MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-XVI/2018
PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA
MENDENGARKAN KETERANGAN PRESIDEN DAN DPR (III)
J A K A R T A KAMIS, 5 APRIL 2018
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
-------------- RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 13/PUU-XVI/2018
PERIHAL
Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional [Pasal 2, Pasal 9 ayat (2) sepanjang frasa dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden, Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PEMOHON
1. Indonesia for Global Justice (IGJ)
2. Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
3. Serikat Petani Indonesia (SPI)
4. Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa)
5. Aliansi Petani Indonesia (API)
6. Solidaritas Perempuan (SP)
7. Perkumpulan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
8. Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD)
9. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
10. Xxxx Xxxxxxxx
11. Mukmin
12. Fauziah
13. Baiq Farihun
14. Budiman
ACARA
Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR (III)
Kamis, 5 April 2018, Pukul 13.37 – 14.23 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN
1) Xxxxx Xxxxx (Ketua)
2) Xxxxxxx (Anggota)
3) Xxxxx Xxxxxxx (Anggota)
4) I Dewa Xxxx Xxxxxxx (Anggota)
5) Manahan MP Sitompul (Anggota)
6) Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx (Anggota)
7) Xxxxx Xxxx (Anggota)
8) Xxxxxxxxx (Anggota)
9) Xxxxxxxxxx Xxxxx (Anggota)
Xxxx Xxxxxxx Chatimah Panitera Pengganti
Pihak yang Hadir:
A. Pemohon:
1. Rachmi Hertanti
2. Lalu Xxxxxx Laduni
B. Kuasa Hukum Pemohon:
1. Xxxxxxx Xxxxxxxx
2. Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxx
C. Pemerintah:
1. Xxxxxxxx
2. Okto Dominus Manik
3. Xxxxxxxx Xxxxxx
4. Amrih Jinangkung
5. Syahda Guruh
6. Xxxxx Xxxxxxxxx
7. Purwoko
8. Xxxxx Xxxx Seia Azhari
SIDANG DIBUKA PUKUL 13.37 WIB
1. KETUA: XXXXX XXXXX
Sidang Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.
KETUK PALU 3X
Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, om swastiastu. Pemohon dipersilakan untuk memperkenalkan diri, siapa saja yang hadir?
2. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXXX XXXXXXXX
Terima kasih, Yang Mulia. Perkenalkan saya Xxxxxxx Xxxxxxxx selaku Kuasa Hukum dari … yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Ekonomi. Terima kasih.
3. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXX XXXXXXX XXXXX
Baik, selamat siang, Majelis Hakim Yang Mulia. Saya Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxx, saya salah satu Kuasa Hukum dari Tim Advokasi Keadilan Ekonomi.
4. XXXXXXX: XXXXXX XXXXXXXX
Selamat siang, Yang Mulia. Nama saya Rachmi Hertanti sebagai Pemohon dari Indonesia untuk Keadilan Global.
5. PEMOHON: LALU XXXXXX LADUNI
Assalamualaikum wr. wb. Xxxx Xxxx Xxxxxx Xxxxxx dari Indonesia Human Rights Committee for Social Justice, sebagai Xxxxxxx, Xxxx Xxxxx.
6. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, baik. Dari DPR berhalangan. Dari Kuasa Presiden? Silakan.
7. PEMERINTAH: XXXXX XXXXXXXXX
Terima kasih. Dari Kuasa Presiden hadir dalam siang ini. Dari Kementerian Luar Negeri, Xxxxx Xxxxxxxx (Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri) yang akan sekaligus membacakan keterangan
Pemerintah. Kemudian, sebelah, Bapak Okto Dominus Manik (Kepala Biro Hukum Administrasi Kementerian dan Perwakilan), Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxx (Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional), Bapak Amrih Jinangkung (Direktur Hukum dan Perjanjian Ekonomi). Kemudian sebelah kanan kami, Syahda … Xxxxx Xxxxxx Xxxxx (Kasubdit Perjanjian Perdagangan dan Investasi). Sedangkan dari Kementerian Hukum dan HAM, saya sendiri Xxxxx Xxxxxxxxx, Xxx Xxxxxxx, dan Pak Jaya. Xxxxxxxx, Xxxx Xxxxx. Terima kasih.
8. KETUA: XXXXX XXXXX
Baik. Agenda persidangan hari ini untuk Mendengar Keterangan DPR dan Pemerintah. DPR berhalangan. Silakan langsung ke Kuasa Presiden, siapa yang akan membacakan?
9. PEMERINTAH: XXXXX XXXXXXXXX
Xxxxx Xxxxxxxx, Sekretaris Direktur … Sekjen, Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan … eh, Kementerian Luar Negeri. Mohon maaf, Yang Mulia.
10. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, silakan.
11. PEMERINTAH: XXXXXXXX
Xxxxxxxxxxxxxxx wr. wb. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sebelum kami memulai menyampaikan Keterangan Presiden, perkenankan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama kami adalah Xxxxxxxx (Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri) yang dalam hal ini adalah pexxxxxx Xxxxx Substitusi dari Kementerian Luar Negeri. Pada kesempatan ini kami hanya akan membacakan pokok-pokok dari Keterangan Presiden terhadap perkara. Adapun Keterangan Presiden selengkapnya telah disampaikan secara tertulis.
Yang Mulia dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sesuai dengan Perkara Permohonan Uji MateriiL Nomor 13/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian Ketentuan Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional terhadap Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum memasuki Pokok Perkara, Pemerintah terlebih dahulu akan menyampaikan pandangannya terkait Kedudukan Hukum Para Pemohon yang dalam hal ini dianggap telah dibacakan.
Sehubungan hal itu, Pemerintah berpendapat bahwa Para Pemohon pada dasarnya tidak memiliki Legal Standing yang salah satu di antaranya karena undang-undang a quo pada hakikatnya bukan merupakan ketentuan atau norma yang memberikan hak dan/atau kewenangan konstitusional kepada perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum. Namun, mengatur kewenangan organ-organ negara, khususnya presiden dan DPR dalam rangka pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional.
Yang Mulia Ketua dan Xxxxxxx Xxxxx Mahkamah Konstitusi. Meskipun Pemerintah dalam keyakinan bahwa pedoman Pemohon tidak memiliki Legal Standing dalam perkara a quo, namun mengingat persidangan ini bersifat terbuka untuk umum maka Pemerintah akan menggunakan kesempatan persenjangan ini dengan sebaik-baiknya, utamanya untuk menjelaskan dan meluruskan pemahaman Pemohon dan masyarakat luas pada umumnya terkait prosedur dan tata cara pengikatan negara terhadap suatu perjanjian internasional.
Penjelasan ini sekaligus diharapkan dapat menambah khasanah akademik dan yurisprudensi terkait hubungan antara disiplin ilmu hukum tata negara dan ilmu hukum internasional.
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah memandang perlu untuk terlebih dahulu menjelaskan mengenai latar belakang dan kronologi lahirnya undang-undang aquo sebagai berikut.
1. Undang-undang a quo adalah pengejewantahan dari kebiasaan internasional yang telah dituangkan dalam Konvensi Jenewa Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional.
2. Jika Konvensi Wina Tahun 1969 mengatur tentang wilayah hukum internasional maka undang-undang a quo pada hakikatnya adalah mengatur wilayah hukum nasional, khususnya tentang kewenangan organ-organ negara dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional.
3. Undang-undang a quo dibentuk sebagai norma operasional dari Pasal
11 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen yang menyatakan, “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.”
4. Selanjutnya, mengingat ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 sangat singkat dan tidak terdapat keterangan lebih jauh dalam penjelasannya, maka Pemerintah menjabarkan melalui Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/60 tertanggal 22 Agustus Tahun 1960, menurut surat ini tidak semua perjanjian harus mendapat persetujuan DPR.
5. Surat presiden tersebut telah berlaku sebagai pedoman bagi pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia selama lebih 40 tahun. Mempertimbangkan semangat demokratisasi dan tuntutan reformasi
pada tahun 2000, Pemerintah bersama DPR memandang penting untuk menyempurnakan Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/60 guna menciptakan kepastian hukum dengan menuangkan dalam undang-undang a quo.
Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan, “Pasal 2 undang- undang a quo bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.” Pemerintah berpandangan sebagai berikut.
1. Para Pemohon telah membaca Pasal 2 undang-undang a quo secara parsial dan tidak melihat sebagai bagian yang terintegrasi dengan pasal-pasal lainnya, sehingga mengakibatkan Para Pemohon keliru dalam menafsirkan Pasal 2 undang-undang a quo.
2. Pasal 2 undang-undang a quo harus dibaca secara utuh dan merupakan suatu kesatuan dengan Pasal 10 dan Pasal 11 undang- undang a quo. Dua pasal terakhir dengan tegas dan jelas menjelaskan keterlibatan DPR dalam pembuatan dan pengesahan internasional.
3. Mekanisme konsultasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 undang- undang a quo merupakan kewenangan tambahan DPR yang sebelumnya tidak ada. Oleh karena itu, menjadi keliru jika Pasal 2 undang-undang a quo diartikan sebagai meniadakan mekanisme persetujuan DPR.
