KETIDAKSEIMBANGAN HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PRODUKSI MINYAK BUMI PADA SUMUR-SUMUR TUA DI STRUKTUR BANYUBANG KECAMATAN JIKEN KABUPATEN BLORA JAWA TENGAH ANTARA KUD WARGO TANI MAKMUR DENGAN PT. PERTAMINA EP
KETIDAKSEIMBANGAN HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PRODUKSI MINYAK BUMI PADA SUMUR-SUMUR TUA DI STRUKTUR BANYUBANG KECAMATAN JIKEN KABUPATEN BLORA JAWA TENGAH ANTARA KUD WARGO TANI MAKMUR DENGAN PT. PERTAMINA EP
T E S I S
OLEH :
NAMA MHS. : ERMA SUHARTI NO. POKOK MHS. : 12912054
BKU : HUKUM BISNIS
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016
i
Mempersembahkan karya terbaik ini untuk: Pemilik nyawa dan segenap jiwa raga, Allah SWT,
Uswah dan seluruh umat Islam, Rasa hormat dan terimakasih kepada almamater tercinta,
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Persembahan khusus kepada keluarga tercinta,
Para Guru dan Dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya, Ketulusan doa dan dukungan kalian dalam madrasah kehidupan, menjadi cambuk semangat untuk terus berkarya.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul “Ketidakseimbangan Hak dan Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Produksi Minyak Bumi pada Sumur-Sumur Tua di Struktur Banyubang Kecamatan Jiken Kabupaten Blora Jawa Tengah antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP.” Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada sang revolusioner sejati, pembawa cahaya bagi umat manusia junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.
Tesis ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam memperoleh gelar Master Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Alhamdulillah, berkat pertolongan dan hidayah Allah SWT terhadap hamba-Nya yang sedang mengarungi lautan ilmu-Nya, tugas akhir pascasarjana ini akhirnya dapat terselesaikan meskipun sangat sederhana dan jauh dari sempurna karena dengan media ini penulis banyak belajar, berfikir dan berimajinasi dalam mengarungi medan pertempuran intelektual. Dengan ini pula penulis semakin sadar akan kekurangan dan keterbatasan yang penulis miliki sehingga dapat memotivasi penulis untuk selalu berbenah diri dalam mencapai kehidupan yang lebih bermakna.
Sebuah proses yang cukup panjang dalam penulisan tesis ini tidak lepas dari doa, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini
vi
penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terimakasih yang tak terhingga
jazakumullah khairan kasiran kepada:
1. Dr. Ir. Harsoyo, M.Sc., selaku Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta;
2. Dr. Aunur Rohin Faqih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta;
3. Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D., selaku Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta;
4. Prof. Dr. Ridwan Khairandy, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Tesis yang telah berkenan memberikan bimbingan serta pengarahan progresif dan konstruktif kepada penulis di sela-sela kesibukannya. Dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan telah bersedia membantu, membimbing, memberikan arahan-arahan dan menyemangati penulis dari awal hingga akhir dalam penulisan tesis ini. Terimakasih kepada sang maha guru yang luar biasa ini;
5. Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum., selaku anggota penguji yang telah memberikan ilmu dan masukan pada tesis ini sehingga dapat mendukung penulis dalam melakukan perbaikan dalam langkah ke depan;
6. Ery Arifudin, S. H., M.H., selaku anggota penguji yang telah memberikan ilmu dan masukan pada tesis ini sehingga dapat mendukung penulis dalam melakukan perbaikan dalam langkah ke depan;
7. Seluruh Dosen dan staf Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah membimbing dan memberikan
vii
ilmunya serta pelayanan dan kemudahan administrasi, Nurul Khasanah, Yusri Fahmanto, Ika Asriningsih, Helawan Perwiranto, Syifaa Shaabrina, Listya Anggraini, Tuti Haryati dan Zuri Ikhwanta, semoga tali silaturahmi ini terus terjalin.
8. Bapak dan Ibunda, terimakasih atas semua kepercayaan, perhatian, cinta dan doa serta kasih sayang tulus tanpa pamrih yang diberikan;
9. Suamiku tercinta Sunaryo, anak-anakku semua yang aku banggakan, M. Prihatislam Primadi dan M. Ryasislam Prakarsa;
10. Kakakku Sri Rahayu, Edy Muhammad Ismail, adikku Alif Arifin, Enny Mukharomah, dan Nur Amanah Sholikhati. Terimakasih atas kebersamaan dan supportnya selama ini;
11. Rekan-rekan Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Angkatan XXIX, Ika Novi Nur Hidayati, Sri Widiastuti, Siti Ummi Akhiroh, Noorzana Muji Solikha, yang telah menemani dan menimba ilmu bersama dalam suka maupun duka di fakultas tercinta ini, terima kasih atas sepenggal waktu yang tak kan pernah terlupakan, semoga ukhuwah tetap terjaga hingga akhir waktu;
12. Saudara, teman, rekan-rekan dan pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu maupun memberikan semangat.
Yogyakarta, 07 Februari 2016
Penulis
Erma Suharti 12912054
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Persetujuan ii
Halaman Pengesahan iii
Halaman Motto dan Persembahan iv
Pernyataan Orisinalitas v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi ix
Abstrak xi
Bab I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 11
C. Tujuan Penelitian 12
D. Tinjauan Pustaka 13
E. Teori atau Doktrin 15
F. Metode Penelitian 23
1. Pendekatan Penelitian 23
2. Obyek dan Sifat Penelitian 24
3. Bahan Hukum 25
4. Pengolahan dan Penyajian Bahan Hukum 26
5. Analisis Data 27
Bab II Perjanjian dan Asas-Asas dalam Perjanjian 28
A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian 28
1. Pengertian Perjanjian 28
2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian 32
B. Asas-Asas Pokok dalam Hukum Perjanjian 44
1. Asas Konsensualisme 47
2. Asas Kebebasan Berkontrak 49
3. Asas Itikad Baik 53
ix
4. Asas Keseimbangan 62
C. Risiko dalam Perjanjian Timbal Balik 64
Bab III Perjanjian Produksi Minyak Bumi antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP 66
A. Perjanjian Produksi Minyak Bumi pada Sumur Tua antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP 66
B. Akibat Hukum Ketidakseimbangan Hak dan Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Produksi Minyak Bumi antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP 100
Bab IV Penutup 135
A. Kesimpulan 135
B. Saran 136
Daftar Pustaka 137
x
ABSTRAK
KETIDAKSEIMBANGAN HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PRODUKSI MINYAK BUMI PADA SUMUR- SUMUR TUA DI STRUKTUR BANYUBANG KECAMATAN JIKEN KABUPATEN BLORA JAWA TENGAH ANTARA KUD WARGO TANI MAKMUR DENGAN PT. PERTAMINA EP
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan ketidakseimbangan hak dan kewajiban dalam perjanjian produksi minyak bumi pada sumur-sumur tua di Struktur Banyubang, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan akibat hukum dari ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian produksi minyak bumi pada sumur-sumur tua di Struktur Banyubang, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dimana penulis menelaah asas-asas serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan secara mendalam. Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan studi dokumen untuk mendapatkan data sekunder. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan penyajian secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pasal-pasal dengan klausula ketidakseimbangan hak dan kewajiban pada perjanjian produksi minyak bumi antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP. Klausula tersebut dapat diketemukan pada pengaturan masalah kesehatan dan keselamatan kerja (Pasal 8 ayat (4)), pengelolaan lingkungan hidup pada lokasi sumur tua (Pasal 8 ayat (8) dan ayat (9)) dan masalah mutu serta spesifikasi minyak bumi (Pasal 11). Akibatnya dapat terjadi pembatalan perjanjian baik secara keseluruhan maupun sebagian. Atas perintah pengadilan atau penyesuaian di luar pengadilan dalam bentuk pembatalan untuk sebagian karena berubahnya situasi dan kondisi. Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa menurut hukum adat risiko kerugian harus dibagi dan ditanggung bersama oleh pihak-pihak yang terkait. Cara pemikulan bersama dari kerugian dapat berarti pembatalan dari perjanjian untuk sebagian dan mencakup pengurangan secara sepadan dari prestasi timbal balik, baik kualitatif maupun kuantitatif.
Kata Kunci: Asas Keseimbangan, Perjanjian Produksi Minyak Bumi
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan galian itu meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi. Negara menguasai bahan galian tersebut dan hak penguasaan negara berupa wewenang untuk mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian serta kewajiban untuk mempergunakannya sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan (unrenewable resources) yang dikuasai oleh negara. Penguasaan oleh negara dimaksudkan agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Sehingga baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha sekalipun yang memiliki hak atas sebidang tanah di permukaan tidak mempunyai hak menguasai atau memiliki minyak dan gas bumi yang terkandung di bawahnya.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menentukan asas-asas hukum dalam penyelenggaraan pertambangan minyak dan gas bumi meliputi ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan.
Kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.1 Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dalam menyelenggarakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi (eksplorasi dan eksploitasi) dilaksanakan oleh PT. Pertamina EP sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Agar fungsi Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dapat berjalan lebih efisien maka dibentuk Badan Pelaksana dan Badan Pengatur. Badan Pelaksana bertugas untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu sedangkan Badan Pengatur bertugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak dan gas bumi pada kegiatan usaha hilir.
Kegiatan usaha hulu mencakup eksplorasi dan eksploitasi melalui bentuk Kontrak Kerja Sama sedangkan pada kegiatan usaha hilir mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga melalui bentuk Izin Usaha.
Apabila usaha pertambangan dilaksanakan oleh kontraktor maka kedudukan pemerintah adalah memberikan izin kepada kontraktor yang bersangkutan. Izin yang diberikan oleh pemerintah tersebut berupa kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara dan kontrak production sharing.2
Praktik perjanjian pertambangan yang pernah dikenal dalam hukum Indonesia yaitu Konsesi, Kontrak Production Sharing dan Kontrak Karya.
1 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
2 Salim, Hukum Pertambangan Di Indonesia, Edisi 1, Cetakan 6, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 2.
Konsesi diatur dengan Undang-Undang Belanda yaitu “Indische Mijnwet” tahun 1899 dengan cara membayar pajak tetap atas setiap hektar tanah konsesi dan royalti maka pemegang konsesi berhak atas hasil tambang yang diperolehnya sejak dari sumur.
Sekarang konsesi sudah tidak ada lagi digantikan dengan Kontrak Production Sharing yaitu perjanjian pembagian hasil produksi minyak dan gas bumi antara kontraktor dengan PT. Pertamina EP.3 Sedangkan Kontrak Karya merupakan perjanjian pembagian pendapatan dari hasil penjualan minyak dan gas bumi antara Kontraktor dan PT. Pertamina EP selaku pemegang kuasa pertambangan.
Sebelum berlakunya otonomi daerah, pejabat yang berwenang memberikan izin kuasa pertambangan, izin kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara adalah pemerintah pusat yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dengan berlakunya otonomi daerah, kewenangan dalam pemberian izin tidak hanya menjadi kewenangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral semata-mata tetapi kini telah menjadi kewenangan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota. Pejabat yang berwenang menerbitkan kuasa pertambangan, menandatangani kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
3 Hoesin Wiriadinata, Praktik Perjanjian Bagi Hasil Minyak Dan Gas Bumi Dalam Perspektif Hukum Indonesia, Hukum Bisnis, Volume 26, No. 2-Tahun 2007, hlm. 16.
PT. Pertamina EP sebagai Badan Usaha Milik Negara menyelenggarakan usaha di bidang minyak dan gas bumi baik di dalam maupun di luar negeri serta usaha lain yang terkait atau menunjang di bidang minyak dan gas bumi tersebut.4 PT. Pertamina EP melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah kerja yang meliputi seluruh wilayah daratan, perairan dan landas kontinen Indonesia yang semua itu merupakan wilayah hukum pertambangan Indonesia.
Selanjutnya, untuk mengoptimalkan produksi minyak bumi dalam suatu wilayah kerja yang di dalamnya terdapat sumur tua yang telah ditutup dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi sumur tua (masyarakat lingkar tambang) dapat dilakukan pengelolaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua dengan mengikutkan partisipasi masyarakat sekitarnya.
Sumur tua adalah sumur-sumur minyak bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksikan serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu wilayah kerja yang terikat Kontrak Kerja Sama dan tidak diusahakan lagi oleh Kontraktor.5
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua mewajibkan Kontraktor untuk mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua yang masih terdapat kandungan minyak bumi berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis.
4 www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/125976-SK%20010%2008520Mar520p., diakses 14 November 2013.
5 Pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008.
Sumur tua yang ditutup sementara atau ditinggalkan dapat diusahakan kembali secara padat karya oleh masyarakat sekitar lokasi pertambangan setelah memperoleh izin dari Pemegang Wilayah Kerja dimana sumur tua tersebut berada. Sehingga dengan demikian dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Kontraktor adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberikan wewenang untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana.
Kepada daerah yang memiliki potensi sumur tua diberikan peluang dan kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua dengan mengikutsertakan masyarakat melalui Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan memperoleh persetujuan prinsip dari Menteri ESDM cq. Ditjen Migas.
