PENGGUNAAN PRINSIP-PRINSIP PERJANJIAN ISLAM DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL
PENGGUNAAN PRINSIP-PRINSIP PERJANJIAN ISLAM DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL
TESIS
OLEH
XXXXXX XXXXXX XXXX XXXXXXX PUTRA NPM : 21902022025
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2021
ii
ABSTRAK
Akad ialah sebuah peristiwa yang terjadi di antara para pihak (aqid) yang melaksanakan ijab dan qabul atas suatu objek yang mana keduanya bersepakat mengadakan suatu perjanjian atas objek tersebut. Akad dalam ajaran Islam bisa difungsikan sebagai penyusunan akta autentik notariil dengan alasan bahwa asas- asas atau prinsip-prinsip pada akad menurut ajaran Islam mempunyai bermacam kemiripan dalam asas-asas penyusunan akta autentik notariil yang mengacu pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 maupun KUH Perdata.
Tesis ini merupakan riset dengan jenis yuridis normatif dengan sifat deskriptif analitis, yakni mengkaji informasi dengan mengacu pada teori hukum yang sifatnya general kemudian diterapkan guna menjabarkan terkait dengan bermacam informasi lain yang berkaitan. Teori yang diterapkan pada penelitian disini yakni teori perjanjian hukum Islam yang erat kaitannya dengan keadilan serta jaminan penjagaan atas hak-hak dari pihak-pihak pelaku perjanjian sebagaimana dimaksud. Pengkajian informasi dilaksanakan dengan menerapkan metode deduktif. Problematika yang dikaji pada penelitian disini yakni terkait dengan asas-asas yang terdapat pada hukum perjanjian Islam sebagaimana secara norma bisa diimplementasikan dalam penyusunan akta autentik karena ditemukan bermacam kemiripan antara keduanya, baik secara hukum Islam maupun hukum positif yang mengatur terkait dengan Jabatan Notaris pada UUJN 2014 maupun KUH Perdata.
Asas-asas pada hukum perjanjian Islam yang bisa diimplementasikan secara norma pada penyusunan akta autetik antara lain asas ikhtiyari atau kerelaan, asas amanah atau ketepatan janji yang sejalan dengan asas pacta sunt servanda, dan asas taswiyah atau kesetaraan yang searas dengan asas keseimbangan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akad sebagaimana menjadi acuan dalam penyusunan akta autentik notariil mengacu pada Surat Al Baqarah ayat 282 yang intinya bahwasanya penyusunan seluruh akad ataupun akta autentik wajib disaksikan setidaknya dua saksi. Notaris sepatutnya menguasai secara mendetil terkait dengan perbandingan antara asas yang terdapat dalam perjanjian menurut hukum Islam dengan asas-asas perjanjian menurut hukum positif di Indonesia sehingga penyusunan akta autentik dapat mengacu pada prinsip-prinsip sebagaimana diajarkan dalam ajaran Islam dengan tetap mematuhi amanat hukum positif dalam penyusunan akta autentik.
Kata Kunci : Asas-asas Perjanjian, Hukum Islam, Akta Notariil
i
ABSTRACT
Akad is an event that occurs between the parties (aqid) who carry out ijab and qabil on an object where both agree to enter into an agreement on the object. Akad in Islamic teachings can be functioned as the preparation of autheentic notarial deed because the principles of contract according to Islamic teachings have various similarities with the principles of notarial authentic deed preparation which refers to Law No, 2 of 2014 concerning the Potition of Notary and the Civil Code.
This thesis is a normative juridical research with analytical descriptive method, which is to examine information by referring to a general legal theory which is then applied to describe various other related information. The theory that is applied in this research is the theory of Islamic legal agreement which is closely related to justice and guarantees of protection of the rights of the parties to the agreement as intended. Information assessment is carried out by applying the deductive method. The problems examined in the research here and related to the principles contained in Islamic contract law as norms can be implemented in the preparation of authentic deeds because there are various similarities between the two, both in Islamic law and Positive law governing the Notary Position in the 2014 UUJN as well as the Civil Code.
The principles of contracts in Islamic law that can be implemented normatively in the preparation of an authentic deed include the principle of ikhtiyari or willingness, the principle of amanah or accuracy of promises that are in line with the principle of pacta sunt servanda, and the principle of taswiyah which is in line with the principle of balance in the Civil Code. Akad as a reference in the preparation of a notarial authentic deed refers to Surah Al Baqarah 282 which essentially states that the preparation of all authentic contracts myst be witnessed by atleast two witnesses. Notaries should master in detail related to the comparison between the principles contained in the agreement according to Islamic law with the principles of agreement according to positive law in Indonesia so that the preparation of an authentic deed can refer to the principles as taught in Islamic teachings while still complying with the positive legal mandate in drafting authentic deed.
Keywords: Principles of Agreement, Islamic Law, Authentic Deed
ii
BAB I PENDAHULUAN
X. Xxxxx Belakang Masalah
Secara etimologi, perikatan berasal dari kata ikat. Sementara itu, perjanjian atau perikatan jika ditinjau berdasarkan terminologi yakni sebuah aktivitas yang dilakukan di antara dua orang atau lebih untuk kemudian bersepakat atas suatu objek.
Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx mengemukakan jika perjanjian yakni sebuah kesepakatan setidaknya di antara dua pihak yang mana mereka setuju untuk melaksanakan aktivitas tertentu khususnya dalam bidang usaha. Sementara itu mengacu pada doktrin Islam, perjanjian bersumber dari kata aqad yang dapat dipahami sebagai "simpul".1
Agar akad dapat tersusun, tentunya dibutuhkan elemen atau bermacam unsur penyusunnya. Terdapat bermacam pendapat terkait dengan klasifikasi unsur penyusun akad di antara para fuqaha, akan tetapi apabila mengacu pada jumhur, maka unsur penyusun akad antara lain:2
1. Pihak yang melakukan akad, atau Al-‘Aqidain.
2. Objek atau suatu hal yang menjadi sasaran akad, atau Mahallul Akad.
3. Sighat Akad, atau pernyataan kesepakatan yang dibagi menjadi dua, yakni
ijab dan qabul.
Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx mengemukakan bahwasanya akad hanya memiliki satu rukun saja, yakni siqhoh al aqad, sementara pihak-pihak yang berakad
1 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1990, hal. 16
2 Xxxxxx Xx-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr. IV, 1989, hal. 92
1
maupun objek akad dipandang sebagai syarat akad. Madzhab ini berpendapat bahwa rukun ialah sesuatu yang menegakkan sesuatu hal, yang mana rukun tersebut bersifat internal (dakhiliy) atas suatu hal yang ditegakkannya.3 mengacu pada pendapat tersebut, dengan demikian apabila dikorelasikan dengan pengkajian terkait dengan rukun akad, bisa dijabarkan bahwasanya rukun akad ialah adanya persetujuan bersama atas dua kepentingan melalui ijab dan qobul. Manusia tidak bisa dikategorikan sebagai rukun karena tidak termasuk dalam faktor internal aktivitasnya. Sehingga, pihak-pihak maupun objek akad ialah elemen yang memiliki posisi di luar akad, tidak menjadi inti dari perbuatan akad, oleh sebab itu manusia tidak termasuk rukun akad. Logika tersebut bisa diqiyaskan pada aktivitas sholat, yang mana manusia tidak bisa dikategorikan ke dalam rukun sholat. Oleh sebab itu, mengacu pada pemikiran tersebut, dengan demikian al- aqid (pihak yang melaksanakan akad) bukanlah rukun akad.
