BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA, PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI, DAN LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI
A. Perjanjian Pada Umumnya
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu perikatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1233 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata bahwa tiap –tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena undang – undang. Dalam suatu perikatan terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain.
Perjanjian bersifat timbal–balik dimana hak diterima dan kewajiban harus dipenuhi oleh pihak yang menjanjikan sesuatu atau penawaran dalam perjanjian tersebut hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam perikatan tersebut adalah antara dua pihak. Pihak yang berhak atas prestasi (pihak yang aktif) adalah kreditur atau orang yang berpiutang.
Pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi (pihak yang pasif) adalah debitur yang atau orang yang berhutang (R. Syahrani, 2000, hal. 205). Kreditur dan debitur inilah yang disebut subyek
47
perikatan. Obyek perikatan yang merupakan hak kreditur dan kewajiban debitur biasanya dinamakan “prestasi”.
Berdasarkan Pasal 1234 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata prestasi ini dapat berupa “memberi sesuatu”, “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Apa yang dimaksud dengan “sesuatu” disini tergantung daripada maksud atau tujuan para pihak yang mengadakan hubungan hukum, apa yang akan diberikan, yang harus diperbuat dan tidak boleh diperbuat.
Klausa “sesuatu” tersebut bisa dalam bentuk materiil (berwujud) dan bisa dalam bentuk immateriil (tidak berwujud)(Xxxxxx Xxxxxxxx, 2006, hal. 206). Sedangkan pengertian perjanjian itu sendiri terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih(Xxxxxx Xxxx, 2012, hal. 3).
Pasal 1313 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata memberikan definisi persetujuan sebagai berikut “persetujuan adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.
Sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu(R. Setiawan, 1977, hal. 49):
a. Perbuatan harus diartikaan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Perumusan definisi tersebut menjadi: persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap datu orang atau lebih. Persetujuan selalu merupakan perbuatan hukum bersegi dua
atau jamak, di mana untuk itu diperlukan kata sepakat para pihak.
Pada kenyataannya tidak semua perbuatan hukum yang bersegi banyak merupakan persetujuan, misalnya pemilihan umum. Pasal 1313 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata hanya mengenai persetujuan – persetujuan yang menimbulkan perikatan, yaitu persetujuan obligatoir(R. Setiawan, 1977).
Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx dalam bukunya berjudul “Hukum PerdataIndonesia” berpendapat bahwa definisi perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu(Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, 2000, hal. 224):
a. Hanya menyangkut sepihak saja.
Berdasarkan Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri” yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, sehingga ada konsensus antara kedua belah pihak
b. Mencakup juga tanpa consensus.
Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, sehingga seharusnya dipakai istilah “persetujuan”;
c. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalambidang hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diaturdalam Buku III Kitab UndangUndang Hukum Perdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian;
d. Tanpa menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas.
Tanpa menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas. Dalam rumusan Pasal 1313 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Menurut Subekti, perikatan didefinisikan sebagai hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain dan yang memberi hak pada satu pihak untuk menuntut sesuatu dari pihak lainnya dan lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Menurut Subekti, definisi perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal(Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, 2010, hal. 14). Xxxxxxxxxxxxxx berpendapat, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat – akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh Undang – undang.
KRMT Xxxxxxxxxxxxxx berpendapat, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau
lebih untuk menimbulkan akibat – akibat hukum yangdapat dipaksakan oleh Undang – undang.
Perjanjian merupakan suatu hal yang dibuat dari pengetahuan yang memiliki suatu kehendak dari kedua belah pihak atau lebih dengan mencapai suatu tujuan dari yang disepakati. Jika seseorang ingin melakukan perjanjian maka haruslah seseorang itu memenuhi syarat – syarat yang diperlukan untuk sahnya perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.
Syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian atau biasa juga disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut syarat objektif. Kesepakatan yang dimaksudkan dalam Pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Sementara itu kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukanperbuatan hukum (perjanjian)(Xxxxxx Xxxx, 2013, hal. 67).
