BAB III TINJAUAN TEORITIS
BAB III TINJAUAN TEORITIS
A. Tinjauan Umum Jasa Fitnes
1. Pengertian Jasa Fitnes
Jasa merupakan suatu kegiatan yang memiliki beberapa unsur ketidak berwujudan (intangibility) yang berhubungan dengannya, yang melibatkan beberapa interaksi konsumen atau dengan property dalam kepemilikannya dan tidak menghasilkan transfer kepemilikan. Xxxxxx Xxxxxx telah membedakan empat kategori tawaran yang bervariasi dari barang murni hingga jasa murni seperti:
1. Barang fisik murni seperti sabun, pasta gigi atau garam.
2. Barang fisik dengan jasa pelengkap untuk meningkatkan daya tarik konsumen.
3. Jasa utama disertai barang dan jasa minor seperti perjalanan penerbangan kelas satu.
4. Jasa murni seperti pengasuh bayi dan psikoterapi21.
Pada level yang paling sederhana, kita dapat mengkategorikan layanan jasa yang merupakan bagian dari ekonomi yang tersisa setelah dipisahkan atau dipilah dari pertanian, manufaktur dan pertambangan. Alat bantu lain untuk menentukan jasa adalah sederhana saja yaitu mendaftarkan industri-industri jasa.
21Xxxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxx Xxx Xxxxxxx, Manajemen Pemasaran Jasa, (Xxxxxxxxxx: CAPS, 2015), hal. 3
25
Deskripsi jasa biasanya menyertakan sektor-sektor industri perdagangan eceran dan grosir, transportasi, distribusi penyimpanan, perbankan, ansuransi, real estate, jasa komunikasi, informasi, komunikasi, fasilitas umum, pemerintahan, pertahanan, perawatan, kesehatan, jasa bisnis, professional, pribadi, jasa rekreasi, hospitalis, pendidikan, organisasi nirlaba dan lainnya22.
Jasa fitnes, banyak orang yang mengartikan fitnes adalah olahraga kebugaran yang paling efektif untuk kesehatan, menurunkan berat badan dan membentuk otot agar lebih berisi dan ideal. Pengertian fitnes secara umum itu sendiri adalah olahraga kebugaran untuk membakar lemak dengan difokuskan pada pembentukan otot tubuh dan juga bagian tubuh lainnya yang diinginkan. Olahraga fitnes ini sangat bagus karena jika dilakukan secara rutin sangat baik untuk kesehatan tubuh. Tidak hanya dapat dapat membentuk otot dan juga menurunkan berat badan saja, ternyata fitnes dilakukan rutin setiap hari tubuh akan menjadi sehat dan bugar23.
Fitnes Center merupakan dari kata fitnes adalah kebugaran, sedangkan center adalah pusat, jadi Fitnes Center ini adalah pusat kebugaran24. Menurut Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional bahwa Industri Olahraga adalah kegiatan bisnis dibidang olahraga dalam bentuk produk barang dan/atau jasa.
22Ibid h. 12.
23 Pengertian Fitnes dan Jenis-jenis Latihan Fitnes, diakses 19 Oktober 2016, dari xxxx://xxxxxxxxxxxxxxxxxxx.xxx.
Menurut Pasal 1 ayat 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional bahwa olahraga adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani dan sosial. Oleh karena itu jasa fitnes merupakan olahraga kebugaran yang yang didasari dalam Pasal 1 ayat
12 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional disebut dengan olahraga rekreasi yang merupakan olahraga yang dilakukan oleh masyarakat dengan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi dan sesuai nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan, kebugaran dan kegembiraan.
Olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana untuk memelihara hidup, meningkatkan kualitas hidup dan mencapai tingkat kemampuan jasmani yang sesuai dengan tujuan. Olahraga kesehatan meningkatkan derajat sehat dinamis (sehat dalam gerak), pasti juga sehat statis (sehat dikala diam), tetapi tidak pasti sebaliknya. Gemar berolahraga (mencegah penyakit, hidup sehat dan nikmat). Malas berolahraga (mengundang penyakit). Tidak berolahraga (menelantarkan diri) 25.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional Pasal 20, 21, dan 24 prasarana olahraga adalah tempat atau ruang termasuk lingkungan yang digunakan utuk kegiatan olahraga dan atau penyelenggaraan keolahragaan dan sarana olahraga adalah peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk kegiatan olahraga dan juga membentuk
organisasi olahraga yang merupakan sekumpulan orang yang menjalin kerja sama dengan membentuk organisasi untuk penyelenggaraan olahraga sesuai ketentuan perundang-undangan26.
2. Prinsip Penyelenggaraan Keolahragaan
Bab 111 Pasal 5 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional bahwa penyelenggaraan keolahragaan dengan prinsip:
a. Demokratis, tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi nilai keagamaan, nilai budaya, dan kemajemukan bangsa.
b. Keadilan sosial dan nilai kemanusiaan yang beradab.
c. Sportivitas dan menjunjung tinggi nilai etika dan estetika.
d. Pembudayaan dan keterbukaan.
e. Pengembangan kebiasaan hidup sehat dan aktif bagi masyarakat.
f. Pemberdayaan peran serta masyarakat.
g. Keselamatan dan keamanan dan
h. Keutuhan jasmani dan rohani
Pasal 19 menyebutkan bahwa:
a. Olahraga rekreasi dilakukan sebagai bagian proses pemulihan kembali kesehatan dan kebugaran.
b. Olahraga rekreasi dapat dilaksanakan oleh setiap orang, satuan pendidikan, lembaga, perkumpulan, atau organisasi olahraga.
c. Olahraga rekreasi sebagaimana dimaksud pada ayat (a) bertujuan:
1. Memperoleh kesehatan, kebugaran jasmani, dan kegembiraan.
2. Membangun hubungan sosial
d. Melestarikan dan meningkatkan kekayaan budaya daerah dan nasional.
e. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban menggali, mengembangkan, dan memajukan olahraga rekreasi.
f. Setiap orang yang menyelenggarakan olahraga rekreasi tertentu yang mengandung risiko terhadap kelestarian lingkungan, keterpeliharaan sarana, serta keselamatan dan kesehatan wajib:
1. Menaati ketentuan dan prosedur yang ditetapkan sesuai dengan jenis olahraga; dan
2. Menyediakan instruktur atau pemandu yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan jenis olahraga.
Olahraga rekreasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh perkumpulan atau organisasi olahraga27 .
Sedangkan Pasal 1 ayat 23 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, standar kesehatan dan keselamatan sarana olahraga adalah standar minimal tentang kesehatan dan keselamatanyang dipersyaratkan untuk sarana olahraga yang ditetapkan oleh induk organisasi dan atau federasi olahraga nasional serta memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Instruktur
Menurut Xxxxxxx xxxxxxxxxx memiliki peranan-peranan tertentu yang meliputi:
1. Peranan sebagai pengajar; instruktur berperan menyampaikan pengetahuan dengan menyajikan berbagai informasi yang diperlukan berupa konsep-konsep, fakta, dan informasi yang dapat memperkaya wawasan pengetahuan para peserta pelatihan dengan cara melibatkan mereka secara aktif untuk mencari pengetahuan sendiri yang mereka butuhkan.
2. Peranan sebagai pemimpin kelas; instruktur berperan sebagai pemimpin kelas secara keseluruhan sehingga dari peranannya itu pelatih perlu menyusun perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian selama berlangsungnya proses pembelajaran.
3. Peranan sebagai pembimbing; instruktur perlu memberikan bantuan dan pertolongan bagi peseta pelatihan yang mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran/pelatihan yang pada akhirnya mengarahkan peserta lebih aktif dan mandiri.
Bentuk bimbingannya dapat berupa mengarahkan, memotivasi, membantu memecahkan masalah antara lain yaitu:
1. Peranan sebagai fasilitator; instruktur berperan menciptakan kondisi lingkungan pelatihan agar peserta pelatihan belajar aktif sehingga proses pembelajaran menjadi efektif.
