THE BREACH OF CONTRACT IN CAR HIRE PURCHASE
CIDERA JANJI PADA PERJANJIAN BELI SEWA MOBIL
THE BREACH OF CONTRACT IN CAR HIRE PURCHASE
XXXXXXX XXXXXX P0903205014
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2007
TESIS
CIDERA JANJI DALAM PERJANJIAN BELI SEWA MOBIL
Disusun dan diajukan oleh XXXXXXX XXXXXX
Nomor Pokok P0903205014
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis pada tanggal 11 September 2007
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui Komisi Penasihat,
Prof. Xx. Xx. Xxxxxxxx Xxxxx, SH Xx. X. Xxxxxx Xxxx, SH, MH Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin,
Prof. Dr. Muh. Xxxxxx Xxxxxx, SH, MH P rof. Dr. dr. Abd. Xxxxx Xxxxx, X.Xx.
Judul penelitian : CideraJanji Dalam Perjanjian
Beli Sewa Mobil
Nama Mahasiswa : Xxxxxxx Xxxxxx
Nomor Pokok : P0903205014
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Perdata
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Xx. Xx. Xxxxxxxx Xxxxx, SH Xx. X. Xxxxxx Xxxx, SH, MH
Ketua Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi IlmuHukum
Prof. Dr. Muh. Xxxxxx Xxxxxx, SH, MH
CIDERA JANJI DALAM PERJANJIAN BELI SEWA MOBIL
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magiste r
Program Studi Ilmu Hukum
Disusun dan diajukan oleh
XXXXXXX XXXXXX
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2007
ABSTRAK
XXXXXXX XXXXXX. Cidera Janji Dalam Perjanjian Xxxx Xxxx Xxxxx (di bimbing oleh Xxxxxxxx Xxxxx dan Xxxxxx Xxxx).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) isi perjanjian para pihak (penjual sewa dan pembeli sewa) menurut ketentuan hukum yang ada, dan pelaksanaannya dalam perjanjian beli sewa mobil. (2) upaya- upaya hukum yang ditempuh para pihak terhadap penyelesaian sengketa cidera janji dalam perjanjian beli sewa mobil.
Penelitian ini dilaksanakan di Kotamadya Makassar. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah “purposive sampling” berdasarkan perjanjian beli sewa. Data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap dua puluh responden daripihak pembeli sewa dan dua perusahaan yang menjalankan perjanjian beli sewa. Data dianalisis dengan teknik kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam perjanjian beli sewa mobil antara pihak penjual sewa dengan pihak pembeli sewa, harus berdasarkan KUHPerdata tentang hak dan kewajiban para pihak. Akan tetapi, perjanjian beli sewa yang mencantumkan klausula baku tidak boleh bertentangan dengan Pasal 18 UUPK tentang klausula baku. Perjanjian beli sewa yang terjadi dimasyarakat belum sesuai dengan peraturan yang ada dan banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Upaya hukum yang ditempuh oleh pihak penjual sewa terhadap penyelesaian sengketa cidera janji yang umumnya di lakukan oleh pihak pembeli sewa adalah memberi kesempatan kepada pembeli sewa untuk memenuhi kewajibannya membayar angsuran yang tertunggak dengan tenggang waktu satu bulan dan apabila salah satu pihak yang membatalkan perjanjian karena alasan telah terjadi cidera janji oleh pihak pembeli sewa maka harus dengan putusan hakim termasuk ditariknya kembali mobil dari kekuasaan pihak pembeli sewa kedalam kekuasaan pihak penjual sewa.
ABSTRACT
XXXXXXX XXXXXX. The Breach Of Contract in Car Hire Purchase (Supervised By Xxxxxxxx Xxxxx and Xxxxxx Xxxx).
The aim of the study was to discover the agreement between the hire purchase parties according to the effective law and its implementation and legal efforts done by the parties in settling the dispute in the breach of contract.
The study was conducted in Makassar municipality. The data were collected through interview. The number of respondent was 20 people from both parties selected by purposive sampling. The data were analyzed qualitatively.
The results of the study indicate that the contract is based on civil code on the rights and obligations of both parties. The contract stated the standard clause may not contradict to article 18 UUPK on standard clause. There are many deviations in the implementation of the contract. Therefore, the contract is not in accordance with the regulations mentioned above due to the deviations. Legal efforts that can be done by both parties in the settlement of the dispute in the breach of contract are by giving a chance to the hiring party to fulfill his obligation by paying the installment arrears in a grace period for one month. When one of the parties revoked the agreement due to the breach of contract by the hiring party, the settlement of the dispute must be done by judge’s verdict.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan Karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
Xxxxxan yang melatarbelakangi tajuk permasalahan ini timbul dari hasil pengamatan penulis terhadap banyaknya cidera janji dalam perjanjian beli sewa mobil dari proses terjadinya sampai pelaksanaannya. Penulis bermaksud memberikan gambaran mengenai pentingnya pengaturan cidera janji dalam suatu perjanjian.
Banyak kendala yang penulis hadapi dalam penyusunan tesis ini. Namun berkat Rahmat Allah Swt serta arahan dari pembimbing serta pihak-pihak yang telah memberikan bantuannya, maka penyusunan tesis ini dapat penulis selesaikan. Dalam kesempatan ini, penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Xx. Xx. Xxxxxxxx Xxxxx, S.H. sebagai Ketua Komisi Penasihat dan Xx. Xxxxxx Xxxx, S.H, M.H. sebagai anggota Komisi Penasihat, atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan sejak pengembangan minat terhadap permasalahan penelitian ini, pelaksanaan penelitiannya sampai dengan penyusunan tesis ini, tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Xxxxxxx Xxxxxxxx dari Astra Crediet Companies Cabang Makassar dan Xxxxxx Xxxxxx dari PT. bank Mega Tbk Cabang Makassar yang telah banyak membantu dalam rangka pengumpulan data dan informasi, serta ucapan terimakasih kepada
Xxxx. Xx. Xxxxxxxxx Xxxxx, S.H, M.H., Prof. Xx. Xxxxxxxx, S.H, X.X, dan Xx. Xxxxx Xxxxxxxx, S.H, M.H. selaku tim dosen penguji.
Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada Suami tercinta Xxxxxxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxx Nagida Xxxxxx Xxxxx atas doa restu dan pengertiannya selama ini. Terimakasih penulis sampaikan kepada Almarhum Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxx dan ibunda Xxxxxx Xxxx atas doa dan dukungan moril maupun materiil selama ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan Jurusan Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Perdata Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Angkatan 2005, serta seluruh pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, tetapi telah banyak memberikan bantuannya selama ini, yang sangat penulis hargai.
Terimakasih.
Makassar, September 2007
Xxxxxxx Xxxxxx
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 8
C. Tujuan Penelitian 8
D. Kegunaan Penelitian 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10
A. Pengertian Perjanjian 10
1. Jenis-Jenis Perjanjian 12
2. Tahapan Perjanjian 19
3. Syarat Sahnya Perjanjian 21
4. Unsur-Unsur Perjanjian 27
5. Asas-Asas Umum Perjanjian 28
6. Prestasi 33
B. Pengertian Cidera Janji 35
C. Overmacht/Keadaan Memaksa 39
D. Beli Sewa 41
E. Perjanjian Standar Kontrak/ Baku 49
F. Leasing / Lembaga Pembiayaan 55
G. Kerangka Pemikiran 62
H. Definisi Operasional 63
BAB III METODE PENELITIAN 64
A. Lokasi Dan Waktu Penelitian 64
B. Tipe Dan Sifat Penelitian 64
C. Populasi Dan Sampel 65
D. Jenis Dan Sumber Data 65
E. Teknik Pengumpulan Data 66
F. Analisis Data 66
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 68
A. Perjanjian Menurut Ketentuan Hukum Yang Berlaku 68
1. Proses Terjadinya Perjanjian Beli Sewa 68
2. Xxxxxx Xxx Substansi Perjanjian Beli Sewa 70
3. Pelaksanaan Perjanjian Beli Sewa 74
B. Penyelesaian Cidera Janji Dalam Perjanjian Beli Sewa 89
BAB V PENUTUP 97
A. Kesimpulan 97
B. Saran 98
DAFTAR PUSTAKA
1. Pengetahuan Responden Terhadap Substansi Perjanjian
Beli Sewa Mobil Di Kota Makassar. 76
2. P
elaksanaan Kewajiban Oleh Para Pihak Dalam Perjanjian
Beli Sewa Mobil di Kota Makassar. 80
3. C
ara Penyelesaian Cidera Xxx xx Perjanjian Beli Sewa Mobil
Di Kota Makassar. 92
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dalam suatu masyarakat terlihat pada perkembangan lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik itu di bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Pengaruh arus globalisasi berdampak luas terhadap hukum perjanjian di Indonesia sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan di semua segi kehidupan berbangsa dan bernegara, oleh karena itu peran serta swasta dalam menunjang pelaksanaan pembangunan akan semakin perlu ditingkatkan pula. Keadaan tersebut baik langsung maupun tidak langsung menuntut lebih aktifnya kegiatan usaha antara lain di bidang atau sektor perdagangan otomotif (mobil).
Berbagai upaya dalam meningkatkan dan memperluas bidang usaha atau sektor perdagangan otomotif akhir-akhir ini. Perluasan usaha tersebut membutuhkan lebih banyak variasi sistem pemasaran barang dalam dunia usaha sebagai akibat dari perkembangan kehidupan perekonomian pada umum nya dan industri khususnya. Variasi sistem pemasaran tersebut dapat berupa jual beli, jual beli dengan angsuran, leasing maupun beli sewa. Tentunya hal-hal yang menyangkut
pelaksanaan jual beli, jual beli dengan angsuran, leasing dan beli sewa melahirkan hak dan kewajiban yang diatur dalam suatu perjanjian.
