum perdata, khususnya hukum perikatan yang diatur Buku III BW.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:30
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak.
b. Bebas mentuntukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian.
x. Xxxxx menetukan isi atau klausul perxxxxxxx.
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian.
e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
d. Asas Iktikad Baik
Pasal 1338 ayat (3) BW menyatakan bahwa “Perjanjian- perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Di dalam perundang-undangan tidak memberikan definisi secara jelas apa yang dimaksud iktikad baik. Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan iktikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemampuan (yang baik).
3. Jenis-Jenis Perjanjian
Perjanjian terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
30 Xxxxxx Xxxx, 2018, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Depok, hlm. 4.
a. Perjanjian timbal-balik, yaitu perjanjian dimana hak dan kewajiban terdapat pada kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual-beli.31
b. Perjanjian cuma-cuma, yaitu perjanjian dimana satu pihak memberikan keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sehingga keuntungan hanya pada salah satu pihak saja. Misalnya, hibah.
c. Perjanjian atas beban, yaitu perjanjian dimana masing-masing pihak diwajibkan untuk melakukan prestasi. Terhadap prestasi dari pihak yang satu memiliki kaitan dengan prestasi pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.32
d. Perjanjian bernama, yaitu perjanjian yang khusus diatur dengan nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan bentuk yang umum terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V s.d. XVIII BW.
e. Perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dan tidak disebutkan dalam BW.33
f. Perjanjian obligator, yaitu perjanjian yang hanya mengutamakan kesepakatan dari para pihak untuk melakukan prestasi kepada
31 Xxxxxxxxxxx, 2001, Xxxxxx Xxxxx dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, hlm. 19.
32 Ibid.
33 Xxxxxxxxxxx, Loc. Cit.
pihak lain. Hal ini dianut oleh sistem dalam BW misalnya dalam jual beli.
g. Perjanjian kebendaan, yaitu suatu perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, atau suatu perjanjian yang membebankan kewajiban kepada satu pihak atau lebih, untuk menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain. Penyerahan itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan.34
h. Perjanjian konsensual, yaitu perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah terdapat persesuaian kehendak untuk melakukan perikatan. Menurut BW, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) BW.35
i. Perjanjian riil, yaitu perjanjian antara dua orang atau lebih, dimana keterikatan mereka ditentukan bukan karena consensus (kesepakatan), tetapi timbul setelah dilakukan penyerahan (perbuatan riil) atas barang yang diperjanjikan tersebut .36
34 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Op. cit, hlm. 59.
35 Ibid, hlm. 58.
36 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Loc. cit.
x. Xxxjanjian formil, yaitu perjanjian yang selain dibutuhkan kata sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.37
4. Syarat Sah Perjanjian
Syarat sah perjanjian dapat dikaji berdasarkan hukum perjanjian yang terdapat di dalam BW (Civil law), syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 BW, yaitu:
a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
c. Adanya objek, dan
d. Adanya causa yang halal.
Salah satu sumber perikatan adalah perjanjian. Perjanjian melahirkan perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Adapun pengertian perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 BW mengatur bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.38
Agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu. Mengenai syarat sahnya suatu
37 Jurnal Hukum “Jenis-Jenis Perjanjian” diakses dari xxxx://xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxx- jenis-perjanjian/, diakses pada tanggal 06 Februari 2023.
38 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
perjanjian diatur dalam Pasal 1320 BW, yang isinya sebagai berikut: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat”:39
a. Kesepakatan Kedua Belah Pihak.
Syarat yang pertama adalah adanya consensus atau kesepakatan para pihak. Kesepakatan terdapat dalam Pasal 1320 BW, yaitu kesesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain maka dari itu yang dimaksud sesuai itu adalah pernyataannya. Terdapat 5 cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis
2) Bahasa yang sempurna secara lisan
3) Bahasa yang tidak sempurna namun dapat dipahami oleh pihak lawan. Dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dipahami oleh pihak lawannya.
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima lawannya .
5) Diam dan membisu, tetapi asal diterima atau dipahami oleh pihak lawan.
39 Xxxxx, 2008, Hukum Perjanjian, Teori dan Praktik Penyusunan Perjanjian, Sinar Gafika, Jakarta, hlm. 33.
b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan.
Kecakapan bertindak, yaitu kecakapan atau kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum, yakni perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Orang- orang yang mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap serta memiliki wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur oleh undang-undang.
c. Sesuatu Hal Yang Tertentu.
Objek perjanjian adalah prestasi atau pokok perjanjian. Prestasi ialah apa yang telah menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
Objek perjanjian dapat berupa barang yang akan datang. Barang yang akan datang dapat bersifat absolut atau relatif. Absolut, yaitu barang-barang tersebut sama sekali belum ada. Relatif, yaitu barang-barang tersebut sudah ada, namun belum menjadi milik dari pihak yang akan mengalihkan barang tersebut. Akan tetapi undang-undang melarang untuk mengalihkan warisan yang belum terbuka meskipun pihak yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian menyatakan perjanjiannya tentang hal tersebut.40
40 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, 2019, Pokok-Pokok Hukum Kontrak, SIGn, Makassar, hlm. 108-109
d. Sesuatu Sebab Yang Halal
Dalam Pasal 1320 BW tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Di dalam Pasal 1337 BW disebutkan causa yang terlarang. ”Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum”. Jadi perjanjian yang dilakukan itu merupakan yang diperbolehkan menurut undang-undang.
