BAB II
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA, PERLINDUNGAN HUKUM, KEPAILITAN DAN PERJANJIAN PRA NIKAH
A. Perjanjian Pada Umumnya
1. Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Ketentuan- ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351 Kitab Undang - undang Hukum Perdata. Menurut Xxxxx 1313, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan, dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Terjadinya persesuaian kehendak ini dapat berupa lisan atau tertulis. Dari sini timbul suatu usul dan suatu penerimaan, sehingga menimbulkan suatu persetujuan yang mengakibatkan timbulnya ikatan-ikatan bagi masing- masing pihak (Subekti, 1985, hal.1).
31
Hubungan antara kedua orang yang melakukan perjanjian mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi. Perikatan adalah suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Janji yang dinyatakan tertulis pada umumnya disebut dengan istilah perjanjian. Sebagai perwujudan tertulis dari perjanjian, perjanjian adalah salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan adalah suatu keadaan hukum yang mengikat satu atau lebih subjek hukum dengan kewajiban- kewajiban yang berkaitan satu sama lain (Subekti, 1985, hal.12).
Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III yang kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang (Kusmiati, 2018).
2. Fungsi Perjanjian
Perjanjian memiliki fungsi yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis adalah fungsi yang dapat memberikan kepastian hukum untuk para pihak yang membuat suatu
perjanjian, sedangkan fungsi ekonomis merupakan fungsi untuk menggerakan atau hak milik sumber daya dari nilai penggunaan dari yang terendah hingga nilai yang tertinggi (Salim, 2019, hal.25).
3. Syarat Sah Perjanjian
Terdapat 4 syarat keabsahan kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai berikut:
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, artinya sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan sehingga tercapai persetujuan antara kedua belah pihak.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin meskipun belum berumur 21 tahun dan tidak di bawah pengampuan.
c. Suatu pokok persoalan tertentu, perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, meskipun tidak memenuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka.
d. Suatu sebab yang tidak terlarang (klausa yang halal), undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, melainkan memperhatikan isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak,
apakah dilarang undang-undang atau tidak, bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.
Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena mengenai suatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal demi hukum.
4. Unsur-unsur Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih Pasal 1313 KUHPerdata. Dalam perjanjian termuat unsur-unsur yaitu sebagai berikut:
a. Perbuatan
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan.
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Suatu perjanjian paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat (Xxxxx X.X dkk, 2007).
Untuk membuat ketentuan-ketentuan didalam perjanjian/ kontrak, harus ada unsur-unsur yang dapat dijadikan acuan (Wicaksono, 2008). Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
a. Unsur Esensialia
Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dan merupakan hal pokok dalam suatu perjanjian, sehingga tanpa hal pokok tersebut perjanjian menjadi tidak sah dan tidak mengikat para pihak yang membuatnya. Sebagai contoh, unsur esensialia pada perjanjian jual beli adalah adanya barang dan harga. Contoh dalam perjanjian pinjam meminjam adalah adanya barang yang dipinjam dan jumlah atau nilai barang yang dipinjam.
b. Unsur Naturalia
Unsur naturalia adalah ketentuan umum yang tidak bersifat wajib. Artinya, tanpa pencantuman syarat ini pun perjanjian tetap sah dan tidak mengakibatkan suatu perjanjian menjadi tidak mengikat. Contoh hal-hal umum yang termasuk unsur naturalia antara lain cara pembayaran, waktu dan tempat penyerahan serta biaya pengangkutan dan pemasangan dan instalasi. Misalnya didalam kontrak jual beli kendaraan ternyata tidak diatur mengenai biaya pengangkutan dan balik nama, maka dalam hal ini akan berlaku kebiasaan jika biaya pengangkutan dan balik nama kendaraan dilakukan oleh pihak penjual.
c. Unsur Aksidentalia
Unsur aksidentalia yaitu berbagai hal khusus (particular) yang dinyatakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak. Aksidentalia artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak ada, bergantung pada keinginan para pihak, merasa perlu untuk memuat atau tidak. Selain itu, unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan- ketentuan yang dapat diatur secara khusus oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Jadi unsur aksidentalia lebih menyangkut mengenai faktor pelengkap dari unsur essensialia dan naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian harus ada tempat dimana prestasi dilakukan (Herlien, 2011, hal.67).