2. Syarat Sah Perjanjian
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan syarat-syarat terjadinya suatu persetujuan yang sah:
a. Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah sepakatnya para pihak yang mengikatkan diri, artinya kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai
kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri, dan kemauan itu harus dinyatakan dengan tegas atau secara diam. Dengan demikian, suatu perjanjian itu tidak sah apabila dibuat atau didasarkan kepada paksaan penipuan atau kekhilafan.
b. Kecakapan
Yang dimaksud dengan kecakapan adalah kecakapan membuat suatu perjanjian. Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap.
Orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian antara lain adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan perempuan yang telah kawin. Menurut Pasal 330 KUHP Perdata orang- orang yang dianggap belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan tidak telah kawin, tetapi apabila seorang berumur di bawah 21 tahun tetapi sudah kawin dianggap telah dewasa menurut hukum.
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan gila, dungu, atau lemah akal walaupun ia kadang-kadang cakap
menggunakan pikirannya, dan seoarng dewasa yang boros (Pasal 433 KUH Perdata). Sedangkan perempuan yang telah kawin menurut Pasal 1330 ayat (3) KUH Perdata dan Pasal 108 KUH Perdata, disebut tidak cakap membuat suatu perjanjian.
c. Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah harus suatu barang yang cukup jelas atau tertentu yakni paling sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata); Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUH Perdata).
d. Suatu sebab yang tidak terlarang
Meskipun siapa saja dapat mebuat perjanjian ada saja, tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu sebuah perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketentuan umum, moral dan kesusilaan (Pasal 1335 KUH Perdata jo Pasal 1337 KUH Perdata).
Berdasarkan syarat sah perjanjian diatas, Dua syarat yang pertama dinamakan sebagai syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif
karena mengenai perjanjian sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Apabila syarat-syarat subyektif tidak dipenuhi. Perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Hak untuk meminta pembatalan perjanjian ini dibatasi dalam waktu 5 tahun sesuai dengan Pasal 1454 KUHPerdata.
Selama tidak dibatalkan perjanjian tersebut tetap mengikat. Sedangkan apabila syarat-syarat obyektif yang tidak dipenuhi, perjanjiannya batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan Sehingga tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim (pengadilan).
3. Unsur Unsur Perjanjian
a. Unsur Esensialia
Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam perjanjian tanpa adanya unsur esensialia maka tidak ada perjanjian. Contohnya dalam perjanjian jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam perjanjian jual beli, perjanjian tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.
Dengan kata lain unsur ini lazim disebut dengan inti perjanjian. Unsur esensialia adalah unsur yang mutlak harus ada untuk terjadinya perjanjian, agar perjanjian itu sah dan ini merupakan syarat sahnya perjanjian. Jadi, keempat syarat dalam Pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata merupakan unsur esensialia. Dengan kata lain, sifat esensialia perjanjian adalah sifat yang menentukan perjanjian itu tercipta (oordeel)
b. Unsur Naturalia
Unsur naturalia adalah unsur yang telah diatur dalam undang undang. Dengan demikian apabila tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, maka undnag- undanglah yang mengaturnya. Jadi, unsur naturalia merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam perjanjian. Contohnya jika dalam perjanjian tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersembunyi.
Dengan kata lain unsur ini disebut bagian non inti perjanjian. Unsur naturalia adalah unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam – diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian.
Unsur ini merupakan sifat bawaan (natuur) atau melekat pada perjanjian. Hal ini dicantumkan dalam Pasal 1339 Juncto Pasal 1347 Kitab Undang Undang Hukum Perdata Bahwa :
“Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”
Artinya bahwa dalam suatu perjanjian tidak hanya mengikat apa yang ada di dalam Perjanjian tersebut, melainkan berlandaskan kepada Keadilan, Kebiasan, atau undang undang. Serta Menurut Pasal 1347 Kitab Undang Undang Hukum perdata dijelaskan bahwa :
“Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam persetujuan.”
