PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN
PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN
PERIODE II TAHUN ANGGARAN 2020 NOMOR : 1273-Int-KLPPM/UNTAR/XI/2020
Pada hari ini Selasa tanggal 6 bulan Oktober tahun 2020 yang bertanda tangan dibawah
ini:
1. Nama : Xxx Xxx Xxxx, Ph.D.
Jabatan : Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Alamat : Letjen S. Xxxxxx Xx.0, Xxxxxx, Xxxxxx xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx, 11440 selanjutnya disebut Pihak Pertama
2. Nama : Dr. Raja Xxxxx Xxxxxxxxx, X.Xx Jabatan : Dosen Tetap
Fakultas: Psikologi
Alamat : Letjen S. Xxxxxx Xx.0, Xxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx, 00000
Bertindak untuk diri sendiri dan atas nama anggota pelaksana Penelitian : Nama : Xx Xxxx Xxxxxxxx, M.Psi., Psikolog
Jabatan: Dosen Tetap selanjutnya disebut Pihak Kedua
Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat mengadakan Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor 1273-Int-KLPPM/UNTAR/XI/2020 sebagai berikut:
Pasal 1
(1). Pihak Pertama menugaskan Pihak Kedua untuk melaksanakan Penelitian atas nama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Tarumanagara dengan judul “Pengembangan Modul Pelatihan Spritual Well-Being untuk Membangun Sikap Toleransi” (Pendamping Hibah RistekBRIN)
(2). Biaya pelaksanaan penelitian sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas dibebankan kepada Pihak Pertama melalui anggaran Universitas Tarumanagara.
(3). Besaran biaya pelaksanaan yang diberikan kepada Pihak Kedua sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), diberikan dalam 2 (dua) tahap masing-masing sebesar 50%.
(4). Pencairan biaya pelaksanaan Tahap I akan diberikan setelah penandatanganan Perjanjian Pelaksanaan Penelitian.
(5). Pencairan biaya pelaksanaan Tahap II akan diberikan setelah Pihak Kedua
melaksanakan Penelitian, mengumpulkan:
a. Hard copy berupa laporan akhir sebanyak 5 (lima) eksemplar, logbook 1(satu) eksemplar, laporan pertanggungjawaban keuangan sebanyak 1 (satu) eksemplar, luaran penelitian; dan
b. Softcopy laporan akhir, logbook, laporan pertanggungjawaban keuangan, dan luaran penelitian.
(6). Rincian biaya pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) terlampir dalam Lampiran Rencana Penggunaan Biaya dan Rekapitulasi Penggunaan Biaya yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian ini.
(7). Penggunaan biaya penelitian oleh Pihak Kedua wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak melampaui batas biaya tiap pos anggaran yang telah ditetapkan; dan
b. Peralatan yang dibeli dengan anggaran biaya penelitian menjadi milik Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(8). Daftar peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) di atas wajib diserahkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah penelitian selesai.
Pasal 2
(1). Pelaksanaan kegiatan Penelitian akan dilakukan oleh Pihak Kedua sesuai dengan proposal yang telah disetujui dan mendapatkan pembiayaan dari Pihak Pertama.
(2). Pelaksanaan kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam Periode II, terhitung sejak September-Desember 2020
Pasal 3
(1). Pihak Pertama mengadakan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh Pihak Kedua.
(2). Pihak Kedua diwajibkan mengikuti kegiatan monitoring dan evaluasi sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Pihak Pertama.
(3). Sebelum pelaksanaan monitoring dan evaluasi, Pihak Kedua wajib mengisi lembar monitoring dan evaluasi serta melampirkan laporan kemajuan pelaksanaan penelitian dan logbook.
(4). Laporan Kemajuan disusun oleh Pihak Kedua sesuai dengan Panduan Penelitian yang telah ditetapkan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
(5). Lembar monitoring dan evaluasi, laporan kemajuan dan logbook diserahkan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan.
Pasal 4
(1). Pihak Kedua wajib mengumpulkan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan luaran.
(2). Laporan Akhir disusun oleh Pihak Kedua sesuai dengan Panduan Penelitian yang telah ditetapkan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
(3). Logbook yang dikumpulkan memuat secara rinci tahapan kegiatan yang telahdilakukan oleh Pihak Kedua dalam pelaksanaan Penelitian.
(4). Laporan Pertanggungjawaban yang dikumpulkan Pihak Kedua memuat secara rinci penggunaan biaya pelaksanaan Penelitian yang disertai dengan bukti-bukti.
(5). Batas waktu pengumpulan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan luaran wajib berupa dokumentasi hasil uji coba produk (Desember 2020)
(6). Apabila Pihak Kedua tidak mengumpulkan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan Luaran sebagaimana disebutkan dalam ayat (5), maka Pihak Pertama akan memberikan sanksi.
(7). Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa proposal penelitian pada periode berikutnya tidak akan diproses untuk mendapatkan pendanaan pembiayaan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Pasal 5
(1). Dalam hal tertentu Pihak Kedua dapat meminta kepada Pihak Pertama untuk memperpanjang batas waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (5) di atas dengan disertai alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2). Pihak Pertama berwenang memutuskan menerima atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3). Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) kali.
Pasal 6
(1). Pihak Pertama berhak mempublikasikan ringkasan laporan penelitian yang dibuat Pihak Kedua ke dalam salah satu jurnal ilmiah yang terbit di lingkungan Universitas Tarumanagara.
(2). Pihak Kedua memegang Hak Cipta dan mendapatkan Honorarium atas penerbitan ringkasan laporan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Penggandaan dan publikasi dalam bentuk apapun atas hasil penelitian hanya dapat dilakukan oleh Pihak Kedua setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Pihak Pertama.
Pasal 7
(1). Apabila terjadi perselisihan menyangkut pelaksanaan Penelitian ini, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah.
(2). Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diserahkan kepada Pimpinan Universitas Tarumanagara.
(3). Keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bersifat final dan mengikat.
Demikian Perjanjian Pelaksanaan Penelitian ini dibuat dengan sebenar-benarnya pada hari, tanggal dan bulan tersebut diatas dalam rangkap 2 (dua), yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Pihak Pertama
Pihak Kedua
Jap Tji Beng, Ph.D. Dr. Raja Xxxxx Xxxxxxxxx, X.Xx
RENCANA PENGGUNAAN BIAYA (Rp)
Rencana Penggunan Biaya | Jumlah |
Honorarium | Rp. 4.500.000,- |
Pelaksanaan penelitian | Rp 10.500.000,- |
REKAPITULASI RENCANA PENGGUNAAN BIAYA (Rp)
No. | Pos Anggaran | Tahap I | Tahap II | Jumlah |
1. | Honorarium | 2.250.000,- | 2.250.000,- | 4.500.000,- |
2. | Pelaksanaan penelitian | 5.250.000,- | 5.250.000,- | 10.500.000,- |
Jumlah | 7.500.000,- | 7.500.000,- | 15.000.000,- |
Jakarta, Oktober 2020 Peneliti,
(Dr. Raja Xxxxx Xxxxxxxxx, X.Xx)
LAPORAN PENELITIAN
YANG DIAJUKAN KE DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (DPPM)
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PENGEMBANGAN MODUL PELATIHAN SPIRITUAL WELL-BEING UNTUK MEMBANGUN SIKAP TOLERANSI
(PENDAMPING HIBAH KEMENRISTEKBRIN 2020)
Diusulkan oleh: Ketua Tim
DR. RAJA XXXXX XXXXXXXXX NIDN/NIP: 0314046703/10707007
Anggota:
XX. XXXX XXXXXXXX, M.PSI NIDK/NIP: 0301076602
Mahasiswa:
Xxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx/NIM: 705170008
Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS TARUMANAGARA JAKARTA
DESEMBER 2020
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul: Pengembangan Modul Pelatihan Spiritual Well-Being untuk membangun sikap toleransi (Pendamping Hibah RistekBRIN)
2. Ketua Xxx Xxxxusul:
a. Nama Lengkap : Dr. Raja Xxxxx Xxxxxxxxx
b. NIP/NIDN : 10707007/0314046703
c. Jabatan/Gol : Lektor/IIIC
d. Program studi : Ilmu Psikologi
e. Fakultas : Psikologi
f. Bidang keahlian : Filsafat, Psikologi pendidikan, spiritual well-being
g. Alamat Kantor : Jln. S. Xxxxxx no 1 Jakarta
h. Jabatan Struktural: Dosen Tetap
i. Bidang Keahlian : Filsafat, Psikologi Sosial, Psikologi Agama
j. Fakultas/Jurusan : Psikologi/Ilmu Psikologi
k. Perguruan Tinggi : Universitas Tarumanagra
l. No HP/Telp/Fax : 000000000000/000-0000000/021-5638356
m. Email : xxxxx@xxxx.xxxxx.xx.xx
3. Anggota Tim Penelitian
a. Jumlah anggota : Dosen 1 orang
b. Nama anggota/Fak/Keahlian : Xx. Xxxx Xxxxxxxx, M.Psi/Fak.
Psikologi/Psik Pendidikan
c. Jumlah mahasiswa : 1 orang
d. Nama mahasiswa/NIM: Xxxxxxx XxxxxxXxxxxxx/705170008
4. Lokasi Kegiatan Penelitian : Jakarta
5. Luaran yang dihasilkan : Jurnal terakreditasi nasional, prosiding
6. Jangka waktu pelaksanaan: 1 semester (Juli – Desember 2020)
7. Jumlah biaya yang disetujui DPPM: Rp 15.000.000,-
Jakarta, 30 Desember 2020
Mengetahui
Dekan Fakultas Psikologi Ketua
Xx. Xxxxxxxx X.Xxx, Xxx Dr. Raja Xxxxx Xxxxxxxxx
NIK 10796002 . NIDN/NIK 0314046703/10707007
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Jap Tji Beng, Ph.D NIDN/NIK : 0323085501/10381047
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan 2
Daftar Isi 4
Ringkasan Penelitian 5
BAB 1 Pendahuluan 6
1. Latar Belakang 6
2. Tujuan Khusus 7
3. Urgensi Penelitian 7
4. Manfaat Penelitian 7
5. Hasil Penelitian 7
BAB 2 Tinjauan Pustaka 8
BAB 3 Metode Penelitian 16
BAB 4 Hasil dan Pembahasan 17
BAB 5 Kesimpulan dan Saran 24
Daftar Pustaka 25
Lampiran 1 : Draf artikel prosiding internasional ICEBSH 2021 Lampiran 2 : Modul pelatihan Spiritual Well-Being
Lampiran 3 : Sertifikat Hak Cipta atas Modul Pelatihan
RINGKASAN PENELITIAN
Penelitian ini bermaksud untuk mengembangkan modul intervensi secara terperinci mengenai peningkatan spiritual well-being untuk membangun sikap toleransi bagi para remaja. Tujuannya adalah agar hasil penelitian berupa modul ini dapat dipergunakan sebagai panduan dalam pelatihan guna membantu meningkatkan spiritual well-being individu atau kelompok. Hasil penelitian ini berupa modul intervensi untuk meningkatkan spiritual well-being, sehingga bisa membawa dampak pada pembangunan sikap toleransi. Peneliti menyusun rancangan implementasi yang direkomendasikan oleh penelitian sebelumnya dengan judul “Peran spiritual well-being dan kecerdasan emosi dalam meningkatkan sikap toleransi bagi kaum remaja” yang telah dilaksanakan dengan bantuan hibah ristek dikti pada tahun 2019. Maka penelitian yang merupakan penelitian pendamping bagi penelitian tahun kedua 2020 ini berupaya menyusun bahan untuk intervensi melalui langkah sistematis dan operasional hingga memperoleh hasil akhir berupa modul. Metode yang dipakai adalah berbasis tahapan riset aksi, kendatipun proses yang dilakukan hanya sampai pada perumusan solusi dari persoalan yang ada. Adapun paket modul terdiri dari beberapa sub-modul seperti (1) fenomena intoleransi di Indonesia, (2) penyebab orang menjadi intoleran perpektif psikologis, (3) solusi intoleran melalui penguatan spiritual well-being, (4) hubungan spiritual well-being dengan sikap toleransi, dan (5) menyusun rencana tindak lanjut secara konkrit.
Kata-kata kunci: sikap toleransi, spiritual well-being, remaja, intervensi, pelatihan, modul.
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pada awal tahun 2018 terjadi beberapa peristiwa penyerangan terhadap beberapa tokoh agama di Indonesia, seperti K.H. Xxxx Xxxxx pada 27 Januari di Kabupaten Bandung, Xxxxx Xxxxxxx pada 1 Februari di Bandung dan Romo Xxxx Xxxxxx Xxxxx, SJ pada 11 Februari di Sleman (Gerintya, 2018). Aneka aksi kekerasan ini barangkali dapat dikaitkan dengan situasi intoleransi di masyarakat, khususnya intoleransi antar penganut agama. Menurut Declaration on the Elimination of all Forms of Intolerance and of Discrimination based on Religion or Belief, intoleransi adalah pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan yang tujuannya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi manusia (Gerintya, 2018).
Menurut catatan Setara Institute tahun 2016 terdapat 208 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 270 bentuk tindakan. Terdapat 130 tindakan dilakukan oleh aktor non negara dengan pelaku tertinggi adalah kelompok warga sebanyak 42 tindakan. Pada tahun 2017 ada 155 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 201 bentuk tindakan. Sebanyak 126 tindakan dilakukan oleh aktor non negara dengan pelaku tertinggi adalah kelompok warga yakni 28 tindakan. Di beberapa kota di Indonesia terdapat beberapa kasus terkait praktik intoleransi yang dimulai dari penyebaran informasi yang salah dan kebencian atas suatu kepercayaan, pembatasan hak asasi manusia terhadap kepercayaan tertentu, dan pembiaran terhadap kelompok intoleran (Gerintya, 2018).
Praktek intoleransi ini tidak jarang melibatkan kaum remaja. Kaum remaja merupakan sekelompok manusia yang sedang berjuang mencari jati dirinya dan sekaligus menjadi golongan penentu dalam kemajuan generasi yang akan datang. Suatu bangsa akan maju bila kaum remajanya mendapat pendampingan yang memadai. Namun, dalam situasi sekarang ini kaum remaja menjadi pelaku tindak intoleran akibat pengaruh lingkungannya. Kasus intoleransi
menjadi masalah serius dan bisa berakibat negatif bagi kaum remaja kalau tidak segera diatasi (Xxxxxxxxxx & Xxxxxxx, 2017).
Banyak faktor yang membuat kaum remaja jatuh dalam aksi-aksi intoleran dalam masyarakat. Media sosial membuat kaum remaja gampang memperoleh informasi dari paham kaum radikal. Tidak jarang kaum remaja merupakan target mudah untuk organisasi ekstrim yang menyebarkan ideologi radikal yang mengancam pluralisme di Indonesia. Informasi tentang paham radikal dengan mudah sampai ke kalangan kaum remaja. Selain itu remaja yang kurang mendapat pembinaan spiritual memadai dari institusi keagamaan dan keluarganya akan semakin rentan dengan berbagai pengaruh negatif termasuk sikap intoleran.
Untuk membentengi kaum remaja dari sikap intoleran perlu diperhatikan aspek spiritual well- being dan kecerdasan emosionalnya. Spiritual well-being adalah afirmasi hidup dalam berelasi dengan Tuhan, diri sendiri, komunitas dan lingkungan (Fisher, 2010). Spiritual Well-Being merupakan indikasi kualitas hidup seseorang dalam dimensi spiritual atau indikasi dari kesehatan spiritualnya (Xxxxxxx, 1983; Xxxxxxx, Xxxxxxxxxx & Xxxxxxx, 1991).
Sementara kecerdasan emosional merupakan himpunan dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan perasaan dan emosi baik kepada diri sendiri ataupun orang lain, mampu memilah dan menggunakan informasi ini guna membimbing pikiran dan tindakan. Dengan kecerdasan emosi orang akan mampu untuk mempersepsi secara akurat, menilai, memahami, dan mengekspresikan emosi (Xxxxxxx, 1995). Pertanyaan penting yang hendak diteliti adalah upaya apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan sikap toleransi bagi kaum remaja berhadapan dengan situasi masyarakat yang majemuk saat ini? Bagaimana caranya kaum remaja memiliki sikap toleransi di tengah-tengah masyarakat? Penelitian ini mau menyusun modul peningkatan sikap toleransi di kalangan kaum remaja.
2. Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan modul intervensi sebagai bahan yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan sikap toleransi bagi kaum remaja melalui pembenahan spiritual well-beingnya. Modul ini akan dipakai selama pelatihan spiritual well-being bagi para peserta
sehingga mereka semakin tertolong untuk hidup lebih baik dan mampu bersikap toleran kendati kaum remaja menghadapi banyak tantangan dan percobaan dalam hidup mereka.
3. Urgensi Penelitian
Sudah banyak penelitian dilakukan di bidang psikologi yang mengulas fenomen/gejala yang hidup di kalangan kaum remaja khususnya menyangkut kenakalan remaja atau akibat pergaulan bebas. Namun penelitian yang menyangkut pembenahan spiritual well-being untuk membangun sikap toleransi di kalangan kaum remaja jarang mendapat perhatian. Andai pun diteliti, yang menjadi pokok perhatian umumnya faktor apa saja yang membuat kaum remaja bersikap intoleran. Penelitian yang berbasis pada solusi dan intervensi yang dapat menolong kaum remaja untuk dapat meningkatkan sikap toleransinya masih cukup langka. Maka pengembangan modul pelatihan spiritual well-being ini berupaya untuk mengisi kekosongan tersebut. Penelitian berupa pengembangan modul pelatihan spiritual well-being berusaha menggali upaya apa yang harus dilakukan agar kaum remaja dapat mengembangkan dan meningkatkan sikap toleransi di tengah masyarakat yang majemuk.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini adalah menjadi dasar untuk membantu para remaja meningkatkan atau mengembangkan sikap toleransi melaluui pelatihan spiritual well-being dalam menghadapi kehidupan masyarakat yang majemuk. Penelitian berupa pengembangan modul ini bermanfaat untuk menolong kaum remaja meningkatkan sikap toleransi dalam hidup bermasyarakat.
5. Luaran Penelitian
Luaran penelitian ini bermanfaat untuk menjadi sumber tindakan intervensi selanjutkan bagi para psikolog dan ilmuwan psikologi. Luaran penelitian ini juga bermanfaat untuk menjadi kajian karya ilmiah yang akan diterbitkan dalam prosiding internasional bereputasi, sehingga karya ini dapat disebarluaskan di kalangan ilmuwan lain. Adapun capaian penelitian ini adalah artikel di prosiding internasional dan hak kekayaan intelektual.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Sikap Toleransi
Sikap (attitude) merupakan istilah yang mencerminkan perasaan entah senang atau tidak senang terhadap sesuatu atau seseorang. Menurut Xxxxxxx (2010) dalam sikap terdapat tiga aspek yaitu affect, behaviour, dan cognition. Affect adalah perasaan yang timbul entah senang atau tidak senang. Behaviour adalah perilaku yang mengikuti perasaan itu entah mendekat atau menghindar, dan cognition adalah penilaian terhadap objek sikap. Oleh sebab itu sikap merupakan perasaan, pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen sikap itu bisa berupa pengetahuan, persaan, dan kecenderungan untuk bertindak. Dengan kata lain sikap adalah kecenderungan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang memiliki konsekwensi yakni bagaimana seseorang berhadapan dengan objek sikap.
Secara etimologis agama berasal dari kata Arab diin yang berarti undang-undang (hukum), menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan (Xxxxx, 1994). Menurut Ghufron dan Risnawati (2010) agama adalah hubungan antara makhluk dengan Tuhan yang berwujud ibadah yang dilakukan melalui sikap sehari-hari. Dalam agama terdapat sistem credo (tata keyakinan) mengenai Yang Maha Mutlak dan sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan sesama dan alam sekitarnya sesuai dengan iman dan tata peribadatannya. Agama berbeda dengan religiositas. Kalau agama mengacu kepada aspek-aspek formal yang berhubungan dengan aturan dan kewajiban, maka religiositas mengarah pada aspek religi yang dihayati seseorang dalam hati. Religiositas merupakan internalisasi agama tersebut di dalam diri dan kehidupan manusia (Ghufron dan Risnawati, 2010).
Toleransi berasal dari kata Latin tolerare yang berarti membiarkan. Dalam Bahasa Inggeris
tolerance berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa
memerlukan persetujuan. Jadi toleransi merupakan sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain. Hal ini bukan berarti mengorbankan prinsip yang dianutnya, melainkan tetap kuat dalam prinsip yang tercermin dalam sikap kokoh mengikuti keyakinannya. Menurut Xxxxxxxxx (2007) toleransi merupakan kemampuan untuk menahan hal-hal yang tidak disetujui dalam rangka membangun hubungan sosial yang lebih baik. Toleransi mengandaikan penerimaan dan menghargai pendangan, keyakinan, nilai kelompok lain yang berbeda dengan kita. Sementara intoleransi adalah ketidakmauan menghargai dan menerima perbedaan.
Defenisi toleransi atas keberagaman manusia bukanlah rentetan dari defenisi yang lebih banyak ke yang lebih sedikit, karena ada cara-cara berbeda untuk mengkategorisasikannya. Secara filosofis dan dari suatu perspektif teoretis toleransi merupakan sebuah konsep yang sukar dan ambigu, yang terbuka bagi berbagai interpretasi, mulai dari toleransi sebagai kesabaran atau membiarkan hingga penerimaan penuh orang lain yang berbeda. Secara alternatif toleransi bisa juga dilihat sebagai sebuah nilai moral menyangkut penerimaan orang lain yang berbeda dari kita sejauh tidak ada bahaya terjadi bagi orang lain (Witenberg, 2019).
Filsuf Amerika Walzer (1997) mendefenisikan toleransi sebagai “pengabaian atas perbedaan” dari orang yang berbeda dari kita. Namun filsuf-filsuf lain tidak setuju dengan karakterisasi toleransi seperti itu karena mereka berpendapat bahwa pengabaian tidak relevan dengan defenisi toleransi khususnya ketika toleransi secara inheren berkaitan dengan klaim dan pengakuan atas kebiasaan, ide, sikap dan kepercayaan orang lain termasuk budaya dan keyakinan. Saat kita mengabaikan (indifferent), maka kita tidak memperhatikan perbedaan (Nehushtan, 2007).
Sikap toleransi merupakan salah satu perwujudan modal sosial pada aspek kognitif yang diartikan sebagai suatu sikap mau menerima dan menghargai perbedaan di antara anggota masyarakat. Toleransi adalah suatu bentuk kesabaran, ketahanan emosional, serta kalapangan dada yang dimiliki seseorang. Toleransi diartikan sebagai sikap atau sifat menghargai, membiarkan, memperbolehkan pendirian seseorang baik itu pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dll yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Sikap toleransi ini sudah semestinya dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia mengingat Indonesia adalah
bangsa yang majemuk yang terdiri dari beragam etnis, suku bangsa, bahasa, budaya, adat istiadat dan agama. Sikap toleransi memiliki dampak yang besar bagi integritas bangsa dan kerukunan masyarakat. Sikap toleransi dalam masyarakat dapat tercermin dari bagaimana persepsi seseorang terhadap persahabatan antar suku bangsa dan agama maupun kegiatan yang diselenggarakan oleh sekelompok orang yang berbeda suku bangsa atau agama.
Dari uraian diatas toleransi beragama dapat dipahami sebagai sikap bersedia menerima keanekaragaman dan kepercayaan yang diyakini oleh pihak/golongan lain. Pengakuan tersebut tidak hanya pada persamaan derajat dalam tatanan negara dan masyarakat, tapi juga pada perbedaan dalam cara menghayati dan melakukan peribadatan (Bahari, 2010). Toleransi beragama merupakan kesadaran seseorang untuk menghargai, menghormati, membiarkan, dan memperbolehkan pendirian, pandangan, keyakinan, kepercayaan, serta memberikan ruang bagi pelaksanaan kebiasaan, perilaku, dan praktek keagamaan orang lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri dalam rangka membangun kehidupan bersama dan hubungan sosial yang lebih baik (Ghufron, 2016). Dengan adanya toleransi, maka persatuan dan kesatuan bangsa akan dapat dilestarikan. Pembangunan dapat diupayakan dan dilanjutkan, sehingga kesenjangan bisa diminimalisir. Hubungan antar umat beragama didasarkan pada prinsip persaudaraan yang baik, bekerja sama untuk menghadapi musuh dan membela yang menderita (Ghufron, 2016).