Dalam Pasal 1457 KUHPerdata diatur tentang pengertian jual beli sebagai berikut. ”perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Jual beli dengan angsuran adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima pelunasan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali angsuran atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan oleh penjual kepada pembeli.
Leasing menurut Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia. No: KEP=122/MK/IV/2/1974, No: 32/M/SK/2/1974, No. 30/Kpb/I/74
tentang Perizinan Usaha Leasing. Berdasarkan Pasal I, leasing adalah
setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optio) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal ya ng bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang perizinan Kegiatan Usaha Beli Sewa, Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa disebutkan bahwa, beli sewa adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.
Berdasarkan definisi diatas dengan demikian terdapat perbedaan jual beli, jual beli secara angsuran, beli sewa dan leasing adalah dalam perjanjian jual beli hak milik beralih kepada pembeli pada saat bersamaan penyerahan barang dan pelunasan harga. Pada perjanjian jual beli dengan angsuran hak milik sudah beralih kepada pembeli, pada saat penyerahan barang, meskipun harga belum lunas. Sedangkan dalam perjanjian beli sewa meskipun barang sudah diserahkan kepada pembeli sewa, tetapi hak milik baru beralih dari penjual sewa kepada pembeli sewa setelah angsuran terakhir dibayar lunas oleh pembeli sewa. Selanjutnya, dalam perjanjian leasing, lessor menyediakan dana untuk pembelian barang yang dibutuhkan lessee. Lessor membeli barang dari supplier. Pada akhir masa leasing, lessee dapat menggunakan hak opsinya (hak pilih) untuk membeli barang yang bersangkutan, sehingga hak milik atas barang tersebut beralih dari lessor kepada lessee.
Menurut Xxxx X. Xxxxxxx (1990:19), perkembangan leasing di Indonesia dimulai pada tahun 1974, hal ini ditandai dengan keluarnya
beberapa peraturan yang khusus mengatur tentang pranata hukum leasing. Dalam kurun waktu tersebut, leasing belum begitu dikenal masyarakat, dan perkembangannyapun tidak begitu pesat. Dari tahun 1980-1990 perkembangannya cukup pesat, dan puncaknya tahun 1991 sampai sekarang. Salah satu perubahan yang terjadi adalah diubahnya sistem dari operating method menjadi financial method. Dalam praktiknya perjanjian beli sewa saat ini dilakukan oleh leasing atau dikenal dengan nama lembaga pembiayaan.
Dewasa ini sistem pembiayaan sudah menjadi bagian yang sangat umum dalam praktik di Indonesia baik perseorangan, perusahaan, dan industri. Sistem pembiyaan yang berla ku di Indonesia cukup unik karena penggabungan antara leasing dan beli sewa.
Berdasarkan Hire -purchase Act 1965, beli sewa adalah tindakan jual beli dengan bentuk cicilan, dimana hak opsi ada pada penyewa untuk membeli barang yang disewanya.
Menurut Xxxxxxxxx (2004 : 64) “Beli Sewa adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, akan tetapi karena Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka, maka para pihak boleh membuat perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata. Perjanjian yang diatur secara khusus dalamKUHPerdata disebut perjanjian nominat sedangkan perjanjian yang tidak diatur dalam Buku III KUHPerdata disebut perjanjian innominat. Menurut ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata
setiap perjanjian nominat maupun perjanjian innominat tunduk kepada ketentuan umum tentang perjanjian”.
Salah satu perjanjian innominat adalah perjanjian beli sewa mobil yang terjadi di masyarakat. Perjanjian beli sewa adalah suatu perjanjian yang mengikat antara pihak penjual sewa dengan pembeli sewa. Dalam perjanjian ini di dahului dengan melihat kendaraan bermotor antara pihak penjual sewa yang mempunyai kendaraan bermotor dan pembeli sewa yang akan melaksanakan perjanjian beli sewa. (Xxxx Xxxxxxx, xxxxxxx.xxxxxxxxx.xx.xx, akses 19 April 2007).
Dalam perjanjian beli sewa hak milik atas barang masih berada
pada penjual sewa sebelum harga dilunasi pembeli sewa. Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx (1981 : 85): “Pokoknya persetujuan dinamakan sewa-menyewa barang, dengan akibat bahwa si penerima tidak menjadi pemilik, melainkan pemakai belaka. Jika/bila uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga pembelian, maka si penyewa beralih menjadi pembeli, yaitu barang menjadi miliknya. Dengan demikian penjual sewa berhak menarik kembali barang dari pembeli sewa, jika pembeli sewa cidera janji dalam melakukan cicilan pembayaran.
Berdasarkan putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia Tanggal 16 Desember 1957 dalam perkara NV. Handelsmaatchappij L Auto (penggugat) melawan Xxxxxx (tergugat), dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor: 34/KP/II/80 tentang Perizinan Beli
sewa (Hire Purchase, Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa (Renting). Aturan itulah yang menjadi landasan hukum beli sewa di Indonesia.
Dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor: 34/KP/II/80 tentang Perizinan Beli Sewa (Hire Purchase, Jual Beli dengan Angsuran, dan Sewa (Renting), menyatakan bahwa hubungan antara pihak-pihak harus diikat dalam suatu perjanjian. Dengan demikian untuk perbuatan perjanjian beli sewa di dalamnya harus mengatur hak, kewajiban, dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan jelas. Khusus mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak dengan jelas telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 Pasal 4, 5, 6, dan 7.
Ketentuan mengenai hak dan kewajiban dari kedua belah pihak bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum yang seimbang sehingga para pihak yang terlibat dalam proses perjanjian terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya. Oleh sebab itu perlunya proses pembuatan perjanjian yang melibatkan semua pihak, sehingga dapat menghindari ketentuan-ketentuan perjanjian yang merugikan salah satu pihak seperti timbulnya ketidakseimbangan posisi antar kedua belah pihak.
Namun dalam kenyataannya pros es pembuatan perjanjian hanya ditentukan oleh salah satu pihak (penjual sewa) yang menentukan isi perjanjian adalah penjual sewa. Pembeli sewa hanya membaca dan menandatangani perjanjian tersebut. Hal ini terlihat ketika terjadinya permasalahan pembayaran kredit antara pihak leasing PT OMF (penjual
sewa) dengan debitor (pembeli sewa). PT OMF yang menyita kendaraan secara paksa dengan alasan terlambat membayar cicilan. Bahkan, cicilan yang telah dibayarkan dianggap pihak PT OMF (penjual sewa) sebagai titipan sehingga pokok hutang tetap seperti semula. (WASPADA Online, akses 30 April 2007). Hal ini menimbulkan masalah dalam hubungan antara pihak penjual sewa dan pembeli sewa dalam sistem beli sewa.
Menurut Xxxxxxxxx, ini sengaja dilakukan sebagai strategi pihak kreditor menjebak konsumen. Pengusaha leasing (penjual sewa) tidak punya wewenang mengeluarkan surat penarikan atau penyitaan barang terhadap konsumen yang lalai melunasi kewajibannya, secara hukum sahnya eksekusi dan penyitaan harus melalui proses pengadilan. Oleh karena itu, masyarakat yang keberatan jika mobilnya ditarik paksa, diimbau agar melaporkannya ke polisi.(WASPADA Online, akses 30 April 2007)
Dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh pelaksanaan perjanjian beli sewa mobil apabila terjadi cidera janji yang dilakukan oleh pihak pembeli sewa.
1. Bagaimanakah perjanjian beli sewa mobil menurut ketentuan dan bagaimana pelaksanaannya?
2. Upaya hukum apakah yang akan di tempuh pihak penjual sewa jika ternyata pihak pembeli sewa melakukan cidera janji dalam perjanjian beli sewa mobil?
C. Tujuan Penelitian.
1. Untuk mengetahui isi perjanjian para pihak (penjual sewa dan pembeli sewa) menurut ketentuan hukum yang ada, dan pelaksanaannya dalam perjanjian beli sewa mobil.
2. Untuk mengungkapkan upaya -upaya hukum yang ditempuh para pihak terhadap penyelesaian sengketa cidera janji dalam perjanjian beli sewa mobil.
D. Kegunaan Penelitian.
Hasil Penelitian ini di harapkan:
1. Kegunaan Teoritis: Hasil Penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk menambah, memperluas dan memperdalam serta pengembangan ilmu pengetahuan pada umum nya dan ilmu
hukum pada khususnya cidera janji dalam perjanjian beli sewa mobil.
2. Kegunaan Praktis: Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masuka n bagi para pihak yang mengadakan
perjanjian beli sewa mobil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perjanjian
Berbagai istilah dalam kepustakaan hukum Indonesia menterjemahkan kata “verbintenis” yang merupakan pengambilalihan dari kata “obligation” dalam Code Civil Perancis disamakan dengan istilah perikatan dan “overeenkomst” dalam Buku III KUHPerdata disamakan dengan istilah perjanjian.
Xxxxxx Xxxxxx (1980:7,14), istilah perjanjian untuk “verbintenis” dan untuk “overeenkomst” diterjemahkan dengan istilah persetujuan. Mengamati penguraian seperti yang telah dipaparkan oleh beberapa ahli hukum terhadap terjemahan Buku III KUHPerdata , maka lahirlah perikatan, perutangan serta perjanjian untuk “verbintenis” dan untuk “overeenkomst” melahirkan istilah perjanjian dan persetujuan.