Berdasarkan keempat syarat sahnya suatu perjanjian dapat dibedakan atas adanya syarat- syarat subjektif yang merupakan syarat yang berkenaan dengan orang atau subjek yang mengadakan perjanjian dan adanya syarat-syarat objektif yang berkenaan dengan objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
R. Subekti mengelompokkan syarat sahnya perjanjian menjadi 2, syarat subjektif dan syarat objektif, yaitu:41
a. Syarat Subjektif
Syarat subjektif perjanjian berkaitan dengan subjek hukum atau pihak-pihak yang terikat atau yang melakukan perjanjian, apabila tidak dipenuhi syarat tersebut maka perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak.42 Dalam Pasal 1340 BW disebutkan bahwa perjanjian hanya berlaku
41 Xxxxx, Op. cit, hlm. 48.
42 Xxxxxx Xxxxxxx, Op. cit, hlm. 22.
antara para pihak yang membuatnya. Namun, berkaitan dengan subjek atau pihak-pihak yang melakukan suatu perjanjian, BW membedakan menjadi tiga jenis, yaitu: pihak yang mengadakan perjanjian, para ahli waris dan pihak yang mendapat hak daripadanya serta pihak ketiga.43
Kedua belah pihak yaitu kreditur dan debitur. Kreditur adalah pihak yang memiliki hak atas prestasi sedangkan debitur adalah pihak yang memiliki kewajiban memenuhi prestasi yang diperjanjikan. Untuk dapat memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, maka harus terdapat kesepakatan (toesteming) para pihak yang mengikatkan dirinya secara sukarela. Kesepakatan para pihak merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum yang memuat pernyataan kehendak antara para pihak.44
b. Syarat Objektif
Syarat objektif perjanjian berkaitan dengan objek dari perikatan apabila syarat tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada45. Objek perikatan ialah segala sesuatu yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan, yang disebut sebagai prestasi (pokok perjanjian). Dalam hal
43 Xxxxx, Op. cit, hlm. 48.
44 Xxxxx, Xxx. cit.
45 Xxxxxx Xxxxxxx, Op. cit, hlm. 22.
ini, prestasi adalah sesuatu yang menjadi kewajiban dari debitur dan apa yang menjadi hak dari kreditur. Prestasi berdasarkan Pasal 1234 BW memuat 3 hal, yaitu:46
1) Memberikan sesuatu memiliki pengertian, yaitu memberikan hak milik, hak untuk menikmati sesuatu atau hak penguasaan. Dalam hal ini, penekanannya adalah perpindahan hak, baik yang bersifat nyata maupun abstrak. misalnya jual beli, tukar menukar, pinjam-pakai, sewa- menyewa, dan sebagainya.
2) Berbuat sesuatu diartikan sebagai para pihak berjanji untuk melakukan pekerjaan tertentu. Dalam hal ini, segala perbuatan yang bukan memberikan sesuatu, melainkan janji untuk melakukan suatu hal tertentu. Penekanannya adalah pada suatu pekerjaan yang harus dilakukan.
3) Tidak berbuat sesuatu, yaitu menjanjikan untuk tidak melakukan hal-hal dalam bentuk kerja tertentu.
5. Pengertian Perikatan
Kata “perikatan” berasal dari bahasa Belanda, yakni “verbintenis”. Para sarjana hukum menerjemahkan verbintenis menggunakan istilah yang beragam. Utrecht, dalam bukunya yang berjudul Pengantar dalam Hukum Indonesia menggunakan istilah
46 Xxxxx, Op. cit, hlm. 48.
“perutangan” untuk “verbintenis” dan “perjanjian” untuk “overeenkomst”. Xxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxxx, menggunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis” dan “persetujuan” untuk “overeenkomst”.47 Dalam BW Buku III tentang Perikatan, tidak memberikan suatu definisi dari perikatan itu sendiri, maka dari itu pemahaman dan penjelasan perikatan dapat didasarkan pada doktrin48
Perikatan menurut Xxxxx Xxxxx adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan peristiwa atau keadaan.49 Pitlo memberikan definisi perikatan adalah suatu ikatan hukum harta kekayaan dua atau lebih orang tertentu berdasarkan mana pihak yang satu berhak dan pihak lainnya memiliki kewajiban terhadap sesuatu. Ikatan harta kekayaan tersebut merupakan akibat hukum dari perjanjian atau peristiwa hukum.50 Sedangkan perikatan menurut L.C. Xxxxxx adalah hubungan hukum antara beberapa subjek hukum, yang berakibat
47 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op. Cit hlm. 1.