Terkait dengan persyaratan mengacu pada pemahaman ulama fikih serta ahli ushul fikih yakni: “semua hal terkait dengan tiadanya sesuatu lainnya, tidak pada adanya sesuatu lainnya, yang mana ia memiliki sifat eksternal (kharijiy). Penjabaran dari definisi tersebut ialah bahwa tiadanya syarat mewajibkan tidak adanya masyrut (suatu hal yang disyarati), sementara itu terdapatnya syarat tidak mewajibkan terdapatnya masyrut. Sebagai contoh, aqid ialah syarat pada akad, sehingga apabila aqid tidak cakap maka akad menjadi tidak terjadi.4
Mengacu pada ketidaksamaam perbedaan pandangan dua pemikiran di atas terkait dengan rukun akad, Xxxxxxx Xxxxx xx-Zarqa mengajukan penyebutan lain dengan tujuan mempersatukan kedua pemikiran di atas terkait dengan definisi
3 Xxxxxxx Xxxxx xx-Zarqa. T.t, al-Madkhal al-Fiqh al’AM (Beirut : Dar al-Fikr 1: 300)
4 Xxxx Xxxxxx, Hukum Perikatan Islam di Xxxxxxxxx, Xxxxxx Media, Jakarta, 2005, hal. 5
2
rukun. Ia menyatakan melalui penyebutan muqawwimat akad (unsur penegak akad), yang mana di antaranya yakni rukun akad, ijab dan qobul. Sementara itu elemen lainnya yakni para pihak, objek akad serta tujuan akad.5
Dewasa ini lembaga keuangan Islam berkembang dengan pesat ditandai dengan lahirnya bermacam instansi syariah semisal Bank Muamalat Indonesia, Bank Mandiri Syariah, Pasar Modal Syariah, dan masih banyak lagi.
Menjamurnya instansi syariah dalam bidang ekonomi disertai dengan bermacamnya aktivitas perekonomian, usaha, serta perjanjian yang dilaksanakan dengan menggunakan hukum Islam sebagai peraturannya.
Dua sumber hukum utama Islam yakni Al-Qur’an dan Hadits mempunyai cakupan serta pengaruh secara global. Hal tersebut dapat dipahami bahwasanya ajaran yang terkandung dalam kedua sumber hukum tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan di segala zaman, serta di segala perspektif kehidupan.6
Dalam Surat Al Maidah ayat 3 dijabarkan terkait dengan kesempurnaan ajaran Islam yang diwahyukan kepada Xxxx Xxxxxxxx XXX, yang artinya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Terkait dengan hubungan keperdataan, dalam Surat Al-Baqarah ayat 282 Allah berfirman yang artinya:
5 Xxxxx Xxxxx Xxxxx, Prinsip-prinsip Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII Press, Jakarta, 2000, hal. 33.
6 Suhrawardi K. Xxxxx, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 1
3
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai dan waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaknya ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seseorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan, (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika ‘mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kami berjual beli, dan janganlah penuis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah maha mengetahui segala sesuatu”.
4
Ayat Al-Quran di atas menjabarkan terkait dengan anjuran penulisan transaksi dalam kegiatan perjanjian sebagaimana diadakan oleh para pihak sebagai suatu bukti atas terjadinya peristiwa tersebut. Selain itu, menyebutkan pula suatu pihak selaku penulis serta saksi dalam penulisan tersebut.
Aktivitas perekonomian yang kian aktif, seiring dengan tingginya tingkat sosial ekonomi mengakibatkan bermacam relasi hukum seperti transaksi bisnis antar pihak dalam menjalani kehidupannya. Keikutsertaan masyarakat yang terus meningkat kegiatan bisnis tersebut akan mengakibatkan meningkatnya resiko yang dihadapi oleh masyarakat tersebut.7 Resiko yang dimaksud dalam hal ini adalah resiko bisnis berupa pembohongan, penipuan termasuk didalamnya adalah wanprestasi. Oleh karena itu setiap transaksi yang dilakukan oleh anggota masyarakat membutuhkan suatu bukti yang autentik agar dapat dijadikan sebagai pegangan yang konkrit dalam melakukan transaksi bisnis. Akta autentik yang dibuat oleh notaris merupakan suatu sarana pembuktian secara tertulis dan sifatnya sempurna dalam menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari. Eksistensi akta tersebut berfugnsi bagi masyarakat sehingga menjadi satu kebutuhan yang memiliki urgensi tinggi dalam melaksanakan transaksi bisnis di masyarakat.8
Pasal 1868 KUHPer mengemukakan yang artinya bahwa akta autentik merupakan akta yang disusun oleh ataupun di hadapan pejabat yang berwenang membuatnya serta disusun dalam struktur sebagaimana diamanatkan undang- undang.
7 Suharwardi K. Xxxxx, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 29
8 Xxxxx XxxxxxxxxxXxxxxxxx Figh dan Keuangan serta Transaksi Bisnis Dalam Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 16
5
Bermacam aktivitas perekonomian seperti perbankan, agraria, serta lainnya memerlukan suatu dokumen resmi yang berguna sebagai barang bukti terjadinya peristiwa hukum berupa aktivitas perekonomian antara dua pihak atau lebih. Disitulah letak akta autentik berperan sebagai dokumen tertulis yang memiliki legalitas serta kekuatan pembuktian sempurna sehingga dapat berfungsi sebagai pijakan guna mempertahankan dirinya jika sewaktu-waktu terjadi persengketaan. Adanya bukti sebagaimana dimaksud menegaskan hak maupun tanggung jawab semua pihak sehingga mempermudah jalannya perjanjian maupun penyelesaian sengketa di Pengadilan.
Notaris ialah salah pejabat publik yang memiliki otoritas membuat akta autentik sebagaimana diamanatkan hukum positif di Indonesia. Akta tersebut berfungsi untuk menjaga kepastian hukum dalam masyarakat uyang mana dapat dibuat oleh maupun di hadapan notaris dengan kehendak pihak-pihak yang bersangkutan. Fungsi yang lain yakni menegaskan hak maupun tanggung jawab dari bermacam pihak terkait sehingga kepastian hukum, keteraturan, ketertiban, serta perlindungan secara hukum.9
Akta autentik mengandung fakta-fakta formal sebagaimana dinyatakan oleh para pihak kepada pejabat yang berwenang dalam hal ini notaris. Notaris diwajibkan memahami secara mendetil kehendak dari pihak-pihak yang mengharapkan dibuatnya akta tersebut, memasukkan informasi-informasi sebagaimana dinyatakan oleh para pihak, serta memberikan penyuluhan terkait dengan regulasi terkait dengan kehendak pihak-pihak tersebut. Hal itu diharapkan membuka pemahaman para pihak untuk selanjutnya memberikan persetujuannya
9 Xxxxxxxx Xxxx, Akta Notaris dan Akibat Hukumnya, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2000, hal. 30
6
ataupun menolak isi dari akta yang hendak dibuat. Dalam hal ini, terdapat asas kebebasan berkontrak khususnya dalam penyusunan akta perjanjian yang setiap saat bisa dimanfaatkan oleh pihak yang memiliki kehendak. Asas tersebut dapat dipahami sebagai terdapatnya keleluasan dalam mengadakan perjanjian sebagaimana diberikan konstitusi dengan tetap mengacu pada regulasi perundangan maupun norma-norma lainnya.
Prinsip berkontrak mengacu pada hukum perjanjian di Indonesia meliputi:10
1. Keleluasaan mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian.
2. Keleluasaan mempunyai hak.
3. Keleluasaan menentukan klausa dari perjanjian yang diadakannya.
4. Keleluasaan memilih objek perjanjian.
5. Keleluasaan untuk memilih jenis perjanjian.
6. Keleluasaan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan peraturan yang mengandung sifat opsional.
Mengacu pada pendapat Subekti, metode dalam memahami prinsip kebebasan berkontrak yakni melalui penitikberatan pada istilah “segala” yang ada diawal pernyataan perjanjian. Dinyatakan bahwasanya Pasal 1338 ayat (1) KUHPer seakan-akan memperbolehkan manusia mengadakan semua jenis perjanjian yang mana perjanjian tersebut akan berfungsi sebagaimana hukum
10 Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia. Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 47
7
positif mengikat perilaku manusia. Pembatasa atas keleluasaan tersebut yakni nilai-nilai ketertiban serta kesusilaan.11
Perjanjian sebagai salah satu dari perbuatan hukum pastinya tidak luput dari asas serta kaidah umum perjanjian, antara lain yakni terkait dengan terdapatnya asas kebebasan berkontrak pada persyaratan penyusunan perjanjian.
