BAB II
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, KREDIT DAN PERJANJIAN KREDIT, JAMINAN DAN DANA BERGULIR
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Berdasarkan ketentuan pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah: “suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”. Menurut Subekti, perjanjian itu sendiri adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1 Sedangkan menurut Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.2 Dari peristiwa tersebut, timbullah suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan. Hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lain. Perjanjian menurut Setiawan adalah “perbuatan huku suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”3Perjanjian menurut Sudikno
1 Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, Cetakan kesembilan belas, Jakarta, Intermasa, hlm 1. 2 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, 1990, Hukum Perikatan, Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx, hlm 78. 3 Setiawan, 1987, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, hlm 49.
Martokusumo adalah “hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hak dan kewajiban.”4
Berdasarkan definisi dari pasal 1313 KUHPerdata dan atas dasar pendapat-pendapat yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum tentang adanya kesepakatan atau persetujuan antara orang perorangan atau lebih mengenai hak-hak dan kewajibannya untuk melakukan suatu hal tertentu yang menimbulkan akibat hukum.
Berdasarkan pengertian mengenai perjanjian dan perikatan yang telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan tentang unsur-unsur perjanjian yaitu sebagai berikut :
a. Adanya pihak-pihak yang setidaknya dua pihak
b. Adanya kesepakatan yang terjadi antara para pihak
c. Adanya tujuan yang akan dicapai
d. Adanya prestasi yang akan dilaksanakan
Adanya para pihak yaitu sebagai subjek dalam perjanjian. Subjek perjanjian ini dapat berupa manusia dan badan hukum. Subjek badan hukum tersebut harus mampu atau wenang melaksanakan perbuatan hukum seperti telah ditetapkan dalam Undang-undang.
4 Sudikno Martokusumo, 1989, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, hlm 97.
Sedangkan objek perjanjian tersebut adalah prestasi yaitu barang sesuatu yang dapat dituntut dan yang menurut Undang-undang berupa menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan perbuatan. Tanpa adanya prestasi, maka hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan atau perbuatan hukum sama sekali tidak menimbulkan akibat hukum.
Maksud dari persetujuan antara para pihak ini bahwa persetujuan dalam perjanjian bersifat tetap. Persetujuan ini ditujukan dengan permintaan tanpa syarat atau suatu tawaran. Apa yang ditawarkan oleh para pihak yang satu diterima oleh para pihak yang lain.
Tujuan yang hendak dicapai ini berarti tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak. Kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan itu bersifat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Maksud dari adanya prestasi yang akan dilaksanakan bahwa dengan adanya persetujuan, maka timbullah kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan. Kesepakatan ini adalah untuk menimbulkan hak dan kewajiban, apabila
kesepakatan ini dilanggar maka ada akibat hukumnya, sipelanggar dapat dikenai hukumannya atau sanksi.
Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan, yaitu sesuai dengan pasal 1233 KUHPerdata yang berbunyi; “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.
Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitur tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut, maka kreditur berhak untuk menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dalam hal pembuatan perjanjian, masing-masing pihak terkait akan melahirkan hak dan kewajiban yang “sukarela” mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak siapa ia berjanji dan telah mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian tersebut. Harta kekayaan dimaksud seperti dalam pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: “segala kebendaan milik debitur, baik bergerak maupun
tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan seseorang.”
Konstruksi dan akibat hukum yang terjadi, berarti bahwa setiap pihak yang membuat perjanjian berkewajiban untuk melaksanakan prestasi dan mendapatkan pemenuhan atas prestasi.
Bentuk perjanjian sendiri pada umumnya tidak terkait pada bentuk tertentu, perjanjian dapat dibuat secara lisan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan dan dibuat secara tertulis sebagai alat bukti jika terjadi perselisihan.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian agar dapat berlaku dan mengikat para pihak yang membuatnya, haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1320 KUHPerdata. Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxxx dalam bukunya menyebutkan :5
a. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif) yaitu :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2) Cakap untuk membuat suatu perikatan
5 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxxx, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Cetakan Kesatu, Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx, hlm 73.
b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objek) yaitu :
1) Suatu hal tertentu
2) Suatu sebab yang halal
Untuk memberikan pengertian yang lebih jelas, maka akan diuraikan satu persatu syarat sahnya perjanjian :
a. Kata sepakat mereka yang mengikatkan diri
Adanya kata sepakat berarti kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian menyatakan setuju mengenai hal-hal yang mereka perjanjikan. Kata sepakat tersebut lahir dari kehendak atau keinginan yang bebas dari kedua belah pihak, sehingga apa yang dikehendaki oleh pihak kesatu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik.
Undang-undang telah mengatur mengenai kesepakatan para pihak yang mengikatkan perjanjian didalam pasal 1321 KUHPerdata yaitu sepakat yang dibuat karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog) dapat dikatakan sebagai cacat kehendak. Maksud dari cacat kehendak adalah pernyataan kehendak yang dikeluarkan seseorang yang mana kehendak tersebut telah ditentukan secara tidak bebas atau
tidak murni. Menurut pasal 1321 KUHPerdata terdapat tiga macam cacat kehendak, yaitu :
1) Kekhilafan atau kesesatan (dwaling)
Kekhilafan dapat terjadi mengenai orang atau barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Menurut pasal 1322 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Sedangkan pada pasal 1322 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan bahwa kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.