4. Mekanisme persetujuan DPR tetap ada namun tidak diatur dalam Pasal 2 undang-undang a quo, melainkan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11 undang-undang a quo. Dua pasal terakhir dengan tegas dan jelas menjelaskan keterlibatan DPR dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional.
5. Mekanisme konsultasi dengan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 2 undang-undang a quo sangat dihormati oleh Pemerintah. Sebagai contoh, Pemerintah tidak melanjutkan pengesahan Perjanjian Pertahanan RI–Singapura Tahun 2007 karena hasil konsultasi dengan DPR mengindikasikan penolakan atas perjanjian ini.
6. Dengan demikian Pemohon … Permohonan Para Pemohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 2 undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, justru akan mengurangi dan bahkan menggerogoti kewenangan DPR yang selama ini sudah berfungsi secara efektif.
Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan, “Pasal 9 ayat (2) undang-undang a quo bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang- Undang Dasar Tahun 1945.” Pemerintah berpandangan sebagai berikut.
Terkait penggunaan istilah persetujuan DPR, Para Pemohon nampaknya mengalami kesulitan untuk menemukan letak penggunaan istilah tersebut dalam undang-undang a quo. Kebingungan Pemohon tersebut dapat dijawab melalui pendekatan historis dan praktik ketatanegaraan sebelum lahirnya undang-undang a quo. Persetujuan DPR untuk meratifikasi perjanjian internasional pada era sebelum
terbitnya undang-undang a quo adalah dalam bentuk undang-undang, sehingga pembuatan undang-undang selaman ini dimaknai sebagai bentuk persetujuan DPR. Tradisi ini mewarisi sistem hukum Belanda yang sampai saat ini tetap menggunakan undang-undang sebagai bentuk persetujuan DPR.
Mengingat undang-undang dimaknai sebagai persetujuan DPR, maka undang-undang a quo cenderung menggunakan istilah pengesahan dengan undang-undang ketimbang menggunakan istilah persetujuan DPR. Pemerintah berpendapat istilah pengesahan dengan undang-undang dalam undang-undang a quo harus diartikan sebagai persetujuan DPR, yakni prosedur internal untuk menyetujui tindakan presiden untuk melakukan prosedur eksternal dalam bentuk pengesahan per definisi undang-undang a quo.
Sejalan dengan pandangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara uji materi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011. Pemerintah berpendapat bahwa undang-undang yang mengesahkan suatu perjanjian bukan dimaksudkan untuk mengesahkan perjanjian tersebut menjadi berlaku karena pemberlakuan suatu perjanjian tergantung pada syarat yang ditetapkan oleh perjanjian itu sendiri dan bukan ditetapkan oleh undang-undang negara yang meratifikasinya.
Oleh sebab itu, putusan dimaksud kiranya telah memperkuat pendapat Pemerintah bahwa undang-undang yang mengesahkan perjanjian internasional harus dimaknai sebagai persetujuan DPR kepada Presiden untuk melakukan pengesahan dalam rangka pemberlakuan perjanjian internasional.
Dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa istilah pengesahan telah menempatkan DPR hanya dalam bagian akhir penyusunan perjanjian internasional atau lembaga stempel, tidak mencerminkan pemahaman yang tidak lengkap tentang praktik internasional dalam pembuatan perjanjian internasional. Dalam praktik, keterlibatan DPR pada akhir penyusunan perjanjian internasional tidak menghilangkan kewenangan DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu perjanjian internasional.
Dengan demikian, apabila permohonan Para Pemohon untuk menyatakan tidak berlaku Pasal 9 ayat (2) undang-undang a quo dikabulkan akan menimbulkan beberapa akibat antara lain:
1. Ketiadaan prosedur internal dalam pengesahan perjanjian internasional.
2. DPR harus menangani semua perjanjian internasional.
3. Menghilangkan praktik ketatanegaraan yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
4. Mengarah pada ... kepada kekosongan hukum.
Sebagai catatan, jika pada tahun 1960 saja pertumbuhan jumlah perjanjian internasional telah memberikan beban ... membebani DPR,
apa lagi saat ini dimana jumlah perjanjian yang dibuat sudah mencapai lebih kurang 200 naskah per tahun.
Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan, “Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1) undang-undang a quo bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.” Pemerintah berpadangan sebagai berikut.
Pembentuk ... pembentuk undang-undang memiliki kewenangan untuk membentuk materi muatan dalam peraturan perundang-undangan dalam instrumen hukum berupa undang-undang. Kewenangan dimaksud tidak boleh dilaksanakan secara sewenang-wenang, melainkan harus diwujudkan dalam suatu kese ... bentuk ... dalam bentuk kesesuaian antara undang-undang dengan kepastian hukum.
Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah mendelagasikan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut bagaimana bentuk dan model persetujuan DPR, serta kriteria lebih lanjut perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan DPR.
Dengan demikian, kebijakan pembentuk undang-undang untuk mengatur kriteria merupakan implementasi dari open legal policy sesuai dengan Putusan MK Nomor 51/PUU-VI/2008, 52/PUU-VI/2008, 59/PUU- VI/2008 dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkan undang-undang atau sebagian normanya jika norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai open legal policy oleh pembentuk undang-undang. Posisi yang demikian juga ditegaskan melalui Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005 sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampau kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Tahun 1945.
Implementasi open legal policy dijabarkan lebih konkret dalam Pasal 10 Undang-Undang a quo yang mengatur tentang kriteria perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan DPR. Dengan demikian, rumusan Pasal 10 undang-undang a quo merupakan perwujudan delegated norms yang konstitusional berdasarkan Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Berdasarkan praktik yang ada, penetapan kriteria perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan parlemen akan berbeda dari satu negara dengan negara lainnya karena sangat tergantung pada politik hukum masing-masing negara. Beberapa negara menerapkan kriteria berdasarkan bidang materi perjanjian (politik, ekonomi, hankam, dan lain-lain), sedangkan beberapa negara berdasarkan dampak perjanjian, dan beberapa negara lain mendasarkan pada pembagian kewenangan eksekutif dan legislatif.
Dari uraian di atas, maka tergambar dengan jelas bahwa soal kriteria ini bukanlah soal yang statis, namun dinamis. Pemerintah dan
DPR selalu mencermati dinamika perjanjian internasional, serta implementasi … implikasinya terhadap Indonesia.
Melalui kebijakan terbuka (open legal policy), pembentuk undang- undang akan selalu menyempurnakan kriteria ini. Saat ini, Pemerintah sedang mengevaluasi soal kriteria ini dalam rangka amandemen undang- undang a quo. Namun, kekhawatiran Pemohon tentang perjanjian perdagangan yang oleh undang-undang a quo tidak termasuk perjanjian yang mengharuskan persetujuan DPR telah diakomodasi dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan seperti yang diuraikan di atas.
Terhadap dalil Para Pemohon yang pada pokoknya antara lain menyatakan, “Adanya perjanjian pinjaman yang hanya disahkan peraturan presiden, yaitu perjanjian terkait dengan keikutsertaan Indonesia sebagai Anggota Asian Infrastructure Investment Bank yang telah disahkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 171 Tahun 2015.” Pemerintah berpendapat sebagai berikut.
Para Pemohon membangun dalil yang menggambarkan adanya pertentangan antara Pasal 10 undang-undang a quo dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun, tidak melakukan permohonan kepada Mahkamah untuk mencabut pasal tersebut. Sehubungan dengan itu, Pemerintah tidak akan menyampaikan secara panjang lebar bagian ini dan hanya mengklarifikasi persoalan yang diangkat oleh Para Pemohon.
Para Pemohon telah keliru dalam memahami arti Cost Agreement AIIB karena menganggap perjanjian tersebut sebagai perjanjian utang luar negeri. Pemerintah menegaskan bahwa Perjanjian AIIB bukan merupakan perjanjian utang, melainkan perjanjian pendirian organisasi internasional atau pendirian bank yang bersifat prosedural.
Yang Mulia Ketua dan Xxxxxxx Xxxxx … Majelis Mahkamah … Xxxxx … Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Sebagai penutup, Pemerintah berpendapat sebagai berikut.
1. Bahwa Para Pemohon bertitik tolak dari pemahaman dan pemaknaan yang keliru tentang batu uji Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan undang-undang a quo, sehingga menghasilkan kesimpulan dan bahkan Permohonan Petitum yang justru bertentangan dengan niat awal Para Pemohon untuk memperkuat peran DPR.
2. Ketidakakuratan Para Pemohon dalam memahami konsepsi dasar yang melatarbelakangi pasal demi pasal yang dipersoalkan, telah melahirkan Petitum yang berpotensi mereduksi kewenangan DPR dan bahkan melahirkan saling pertentangan antara Petitum yang satu dengan Petitum yang lain dengan uraian sebagai berikut.
1) Apabila Petitum Para Pemohon 21 dikabulkan (vide Petitum Para Pemohon angka 2, sub 21) yang memohon agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan, “Pasal 2 undang-undang a quo
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.” maka Pemerintah tidak diwajibkan lagi melakukan konsultasi dengan DPR yang akibatnya kewenangan DPR menjadi berkurang ... terkurangi.