5. Bentuk Perjanjian
Menurut Xxxxxxx (Sutarno, 2003), perjanjian dapat dibedakan dalam beberapa bentuk yaitu sebagai berikut:
a. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 Kitab Undang- undang Hukum Perdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya.
b. Perjanjian sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.
c. Perjanjian dengan percuma
Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 Kitab Undang- undang Hukum Perdata.
d. Perjanjian konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang Pasal 1741 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.
e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah
diatur dengan ketentuan khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian tak
bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.
6. Pelaksanaan suatu perjanjian
Suatu janji dengan sengaja antara dua pihak tersebut dan kesepakatan untuk saling mengikatkan diri, menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang perlu untuk diwujudkan Melihat macam- macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian- perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu:
a. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang.
b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.
c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
7. Asas-asas perjanjian
Dikenal lima asas penting dalam hukum perjanjian yaitu adalah sebagai berikut:
a. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang- undang Hukum Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka orang pada asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Ruang lingkup asas kebebasan berkontrak, menurut
hukum perjanjian Indonesia adalah: kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian, kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian, dan kebebasan untuk menerima atau menyimpang ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (Xxx Xxxxxx, 2023, hal.116)
b. Asas konsesualisme (concensualism)
Xxxx konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus. Untuk terjadinya sebuah persetujuan pada umumnya persesuaian kehendak yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu adalah sebuah kontrak yang sah menurut hukum (Herlien, 2006, hal. 66). Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.
c. Asas itikad baik
Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sebenarnya itikad baik yang disebut dalam bahasa Belanda dengan te goeder trouw, yang
sering juga diterjemahkan dengan kejujuran, dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu: (1) Itikad baik pada waktu akan mengadakan perjanjian; dan (2) Itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut. Adapun suatu perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik atau tidak, akan tercermin pada perbuatan-perbuatan nyata orang yang melaksanakan perjanjian tersebut. Meskipun itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian itu terletak pada hati sanubari manusia yang sifatnya subjektif, tetapi itikad baik itu pun dapat diukur juga secara objektif (Xxx Xxxxxx, 2023, hal.117).
d. Xxxx xxxxxxxxxxx (personality).
Asas kepribadian tercantum dalam Pasal 1340 Kitab Undang- undang Hukum Perdata: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak- pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317. Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana pengantar dalam Pasal 1317 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Sedangkan di dalam Pasal 1318 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya (Xxx Xxxxxx, 2023, hal.117).
Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17-19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan 8 asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu: asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan (Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, 1994, hal.42-44). Secara garis besar maksud masing-masing asas ini adalah sebagai berikut:
1) Asas Kepercayaan.
Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan diri di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan kedua belah pihak, dengan kepercayaan ini kedua pihak mengikatkan dirinya untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-undang;
2) Asas Persamaan Hak
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain;
3) Asas Moral
Asas ini terlibat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dimana perbuatan seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitor. Hal ini juga terlihat di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapatnya dalam Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
4) Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan- ketentuan mengenai isi perjanjian;
5) Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo 1347 Kitab Undang- undang Hukum Perdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang diikuti;
6) Asas Kepastian Hukum
Kepastian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak;
7) Asas keseimbangan
Keseimbangan sangat perlu guna mewujudkan perlindungan dan keadilan bagi para pihak. Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan;
8) Asas perlindungan
Semua pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian harus sama- sama dilindungi kepentingannya.
8. Akibat Hukum Suatu Perjanjian
Menurut Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akibat dari suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
a. Berlaku sebagai Undang-undang bagi pihak-pihak artinya pihak-pihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati Undang-Undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, dianggap sama dengan melanggar Undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi barang siapa melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang.
b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak artinya perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak. Perjanjian tersebut tidak
boleh ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lain. Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut UndangUndang, perjanjuan dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.
c. Pelaksanaan dengan itikad baik artinya pelaksanaan itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatuhan dan kesusilaan. Pelaksanaan yang sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil.