2. Peranan sebagai peserta aktif; instruktur dapat berperan serta sebagai peserta aktif dalam kegiatan diskusi dengan cara memberikan informasi, mengarahkan pemikiran, menunjukkan jalan pemecahan (problem solving), dan sumber-sumber yang diperlukan.
3. Peranan sebagai pengawas; pelatih harus melakukan pengawasan secara terus menerus agar proses pelatihan senantiasa terarah, kendala-kendala yang dihadapi peseta pelatihan segera tertangani, disiplin kelas dapat dibina dengan baik dan ketertiban kelas terjaga.
4. Peranan sebagai motivator; instruktur perlu secara berkelanjutan menggerakkan motivasi belajar peserta pelatihan supaya kegiatan belajarnya lebih aktif.
5. Peranan sebagai evaluator; instruktur berperan melakukan penilaian pada pra-proses-akhir pelatihan melalui tes, petanyaan lisan, pengamatan dan lain-lain agar peserta pelatihan mengetahui kemajuan belajarnya, mengetahui kesulitan belajarnya dan membantunya dengan bimbingan.
6. Peranan sebagai konselor; instruktur dapat berperan memberikan penyuluhan tentang kesulitan pribadi dan sosial peserta pelatihan.
7. Peranan sebagai pengawas sikap dan nilai dengan sistem nilai yang dijadikan panutan dan sikap hidup bagi semua peserta pelatihan, mengingat semuanya akan didayagunakan sebagai tenaga kerja yang melayani masyarakat dan dibina sesuai dengan tuntutan lapangan
pekerjaan28. Kemudian didalam Pasal 106 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraaan Keolahragaaan bahwa tenaga keolahragaan yang bertugas disetiap organisasi olahragaan dan atau lembaga olahraga wajib memiliki kualifikasi dan sertifikat kopetensi yang dikeluarkan oleh induk organisasi cabang olahraga yang terakreditasi atau Badan Standarisasi Aktreditas Nasional Keolahragaan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 Pasal 89 ayat 2 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan bahwa standar prasarana olahraga mencakup persyaratan:
a. Ruang dan tempat berolahraga yang sesuai persyaratan teknis cabang olahraga.
b. Lingkungan yang terbebas dari polusi air, udara dan suara.
c. Keselamatan yang sesuai dengan keselamatan bangunan.
d. Keamanan yang dinyatakan dengan terpenuhinya persyaratan sistem pengaman.
e. Kesehatan yang dinyatakan tersedianya perlengkapan medik dan kebersihan.
Ayat 3 menerangkan bahwa:
a. Perlengkapan dan peralatan yang sesuai persyaratan teknis cabang olahraga.
b. Keselamatan yang sesuai dengan persyaratan keselamatan perlengkapan peralatan.
c. Kesehatan yang dinyatakan dipenuhinya persyaratan kebersihan dan higenis.
Pemenuhan syarat produk yang ramah lingkungan.
B. Penyelenggara atau Pelaku Usaha
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa yang termasuk dalam lingkup pelaku usaha atau yang dapat disebut sebagai pelaku usaha antara lain adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor atau penyalur dan sebagainya29.
a. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Pelaku usaha didalam menjalankan kegiatan usahanya tidak hanya dibebani hak dan kewajiban saja, akan tetapi di dalam undang-undang perlindungan konsumen juga menyatakan secara tegas mengenai beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha didalam mengedarkan dan memperdagangkan produk barang dan jasa. Pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha ini dimaksudkan agar supaya pelaku usaha tidak melakukan hal-hal yang akan melanggar hak-hak yang semestinya diperoleh para konsumen, bahkan cenderung akan merugikan konsumen atas barang dan jasa yang diproduksinya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana diatur dalam BAB IV mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, pada Pasal 8 dan Pasal 9 sebagai berikut:
Pasal 8 ayat (1) didalam undang-undang ini menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan memperdagangkan barang atau jasa yang di perdagangkan atau disediakan yaitu30.
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan jasa tersebut.