Berdasarkan hal tersebut mempertegas bahwa Hal nya Kebiasaan telah dianggap termasuk kedalam suatu perjanjian meskipun tidak tercantum dalam perjanjian tersebut.
c. Unsur Aksidentalia
Unsur aksidentalia adalah unsur yang akan ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Contohnya dalam perjanjian jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa pihak debitur lalai membayar
utangnya, dikenakan denda 2 (dua) persen perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, barang yang sudah dapat dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditur tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu perjanjian, yang bukan merupakan unsur esensial dalam perjanjian(X.Xxxxxxxx, 1978, hal. 50).
4. Jenis Jenis Perjanjian
Menurut Xxxxxxx, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu(Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, 2001, hal. 66):
a. Perjanjian Xxxxxx Xxxxx
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata.
Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya.
b. Perjanjian Sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun.
Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.
c. Perjanjian Dengan Percuma
Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.
d. Perjanjian Konsensuil, Riil dan Formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata.
Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang- undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.
e. Perjanjian Bernama Xxxx Xxxxxx Xxx Xxxjanjian Tak Bernama
Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke III Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain lain.. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perxxxxxxx xxxxxxx, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.
f. Perjanjian Obligatoir (Obligatoir Overeenkomst)
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Perjanjian obligatoir, sebagaimana secara umum disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata. Perjanjian
obligatoir adalah perjanjian yang timbul karena kesepakatan dari dua pihak atau lebih dengan tujuan timbulnya suatu perikatan untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik, dapat dicermati penggunaan dan pembedaan istilah perjanjian dan perikatan.
g. Perjanjian Kebendaan (Zakelijk Overeenkomst)
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblilige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer)
Pada umumnya untuk terbentuknya perjanjian di bidang kebendaan, khususnya untuk benda tetap dipersyaratkan selain kata sepakat, juga bahwa perjanjian tersebut dibuat dalam akta yang dibuat di hadapan pejabat tertentu dan diikuti dengan pendaftaran (balik nama) dari perbuatan hukum berdasarkan akta tersebut pada register umum ( penyerahan hak kebendaannya)(Xxxxxxx Xxxxxxx, 2010).
Peralihan yang berkaitan dengan benda bergerak berwujud tidak memerlukan akta, tetapi cukup dengan penyerahan nyata dan kata sepakat adalah unsur yang
paling menentukan untuk adanya perjanjian. Jual beli adalah suatu perjanjian dimana satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, sedangkan pihak lain mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Menurut ketentuan Pasal 584 KUHPerdata, hak milik atas sesuatu kebendaan tidak dapat diperoleh dengan cara lain tetapi dengan pemilikan, pelekatan, daluarsa, pewarisan baik menurut undang-undang maupun wasiat dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak.
h. Perjanjian Konsensuil
Perjanjian Konsensuil adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338). Satu asas hukum umum dari hukum perjanjian menyatakan bahwa untuk terbentuknya perikatan cukup dengan adanya kata sepakat.
i. Perjanjian Riil
Yaitu suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak. Dalam KUHPerdata mengenal pula jenis perjanjian lain
yang mensyaratkan tidak saja kata sepakat, tetapi juga sekaligus penyerahan objek perjanjian atau bendanya. Perjanjian demikian digolongkan sebagai perjanjian riil. Perjanjian rill ada beberapa macam yakni perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam meminjam, perjanjian hadiah benda bergerak bertubuh atau surat tagih atas tunjuk.
j. Perjanjian Liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada (Pasal 1438 KUHPerdata).78
k. Perjanjian Pembuktian (Xxxxxxxxxxxxxxxxxxx)
Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. Pada umumnya tujuan dari dibuatnya perjanjian di atas adalah membatasi ketentuan mengenai cara atau alat pembuktian atau menghindari pengajian perlawanan pembuktian (tegenbewijs).
Pembatasan atau penyimpangan mengenai peraturan pembuktian tersebut akan diperkenankan dilakukan melalui perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan undang- undang, ketertiban umum dan kesusilaan yang baik.
