PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN
PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN
PERIODE II TAHUN ANGGARAN 2020 NOMOR : 1727-Int-KLPPM/UNTAR/XII/2020
Pada hari ini Jumat tanggal 11 bulan Desember tahun 2020 yang bertanda tangan dibawah ini:
1. Nama : Xxx Xxx Xxxx, Ph.D.
Jabatan : Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Alamat : Letjen S. Xxxxxx Xx.0, Xxxxxx, Xxxxxx xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx, 11440 selanjutnya disebut Pihak Pertama
2. Nama : Xxxxxxxxx, S.H., M.H. Jabatan : Dosen Tetap
Fakultas: Hukum
Alamat : Letjen S. Xxxxxx Xx.0, Xxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx, 00000
Bertindak untuk diri sendiri dan atas nama anggota pelaksana Penelitian : Nama : Xxxx Xxxxx, S.H., X.Xx
Xxxxx Xxxxxx, S.H., X.X Xxxxx, S.H., X.Xx.
Jabatan: Dosen Tidak Tetap selanjutnya disebut Pihak Kedua
Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat mengadakan Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor 1727-Int-KLPPM/UNTAR/XII/2020 sebagai berikut:
Pasal 1
(1). Pihak Pertama menugaskan Pihak Kedua untuk melaksanakan Penelitian atas nama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Tarumanagara dengan judul “Dilema Moral dalam Penyelesaian Sengketa Medik dan Kritik Xxxxx Xxxxxxx (Situation Ethics) – Xxxxxx Xxxxxxxx”
(2). Biaya pelaksanaan penelitian sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas dibebankan kepada Pihak Pertama melalui anggaran Universitas Tarumanagara.
(3). Besaran biaya pelaksanaan yang diberikan kepada Pihak Kedua sebesar Rp 13.000.000,- (tiga belas juta rupiah), diberikan dalam 2 (dua) tahap masing-masing sebesar 50%.
(4). Pencairan biaya pelaksanaan Tahap I akan diberikan setelah penandatanganan Perjanjian Pelaksanaan Penelitian.
(5). Pencairan biaya pelaksanaan Tahap II akan diberikan setelah Pihak Kedua
melaksanakan Penelitian, mengumpulkan:
a. Hard copy berupa laporan akhir sebanyak 5 (lima) eksemplar, logbook 1(satu) eksemplar, laporan pertanggungjawaban keuangan sebanyak 1 (satu) eksemplar, luaran penelitian; dan
b. Softcopy laporan akhir, logbook, laporan pertanggungjawaban keuangan, dan luaran penelitian.
(6). Rincian biaya pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) terlampir dalam Lampiran Rencana Penggunaan Biaya dan Rekapitulasi Penggunaan Biaya yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian ini.
(7). Penggunaan biaya penelitian oleh Pihak Kedua wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak melampaui batas biaya tiap pos anggaran yang telah ditetapkan; dan
b. Peralatan yang dibeli dengan anggaran biaya penelitian menjadi milik Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(8). Daftar peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) di atas wajib diserahkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah penelitian selesai.
Pasal 2
(1). Pelaksanaan kegiatan Penelitian akan dilakukan oleh Pihak Kedua sesuai dengan proposal yang telah disetujui dan mendapatkan pembiayaan dari Pihak Pertama.
(2). Pelaksanaan kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam Periode II, terhitung sejak Juli-Desember 2020
Pasal 3
(1). Pihak Pertama mengadakan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh Pihak Kedua.
(2). Pihak Kedua diwajibkan mengikuti kegiatan monitoring dan evaluasi sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Pihak Pertama.
(3). Sebelum pelaksanaan monitoring dan evaluasi, Pihak Kedua wajib mengisi lembar monitoring dan evaluasi serta melampirkan laporan kemajuan pelaksanaan penelitian dan logbook.
(4). Laporan Kemajuan disusun oleh Pihak Kedua sesuai dengan Panduan Penelitian yang telah ditetapkan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
(5). Lembar monitoring dan evaluasi, laporan kemajuan dan logbook diserahkan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan.
Pasal 4
(1). Pihak Kedua wajib mengumpulkan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan luaran.
(2). Laporan Akhir disusun oleh Pihak Kedua sesuai dengan Panduan Penelitian yang telah ditetapkan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
(3). Logbook yang dikumpulkan memuat secara rinci tahapan kegiatan yang telah dilakukan oleh Pihak Kedua dalam pelaksanaan Penelitian.
(4). Laporan Pertanggungjawaban yang dikumpulkan Pihak Kedua memuat secara rinci penggunaan biaya pelaksanaan Penelitian yang disertai dengan bukti-bukti.
(5). Batas waktu pengumpulan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan luaran wajib berupa Artikel Ilmiah (Desember 2020)
(6). Apabila Pihak Kedua tidak mengumpulkan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan Luaran sebagaimana disebutkan dalam ayat (5), maka Pihak Pertama akan memberikan sanksi.
(7). Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa proposal penelitian pada periode berikutnya tidak akan diproses untuk mendapatkan pendanaan pembiayaan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Pasal 5
(1). Dalam hal tertentu Pihak Kedua dapat meminta kepada Pihak Pertama untuk memperpanjang batas waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (5) di atas dengan disertai alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2). Pihak Pertama berwenang memutuskan menerima atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3). Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) kali.
Pasal 6
(1). Pihak Pertama berhak mempublikasikan ringkasan laporan penelitian yang dibuat Pihak Kedua ke dalam salah satu jurnal ilmiah yang terbit di lingkungan Universitas Tarumanagara.
(2). Pihak Kedua memegang Hak Cipta dan mendapatkan Honorarium atas penerbitan ringkasan laporan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3). Pihak Kedua wajib membuat poster penelitian yang sudah/sedang dilaksanakan, untuk dipamerkan pada saat kegiatan Research Week tahun terkait.
(4). Pihak Kedua wajib membuat artikel penelitian yang sudah dilaksanakan untuk diikut sertakan dalam kegiatan International Conference yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(5). Penggandaan dan publikasi dalam bentuk apapun atas hasil penelitian hanya dapat dilakukan oleh Pihak Kedua setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Pihak Pertama.
Pasal 7
(1). Apabila terjadi perselisihan menyangkut pelaksanaan Penelitian ini, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah.
(2). Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diserahkan kepada Pimpinan Universitas Tarumanagara.
(3). Keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bersifat final dan mengikat.
Demikian Perjanjian Pelaksanaan Penelitian ini dibuat dengan sebenar-benarnya pada hari, tanggal dan bulan tersebut diatas dalam rangkap 2 (dua), yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Pihak Pertama
Jap Tji Beng, Ph.D.
Pihak Kedua
Xxxxxxxxx, S.H., M.H.
RENCANA PENGGUNAAN BIAYA (Rp)
Rencana Penggunan Biaya | Jumlah |
Honorarium | Rp. 2.600.000,- |
Pelaksanaan penelitian | Rp 10.400.000,- |
REKAPITULASI RENCANA PENGGUNAAN BIAYA (Rp)
No. | Pos Anggaran | Tahap I | Tahap II | Jumlah |
1. | Honorarium | 1.300.000,- | 1.300.000,- | 2.600.000,- |
2. | Pelaksanaan penelitian | 5.200.000,- | 5.200.000,- | 10.400.000,- |
Jumlah | 6.500.000,- | 6.500.000,- | 13.000.000,- |
Jakarta, Desember 2020 Peneliti,
(Xxxxxxxxx, X.X., M.H.)
LAPORAN PENELITIAN
YANG DIAJUKAN KE LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
DILEMA MORAL DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK DAN KRITIK ETIKA SITUASI (SITUATION ETHICS) – XXXXXX XXXXXXXX
Disusun oleh:
Ketua Tim
Xxxxxxxxx, S.H., M.H. (0320059003/10215006)
Anggota:
Xxxx Xxxxx, S.H., X.Xx. Xxxxx Xxxxxx, S.H., M.H. Xxxxx, X.X., X.Xx.
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA JAKARTA
TAHUN 2020
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN
Periode II / Tahun 2020
1. Judul : Dilema Moral dalam Penyelesaian Sengketa Medik dan Kritik Xxxxx Xxxxxxx (Situation Ethics) – Xxxxxx Xxxxxxxx.
2. Ketua Tim
a. Nama dan Gelar : Xxxxxxxxx, S.H., M.H.
b. NIDN/NIK : 0320059003/10215006
c. Jabatan/Gol : Asisten Ahli / III.B
d. Program Studi : Ilmu Hukum
e. Fakultas : Hukum
f. Bidang Keahlian : Hukum Kesehatan
g. Alamat Kantor : Jalan Letjen S. Xxxxxx No.1 Jakarta 11440
h. Nomor HP/Tlp/Email : 0000-000-0000 / xxxxxxxxx@xx.xxxxx.xx.xx
3. Anggota Tim Penelitian
a. Jumlah Anggota : Dosen 3 orang
b. Nama Anggota I/Keahlian : Xxxx Xxxxx, S.H., X.Xx. / Hukum Perdata
c. Nama Anggota II/Keahlian : Xxxxx Xxxxxx, S.H., M.H. / Hukum Bisnis
d. Nama Anggota III/Keahlian : Xxxxx, S.H., X.Xx. / Hukum Perdata
e. Jumlah Mahasiswa : 3 orang
f. Nama Mahasiswa/NIM : Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxx/205180029, Xxxxxxxx
Xxxxxxxxx/205180024, Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx/205180007
4. Lokasi Kegiatan Penelitian : DKI Jakarta
5. Luaran yang dihasilkan : Laporan Akhir, Artikel Ilmiah, Poster Penelitian
6. Jangka Waktu Pelaksanaan : Juli-Desember 2020
7. Biaya yang disetujui LPPM : Rp. 13.000.000,-
Jakarta, Januari 2021
Menyetujui,
Ketua LPPM Ketua Tim
Jap Tji Beng, Ph.D. Xxxxxxxxx, S.H., M.H.
NIDN/NIK: 0323085501 / 10381047 NIDN/NIK: 0320059003 / 10215006
i
RINGKASAN
Dalam praktik kedokteran, tidak jarang ditemukannya dokter yang terlibat dalam sengketa medik dengan pasien/keluarganya. Sengketa medik tersebut pada umumnya disebabkan oleh ketidakpuasan pasien/keluarganya atas tindakan medis yang berakibat pada kerugian materiil, cedera maupun meninggalnya pasien. Penyelesaian sengketa medik tidaklah semudah yang dibayangkan, karena hakim dihadapkan pada situasi yang kompleks. Penelitian ini berisikan kritik atas cara pandang hakim dalam menyelesaikan sengketa medik yang mengandung tarik- menarik antara hukum-etik-moral. Kritik yang diajukan adalah kritik dari perspektif etika sebagai cabang filsafat aksiologi, dengan menggunakan teori Etika Situasi (Situation Ethics) yang digagas oleh Xxxxxx Xxxxxxxx. Etika Situasi merupakan suatu pandangan yang meyakini bahwa apa yang wajib dilakukan oleh seseorang dalam situasi konkret, tidak dapat disimpulkan dari suatu hukum moral umum, melainkan harus diputuskan secara bebas oleh orang yang bersangkutan. Etika Situasi menjunjung tinggi otonomi moral dari tiap-tiap individu dan menolak ketaatan terhadap suatu hukum moral yang berlaku secara umum. Prinsip moral tertinggi dalam aliran ini adalah cinta kasih, sehingga setiap prinsip dan norma moral haruslah mencerminkan cinta kasih. Cara pandang Etika Situasi dapat dijadikan sebagai opsi bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa medik yang terjadi, karena setiap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan perwujudan cinta kasih dokter demi kepentingan perikemanusiaan sebagaimana isi sumpah profesi tersebut.
Kata Kunci: Sengketa Medik, Xxxxx Xxxxxxx, Moral.
PRAKATA
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Dilema Moral Dalam Penyelesaian Sengketa Medik dan Kritik Etika Situasi (Situation Ethics) – Xxxxxx Xxxxxxxx”. Dalam kesempatan ini, Penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih Penulis ucapkan terutama kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H., M.H., M.M., X.Xx.);
2. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Tarumanagara (Jap Tji Beng, Ph.D.);
3. Serta untuk pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh Penulis, termasuk mahasiswa yang sudah berkontribusi dalam penelitian ini selaku asisten tim peneliti (Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxx/205180029, Xxxxxxxx Xxxxxxxxx/205180024, Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx/205180007);
Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan masukan guna penyempurnaan regulasi yang terkait dengan pemberian perlidungan hukum terhadap dokter di masa yang akan datang. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan- kekurangan dalam penelitian ini. Oleh sebab itu, kritik dan masukan yang bersifat konstruktif terhadap hasil penelitian ini sangat diharapkan untuk penyempurnaan hasil penelitian ini.