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan jasa tersebut.
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan jasa tersebut.
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau angka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagai mana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat atau isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
j. Tidak mencantumkan informasi dan petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa; “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud”.
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang ini menyatakan bahwa;“ Pelaku usah dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar”. Dan yang terakhir pengaturan yang sama mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.
Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang ini menegaskan bahwa;“ Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Dari uraian diatas apabila ada pelaku usaha yang melanggar perbuatan yang telah dilarang, didalam mengedarkan atau memperdagangkan, maka pelaku usaha tersebut harus bersedia untuk menarik baik sebagian atau seluruh barang dan jasa yang telah diproduksinya tersebut dari peredaran pasar sebagai bentuk dari pemberian sanksi administratif yang harus diterima oleh pelaku usaha31.
Selanjutnya didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum didalam Pasal 9 ayat (1), (2), dan (3) masih mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sebagai xxxxxxx00.
1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang atau jasa secara tidak benar, dan seolah-olah:
a. Barang tersebut telah memenuhi dan memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan baru.
c. Barang dan jasa tersebut telah mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
d. Barang dan jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
e. Barang dan jasa tersebut tersedia.
31Ibid, h. 64.
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain.
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
2. Barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang atau jasa tersebut.
Pelaku usaha didalam mengedarkan, menawarkan, mengiklankan, dan memperdagangkan barang atau jasa yang diproduksinya haruslah dilakukan dengan cara yang baik dan benar sesuai dengan kondisi maupun standar mutu barang yang sesungguhnya atau dengan kata lain sesuai dengan wujud aslinya. Pelaku usaha harus bersikap jujur dan terbuka mengenai informasi yang berkaitan dengan harga atau tarif, kondisi, sampai dengan jaminan atau hak ganti rugi atas produk yang ditawarkannya kepada konsumen33.
b. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pengertian tanggung jawab menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya sehingga bertanggung jawab didalam kamus ini diartikan sebagai keadaan dimana seseorang wajib menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, dan memberikan jawab serta menanggung akibatnya. Tanggung jawab merupakan suatu kesadaran yang dimiliki oleh manusia secara perseorangan akan tingkah laku atau perbuatannya baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Dalam kaitannya dengan tangung jawab pelaku usaha didalam menjalankan usahanya, maka pelaku usaha harus berani menanggung resiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya karena perbuatan yang dilakukan, sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pelaku usaha wajib memberikan ganti kerugian kepada konsumen, ketika ada konsumen yang merasa dirugikan akibat membeli, menggunakan dan mengkonsumsi barang atau jasa yang diedarkan serta diperdagangkan34.
Tanggung jawab pelaku usaha yang harus dipenuhi ketika terdapat konsumen yang menuntut ganti kerugian diatur didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang tercantum sebagaimana terdapat pada Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dibawah ini:
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Dilihat substansi dari tanggung jawab pelaku usaha yang diatur didalam Pasal 19 ayat (1) undang-undang perlindungan konsumen tersebut, maka dapat diketahui bahwa tanggung jawab dari pelaku usaha meliputi:
1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan.
2. Tanggung jawab kerugian atas pencemaran.
3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha yang diberikan
Dasar hukum lain yang mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha selain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengaturan mengenai tanggung jawab pelaku usaha tersebut diatur sebagaimana tercantum pada Pasal 0000, Xxxxx 0000, dan Pasal 1367 yang isinya adalah sebagai berikut:
-Pasal 1365, menyebutkan bahwa; “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena salahnya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
-Pasal 1366, menyebutkan bahwa;“Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.”
-Pasal 1367, menyebutkan bahwa; “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang- orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada dibawah pengawasannya35.
Dalam Pasal 23 Undang-undang Perlindungan Konsumen juga menjelaskan bahwa pelaku usaha yang menolak atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke Badan Peradilan ditempat kedudukan konsumen.
c. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen
Secara garis besar prinsip-prinsip tanggung jawab produk di dalam hukum perlindungan konsumen dibedakan sebagai berikut:
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (fault liability based on fault)36.