Secara geografi sumur tua milik PT. Pertamina EP area Cepu terletak di Jawa Timur Bagian Utara dimana sebagian wilayahnya masuk dalam Propinsi Jawa Tengah dan sebagian lagi masuk dalam wilayah Propinsi Jawa Timur. Sebaran sumur tua meliputi Kabupaten Blora, Rembang, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Tuban, Surabaya dan Mojokerto. Untuk Kabupaten Blora ada 403 (empat ratus tiga) sumur tua yang tersebar di lapangan produksi Banyuasin, Banyubang, Kedinding, Ledok, Lusi, Metes, Nglobo, Petak, Plantungan, Semanggi, Trembes, Trengkul dan Tungkul.6
6 Adi Purwanto, makalah Pengelolaan Sumur Tua Minyak Bumi di Kabupaten Blora, disampaikan dalam Seminar Revitalisasi Migas : Peranan Teknis dan Ekonomis Pemgembangan Lapangan Marginal Dalam Meningkatkan Lifting Minyak dan Gas, Universitas Pembangunan “Veteran” Yogyakarta, 10 Desember 2011.
Sumur-sumur minyak bumi yang ada di lapangan produksi (existing) di Struktur Banyubang, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora adalah merupakan sumur-sumur tua eks peninggalan Belanda yang kapasitas produksinya sudah menurun sehingga kebanyakan sudah ditutup (abandoned) karena dianggap tidak menguntungkan.
Saat ini sumur-sumur tua telah diusahakan secara tradisional oleh masyarakat setempat dengan peralatan sederhana menggunakan timba yang ditarik dengan tenaga manusia maupun menggunakan tenaga mesin. Namun seiring berjalannya waktu saat ini cara penimbaan dengan tenaga manusia sudah tidak digunakan lagi.
Koperasi Unit Desa (KUD) Wargo Tani Makmur didirikan berdasarkan Akta Pendirian dengan pengesahan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil RI No. 8732/BH/VI tanggal 8 Januari 1975 dan diubah dengan Akta Perubahan dan Pengesahan pada tanggal 31 Oktober 1996 sebagai Badan Hukum Nomor 8732 b/BH/X/96 yang beralamat di Desa Jiken, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora.
Sebagai badan usaha yang semakin berkembang, KUD Wargo Tani Makmur bergerak di unit usaha perdagangan, unit usaha jasa, unit usaha simpan pinjam dan unit usaha pengusahaan sumur tua di Struktur Banyubang.7 Semua unit usaha tersebut bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota
7 Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Pengurus dan Pengawas dalam Rapat Anggota Tahunan, Tahun Buku 2012 dan Program Kerja dan APBK Tahun 2013, (diselenggarakan di Jiken pada tanggal 30 Maret 2013).
KUD Wargo Tani Makmur pada khususnya dan masyarakat Jiken pada umumnya.
Perjanjian antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP dilaksanakan setelah KUD Wargo Tani Makmur mendapat ijin usaha dari Menteri ESDM cq. Dirjen Migas. Sehingga perjanjian kerjasama tersebut merupakan bentuk perjanjian kegiatan usaha di hilir khususnya pada kegiatan memproduksi minyak bumi.
Memproduksi minyak bumi adalah suatu usaha mengambil, mengangkat dan/atau menaikkan minyak bumi dari sumur tua sampai ke titik penyerahan yang disepakati para pihak.8 Perjanjian memproduksi minyak bumi dibuat dan ditandatangani oleh Ketua KUD Wargo Tani Makmur dan Direktur Operasi PT. Pertamina EP pada tanggal 24 Maret 2009.
Perjanjian memproduksi minyak bumi antara PT. Pertamina EP dengan KUD Wargo Tani Makmur menimbulkan prestasi yaitu berupa hak dan kewajiban. PT. Pertamina EP berhak atas minyak bumi yang telah diproduksi oleh KUD Wargo Tani Makmur dan selanjutnya PT. Pertamina EP wajib memberikan imbalan jasa kepada KUD Wargo Tani Makmur sedangkan KUD Wargo Tani Makmur wajib memproduksikan, mengusahakan dan menyerahkan hasil minyak bumi kepada PT. Pertamina EP dan berhak atas imbalan jasa dari PT. Pertamina EP.
Perjanjian memproduksi minyak bumi tidak diatur secara khusus dalam Buku III KUHPerdata sebagai ketentuan umum dan landasan normatif.
8 Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 tahun 2008.
Namun keberadaannya dimungkinkan dalam sistem hukum Indonesia karena hukum perjanjian Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.”
Makna kebebasan berkontrak dapat disimpulkan bahwa semua perjanjian bebas untuk dibuat dan menetapkan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang, ketertiban umum maupun kesusilaan yang baik. Dalam kebebasan berkontrak terdapat kebebasan untuk sepakat tentang apa saja dan dengan siapa saja dan itu merupakan hal yang sangat penting.
Sudikno Mertokusumo lebih lanjut menyatakan asas-asas hukum perjanjian harus menjadi pedoman dalam membuat perjanjian karena asas-asas perjanjian berhubungan dengan keabsahan perjanjian. Ada 3 (tiga) asas perjanjian, yaitu:
a. Asas konsensualisme, yaitu suatu persesuaian kehendak (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian);
b. Asas kekuatan mengikatnya suatu perjanjian (berhubungan dengan akibat perjanjian);
c. Asas kebebasan berkontrak (berhubungan dengan isi perjanjian).9
Asas-asas hukum perjanjian di atas merupakan asas atau prinsip utama dalam pembuatan perjanjian/kontrak karena dapat memberikan sebuah
9 Henry P Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjajian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), (Yogyakarta: Liberty, 2001), hlm. 7.
gambaran mengenai latar belakang cara berpikir yang menjadi dasar pembuatan suatu kontrak.
Asas keseimbangan menawarkan dalam kaitan dengan situasi tidak seimbang yang terjadi selama atau setelah ditutupnya perjanjian, suatu pertanggungjawaban umum pemberlakuan keragaman norma serta juga untuk menilai dan menetapkan apakah terjadi keterikatan kontraktual yang adil.
Keseimbangan acapkali diartikan dalam kesamaan, sebanding dalam jumlah, ukuran atau posisi. Dalam perspektif kontrak, asas keseimbangan diberikan penekanan pada posisi tawar para pihak harus seimbang. Akan tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang, kesetaraan kekuatan ekonomi dari para pihak sering kali tidak ada.
Sebaliknya bila kesetaraan antara para pihak tidak dimungkinkan maka akibatnya pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah. Tidak adanya keseimbangan posisi para pihak mengakibatkan kontrak menjadi tidak seimbang dan membuka peluang intervensi penguasa untuk menyeimbangkan.10
Adanya ketidakseimbangan posisi tawar (bargaining position) antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP menghasilkan perjanjian yang berat sebelah dan ada beberapa pasal dengan klausula perjanjian yang mengandung ketidakseimbangan hak dan kewajiban. Namun demikian secara
10 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta : Laks Bang Mediatama, 2008), hlm. 65.
keseluruhan pasal-pasal dalam perjanjian tersebut mengandung klausula yang wajar dan tidak memberatkan salah satu pihak.
Sebagai contoh ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP dalam perjanjian memproduksi minyak bumi terdapat dalam Pasal 11 mengenai Mutu Spesifikasi Minyak Bumi yang menyatakan bahwa:
(1) Pihak Kedua wajib menyerahkan kepada Pihak Pertama Minyak Bumi yang diproduksikan dari sumur tua di titik penyerahan sesuai dengan mutu dan spesifikasi sebagaimana tersebut dalam Lampiran E;
(2) Dalam hal mutu dan spesifikasi minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan spesifikasi, Pihak Pertama dapat meminta kepada Pihak Kedua untuk melakukan treatment sampai memenuhi spesifikasi yang ditetapkan;
(3) Dalam hal mutu dan spesifikasi minyak bumi yang diproduksikan dari sumur tua dalam perjanjian ini tidak sesuai dengan ayat (1) di atas dan Pihak Kedua telah melakukan treatment tetapi tidak memenuhi spesifikasi, Pihak Kedua wajib menyerahkan minyak bumi kepada Pihak Pertama dengan pemberian imbalan jasa disesuaikan dengan aktual kuantitas minyak bersih (net oil).
Isi dari perjanjian tersebut memperlihatkan PT. Pertamina EP memiliki bargaining position yang lebih kuat karena dapat memaksakan kehendaknya agar KUD Wargo Tani Makmur menyerahkan minyak bumi dengan mutu dan spesifikasi yang ditetapkan oleh PT. Pertamina EP.
Apabila minyak bumi tidak sesuai dengan spesifikasi maka KUD Wargo Tani Makmur harus melakukan treatment dengan proses pemisahan kandungan air, sulfur, gas atau sedimen lain agar tercapai kandungan minyak bumi yang dikehendaki oleh PT. Pertamina EP. Apabila treatment sudah dilakukan akan tetapi tidak sesuai dengan mutu dan spesifikasi maka minyak bumi tetap harus diserahkan ke PT. Pertamina EP dan PT. Pertamina EP akan
memberikan imbalan jasa sesuai dengan aktual kuantitas minyak bersih (oil net). PT. Pertamina EP tidak mengganti biaya treatment yang dikeluarkan oleh KUD Wargo Tani Makmur.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka Peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat ketidakseimbangan hak dan kewajiban dalam perjanjian produksi minyak bumi pada sumur-sumur tua di Struktur Banyubang, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT Pertamina EP?
2. Bagaimana akibat hukum ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian produksi minyak bumi pada sumur-sumur tua di Struktur Banyubang, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pada hakikatnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh Peneliti.11 Sebagai patokan arah penelitian, tujuan penelitian harus menjelaskan hal-hal yang akan diungkap dan dijawab dari penelitian tersebut.12 Penelitian dan kajian terhadap ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian produksi minyak bumi pada sumur- sumur tua di Struktur Banyubang, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP bertujuan untuk:
1. Mengetahui dan menjelaskan ketidakseimbangan hak dan kewajiban dalam perjanjian produksi minyak bumi pada sumur-sumur tua di Struktur Banyubang, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP;
2. Mengetahui dan menjelaskan akibat hukum dari ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian produksi minyak bumi pada sumur-sumur tua di Struktur Banyubang, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP.
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1986), hlm. 18.
12 Mukti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2013), hlm. 89.
D. Tinjauan Pustaka atau Orisinalitas Penelitian
Menelusuri kepustakaan ternyata telah banyak hasil penelitian dan karya ilmiah tentang perjanjian. Berdasarkan pengamatan Penulis diperoleh 3 (tiga) hasil penelitian yang sejenis. Adapun hasil penelitian tersebut adalah:
1. Penelitian pertama dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Kemitraan Usaha Antara Patriot Farm Broiler dan Peternak Ayam di Kabupaten Sleman.” Hasil penelitian yang berupa tesis ini ditulis oleh Sugito, Program Studi Magister Hukum Bisnis Universitas Islam Indonesia Tahun 2009. Adapun permasalahan yang diambil dalam penelitian ini adalah pelaksanaan perjanjian kemitraan usaha antara Patriot Farm Broiler dan peternak ayam di Kabupaten Sleman serta penyelesaian hukumnya apabila terjadi perselisihan antara Patriot Farm Broiler dan peternak ayam di Kabupaten Sleman.
2. Penelitian kedua berjudul “Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan Pembatalan Perjanjian.” Tesis yang ditulis oleh Beni Tri Prasetyo, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Tahun 2010. Bahasan utama mengenai suatu perjanjian dapat dibatalkan karena adanya cacat kehendak (wilsgebrek). Apabila di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan (dwang, dwaling dan bedrog) maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antara para pihak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan (Pasal 1321 KUHPerdata). Di samping itu menurut perkembangan hukum yang dikembangkan lewat putusan
badan peradilan dikenal pula asas “penyalahgunaan keadaan” (undue influence). Pernyataan kehendak yang tidak menggambarkan kehendak dari para pihak yang sesungguhnya dapat terjadi karena kekhilafan, dimana salah satu pihak dapat dikelabui oleh pihak yang lain tentang isi kontrak yang akan diadakan atau karena penipuan dimana salah satu pihak oleh pihak yang lain dengan sungguh-sungguh diberikan informasi yang salah tentang isi perjanjian atau terjadi karena paksaan dimana suatu pihak dipaksa oleh pihak yang lain untuk memberikan pernyataan kehendak. Ketiga hal ini dalam ilmu hukum dikenal dengan cacat kehendak yang klasik karena selalu berhubungan dengan cacat dalam pembentukan kehendak.
3. Penelitian ketiga berupa skripsi yang dibuat oleh Shinta Wahyu Pamungkas, Mahasiswa Jurusan Manajemen dengan Prodi Manajemen Pertambangan Dan Energi pada Perguruan Tinggi Kedinasan Akademi Minyak Dan Gas Bumi (STEM)/PTK AKAMIGAS Cepu Tahun 2011 dengan judul “Kajian Yuridis Penambangan Minyak Bumi Oleh Masyarakat di Lapangan Ledok PT. Pertamina EP Region Jawa Field Cepu.“ Fokus kajian dalam skripsi tersebut adalah mengenai penambangan minyak bumi yang dilakukan oleh Kokaptraya (Koperasi Karyawan Pertamina) dengan PT. Pertamina EP Cepu yang menimbulkan polemik (pro dan kontra) di masyarakat. Kerjasama antara Kokaptraya dengan PT. Pertamina EP Cepu tersebut dianggap tidak sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa kontraktor dapat bekerja sama dengan KUD atau BUMD dalam
pengusahaan sumur tua minyak bumi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kokaptraya bukanlah KUD atau BUMD melainkan koperasi swasta yang berbadan hukum dan selain itu prosedur diadakannya perjanjian antara PT. Pertamina EP Cepu dengan Kokaptraya tanpa memperoleh persetujuan prinsip dari Menteri ESDM cq. Dirjen Migas dan BP Migas.