48 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, 2014, Hukum Perdata Mengenai Perikatan, FH- Utama,Jakarta,hlm. 1.
49 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, 2004, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hlm. 6.
50 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op. cit, hlm. 2.
bahwa satu dari beberapa debitor wajib memenuhi hal-hal yang disepakati di antara mereka.51 Xxxxx XX berpendapat bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang hukum harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut.52
6. Sumber-Sumber Perikatan
Pasal 1233 BW mengatur bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang. Sumber perikatan sebagaimana dalam Pasal 1233 BW yakni pertama lahir dari persetujuan atau perjanjian dan kedua lahir dari undang-undang.
Perikatan yang lahir karena undang-undang dapat juga dibagi menjadi perikatan yang bersumber dari undang-undang semata dan perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagi akibat dari perbuatan manusia. Perikatan yang lahir semata-mata undang- undang, misalnya undang-undang mengatur kewajiban kepada orang
51 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Loc. Cit.
52 Xxxxx X. X, 2016, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 174.
tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya.53 Sedangkan, perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia adalah dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang maka undang-undang meletakkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut.54 Tingkah laku seseorang ada yang melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 BW (onrechtmatigedaad)55 dan ada pula tingkah laku seseorang yang sesuai dengan hukum seperti diatur dalam Pasal 1354 BW (zaakwaarneming)56.
7. Jenis-Jenis Perikatan
Pada dasarnya perikatan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu perikatan perdata (obligation verbintenis) dan perikatan wajar (natuurlijk verbintenis). Perikatan perdata atau disebut juga dengan obligation verbintenis adalah suatu perikatan yang dapat
53 Pasal 298 BW mengatur si bapak maupun si ibu, keduanya diharuskan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orangtua atau untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan itu. Terhadap anak-anak yang telah dewasa, berlakulah ketentuan-ketentuan tercantum dalam bagian ketiga bab ini.
54 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op cit, hlm. 5.
55 Pasal 1365 BW berbunyi tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian.
56 Pasal 1354 BW berbunyi jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut.
dituntut di muka dan dihadapan pengadilan manakala salah satu pihak atau lebih telah melakukan wanprestasi. Perikatan wajar atau natuurlijk verbintenis adalah suatu perikatan yang pemenuhan prestasinya tidak dapat dituntut di depan pengadilan namun secara moral pihak si berutang berkewajiban untuk melunasi utangnya. Pada Pasal 1788 BW mengatur bahwa undang-undang tidak memberikan tuntutan hukum atas suatu hutang yang terjadi karena perjudian atau pertaruhan.57
Perikatan perdata dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) jenis, yaitu :
1) Perikatan murni, yaitu apabila suatu perikatan masing-masing pihak terdiri atas hanya satu orang saja sedangkan yang dituntut juga berupa satu hal saja serta penuntutan prestasinya dapat dilakukan seketika.58 Misalnya jual beli di pasar yang perikatannya terjadi secara spontan.
2) Perikatan bersyarat diatur dalam Pasal 1253 sampai dengan Pasal 1267 BW. Pada Pasal 1253 BW mengatur bahwa suatu perikatan dikatakan bersyarat apabila ia disandarkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya
57 Xxxxx X. X, Op. Cit, hlm.175.
58 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Op. Cit, hlm. 9.
peristiwa tersebut. Perikatan bersyarat terbagi atas 2 (dua) jenis, yaitu :
a) Perikatan dengan syarat menangguhkan (opschortende voorwaarde) adalah perikatan bersyarat yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai syaratnya terpenuhi.59 Selama syarat yang diperjanjikan belum terjadi, maka pelaksanaan perikatan ditangguhkan. Artinya, kewajiban debitur untuk melaksanakan prestasinya belum dapat dilaksanakan. Lain halnya, apabila syarat dalam suatu perikatan terjadi, maka pada saat yang sama perikatan dapat dilaksanakan.60
b) Perikatan dengan syarat batal (ontbindende voorwaarde) perikatan ini berarti syarat yang apabila terpenuhi menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perikatan.61
3) Perikatan dengan ketetapan waktu adalah perikatan yang pelaksanaannya digantungkan pada waktu yang akan datang dan sudah pasti akan terjadi. Pelaksanaan suatu perikatan ditunda sampai waktu yang ditentukan terpenuhi. Ketetapan waktu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Apabila ketentuan
59 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Op. Cit, hlm. 175.
60 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op. Cit, hlm. 14.
61 Ibid.
waktu tersebut terlaksana, maka tuntutan kreditur kepada debitur dapat ditagih (opeisbaar).62
Keuntungan ketetapan waktu adalah membantu pihak si berutang, karena ia dapat menangguhkan pelaksanaan utangnya/prestasinya sampai waktu yang ditentukan.63 Suatu ketepatan waktu pada umumnya dianggap dibuat demi kepentingan si berutang (debitur), kecuali jika dari sifat perikatan itu sendiri atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat demi kepentingan si berpiutang (kreditur)64.