2) Paksaan (dwang)
Maksud dari paksaan adalah perbuatan sedemikian rupa yang dapat menimbulkan rasa takut pada diri seseorang yang terjadi karena adanya ancaman. Menurut X. Subekti yang diancamkan harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang. Hal-hal yang berkaitan dengan paksaan telah diatur dalam pasal 1323-1327
KUHPerdata. Perjanjian yang dibuat dengan suatu paksaan dapat diminta pembatalannya atau dengan kata lain perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
3) Penipuan (bedrog)
Menurut X. Subekti penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar disertai kelicikan, sehingga pihak terbujuk karenanya untuk memberikan perijinan. Menurut pasal 1328 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan suatu perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.
Penipuan di dalam perjanjian dapat mengakibatkan batalnya perjanjian yang telah dibuat. Menurut pasal 1328 ayat (2) KUHPerdata dikatakan bahwa penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pengaturan mengenai orang yang cakap untuk membuat
perjanjian secara implisit terdapat dalam pasal 1329 KUHPerdata. Pasal ini menyebutkan “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, kecuali jika ia oleh Undang-undang tidak dinyatakan cakap.”
Orang-orang yang tidak cakap menurut hukum perdata adalah :
1) Orang-orang yang belum dewasa
2) Mereka yang dibawah pengampuan
3) Orang-orang perempuan yang dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang
Syarat belum dewasa menurut KUHPerdata pasal 330 ada dua yaitu : belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jadi, bagi yang belum berumur 21 tahun tetapi telah kawin maka mereka dianggap telah dewasa. Begitu juga bagi mereka yang telah mencapai 21 tahun walaupun belum kawin dianggap telah dewasa. Batas usia dewasa menurut Undang-undang nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris pasal 39 dan 40 adalah 18 tahun untuk penghadap dan 18 untuk saksi, sedangkan menurut pasal 47 (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 1 butir 1 Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak batas usia dewasa 18 tahun.
Pada umumnya setiap orang dewasa adalah subjek hukum atau cakap melakukan perbuatan hukum, tetapi bila orang dewasa itu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, mata gelap atau juga boros, maka orang dewasa itu dianggap tidak dapat menggunakan akal sehatnya dan karena itu dapat merugikan dirinya sendiri. Dalam rangka melindunagi orang dewasa seperti itu maka diciptakanlah lembaga pengampuan. Pengampuan hanya sah bila diputuskan oleh hakim pengadilan negeri, pengampuan dapat dimintakan karena alasan-alasan dungu, sakit otak, mata gelap atau boros.
c. Suatu hal tertentu
Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan “suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa dalam suatu perjanjian obyeknya harus tertentu atau setidaknya dapat ditentukan jenisnya dengan jelas. Maksudnya apabila perjanjian itu obyeknya mengenai suatu barang, maka minimal harus disebutkan nama barang atau jenis barang tersebut. Mengenai barang tersebut sudah di tangan si berhutang atau belum pada
saat mengadakan perjanjian, tidak diharuskan oleh Undang- undang. Di samping itu, mengenai jumlahnya tidak perlu disebutkan asal kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Suatu perjanjian harus mempunyai pokok (objek) suatu barang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya.6
d. Suatu sebab yang halal
Sebab yang halal dimaksud pasal 1320 KUHPerdata, bukan merupakan sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, tetapi sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak.
Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan bahwasannya suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau dilarang, tidak mempunyai kekuatan. Dengan demikian perjanjian tanpa sebab yang halal dianggap tidak pernah ada atau batal demi hukum.
Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilaramg oleh Undang-undang atau apabila
6 Hardijah Rusli, 1996, Hukum Perjanjian dan Common Law, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm 85.
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Pasal ini dapat diinterpretasikan bahwa sebab yang tidak halal atau haram adalah sebab yang bertentangan dengan Undang- undang, kesusilaan, dan juga ketertiban umum.
Berdasarkan argumentum a contrario pengertian sebab yang tidak halal dapat memberi pengertian sebab yang halal. Pengertian sebab yang halal yaitu bahwa isi perjanjian yang menjadi tujuan para pihak tidak dilarang Undang-undang, sejalan dengan kesusilaan dan pasti ketertiban umum.
Sebab yang tidak terlarang atau tidak bertentangan dengan Undang-undang, sebab yang sesuai dengan kesusilaan baik, sebab yang sesuai dengan ketertiban umum.7
3. Asas-asas Perjanjian
Dalam KUHPerdata berbagai asas umum, yang merupakan pedoman serta menjadi batas dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perjanjian yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya atau pemenuhannya. Asas-asas yang terdapat dalam perjanjian :
a. Asas Kebebasan Berkontrak
7 Ibid, hlm 89.
Asas kebebasan berkontrak ini adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam Undang-undang maupun belum diatur dalam Undang- undang.8 Hukum perjanjian itu mengikuti asas kebebasan mengadakan perjanjian. Oleh karena itu disebut pula menganut sistem terbuka. Tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali. Melainkan kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut hanya sejauh perjanjian yang dibuatnya itu tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-undang sebagai mana disebutkan dalam pasal 1337 KUHPerdata.