Subekti (1982:122), mengemukakan Buku III KUHPerdata berjudul “perihal perikatan” perkataan perikatan “verbintenis” mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian sebab dalam Buku III KUHPerdata diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak
berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Sebagian besar dari Buku III KUHPerdata ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisikan hukum perjanjian. Penjelasan, menunjukkan bahwa perikatan-perikatan dapat lahir dari persetujuan atau perjanjian dan juga dapat lahir karena kehendak undang-undang. Perikatan merupakan pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah peristiwa hukum konkrit. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis cenderung menggunakan istilah perjanjian dalam pembahasan selanjutnya.
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxx (1994:2), perjanjian adalah hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum dari suatu perjanjian. Pengertian-pengertian yang dimaksud disimpulkan bahwasanya hukum perjanjian berada dalam lapangan hukum harta kekayaan. Suatu perjajian paling sedikit menimbulkan satu hak dan satu kewajiban, juga dapat menimbulkan satu atau beberapa perjanjian, tergantung dari jenis perjanjiannya. Perjanjian merupakan hubungan hukum, dalam arti bahwasanya hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup didasarkan atas kesopanan, kepatutan dan kesusilaan.
Perjanjian sebagai sumber perikatan berbeda dari sumber perikatan lain yaitu undang-undang, berdasarkan pada sifat kesukarelaan dari pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi terhadap pihak lawannya dalam perikatan tersebut. Menurut Xxxxxxx Xxxxxxx danKartini Xxxxxxx (2003:2), bahwa dalam perjanjian pihak yang wajib untuk
melakukan suatu prestasi (debitor) dapat menentukan terlebih dahulu dengan menyesuaikan pada kemampuannya untuk memenuhi prestasi dan untuk menyelaraskannya dengan hak dan kewajiban yang ada pada lawan pihaknya, apa, kapan, dimana, dan bagaimana, ia akan memenuhi prestasinya tersebut. Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu. Jadi, perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun secara tulisan.
Menurut Xxxxx X.X (2003:168), perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis perjanjian adalah dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai lebih tinggi.
1. Jenis-Jenis Perjanjian .
Rumusan tentang perjanjian dapat dilihat pada Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal ini banyak mendapat sorotan para sarjana hukum, namun menjadi dasar hukum yang tidak terpisahkan dari Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata yang mengatur. “Segala perikatan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya “. Menurut Xxxxx XX (2003:156) ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. menentukan bentuk perjanjian, yang tertulis atau lisan.
Sebenarnya yang dimaksud oleh Pasal tersebut tidak lain dari persyaratan bahwa orang leluasa untuk mengadakan perjanjian apa saja asal tidak melanggar Undang-undang, ketertiban umum , dan kesusilaan yang diatur dalam bagian khusus Buku III KUHPerdata. Namun dapat dibolehkan mengenyampingkan peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam Buku III KUHPerdata diperuntukkan selama para pihak berkontrak tidak membuat peraturan sendiri. Peraturan-peraturan dalam Buku III KUHPerdata pada umumnya merupakan “hukum pelengkap” (anvullend recht).
Perjanjian pada umumnya tidak terikat pada bentuk (format) tertentu. Perjanjian dapat dibuat secara lisan serta dapat pula dibuat secara tertulis. Hal ini dimaksudkan guna dapat dijadikan sebagai alat pembuktian manakala terjadi perselisihan pada apa yang diperjanjikan. Xxxxxxxxan lahir karena adanya kesepakatan terhadap kesamaan kehendak atau consensus dari para pihak. Perjanjian dalam hal tertentu mensyaratkan bentuk tertulis dimaksud untuk tidak semata -mata alat pembuktian tetapi merupakan syarat bagi adanya perjanjian.
Bentuk perjanjian pada umumnya mengenal bentuk-bentuk
perjanjian mulai yang paling sederhana, masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi dalam perjanjian tersebut, hingga pada perjanjian yang paling rumit.
Dalam KUHPerdata jenis -jenis perjanjian seperti yang dikemukakan Subekti (1979:28-31), sebagai berikut:
a. Perjanjian bersyarat (voorwaardeljk) adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi, misalnya seorang berjanji akan membeli mobil seseorang bila ia berhasil lulus ujian.
b. Perjanjian yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu (tijdsbepaling) adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dtentukan datangnya. Misalnya meninggalnya seseorang. Contohnya: Perjanjian perburuhan, hutang wesel dan lain-lain.
c. Perjanjian yang membolehkan memilih (alternative), yaitu perjanjian dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berutang diserahkan yang mana akan dilakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah memberi kuda atau mobil.
d. Perjanjian tanggung menanggung (hoofdelijk atau solidair ), yaitu suatu perjanjian dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan pada satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya.
e. Perjanjian yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. Suatu perjanjian yang dapat dibagi dan tidak, tergantung kepada kemungkinan atau tidaknya membagi prestasi. Hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian.
f. Perjanjian dengan penetapan hukuman (strafbeding), yaitu untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah melalaikan kewajibannya. Dalam praktik banyak dipakai perjanjian dimana si terhutang dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak menepati kewajibannya.
Jenis -jenis perjanjian menurut Xxxxxxx (Xxxxxxxx Xxxxxx, 1994:48- 51) adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian timbal balik, timbal balik sempurna, dan sepihak.
a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian dimana kedua belah pihak timbul kewajiban pokok, seperti jual beli, sewa menyewa, penjual harus menyerahkan barang yang dijual sedangkan pembeli membayar harga dari barang itu, yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan dari barang yang disewakan, penyewa membayar harga sewanya. Prestasi kedua belah pihak kira -kira adalah seimbang.
b. Perjanjian timbal balik tidak sempurna (Perjanjian dua pihak secara kebetulan) dimana salah satu pihak timbul prestasi pokok sedangkan pihak lain ada kemungkinan untuk kewajiban sesuatu tanpa dapat dikatakan dengan pasti bahwa kedua prestasi itu adalah seimbang, misalnya perjanjian penitipan barang.
c. Perjanjian sepihak adalah hanya salah satu pihak saja yang mempunyai kewajiban pokok, contohnya perjanjian pinjam pakai.
2. Perjanjian yang dibuat dengan Cuma-Cuma atau dengan alas
hak yang membebani.
Perjanjian yang dibuat dengan cuma-cuma adalah perjanjian dimana menurut hukum salah satu pihak saja yang menerima keuntungan, contoh hadiah. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang satu selalu ada kontra prestasi dari pihak lain, kedua prestasi itu saling berhubungan.
3. Perjanjian bernama, perjanjian tidak bernama dan perjanjian campuran.
Sebenarnya perjanjian itu bernama atau tidak adalah berdasar
apakah ia diatur tersendiri dalam undang-undang atau tidak, dan bukan karena ia mempunyai nama tertentu. Sebab ada
perjanjian yang mempunyai nama tertentu tapi tidak diatur dalam undang-undang, misalnya: perjanjian beli sewa.
Perjanjian campuran, yaitu perjanjian yang mempunyai sifat-sifat yang terdapat dalam beberapa perjanjian bernama. misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamarnya kemudian menyediakan makan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan atau mencuci makanan (perjanjian untuk melakukan jasa).
4. Perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaan.
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk menyerahkan hak milik (Hak Eigendom)
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan yang melekatkan kewajiban kepada kedua belah pihak.
5. Perjanjian konsensuil dan riil.
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang berdasar kesepakatan atau persesuaian kehendak.
Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang terjadi tidak hanya
berdasar persesuaian kehendak saja tetapi ada penyerahan nyata, misalnya penitipan barang (Pasal 1694 KUHPerdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata ) dan pinjam mengganti (Pasal 1754 KUHPerdata).
Di samping pembedaan perjanjian tersebut di atas masih ada lagi perjanjian-perjanjian yang sifatnya khusus:
a. Perjanjian liberatoir (kebalikan dari perjanjian obligatoir) yaitu perjanjian untuk membebaskan suatu kewajiban yang sudah ada, misalnya pembebasan hutang (Pasal 1438 KUHPerdata), atau pembaharuan utang (Pasal 1413 KUHPerdata).
b. Perjanjian pembuktian dan perjanjian penetapan.
Perjanjian penetapan adalah perjanjian untuk menetapkan apa yang akan berlaku antara para pihak tanpa ada maksud untuk menimbulkan hak dan kewajiban yang baru. Sifat perjanjian ini tidak obligatoir tetapi deklaratif dan tidak menimbulkan hal baru tetapi menetapkan apa yang dianggap hubungan hukum yang terjadi antara para pihak.
Rutten menyatakan bahwa perjanjian penetapan ini untuk mengakhiri sesuatu yang tidak pasti dalam hubungan hukumnya dan untuk mencegah ketidakpastian itu. Misalnya peraturan ganti rugi dalam asuransi, Dalam KUHPerdata Pasal 1851 mengenai dading.
c. Perjanjian untung-untungan.
Perjanjian adalah suatu perjanjian spekulatif, salah satu pihak ada kewajiban yang tetap dengan harapan adanya kemungkinan akan menerima keuntungan, misalnya
xxxxxxxxxx xxxxxxxx, Pasal 1774 KUHPerdata yaitu mengenai untung dan rugi tergantung dari peristiwa yang belum pasti.
d. Perjanjian Hukum Publik (Publiekrechtelijk).
Perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik. Penguasa dalam suatu perjanjian dapat bertindak sebagai pihak tetapi kadang-kadang penguasa dalam pejanjian dapat bertindak sebagai penguasa, misalnya memberikan konsensi disini penguasa mengadakan perjanjian memberikan izin untuk mengadakan Exploitasi kepada suatu perusahaan.
2. Tahapan Perjanjian.
Sebelum terlaksana suatu perjanjian biasanya di dahului dengan berbagai perundingan. Xxx Xxxxx dalam Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx (1994:36) mengemukakan tahapan pembuatan perjanjian yang harus dilalui oleh para pihak sebagai berikut:
a. Pra kontrak, pada tahap ini terjadi negosiasi untuk mempertemukan penawaran dan penerimaan yang melahirkan consensus.
b. Kontraktual, pada tahap ini yang dibicarakan adalah mengenai pelaksanaan kontrak, misalnya hak dan kewajiban para pihak, risiko, termasuk jika terjadi overmacht yang kemungkianan terjadi.
c. Post kontrak, yang dibicarakan mengenai hapusnya kontrak.
Pasal 1339 KUHPerdata harus dikaitkan dengan Pasal 1347 KUHPerdata yang juga mengatur isi perjanjian:
“Persetujuan hanya untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang- undang”.
Pasal 1347 KUHPerdata:
“Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan (bestendig gebruikelijk beding) dianggap secara diam -diam dimasukkan didalam perjanjian meskipun tidak tegas dinyatakan”.
Menurut Xxxxx (2003:168), untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosisasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai. Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi beberapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prakontrak
a. Negosiasi;
b. Memorandum of Understanding (MoU);
c. Studi kelayakan;
d. Negosiasi lanjutan;
2. Kontrak
a. Penulisan naskah awal;
b. Perbaikan naskah;
c. Penulisan naskah akhir;
d. Penandatanganan;
3. Pasca Kontrak
a. Pelaksanaan;
b. Penafsiran;
c. Penyelesaian sengketa.
Berdasarkan penjelasan Xxx Xxxxx dan Xxxxx X.X mengenai tahapan perjanjian,post kontrak atau pasca kontrak menurut penulis dengan pelaksanaan kontrak sampai dengan waktu yang telah ditentukan, maka kontrak tersebut hapus dengan sendirinya. Post kontrak atau pasca kontrak menurut penulis adalah pelayanan atau hubungan yang baik para pihak. Misalnya dalam kontrak beli sewa, tahapan pasca kontrak adanya layanan purna jual.
3. Syarat Sahnya Perjanjian.
Sahnya suatu perjanjian apabila memenuhi unsur-unsur atau syarat-syarat sebagaimana yang diatur undang-undang. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur, bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk memuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal (causa yang diperkenankan).
Perlu diketahui syarat yang pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif karena menunjuk kepada subjeknya sedangkan syarat ketiga dan keempat menunjuk kepada materi atau objek yang diperjanjikan. Keempat syarat tersebut terbagi dua terdiri dari dua syarat, yaitu; pertama yang dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat ini menunjuk kepada subjeknya atau orang yang mengadakan perjanjian, kedua yang dinamakan syarat objektif, karena kedua syarat ini menunjuk pada materi atau objek yang diperjanjikan.
Kata sepakat sebagaimana yang dikemukakan undang-undang dalam hal melakukan perjanjian, dapat berarti bahwasanya kedua belah pihak yang terlibat dalam satu perjanjian mempunyai kebebasan kehendak. Menurut Xxxxxx Xxxx (2005:12), Kesepakatan para pihak merupakan unsur untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan. Terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas, maupun dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami/dimengerti oleh para pihak, bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan.
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx (1983:98), melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende welsverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan ekseptasi (acceptatie).
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxx (1994:56), ada berbagai pendapat para sarjana mengenai saat-saat terjadi kesepakatan, yaitu :
1. Teori pernyataan : kesepakatan terjadi pada saat yang menerima tawaran menulis surat atau telegram, telex, yang menyatakan ia menerima tawaran itu. (Uitingstheorie).
2. Teori pengiriman : Kesepakatan terjadi pada saat surat atau telegram dikirim kepada yang menawarkan bahwa tawarannya diterima (verzendtheorie) atau yang menerima taaran mengirrim surat, telegram, telex, kepada yang menawarkan.
3. Teori pengetahuan : Kesepakatan terjadi pada saat yang menawarkan mengetahui bahwa tawarannya diterima. (vernimingstheorie)
4. Teori Penerimaan : Kesepakatan terjadi pada saat yang
menawarkan betul-betul mengetahui dan mexxxxxx jawaban bahwa tawarannya diterima (Ontvangstheorie).
Xxxxx (Xxxxxxxx Xxxxxx, 1994:57), mengemukakan teori kelima yaitu:
5. Teori Pengetahuan objektif (Geobjectiveerdevernemings- theorie) yang menawarkan secara objektif mengetahui, yaitu menurut akal sehat dapat menganggap bahwa yang menerima tawaran itu telah mengetahui atau telah membaca surat dari yang menawarkan.
6. Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie), yang menganggap bahwa kesepakatan telah terjadi pada saat yang menerima tawaran itu percaya bahwa tawarannya itu betul yang dimaksud. Kalau menurut teori kehendak, tidak mungkin terjadi kesepakatan yang dikehendaki kedua belah pihak tidak bersesuaian.
Subekti (1979:1), memberikan definisi tentang pengertian sepakat sebagai berikut: “Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki pihak satu, juga dikehendaki oleh pihak lain”.
Syarat kedua yang menyebutkan bahwa cakap untuk membuat perikatan atau perjanjian, menunjukkan kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, menunjukkan perjanjian harus cakap menurut hukum guna bertindak sendiri. Semua orang dianggap cakap menurut hukum berbuat sesuatu hal asalkan orang tersebut tidak termasuk seperti
yang telah diyatakan pada Pasal 1330 KUHPerdata. Mereka itu adalah orang-orang yang belum dewasa atau dibawah umur, ditaruh dibawah pengampuan (curatele) dan orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (perempuan yang belum kawin).
Menurut subekti (2001:18-19), ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami dari KUHPerdata, ada hubungan dengan sistem yang dianut Hukum Perdata Barat (Xxxxxx Xxxxxxx) yang menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga kepada sang suami. Kekuasaan suami sebagai pimpinan keluarga dinamakan maritale macht (berasal dari Perancis mari yang berarti suami). Oleh karena ketentuan tentang ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami itu di Xxxxxx Xxxxxxx sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman, maka sebaiknya ketentuan tersebut di Indonesia juga dihapuskan, dan memang, dalam praktik para notaris sekarang sudah mulai diizinkan seorang isteri yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat membuat suatu perjanjian di hadapan notaris tanpa bantuan suaminya.
Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia menyatakan bahwa Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan
pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.
Syarat ketiga yang menyebutkan bahwa perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu. Ini dapat diartikan sebagai apa yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah mengenai suatu hal tertentu. Syarat yang satu ini sangat dibutuhkan guna dapat menentukan kewajiban atau kesepakatan-kesepakatan dalam perjanjian bila dikemudian hari terjadi suatu perselisihan, misalnya menentukan jenis barang dalam perjanjian.
Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Kata sebab di sini mengenai materi dari perjanjian tersebut, berbeda dengan kata sebab sebagai sesuatu menyebabkan seseorang yang membuat perjanjian, karena apa yang menjadi motif dari seseorang untuk mengadakan perjanjian tersebut (Asas Kausaliit). Misalnya, terlaksananya perjanjian jual beli, dalam hal ini tidak dipersoalkan sebab apa hingga pihak pertama menjual dan pihak kedua membeli, namun yang menjadi sebab adalah karena penjual ingin memiliki imbalan dari barang yang dijual dan pembeli ingin memiliki barang yang dibelinya.
Syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian telah mempunyai kekuatan huku m yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa:
”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
4. Unsur-Unsur Perjanjian.
Suatu perjanjian harus memuat hal-hal yang secara sistematika menjadi bagian-bagian pokok dalam perjanjian tersebut. Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx (1983:99), mengemukakan bahwa sistematika perjanjian memuat bagian yang menjadi inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan inti (onwezenlijk oordeel) dari perjanjian itu. Bagian-bagian ini terdiri atas :
1. Esensialia (Essentialia)
2. Naturalia dan
3. Aksidentalia (accidentalia)
Bagian esensialia dalam suatu perjanjian, yaitu bagian dari suatu perjanjian yang tanpa bagian ini perjanjian tidak mungkin ada. Bagian ini merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki dalam perjanjian atau dengan kata lain sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian tersebut tercipta atau ada. Misalnya, persetujuan dari para pihak (Pasal 1321 KUHPerdata) dan objek dari perjanjian tersebut.
Dua bagian lainnya merupakan bagian yang bukan inti. Bagian naturalia, yaitu bagian yang menurut undang-undang ditetapkan sebagai peraturan-peraturan yang sifatnya mengatur atau merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian ini, sehingga secara diam-diam melekat pada
perjanjian tersebut. Misalnya, menjamin tidak terdapat cacat pada barang yang dijual (vrijwaring).
Bagian aksidentalia, yaitu bagian yang ditentukan sendiri oleh pihak dalam perjanjian mereka dimana undang-undang tidak mengaturnya. Bagian ini juga merupakan suatu sifat yang melekat dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Misalnya, ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak.