E. Teori atau Doktrin
Penggunaan teori atau doktrin adalah untuk menganalisa secara sistematis atau setidaknya untuk menjelaskan, memberi arti, memprediksi, meningkatkan sensitifitas penelitian, membangun kesadaran hukum dan sebagai dasar pemikiran dalam konteks bahasan perjanjian memproduksi minyak bumi dan adanya pasal yang mengandung ketidakseimbangan. Untuk itu maka diperlukan sejumlah teori yang relevan dan urgent dengan penjabaran sebagai berikut:
1. Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUHPerdata diatur di dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi tersebut oleh para Sarjana Hukum dianggap memiliki kelemahan karena di satu pihak kurang lengkap dan di pihak lainnya terlalu luas. Dianggap kurang lengkap karena hanya merumuskan perjanjian sepihak saja padahal dalam kehidupan sehari-hari disamping perjanjian sepihak juga dapat dijumpai suatu perjanjian yang para pihaknya mempunyai hak dan kewajiban. Perjanjian inilah yang disebut dengan perjanjian timbal-balik. Perjanjian timbal-balik ini juga merupakan perjanjian yang seharusnya tercakup dalam batasan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut.13
Sebaliknya dikatakan terlalu luas karena perjanjian menurut pasal tersebut diartikan sebagai suatu perbuatan. Apabila setiap perjanjian dikatakan sebagai suatu perbuatan maka segala perbuatan baik yang bersifat hukum atau tidak dapat dimasukkan dalam suatu perjanjian misalnya perbuatan melawan hukum, perwakilan sukarela dan hal-hal mengenai janji kawin.14
Atas dasar alasan-alasan itulah maka para Sarjana Hukum merasa perlu untuk merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan
13 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.
45.
14 Ibid, hlm. 46.
perjanjian. Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.15 Sudikno Mertokusumo memberikan definisi perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.16
2. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian
a. Asas Konsensualisme
Asas ini menganut sistem konsensus/kesepakatan apabila dua pihak atau lebih telah mencapai kesepakatan maka saat itu telah lahir suatu kewajiban dan hak dari masing-masing pihak walaupun kesepakatan/concensus tersebut dicapai dalam bentuk lisan semata- mata. Inilah prinsip perjanjian yang berlaku mengikat dan berlaku sebagai perikatan akan tetapi untuk menjaga kepentingan debitor maupun kreditor biasanya dituangkan dalam bentuk formalitas. Asas konsensualitas ini terdapat pada Pasal 1320 ayat (1)
15 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 3.
16 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm. 97.
KUHPerdata diantaranya tentang syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Secara tradisional suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang mempunyai kedudukan seimbang dan kedua pihak berusaha mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui suatu proses negosiasi di antara para pihak.17
Kebebasan berkontrak sebagaimana dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata pada kata-kata “semua…” yang artinya bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam pasal ini masyarakat diberi kebebasan untuk:
1) Mengadakan / tidak mengadakan perjanjian;
2) Bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja;
3) Bebas untuk menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya;
4) Bebas untuk menentukan hukum mana yang berlaku untuk perjanjian yang dibuatnya;
5) Bebas untuk menentukan bentuk perjanjian.
Kebebasan berkontrak merupakan ruh dan nafas sebuah kontrak atau perjanjian secara implisit memberikan panduan bahwa
17 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 2-3.
dalam berkontrak pihak-pihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang.18
c. Asas Pacta Sun Servanda
Asas perjanjian berlakunya sebagai Undang-Undang (pacta sunt servanda) ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi: “…berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” Maksud dari asas ini ialah para pihak wajib menaati perjanjian yang mereka buat seperti mereka menaati Undang- Undang. Dengan kata lain pihak ketiga termasuk hakim harus menghormatinya artinya mereka tidak boleh mengubah, menambah atau mengurangi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
d. Asas Personalitas
Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan bahwa “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan dirinya atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya sesuatu perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Menyimak Pasal 1315 KUHPerdata tersebut selanjutnya diperkuat lagi oleh Pasal 1340 KUHPerdata yang berbunyi “Persetujuan-persetujuan hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya.”
18 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjiian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta:LaksBang Mediatama Bekerja Sama dengan Kantor Advokat Hufron & Hans Simaela, 2008), hlm. 2.
Bahwa perikatan hukum yang dilahirkan oleh suatu perjanjian mempunyai dua sisi yaitu sisi kewajiban-kewajiban (obligation) yang dipikul oleh suatu pihak dan sisi hak-hak atau manfaat yang diperoleh oleh lain pihak yaitu hak-hak untuk menuntut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Perikatan mengikat diri dalam bahasa Belanda zich verbinden ditujukan kepada sisi kewajiban-kewajiban (hal-hal yang enak). Sisi kewajiban juga disebut sisi pasif sedangkan sisi penuntutan dinamakan sudut aktif.
e. Asas Iktikad Baik
Asas ini memerintahkan kepada para pihak dalam membuat kesepakatan dan persetujuan pelaksanaan prestasi tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup. Maksud dirumuskannya Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tentang itikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya sejak perjanjian ditutup sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitor, kreditor, pihak lain serta pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.
Itikad baik dalam bahasa Belanda tegoeder trouw dalam bahasa Inggris in good faith sedangkan dalam bahasa Perancis berarti de bonne foi. Itikad baik pelaksanaan kontrak mengacu
kepada isi perjanjian. Isi perjanjian harus rasional dan patut. Itikad baik pelaksanaan kontrak juga dapat bermakna melaksanakan secara rasional dan patut.19
Dalam hukum benda, dijumpai juga istilah pemegang barang yang beritikad baik, ada juga pembeli barang yang beritikad baik dan lain sebagainya sebagai lawan dari orang-orang yang beritikad buruk. Seorang pembeli barang yang beritikad baik adalah seorang yang membeli barang yang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik sendiri dari barang yang dibelinya. Dalam hukum benda itikad baik berarti pula kejujuran atau bersih.
Hakim diberi kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Hal ini berarti bahwa hakim itu berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya manakala pelaksanaan menurut huruf tersebut akan bertentangan dengan itikad baik. Jadi pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata adalah sebagai syarat tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat) sedangkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata sebagai suatu tuntutan keadilan.
Pada hakekatnya hukum itu mengejar dua tujuan yaitu menjamin kepastian hukum (ketertiban) dan memenuhi tuntutan
19 Ibid, hlm. 62.
keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang diperjanjikan harus dipenuhi (ditepati) akan tetapi dalam menuntut pemenuhan janji itu janganlah orang meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan. Jadi pada pasal ini untuk menuntut pemenuhan janji itu berlakulah adil.
3. Makna Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan merupakan perkembangan lebih lanjut dari asas persamaan.20 Asas keseimbangan merupakan suatu asas dalam hukum perjanjian yang memperhatikan agar para pihak terikat dalam perjanjian mempunyai keseimbangan baik dalam hak maupun kewajiban.
Konsep-konsep seperti konsensualisme, kekuatan mengikat, kebebasan berkontrak dan keseimbangan sarat dengan pengharapan normatif. Apa makna sesungguhnya dari asas-asas tersebut dalam suatu masyarakat tidaklah dapat ditetapkan sekadar melalui atau dari pengamatan perilaku eksternal. Asas kesederajadan manusia (gelijkheidsbeginsel) dan juga istilah konsensualisme, kekuatan mengikat, kebebasan berkontrak baru akan bermakna jika tanda-tanda tersebut ditempatkan dalam konteks keseluruhan teks dan tata nilai atau budaya yang melingkupinya.
20 Mariam Darus Badrulzaman, Kerangka Dasar Hukum Perjanjian, (Jakarta: Elips,1998), hlm. 43.
Sebagaimana pendapat Herlien Budiono:”Asas-asas hukum terbentuk bersamaan dengan norma (yang termuat di dalamnya). Asas-asas tersebut baru dikatakan bermakna bila diamati atau ditemukan. Dengan kata lain asas-asas hukum “pada dasarnya tersembunyi” di balik norma-norma (masyarakat) Indonesia dan baru terwujud bila ditemukan dan dirumuskan.”21
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penulisan Tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research),22 yaitu dengan meneliti pada data sekunder bidang hukum yang ada sebagai data kepustakaan dengan menggunakan metode berpikir deduktif untuk selanjutnya mengkaji pasal-pasal perjanjian yang mengandung ketidakseimbangan bagi para pihak pada perjanjian memproduksi minyak bumi. Dalam penelitian ini Peneliti akan melakukan pengkajian terhadap beberapa pasal perjanjian yang mengandung ketidakseimbangan hak dan kewajiban maupun asas-asas hukum perjanjian yang seharusnya menjadi landasannya untuk selanjutnya mencoba menampilkan klausula yang dapat memberikan keseimbangan dalam perjanjian memproduksi minyak bumi tersebut.
Untuk dapat menghasilkan rekomendasi atas klausula yang tepat maka dilakukan melalui pendekatan Undang-Undang (statute approach). Pendekatan Undang-Undang dipergunakan untuk mengkaji dan
21 Herlien Budiono, Asas keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 380.
22 Soerjono Soekanto, et.al, Penelitian Hukum Normatif, (jakarta:Rajawali,1985), hlm.15.
menganalisa bahan hukum penelitian dari sudut pandang perundang- undangan.
2. Objek dan Sifat Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah:
a. Perjanjian produksi minyak bumi pada sumur-sumur tua di Struktur Banyubang, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP.
b. Akibat hukum perjanjian yang mengandung ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memproduksi minyak bumi pada sumur-sumur tua di Struktur Banyubang, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP.
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis yaitu menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian produksi minyak antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP dihubungkan dengan asas-asas perjanjian dan asas keseimbangan secara menyeluruh dan sistematis selanjutnya terhadap permasalahan yang timbul dilakukan kajian/analisa dengan menggunakan interpretasi/penafsiran hukum.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan;
3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
4) Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi;
5) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua;
6) Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP;
7) Peraturan perundang-undangan pendukung lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk serta penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri
dari buku-buku literatur, makalah, artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari:
1) Kamus Umum Bahasa Indonesia;
2) Kamus Hukum;
3) Kamus Inggris Indonesia;
4) Ensiklopedia.
4. Pengolahan dan Penyajian Bahan Hukum
Menurut Abdulkadir Muhammad23 pengolahan bahan hukum dalam penelitian hukum umumnya dilakukan dengan cara:
a. Pemeriksaan bahan hukum (editing) yaitu mengoreksi apakah bahan hukum sudah terkumpul lengkap, sudah benar dan sudah sesuai/relevan dengan masalah.
b. Penandaan bahan hukum (coding) yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber bahan hukum penelitian (buku literatur, perundang-undangan atau dokumen) pemegang hak cipta (nama Penulis, tahun penerbit) atau untuk rumusan masalah (masalah pertama tanda A masalah kedua tanda B dan seterusnya).
23 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 126.
c. Rekonstruksi bahan hukum (recounstructing) yaitu menyusun ulang bahan hukum secara teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan diintegrasikan.
d. Sistematis bahan hukum (systematizing) yaitu menempatkan bahan hukum menurut kerangka sistematis bahasan urutan masalah.
5. Analisa
Adapun analisa bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu bahan hukum yang diperoleh dari penelitian disajikan secara deskriptif dan diolah secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian.
b. Hasil klasifikasi selanjutnya disistematisasikan.
c. Bahan hukum yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.
BAB II
PERJANJIAN DAN ASAS-ASAS DALAM PERJANJIAN
A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian diatur di dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan bab kedua bagian kesatu sampai bagian keempat. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Definisi tersebut oleh para Sarjana Hukum dianggap memiliki kelemahan karena disatu pihak kurang lengkap dan dipihak lainnya terlalu luas. Dianggap kurang lengkap karena hanya merumuskan perjanjian sepihak saja padahal dalam kehidupan sehari-hari di samping perjanjian sepihak juga dapat dijumpai suatu perjanjian yang para pihaknya mempunyai hak dan kewajiban. Perjanjian inilah yang disebut dengan perjanjian timbal-balik. Perjanjian timbal-balik ini juga merupakan perjanjian yang seharusnya tercakup dalam batasan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut.24
Sebaliknya dikatakan terlalu luas karena perjanjian menurut Pasal tersebut diartikan sebagai suatu perbuatan. Apabila setiap perjanjian dikatakan sebagai suatu perbuatan maka segala perbuatan baik yang bersifat hukum atau tidak dapat dimasukkan dalam suatu perjanjian misalnya
hlm. 45.
24 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994),
perbuatan melawan hukum, perwakilan sukarela dan hal-hal mengenai janji kawin.25
Atas dasar alasan-alasan itulah maka para Sarjana Hukum merasa perlu untuk merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian. Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.26 Sudikno Mertokusumo memberikan definisi perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.27
Sedangkan menurut R. Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut yaitu: “Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum serta menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313 KUHPerdata. Sehingga perumusannya menjadi: Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.28
Berdasarkan ketiga pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan kata sepakat untuk melaksanakan sesuatu
25 Ibid, hlm. 46.
26 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 3.
27 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm. 97.
28 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1979), hlm. 49.
hak yang merupakan hubungan hukum dan menimbulkan akibat hukum bagi kedua pihak tersebut.
Menurut Pasal 1233 KUHPerdata perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut.
Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut maka kreditor berhak untuk menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bunga, kerugian dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor.
Jika diperhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut.
Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.29
Selanjutnya jika dibaca dan disimak dengan baik rumusan yang diberikan dalam Pasal 1314 KUHPerdata, rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dikembangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitor dalam perjanjian tersebut, debitor yang berkewajiban tersebut dapat meminta dilakukannya kontra prestasi dari lawan pihaknya tersebut (dalam KUHPerdata yang diterjemahkan oleh. R. Subekti dan R. Tjitrosoebono disebut dengan istilah dengan atau tanpa beban).