Perbedaan perikatan dengan ketetapan waktu dengan perikatan bersyarat adalah perikatan bersyarat kepastiannya belum tentu akan terjadi, sementara perikatan dengan ketetapan waktu kepastiannya pasti akan terjadi pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.65
4) Perikatan manasuka atau alternatif diatur dalam Pasal 1272 BW sampai dengan 1277 BW. Pada Pasal 1272 BW mengatur bahwa dalam perikatan-perikatan manasuka si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa si berpiutang untuk
62 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx (2015), dikutip dari Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op. cit, hlm.15
63 Xxxxx X. X, Op. Cit, hlm. 176.
64 Lihat Pasal 1270 BW
65 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op. Cit, hlm. 16.
menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya.66
Perikatan alternatif berarti perikatan yang terdiri dari beberapa prestasi dan debitur dalam memenuhi kewajibannya dapat memilih salah satu dari prestasi yang telah ditentukan dan atas pilihannya sendiri wajib memenuhi perikatan dengan salah satu prestasi.67
5) Perikatan tanggung renteng atau tanggung menanggung timbul apabila salah satu pihak terdapat lebih dari satu orang. Dalam hal jika seorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur maka disebut dengan “Perikatan Tanggung Menanggung Aktif”, sebaliknya jika pada pihak debitur terdiri atas lebih dari satu orang yang berhadapan dengan seorang kreditur maka disebut dengan “Perikatan Tanggung Menanggung Pasif”.68
Dalam perikatan tanggung menanggung aktif, masing- masing kreditur berhak menuntut pembayaran atas keseluruhan utangnya. Dalam tanggung menananggung pasif pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur membebaskan debitur- debitur lainnya. Begitu juga pembayaran yang dilakukan seorang debitur kepada seorang kreditur membebaskan debitur terhadap kreditur lainnya.69
66 Lihat Pasal 1272 BW 67 Xxxxx X.X, Loc. Cit. 68 Lihat Pasal 1280 BW.
69 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Op. Cit, hlm. 14.
Dalam hukum perjanjian ada suatu aturan, bahwa tiada suatu perikatan dianggap tanggung menanggung, kecuali hal itu dinyatakan (diperjanjikan) secara tegas, ataupun ditetapkan oleh undang-undang.70 Perikatan tanggung menanggung ini hapus jika seorang debitur telah melaksanakan seluruh prestasi kepada kreditur.71
6) Perikatan yang dapat dibagi dan tak dapat dibagi semata-mata menyangkut soal peristiwanya dapat dibagi atau tidak. Misalnya perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang (hasil bumi merupakan perikatan dapat dibagi, sedangkan menyerahkan seekor kuda merupakan perikatan tidak dapat dibagi).72
Pada Pasal 1296 BW mengatur bahwa suatu perikatan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi sekadar perikatan tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak dapat dibagi, baik secara nyata maupun secara perhitungan.73 Mengenai suatu dapat dibagi atau tidak dapat dibagi hanya apabila perikatan tersebut terdiri dari lebih seorang debitur, walaupun prestasinya dapat dibagi.74
70 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Loc. Cit.
71 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op. Cit, hlm. 18.
72 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Loc. Cit.
73 Lihat Pasal 1296 BW.
74 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Loc. Cit.
7) Perikatan dengan ancaman hukuman diatur dalam Pasal 1304 BW sampai dengan Pasal 1312 BW. Perikatan dengan ancaman hukuman adalah suatu perikatan dimana seseorang untuk menjamin pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi.75 Ancaman dalam perikatan tersebut dimaksudkan untuk memastikan agar perikatan itu benar-benar dipenuhi dan atau untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu, apabila terjadi wanprestasi dan menghindari perselisihan tentang itu.76
B. Memorandum of Understanding
1. Pengertian Memorandum of Understanding
Memorandum of Understanding (MoU) berasal dari dua kata, yaitu memorandum dan understanding. Secara gramatikal memorandum of understanding diterjemahkan sebagai nota kesepahaman. Dalam Black’s Law Dictionary, kata memorandum diartikan sebagai dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada masa yang akan datang (is to serve as the basis of future formal contract). Sementara itu understanding diartikan sebagai pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik lisan ataupun tertulis (an implied agreement resulting from the express term of another agreement,
75 Xxxxx X. X, Op. Cit. hlm. 177.
76 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Op. cit, hlm. 16.
wheter written or oral). Memorandum of understanding yaitu dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan pada hasil persetujuan para pihak, baik secara tertulis maupun lisan.77
Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang
memorandum of understanding (MoU), sebagai berikut:
a) Xxxxx Xxxxx, menyatakan MoU sebagai perjanjian pendahuluan, perjanjian ini nantinya akan diikuti serta dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail, karena itu, MoU berisikan hal-hal pokok saja. Adapun terkait lain-lain aspek dari MoU umumnya sama dengan perjanjian-perjanjian lain.78
b) Xxxxx Xxxxxxxxxx, menyatakan MoU adalah dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari MoU harus dimasukkan ke dalam substansi kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat.79
c) Xxxxx XX, menyatakan MoU adalah nota kesepahaman yang dibuat di antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya, baik dalam suatu negara maupun antar negara untuk melakukan kerja sama dalam berbagai aspek kehidupan dan jangka waktunya tertentu.80
77 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Op. cit, hlm. 46.