5. Asas-asas Umum Perjanjian.
Dalam menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, KUHPerdata memberikan berbagai asas umum yang merupakan pedoman dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat.
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx (Xxxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxxxx Xxxx, 2004:50), asas hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab melalui asas -asas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum. Dengan demikian, asas hukum menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai etis, moral, sosial masyarakatnya.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa asas hukum bukanlah kaidah hukum konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang
umum sifatnya atau merupakan latar belakang peraturan yang konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum.
Pada umum nya menurut Xxxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxxxx Xxxx (2004:51), asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau Pasal-Pasal, akan tetapi tidak jarang pula asas hukum dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit. Asas hukum yang tidak dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit, misalnya asas ”kebebasan berkontrak” misalnya ”Lex Posteriori Derogat Legi Priori”, yang berarti Undang-undang (peraturan) yang kemudian mengesampingkan Undang-undang (peraturan) yang terdahulu (yang mengatur masalah yang sama) atau ”Lex Specialis Derogat Legi Generali”, yang berarti ketentuan atau peraturan khusus mengesampingkan ketentuan atau peraturan umum. Sedangkan, asas hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan konkrit, misalnya asas ”kebebasan berkontrak” yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) KUHPerdata atau asas konsensualitas yang tercantum dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata.
Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx (2003;14-46), mengemukakan asas -asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu:
a. Asas Personalia
Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1325 KUHPerdata, yang mengatur bahwa:
”Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya”
Dari rumusan diatas dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh sesorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.
b. Asas Konsensualitas
Xxxx konsensualitas memperlihatkan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut.
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Dengan asas kebebasan berkontrak, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx (2001:83-89), mengemukakan sembilan asas dalam hukum perikatan, yaitu:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan ”apa” dan dengan ”siapa” perjanjian itu diadakan. Kebebasan berkontrak adalah satu asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Di dalam
perkembangannya, asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari beberapa segi, yaitu:
- dari segi kepentingan umum
- dari segi perjanjian baku
- dari segi perjanjian dengan pemerintah
b. Asas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutnya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah ”semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian.
c. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh pihak lain. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
d. Asas Kekuatan Mengikat
Didalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada
apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
e. Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
f. Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Dalam asas ini juga dapat dilihat bahwa kedudukan kreditor yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik kedudukan kreditor dan debitor seimbang.
g. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
h. Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, zaakwaarneming, dan Pasal 1339 KUHPerdata dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitor. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan
melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.
i. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Ketentuan ini harus dipertahankan sebagai tolak ukur tentang hubungan yang ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
6. Prestasi
Kualifikasi istilah prestasi dalam bahasa Hukum di Indonesia belum ada. Untuk menuangkan pengertian yang terkandung dalam istilah tadi ke dalam bahasa Indonesia memerlukan kalimat panjang yang kurang praktis kedengarannya. Pemakaian istilah prestasi dalam lingkungan bahasa hukum di Indonesia tidaklah salah, karena pada umumnya istilah tersebut sudah lazim dipergunakan. Menurut Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx (2001:6) Apabila 2 (dua) orang mengadakan perjanjian ataupun apabila undang-undang dengan terjadinya suatu peristiwa menciptakan suatu perikatan, jelaslah bahwa maksud dari kedua orang tersebut maupun dari pembentuk undang-undang untuk mengikat kedua orang itu memenuhi kewajiban, untuk memenuhi sesuatu disebut dengan prestasi.
Menurut Xxxxxx Xxxx (2005:58-59), prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu kontrak. Prestasi tersebut dapat berupa:
a. benda
b. tenaga/keahlian
c. tidak berbuat sesuatu
Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya. Penyerahan tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya saja, sedangkan prestasi yang berupa tenaga/keahlian harus dilakukan oleh pihak-pihak yang “menjual” tenaga/keahliannya. Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu menuntut sikap pasif salah satu pihak atau para pihak, karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang diperjanjikan.
DalamKUHPerdata Pasal 1234 diatur bahwa prestasi adalah
kewajiban untuk:
1. Memberikan sesuatu.
2. Berbuat sesuatu.
3. Tidak berbuat sesuatu.
Menurut Subekti (1979:36) hal yang harus dilaksanakan dalam suatu perjanjian itu dinamakan : prestasi.
Perjanjian dapat dikatakan tidak terlaksana apabila, diantara salah satu pihak dalam perjanjian itu melakukan suatu kesalahan dalam hal apa yang telah diperjanjikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2006:220) tertulis kata “Cidera” yang berarti tidak menepati janji.
Cidera janji yang berarti tidak memenuhi kewajiban yang telah
disepakati dalam perjanjian disebabkan 2 kemungkinan yaitu: karena kesalahan debitor baik karena adanya unsur kesengajaan atau karena kelalaian maupun keadaan memaksa (force majeure) dalam hal ini debitor tidak bersalah.
Salah satu sebab tidak terlaksananya perjanjian adalah cidera janji atau xxxxxx xxxxx. X.X. xxx Xxxxx (1989:3), mengatakan bahwa cidera janji adalah kelalaian karena tidak memenuhi perjanjian dan dapat dipertanggung jawabkan. Cidera janji ada karena terjadinya suatu kelalaian dari salah satu pihak yang melakukan perjanjian.
Menurut Subekti (2001:45), wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitor dapat berupa empat, yaitu:
a tidak melakukan apa yang disanggupinya untuk dilakukan;
b melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
c melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Mereka yang melakukan suatu perjanjian akan memikul kewajiban -kewajiban untuk memenuhi prestasi. Salah satu pihak dari mereka yang melakukan suatu perjanjian tidak melaksanakan kewajiban -kewajibannya bukan karena keadaan memaksa, maka mereka itu dianggap melakukan cidera janji. R. Setiawan (1978:18), menyatakan bahwa ada tiga bentuk cidera janji (lalai), yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan oleh debitor itu dapat diselesaikan.
2. Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam artian objektif, yaitu orang yang normal dapat menduga bahwa keadaan itu dapat timbul maupun dalam arti subjektif yaitu seorang ahli dapat menduga keadaan demikian akan timbul.
3. Dapat diminta untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya artinya bukan orang gila atau lemah pikirannya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan pada pihak yang wajib untuk memenuhi suatu prestasi, membawa akibat yang diancam beberapa sanksi atau hukuman. Subekti (1979:27), mengatakan akibat-akibat yang timbul dari kelalaian tersebut adalah:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditor atau dengan singkat dinamakan ganti rugi.
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian.
3. Peralihan risiko.
4. Membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Keempat akibat dari kelalaian tersebut di atas menjadikan pihak debitor (pihak yang membuat kelalaian) menanggung risiko yang dibebankan kepadanya. Hal cidera janji atau lalai yang paling penting dan sering terjadi adalah mengenai ganti rugi. Pasal 1246 sampai 1248 KUHPerdata mengatur sejauh manakah debitor berkewajiban untuk membayar ganti rugi.
Ganti rugi terperinci dalam tiga unsur, yaitu ; biaya, rugi, dan bunga. Pada dasarnya bentuk dari ganti rugi yang paling lazim digunakan adalah uang, oleh karena uang merupakan hal yang paling praktis dan paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan suatu sengketa. Bentuk lain lagi, misalnya pemulihan kembali ke keadaan semula serta larangan untuk mengulangi. Adapun yang dimaksud biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang sudah dikeluarkan oleh satu pihak dan yang dimaksudkan dengan rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian debitor. Bunga adalah kerugian yang dapat menimbulkan berupa kehilangan keuntungan yang telah masuk dalam perhitungan kreditor tersebut.
Undang-undang di lain pihak hanya menetapkan bahwa ganti rugi yang dapat dimintakan adalah terhadap kerugian yang telah diduga pada saat perjanjian dibuat dan akibat langsung dari kelalaian tersebut. KUHPerdata hanya mengatur tentang ganti rugi dari kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai dengan uang. Ad a juga jenis ganti rugi yang menurut ahli hukum dan yurisprudensi bahwa pemberian ganti kerugian harus berupa mengembalikan sesuatu hal yang diubah oleh sipelanggar hukum dalam keadaan semula.
Berdasarkan pengertian tersebut, menunjukkan bahwa tujuan dari pemberian ganti rugi adalah untuk mengembalikan status hukum suatu benda yang merupakan objek dari perbuatan melawan hukum, agar kembali seperti sedia kala, sehingga tercipta kembali keadaan yang seimbang dalam masyarakat serta terpenuhinya kembali secara utuh hak dan kepentingan seseorang yang ditimpa kerugian.
Kerugian Immaterial atau disebut juga kerugian yang tidak berwujud, bukan berupa bentuk barang maupun dalam bentuk uang, tetapi kerugian yang timbul tersebut semata-mata bersifat psikis ataupun batiniah, misalnya tuntutan ganti rugi dari seseorang yang merasa dirugikan karena hilangnya kenikmatan atau ketenangan yang diakibatkan oleh orang lain.
C. Overmacht / Keadaan memaksa
Overmacht atau force majeur, juga dapat mengakibatkan tidak terlaksananya perjanjian. Hal ini diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata, “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, apabila tidak dapat membuktikan, bahwa hal atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena sesuatu hal yang tidak terduga maka tak dapat dipertanggung jawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya“.
Pasal 1245 KUHPerdata , “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa yang tidak disengaja, si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau karena hal-hal yang sama telah dilakukan perbuatan merata”.