Kedua rumusan tersebut memberikan banyak arti bagi ilmu hukum. Dengan adanya kedua rumusan yang saling melengkapi tersebut dapat kita katakan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi).
Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Debitor pada satu sisi menjadi kreditor pada sisi yang lain pada saat yang
29 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 92.
bersamaan. Ini adalah karakteristik khusus dari perikatan yang lahir dari perjanjian. Pada perikatan yang lahir dari Undang-Undang, hanya ada satu pihak yang menjadi debitor dan pihak lain yang menjadi kreditor yang berhak atas pelaksanaan prestasi tersebut.30
2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Keabsahan suatu perjanjian (syarat sahnya perjanjian) diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal (tidak terlarang).
Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam:
30 Ibid., hlm. 93.
a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan
b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).31
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Apabila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (voidable). Hal ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat mengikat sepanjang tidak dibatalkan oleh salah satu pihak.
Unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Apabila salah satu dari syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal demi hukum (void/void ab initio). Hal ini mengandung konsekuensi bahwa perjanjian yang terjadi antara para pihak dianggap tidak pernah terjadi di hadapan hukum sehingga para pihak tidak dapat saling menuntut kepada pihak lainnya untuk dipenuhinya kewajiban yang timbul akibat perjanjian.
Sebagaimana pendapat Subekti tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan
31 Ibid, 93.
oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim.”32
Keabsahan atau syarat sahnya suatu perjanjian memerlukan 4 (empat) syarat dan dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri
Ketentuan yang mengatur tentang kesepakatan tercantum dalam Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata.
Kata sepakat di sini adalah persesuaian kehendak antara para pihak mengenai hal-hal yang menjadi pokok perjanjian, apa yang dikehendaki pihak yang satu disetujui oleh pihak yang lain.
Mengenai kata sepakat ini di dalam KUHPerdata tidak ada pengaturannya lebih lanjut, KUHPerdata dalam Pasal 1321 hanya mengatur mengenai tidak adanya kata sepakat. Bunyi Pasal 1321 KUHPerdata tersebut adalah tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Jadi menurut Pasal 1321 KUHPerdata tersebut jika dalam suatu perjanjian terdapat unsur-unsur paksaan, kekhilafan atau penipuan berarti perjanjian tersebut tidak mempunyai unsur kata sepakat dan karena kata sepakat merupakan salah satu syarat untuk sahnya perjanjian maka perjanjian yang dibuat dengan tidak ada kata sepakat mengakibatkan tidak sahnya perjanjian itu.
32 Subekti, Aneka Perjanjian, op.cit., hlm. 22-23.
“Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena takut pada ancaman, kekhilafan (dwaling) dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak- pihak yang mengadakan perjanjian, penipuan (bedrog) terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar disertai dengan kelicikan-kelicikan sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.”33
KUHPerdata tidak menjelaskan yang dimaksud dengan kekhilafan (dwaling) tetapi membatasi kekhilafan yang merusak kesepakatan adalah kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian dan kekhilafan mengenai diri seseorang. Menurut Subekti kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.34
Paksaan (dwang) diatur dalam Pasal 1324 KUHPerdata yang merumuskan bahwa suatu paksaan terjadi bila terdapat perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Menurut Subekti bahwa yang dimaksud dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psikis) jadi bukan paksaan badan (fisik).35 Demikian juga paksaan yang dilakukan terhadap suami atau istri dari pihak perjanjian atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah (Vide Pasal 1325 KUHPerdata) dan paksaan yang
33 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 135.
34 Subekti, Aneka Perjanjian, op,cit, hlm. 23.
35 Ibid.
dilakukan oleh pihak ketiga (Vide Pasal 1323 KUHPerdata), yang dimaksud dengan pihak ketiga disini adalah pihak di luar perjanjian.
Penipuan (bedrog) merupakan salah satu alasan yang merusak kesepakatan. Penipuan yang berupa tipu muslihat dari salah satu pihak yang sedemikian rupa sehingga menjadi terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak akan membuat perikatan itu jika tidak ada tipu muslihat (Vide Pasal 1328 KUHPerdata). Menurut Subekti bahwa penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan- keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perijinannya.36
b. Adanya Kecakapan untuk membuat suatu Perjanjian
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata. Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan kecuali jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tidak cakap.
Adanya kecakapan ini diperlukan mengingat bahwa:
Orang yang membuat suatu perjanjian itu nantinya akan terikat oleh karena itu ia harus mampu untuk menginsyafi benar-benar akan tanggungjawab atas perbuatannya itu dan ia harus sungguh-sungguh bebas atas harta kekayaannya.”37
36 Ibid, hlm. 24.
37 Ibid, hlm. 18.
KUHPerdata tidak mengatur lebih lanjut mengenai siapa yang cakap bertindak. Pasal 1330 KUHPerdata hanya menyebutkan siapa yang tidak cakap untuk membuat perikatan yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua membuat perjanjian-perjanjian tersebut.
Dari sudut keadilan bahwa orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan terikat oleh perjanjian itu seyogyanya mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggungjawab yang dipikulnya dengan perbuatan itu. Sedangkan dari sudut ketertiban umum karena yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh- sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggungjawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa yang harus diwakili oleh orang tua atau walinya maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.38
38 Ibid., hlm. 19.
Pasal 108 KUHPerdata ayat (2) mengatur bahwa seorang istri, biar telah dikuasakan oleh suaminya untuk membuat suatu akta atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun namun tidaklah ia karena itu berhak menerima sesuatu pembayaran atau memberi sesuatu perluasan atas itu tanpa izin yang tegas dari suaminya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang perempuan yang bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya.39
Dalam KUHPerdata ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami ada hubungannya dengan sistem yang dibantu dalam hukum perdata barat yang menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga itu kepada sang suami (Matritalemacht).
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 menyatakan bahwa Mahkamah Agung menganggap Pasal
108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi. Dan dalam praktik para Notaris sekarang sudah mulai mengizinkan seorang istri yang tunduk kepadanya tanpa bantuan suaminya.40
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka hak dan kedudukan istri diakui kewenangannya untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Pasal
39 Ibid., hlm. 19.
40 Ibid., hlm. 18-19.
31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa hak kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Dengan adanya ketentuan tersebut maka ketentuan Pasal 108 dan 110 KUHPerdata menjadi tidak berlaku lagi.
Penulis berkesimpulan dari ketentuan tersebut yang cakap membuat suatu perjanjian adalah mereka yang berada di luar Pasal 1330 KUHPerdata yaitu:
a. Orang-orang yang sudah dewasa;
b. Mereka yang tidak ditaruh di bawah pengampuan;
c. Mereka yang oleh Undang-Undang tidak dilarang untuk membuat perjanjian-perjanjian tersebut.
Batasan umur dewasa dengan merujuk Pasal 330 KUHPerdata maka yang dikategorikan belum dewasa (minderjarig) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu berakhir sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui secara a contrario bahwa orang dewasa (meerderjarig) yaitu orang yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan orang yang sudah kawin walaupun belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun penuh.
Keadaan dewasa yang memenuhi syarat undang-undang disebut kedewasaan. Orang dewasa atau dalam kedewasaan cakap atau mampu
(bekwaam, capable) melakukan semua perbuatan hukum. Misalnya membuat perjanjian, melakukan perkawinan, membuat surat wasiat dan lain sebagainya.41
c. Adanya Suatu Hal Tertentu
Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengatur syarat adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian. Obyek yang tertentu di sini adalah prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian dan prestasi itu adalah merupakan pokok perjanjian. Apa yang menjadi hak dan kewajiban dari para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus jelas dan tegas.
Pasal 1332 KUHPerdata mengatur bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
Pasal 1333 KUHPerdata mengatur bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Ketentuan pasal tersebut mengisyaratkan bahwa “Secara sepintas dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya” tampaknya KUHPerdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut rumusan tersebut hendak menegaskan
41 Dadan Muttaqien, Cakap Hukum, Bidang Perkawinan dan Perjanjian, (Yogyakarta: Insania Cita Press, 2006), hlm.49.
kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatan baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan kebendaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.42
Pasal 1334 KUHPerdata mengatur benda atau barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari juga dapat dijadikan obyek perjanjian tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu.
Selain itu barang yang baru akan ada dikemudian hari tidak boleh dijadikan obyek hibah.43 Apabila hal ini terjadi maka berakibat perjanjian tersebut batal. Pengecualian-pengecualian tersebut terdapat dalam Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata dan Pasal 1667 KUHPerdata.
d. Adanya Sebab yang Halal
Pasal 1335 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata mengatur adanya sebab yang halal sebagai syarat sahnya perjanjian. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. Definisi atau pengertian sebab yang dimaksud dalam pasal 1320 KUHPerdata mengacu pada ketentuan pasal
42 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit., hlm 154.
43 Pasal 1667 KUHPerdata menyatakan bahwa hibah hanyalah dapat mengenai benda- benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekadar mengenai hibahnya adalah batal.
1335 KUHPerdata bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu dan bukan sebab yang terlarang. Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan jika tidak dinyatakan suatu sebab tetapi ada sebab yang tidak dilarang atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah.
Pada dasarnya Undang-Undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya perjanjian tertentu yang ada diantara para pihak. Atau Undang-Undang memang tidak mempedulikan apakah yang merupakan dan yang ada di dalam benak setiap manusia yang membuat dan mengadakan perjanjian melainkan Undang-Undang hanya memperhatikan apakah prestasi yang disebutkan dalam perjanjian yang dibuat tersebut merupakan prestasi yang dilarang oleh hukum.
Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban umum. Menurut Achmad Ichsan sebab atau causa di sini ialah apa yang menjadi isi nurani dari pihak-pihak dalam perjanjian tersebut. Maksudnya motif dari perjanjian atas dasar mana pihak yang bersangkutan menghendaki perjanjian itu.44
Kalau kita lihat pengertian yang diberikan oleh Achmad Ichsan, sebab atau causa dari perjanjian itu dititikberatkan pada motif atau sebab alasan sudah jelas barulah perjanjian tersebut dapat dilaksanakan. Subekti
44 Achmad Ichsan, Hukum Perdata AB, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 19.
mengartikan sebab atau causa itu adalah maksud dan tujuan dari perjanjian itu. Jadi yang dititikberatkan adalah perbuatan dari para pihak tersebut bukan motif yang mendorong para pihak membuat perjanjian itu.
Pengertian sebab atau causa yang diartikan oleh Subekti lebih sesuai dengan pengertian sebab atau causa yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata terutama syarat keempat untuk suatu perjanjian yaitu sebab yang halal dinyatakan di dalam Undang-Undang tidak peduli apa yang mendorong orang itu membuat perjanjian tetapi yang diperhatikan hanyalah tindakan dari orang-orang tersebut. Sebab atau causa yang halal adalah isi dari perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan hukum atau Undang-Undang.
Sebab (oorzaak, causa) bukanlah hubungan sebab akibat sehingga pengertian causa di sini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran kausaliteit. Karena Pasal 1335, 1336 dan 1337 KUHPerdata membedakan sebab yang halal ini dengan:
a. Perjanjian tanpa kausa yaitu suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat kerena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan;
b. Sebab yang halal yaitu jika tidak dinyatakan sesuatu sebab tetapi ada suatu sebab yang halal ataupun jika ada suatu sebab lain dari pada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah;
c. Sebab terlarang adalah apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
B. Asas-Asas Pokok dalam Hukum Perjanjian
Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah kaidah hukum yang konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari kaidah yang konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum.45 Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut.
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak, sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak oleh KUHPerdata diberikan berbagai asas umum yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang dibuat sehingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak yang dapat dipaksakan pelaksanaannya atau pemenuhannya.
45 Asas hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit misalnya asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya atau asas konsensualitas yang tertuang dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Jika diperhatikan rumusan dan pengertian yang telah dijelaskan di atas, semua hal tersebut menunjukkan bahwa perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak dengan tujuan untuk menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Dalam perjanjian, pihak yang wajib untuk melakukan suatu prestasi, dalam hal ini debitor dapat menentukan terlebih dahulu dengan menyesuaikan pada kemampuannya untuk memenuhi prestasi dan untuk menyelaraskan dengan hak (dan kewajiban) yang pada lawan pihaknya apa, kapan, dimana dan bagaimana ia akan memenuhi prestasinya tersebut.46
Berdasarkan ketentuan di atas maka ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka artinya memberikan kebebasan kepada para pihak (dalam hal menentukan isi, bentuk serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian akan tetapi isinya selain tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Ketentuan yang terdapat dalam hukum perjanjian merupakan kaidah hukum mengatur artinya kaidah-kaidah hukum yang dalam kenyataannya dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan khusus di dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri. Kaidah- kaidah hukum semacam itu ada yang menamakan dengan istilah hukum pelengkap atau hukum penambah (optional law atau aanvullentrecht). Hal ini
46 Ibid., hlm. 14.
ditegaskan pula oleh Subekti bahwa pasal-pasal tersebut boleh dikesampingkan apabila dikehedaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.47
Sebagai kebalikan dari kaidah di atas adalah kaidah hukum yang memaksa (dwingenrecht atau compulsary law) yaitu kaidah-kaidah hukum yang berisi ketentuan-ketentuan hukum yang dalam keadaan apapun pada kenyataannya tidak dapat dikesampingkan melalui perjanjian individual yang dibuat diantara pihak- pihak. Dengan kata lain kaidah-kaidah hukum semacam ini dalam keadaan apapun harus ditaati dan daya ikatnya bersifat mutlak. Sebagai contoh adalah Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Penulis berpendapat sesuai dengan uraian mengenai asas-asas hukum di atas maka pada dasarnya perjanjian pun terbangun dari sejumlah asas hukum. Di bawah ini akan dipaparkan mengenai asas-asas pokok yang melandasi hukum perjanjian.