Dengan demikian menandakan bahwasanya pada sebuah perjanjian tentunya terdapat persetujuan diantara kedua belah pihak atau lebih yang didasari atas dasar kerelaan, kehendak bebas, serta kepentingan dari pihak tersebut yang kemudian dituangkan secara tertulis berupa klausula-klausula perjanjian yang mana mengikat masing-masing dari mereka.
Sejalan dengan asas tersebut, dapat dipahami bahwa dalam hukum perdata mengakui adanya kebebasan bagi setiap manusia untuk mengadakan suatu perjanjian dengan manusia lainnya. Terkait dengan hal tersebut, dalam hukum Islam terdapat pula pengaturan-pengaturan terkait dengan perjanjian yang mana dapat diterapkan bagi sesama umat Islam yang mengadakan perjanjian.
Dalam melaksanakan aktivitas keperdataannya, umat Islam diberikan kebebasan untk memberlakukan ajaran Islam khususnya dalam bidang perjanjian. Pemahaman terkait dengan kebebaasan sebagaimana disebutkan yakni keleluasaan guna menyusun isi atau inti dari kegiatan kesepakatan, keleluasaan dalam menentukan metode implementasinya, keleluasaan dalam menentukan metode dalam menyelesaikan sengketa, serta keleluasaan untuk menentukan aturan yang mana yang dipakai terhadap permasalahan dalam perjanjian yang telah disusun.
11 Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1984, hal. 5
8
B. Perumusan Masalah
Mengacu pada penjabaran pada latar belakang, maka rumusan masalah yang diangkat antara lain:
1. Bagaimanakah penggunaan prinsip-prinsip perjanjian islam dalam pembuatan akta notariil?
2. Bagaimana kriteria akad / perjanjian islam yang dapat dimuat dalam pembuatan akta autentik notariil?
3. Bagaimanakah kesesuaian undang-undang jabatan notaris no 2 tahun 2014 dengan prinsip akad yang ada dalam hukum islam dalam pembuatan akta notariil?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada formulasi permasalahan tersebut, dengan demikian tujuan yang ingin diraih pada tesis ini yakni:
1. Mendapatkan pemahaman penggunaan prinsip-prinsip islam apa saja yang terdapat dalam pembuatan akta notariil?
2. Mendapatkan pemahaman terkait dengan kriteria akad perjanjian islam yang dapat dimuat dalam pembuatan akta autentik notariil?
3. Mendapatkan pengetahuan terkait dengan kesesuaian undang-undang jabatan notaris no 2 tahun 2014 dengan prinsip akad yang ada dalam hukum islam dalam pembuatan akta notariil?
9
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini mampu memberikan bermacam kontribusi positif baik secara teoritis maupun praktis dibidang hukum hukum perjanjian Islam, antara lain:
1. Secara Teoritis.
Penelitian ini mampu berkontribusi secara teoritis yang umumnya melalui pengembangan pengetahuan terkait dengan hukum perjanjian, serta khususnya perjanjian Islam terkait dengan dengan implementasi perjanjian yang terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kaum muslim, dimana hukum perjanjian Islam dapat dijadikan dasar dalam pembuatan akta perjanjian dihadapan notaris.
2. Secara Praktis.
Hasil penelitian ini mampu berkontribusi berupa rekomendasi serta saran atau masukan kepada pihak yang mengadakan perjanjian, serta praktisi hukum seperti notaris, ataupun pihak lain melalui pengkajian terkait dengan pembuatan akta perjanjian berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam serta hukum positif.
--- | Penelitian 1 | Penelitian 2 | Perbandingan | Catatan | |
Nama | Cut Lika | Alya/ | Yuniar | ||
Peneliti dan | Universitas | Xxxxxx/ | |||
Lembaga | Sumatra | Universitas | |||
Islam Malang | |||||
Judul | Akad Yang Cacat | Penerapan | Penelitian 1: | Judul | |
Dalam Perspektif | Prinsip-Prinsip | Spesifik pada suatu | tidak | ||
Hukum | Perjanjian Islam | unsur Akad yang | sama | ||
Perjanjian Islam | Dalam | cacat dalam | |||
Pembuatan Akta | prespektif Hukum | ||||
Notariil | Perjanjian Islam | ||||
Penelitian 2 : | |||||
Spesifik pada |
E Penelitian Terdahulu Tabel 1.
10
penerapan Prinsip- prinsip Perjanjian Islam | ||||
Rumusan Masalah | 1.Unsur-unsur apakah yang terdapat dalam suatu akad sehingga akad tersebut dapat dikatakan akad yang cacat? 2.Bagaimanakah akibat hukum akad cacat dalam perjanjian hukum Islam? | 1.Bagaimana kriteria akad / perjanjian islam yang dapat dimuat dalam pembuatan akta autentik notariil? 2.Bagaimanakah penerapan prinsip-prinsip perjanjian islam dalam pembuatan akta Notariil? | Penelitian 1: Mempertanyakan tentang unsur-unsur suatu akad yang dikatakan cacat Penelitian 2: Mepertanyakan tentang kriteria akad/perjanjian islam yang dapat dimuat ndalam akta notariil | Rumusan masalah tidak sama |
Kesimpula n | 1. Kriteria akad yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan akta autentik notariil adalah dengan dasar perjanjian Islam notaris wajib memperhatika n ketentuan dalam Al- Qur’an Surat Al Baqarah ayat 282 secara menyeluruh yaitu pembuatan akta autentik tersebut harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi lakilaki, dan jika tidak terdapat saksi |
11
2 (dua) orang laki-laki maka saksinya bisa diganti dengan seorang laki- laki dan 2 (dua) orang perempuan hal ini sesuai dengan Pasal 40 ayat (1) UUJN No. 2 Tahun 2014 yaitu, “Setiap akta yang dibuat dan dibacakan oleh notaris dihadiri paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi kecuali peraturan perundang- undangan menentukan lain |
Dari table 1 dapat diketahui bahwa penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian terdahulu tidak memiliki kesamaan dan merupakan penelitian terbaru.
Tabel 2.
--- | Penelitian 1 | Penelitian 2 | Perbandingan | Catatan |
Nama Peneliti dan Lembaga | Xxxx Xxxxxxx Xxxxx/ Universitas Medan | Xxxxxx Xxxxxx/ Universitas Islam Malang | ||
Judul | Hukum Khiyar Dalam Akad Yang Mengandung Penipuan Dalam Perspektif Hukum Islam | Penerapan Prinsip-Prinsip Perjanjian Islam Dalam Pembuatan Akta Notariil | Penelitian 1: Spesifik pada Akad yang mengandung penipuan dalam Prespektif Hukum Islam Penelitian 2: Spesifik pada penerapan Prinsip- prinsip Perjanjian Islam | Judul tidak sama |
Rumusan | 1. Bagaimana | 1. 1.Bagai | Penelitian 1: | Rumusan |
12
Masalah | kriteria akad yang mengandung unsur penipuan dalam ketentuan hukum perjanjian Islam? 2.Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam akad yang mengandung unsur penipuan? | mana kriteria akad / perjanjian islam yang dapat dimuat dalam pembuatan akta autentik notariil? 2.Bagaimanakah penerapan prinsip-prinsip perjanjian islam dalam pembuatan akta Notariil? | Mempertanyakan tentang kretia akad yang mengandung unsur penipuan Penelitian 2: Mepertanyakan tentang kriteria akad/perjanjian islam yang dapat dimuat ndalam akta notariil | masalah tidak sama |
Kesimpula n | 1. Kriteria akad yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan akta autentik notariil adalah dengan dasar perjanjian Islam notaris wajib memperhatikan ketentuan dalam Al- Qur’an Surat Al Baqarah ayat 282 secara menyeluruh yaitu |
13
pembuatan akta autentik tersebut harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi lakilaki, dan jika tidak terdapat saksi 2 (dua) orang laki-laki maka saksinya bisa diganti dengan seorang laki- laki dan 2 (dua) orang perempuan hal ini sesuai dengan Pasal 40 ayat (1) UUJN No. 2 Tahun 2014 yaitu, “Setiap akta yang dibuat dan dibacakan oleh notaris dihadiri paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi kecuali peraturan perundang- undangan menentukan lain |
Dari table 2 dapat diketahui bahwa penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian terdahulu tidak memiliki kesamaan dan merupakan penelitian terbaru.