Jakarta, Januari 2021 Ketua Tim Peneliti
Xxxxxxxxx, S.H., M.H. (0320059003/10215006)
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... | i |
RINGKASAN ............................................................................................. | ii |
PRAKATA ………………………………………………………………… | iii |
DAFTAR ISI ................................................................................................ | iv |
BAB I : PENDAHULUAN X. Latar Belakang ...................................................................... B. Rumusan Masalah ................................................................. | 1 8 |
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien dalam Kontrak Terapeutik …………………………………………………. B. Wanprestasi dalam Malapraktik Kedokteran ........................ C. Informed Consent dalam Pelayanan Medis ........................... D. Teori Pendukung Informed Consent ………………………. E. Xxxxx Xxxxxxx (Situation Ethics) – Xxxxxx Xxxxxxxx ………… | 10 11 19 28 37 |
BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ..................................................................... B. Sifat Penelitian ..................................................................... C. Jenis Data ............................................................................. D. Teknik Pengumpulan Data ................................................... E. Teknik Pengolahan Data ....................................................... | 42 42 43 44 44 |
F. Teknik Analisis Data ............................................................ | 45 | |
BAB IV | : HASIL DAN PEMBAHASAN A. Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO……………………………….. B. Putusan Mahkamah Agung RI No.365K/Pid/2012 ……….. C. Putusan Mahkamah Agung RI No.79PK/Pid/2013 ……….. D. Pembahasan ……………………………………………….. 1. Pandangan Majelis Hakim dalam Melihat Persinggungan antara Hukum, Etik, dan Moral yang Terjadi pada Sengketa Medik (Studi Kasus: Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO jo. Putusan Mahkamah Agung RI No.365K/Pid/2012 jo. No.79PK/Pid/2013) ... 2. Kritik Xxxxx Xxxxxxx (Situation Ethics) – Xxxxxx Xxxxxxxx terhadap Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO jo. Putusan Mahkamah Agung RI No.365K/Pid/2012 jo. No.79PK/Pid/2013 …. | 46 |
49 | ||
57 | ||
81 | ||
84 | ||
BAB VI | : KESIMPULAN DAN SARAN | |
A. Kesimpulan ………………………………………………... | 101 | |
B. Saran ………………………………………………………. | 102 | |
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... | 103 | |
LAMPIRAN-LAMPIRAN |
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditawar pemenuhannya. Setiap manusia, tanpa terkecuali, tentu sangat berharap dapat hidup dengan kondisi sehat. Maka tidak jarang kita mendengar dan menyaksikan banyak orang yang rela mengeluarkan sejumlah uang (yang tidak sedikit) demi memperoleh kesehatan.1
Fakta tersebut semakin mempertegas bahwa sedemikian mahal dan pentingnya kondisi sehat, sehingga membuat seseorang rela mengorbankan materi demi memperoleh kesehatan. Tanpa kesehatan, seseorang pastinya tidak akan produktif dalam melakukan aktivitasnya.
Ketika bicara mengenai kesehatan, tentu kita tidak bisa melepaskan diri dari pembahasan tentang penyediaan layanan kesehatan. Dalam konteks ini, profesi dokter memegang peran sentral. Dokter sebagai salah unsur utama dalam pemberi layanan kesehatan, memiliki disiplin keilmuannya yang khas dalam melaksanakan praktik kedokteran di Indonesia. Peran dokter di sini sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat (pasien).
Ilmu kedokteran adalah cabang ilmu kesehatan yang mempelajari tentang tata cara mempertahankan kesehatan manusia dan mengembalikan manusia pada keadaan sehat dengan memberikan pengobatan pada penyakit dan cedera. Ilmu ini meliputi pengetahuan tentang sistem tubuh manusia dan penyakit serta pengobatannya, dan penerapan dari pengetahuan tersebut.2
1 Xxxxxxx Xxxxxx, “Mahalnya Kesehatan dan Berharganya Hidup”, tersedia di xxxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxx/000x00x0x00000xx0xxx000x/xxxxxxxx-xxxxxxxxx-xxx- berharganya-hidup, diakses pada tanggal 22 September 2020 pukul 11.27 WIB.
Xxxxxx Xxxxx, “Mahalnya Harga Kesehatan”, tersedia di xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxx.xx.xx/xxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxxxx/, diakses pada tanggal 22 September 2020 pukul 11.30 WIB.
2 Xxxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum dan Masalah Medis, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1984), hlm.57.
Penerapan ilmu kedokteran tersebut diwujudkan dalam bentuk praktik kedokteran.3 Sejak tahun 2004, regulasi yang mengatur tentang praktik kedokteran mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pengaturan tersebut dimaksudkan unttuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan, dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter, serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter.
Praktik kedokteran yang terselenggara antara dokter dan pasien didasari oleh adanya suatu persetujuan yang telah diadakan oleh dokter dan pasien/keluarganya. Dari perspektif hukum perdata, hubungan tersebut berada dalam suatu perikatan hukum (verbintenis). Atas dasar perikatan yang terjalin di antara keduanya, maka melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak, serta membentuk pertanggungjawaban hukum masing-masing.
Dalam melaksanakan praktik kedokteran, setiap dokter memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Prosedur Operasional (SOP)4, memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien/keluarganya, serta menerima imbalan jasa.
Dalam praktiknya, hubungan antara dokter dan pasien tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Tidak jarang ditemukan adanya dokter dan pasien yang terlibat konflik, sehingga mengharuskan keduanya saling berhadapan di instansi penegak hukum yang ada di negara ini. Namun, kondisi pengetahuan masyarakat Indonesia yang masih minim seputar hukum
3 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
4 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, di mana Standar Operasional Prosedur (SOP) memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.
kesehatan5 kerap menimbulkan kesalahpahaman dalam menyikapi permasalahan yang muncul.
Istilah hukum kesehatan memang belum cukup lama dikenal oleh masyarakat, sehingga tidak mengherankan apabila pada akhirnya justru menimbulkan penanganan yang kurang tepat. Misalnya, ketika dijumpai adanya pasien yang bermasalah dengan dokter, asumsi masyarakat langsung mengarah pada tindakan malapraktik. Padahal jika dicermati secara seksama, tidak semua sengketa medik dapat diklasifikasikan sebagai tindakan malapraktik.6
Dalam praktik kedokteran, profesi dokter terikat oleh 3 (tiga) instrumen pengawas, yaitu instrumen hukum, etika profesi, dan disiplin profesi. Ketiga instrumen tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda-beda manakala terjadi pelanggaran terhadap masing-masing. Yang marak dikatakan sebagai tindakan malapraktik oleh masyarakat luas dewasa ini lebih mengarah pada aspek pelanggaran hukum (baik secara perdata maupun pidana).
5 Xxx xxx Xxxx memberi batasan pengertian hukum kesehatan sebagai berikut: “Health law can be defined as body of rules that relates directly to the care for health as well as to the application of general civil, criminal and administration law. Medical law, the study of the judicial relations to which the doctor is a party, is a part of health law. (Hukum kesehatan dapat dirumuskan sebagai kumpulan peraturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya dalam hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi. Adapun hukum medis mempelajari hubungan yuridis di mana dokter yang menjadi salah satu pihaknya adalah bagian dari hukum kesehatan).” Xxx xxx Xxxx dalam Xxxxxxx Xxxxxxx, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm.7.
6 Xxxxxxxx’x Dictionary of Law memberi rumusan terhadap malapraktik sebagai berikut: “Professional misconduct on the part of a professional person, such as a physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, and veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties, e.g. intentional wrongdoing or unethical practice. (Malapraktik adalah sikap tindak profesional yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, insinyur, ahli hukum, akuntan, dokter xxxx, dan dokter heran. Malapraktik bisa diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat peduli, kelalaian, kekurangan keterampilan atau kehati-hatian di dalam pelaksanaan kewajiban profesinya, seperti tindakan salah yang sengaja atau praktik yang bersifat tidak etis).” J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.12.
Pemahaman yang jelas dan utuh tentang jenis-jenis sengketa medik, tentunya akan berimplikasi pada penaganan yang cepat dan tepat terhadap sengketa tersebut, sehingga tidak berlarut-larut tanpa kepastian. Indonesia yang telah secara tegas menyatakan diri sebagai negara hukum (Pasal 1 Ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) tentunya harus secara konsisten memastikan bahwa penyelenggaraan negara harus bersumber pada prinsip-prinsip negara hukum.
A.V. Dicey mengemukakan 3 (tiga) unsur utama dalam negara hukum yang meliputi:7
1. Supremasi hukum (supremacy of law), artinya bahwa tidak seorang pun yang dapat dihukum atau secara hukum dapat dibuat menderita tubuh dan harta bendanya kecuali atas pelanggaran hukum tertentu yang tertuang dalam tata cara hukum biasa di hadapan pengadilan umum negara.
2. Persamaan di depan hukum (equality before the law), artinya bahwa setiap orang apa pun pangkat atau kondisinya tunduk pada hukum biasa yang merupakan lingkup dan berada di dalam yurisdiksi mahkamah biasa. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa persamaan di depan hukum (equality before the law) berarti bahwa semua warga, baik selaku pejabat negara maupun sebagai individu biasa tunduk pada hukum yang sama dan
7 A.V. Xxxxx, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Pengantar Studi Hukum Konstitusi), terjemahan Nurhadi, (Bandung: Nusa Media, 2007), hlm.254-259.
diadili di pengadilan biasa yang sama. Jadi setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum dan apabila ia melanggar hukum, baik selaku pribadi atau individu maupun pejabat negara, ia akan diadili dengan hukum yang sama dan dalam peradilan yang sama pula.
3. Due process of law, artinya bahwa konstitusi dijiwai oleh rule of law dengan alasan-alasan bahwa prinsip-prinsip umum konstitusi yang merupakan hasil keputusan yudisial yang menentukan hak-hak individu pada kasus tertentu yang dibawa ke muka pengadilan atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala tindakan negara harus berdasar atas hukum dan tidak ada suatu tindakan apa pun yang tidak memiliki dasar hukum.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien terbentuk karena kesepakatan yang tertuang dalam kontrak terapeutik di saat pasien memberikan persetujuannya (informed consent) pada dokter untuk melakukan tindakan medis setelah diberikannya penjelasan pada pasien dan dimengerti olehnya.8 Prestasi yang diharapkan oleh para pihak adalah mencapai kesembuhan, namun berbeda dengan perikatan pada umumnya yang menjanjikan hasil sebagai tujuan akhir yang hendak dicapai, perikatan antara dokter dan pasien disebut dengan perikatan usaha (inspanningsverbintenis). Dalam perikatan tersebut, salah satu pihak berusaha untuk berbuat sesuatu secara maksimal dan dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya kepada pihak lainnya.
Namun dalam praksis, tidak jarang kita mendapati pemberitaan bahwa adanya dokter yang digugat secara perdata oleh pasien/keluarganya karena kesembuhan yang diharapkan tidak didapatkan. Bahkan lebih ekstrem dokter dilaporkan secara pidana kepada pihak kepolisian karena kelalaiannya yang telah menyebabkan hilangnya nyawa pasien.
Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita semakin kritis terhadap segala fenomena yang terjadi. Namun, sikap kritis tersebut tidak jarang justru malah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
8 Xxxxx Xxxxxxx, Malapraktik Kedokteran, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.40.
Fenomena tersebut juga terjadi di dalam dunia kedokteran, di mana seperti ada upaya untuk kriminalisasi terhadap profesi dokter.
Memang benar negara ini adalah negara hukum, yang mana segala tindakan seseorang yang dirasa telah merugikan pihak lain, dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Namun perlu juga dipahami dan disikapi dengan cermat apakah tindakan medis yang dilakukan oleh dokter sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Karena bagaimanapun juga, profesi dokter termasuk profesi yang mengemban tugas mulia dalam upaya menyelamatkan nyawa manusia dari penyakit yang dideritanya, sehingga sangat tidak bisa diterima oleh nalar apabila ada dokter yang dengan sengaja mempertaruhkan profesinya demi tujuan-tujuan yang tidak sejalan dengan sumpah profesinya.