Dalam bukunya Djaja S. Meliala, Xxxxxxx Xxxxxxx menjelaskan lebih lanjut tentang asas kebebasan berkontrak ini, yang meliputi:9
1) Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah orang tersebut membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian.
8 Subekti, 1981, Aneka Perjanjian, Bandung, Alumni, hlm 5.
9 Xxxxx X. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Perikatan, Bandung, Nuansa Aulia, hlm 97.
2) Kebebasan setiap orang untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian.
3) Kebebasan para pihak untuk menetukan bentuk perjanjian.
4) Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian.
5) Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
b. Asas Konsensuil
Arti asas konsensuil pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul, karena itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas.10
Undang-undang menetapkan bahwa sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis tetapi yang demikian itu merupakan suatu pengecualian. Lazimnya adalah bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat, apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai kesepakatan yang pokok dalam perjanjian.
10 Ibid, hlm 5.
Xxxx konsensuil tersebut disimpulkan dalam pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi, untuk syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3) Suatu hal tertentu.
4) Suatu sebab yang halal
Berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata, atau suatu pengertian bahwa untuk membuat suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara pihak-pihak yang membuat perjanjian.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menentukan persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan- alasan yang oleh Undang-undang cukup untuk itu.
Para pihak yang membuat perjanjian itu telah mengikatkan dirinya untuk memenuhi perjanjian yang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
c. Asas Baik yang Subyektif
Menurut pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, jadi para pihak dalam melaksanakan suatu perjanjian yang telah dibuatnya harus berdasarkan suatu kejujuran bahwa benar-benar dilaksanakan.
Selain itu juga disebutkan dalam pasal 1363 KUHPerdata, bahwa : “siapa yang telah menjual barang sesuatu yang diterimanya dengan itikad baik sebagai pembayaran yang tidak diwajibkan, cukup memberikan kembali harganya.”
Para pihak pada waktu membuat perjanjian harus mempunyai itikad baik subjektif Adalah sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum.11
Itikad baik yang subyektif dapat diartikan sebagai suatu kejujuran yang terletak pada sikap baik seseorang waktu diadakan perjanjian tersebut.
d. Asas Pacta Sun Servanda
Asas ini tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : “semua persetujuan
11 A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta, Liberty, hlm 19.
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Para pihak yang mengadakan perjanjian apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal pokok maka secara otomatis pihak-pihak tersebut telah mengikatkan dirinya untuk memenuhi apa yang diperjanjikan itu. Ketentuan pasal 1338 ayat (1) tersebut dimaksudkan untuk tercapainya suatu kepastian hukum bagi para pihak harus dipenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa, “persetujuan hanya berlaku antara pihak- pihak yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membayar rugi kepada pihak ketiga, tidak dapat pihak ketiga mendapat manfaat karenanya selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317 KUHPerdata.
Suatu perjanjian hanya mengikat bagi yang membuatnya, dan tidak mengikat bagi orang yang terlibat didalamnya, jadi pacta sun servanda dapat diartikan bahwa mereka yang membuat perjanjian harus memenuhi apa yang diperjanjikan.
e. Asas Baik yang Obyektif
Pasal 1339 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan, atau Undang-Undang.
Itikad baik dapat diartikan suatu kepatuhan yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian sehingga biasanya disebut dengan itikad baik yang obyektif.
Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Seharusnya asas ini dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga rasa keadilan dalam masyarakat.
4. Unsur-unsur Perjanjian
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian :
a. Unsur Essensialia
Adalah dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi –prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakan secara prinsip dari jenis perjanjian
lainnya. Pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari suatu perjanjian.12
b. Unsur Naturalia
Adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essensialnya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban penjual untuk menanggung kebendaan yang dijualnya dari cacat tersembunyi.13
c. Unsur Accidentalia
Adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.14
5. Jenis-jenis Perjanjian
Adapun jenis perjanjian yaitu :
a. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
12 Kartini Mulyadi, 2004, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm 85.
13 Ibid, hlm 88.
14 Ibid, hlm 89.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak, sedang pada pihak lainnya hanya ada hak.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang kedua belah pihak sama-sama memiliki hak dan kewajiban.
b. Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian Kebendaan
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain.15
c. Perjanjian Konsensuil, Perjanjian Riil dan Perjanjian Formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya suatu perjanjian.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
Perjanjian formil adalah perjanjian baru dianggap lahir jika sudah dipenuhi syarat-syarat tertentu. Undang-undang menentukan bahwa perjanjian tertentu selain harus memenuhi syarat umum untuk sahnya suatu perjanjian, baru sah kalau sudah dalam bentuk akta otentik.