14
F. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Teori ialah penjelasan ataupun penerangan terhadap fenomena tertentu maupun suatu tahapan peristiwa yang terjadi.12 Teori memerlukan adanya pengujian serta klarifikasi terhadap bermacam fakta yang bisa menguatkan maupun membatalkannya. Kerangka teori ialah struktur ide atau gagasan terkait suatu fenomena atau problematika yang menjadi fokus pengkajian.13
Dalam penelitian disini, teori yang diterapkan yakni teori akad atau perjanjian secara hukum Islam. Secara spesifik, akad dimaknai sebagai kesepakatan yang ditentukan melalui ijab-qobul dengan mengacu kapada hukum syariat yang memberikan akibat terhadap objek atau sasaran kesepakatan.14 Ditinjau dari perspektif hukum Islam, akad wajib mengandung nilai keadilan serta menjamin penghormatan atas hak-hak dari bermacam pihak yang mengadakan perjanjian. Nilai keadilan sebagaimana dimaksud bermakna bahwasanya hak serta tanggung jawab harus seimbang atau proporsional yang mana tidak merugikan salah satu pihak dalam pemenuhan hak salah satu pihak dan secara bersamaan pelaksanaan tanggung jawab pihak yang lain.15
Dalam Surat An-Nahl ayat 90, Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran
12 JJJ M, Xxxxxxx, dengan penyunting X. Xxxxxx, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jilid I), Jakarta, FE UI, 1996, hal. 203
13 M Xxxxx Xxxxx, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju Bandung, 1994, hal. 80
14 Xxxxxx Xxxxx’i, Hukum Akad Dalam Islam, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2010, hal. 9
15 Xxxx Xxxxxx, Teori Hukum (Suatu Pencarian/Penelahan), Prenada Media, Jakarta 2007. hal. 19
15
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran”.
Selain itu, Allah juga berfirman pada Surat Al-Maidah ayat 8 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakkan (kebenaran), karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa. Dan bertaqwalah Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Al-Qur’an maupun sunnah menghendaki konsep keadilan yang senantiasa berlaku objektif dalam menyelesaikan suatu masalah tanpa mendiskriminasi ataupun membeda-bedakan latar belakang seseorang. Seseorang yang menegakkan keadilan dalam setiap keputusannya maka ia semakin dekat dengan kebaikan sempurna, dan sebaliknya, seseorang yang tidak adil akan semakin dekat dengan keburukan.
Allah SWT memerintahkan manusia untuk senantiasa berlaku adil, melalui firman-Nya pada Surat An-Nahl ayat 90 yang artinya ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan”. Walaupun berlaku adil ialah suatu kewajiban yang datang dari Allah, akan tetapi manusia tetap saja berlaku semena-mena, cenderung berlaku curang, zalim, untuk meraup keuntungan demi keuntungan pribadi, kelompok dan golongan tertentu. Allah mengancam orang-orang yang berbelok kepada ketidakbenaran atau keadilan, melalui Surat Al-Jinn, ayat 15 yang artinya “Adapun orang-orang yang
16
menyimpang dari kebenaran maka mereka menjadi kayu api bagi neraka
jahanam”, (QS. Al-Jin:15).
Diantara bermacam prinsip keadilan yang ada pada Al-Qur’an antara lain :
Pertama, adil kepada diri sendiri, melalui menjauhi aktivitas zalim yang bisa menjerumuskan diri kepada kemaksiatan kepada Allah. “Dan barang siapa melanggar hukumhukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri,” (QS. Ath-Thalaq:1). Suatu kezaliman adalah aktivitas yang berlawanan terhadap keadilan. Xxxx Xxxxxxx As dan Xxxx melakukan kezaliman kepada dirinya, kemudian mengakuinya sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al-A’raf ayat 23, “Mereka berdua berkata, “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri”.
Kedua, adil kepada keluarga, sebagaimana dinyatakan dalam Surat An- Nisa’, bahwa syarat utama seorang pria menikahi lebih dari seorang istri adalah bahwa ia mampu berlaku adil. Dalam berkeluarga, sang suami yang memiliki lebih dari satu istri wajib berlaku adil kepada istri-istri dan anak-anaknya, mencukupi mereka secara setara, dan tidak membeda-bedakan perlakukan terhadap satu dengan lainnya.
Ketiga, adil kepada anak yatim. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi,” (QS. An-Nisa :3). Dalam kedekatan manusia dengan anak yatim, godaan untuk berbuat zalim sangatlah besar, terutama apabila pengurusan tersebut berkaitan dengan harta. Oleh karena itu, berlaku adil kepada anak yatim dengan memberikan apa
17
yang menjadi hak mereka, menjaga, serta memperlakukan mereka seperti keluarga adalah bentuk keadilan.
Keempat, adil kepada ahli kitab. Islam menghendaki umatnya agar senantiasa berlaku adil bahkan kepada umat non muslim. Bagi ahli kitab yang berbuat baik kepada umat Islam, wajib bagi umat Islam untuk membalas kebaikannya dengan kebaikan pula. Dengan demikian keadilan tidak dibatasi oleh adanya perbedaan keyakinan, yang mana sebagai umat Islam wajib berlaku adil kepada semua orang.
Kelima, adil dalam transaksi perdagangan. Dalam Surat Al-An’am ayat 152, dijelaskan yang artinya “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil,” Allah melalui firman-Nya tersebut memerintahkan kepada umat Islam agar senantiasa berlaku adil dalam transaksi yang dilakukan. Keadilan sebagaimana dimaksud yakni tidak mengurangi takaran dari yang semestinya.
Keenam, adil dalam memutuskan perkara, dalam Surat Al-Hujurat ayat 9 dinyatakan yang artinya “Dengan jika ada dua orang dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah keduanya…dengan (keputusan yang) adil. Dan berlaku adilah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil,”.