Adapun manfaat dari sikap toleransi dalam hidup masyarakat adalah dapat tercipta keharmonisan dalam hidup, ada rasa kekeluargaan, kasih satu sama lain, kedamaian dan rasa aman. Toleransi mesti didasari sikap lapang dada terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri. Toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri.
Membangun nilai kebangsaan dan sikap toleransi melalui pendidikan harus terus diupayakan di zaman sekarang ini. Belakangan ini sikap intoleransi dan bahkan menjurus pada radikalisme semakin marak di negeri ini. Benih intoleransi muncul karena berbagai faktor, antara lain tingkat
pemahaman nilai kebangsaan yang sempit maupun penanaman nilai agama yang eksklusif di sekolah.
Lembaga pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam menanamkan semangat kebangsaan dan perilaku toleran. Peran lembaga pendidikan perlu ditingkatkan, khususnya pendidikan multikultural. Malahan penanaman rasa kebangsaan dan toleransi tidak cukup hanya pada lembaga pendidikan saja, tapi juga perlu merambah ke pendidikan informal (Muawanah, 2018).
Toleransi hanya perlu saat ada perbedaan dan keanekaragaman, sebab toleransi sungguh ada dimana kita menghadapi perbedaan bahwa penerimaan kita atas orang lain sungguh diuji. Berhadapan dengan semakin banyaknya praktek intoleransi di tengah masyarakat adalah penting untuk memahami toleransi dan penerimaan sebagai sesuatu yang diterapkan bagi keberagaman manusia pada umumnya. Itulah tujuan penelitian dari toleransi baik secara teoretis maupun secara praktis. Pemahaman demikian dapat menolong untuk membentuk perdebatan dan praktis mengenai kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan komunitas produktif dan program- program pendidikan yang berbasis sekolah. Jadi mempromosikan toleransi boleh menjadi sarana alternatif bagi suatu kehidupan yang lebih harmonis diantara manusia yang berbeda (Witenberg, 2019).
Kaum remaja
Kaum remaja adalah sekelompok orang yang mengalami masa peralihan dari masa anak dan masa dewasa antara umur 11 sampai 21 tahun. Masa remaja dimulai dengan perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini diperoleh pencapaian kemandirian dan menonjolkan identitas, karena pemikiran yang makin logis, abstrak dan idealistis serta menghabiskan banyak waktu di luar keluarga. Jadi pada masa remaja terjadi perubahan biologis, koqnitif dan sosial emosional (Xxxxxxxx, 2003). Masa remaja merupakan masa peralihan dari
masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek dan fungsi untuk memasuki masa dewasa (Xxxxxx & Sundari, 2004).
Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxx (2014) berpendapat bahwa sikap toleransi perlu diterapkan dalam pendidikan multikulturalisme khususnya di kalangan siswa SMA. Prinsip “rumah bersama” menjadi contoh penting dalam menumbuhkan sikap toleransi di antara siswa. Siswa diperlakukan sebagai anggota keluarga dekat dalam pergaulan dengan sivitas akademika lainnya. Prinsip “rumah bersama” ini seperti melting pot, tempat semua perbedaan ras, suku, agama, dan lainnya dilebur menjadi satu identitas tunggal sebagai saudara laki-laki dan saudara perempuan.
Pendidikan multikultural adalah pola pendidikan yang berbasis pada tumbuhnya sikap tenggang rasa akan kemajemukan budaya dan toleransi terhadap perbedaan sehingga membentuk semangat inklusivitas sosial bagi sivitas akademika. Model pendidikan seperti ini menjadi sangat urgen dan signifikan dalam konteks Indonesia yang heterogen. Semangat multikulturalisme yang mengakui adanya perbedaan dan menghormatinya sebagai keanekaragaman penting untuk diterapkan sejak masa pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Orientasi pendidikan multikultural yang semula mengutamakan transfer pengetahuan (transfer of knowledge) juga harus diimbangi dengan transfer nilai-nilai (transfer of values) dengan mengutamakan toleransi, semangat tenggang rasa maupun sikap saling menghormati antar sesama orang lain yang berbeda.
Pendidikan multikultural sebagai gerakan pendidikan menawarkan ide progresif untuk melakukan transformasi pendidikan secara holistik. Xxxxxxx (2011) menawarkan bangunan paradigma pendidikan multikultural berikut. Pertama, pendidikan multikultural adalah jantung untuk menciptakan kesetaraan pendidikan bagi seluruh warga masyarakat. Kedua, pendidikan multikultural bukan sekedar perubahan kurikulum atau perubahan metode pembelajaran. Ketiga, pendidikan multikultural mentransformasi kesadaran yang memberikan arah kemana transformasi praktik pendidikan harus dituju. Keempat, pendikan multikultural bertujuan untuk berbuat sesuatu, yakni membangun jembatan antara kurikulum dan karakter guru, pedagogi, iklim kelas, dan kultur sekolah guna membangun visi sekolah yang menjunjung kesetaraan.
Jadi, pendidikan multikultural merupakan cara memandang realitas dan cara berpikir, bukan hanya konten tentang beragam kelompok etnis, ras dan budaya. Pendidikan multikulrural secara khusus dikonsepsikan dalam dua bidang ini. Pertama, integrasi konten, artinya menangani sejauh mana guru menggunakan contoh dan konten dari beragam budaya dan kelompok untuk menggambarkan konsep, prinsip serta teori dari mata pelajaran. Kedua, proses penyusunan pengetahuan: sejauh mana guru membantu siswa paham, dan menentukan bagaimana asumsi budaya yang tersirat, perspektif dalam disiplin ilmu memengaruhi cara pengetahuan disusun.
Selain pendidikan multikultural perlu diperhatikan beberapa model pembelajaran nilai-nilai toleransi bagi para remaja. Menurut Xxxxxxxxxx (2018) untuk menyusun model pembelajaran nilai-nilai toleransi di kalangan remaja pertama-tama perlu kemampuan mengidentifikasi berbagai persoalan dalam interaksi sosial para remaja. Dari situ dapat dikembangakan rancangan konseptual model pembelajaran toleransi yang sesuai dengan kebutuhan para remaja.
Spiritual Well-Being
Menurut J.W. Xxxxxx (2010) Spiritual Well-Being merupakan afirmasi hidup dalam berelasi dengan Tuhan, diri sendiri, komunitas dan lingkungan secara bersama. Relasi ini kemudian dikembangkan dalam empat domain yang saling berhubungan. Keempat domain itu meliputi pertama, domain personal, dimana seseorang berhubungan dengan dirinya sendiri menyangkut makna, tujuan dan nilai dalam hidup. Kesadaran ini menjadi kekuatan yang menentukan dari roh manusia dalam mencari identitas diri. Kedua, domain komunal nampak dalam kualitas dan kedalaman relasi interpersonal antara diri sendiri dengan orang lain, berkaitan dengan moralitas, budaya dan agama. Relasi ini diungkapkan dalam cinta, pengampunan, kepercayaan, harapan dan iman. Ketiga, domain lingkungan menyangkut pemeliharaan fisik dan biologis, rasa memiliki dan kagum dan gagasan kesatuan dengan lingkungan. Keempat, domain transendental meliputi hubungan diri sendiri dengan sesuatu yang melewati aspek manusia, seperti kepedulian puncak, kekuatan kosmis dan realitas transenden (Fisher, 2011; Xxxxxx & Ng, 2017).
Xxxxx Xxxx Xxxxxx (2011) menganalisa keterkaitan antara kematangan spiritual dengan toleransi beragama dari penganut agama Adventis di Jamaica. Studinya menguji tingkat toleransi beragama warga Adventis di Jamaica. Dia berkesimpulan bahwa toleransi berhubungan dengan
kematangan spiritual. Mereka toleran secara kritis terhadap penganut Adventis yang lain dan kepercayaan serta perilaku warga non Adventis lainnya. Sementara itu kaitan antara kematangan emosional dengan toleransi beragama pernah diteliti oleh Ghufron (2016) di antara para mahasiswa Pendidikan Agama Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Kudus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara kecerdasan emosi dengan toleransi agama. Jadi ada pengaruh positif kecerdasan emosi terhadap toleransi beragama pada mahasiswa. Semakin tinggi kecerdasan emosi mahasiswa semakin tinggi pula toleransi beragama mereka. Dalam penelitian ini mau dikembangkan bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan sikap toleransi bagi kaum remaja?
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan riset aksi/kaji tindak (action research) dalam merumuskan sebuah model intervensi guna membantu meningkatkan sikap toleransi bagi kaum remaja. Menurut Xxxxxxxxx dan Xxxxx (2007) riset aksi punya tiga elemen penting. Pertama, aksi untuk menyatakan suatu tindakan yang ditujukan untuk mengobah kelompok atau organisasi tertentu menjadi ke dalam kondisi yang lebih membebaskan. Tindakan pembebasan ini dapat dimaknai secara beragam. Makna yang sejalan dengan penelitian ini ialah pembebasan melalui peningkatan kesadaran diri para remaja. Dengan mencapai sikap toleransi mereka diharapkan dapat memandang diri mereka lebih positif, tidak sebagai orang yang dikalahkan oleh kelompok intoleran. Kedua, elemen riset, yaitu upaya mencapai kondisi yang lebih membebaskan dicapai lewat serangkaian penelitian. Ketiga, partisipasi. Partisipan atau peserta dalam pelatihan (kaum remaja) dilibatkan sebagai rekan peneliti. Peneliti bekerja sama dengan partisipan untuk mendefenisikan masalah yang terjadi, merumuskan solusi, mengimplementasikan solusi tersebut, lalu merefleksikan kembali aksi yang telah dilakukan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian tahun 2020 dilakukan pengambilan dan pengolahan data secara daring dari para siswa yang ada di Jakarta (DKI), Bekasi (Jawa Barat), dan Bandar Jaya (Lampung) mengenai peran spiritual well-being dan kecerdasan emosi dalam membangun sikap toleransi bagi kaum remaja. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa ada kaitan antara spiritual well-being dengan sikap toleransi. Semakin baik spiritual well-being seseorang maka semakin baik juga sikap toleransi mereka. Maka pada penelitian tahun kedua 2020 diupayakan untuk mengadakan intervensi kepada anak remaja yang ada di beberapa daerah yang sudah diteliti pada tahun pertama. Salah satu bentuk intervensi yang dilakukan adalah melakukan pelatihan peningkatan sikap toleransi kepada para remaja melalui pembenahan spiritual well-being. Dalam upaya untuk melakukan pelatihan itulah maka disusun modul pelatihan peningkatan sikap toleransi melalui spiritul well-being. Adapun isi dari pelatihan yang dilaksanakan bagi para remaja tersebut dapat diringkas sebagai berikut.
Fenomena intoleransi di Indonesia (modul 1)
Pada bagian ini diungkapkan beberapa kasus intoleransi yang pernah terjadi di Indonesia. Ancaman intoleransi sungguh menjadi hal yang nyata di masyarakat. Dilihat dari tempat dan waktu kejadian, peristiwa intoleransi ini terjadi di hampir setiap wilayah Indonesia, dan kejadiannya pun semakin sering terjadi. Dampaknya pun sungguh terasa baik dari sisi materi maupun psikologis karena korbannya mengalami trauma dan tidak bisa melakukan ibadah dan tidak bisa mempraktekkan keyakinannya secara bebas. Pada tahun 2015 terjadi konflik antara agama di Aceh Singkil, dimana beberapa rumah ibadah Kristiani dibakar dan dibongkar. Dampak dari kejadian ini sekelompok warga Kristen tidak bisa beribadah dengan bebas dan tidak memiliki rumah ibadah secara permanan hingga sekarang ini (Amindoni, 2019; xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xx0xXxxx0xXXX). Selain itu komunitas Huria Xxxxxxx Xxxxx Protestan (HKBP) Bekasi mengalami intimidasi saat melaksanakan ibadah mingguan, karena mereka dituding membangun rumah ibadah di sekitar warga muslim. Saat jemaat sedang berdoa, diluar tempat ibadah diperdengarkan lagu-lagu musim yang keras. Demikian juga terjadi gangguan terhadap sekelompok warga Kristen yang sedang beribadah di rumah. Para warga intoleran menuding kelompok Xxxxxxx menggunakan rumah pribadi untuk beribadah (xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxxX0xXXxxXxX). Pada kesempatan lain di tahun 2018 sekelompok warga Ahmadiyah yang sedang melakukan acara keagamaan di Surakarta didatangi oleh sekelompok warga intoleran agar mengakhiri kegiatan mereka. Kaum intoleran ini menuduh Ahmadiyah mengotori akidah Islam (xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xx0xXxxxXxXx0).
Adapun tujuan pembahasan materi ini adalah a) memperoleh gambaran yang utuh mengenai persoalan intoleransi di Indonesia, b) memetakan persoalan intoleransi berdasarkan studi kasus yang pernah terjadi, c) mengupas anatomi kasus intoleransi, d) membangun sikap kritis terhadap kasus intoleransi serta menggali latar belakangnya.
Penyebab orang intoleran: Perspektif psikologis (modul 2)
Setelah menyaksikan berbagai kasus intoleran dari materi II muncul pertanyaan: Mengapa orang gampang menjadi intoleran? Banyak penelitian dan diskusi dilakukan untuk menjawab persoalan itu. Ada perasaan terancam: dari siapa? Dari orang yang tidak seagama/sesuku dengan dirinya sendiri. Ada kecurigaan kepada penganut agama lain: Apa kecurigaan itu? Perasaan bahwa penganut agama lain akan merusak iman dan keyakinannya sendiri. Memiliki tingkat fanatisme agama/suku yang tinggi: menganggap bahwa agamanya dan sukunya yang paling baik dan hebat. Menurut Satgas Nusantara (Xxxxxx.xxx, 15/11/2019) ada tiga penyebab seseorang menjadi intoleran: (1) Globalisasi yang menggerus nilai-nilai ketimuran, mis. Toleransi; (2) Demokrasi yang didominasi low class: kelompok ini gampang dipengaruhi untuk melakukan perubahan secara cepat dan instan dan kurang rasional; (3) Perkembangan media sosial (medsos) yang amat cepat sehingga paham radikal bisa menyebar dengan cepat.
Di dalam dunia psikologi perkembangan, perdebatan yang melatarbelakangi terbentuknya perilaku selalu mengarah pada dua konsep besar, yaitu apakah perilaku dipengaruhi oleh sifat alami dan bawaan (nature) atau perilaku dibentuk oleh proses pembelajaran dan pengalaman (nurture).Penelitian Xxxxxx Xxxxx, peneliti psikologi perkembangan dari Penn State University, Amerika Serikat (AS), berusaha menjembatani dua konsep ini dengan penelitiannya. Menurutnya, faktor genetika memberikan manusia potensi dalam diri. Namun, tidak dipungkiri bahwa faktor lingkungan memainkan peranan dalam membentuk perilaku tiap individu. Perbedaan tentang keyakinan dan konsep agama yang dipandang sebagai sebuah kebenaran tentu semakin lebar di tengah tatanan masyarakat yang semakin kompleks.
Padahal, masyarakat hidup tidak hanya berdasarkan satu budaya atau agama semata, melainkan hidup berdampingan dengan masyarakat lain yang memiliki budaya atau agama berbeda. Kondisi ini yang menyebabkan konflik rentan terjadi dan berujung pada perilaku intoleran. Gesekan di antara tiap kelompok masyarakat yang memiliki kepercayaan dan nilai yang berbeda rentan menimbulkan perilaku intoleran. Ini fenomena yang terutama terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat fundamentalisme agama sangat tinggi: mereka yang meyakini agamanya paling benar dibandingkan agama lainnya. Identitas yang telah tertanam kuat akan membangun motivasi mau berjuang untuk agamanya, sehingga menjelaskan kenapa individu mau dan berani merelakan dirinya untuk kelompok dan bertarung atas nama kelompok, termasuk melakukan kegiatan ekstrem.
Solusi mengatasi perilaku intoleran melalui spiritual well-being (modul 3)
Masalah yang menggurita menyangkut intoleransi mesti diatasi dengan benar. Cara mengatasinya ialah dengan memberikan pembekalan kepada para remaja agar kelak mereka tidak terlibat dalam Tindakan intoleran di tengah masyarakat. Pembekalan berupa pelatihan ini wajib digalakkan dari sekarang mengingat para remaja berpotensi menjadi pelaku intoleran di tempat tinggalnya. Bila tidak memiliki konsep yang benar mengenai keanekaragaman, maka para remaja rentan terlibat dalam Tindakan intoleransi. Kalau bukan sebagai pelaku utama, bisa menjadi pelaku pendukung atau simpatisan dari kelompok intoleran.
Mengapa pembenahan kesejahteraan spiritual perlu dilakukan untuk mengatasi masalah intoleran? Apa hubungan kesejahteraan spiritual dengan sikap intoleransi? Sebelum menjawab persoalan itu perlu lebih dahulu dijelaskan apa itu spiritual well-being (kesejahteraan spiritual). Pembenahan kesejahteraan spiritual (spiritual well-being) merupakan solusi mengatasi intoleran: Apa yang dimaksud dengan kesejahteraan spiritual, apa saja dimensi dari kesejahteraan spiritual, apa hubungan kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi? Apa pengertian kesejahteraan spiritual? Xxxxx dan Xxxxxx menyatakan bahwa kesejahteraan spiritual adalah suatu keadaan yang merefleksikan perasaan positif, perilaku dan kognisi dari hubungan dengan diri sendiri dan orang lain, serta hubungan dengan Yang Maha Kuasa (transcedent) dan alam, yang pada akhir-nya memberikan individu suatu rasa identitas, keutuhan, kepuasan, suka cita, keindahan, cinta, rasa hormat, sikap positif, kedamaian dan keharmonian batin, serta tujuan dan arah dalam hidup (2005).
Dimensi kesejahteraan spiritual meliputi: (1)Hubungan dengan diri sendiri (domain personal), berkaitan dengan diri sendiri, pencarian makna pribadi, pencarian tujuan dan nilai-nilai kehidupan. Domain pribadi ini berkaitan dengan kesadaran diri, yaitu kekuatan pendorong jiwa manusia untuk mencapai identitas dan harga diri, aspeknya: makna, tujuan, nilai-nilai, kesadaran diri, kegembiraan, perdamaian, kesabaran, identitas, dan nilai diri. (2) Hubungan dengan orang lain (domain communal) berupa kualitas dan kemampuan interpersonalnya dengan tingkat kualitas lebih mendalam, menjalin hubungan dengan orang lain, berkaitan dengan moralitas dan budaya. Adanya kasih sayang, pengampunan, kepercayaan, harapan dan kemampuan mengaktualisasikan iman terhadap sesama, aspeknya: moral, kebudayaan, agama, kedalaman hubungan antar personal, pemaaf, keadilan, cinta dan kepercayaan. (3) Hubungan dengan lingkungan (domain environmental), berupa keterikatan terhadap lingkungan secara natural, kepuasan saat mengalami pengalaman puncak (peak experience), menikmati keindahan alam, kemampuan untuk memelihara lingkungan agar dapat memberi manfaat terhadap sekitar, aspeknya: mempedulikan, pekerjaan (mengurus), hubungan dengan alam, dan puncak pengalaman yang menimbulkan kekaguman. (4) Hubungan dengan transenden (domain transcendental), kemampuan untuk menjalin hubungan dengan pencipta,
melibatkan iman, pemujaan dan penyembahan terhadap realitas transenden yaitu Tuhan. Ada kepercayaan (faith) terhadap Tuhan aspeknya: kepentingan yang sangat pada transenden, kekuatan alam yang mengacu pada rasa yang melampaui ruang dan waktu, kekhawatiran yang sangat, keyakinan, penyembahan, dan ibadah (Fisher & Ng, 2017).
Hubungan spiritual well-being dengan sikap toleransi (modul 4)
Setelah mendalami pengertian dan dimensi spiritual well-being (kesejahteraan spiritual) kita mau melihat bagaimana hubungannya dengan sikap toleransi. Namun sebelum melihat hubungan itu patut dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan toleransi. Dalam awal pelatihan ini sudah disaksikan beberapa fenomene intoleransi yang terjadi di Indonesia dan faktor apa yang membuat orang bersikap intoleran. Maka untuk memahami ap aitu toleransi, tentu segala aspek yang bertentangan dan berlawanan dengan intoleransi.
Toleransi atau toleran secara bahasa kata ini berasal dari bahasa Latin tolerare yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Pengertian toleransi secara luas adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain (xxxxxxxxx.xxx). Toleransi juga dapat berarti suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok atau antar individu (perseorangan) baik itu dalam masyarakat ataupun dalam lingkup yang lain. Sikap toleransi dapat menghindari terjadinya diskriminasi, walaupun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok masyarakat. Toleransi terjadi karena adanya keinginan-keinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak.
Menurut UNESCO toleransi adalah penghargaan, penerimaan, dan apresiasi atas perbedaan budaya dunia, dan bentuk ekspresi dan keberadaan manusia yang berbeda-beda. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan (Xxxxx et al., 2020). Xxxx Xxxxxxxxxx & Xxxxx Xxxxxxx (2017) yang mengacu pada gagasan Xxxxx Xxxxxxx mengungkapkan beberapa ciri-ciri atau karakter dari toleransi meliputi (a) kedamaian sebagai tujuan, (b) terbuka dan reseptif terhadap perbedaan, (c) menghargai individu satu sama lain, (d) menghindari ketakutan dan ketidakpedulian, (e) memiliki benih cinta, (f) menghargai kebaikan dalam diri orang lain, (g) menerima ketidaknyamanan hidup dengan membiarkan orang lain dengan kekhasannya. Maka aspek karakter toleransi dapat diringkas dalam table berikut ini.
Tabel 1 Aspek Karakter Toleransi (Xxxxxxxxxx & Xxxxxxx, 2017)
No | Aspek Toleransi | Indikator Toleransi |
1 | Kedamaian | a. Peduli b. Ketidaktakutan c. Cinta |
2 | Menghargai perbedaan dan individu | a. Saling menghargai satu sama lain b. Menghargai perbedaan orang lain c. Menghargai diri diri sendiri |
3 | Kesadaran | a. Menghargai kebaikan orang lain |
b. Terbuka c. Reseptif d. Kenyamanan dalam kehidupan e. Kenyamanan dengan orang lain |
Banyak manfaat yang bisa diperoleh bila karakter yang sudah disebutkan diatas bisa dilaksanakan dengan baik, antara lain: (a) Menguatkan nasionalisme: Toleransi bisa menunjukkan seberapa besar rasa nasionalisme seseorang. Karena orang yang memiliki toleransi tinggi, biasanya akan memiliki rasa cinta yang tinggi pula terhadap tanah airnya. Sebab ia menyadari bahwa Indonesia adalah negara majemuk yang memiliki banyak perbedaan. (b) Menguatkan persaudaraan: Indonesia terdiri dari berbagai macam pulau. Ia juga terdiri dari berbagai macam wilayah dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Dengan sikap toleransi, setiap orang menghargai yang lainnya dan memberikan rasa kasih sayang yang sama terhadap setiap perbedaan. (c) Menciptakan keharmonisan dan kedamaian: Pengertian toleransi secara bahasa berarti menahan diri. Itu tandanya, setiap orang yang memiliki rasa toleran dapat menahan dirinya untuk tidak memaksakan pendapat pribadi kepada orang lain. Sehingga keharmonisan pun akan tetap terjaga, karena mereka bisa saling memahami satu sama lain. Dengan begitu, kedamaian pun juga akan mengikuti.