Berkenaan dengan hukum perjanjian maka asas-asas perjanjian ada 5 (lima) macam asas yaitu: (1) konsensualisme, (2) kebebasan berkontrak, (3) kekuatan mengikat (pacta sunt servanda), (4) kepribadian (personalitas) dan (5) iktikad baik.
Dari kelima asas tersebut yang merupakan asas pokok dalam perjanjian ada 3 (tiga) asas yaitu asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas iktikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Namun
47 Subekti, Aneka Perjanjian, op.cit. hlm. 13.
di samping asas-asas tersebut, di dalam kehidupan masyarakat Indonesia telah digali dan ditemukan asas yang bersumber pada norma, falsafah dan budaya yang dilandaskan pada pemikiran gotong-royong dan kekeluargaan yang dikenal dengan asas keseimbangan.
Asas keseimbangan memiliki tujuan utama kepatutan sosial (sociale gezindheid) atau menjamin tercapainya keseimbangan antara satu individu dan masyarakatnya. Apabila muncul situasi tidak seimbang selama atau setelah ditutupnya perjanjian maka asas keseimbangan dapat diterapkan dengan menyelaraskannya bersama 3 (tiga) asas pokok dalam perjanjian. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Herlien Budiyono:
“Dengan mendayagunakan asas keseimbangan sebagai asas pokok perjanjian yang keempat yang mandiri dari hukum kontrak Indonesia, di samping asas-asas pokok perjanjian lainnya yaitu asas konsensualisme, kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikat, kita memberikan “kehidupan baru” pada hukum kontrak kita. Asas keseimbangan ternyata juga menjiwai dan melandasi Unidroit Principles maupun European Contract Law yang berarti pengakuan secara internasional dan universal atas asas keseimbangan.
1. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas ini menganut sistem konsensus/kesepakatan apabila dua pihak atau lebih telah mencapai kesepakatan maka saat itu telah lahir suatu kewajiban dan hak dari masing-masing pihak walaupun kesepakatan/concensus tersebut dicapai dalam bentuk lisan semata-mata. Inilah prinsip perjanjian yang berlaku mengikat dan berlaku sebagai perikatan akan tetapi untuk menjaga kepentingan debitor maupun kreditor biasanya dituangkan dalam bentuk formalitas.
Asas konsensualisme ini terdapat pada Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yaitu diantaranya tentang syarat sahnya perjanjian tentang kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. Dalam perjanjian, hal utama yang harus ditonjolkan ialah bahwa umumnya berpegang pada asas konsensualitas yang merupakan syarat mutlak bagi perjanjian modern dan bagi terciptanya kepastian hukum.48
Kontrak dikatakan telah lahir jika telah ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat kontrak tersebut. Asas konsensualisme mempunyai arti penting bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dari penjanjian tersebut dan perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus atau kesepakatan. Dengan perkataan lain perjanjian itu sudah sah apabila hal-hal yang pokok sudah disepakati dan tidak diperlukan suatu formalitas.49
Namun yang selalu dipertanyakan adalah saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak. Mengenai hal ini ada beberapa ajaran yaitu:
a. Teori Kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan misalnya dengan menulis surat;
b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran;
c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima;
48 Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992). hlm. 5.
49 Subekti, Hukum Perjanjian, op.cit., hlm. 15.
d. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.50
Asas konsensualisme ini berkaitan dengan penghormatan martabat manusia. Subekti menyatakan bahwa hal ini merupakan puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul dari pepatah Belanda“een man een man, een woord een woord” yang maksudnya dengan diletakkannya perkataan seseorang maka orang itu ditingkatkan martabatnya sebagai manusia. Meletakkan kepercayaan perkataan seseorang berarti menganggap orang itu sebagai kesatria.51
Asas ini juga sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan kata “semua” yang menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will) yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asal mulanya asas kebebasan berkontrak lahir pada abad Ke-19 (sembilan belas) di Eropa bersamaan dengan munculnya teori ekonomi klasik laissez faire yang merupakan reaksi dari mercantile system. Kebebasan berkontrak menjadi paradigma baru hukum kontrak yang sangat diagungkan para filosuf, ahli hukum dan pengadilan. Pengadilan lebih mengedepankan
50 Mariam Darus Badrulzaman, et.al, Kompilasi Hukum Perikatan, dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 74.
51 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Cetakan II (Jakarta:Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 27.
kebebasan berkontrak dari pada nilai-nilai keadilan dalam putusan- putusannya. Bahkan kebebasan berkontrak cenderung berkembang ke arah kebebasan tanpa batas (unrestricted freedom of contract).52
Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dalam kenyataannya dapat menimbulkan ketidakadilan. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.
Kemudian pada abad Ke-20 (dua puluh) timbul berbagai kritik dan keberatan terhadap kebebasan berkontrak baik yang berkaitan dengan akibat negatif yang ditimbulkannya maupun kesalahan berpikir yang melekat di dalamnya. Paradigma kebebasan berkontrak pada akhirnya bergeser ke arah paradigma kepatutan.
Dengan demikian walaupun kebebasan berkontrak masih menjadi asas penting dalam hukum kontrak baik dalam civil law maupun common law tetapi ia tidak lagi muncul seperti kebebasan berkontrak yang berkembang pada abad Ke-19 (sembilan belas). Sekarang kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
52 Ibid., hlm. 1.
Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut setidak-tidaknya dipengaruhi oleh dua faktor yakni :
a. Makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik dimana iktikad baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak;
b. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandigheden atau undue influence).
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.
Secara tradisional suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang mempunyai kedudukan seimbang dan kedua pihak berusaha mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui suatu proses negosiasi diantara para pihak.53
Kebebasan berkontrak merupakan ruh dan nafas sebuah kontrak atau perjanjian secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak pihak-pihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang.54
53 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 2-3.
54 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjiian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta:LaksBang Mediatama Bekerja Sama dengan Kantor Advokat Hufron & Hans Simaela, 2008), hlm. 2.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian antara lain dapat disimpulkan dalam rumusan-rumusan Pasal 1329, 1332 dan 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak cakap. Pasal 1332 KUHPerdata menyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
Selanjutnya Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” Kata “semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh Undang-Undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Kebebasan berkontrak sebagaimana dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut mengandung makna setiap orang bebas membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.55 Dalam pasal ini masyarakat diberi kebebasan untuk:
a) Mengadakan/tidak mengadakan perjanjian;
b) Bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja;
55 Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
c) Bebas untuk menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya;
d) Bebas untuk menentukan hukum mana yang berlaku untuk perjanjian yang dibuatnya;
e) Bebas untuk menentukan bentuk perjanjian.
Sutan Remy berpendapat ruang lingkup asas kebebasan berkontrak:
a) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
c) Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya;
d) Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian;
e) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-Undang yang bersifat opsional(aanvullent,optional).56
3. Asas Itikad Baik
Walaupun asas iktikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak di berbagai sistem hukum (civil law dan common law) tetapi asas iktikad baik tersebut menimbulkan sejumlah permasalahan. Permasalahan tersebut diantaranya berkaitan keabstrakan makna iktikad baik sehingga
56 Ibid., hlm.147.
timbul pengertian iktikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat dan orangnya. Selain tidak ada makna tunggal iktikad baik, dalam praktik timbul pula permasalahan mengenai tolok ukur dan fungsi iktikad baik tersebut. Akibatnya makna dan tolok ukur serta fungsi iktikad baik lebih banyak disandarkan pada sikap atau pandangan hakim yang ditentukan secara kasus per kasus.
Asas ini memerintahkan kepada para pihak dalam membuat kesepakatan dan persetujuan pelaksanaan prestasi tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup. Maksud dirumuskannya Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tentang iktikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya sejak perjanjian ditutup sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitor, kreditor, pihak lain serta pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.
Dalam hukum kontrak, iktikad baik memiliki 3 (tiga) fungsi. Iktikad baik dalam fungsinya yang pertama mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik. Fungsi kedua adalah fungsi menambah (aanvullende werking van de goede trouw). Fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking van de goede trouw).57
57 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, cetakan II (Jakarta:Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 216.
Iktikad baik dalam bahasa Belanda tegoeder trouw dalam bahasa Inggris in good faith sedangkan dalam bahasa Perancis berarti de bonne foi. Iktikad baik pelaksanaan kontrak mengacu kepada isi perjanjian. Isi perjanjian harus rasional dan patut. Iktikad baik pelaksanaan kontrak juga dapat bermakna melaksanakan secara rasional dan patut.58
Sebagai contoh dalam hukum benda dijumpai juga istilah pemegang barang yang beriktikad baik, ada juga pembeli barang yang beriktikad baik dan lain sebagainya sebagai lawan dari orang-orang yang beriktikad buruk. Seorang pembeli barang yang beriktikad baik adalah seorang yang membeli barang yang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik sendiri dari barang yang dibelinya. Dalam hukum benda iktikad baik berarti pula kejujuran atau bersih.
Hakim diberi kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Hal ini berarti bahwa hakim itu berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya manakala pelaksanaan menurut huruf tersebut akan bertentangan dengan iktikad baik. Jadi pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata adalah sebagai syarat tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat) sedangkan pada ayat ketiganya sebagai suatu tuntutan keadilan.
Dengan demikian iktikad baik harus digunakan dalam menafsirkan suatu kontrak. Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata dan untuk menetapkan isi kontrak perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat diketahui
58 Ibid, hlm. 135.
dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Beberapa sistem hukum seperti hukum kontrak Jerman memiliki ketentuan yang mewajibkan bahwa kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik. Pasal 157 GB menyatakan bahwa semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik. Dalam beberapa sistem hukum lainnya seperti hukum kontrak Belanda, peranan iktikad baik dalam menafsirkan kontrak dibangun oleh pengadilan. Menafsirkan kontrak dengan iktikad baik berarti menafsirkan dengan fair atau patut.
Pada hakekatnya hukum itu mengejar 2 (dua) tujuan yaitu menjamin kepastian hukum (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang diperjanjikan harus dipenuhi (ditepati) akan tetapi dalam menuntut pemenuhan janji itu janganlah orang meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan. Jadi pada pasal ini untuk menuntut pemenuhan janji itu berlakulah adil.
J. M. van Dunne membagi tahapan kontrak dalam tiga fase yakni fase pra kontrak (precontractuele fase), fase pelaksanaan kontrak (contractuele fase), dan fase pasca kontrak (postcontractuele fase).59 Iktikad baik sudah harus ada sejak fase pra kontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak. Pembahasan iktikad baik tersebut semestinya dimulai dari iktikad baik dalam
59 J.M. van Dunne, Verbintenissenrecht, Deel 1, Contractenrecht, 1é gedeelte, Totstandkoming van overeenkomsten, inhoud contractsvoorwarden, gebreken (Deventer: Kluwer, 1993), hlm. 170.
fase pra kontrak lantas dilanjutkan dengan iktikad baik pada saat pelaksanaan kontrak.
Oleh karena doktrin iktikad baik dalam fase pra kontrak baru berkembang belakangan dan untuk menjelaskannya tidak dapat terlepas dari doktrin iktikad baik yang terlebih dahulu ada yakni iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak maka pembahasan iktikad baik dalam tesis ini dimulai dari iktikad baik pelaksanaan kontrak.
Walaupun iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak telah berkembang lama sekali tetapi masih menimbulkan sejumlah permasalahan yang memerlukan pemecahan. Sekurang-kurangnya iktikad baik pelaksanaan kontrak masih menimbulkan dua permasalahan hukum. Pertama, berkaitan dengan standar hukum (legal test) yang harus digunakan oleh hakim untuk menentukan ada tidaknya iktikad baik dalam kontrak. Kedua, fungsi iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak.
Ruang lingkup pengaturan iktikad baik dalam berbagai sistem hukum umumnya hanya mencakup iktikad baik dalam fase pelaksanaan kontrak, belum mencakup fase pra kontrak.
Civil Code Perancis merupakan kitab undang-undang pada era modern yang pertama kali mengatur iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak. Pasal 1134 ayat (3) Civil Code Perancis menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik (contract doivent etre executes de bonne
foi). Isi pasal ini mengacu kepada konteks iktikad baik (bonne foi) sebagai suatu sikap dimana para pihak diharapkan melaksanakan kontrak mereka.
Dengan ketentuan ini berarti hukum Perancis menolak pembedaan antara stricti iuris60dan negotia bona fides61dalam hukum Romawi.62 Dengan penolakan yang demikian, maka pasal 1135 Civil Code Perancis mewajibkan keterikatan para pihak untuk tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas mereka perjanjikan tetapi juga kepada kepatutan (equite), kebiasaan atau hukum yang memberikan suatu kewajiban menurut hakikat (nature) kontrak mereka itu.
Kedua pasal itu diadopsi oleh BW (lama) Belanda. Pasal 1374 ayat (3) BW (lama) Belanda (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata Indonesia) menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik (zij moten te goeder trouw worden ten uitvoer verklaart). Kewajiban ini kemudian dilanjutkan Pasal 1375 (Pasal 1339 KUHPerdata Indonesia) yang menyatakan bahwa kontrak tidak hanya mengikat terhadap apa yang secara tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga kepada segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang (overeenkomsten verbinden niet alleen tot datgene hetwelk uitdrukkelijk bij dezelve bepaald is,
60 Di dalam stricti iuris para pihak terikat secara ketat pada apa yang secara tegas telah dinyatakan dalam kontrak.
61 Di dalam negotia bona fides para pihak tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas mereka nyatakan atau perjanjikan tetapi juga kepada apa yang menurut kepatutan (equitas) menuntut pihak-pihak untuk melaksanakannya walaupun tidak secara tegas mereka perjanjikan. Di sini hakim dengan dasar kepatutan dapat memperluas dan mengurangi kewajiban para pihak dalam kontrak yang bersangkutan sedangkan di dalam stricti iuris, hakim tidak memiliki kewenangan seperti itu.