15 H, Xxxxxxx dan Moch. Chidir Xxx, 2001, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Bandung, Mandar Maju, hlm 131.
d. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri dan diatur dalam KUHPerdata, Maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari- hari.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama dan diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak untuk mengadakan perjanjian.16
6. Wanprestasi dan Overmacht
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu “Wanprestasie” yang artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian semula. Tidak dipenuhinya kewajiban tersebut kemungkinan bisa disebabkan karena unsur kesengajaan atau kelalaian.
Adapun pengertian wanprestasi secara umum adalah tidak dilaksankannya prestasi oleh debitur karena adanya unsur kesalahan, baik karena kesengajaan maupun karena adanya kelalaian.
16 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxxx, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, Alumni, hlm 19.
Suatu perjanjian yang sah secara yuridis adalah merupakan perikatan dan hal ini berarti bahwa kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian itu bila tidak dipenuhi dapat dipaksakan pelaksanaanya.
Bila terdapat pihak yang berkewajiban (debitur) yang tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi), maka pihak yang berhak (kreditur) dapat menuntut melalui pengadilan agar debitur memenuhi kewajibannya atau mengganti biaya, rugi dan bunga (Pasal 1236 dan Pasal 1242 KUHPerdata).17
Menurut Subekti wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa 4 macam18 :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat hukum bagi debitur yang telah dilakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi yaitu19 :
17 Hardijah Rusli, 1996, Hukum Perjanjian dan Common Law, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, hlm 131.
18 Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hlm 45.
a. Debitur harus membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur
b. Dalam perjanjian timbal balik, wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim
c. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadi wanprestasi
d. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim.
Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara
e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian
Dalam menentukan besarnya kerugian harus diperhatikan :
a. Obyektifitas, yaitu harus diteliti berapa kiranya jumlah kerugian seorang kreditur pada umumnya dalam keadaan yang sama seperti keadaan kreditur yang bersangkutan
b. Keuntungan yang diperoleh kreditur disebabkan terjadinya ingkar janji dari debitur, misalnya : karena penyerahan barang
19 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, 1990, Hukum Perikatan, Op.Cit, hlm 24.
tidak dilaksanakan maka pembeli tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengambil dan menyimpan barang.20
Overmacht atau keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa maka tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi, pada waktu membuat perjanjian.
Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya prestasi bukan karena kesalahannya diwajibkan membayar ganti rugi, sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar ganti rugi. Jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak melakukan perbuatan yang seharus ia tidak lakukan.
Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa adalah :
a. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu perstiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi obyek perikatan, ini selalu bersifat tetap.
b. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini juga dapat bersifat tetap atau sementara.
20 Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Op.Cit, hlm 23.
c. Peristiwa itu tidak diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur, jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur.
Akibat hukum adanya overmacht atau keadaan memaksa, yaitu :
a. Keadaan memaksa yang bersifat tetap maka berlakunya perjanjian itu otomatis batas konsekuensi adalah pemilihan kembali dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian, jika perjanjian sudah di laksanakan.
b. Keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perjanjian atau perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perjanjian mulai berlaku lagi bagi kedua belah pihak.
7. Hapusnya Perjanjian
Suatu perjanjian akan berakhir bilamana tujuan para pihak yang diperjanjikan telah tercapai atau masing-masing pihak dalam perjanjian telah saling memenuhi prestasi yang diperjanjikan.
Adapun beberapa hal yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian yaitu :
a. Ditentukan persetujuan oleh para piahk;
b. Undang-undang menentukan batas waktunya suatu perjanjian;
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus;
d. Pernyataan penghentian perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak;
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim;
f. Tujuan perjanjian telah tercapai;
g. Karena persetujuan kedua belah pihak.21
B. Tinjauan Umum Tentang Kredit dan Perjanjian Kredit
1. Pengertian kredit
Dilihat secara etimologis kata kredit berasal dari bahasa yunani “credere” yang berarti kepercayaan atau dalam bahasa latin “creditum” yang berarti kepercayaan akan kebenaran. Sehingga kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau pengadaan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan ditangguhkan pada jangka waktu yang disepakati.22
21 Ibid, hlm 69.
22 Teguh Pudjo Muljono, 1990, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersiil, cetakan kedua edisi kedua, Yogyakarta, BPFE, hlm 9.
Di dalam hukum perdata terdapat beberapa pendirian mengenai arti kredit23 :
a. Xxxxxxxxx, menyatakan kredit mempunyai arti antara lain sebagai dasar dari setiap perikatan dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain. Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.
b. M. Jakile, menerangkan kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu.
c. Levy, merumuskan arti hukum dari kredit adalah menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu dibelakang hari.
Menurut X. Tjipto Adinugroho, menyatakan “kredit adalah modal yang diharapkan akan diterima dari luar pada waktu mendatang, maka
23 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx, hlm 24.
pada waktu mengajukan permintaan kredit pada hakikatnya harus didasarkan pada suatu perencanaan.”24
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx Mengemukakan pengertian kredit adalah penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, baik dalam bentuk barang, uang maupun jasa.25
Dari uraian yang telah disebutkan diatas, dapat dilihat dengan jelas bahwa kredit adalah peminjaman uang atau barang berdasarkan kesepakatan, dimana pihak peminjam akan menggantinya diwaktu yang akan datang beserta kewajibannya, sesuai yang telah disepakati.