R. Setiawan (1978:23), memberikan pengertian keadaan memaksa adalah: “Suatu keadaan yang terjadi setelah dibuat persetujuan, yang menghalangi debitor untuk memenuhi prestasinya, dimana debitor tidak dapat dipermasalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitor lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbul keadaan tersebut”.
Keadaan memaksa ini mengakibatkan berhentinya bekerja perjanjian-perjanjian dan menimbulkan berbagai akibat Menurut R. Setiawan (1978:23), akibat-akibat tersebut adalah:
1. Kreditor tidak dapat lagi meminta pemenuhan prestasi.
2. Debitor tidak dapat lagi dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi.
3. Risiko tidak beralih kepada debitor.
4. Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal balik.
Perkembangan pemikiran mengenai keadaan yang memaksa ini
atau overmacht, menurut Xxxxxxxx Xxxxxx (1994:19) terdapat ajaran-ajaran (teori-teori) yaitu :
1. Ajaran keadaan memaksa yang objektif atau ajaran ketidakmungkinan yang mutlak. Ajaran ini menyatakan bahwa debitor dapat mengemukakan adanya overmacht kalau pemenuhan itu tidak bisa dilaksanakan oleh semua orang. Misalnya seorang harus berprestasi seekor kuda, tetapi kuda itu sebelum diserahkan disambar petir hingga mati. Ajaran ini didasarkan pada Pasal 1444 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa suatu barang tertentu yang menjadi persetujuan apabila musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, sedemikian
hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapus perikatannya.
2. Teori keadaan memaksa yang subjektif atau ajaran ketidak mungkinan yang relatif. Xxxxxxx dapat mengemukakannya adanya overmacht kalau pemenuhan prestasi itu tidak dapat dilakukan oleh debitor itu sendiri. Misalnya debitor harus berprestasi sesuatu barang tetapi karena keadaan harga naik, kalau debitor berprestasi ia akan jatuh miskin.
Menurut Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx (1992:27), Keadaan memaksa
atau overmacht adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi karena terjadinya suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga pada waktu membuat perjanjian.
D. Beli Sewa
Beli sewa berasal dari kebutuhan praktik tata pergaulan hukum antara warga masyarakat. Di Belanda dikenal dengan istilah huurkoop, di Inggris dikenal dengan nama hire-purchase, diatur dalam suatu undang-undang tersendiri, yaitu Hire-purchase Act pada tahun 1965 dan Sale of Goods Act Tahun 1983 sebelumnya. Di Malaysia, beli sewa atau Huurkoop, hire purcase dinamakan “pindaan”. Disana diberlakukan akta beli sewa (pindaan) 1992, sejak 1 juni 1992 akta beli sewa (pindaan) 1992 adalah bagian dari akta (induk) beli sewa 1967 Seksyen 32 akta beli sewa
(pindaan) 1992 mengatur jenis barang dan kendaraan bermotor antara lain:
a. Semua kendaraan konsumen
b. Kendaraan bemotor, yakni:
1. Sepeda motor
2. Kendaraan Bermotor
3. Taksi dan taksi sewa
4. Kendaraan pengangkut barang, makanan yang tidak melebihi 2540 kg.
Menurut Xxxxx Xxxxxxxx (penjelasan tanggal 27 Februari 2007) “
Berdasarkan kaidah Bahasa Indonesia, Hukum D.M, seharusnya istilah hire purchase, huurkoop diterjemahkan dengan penamaan “Beli–Sewa” bukan ”sewa beli”. Definisi beli sewa di temukan pula dalam keputusan Menteri perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/1980 tentang perizinan kegiatan usaha beli sewa (hire-purcase) “Jual beli dengan angsuran dan sewa (renting) adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual”.
Unsur perjanjian beli sewa menurut keputusan tersebut, yaitu:
1. adanya jual beli barang
2. penjualan dengan memperhitungkan setiap pembayaran
3. objek beli sewa diserahkan kepada pembeli
4. momentum peralihan hak milik setelah pelunasan terakhir.
Di Indonesia, istilah beli sewa sudah lama dipergunakan sebagai lembaga jual beli, dan dasar hukumnya adalah yurisprudensi MA tanggal
16 Desember 1957 dalam perkara NV Handelsmaatchappij L Auto (penggugat) melawan Xxxxxx (tergugat) merupakan peletak dasar pandangan atas lembaga beli sewa sebagai jual beli.
Beli sewa secara prinsip oleh praktik diperbolehkan mengingat hukum perjanjian dari KUHPerdata dengan asas kebebasan berkontrak, yang diatur dalam Pasal 1338 (ayat 1) KUHPerdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx (1981 : 85 ): “Pokoknya persetujuan dinamakan sewa-menyewa barang, dengan akibat bahwa si penerima tidak menjadi pemilik, melainkan pemakai belaka. Jika uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga pembelian, maka si penyewa beralih menjadi pembeli, dan barang tersebut menjadi miliknya. Sebaliknya penjual sewa berhak menarik kembali barang dari pembeli sewa, jika pembeli sewa cidera janji dalam melakukan cicilan pembayaran.
Berdasarkan penjelasan Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx , beli sewa sama dengan perjanjian sewa menyewa barang. Si pembeli hanya pemakai belaka, tetapi kalau dibayarkan seharga barangnya, maka si penyewa
beralih menjadi pembeli. Menurut Xxxxx Xxxxxxx (1988;41), bahwa beli sewa termasuk dalam jual beli dimana penjual menyerahkan barang yang dijual secara nyata (feitelijk) kepada pembeli, akan tetapi penyerahan nyata tadi tidak dibarengi dengan penyerahan hak milik. Hak milik baru belakangan diserahkan, yakni pada saat pembayaran termin terakhir di lakukan pembeli. Seolah-olah sebagai pemegang (houlder) saja. Pemegang atau penguasaan atas benda yang dibeli tiada lain seperti hubungan sewa menyewa layaknya. Pembeli berhak memakai dan menikmati barang. Hal yang terpenting dalam perjanjian beli sewa, bilamana timbul risiko sebelum harga dilunasi adalah siapa yang berkewajiban menanggungnya.
Menurut Subekti (1989:52) “Beli sewa sebenarnya adalah s emacam macam jual beli, ia lebih mendekati jual beli daripada sewa menyewa, meskipun ia merupakan suatu campuran dari kedua-duanya dan memberikan judul beli sewa”
Berdasarkan penjelasan Subekti di atas, tampaknya beli sewa adalah perpaduan antara jual beli dengan sewa menyewa, tetapi lebih terfokus pada aspek jual belinya. Beli sewa yang dimaksud oleh Hire-purchase Act 1965 lebih cenderung melihat beli sewa sebagai tindakan jual beli dengan bentuk cicilan, dimana hak opsi ada pada penyewa untuk membeli barang yang disewanya. Keadaan yang demikian ini juga dipertegas dalam B.W Belanda bahwa dalam hal beli sewa, barang yang menjadi objek ditangguhkan pemindahannya kepada
penyewa apabila belum lunas cicilannya. Pemindahan yang dimaksud dalam hal ini adalah hak milik.
Perkembangan mengenai perjanjian beli sewa ini menurut Xxxxxxxxx (2004:66) ada 3 teori yang berlaku yaitu:
1. Teori Akumulasi
Menurut teori ini unsur-unsur perjanjian campuran dipilah-pilah. Untuk unsur jual beli dan untuk unsur sewa-menyewa. Kritik terhadap teori ini adalah ada ketentuan yang saling bertentangan antara perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa. Dalam perjanjian jual beli, risiko ditanggung oleh pembeli meskipun hak milik atas barang belum diserahkan kepada pembeli, sedangkan risiko dalam perjanjian sewa-menyewa tetap pada pemiliknya, sehingga jika terjadi force majeur maka perjanjian sewa -menyewa gugur. Mengenai risiko dalam perjanjian jual beli barang tertentu yang diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata banyak mengundang kritik dari dari para ahli hukum, karena meskipun hak milik atas barang belum beralih dari penjual kepada pembeli, tetapi pembeli sudah menanggung risiko.
2. Teori Absorbsi.
Menuru t teori ini untuk perjanjian campuran diterapkan unsur perjanjian yang paling dominan. Kritik terhadap teori ini tidak
mudah untuk menentukan unsur perjanjian mana yang paling dominan apakah perjanjian jual-beli atau perjanjian sewa-menyewa.
3. Teori Sui Generis .
Menurut teori ini untuk perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang memiliki ciri tersendiri. Karena itu ketentuan tentang perjanjian khusus diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberlakukan secara analogis bagi perjanjian campuran.
Menurut Xxx Xxxxxx Xxxxxx Xxxxx (2000:366) pandangan
masyarakat dan hakim tentang perjanjian beli sewa adalah:
1. Pandangan masyarakat tentang beli sewa ada dua pandangan, yaitu :
1. Beli sewa sebagai perjanjian sewa-menyewa sehingga hak milik tetap kepada kreditor, dan
2. Beli sewa sebagai jual beli.
Alasan pandangan pertama adalah apabila pembeli wanprestasi uang yang s udah dibayarkan dianggap sebagai uang sewa atau pengganti kerugian pemakaian barang yang di sewa, sehingga pembayaran tersebut harus diperhitungkan. Sedangkan alasan pandangan yang kedua bahwa beli sewa sebagai perjanjian jual beli, karena apabila pembeli sewa wanprestasi uang angsuran yang dibayarkan tidak diperhitungkan lagi.