78 Ibid.
79 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Loc. cit.
80 Ibid.
d) I Xxxxxx Xxxxxx, menyatakan MoU adalah suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti akan diikuti perjanjian lainnya.81
e) Xxxxxx Xxxxxxx, menyatakan MoU adalah suatu perbuatan hukum yang dibuat salah satu pihak (subjek hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu hal yang ditawarkannya ataupun yang dimilikinya.82
Perjanjian pendahuluan ialah perjanjian awal yang dilakukan oleh para pihak. MoU berisi mengenai hal-hal pokok saja, artinya substansi MoU tersebut hanya berkaitan dengan hal-hal yang sangat prinsip.83 MoU pada dasarnya merupakan kontrak pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat kontrak yang lebih terperinci dan mengikat para pihak.84
Wujud dari kontrak pendahuluan, maka secara xxxxxxx XxX belumlah melahirkan suatu hubungan hukum. Hal ini merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Dalam MoU, kesepahaman para pihak yang tertuang dalam bentuk tertulis dimaksudkan sebagai pertemuan keinginan antara pihak yang membuatnya. Ikatan yang muncul dalam MoU adalah ikatan moral yang berlandaskan etika bisnis.85
81 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Loc. cit
82 Xxxxxx Xxxxxxx, Op Cit, hlm. 96.
83 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Op. cit, hlm. 47.
84 Xxxxxx Xxxxxxx, Op. Cit, hlm. 97.
85 Ibid, hlm. 97-98
Xxxxx Xxxxx mengemukakan ciri-ciri MoU, sebagai berikut:86
1) Isinya ringkas, bahkan sering sekali satu halaman saja.
2) Berisikan hal pokok saja
3) Bersifat pendahuluan saja, yang akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci.
4) Memiliki jangka waktunya, misalnya satu bulan, enam bulan, atau setahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan suatu perjanjian yang lebih rinci, perjanjian tersebut akan batal, kecuali diperpanjang oleh para pihak.
5) Umumnya dibuat dalam bentuk perjanjian dibawah tangan.
6) Umumnya tidak diatur kewajiban yang sifatnya memaksa kepada para pihak untuk membuat suatu perjanjian yang lebih detail setelah penandatanganan MoU, karena secara reasonable kemungkinan kedua belah pihak punya rintangan tertentu untuk membuat dan menandatangani perjanjian yang detail tersebut.
Ciri utama dari suatu memorandum of understanding ialah sebagai dasar dalam pembuatan kontrak pada masa yang akan datang, isinya singkat dan jangka waktunya tertentu. MoU akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci87
2. Tujuan Memorandum of Understanding
Pada prinsipnya, setiap MoU yang dibuat oleh para pihak, tentunya mempunyai tujuan tertentu. Xxxxx Xxxxx telah mengemukakan tujuan dibuatnya MoU sebagai berikut:88
1) Untuk mempermudah pembatalan suatu agreement nantinya, dalam hal prospek bisnisnya belum jelas benar, dalam arti belum bisa dipastikan apakah deal kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti, sehingga dibuatlah MoU yang mudah dibatalkan.
2) Kontrak tersebut penandatanganannya masih lama karena masih dilakukan negosiasi yang panjang sebab itu daripada antara para pihak tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatangani kontrak tersebut, dibuatlah MoU yang akan berlaku sementara waktu.
86 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Op. cit, hlm. 52. 87 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Op. cit, hlm. 53. 88 Ibid.
3) Masih terdapat keraguan para pihak dan masih perlu waktu untuk mempertimbangkan dalam hal penandatanganan suatu kontrak, sehingga untuk sementara dibuatlah sebuah MoU.
4) MoU dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif teras dari suatu perusahaan, sehingga untuk suatu perjanjian yang rinci mesti dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf-staf yang lebih rendah tetapi lebih menguasai secara teknis.
3. Kekuatan Mengikat Memorandum of Understanding
Dalam BW maupun dalam perundang-undangan lainnya, terkait MoU belum ada suatu ketentuan yang mengaturnya secara khusus, yang ada ketentuan yang mengatur terkait syarat-syarat sahnya kontrak. Jika memperhatikan substansi MoU, maka tampak bahwa di dalamnya berisi kesepakatan para pihak tentang hal-hal yang bersifat umum.89
MoU sebagai suatu perjanjian pendahuluan dalam tahap prakontrak tunduk pada hukum kontrak, maka prinsip-prinsip dalam hukum kontrak juga haruslah diterapkan dalam penbuatan MoU. Dalam hal ini prinsip-prinsip dalam MoU yaitu prinsip kebebasan berkontrak, prinsip pacta sunt servanda, prinsip konsensualisme, dan prinsip iktikad baik, yang mana keempat hal tersebut merupakan prinsip yang sangat penting bagi suatu MoU.90
MoU yang merupakan suatu perjanjian pendahuluan maka pengaturannya tetap mengacu pada Pasal 1320 BW yang mengatur
89 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Op. cit, hlm. 54.