2. Unsur-unsur Kredit
a. Kepercyaan
Yaitu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan akan diterima kembali dalam jangka waktu tertentu dikemudian hari.
24 R. Tjipto Adinugroho, 1992, Perbankan Masalah Kredit, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm 64.
25 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1993, Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx, hlm 217-218.
26 Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm 147.
b. Waktu
Yaitu jangka waktu antara masa pemberian kredit dan masa pemberian kredit. Disini terkandung arti bahwa nilai uang pada waktu pemberian kredit (nilai aigo) adalah lebih tinggi dari pada nilai uang yang akan diterima pada waktu pengembalian kredit dikemudian hari.
c. Risiko
Yaitu adanya tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dan pengembalian kredit dikemudian hari. Makin lama jangka waktu pengembalian kredit berarti makin tinggi pula tingkat resikonya. Karena pada unsur resiko ini maka suatu perjanjian kredit perlu suatu jaminan.
d. Prestasi
Yang diberikan adalah suatu prestasi yang dapat berupa barang, jasa atau uang dalam perkembangan perkreditan dialam modern maka yang dimaksud dengan prestasi dalam pemeberian kredit adalah uang.
3. Jenis-jenis Kredit
a. Kredit ditinjau dari segi tujuan penggunanya
1) Kredit Produktif
Adalah kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang menghasilkan barang dan jasa sebagai konstribusi dari usaha- usahanya. Untuk kredit jenis ini terdapat 2 kemungkinan, yaitu :
a) Kredit modal kerja, yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai kebutuhan usaha-usaha, termasuk guna menutupi biaya produksi dalam rangka peningkatan produksi atau penjualan.
b) Kredit investasi, yaitu kredit yang diberikan untuk pengadaan barang modal maupun jasa yang dimaksudkan untuk menghasilkan suatu barang ataupun jasa bagi usaha yang bersangkutan.
2) Kredit Konsumtif
Adalah kredit yang diberikan kepada orang perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat umumnya (sumber pengembaliannya dari fixed income debitur)
b. Kredit ditinjau dari segi jangka waktunya
1) Kredit jangka pendek
Yaitu kredit yang diberikan dengan tidak melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun.
2) Kredit jangka menengah
Yaitu kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.
3) Kredit jangka panjang
Yaitu kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun.
4. Fungsi Kredit
a. Ekonomi internasional kredit dapat meningkatkan daya guna dari modal dan uang.
b. Kredit meningkatkan daya guna suatu barang.
c. Kredit memudahkan transaksi pembayaran, meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.
d. Kredit dapat menimbulkan kegairahan berusaha masyarakat.
e. Kredit sebagai alat stabilisasi ekonomi.
f. Kredit sebagai jembatan untuk peningkatan pendapatan nasional.
27 Xxxxx Xxx Xxxxxxx, 1996, Mengenal Dunia Perbankan, Yogyakarta, Andi Offset, hlm 111.
g. Kredit sebagai alat hubungan.
5. Analisis Kredit
Pentingnya untuk melakukan analisis ini adalah untuk menghindari resiko kemungkinan terjadinya kredit macet.
Pembayaran kredit selalu terjadi dimasa yang akan datang, maka yang memberikan pinjaman harus menilai apakah harapan debitur tentang kesanggupannya untuk membayar kembali adalah cukup wajar.
Untuk menganalisis suatu permohonan kredit pada umumnya digunakan criteria 5C (The Five C’s)28 , yakni :
a. Character (sifat)
Dalam hal ini, para analist kredit pada umunya mencoba melihat dari data pemohon kredit yang telah disediakan. Bila dirasakan perlu diadakan wawancara, untuk mengetahui lebih rinci, bagi karakter yang sesungguhnya dari calon debitur tersebut.
b. Capasity (kemampuan)
Kreditur mencoba menganalisis apakah permohonan dana yang diajukan rasional atau tidak dengan kemampuan yang ada pada debitur sendiri. Kreditur melihat sumber pendapatan dari pemohon dikaitkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
28 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Bandung, Bandar Maju, hlm 68.
c. Capital (modal)
Hal ini cukup penting untuk kreditur, khususnya untuk kredit yang cukup besar apakah dengan modal yang ada, mungkin pengembalian kredit yang diberikan. Untuk itu perlu dikaji ulang potensi dari modal yang ada.
d. Collateral (jaminan)
Apakah jaminan yang diberikan oleh debitur sebanding dengan kredit yang diminta. Hal ini penting agar bila debitur tidak mampu melunasi kreditnya jaminan dapat dijual.
e. Condition of economy (kondisi ekonomi)
Situasi dan kondisi ekonomi apakah memungkinkan untuk itu.
6. Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian pinjam meminjam diatur di dalam buku ke III KUHPerdata pasal 1754 yang berbunyi :
“pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
29 X.Xxx Xxxxxx, 2006, Hukum Jaminan Fidusia, Cetakan Kedua, Edisi Pertama, Bandung, Alumni, hlm 33.
tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”
a. Perjanjian kredit ada dalam perjanjian pinjam uang
b. Perjanjian kredit terjadi pada masyarakat
c. Perjanjian kredit mengenal pinjaman dengan jangka waktu tertentu dan juga dikenakan uang.