2) Apabila Petitum pasal ... Para Pemohon 2.2 dan 2.4 dikabulkan (vide Petitum Para Pemohon angka 2, sub 2.2, dan Petitum 2, sub 4) yang memohon agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan, “Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengingat dengan segala akibat hukumnya.” Maka tidak ada lagi kriteria perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan DPR, dalam hal ini Pasal 11 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 akan diterapkan secara harfiah bahwa semua perjanjian harus mendapat persetujuan DPR. Dengan ketiadaan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) undang-undang a quo, maka Petitum Para Pemohon 2.3 tidak relevan lagi.
3) Apabila Petitum Para Pemohon 2.3 dikabulkan (vide Petitum Para Pemohon angka 2, sub 2.3) yang memohon agar Majelis Konstitusi menyatakan, “Pasal 10 undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,” dimaknai terbatas pada kriteria sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 undang-undang a quo, maka Petitum Para Pemohon 2.2 dan 2.4 yang menghapuskan kriteria tersebut harus ditolak karena akan melahirkan pertentangan dengan Petitum Para Pemohon 2.3 yang masih mempertahankan kriteria.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Xxxx Xxxxx Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus Permohonan Pengujian Materiil Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional terhadap Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat
(1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk memberikan putusan sebagai berikut.
1. Menolak Permohonan Pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan Permohonan Pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima.
2. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan, dan.
3. Menyatakan Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun, apabila Yang Mulia Ketua dan Xxxxxxx Xxxxx Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya.
Demikian keterangan ini, atas perkenan dan perhatian Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, kami ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb.
12. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya. Terima kasih, Pak Sekjen.
Dari meja Xxxxx? Ya, nanti keterangan tertulisnya, ya, diserahkan ke Kepaniteraan. Ya, ada pendalaman dari Yang Mulia. Silakan, Pak Pal.
13. KETUA: I DEWA XXXX XXXXXXX
Terima kasih, Yang Mulia. Mungkin ... ya, mungkin ini bisa di keterangan secara tertulis oleh Pemerintah, mungkin dari Kementerian Luar Negeri khususnya.
Sebenarnya ini ada kaitannya juga dalam konteks pemahaman anu ... apa namanya ... Permohonan Pemohon. Karena kan Pemohon tampaknya bertolak dari Konvensi Wina Tahun 1969, ya, tentang Hukum Perjanjian Internasional. Dan mohon saya dikoreksi kalau keliru, hingga saat ini kita belum meratifikasi perjanjian itu, ya? Nah, itu. Kemudian, tentu jadi pertanyaan. Lalu begini, kalau kita tidak meratifikasi itu, apakah posisi Indonesia sebenernya terhadap Konvensi Wina Tahun 1969 itu? Apakah dia memperlakukannya sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional? Karena kita tahu Konvensi Wina tahun 1969 itu adalah semacam kodifikasi dari kebiasaan-kebiasaan internasional, ya, yang diterima sebagai bagian dari sumber hukum internasional. Dan karena kalau saya lihat materi dari Undang-Undang tentang Pembuatan Perjanjian Internasional itu, kan itu segaris dengan … dengan materi yang terdapat dalam Konvensi Wina tahun 1969, ya, dalam konteks perjanjian antarnegara sebagaimana ruang lingkup perjanjian internasional tahun 1969 … Konvensi Wina tahun 1969.
Demikian pula, bagaimana kalau misalnya kita, negara, kan bukan hanya mengadakan perjanjian dengan antarnegara saja, kan? Tapi juga mungkin dengan organisasi internasional atau bahkan subjek hukum internasional yang lain. Prosedur yang berlaku dan … prosedur yang berlaku dalam pengesahan perjanjian internasional yang diatur dalam undang-undang ini, apakah mutatis mutandis juga berlaku untuk perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia dengan subjek hukum internasional yang lain? Nah, itu. Nah, itu … itu mungkin yang kedua yang perlu kita sampaikan.
Nah, yang berikutnya. Ini berkaitan juga dengan pemberian pemahaman bukan hanya kepada Pemohon, tapi karena ada
permohonan ini sekaligus juga untuk pemahaman kepada publik. Memang kalau kita melihat, kan persoalan pengesahan atau konsen … apa … pengesahan perjanjian internasional itu yang diserahkan kepada sistem ketatanegaraan masing-masing negara, kan gitu? Mau ada yang menganut sistem legislatif, sistem eksekutif, atau sistem campuran yang dominan legislatif, atau campuran dominan eksekutif, itu terserahlah, tapi yang … yang … yang perlu kami diberitahukan di sini adalah posisi Pemerintah dalam memahami Undang-Undang tentang Pembuatan Perjanjian Internasional ini, apakah semangatnya adalah bahwa pada dasarnya seluruh perjanjian internasional itu, Dewan Perwakilan Rakyat harus tahu? Nah karena kalau kita lihat logika dari undang-undang ini, tampaknya kan, begitu. DPR harus tahu. Cuma pengetahuannya itu ada yang dituangkan dalam bentuk persetujuan kalau itu menyangkut perjanjian-perjanjian internasional yang penting, biasanya lazimnya berbentuk treaty, gitu, Pak, ya? Atau convention atau apa gitu, ya? Atau yang menyangkut bidang-bidang tertentu. Dan kemudian yang satu lagi cukup dengan pemberitahuan dari Pemerintah, gitu kayaknya, kan?