Ketujuh, adil dalam hukum. Pada Surat Al-Maidah ayat 42 dinyatakan yang artinya “Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang adil,”.16
16 Xxxxxxx Xxxxxxxx, Konsep Adil dalam Al-Qur’an, Universitas Andalas, Padang, 2010, hal. 17-18
18
Dalam Al Qur’an setidaknya terdapat 2 istilah yang terkait dengan perjanjian atau akad, yakni al ‘aqdu (akad) dan al ‘ahdu (janji).17 Istilah al ‘aqdu terdapat dalam Surat Al Maidah ayat 1, yang mana pada ayat tersebut terdapat kata bil’uqud yang mana tersusun dari huruf jar ba, kata al’uqud merupakan bentuk jamak taksir dari al‘aqdu yang diartikan perjanjian.18
Sedangkan kata al ‘ahdu dinyatakan pada Surat Xxx Xxxxx ayat 76, bahwasanya pada ayat tersebut terdapat kata bi’ahdihi yang mana tersusun dari huruf jar bi, kata al’ahdi dan xxxxxx hi yang mana kemudian diartikan janji.19 Xxxxxxxxxxxx Xxxxxx mengemukakan bahwasanya istilah al‘aqdu tersebut memiliki arti yang sama dengan verbintenis dalam KUHPerdata.20 Sementara itu, istilah al ‘ahdu dapat disejajarkan dengan istilah overeenkomst, yaitu suatu ungkapan seseorang guna melakukan maupun tidak melakukan suatu hal yang tanpa dipengaruhi oleh subjek lainnya.21
Mayoritas ulama fikih bersepakat dalam mengartikan akad dengan artian suatu pernyataan perikatan yang dinyatakan para pihak melalui metode-metode yang diperbolehkan syariat terhadap suatu objek.22 Xxxxxxxxx mengemukakan bahwasanya perjanjian dapat terjadi melalui tiga proses, yakni:
17 Gemala Xxxx, Xxxxxxxxxxxxx, Xxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Jakarta, 2005, hal. 45
18 Departemen Agama RI, Al Qur’an Xxxxx wa tarjamah maaniyah ilal lughoh allndonesiyyah, (Al Madinah
Al Munawwarah : Xxxxxxx’ xx Xxxxx Xxxx xx thiba’at al Mushaf asy Syarif, 1418 H), hal. 156
19 Ibid,hal. 88
20 Xxxxxxxxxxxx Xxxxxx¸Hukum Perjanjian Syariah Dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2001, hal. 75
21 Ibid, hal. 248
22 Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, Prinsip-prinsip Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII Press, Yogyakarta, Edisi Revisi, 2000, hal. 65
19
1. Tahap Pertama : Al ‘ahdu yakni suatu ungkapan seseorang guna melakukan maupun tidak melakukan suatu hal yang tanpa dipengaruhi oleh subjek lainnya. Syarat sahnya perjanjian antara lain:
a. Tidak melanggar hukum syariat serta ketentuan yang disepakati.
Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syari’ah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syari’ah adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum syari’ah, maka perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.
Dasar Hukum tentang kebatalan suatu perjanjian yang melawan hukum ini dapat dirujuk pada ketentuan hukum yang terdapat dalam hadist Xxxxxxxxxx XXX hadist dari Xxxxx xxx Xxxxxxxx Rhodliyallohu ‘anhuma dalam kitab Syurutuhum Bainahum yang telah diriwayatkan oleh Xxxx Xxxxxxx.
“Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam Kitab Allah (Hukum
Allah) adalah tidak sah, sekalipun sejuta syarat” (HR Bukhori).23
x. Xxxxx sama ridho dan ada pilihan
23 Hasabu Xxxxxxxx Xxxxxx Xx Barrii, Shohih Bukhori, Program Maktabah As-Samilah versi II, Jilid 3, hal. 259
20
Suatu akad yang disusun ataupun dibangun oleh para pihak harus dilandasi oleh kerelaan masing-masing pihak tanpa adanya intimidasi, keterpaksaan, dan sebagainya. Kerelaan tersebut dapat dipahami sebagai kehendak bebas manusia. Suatu akad yang didasari paksaan dan sebaginya, merupakan akad yang tidak sah.
c. Harus Jelas dan Gamblang
Agar kemungkinan terjadinya kesalahpahaman ataupun bahkan sengketa dapat diminimalisir, maka klausa-klausa perjanjian serta hak dan tanggungjawab atau apa yang diperjanjikan harus bisa dipahami semua pihak secara jelas.24
2. Tahap Kedua : Pernyataan sepakat dari pihak kedua guna melaksanakan maupun tidak melaksanakan suatu hal sebagai jawaban atas janji yang dikemukakan pihak kesatu.
3. Tahap ketiga : Al ‘aqdu atau akad, yakni implementasi perjanjian sebagaimana disepakati.25
Terjadinya akad dalam Islam tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap perikatan sebagaimana diatur pada KUH Perdata. Perikatan sebagaimana dinyatakan pada KUH Perdata yakni relasi hukum sekurangnya-kurangnya antara dua pihak dalam sektor ekonomi yang mana setiap pihak memiliki hak serta tanggung jawab atas pihak lainnya.26 Sementara itu perjanjian ialah aktivitas yang
24 Xxxxxxxxx Xxxxxxxx dan Suhrawardi, X. Xxxxx, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Cetakan Ketiga, Jakarta, 2004, hal. 2-5
25 Xxxxxxxxxxx, Al Qur’an dan Hukum Islam : Comparative Study, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hal. 122- 123
26 Xxxxxxxx Xxxxxx, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Hukum yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang- Undang, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 2
21
dilaksanakan setidaknya dua orang yang bersepakat untuk saling mengikatkan diri mereka terhadap suatu kesepakatan.27 Adapun perbedaan antara perikatan dalam Islam dengan perikatan dalam KUH Perdata yakni pada tahapan perjanjiannya yang mana pada akad dalam Islam, terdapat dua tahap dalam janji pihak pertama dan pihak kedua. Sedangkan dalam KUH Perdata hanya satu tahap, sehingga pasca terjadi perjanjian muncul perikatan.
Dalam kehidupannya, manusia seringkali menemui problematika dalam bidang keperdataan yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai muamalah. Pemahaman serta kepatuhan terhadap bidang muamalah tersebut wajib diperhatikan karena keperdataan membahas tentang hubungan antar manusia yang mana apabila diabaikan, dapat merusak tatanan sosial, eonomi, maupun relasi interpersonal.28
Satu dari bermacam wujud muamalah yakni perjanjian dalam Islam. Walaupun seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, namun dalam literasi pembahasan terkait dengan muamalah tersebut tidak sering dibahas. Kehidupan manusia yang tidak memungkinkan untuk melepaskan diri dari aktivitas muamalah, tidak jarang menimbulkan bermacam persoalan yang dalam hal ini menghendaki pemecahan yang tepat misalnya melalui penyusunan akta autentik. Akta autentik dibuat oleh atau di hadapan notaris yang asas-asasnya mempunyai kemiripan dengan asas-asas perjanjian dalam Islam dalam proses penyusunannya.
27 Ibid, hal.45
28 X. Xxx Xxxxx, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 5
22
Terdapat ketidaksamaan antara perspektif hukum Islam dengan hukum positif dalam memandang perjanjian. Hukum positif hanya mengatur terkait dengan legalitas suatu perjanjian yakni jika terlaksana atas dasar kerelaan, serta sesuai dengan norma ketertiban ataupun kesusilaan, tanpa memperhatikan norma agama. Adapun perjanjian dalam Islam mewajibkan adanya perhatian khusus, serta pemenuhan terhadap syarat-syarat serta ajaran agama dalam mengadakan suatu perjanjian di samping adanya syarat kerelaan serta keselarasan dengan norma-norma yang ada.
Hukum Islam sejatinya mengakui adanya keleluasaan manusia dalam mengadakan perjanjian sejalan dengan kehendaknya, nemun demikian, untuk melindungi kepentingan serta hak setiap pihak yang terikat perjanjian, kontrol dari keabsahan suatu perjanjian tersebut adalah ajaran agama.
Dalam Surat An Nisa’ ayat 29 dinyatakan terkait dengan keleluasaan membuat suatu akad, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta-hartamu diantara kamu dengan jalan yang batil kecuali kalau dia merupakan jual beli yang dilakukan dengan persetujuan diantara kamu.”
Dalam Surat Al Baqarah ayat 188 yang artinya:
“Dan janganlah diantara kamu sekalian memakan harta-hartamu dengan cara
yang batil”.
Hadist nabi yang artinya:
“Segala orang Islam berada di atas syarat-syarat yang mereka buat”.
23
Hadist nabi yang lain mengatakan bahwa:
“Segala syarat yang tidak ada dalam kitab Allah, maka syarat itu adalah tidak sah”.