Dengan demikian perjanjian kredit termasuk dalam perjanjian bernama, karena berdasarkan pada perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam buku ke III KUHPerdata.
7. Jenis-jenis Perjanjian Kredit
Secara yuridis formal ada 2 (dua) jenis perjanjian kredit yang digunakan31 :
a. Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan atau akta dibawah tangan.
30 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, 1999, Perjanjian Kredit Bank, Bandung, Alumni, hlm 20.
31 Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm 184-187.
Yang dimaksud akta perjanjian kredit dibawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh kreditur kepada debitur yang hanya dibuat diantara mereka tanpa notaries. Bahkan lazimnya dalam penandatanganan akta perjanjian kredit tersebut tanpa adanya saksi yang turut serta dalam memperlihatkan tanda tangannya. Padahal sebagaimana diketahui bahwa saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata. Mengenai akta perjanjian kredit dibawah tangan, ada beberapa kelemahan yang perlu diketahui :
Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitur, yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkali tanda tangannya, akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam pasal 1877 KUHPerdata yang menyatakan bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa dimuka pengadilan.
b. Perjanjian kredit yang dibuat dihadapan notaris
Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit notaril (oetentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh kreditur kepada debitur yang hanya dibuat oleh atau dihadapan notaries. Mengenai definsi akta oetentik dapat dilihat pada pasal 1868 KUHPerdata, dapat dikemukakan beberapa hal.
1) Yang berwenang membuat akta oetentik adalah notaris terkecuali wewenang tersebut diserahkan kepada pejabat lain atau orang lain. Pejabat lain yang dapat membuat akta oetentik adalah misalnya seorang panitera dalam sidang pengadilan, seorang juru sita dalam membuat exploit, seorang jaksa atau polisi dalam membuat pemeriksaan pendahuluan.
2) Akta oetentik dibedakan dalam : yang dibuat “oleh” dan yang dibuat “di hadapan” pejabat umum.
3) Isi dari akta oetentik adalah : semua “perbuatan” yang oleh undang- undang diwajibkan dibuat dalam akta oetentik dan semua “perjanjian” dan “penguasaan” yang dikehendaki oleh mereka yang berkepentingan. Suatu akta oetentik dapat berisikan suatu “perbuatan hukum” yang diwajibkan oleh undang-undang.
4) Akta oetentik memberikan kepastian mengenai penanggalan. Seoarang notaries memberikan kepastian tentang penanggalan pada aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut dalam akta bersangkutan tahun, bulan, dan tanggal pada waktu mana akta tersebut dibuat.
8. Fungsi Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi32 :
32 Ibid, hlm 183.
a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian-perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan.
b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban.
c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
9. Berakhirnya Perjanjian Kredit
Pada umumnya suatu perjanjian dapat dihapus, karena tujuan dari perjanjian tersebut telah tercapai, adanya kesepakatan dari kedua belah pihak atau dapat juga disebabkan karena alasan-alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu.
a. Adanya pernyataan penghentian perjanjian secara sepihak;
b. Adanya pembatalan oleh salah satu pihak terhadap perjanjiannya;
c. Ditentukan oleh para pihak di dalam perjanjiannya.
33 Xxx Xxxxx Tje’aman, 1986, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Xxxxxxx, Yogyakarta, Liberty, hlm 35.
C. Tinjauan Umum Tentang Jaminan
1. Pengertian Jaminan
Senada dengan itu, Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx merumuskan jaminan sebagai suatu tanggungan yang diberikan oleh seseorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.
Maksud dari jaminan yang disebutkan diatas adalah untuk menjaga agar debitur tidak lalai dalam membayar utangnya kembali pada kreditur dan selain itu juga harus meyakinkan kreditur bahwa modalnya itu pasti kembali, meskipun debitur wanprestasi sebab kreditur diberi hak untuk
34 Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Perikatan dan Jaminan, Yogyakarta, Liberty, hlm 50.
mengambil pelunasan terlebih dahulu dengan jalan lelang terhadap barang jaminan dengan demikian kedudukan kreditur aman.
2. Asas-asas Pemberian Jaminan
Ditentukan pasal 1131 KUHPerdata bahwa segala kebendaan yang berhutang, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.
Ditinaju dari sifatnya, yaitu :
a. Jaminan Bersifat Umum
Yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur kepada setiap kreditur, hak-hak tagihan mana yang tidak mempunyai hak saling mendahului (konkuren) antara kreditur yang satu dan kreditur lainnya.
b. Jaminan Bersifat Khusus
Yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, hak-hak tagihan mana mempunyai hak mendahului sehingga ia berkedudukan sebagai kreditur privilege (hak Preverent)
3. Sifat dan fungsi Jaminan
Sifat dari jaminan itu adalah accessoir yaitu merupakan suatu perjanjian yang dikaitkan dengan suatu perjanjian pokok, suatu perjanjian pokok yang bertujuan untuk terbayarnya hutang debitur dan jaminan itu merupakan suatu tanggungan terhadap pemberian kredit atau pinjaman uang yang dianggap telah memberikan kepastian hukum bagi pemberi modal dan berfungsi untuk memberikan rasa aman terhadap modal si kreditur, jadi dengan demikian fungsi jaminan bersifat positif dalam melancarkan dan mengamankan pemberian kredit atau pinjaman tersebut.