2. Pandangan hakim.
Pandangan atau sikap hakim terhadap beli sewa adalah perjanjian sewa-menyewa, kemudian putusan-putusan pengadilan cenderung menganggap beli sewa sebagai perjanjian jual beli yang peralihan hak miliknya di tunda sampai pembayaran terakhir dari seluruh harga dipenuhi.
Pada prinsipnya penulis cenderung berpendapat bahwa beli sewa sebagai jual beli, karena pada akhir masa angsuran pembeli sewa sebagai pemilik barang tersebut. Berdasarkan pandangan para ahli, maka beli sewa dapat di bagi menjadi 3 macam definisi, yaitu:
1. Beli sewa sama dengan beli angsuran.
2. Beli sewa sama dengan sewa menyewa.
3. Beli sewa sama dengan jual beli.
Menurut penulis beli sewa merupakan gabungan antara sewa menyewa dan jual beli. Beli sewa untuk pertama kali timbul dalam praktik sebagai suatu upaya untuk menampung suatu persoalan yang dihadapi dalam hal pengadaan barang, pembeli ingin suatu barang namun tidak mempunyai cukup uang untuk membayar harga barang tersebut, sementara pihak lain (penjual sewa) bersedia untuk menerima harga barang miliknya itu akan tetapi sebelum dibayar lunas tidak akan dipindahtangankan oleh si pembeli.
Titik akhir dari keadaan yang demikian ini adalah selama harga belum dibayar oleh si pembeli, pembeli bertindak selaku penyewa terlebih dahulu dari suatu barang yang hendak dibelinya. Contoh yang dapat dikemukakan, apabila ada sebuah mobil seharga Rp. 15 juta yang hendak dijadikan objek beli sewa, maka penjual menetapkan harga sebesar Rp. 20 juta,- dan di bayar selama 12 kali. Hal ini di lakukan sampai harga mobil tersebut lunas dan mobil itu menjadi milik pembeli.
Terjadinya beli sewa pada dasarnya saling menguntungkan bagi pihak pembeli (penyewa) maupun pihak penjual, sebab pihak pembeli (penyewa) tidak membayar sekaligus (kontan) harga barangnya tetapi mencicil dan pihak penjual mera sa aman sebab barangnya selama belum lunas pembayarannya tidak dipindah tangankan. Kalaupun terjadi memindahtangankan barang tersebut, maka pihak pembeli atau (penyewa) dapat dikategorikan sebagai selaku pelaku tindak kejahatan penggelapan. Barang yang dijadikan objek beli sewa pada waktu dilakukannya pembayaran terakhir barulah secara hukum dapat dipindahkan kepemilikannya. Namun penyerahan barang itu sendiri tidak usah lagi dilakukan sebab telah berada dalam kekuasaan pihak pembeli.
Beli sewa hendaknya dibedakan dengan jual beli secara mencicil atau of afbetaling (Belanda) dan credit sale (Inggris), sebab dalam perjanjian jual beli sistem cicilan barangnya secara langsung di serahkan kepada pembeli dalam bentuk milik sementara harganya cicil itu menjadi hutang si pembeli kepada penjual. Keadaan demikian ini memungkinkan
pihak pembeli memindah tangankan barang tersebut meskipun harga cicilannya belum lunas, dengan dasar pertimbangan bahwa barang tersebut telah menjadi miliknya.
Subjek dalam perjanjian beli sewa adalah kreditor (penjual beli
sewa) dan debitor (pembeli sewa). Yang dapat bertindak sebagai kreditor (penjual beli sewa) adalah perusahaan yang menghasilkan barang sendiri dan atau usaha yang khusus bergerak dalam bidang perjanjian.
Objek dalam perjanjian beli sewa, yaitu kendaraan bermotor , radio, TV, tape recorder, lemari es, mesin jahit, dan lain lain.
E. Perjanjian Standar / Kontrak Baku.
Pada dasarnya suatu perjanjian terjadi berdasarkan asas kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kesepakatan terjadinya perjanjian melalui suatu proses negosiasi antara mereka. Akan tetapi dewasa ini kecenderungan memperlihatkan bahwa banyak perjanjian di dalam transaksi perdagangan yang terjadi bukan melalui proses negosisasi yang seimbang antara para pihak. Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx (1981:49) istilah kontrak standar merupakan istilah yang diambil dari bahasa Belanda yaitu standard contract atau standard voorwaarden atau contract adhesi. Di Jerman di gunakan istilah allgemeine geschafts bedigen, standardvertrag, standard konditionen. Hukum Inggris mempergunakan istilah standardized contract. Di Indonesia
dewasa ini di kenal dengan kontrak standar atau umum juga di sebut perjanjian baku
Kontrak baku adalah kontrak yang klausula-klausulanya telah ditetapkan/dirancang oleh salah satu pihak. Penggunaan kontrak baku dalam kontrak-kontrak yang biasanya dilakukan oleh pihak yang banyak melakukan kontrak yang sama terhadap pihak lain, didasarkan pada Pasal 1338 (1) KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Kebebasan berkontrak sebagaimana di atur dalam Pasal 1338 (1) tersebut sangat ideal jika para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak posisi tawarnya seimbang antara satu dengan yang lain. Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang maka pihak lemah biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku, akan tetapi perjanjian yang seharusnya dibuat/dirancang oleh para pihak yang terlibat tidak ditemukan lagi, karena dalam perjanjian baku, format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.
Xxxxxx Xxxx, (2005:34-35). Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan baginya atau meringankan/menghapuskan beban-beban/kewajiban-kewajiban tertentu yang seharus nya menjadi bebannya, yang biasa dikenal dengan klausula eksonerasi. Rijken
mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perja njian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang umum nya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha, karena beban seharusnya dipikul oleh pelaku usaha, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.
Sebagai contoh, dalam perjanjian beli sewa, seharusnya segala risiko yang timbul atas objek perjanjian tersebut di tanggung oleh pihak yang menyewa belikan, karena objek perjanjian tersebut belum menjadi milik penyewa beli sebelum harganya lunas, namun biasanya dalam perjanjian beli sewa di tambahkan klausula eksonerasi bahwa segala risiko yang timbul dalam perjanjian tersebut di tanggung oleh penyewa beli.
Menurut Xxxxxx Xxxx (2005:36) Perjanjian baku yang mengadung klausula eksonerasi cirinya adalah sebagai berikut:
a. pada umumnya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat.
b. pihak lemah pada umumnya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang merupakan unsur aksidentalia dari perjanjian.
c. terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah terpaksa
menerima perjanjian tersebut.
d. bentuknya tertulis; dan
e. dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
Berdas arkan pendapat yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kontrak standar atau perjanjian baku adalah perjanjian yang formatnya telah ditentukan tanpa mernbandingkan isinya terlebih dahulu oleh para pihak.
Bentuk kontrak standar tumbuh sebagai perjanjian tertulis, dalam bentuk formulir. Perbuatan-perbuatan hukum sejenis selalu terjadi berulang-ulang dan teratur yang melibatkan banyak orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian itu terlebih dahulu dan kemudian dibakukan dan seterusnya dicetak dalam jumlah banyak. Sehingga memudahkan penyediaan setiap saat jika masyarakat membutuhkan. Kontrak standar adalah satu wujud dari kebebasan individu pelaku usaha menyatakan kehendak dalam menjalankan usahanya.
Melihat perkembangan pada penggunaan kontrak standar dalam praktik diberbagai segi kehidupan, maka dapat disimpulkan bahwa kontrak standar memiliki kelebihan-kelebihan dibandingan dengan perjanjian
biasa. Adapun kelebihan-kelebihan tersebut menurut Xxxxxxx Xxxxxxxx (2007:35) adalah:
a. Dapat menghemat waktu untuk membuat suatu perjanjian karena format perjanjian sudah tersedia dan para pihak dalam perjanjian tinggal menerima atau menolak perjanjian itu.
b. Dapat menghemat tenaga karena tidak perlu lagi diadakan perundingan-perundingan tentang isi perjanjian.
c. Dapat menghemat pengeluaran untuk memberi ganti karena dalam klausula ko ntrak standar biasanya sudah ditentukan tanggung jawab para pihak dalam hal terjadi kerugian.
d. Praktis karena sudah tersedia naskah berupa fomulir atau blanko yang siap diisi dan ditanda tangani.
Kelebihan kontrak standar adalah dapat menciptakan efisiensi
biaya, waktu maupun tenaga. Hal ini secara umum dapat membentuk kelancaran bahwa kelebihan yang disebut di atas lebih banyak terasa manfaatnya bagi pelaku usaha, sementara pihak konsumen sendiri lebih cenderung memikul risiko. Praktik kontrak standar jika disalah gunakan sedikit saja oleh pelaku usaha maka yang terjadi adalah kerugian besar bagi konsumen. Oleh sebab itu, selain menguraikan kelebihan-kelebihan kontrak standar, penulis juga akan menguraikan kelemahan-kelemahan objektif.