Melalui perjanjian mengenai pembuktian, para pihak dimungkinkan untuk saling memperjanjikan dalam
satu klausula bahwa mereka (bersepakat) untuk hanya menggunakan satu alat bukti atau menyerahkan (beban) pembuktian pada salah satu pihak, yakni apabila suatu saat perlu adanya pembuktian.
l. Perjanjian Untung-untungan
Menurut Xxxxx 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.
m. Perjanjian Publik
Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang sama (co-ordinated).
n. Perjanjian Campuran
Perjanjuan campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian di dalamnya. Misalnya perjanjian rumah kos, perjanjian ini memuat ketentuanketentuan tentang perjanjian seewa (kamar), jual beli (bila berikut menyediakan makanan), dan perjanjian
untuk melakukan pekerjaan (mencuci dan menyetrika pakaian, membersihkan kamar, dan sebagainya).
5. Asas Asas Hukum Perjanjian
Dalam hukum perjanjian, dikenal adanya beberapa azas penting yang merupakan dasar kehendak masing-masing pihak di dalam mencapai tujuannya. Asas-asas tersebut antara lain :
a. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme terkandung di dalam ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian sah jika terdapat kesepakatan diantara para pihak yang nantinya akan mengikat para pihak. Berdasarkan asas konsesnualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.
Namun dalam keadaan tertentu dimana didalam perjanjian ada suatu hal yang mencerminkan tidak terwujudnya kesepakatan. Hal ini disebabkan adanya cacat kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam BW cacat kehendak meliputi 3 (tiga) hal, yaitu :
1) Kesesatan atau dwaling (Pasal 1322 KUHPerdata),
2) Penipuan atau bedrog (Pasal 1323 KUHPerdata),
3) Paksaan atau dwang (Pasal 1328 KUHPerdata)
Asas konsensualisme dipercaya dengan menghormati kesepakatan bersama secara tidak langsung juga menghormati martabat manusia. Subekti menyatakan bahwa hal ini merupakan puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul dari pepatah Belanda “een man een man, een word een word”, yang maksudnya dengan ditetapkannya perkataan seseorang, maka orang itu ditingkatkan martabatnya sebagai manusia.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Kalau hukum benda dikatakan mempunyai sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian mempunyai sistem terbuka. Sistem tertutup hukum benda artinya bahwa macam-macamnya hak atas benda adalah terbatas pada peraturan-peraturan yang mengenai hak atas benda adalah terbatas pada peraturan-peraturan yang mengenai hak atas benda itu, bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan lebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Pasal Pasal dalam hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law) yang
berarti bahwa Pasal-Pasal itu boleh dikesampingkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari Pasal- Pasal hukum perjanjian.
Para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan itu. tetapi kebebasan itu dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan Undang-Undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak mengkhendaki cara-cara tersendiri, tetapi apabila tidak ditentukan lain maka ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
c. Asas Kepribadian (Personality)
Asas personalitas ini diartikan sebagai asas kepribadian. Asas kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perorangan saja. Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Xxxx kepribadian berkaitan dengan para pihak yang terikat perjanjian. Pasal 1315 KUH Perdata menyatakan “umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Inti daripada ketentuan tersebut pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji melainkan untuk dirinya. Berdasarkan Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal
1317 KUH Perdata yang menyatakan:
“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/ kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya
mengatur perxxxxxan untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
Jika dibandingkan kedua Pasal itu, maka Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.
d. Asas Itikad Baik
Sebuah asas hukum perjanjian yang termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yaitu :
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan- alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”
Itikad baik diwaktu membuat suatu perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang
buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan- kesulitan
Jika itikad baik waktu membuat suatu perjanjian berarti kejujuran, maka itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang telah dijanjikan. Sebagaimana diketahui maka Pasal 1338 (3) B.W memerintahkan supaya semua perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik.
e. Asas Kepatutan
Asas kepatutan dalam perjanjian harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. Asas kepatutan harus dikaitkan dengan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga mencerminkan nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
B. Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
1. Pengertian Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
Seiring dengan adanya globalisasi yang menghadirkan internet dengan berbagai fasilitas serta keunggulan yang
dimilikinya melahirkan perjanjianperjanjian online atau berbasis Teknologi Informasi dalam sektor layanan jasa keuangan. Perjanjian online secara sepintas adalah perjanjian yang seluruhnya lahir atau sebagian lahir dengan bantuan dan fasilitasi di atas jaringan computer yang saling terhubung. Dimana perjanjian tersebut termuat dalam dokumen elektronik dan media elektronik lainnya(Ernama, Budiharto, 2017).