Sebagai perjanjian yang bersifat accessoir memperoleh akibat-akibat hukum seperti halnya perjanjian accessoir yang lainnya, yaitu :
a. Jika perjanjian pokok beralih maka perjanjian jaminan ikut beralih
b. Jika perjanjian pokok batal maka perjanjian jaminan ikut batal
c. Jika perjanjian pokok beralih karena cessi, subrogasi, maka perjanjian jaminan juga ikut beralih tanpa adanya penyerahan khusus
d. Adanya tergantung pada perjanjian pokok
e. Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok
Sifat dari hak-hak jaminan ada yang bersifat hak kebendaan atau yang memberikan kekuasaan langsung kepada bendanya yang bertujuan memberikan hak verhaal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya) kepada si kreditur terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu dari debitur
untuk pemenuhan piutangnya dan bersifat perorangan atau yang menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang satu dengan yang lain yang bertujuan meberikan verhaal kepada kreditur, terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya, adapun yang bersifat kebendaan dapat digolongkan antara lain hipotik, creditverband, gadai dan fidusia. Sedangkan yang bersifat perorangan disini adalah borgtocht (perjanjian penggunaan), perutangan tanggung menanggung, perjanjian garansi, dan lain-lain.
Mengenai jaminan yang bersifat kebendaan mempunyai ciri khas yaitu dapat dipertahankan (dimintakan pemenuhan) terhadap siapapun juga, yaitu terhadap meraka yang memperoleh hak baik berdasarkan atas hak yang umum maupun yang khusus, juga terhadap para kreditur dan pihak lawannya. Hak tersebut selalu mengikuti bendanya (droit de suite; zaaksgerolg), yang berarti bahwa yang mengikuti bendanya itu tidak hanya haknya tetapi juga kewenangan untuk menjual bendanya dan hak eksekusi.
Menurut Soebekti lembaga jaminan yang ideal adalah :
a. Yang dapat memberikan kepastian kepada pemberi kredit dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu bersedia untuk di eksekusi, yaitu bila perlu mudah diuangkan untuk melunasi hutang penerima kredit.
b. Yang tidak melemahkan pencari kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya.
c. Yang dapat secara mudah membantu memperoleh kredit untuk pihak yang membutuhkannya.35
4. Jenis-Jenis Jaminan
Pada dasarnya jenis-jenis jaminan kredit terdiri dari :
a. Jaminan perorangan
Jaminan perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur, apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi). Soebekti mengatakan :
“jaminan perorangan adalah selalu suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan orang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). Bahkan dapat diadakan diluar (tanpa) pengetahuan si berhutang tersebut.36
Dengan adanya perjanjian jaminan perorangan kreditur akan merasa lebih aman dari pada tidak ada jaminan sama sekali, karena dengan adanya jaminan pihak ketiga berarti kreditur dapat menagih tidak hanya kepada debitur tetapi juga dengan pihak ketiga yang kadang-
35 Soebekti, Op. Cit, hlm 35.
36 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerpan Asas Pemisahan Horizontal, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm 238.
kadang juga pihak ketiga ini dapat terdiri dari beberapa orang. Dimungkinkan pula penjaminan terhadap penjamin debitur yaitu jaminan terhadap pihak ketiga bahwa penjamin akan melaksanakan kewajibannya yaitu melunasi hutang debitur.
b. Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun hak benda, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian dari harta kekayaan, baik dari si debitur maupun pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur, apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).
Menurut sifatnya jaminan kebendaan ini terbagi dua yaitu :
1) Jaminan dengan benda berwujud (material)
2) Jaminan dengan benda tidak berwujud (imaterial)
Benda berwujud dapat berupa benda/barang bergerak dan atau benda/barang tidak bergerak. Sedangkan benda/barang tidak berwujud yang lazim diterima sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih debitur terhadap pihak ketiga.37
Perjanjian jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu yang dijadikan obyek jaminan untuk suatu ketika dapat
37 Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Op.Cit, hlm 214.
diuangkan bagi pelunasan atau pembayaran hutang apabila debitur melakukan ingkar janji. 38
Untuk kebendaan bergerak, dapat dibebankan dengan lembaga hak jaminan gadai dan fidusia sebagai jaminan utang, sementara untuk benda tidak bergerak, dapat dibebankan dengan hipotik, hak tanggungan, dan fidusia sebagai jaminan utang.39
5. Berakhirnya Jaminan
Segala hal yang berhubungan dengan suatu perjanjian pasti akan berakhir walaupun dengan cara yang beraneka ragam, baik itu atas kehendaknya orang yang bersangkutan atau batal demi hukum ataupun karena sebab-sebab yang lain dan hal ini sebagai perjanjian accessoir, maka jaminan akan berakhir, secara khusus di dalam KUHPerdata baru ini ditentukan jika benda yang dijadikan jaminan kembali ke dalam kekuasaan pemberi jaminan maka jaminan dengan sendirinya berakhir.