90 Xxxxxxxxxx Xxxxx, Xxxxxxx Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxxx, “Xxxx Xxxxxx Xxxx dalam Memorandum of Understanding sebagai dasar pembuatan kontrak”, Notaire, Universitas Airlangga, Vol. 2, Nomor 2 Juni 2019, hlm. 7.
tentang syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, cakap, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Di samping itu yang dapat dijadikan dasar hukum pembuatan MoU adalah Pasal 1338 ayat
(1) BW yang mengatur bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.91
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, satu diantaranya yaitu Memorandum of Understanding. 92
Menurut Xxxxxxxxxx Xxxxxx penggunanaan istilah MoU harus dibedakan dari segi teoritis dan praktis. Secara teoritis dokumen MoU bukan merupakan hukum yang mengikat para pihak, agar mengikat secara hukum, harus ditindaklanjuti dengan sebuah perjanjian. Kesepakatan dalam MoU lebih bersifat ikatan moral. Secara praktis, MoU disejajarkan dengan perjanjian. Ikatan yang terjadi tidak hanya bersifat moral, namun juga ikatan hukum. Titik terpenting bukanlah
91 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Op. cit, hlm. 48.
92 Ibid.
pada istilah yang digunakan, tetapi substansi atau materi yang diatur dalam nota kesepahaman tersebut.93
Xxxxx Xxxxx mengemukakan dua pandangan yang membahas tentang kekuatan mengikat MoU, yaitu gentlemen agreement dan agreement is agreement.94
1. Gentlemen Agreement
Berdasarkan pendapat ini MoU hanyalah merupakan suatu gentlemen agreement saja, artinya kekuatan mengikatnya suatu MoU tidak seperti dengan perjanjian biasa, meskipun MoU dibuat dalam bentuk yang paling kuat seperti dengan akta notaris sekalipun (tetapi dalam praktek jarang MoU dibuat secara notarial). Bahkan menurut pendapat golongan ini menyatakan bahwa MoU hanya mengikat sebatas pada pengakuan moral belaka, dalam arti tidak punya daya ikat secara hukum.95
2. Agreement is Agreement
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) BW yang artinya semua perjanjian yang dibuat sesuai kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang berlaku baginya sehingga mengikat kedua belah pihak merupakan alasan yuridis yang tepat bagi penggunaan MoU.96
93 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Op. cit, hlm. 55.
94 Ibid.
95 Xxxxxx, Xxxxx, and Cyntia C. Xxxxxxxx, "Kedudukan dan Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Sistem Hukum Kontrak." Privat Law, vol. 2, no. 4, 2014.
96 Ibid, hlm. 14.
Pandangan kedua ini berpendapat bahwa apabila suatu perjanjian telah dibuat dan disepakati, apapun bentuknya, lisan atau tertulis, pendek atau panjang, lengkap/detail ataupun hanya berisi hal- hal pokok saja, tetap merupakan perjanjian oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat seperti layaknya suatu perjanjian. Seluruh ketentuan pasal-pasal terkait hukum perjanjian dapat diterapkan kepadanya.97
Materi/substansi yang ada dalam MoU penting diperhatiankan untuk mengetahui kedudukan MoU sehingga dapat diketahui apakah suatu MoU dapat dikatakan kontrak atau bukan. Jika materi/substansi dalam MoU terdapat sanksi yang tegas dan unsur-unsur yang dapat membuat salah satu pihak dirugikan apabila ada salah satu materi dalam MoU tersebut yang diingkari maka MoU tersebut dapatlah dikategorikan suatu kontrak/setingkat dengan perjanjian (agreement is agreement). Akan tetapi lainnya halnya jika dalam materi MoU tidak memuat sanksi dan hanya mengatur hal-hal pokok saja dan tidak terdapat hal-hal yang dapat membuat salah satu pihak dirugikan apabila ada salah satu materi dalam Mou tersebut diingkari. Apabila substansi/materi dalam MoU mengatur hal-hal yang demikian, maka MoU semacam ini tidak dapat dikatakan suatu kontrak(Gentlemen agreement).98
97 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Loc. Cit.
98 Xxxxxx, Xxxxx, and Xxxxxx X. Xxxxxxxx, Op. cit, hlm. 8-10.
Apabila kita memperhatikan pandangan yang kedua (agreement is agreement), maka jelaslah bahwa apabila salah satu pihak tidak melaksanakan substansi MoU maka salah satu pihak dapat membawa persoalan itu ke pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan dapat meminta pihak lain untuk melaksanakan substansi MoU secara konsisten.99
C. Analisis Kekuatan Mengikat Perjanjian Kerja Sama Pengusahaan Pertashop Antara PT Pertamina Patra Niaga Dengan Mitranya
Xxxxx Xxxxx mengartikan MoU sebagai perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail. Ciri-ciri MoU menurut Xxxxx Xxxxx, sebagai berikut:100
1) Isinya ringkas, bahkan sering sekali satu halaman saja.