Hubungan hukum di dalam fintech berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/201 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBT) timbul karena perjanjian pinjam meminjam uang. Pinjam meminjam menurut Pasal 1754 KUH Perdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.
Subjek dalam perjanjian pinjam meminjam uang adalah pemberi pinjaman (kreditur) dan penerima pinjaman (debitur). Sementara objek dalam perjanjian pinjam meminjam uang adalah semua barang-barang yang habis dipakai dengan syarat barang tersebut harus tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Perjanjian pinjam meminjam uang online atau dikenal juga dengan nama Peer to Peer Lending (P2P Lending) pada dasarnya sama seperti perjanjian pinjam meminjam uang konvensional, hanya saja yang membedakan adalah para pihak tidak bertemu langsung, para pihak tidak perlu saling mengenal karena terdapat penyelenggara yang akan mempertemukan para pihak dan pelaksanan perjanjian dilakukan secara online.
Lahirnya perjanjian pinjam meminjam uang online diawali dengan adanya penawaran yang dilakukan oleh penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi dan dilanjutkan dengan penerimaan yang dilakukan oleh nasabah. Penawaran dan penerimaan dalam perjanjian ini tentu saja memiliki mekanisme yang berbeda dari perjanjian pinjam meminjam konvensional, hal ini dilihat dari cara perjanjian online itu lahir.
Secara teoritis, Peer-to-peer lending atau P2P Lending adalah kegiatan pinjam meminjam antar perseorangan. Praktisi ini sudah lama berjalan dalam bentuk yang berbeda, seringkali dalam bentuk perjanjian informal. Dengan berkembangnya teknologi dan e-commerce, kegiatan peminjaman turut berkembang dalam bentuk online dalam bentuk platform serupa dengan ecommerce.
Dengan itu, seorang peminjam bisa mendapatkan pendanaan dari banyak individu. Dalam peer lending, kegiatan
dilakukan secara online melalui platform website dari berbagai perusahaan peer lending. Terdapat berbagai macam jenis platform, produk, dan teknologi untuk menganalisa kredit.
Peminjam dan pendana tidak bertemu secara fisik dan seringkali tidak saling mengenal. Peer lending tidak sama dan tidak bisa dikategorikan dalam bentuk bentuk institusi finansial tradisional: himpunan deposito, investasi, ataupun asuransi. Karena itu, peer lending dikategorikan sebagai produk finansial alternatif(Xxxx Xxxxxx, 2017, hal. 51).
Proses aplikasi pinjaman peer lending lazimnya mengikuti proses berikut. Peminjam masuk ke website, registrasi dan mengisi form aplikasi. Platform kemudian memverifikasi dan menganalisa kualifikasi pinjaman tersebut. Pinjaman yang berhasil lolos di posting di website di mana pendana bisa memberikan komitmen dana untuk pinjaman itu. Ada beberapa cara yang di adopsi berbagai platform peer lending untuk mencocokkan peminjam dengan pendana.
2. Para Pihak dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
a. Penyelenggara
Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut Pexxxxxxxxxxx xxxxxxx Xxxxx 0 Angka (6) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi.
Penyelenggara dalam pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam uang online ini sebagai Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang berbentuk badan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi. Badan hukum yang menjadi penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi tersebut wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK.
b. Penerima Pinjaman
Penerima pinjaman menurut Pasal 1 Angka (7) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi. Penerima pinjaman dana yang kemudian dipertemukan oleh penyelenggara dengan pemberi pinjaman.