Kemungkinan yang paling besar untuk berakhirnya perutangan pokok yang dijamin terjadi karena berakhirnya perutangan pokok yang dijamin dengan benda jaminan. Sedangkan secara umum suatu jaminan itu berakhir karena sebab-sebab sebagai berikut :
a. Dengan terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai
38 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Op.Cit, hlm 236.
39 Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm 77.
b. Dengan hapus atau musnahnya benda jaminan
c. Dengan pencampuran, yaitu dalam hal pemegang jaminan menjadi pemilik barang jaminan
d. Pembayaran
e. Penawaran pembayaran
f. Pembebasan hutang
g. Musnahnya benda yang dijadikan untuk jaminan
h. Berakhirnya jangka waktu pemberian jaminan
i. Terpenuhinya syarat batal dalam akta perjanjian
j. Benda jaminan dicabut haknya demi kepentingan umum
k. Karena adanya penetapan tingkat-tingkatan kedudukan kreditur oleh hakim.
D. Tinjauan Tentang Xxxx Xxxxxxxx
Dana bergulir merupakan dana yang dipinjamkan untuk dikelola dan digulirkan kepada masyarakat oleh Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran yang bertujuan meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. Adapun karakteristik dari dana bergulir adalah sebagai berikut:
a. Dana tersebut merupakan bagian dari keuangan negara/daerah. Dana bergulir dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dan luar APBN/APBD misalnya dari masyarakat atau hibah dari luar negeri. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dana bergulir yang berasal dari luar APBN, diakui sebagai kekayaan negara/daerah jika dana itu diberikan dan/atau diterima atas nama pemerintah/pemerintah daerah. Contoh, pada tahun 2007, sebagai bagian dari program kepedulian terhadap masyarakat sekitarnya (corporate social responsibility), BUMN XYZ menghibahkan dana sebesar Rp 10 miliar kepada Pemda A yang diperuntukkan untuk pengembangan usaha kecil dan menengah dengan skim dana bergulir. Berdasarkan informasi di atas, dana sebesar Rp 10 miliar yang diperoleh Pemda A dari BUMN XYZ merupakan bagian dari keuangan Pemda A karena BUMN XYZ memberikan dana itu kepada Pemda A.
b. Dana tersebut dicantumkan dalam APBN/APBD dan/atau laporan keuangan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan semua pengeluaran negara/daerah dimasukkan dalam APBN/APBD. Oleh sebab itu alokasi anggaran untuk dana bergulir harus dimasukkan ke dalam APBN/APBD. Pencantuman alokasi anggaran untuk dana bergulir dapat dicantumkan dalam APBN/APBD awal atau revisi APBN/APBD (APBN-P atau APBD Perubahan)
c. Dana tersebut harus dikuasai, dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA). Pengertian dikuasai dan/atau dimiliki mempunyai makna yang luas yaitu PA/KPA mempunyai hak kepemilikan atau penguasaan atas dana bergulir, sementara dikendalikan maksudnya adalah PA/KPA mempunyai kewenangan dalam melakukan pembinaan, monitoring, pengawasan atau kegiatan lain dalam rangka pemberdayaan dana bergulir.
d. Dana tersebut merupakan dana yang disalurkan kepada masyarakat ditagih kembali dari masyarakat dengan atau tanpa nilai tambah, selanjutnya dana disalurkan kembali kepada masyarakat/kelompok masyarakat demikian seterusnya (bergulir).
e. Pemerintah dapat menarik kembali dana bergulir. Dana yang digulirkan oleh pemerintah dapat ditagih oleh Kementerian Negara/Lembaga baik untuk dihentikan pergulirannya atau akan digulirkan kembali kepada masyarakat.
Contoh dana bergulir, Instansi A di lingkungan Departemen ABC yang mempunyai program pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Pada Tahun Anggaran 2007, instansi A mendapat alokasi anggaran dari APBN sebesar Rp 50 miliar yang akan disalurkan untuk membantu permodalan para pedagang kecil. Kriteria pengusaha kecil dan menengah ditentukan oleh instansi. Instansi A menyalurkan dana maksimum sebesar Rp 50 juta kepada pedagang/kelompok pedagang dalam bentuk pinjaman lunak dengan masa pengembalian paling lama 2 tahun dan suku bunga sebesar 15 % per tahun.
Pedagang/kelompok pedagang tersebut harus mengembalikan dana sesuai dengan perjanjian kepada instansi A, dan selanjutnya dana akan disalurkan kembali kepada pedagang/kelompok pedagang yang lain, demikian seterusnya, dana tersebut akan digulirkan sehingga semakin banyak pedagang/kelompok pedagang yang terlayani. Dana dikelola oleh Instansi A dan dipertanggungjawabkan sebagai aset pemerintah berupa Dana Bergulir melalui neraca instansi A dan Departemen ABC.