9. Hapusnya suatu perjanjian
Suatu perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu (Subekti, 2007, hal.78). Dari peristiwa tersebut terbitlah suatu hubungan hukum antara kedua belah pihak tadi yang dinamakan perikatan. Jadi hapusnya suatu perikatan akan berarti pula hapusnya suatu perjanjian. Dalam hal hapusnya perikatan, Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan 10 (sepuluh) cara hapusnya suatu perikatan, yaitu:
a. Pembayaran
Pembayaran adalah setiap pelunasan yang merupakan pemenuhan suatu perjanjian secara sukarela. Dalam perjanjian jual - beli, pihak pembeli dikatakan membayar bila ia melunasi uang harga pembelian
dan pihak penjual dapat dikatakan membayar bila ia menyerahkan atau melever barang yang dijualnya.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Cara pembayaran yang harus dilakukan pihak debitor dalam hal pihak kreditor tidak mau menerima pembayaran. Undang-undang memberikan kemungkinan bagi debitor untuk membayar utangnya bila terjadi penolakan yaitu dengan jalan uang atau barang yang akan dibayarkan, ditawarkan secara resmi oleh notaris atau jurusita pengadilan. Bila kreditor tetap menolak maka debitor meminta pengesahan penawaran tersebut pada pengadilan, yang kemudian diikuti dengan penitipan uang atau barang tadi di Panitera Pengadilan Negeri dengan beban resiko pada pihak kreditor.
c. Pembaharuan utang atau novatie.
Novatie adalah suatu perjanjian yang menyebabkan hapusnya suatu perikatan dan pada saat yang sama muncul perikatan baru sebagai pengganti perikatan lama.
d. Perjumpaan utang atau kompensasi
Perjumpaan utang adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperhitungkan utang-piutang secara timbal balik antara para pihak.
e. Percampuran Utang
Percampuran utang adalah suatu cara penghapusan utang yang terjadi demi hukum karena adanya penyatuan kedudukan kreditor dan debitor pada satu pihak.
f. Pembebasan utang
Pembebasan utang adalah suatu cara penghapusan utang dimana kreditor dengan tegas melepaskan haknya atas pemenuhan perjanjian oleh debitor.
g. Musnahnya barang yang terutang
Bila objek perjanjian musnah diluar kesalahan pihak debitor sebelum ia lalai menyerahkannya maka perikatan menjadi hapus. Jadi debitor akan dibebaskan dari perikatan bila ia dapat membuktikan bahwa musnahnya barang yang menjadi objek perjanjian itu dikarenakan oleh suatu keadaan memaksa di luar kekuasaanya.
h. Pembatalan perikatan
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalannya oleh pihak-pihak yang tidak cakap menurut hukum atau pihak yang memberikan perijinannya secara tidak bebas. Perikatan telah hapus setelah adanya putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut.
i. Berlakunya suatu syarat batal
Cara hapusnya perikatan ini, terjadi pada perikatan dengan suatu syarat batal yaitu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu
peristiwa yang akan datang dan masih belum tentu akan terjadi. Sehingga perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi.
j. Lewat waktu
Lewat waktu menurut Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan lewatnya waktu tersebut, hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah suatu perikatan bebas artinya debitor bebas untuk melakukan pembayaran atau tidak.
B. Perlindungan Hukum
1. Tujuan Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum haruslah tercermin dari berjalannya hukum, proses hukum dan akibat dilaksanakannya atau ditegakkannya hukum tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari keberagaman hubungan yang terjadi di masyarakat. Hubungan antar masyarakat melahirkan hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan dari masing-masing masyarakat. Dengan adanya keberagaman hubungan hukum tersebut membuat para anggota masyarakat memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan-kekacauan di dalam masyarakat (C.S.T. Kansil, 2015, hal.40).
Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk manusia dalam bertingkah laku dalam hubungannya dalam masyarakat. Hukum juga sebagai petunjuk apa yang harus diperbuat dan mana yang tidak. Hukum juga memberikan petunjuk mana yang tidak boleh, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur. Hal tersebut dimungkinkan karena huykum memiliki sifat dan waktu mengatur tungkah laku manusia serta mempunyai ciri memerintah dan melarang begitu pula hukum dapat memaksa agar hukum itu dapat ditaati oleh anggota masyarakat (C.S.T. Kansil, 2015, hal.54).