Ketentuan penerima pinjaman menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang perseorangan Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Ketentuan mengenai syarat- syarat
penerima pinjaman merupakan kebijakan masing-masing penyelenggara.
c. Pemberi Pinjaman
Pemberi pinjaman menurut Pasal 1 Angka (8) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang, badan hukum dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian layanan pinjam meminjma berbasis Teknologi Informasi.
Penerima pinjaman merupakan pihak yang memberikan pinjaman atau pendanaan kepada penerima pinjaman yang membutuhkan dana yang kemudian dipertemukan oleh penyelenggara. Ketentuan pemberi pinjaman menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang perseorangan Warga Negara Indonesia, orang perseorangan Warga Negara Asing, badan hukum Indonesia atau asing, badan usaha Indonesia atau asing dan/atau lembaga Internasional. Ketentuan mengenai syarat-syarat pemberi pinjaman merupakan kebijakan masing-masing penyelenggara.
3. Hubungan Hukum Penyelenggara dengan Penerima Pinjaman
Antara pihak penyelenggara dengan penerima pinjaman, terjadi suatu hubungan hukum dalam bentuk perjanjian. Namun, perjanjian antara penyelenggara dan penerima pinjaman berupa
perjanjian pengguna layanan pinjam peminjam uang berbasis Teknologi Informasi.
Perjanjian tersebut lahir ketika penerima pinjaman telah melakukan penerimaan terkait dengan segala ketentuan penggunaan yang ditetapkan oleh penyelenggara dan kemudian mengajukan permohonan peminjaman berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan pula oleh penyelenggara.
Dalam perjanjian yang mengikat antara penyelenggara dan penerima pinjaman adalah terkait dengan proses pinjaman yang akan di dapatkan oleh penerima pinjaman dari pemberi pinjaman melalui perantaraan penyelenggara serta mekanisme pembayaran atau pengembalian pinjaman tersebut.
Perjanjian ini dapat dianggap sebagai awal terjadinya perjanjian pinjam meminjam. Karena pada tahap ini hadirnya para penerima pinjaman yang membutuhkan dana kemudian mengikatkan diri pada penyelenggara untuk dapat dipertemukan dengan para pemberi pinjaman.
4. Hubungan Hukum Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman
Antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman terjadi suatu hubungan hukum dalam bentuk perjanjian penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi. Perjanjian tersebut lahir karena pemberi pinjaman mengikatkan diri pada penyelenggara untuk memberikan pinjaman/pendanaan
terhadap tawaran pinjaman dari penerima pinjaman yang diajukan melalui penyelenggara. Perjanjian penyelenggaraan ini dianggap sebagai permulaan dari perjanjian pinjam meminjam yang akan terjadi.
Penjanjian pinjam meminjam baru akan terjadi ketika pemberi pinjaman setuju untuk melakukan pendanaan. Namun, keikutsertaan penyelenggara dalam perjanjian yang akan terjadi antara penerima pinjaman dan penerima pinjaman hanya sebagai perantara yang mempertemukan kedua belah pihak.
Perjanjian penyelenggaraan tersebut diperkuat dengan adanya konfirmasi terhadap penyelenggara terkait dengan persetujuan untuk melakukan pendanaan terhadap tawaran yang diajukan. Konfirmasi tersebut ditandai dengan dikirimnya formulir pendanaan oleh pemberi pinjaman.
Perjanjian penyelenggaran tersebut tentu menimbulkan hak dan kewajiban bagi penyelenggara dan pemberi pinjaman. Kewajiban penyelenggara salah satunya adalah wajib menyediakan akses informasi kepada pemberi pinjaman atas penggunaan dananya dan informasi penerima pinjaman. Informasi penggunaan dana yang diberikan oleh penyelenggara paling sedikit harus memuat :
a. Jumlah dana yang dipinjamkan kepada penerima pinjaman;
b. Tujuan pemanfaatan dana oleh penerima pinjaman;
c. Besaran bunga pinjaman; dan
d. Jangka waktu pinjaman.