Fenomena maraknya dokter yang digugat secara perdata dan/atau dituntut secara pidana oleh pasien/keluarganya ini disebabkan oleh pemahaman bahwa perikatan antara dokter dan pasien merupakan perikatan yang menjanjikan hasil (resultaats verbintenis). Akibat dari pemahaman tersebut, maka ketika pasien/keluarganya tidak memperoleh kesembuhan sebagaimana yang diharapkan, maka mereka beranggapan bahwa dokter telah cedera janji (wanprestasi) sehingga dapat (bahkan harus) bertanggung jawab.
Salah satu kasus yang sempat menarik perhatian publik adalah kasus yang terjadi di tahun 2010 di Manado. Kasus ini melibatkan 3 (tiga) orang dokter yang sedang bertugas di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw Malayang, Kota Manado.9 Ketiganya harus diajukan ke pihak yang berwajib guna mempertanggungjawabkan perbuatannya atas meninggalnya seorang pasien atas nama Siska Makatey setelah menjalani tindakan medis berupa operasi cito secsio caesaria.10
Kasus sengketa medik tersebut kemudian berlanjut hingga upaya hukum peninjauan kembali yang kemudian diputus pada 7 Februari 2014.11 Kasus ini
9 Ketiga dokter tersebut adalah xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani (Terdakwa I), xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx (Terdakwa II), dan xx.Xxxxx Xxxxxxx (Terdakwa III). Lihat: Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO, hlm.7-8.
10 Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO, hlm.8.
11 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.79PK/Pid/2013, hlm.59.
menjadi menarik karena Penulis melihat adanya disparitas putusan yang dihasilkan oleh Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO, Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012 (pada tingkat kasasi), dan No.79PK/Pid/2013 (pada tingkat peninjauan kembali).
Pengadilan Negeri Manado dalam putusan No.90/Pid.B/2011/PN.MDO memutuskan bahwa semua dakwaan yang didakwakan kepada ketiga dokter (para terdakwa) tidak terbukti, sehingga ketiganya diputus bebas (vrijspraak) oleh majelis hakim. Kemudian sengketa ini berlanjut ke tingkat upaya hukum kasasi, di mana putusan yang bertolak belakang justru diputuskan oleh majelis hakim kasasi dalam putusan No.365K/Pid/2012 yang menyatakan ketiga dokter (para terdakwa) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Atas perbuatannya itu, ketiganya dijatuhi hukuman pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan.
Tidak puas dengan putusan kasasi, ketiga dokter (para terpidana) mengajukan upaya hukum peninjauan kembali guna memperoleh keadilan. Hasilnya, majelis hakim pada tingkat peninjauan kembali dalam putusan No.79PK/Pid/2013 lagi-lagi menjatuhkan putusan yang berbeda dengan putusan sebelumnya. Majelis hakim berpandangan bahwa ketiga dokter (para terpidana) tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana. Atau dengan kata lain, majelis hakim pada tingkat peninjauan kembali berpendapat bahwa majelis hakim pada tingkat pertama (pengadilan negeri) sudah tepat dalam menjatuhkan putusan No.90/Pid.B/2011/PN.MDO.
Berdasarkan kasus tersebut sebagaimana yang telah diperiksa, diadili, dan diputus oleh lembaga peradilan dari 3 tingkatan yang berbeda (tingkat pertama, kasasi, maupun peninjauan kembali), Penulis melihat bahwa adanya perbedaan persepsi di antara majelis hakim yang mengadili kasus tersebut, khususnya dalam melihat adanya persinggungan antara hukum, etik, dan moral.
Dokter sebagai salah satu profesi yang memegang peran sentral dalam pemberian layanan kesehatan bagi masyarakat, berada pada posisi yang tidak mudah dan kerap dihadapkan pada situasi sulit. Salah satunya seperti pada
kasus di atas, di mana ketiga dokter dihadapkan pada situasi di mana adanya seorang pasien yang sedang dalam kondisi kritis dan membutuhkan pertolongan medis berupa operasi cito secsio sesaria guna melakukan persalinan. Namun, setelah pertolongan medis diberikan, terhadap diri pasien terjadilah reaksi alami tubuh yang pada akhirnya mengakibatkan emboli udara12 dan berujung pada kematian pasien. Pada kasus tersebut, keluarga pasien menganggap bahwa meninggalnya pasien adalah akibat dari kelalaian yang dilakukan oleh ketiga dokter, sehingga ketiganya dilaporkan ke pihak yang berwajib guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Kasus ini menjadi menarik untuk diajukan kritik, khususnya kritik dari perspektif etika sebagai salah satu cabang dari filsafat, tepatnya filsafat tentang nilai atau aksiologi. Nilai-nilai yang dimaksud di sini berkenaan dengan sikap dan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika membicarakan tentang nilai-nilai yang baik bagi manusia sebagai „manusia‟. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan moral.13
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana majelis hakim melihat persinggungan antara hukum, etik, dan moral yang terjadi pada sengketa medik (Studi Kasus: Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO jo. Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012 jo. No.79PK/Pid/2013)?
2. Bagaimana kritik atas Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO jo. Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx
12 Emboli udara adalah kondisi masuknya udara ke dalam pembuluh udara, dan menimbulkan gelembung. Gelembung ini berisiko menghambat pasokan oksigen yang diedarkan ke seluruh tubuh. Xxxxxx Xxxxxxxx, “Emboli „Si Pencabut Nyawa‟ Ibu Usai Melahirkan”, tersedia di xxxxx://xxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/0000000/Xxxxxx.Xx.Xxxxxxxx.Xxxxx.Xxx.Xxxx.Xxxxxx rkan.?page=all#:~:text=Emboli%20udara%20adalah%20kondisi%20masuknya,yang%20diedark an%20ke%20seluruh%20tubuh., diakses pada 5 Oktober 2020.
13 Xxxxxxxx, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Cetakan Kedua, (Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, 2009), hlm.5.
Indonesia No.365K/Pid/2012 jo. No.79PK/Pid/2013 menurut aliran Xxxxx Xxxxxxx (Situation Ethics)?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien Dalam Kontrak Terapeutik Dari sudut hukum perdata, hubungan hukum antara dokter dan pasien berada dalam suatu perikatan hukum (verbintenis). Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua atau lebih subjek hukum untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu (Pasal 1313 jo. Pasal 1234
KUH Perdata) yang disebut prestasi.
Dalam hubungan hukum antara dokter dan pasien, di samping melahirkan hak dan kewajiban para pihak, juga membentuk pertanggungjawaban hukum masing-masing. Bagi pihak dokter, prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu in casu tidak berbuat salah atau keliru dalam perlakuan medis yang semata-mata ditujukan bagi kepentingan kesehatan pasien, adalah kewajiban hukum yang sangat mendasar dalam perjanjian dokter dan pasien (kontrak terapeutik).14
Ukuran perlakuan berbuat sesuatu secara maksimal dan dengan sebaik- baiknya atau tidak berbuat sesuatu yang tidak perlu, didasarkan pada standar profesi medis dan standar prosedur. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, ukuran itu disebutkan dengan istilah “Standar Profesi dan Standar Prosedur Operasional” (Pasal 50 jo. Pasal 51). Adapun dalam Pasal 44 Ayat (1) disebutkan bahwa “dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan15 kedokteran atau kedokteran gigi”.
Dari perspektif Hukum Perdata, malapraktik kedokteran terjadi apabila perlakuan salah dokter dalam hubungannya dengan pemberian prestasi pelayanan medis pada pasien yang menimbulkan kerugian keperdataan. Hal ini seringkali bersamaan dengan akibat yang menjadi unsur tindak pidana
14 Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebutkan “kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien”.
15 Standar pelayanan adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.
tertentu. Unsur adanya kerugian kesehatan fisik, jiwa, maupun nyawa pasien akibat dari salah perlakuan oleh dokter, merupakan unsur esensial malapraktik kedokteran baik secara perdata maupun pidana. Dengan timbulnya kerugian perdata bagi pasien sebagai dasar terbentuknya pertanggungjawaban hukum perdata bagi dokter.16
Hubungan hukum dokter dan pasien diklasifikasikan sebagai perikatan yang lahir karena suatu kesepakatan maupun perikatan yang lahir karena undang-undang. Maka dari itu, pelanggaran kewajiban hukum dokter dalam suatu perikatan hukum karena kesepakatan (kontrak terapeutik) membawa suatu keadaan wanprestasi. Pelanggaran hukum dokter terhadap kewajiban dokter karena undang-undang membawa suatu keadaan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
B. Wanprestasi dalam Malapraktik Kedokteran
Beban pertanggungjawaban dokter terhadap akibat malapraktik kedokteran dari sebab wanprestasi lebih luas dari sebab perbuatan melawan hukum, karena dari Pasal 1236 jo. Pasal 1239 KUH Perdata selain penggantian kerugian, pasien juga dapat menuntut biaya dan bunga. Akan tetapi jika dilihat dari macam kerugian yang dapat dituntut, maka kerugian dari sebab perbuatan melawan hukum lebih luas dari pada kerugian akibat wanprestasi. Tuntutan terhadap kerugian idiil (immateriil) akibat dari perbuatan melawan hukum dapat dilakukan, sedangkan wanprestasi tidak.
Tidak diperolehnya kesembuhan oleh pasien bukan merupakan alasan yang dapat dijadikan dasar sebagai suatu tuntutan wanprestasi terhadap dokter. Selama perlakuan medis dokter tidak menyimpang dari standar profesi medis dan standar prosedur operasional, maka dokter tidak dapat dipersalahkan atau dimintakan pertanggungjawaban. Hal ini dikarenakan oleh hubungan antara dokter dan pasien bukan hubungan yang memuat kewajiban hukum dokter yang berorientasikan pada hasil (resultaat) pelayanan medis, melainkan kewajiban untuk perlakuan medis dengan sebaik-baiknya dan secara
16 Xxxxx Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.36.
maksimal, tidak salah langkah atau salah prosedur (berdasarkan standar profesi dan standar prosedur).17
Kontrak terapeutik antara dokter dan pasien bukan merupakan perjanjian yang ditujukan pada hasil perbuatan (resultaat), karena objek dalam perjanjian terapeutik bukan hasil pelayanan medis oleh dokter, tetapi tingkah laku atau perlakuan pelayanan medis yang sesuai. Dokter tidak bisa dan tidak mampu menjamin hasil akhir.18 Berbuat sesuatu yang seharusnya diperbuat dan tidak berbuat sesuatu yang seharusnya tidak diperbuat adalah suatu prestasi dokter dan menjadi kewajiban hukum dokter dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan pasien, yang sekaligus menjadi hak pasien yang dapat dituntut pelaksanaannya pada dokter.