Prinsip ini menjelaskan seseorang dapat dimintakan pertanggung jawabnya secara hukum apabila ada unsur kesalahan yang dilakukan. Sebagaimana terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu pada Pasal 1365, di mana Pasal tersebut menyatakan bahwa;“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”. Pasal tersebut menyatakan bahwa seseorang yang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum, harus memenuhi empat unsur pokok yang antara lain:
a. Adanya perbuatan melawan hukum
Berkaitan dengan melawan hukum atau perbuatan melanggar hukum dalam hal ini dapat berupa perbuatan yang melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum dari pihak pembuat, berlawanan dengan kesusilaan, dan berlawanan dengan
sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan di dalam pergaulan masyarakat terhadap diri maupun benda orang lain.
b. Adanya unsur kesalahan
Kesalahan merupakan sebuah unsur yang bertentangan dengan hukum, dan di dalam kaitannya dengan perbuatan melawan hukum. Kesalahan ini memiliki tiga unsur antara lain:
1) Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan.
2) Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya;
a) Dalam arti objektif adalah sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya.
b) Dalam arti subjektif adalah sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya.
3) Dapat dipertanggung jawabkan oleh debitur dalam keadaan yang cakap.
c. Adanya kerugian yang diderita
Menurut Xxxxxxxxxx pengertian adanya kerugian yang di derita adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.
Kerugian yang diderita oleh seseorang secara garis besar dapat
benda itu sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan yang diharapkan.
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
1. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability principle).
Prinsip ini menjelaskan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab, sampai dia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian adalah terdapat pada pihak tergugat, dan hal tersebut sering dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik. Pada dasarnya di dalam prinsip beban pembuktian terbalik ini, seseorang akan dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, hal tersebut tentu bertentangan dengan sebuah asas hukum praduga tak bersalah. Meskipun demikian ketika prinsip ini di terapkan di dalam kasus hukum perlindungan konsumen, maka asas praduga tak bersalah ini akan menjadi cukup relevan karena yang memiliki kewajiban untuk membuktikan kesalahan tersebut adalah pihak pelaku usaha (produsen) bukan konsumen.
2. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (presumption non liablity)
didalam hukum pengangkutan, terjadinya kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang (konsumen), sehingga didalam hal ini pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggung jawabannya.
Meskipun demikian di dalam Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkatan Udara, menegaskan bahwa; “Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi ditetapkan secara mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti-rugi, artinya adalah bagasi kabin atau tangan tetap dapat dimintakan pertanggung jawabannya sepanjang bukti kesalahan pihak pelaku usaha dapat ditunjukkan, sehingga beban pembuktiannya ada pada pihak penumpang (konsumen).
3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)
Prinsip tanggung jawab mutlak di dalam prinsip tanggung jawab produk ini sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Prinsip tanggung jawab mutlak merupakan prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan tanggung jawab, melainkan terdapat pengecualian- pengecualian yang memungkinkan untuk seorang pelaku usaha
Pada prinsip tanggung jawab mutlak ini merupakan hubungan kausalitas antara pihak yang bertanggung jawab dengan kesalahan yang dilakukan harus ada. Prinsip tanggung jawab ini diterapkan dalam hukum perlindungan konsumen, dengan tujuan untuk menjerat pelaku usaha yang tidak menjalankan kegiatan usahanya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku sehingga cenderung merugikan konsumen. Pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen yang diakibatkan oleh barang dan jasa yang diedarkan dan diperdagangkan oleh pelaku usaha.
Strict liability merupakan bentuk khusus dari perbuatan melawan hukum, yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan, meskipun demikian prinsip ini menghendaki agar pelaku usaha wajib memberikan tanggung jawab langsung kepada konsumen atau kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum yang timbul.