Kewajiban pemberi pinjaman salah satunya adalah melakukan pendanaan sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan sebelumnya dalam formulir pendanaan yang telah diajukan pada penyelenggara
5. Hubungan Hukum Penerima Pinjaman dengan Pemberi Pinjaman
Antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman terdapat hubungan hukum dalam bentuk perjanjian pemberian pinjaman/perjanjian pinjam meminjam uang. Pinjam meminjam menurut Pasal 1754 KUH Perdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.
Objek dalam perjanjian pinjam meminjam ini adalah uang. Pelaksanaan perjanjian meminjam uang ini juga dilaksanakan online. Terjadinya perjanjian pinjam meminjam uang diawali dengan pengajuan permohonan peminjaman oleh penerima pinjaman melalui fasilitas formulir yang disediakan oleh penyelenggara.
Kemudian aplikasi permohonan tersebut dianalisis dan dinilai oleh penyelenggara yang bertindak sebagai perantara/wadah
(marketplace) untuk kemudian ditawarkan pada pemberi pinjaman. Ketika dalam hal ini pemberi pinjaman setuju untuk melakukan pendanaan, pemberi pinjaman memberikan konfirmasi melalui formulir yang telah disediakan pula oleh penyelenggara. Setelah proses tersebut perjanjian pinjam meminjam uang barulah terjadi antara penerima pinjaman dan pemberi pinjaman.
C. Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Dalam Pasal 1 angka (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBT), bahwa layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi didefinisikan sebagai penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara lansung melalui sistem elektronik dengan
menggunakan jaringan internet.
Dalam perjanjian layanan pinjam meminjam uang yang diatur di dalam fintech berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBT). Diatur bahwa dalam Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan , Perjanjian pelaksanaan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi meliputi :
a. Perjanjian antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman; dan
b. Perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman.
Bahwa selanjutnya dalam Pasal 19, dijelaskan bahwa Perjanjian penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman dituangkan dalam dokumen elektronik.
Dokumen elektronik dalam Pasal 1 angka (12) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, didefinisikan sebagai setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2) wajib paling sedikit memuat:
a. nomor perjanjian;
b. tanggal perxxxxxxx;
c. identitas para pihak;
d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;
e. jumlah pinjaman;
f. suku bunga pinjaman;
g. besarnya komisi;
h. jangka waktu;
i. rincian biaya terkait;
j. ketentuan mengenai denda (jika ada);
k. mekanisme penyelesaian sengketa; dan
l. mekanisme penyelesaian dalam hal penyelenggara tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya
Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada Pemberi Pinjaman atas penggunaan dananya. Akses informasi tidak termasuk informasi terkait identitas Penerima Pinjaman. Informasi penggunaan dana paling sedikit memuat:
a. jumlah dana yang dipinjamkan kepada Penerima Pinjaman;
b. tujuan pemanfaatan dana oleh Penerima Pinjaman;
c. besaran bunga pinjaman; dan
d. jangka waktu pinjaman.
Dalam perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam Pasal (20) dijelaskan lebih lanjut bahwa perjanjian pemberian pinjaman antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dituangkan dalam dokumen elektronik, yang wajib paling sedikit memuat:
a. nomor perjanjian;
b. tanggal perxxxxxxx;
c. identitas para pihak
d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;
e. jumlah pinjaman;
f. suku bunga pinjaman;
g. nilai angsuran;
h. jangka waktu;
i. objek jaminan (jika ada);
j. rincian biaya terkait;
k. ketentuan mengenai denda (jika ada); dan
l. mekanisme penyelesaian sengketa.
Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada Penerima Pinjaman atas posisi pinjaman yang diterima. Akses informasi tidak termasuk informasi terkait identitas Pemberi Pinjaman. Dijelaskan dalam Pasal 23, bahwa Penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan virtual account dalam rangka Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Penyelenggara wajib menyediakan virtual account bagi setiap Pemberi Pinjaman. Dalam rangka pelunasan pinjaman, Penerima Pinjaman melakukan pembayaran melalui escrowaccount Penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account Pemberi Pinjaman.