Dari hasil penelitian empiris telah terbukti bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesejahteraan spiritul dengan sikap toleransi. Beberapa dari peneliti yang pernah menganalisanya adalah sbb: XX Xxxxxx (2011) menyimpulkan ada hubungan antara sikap toleransi dengan kedewasaan spiritual seseorang. Jika orang semakin dewasa secara spiritual maka dia lebih toleran, dari pada orang yang kurang dewasa secara spiritual. Xxxxxx Xxxxxx (2013) meneliti terdapat hubungan antara spiritualitas dan toleransi. Mengutip studi International social sourvey program (2008) Xxxxxx menggarisbawahi bahwa orang yang mengaku spiritual lebih toleran daripada yang mengaku religious. Di beberapa negara spiritualitas tidak selalu dikaitkan dengan kepercayaan kepada Tuhan, tapi memiliki toleransi religious yang cukup tinggi. Xxxxxx Xxxxxxxx (2014) spiritualitas membuat orang menjadi lebih toleran. Xxxxxxxx dan timnya berkesimpulan saat seseorang mengingat keyakinan spiritualnya maka dia cenderung memiliki perasaan toleran dan mengurangi sikap permusuhan. Tumanggor & Mularsih (2020) berpendapat semakin tinggi kesejahteraan spiritual seseorang, maka semakin baik pula sikap toleransinya.
Penguatan sikap toleransi melalui pembenahan spiritual well-being (modul 5)
Memiliki kesejahteraan spiritual bisa membangun sikap toleransi? Mengapa orang yang sejahtera secara spiritual bisa memiliki sikap toleransi?Apakah kita harus memiliki kesejahteraan spiritual baru bisa memiliki sikap toleransi?Jawabannya adalah JA. Dengan memiliki kesejahteraan spiritual, seseorang bisa semakin toleran, karena bila seseorang memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, sesama, lingkungan dan Tuhan, maka dia akan lebih gampang untuk (1) menerima dan menghargai perbedaan krn punya relasi yang baik dengan diri sendiri, (2) menghormati orang lain beribadah krn punya relasi yang baik juga dengan Tuhan, (3) menjadi pendengar yang baik, krn punya relasi yang baik dengan sesama, (4) Tidak memaksakan kehendak, krn dia memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, (5) mampu berbicara santun krn punya relasi yang baik dengan alam semesta.
Hal apa yang dibutuhkan untuk bisa memiliki sikap toleran? Berbagai sikap yang bisa dilakukan untuk meningkatkan sikap toleransi adalah (1) menerima dan menghormati perbedaan, (2) tidak bergunjing, (3) Menjadi pendengar yang baik, (4) Berbicara dengan santun, (5) Membiarkan orang lain beribadah, (6) Tidak memaksakan kehendak.
Bagaimana cara kita membangun kesejaheraan spiritual? Hal itu dapat diungkapkan dengan beraneka ragam cara seperti yang tampak dalam tabel berikut ini.
Dimensi Kesejahteraan Spiritual | ||||
Diri sendiri (personal) | Sesama (communal) | Lingkungan (environment) | Tuhan (Trancendental) | |
Aspek pengetahuan | Arti, tujuan dan nilai | Moralitas | Pemeliharaan | Yang lain yg transenden |
Esensi | Kesadaran diri | Menjangkau hati komunitas | Relasi dengan alam | Tuhan |
Diungkapkan dalam bentuk | Kegembiraan, damai, kebebasan | Cinta, pengampunan dan keadilan | Kagum akan alam semesta | Penyembahan, ibadat, Bersatu dengan Tuhan |
Sejak kapan kita melakukan semua itu? Dimulai sejak kecil dalam keluarga: Orangtua mendidik anak-anak mencintai diri sendiri, sesama, alam lingkungan dan Tuhan. Peran orangtua penting mendidik anak agar bisa berelasi yang baik dengan diri sendiri, sesame, alam lingkungan dan Tuhan. Coba kita perhatikan video berikut ini xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxxx0xxXXXX bagaimana seorang anak berkenalan dengan sesamanya yang berbeda budaya dan agama dengan dia. Kebiasaan baik yang sudah ditanamkan dlm diri kita sejak kecil akan tetap terbawa terus hingga kita sudah dewasa/tua.
Perhatikan video ini xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxxxxXxXx00&xx00x yang mengungkapkan pengalaman
seorang ayah miskin yang bisa berbagi walaupun dalam kekurangan. Sikap baik untuk berbagi dengan sesama akan mendapat balasan baik bukan hanya dari Tuhan, tapi juga dari sesama.
Siapakah xxx xxxx? Kita ini semua adalah orang Indonesia yang beragam suku, budaya, dan agamanya. Kita memang dilahirkan berbeda di tanah air yang sama. Maka mari kita sadari keberagaman ini seperti yang diungkapkan oleh video pendek ini yang berjudul Kami Indonesia xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXXXxxxxXxxx Apa yang bisa saya lakukan untuk bisa memperbaiki kesejahteraan spiritualku? Benahilah relasi yang baik dengan dirimu sendiri, dengan sesama, dengan alam lingkungan, dan dengan Tuhan (Yang Transenden). Kita membenahi relasi yang baik dengan keempat kuadran ini dalam konteks keberagaman Indonesia. Apakah itu bisa? Ya harus bisa. Kita semua bisa melakukannya bila ada satu hal dalam hati kita, yaitu: CINTA. DENGAN CINTA KITA AKAN BISA BERELASI DENGAN SIAPAPUN: diri sendiri, sesama, alam lingkungan dan TUHAN seperti yang diungkapkan oleh lagu indah dari BIP ini. xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxXxxxxx-XX
Setelah melakukan pelatihan, dilanjutkan dengan penyusunan rencana tindak lanjut dan evaluasi. Rencana tindak lanjut bertujuan untuk mendorong peserta bukan hanya sebatas mengerjakan tugas dari fasilitator, melainkan juga mampu membuat tahapan kerja, kelompok sasaran dan output yang akan dihasilkan. Maka setelah pelatihan ini terutama menyangkut pentingnya penguatan sikap toleransi melalui pembenahan kesejahteraan spiritual, perlu dirumuskan apa yang mesti dilakukan oleh peserta.
Sebagai langkah awal ada beberapa tugas yang perlu dilakukan oleh peserta agar materi pelatihan bisa efektif dipahami bukan hanya dalam tataran kognitif, tapi juga dalam tataran afektif dan psikomotoris. Adapun tugas itu adalah sbb:(1) Tuliskanlah hal apa yang bisa kamu lakukan untuk membangun relasi yang baik dengan dirimu sendiri, sesama, alam semesta/lingkungan, dan Tuhan! (2) Carilah sebuah benda yang menjadi simbol sebuah toleransi, lalu fotolah benda itu, serta jelaskan mengapa benda itu menjadi/menggambarkan suatu sikap toleransi? Atau (2) Buatlah sebuah gambar atau lukisan yang menggambarkan suatu sikap toleransi dalam hidup bermasyarakat kita! Atau (2) Buatlah sebuah poster yang berisi ajakan bagi kaum remaja untuk selalu menunjukkan sikap toleransi.
Selain menyusun rencana tindak lanjut perlu dilakukan evaluasi terhadap materi, kompetensi nara sumber, penyampaian, dan proses pelaksanaan pelatihan ini. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana materi yang disampaikan sudah memenuhi kebutuhan peserta. Selain itu evaluasi ini digunakan untuk memperbaiki seluruh proses pelaksanaan pelatihan, agar diperoleh modul pelatihan yang lebih baik di masa yang akan datang.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini berhasil menyusun modul intervensi guna meningkatkan sikap toleransi bagi kaum remaja. Paket modul ini terdiri dari 5 sub-modul yang disusun secara terperinci. Dari 4 tahap suatu riset aksi (tahap refleksi, tahap pendefenisian masalah, tahap perumusan solusi, dan tahap aksi), penelitian ini hanya dapat melaksanakan tahap refleksi, pendefinisian masalah, dan perumusan solusi dengan luaran berupa modul intervensi. Modul ini memang sudah disampaikan kepada beberapa remaja di Jakarta dan Bekasi. Namun isi modul ini perlu mendapat umpan balik dari peserta pelatihan spiritual wellbeing demi peningkatan sikap toleransi bagi kaum remaja. Maka disarankan perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap isi dan metode pelaksanaan modul intervensi ini pada saat modul ini digunakan pada pelatihan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Xxxxxx, X. (editor, 2010). Toleransi Beragama Mahasiswa. Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7
Perguruan Tinggi Umum Negeri. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Xxxxxxx, R.K., Xxxxxxxxxx, R.F., Xxxxxxx, C.W. (1991). Norms for the Spiritual Well-Being Scale. Journal of Psychology and Theology 19 (1), 56-70.
Xxxxxxx, X.X. (1983). Spiritual Well-Being: conceptualization and measurement. Journal of Psychology and Theology, 11 (4), 330-340.
Xxxxxx, X.X. (2010). Development and Application of a Spiritual Well-Being Questionaire called SHALOM. Religions 1, 105-121.
Xxxxxx, X.X. (2011). The Four Domains Model: Connecting Spirituality, Health and Well- Being. Religions 2, 17-28.
Xxxxxx, X.X., Xx, D. (2017). Presenting a 4-Item Spiritual Well-Being Index (4-ISWBI).
Religions 8, 179.
Xxxxxxxx, Xxxxxxxxxxx (2018). Benarkah Intoleransi antar Umat Beragama Meningkat, dalam: xxxxx://xxxxx.xx/xxxxxxxx-xxxxxxxxxxx-xxxxx-xxxx-xxxxxxxx-xxxxxxxxx-xXXx diakses pada 28 Agustus 2018.
Xxxxxxx, X. (1995). Emotional Intelligence.: Why it Can Matter More than IQ. New York: Bantam.
Xxxxxxx, M.N., & Xxxxxxxxx, X. (2010). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: AR-RUZ Media. Xxxxxxx, M.N. (2016). Peran Kecerdasan Emosi dalam Meningkatkan Toleransi Beragama.
Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 4 No. 1,139-153.
Xxxxxxxxx, X.X. xxx Xxxxx, M. (2007). Introduction to action research: Social research for social change, 2nd eds. California: Sage Publication.
Xxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx (2014). Toleransi Beragama dalam Pendidikan Multikulturalisme siswa SMA Katolik Sang Timur Yogyakarta. Cakrawala Pendidikan, Th. 32, No. 1, 71-79.
Xxxxxxxxx, Y. (2007). Menepis Prasangka, Memupuk Toleransi untuk Multikulturalisme: Dukungan dari Psikologi Sosial. Surakarta: PSB-PS UMS.
Xxxxx, X.X. (1994). Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Xxxxxxxxx, Y. (2007). The limits of tolerance: A substantive-liberal perspective. Ratio Juris, 20 (2), 230-257.
Xxxxxx, X., & Xxxxxxx, X. (2004). Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Xxxxxxxx, J.W. (2003). Adolescence. McGraw Hill.
Xxxxxxx, Xxxxxxx (2010). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers. Xxxxxxxxx, Xxxx & Xxxxxxx, Xxxxx (2017). Skala Karakter Toleransi: Konsep dan
Operasional Aspek Kedamaian, Menghargai Perbedaan dan Kesadaran Individu, Jurnal Ilmiah Counsellia, vol. 7 no. 2, Nopember: 61-70.
Xxxxxx, X.X. (2011). “Religious Tolerance and its Relationship to Spiritual Maturity and Religious Orientation Among Seventh-day Adventists in Jamaica”. Dissertations. 1523. xxxx://xxxxxxxxxxxxxx.xxxxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxxx/0000
Xxxxxx, X. (1997). On toleration. New Haven, MA: Yale University Press. Xxxxxxxxx, X.X. (2019). The Psychology of Tolerance. Conception and Development,
SpringerBriefs in Psychology, Springer.
Xxxxxxx (2011). Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Xxxxx Xxxxx Utama.
LETTER OF ACCEPTANCE
Jakarta, January 15, 2021
Number: 043-ICEBSH/1501/UNTAR/I/2021
Attention to : Raja Xxxxx Xxxxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxx
The Author(s) of Paper ID : 043-ICEBSH
Developing a Spiritual Well-Being Training Module to increase Tolerance.
We are pleased to inform you that your submission is Accepted for presentation in International Conference on Economics, Business, Social, and Humanities (ICEBSH) 2021. This Paper will be electronically published in ICEBSH 2021 Proceeding, after being reviewed and approved by our Publisher (Atlantis Press Publisher).
Thank you very much for your attention.
Sincerely,
Dr. Eng. Xxxxx Xxxxxxx, M.Eng. Chair
International Conference on Economics, Business, Social and Humanities
Website Email:
Developing a Spiritual Well-Being Training Module to
increase Tolerance
Raja Xxxxx Xxxxxxxxx0,* Heni Mularsih2
1Faculty of Psychology, Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia
2Faculty of Psychology, Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia
*Corresponding author. Email: xxxxx@xxxx.xxxxx.xx.xx
ABSTRACT
This research develops a module for spiritual well-being training to increase tolerance. The aim is that this module can be used as training material to build tolerance for individuals and groups. In addition, this study also aims to implement modules so that they are easy to understand in supporting the implementation of spiritual well-being training. This study uses a qualitative method. The result of the development of this module is training materials which consist of first, exposing some of the phenomena of intolerance in Indonesia. Then in the second part, the reasons and motivation for someone to be intolerant are discussed, especially from a psychological perspective. Third, what effective strategies can be done to overcome this intolerant behavior. Of the many possibilities, it turns out that the results of the study show that improving spiritual well-being plays a role in developing a person's tolerance. Therefore it is necessary to describe the meaning and spiritual dimension of well-being, as well as its relation to tolerance. The fourth material discusses what efforts can be made to improve spiritual well-being, so that tolerance can develop well.
trust that other parties / groups believe. This recognition is not only on the equality of degrees in the state and society structure, but also on differences in how to live and perform worship [3]. Tolerance is a person's awareness to respect, respect, tolerate, and allow their stand, views, beliefs, beliefs, and provide space for the implementation of other people's religious habits, behaviors and practices that are different or contrary to one's own stand in order to build a life together and relationships social better [4]. With tolerance, the unity and integrity of the nation will be preserved. Development can be pursued and continued, so that gaps can be minimized. Relations between religious communities are based on the principle of good brotherhood, working together to face enemies and defend those who are suffering [5].
However, in reality this attitude of tolerance is increasingly tarnished by the behavior of a group of intolerant people in the midst of society. Various violations of freedom of religion and expression (KBB) and expressions of intolerance have shown an increase in intensity at least in the past years. Since the 2019 national political year, there has been an increasing trend in expressions of intolerance and discrimination against minority religious groups [6].
In cases of intolerance, this often involves teenagers. Adolescents are a group of people who are struggling to find their identity and at the same time become a determining group in the progress of future generations. A nation will progress if its youth receive adequate assistance. However, in the current situation, teenagers become perpetrators of intolerance due to the influence of
Keywords: spiritual well-being, training module, tolerance
1. INTRODUCTION
Attitude is a term that reflects the feeling of whether you are happy or not happy with something or someone. According to Xxxxxxx [1], there are three aspects in attitude, namely affect, behavior, and cognition. Affect is a feeling that arises whether happy or unhappy. Behavior is behavior that follows those feelings either approaching or avoiding, and cognition is an assessment of the object of attitude. Therefore attitude is a person's feelings, thoughts and tendencies which are more or less permanent regarding certain aspects of their environment. Attitude components can be in the form of knowledge, feeling, and the tendency to act. In other words, attitude is an evaluative tendency towards an object or subject that has consequences, namely how a person deals with the object of the attitude.
Meanwhile, tolerance is a generous attitude towards other people's principles. This does not mean sacrificing the principles he adheres to, but remains strong in principles that are reflected in a firm attitude to follow his beliefs. According to Xxxxxxxxx [2] tolerance is the ability to withstand things that are not approved in order to build better social relations. Tolerance implies acceptance and respect for the views, beliefs, and values of other groups that are different from us. Meanwhile, intolerance is the unwillingness to respect and accept differences.
So from the description above it can be understood that tolerance means being willing to accept the diversity and
First, action to state an action aimed at transforming a certain group or organization into a more liberating condition. This act of liberation can be interpreted in various ways. The meaning that is in line with this research is liberation through increasing self-awareness of adolescents. By achieving an attitude of tolerance they are expected to see themselves more positively, not as people who are defeated by intolerant groups. Second, the research element, namely the effort to achieve a more liberating condition is achieved through a series of studies. Third, participation. Participants or participants in training (adolescents) are involved as fellow researchers. Researchers work with participants to define the problems that occur, formulate solutions, implement these solutions, then reflect back on the actions that have been taken.
In the process of preparing this training module, the researcher referred to the research and development model compiled by Xxxx & Xxxx [14]. Of the 10 steps in the development of the Borg & Gall model, the researcher summarizes them into five steps, namely: (1) the pre- product development stage, which is collecting information about module needs by conducting a literature study on spiritual well-being and tolerance, as well as field observations, ) the product development stage, namely planning by doing the learning design and writing training modules, (3) the trial stage, namely conducting trials in small groups in the field, (4) the revising stage, namely making improvements in accordance with the suggestions of the activity testing and implementing training modules in the field, (5) the implementation stage, namely conducting product dissemination and application.
their environment. Intolerance cases are a serious problem and can have negative consequences for adolescents if not resolved immediately [7].
Many factors make teenagers fall into intolerant actions in society. Social media makes it easy for teenagers to obtain information from radical views. It is not uncommon for teenagers to be easy targets for extreme organizations that spread radical ideologies that threaten pluralism in Indonesia. Information about radicalism easily reaches teenagers. In addition, adolescents who do not receive adequate spiritual guidance from religious institutions and their families will be increasingly vulnerable to various negative influences including intolerance.
To fortify adolescents from intolerance, it is necessary to pay attention to the spiritual aspect of well-being. Spiritual well-being is an affirmation of living in a relationship with God, self, community and the environment [8]. Spiritual Well-Being is an indication of a person's quality of life in the spiritual dimension or an indication of his spiritual health [9]. According to J.W. Xxxxxx [10] in spiritual well- being, every human individual is built a relationship with himself, others, the environment and God. This relationship is then developed in four interconnected domains. The four domains include the first, the personal domain, where a person relates to himself regarding the meaning, purpose and values in life. This awareness is the determining force of the human spirit in seeking self- identity. Second, the communal domain appears in the quality and depth of interpersonal relationships between oneself and others, related to morality, culture and religion. This relationship is expressed in love, forgiveness, trust, hope and faith. Third, the environmental domain concerns physical and biological maintenance, a sense of belonging and awe and the idea of oneness with the environment. Fourth, the transcendental domain includes the relationship between oneself and something that transcends the human aspect, such as peak concern, cosmic forces and transcendent reality [11].
From the results of research conducted on 1113 junior high and high school students in 5 provinces (DKI, West Java, Central Java, Lampung, and North Sumatra), it was found that there was a significant relationship between spiritual well-being and tolerance, and the higher the level of welfare. spiritual, the better the tolerance attitude of youth [12]. This means that spiritual well-being is the basis for a person in building tolerance towards others. On that basis, in this second year research, a spiritual well-being training module was developed to build tolerance for adolescents. The aim is that through spiritual well-being training, youth can build and improve their tolerance towards others.
3. RESULTS
Module Development
In the first year of research it has been found that there is a relationship between spiritual well-being and attitudes of torelance. The higher a person's spiritual well-being, the higher his tolerance will be [15]. Starting from this fact, a spiritual well-being training module was developed as an effort to build tolerance which is described in the following four sub-modules.
Recognizing the phenomenon of intolerance (Module 1)
This section describes several cases of intolerance that have occurred in Indonesia. The threat of intolerance has become a real thing in society. Judging from the place and time of the incident, incidents of intolerance have occurred in almost every region of Indonesia, and they are occurring more and more frequently. The impact was felt both materially and psychologically because the victim was traumatized and unable to perform worship and was unable to practice his faith freely.
2. METHOD
This training module development research uses a qualitative approach and action research/action research in formulating an intervention model to help increase tolerance for adolescents. According to Xxxxxxxxx and Xxxxx [13] action research has three important elements.
Causes of intolerance: a psychological perspective (Module 2)
After witnessing various cases of intolerance from material I the question arises: Why do people easily become intolerant? Much research and discussion has been conducted to address this question. There is a feeling of being threatened: from whom? From people who are not of their own religion/ethnicity. There is suspicion of adherents of other religions: What is suspicion? The feeling that adherents of other religions will destroy their own faith and beliefs. Having a high level of religious / ethnic fanaticism: assuming that his religion and tribe are the best and greatest. According to the Nusantara Task Force (Satgas) [16] there are three reasons for someone to become intolerant: (1) Globalization which erodes eastern values, eg tolerance; (2) Democracy which is dominated by low class: groups. this is easily influenced to make changes quickly and instantaneously and is irrational; (3) The development of social media (medsos) is very fast so that radical understanding can spread quickly.
In the world of developmental psychology, the debate behind the formation of behavior always leads to two big concepts, namely whether behavior is influenced by nature or nature or behavior is shaped by the process of learning and experience (nurture). Research Xxxxxx Xxxxx, a developmental psychology researcher from Penn State University, United States (US), tries to bridge these two concepts with its research. According to him, genetic factors give humans inner potential. However, it is undeniable that environmental factors play a role in shaping the behavior of each individual. The difference between religious beliefs and concepts that are seen as truth is certainly getting wider in the midst of an increasingly complex society.
Whereas people live not only based on one culture or religion alone, but also live side by side with other communities who have different cultures or religions. This condition causes conflicts to be prone to occur and lead to intolerant behavior. Friction between groups of people who have different beliefs and values is prone to causing intolerant behavior. This is a phenomenon that often occurs in groups of people who have a very high level of religious fundamentalism. They believe that their religion is the most correct compared to other religions. A deeply ingrained identity will build motivation to fight for their religion. This causes individuals willing and courageous to volunteer themselves to fight on behalf of the group to do extreme activities.
young people are vulnerable to engaging in acts of intolerance. Teenagers can become actors who support or sympathize with intolerant groups.
Why do spiritual welfare improvements need to be done to overcome the problem of intolerance? What does spiritual well-being have to do with intolerance? Before answering this question, it is necessary to first explain what spiritual well-being is. Improving spiritual well-being is a solution to overcome intolerance. What is meant by spiritual well- being, what are the dimensions of spiritual well-being, and what is the relationship between spiritual well-being and tolerance? Xxxxx and Xxxxxx state that spiritual well-being is a state that reflects positive feelings, behaviors and cognitions from relationships with oneself and others, as well as relationships with the Almighty (transcedent) and nature, which ultimately gives individuals a sense of identity, wholeness, satisfaction, joy, xxxxxy, love, respect, positive attitude, inner peace and harmony, and purpose and direction of life [17].
Solutions to overcome intolerance through spiritual well- being (Module 3)
The plight of intolerance must be dealt with properly. The way to overcome this is by providing provision to teenagers so that later they are not involved in intolerant acts in society. Provisioning in the form of training must be encouraged from now on considering that teenagers have the potential to become intolerant actors in their homes. If they do not have the correct concept of diversity,
Dimensions of spiritual well-being include: (1) Relationship with oneself (personal domain), relating to oneself, the search for personal meaning, the search for life goals and values. This personal domain is related to self- awareness, which is the driving force of the human soul to achieve identity and self-worth, its aspects: meaning, purpose, values, self-awareness, joy, peace, patience, identity and self-worth. (2) Relationships with others (communal domain) in the form of interpersonal qualities and abilities with a deeper level of quality, building relationships with other people, related to morality and culture. The existence of love, forgiveness, trust, hope and the ability to actualize faith in others, its aspects: moral, culture, religion, depth of interpersonal relationships, forgiveness, justice, love and trust. (3) Relationship with the environment (environmental domain), in the form of natural attachment to the environment, satisfaction during peak experiences, enjoying natural beauty, the ability to maintain the environment in order to benefit the surroundings, aspects: caring, work (taking care of ), a connection with nature, and a peak of awe-inspiring experience. (4) Relationship with transcendent (transcendental domain), the ability to establish a relationship with a creator, involving faith, worship and worship of the transcendent reality, namely God. There is an aspect of faith (faith) in God: a very transcendent interest, a natural force that refers to a sense that transcends time and space, very worry, belief, worship, and worship [18].
After exploring the understanding and spiritual dimension of well-being, we want to see how it relates to tolerance. However, before looking at the relationship, it is worth explaining what is meant by tolerance. In the beginning of this training, several phenomena of intolerance that occur in Indonesia have been witnessed and what factors make people intolerant. So to understand what tolerance is, of course all aspects are contrary to and contrary to intolerance.
