BAB IV PENUTUP
BAB IV
PENUTUP
PROGRAM STUDI ILU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Sewa menyewa gedung pernikahan di Gedung Ballrom Prajurit dilakukan dengan proses penawaran kepada pihak manajemen gedung. Pihak penyewa dapat melakukan penawaran untuk mencapai kata sepakat atas semua fasilitas yang disediakan oleh manajemen gedung, yang dapat disepakati dalam bentuk kontrak perjanjian secara tertulis yang memuat klausula-kalusula dalam isi perjanjian tersebut. Terdapat 5 Pasal didalam perjanjian ini, diantaranya pada Pasal Pertama memuat kalusul mengenai obyek dalam perjanjian yaitu gedung yang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, Pasal Kedua memuat klausul mengenai kesepakatan harga sewa gedung, yang mana pembayaran tahap pertama sebesar 50% yang dilakukan setelah saat perjanjian telah ditandatangani dan pembayaran kedua dilakukan minimal 2 (dua) minggu setelah pembayaran pertama, Pasal Ketiga memuat klausul mengenai hak dan kewajiban para pihak dan segala konsekuensi yang harus dilakukan dalam perjanjian tersebut, Pasal Keempat memuat klausul mengenai keadaan memaksa (force majeure) dalam hal ini apabila terjanjinya keadaan memaksa (force majeure) dan pembatalan sepihak yang dilakukan oleh pihak penyewa penyelesaiannya dilakukan dengan cara musyawarah mufakat atau dengan melakukan perundingan kembali anatara para pihak, dan Pasal Kelima memuat klausul mengenai peralihan hak dan tanggung jawab, yang mana segala hak dan
96
kewajiban para pihak dalam perjanjian tersebut tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari para pihak terkait.
2. Pembatalan perjanjian sewa menyewa gedung pernikahan saat Pandemi Covid- 19 dilakukan para pihak karena adanya aturan Pemerintah terkait Pembatasan Sosisal Berskala Besar (PSBB) dikarenakan Pandemi Covid-19 merupakan bencana Nasional. Hal ini sangat berdampak bagi keluarga calon pengantin yang telah mempersiapkan segala rangkaian acara untuk melangsungkan resepsi pernikahan. Sehingga di dalam isi perjanjian para pihak, pada Pasal 4 terkait keadaan memaksa (force majeure) maka akibat pembatalan perjanjian sewa gedung tesebut semua rencana ancara yang telah disiapkan menjadi batal, dan pihak yang menikatkan diri dalam sewa Gedung Balai Sudirman harus dibatalkan. Dengan pembatalan tersebut menyebabkan kerugian berupa pengembalian uang pembayaran sewa gedung yang tidak dapat dikembalikan seluruhnya.
3. Para pihak dengan terpaksa tidak dapat melakukan prestasinya dikarenakan keadaan memaksa (force majeure) dengan berdasarkan ketentuan yang diterapkan oleh Pemerintah untuk tidak melakukan suatu kegiatan atau menyebabkan kerumunan masyarakat atau penerapan Pembatasan Sosial Berkala Besar. Oleh karena itu resepsi pernikahan yang telah di rencanakan tidak dapat dilaksanakan, dan upaya hukum bagi pihak penyewa yang ingin membatalkan kontrak sewa menyewa gedung akibat Pandemi Covid-19 dilakukan dengan musyawarah mufakat, yang mana sesuai dengan ketentuan
isi perjanjian yang disepakati bahwa dalam pembatalan perjanjian pihak pertama tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan uang sewa gedung pernikahan yang telah dibayarkan oleh pihak kedua, sehingga uang pembayaran sewa gedung yang telah lunas tersebut sepenuhnya hak milik pihak pertama. Dalam hal pembatalan kontrak yang dilakukan secara musyawarah tersebut sehingga masing-masing pihak tidak mengajukan tuntutan hukum dalam bentuk apapun atas segala hak dan kewajiban yang telah dilaksanakan dan atas peristiwa yang terjadi yaitu Pandemi Covid-19.
4.2 Saran
1. Sebelum mencapai kesepakatan, harusnya kedua belah pihak lebih teliti dan benar-benar mengerti dan mempelajari klausula-kalusula yang terdapat di dalam perjanjian sewa menyewa gedung pernikahan, bukan hanya menandatangani surat perjanjian. Sehingga konsumen atau pihak penyewa mengetahui hak-hak dan kewajibannya dan tidak akan menyebabkan kerugian antara para pihak.
2. Pandemi Covid-19 tidak dapat secara langsung dijadikan dasar ketidakmampuan salah satu pihak untuk melaksanakan kewajiban, atau membatalkan suatu perjanjian. Hal ini tentunya perlu pembuktian ketidakmampuan tersebut disebabkan secara langsung pengaruh Covid-19. Oleh karena itu, pandemi Covid-19 dapat dimasukkan dalam klausula perjanjian sebagai force majeure meskipun bukan termasuk force majeure absolut, melainkan force majeure relatif.
3. Sabaiknya Pandemi Covid-19 harus menjadi pintu gerbang untuk menjalankan proses negosiasi dalam merubah isi dalam kontrak yang telah dibuat dan disepakati oleh kedua pihak, sehingga kondisi Pandemi Covid-19 tidak bisa dijadikan alasan dalam membatalkan suatu kontrak.