62 Penolakan ini didasarkan pada pendapat Domat yang menolak pembedaan kedua jenis kontrak tersebut. Menurut Domat semua kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
maar ook tot al hetgeen dat, naar den aard van dezelve oveenkomsten, door de billijkheid, het gebruik, of de wet, word gevorderd).
Berkaitan dengan kebiasaan, Pasal 1383 BW (lama) Belanda (Pasal 1347 KUHPerdata Indonesia) menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam kontrak meskipun tidak secara tegas diperjanjikan.
Dari ketentuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa urutan kekuatan mengikatnya kontrak sebagai berikut:
a. Isi kontrak itu sendiri;
b. Kepatutan atau iktikad baik;
c. Kebiasaan; dan
d. Undang-undang.
Ketentuan-ketentuan di atas mewajibkan adanya iktikad baik sebagai suatu perilaku kontraktual yang diharapkan para pihak dalam pelaksanaan kontrak. Walaupun ada kewajiban umum iktikad baik tetapi semua ketentuan tersebut tidak menyebutkan atau menentukan standar atau tes apa yang harus digunakan untuk menilai iktikad baik tersebut. Sehingga penggunaan standar tersebut lebih banyak didasarkan kepada sikap pengadilan dan doktrin-doktrin yang dikembangkan para pakar hukum.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dalam beberapa sistem hukum kontrak seperti hukum kontrak Jerman dan hukum kontrak Belanda,
iktikad baik dibedakan antara iktikad baik subyektif dan iktikad baik obyektif.63
Standar atau tes bagi iktikad baik pelaksanaan kontrak tentunya adalah standar obyektif. Dalam hukum kontrak pengertian bertindak sesuai dengan iktikad baik mengacu kepada ketaatan akan reasonable commercial standard of fair dealing yang menurut legislator Belanda disebut bertindak sesuai dengan redelijkheid en billijkheid (reasonableness and equity). Ini benar- benar standar obyektif. Jika satu pihak bertindak dengan cara tidak masuk akal dan tidak patut will not be a good defense to say that he honestly believed his conduct to be reasonable an inequitable.64
Iktikad baik subyektif (subjectieve goede trouw) dikaitkan dengan hukum benda (bezit). Di sini ditemui istilah pemegang yang beriktikad baik atau pembeli barang yang beriktikad baik dan sebagainya sebagai lawan dari orang-orang yang beriktikad buruk.
Seorang pembeli yang beriktikad baik adalah seseorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang yang dijualnya itu. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa ia membeli barang dari orang yang bukan pemiliknya. Ia adalah seorang pembeli yang jujur. Dalam hukum benda, iktikad baik diartikan sebagai kejujuran. Pembeli yang beriktikad baik adalah orang yang jujur yang tidak mengetahui adanya
63 Hukum perdata Jerman menyebut iktikad baik obyektif dengan istilah Treu und Gluben
sedangkan untuk iktikad baik subyektif disebut dengan istilah Guter Glauben.
64 Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M. Tillema, Contract Law in the Netherlands.
(Deventer: Kluwer, 1993), hlm. 48.
cacat yang melekat pada barang yang dibelinya itu. Artinya cacat mengenai asal usulnya. Dalam hal ini, iktikad baik merupakan suatu elemen subyektif.65
Iktikad baik yang subyektif ini berkaitan dengan sikap batin atau kejiwaan (psychische gestelheid) yakni apakah yang bersangkutan menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak dengan iktikad baik.
Iktikad baik pelaksanaan kontrak mengacu kepada iktikad baik yang obyektif. Standar yang digunakan dalam iktikad baik obyektif adalah standar yang mengacu kepada suatu norma yang obyektif.66 Perilaku para pihak dalam kontrak harus diuji atas dasar norma-norma obyektif yang tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat. Ketentuan iktikad baik menunjuk kepada norma-norma tidak tertulis yang sudah menjadi norma hukum sebagai suatu sumber hukum tersendiri. Norma tersebut dikatakan obyektif karena tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum tentang iktikad baik tersebut.67
Standar tersebut sesungguhnya mengacu kepada standar yang berlaku dalam hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, iktikad baik merupakan suatu norma sosial universal yang mengatur social interrelationships yakni setiap warga negara memiliki suatu kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik
65 Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 1984), hlm. 41. Lihat juga Djaja S. Meliala, Masalah Itikad Baik dalam KUHPerdata (Bandung: Binacipta, 1987), hlm 7-9.
66 Martijn Willem Hesselink, De Redelijkheid en Billijkheid in het Europease Privaatrecht, (Deventer: Kluwer, 1999), hlm. 28.
67 P.L. Wery, Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Nederland, (Jakarta: Percetakan Negara, 1990), hlm. 9.
terhadap seluruh warga negara. Ini merupakan konsep obyektif yang secara universal diterapkan terhadap seluruh transaksi. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Roscoe Pound yang menyatakan suatu postulat “Men must able to assume that those with whom they deal in the general intercourse of society will act in good faith.”
Dengan demikian kalau seseorang bertindak dengan iktikad baik menurut suatu standar obyektif iktikad baik yang didasarkan pada customary social expectation kemudian orang yang lain akan bertindak yang sama kepada dirinya.68
4. Asas Keseimbangan
Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H. dalam Prakata Buku Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia karangan Herlien Budiono menyatakan untuk mewujudkan cita-cita bangunan tatanan hukum nasional yang selain sesuai atau mencerminkan pandangan hidup bangsa Indonesia dan mampu memenuhi tuntutan zaman yang menjamin kepastian hukum dan keadilan. Untuk itu harus dilakukan dengan mengharmonisasikan gagasan-
68 Eric M. Holmes, “A Contextual Study of Commercial Good Faith: Good Faith Disclosure in Contract Formation,” (University of Pittsburgh Law Review, Vol 39 No. 3, 1978), hlm. 402.
gagasan hukum asli Indonesia atau yang mencerminkan pandangan hidup Indonesia.69
Asas mengharmonisasikan (menyelaraskan) dalam hukum adat tersebut mewujudkan keseimbangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan pihak lawan terkait dalam perjanjian. Keseimbangan di sini maksudnya para pihak mendapatkan kepentingan masing-masing secara berimbang sesuai dengan hak dan kewajiban yang diberikan dalam perjanjian tersebut. Apabila diejawantahkan lebih lanjut maka pihak dalam perjanjian dapat menuntut pemenuhan hak dengan terlebih dahulu harus memenuhi kewajiban.
Posisi tawar yang setara biasanya akan mengakibatkan situasi yang kurang lebih berimbang. Akan tetapi tidak jarang dalam suatu perjanjian dapat terjadi salah satu pihak yang menyusun perjanjian mengambil keuntungan dengan merumuskan klausula yang tidak wajar, berat sebelah dan hanya menguntungkan salah satu pihak. Dan bagi pihak yang lemah hanya ada dua alternatif yaitu menerima atau menolaknya (take it or leave it).
Pendapat Herlien Budiono yang menyatakan bahwa asas keseimbangan itu pada prinsipnya merupakan asas yang dikonstruksikan dari iktikad baik, kewajaran dan kepatutan, penyalahgunaan keadaan dimana kesemuanya itu menuntut adanya keseimbangan.
Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-hari kata “seimbang“
(evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagi beban di
69 Prof.Dr.B.Arief Sidharta, S.H., Prakata dalam Buku Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia Karangan Herlien Budiono.
C. Risiko dalam Perjanjian Timbal Balik
Pengertian risiko di dalam perkataan sehari-hari berlainan dengan pengertian risiko di dalam hukum perjanjian. Di dalam hukum perjanjian istilah risiko mempunyai pengertian khusus. Risiko adalah suatu ajaran tentang siapakah yang harus menanggung ganti rugi apabila debitor tidak memenuhi prestasi dalam keadaan memaksa (force majeur).
Dalam keadaan normal apabila debitor ingkar janji yang disebabkan oleh kesalahan debitor sendiri maka sudah pasti debitor menanggung dengan memberikan ganti rugi kepada kreditor. Tetapi lain halnya apabila tidak dipenuhinya sesuatu prestasi adalah di luar kesalahan debitor yang dalam hal ini berarti bahwa terjadi suatu peristiwa mendadak yang tidak dapat diduga-duga terlebih dahulu dan karena itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
“KUHPerdata mengatur dan membedakan pihak-pihak yang menanggung risiko dalam perjanjian yang bersifat sepihak dan perjanjian timbal balik. Meskipun dalam bagian umum KUHPerdata tidak mengatur risiko dalam perjanjian timbal balik namun para sarjana mencari penyelesaian hal ini di dalam asas kepatutan (billijkheid). Dalam perjanjian timbal balik sesuai dengan asas kepatutan maka risiko ditanggung oleh mereka yang tidak melakukan prestasi.”70
Pasal 1545 KUHPerdata menegaskan apabila sesuatu barang tertentu yang dijanjikan musnah di luar salah pemiliknya maka persetujuan dianggap gugur dan
70 Mariam Darus Badrulzaman, op.cit., hlm.30-31.
siapa yang dari pihak telah memenuhi persetujuan dapat menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar menukar. Pasal 1553 KUHPerdata menyatakan pula bahwa selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja maka persetujuan gugur demi hukum.
Keadaan yang terjadi di luar kemampuan para pihak untuk mengatasinya dapat pula diperjanjikan terlebih dahulu pada saat para pihak merumuskan klausula perjanjian seperti bila terjadi kerusuhan, huru hara, pemberontakan, terorisme, peledakan, pemogokan, peperangan, bencana alam dan lain sebagainya. Termasuk pula pembagian risiko terhadap kegagalan untuk memenuhi ketentuan- ketentuan dalam perjanjian.
BAB III
PERJANJIAN PRODUKSI MINYAK BUMI PADA SUMUR-SUMUR TUA DI STRUKTUR BANYUBANG KECAMATAN JIKEN KABUPATEN BLORA JAWA TENGAH ANTARA KUD WARGO TANI MAKMUR DENGAN PT. PERTAMINA EP
A. Ketidakseimbangan Hak dan Kewajiban dalam Perjanjian Produksi Minyak Bumi pada Sumur-Sumur Tua di Struktur Banyubang Kecamatan Jiken Kabupaten Blora Jawa Tengah antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP
Wewenang untuk mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan pertambangan ada pada Negara dan wajib digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Undang-undang telah mengamanatkan penggunaan sumber daya alam terutama minyak dan gas bumi dalam berbagai peraturan yaitu:
a. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 beserta Amandemennya;
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 136, TLNRI 4152) sebagaimana telah berubah dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-1/2003, tanggal 21 Desember 2004 (Berita Negara RI Nomor 1 Tahun 2005);
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
e. Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua;
f. Peraturan Tata Kerja Migas Nomor 03/PTK/III/2009 tentang Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua.
Undang-Undang tentang minyak dan gas bumi yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mencabut Undang-Undang yang telah berlaku sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan dan Minyak Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PT. Pertamina EP). Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi membagi kegiatan pertambangan Migas menjadi kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui suatu Kontrak Kerja Sama yang harus diberitahukan kepada DPR. Sedangkan kegiatan usaha hilir dilaksanakan dengan izin usaha hulu. Pemerintah membentuk Badan Pelaksana untuk mengawasi dan mengendalikan kegiatan usaha hulu dan Badan Pengatur untuk mengawasi terhadap kegiatan usaha hilir. Hal ini dikarenakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan. Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa
Pertambangan dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Dalam sejarah industri di Indonesia sampai saat ini sub sektor minyak dan gas bumi telah terbukti dapat memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perekonomian nasional. Peranan tersebut sangat dirasakan mengingat minyak dan gas bumi berfungsi sebagai sumber energi, sumber devisa dan penerimaan negara, wahana alih teknologi, pendukung pengembangan wilayah, kesempatan kerja dan pendorong utama pertumbuhan sektor non migas.71 Dengan adanya peraturan tersebut, membuka peluang keterlibatan Pemerintah Daerah melalui KUD/BUMD dalam pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua yang ada di wilayahnya.
Latar belakang diusahakannya penambangan minyak bumi pada sumur tua dapat digambarkan sebagai berikut :
71 Bambang Supadiono, Hukum Pertambangan Migas di Indonesia, (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pendidikan dan Pelatihan Energi dan Sumber Daya Mineral, Akademi Minyak Dan Gas Bumi (AKAMIGAS, 2010), hlm 8.
Masyarakat dapat mengelola dan mengusahakan pertambangan minyak bumi pada sumur tua secara padat karya dengan peralatan sederhana setelah memperoleh izin dari pemegang Wilayah Kerja (WK). Pengelolaan ini untuk mengoptimalkan produksi minyak dalam suatu wilayah kerja dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi sumur tua (masyarakat lingkar tambang). Adapun yang menjadi landasan filosofinya adalah:
a. Meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar sumur tua;
b. Menambah produksi minyak bumi nasional;
c. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD);
d. Mengikutsertakan partisipasi masyarakat sekitar dalam wadah KUD/BUMD untuk mengusahakan sumur tua.72
Karakteristik sumur-sumur tua peninggalan Belanda secara umum adalah terbatasnya data-data lokasi sumur dan data-data produksi. Padahal data-data tersebut sangat dibutuhkan dan sangat penting manakala suatu sumur tua akan diproduksikan kembali. Ciri khas lain sumur tua adalah keberadaan sumur tua secara umum sudah tidak dapat dikenali dari permukaan tanah. Penyebabnya adalah fasilitas produksi sumur tua di permukaan tanah sudah hilang atau rusak. Sehingga perlu dilakukan kegiatan pencarian posisi sumur tua sebagai kegiatan pendahuluan. Permasalahan lain adalah rendahnya energi reservoir, rendahnya indeks produktivitas lapisan dan tingginya kadar air formasi yang ikut terproduksi.