Tolerance or tolerant in language this word comes from the Latin tolerare which means to patiently let something. The broad definition of tolerance is a human behavior or attitude that does not deviate from the rules, where someone respects or appreciates every action taken by others (xxxxxxxxx.xxx). Tolerance can also mean an attitude of mutual respect and respect between groups or between individuals (individuals) both within society and in other spheres. An attitude of tolerance can avoid discrimination, even though there are many different groups or groups in a community group. Tolerance occurs because of the desire to avoid disputes that are mutually harmful to both parties.
According to UNESCO tolerance is an appreciation, acceptance, and appreciation of the differences in world culture, and the different forms of expression and human existence. Tolerance is harmony in difference [19]. Xxxx Xxxxxxxxxx & Xxxxx Xxxxxxx [20] which refers to Xxxxx Xxxxxxx'x idea reveal several characteristics or characters of tolerance including (a) peace as a goal, (b) openness and receptive to differences, (c) respect for each other, (d) avoiding fear and indifference, (e) having the seeds of love, (f) appreciating the good in others, (g) accepting life's inconveniences by leaving others with their quirks. Then the aspects of tolerance character can be summarized in the following table
imposing personal opinions on others. So that harmony will be maintained, because they can understand each other. That way, peace will also follow.
From the results of empirical research it has been shown that there is a significant relationship between spiritual well-being and tolerance. Some of the researchers who have analyzed it are as follows: XX Xxxxxx [22] concluded that there is a relationship between tolerance and spiritual maturity. If a person is more spiritually mature then he is more tolerant, than spiritually less mature person. Xxxxxx Xxxxxx [23] examined the relationship between spirituality and tolerance. Quoting a study from the International social source program (2008), Xxxxxx underlines that people who claim to be spiritual are more tolerant than those who claim to be religious. In some countries spirituality is not always associated with belief in God, but has a fairly high religious tolerance. Xxxxxx Xxxxxxxx [24] spirituality makes people more tolerant. Xxxxxxxx and his team concluded that when a person remembers their spiritual beliefs they tend to have feelings of tolerance and less hostility. Xxxxxxxxx & Xxxxxxxx [25] argue that the higher a person's spiritual well-being, the better his tolerance will be.
Table 1 Aspects of the character of tolerance [21]
Tolerance aspect | Tolerance indicator | |
1 | Peace | a. Care b. No fear c. Love |
2 | Respect differences and individuals | a. Respect each other b. Respect other people’s differences c. Respect your self |
3 | Awareness | a. Appreciate the kindness of others b. Open c. Receptive d. Comfort in life e. Convenience with other people |
There are many benefits that can be obtained if the
Strengthening tolerance through improving spiritual well- being (Module 4)
Has spiritual well-being builds tolerance? Why can a spiritually prosperous person have an attitude of tolerance? Do we have to have spiritual well-being to have an attitude of tolerance? The answer is JA. By having spiritual well- being, a person can be more tolerant, because if someone has a good relationship with oneself, others, the environment and God, it will be easier for him to (1) accept and appreciate differences because he has a good relationship with oneself. 2) respecting other people to worship because they have a good relationship with God,
(3) being a good listener, because they have good relationships with others, (4) Do not force their will, because they have a good relationship with themselves, (5)
) able to speak politely because they have a good relationship with the universe.
Various attitudes that can be taken to increase tolerance are (1) accepting and respecting differences, (2) not gossiping, (3) being a good listener, (4) speaking politely,
(5) allowing others to worship, (6) Don't force your will.
To build spiritual well-being can be expressed in various ways as shown in the following table.
Table 2 How to build spiritual well-being [26]
characters mentioned above can be implemented properly,
Dimensions of spiritual well-being | ||||
personal | communa l | environm ental | Trancend ental | |
Knowl edge aspect | Meaning, purpose, values | Morality | Care, nurture | Ultimate concern, |
Essenc | Awarenes | Reaching | Connecte | God |
including: (a) Strengthening nationalism: Tolerance can show how much a person's sense of nationalism. Because people who have high tolerance, usually will have a high sense of love for their homeland. Because he realized that Indonesia is a plural country that has many differences. (b) Strengthening brotherhood: Indonesia consists of various islands. It also consists of various regions with different cultures. With an attitude of tolerance, everyone respects each other and gives equal affection for every difference.
(c) Creating harmony and peace: The linguistically
meaning of tolerance means restraint. That is a sign, everyone who has a sense of tolerance can refrain from
e | s | the heart of humanity | dness with creature | |
Expres sed as | Joy, peace, freedom, humility, identity | Love, forgivene ss, justice | Xxxxxxxx xxxxxx | Adoratio n, worship |
4. CONCLUSION
Since when did we do all that? Starting early in the family. Parents teach their children to love themselves, others, nature and God. The role of parents is important in educating children so that they can have a good relationship with themselves, others, the environment and God. In the following video [27] you can see how a child gets to know another person who has a different culture and religion than him. Good habits that have been instilled in a person from childhood will continue to carry over until he is an adult / old. In other videos such as the following [28] reveals the experience of a poor father who can share even though he is in need. A good attitude to share with others will get good rewards not only from God, but also from others.
Who are we? We are all Indonesians of various ethnicities, cultures and religions. We are born different in the same homeland. So let's be aware of this diversity as revealed by this short video entitled We Are Indonesia [29] What can we do to improve spiritual well-being? The main step is to fix good relationships with oneself, with others, with the natural environment, and with God (The Transcendent). We are fixing good relations with these four quadrants in the context of Indonesia's diversity. Can it be? Yes, you can. We can all do this when there is one thing in our hearts, which is love. With love we will be able to relate to anyone: ourselves, others, the environment and God as expressed by this beautiful song from the BIP band group [30].
After conducting the training, it is followed by the preparation of a follow-up plan and evaluation. The follow-up plan aims to encourage participants not only to do the tasks of the facilitator, but also to be able to make work stages, target groups and outputs to be produced. So after this training, especially regarding the importance of strengthening tolerance through improving spiritual welfare, it is necessary to formulate what participants should do.
As a first step, there are several tasks that need to be done by participants so that the training material can be effectively understood not only at the cognitive level, but also at the affective and psychomotor level. The tasks are as follows (1) Write down what you can do to build good relationships with yourself, others, the universe / environment, and God! (2) Look for an object that is a symbol of tolerance, then take a photo of the object, and explain why the object becomes / describes an attitude of tolerance? Or (2) Draw a picture or painting depicting an attitude of tolerance in our social life! Or (2) Make a poster inviting young people to always show tolerance.
This research succeeded in developing a spiritual well- being training module in building tolerance for adolescents. The training material is divided into four major parts, first is to be aware of the phenomenon of intolerance that occurs in Indonesia, which aims to open the awareness of training participants to the situation of intolerance. The second part explores the psychological basis of why people can become intolerant and what factors influence it. Then the third part discusses solutions that can be done to build tolerance through spiritual well- being, because tolerance is closely related to the condition of one's relationship with oneself, others, the environment and God. So the strategy taken to build an attitude of tolerance is to improve spiritual well-being, which is the fourth topic of discussion, strengthening tolerance through spiritual well-being. In the implementation stage of the training module the facilitator must adapt the training material to the conditions of the participants. This means that not all stages and materials in the module can be carried out during the training through the zoom application. Some parts of the material must be simplified. It is recommended that the implementation of this module be carried out directly through face-to-face meetings, so that the emotional relationship between the facilitator and the training participants can be built. Therefore, the process of building tolerance through improving the spiritual welfare of the participants can be more effective.
ACKNOWLEDGMENT
We would like to thank the Ministry of Research, Technology and Higher Education / National Research and Innovation Agency (Kemenristek Dikti / BRIN) for funding this research for the 2020 fiscal year. We also thank the Directorate of Research and Community Service (DPPM) Tarumanagara University Jakarta which has facilitated us to do this research.
REFERENCES
[1] Xxxxxxx, X.X. (2010). Psikologi Remaja, Raja Grafindo, Jakarta.
[2] Xxxxxxxxx, Y. (2007). Menepis prasangka,
memupuk toleransi untuk multikulturalisme: Dukungan dari psikologi sosial. Surakarta: PSB-PS UMS.
[3] Bahari (ed.). (2010). Toleransi beragama mahasiswa: Studi tentang pengaruh kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar Pendidikan agama, dan lingkungan Pendidikan terhadap toleransi mahasiswa berbeda agama pada 7 perguruan tinggi umum negeri (cet.1) Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
[4] Ghufron, M.N. (2016). Peran Kecerdasan Emosi dalam meningkatkan toleransi beragama. FIKRAH, 4 (1), 138.
[5] Ghufron, M.N. (2016). Peran Kecerdasan Emosi dalam meningkatkan toleransi beragama. FIKRAH, 4 (1), 138.
[6] Press release of Setara Institute 16 November 2020.
[7] Xxxxxxxxxx, X. & Xxxxxxx, X. (2017). Skala
Karakter Toleransi: Konsep dan Operasional Aspek Kedamaian, Menghargai Perbedaan dan Kesadaran Individu, Jurnal Ilmiah Counsellia, Vol. 7 (2), 61-70.
[8] Xxxxxx, X.X. (2011). The Four Domains Model: Connecting Spirituality, Health and Well-Being. Religions 2, 17-28.
[9] Xxxxxxx, X.X. (1983). Spiritual Well-being: Conceptualization and measurement. Journal of Psychology and Theology, 11 (4), 330-340; Xxxxxxx, R.K., Xxxxxxxxxx, R. F., Xxxxxxx, C.W. (1991). Norms for the Spiritual Well-being Scale. Journal of Psychology and Theology 19 (1), 56- 70.
[10] Xxxxxx, X.X. (2011). The Four Domains Model: Connecting Spirituality, Health and Well- Being. Religions 2, 17-28.
[11] Xxxxxx, X.X. (2011). The Four Domains Model: Connecting Spirituality, Health and Well- Being. Religions 2, 17-28; Xxxxxx, X.X., & Xx, X. (2017) Presenting a 4-Item Spiritual Well-Being Index (4-ISWBI). Religions 8, 179.
[12] Xxxxxxxxx, R.O. & Xxxxxxxx, H. (2020). Relationship of Spiritual Well-Being and Attitudes of Tolerance. CELL EAI DOI: 10.4108/eai.5-8-2019.2291041
[13] Xxxxxxxxx, X.X. and Xxxxx, M. (2007) Introduction to action research Social research for social change. Sage Publications, Thousand Oaks.
[14] Xxxx, X.X., & Xxxx, M.D. (2007). Education research: an Introduction, 8th ed., Utah State University, Xxxxxxx.
[15] Xxxxxxxxx, R.O. & Xxxxxxxx, H. (2020). Relationship of Spiritual Well-Being and Attitudes of Tolerance. CELL EAI DOI: 10.4108/eai.5-8-2019.2291041
[16] Xxxxxx.xxx, 11/15/2019.
[17] Xxxxx, X., & Xxxxxx, X. X. (2005). The spiritual well-being questionnaire: Testing for model applicability, measurement and structural equivalencies, and latent mean differences across gender. Personality and Individual Differences, 39(8), 1383–
1393. xxxxx://xxx.xxx/00.0000/x.xxxx.0000.00.000
[18] Xxxxxx, X.X., & Xx, D. (2017) Presenting a 4- Item Spiritual Well-Being Index (4-ISWBI). Religions 8, 179.
[19] Xxxxx, X.; Xxxx, X.X.; Xxxxxx, X.; Xxxxxxxx, X.X. (2020). A New Approach
to the Study of Tolerance: Conceptualizing and Measuring Acceptance, Respect, and Appreciation of Difference. Social Indicators Research 147:897–919
xxxxx://xxx.xxx/00.0000/x00000-000-00000-x
[20] Xxxxxxxxxx, X. & Xxxxxxx, X. (2017). Skala Karakter Toleransi: Konsep dan Operasional Aspek Kedamaian, Menghargai Perbedaan dan Kesadaran Individu, Jurnal Ilmiah Counsellia, Vol. 7 (2), 61-70.
[21] Xxxxxxxxxx, X. & Xxxxxxx, X. (2017). Skala Karakter Toleransi: Konsep dan Operasional Aspek Kedamaian, Menghargai Perbedaan dan Kesadaran Individu, Jurnal Ilmiah Counsellia, Vol. 7 (2), 61-70.
[22] Xxxxxx, X.X., (2011), “Religious Tolerance and its Relationship to Spiritual Maturity and Religious Orientation Among Seventh-day Adventists in Jamaica”. Dissertations.1523. xxxx://xxxxxxxxxxxxxx.xxxxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxxx/0 523
[23] Xxxxxx, X. (2013). Spirituality and Religious Tolerance. Implicit Religion 16 (1), 65-91.
[24] Xxxxxxxx, X., XxXxxxxx, I., Xxxx, X. X., & Xxxx, X. (2014). Religious magnanimity: Reminding people of their religious belief system reduces hostility after threat. Journal of Personality and Social Psychology, 107(3), 432– 453. xxxxx://xxx.xxx/00.0000/x0000000
[25] Xxxxxxxxx, R.O. & Xxxxxxxx, H. (2020).
Relationship of Spiritual Well-Being and Attitudes of Tolerance. CELL EAI DOI: 10.4108/eai.5-8-2019.2291041
[26] Xxxxxx, X.X. (2011). The Four Domains Model: Connecting Spirituality, Health and Well-Being. Religions 2, 17-28.
[27] xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxxx0xxXXXX
[28]
xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxxxxXxXx0 8&t=77s
[29]
xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXXXxxxxXxxx
[30] xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxXxxxxx-XX
Modul
Pelatihan Spiritual Well-Being untuk Membangun Sikap Toleransi
Oleh:
Dr. Raja Xxxxx Xxxxxxxxx, X.Xx.
Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara 2020
Modul ini kupersembahkan kepada siapapun yang menjunjung tinggi toleransi
Kata Pengantar
Syukur dihaturkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena berkat bantuanNya modul ini telah selesai disusun. Modul Pelatihan Spiritual Well-Being untuk membangun Sikap Xxxxxxxxx merupakan sebagian dari hasil penelitian Xxxxx Xxxxxxdikti tahun kedua pelaksanaan 2020 yang berjudul: Peran Spiritual Well-Being dan Kecerdasan Emosi dalam Meningkatkan Sikap Toleransi bagi Kaum Remaja. Modul ini secara khusus ditujukan untuk pelatihan bagi kaum remaja yang masih duduk di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) karena mereka adalah salah satu kelompok penting masyarakat yang akan menentukan masa depan negara dan bangsa. Itulah sebabnya tema yang dibahas dalam pelatihan ini menolong para remaja untuk memahami dan mengenal kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang penuh dengan pengalaman intoleran.
Maka pembahasan materi dimulai dengan penunjukan beberapa fenomena intoleransi di Indonesia saat ini dan bagaimana para tokoh masyarakat dan pemerintah untuk mengatasinya. Kemudian para peserta diajak untuk menganalisa dan menggali mengapa perilaku intoleran itu bisa terjadi. Faktor apa saya yang mempengaruhi dan membuat seseorang menjadi intoleran? Setelah memahami penyebab seseorang bersikap intoleran para peserta diarahkan untuk melihat bahwa masalah intoleransi ini menyangkut masalah relasi. Artinya ada persoalan relasi yang kurang beres antara sesame manusia di tangah air. Oleh karena itu untuk mengatasi persoalan intoleransi ini, maka harus dibenahi masalah relasi seseorang dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan dengan Tuhan. Maka atas dasar itu solusi yang bisa mengatasi persoalan intoleransi adalah dengan membenahi kesejahteraan spiritual (spiritual well-being) seseorang, karena kesejahteraan spiritual adalah suatu kondisi yang harmonis dan baik relasi seseorang dengan dirinya sendiri, sesama, lingkungan dan Allah sendiri. Pada bagian berikut peserta diajak untuk memahami apa itu spiritual well-being dan dimensinya. Lalu dilihat juga hubungan antara spiritual well-being dengan sikap toleransi dari hasil-hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan. Maka peserta diajak untuk mendalami gagasan bahwa penguatan toleransi bisa dilakukan melalui perbaikan kesejahteraan spiritual seseorang. Pada akhirnya peserta diminta untuk menyusun rencana kerja yang bisa diaplikasikan setelah selesai pelatihan. Rencana tindak lanjut ini perlu konkrit sehingga bisa diwujudkan di tengah masyarakat. Kaum remaja perlu melatih diri untuk membenahi diri sendiri dengan memperbaiki relasi dengan diri sendiri, sesama, lingkungan dan Tuhan.
Pelatihan ini menuntut keterlibatan penuh para peserta dalam seluruh proses pelatihan yang berlangsung selama dua hari. Maka fasilitator diharapkan bisa membuka segala sekat-sekat di antara para peserta sejak awal pelatihan, sehingga mereka bisa mengungkapakan pendapat tanpa rasa takut dan enggan. Dengan prinsip kesetaraan maka diharapkan para peserta dapat berkembang baik secara individu maupun kelompok. Xxxxxx kritik membangun untuk perbaikan modul ini diterima dengan senang hari.
Jakarta, 15 Agustus 2020 Dr. Raja Xxxxx Xxxxxxxxx
Daftar Isi
Kata Pengantar 3
Daftar Isi 4
Peta Kedudukan Modul 5
Glosarium 6
Pendahuluan 7
Materi I Perkenalan dan Kontrak Pelatihan 9
Materi II Fenomena Intoleransi 11
Materi III Penyebab orang Intoleran: Perspektif Psikologis 13
Materi IV Solusi Mengatasi Intoleran: Spiritual Well-Being (Kesejahteraan Spiritual) 15
Materi V Hubungan Spiritual Well-Being dan Sikap Toleransi 18
Materi VI Penguatan Toleransi melalui Spiritual Well-Being 21
Materi VII Rencana Tindak Lanjut dan Evaluasi 23
Daftar Pustaka 25
Biodata Penulis 26
Lampiran 1 Angket spiritual well-being dan sikap toleransi 27
Lampiran 2 Lembaran Isian Tindak Lanjut 31
Lampiran 3 Lembaran Evaluasi 32
Peta Kedudukan Modul
Membangun Spiritual Well-being untuk meningkatkan Sikap Toleransi
Fenomena Intoleransi
Penyebab Perilaku Intoleran:
- Fanatisme
- Fundamentalisme
- Medsos
Persoalan Relasi
Pembenahan Spiritual Well-Being
(kesejahteraan spiritual)
Pembenahan Relasi
Pengertian Spiritual well-being
Dimensi Spiritual well-being:
-relasi dg diri sendiri
-relasi dg sesama
-relasi dg lingkungan
-relasi dg Tuhan
Dampaknya?
Pengertian Toleransi
Perbaikan Sikap Toleransi
Dimensi Toleransi
Spiritual well-being berhubungan dengan Sikap Toleransi
Semakin baik spiritual well-being seseorang, maka semakin baik juga sikap toleransi
Orang yang memiliki sikap toleransi yang tinggi biasanya memiliki spiritual well-being yang baik juga.
Glosarium
Fanatisme: paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan, misalnya fanatisme agama atau fanatisme terhadap club speak bola tertentu.
Fasilitator: seseorang yang membantu sekelompok orang memahami tujuan bersama mereka dan membantu mereka membuat rencana guna mencapai tujuan tersebut tanpa mengambil posisi tertentu dalam diskusi
Fenomena: dari bahasa Yunani; phainomenon, "apa yang terlihat", dalam bahasa Indonesia bisa berarti: gejala, misalkan gejala alam. hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra.
Fundamentalisme: sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fundamental).
Globalisasi: proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya.
Modul: suatu paket belajar yang berisi suatu unit materi belajar, yang dapat dibaca atau dipelajari seseorang secara mandiri. Modul disusun dalam bentuk tertentu untuk keperluan belajar.
Pelatihan: sebuah kegiatan yang bertujuan mengembangkan kepemimpinan untuk mencapai keefektifan pekerjaan individual yang lebih besar dan hubungan antarpribadi dalam organisasi.
Spiritual well-being (kesejahteraan spiritual): suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya, suatu kedaan yang serba baik atau suatu kondisi dimana orang- orang dalam keadaan makmur, sehat dan damai.
Toleransi: perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain.
PENDAHULUAN
Alur Pelatihan
Modul ini merupakan sebuah upaya kecil untuk membantu penyelenggaraan pelatihan toleransi melalui pembenahan kesejaheraan spiritual berbasis sekolah. Modul ini secara khusus ditujuan bagi kaum remaja, karena mereka merupakan salah satu unsur penting masyarakat yang menentukan masa depan bangsa ini. Pelatihan ini diharapkan mampu menolong kaum remaja memahami esensi toleransi yang berkaitan erat dengan kesejahteraan spiritual.
Metodologi
Modul ini dimaksudkan sebagai manual bagi model pelatihan bagi kaum remaja. Walaupun modul ini dirancang dengan mengandaikan bahan bacaan yang luas dan mendalam, namun bukanlah dimaksud untuk model pelatihan yang bersifat monolog. Modul ini dirancang untuk pelatihan bersifat partisipatif, yang mengharapkan keterlibatan aktif dari peserta pelatihan. Memang ada bagian tertentu yang diisi oleh nara sumber sebagai penambah wawasan. Untuk mencairkan situasi pelatihan pada awal pelatihan para fasilitator diharapkan mampu membuka sekat-sekat yang ada di antara para remaja. Sebagai manual pelatihan modul ini diharapkan mampu menolong fasilitator untuk memperlancar proses berlangsungnya pelatihan. Fasilitator diharapkan mampu menguasai materi dan situasi pelatihan dengan baik, agar tujuan yang diharapkan bisa tercapai.
Ada 7 materi pelatihan ini,yaitu (1) perkenalaan dan kontrak pelatihan. Pada bagian ini fasilitator perlu menghilangkan sekat yang ada di antara peserta melalui perkenalan. Kemudian mereka diajak untuk merumuskan kekawatiran dan harapan para peserta dari pelatihan ini. Materi (2) berusaha menampilkan beberapa fenomena intoleransi yang terjadi saat ini di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menyadarkan peserta akan situasi actual yang ada. Persoalan intoleransi itu memang nyata dan ada di sekitar kita. Setelah melihat fakta yang ada peserta diajak untuk merefleksikan fakta tersebut dengan materi (3) mengapa orang suka bersikap intoleran? Para peserta diminta memberi pendapat mereka berdasarkan hasil pemikiran mereka sendiri. Lalu fasilitator kemudian melengkapinya dengan menguraikan landasan psikologis yang menyebabkan seseorang menjadi intoleran. Setelah memahami mengapa orang bersikap intoleran, maka perlu dicarikan solusi apa yang efektif untuk mengatasinya. Inilah menjadi topik bahasan materi berikutnya (4). Dari bermacam cara yang mungkin bisa dilakukan, fasilitator menemukan tawaran dengan pembenahan kesejahteraan spiritual (spiritual well-being). Tentu saja para remaja masih asing dengan istilah tersebut, maka perlu dilakukan penjelasan apa yang dimaksud dengan kesejahteraan spiritual. Apa saja dimensinya dan factor apa yang perlu dilakukan agar seseorang memiliki kesejahteraan spiritual yang baik. Sesudah memahami arti dan dimensi kesejahteraan spiritual, maka Langkah
Remaja, kes. Spiritual dan Toleransi
Toleransi melalui kesejahteraan spiritual
Solusi Intoleransi
Fenomena Intoleransi
selanjutnya perlu dilihat kaitan antara kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi di kalangan para remaja. Inilah menjadi materi berikut (5). Pada meteri selanjutnya (6) para peserta diajak untuk memikirkan dan merenungkan upaya apa yang bisa dilakukan untuk membenahi kesejahteraan spiritual, sehingga sikap toleransinya pun bisa terbangun dengan baik. Tentu uraian materi ini tidak hanya teoretis belaka, tapi mau tak mau harus diwujudkan dalam Tindakan konkrit. Pada materi (7) berikutnya peserta diajak untuk memikirkan tindakan apa yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut. Pada akhirnya dilakukan evaluasi untuk mengatahui sejauh mana pelatihan ini efektif membantu para remaja dan hal apa yang perlu dilakukan demi pelaksanaan pelatihan di hari mendatang. Oleh sebab itu pelatihan ini akan mengikuti skema berikut:
Mengapa intoleran?