Adapun kelemahan-kelemahan dari kontrak standar adalah:
a. Adanya dua pihak yang memiliki dua kedudukan atau posisi yang berbeda, yaitu pihak pelaku usaha yang memiliki keunggulan baik dari segi ekonomi maupun psikologis, dengan pihak konsumen sebagai pihak yang lemah atau pihak yang “bergantung”, sehingga memungkinkan konsumen menerima segala klausula yang ditetapkan oleh pelaku usaha walaupun pada dasarnya konsumen terpaksa menerima.
b. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat baku yang
ditawarkan itu, janganlah membuat perjanjian dengan pengusaha yang bersangkutan.
c. Isi perjanjian tidak diperbincangkan diantara pihak, sehingga hak dan kewajiban yang tidak seimbang. Konsumen tidak diberikan hak atau kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, sehingga kontrak standar tidak mampu mewakili kepentingan konsumen sebagaimana mestinya.
d. Kontrak standar telah dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif oleh pelaku usaha kepada konsumen yang memiliki kondisi yang berbeda-beda. Mereka berasal dari berbagai tingkat pendidikan, ragam kebutuhan yang diinginkan serta kemampuan ekonomi yang berbeda
sehingga memungkinkan adanya tingkat pemahaman dan penafsiran yang berbeda pula.
e. Pada waktu menutup perjanjian kemungkinan terjadi pihak konsumen berada dalam keadaan terjepit, kesulitan keuangan yang mendesak, sehingga akibat dari perjanjian kurang diperhitungkan.
Dalam menetapkan suatu perjanjian, pelaku usaha harus berpegang pada prinsip hubungan hukum atas dasar kontrak standar yang menyenangkan kedua belah pihak, sehingga kepentingan kedua belah pihak benar-benar terwakili. Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUPK.
F. Leasing / Lembaga Pembiayaan.
Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lesse, yang berarti sewa menyewa. Karena memang dasarnya leasing adalah sewa menyewa. Jadi leasing merupakan suatu bentuk derivative dari sewa menyewa. Tetapi kemudian dalam dunia bisnis berkembanglah sewa menyewa dalam bentuk khusus yang disebut leasing atau kadang-kadang disebut sebagai lease saja, dan telah berubah fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan. Dalam bahasa Indonesia leasing sering diistilahkan dengan “sewa guna usaha”.
Menurut Xxx Xxxxxxx (1992:11) Leasing adalah suatu bangunan hukum yang tidak lain merupakan improvisasi dari pranata hukum konvensional yang disebut “sewa menyewa” (lease). Dikatakan konvensional karena ternyata sewa menyewa itu merupakan bangunan tua dan sudah lama sekali ada dalam sejarah, paling tidak sudah sejak lebih kurang 4500 tahun sebelum masehi. Yakni sewa menyewa yang dipraktikkan dan dikembangkan oleh orang-orang Sumeria.
Eksistensi pranata hukum leasing di Indonesia baru terjadi di awal tahun 1970, dan baru diatur untuk pertama kali dalam perundang-undangan Republik Indonesia pada Tahun 1974.
Dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. KEP-122/MK/IV/2/1974, No. 30/Kpb/I/1974, tentang Perizinan Usaha Leasing. Dalam surat keputusan bersama tersebut, dinyatakan leasing adalah:
“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) dari perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama”.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Xxxx Xxxx Xxxxx (Leasing), yang dimaksud dengan leasing adalah:
“Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa guna usaha dengan hak opsi (“finance lease”) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (“operating lease”) untuk dipergunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala ”.
Penyewaan operasional/sewa usaha (operating leases ) adalah perjanjian yang membolehkan penyewa (lessee) memanfaatkan aset dengan dasar periode waktu tertentu . Karakterisitik utama dari penyewaan operasional adalah adanya kemungkinan bagi pihak penyewa untuk membatalkan atau memutuskan kontrak sewa asalkan pihak lessor atau perusahaan leasing diberi pemberitahuan yang cukup. Untuk pembatalan atau pemutusan kontrak sewa tersebut maka tentu saja pihak penyewa mungkin harus membayar denda kepada pihak lessor. Bagi penyewa adanya pilihan ini menjadi lebih baik dibandingkan tetap harus mempertahankan asset tersebut meski diperkirakan usaha akan terus merugi.
Kebanyakan dalam penyewaan operasional, pihak lessor
berkewajiban untuk memelihara aset yang disewakan dan juga biasanya bertanggung jawab terhadap pajak yang dikenakan pada aset serta biaya
asuransi. Biaya dari seluruh jasa ini tentu saja termasuk di dalam biaya penyewaan. Berikut adalah ciri-c iri sistem penyewaan operasional:
- Perusahaan leasing sebagai pemilik asset.
- Penyewa secara berkala membayar kepada lessor sejumlah tertentu tetapi tidak seluruh biaya/nilai perolehan atas objek leasing.
- Perusahaan leasing menanggung risiko ekonomis dan pemeliharaan objek leasing.
- Penyewa harus mengembalikan objek leasing pada akhir periode.
- Penyewa dapat membatalkan kontrak leasing sebelum akhir periode.
- Jangka waktu leasing umumnya lebih pendek dari umur ekonomis objek leasing.
Penyewaan finansial atau beli sewa financial or capital leases)
adalah perjanjian sewa yang biasanya tidak dapat dibatalkan sepihak. Pihak penyewa atau lessee harus melakukan pembayaran selama masa penyewaan walaupun aset yang disewa tidak lagi menghasilkan manfaat ekonomi. Dengan penyewaan finansial, pihak penyewa biasanya harus bertanggung jawab untuk memelihara aset dan juga harus membayar asuransi dan pajak.
Berikut adalah ciri -ciri sistem penyewaan finansial atau beli sewa :
- Penyewa sebagai pemilik objek leasing.
- Penyewa berkewajiban membayar kepada lessor secara berkala sesuai jumlah dan jangka waktu yang disetujui. Jumlah yang dibayar (lessee payment) terdiri dari biaya (angsuran) objek leasing ditambah dengan biaya -biaya lain.
- Selama periode kontrak tidak dapat dibatalkan (non-cancellable)
secara sepihak.
- Penyewa mempunyai hak opsi untuk membeli objek leasing sesuai dengan nilai residu yang disepakati pada akhir periode leasing.
- Risiko ekonomis dan biaya pemeliharaan ditanggung penyewa.
- Lessor mengharapkan dapat menerima kembali seluruh harga barang modal yang disewakan termasuk biaya -biaya lainnya (bunga, pajak, asuransi, biaya pemeliharaan, dan lain-lain). (PR.
Cyber Media, Akses 05 September 2007)
Para pihak yang terlibat dalam sistem pembiayaan leasing adalah:
1. Less or adalah pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara leasing kepada pihak yang membutuhkannya. Dalam hal ini lessor bisa merupakan perusahaan pembiayaan yang bersifat “multi finance”, tetapi dapat juga perusahaan khusus yang bergerak di bidang leasing.
2. Lessee adalah pihak yang memerlukan barang yang dibiayai oleh
lessor dan diperuntukkan kepada xxxxxx.
3. Suplier adalah pihak yang menyediakan barang yang menjadi objek leasing. Barang dibayar oleh lessor kepada supplier untuk
kepentingan leasing. Tetapi ada juga jenis leasing yang tidak melibatkan supplier. Misalnya dalam bentuk beli sewa.
Kecuali untuk bentuk operating lease, maka bentuk transaksi yang paling mirip dengan leasing adalah transaksi beli sewa. Kedua-duanya serupa tapi tak sama.
Beli sewa merupakan anak dari hasil perkawinan antara jual beli dan sewa menyewa. Karena di satu pihak beli sewa punya sifat-sifat yang sama dengan jual beli, tetapi di lain pihak juga mempunyai sifat-sifat yang sama dengan sewa menyewa.
Menurut Xxxxx Xxxxx (2006:25-26). Berlainan dengan jual beli dan
sewa menyewa, maka beli sewa tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi berkembang dan diterima dalam praktik. Karena itu, hukumpun tentunya melindungi transaksi beli sewa tersebut. Antara leasing dengan beli sewa mirip-mirip, tetapi ada beberapa perbedaan antara keduanya, antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Dalam beli sewa, lesse otomatis (“demi hukum”) jadi pemilik barang di akhir masa sewa, sementara pada leasing, kepemilikan hanya terjadi apabila hak opsinya dilaksanakan oleh xxxxxx.
b. Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal dan lesse, dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tetapi dari pihak ketiga atau dari phak lessee sendiri. Tetapi pada beli sewa, pihak lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakan itu
dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya barang tersebut berasal dari milik pemberi beli sewa sendiri.
c. Leasing ternasuk dalam salah satu metode pembiayaan yang diperkenankan di lakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara beli sewa tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan.
Menurut Xxxx X. Xxxxxxx (1990:19), perkembangan leasing di Indonesia dimulai pada tahun 1974, hal ini ditandai dengan keluarnya beberapa peraturan yang khusus mengatur tentang pranata hukum leasing. Dalam kurun waktu tersebut, leasing belum begitu dikenal masyarakat, dan perkembangannyapun tidak begitu pesat. Dari tahun 1980-1990 perkembangannya cukup pesat, dan puncaknya tahun 1991 sampai sekarang. Salah satu perubahan yang terjadi adalah diubahnya sistem dari operating method menjadi financial method. Dalam praktiknya perjanjian beli sewa saat ini dilakukan oleh leasing atau dikenal dengan nama lembaga pembiayaan.
Penyelesaian Hukum Cidera Xxxxx Xxxxxxxxkan Ketentuan Hukum
G. Kerangka Pemikiran
- KUHPerdata
- Yurisprudensi
- S K. Menteri Perdagangan & Koperasi No. 34 / 80
- UUPK . No. 8 Tahun 1999
Perjanjian Beli Sewa Mobil
Perjanjian Menurut Ketentuan Hukum:
- Proses Terjadinya Perjanjian
- Bentuk dan Xxxxxxxxx Xxxxxxxxan
- Pelaksanaan Perjanjian.
Upaya Hukum
- Litigasi
- Non Litigasi