72 Ibid., hlm. 12.
Dengan permasalahan tersebut membuat kegiatan eksploitasi sumur tua menjadi tidak ekonomis jika dilakukan dengan skala industri migas sehingga perlu dicarikan solusi lain agar sumur tua bisa dieksploitasi secara ekonomis. Kajian mengenai potensi atau prospek sumur tua menjadi aspek penting sebelum kegiatan pengusahaan dan pengelolaan. Persoalan mendasar untuk menentukan keekonomian suatu sumur adalah nilai cadangan dan adanya teknologi sederhana yang tepat guna.
Aspek yuridis yang memberi ruang dan perlindungan bagi kegiatan pengelolaan dan pengusahaan sumur tua perlu diperhatikan. Adanya payung hukum yang jelas akan menjamin iklim usaha dan investasi pada sektor ini. Dengan melihat kondisi dan perkembangan sekarang maka pengelolaan sumur tua merupakan usaha yang cukup potensial.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua mewajibkan kontraktor untuk mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua yang masih terdapat kandungan minyak bumi berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis. Dalam hal kontraktor tidak mengusahakan dan memproduksikan maka KUD/BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi setelah mendapat persetujuan dari Menteri ESDM. Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008 ini merupakan pembaharuan dari Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1285 Tahun 1996 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua.
Dalam pengusahaan sumur tua pada umumnya masyarakat menemukan sumur-sumurnya terlebih dahulu selanjutnya baru diusulkan untuk diusahakan melalui wadah KUD/BUMD. Sumur tua adalah sumur- sumur minyak bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksikan serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu wilayah kerja yang terikat kontrak kerjasama dan tidak diusahakan lagi oleh kontraktor.73 Dengan demikian ada 4 (empat) unsur atau ciri sumur tua yaitu :
a. Sumur yang dibor sebelum tahun 1970;
b. Pernah diusahakan;
c. Terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu Wilayah Kerja (WK);
d. Tidak diusahakan lagi oleh kontraktor.
Koperasi Unit Desa (KUD) adalah koperasi tingkat kecamatan yang wilayah usahanya mencakup lokasi sumur tua. Sedangkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah badan usaha tingkat Propinsi/Kabupaten/Kota yang didirikan dan seluruhnya sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan/atau Kota serta wilayah usahanya atau administratifnya mencakup lokasi sumur tua.74 Untuk dapat bekerjasama memproduksi minyak bumi, KUD/BUMD mengajukan permohonan kepada kontraktor dengan tembusan kepada Menteri ESDM cq. Direktur Jenderal
73 Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008.
74 Pasal 1 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008.
Minyak dan Gas Bumi dan Badan Pelaksana dengan melampirkan dokumen administrasi dan dokumen teknis. Pengajuan permohonan tersebut didasarkan atas rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dan disetujui oleh Pemerintah Propinsi dengan dilengkapi oleh dokumen administrasi dan dokumen teknis.75 Dokumen administrasi meliputi :
a. Akte pendirian KUD/BUMD dan perubahannya yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang;
b. Surat Tanda Daftar Perusahaan (STDP);
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. Surat keterangan domisili;
e. Rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dan disetujui oleh Pemerintah Propinsi setempat;
f. Surat pernyataan tertulis di atas materai mengenai kesanggupan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dokumen teknis meliputi:
a. Peta lokasi sumur tua yang dimohonkan;
75 Pasal 3 ayat (3) dan (4) Permen ESDM Nomor 01 Tahun 2008.
b. Jumlah sumur tua yang dimohonkan;
c. Rencana memproduksikan minyak bumi termasuk usulan imbalan jasa;
d. Rencana program keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup termasuk usulan penanggungjawab pelaksanaan;
e. Teknologi yang digunakan memproduksikan minyak bumi;
f. Kemampuan keuangan.
Kontraktor melakukan evaluasi terhadap permohonan KUD/BUMD apabila hasil evaluasi memenuhi persyaratan maka kontraktor menyampaikan permohonan tersebut kepada Badan Pelaksana akan tetapi apabila permohonan KUD/BUMD tidak memenuhi persyaratan maka semua dokumen akan dikembalikan dan akan dilaporkan kepada Badan Pelaksana. Apabila permohonannya disetujui maka kontraktor dan KUD/BUMD wajib menindaklanjuti dengan membuat perjanjian memproduksi minyak bumi. Memproduksi minyak bumi adalah usaha mengambil, mengangkat dan/atau menaikkan minyak bumi dari sumur tua sampai ke titik penyerahan yang disepakati oleh para pihak.76 Jangka waktu perjanjian tidak boleh melebihi sisa jangka waktu kontrak kerjasama dan diberikan paling lama 5 (lima) tahun serta dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
Badan Pelaksana akan menyampaikan permohonan KUD/BUMD yang memenuhi persyaratan kepada Menteri ESDM cq. Dirjen Migas untuk
76 Pasal 1 ayat (5) Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2008.
mendapatkan persetujuan disertai dengan pertimbangan teknis dan ekonomis. Selanjutnya Dirjen Migas atas nama Menteri ESDM memberikan persetujuan untuk memproduksi minyak bumi pada sumur tua kepada kontraktor melalui Badan Pelaksana. Namun apabila ditolak maka Dirjen Migas atas nama Menteri ESDM wajib mengembalikan permohonan kepada kontraktor melalui Badan Pelaksana dengan disertai alasan penolakannya. Persetujuan atau penolakan diberikan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
Sumber : PTK BP Migas 2009
Perjanjian produksi minyak bumi pada sumur tua antara KUD Wargo Tani Makmur dengan PT. Pertamina EP dibuat dan ditandatangani pada tanggal 24 Maret 2009 yang dilanjutkan dengan penyerahan sumur-sumur tua sebagaimana dalam Berita Acara Serah Kelola No. 112/EP 1000/2009-SO.
Sumur-sumur tua yang dikelola oleh KUD Wargo Tani Makmur di Struktur Banyubang dengan proyeksi peta: UTM Zone 49 S, Sferoid: WGS 1984 berjumlah 24 sumur.
Proyeksi Peta : UTM Zone 49 S Sferoid WGS 1984
No . | Sumur | Easting | Northing | Longitude | Latitude |
1. | Banyubang – 1 | 558073 | 9230637 | 111o 31' 32.62'' E | 6o 57' 36.12'' S |
2. | Banyubang – 2 | 558150 | 9230622 | 111o 31' 35.13'' E | 6o 57' 36.61'' S |
3. | Banyubang – 3 | 558153 | 9230623 | 111o 31' 35.23'' E | 6o 57' 36.57'' S |
4. | Banyubang – 4 | 557944 | 9230705 | 111o 31' 28.42'' E | 6o 57' 33.91'' S |
5. | Banyubang – 5 | 557965 | 9230763 | 111o 31' 29.10'' E | 6o 57' 32.02'' S |
6. | Banyubang – 6 | 557875 | 9230615 | 111o 31' 26.17'' E | 6o 57' 36.84'' S |
7. | Banyubang – 7 | 558153 | 9230621 | 111o 31' 35.23'' E | 6o 57' 36.64'' S |
8. | Banyubang – 8 | 558156 | 3230621 | 111o 31' 35.33'' E | 6o 57' 36.64'' S |
9. | Banyubang – 9 | 557943 | 3230703 | 111o 31' 28.38'' E | 6o 57' 33.98'' S |
10. | Banyubang –10 | 557674 | 9230667 | 111o 31' 19.62'' E | 6o 57' 35.16'' S |
11. | Banyubang –11 | 557967 | 9230532 | 111o 31' 29.17'' E | 6o 57' 39.54'' S |
12. | Banyubang –12 | 557966 | 9230760 | 111o 31' 29.13'' E | 6o 57' 32.12'' S |
13. | Banyubang –13 | 557867 | 9230519 | 111o 31' 25.91'' E | 6o 57' 39.97'' S |
14. | Banyubang –14 | 557689 | 9230620 | 111o 31' 20.11'' E | 6o 57' 36.69'' S |
15. | Banyubang –15 | 558061 | 9230562 | 111o 31' 32.24'' E | 6o 57' 38.56'' S |
16. | Banyubang –16 | 557669 | 9230580 | 111o 31' 19.46'' E | 6o 57' 37.99'' S |
17. | Banyubang –17 | 557563 | 9230665 | 111o 31' 16.00'' E | 6o 57' 35.23'' S |
18. | Banyubang –18 | 557870 | 9230615 | 111o 31' 26.01'' E | 6o 57' 36.84'' S |
19. | Banyubang –19 | 557767 | 3230553 | 111o 31' 22.65'' E | 6o 57' 38.87'' S |
20. | Banyubang –20 | 557576 | 9230670 | 111o 31' 16.43'' E | 6o 57' 35.06'' S |
21. | Banyubang –21 | 558098 | 9230704 | 111o 31' 33.44'' E | 6o 57' 33.94'' S |
22. | Banyubang –22 | 558166 | 9230730 | 111o 31' 35.65'' E | 6o 57' 33.09'' S |
23. | Banyubang –23 | 558020 | 9230687 | 111o 31' 30.89'' E | 6o 57' 34.49'' S |
24. | Banyubang –24 | 558077 | 9230638 | 111o 31' 32.75'' E | 6o 57' 36.09'' S |
Sumber : Lampiran A PERJANJIAN
Dari 24 (dua puluh empat) sumur tersebut yang berproduksi secara rutin ada 4 (empat) titik sumur dengan rata-rata produksi setiap hari 78
BPOD.77 Sepanjang tahun 2012 jumlah produksi yang dihasilkan mencapai 2.784.910 BPOD dan tahun 2013 sampai bulan Juli jumlah produksi mencapai 1.994.770 BPOD.78
Perjanjian produksi minyak bumi tersebut memuat ketentuan- ketentuan pokok sebagai berikut:
a) Jumlah dan lokasi sumur tua yang akan diproduksi;
b) Imbalan jasa memproduksi minyak bumi;
c) Jangka waktu, perpanjangan dan pengakhiran perjanjian;
d) Alat bantu mekanik atau teknologi yang digunakan;
e) Tenaga kerja;
f) Mutu dan spesifikasi minyak bumi;
g) Titik penyerahan minyak bumi;
h) Aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup;
i) Penyelesaian perselisihan.
Dalam Tesis ini Penulis menggunakan batasan dan pengertian yang mengacu pada perjanjian yang menentukan sebagai berikut :
77 Barrels of Oil per Day (BPOD) dalam bahasa Indonesia menjadi barrel minyak per hari merupakan perhitungan minyak yang dipompa dari suatu sumur atau areal tertentu yang memproduksi minyak bumi.
78 Laporan Kegiatan Laporan kegiatan pengusahaan minyak bumi pada sumur tua Lapangan Banyubang tanggal 1 Agustus 2013 kepada Gubernur Jawa Tengah.
a) Semua istilah yang dipergunakan dalam perjanjian ini mempunyai pengertian yang sama sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 01 Tahun 2008 kecuali ditentukan lain dalam perjanjian ini;
b) Pihak Pertama dalam perjanjian ini adalah PT. Pertamina EP dan Pihak Kedua adalah KUD Wargo Tani Makmur;
c) Hari adalah kurun waktu yang lamanya 24 (dua puluh empat) jam terus menerus yang dimulai pukul 00.00 WIB dan berakhir pada pukul 24.00 WIB hari yang sama;
d) Imbalan Jasa adalah sejumlah pembayaran atau kompensasi dari Pihak Pertama kepada Pihak Kedua;
e) Indonesian Crude Price (ICP) adalah formulasi harga Minyak Bumi di wilayah Indonesia yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi setiap bulan;
f) Titik Penyerahan adalah suatu tempat penyerahan Minyak Bumi dari Pihak Kedua kepada Pihak Pertama terletak di Pusat Pengumpul Produksi (PPP) Menggung, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah atau tempat lain yang disepakati secara tertulis oleh Para Pihak.
Dalam perjanjian ini KUD Wargo Tani Makmur akan memproduksikan, mengusahakan dan menyerahkan hasil minyak bumi dari
sumur-sumur tua yang terletak di Struktur Banyubang, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Selanjutnya KUD Wargo Tani Makmur akan memperoleh imbalan jasa dari PT. Pertamina EP yang didasarkan atas jumlah aktual minyak bumi yang diserahkan oleh KUD Wargo Tani Makmur. Imbalan jasa tersebut merupakan pengganti biaya operasi memproduksi minyak bumi dan jasa dalam pengusahaan sumur tua yang besarannya adalah Rp 1.193,93/liter dan hanya diberikan untuk minyak bumi yang diserahkan di titik penyerahan sesuai dengan mutu dan spesifikasi.