Perkenalan
Tindak Lanjut dan Evaluasi
Jadwal Pelatihan
Hari I
07.00 – 08.00 : Registrasi dan Pendaftaran
08.00- 10.00 : Materi I dan II: Perkenalan dan Fenomena Intoleransi
10.00- 10.30 : Istirahat/coffee break
10.30- 12.00 : Diskusi Kelompok
12.00-13.30 : ISHOMA
13.30 – 15.30 : Materi III dan IV: Mengapa intoleran dan Apa solusinya?
15.30 – 16.00 : Istirahat/coffee break
16.00 – 17.30 : Diskusi/kerja kelompok
17.30 – 19.00 : Mandi/Makan Malam/Sholat
19.00 – 21.00 : Materi V: Remaja di antara kesejahteraan spiritual dan toleransi
21.00 - : Penutupan hari I
Hari II
07.00 – 08.00 : Registrasi dan Pendaftaran 08.00- 10.00 : Diskusi/Xxxxx Xxxxxxxx 10.00- 10.30 : Istirahat/coffee break
10.30- 12.00 : Materi VI: Toleransi melalui
kesejahteraan spiritual 12.00-13.30 : ISHOMA
13.30 – 15.30 : Diskusi/Xxxxx Xxxxxxxx
15.30 – 16.00 : Istirahat/coffee break
16.00 – 17.30 : Materi VII: Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut
17.30 – 19.00 : Mandi/Makan Malam/Sholat
19.00 – 20.00 : Evaluasi dan Penutupan Pelatihan
Materi I
Perkenalan dan Kontrak Pelatihan
Tujuan Perkenalan:
1) Tercipta suasana akrab dan terbuka antara fasilitator dan peserta dan antara sesame peserta sehingga memudahkan proses pelatihan berikutnya.
2) Membuat fasilitator dan peserta saling mengenal.
3) Menimbulkan suasana dinamis, aktif dan partisipatif dalam mengemukakan gagasan saat diskusi atau tukar pikiran berlangsung.
Tujuan Kontrak Pelatihan:
1) Membangun komitmen Bersama mengenai aturan dan tata tertib pelatihan.
2) Menyepakati apa yang mau dicapai dalam pelatihan
3) Membuat kesepakatan, komitmen dan harapan Bersama sebagai bahan evaluasi.
Metode: Penuturan lisan dan brainstorming
Bahan/Alat: Kertas HVS, kertas plano, spidol dan lakban.
Waktu: 60 menit
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Fasilitator membuka sesi dan menjelaskan pentingya perkenalan sebagai langkah awal proses pelatihan.
2) Fasilitator memperkenalkan diri, kemudian mempersilahkan masing-masing peserta memperkenalkan diri.
3) Setiap peserta memperkenalkan diri.
4) Fasilitator menyimpulkan hasil perkenalan, lalu melanjutkan dengan kontrak perjanjian. Fasilitator membagikan kertas kepada peserta dan mereka diminta menuliskan apa saja harapan mereka dalam pelatihan ini.
5) Fasilitator mengumpulkan kertas, lalu membacakannya dan memberikan komentar/penyimpulan dari apa yang dibacakan.
6) Fasilitator menuliskan aturan selama pelatihan yang harus ditepati dan ditaati semua peserta pelatihan.
7) Menutup sesi ini fasilitator mengajak para peserta untuk mengisi angket mengenai spiritual well- being dan sikap toleransi sebagai pre-test (bahannya lihat lampiran 1).
Materi II
Mengenal Fenomena Intoleransi
Pengantar Materi:
Pada bagian ini diungkapkan beberapa kasus intoleransi yang pernah terjadi di Indonesia. Ancaman intoleransi sungguh menjadi hal yang nyata di masyarakat. Dilihat dari tempat dan waktu kejadian, peristiwa intoleransi ini terjadi di hampir setiap wilayah Indonesia, dan kejadiannya pun semakin sering terjadi. Dampaknya pun sungguh terasa baik dari sisi materi maupun psikologis karena korbannya mengalami trauma dan tidak bisa melakukan ibadah dan tidak bisa mempraktekkan keyakinannya secara bebas. Pada tahun 2015 terjadi konflik antara agama di Aceh Singkil, dimana beberapa rumah ibadah Kristiani dibakar dan dibongkar. Dampak dari kejadian ini sekelompok warga Kristen tidak bisa beribadah dengan bebas dan tidak memiliki rumah ibadah secara permanan hingga sekarang ini (Amindoni, 2019; xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xx0xXxxx0xXXX). Selain itu komunitas Huria Xxxxxxx Xxxxx Protestan (HKBP) Bekasi mengalami intimidasi saat melaksanakan ibadah mingguan, karena mereka dituding membangun rumah ibadah di sekitar warga muslim. Saat jemaat sedang berdoa, diluar tempat ibadah diperdengarkan lagu-lagu musim yang keras. Demikian juga terjadi gangguan terhadap sekelompok warga Kristen yang sedang beribadah di rumah. Para warga intoleran menuding kelompok Xxxxxxx menggunakan rumah pribadi untuk beribadah (xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxxX0xXXxxXxX). Pada kesempatan lain di tahun 2018 sekelompok warga Ahmadiyah yang sedang melakukan acara keagamaan di Surakarta didatangi oleh sekelompok warga intoleran agar mengakhiri kegiatan mereka. Kaum intoleran ini menuduh Ahmadiyah mengotori akidah Islam (xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xx0xXxxxXxXx0).
Tujuan:
1) Memperoleh gambaran yang utuh mengenai persoalan intoleransi di Indonesia.
2) Memetakan persoalan intoleransi berdasarkan studi kasus yang pernah terjadi.
3) Mengupas anatomi kasus intoleransi.
4) Membangun sikap kritis terhadap kasus intoleransi serta menggali latar belakangnya.
Pokok Bahasan:
1) Pemetaan kasus intoleransi berdasarkan lokasi dan waktu.
2) Dampak konflik dan intoleransi di Indonesia.
3) Sumber-sumber konflik dan intoleransi di Indonesia.
Metode: Ceramah, dialog dan brainstorming.
Alat-alat: PPT, spidol, rekaman video dari youtube, kertas plano, kliping koran, majalah.
Waktu: 90 Menit.
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Fasilitator menjelaskan materi yang mau dibahas. Lalu memutarkan rekaman video dari beberapa kasus intoleransi di Indonesia.
2) Fasilitator mengajak peserta menganalisa video yang baru saja disaksikan: Data-data kejadian mengenai tempat, pelaku, alur kejadian, dan komentar dan tanggapan media massa.
3) Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk membagikan hasil pengamatannya mengenai intoleransi di Indonesia.
4) Fasilitator kemudian menyimpulkan hasil diskusi dan bedah kasus intoleransi di Indonesia.
5) Fasilitator mengakhiri sesi.
Materi III
Penyebab Orang Intoleran: Perspektif Psikologis
Pengantar Materi
Setelah menyaksikan berbagai kasus intoleran dari materi II muncul pertanyaan: Mengapa orang gampang menjadi intoleran? Banyak penelitian dan diskusi dilakukan untuk menjawab persoalan itu. Ada perasaan terancam: dari siapa? Dari orang yang tidak seagama/sesuku dengan dirinya sendiri. Ada kecurigaan kepada penganut agama lain: Apa kecurigaan itu? Perasaan bahwa penganut agama lain akan merusak iman dan keyakinannya sendiri. Memiliki tingkat fanatisme agama/suku yang tinggi: menganggap bahwa agamanya dan sukunya yang paling baik dan hebat. Menurut Satgas Nusantara (Xxxxxx.xxx, 15/11/2019) ada tiga penyebab seseorang menjadi intoleran: (1) Globalisasi yang menggerus nilai-nilai ketimuran, mis. Toleransi; (2) Demokrasi yang didominasi low class: kelompok ini gampang dipengaruhi untuk melakukan perubahan secara cepat dan instan dan kurang rasional; (3) Perkembangan media sosial (medsos) yang amat cepat sehingga paham radikal bisa menyebar dengan cepat.
Di dalam dunia psikologi perkembangan, perdebatan yang melatarbelakangi terbentuknya perilaku selalu mengarah pada dua konsep besar, yaitu apakah perilaku dipengaruhi oleh sifat alami dan bawaan (nature) atau perilaku dibentuk oleh proses pembelajaran dan pengalaman (nurture).Penelitian Xxxxxx Xxxxx, peneliti psikologi perkembangan dari Penn State University, Amerika Serikat (AS), berusaha menjembatani dua konsep ini dengan penelitiannya. Menurutnya, faktor genetika memberikan manusia potensi dalam diri. Namun, tidak dipungkiri bahwa faktor lingkungan memainkan peranan dalam membentuk perilaku tiap individu. Perbedaan tentang keyakinan dan konsep agama yang dipandang sebagai sebuah kebenaran tentu semakin lebar di tengah tatanan masyarakat yang semakin kompleks.
Padahal, masyarakat hidup tidak hanya berdasarkan satu budaya atau agama semata, melainkan hidup berdampingan dengan masyarakat lain yang memiliki budaya atau agama berbeda. Kondisi ini yang menyebabkan konflik rentan terjadi dan berujung pada perilaku intoleran. Gesekan di antara tiap kelompok masyarakat yang memiliki kepercayaan dan nilai yang berbeda rentan menimbulkan perilaku intoleran. Ini fenomena yang terutama terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat fundamentalisme agama sangat tinggi: mereka yang meyakini agamanya paling benar dibandingkan agama lainnya. Identitas yang telah tertanam kuat akan membangun motivasi mau berjuang untuk
agamanya, sehingga menjelaskan kenapa individu mau dan berani merelakan dirinya untuk kelompok dan bertarung atas nama kelompok, termasuk melakukan kegiatan ekstrem.
Tujuan:
1) Memperoleh gambaran secara psikologis mengapa orang bersikap intoleran.
2) Menjelaskan aspek-aspek yang mendorong orang menjadi intoleran.
3) Mengupas dua faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.
Pokok Bahasan:
1) Landasan psikologi sikap intoleransi.
2) Aspek pendorong perilaku intoleransi.
3) Faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.
Metode: Ceramah, dialog dan kerja kelompok.
Alat-alat: PPT, spidol, rekaman video dari youtube, kertas plano, kliping koran, majalah.
Waktu: 90 Menit.
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Fasilitator membuka sesi ini dengan menjelaskan topik yang dibahas dan tujuannya. Lalu fasilitator mepresentasikan materi melalui power point.
2) Kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab megenai materi yang dibawakan. Selanjutnya fasilitator mengajak peserta untuk masuk dalam kelompok kecil untuk mendiskusikan alas an- alasan yang membuat orang cenderung bersikap intoleransi.
3) Adapun bahan diskusi atau sharing pengalaman yang dibawakan dalam kelompok adalah sbb: a) Menurut Xxxx mengapa orang suka bersikap intoleran, b) Apakah menurut Anda sikap intoleransi yang dimiliki oleh Sebagian masyarakat merupakan perilaku yang dipengaruhi oleh pengalman dari lingkungannya atau memang sudah menjadi pembawaannya sejak lahir? c) Menurut Anda faktor mana yang lebih dominan mempengaruhi perilaku manusia, yaitu faktor bawaan seseorang atau faktor pengalaman sebagai hasil pengaruh lingkungannya?
4) Setelah diskusi kelompok fasilitator mengajak peserta Kembali ke pleno dan masing-masing kelompok melaporkan hasil diskusinya dan fasilitator memberi kesimpulan dari setiap laporan kelompok.
5) Setelah selesai rapat pleno maka fasilitator mengakhiri sesi ini.
Materi IV
Solusi Mengatasi Intoleran: Spiritual Well-Being
(Kesejahteraan Spiritual)
Pengantar Materi
Masalah yang menggurita menyangkut intoleransi mesti diatasi dengan benar. Cara mengatasinya ialah dengan memberikan pembekalan kepada para remaja agar kelak mereka tidak terlibat dalam Tindakan intoleran di tengah masyarakat. Pembekalan berupa pelatihan ini wajib digalakkan dari sekarang mengingat para remaja berpotensi menjadi pelaku intoleran di tempat tinggalnya. Bila tidak memiliki konsep yang benar mengenai keanekaragaman, maka para remaja rentan terlibat dalam Tindakan intoleransi. Kalau bukan sebagai pelaku utama, bisa menjadi pelaku pendukung atau simpatisan dari kelompok intoleran.
Mengapa pembenahan kesejahteraan spiritual perlu dilakukan untuk mengatasi masalah intoleran? Apa hubungan kesejahteraan spiritual dengan sikap intoleransi? Sebelum menjawab persoalan itu perlu lebih dahulu dijelaskan apa itu spiritual well-being (kesejahteraan spiritual). Pembenahan kesejahteraan spiritual (spiritual well-being) merupakan solusi mengatasi intoleran: Apa yang dimaksud dengan kesejahteraan spiritual, apa saja dimensi dari kesejahteraan spiritual, apa hubungan kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi? Apa pengertian kesejahteraan spiritual? Xxxxx dan Xxxxxx menyatakan bahwa kesejahteraan spiritual adalah suatu keadaan yang merefleksikan perasaan positif, perilaku dan kognisi dari hubungan dengan diri sendiri dan orang lain, serta hubungan dengan Yang Maha Kuasa (transcedent) dan alam, yang pada akhir-nya memberikan individu suatu rasa identitas, keutuhan, kepuasan, suka cita, keindahan, cinta, rasa hormat, sikap positif, kedamaian dan keharmonian batin, serta tujuan dan arah dalam hidup (2005).
Dimensi kesejahteraan spiritual meliputi: (1)Hubungan dengan diri sendiri (domain personal), berkaitan dengan diri sendiri, pencarian makna pribadi, pencarian tujuan dan nilai-nilai kehidupan. Domain pribadi ini berkaitan dengan kesadaran diri, yaitu kekuatan pendorong jiwa manusia untuk mencapai identitas dan harga diri, aspeknya: makna, tujuan, nilai-nilai, kesadaran diri, kegembiraan, perdamaian, kesabaran, identitas, dan nilai diri. (2) Hubungan dengan orang lain (domain communal) berupa kualitas dan kemampuan interpersonalnya dengan tingkat kualitas lebih mendalam, menjalin hubungan dengan orang lain, berkaitan dengan moralitas dan budaya. Adanya kasih sayang, pengampunan, kepercayaan, harapan dan kemampuan mengaktualisasikan iman terhadap sesama, aspeknya: moral, kebudayaan, agama, kedalaman hubungan antar personal, pemaaf, keadilan, cinta dan kepercayaan. (3) Hubungan dengan lingkungan (domain environmental), berupa keterikatan terhadap lingkungan secara natural, kepuasan
saat mengalami pengalaman puncak (peak experience), menikmati keindahan alam, kemampuan untuk memelihara lingkungan agar dapat memberi manfaat terhadap sekitar, aspeknya: mempedulikan, pekerjaan (mengurus), hubungan dengan alam, dan puncak pengalaman yang menimbulkan kekaguman.
(4) Hubungan dengan transenden (domain transcendental), kemampuan untuk menjalin hubungan dengan pencipta, melibatkan iman, pemujaan dan penyembahan terhadap realitas transenden yaitu Tuhan. Ada kepercayaan (faith) terhadap Tuhan aspeknya: kepentingan yang sangat pada transenden, kekuatan alam yang mengacu pada rasa yang melampaui ruang dan waktu, kekhawatiran yang sangat, keyakinan, penyembahan, dan ibadah (Fisher & Ng, 2017).
Tujuan:
1) Menjelaskan bahwa solusi yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah intoleran adalah pembenahan kesejahteraan spiritual.
2) Menjelaskan pengertian kesejahteraan spiritual.
3) Mengulas dimensi-dimensi yang dimiliki kesejahteraan spiritual.
Pokok Bahasan:
1) Mengatasi masalah intoleransi melalui kesejahteraan spiritual.
2) Pengertian kesejahteraan spiritual.
3) Dimensi kesejahteraan spiritual.
Metode: Ceramah, dialog dan diskusi kelompok.
Alat-alat: PPT, spidol, rekaman video dari youtube, kertas plano, kliping koran, majalah.
Waktu: 90 Menit.
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Fasilitator mengawali sesi ini dengan penjelasan singkat topik yang mau dibahas, yakni bahwa masalah intoleransi hanya bisa diatasi dengan membenahi kesejahteraan spiritual. Mengapa dengan kesejahteraan spiritual dan bukan dengan yang lain, fasilitator menguraikan bahwa bila seseorang melakukan Tindakan intoleransi, maka orang bersangkutan sebenarnya mengalami masalah relasi. Artinya, dia tidak bisa membangun relasi yang harmonis dengan orang lain. Dia mengganggap diri sebagai orang yang paling benar. Oleh karena itu untuk memperbaikinya, perlu dilakukan pembenahan relasi dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan Tuhan. Hanya orang yang memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan orang lain dapat melaksanakan sikap toleransi. Dengan kata lain orang yang bisa bertoleransi berarti dia sudah
memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan Tuhan. Bila itu terpenuhi, maka dia memiliki kesejahteraan spiritual yang baik.
2) Kemudian fasilitator menguraikan ap aitu kesejahteraan spiritual dan dimensi-dimensinya. Dalam menguraikan pengertian kesejahteraan spiritual dan dimensinya fasilitator menggunakan PPT.
3) Tahap selanjutnya adalah melakukan tanya jawab dan diskusi mengenai topik yang dibahas. Fasilitator kemudian merangkum hasil diskusi dan menutup sesi ini.
Materi V
Hubungan Spiritual Well-Being dan Sikap Toleransi
Pengantar Materi
Setelah mendalami pengertian dan dimensi spiritual well-being (kesejahteraan spiritual) kita mau melihat bagaimana hubungannya dengan sikap toleransi. Namun sebelum melihat hubungan itu patut dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan toleransi. Dalam awal pelatihan ini sudah disaksikan beberapa fenomene intoleransi yang terjadi di Indonesia dan faktor apa yang membuat orang bersikap intoleran. Maka untuk memahami ap aitu toleransi, tentu segala aspek yang bertentangan dan berlawanan dengan intoleransi.
Toleransi atau toleran secara bahasa kata ini berasal dari bahasa Latin tolerare yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Pengertian toleransi secara luas adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain (xxxxxxxxx.xxx). Toleransi juga dapat berarti suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok atau antar individu (perseorangan) baik itu dalam masyarakat ataupun dalam lingkup yang lain. Sikap toleransi dapat menghindari terjadinya diskriminasi, walaupun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok masyarakat. Toleransi terjadi karena adanya keinginan-keinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak.
Menurut UNESCO toleransi adalah penghargaan, penerimaan, dan apresiasi atas perbedaan budaya dunia, dan bentuk ekspresi dan keberadaan manusia yang berbeda-beda. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan (Xxxxx et al., 2020). Xxxx Xxxxxxxxxx & Xxxxx Xxxxxxx (2017) yang mengacu pada gagasan Xxxxx Xxxxxxx mengungkapkan beberapa ciri-ciri atau karakter dari toleransi meliputi (a) kedamaian sebagai tujuan, (b) terbuka dan reseptif terhadap perbedaan, (c) menghargai individu satu sama lain, (d) menghindari ketakutan dan ketidakpedulian, (e) memiliki benih cinta, (f) menghargai kebaikan dalam diri orang lain, (g) menerima ketidaknyamanan hidup dengan membiarkan orang lain dengan kekhasannya.
Maka aspek karakter toleransi dapat diringkas dalam table berikut ini.
Tabel 1 Aspek Karakter Toleransi (Xxxxxxxxxx & Xxxxxxx, 2017)
No | Aspek Toleransi | Indikator Toleransi |
1 | Kedamaian | a. Peduli b. Ketidaktakutan c. Cinta |
2 | Menghargai perbedaan dan individu | a. Saling menghargai satu sama lain b. Menghargai perbedaan orang lain c. Menghargai diri diri sendiri |
3 | Kesadaran | a. Menghargai kebaikan orang lain b. Terbuka c. Reseptif d. Kenyamanan dalam kehidupan e. Kenyamanan dengan orang lain |
Banyak manfaat yang bisa diperoleh bila karakter yang sudah disebutkan diatas bisa dilaksanakan dengan baik, antara lain: (a) Menguatkan nasionalisme: Toleransi bisa menunjukkan seberapa besar rasa nasionalisme seseorang. Karena orang yang memiliki toleransi tinggi, biasanya akan memiliki rasa cinta yang tinggi pula terhadap tanah airnya. Sebab ia menyadari bahwa Indonesia adalah negara majemuk yang memiliki banyak perbedaan. (b) Menguatkan persaudaraan: Indonesia terdiri dari berbagai macam pulau. Ia juga terdiri dari berbagai macam wilayah dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Dengan sikap toleransi, setiap orang menghargai yang lainnya dan memberikan rasa kasih sayang yang sama terhadap setiap perbedaan. (c) Menciptakan keharmonisan dan kedamaian: Pengertian toleransi secara bahasa berarti menahan diri. Itu tandanya, setiap orang yang memiliki rasa toleran dapat menahan dirinya untuk tidak memaksakan pendapat pribadi kepada orang lain. Sehingga keharmonisan pun akan tetap terjaga, karena mereka bisa saling memahami satu sama lain. Dengan begitu, kedamaian pun juga akan mengikuti.
Dari hasil penelitian empiris telah terbukti bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesejahteraan spiritul dengan sikap toleransi. Beberapa dari peneliti yang pernah menganalisanya adalah sbb: XX Xxxxxx (2011) menyimpulkan ada hubungan antara sikap toleransi dengan kedewasaan spiritual seseorang. Jika orang semakin dewasa secara spiritual maka dia lebih toleran, dari pada orang yang kurang dewasa secara spiritual. Xxxxxx Xxxxxx (2013) meneliti terdapat hubungan antara spiritualitas dan toleransi. Mengutip studi International social sourvey program (2008) Xxxxxx menggarisbawahi bahwa orang yang mengaku spiritual lebih toleran daripada yang mengaku religious. Di beberapa negara spiritualitas tidak selalu dikaitkan dengan kepercayaan kepada Tuhan, tapi memiliki toleransi religious yang cukup tinggi. Xxxxxx Xxxxxxxx (2014) spiritualitas membuat orang menjadi lebih toleran. Xxxxxxxx dan timnya berkesimpulan saat seseorang mengingat keyakinan spiritualnya maka dia
cenderung memiliki perasaan toleran dan mengurangi sikap permusuhan. Tumanggor & Mularsih (2020) berpendapat semakin tinggi kesejahteraan spiritual seseorang, maka semakin baik pula sikap toleransinya.
Tujuan:
1) Memperoleh pemahaman yang utuh mengenai apa itu toleransi dan aspek karakternya.
2) Memahami secara utuh fungsi dari toleransi.
3) Mengupas lebih dalam hubungan antara kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi.
Pokok Bahasan:
1) Pengertian dan aspek karakter toleransi.
2) Fungsi dan manfaat sikap toleransi.
3) Hubungan antara kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi.
Metode: Ceramah, dialog dan brainstorming.
Alat-alat: PPT, spidol, rekaman video dari youtube, kertas plano, kliping koran, majalah. Waktu: 90 Menit.
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Fasilitator mengawali sesi ini dengan menjelaskan inti materi yang mau dibahas, yaitu pengertian toleransi dan aspek karakter dari toleransi.
2) Kemudian fasilitator menguraikan manfaat apa yang diperoleh bila seseorang menunjukkan sikap toleransi.
3) Setelah itu dibahas hubungan antara kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi. Dalam penelitian empiris terbukti bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi.
4) Dalam meyampaikan materi diharapkan fasilitator menggunakan metode dialogis dan koperatif, artinya melibatkan peserta dalam penyampaikan materi. Materi disampaikan dengan PPT.
5) Tahap selanjutnya fasilitator mengajak peserta untuk mendiskusikan hal yang dianggap belum jelas.
6) Setelah acara tanya jawab dan diskusi fasilitator menyimpulkannya dan menutup sesi ini.
Materi VI
Penguatan Toleransi melalui Pembenahan Spiritual Well-Being
Pengantar Materi
Memilikikesejahteraan spiritual bisa membangun sikap toleransi? Mengapa orang yang sejahtera secara spiritual bisa memiliki sikap toleransi?Apakah kita harus memiliki kesejahteraan spiritual baru bisa memiliki sikap toleransi?Jawabannya adalah JA. Dengan memiliki kesejahteraan spiritual, seseorang bisa semakin toleran, karena bila seseorang memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, sesama, lingkungan dan Tuhan, maka dia akan lebih gampang untuk (1) menerima dan menghargai perbedaan krn punya relasi yang baik dengan diri sendiri, (2) menghormati orang lain beribadah krn punya relasi yang baik juga dengan Tuhan, (3) menjadi pendengar yang baik, krn punya relasi yang baik dengan sesama, (4) Tidak memaksakan kehendak, krn dia memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, (5) mampu berbicara santun krn punya relasi yang baik dengan alam semesta.