Nah, yang ingin kami ketahui itu begini, mekanisme pemberitahuan untuk perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan DPR itu bagaimana? Apakah disampaikan lebih awal, sebelum putu ... keputusan Presiden itu dibuat? Ataukah setelah keputusan itu, sehingga hanya semacam tembusan saja? Ya, misalnya, kan biasanya kalau ini kan biasanya untuk agreement yang bersifat teknis, ya, Pak, ya? Yang tidak … tidak menyangkut persoalan-persoalan politik biasanya itu kan, begitu. Nah, itu gimana? Apakah setelah Presiden menandatangani itu kemudian baru diberitahukan kepada DPR atau ada proses awal konsul
… semacam konsultasi dulu, gitu? Ya, ya, tentu kalau ini bagian dari pelaksanaan perjanjian yang pokok misalnya, gitu ya, mungkin itu kalau hanya pemberitahuan begitu, bisa kita … kita terima, ya. Tetapi kalau ini perjanjian tersendiri, walaupun si … sifatnya sema … semacam technical argemeent, gitu, apakah prosedurnya memang setelah Presiden menandatangani baru kemudian diberitahukan ataukah sebelumnya sudah ada semacam konsultasi, misalnya? Khususnya dari pihak Kemenlu, misalnya dengan Presiden. Nah, itu mungkin juga perlu kita perdalami.
Nah, yang terakhir. Barangkali ini mungkin ada baiknya juga diberitahukan kepada kami, kepada publik, bagaimana sebenarnya sikap pemerintah Indonesia terhadap … apa namanya … perkembangan baru dalam hukum internasional yang di … yang kita sebut … yang sering sekarang disebut sebagai international regulatory regime, itu? Misalnya, para gubernur bank sentral berkumpul di mana, gitu, mereka bersepakat membuat ini, tiba-tiba tanpa kita ikut dalam suatu perjanjian internasional, itu dituangkan sebagai bentuk kebijakan, kebijakan moneter, misalnya.
Nah, terhadap hal-hal seperti itu bagaimana mekanismenya di … di kalangan Pemerintah sendiri? Itu kan tidak melalui agreement atau treaty, gitu kan, Pak? Misalnya kalau persetujuan di antara penentu kebijakan moneter, misalnya itu yang … kalau sekarang bank … Bank Indonesia itu khususnya. Itu kan dia independen kan dari Pemerintah. Tapi kan dia bisa membuat pertemuan-pertemuan yang kemudian melahirkan semacam ikatan internal di antara mereka yang kemudian dijadikan bagian dari policy di … di wilayah nasionalnya masing-masing.
Barangkali itu … apa namanya … kami juga perlu diberikan pandangan karena tampaknya memang bersangkut paut dengan apa yang disampaikan oleh Pemohon yang oleh Pemerintah tadi dijawab sebagai kekeliruan pemahaman itu, itu hanya karena di … persetujuan diberikan di tahap akhir, gitu kan? Itu kan bagian dari pengesahan sebenarnya karena itu dalam bentuk undang-undang, kan? Yang namanya pembuatan undang-undang pastilah harus ada persetujuan DPR, kan begitu? Nah, ini. Mungkin itu juga perlu disampaikan.
Barangkali itu hal-hal penting yang kami minta untuk nanti ditambahkan secara ini … oh, ya, maaf satu lagi. Ini … ini cukup mendasar … cukup mendasar, maaf yang terakhir. Kalau … kalau kita membaca Undang-Undang tentang Pembuatan Perjanjian Internasional ini tampaknya kan Indonesia dalam posisi negara yang menganut paham dualis, ya, dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional. Jadi, tidak ... tidak monish, tidak serta-merta begitu terikat dalam suatu perjanjian internasional lalu dia perjanjian itu menjadi bagian dari hukum internasional.