2. Pengertian Perlindungan Hukum
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu (C.S.T. Kansil, 2015). Dalam masyarakat terdapat hubungan orang yang satu dengan orang yang lain kedua-duanya sebagai anggota masyarakat itu, antar orang dengan golongannya, antara orang dengan keluarganya, antara orang dengan sekelompok seagama. Agar ada hukum, maka perlu ada masyarakat. Bilamana tidak ada masyarakat, maka tidak ada hukum. Tetapi tidak semua orang cenderung mentaati kaidah- kaidah itu, agar kaidah tersebut ditaati maka harus diperkuat dengan anasir yang memaksa (element van dwang), kaidah adalah petunjuk hidup yang memaksa (Djindang, 1983).
Menurut Xxxxxxxx Dirdjosisworo bahwa pengertian hukum dapat dilihat dari delapan arti, yaitu hukum dalam arti penguasa, hukum dalam arti para petugas, hukum dalam arti sikap tindakan, hukum dalam arti sistem kaidah, hukum dalam arti jalinan nilai, hukum dalam arti tata hukum, hukum dalam arti ilmu hukum, hukum dalam arti disiplin hukum. Beberapa arti hukum dari berbagai macam sudut pandang yang dikemukakan oleh Soedjono Dirdjosisworo menggambarkan bahwa hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan tertulis dan aparat penegak hukum seperti yang selama ini dipahami oleh masyarakat umum yang tidak tahu tentang hukum. Tetapi hukum juga meliputi hal-hal yang sebenarnya sudah hidup dalam pergaulan masyarakat (Dirdjosisworo, 2008, hal.25-43).
Kata perlindungan secara kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu unsur tindakan melindungi, unsur pihak- pihak yang melindungi dan unsur cara-cara melindungi. Dengan demikian, kata perlindungan mengandung makna, yaitu suatu tindakan perlindungan atau tindakan melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara-cara tertentu (Sasongko, 2007). Perlindungan secara umum berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang membahayakan atau lebih bersifat negatif, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang kepada orang yang lebih lemah. Dengan demikian, perlindungan hukum artinya
dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warga negara agar haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggar akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang ada.
Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, ada yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum itu sendiri, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxx perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut (Rahardjo, 2003, hal.121).
3. Bentuk Perlindungan Hukum
Menurut X. La Porta dalam Jurnal of Financial Economics, bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat, yaitu bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (Porta, 1999, hal.9). Bentuk perlindungan hukum yang paling nyata atau jelas yaitu adanya institusi-institusi penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi) lainnya. Penegakan hukum dalam bentuk perlindungan hukum dalam perkawinan bagi pasangan suami istri selama terikat
perkawinan adalah melalui perjanjian pranikah. Sehubungan dengan hal tersebut, perjanjian perkawinan merupakan sesuatu hal yang penting dan tidak dapat dikesampingkan karena hal ini menyangkut keberlangsungan kehidupan setiap pasangan suami istri. Pada tataran demikian, penulis berasumsi bahwa perjanjian perkawinan bukan hanya sebagai upaya dalam melindungi harta benda masing-masing pihak, akan tetapi juga merupakan upaya untuk memberikan kemanfaatan untuk semua pihak agar tercipta suatu keadilan yang tidak hanya menguntungkan salah satu pihak saja.
Perlindungan hukum sangat erat kaitannya dengan aspek keamanan dan keadilan. Menurut Xxxxxxxxx Kartohadiprodjo, pada hakikatnya tujuan hukum itu sendiri adalah mencapai keadilan. Maka dari itu, adanya perlindungan hukum merupakan salah satu media untuk menegakkan berbagai keadilan salah satunya penegakan keadilan di bidang perkawinan khususnya terhadap perlindungan harta bawaan istri ketika terjadi pailit. Dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum atau legal protection merupakan kegiatan untuk menjaga atau memelihara masyarakat demi mencapai keadilan. Kemudian perlindungan hukum dikonstruksikan sebagai bentuk pelayanan, dan subjek yang dilindungi (Nurbaini, 2013, hal.261).