Hal apa yang dibutuhkan untuk bisa memiliki sikap toleran? Berbagai sikap yang bisa dilakukan untuk meningkatkan sikap toleransi adalah (1) menerima dan menghormati perbedaan, (2) tidak bergunjing, (3) Menjadi pendengar yang baik, (4) Berbicara dengan santun, (5) Membiarkan orang lain beribadah, (6) Tidak memaksakan kehendak.
Bagaimana cara kita membangun kesejaheraan spiritual? Hal itu dapat diungkapkan dengan beraneka ragam cara seperti yang tampak dalam tabel berikut ini.
Dimensi Kesejahteraan Spiritual | ||||
Diri sendiri (personal) | Sesama (communal) | Lingkungan (environment) | Tuhan (Trancendental) | |
Aspek pengetahuan | Arti, tujuan dan nilai | Moralitas | Pemeliharaan | Yang lain yg transenden |
Esensi | Kesadaran diri | Menjangkau hati komunitas | Relasi dengan alam | Tuhan |
Diungkapkan dalam bentuk | Kegembiraan, damai, kebebasan | Cinta, pengampunan dan keadilan | Kagum akan alam semesta | Penyembahan, ibadat, Bersatu dengan Tuhan |
Sejak kapan kita melakukan semua itu? Dimulai sejak kecil dalam keluarga: Orangtua mendidik anak- anak mencintai diri sendiri, sesama, alam lingkungan dan Tuhan. Peran orangtua penting mendidik anak agar bisa berelasi yang baik dengan diri sendiri, sesame, alam lingkungan dan Tuhan. Coba kita
perhatikan video berikut ini xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxxx0xxXXXX bagaimana seorang anak berkenalan dengan sesamanya yang berbeda budaya dan agama dengan dia. Kebiasaan baik yang sudah ditanamkan dlm diri kita sejak kecil akan tetap terbawa terus hingga kita sudah dewasa/tua.
Perhatikan video ini xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxxxxXxXx00&xx00x yang mengungkapkan pengalaman seorang ayah miskin yang bisa berbagi walaupun dalam kekurangan. Sikap baik untuk berbagi dengan sesama akan mendapat balasan baik bukan hanya dari Tuhan, tapi juga dari sesama.
Siapakah xxx xxxx? Kita ini semua adalah orang Indonesia yang beragam suku, budaya, dan agamanya. Kita memang dilahirkan berbeda di tanah air yang sama. Maka mari kita sadari keberagaman ini seperti yang diungkapkan oleh video pendek ini yang berjudul Kami Indonesia xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXXXxxxxXxxx Apa yang bisa saya lakukan untuk bisa memperbaiki kesejahteraan spiritualku? Benahilah relasi yang baik dengan dirimu sendiri, dengan sesama, dengan alam lingkungan, dan dengan Tuhan (Yang Transenden). Kita membenahi relasi yang baik dengan keempat kuadran ini dalam konteks keberagaman Indonesia. Apakah itu bisa? Ya harus bisa. Kita semua bisa melakukannya bila ada satu hal dalam hati kita, yaitu: CINTA. DENGAN CINTA KITA AKAN BISA BERELASI DENGAN SIAPAPUN: diri sendiri, sesama, alam lingkungan dan TUHAN seperti yang diungkapkan oleh lagu indah dari BIP ini. xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxXxxxxx-XX
Tujuan:
1) Memperoleh pemahaman bahwa orang yang memiliki kesejahteraan spiritual akan mampu bersikap toleransi.
2) Memahami hal apa yang perlu dilakukan untuk membangun sikap toleransi melalui keempat dimensi kesejahteraan spiritul.
3) Mampu meneladani contoh-contoh membangun relasi dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan Tuhan melalui media social.
Pokok Bahasan:
1) Sikap toleransi dapat dibangun melalui pembenahan kesejahteraan spiritual.
2) Faktor-faktor yang perlu untuk membangun sikap toleransi melalui empat dimensi kesejahteraan spiritual.
3) Media sosial seperti youtube sebagai saran membangun relasi yang baik dengan diri sndiri, sesame, lingkungan dan Tuhan.
Metode: Ceramah, dialog dan brainstorming.
Alat-alat: PPT, spidol, rekaman video dari youtube, kertas plano, kliping koran, majalah. Waktu: 90 Menit.
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Untuk membuka sesi fasilitator menjelaskan topik yang akan dibahas agar peserta memahami konteks pembicaraan. Lalu fasilitator menggarisbawahi bahwa orang yang memiliki kesejahteraan spiritual yang baik akan bisa bersikap toleransi. Maka untuk membangun karakter toleransi yang baik perlu membenahi kesejahteraan spiritual melalui perbaikan relasi dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan Tuhan.
2) Langkah selanjutnya fasilitator mengajak peserta untuk memikirkan dan merefleksikan bagaimana cara agar orang memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan Tuhan? Fasilitator harus berusaha menggali dari pengamaman peserta sendiri.
3) Setelah itu fasilitator menampilkan beberapa video dari Youtube pengalaman bagaimana membangun sikap kebersamaan dalam perbedaan, membangun sikap berbagi, menyadari kebersamaan sebagai bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, budaya, dan membangun optimism bahwa kita bisa melakukan semua itu bila ditopang oleh rasa cinta antara sesame manusia.
4) Fasilitator menyimpulkan kegiatan yang dilakukan dalam sesi ini dan mengajak peserta merenungkan hal apa yang akan dilakukan selanjutnya agar bisa membenahi kesejahteraan spiritual. Bila kesejahteraan spiritualnya sudah terbangun baik, maka orang akan bisa menunjukkan sikap toleransi.
5) Setelah itu fasilitator menutup sesi ini.
Materi VII
Rencana Tindak Lanjut dan Evaluasi
Pengantar Materi
Setelah melakukan pelatihan, dilanjutkan dengan penyusunan rencana tindak lanjut dan evaluasi. Rencana tindak lanjut bertujuan untuk mendorong peserta bukan hanya sebatas mengerjakan tugas dari fasilitator, melainkan juga mampu membuat tahapan kerja, kelompok sasaran dan output yang akan dihasilkan. Maka setelah pelatihan ini terutama menyangkut pentingnya penguatan sikap toleransi melalui pembenahan kesejahteraan spiritual, perlu dirumuskan apa yang mesti dilakukan oleh peserta.
Sebagai langkah awal ada beberapa tugas yang perlu dilakukan oleh peserta agar materi pelatihan bisa efektif dipahami bukan hanya dalam tataran kognitif, tapi juga dalam tataran afektif dan psikomotoris. Adapun tugas itu adalah sbb:(1) Tuliskanlah hal apa yang bisa kamu lakukan untuk membangun relasi yang baik dengan dirimu sendiri, sesama, alam semesta/lingkungan, dan Tuhan! (2) Carilah sebuah benda yang menjadi simbol sebuah toleransi, lalu fotolah benda itu, serta jelaskan mengapa benda itu menjadi/menggambarkan suatu sikap toleransi? Atau (2) Buatlah sebuah gambar atau lukisan yang menggambarkan suatu sikap toleransi dalam hidup bermasyarakat kita! Atau (2) Buatlah sebuah poster yang berisi ajakan bagi kaum remaja untuk selalu menunjukkan sikap toleransi.
Selain menyusun rencana tindak lanjut perlu dilakukan evaluasi terhadap materi, kompetensi nara sumber, penyampaian, dan proses pelaksanaan pelatihan ini. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana materi yang disampaikan sudah memenuhi kebutuhan peserta. Selain itu evaluasi ini digunakan untuk memperbaiki seluruh proses pelaksanaan pelatihan, agar diperoleh modul pelatihan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Tujuan:
1) Membahas rencana tindak lanjut setelah pelatihan baik pada tingkat pribadi, maupun komunitas.
2) Menekankan kepada para peserta bahwa kajian teoretis yang diperoleh saat pelatihan harus diikuti oleh Tindakan praktis dengan melakukan tugas, sehingga gagasan bisa lebih meresap dalam sanubari peserta.
3) Mengajak peserta melakukan evaluasi atas materi, kompetensi, dan pelaksanaan palatihan. Pokok Bahasan:
1) Perencanaan kegiatan setelah pelatihan
2) Pelaksanaan tugas individu setelah pelatihan
3) Evaluasi pelatihan guna perbaikan modul
Metode: Sumbang gagasan dan pendapat, mengisi form Rencana Tindak Lanjut
Bahan/Alat: kertas plano, whiteboard, spidol, pulpen, dan LCD proyektor, lembaran isian Rencana Tindak Lanjut.
Waktu: 60 menit. Langkah Pelaksanaan:
1) Mengawali sesi ini fasilitator menjelaskan hal yang harus dilakukan peserta. Bila pada sesi sebelumnya para peserta menerima materi melalui model ceramah, maka pada bagian sesi ini fasilitator mengajak peserta untuk melakukan tugas mandiri. Ada pun tugas ini bertujuan menolong peserta untuk memperdalam makna dari materi yang sudah diterima. Sebelum fasilitator mempersilahkan peserta untuk berpencar melaksanakan tugas itu, fasilitator meminta peserta untuk mengisi sekali lagi angket tentang spiritual well-being dan sikap toleransi. Melalui angket post-test ini ingin diketahui apakah peserta pelatihan mengalami peningkatan dalam hal kesadaran untuk semakin bersikap toleran.
2) Kemudian fasilitator mempersilahkan peserta untuk mengisi rencana tindak lanjut, yaitu hal-hal yang akan dilakukan (Form isian ada dalam lampiran 2). Setelah peserta mengisi form tersebut, dilanjutkan dengan evaluasi untuk keseluruhan kegiatan pelatihan. Tujuannya adalah untuk menolong fasilitator memperbaiki materi dan pelaksanaan pelatihan di kesempatan yang berikut (Form isian ada dalam lampiran 3).
3) Fasilitator menjelaskan kesimpulan rencana tindak lanjut dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh peserta. Setelah itu fasilitator dapat menutup sesi ini.
Daftar Pustaka
Xxxxxxxx, X. (2019). Api dalam Sekam Koflik Aceh Singkil dalam: xxxxx://xxx.xxx.xxx/xxxxxxxxx/xxxxxxxxx-00000000
Xxxxxx, X.X., & Xx, X. (2017) Presenting a 4-Item Spiritual Well-Being Index (4-ISWBI).
Religions 8, 179.
Xxxxx, R, & Xxxxxx, X.X. (2005). Item response theory analysis of the spiritual well- being questionaire. Personality and Individual Differences 38, 1107-1121.
Xxxxx, X.; Xxxx, X.X.; Xxxxxx, X.; Xxxxxxxx, X.X. (2020). A New Approach to the Study
of Tolerance: Conceptualizing and Measuring Acceptance, Respect, and Appreciation of Difference. Social Indicators Research 147:897–919 xxxxx://xxx.xxx/00.0000/x00000- 019-02176-y
Xxxxxx, X. (2013). Spirituality and Religious Tolerance. Implicit Religion 16 (1), 65-
91.
Xxxxxxx, Xxxxxxx dkk (2009). Modul Pelatihan Membangun Toleransi, Moderate Muslim Society/ European Union.
Xxxxxxxx, X., XxXxxxxx, X., Xxxx, K. A., & Xxxx, X. (2014). Religious magnanimity: Reminding people of their religious belief system reduces hostility after threat. Journal of Personality and Social Psychology, 107(3), 432–453. xxxxx://xxx.xxx/00.0000/x0000000
Xxxxxxxxxx, A. & Xxxxxxx, X. (2017). Skala Karakter Toleransi: Konsep dan Operasional Aspek Kedamaian, Menghargai Perbedaan dan Kesadaran Individu, Jurnal Ilmiah Counsellia, Vol. 7 (2), 61-70.
Xxxxxxxxx, R.O. & Xxxxxxxx, H. (2020). Relationship of Spiritual Well-Being and Attitudes of Tolerance. CELL EAI DOI: 10.4108/eai.5-8-2019.2291041
Xxxxxx, X.X., 2011, “Religious Tolerance and its Relationship to Spiritual Maturity and Religious Orientation Among Seventh-day Adventists in Jamaica”. Dissertations.1523. xxxx://xxxxxxxxxxxxxx.xxxxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxxx/0000
Biodata Penulis
Dr. Raja Xxxxx Xxxxxxxxx, S. Ag. lahir di Tapanuli Tengah (Sumatera Utara) 14 April 1967. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar pada 1987 meraih gelar sarjana filsafat (S1) dari Fakultas Filsafat Universitas Katolik St. Xxxxxx Xxxxx tahun 1993. Pada tahun 2006 dia meraih gelar doktor (S3) dari Westfaelische Wilhelms- Universitaet (WWU) Xxxxxxxx Xxxxxx.
Sejak 2007 hingga sekarang mengajar Pengantar Filsafat untuk program S1 dan Filsafat Ilmu Pengetahuan di program S2 di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta (Untar) dan sejak 2012 menjadi dosen tetap di Program Pascasarjana/Magister Fakultas Psikologi Untar.
Dia adalah anggota Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia (HIDESI) dan International Association of Psychology of Religion (IAPR). Sejak tahun 2016 berhasil memperoleh hibah penelitian yang didanai oleh Kemenristek Dikti mengenai: resiliensi bagi korban konflik social di Aceh Singkil (2017-2018), spiritual well-being dan sikap toleransi bagi kaum remaja (2019- 2020).
Beberapa karyanya yang sudah diterbitkan, a.l.: Logika Sebuah Pengantar (Pustaka Mandiri, 2012), Berpijak pada Realitas. Tantangan bagi Pastoral, Misiologi dan Pendidikan Agama Kristen (Genta Pustaka Lestari, 2013), Misi dalam Masyarakat Majemuk (Genta Pustaka Lestari, 2014), Adat und christlicher Glaube. Eine missionstheologische Studie zur Inkulturation des christlichen Glaubens unter den Toba Batak (Indonesien) (Akademische Verlagsgemeinschaft Muenchen, 2014), Pengantar Filsafat untuk Psikologi (Kanisius, 2017), Logika Ilmu Berpikir Kritis (Kanisius, 2019).
Lampiran 1: Angket untuk Sebelum dan Setelah Pelatihan
KUESIONER
PELATIHAN SPIRITUAL WELL-BEING UNTUK MEMBANGUN SIKAP TOLERANSI BAGI KAUM REMAJA
DATA DEMOGRAFIS
1 | Nama | ||||||
2 | Umur/Xxx lahir | ||||||
3 | Jenis Kelamin | 1 | Laki-laki | 2 | Perempuan | ||
4 | Domisili/Propinsi | 1 | DKI | 3 | SUMUT | 5 | JAWA TENGAH |
2 | JAWA BARAT | 4 | LAMPUNG | 6 | JAWA TIMUR | ||
5 | Agama | 1 | Islam | 4 | Hindu | 7 | Lain-lain |
2 | Xxxxxxx Xxxxxxxxx | 5 | Buddha | ||||
3 | Katolik | 6 | Khong Hu Cu | ||||
6 | Pendidikan terakhir | 1 | SD | 3 | SMA | ||
2 | SMP | 4 | S1 | ||||
7 | Suku/Etnis | 1 | Jawa | 3 | China | 5 | Betawi |
2 | Batak | 4 | Lampung | 6 | Lain-lain |
PETUNJUK:
Anda diharapkan memberikan tanda silang (X), atau melingkari (O) atau centang (V) pada salah satu pilihahan: STS (Sangat tidak Setuju), TS Tak Setuju), S (Setuju) atau SS (Sangat Setuju).
SWB | PERNYATAAN | STS | TS | S | SS |
(20) | |||||
1 | Saya mengembangkan rasa cinta bagi orang lain | STS | TS | S | SS |
2 | Saya membangun hubungan pribadi dengan Tuhan | STS | TS | S | SS |
3 | Saya memberi pengampunan bagi orang lain | STS | TS | S | SS |
4 | Saya menjalin hubungan yang baik dengan alam semesta | STS | TS | S | SS |
5 | Saya membangun perasaan atas identitas saya sendiri | STS | TS | S | SS |
6 | Saya melakukan ibadah bagi Sang Pencipta | STS | TS | S | SS |
7 | Saya kagum pada pemandangan alam yang menakjubkan | STS | TS | S | SS |
8 | Saya membangun kepercayaan bagi pribadi-pribadi lainnya | STS | TS | S | SS |
9 | Saya mengembangkan kesadaran diri sendiri | STS | TS | S | SS |
10 | Saya membangun kesatuan dengan alam semesta | STS | TS | S | SS |
11 | Saya membangun kesatuan dengan Tuhan | STS | TS | S | SS |
12 | Saya membangun harmoni dengan lingkungan sekitar | STS | TS | S | SS |
13 | Saya membangun perdamaian dengan Tuhan | STS | TS | S | SS |
14 | Saya menikmati kegembiraan dalam hidup | STT | TS | S | SS |
15 | Saya mengembangkan hidup doa | STS | TS | S | SS |
16 | Saya memiliki kedamaian di dalam hati | STS | TS | S | SS |
17 | Saya mengembangkan respek/penghargaan bagi orang lain | STS | TS | S | SS |
18 | Saya memiliki makna dalam hidup | STS | TS | S | SS |
19 | Saya ramah terhadap orang lain | STS | TS | S | SS |
20 | Saya merasakan suasana sakral/kudus dalam lingkungan hidup | STS | TS | S | SS |
ST | PERNYATAAN | STS | ST | S | SS |
(22) | |||||
21 | Saya membantu teman saya dari luar daerah jika terkena musibah | STT | ST | S | SS |
22 | Saya menolong teman yang kesulitan masuk ruang kelas saat memakai kursi roda | STS | ST | S | SS |
23 | Saya bersedia memberikan alamat dan nomor telepon kepada teman dari luar daerah. | STS | ST | S | SS |
24 | Saya membantu teman yang tidak disukai oleh teman-teman lain. | STS | ST | S | SS |
25 | Saya mengunjungi teman yang sakit walaupun berbeda agama. | STS | ST | S | SS |
26 | Saya menerima teman lain yang tidak sependapat. | STS | ST | S | SS |
27 | Saya bersahabat dengan teman dari berbagai daerah | STS | ST | S | SS |
28 | Saya memberikan salam kepada teman dari daerah lain. | STS | ST | S | SS |
29 | Saya berteman tanpa membedakan warna kulit teman lain. | STS | ST | S | SS |
30 | Saya bersedia satu bangku dengan teman kaya atau miskin. | STS | ST | S | SS |
31 | Saya menganggap bahwa diri saya yang paling benar dibanding teman lain. | STS | ST | S | SS |
32 | Saya suka melihat perbedaan yang ada di luar daerah saya. | STS | ST | S | SS |
33 | Saya senang jika orang lain memberikan saran kepada saya. | STS | ST | S | SS |
34 | Saya bersatu dengan sekolah untuk memajukan sekolah. | STS | ST | S | SS |
35 | Saya bermusyawarah untuk menyelesaikan pertentangan dengan teman di sekolah. | STS | ST | S | SS |
36 | Saya bermusyawarah dengan semua teman apapun perbedaannya. | STS | ST | S | SS |
37 | Saya menghargai teman yang mengutarakan pendapatnya pada saat diskusi. | STS | ST | S | SS |
38 | Saya menghargai perbedaan pendapat dengan teman lain. | STS | ST | S | SS |
39 | Kebersamaan di sekolah menjadi bagian penting bagi kehidupanku. | STS | ST | S | SS |
40 | Berbeda agama dengan teman lain dapat menimbulkan masalah. | STS | ST | S | SS |
41 | Saya senang jika muncul perbedaan cara berbicara dengan teman. | STS | ST | S | SS |
42 | Saya bermain dengan teman tanpa membedakan derajat. | STS | ST | S | SS |
Lampiran 2: Lembaran Isian Rencana Tindak Lanjut
Lembar isian Form Rencana Tindak Lanjut (RTL)
Bentuk Kegiatan | Tahapan/Strategi | Tujuan | Output | Pelaksanaan |
Lampiran 3: Lembaran Evaluasi Pelatihan
Pilihlah jawabanmu: 1 Sangat Kurang, 2 Kurang, 3 Cukup, 4 Baik, 5 Sangat Baik
NO | INDIKATOR | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |
1 | MATERI: Apakah materi yang disampaikan berguna dan relevan? | |||||
2 | BAHASA: Apakah gampang memahami bahasanya? | |||||
3 | PENYAJIAN: Apakah penyajian pemateri menarik? | |||||
4 | GRAFIKA: Apakah tampilan PPT menarik? | |||||
5 | INSTRUKSI: Apakah instruksi saat pelatihan jelas dipahami? | |||||
6 | PENDAPAT SISWA: Apakah acara pelatihan bagimu menarik? | |||||
APA YANG BISA SAYA LAKUKAN UNTUK MEMBINA RELASI YANG BAIK DENGAN:
1. DIRI SENDIRI:…………………………………………………………………
2. SESAMA:……………………………………………………………………….
3. ALAM/LINGKUNGAN:……………………………………………………
4. TUHAN/ALLAH:…………………………………………………………….
Modul
Pelatihan Spiritual Well-Being untuk Membangun Sikap Toleransi
Oleh:
Dr. Raja Xxxxx Xxxxxxxxx, X.Xx.
Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara 2020
Modul ini kupersembahkan kepada siapapun yang menjunjung tinggi toleransi
Kata Pengantar
Syukur dihaturkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena berkat bantuanNya modul ini telah selesai disusun. Modul Pelatihan Spiritual Well-Being untuk membangun Sikap Xxxxxxxxx merupakan sebagian dari hasil penelitian Xxxxx Xxxxxxdikti tahun kedua pelaksanaan 2020 yang berjudul: Peran Spiritual Well-Being dan Kecerdasan Emosi dalam Meningkatkan Sikap Toleransi bagi Kaum Remaja. Modul ini secara khusus ditujukan untuk pelatihan bagi kaum remaja yang masih duduk di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) karena mereka adalah salah satu kelompok penting masyarakat yang akan menentukan masa depan negara dan bangsa. Itulah sebabnya tema yang dibahas dalam pelatihan ini menolong para remaja untuk memahami dan mengenal kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang penuh dengan pengalaman intoleran.
Maka pembahasan materi dimulai dengan penunjukan beberapa fenomena intoleransi di Indonesia saat ini dan bagaimana para tokoh masyarakat dan pemerintah untuk mengatasinya. Kemudian para peserta diajak untuk menganalisa dan menggali mengapa perilaku intoleran itu bisa terjadi. Faktor apa saya yang mempengaruhi dan membuat seseorang menjadi intoleran? Setelah memahami penyebab seseorang bersikap intoleran para peserta diarahkan untuk melihat bahwa masalah intoleransi ini menyangkut masalah relasi. Artinya ada persoalan relasi yang kurang beres antara sesame manusia di tangah air. Oleh karena itu untuk mengatasi persoalan intoleransi ini, maka harus dibenahi masalah relasi seseorang dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan dengan Tuhan. Maka atas dasar itu solusi yang bisa mengatasi persoalan intoleransi adalah dengan membenahi kesejahteraan spiritual (spiritual well-being) seseorang, karena kesejahteraan spiritual adalah suatu kondisi yang harmonis dan baik relasi seseorang dengan dirinya sendiri, sesama, lingkungan dan Allah sendiri. Pada bagian berikut peserta diajak untuk memahami apa itu spiritual well-being dan dimensinya. Lalu dilihat juga hubungan antara spiritual well-being dengan sikap toleransi dari hasil-hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan. Maka peserta diajak untuk mendalami gagasan bahwa penguatan toleransi bisa dilakukan melalui perbaikan kesejahteraan spiritual seseorang. Pada akhirnya peserta diminta untuk menyusun rencana kerja yang bisa diaplikasikan setelah selesai pelatihan. Rencana tindak lanjut ini perlu konkrit sehingga bisa diwujudkan di tengah masyarakat. Kaum remaja perlu melatih diri untuk membenahi diri sendiri dengan memperbaiki relasi dengan diri sendiri, sesama, lingkungan dan Tuhan.