Masing-masing manusia memiliki keleluasaan guna mengadakan suatu transaksi dengan orang lain, dan sebagai konsekuensinya, ia wajib menjalankan segala tanggung jawab sebagaimana ditentukan oleh akad tersebut. kewajiban tersebut terdapat pada Surat Al Maidah ayat 1.29
Pengaturan yang spesifik terkait dengan akad yang mengacu pada syariat agama Islam seharusnya digunakan sebagai suatu momentum untuk menegakkan syariat Allah mengingat bahwasanya pada umumnya, hukum syariat seperti syahadat, shalat, zakat, puasa, haji tidak membutuhkan akomodasi lembaga pemerintahan. Regulasi pada masing-masing sektor muamalah memiliki cita-cita melindungi manusia dari aktivitas yang tidak sesuai dengan ajaran agama sehingga sengketa atau ketidakadilan dapat diminimalisir.30 Maka, agama sebenarnya telah mengakomodasi bermacam regulasi yang sangat sempurna karena melalui peraturan sebagaimana terdapat dalam hukum Islam khususnya tentang muamalah, kehidupan manusia akan senantiasa teratur, damai, dan sejahtera.31
Segala transaksi yang terjadi di antara dua pihak atau lebih, wajib mematuhi amanat dari hukum yang berlaku. Kesepakatan dalam rangka menipu pihak lain, kesepakatan terhadap objek yang diharamkan, serta kesepakatan menghilangkan nyawa orang lain adalah dilarang.
29 Xxxxxxxx Xxxxxx, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, 2006, hal.37
30 X. Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Xxxxx, Xxxxxx Maju, Bandung, 1992, hal. 138
31 X. Xxxxxxxx Xxxxxx, Fiqh Islam, Hukum Fiqh Lengkap, CV. Sinar Baru, Bandung, 2002, hal. 278
24
Mengacu pada pendapat jumhur fuqoha, rukun akad antara lain:
a. Sighat akad
x. Xxxx
c. Objek akad
Xxxxxx Xxxxxx mengemukakan bahwasanya terdapat satu rukun saja pada akad, yakni siqhoh al aqad, sementara aqid maupun objek akad dipandang sebagai syarat akad.
Rukun akad, ialah shighatul aqdi, yang mana tediri atas ijab dan qobul, yakni pernyataan yang mengemukakan kehendak suatu pihak kepada pihak lain.32
Siqhoh al aqad ialah akad yang paling vital, melalui akad tersebut dapat dipahami apa kehendak dari masing-masing pihak yang mengadakan akad. Sighoh al aqad memiliki beberapa syarat yakni:
a. Adanya kejelasan dari maksud akad sehingga bisa dipahami.
b. Terdapat keselarasan antara ijab dan qabul.
c. Ijab dan qabul harus berkaitan dengan maksud setiap pihak, serta tanpa keraguan.
Akta notaris merupakan suatu akta autentik yang mempunyai kegunaan yang vital pada kehidupan manusia. Dalam negara hukum, seiring dengan meningkatnya kebutuhan atas kepastian hukum, maka meningkat pula keperluan atas suatu dokumen pembuktian atau akta autentuk sebagai bukti terjadinya ikatan hukum antar manusia. Akta notaris ialah sarana pembuktian sempurna serta paling kuat yang memberikan kepastian hukum seta meminimalisir munculnya sengketa. Mencatat suatu peristiwa perjanjian melalui akta notaris dipandang lebih baik
32 Xxxxxxx Xxxxxxxx Xxxxx Xxx Xxxxxxxxx, Pengantar Fiqh Muamalah, PT Pustaka Xxxxx Xxxxx, 1997, hal. 29
25
apabila dikomparasikan dengan mencatat sebatas di bawah tangan, meskipun akta yang disusun diparaf di atas materai serta diperkuat dengan tanda tangan saksi- saksi. Akta notaris merupakan akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Akta notaris itu pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris.
Akta ialah dokumen yang ditujukan sebagai suatu alat bukti. Dalam Pasal 1868 KUH Perdata ditegaskan bahwa alat bukti yang diakui antara lain:
a. Bukti tertulis
b. Kesaksian
c. Persangkaan-persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah33
Pasal 1867 KUH Perdata mengatur bahwa pembuktian tulisan bisa dilaksanakan oleh tulisan autentuk maupun dengan tulisan di bawah tangan. Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa suatu akta diakui sebagai akta autentik apabila disusun oleh notaris berdasarkan susunan sebagaimana diamanatkan undang-undang. Pasal 1868 KUH Perdata mengemukakan yang intinya bahwa akta autentik merupakan akta yang disusun oleh ataupun di hadapan pejabat yang memiliki otoritas membuatnya serta disusun dalam struktur sebagaimana diamanatkan undang-undang.34
33 Xxxxx Xxxxx, Sekilas Dunia Notaris/ PPAT di Xxxxxxxxx, Xxxxxx Maju, Bandung, 2009, hal. 19
34 Xxxxxxxx Xxxx, Akta Notaris Sebagai Akta Autentik, Sinar Baru, Bandung, 2009, hal. 32
26
Akta yang disusun di hadapan notaris dikenal sebagai akta notariil atau akta autentik. Pasal 1869 KUH Perdata mengemukakan bahwasanya akta tidak bisa diakui selaku akta autentik jika pejabat publik yang menyusunnya tidak memiliki kewenangan, maupun kecakapan, atau bentuk akta tersebut tidak sesuai dengan sebagaimana diregulasi peraturan perundangan.
Tujuan dari pembuatan akta autentik maupun di bawah tangan ialah sebagai barang bukti. Kedua macam akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda. Akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (Pasal 1870 KUH Perdata). Kesempurnaan sebagaimana dimaksud yakni bahwa keterangan yang ada pada akta diakui kebenarannya tanpa harus dibuktikan dengan bukti yang lain ataupun dimaknai selain dari apa yang dituliskan.
Suatu akta notaris ialah keterangan notaris dalam fungsinya sebagai Pejabat Umum guna menjamin:
1. Kehadiran para penghadap.
2. Pada tempat tertentu.
3. Pada tanggal tertentu.
4. Benar para penghadap memberikan keterangan sebagaimana tercantum dalam akta atau benar terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam akta.
5. Benar ditandatangani oleh para penghadap untuk akta pihak (akta partij).
Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwasanya suatu akta autentik menjamin adanya suatu bukti sempurna terkait dengan bermacam hal yang tertuang pada akta tersebut bagi para pihak, maupun ahli warisnya. Akta autentik
27
diakui sebagai barang bukti mutlak yang mana jika terjadi suatu sengketa antara dua pihak, maka akta tersebut dapat menjadi penunjuk fakta sebenarnya yang mana ketentuan dalam akta tersebut tidak boleh dianggap salah dan bagi siapapun yang menuduh adanya kesalahan, harus membuktikan kesalahan tersebut. Kemutlakan juga berarti bahwa akta tersebut bisa berdiri sendiri, tanpa perlu didukung oleh bukti lain. Akta autentik mengandung peranan vital dalam penegakan hukum, menerangkan proses pembuktian serta memberikan kepastian hukum. Sementara itu, akta di bawah tangan masih mungkin untuk disangkal dan hanya diakui sebagai alat bukti sempurna hanya jika diakui oleh para belah pihak atau didukung dengan bermacam instrumen pembuktian yang lain. Dengan demikian, dinyatakan bahwasanya akta di bawah tangan ialah suatu permulaan bukti tertulis (begin van schrifttelijk bewijs).
Secara general, kekuatan pembuktian pada akta autentik dibagi menjadi 3,
yakni:
1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht), yakni bahwa akta autentik merupakan akta yang disusun sesuai dengan peraturan perundangan sehingga diakui sebagai alat bukti yang sah.
2. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht) yakni kekuatan bahwasanya segala fakta maupun keterangan yang tertuang dalam akta benar- benar ditulis oleh notaris atau dijabarkan para pihak yang menghadap.
3. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht) yakni kekuatan bahwasanya akta tersebut mampu menjadi alat pembuktian yang sah terhadap para pihak pembuat akta karena hal-hal yang dituangkan di dalamnya merupakan keterangan yang sah, kecuali dibuktikan sebaliknya (tegenbewijs).
28
Masing-masing akta autentuk harus dinilai seberapa kuat pembuktiannya berdasrkan ketiga kekuatan tersebut. Walaupun kekuatan pembuktian lahiriah kuat, terkadang kekuatan pembuktian formalnya maupun materiilnya terbukti lemah, karena terlampau banyak memuat tindakan nyata dan tidak banyak memuat perbuatan hukum, yang mana menyebabkan pernyataan pembuktian menjadi sedikit dan tidak kuat.
2. Kerangka Konseptual
Konsepstual adalah satu dari bermacam elemen vital dalam teori. Konsepsi diartikan sebagai suatu upaya menjadikan suatu hal menjadi konkrit yang pada mulanya berupa abstrak, atau lazim dikenal sebagai operasional defenition.35 Urgensi dari definisi operasional yakni meminimalisir potensi miskonsepsi atau perbedaan penafsiran terhadap suatu kata yang digunakan. Maka, demi menjawab problematika yang diangkat pada penelitian ini dirasa perlu untuk ditentukan definisi operasional yang dipakai, antara lain:
1. Akad yakni penyatuan dua kehendak melalui ijab dan qobul.
2. Perjanjian ialah suatu kesepakatan yang dilakukan oleh setidaknya dua pihak terkait suatu objek demi mencapai tujuan bersama, melalui pelaksanaan bermacam tanggung jawab maupun penerimaan hak.
3. Hukum perjanjian Islam adalah hukum yang mengatur tentang persetujuan setidaknya dua pihak yang saling berkaitan (akad) dalam rangka melakukan aktivitas muamalah atau keperdataan dalam Islam.
35 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia¸Jakarta, 1993, hal. 10
29
4. Akta autentik ialah akta yang disusun sesuai dengan struktur sebagaimana diamanatkan peraturan, dan disusun oleh pejabat yang diberi otoritas oleh undang-undang untuk menyusunnya.
5. Akta notariil adalah akta autentik yang disusun oleh atau di hadapan notaris yang mengikat para pihak dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna.
6. Pedoman ialah suatu tuntunan atau dasar dibuatnya suatu perjanjian dalam hukum Islam yang dijadikan tuntunan dalam penyusunan akta notariil.
7. Transaksi bisnis adalah suatu transaksi dalam perdagangan Islam dengan melibatkan lembaga-lembaga ekonomi Islam yang berbentuk syariah sesuai dengan ketentuan transaksi bisnis dalam hukum Islam.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan tesis ini peneliti akan menguraikan dan membahas permasalahan yang akan terbagi dalam lima bab. Maksud dari pembagian bab per bab untuk lebih terperinci dari penelitian tesis ini dan agar lebih dipahami. Sistematika dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
Bab I
Bab ini merupakan pendahuluan dimana didalamnya terdapat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, kerangka konseptual dan teoritis , sistematika penulisan.
Bab II
30
Bab ini akan menyampaikan tentang kajian teoritis terkait dengan prinsip perjanjian dalam hukum islam, notaris serta akta autentik notariil, tinjauan umum tentang rukun perjanjian dalam hukum islam dalam pembuatan akta notariil.
Bab III
Bab ini berisikan tentang metode penelitian yang akan memaparkan metode dimana akan menjadi landasan penelitian antara lain: jenis dan sifat penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data.
Bab IV
Bab ini merupakan hasil dan pembahasan dari penelitian dimana penelitian ini akan membahas tentang otoritas notaris non muslim dalam membuat akta syariah dan kedudukan akta syariah yang dibuat oleh notaris non muslim.
Bab V
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang merupakan hasil dan rekomendasi pemikiran dari peneliti untuk menjawab masalah dalam penelitian tesis ini.
31
32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Bermacam prinsip sebagaimana ditemui pada hukum perjanjian Islam cocok untuk diaplikasikan secara normatif dalam aktivitas penyusunan akta notariil di Indonesia, khususnya prinsip Ilahiah sehingga segala akad maupun transaksi muamalah yang terjadi senantiasa erat dengan nilai religius. Nilai tersebut penting sebagai tanggung jawab manusia kepada Allah SWT, dan kepada sesama manusia. Selain prinsip ilahiyah, terdapat pula kebebasan (Mabda alIbahah) yakni bahwasanya segala interaksi keperdataan dengan sesama manusia khususnya perjanjian pada asasnya adalah dibolehkan atau dihukumi mubah, hingga ada suatu hukum yang mengharamkannya. Kemudian prinsip tertulis, al-Kitaba yang memiliki arti bahwasanya perjanjian seharusnya dituangkan dalam tulisan sebagai barang bukti jika muncul sengketa di masa depan.
2. Pedoman Islam yang bisa diaplikasikan ke dalam pembuatan akta autentik notariil antara lain Surat Al Baqarah ayat 282, yang intinya yakni adanya kewajiban mendatangkan kedua laki-laki sebagai saksi, atau jika tidak bisa mala diganti dengan mendatangkan seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Ketentuan tersebut sejalan dengan Pasal 40 ayat (1) UUJN Tahun 2014 yang mengatur tentang kewajiban mendatangi setidaknya dua saksi bagi setiap pembuatan dan pembacaan akta oleh notaris, kecuali ditentukan lain ole peraturan perundangan. Mengacu pada hukum Islam, perjanjian harus dilakukan oleh mukallaf, atau cakap bertindak hukum
1
apabila mengacu pada hukum positif. Objek perjanjian juga tidak boleh melanggar hukum Islam, maupun hukum positif. Selain itu, akad tidak boleh mengandung unsur penipuan.
3. Kesesuaian akta notaris yang disusun dengan mengacu pada UUJN Tahun 2014 menggunakan prinsip sebagaimana terdapat pada hukum perjanjian Islam yakni antara lain: Pertama, mengacu pada hukum Islam, Aqid atau para pihak yang berakad (cakap hukum), sementara itu mengacu pada Pasal 39 ayat (1) huruf a UUJN Tahun 2014 penghadap harus berusia setidaknya 18 atau sudah menikah, dan Pasal 39 ayat (1) huruf b yakni cakap melaksanakan aktivitas hukum. Kedua, terdapat asas ikhtiyari atau kerelaan dalam penyusunan akad atau perjanjian di antara para aqid tanpa dipengaruhi oleh intimidasi atau paksaan. Prinsip tersebut selaras dengan prinsip hukum perjanjian sebagaimana pada Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata terkait dengan syarat sah perjanjian, yakni adanya kerelaan kedua belah pihak sebagai landasan kesepakatan dalam menyusun akta notariil. Ketiga, objek akad merupakan suatu barang yang dibolehkan oleh syariat Islam. Hal tersebut selaras dengan isi Pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata yang intinya bahwa perjanjian yang menggunakan objek yang dilarang oleh hukum, adalah ilegal dan tidak sah. Keempat, prinsip taswiyah (kesetaraan/keseimbangan) dalam sisi hak maupun tanggung jawab. Sementara itu dalam penyusumam akta notariil terdapat prinsip netralitas bahwa notaris wajib berlaku independen kepada para pihak yang menghadapnya. Masing-masing terdapat prinsip itikad baik baik dala penyusunan akad, pelaksanaan akad, hingga berakhirnya akad.
2
B. Saran
1. Disarankan kepada notaris maupun para pihak yang hendak melakukan atau membuat suatu akad, agar senantiasa mendalami serta memahami segala peraturan serta prinsip-prinsip dalam hukum positif serta hukum Islam terkait dengan perjanjian, sehingga akad yang tercipta adalah akad yang sesuai dengan peraturan yang berlaku serta sesuai dengan ajaran Islam yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari serta meminimalisir adanya sengketa.