Perlindungan hukum terhadap harta dalam perjanjian perkawinan adalah berlaku saat perkawinan di langsungkan yang bertujuan untuk melakukan proteksi terhadap harta para suami–istri dimana para pihak
dapat menentukan harta bawaan masing-masing. Apakah sejak awal ada pemisahan harta dalam perkawinan atau ada harta bersama namun diatur cara pembagiannya bila terjadi perceraian. Harta bawaan dari masing- masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Perjanjian biasanya dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan suami ataupun istri, meskipun Undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada kedua pihak. Dalam Undang-undang yang melindungi di mana pihak tersebut memiliki harta warisan di sebut dengan perjanjian perkawinan sebagaimana terdapat pada pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan di langsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang di sahkan. Maka dari itu, persoalan harta benda dalam perkawinan sangat penting karena salah faktor yang signifikan tentang kebahagian dalam membentuk sebuah rumah tangga yang sejahtera. Menurut Xxxxxx, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:
a. Perlindungan Hukum Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat
bentuk yang definitif. Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
b. Perlindungan Hukum Represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengket. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan- pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum (Xxxxxxxx X. Hadjon, 1987, hal.4).
4. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum
Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep- konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Aspek dominan dalam konsep barat tertang hak asasi manusia menekankan eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pada kodrat manusia dan statusnya sebagai individu, hak tersebut berada di atas negara dan di atas semua organisasi politik dan bersifat mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat. Sering kali dilontarkan kritik bahwa konsep Barat tentang hak-hak asasi manusia adalah konsep yang individualistik. Kemudian dengan masuknya hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi serta hak kultural, terdapat kecenderungan mulai melunturnya sifat indivudualistik dari konsep Barat. Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia, landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.
Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan ”Rule of The Law”. Dengan menggunakan
konsepsi Barat sebagai kerangka berfikir dengan landasan pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan danperlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hakhak asasi menusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah (Xxxxxxxx X. Hadjon, 1987, hal.38).
5. Dasar Hukum Perlindungan Hukum
Dasar dalam merumuskan prinsip perlindungan hukum berlandaskan pada Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar filsafah negara. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan melekat pada Pancasila. Selain itu, prinsip perlindungan hukum juga bersumber pada prinsip negara hukum (Hidayat Fitri, 2013), yaitu sebagai berikut:
a. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
b. Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
c. Pasal 28 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Untuk menegakkan dan melindungi Hak Asasi Manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan Hak Asasi Manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”
d. Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”
e. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
C. Kepailitan
1. Pengertian Kepailitan
Dalam menjalankan suatu usaha atau pekerjaan, orang ataupun badan hukum memerlukan uang akan digunakan untuk modal menjalankan usaha tersebut. Dalam menjalankan usahanya tersebut, orang ataupun badan
hukum memiliki hak dan kewajiban. Namun, tidak semua orang atau badan usaha berjalan dengan lancar, terdapat kendala sehingga hak dan kewajibannya tersebut tidak dapat dilaksanakan kepada pihak lain dan berakhir dengan utang. Keadaan dimana orang pribadi atau suatu badan hukum tidak dapat membayar utang-utangnya kepada pihak lain dapat menyebabkan orang pribadi atau badan hukum tersebut menjadi bangkrut. Dalam utang piutang, pihak yang meminjam uang disebut dengan kreditor dan pihak yang meminjamkan uang disebut dengan debitor. Apabila kreditor memiliki dua atau lebih debitor dan kreditor mengalami kebangkrutan, maka dapat diajukan permohonan pailit.
Dalam hal seorang debitor tidak membayar utangnya secara sukarela, maka kreditor akan menggugat debitor secara perdata ke Pengadilan niaga dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut (Man S. Sastrawidjaja, Xxxx Xxxxxxxxxx, 2019). Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”
Dalam Pasal 1832 KUHPerdata diatur mengenai konsekuensi hukum apabila penanggung melepaskan hak istimewanya yaitu: "Penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda yang berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya:
1. Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda yang berutang lebih dahulu disita dan dijual;
2. Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama- sama dengan yang berutang utama secara tanggung menanggung dalam hal mana akibat- akibat perikatannya diatur menurut azas-azas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung menanggung".