Pelatihan ini menuntut keterlibatan penuh para peserta dalam seluruh proses pelatihan yang berlangsung selama dua hari. Maka fasilitator diharapkan bisa membuka segala sekat-sekat di antara para peserta sejak awal pelatihan, sehingga mereka bisa mengungkapakan pendapat tanpa rasa takut dan enggan. Dengan prinsip kesetaraan maka diharapkan para peserta dapat berkembang baik secara individu maupun kelompok. Xxxxxx kritik membangun untuk perbaikan modul ini diterima dengan senang hari.
Jakarta, 15 Agustus 2020 Dr. Raja Xxxxx Xxxxxxxxx
Daftar Isi
Kata Pengantar 3
Daftar Isi 4
Peta Kedudukan Modul 5
Glosarium 6
Pendahuluan 7
Materi I Perkenalan dan Kontrak Pelatihan 9
Materi II Fenomena Intoleransi 11
Materi III Penyebab orang Intoleran: Perspektif Psikologis 13
Materi IV Solusi Mengatasi Intoleran: Spiritual Well-Being (Kesejahteraan Spiritual) 15
Materi V Hubungan Spiritual Well-Being dan Sikap Toleransi 18
Materi VI Penguatan Toleransi melalui Spiritual Well-Being 21
Materi VII Rencana Tindak Lanjut dan Evaluasi 23
Daftar Pustaka 25
Biodata Penulis 26
Lampiran 1 Angket spiritual well-being dan sikap toleransi 27
Lampiran 2 Lembaran Isian Tindak Lanjut 31
Lampiran 3 Lembaran Evaluasi 32
Peta Kedudukan Modul
Membangun Spiritual Well-being untuk meningkatkan Sikap Toleransi
Fenomena Intoleransi
Penyebab Perilaku Intoleran:
- Fanatisme
- Fundamentalisme
- Medsos
Persoalan Relasi
Pembenahan Spiritual Well-Being
(kesejahteraan spiritual)
Pembenahan Relasi
Pengertian Spiritual well-being
Dimensi Spiritual well-being:
-relasi dg diri sendiri
-relasi dg sesama
-relasi dg lingkungan
-relasi dg Tuhan
Dampaknya?
Pengertian Toleransi
Perbaikan Sikap Toleransi
Dimensi Toleransi
Spiritual well-being berhubungan dengan Sikap Toleransi
Semakin baik spiritual well-being seseorang, maka semakin baik juga sikap toleransi
Orang yang memiliki sikap toleransi yang tinggi biasanya memiliki spiritual well-being yang baik juga.
Glosarium
Fanatisme: paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan, misalnya fanatisme agama atau fanatisme terhadap club speak bola tertentu.
Fasilitator: seseorang yang membantu sekelompok orang memahami tujuan bersama mereka dan membantu mereka membuat rencana guna mencapai tujuan tersebut tanpa mengambil posisi tertentu dalam diskusi
Fenomena: dari bahasa Yunani; phainomenon, "apa yang terlihat", dalam bahasa Indonesia bisa berarti: gejala, misalkan gejala alam. hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra.
Fundamentalisme: sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fundamental).
Globalisasi: proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya.
Modul: suatu paket belajar yang berisi suatu unit materi belajar, yang dapat dibaca atau dipelajari seseorang secara mandiri. Modul disusun dalam bentuk tertentu untuk keperluan belajar.
Pelatihan: sebuah kegiatan yang bertujuan mengembangkan kepemimpinan untuk mencapai keefektifan pekerjaan individual yang lebih besar dan hubungan antarpribadi dalam organisasi.
Spiritual well-being (kesejahteraan spiritual): suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya, suatu kedaan yang serba baik atau suatu kondisi dimana orang- orang dalam keadaan makmur, sehat dan damai.
Toleransi: perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain.
PENDAHULUAN
Alur Pelatihan
Modul ini merupakan sebuah upaya kecil untuk membantu penyelenggaraan pelatihan toleransi melalui pembenahan kesejaheraan spiritual berbasis sekolah. Modul ini secara khusus ditujuan bagi kaum remaja, karena mereka merupakan salah satu unsur penting masyarakat yang menentukan masa depan bangsa ini. Pelatihan ini diharapkan mampu menolong kaum remaja memahami esensi toleransi yang berkaitan erat dengan kesejahteraan spiritual.
Metodologi
Modul ini dimaksudkan sebagai manual bagi model pelatihan bagi kaum remaja. Walaupun modul ini dirancang dengan mengandaikan bahan bacaan yang luas dan mendalam, namun bukanlah dimaksud untuk model pelatihan yang bersifat monolog. Modul ini dirancang untuk pelatihan bersifat partisipatif, yang mengharapkan keterlibatan aktif dari peserta pelatihan. Memang ada bagian tertentu yang diisi oleh nara sumber sebagai penambah wawasan. Untuk mencairkan situasi pelatihan pada awal pelatihan para fasilitator diharapkan mampu membuka sekat-sekat yang ada di antara para remaja. Sebagai manual pelatihan modul ini diharapkan mampu menolong fasilitator untuk memperlancar proses berlangsungnya pelatihan. Fasilitator diharapkan mampu menguasai materi dan situasi pelatihan dengan baik, agar tujuan yang diharapkan bisa tercapai.
Ada 7 materi pelatihan ini,yaitu (1) perkenalaan dan kontrak pelatihan. Pada bagian ini fasilitator perlu menghilangkan sekat yang ada di antara peserta melalui perkenalan. Kemudian mereka diajak untuk merumuskan kekawatiran dan harapan para peserta dari pelatihan ini. Materi (2) berusaha menampilkan beberapa fenomena intoleransi yang terjadi saat ini di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menyadarkan peserta akan situasi actual yang ada. Persoalan intoleransi itu memang nyata dan ada di sekitar kita. Setelah melihat fakta yang ada peserta diajak untuk merefleksikan fakta tersebut dengan materi (3) mengapa orang suka bersikap intoleran? Para peserta diminta memberi pendapat mereka berdasarkan hasil pemikiran mereka sendiri. Lalu fasilitator kemudian melengkapinya dengan menguraikan landasan psikologis yang menyebabkan seseorang menjadi intoleran. Setelah memahami mengapa orang bersikap intoleran, maka perlu dicarikan solusi apa yang efektif untuk mengatasinya. Inilah menjadi topik bahasan materi berikutnya (4). Dari bermacam cara yang mungkin bisa dilakukan, fasilitator menemukan tawaran dengan pembenahan kesejahteraan spiritual (spiritual well-being). Tentu saja para remaja masih asing dengan istilah tersebut, maka perlu dilakukan penjelasan apa yang dimaksud dengan kesejahteraan spiritual. Apa saja dimensinya dan factor apa yang perlu dilakukan agar seseorang memiliki kesejahteraan spiritual yang baik. Sesudah memahami arti dan dimensi kesejahteraan spiritual, maka Langkah
Remaja, kes. Spiritual dan Toleransi
Toleransi melalui kesejahteraan spiritual
Solusi Intoleransi
Fenomena Intoleransi
selanjutnya perlu dilihat kaitan antara kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi di kalangan para remaja. Inilah menjadi materi berikut (5). Pada meteri selanjutnya (6) para peserta diajak untuk memikirkan dan merenungkan upaya apa yang bisa dilakukan untuk membenahi kesejahteraan spiritual, sehingga sikap toleransinya pun bisa terbangun dengan baik. Tentu uraian materi ini tidak hanya teoretis belaka, tapi mau tak mau harus diwujudkan dalam Tindakan konkrit. Pada materi (7) berikutnya peserta diajak untuk memikirkan tindakan apa yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut. Pada akhirnya dilakukan evaluasi untuk mengatahui sejauh mana pelatihan ini efektif membantu para remaja dan hal apa yang perlu dilakukan demi pelaksanaan pelatihan di hari mendatang. Oleh sebab itu pelatihan ini akan mengikuti skema berikut:
Mengapa intoleran?
Perkenalan
Tindak Lanjut dan Evaluasi
Jadwal Pelatihan
Hari I
07.00 – 08.00 : Registrasi dan Pendaftaran
08.00- 10.00 : Materi I dan II: Perkenalan dan Fenomena Intoleransi
10.00- 10.30 : Istirahat/coffee break
10.30- 12.00 : Diskusi Kelompok
12.00-13.30 : ISHOMA
13.30 – 15.30 : Materi III dan IV: Mengapa intoleran dan Apa solusinya?
15.30 – 16.00 : Istirahat/coffee break
16.00 – 17.30 : Diskusi/kerja kelompok
17.30 – 19.00 : Mandi/Makan Malam/Sholat
19.00 – 21.00 : Materi V: Remaja di antara kesejahteraan spiritual dan toleransi
21.00 - : Penutupan hari I
Hari II
07.00 – 08.00 : Registrasi dan Pendaftaran 08.00- 10.00 : Diskusi/Xxxxx Xxxxxxxx 10.00- 10.30 : Istirahat/coffee break
10.30- 12.00 : Materi VI: Toleransi melalui
kesejahteraan spiritual 12.00-13.30 : ISHOMA
13.30 – 15.30 : Diskusi/Xxxxx Xxxxxxxx
15.30 – 16.00 : Istirahat/coffee break
16.00 – 17.30 : Materi VII: Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut
17.30 – 19.00 : Mandi/Makan Malam/Sholat
19.00 – 20.00 : Evaluasi dan Penutupan Pelatihan
Materi I
Perkenalan dan Kontrak Pelatihan
Tujuan Perkenalan:
1) Tercipta suasana akrab dan terbuka antara fasilitator dan peserta dan antara sesame peserta sehingga memudahkan proses pelatihan berikutnya.
2) Membuat fasilitator dan peserta saling mengenal.
3) Menimbulkan suasana dinamis, aktif dan partisipatif dalam mengemukakan gagasan saat diskusi atau tukar pikiran berlangsung.
Tujuan Kontrak Pelatihan:
1) Membangun komitmen Bersama mengenai aturan dan tata tertib pelatihan.
2) Menyepakati apa yang mau dicapai dalam pelatihan
3) Membuat kesepakatan, komitmen dan harapan Bersama sebagai bahan evaluasi.
Metode: Penuturan lisan dan brainstorming
Bahan/Alat: Kertas HVS, kertas plano, spidol dan lakban.
Waktu: 60 menit
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Fasilitator membuka sesi dan menjelaskan pentingya perkenalan sebagai langkah awal proses pelatihan.
2) Fasilitator memperkenalkan diri, kemudian mempersilahkan masing-masing peserta memperkenalkan diri.
3) Setiap peserta memperkenalkan diri.
4) Fasilitator menyimpulkan hasil perkenalan, lalu melanjutkan dengan kontrak perjanjian. Fasilitator membagikan kertas kepada peserta dan mereka diminta menuliskan apa saja harapan mereka dalam pelatihan ini.
5) Fasilitator mengumpulkan kertas, lalu membacakannya dan memberikan komentar/penyimpulan dari apa yang dibacakan.
6) Fasilitator menuliskan aturan selama pelatihan yang harus ditepati dan ditaati semua peserta pelatihan.
7) Menutup sesi ini fasilitator mengajak para peserta untuk mengisi angket mengenai spiritual well- being dan sikap toleransi sebagai pre-test (bahannya lihat lampiran 1).
Materi II
Mengenal Fenomena Intoleransi
Pengantar Materi:
Pada bagian ini diungkapkan beberapa kasus intoleransi yang pernah terjadi di Indonesia. Ancaman intoleransi sungguh menjadi hal yang nyata di masyarakat. Dilihat dari tempat dan waktu kejadian, peristiwa intoleransi ini terjadi di hampir setiap wilayah Indonesia, dan kejadiannya pun semakin sering terjadi. Dampaknya pun sungguh terasa baik dari sisi materi maupun psikologis karena korbannya mengalami trauma dan tidak bisa melakukan ibadah dan tidak bisa mempraktekkan keyakinannya secara bebas. Pada tahun 2015 terjadi konflik antara agama di Aceh Singkil, dimana beberapa rumah ibadah Kristiani dibakar dan dibongkar. Dampak dari kejadian ini sekelompok warga Kristen tidak bisa beribadah dengan bebas dan tidak memiliki rumah ibadah secara permanan hingga sekarang ini (Amindoni, 2019; xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xx0xXxxx0xXXX). Selain itu komunitas Huria Xxxxxxx Xxxxx Protestan (HKBP) Bekasi mengalami intimidasi saat melaksanakan ibadah mingguan, karena mereka dituding membangun rumah ibadah di sekitar warga muslim. Saat jemaat sedang berdoa, diluar tempat ibadah diperdengarkan lagu-lagu musim yang keras. Demikian juga terjadi gangguan terhadap sekelompok warga Kristen yang sedang beribadah di rumah. Para warga intoleran menuding kelompok Xxxxxxx menggunakan rumah pribadi untuk beribadah (xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxxX0xXXxxXxX). Pada kesempatan lain di tahun 2018 sekelompok warga Ahmadiyah yang sedang melakukan acara keagamaan di Surakarta didatangi oleh sekelompok warga intoleran agar mengakhiri kegiatan mereka. Kaum intoleran ini menuduh Ahmadiyah mengotori akidah Islam (xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xx0xXxxxXxXx0).
Tujuan:
1) Memperoleh gambaran yang utuh mengenai persoalan intoleransi di Indonesia.
2) Memetakan persoalan intoleransi berdasarkan studi kasus yang pernah terjadi.
3) Mengupas anatomi kasus intoleransi.
4) Membangun sikap kritis terhadap kasus intoleransi serta menggali latar belakangnya.
Pokok Bahasan:
1) Pemetaan kasus intoleransi berdasarkan lokasi dan waktu.
2) Dampak konflik dan intoleransi di Indonesia.
3) Sumber-sumber konflik dan intoleransi di Indonesia.
Metode: Ceramah, dialog dan brainstorming.
Alat-alat: PPT, spidol, rekaman video dari youtube, kertas plano, kliping koran, majalah.
Waktu: 90 Menit.
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Fasilitator menjelaskan materi yang mau dibahas. Lalu memutarkan rekaman video dari beberapa kasus intoleransi di Indonesia.
2) Fasilitator mengajak peserta menganalisa video yang baru saja disaksikan: Data-data kejadian mengenai tempat, pelaku, alur kejadian, dan komentar dan tanggapan media massa.
3) Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk membagikan hasil pengamatannya mengenai intoleransi di Indonesia.
4) Fasilitator kemudian menyimpulkan hasil diskusi dan bedah kasus intoleransi di Indonesia.
5) Fasilitator mengakhiri sesi.
Materi III
Penyebab Orang Intoleran: Perspektif Psikologis
Pengantar Materi
Setelah menyaksikan berbagai kasus intoleran dari materi II muncul pertanyaan: Mengapa orang gampang menjadi intoleran? Banyak penelitian dan diskusi dilakukan untuk menjawab persoalan itu. Ada perasaan terancam: dari siapa? Dari orang yang tidak seagama/sesuku dengan dirinya sendiri. Ada kecurigaan kepada penganut agama lain: Apa kecurigaan itu? Perasaan bahwa penganut agama lain akan merusak iman dan keyakinannya sendiri. Memiliki tingkat fanatisme agama/suku yang tinggi: menganggap bahwa agamanya dan sukunya yang paling baik dan hebat. Menurut Satgas Nusantara (Xxxxxx.xxx, 15/11/2019) ada tiga penyebab seseorang menjadi intoleran: (1) Globalisasi yang menggerus nilai-nilai ketimuran, mis. Toleransi; (2) Demokrasi yang didominasi low class: kelompok ini gampang dipengaruhi untuk melakukan perubahan secara cepat dan instan dan kurang rasional; (3) Perkembangan media sosial (medsos) yang amat cepat sehingga paham radikal bisa menyebar dengan cepat.
Di dalam dunia psikologi perkembangan, perdebatan yang melatarbelakangi terbentuknya perilaku selalu mengarah pada dua konsep besar, yaitu apakah perilaku dipengaruhi oleh sifat alami dan bawaan (nature) atau perilaku dibentuk oleh proses pembelajaran dan pengalaman (nurture).Penelitian Xxxxxx Xxxxx, peneliti psikologi perkembangan dari Penn State University, Amerika Serikat (AS), berusaha menjembatani dua konsep ini dengan penelitiannya. Menurutnya, faktor genetika memberikan manusia potensi dalam diri. Namun, tidak dipungkiri bahwa faktor lingkungan memainkan peranan dalam membentuk perilaku tiap individu. Perbedaan tentang keyakinan dan konsep agama yang dipandang sebagai sebuah kebenaran tentu semakin lebar di tengah tatanan masyarakat yang semakin kompleks.
Padahal, masyarakat hidup tidak hanya berdasarkan satu budaya atau agama semata, melainkan hidup berdampingan dengan masyarakat lain yang memiliki budaya atau agama berbeda. Kondisi ini yang menyebabkan konflik rentan terjadi dan berujung pada perilaku intoleran. Gesekan di antara tiap kelompok masyarakat yang memiliki kepercayaan dan nilai yang berbeda rentan menimbulkan perilaku intoleran. Ini fenomena yang terutama terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat fundamentalisme agama sangat tinggi: mereka yang meyakini agamanya paling benar dibandingkan agama lainnya. Identitas yang telah tertanam kuat akan membangun motivasi mau berjuang untuk
agamanya, sehingga menjelaskan kenapa individu mau dan berani merelakan dirinya untuk kelompok dan bertarung atas nama kelompok, termasuk melakukan kegiatan ekstrem.
Tujuan:
1) Memperoleh gambaran secara psikologis mengapa orang bersikap intoleran.
2) Menjelaskan aspek-aspek yang mendorong orang menjadi intoleran.
3) Mengupas dua faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.
Pokok Bahasan:
1) Landasan psikologi sikap intoleransi.
2) Aspek pendorong perilaku intoleransi.
3) Faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.
Metode: Ceramah, dialog dan kerja kelompok.
Alat-alat: PPT, spidol, rekaman video dari youtube, kertas plano, kliping koran, majalah.
Waktu: 90 Menit.
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Fasilitator membuka sesi ini dengan menjelaskan topik yang dibahas dan tujuannya. Lalu fasilitator mepresentasikan materi melalui power point.
2) Kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab megenai materi yang dibawakan. Selanjutnya fasilitator mengajak peserta untuk masuk dalam kelompok kecil untuk mendiskusikan alas an- alasan yang membuat orang cenderung bersikap intoleransi.
3) Adapun bahan diskusi atau sharing pengalaman yang dibawakan dalam kelompok adalah sbb: a) Menurut Xxxx mengapa orang suka bersikap intoleran, b) Apakah menurut Anda sikap intoleransi yang dimiliki oleh Sebagian masyarakat merupakan perilaku yang dipengaruhi oleh pengalman dari lingkungannya atau memang sudah menjadi pembawaannya sejak lahir? c) Menurut Anda faktor mana yang lebih dominan mempengaruhi perilaku manusia, yaitu faktor bawaan seseorang atau faktor pengalaman sebagai hasil pengaruh lingkungannya?
4) Setelah diskusi kelompok fasilitator mengajak peserta Kembali ke pleno dan masing-masing kelompok melaporkan hasil diskusinya dan fasilitator memberi kesimpulan dari setiap laporan kelompok.
5) Setelah selesai rapat pleno maka fasilitator mengakhiri sesi ini.
Materi IV
Solusi Mengatasi Intoleran: Spiritual Well-Being
(Kesejahteraan Spiritual)
Pengantar Materi
Masalah yang menggurita menyangkut intoleransi mesti diatasi dengan benar. Cara mengatasinya ialah dengan memberikan pembekalan kepada para remaja agar kelak mereka tidak terlibat dalam Tindakan intoleran di tengah masyarakat. Pembekalan berupa pelatihan ini wajib digalakkan dari sekarang mengingat para remaja berpotensi menjadi pelaku intoleran di tempat tinggalnya. Bila tidak memiliki konsep yang benar mengenai keanekaragaman, maka para remaja rentan terlibat dalam Tindakan intoleransi. Kalau bukan sebagai pelaku utama, bisa menjadi pelaku pendukung atau simpatisan dari kelompok intoleran.
Mengapa pembenahan kesejahteraan spiritual perlu dilakukan untuk mengatasi masalah intoleran? Apa hubungan kesejahteraan spiritual dengan sikap intoleransi? Sebelum menjawab persoalan itu perlu lebih dahulu dijelaskan apa itu spiritual well-being (kesejahteraan spiritual). Pembenahan kesejahteraan spiritual (spiritual well-being) merupakan solusi mengatasi intoleran: Apa yang dimaksud dengan kesejahteraan spiritual, apa saja dimensi dari kesejahteraan spiritual, apa hubungan kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi? Apa pengertian kesejahteraan spiritual? Xxxxx dan Xxxxxx menyatakan bahwa kesejahteraan spiritual adalah suatu keadaan yang merefleksikan perasaan positif, perilaku dan kognisi dari hubungan dengan diri sendiri dan orang lain, serta hubungan dengan Yang Maha Kuasa (transcedent) dan alam, yang pada akhir-nya memberikan individu suatu rasa identitas, keutuhan, kepuasan, suka cita, keindahan, cinta, rasa hormat, sikap positif, kedamaian dan keharmonian batin, serta tujuan dan arah dalam hidup (2005).
Dimensi kesejahteraan spiritual meliputi: (1)Hubungan dengan diri sendiri (domain personal), berkaitan dengan diri sendiri, pencarian makna pribadi, pencarian tujuan dan nilai-nilai kehidupan. Domain pribadi ini berkaitan dengan kesadaran diri, yaitu kekuatan pendorong jiwa manusia untuk mencapai identitas dan harga diri, aspeknya: makna, tujuan, nilai-nilai, kesadaran diri, kegembiraan, perdamaian, kesabaran, identitas, dan nilai diri. (2) Hubungan dengan orang lain (domain communal) berupa kualitas dan kemampuan interpersonalnya dengan tingkat kualitas lebih mendalam, menjalin hubungan dengan orang lain, berkaitan dengan moralitas dan budaya. Adanya kasih sayang, pengampunan, kepercayaan, harapan dan kemampuan mengaktualisasikan iman terhadap sesama, aspeknya: moral, kebudayaan, agama, kedalaman hubungan antar personal, pemaaf, keadilan, cinta dan kepercayaan. (3) Hubungan dengan lingkungan (domain environmental), berupa keterikatan terhadap lingkungan secara natural, kepuasan
saat mengalami pengalaman puncak (peak experience), menikmati keindahan alam, kemampuan untuk memelihara lingkungan agar dapat memberi manfaat terhadap sekitar, aspeknya: mempedulikan, pekerjaan (mengurus), hubungan dengan alam, dan puncak pengalaman yang menimbulkan kekaguman.
(4) Hubungan dengan transenden (domain transcendental), kemampuan untuk menjalin hubungan dengan pencipta, melibatkan iman, pemujaan dan penyembahan terhadap realitas transenden yaitu Tuhan. Ada kepercayaan (faith) terhadap Tuhan aspeknya: kepentingan yang sangat pada transenden, kekuatan alam yang mengacu pada rasa yang melampaui ruang dan waktu, kekhawatiran yang sangat, keyakinan, penyembahan, dan ibadah (Fisher & Ng, 2017).
Tujuan:
1) Menjelaskan bahwa solusi yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah intoleran adalah pembenahan kesejahteraan spiritual.
2) Menjelaskan pengertian kesejahteraan spiritual.
3) Mengulas dimensi-dimensi yang dimiliki kesejahteraan spiritual.
Pokok Bahasan:
1) Mengatasi masalah intoleransi melalui kesejahteraan spiritual.
2) Pengertian kesejahteraan spiritual.
3) Dimensi kesejahteraan spiritual.
Metode: Ceramah, dialog dan diskusi kelompok.
Alat-alat: PPT, spidol, rekaman video dari youtube, kertas plano, kliping koran, majalah.
Waktu: 90 Menit.