2. Direkomendasikan agar notaris senantiasa mengkolaborasikan antara bermacam prinsip perjanjian sebagaimana ditemui pada hukum Islam dengan prosedur pembuatan akta autentik khususnya perjanjian yang diregulasi dalam peraturan perundangan yang berlaku. Sehingga akta notariil bisa diakui sebagai kekuatan pembuktian sempurna selaku akta autentik.
3. Direkomendasikan kepada peneliti selanjutnya agar meneliti dan mengkaji secara secara mendetil persamaan ataupun perbedaan asas-asas sebagaimana ditemui pada hukum perjanjian Islam dengan regulasi serta prosedur pembuatan akta autenti yang diatur dalam UUJN Tahun 2014 serta KUH Perdata sehingga diperoleh kolaborasi yang sempurna terkait dengan pembuatan akad autentuk khususnya dalam sektor perjanjian.
3
DAFTAR PUSTAKA
Xxxxxxxxxxx, Al Qur’an dan Hukum Islam : Comparative Study, Bulan Bintang, Jakarta, 1970
Abidin, Selamat, Fiqih Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 2008
Xxxxxxxx, Xxxx , Akta Notaris dan Akibat Hukumnya, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2000
Xxxxxxxxx, Xxxxx xXxxxxxxx Figh dan Keuangan serta Transaksi Bisnis Dalam Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, 2004
Xxxxx, Xxxxx, Sekilas Dunia Notaris/ PPAT di Xxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxx, Bandung, 2009
Xxxxxxxx, Xxxx, Akta Notaris Sebagai Akta Otentik, Sinar Baru, Bandung, 2009
al Ba'ly, Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, Al Istitsmar wa al Riqabah al Syar'iyyah fi al Bunuk wa al Mu „assasah al Maliyyah al Islamiyyah, Maktabah Xxxxxx xx Qahirah, Kairo Mesir, 1991
xx Xxxxxx, Xxxxx Xxxxx, Hasyiyah Tafsir al Jalalaini, Usaha Keluarga, Semarang, tanpa tahun
Xxxxxxxx Xxxx, Ali, Prinsip-prinsip Hukum Islam, CV. Rajawali, Jakarta, 1990
Xxx, Xxxxxx, Prinsip-prinsip Hukum Akad Dalam Islam, Solo Ilmu, Yogyakarta, 2010
Xx-Xxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, Ilmu Usul Hadist, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009
Xxxxxxx, Xxxxxxxx, Hukum Islam Bidang Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Xxxxx, Xxxxxxx, Hukum Perjanjian Syari’ah (Studi tentang Xxxxx Xxxx dalam Fikih Muamalat), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Xxxxx, Xxxxxxx, Akad dan Pelaksanaannya Ditinjau dari Hukum Islam, Ikhtiar Baru, Jakarta, 2010
Xxxxxxxx, Xxxxx, Hukum Bisnis (Prinsip Pelaksanaanya di Indonesia), Raja Grafindo Persada, 2008
Xxxxxxxx, Xxxxxxx, Konsep Adil dalam Al-Qur’an, Universitas Andalas, Padang, 2010
Az-Xxxxxxx, Xxxxxx, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr. IV, 1989
Az-Xxxxx, Xxxxxxx Xxxxx. T.t, al-Madkhal al-Fiqh al’AM. Beirut : Dar al-Fikr 1: 300
1
Xxxxxx, Xxxxx Xxxxx, Prinsip-prinsip Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII Press, Yogyakarta, Edisi Revisi, 2000
Barrii, Hasabu Xxxxxxxx Xxxxxx Xx, Xxxxxx Xxxxxxx, Program Maktabah As- Samilah versi II, Jilid 3
Departemen Agama RI, Al Qur’an Xxxxx wa tarjamah maaniyah ilal lughoh allndonesiyyah, (Al Madinah Al Munawwarah : Mujamma’ al Xxxxx Xxxx xx thiba’at al Mushaf asy Syarif, 1418 H)
Xxxxxx, Xxxxxxxxxxxx, Hukum Perjanjian Syari’ah Dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2001
Xxxxx, Djamili, Hukum Islam (Prinsip-prinsip, Hukum Islam I, Hukum Islam II), Mandar Maju, Bandung, 1992
Xxxxxx,Xxxxxxx, Prinsip-prinsip Akad Dalam Perjanjian Menurut Islam, Agung Media, Surabaya, 2009
Xxxxxx,Xxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak Dalam Pandangan Hukum Perjanjian Islam, Mitra Ilmu, Surabaya, 2008
Xxxxx, Xxxxx, Saksi Dalam Pembuatan Akta Otentik Menurut Ketentuan Hukum Islam, Tesis, Semarang, 2003
Xxxxx, Xxxxx, Hukum Kontrak Dari Segi Hukum Bisnis, Citra Bakti Aditya, Bandung, 2010
Xxxxxx, Xxxxx, Urgensi Hukum Perikatan Islam Dalam Penyelesian Sengketa Perekonomian Islam, Xxxxxxx Xxxxxxxx, Jakarta, 2007
Xxxxxx Xxxx, Hukum Perikatan Islam di Xxxxxxxxx, Xxxxxx Media, Jakarta, 2005
, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, diterbitkan atas kerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum UI Jakarta, dengan Prenada Media Jakarta, Cet. II, 2006.
Xxxxx X. Xxx, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
Xxxxxx, Xxxxxx, Xxxx Xxxxxxxx, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000 Xxxxxx, Xxxxxxx, Perbankan Syari’ah, Muamalat Institute, Jakarta, 1999
XX, Xxxxx, Hukum Kontrak (Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2006,.
Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxx, Ilmu Ushul Fiqh, Alih bahasa X. Xxxxx dan Xxxxx Xxxxx, Dina Utama, Semarang, 2006
Xxxxx Xxxxxxxxxx K., Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000 Xxxxx M Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju Bandung, 1994
Xxxxxxx, Xxxxxx, Akta Autentik dan Akta Di bawah Tangan, Rajawali Press, Jakarta, 2011
2
Xxxxxxxx, Xxxxxxxxxx, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1990
Xxxx, Xxxxxx, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Xxxxx, Xxxxx, Akad Pengertian, Jenis dan Pelaksanaanya Dalam Hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2009,
Xxxxxxxxxxxx, Apid, Kebebasan Berkontrak Dalam Hukum Xxxxx, Xxxxxx Media, Jakarta, 2010
Xxxxxxxx, Xxxxxxxxx dan Xxxxx, Xxxxxxxxxx, K., Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Cetakan Ketiga, Jakarta, 2004
Xxxxxx, Xxxxxxxx, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Hukum yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang, Mandar Maju, Bandung, 1994
Xxxxxxxx, Xxxxx, Ensiklopedi Al-Qur-an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsepkonsep Kunci, Paramadina bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Qur'an, Jakarta, 2002, hal. 369-388
Xxxxxxxx, Xxxxxxxxx dan Xxxxx, Xxxxxxxxxx K., Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994
Xxxxx, Xxx Xxxxxxxx, Kamus Hukum, C.V. Aneka, Semarang, 1977
Xxxxxx, Xxxxxxx, Implementasi Hukum Perjanjian Syari’ah, Visi Media, Jakarta, 2008
Xxxxxx X. Xxxxxxxx, Fiqh Islam, Hukum Fiqh Lengkap, CV. Sinar Baru, Bandung, 2002
Xxx, Xxxxx., Ilmu Fikih Islam Lengkap, CV Xxxx Xxxxx, Semarang, 1978 Xxxxxxxx, Xxxxxx, Hubungan Hukum, Notaris dan Klien dalam Pembuatan Akta
Autentik, Citra Ilmu Surabaya, 2010
Xxxxxx Xxxxxxxx, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, 2006
Xxxxxxx, Xxxxx X., Hukum Perjanjian Syari’ah, Kencana Prenada Media, Jakarta
3