2) Berisikan hal pokok saja.
3) Bersifat pendahuluan saja, yang akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci.
4) Memiliki jangka waktunya, misalnya satu bulan, enam bulan, atau setahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan suatu perjanjian yang lebih rinci, perjanjian tersebut akan batal, kecuali diperpanjang oleh para pihak.
5) Umumnya dibuat dalam bentuk perjanjian dibawah tangan.
6) Umumnya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak agar membuat suatu perjanjian yang lebih detail setelah penandatanganan MoU, karena secara reasonable mungkin saja kedua belah pihak punya rintangan untuk membuat dan menandatangani perjanjian yang detail tersebut.
Ciri utama dari suatu MoU ialah sebagai dasar dalam membuat kontrak pada masa yang akan datang, isinya singkat dan jangka waktunya tertentu.101
99 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Op. cit, hlm. 56.
100 Ibid, hlm. 52.
101 Ibid, hlm. 53.
Perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya merupakan perjanjian baku yang diberikan oleh PT Pertamina Xxxxx Xxxxx, juga merupakan perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh PT Pertamina Xxxxx Xxxxx sebagai pihak pertama dan mitra sebagai pihak kedua. Jangka waktu surat tersebut diatur pada Angka 4, yaitu 3 (tiga) bulan sejak surat tersebut ditandatangani. Dalam Angka 6 surat tersebut diatur bahwa ketentuan terkait Pertashop di kemudian hari akan diatur secara lebih terperinci dalam suatu perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop dengan kata lain perjanjian kerja sama tersebut akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci, maka dapat dinyatakan bahwa “Perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop” ini merupakan Memorandum of Understanding (MoU) atau perjanjian pendahuluan.
Dalam BW maupun dalam perundang-undangan lainnya, terkait MoU belum ada suatu ketentuan yang mengaturnya secara khusus, yang ada ialah ketentuan yang berkaitan dengan syarat-syarat sahnya kontrak, namun jika kita memperhatikan substansi MoU, maka tampak bahwa di dalamnya berisi kesepakatan para pihak tentang hal-hal yang bersifat umum.102 MoU sebagai suatu perjanjian pendahuluan maka pengaturannya tetaplah tunduk pada Pasal 1320 BW yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, cakap, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Di samping itu yang dapat dijadikan dasar hukum pembuatan MoU adalah Pasal 1338 ayat (1) BW yang mengatur bahwa semua perjanjian yang
102 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Op. cit, hlm. 54.
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya jika dikaitkan dengan isi Pasal 1320 BW tentang syarat sahnya suatu perjanjian, maka dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kesepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat dapat diartikan tidak adanya paksaan, penipuan dan kekhilafan di dalam perjanjian tersebut, karena sepakat merupakan kehendak dari masing-masing pihak. Apabila dihubungkan dengan Pasal 1320 BW perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop tersebut telah memenuhi kesepakatan kehendak dengan penandatanganan para pihak.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Dalam perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop para pihak pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut adalah PT Pertamina Patra Niaga sebagai pihak pertama dengan mitra yang merupakan sebuah PT sebagai pihak kedua. Masing-masing pihak diwakili oleh Executive General Manager Regional Sulawesi PT Pertamina Xxxxx Xxxxx (pihak pertama) dan Direktur PT dari mitra (pihak kedua) sehingga kedua pihak cakap dalam melakukan perbuatan hukum.
x. Xxxxx hal tertentu
Suatu hal tertentu maksudnya adalah objek perjanjian. Dalam berbagai literatur disebutkan yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi atau pokok perjanjian. Prestasi adalah apa yang telah menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.
Dalam perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop tersebut yang menjadi pokok perjanjian adalah dokumen perizinan berusaha terkait Persetujuan Bangun Gedung (PGB) yang akan diserahkan oleh pihak kedua kepada pihak pertama serta persetujuan kerja sama pengusahaan sementara Xxxxxxxxx yang diserahkan oleh pihak pertama kepada pihak kedua.
d. Suatu sebab yang halal
Dalam Pasal 1320 BW tidak dijelaskan pengertian tentang orzaak (sebab yang halal). Dalam pasal 1337 BW disebutkan sebab yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Jadi perjanjian yang dilakukan itu ialah yang diperbolehkan menurut undang-undang.
Sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian, perjanjian dibuat berdasarkan tujuan yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang tidak benar atau dilarang membuat perjanjian menjadi tidak sah,
Pertashop merupakan lembaga penyalur resmi Pertamina dengan skala tertentu untuk melayani kebutuhan konsumen BBM non
subsidi, LPG non subsidi, dan produk ritel Pertamina lainnya. Ini memperluas akses masyarakat terhadap energi. Pengusahaan Pertashop tidak menimbulkan sebab-sebab yang terlarang.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Xxxxx Xxxxx terkait kekuatan mengikat MoU terdapat dua pandangan yang membahas tentang kekuatan mengikat MoU, yaitu gentlemen agreement dan agreement is agreement.103 Xxxxxxxxxx Xxxxxx mengemukakan bahwa bagian terpenting bukanlah pada istilah yang digunakan, tetapi subtansi atau materi yang diatur dalam nota kesepahaman tersebut.104
Untuk dapat mengetahui kedudukan MoU sehingga diketahui apakah suatu MoU bisa dikatakan kontrak atau bukan, dapat diperhatikan pada materi/substansi yang ada dalam MoU. Jika materi/substansi dalam MoU terdapat sanksi yang tegas serta unsur-unsur yang dapat membuat salah satu pihak dirugikan apabila ada salah satu materi dalam MoU tersebut yang diingkari maka MoU tersebut bisa dikategorikan suatu kontrak/setingkat dengan perjanjian (agreement is agreement). Akan tetapi lain halnya jika dalam materi MoU tidak memuat sanksi dan hanya mengatur hal-hal pokok saja dan tidak terdapat unsur-unsur yang dapat membuat salah satu pihak dirugikan apabila ada salah satu materi dalam Mou tersebut diingkari. Apabila substansi/materi dalam MoU mengatur hal-hal yang demikian, maka MoU seperti ini tidak bisa dikatakan suatu kontrak(Gentlemen agreement).105
103 Xxxxx XX, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Op. cit, hlm. 55.
104 Ibid.
105 Xxxxxx, Xxxxx, and Cyntia C. Xxxxxxxx, Xxx. Cit.
Dalam surat perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya memuat substansi, sebagai berikut:
1. Judul “Surat Perikatan Pengusahaan Pertashop”.
2. Pada pembukaan mencantumkan hari, tanggal, bulan dan tahun penandatanganan surat perjanjian.
3. Identitas para pihak yang meliputi nama, jabatan, dan alamat masing-masing pihak yaitu PT Pertamina Xxxxx Xxxxx sebagai pihak pertama dan Xxxxx sebagai pihak kedua.
4. Objek perjanjian.
5. Jangka waktu.
6. Hak dan kewajiban.
7. Pengakhiran kontrak.
8. Kelalaian.
9. Sanksi.
10. Hak Kekayaan Intelektual.
11. Pola penyelesian sengketa.
12. Korespondesi.
13. Ketentuan lain-lain.
14. Penutup.
Dalam Perjanjian Pengusahaan Pertashop tersebut telah mengatur sanksi. Pada Angka 5 diatur bahwa dalam hal pihak kedua (mitra) belum dapat memenuhi dan melengkapi seluruh persyaratan administrasi maupun perizinan berusaha, maka pihak pertama (PT Pertamina Patra Niaga) berhak
mengakhiri surat perikatan ini. Selanjutnya pada Angka 11 diatur dalam hal terjadi pengakhiran surat perikatan secara sepihak oleh pihak pertama, maka pihak pertama tanpa memerlukan persetujuan dari pihak kedua berhak untuk mengambil alih pengelolaan/pengusahaan Pertashop milik pihak kedua atau menunjuk pihak lain untuk mengelola/mengusahakan Pertashop milik pihak kedua.
Pengakhiran perjanjian kerja sama yang merupakan sanksi dari wanprestasi pihak kedua tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pihak kedua mengingat Pertashop tersebut telah beroperasi dimana sebelumnya pihak pertama telah mengeluarkan modal untuk penyediaan lahan usaha, pembangunan unit Pertashop dan pembelian Bahan Bakar Minyak. Terlebih lagi terkait pengambil alihan pengelolaan Pertashop oleh pihak pertama atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh pihak pertama tidaklah diatur secara terperinci tentang hak-hak pihak kedua seperti apakah pihak kedua tetap mendapat pembagian keuntungan dari pengeloaan Pertashop mengingat Pertashop tersebut dibangun dan dioperasikan di atas tanah milik pihak kedua.
Pada Angka 10, diatur para pihak sepakat untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW. Pada Pasal 1266 BW mengatur syarat batal dianggap ialah selalu disertakan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal-balik, manakala salah satu pihak wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum namun harus dimintakan pembatalan kepada Xxxxx. Pada Pasal 1267 BW mengatur setiap pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat
memaksa pihak lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilaksanakan, atau meminta pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas tampak bahwa perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop antara PT Pertamina Patra Niaga dengan mitranya dalam substansinya telah mengatur beberapa hal seperti yang telah disebutkan di atas. Dalam perjanjian kerja sama tersebut juga telah diatur sanksi tegas yang dapat membuat salah satu pihak dirugikan bila mana ada salah satu ketentuan dalam perjanjian kerja sama tersebut yang tidak dipenuhi. Melihat dari substansi yang diatur maka dapat diartikan perjanjian kerja sama tersebut merupakan agreement is agreement. Perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop tersebut juga telah memenuhi Pasal 1320 BW, yaitu syarat sah perjanjian. Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) BW semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya sehingga perjanjian kerja sama pengusahaan Pertashop tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak untuk menaatinya dan melaksanakannya.