Hubungan hukum yang demikian didasari oleh rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Hubungan saling percaya (vertouwen) ini disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia. Walaupun bagi kedua belah pihak kesembuhan merupakan tujuan akhir dari kontrak terapeutik. Akan tetapi, hasil dari suatu tindakan medis bukanlah sesuatu yang mutlak dan dapat dituntut pemenuhannya. Perikatan hukum antara dokter dan pasien termasuk jenis perikatan hukum yang disebut dengan perikatan usaha (inspanningsverbintenis)19, yaitu suatu bentuk perikatan yang isi prestasinya ialah salah satu pihak berusaha untuk berbuat sesuatu secara maksimal dan dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya kepada pihak lain. Kewajiban pokok dokter terhadap pasiennya adalah inspanning, yaitu suatu usaha keras dan sungguh-sungguh yang diperlukan unuk behoud dan menyembuhkan kesehatan dari pasien. Ukuran sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya bagi dokter dalam hubungan hukum dokter dan pasien adalah standar profesi medis, standar prosedur operasional, kebutuhan medis pasien, dan prinsip- prinsip umum dalam profesi kedokteran. Hasil dari perlakuan penyembuhan, pemulihan atau pemeliharaan kesehatan pasien bukanlah menjadi kewajiban
17 Xxxxx Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.37.
00 Xxxxx Xxxxx, Xxxx Xxxxxx, (Xxxxxxx: Kesaint Blank, 2002), hlm.50.
19 Xxxxx Xxxx Xxxx, Profesi Dokter, (Jakarta: Erlangga, 1991), hlm.109.
hukum dokter, melainkan kewajiban moral belaka, yang akibatnya bukan sanksi hukum, tetapi moral dan sosial.20
Jadi sepanjang perlakuan medis terhadap pasien telah dilakukan secara benar dan patut menurut standar profesi dan standar prosedur operasional, serta sesuai dengan kebutuhan pasien, tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan tidak melahirkan malapraktik kedokteran. Namun apabila setelah perlakuan medis terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana yang diharapkan (tanpa penyembuhan) atau bisa jadi lebih parah sifatnya menyakitkan, oleh sebab perlakuan medis dokter yang menyalahi standar profesi atau standar prosedur operasional atau tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, maka dokter dapat berada dalam keadaan malapraktik kedokteran. Tentu dengan syarat yaitu tidak sembuh atau lebih parah penyakit pasien setelah perlakuan medis, dan dari sudut standar profesi, standar prosedur operasional, dan prinsip-prinsip umum kedokteran, keadaan itu benar-benar sebagai akibat langsung (causaal verband) dari salah perlakuan medis dari dokter. Jika syarat ini ada, maka dokter telah berada dalam kondisi malapraktik kedokteran, oleh sebab itu pasien berhak menuntut penggantian kerugian atas kesalahan perlakuan medis dokter tersebut. Dalam hal apabila akibat yang ditimbulkan lebih parah penyakitnya sampai pada akibat tertentu yang memenuhi kriteria dalam hukum pidana, seperti kematian atau luka (Pasal 359 jo. Pasal 360 KUH Pidana), maka dimungkinkan timbul pertanggungjawaban pidana yang wujudnya bukan sekadar penggantian kerugian (perdata) saja, melainkan bisa jadi pemidanaan juga.21
Kesepakatan dalam kontrak terapeutik timbul baik secara diam maupun secara tegas dan lebih bersifat kepercayaan. Adalah tidak wajar apabila kesepakatan iu dibuat dalam bentuk tertulis apalagi autentik. Kecuali dalam hal perlakuan medis yang mengandung risiko tinggi, seperti tindakan medis berupa pembedahan (operasi), hal ini menjadi wajib.22
20 Xxxxx Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.38.
21 Ibid., hlm.38-39.
22 Ibid., hlm.39.
Dalam keadaan biasa, bukan berarti tidak boleh dibuat secara tertulis, apalagi dalam bentuk akta autentik sekalipun. Ketidakwajaran itu hanya karena hubungan dokter dan pasien didasari hubungan kepercayaan, di samping alasan tidak praktis, terlalu mengada-ada dan sangat birokratis, juga memerlukan waktu yang panjang, dan dapat membawa kerugian bagi pasien sendiri. Dalam pelayanan medis tertentu yang sangat berisiko, wajib dibuat dalam bentuk tertulis, yang dalam praktik kedokteran sekadar dimintakan persetujuan (informed consent) pada pasien/keluarga terdekat, jika karena penyakitnya pasien tidak mampu memberikan persetujuan.23
Persetujuan semacam ini tidak dapat dipakai sebagai alasan pembenar perlakuan medis yang menyimpang. Informed consent pasien/keluarganya hanya sekadar membebaskan risiko hukum bagi timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dalam hal perlakuan medis yang benar dan tidak menyimpang. Meskipun ada persetujuan semacam itu, apabila perlakuan medis dilakukan secara salah yang menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki, dokter juga tetap terbebani tanggung jawab terhadap akibatnya.24
Hubungan hukum dokter dan pasien terbentuk karena kesepakatan. Kesepakatan dalam kontrak terapeutik terbentuk pada saat pasien memberikan persetujuannya (informed consent) pada dokter untuk melakukan tindakan medis setelah dokter memberikan penjelasan pada pasien dan dimengerti olehnya. Logika hukumnya ialah dokter yang berpraktik telah melakukan penawaran umum (openbare aanbod) dalam hal memberikan jasa pelayanan medis sebagai syarat pertama dari terbentuknya kesepakatan. Pada dasarnya, pasien yang datang menghadap untuk dilayani dokter adalah wujud dari penerimaan penawaran tersebut. Namun karena adanya kewajiban dokter untuk memberikan penjelasan, maka penjelasan oleh dokter ini harus dianggap masih dalam rangka penawaran atau penegasan penawaran. Menurut hukum, kesepakatan terjadi apabila ada penawaran oleh satu pihak, dan penawaran diterima atau disetujui oleh pihak lain. Sebagaimana diketahui bahwa
23 Ibid.
24 Ibid., hlm.39-40.
kesepakatan merupakan sumber dari perikatan hukum (Pasal 1233 KUH Perdata).25
Menghadapnya pasien pada dokter merupakan wujud dari suatu kehendak agar kepada dirinya diberikan pelayanan medis sesuai dengan keperluan menurut standar profesi kedokteran dan standar prosedur operasional yang berlaku. Kemudian dokter mengambil langkah pemeriksaan. Langkah pertama yang dilakukan dokter apapun wujudnya, misalnya bertanya pada pasien, kemudian memberikan penjelasan secara lengkap (Pasal 45 Ayat (2) Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 jo. Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2014) harus dianggap suatu penegasan dari openbare aanbod dokter. Di sini ada kewajiban moral atau etika dokter yang melakukan langkah-langkah pada pasien yang datang menghadapnya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Setelah diberikan penjelasan, pasien memberikan persetujuan secara diam-diam atau tegas pada dokter untuk dilakukan tindakan medis. Dari sudut hukum, untuk terbentuknya transaksi terapeutik diletakkan pada persetujuan pasien, sedangkan dokter berada pada pihak yang mengadakan openbare aanbod.26
Hubungan hukum dalam kontrak terapeutik memuat hak-hak dan kewajiban hukum para pihak secara umum yang berlaku bagi dokter dan pasien, walaupun tidak dibuat secara formal tertulis. Pelaksanaan kewajiban hukum dokter selalu dibayangi adanya risiko, baik bagi pasien maupun dokter. Bagi pasien, pelayanan dokter dapat membawa kerugian kesehatan atau nyawa. Bagi dokter, berupa sanksi mulai dari yang ringan sampai yang terberat, yang bersifat moral kemasyarakatan sampai hukum (baik berupa sanksi administrasi, perdata, dan pidana). Kewajiban perlakuan medis secara umum artinya harus sesuai standar umum kedokteran atau standar profesi medis dan standar prosedur operasional, walaupun pasien tidak mengerti isi standar tersebut. Pelanggaran terhadap standar profesi dan standar prosedur
25 Ibid., hlm.40.
26 Ibid.
operasional ini merupakan salah satu syarat dari terjadinya malapraktik kedokteran.27
Wanprestasi dalam arti harfiah adalah prestasi yang buruk28, yang pada dasarnya menitikberatkan adanya pelanggaran terhadap isi kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian/kontrak oleh salah satu pihak. Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa:
1. Tidak memberikan prestasi sama sekali sebagaimana yang diperjanjikan;
2. Memberikan prestasi tidak sebagaimana mestinya, tidak sesuai kualitas atau kuantitas sebagaimana yang diperjanjikan;
3. Memberikan prestasi akan tetapi sudah terlambat, tidak tepat waktu sebagaimana yang diperjanjikan;
4. Memberikan prestasi yang lain dari yang diperjanjikan semula.
Wanprestasi dokter dari kontrak terapeutik dapat berupa salah satu atau beberapa dari empat bentuk wanprestasi di atas. Sebagaimana kontrak terapeutik yang merupakan inspanningsverbintenis, di mana kewajiban atau prestasi dokter yang harus dijalankan pada pasien adalah perlakuan medis yang sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya sesuai dengan standar profesi medis atau standar prosedur operasional. Dengan demikian, wanprestasi dokter paling dekat pada bentuk pelanggaran kewajiban pada poin kedua dan keempat. Dokter telah memberikan prestasi pelayanan medis pada pasien, namun tidak sebagaimana mestinya, yakni melanggar standar profesi medis atau standar prosedur operasional. Dokter memberikan prestasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien adalah bentuk wanprestasi pada poin keempat.
Keadaan wanprestasi dalam malapraktik kedokteran hanya terjadi karena pelanggaran kesepakatan oleh pihak dokter walaupun kewajiban pasien tidak dipenuhi. Namun tidak dipenuhinya kewajiban pasien, seperti tidak patuh pada petunjuk dan nasihat dokter atau melanggar kewajiban pasien untuk memberikan keterangan yang benar dan jujur yang berakibat buruk, memang
27 Ibid., hlm.41.
28 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1985), hlm.45.
ada pengaruhnya terhadap tanggung jawab dokter baik dari yang berat sampai membebaskan pertanggungjawaban sama sekali. Bukan mustahil pelanggaran kewajiban oleh pasien sendiri begitu kuat pengaruhnya terhadap diagnosis maupun terapi dokter, yang menyebabkan perlakuan medis dokter salah dan menjadi fatal akibatnya.
Dalam kondisi tersebut, tidak tertutup kemungkinan dari sebab pelanggaran kewajiban pasien untuk memberikan keterangan yang benar dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perlakuan medis dokter. Tentu tidak mudah pelimpahan tanggung jawab dokter pada pasien dalam hal terjadi malapraktik dokter yang semula tidak memenuhi kewajibannya dalam kontrak terapeutik semacam itu. Disebabkan ketiadaan keseimbangan antara dokter dan pasien dalam banyak hal terutama di bidang ilmu.
Dalam hubungan dokter dan pasien, keduanya berada dalam ketiadaan keseimbangan. Dokter memiliki ilmu dan dengan ilmunya itu dokter mengetahui segala hal mengenai penyakit pasien dan terapinya. Dengan demikian, mewajibkan dokter untuk tidak mudah begitu saja percaya pada keterangan pasien yang umumnya awam bahkan sangat awam mengenai penderitaan atau penyakitnya.
Tidak ada ukuran yang berlaku secara umum yang dapat digunakan untuk menilai pengaruh setiap pelanggaran kewajiban pasien sendiri terhadap salah prakik dokter, melainkan akan bergantung pada setiap kasus atau bersifat kasuistis. Penilaian atau pengujian dengan berbagai pertimbangan dari berbagai sudut mengenai kasus nyata yang terjadi sangat menentukan.29
29 Contoh konkret kasus dr. Setianingrum di Pati pada tahun 1979. Pangkal kejadian disebabkan suntikan streptomycin 1 cc pada pasien yang tidak tahan terhadap obat tersebut. Ketika ditanya oleh dokter, pasien menerangkan bahwa dia sebelumnya pernah berobat ke dokter lain dan disuntik streptomycin. Dokter percaya, setelah suntikan dilakukan, ternyata sebaliknya berakibat fatal yakni kematian. Dalam kasus ini jelas ada peran pasien sendiri atas kematiannya. Menurut Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Tinggi Semarang, peran pasien sendiri terhadap kematiannya tidak menjadi bahan pertimbangan, karena kedua tingkat pengadilan tersebut mempersalahkan dokter, atas sikap percaya (culpoos) terhadap keterangan pasien yang awam terhadap obat dan penyakit. Namun ternyata, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 600/K/Pid/1983 berpendapat lain dan membebaskan terdakwa. Pertimbangan Mahkamah Agung bahwa terdakwa sebagai dokter yang baru berpengalaman kerja selama 4 tahun yang sedang bertugas di Puskesmas yang serba terbatas sarananya tidak mungkin untuk diharapkan melakukan hal-hal seperti yang dikehendaki saksi (pendapat ahli) xx. Xxxx Xxxxxxx, misalnya melakukan
Prestasi dokter dalam transaksi terapeutik ialah prestasi berbuat sesuatu dalam pelayanan medis pada pasien dengan sebaik-baiknya dan secermat- cermatnya. Ukuran cermat dan sebaik-baiknya adalah standar profesi medis dan standar prosedur operasional, termasuk pula kebutuhan medis pasien dan kebiasaan umum yang wajar dari sudut disiplin kedokteran. Selain adanya perjanjian in casu kewajiban melakukan prestasi, dalam setiap wanprestasi terkandung aspek kerugian bagi pihak lain.