Berdasarkan prinsip ini penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada riks liability, yang mana di dalam riks liability kewajiban mengenai pemberian ganti kerugian dibebankan kepada pihak yang
prinsip strict liability. Adapun yang menjadi alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
a. Diantara konsumen atau korban di satu pihak dan produsen di lain pihak, diantara kedua pihak tersebut beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi atau mengeluarkan barang-barang cacat atau berbahaya tersebut dipasarkan.
b. Dengan menempatkan atau mengedarkan barang-barang dipasaran, dengan demikian berarti bahwa produsen (pelaku usaha) telah menjamin bahwa produk tersebut aman untuk digunakan atau dikonsumsi, dan bila mana terbukti tidak demikian, pelaku usaha harus bertanggung jawab.
c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun produsen (pelaku usaha) yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distribusi, distribusi kepada agen, agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksud untuk menghilangkan proses penuntutan yang
klausula eksonerasi di dalam perjanjian standar yang di buatnya. Pada prinsip ini pelaku usaha tentu merasa beruntung karena mereka dapat mencantumkan klausul ekssonerasi secara sepihak, dan membatasi maksimal tanggung jawab yang di berikan kepada konsumen.
Dengan demikian maka dapat dilihat jelas bahwa prinsip ini sangat merugikan bagi konsumen karena klausul yang dicantumkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Adanya penerapan prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ini konsumen harus lebih berhati-hati di dalam melakukan kegiatan transaksi atas suatu barang atau jasa, hal tersebut perlu diperhatikan oleh konsumen untuk dapat meminimalisirkan terjadinya permasalahan konsumen yang mengalami kerugian akibat ulah pelaku usaha37.
C. Tinjauan Umum Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk kedalam materi keduanya. Juga apakah kedua cabang hukum itu identik. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa; “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Menurut Xxxxxxxx, Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Secara definitif Xxxxxxxx mengemukakan sebagai berikut:
“Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan jasa konsumen didalam pergaulan hidup”38.
Hukum perlindungan konsumen tersebut merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen.39
Xxxxxxxx mengakui asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan, “Seperti Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.
Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat. Jadi hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya40.
38Kelik Xxxxxxxx, Hukum Perlindungan Konsumen, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), h. 5.
Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha41.
2. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) di Indonesia, terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi penegakan hukum perlindungan konsumen. Peraturan-peraturan tersebut antara lain :
a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.
b. Undang-Undang nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah.
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.
e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
Di Indonesia dasar hukum yang dapat dijadikan oleh para konsumen untuk mengajukan perlindungan antara lain:
1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 ayat (I), Pasal (21) ayat (I), Pasal 27, serta Pasal 33.
41Xxxxxxx, Perlindungan Konsumen Pada Kredit Perumahan PT. Permata Andalan
2. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 199 Nomor 42 atas Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 235/DJPDN/VII/2001 tentang Penanganan Pengaduan Konsumen yang ditujukan Kepada Seluruh Dinas Indag Prov/ Kab/ Kota.
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 795/ DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen42.
Dengan telah diundangkannya Undang-undang Perlindungan
Konsumen maka peraturan-peraturan yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan konsumen yang lainnya telah diunifikasi. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan dasar hukum utama yang memberikan perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan mampu untuk melindungi hak-hak
konsumen serta para pelaku usaha dapat menyadari akan hak dan kewajiban yang mereka miliki didalam menjalankan kegiatan usaha mereka, sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain atau konsumen.
3. Asas-Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Makna dari perlindungan konsumen adalah upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Menurut Pasal 3 Undang-Undang No 8 Tahun 1999, tujuan dari perlindungan konsumen adalah :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan saja.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapat informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang atau jasa kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen43.
Setiap Undang-Undang memiliki satu kondisi ideal yang ingin
diwujudkan. Satu peteraturan yang menurut pembentuk Undang-Undang merupakan tujuan yang harus dicapai dengan penyelenggaraan Undang- Undang tersebut. Terkait dengan tujuan yang ada, maka dirumuskanlah asas-asas hukum yang melatar belakangi pembentukan Undang-Undang tersebut44.
Asas yang dimaksudkan pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini terdapat pada Pasal 2 UUPK yang berbunyi;“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan, serta kepastian hukum”.