Kami ingin mendapatkan gambaran. Nah, sekiranya ada, adakah misalnya negara-negara yang pada posisi yang sama, pada posisi dualis, yang bisa dijadikan perbandingan untuk melihat karena konteks dari undang-undang ini secara keseluruhan? Bukan hanya dalam konteks pasal-pasal yang diuji, tapi dalam keseluruhan konteks undang-undang ini, terutama pasal-pasal yang dimohonkan pengujian ini. Misalnya, di negara ini yang kira-kira menganut budaya hukum yang sama dan juga posisinya sama-sama dualis dalam konteks hubungan dengan hukum internasional, bagaimana penuangan ... apa ... penuangan ratifikasinya di dalam hukum nasionalnya terhadap perjanjian internasional? Barangkali itu, kami mohon juga diberikan input dalam Keterangan Pemerintah yang lebih lengkap nanti. Terima kasih, Pak Ketua.
14. KETUA: XXXXX XXXXX
Terima kasih. Ya, masih dari Yang Mulia Xxxx. Xxxxx.
15. HAKIM ANGGOTA: XXXXX XXXX
Terima kasih, Pak Ketua. Apa namanya ... ini sedikit saja. Karena sebagian besar sudah ... apa ... dimintakan tambahan oleh Yang Mulia Pak Xxxxxxx tadi.
Tadi Pemerintah menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 itu kan sebetulnya penuangan karena ada perkembangan yang dikaitkan dari sejarah hukumnya dengan Surat Presiden Nomor 28, 26 itu. Nah, kemudian berkembang menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Nah, itu salah satu sisi.
Di sisi lain, ketika undang-undang ini disahkan, diberlakukan, Pasal 11 itu kan belum mengalami perluasan, Pasal 11 di konstitusi. Jadi karena ini hukum internasionalnya berkelindan dengan hukum tata negara. Dulu Pasal 11 itu kan sangat simpel ketika undang-undang ini dibahas dan kemudian disahkan menjadi undang-undang. Nah, setelah menjadi undang-undang, lalu tiba-tiba Pasal 11 itu mengalami pemekaran. Jadi, dari tidak ada ayat, menjadi ada ayat, pasal yang lama itu menjadi ayat (1), itu pun pasal yang lama itu kemudian diubah dibandingkan ayat (2) dan ayat (3)-nya. Jadi, ayat (2), ayat (3)-nya itu kan di dalam amandemen perubahan ketiga, lalu ayat (4)-nya itu dalam perubahan keempat.
Nah, tadi kami belum mendengar bagaimana Pemerintah menjelaskan soal ini, ketika ada perubahan rumpunnya di konstitusi, lalu menyatakan bahwa apa yang ada dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 ini masih konstitusional? Ada perubahan dasar di tingkat konstitusinya. Nah, tolong itu nanti ditambahkan lagi karena ini ada kaitannya dengan sejarah hukum. Jangan-jangan ada semangat di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 itu yang sebetulnya sudah tidak tertampung lagi atau tidak mampu lagi menampung apa yang ada dalam Pasal 11 yang baru versi setelah ada perubahan konstitusi itu. Jadi, itu sama sekali belum di ... apa ... disentuh oleh Pemerintah. Tolong itu ditambahkan untuk Keterangan Tambahan Pemerintah kepada Mahkamah nantinya. Terima kasih, Yang Mulia.
16. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, masih ada? Yang Mulia Xxxx. Xxxxx, silakan.
17. HAKIM ANGGOTA: XXXXX XXXXXXX
Terima kasih, Yang Mulia Ketua.
Kepada Pemerintah, saya ingin mendapatkan penjelasan begini, kan saya menangkap Permohonan dari Pemohon ini intinya adalah … saya mengambil intinya adalah kekhawatiran Pemohon kalau Indonesia itu dirugikan, Negara Republik Indonesia dirugikan. Jadi, ini sebetulnya
Permohonan yang ... apa ... sangat positif untuk kepentingan NKRI. Jangan sampai Indonesia itu dirugikan dalam kaitannya Indonesia tunduk kepada satu perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah. Itu inti dari Permohonan ini. Sehingga, kita lihat di dalam Permohonan ini, Para Pemohon itu akan meliputi banyak komponen. Ada komponen ekonomi, komponen politik, komponen HAM, dan sebagainya.