Terkait dengan perjanjian pinjam meminjam, apabila kewajiban mengembalikan utang tersebut berjalan lancar sesuai dengan perjanjan tentu tidak merupakan masalah. Permasalahan akan timbul apabila debitor mengalami kesulitan untuk mengembalikan hutangnya tersebut dengan kata lain debitor berhenti membayar hutangnya (Sastrawidjaja, 2014).
2. Asas-asas Kepailitan
Asas-Asas dalam Undang-Undang Kepailitan meliputi beberapa asas diantaranya adalah (Fuady, 2012, hal.8):
a. Asas Keseimbangan
Asas ini bertujuan untuk memberikan keseimbangan antara satu pihak dengan pihak yang lainnya melalui ketentuan-ketentuan yang dibuat guna mencegah terjadinya penyalahgunaan baik debitor ataupun kreditor yang beritikad buruk.
b. Asas Kelangsungan
Xxxxx Xxxx ini memberikan peluang kepada usaha yang dijalankan oleh debitor untuk terus dapat dijalankan.
c. Asas Keadilan
Asas keadilan bertujuan dalam hal pencegahan. Kesewenang- wenangan yang memungkinkan dilakukan oleh pihak Kreditor yang berusaha untuk melakukan pelunasan terhadap debitor dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.
d. Asas Integritas
Asas Integrasi yang dimaksud adalah jadi satunya hukum formil dan materil yang merupakan bagian dari sistem hukum acara perdata maupun perdata nasional dalam kepailitan.
3. Syarat-syarat Kepailitan
Persyaratan Debitor Dapat Dinyatakan Pailit Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menyatakan yang dimaksud dengan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Adapun seorang debitor dapat dinyatakan pailit berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
2. Debitor paling sedikit tidak membayar satu utang kepada salah satu kreditor yang diartikan sebagai suatu keadaan bahwa debitor tidak membayar utangnya yang seharusnya dibayar. Apabila baru satu kali tidak membayar, maka belum dapat dikatakan suatu keadaan berhenti membayar. Keadaan berhenti membayar adalah adanya lebih dari satu kali tidak membayar, keadaan ini merupakan syarat mutlak untuk pernyataan pailit.
3. Utang yang belum dibayar telah jatuh waktu dan sudah dapat ditagih yang memiliki pengertian berbeda. Utang yang telah jatuh waktu dengan sendirinya menjadi utang yang dapat ditagih, namun utang yang telah dapat ditagih.
4. Akibat Hukum Kepailitan
Pernyataan pailit menimbulkan segala akibat baik bagi debitor, harta pailit, danperjanjian yang dilakukan sebelum dan sesudah pailit. Akibat pernyataan pailit bagi debitor, adalah debitor kehilangan hak perdata untuk mengurus harta. Pembekuan hak ini diberlakukan terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. Hal ini juga berlaku bagi suami juga istri dari debitor pailit yang kawin dalam persatuan harta kekayaan. Harta kekayaan debitor merupakan harta yang harus digunakan untuk membayar utang-utang debitor terhadap para kreditornyasesuai dengan isi perjanjian. Kurator yang memegang hak tanggungan, hak gadai dan hak agunan atas kebendaan lainnya maka dapat mengeksekusinya. Akibat pailit bagi perjanjian yang dilakukan sebelum dan sesudah perjanjian,
maka jika ada perjanjian timbal balik yang baru atau akan dilaksanakan maka debitor harus mendapat persetujuan dari kurator. Namun jika perjanjian timbal balik tersebut telah dilaksanakan maka debitor meminta kepastian kepada kurator akan kelanjutan perjanjian tersebut.
Akibat hukum bagi kreditor adalah pada dasarnya, kedudukan para kreditor sama (paritas creditorum) dan karena mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedelnya pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu pro rata parte). Namun asas tersebut dapat dikecualikan yakni untuk golongan kreditor yang memenang hak anggunan atas kebendaan dan golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan Undang-undang Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya.
a. Akibat hukum kepailitan terhadap debitor
Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitor, dimana debitor tidaklah berada dibawah pengampuan. Xxxxxxx tidaklah kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum tersebut menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan diperolehnya, debitor tetap dapat melakukan perbuatan hukum menerima harta benda yang akan diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari harta pailitnya. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit itu untuk diucapkan, debitor
demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit.