Wujud kerugian dalam prestasi pelayanan dokter harus benar-benar akibat (causaal verband) dari perlakuan medis yang menyalahi standar profesi kedokteran atau standar prosedur operasional. Dalam mengukur ada atau tidaknya causaal verband ajaran causalitas doktrin hukum pidana dapat digunakan. Dalam hal ini, ilmu kedokteran juga sangat berperan untuk menguji dan mengukur ada atau tidaknya causaal verband tersebut. Di sinilah letak hubungan antara disiplin ilmu kedokteran dan ilmu hukum khususnya dalam hal wanprestasi dokter maupun perbuatan melawan hukum dokter.
Wujud kerugian akibat wanprestasi (malapraktik kedokteran) hanya berupa kerugian materiil yang dapat diukur dengan nilai uang terutama biaya perawatan, biaya perjalanan, biaya obat-obatan (pengobatan). Kerugian- kerugian ini dapat dituntut oleh pasien/ahli warisnya pada dokter atau rumah sakit yang melakukan perawatan. Tentu saja kerugian ini harus dibuktikan. Selain membuktikan perlakuan dokter yang menyimpang dari standar profesi, juga harus dibuktikan kerugian adalah akibat langsung dari perlakuan dokter yang menyimpang. Pada dasarnya perlakuan medis yang menyimpang dari standar profesi dan adanya kerugian adalah unsur kumulatif yang harus ada pada setiap malapraktik kedokteran.
penyuntikan adrenalin langsung ke jantung atau pemberian cairan infus, pemberian zat asam dan lain tindakan yang memerlukan sarana yang rumit.
Tampak sekali bahwa pertimbangan hukum Mahkamah Agung, telah bergeser dari kelalaian terapi sebagai penyebab utama kematian pasien sebagaimana pertimbangan semula Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Tinggi Semarang ke arah fase timbulnya gejala kematian berupa upaya mencegah kematian setelah terapi memberikan suntikan streptomycin. Pertimbangan putusan Mahkamah Agung ini tetap terbuka peluang untuk diperdebatkan di kalangan akademisi hukum. Xxxxx Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.42-43.
Sementara itu, kerugian idiil (immateriil) misalnya kehilangan harapan kesembuhan, rasa penderitaan atau kesakitan yang berkepanjangan, kehilangan bagian tubuh tertentu, hilangnya ingatan, hilangnya penglihatan, luka-luka bahkan sampai pada kematian pasien bukan kerugian yang dapat dituntut atas dasar wanprestasi. Namun dapat dituntut atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata.
C. Informed Consent dalam Pelayanan Medis
Informed consent bermula karena adanya hubungan antara dokter dan pasien melalui transaksi terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, baik itu pemberi pelayanan (medical providers) maupun penerima pelayanan (medical receiver) yang mengikat dan harus dihormati oleh kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak terapeutik tersebut.30
Dokter sebagai medical providers mempunyai kewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan berupa diagnosis pengobatan dan tindakan medik lainnya yang terbaik menurut pengetahuan standar profesi yang dimilikinya, sedangkan di sisi lain pasien sebagai penerima (medical receiver) mempunyai hak untuk menentukan pelayanan kesehatan berupa pengobatan atau tindakan medik lain yang akan dilakukan terhadap dirinya.31
Realitas dalam pelaksanaan informed consent menimbulkan berbagai permasalahan, terutama dokter yang hendak melakukan suatu diagnosis medis terhadap pasien seringkali menimbulkan ketidaksesuaian pandangan antara keinginan dokter dan keinginan pasien/keluarganya. Ketidaksesuaian ini disebabkan karena pada umumnya dokter hanya melihat pasien dari segi medisnya saja, sedangkan pertimbangan lain yang diperhitungkan oleh pasien dan keluarganya, seperti keadaan psikis, keuangan, dan keadaan keluarga yang dapat mempengaruhi keputusan pasien kurang diperlukan oleh dokter. Oleh
30 Muntaha, Hukum Pidana Malapraktik (Pertanggungjawaban dan Penghapus Pidana), (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm.23.
31 Ibid.
sebab itu, diperlukan suatu persetujuan tindakan medis atau biasa disebut dengan informed consent.32
Pengertian informed consent ini telah banyak dipaparkan oleh sejumlah ahli hukum, antara lain:
1. Xxxxxxxx memberi arti informed consent dengan menjabarkan asal muasal katanya, yakni formed yang berarti telah diberitahukan/telah disampaikan atau telah diinformasikan dan consent yang memiliki arti persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian, istilah informed consent didefinisikan sebagai suatu persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah pasien menerima penjelasan.33
2. Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx memberi pengertian informed consent sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.34 Dipandang dari kedudukan para pihak, maka informed consent merupakan
syarat subjektif untuk terjadinya transaksi terapeutik yang bertumpu pada dua jenis hak asasi yang bersifat hak dasar dari setiap diri manusia, yaitu hak asasi atas informasi dan hak asasi untuk menentukan nasib sendiri. Para pihak dalam kaitannya dengan persetujuan tindakan medis telah mengikatkan diri dan mematuhi isi dari persetujuan serta menerima risiko dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dan pasien berhak menuntut apabila terjadi kesalahan dan kelalaian yang mengakibatkan adanya cacat fisik maupun nonfisik di dalam pelaksanaan tindakan medis tersebut.35
Informed consent yang diberikan oleh pasien terhadap dokter untuk melakukan tindakan medis, tidak menjamin dokter bebas dari segala tuntutan hukum. Artinya, sepanjang tindakan medis tidak menimbulkan risiko, hal itu
32 Ibid., hlm.23-24.
33 Xxxxxxxx dalam Xxxx Xxxxxxxxxxx, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter (Buku I), (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), hlm.127.
34 X. Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx dalam Xxxx Xxxxxxxxxxx, Ibid.
35 Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.24.
tidak menimbulkan masalah, tetapi apabila terjadi risiko yang berakibat pada terjadinya cacat baik secara fisik maupun nonfisik, maka dokter dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum.36
Kedudukan informed consent dalam melakukan tindakan medis sangat penting. Sehubungan dengan hal tersebut, Xxxxxxxx Xxxxxxx mengingatkan bahwa:37 “Every human being of adult years and sound mind has a right to determine what shall be done with his own body and a surgeon who performs and operator without his patient’s commits an assault, for which he is liable in damages (setiap manusia dewasa yang berpikiran sehat berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya sendiri, dan seorang ahli bedah yang melakukan suatu profesi tanpa izin pasiennya, dapat dianggap telah melanggar hukum, di mana ia bertanggung jawab atas segala kerusahakn yang timbul).”
Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa informed consent merupakan suatu dasar adanya tindakan dokter untuk melaksanakan suatu pelayanan medis kepada pasien, di mana tindakan tersebut dianggap sebagai suatu hubungan hukum yang dapat menimbulkan peristiwa hukum, yakni dengan adanya akibat hukum yang ditimbulkannya sendiri dari tindakan medis tersebut.38
Informed consent dianggap sebagai standar pelayanan dokter terhadap pasien, benar-benar harus dapat dipertanggungjawabkan, oleh karenanya seorang dokter benar-benar harus mampu memberi informasi yang akurat dan dapat dimengerti oleh calon pasiennya agar dalam melakukan tindakan medis, pasien sudah dapat mengetahui tentang risiko medis yang mungkin dapat terjadi terhadapnya.39
Xxxxxxxx informed consent, Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:40
36 Ibid., hlm.24-25.
37 Xxxxxxxx Xxxxxxx dalam J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.24.
38 Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.25-26.
39 Ibid.
40 Ibid., hlm.25-26.
1. Informed consent merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri bagi pasien dan hak pasien atas informasi telah terpenuhi dalam pelaksanaan praktik dokter.
2. Informed consent dimaksudkan untuk melindungi hak individual pasien dari tindakan sah atas integritasnya oleh dokter, dan juga dapat melindungi dokter dari tuntutan pelanggaran hak atas integritas pribadi pasien termaksud.
3. Dasar pertimbangan kewajiban memberikan informasi atas setiap tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter adalah persetujuan pasien. Oleh karena itu, agar pasien dapat memberikan keputusan untuk menyetujui dilakukannya tindakan medik tertentu dalam pengobatan atau perawatannya, pasien harus memahami permasalahan kesehatan yang dihadapinya. Untuk itu, diperlukan informasi yang sejelas-jelasnya dari dokter tentang tujuan, cara, dan manfaat yang dapat diharapkan dari tindakan medik tertentu, serta risiko yang mungkin timbul sebagai akibat dari tindakan tersebut sehingga timbul kepercayaan pasien terhadap dokter yang menanganinya.
4. Dokter sebagai tenaga profesional di bidang kedokteran mempunyai kemampuan yang sangat dibutuhkan oleh pasien yang merasa tidak berdaya untuk mengatasi masalah kesehatannya. Di sisi lain, guna tercapainya tujuan pengobatan dan perawatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien termaksud, diperlukan informasi yang akurat dari pasien tentang riwayat penyakitnya. Untuk itu, hubungan interpersonal antara dokter dan pasien merupakan kegiatan terpenting yang sangat bermanfaat bagi kesembuhan pasien dan keberhasilan dokter dalam memberikan pengobatan.
Muntaha memandang bahwa informed consent merupakan suatu standar pelayanan medis yang harus ada sebelum tindakan medis dilakukan, karena dengan adanya kesepakatan ini para pihak telah mengikatkan diri sehingga timbul hak dan kewajiban, dan di sisi lain juga berfungsi sebagai dasar untuk
menuntut apabila terjadi tindakan medis di luar apa yang telah disepakati atau diperjanjikan.41
Konsekuensi dari tindakan yang tidak sesuai dengan informed consent dapat berakibat pada adanya tuntutan secara perdata, berupa tuntutan ganti rugi apabila dalam tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter menimbulkan kerugian pada pasien. Di sisi lain, tuntutan pidana dapat pula muncul bilamana dalam tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terdapat kesalahan, baik kesengajaan maupun kelalaian yang berakibat adanya cacat fisik maupun nonfisik yang dialami oleh pasien.42
Dalam hubungannya dengan pemberian pemahaman terhadap informed consent, pasien tidak harus diberi beban yang berat untuk menjelaskan terkait kesehatannya, termasuk mengenai riwayat penyakit yang dideritanya, sebab setiap pasien mempunyai keterbatasan intelektual yang berbeda-beda. Oleh karenanya, peran seorang dokter untuk menerapkan ilmunya secara profesional sangat penting, sebab hal tersebut berkaitan dengan penentuan tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasiennya.43
Dalam keadaan demikian, posisi dokter adalah sebagai penyelenggara profesi medik yang memonopoli teknik-teknik pengobatan dan perawatan. Tidak hanya itu, seorang dokter mempunyai peran yang disebut sebagai otonomi profesi yang bebas dan tidak dibatasi oleh lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tugasnya secara profesional. Relasi yang dibangun antara dokter dan pasien dalam kondisi demikian adalah relasi apa yang disebut dengan pola penyakit (disease model), yang ditandai oleh sifat-sifat nonpribadi untuk menjalin relasi tersebut sehingga pasien dapat takluk.44
Informed consent sebagai suatu kesepakatan untuk diadakannya tindakan medik oleh dokter terhadap pasien, ditandai dengan adanya gejala pola penyakit yang diderita oleh pasien tersebut. Konsepsi pola penyakit pada umumnya menghendaki suatu fakta bahwa masyarakat mencari bantuan
41 Ibid., hlm.26.
42 Ibid., hlm.26-27.
43 Ibid., hlm.27.
44 Ibid.
karena menderita gejala-gejala disfungsionalisasi fisik, dalam arti sakit sehingga organ-organ tubuh tidak lagi berfungsi secara optimal dan maksimal.45
Dalam berbagai penelitian di era modern dewasa ini, pola penyakit, terutama sejak abad ke-20, telah ditinggalkan untuk dijadikan dasar bagi perjanjian terapeutik, termasuk soal informed consent. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Xxxxxxx berpendapat bahwa dalam hubungan dokter dan pasien, setidaknya terdapat 5 (lima) tahap relasi dokter dan pasien, yaitu:46 (i) tahap gejala penyakit; (ii) tahap pengakuan mengidap sakit dan penyakit; (iii) tahap kontrak pelayanan medik; (iv) tahap kontrak terapeutik dengan peran ketergantungan pihak pasien; dan (v) tahap pemulihan dan rehabilitasi.