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Fasilitator mengawali sesi ini dengan penjelasan singkat topik yang mau dibahas, yakni bahwa masalah intoleransi hanya bisa diatasi dengan membenahi kesejahteraan spiritual. Mengapa dengan kesejahteraan spiritual dan bukan dengan yang lain, fasilitator menguraikan bahwa bila seseorang melakukan Tindakan intoleransi, maka orang bersangkutan sebenarnya mengalami masalah relasi. Artinya, dia tidak bisa membangun relasi yang harmonis dengan orang lain. Dia mengganggap diri sebagai orang yang paling benar. Oleh karena itu untuk memperbaikinya, perlu dilakukan pembenahan relasi dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan Tuhan. Hanya orang yang memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan orang lain dapat melaksanakan sikap toleransi. Dengan kata lain orang yang bisa bertoleransi berarti dia sudah
memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan Tuhan. Bila itu terpenuhi, maka dia memiliki kesejahteraan spiritual yang baik.
2) Kemudian fasilitator menguraikan ap aitu kesejahteraan spiritual dan dimensi-dimensinya. Dalam menguraikan pengertian kesejahteraan spiritual dan dimensinya fasilitator menggunakan PPT.
3) Tahap selanjutnya adalah melakukan tanya jawab dan diskusi mengenai topik yang dibahas. Fasilitator kemudian merangkum hasil diskusi dan menutup sesi ini.
Materi V
Hubungan Spiritual Well-Being dan Sikap Toleransi
Pengantar Materi
Setelah mendalami pengertian dan dimensi spiritual well-being (kesejahteraan spiritual) kita mau melihat bagaimana hubungannya dengan sikap toleransi. Namun sebelum melihat hubungan itu patut dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan toleransi. Dalam awal pelatihan ini sudah disaksikan beberapa fenomene intoleransi yang terjadi di Indonesia dan faktor apa yang membuat orang bersikap intoleran. Maka untuk memahami ap aitu toleransi, tentu segala aspek yang bertentangan dan berlawanan dengan intoleransi.
Toleransi atau toleran secara bahasa kata ini berasal dari bahasa Latin tolerare yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Pengertian toleransi secara luas adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain (xxxxxxxxx.xxx). Toleransi juga dapat berarti suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok atau antar individu (perseorangan) baik itu dalam masyarakat ataupun dalam lingkup yang lain. Sikap toleransi dapat menghindari terjadinya diskriminasi, walaupun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok masyarakat. Toleransi terjadi karena adanya keinginan-keinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak.
Menurut UNESCO toleransi adalah penghargaan, penerimaan, dan apresiasi atas perbedaan budaya dunia, dan bentuk ekspresi dan keberadaan manusia yang berbeda-beda. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan (Xxxxx et al., 2020). Xxxx Xxxxxxxxxx & Xxxxx Xxxxxxx (2017) yang mengacu pada gagasan Xxxxx Xxxxxxx mengungkapkan beberapa ciri-ciri atau karakter dari toleransi meliputi (a) kedamaian sebagai tujuan, (b) terbuka dan reseptif terhadap perbedaan, (c) menghargai individu satu sama lain, (d) menghindari ketakutan dan ketidakpedulian, (e) memiliki benih cinta, (f) menghargai kebaikan dalam diri orang lain, (g) menerima ketidaknyamanan hidup dengan membiarkan orang lain dengan kekhasannya.
Maka aspek karakter toleransi dapat diringkas dalam table berikut ini.
Tabel 1 Aspek Karakter Toleransi (Xxxxxxxxxx & Xxxxxxx, 2017)
No | Aspek Toleransi | Indikator Toleransi |
1 | Kedamaian | a. Peduli b. Ketidaktakutan c. Cinta |
2 | Menghargai perbedaan dan individu | a. Saling menghargai satu sama lain b. Menghargai perbedaan orang lain c. Menghargai diri diri sendiri |
3 | Kesadaran | a. Menghargai kebaikan orang lain b. Terbuka c. Reseptif d. Kenyamanan dalam kehidupan e. Kenyamanan dengan orang lain |
Banyak manfaat yang bisa diperoleh bila karakter yang sudah disebutkan diatas bisa dilaksanakan dengan baik, antara lain: (a) Menguatkan nasionalisme: Toleransi bisa menunjukkan seberapa besar rasa nasionalisme seseorang. Karena orang yang memiliki toleransi tinggi, biasanya akan memiliki rasa cinta yang tinggi pula terhadap tanah airnya. Sebab ia menyadari bahwa Indonesia adalah negara majemuk yang memiliki banyak perbedaan. (b) Menguatkan persaudaraan: Indonesia terdiri dari berbagai macam pulau. Ia juga terdiri dari berbagai macam wilayah dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Dengan sikap toleransi, setiap orang menghargai yang lainnya dan memberikan rasa kasih sayang yang sama terhadap setiap perbedaan. (c) Menciptakan keharmonisan dan kedamaian: Pengertian toleransi secara bahasa berarti menahan diri. Itu tandanya, setiap orang yang memiliki rasa toleran dapat menahan dirinya untuk tidak memaksakan pendapat pribadi kepada orang lain. Sehingga keharmonisan pun akan tetap terjaga, karena mereka bisa saling memahami satu sama lain. Dengan begitu, kedamaian pun juga akan mengikuti.
Dari hasil penelitian empiris telah terbukti bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesejahteraan spiritul dengan sikap toleransi. Beberapa dari peneliti yang pernah menganalisanya adalah sbb: XX Xxxxxx (2011) menyimpulkan ada hubungan antara sikap toleransi dengan kedewasaan spiritual seseorang. Jika orang semakin dewasa secara spiritual maka dia lebih toleran, dari pada orang yang kurang dewasa secara spiritual. Xxxxxx Xxxxxx (2013) meneliti terdapat hubungan antara spiritualitas dan toleransi. Mengutip studi International social sourvey program (2008) Xxxxxx menggarisbawahi bahwa orang yang mengaku spiritual lebih toleran daripada yang mengaku religious. Di beberapa negara spiritualitas tidak selalu dikaitkan dengan kepercayaan kepada Tuhan, tapi memiliki toleransi religious yang cukup tinggi. Xxxxxx Xxxxxxxx (2014) spiritualitas membuat orang menjadi lebih toleran. Xxxxxxxx dan timnya berkesimpulan saat seseorang mengingat keyakinan spiritualnya maka dia
cenderung memiliki perasaan toleran dan mengurangi sikap permusuhan. Tumanggor & Mularsih (2020) berpendapat semakin tinggi kesejahteraan spiritual seseorang, maka semakin baik pula sikap toleransinya.
Tujuan:
1) Memperoleh pemahaman yang utuh mengenai apa itu toleransi dan aspek karakternya.
2) Memahami secara utuh fungsi dari toleransi.
3) Mengupas lebih dalam hubungan antara kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi.
Pokok Bahasan:
1) Pengertian dan aspek karakter toleransi.
2) Fungsi dan manfaat sikap toleransi.
3) Hubungan antara kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi.
Metode: Ceramah, dialog dan brainstorming.
Alat-alat: PPT, spidol, rekaman video dari youtube, kertas plano, kliping koran, majalah. Waktu: 90 Menit.
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Fasilitator mengawali sesi ini dengan menjelaskan inti materi yang mau dibahas, yaitu pengertian toleransi dan aspek karakter dari toleransi.
2) Kemudian fasilitator menguraikan manfaat apa yang diperoleh bila seseorang menunjukkan sikap toleransi.
3) Setelah itu dibahas hubungan antara kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi. Dalam penelitian empiris terbukti bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesejahteraan spiritual dengan sikap toleransi.
4) Dalam meyampaikan materi diharapkan fasilitator menggunakan metode dialogis dan koperatif, artinya melibatkan peserta dalam penyampaikan materi. Materi disampaikan dengan PPT.
5) Tahap selanjutnya fasilitator mengajak peserta untuk mendiskusikan hal yang dianggap belum jelas.
6) Setelah acara tanya jawab dan diskusi fasilitator menyimpulkannya dan menutup sesi ini.
Materi VI
Penguatan Toleransi melalui Pembenahan Spiritual Well-Being
Pengantar Materi
Memilikikesejahteraan spiritual bisa membangun sikap toleransi? Mengapa orang yang sejahtera secara spiritual bisa memiliki sikap toleransi?Apakah kita harus memiliki kesejahteraan spiritual baru bisa memiliki sikap toleransi?Jawabannya adalah JA. Dengan memiliki kesejahteraan spiritual, seseorang bisa semakin toleran, karena bila seseorang memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, sesama, lingkungan dan Tuhan, maka dia akan lebih gampang untuk (1) menerima dan menghargai perbedaan krn punya relasi yang baik dengan diri sendiri, (2) menghormati orang lain beribadah krn punya relasi yang baik juga dengan Tuhan, (3) menjadi pendengar yang baik, krn punya relasi yang baik dengan sesama, (4) Tidak memaksakan kehendak, krn dia memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, (5) mampu berbicara santun krn punya relasi yang baik dengan alam semesta.
Hal apa yang dibutuhkan untuk bisa memiliki sikap toleran? Berbagai sikap yang bisa dilakukan untuk meningkatkan sikap toleransi adalah (1) menerima dan menghormati perbedaan, (2) tidak bergunjing, (3) Menjadi pendengar yang baik, (4) Berbicara dengan santun, (5) Membiarkan orang lain beribadah, (6) Tidak memaksakan kehendak.
Bagaimana cara kita membangun kesejaheraan spiritual? Hal itu dapat diungkapkan dengan beraneka ragam cara seperti yang tampak dalam tabel berikut ini.
Dimensi Kesejahteraan Spiritual | ||||
Diri sendiri (personal) | Sesama (communal) | Lingkungan (environment) | Tuhan (Trancendental) | |
Aspek pengetahuan | Arti, tujuan dan nilai | Moralitas | Pemeliharaan | Yang lain yg transenden |
Esensi | Kesadaran diri | Menjangkau hati komunitas | Relasi dengan alam | Tuhan |
Diungkapkan dalam bentuk | Kegembiraan, damai, kebebasan | Cinta, pengampunan dan keadilan | Kagum akan alam semesta | Penyembahan, ibadat, Bersatu dengan Tuhan |
Sejak kapan kita melakukan semua itu? Dimulai sejak kecil dalam keluarga: Orangtua mendidik anak- anak mencintai diri sendiri, sesama, alam lingkungan dan Tuhan. Peran orangtua penting mendidik anak agar bisa berelasi yang baik dengan diri sendiri, sesame, alam lingkungan dan Tuhan. Coba kita
perhatikan video berikut ini xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxxx0xxXXXX bagaimana seorang anak berkenalan dengan sesamanya yang berbeda budaya dan agama dengan dia. Kebiasaan baik yang sudah ditanamkan dlm diri kita sejak kecil akan tetap terbawa terus hingga kita sudah dewasa/tua.
Perhatikan video ini xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxxxxXxXx00&xx00x yang mengungkapkan pengalaman seorang ayah miskin yang bisa berbagi walaupun dalam kekurangan. Sikap baik untuk berbagi dengan sesama akan mendapat balasan baik bukan hanya dari Tuhan, tapi juga dari sesama.
Siapakah xxx xxxx? Kita ini semua adalah orang Indonesia yang beragam suku, budaya, dan agamanya. Kita memang dilahirkan berbeda di tanah air yang sama. Maka mari kita sadari keberagaman ini seperti yang diungkapkan oleh video pendek ini yang berjudul Kami Indonesia xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXXXxxxxXxxx Apa yang bisa saya lakukan untuk bisa memperbaiki kesejahteraan spiritualku? Benahilah relasi yang baik dengan dirimu sendiri, dengan sesama, dengan alam lingkungan, dan dengan Tuhan (Yang Transenden). Kita membenahi relasi yang baik dengan keempat kuadran ini dalam konteks keberagaman Indonesia. Apakah itu bisa? Ya harus bisa. Kita semua bisa melakukannya bila ada satu hal dalam hati kita, yaitu: CINTA. DENGAN CINTA KITA AKAN BISA BERELASI DENGAN SIAPAPUN: diri sendiri, sesama, alam lingkungan dan TUHAN seperti yang diungkapkan oleh lagu indah dari BIP ini. xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxx?xxXxXxxxxx-XX
Tujuan:
1) Memperoleh pemahaman bahwa orang yang memiliki kesejahteraan spiritual akan mampu bersikap toleransi.
2) Memahami hal apa yang perlu dilakukan untuk membangun sikap toleransi melalui keempat dimensi kesejahteraan spiritul.
3) Mampu meneladani contoh-contoh membangun relasi dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan Tuhan melalui media social.
Pokok Bahasan:
1) Sikap toleransi dapat dibangun melalui pembenahan kesejahteraan spiritual.
2) Faktor-faktor yang perlu untuk membangun sikap toleransi melalui empat dimensi kesejahteraan spiritual.
3) Media sosial seperti youtube sebagai saran membangun relasi yang baik dengan diri sndiri, sesame, lingkungan dan Tuhan.
Metode: Ceramah, dialog dan brainstorming.
Alat-alat: PPT, spidol, rekaman video dari youtube, kertas plano, kliping koran, majalah. Waktu: 90 Menit.
Langkah-langkah fasilitasi:
1) Untuk membuka sesi fasilitator menjelaskan topik yang akan dibahas agar peserta memahami konteks pembicaraan. Lalu fasilitator menggarisbawahi bahwa orang yang memiliki kesejahteraan spiritual yang baik akan bisa bersikap toleransi. Maka untuk membangun karakter toleransi yang baik perlu membenahi kesejahteraan spiritual melalui perbaikan relasi dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan Tuhan.
2) Langkah selanjutnya fasilitator mengajak peserta untuk memikirkan dan merefleksikan bagaimana cara agar orang memiliki relasi yang baik dengan diri sendiri, sesame, lingkungan dan Tuhan? Fasilitator harus berusaha menggali dari pengamaman peserta sendiri.
3) Setelah itu fasilitator menampilkan beberapa video dari Youtube pengalaman bagaimana membangun sikap kebersamaan dalam perbedaan, membangun sikap berbagi, menyadari kebersamaan sebagai bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, budaya, dan membangun optimism bahwa kita bisa melakukan semua itu bila ditopang oleh rasa cinta antara sesame manusia.
4) Fasilitator menyimpulkan kegiatan yang dilakukan dalam sesi ini dan mengajak peserta merenungkan hal apa yang akan dilakukan selanjutnya agar bisa membenahi kesejahteraan spiritual. Bila kesejahteraan spiritualnya sudah terbangun baik, maka orang akan bisa menunjukkan sikap toleransi.
5) Setelah itu fasilitator menutup sesi ini.
Materi VII
Rencana Tindak Lanjut dan Evaluasi
Pengantar Materi
Setelah melakukan pelatihan, dilanjutkan dengan penyusunan rencana tindak lanjut dan evaluasi. Rencana tindak lanjut bertujuan untuk mendorong peserta bukan hanya sebatas mengerjakan tugas dari fasilitator, melainkan juga mampu membuat tahapan kerja, kelompok sasaran dan output yang akan dihasilkan. Maka setelah pelatihan ini terutama menyangkut pentingnya penguatan sikap toleransi melalui pembenahan kesejahteraan spiritual, perlu dirumuskan apa yang mesti dilakukan oleh peserta.
Sebagai langkah awal ada beberapa tugas yang perlu dilakukan oleh peserta agar materi pelatihan bisa efektif dipahami bukan hanya dalam tataran kognitif, tapi juga dalam tataran afektif dan psikomotoris. Adapun tugas itu adalah sbb:(1) Tuliskanlah hal apa yang bisa kamu lakukan untuk membangun relasi yang baik dengan dirimu sendiri, sesama, alam semesta/lingkungan, dan Tuhan! (2) Carilah sebuah benda yang menjadi simbol sebuah toleransi, lalu fotolah benda itu, serta jelaskan mengapa benda itu menjadi/menggambarkan suatu sikap toleransi? Atau (2) Buatlah sebuah gambar atau lukisan yang menggambarkan suatu sikap toleransi dalam hidup bermasyarakat kita! Atau (2) Buatlah sebuah poster yang berisi ajakan bagi kaum remaja untuk selalu menunjukkan sikap toleransi.
Selain menyusun rencana tindak lanjut perlu dilakukan evaluasi terhadap materi, kompetensi nara sumber, penyampaian, dan proses pelaksanaan pelatihan ini. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana materi yang disampaikan sudah memenuhi kebutuhan peserta. Selain itu evaluasi ini digunakan untuk memperbaiki seluruh proses pelaksanaan pelatihan, agar diperoleh modul pelatihan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Tujuan:
1) Membahas rencana tindak lanjut setelah pelatihan baik pada tingkat pribadi, maupun komunitas.
2) Menekankan kepada para peserta bahwa kajian teoretis yang diperoleh saat pelatihan harus diikuti oleh Tindakan praktis dengan melakukan tugas, sehingga gagasan bisa lebih meresap dalam sanubari peserta.
3) Mengajak peserta melakukan evaluasi atas materi, kompetensi, dan pelaksanaan palatihan. Pokok Bahasan:
1) Perencanaan kegiatan setelah pelatihan
2) Pelaksanaan tugas individu setelah pelatihan
3) Evaluasi pelatihan guna perbaikan modul
Metode: Sumbang gagasan dan pendapat, mengisi form Rencana Tindak Lanjut
Bahan/Alat: kertas plano, whiteboard, spidol, pulpen, dan LCD proyektor, lembaran isian Rencana Tindak Lanjut.
Waktu: 60 menit. Langkah Pelaksanaan:
1) Mengawali sesi ini fasilitator menjelaskan hal yang harus dilakukan peserta. Bila pada sesi sebelumnya para peserta menerima materi melalui model ceramah, maka pada bagian sesi ini fasilitator mengajak peserta untuk melakukan tugas mandiri. Ada pun tugas ini bertujuan menolong peserta untuk memperdalam makna dari materi yang sudah diterima. Sebelum fasilitator mempersilahkan peserta untuk berpencar melaksanakan tugas itu, fasilitator meminta peserta untuk mengisi sekali lagi angket tentang spiritual well-being dan sikap toleransi. Melalui angket post-test ini ingin diketahui apakah peserta pelatihan mengalami peningkatan dalam hal kesadaran untuk semakin bersikap toleran.
2) Kemudian fasilitator mempersilahkan peserta untuk mengisi rencana tindak lanjut, yaitu hal-hal yang akan dilakukan (Form isian ada dalam lampiran 2). Setelah peserta mengisi form tersebut, dilanjutkan dengan evaluasi untuk keseluruhan kegiatan pelatihan. Tujuannya adalah untuk menolong fasilitator memperbaiki materi dan pelaksanaan pelatihan di kesempatan yang berikut (Form isian ada dalam lampiran 3).
3) Fasilitator menjelaskan kesimpulan rencana tindak lanjut dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh peserta. Setelah itu fasilitator dapat menutup sesi ini.
Daftar Pustaka
Xxxxxxxx, X. (2019). Api dalam Sekam Koflik Aceh Singkil dalam: xxxxx://xxx.xxx.xxx/xxxxxxxxx/xxxxxxxxx-00000000
Xxxxxx, X.X., & Xx, X. (2017) Presenting a 4-Item Spiritual Well-Being Index (4-ISWBI).
Religions 8, 179.
Xxxxx, R, & Xxxxxx, X.X. (2005). Item response theory analysis of the spiritual well- being questionaire. Personality and Individual Differences 38, 1107-1121.
Xxxxx, X.; Xxxx, X.X.; Xxxxxx, X.; Xxxxxxxx, X.X. (2020). A New Approach to the Study
of Tolerance: Conceptualizing and Measuring Acceptance, Respect, and Appreciation of Difference. Social Indicators Research 147:897–919 xxxxx://xxx.xxx/00.0000/x00000- 019-02176-y
Xxxxxx, X. (2013). Spirituality and Religious Tolerance. Implicit Religion 16 (1), 65-
91.
Xxxxxxx, Xxxxxxx dkk (2009). Modul Pelatihan Membangun Toleransi, Moderate Muslim Society/ European Union.
Xxxxxxxx, X., XxXxxxxx, X., Xxxx, K. A., & Xxxx, X. (2014). Religious magnanimity: Reminding people of their religious belief system reduces hostility after threat. Journal of Personality and Social Psychology, 107(3), 432–453. xxxxx://xxx.xxx/00.0000/x0000000
Xxxxxxxxxx, A. & Xxxxxxx, X. (2017). Skala Karakter Toleransi: Konsep dan Operasional Aspek Kedamaian, Menghargai Perbedaan dan Kesadaran Individu, Jurnal Ilmiah Counsellia, Vol. 7 (2), 61-70.
Xxxxxxxxx, R.O. & Xxxxxxxx, H. (2020). Relationship of Spiritual Well-Being and Attitudes of Tolerance. CELL EAI DOI: 10.4108/eai.5-8-2019.2291041
Xxxxxx, X.X., 2011, “Religious Tolerance and its Relationship to Spiritual Maturity and Religious Orientation Among Seventh-day Adventists in Jamaica”. Dissertations.1523. xxxx://xxxxxxxxxxxxxx.xxxxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxxx/0000
Biodata Penulis
Dr. Raja Xxxxx Xxxxxxxxx, S. Ag. lahir di Tapanuli Tengah (Sumatera Utara) 14 April 1967. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar pada 1987 meraih gelar sarjana filsafat (S1) dari Fakultas Filsafat Universitas Katolik St. Xxxxxx Xxxxx tahun 1993. Pada tahun 2006 dia meraih gelar doktor (S3) dari Westfaelische Wilhelms- Universitaet (WWU) Xxxxxxxx Xxxxxx.
Sejak 2007 hingga sekarang mengajar Pengantar Filsafat untuk program S1 dan Filsafat Ilmu Pengetahuan di program S2 di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta (Untar) dan sejak 2012 menjadi dosen tetap di Program Pascasarjana/Magister Fakultas Psikologi Untar.
Dia adalah anggota Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia (HIDESI) dan International Association of Psychology of Religion (IAPR). Sejak tahun 2016 berhasil memperoleh hibah penelitian yang didanai oleh Kemenristek Dikti mengenai: resiliensi bagi korban konflik social di Aceh Singkil (2017-2018), spiritual well-being dan sikap toleransi bagi kaum remaja (2019- 2020).
Beberapa karyanya yang sudah diterbitkan, a.l.: Logika Sebuah Pengantar (Pustaka Mandiri, 2012), Berpijak pada Realitas. Tantangan bagi Pastoral, Misiologi dan Pendidikan Agama Kristen (Genta Pustaka Lestari, 2013), Misi dalam Masyarakat Majemuk (Genta Pustaka Lestari, 2014), Adat und christlicher Glaube. Eine missionstheologische Studie zur Inkulturation des christlichen Glaubens unter den Toba Batak (Indonesien) (Akademische Verlagsgemeinschaft Muenchen, 2014), Pengantar Filsafat untuk Psikologi (Kanisius, 2017), Logika Ilmu Berpikir Kritis (Kanisius, 2019).
Lampiran 1: Angket untuk Sebelum dan Setelah Pelatihan
KUESIONER
PELATIHAN SPIRITUAL WELL-BEING UNTUK MEMBANGUN SIKAP TOLERANSI BAGI KAUM REMAJA
DATA DEMOGRAFIS
1 | Nama | ||||||
2 | Umur/Xxx lahir | ||||||
3 | Jenis Kelamin | 1 | Laki-laki | 2 | Perempuan | ||
4 | Domisili/Propinsi | 1 | DKI | 3 | SUMUT | 5 | JAWA TENGAH |
2 | JAWA BARAT | 4 | LAMPUNG | 6 | JAWA TIMUR | ||
5 | Agama | 1 | Islam | 4 | Hindu | 7 | Lain-lain |
2 | Xxxxxxx Xxxxxxxxx | 5 | Buddha | ||||
3 | Katolik | 6 | Khong Hu Cu | ||||
6 | Pendidikan terakhir | 1 | SD | 3 | SMA | ||
2 | SMP | 4 | S1 | ||||
7 | Suku/Etnis | 1 | Jawa | 3 | China | 5 | Betawi |
2 | Batak | 4 | Lampung | 6 | Lain-lain |
PETUNJUK:
Anda diharapkan memberikan tanda silang (X), atau melingkari (O) atau centang (V) pada salah satu pilihahan: STS (Sangat tidak Setuju), TS Tak Setuju), S (Setuju) atau SS (Sangat Setuju).
SWB | PERNYATAAN | STS | TS | S | SS |