Semua perikatan debitor yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit, tidak lagi dapat membayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit. Tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau kurator. Dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitor pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit. Selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.
b. Akibat hukum kepailitan terhadap kreditor
Pada dasarnya, kedudukan para kreditor sama (paritas creditorum) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi budelnya pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing- masing (pari passu pro rata parte). Namun asas tersebut dapat dikecualikan yakni untuk golongan kreditor yang memenang hak anggunan atas kebendaan dan golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karenanya, kreditor
dapat dikelompokkan sebagai berikut: Merupakan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri yang tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitor, sehingga hak-hak eksekusi kreditor separatis ini tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor. Kreditor separatis dapat menjual sendiri barang- barang yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak ada kepailitan. Xxxxxxx mengambil hasil penjualan ini sebesar piutangnya, sedangkan jika ada sisanya disetorkan ke kas kurator. Jika hasil penjualan tersebut tidak mencukupi, maka kreditor separatis itu, untuk tagihan yang belum dibayar dapat memasukkan kekurangannya sebagai kurator bersaing.
Kreditor yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditor ini berada dibawah pemegang hak tanggungan dan gadai. Hak istimewa adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Kreditor konkuren atau bersaing memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitor baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang kepada para kreditor pemegang hak jaminan dan para kreditor dengan hak istimewa secara
proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing kreditor.
D. Perjanjian Pra Nikah
1. Pengertian Perjanjian Pra Nikah
Perjanjian perkawinan pada umumnya sering disebut dengan perjanjian pra nikah (Prenuptial Agreement). Tetapi pengertian dari masing-masing perjanjian tersebut sebenarnya berbeda. Perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang diadakan oleh kedua calon mempelai sebelum perkawinan berlangsung. Tetapi dalam bahasa hukum atau Undang-Undang, yang sering digunakan adalah perjanjian perkawinan, bukan perjanjian pra nikah (Isnaeni, 2016).
Bila dilihat lebih jauh tentang perbuatan hukum dalam masalah perikatan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada buku III pasal 1338, maka perjanjian perkawinan adalah sebuah bentuk dari perikatan, dan persetujuan tersebut sifatnya mengikat dan menjadi undang-undang. Dalam arti formal perjanjian pranikah merupakan perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang antara calon suami istri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan apa isinya (Damanhuri, 2007, hal.1)
Istilah “perjanjian” dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai persetujuan (tertulis/lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Perjanjian pra nikah atau biasa di sebut juga dengan
prenuptial agreement menurut asalnya merupakan terjemahan dari kata “Huwelijk sevoorwaarden” yang ada dalam Burgerlijk wetboek (BW). Istilah ini terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Huwlijk sendiri menurut bahasa berarti perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sedangkan Voorwaard berarti syarat. Dalam aspek hukum, perkawinan merupakan suatu akad, yaitu perikatan dan perjanjian yang luhur antara suami-istri untuk membina rumah tangga bahagia. Sebagai ikatan dan perjanjian, kedua belah pihak terikat dengan janji yang dibuatnya, karena itu, dengan akad nikah menimbulkan hak dan kewajiban suami istri.
Menurut X.Subekti, perjanjian pra nikah adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami dan istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas-asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang- undang. Perjanjian pra nikah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua pihak atas persetujuan bersama pada waktu atau pada saat perkawinan berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan mengenai kedudukan harta dalam perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Sementara itu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau pada saat
perkawinan berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Sedangkan perjanjian perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal maupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian pra nikah (Anshary, 2014).
Secara umum, perjanjian perkawinan dapat dikatakan sebagai perjanjian tertulis antara calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan mengenai harta benda selama perkawinan dan konsekuensi atas berakhirnya perkawinan mereka yang menyimpang dari asas yang ditetapkan Undang-undang. Perjanjian perkawinan dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum bersegi dua (dua pihak) karena perjanjian perkawinan bisa terjadi karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak.