Tahapan di atas menunjukkan bahwa pemberian persetujuan untuk dilakukan tindakan medis dari pasien kepada dokter yang akan melakukan tindakan medis pada hakikatnya adalah untuk memberikan keleluasaan pasien dalam memilih tindakan medis apa yang sesuai dengan kesanggupan secara finansial dan berat ringannya penyakit yang dideritanya.47
Pemberian informed consent dari pasien kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada prinsipnya terdapat 2 (dua) bentuk, yaitu expressed dan implied. Expressed artinya persetujuan itu dinyatakan secara jelas baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written). Adapun implied artinya persetujuan ini tidak secara terang-terangan dinyatakan, melainkan tersirat. Adanya informed consent ini sekaligus memberi pegangan bagi dokter dalam melakukan tindakan medis sesuai dengan profesinya, dan bagi pasien sebagai bentuk perlindungan hukum bilamana dalam suatu tindakan medis terdapat akibat atau risiko medis yang dialaminya.48
Oleh karena itu, informed consent bertujuan memberikan kepastian terhadap perlindungan hukum bagi pasien dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap dirinya, sebab
45 Ibid.
46 Ibid., hlm.27-28.
47 Ibid., hlm.28.
48 Ibid.
informed consent tidak lain adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atas keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.49
Melihat dari hubungan antara dokter dan pasien terkait informed consent, tidak hanya mencakup hubungan berdasarkan tindakan medik semata, melainkan juga terdapat hubungan hukum yang ditimbulkan oleh suatu persetujuan untuk melakukan tindakan medik. Sejalan dengan hal tersebut, Xxxx Xxxxxxxxxxx Xxxxxxxx menyatakan bahwa hubungan pasien, dokter, dan rumah sakit selain berbentuk hubungan medik, juga berbentuk hubungan hukum. sebagai hubungan medik, maka hubungan itu akan diatur oleh kaidah- kaidah medik, sedangkan sebagai hubungan hukum akan diatur oleh kaidah- kaidah hukum.50
Suatu informed consent akan melahirkan kewajiban dari salah satu pihak untuk melakukan suatu tindakan yang diperlukan oleh pihak lain yang merupakan haknya, dalam hal ini, pasien yang diikat perjanjian pelayanan kesehatan. Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undnag-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Pasal 53 Ayat (2) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.51
Dalam menentukan persetujuan pemberian informed consent dari pasien/keluarganya, peran informasi yang akurat dari dokter tentang penyakit dan risiko medik sangat penting artinya, sebab dengan penjelasan tersebut pasien dan keluarganya dapat dengan sadar menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan. Hal ini sesuai dnegan penegasan dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585 Tahun 198952 yang menyatakan
49 Ibid.
50 Xxxx Xxxxxxxxxxx Xxxxxxxx dalam Sutarno, Hukum Kesehatan Eutanasia, Keadilan, dan Hukum Positif di Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), hlm.45.
51 Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.28-29.
52 Di dalam ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 ditegaskan akan pentingnya informed consent bagi dokter dan pasien sehubungan dengan tindakan medis yang dilakukan, di mana ditegaskan:
bahwa persetujuan diberikan oleh pasien/keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.53
Penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter bagi pasien sifatnya begitu urgen, sebab pada prinsipnya melakukan suatu perbuatan atas tubuh seseorang tanpa persetujuan dari yang memiliki tubuh tersebut merupakan tindakan yang tidak saja melanggar etika, melainkan juga melanggar hukum, dalam hal ini hukum pidana, bahkan bisa dikatakan melanggar hak asasi manusia.54
Salah satu sebab pentingnya informed consent diberikan oleh pasien adalah karena apabila diamati, perkembangan hubungan antara dokter dan pasien terdapat pergeseran hubungan, dari yang semula bersifat paternalistik ke arah hubungan yang lebih bersifat konsumerisme. Keadaan demikian menimbulkan kesadaran bagi pasien bahwa dirinya mempunyai hak untuk mengetahui dengan pasti treatment seperti apa yang akan diberikan oleh dokter, dan bahkan berhak berkonsultasi dengan dokter lain tentang penyakitnya. Oleh karena itu, dokter mempunyai kewajiban untuk menjelaskan kepada pasiennya tentang hal-hal yang penting tentang pengobatan tersebut.55
Secara yuridis, informed consent mempunyai peranan sebagai sarana bagi dokter untuk menghindari jeratan sanksi pidana, sebab tanpa persetujuan untuk melakukan tindakan medik dari pasien, maka tindakan medik yang dilakukan (misalnya pembedahan) dapat disetarakan dengan tindakan penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 KUH Pidana.56
a) bahwa dalam menjalankan profesi kedokteran perlu ditetapkan landasan hukum untuk menjadi pedoman bagi para dokter, baik dalam bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik, maupun pada praktik perorangan atau bersama;
b) bahwa pengaturan tentang persetujuan tindakan medik atau informed consent merupakan suatu hal yang berkaitan erat dengan tindakan medik yang dilakukan oleh dokter, dan oleh karenanya perlu diatur dalam suatu Peraturan Menteri Kesehatan.
53 Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.29.
54 Ibid.
55 Ibid.
56 Ibid., hlm.30.
Begitu pula dalam tindakan pembiusan yang akan dilakukan oleh seorang dokter anestesi juga setara dengan tindakan membuat seseorang dalam keadaan tidak sadarkan diri, yang berarti melakukan kekerasan sesuai dengan ketentuan Pasal 89 KUH Pidana. Xxxxxxxx informed consent dalam hukum kesehatan, secara komprehensif diuraikan oleh Xxxxx Xxxxx bahwa:57
“Suatu persetujuan dari pihak pasien (atau keluarga pasien jika pasien tidak mungkin memberikan persetujuan), secara bebas dan bernalar, atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter atas tubuhnya atau atas diagnosistik, terapeutik, dan paliatif (menghilangkan rasa sakit), yang dilakukan oleh dokter. Persetujuan mana diberikan oleh pasien setelah pasien tersebut diberikan informasi yang cukup dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien sehingga pasien dapat mengambil keputusan yang tepat tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter tersebut, termasuk informasi tentang maksud dan tujuan diagnostik, paliatif, dan pengobatan, semua fakta penting, risiko-risiko, dan efek samping ataupun komplikasi yang mungkin akan terjadi, kerugian dan keuntungan pengobatan dengan cara tersebut, alternatif lain yang tersedia, besarnya biaya yang akan dikeluarkan, prosentase kegagalan, keadaan setelah pengobatan, dan pengalaman dokter tersebut.”
Pandangan ini menunjukkan bahwa dokter dalam memberikan tindakan medis harus memperhitungkan segala risiko yang mungkin terjadi terhadap diri pasiennya. Dengan demikian, di sinilah pentingnya informasi secara jelas disampaikan kepada pasien dan keluarganya sebelum tindakan medis dilakukan. Sekali lagi, harus dipahami bahwa tindakan medis seorang dokter terhadap pasien tidak selamanya membuahkan hasil sebagaimana yang tercantum di dalam informed consent, namun terkadang ada bias dari apa yang telah disepakati yang pada akhirnya terjadi akibat yang harus ditanggung oleh pasien.58
Adanya akibat yang ditimbulkan oleh tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tersebut membawa implikasi hukum bagi kedua belah pihak, yang tidak hanya pada bidang Hukum Perdata, tetapi lebih penting di dalam Hukum Pidana, di mana dengan akibat tersebut seorang dokter dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum dari tindakan yang
57 Xxxxx Xxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxx (Aspek Hukum Malapraktek Dokter), (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2005), hlm.47.
58 Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.31.
mengakibatkan seorang pasien tidak dapat lagi melaksanakan pekerjaannya sebagaimana biasanya.59
D. Teori Pendukung Informed Consent
Dalam perkembangan teknologi kedokteran saat ini, informed consent tidak hanya berpengaruh terhadap bisang riset dan penelitian klinis, tetapi juga terhadap tindakan-tindakan diagnosis dan terapeutik. Adanya perkembangan teknologi di bidang pelayanan kesehatan, menjadikan diagnosis dan tindakan terapeutik tidak dapat ditebak akibatnya terhadap tubuh sehingga batas- batasnya tidak benar-benar tegas. Hal ini membuat hubungan dokter dan pasien menjadi lebih kompleks. Untuk itu, informed consent harus benar- benar diperhatikan terutama oleh dokter yang secara etik bertanggung jawab terhadap keselamatan pasiennya.
Informed consent adalah bagian dari hak asasi pasien yang memerlukan pelayanan kesehatan, karena itu pasien berhak menolak dilakukan suatu tindakan terhadap dirinya atas dasar informasi yang telah diperoleh dari dokter yang akan melakukan sebuah tindakan medis tertentu.
Keputusan ini merupakan suatu fenomena yang timbul dari berbagai tindakan dokter yang terjadi dalam praktik yang juga sekaligus sebagai antisipasi ke depan bagi dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasiennya, karena tanpa diperolehnya sebuah persetujuan, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dianggap sebagai tindakan melanggar hukum yang dapat dikenakan sanksi apabila terdapat unsur pidananya. Oleh karena itu, menurut Xxxxx X.X. Xxxxxxx informed consent merupakan suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau walinya yang berhak kepada dokter untuk melakukan suatu tindakan medis terhadap pasien sesudah pasien atau wali itu memperoleh informasi lengkap dan memahami tindakan itu. Dengan kata lain, informed consent disebut juga persetujuan tindakan medik.60
59 Ibid.
60 Xxxxx X.X. Xxxxxxx, Penyelesaian Hukum dalam Malapraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm.89.
Secara hukum, suatu persetujuan dapat terjadi baik tertulis maupun tidak tertulis (persetujuan secara diam-diam). Dalam kejadian sehari-hari, sehubungan dengan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan tindakan medis, pada praktiknya pasien yang datang berobat kepada dokter, baik itu di rumah sakit maupun pada praktik perseorangan dianggap telah memberikan persetujuannya untuk dilakukan tindakan medis yang sifatnya hanya pemeriksaan fisik, tetapi apabila memerlukan suatu tindakan medis yang lebih kompleks diperlukan informasi yang jelas dalam bentuk informed consent.61
Persetujuan tindakan untuk melakukan tindakan medis yang kompleks, di mana mengandung risiko yang terkadang tidak dapat diperhitungkan sejak awal, yang dapat menyebabkan hilangnya jiwa atau cacat permanen diharuskan memperoleh persetujuan secara tertulis agar suatu saat apabila diperlukan, maka persetujuan itu dapat dijadikan bukti. Informed consent dalam fungsinya sebagai barang bukti, maka sebagaimana yang dikatakan oleh Xxxxxxx Xxxxxxxx bahwa informed consent yang lebih dikaitkan dengan pengertian hukum pada dasarnya mempunyai landasan etik. Dasar etik yang termuat dalam informed consent ini adalah keharusan bagi setiap dokter untuk menghormati kemandirian (otonomi) pasiennya.62
Sebagai landasan etik, maka sebelum dilakukan suatu tindakan medis, seorang dokter dalam menjalankan praktik secara umum memiliki beberapa tahap yang harus dilalui, yaitu sebagai berikut:63
1. Menentukan diagnosis yang ditandai dengan kegiatan berikut:
a. Eksplorasi, yaitu dokter berusaha mendapatkan informasi dari pasien mengenai apa alasan untuk bertemu dengan dokter dan apa harapan- harapannya berkaitan dengan kemampuan dokter dan kondisi kesehatan pasien. Dalam hal ini, dokter bersikap pasif dan lebih banyak mendengar keluhan pasien dan dokter bertanya sesuatu untuk lebih mengerti kondisi kesehatan pasien.
61 Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.32.
62 Xxxxxxx Xxxxxxxx dalam Xxxxx X.X. Xxxxxxx, Xxxx., hlm.92.
63 Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.35.
b. Anamnesa, yaitu sebelum dilakukan suatu diagnosis, dokter mencari informasi tentang riwayat penyakit pasien atau perawatan yang pernah dialaminya, juga di samping itu tentang riwayat penyakit dari keluarganya yang mengalami penyakit sama, dan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2. Menyangkut informasi tentang pemeriksaan. Pada tahap ini dokter hanya memberikan suatu gambaran terhadap penyakit pasien berdasarkan diagnosis yang telah dilakukan, diagnosis mana yang disampaikan adalah diagnosis yang paling mendekati hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan.