Hak dan Kewajiban KUD Wargo Tani Makmur dan PT. Pertamina EP dalam perjanjian produksi minyak bumi diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8. PT. Pertamina EP sebagai Pihak Pertama mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
1) Pihak Pertama berhak untuk mengawasi seluruh kegiatan Pihak Kedua dalam melaksanakan perjanjian termasuk meminta laporan secara berkala setiap 4 (empat) bulan atau setiap saat apabila diperlukan kepada Pihak Kedua termasuk pelaksanaan operasi dan jumlah minyak bumi yang diusahakan dan diproduksikan dari sumur-sumur tua oleh Pihak Kedua;
2) Pihak Pertama mengijinkan Pihak Kedua untuk menggunakan akses masuk dan keluar dari dan ke wilayah kerja dimana sumur tua berada;
3) Pihak Pertama atas biaya sendiri wajib mengajukan kalibrasi79 atas alat ukur legal yang dipergunakan untuk penyerahan minyak bumi dari Pihak Kedua kepada Pihak Pertama sesuai ketentuan yang berlaku;
4) Pihak Pertama wajib memberikan imbalan jasa kepada Pihak Kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Perjanjian ini;
5) Pihak Pertama berhak atas seluruh produksi minyak bumi dari sumur tua;
6) Pihak Pertama wajib melakukan pembinaan teknis dan pengawasan atas aspek operasional dan aspek keselamatan, kesehatan kerja dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pengusahaan dan pemroduksian minyak bumi dari sumur tua sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
7) Apabila setelah dilaksanakan ayat (6) di atas oleh Pihak Pertama, Pihak Kedua terbukti melakukan kesalahan dan/atau kelalaian untuk operasional sumur-sumur tua tertentu yang menyebabkan adanya gangguan lingkungan atau potensi kerugian bagi Pihak Pertama maupun bagi Negara maka Pihak Pertama berhak memberikan peringatan secara tertulis kepada Pihak Kedua dan apabila setelah dua kali peringatan tertulis Pihak Pertama, Pihak Kedua tetap melakukan kesalahan dan/atau kelalaian maka Pihak Pertama berhak selama jangka
79 Kalibrasi adalah pengujian instrumen/ alat ukur / kegiatan untuk menentukan kebenaran konvensional nilai penunjukkan alat ukur.
waktu perjanjian meminta pengembalian sumur tua yang dikelola oleh Pihak Kedua dengan pemberitahuan 30 (tiga puluh) hari sebelumnya kepada Pihak Kedua tanpa memberikan kompensasi apapun terhadap Pihak Kedua;
8) Dalam hal Pihak Kedua melakukan kesalahan dan/atau kelalaian sumur tua tertentu yang menyebabkan kematian dan/atau cacat tetap dan/atau menimbulkan kerusakan lingkungan yang berdampak besar dan penting serta tidak dapat dikendalikan (Dampak Fatal) maka Pihak Pertama berhak meminta pengembalian sumur tua tertentu tersebut kepada Pihak Kedua tanpa memberikan kompensasi apapun terhadap Pihak Kedua.
Dari ketentuan di atas maka PT. Pertamina EP mempunyai hak atas seluruh produksi minyak bumi yang berhasil diangkat dari sumur tua oleh KUD Wargo Tani Makmur dan selanjutnya diangkut dan diserahkan ke titik penampungan. Apabila KUD Wargo Tani Makmur melakukan kesalahan atau kelalaian operasional sumur-sumur tua yang menyebabkan adanya gangguan lingkungan atau potensi kerugian bagi PT. Pertamina EP maupun Negara dan sudah dua kali diberi peringatan tertulis maka PT. Pertamina EP berhak untuk meminta pengembalian sumur tua dengan tanpa memberikan kompensasi apapun. Sebaliknya PT. Pertamina EP wajib memberikan imbalan jasa, mengawasi kegiatan produksi minyak bumi dan melakukan kalibrasi atas alat ukur legal saat penyerahan minyak bumi.
Berdasarkan Pasal 8 KUD Wargo Tani Makmur sebagai Pihak Kedua dalam perjanjian produksi minyak bumi mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut :
1) Pihak Kedua berhak memperoleh akses dari Pihak Pertama untuk masuk dan keluar dari dan ke wilayah dimana sumur- sumur tua berada untuk melaksanakan perjanjian ini;
2) Pihak Kedua berhak menerima imbalan jasa dari Pihak Pertama sebagaimana diatur dalam Pasal 4 perjanjian ini;
3) Pihak Kedua wajib untuk menyediakan biaya, kemampuan teknologi dan tenaga kerja yang diperlukan untuk mengusahakan, memproduksikan dan mengangkut minyak bumi dari sumur tua sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian ini;
4) Pihak Kedua wajib bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup pada lokasi sumur tua yang diusahakannya dalam perjanjian ini sesuai dengan ketentuan dan persyaratan minimal yang ditetapkan oleh Pihak Pertama. Biaya operasional dalam kondisi normal yang timbul untuk melaksanakan hal tersebut menjadi beban Pihak Kedua;
5) Pihak Kedua wajib menunjuk penanggung jawab pelaksana teknis (kepala/wakil kepala teknik tambang) yang harus
mendapat persetujuan dan pengangkatan dari Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi;
6) Pihak Kedua wajib untuk menyerahkan seluruh produksi minyak bumi yang dihasilkan sumur tua dalam perjanjian ini kepada Pihak Pertama di Titik Penyerahan;
7) Pihak Kedua wajib membuat laporan berkala setiap 4 (empat) bulan atau setiap saat apabila diperlukan kepada Pihak Pertama berkaitan dengan jumlah minyak bumi yang diusahakan dan diproduksikan dari sumur tua dan status operasional pelaksanaan perjanjian ini;
8) Pihak Kedua wajib menyediakan sarana yang diperlukan untuk mengusahakan, memproduksikan dan menyerahkan minyak bumi dari sumur tua sampai ke Titik Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam perjanjian ini;
9) Pihak Kedua wajib menjaga, memelihara dan mengembalikan rona lingkungan dimana sumur tua berada dalam kondisi aman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pada saat berakhirnya perjanjian ini;
10) Pihak Kedua wajib memperoleh dokumen, ijin atau sertifikat yang diperlukan dari instansi yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan mengusahakan dan mengoperasikan sumur tua sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
11) Pihak Kedua wajib melaksanakan perjanjian ini sesuai dengan kaidah-kaidah keteknikan dan petunjuk teknis sesuai ketentuan Pemerintah dalam kegiatan usaha hulu migas untuk pengusahaan sumur tua;
12) Sewaktu-waktu selama dalam jangka waktu perjanjian, Pihak Kedua dapat mengembalikan setiap sumur tua yang tidak diproduksikan kepada Pihak Pertama;
13) Pada akhir tahun ke 3 (tiga) sejak berlakunya perjanjian, Pihak Kedua wajib mengembalikan kepada Pihak Pertama sumur tua yang tidak diusahakan atau yang telah diusahakan namun tidak berproduksi;
14) Dalam hal Pihak Kedua selama masa Perjanjian ini menemukan indikasi adanya gas bumi dari sumur tua, Pihak Kedua wajib mengambil langkah-langkah pengamanannya, melaporkan kepada Pihak Pertama dalam kesempatan pertama dan mengembalikan sumur tua tersebut kepada Pihak Pertama.
Jenis, standar dan mutu minyak bumi yang akan dipasarkan ditetapkan oleh Menteri ESDM dan dalam menetapkan standar dan mutu tersebut wajib mempertimbangkan perkembangan teknologi, kemampuan produsen, kemampuan dan kebutuhan konsumen, keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 9 mengatur mengenai alat bantu mekanik dan teknologi yang digunakan untuk memenuhi standar dan mutu minyak bumi. Penggunaan alat bantu mekanik dan teknologi dalam produksi minyak bumi ditentukan dengan klausula sebagai berikut:
1) Dalam memproduksikan dan mengusahakan minyak bumi dari sumur tua menggunakan alat bantu mekanik termasuk sarana yang diperlukan untuk mengangkut minyak bumi ke Titik Penyerahan dan teknologi yang disetujui oleh Pihak Pertama sebagaimana tertera dalam Lampiran D;
2) KUD Wargo Tani Makmur wajib membicarakan dan mendapat persetujuan Pihak Pertama apabila hendak mengubah alat bantu mekanik dan teknologi;
3) KUD Wargo Tani Makmur bertanggungjawab atas segala biaya dan kerugian yang ditimbulkan akibat penggunaan alat bantu mekanik dan teknologi yang diterapkan dalam perjanjian ini;
4) Pihak Kedua bertanggungjawab terhadap pemeliharaannya secara berkala dengan biaya sendiri.
Alat bantu dan teknologi yang digunakan sesuai dengan klausula perjanjian adalah:
1. Modifikasi peralatan reaktifasi sumur minyak bumi pada sumur tua.
a. Peralatan yang digunakan.
a) Pompa air 9 PK;
b) Motor penggerak gerabox 4,5 PK;
c) Pipa bor 1 ½ inchi 40 batang;
d) Mata bor 3 7/8 inchi;
e) Mata bor 2 ½ inchi;
f) Mata bor coring sesuai dengan lubang sumur.
b. Tata kerja penggunaan alat.
a) Melihat kondisi sumur;
b) Moving alat ke lokasi;
c) Pembenahan lokasi;
d) Membuat bak penampungan;
e) Persiapan operasional alat, meliputi menyiapkan air untuk pembersihan sumur, persiapan BBM yang digunakan (solar), pekerja menggunakan APD (Alat Pelindung Diri).
c. Antisipasi sumur mengeluarkan gas.
2. Alat-alat produksi.
a. Timba tradisional yang terbuat dari pipa besi ukuran 3”- 4”;
b. Tripod dibangun untuk operasi tarik timba;
c. Sling timba yang panjangnya disesuaikan dengan kedalaman sumur;
d. Truk Thames/Mesin Dhongpheng 24 PK;
e. Bak Penampung produksi;
f. Drum untuk penampungan minyak;
g. Truk tangki untuk pengangkut minyak bumi.
Selain penggunaan alat mekanik dan teknologi tersebut KUD Wargo Tani Makmur juga wajib menyerahkan minyak bumi dalam mutu dan spesifikasi yang ditentukan oleh PT. Pertamina EP. Pasal 11 menentukan klausula sebagai berikut :
1) Pihak Kedua wajib menyerahkan kepada Pihak Pertama minyak bumi yang diproduksikan dari sumur tua di Titik Penyerahan sesuai dengan mutu dan spesifikasi dalam Lampiran E. (Lampiran E menentukan untuk mutu dan spesifikasi adalah: BS & W : 0 – 0,5 %);80
2) Dalam hal mutu dan spesifikasi minyak bumi tidak sesuai maka Pihak Pertama dapat meminta kepada Pihak Kedua untuk melakukan treatment sampai memenuhi spesifikasi yang ditetapkan;
3) Dalam hal Pihak Kedua telah melakukan treatment akan tetapi mutu dan spesifikasi minyak bumi tetap tidak bisa memenuhi spesifikasi maka Pihak Kedua wajib menyerahkan minyak bumi kepada Pihak Pertama dengan pemberian imbalan jasa disesuaikan dengan aktual kuantitas minyak bersih (net oil).
80 BS & W, 0 – 0,5 % maksudnya adalah di dalam 100 volume minyak bumi terdapat maksimal 0,5 sedimen (partikel halus) dan air, baik yang berasal dari minyak itu sendiri atau masuk kedalamnya.
Dalam melaksanakan kegiatan produksi minyak bumi penggunaan alat dan mesin sangat dibutuhkan di samping tenaga kerja yang profesional di bidangnya. Hal tersebut di samping memberi kemudahan proses produksi juga menambah jumlah dan ragam sumber bahaya di tempat kerja. Maka akan terjadi pula lingkungan kerja yang kurang memenuhi syarat, proses dan sifat pekerjaan yang berbahaya.81 Seperti kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran dan pencemaran lingkungan.
Menurut Pasal 8 ayat (4), KUD/BUMD wajib untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup. Kewajiban ini termasuk pula penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup dan kewajiban pasca operasi pertambangan. Tanggungjawab dalam mengembangkan lingkungan hidup dan masyarakat lingkar tambang setempat diwujudkan dalam keikutsertaan mengembangkan dan memanfaatkan potensi kemampuan masyarakat setempat antara lain dengan cara memperkerjakan tenaga kerja dalam jumlah dan kualitas tertentu sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan serta meningkatkan lingkungan hunian masyarakat agar tercipta keharmonisan antara Kontraktor dengan masyarakat lingkar tambang di sekitarnya
Kontraktor mengalokasikan dana untuk kegiatan pengembangan lingkungan dan masyarakat sekitar lingkar tambang. Kegiatan tersebut dilakukan dengan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah diutamakan
81 www.depkes.go.id/index/php, diakses 15 Januari 2014.
untuk masyarakat lingkar tambang di daerah dimana eksploitasi dilaksanakan dan diwujudkan dalam bentuk natural berupa sarana dan prasarana fisik atau pemberdayaan usaha dan tenaga kerja setempat. Kontraktor juga wajib melakukan pembinaan teknis dan pengawasan atas aspek keselamatan, kesehatan kerja dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam kegiatan pengelolaan dan pengusahaan minyak bumi tersebut KUD Wargo Tani Makmur telah menyerap tenaga kerja lokal sebanyak 136 orang yang terdiri dari tenaga kerja laki-laki sebanyak 115 orang dan tenaga kerja perempuan sebanyak 21 orang.82 Bantuan juga diberikan kepada masyarakat di lingkungan sumur tua di Desa Banyubang dengan cara:
1) Memberikan fee kepada Desa Bangoan sebesar Rp 10,00/ liter karena Banyubang merupakan bagian wilayah dari Desa Bangoan, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora;
2) Memperbaiki sarana jembatan yang berada di Desa Tempelmahbang, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora;
3) Memberikan bantuan untuk kegiatan bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan budaya di Desa Bangoan dan desa-desa sekitarnya;
4) Menanam penghijauan di lingkungan sumur tua dengan bekerjasama dengan unsur Muspika Kecamatan Jiken.
Pasal 14 menentukan tentang keadaan kahar.
82 Ibid.