2. Bentuk Perjanjian Pra Nikah
Seorang calon suami istri yang ingin mengajukan perjanjian pra nikah bisa bermacam-macam bentuknya (Damanhuri, 2007, hal.1), adapun mengenai bentuk dalam beberapa perbedaan yaitu:
a. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata menganut sistem percampuran harta kekayaan antara suami istri (alghele gemeenschap van goerderen) ketika perkawinan terjadi, jika tidak diadakan perjanjian perkawinan terlebih dahulu. Dalam Pasal 139 disebutkan:
“dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapakan penyimpangan dari peraturan Undang- Undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal dipindahkan pula segala ketentuan”. Suatu perjanjian perkawinan misalnya, hanya dapat menyingkirkan satu benda satu rumah saja dari percampuran kekayaan, tetapi dapat juga menyingkirkan segala percampuran. Undang-undang hanya menyebutkan dua contoh perjanjian yang banyak terpakai, yaitu “perjanjian laba dan rugi” (gemeenschap van winsten verlies) dan “perjanjian percampuran penghasilan” (gemeenschap van vruchten en inkomsten).
b. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan mengatur sesuai pola yang dianut hukum adat maupun hukum islam yaitu harta bawaan dan harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan tetap dikuasai masing- masing suami istri, sedang yang menjadi harta bersama hanyalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Melalui perjanjian perkawinan suami istri dapat menyimpangi dari ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan dan bila dikehendaki dapat membuat perjanjian percampuran harta pribadi, ini pun dapat dipertegas lagi dalam bentuk:
a. Seluruh harta pribadi baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan berlangsung.
b. Hanya terbatas pada harta pribadi saat perkawinan dilangsungkan (harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan tetap menjadi milik masing- masing pihak). Sebaliknya percampuran harta benda pribadi hanya saat perkawinan berlangsung (harta bawaan atau harta pribadi sebelum perkawinan dilangsungkan menjadi milik masing-masing).
3. Isi dari Perjanjian Pra Nikah
Mengenai isi dari pada perjanjian perkawinan merupakan hal yang sangat penting untuk kebaikan bersama antara kedua belah pihak. Baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, maupun berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Isi perjanjian perkawinan dapat menyangkut segala hal yang tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian secara umum, hanya perjanjian itu disahkan dan diserahkan kepada penjabat-penjabat umum yang berwenang.
Isi perjanjian perkawinan menurut Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx dapat mengenai segala hal, asal saja tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Adapun isi perjanjian perkawinan itu meliputi :
a. Penyatuan harta kekayaan suami istri.
b. Penguasaan, pengawasan dan perawatan harta kekayaan istri oleh suami.
c. Istri atau suami melanjutkan kuliah bersama.
d. Dalam perkawinan suami istri sepakat untuk melaksanakan keluarga berencana.
Mengenai bidang apa saja secara kongkrit bisa diperjanjikan. Dalam hal ini, Xxxxxxxxx Xxxxx mengisyaratkan supaya kembali kepada aturan hukum Perundang-Undangan sebelumnya, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebab, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan tidak mengatur kelanjutan dari ketentuan perjanjian ini, kecauli hanya menjelaskan bahwa perjanjian tersebut tidak termasuk ta’lik talak. Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, perjanjian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan adalah memuat tentang perolehan harta kekayaan suami istri yang diperoleh selama perkawinan, dan atau benda di lapangan hukum kebendaan serta tidak termasuk ta’lik talak.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan, bahwa isi perjanjian perkawinan itu adalah berupa tata aturan untuk mengurus pengendalian harta kekayaan suami istri secara langsung dilakukan oleh calon suami istri berdasarkan musyawarah mufakat. Sehubungan dengan itu perumusan isi perjanjian diharuskan menjiwai hak dan kewajiban suami isteri yang telah diberikan oleh hukum, agama, dan adat. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang telah mengatur perjanjian
perkawinan secara konkrit tidak secara tegas dihapus oleh Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, akan tetapi sebagai pedoman untuk mengadakan perjanjian perkawinan, sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan (Damanhuri, 2007, hal.18).