3. Menyangkut informasi yang berhubungan dengan kemungkinan dilakukan suatu terapi. Tindakan ini dilakukan setelah dokter mengadakan diagnosis, kemudian dokter berkewajiban untuk memberikan informasi dan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang kemungkinan tindakan terapi.
4. Kesepakatan. Pada tahap ini pasien dibantu oleh dokter untuk memilih cara yang terbaik terhadap tindakan medis apa yang akan dilakukan oleh dokter tersebut sehingga ada kesepakatan bagi kedua belah pihak.
Dalam pandangan yang menganut falsafah konsekuensialis yang menganggap baik atau buruk suatu perbuatan berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai, menganggap informed consent sebagai suatu yang baik. Menurut Xxxxx X.X. Xxxxxxx hal tersebut dikarenakan:64 (1) meningkatkan kemandirian seseorang; (2) melindungi pasien; (3) menghindari penipuan dan pemerasan; (4) memacu sikap teliti pada pihak dokter; dan (5) meningkatkan keikutsertaan masyarakat.
Dilihat dari sudut pandang kepentingan pasien, informed consent tidak lain merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi yang cukup mengenai tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter serta akibat dari tindakan medis tersebut dalam pelayanan kesehatan yang akan dilakukan oleh dokter yang bersangkutan. Adapun dari sudut pandang dokter, informed consent tidak lain merupakan salah satu aspek kewajiban dokter untuk
64 Ibid., hlm.91.
memberikan informasi yang cukup, dibutuhkan atau tidak dibutuhkan kepada pasiennya.65
Kewajiban dokter untuk memberikan informasi kepada pasiennya merupakan salah satu kewajiban hukum utama dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan berupa pemberian tindakan medis bagi pasien, di mana kewajiban hukum yang utama tersebut bagi dokter berupa:66
1. Kewajiban melakukan diagnosis penyakit bagi setiap pasien yang memerlukan pelayanan kesehatan dan tindakan medis;
2. Kewajiban mengobati pasien;
3. Kewajiban memberikan informasi yang cukup kepada pasien dengan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh pasien, baik diminta maupun tidak diminta;
4. Kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari pasien secara sukarela tanpa paksaan maupun penekanan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter setelah mendapatkan informasi yang cukup dan jelas dari dokter tersebut;
5. Keabsahan suatu informed consent untuk dijadikan sebagai acuan dalam melakukan tindakan medis oleh dokter, apabila pasien telah memberikan persetujuan kepada dokter untuk dilakukan tindakan medis, maka tindakan tersebut dapat dilakukan dengan kriteria minimal:
a. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter;
b. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan;
c. Kesukarelaan tanpa paksaan dan tekanan dalam memberikan persetujuan.
Secara yuridis, kompetensi merupakan suatu kemampuan untuk dapat dibebankan tanggung jawab hukum bagi seseorang untuk berbuat dalam melakukan kewajiban hukum maupun dalam menuntut hak-haknya secara
65 Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.34.
66 Ibid., hlm.34-35.
hukum. Kemampuan bertanggung jawab secara hukum, terutama di dalam hukum pidana dilihat dari dua aspek.67
Pertama, kemampuan bertanggung jawab secara psikis, di mana seseorang tidak terganggu kejiwaannya sehingga setiap tindakan yang dilakukannya didasari pada kehendak serta kesadaran akan akibat dari tindakan yang akan dilakukan. Kedua, kemampuan bertanggung jawab secara fisik, yaitu apabila telah cakap dan memenuhi umur yang telah ditentukan oleh aturan perundang- undangan yang berlaku.68
Sebagai suatu kewajiban hukum bagi seorang dokter untuk mendapatkan informed consent dari pasiennya, maka terdapat berbagai teori yang melandasi kewajiban tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Xxxxx Xxxxx, yaitu:69
1. Teori Manfaat kepada Pergaulan Hidup
Menurut teori ini, keharusan untuk mendapatkan informed consent bukan halnya baik bagi pasien saja, melainkan juga bermanfaat kepada pergaulan hidup secara keseluruhan. Bayangkan saja betapa kacau jadinya kehidupan masyarakat jika dokter seenaknya mengoperasi pasiennya tanpa meminta persetujuan dari pihak pasien si punya tubuh dan nyawa, atau persetujuan diberikan, tetapi tanpa dilandasi pengetahuan yang cukup dari pihak pasiennya, yang apabila diberikan informasi yang cukup kepada pasien, mungkin saja pasien tersebut tidak menyetujui tindakan dokter yang bersangkutan. Menurut Xxxxxxx, untuk mendapat utilitas yang maksimal dalam teori ini diperlukan suatu pendampingan pasien dari keluarganya untuk menjelaskan secara detail mengenai informasi yang disampaikan dokter sebelum informed consent diberikan.
2. Teori Manfaat kepada Pasien
Karena tindakan medis yang dilakukan oleh dokter adalah untuk kepentingan pasien, maka dokter dilarang melakukan tindakan yang merugikan kepentingan pasiennya. Sebaliknya, dokter diharapkan untuk
67 Ibid., hlm.35.
68 Ibid.
69 Xxxxx Xxxxx, Op.Cit., hlm.49.
melakukan apa yang dapat membawa manfaat bagi pasiennya. Oleh karena itu, diberlakukannya persyaratan informed consent juga merupakan salah satu upaya untuk memberikan manfaat bagi pasien. Sebab, dengan adanya informed consent, pihak pasien diberikan informasi yang cukup perihal pengobatannya sehingga pasien tersebut ikut berpartisipasi secara tepat dalam usaha menyembuhkan penyakitnya.
3. Teori Penentuan Nasib Sendiri
Tubuh adalah bagian yang paling berharga bagi manusia. Oleh karena itu, secara hukum maupun secara moral tidak ada satu orang pun, tidak juga dokter dapat berbuat sesuatu terhadap tubuh orang lain tanpa persetujuan dari manusia yang memiliki tubuh tersebut. Manusia mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri (hak otonom). Pada prinsipnya, melakukan suatu perbuatan atas tubuh seseorang tanpa persetujuan dari yang memiliki tubuh tersebut merupakan tindakan melanggar etika, Hukum Perdata, hukum pidana, bahkan melanggar hak asasi manusia. Dengan demikian, hanya pasienlah yang berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya sendiri (self determination). Dengan demikian, setiap pengobatan yang dilakukan oleh dokter terhadap tubuh pasien, haruslah dengan persetujuan (consent) dari pasien tersebut.
Perkembangan di bidang kesehatan dewasa ini, perihal informed consent sudah menjadi hal yang mutlak diperlukan, tidak hanya dalam dunia kedokteran, tetapi juga dalam dunia hukum modern. Hal ini tidak lain disebabkan oleh adanya perkembangan pengakuan atas harkat dan martabat manusia yang lebih besar. Adanya perkembangan hubungan antara dokter dan pasien, di mana dalam sistem kedokteran klasik, hubungan tersebut bersifat paternalistik atau hubungan fidusia (fiduciary relationship) di mana pasien seakan-akan hanya pasrah pada keinginan dokter untuk melakukan suatu tindakan medis dengan harapan bahwa dengan tindakan tersebut pasien dapat sembuh dari penyakit yang dideritanya.70
70 Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.36.
Sejalan dengan perkembangan dinamika masyarakat dewasa ini, pendekatan klasik yang demikian dipandang sudah tidak sesuai lagi, maka dikembangkanlah pendekatan kedokteran modern, di mana hubungan dokter dan pasien tidak lagi sebagai hubungan yang bersifat fiduciary relationship, tetapi lebih pada hubungan yang bersifat otonom yang mengedepankan pada penghormatan terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri terhadap tubuhnya (self determination). Dengan demikian, kedudukan dokter dan pasien secara hukum menjadi setara. Oleh karena itu, untuk mendapatkan persetujuan dari pasien sebagai dasar dokter dalam melakukan pengobatan, dokter harus memberikan informasi yang cukup kepada pasien. Hubungan inilah dari segi keilmuan baik dari ilmu hukum maupun dari ilmu kedokteran yang dinamakan dengan doktrin informed consent.71
Informed consent merupakan manifestasi dari perlindungan pasien dalam mendapatkan pengobatan dari dokter. Oleh karenanya, mendapatkan informasi dari dokter agar pasien dapat memberikan informed consent-nya adalah bagian dari Bill of Rights terhadap pasien. Sebagai contoh, di Amerika Serikat pada tahun 1992, The American Hospital Association telah menerbitkan Bill of Rights terhadap pasien, di mana di dalamnya memuat beberapa hal sebagai berikut:72 (1) hak atas kepedulian dokter; (2) penghormatan terhadap privasi dari klien; (3) hak atas kerahasiaan informasi; (4) hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan cukup; (5) hak untuk mendapatkan/diperlihatkan rekam medis (medical records).
Dalam melakukan suatu tindakan medis, kedudukan dan fungsi informed consent semakin penting. Hal ini disebabkan oleh adanya perkembangan kesadaran dinamika masyarakat sehingga terjadi paradigma pola pikir terhadap hubungan dokter dan pasien dari pola pikir klasik menjadi pola pikir yang otonom. Hal ini disebabkan beberapa faktor sebagai berikut:73
1. Karena semakin tinggi kesadaran akan pentingnya perlindungan hak asasi, termasuk hak untuk menentukan diri sendiri (self determination);
71 Ibid., hlm.36-37.
72 Xxxxx Xxxxx, Op.Cit., hlm.51-52.
73 Ibid., hlm.52-53.
2. Karena semakin tingginya kesadaran hak-hak pasien, termasuk hak untuk memproses secara hukum jika terjadi tindakan malapraktik oleh dokter;
3. Akibat perkembangan teknologi informasi yang cepat, masyarakat (pasien) menjadi semakin kritis;
4. Akibat perkembangan yang pesat di bidang teknologi kedokteran, pasien semakin sulit memahami teknologi tersebut tanpa penjelasan yang baik oleh dokter;
5. Sebagai pengaruh prinsip-prinsip bisnis ke dalam profesi kedokteran, menyebabkan hubungan antara dokter dan pasien menjadi hubungan bisnis yang impersonal;
6. Sebagai pengaruh globalisasi, di mana praktik di luar negeri atau praktik dokter asing di Indonesia yang sudah sangat maju dalam mempraktikkan doktrin informed consent ini;
7. Karena kedudukan pasien umumnya lemah dan tidak setara dengan kedudukan dokter sehingga perlu aturan yang membuat kedudukan keduanya menjadi setara. Lemahnya kedudukan pasien disebabkan oleh:
(a) kurangnya pengetahuan pasien terhadap teknik kedokteran; (b) pasien di bawah tekanan psikis dan mental karena sakit; dan (c) pasien tidak dalam keadaan bebas karena penyakitnya itu.
Dalam kondisi yang demikian, maka informed consent mempunyai peran yang sangat strategis, tidak hanya dalam penyetaraan kedudukan antara pasien dan dokter, melainkan juga dalam memberi perlindungan hak asasi pasien dalam kaitannya dengan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.74
Dalam melakukan suatu persetujuan informed consent, hukum membolehkan dilakukan secara lisan maupun tertulism hanya saja Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengharuskan adanya persetujuan tertulis untuk kasus-kasus yang berisiko tinggi dan ditandatangani oleh orang-orang yang berhak memberikan persetujuan. Dalam hal ini, fungsi informed consent sangat diperlukan dalam rangka
74 Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.38.
mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa terjadi terhadap tindakan dokter dalam rangka melakukan pelayanan medis bagi pasien.75
Xxxxx Xxxxx mengemukakan perlunya informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai fungsi:76
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia;
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination);
3. Upaya mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien (self security);
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter;
5. Mendorong diambil putusan yang lebih rasional;
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan;
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Diberikannya persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis, tidak berarti bahwa dokter telah terbebas dari pertanggungjawaban secara hukum apabila melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standar profesinya dan keilmuan yang dimilikinya serta menyimpang dari apa yang telah disepakati di dalam informed consent, meskipun dokter memenuhi kewajiban meminta informed consent, namun dokter tersebut masih memungkinkan untuk dimintai pertanggungjawaban secara hukum apabila tindakannya terindikasi medikal malapraktik dalam pelayanan kesehatan terhadap pasiennya.77
Menurut Xxxxxxx, informed consent juga berfungsi sebagai standar bagi dokter di dalam melakukan tindakan medis bagi pasiennya yang memerlukan pelayanan kesehatan.78
75 Ibid.
76 Xxxxx Xxxxx, Op.Cit., hlm.53.
77 Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.39.