Nah, dari situ, saya melihat petanya itu sangat luas, bisa perjanjian dilakukan oleh presiden. Perjanjiannya ditandatangani G to G antara presiden dengan kepala negara … satu negara dengan kepala negara yang lain, atau bisa bilateral, bisa multilateral. Tapi, bisa juga di level yang lebih rendah antara menteri dan Menteri, antara satu institusi dengan institusi yang lain, juga bisa antarsektor swasta dengan sektor swasta yang non-government dan non-government. Nah, ini bagaimana? Saya minta gambaran yang lebih lengkap karena ini tidak hanya menyangkut adanya pasal ini sebetulnya, tapi secara keseluruhan. Termasuk begini, Mahkamah Konstitusi itu kan juga mulai dari Jakarta Declaration yang waktu itu ditandatangani oleh Ketuanya Xxx Xxxxxx MD sampai sekarang kan ikut juga dalam pergaulan internasional sesama Mahkamah Konstitusi. Jadi, tidak hanya eksekutif, kan bisa saja DPR dengan parlemen negara lain dan sebagainya, termasuk Mahkamah Konstitusi dengan mahkamah konstitusi negara-negara lain.
Kalau kita biasanya dengan kehati-hatiannya kita minta didampingi oleh Kementerian Luar Negeri, sehingga kalau ada hal-hal yang ... yang paling peka dan tahu persis kan Kementerian Luar Negeri sehingga kita kadang-kadang disupervisi, didampingi oleh Kementerian Luar Negeri. Jangan sampai dalam melakukan perjanjian berhubungan internasional dengan negara lain dalam kaitannya dengan ke-MK-an ini kita merugikan bangsa Indonesia karena ruginya itu bisa saja hanya sekadar citra negara Indonesia yang dibawakan oleh satu institusi, tapi bisa kerugian-kerugian yang lain.
Nah, ini kita mohon penjelasan karena aspeknya bisa lebih luas dari yang dilakukan ini sehingga kita memperoleh gambaran yang jelas bagaimana kaitannya dengan itu dan bagaimana peran dari Kementerian Luar Negeri. Karena kita tahu bahwa dari aspek ekonomi kalau itu dilakukan G to G, utang piutangnya juga bisa lebih jelas, lebih terkontrol. Tapi kalau itu sektor swasta dan lembaga swasta kan juga sebetulnya membebani ... membebani Negara Republik Indonesia dari aspek ekonomi. Tapi dari aspek citra pun itu juga sangat bisa, sangat merugikan Indonesia kalau kita tidak ... sudah berkomitmen dan kita melakukan perjanjian, tapi kemudian Indonesia tidak melakukan itu. Nah, ini mohon bisa dijelaskan ada pandangan-pandangan itu, sehingga kita mempunyai pemahaman yang lengkap, yang komprehensif. Saya kira itu, Pak Ketua. Terima kasih, Yang Mulia.
18. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, baik. Pemerintah, nanti silakan ditanggapi atau mau secara tertulis untuk menanggapi seluruhnya?
19. PEMERINTAH: XXXXX XXXXXXXXX
Ya baik, Majelis. Perkenankan kami untuk menyampaikannya secara tertulis.
20. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, baik. Pemohon, apakah akan mengajukan ahli atau saksi?
21. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXXX XXXXXXXX
Terima kasih, Yang Mulia. Kami akan menghadirkan saksi dan
ahli.
22. KETUA: XXXXX XXXXX
Berapa orang?
23. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXXX XXXXXXXX
Ahlinya ada tiga, Yang Mulia. Saksinya ada lima.
24. KETUA: XXXXX XXXXX
Saksi ada?
25. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXXX XXXXXXXX
Lima.
26. KETUA: XXXXX XXXXX
Lima. Kalau begitu ahli saja dulu, ya. Ahli tiga orang sekaligus, tiga. Saksi lima (...)
27. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXXX XXXXXXXX
Baik, Yang Mulia.
28. KETUA: XXXXX XXXXX
Untuk itu sidang ditunda hari Senin, 16 April 2018, pukul 11.00 WIB. Kemudian, CV dan keterangan tertulis dari ahlinya diserahkan paling tidak dua hari sebelum hari sidang. Langsung ke Kepaniteraan, ya.
Jadi, sekali lagi sidang ditunda hari Senin, 16 April 2018, pukul
11.00 WIB dengan agenda mendengar Keterangan DPR dan tiga orang ahli dari Pemohon. Sudah jelas, ya?
29. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXXX XXXXXXXX
Xxxxx, Yang Mulia.
30. KETUA: XXXXX XXXXX
Xxxxxx, jangan lupa, ya? Dua hari sebelum hari sidang.
Pemerintah, sudah jelas?
31. PEMERINTAH: XXXXX XXXXXXXXX
Sudah, Yang Mulia.
32. KETUA: XXXXX XXXXX
Baik. Dengan demikian sidang selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 14.23 WIB
Jakarta, 5 April 2018
Kepala Sub Bagian Pelayanan Teknis Persidangan,
t.t.d
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx
NIP. 19820529 200604 2 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.