Maksud dari asas tersebut adalah sebagai berikut:
1) Asas Manfaat
Diamanatkan supaya konsumen dan pelaku usaha yang terkait didalamnya mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari pemberlakuan dan penegakkan undang-undang perlindungan konsumen.
2) Asas Keadilan
Asas keadilan dimaksud agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
43Kelik Xxxxxxxx, Op.cit, h. 50.
44Ibid, h. 46.
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3) Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksud untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
4) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas keamanan dan keselamatan yang dimaksud untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5) Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum dimaksud agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum45.
4. Subjek Hukum dalam Perlindungan Konsumen
Subjek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban. Maksudnya adalah segala sesuatu yang dapat memiliki hak secara sah dan diakui (dapat dipertahankan dengan upaya pemaksa yang sah) oleh atau berdasarkan hukum dan dapat dibebani kewajiban menurut hukum yang berlaku.
45Xxxxxxx, Op.cit, h. 26-27.
Dalam konteks Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat dua (2) subjek hukum yang diatur didalamnya, yaitu konsumen dan produsen atau pelaku usaha46.
1. Konsumen
Kata konsumen berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Consumer”, atau dalam Bahasa Belanda yaitu “Consument” dan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia konsumen diartikan sebagai pengguna barang-barang hasil industri, bahan makanan dan sebagainya47. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang48. Menurut Xxxxxxxxxxx (1986), konsumen adalah pemakai terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijk gubruiker van goerderen en diensten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha.
Sedangkan menurut Xx. Xxxxxxxx; “Konsumen adalah seorang yang membeli barang atau menggunakan jasa atau seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, juga sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”49. Konsumen menurut Pasal I angka (2) dua Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah; “Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik dari segi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak diperdagangkan.”
46Kelik Xxxxxxxx, Op.cit, h. 7.
47W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), Edisi ke-3, Cet ke-3, h. 612.
48Celina Xxx Xxxx Kristiyanti, Op.cit, h. 22.
Didalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah setiap orang alami (natuurlijke person) yang mendapatkan barang dan jasa, yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadinya, keluarga dan atau rumah tangganya dan tidak diperdagangkan kembali atau dapat diartikan sebagai pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan (komersial) atau konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang ini adalah konsumen akhir50.
5. Ketentuan-Ketentuan Mengenai Sanksi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
1. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi atau sanksi administratif merupakan sebuah sanksi yang dikenakan terhadap perbuatan melawan hukum yang melanggar administrasi maupun ketentuan undang-undang yang bersifat administrasi. Sebagaimana telah dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 60 ayat (2), menyatakan bahwa sanksi administrasi yang diberikan berupa penetapan ganti kerugian paling banyak adalah sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Sanksi administrasi tersebut dijatuhkan kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 19 ayat
50Susanti Xxx Xxxxxxx, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
(2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26, sebagaimana diatur dan dijelaskan didalam Undang-undang Perlindungan Konsumen51.
2. Sanksi Pidana
Konsumen yang merasa dirugikan karena mengkonsumsi barang atau jasa yang diedarkan dan diperdagangkan oleh pelaku usaha, selain dapat mengajukan tuntutan secara perdata juga dapat mengajukan tuntutan secara pidana. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 61 Undang- undang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan atau pengurusnya. Berkaitan dengan sanksi pidana maka seorang pelaku usaha dapat dikenakan pidana berupa penjara maupun pidana denda. Pelaku usaha dapat dikenai sanksi berupa pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah), ketika mereka melanggar ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen52.
3. Sanksi Perdata
Hukum perdata memiliki bentuk sanksi hukuman berupa kewajiban seseorang untuk memenuhi prestasi, dan hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum yang baru. Sanksi hukum yang diterapkan dalam hukum perdata ini berbentuk ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen yang dirugikan, yaitu berupa pengembalian uang, maupun
51Ibid, h.123.
penggantian barang dan atau jasa, perawatan kesehatan ataupun pemberian santunan. Sanksi berupa ganti rugi tersebut wajib diberikan pelaku usaha kepada konsumen53.