78 Ibid.
E. Xxxxx Xxxxxxx (Situation Ethics) – Xxxxxx Xxxxxxxx
Etika Situasi merupakan sebuah pandangan yang dikembangkan oleh kalangan teolog, salah satunya adalah Xxxxxx Xxxxxxxx. Etika Situasi menolak pandangan tentang adanya norma-norma moral yang berlaku secara umum, karena aliran Etika Situasi berpandangan bahwa kualitas dari suatu kewajiban moral sangat dipengaruhi dan bergantung pada situasi konkret. Maka suatu hal atau suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai baik atau buruk, sangat bergantung pada situasi konkret.79 Dengan bertitik tolak dari pandangan tersebut, aliran ini menolak klaim atas ketentuan moral yang berlaku secara umum/universal, dan lebih cenderung menampilkan relativitas dari kualitas kewajiban moral itu sendiri.
Etika Situasi meyakini bahwa setiap situasi itu unik dan tidak terulang, sehingga tidak mungkin adanya situasi yang identik satu sama lain. Atas pertimbangan tersebut, maka Xxxxx Xxxxxxx menolak klaim tentang adanya norma-norma moral yang berlaku secara umum untuk segala situasi. Norma- norma moral tidak pernah berlaku begitu saja secara umum karena norma- norma itu hanya mengikat apabila juga tuntutan situasi konkret diperhatikan. Jika tuntutan situasi tidak diperhatikan (diabaikan), maka kita tidak dapat mengetahui apa yang wajib untuk kita lakukan. Hal ini sekaligus menekankan keyakinan bahwa tidak pernah ada situasi yang terulang/sama/identik.80
Etika Xxxxxxx hanya mengakui satu prinsip moral sebagai suatu kebenaran, yaitu cinta kasih.81 Segala tindakan dapat dijustifikasi baik/benar secara moral apabila tindakan tersebut merupakan ungkapan dari cinta kasih. Sebaliknya, setiap tindakan adalah buruk/salah secara moral apabila tindakan tersebut tidak mengungkapkan cinta kasih. Cinta kasih sendiri diakui oleh Xxxxx Xxxxxxx sebagai satu-satunya prinsip moral yang selalu benar dan berlaku universal.82
79 Xxxxxx Xxxxxxxx, Situation Ethics: The New Morality, (Kentucky: Westminster Xxxx Xxxx Press, 1966), hlm.59.
80 Xxxxx Xxxxxx-Xxxxxx, Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20 (a), (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm.112.
81 Xxxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit., hlm.57.
82 Ibid., hlm.60, 64.
Setidaknya terdapat 6 (enam) pernyataan pokok Etika Situasi-Xxxxxx Xxxxxxxx, yaitu:
1. “Only one ‘thing’ is intrinsically good; namely, love: nothing else at all.”83
Setiap tindakan apa pun secara moral adalah benar apabila tindakan tersebut merupakan ungkapan cinta kasih, dan tindakan apa pun secara moral adalah salah apabila bertentangan dengan cinta kasih. Maka dengan kata lain, semua perbuatan sangat bergantung dalam nilai moralnya, apakah melayani cinta kasih atau tidak. Bagi Etika Situasi, satu-satunya nilai yang selalu baik dan benar secara universal adalah cinta kasih, tidak ada yang lain.84
Selain mengungkapkan cinta kasih, Xxxxxxxx juga menekankan bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai kewajiban moral yang berlaku secara umum. Baik atau buruknya suatu perbuatan, sangat ditentukan oleh situasi konkret yang ada.85 Sehingga mungkin saja suatu perbuatan dianggap sebagai kewajiban moral dalam situasi tertentu, namun perbuatan yang sama justru tidak dapat dibenarkan untuk dilakukan (bukan sebuah kewajiban moral) pada situasi yang lain (berbeda).
Bahkan lebih jauh, Xxxxxxxx juga mencoba menjelaskan korelasi antara cinta kasih dan hukum. Menurutnya, hukum hanya memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum apabila ia merupakan manifestasi dari cinta kasih, sedangkan hukum yang bertentangan dengan cinta kasih adalah hukum yang tidak mengikat dan tidak perlu ditaati sebagai hukum.86
2. “The rulling norm of Christian decision is love: nothing else.”87
Xxxxx mengikuti nilai. Apabila cinta kasih merupakan satu-satunya hal yang bernilai pada dirinya sendiri, maka cinta kasih juga merupakan satu-satunya norma perbuatan moral. Setiap perbuatan akan dijustifikasi
83 Ibid., hlm.57, 68.
84 Ibid., hlm.60-61.
85 Ibid., hlm.59.
86 Ibid., hlm.62.
87 Ibid., hlm.69.
apakah perbuatan tersebut mengungkapkan cinta kasih atau tidak. Bahkan hukum yang dibuat pun harus melayani cinta kasih, dan bukan malah saling bertentangan satu sama lain.88
Dari pernyataan tersebut, Etika Situasi ingin menekankan bahwa setiap pribadi manusia harus bisa berpikir secara kritis dan tidak menerima dengan begitu saja segala ketentuan norma yang sudah ditetapkan berlaku secara umum. Setiap manusia sebagai person harus dengan jeli memahami sebuah ketentuan norma yang sudah ada, apakah norma tersebut sejalan bahkan (atau) bertentangan dengan cinta kasih. Dengan demikian, keputusan yang diambil pun dapat dipertanggungjawabkan secara moral89, bukan semata-mata hanya secara ketentuan norma yang berlaku secara umum, seperti norma hukum, agama, budaya, dan sebagainya. Etika Situasi meyakini bahwa setiap keputusan moral harus diselesaikan secara kasuistis, dan bukan dengan cara men-generalisasi.
3. “Love and justice are the same, for justice is love distributed, nothing else.”90
Etika Situasi mencoba mempersamakan cinta kasih dan keadilan. Baginya, sesuatu dapat dikatakan adil apabila mencerminkan cinta kasih yang dibagi-bagi. Seseorang yang penuh akan cinta kasih, tentu akan berbuat adil. Begitu pula sebaliknya, seseorang hanya dapat menjadi adil apabila ia dipenuhi cinta kasih.91
Hal senada juga dikatakan Xxxxxxx, bahwa cinta kasih adalah dasar, kekuatan, dan tujuan dari sebuah keadilan, jadi cinta kasih tanpa keadilan adalah seperti tubuh tanpa tulang belakang.92 Cinta kasih adalah prinsip utama dari keadilan93, dan tidak demikian sebaliknya. Keadilan bukanlah
88 Ibid., hlm.70, 71.
89 Ibid., hlm.84.
90 Ibid., hlm.87.
91 Ibid., hlm.93, 94.
92 The Theology of Culture, (Oxford University Press, 1959), hlm.133145 sebagaimana dikutip dalam Xxxxxx Xxxxxxxx, Ibid., hlm.94.
93 Love, Power, and Justice, (Oxford University Press, 1954), hlm.79 sebagaimana dikutip dalam Xxxxxx Xxxxxxxx, Ibid.
prinsip utama dari cinta kasih.00 Xxxxxx xxxxxxxx, Xxxxx Situasi kembali menekankan bahwa cinta kasih dan keadilan adalah sama. Keadilan adalah cinta kasih yang dibagi.95
4. “Love wills the neighbor’s good whether we like him or not.”96
Sebagai prinsip dasar moral tertinggi, Etika Situasi menekankan bahwa kehendak untuk berbuat baik atas dasar cinta kasih dapat dilakukan terhadap sesama, tanpa mempertimbangkan suka/tidak suka. Cinta kasih yang dimaksud oleh Xxxxxxxx adalah kasih agape, yang tidak menuntut syarat apa pun. Sebagaimana cinta kasih yang diajarkan oleh ajaran etika Kristiani, bahwa setiap manusia diharuskan untuk mengasihi sesama manusia seperti layaknya ia mengasihi dirinya sendiri.97 Etika Kristiani juga cenderung mengajarkan Etika Situasi, di mana cinta kasih terhadap diri sendiri dapat saja benar maupun salah, semua itu sangat bergantung pada situasi.98
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka Etika Situasi menekankan bahwa agar seseorang bisa membuat suatu pilihan/keputusan moral yang tepat, ia membutuhkan informasi (data) yang lengkap guna memahami situasi konkret yang terjadi.99
5. “Only the end justifies the means; nothing else.”100
Pernyataan ini mengungkapkan bahwa tidak ada perbuatan apa pun yang buruk pada dirinya sendiri. Moralitas baru, Etika Situasi menyatakan bahwa segala sesuatu adalah benar atau salah, sangat tergantung dari situasi.101 Maka tujuan dari suatu perbuatan akan menentukan nilai moralnya. Suatu hal yang dinilai baik/benar, bisa saja dinilai sebagai sesuatu yang buruk/salah pada situasi yang berbeda. Suatu perbuatan dinilai baik/benar apabila mendukung tujuan yang baik, dan hal ini sangat
94 Ibid.
95 Ibid., hlm.99.
96 Ibid., hlm.103.
97 Ibid., hlm.110.
98 Ibid., hlm.114.
99 Ibid.
100 Ibid., hlm.120.
101 Ibid., hlm.124.
tergantung dari situasi.102 Etika Situasi meyakini bahwa cinta kasih adalah satu-satunya tujuan akhir yang harus dicapai.103
6. “Love’s decisions are made situationally, not prescriptively.”104
Ciri khas keputusan moral menurut Xxxxxxxx adalah kebebasannya. Seseorang yang meyakini apa yang harus dilakukannya, hendaknya melakukannya dengan bebas dan berani, juga apabila tidak sesuai dengan pandangan moral umum. Suatu keputusan yang diambil dengan yakin bahwa keputusan itu mengungkapkan cinta kasih, dapat dibenarkan. Karena hanya dalam situasi konkret seseorang dapat memutuskan apa yang tepat untuk dilakukannya, tidak ada daftar ketentuan moral umum yang harus ditaati secara absolut. Daftar ketentuan moral umum tersebut hanya mungkin dipergunakan sebagai bahan pertimbangan (penerang) sebelum seseorang membuat keputusan moral. Namun ia tetap berhak, bahkan wajib, untuk mengambil keputusan yang diyakininya dengan berani entah sesuai atau tidak dengan pelbagai norma yang ada.
102 Ibid., hlm.123.
103 Ibid., hlm.129.
104 Ibid., hlm.134.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, di mana Penulis meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.105 Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin (ajaran).106
Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx menjelaskan bahwa penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah.107
B. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah preskriptif yang memiliki tujuan untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya dilakukan, dan bukan membuktikan kebenaran dari hipotesis. Dalam penelitian ini, Penulis berusaha untuk menguraikan cara pandang hakim dalam melihat persinggungan antara hukum, etik, dan moral yang terjadi dalam sengketa medik pada Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO jo. Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012 jo. No.79PK/Pid/2013). Selain itu, Xxnulis juga akan mengajukan kritik atas putusan tersebut berdasarkan pandangan Etika Situasi (Situation Ethics) sebagaimana yang pernah digagas oleh Xxxxxx Xxxxxxxx.
105 Mukti Xxxxx Xxx Xxxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxxx, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hlm.34.
106 Ibid.
107 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum (a), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm.35.
C. Jenis Data
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Untuk memecahkan isu hukum sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, maka diperlukan data. Ada pun jenis data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.108 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim.109 Bahan hukum primer yang digunakan oleh Penulis dalam melakukan penelitian ini terdiri dari:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
b. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Tahun 2012;
c. Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO;
d. Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012; dan
e. Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.79PK/Pid/2013.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.110
3. Bahan hukum tersier, yaitu berupa Kamus Hukum.
4. Bahan Non Hukum, yaitu terdiri dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan hasil wawancara dengan perwakilan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) maupun perwakilan hakim.
108 Xxxxxxxxx Xxx, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.47.
109 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum (b), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), hlm.181.
110 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx (a), Op.Cit., hlm.54.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan studi pustaka (library research) terhadap bahan- bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun penelusuran melalui media online. Selain itu, juga akan dilakukan pengumpulan data sekunder dengan teknik wawancara dengan narasumber, yaitu perwakilan dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan juga pewakilan hakim.
E. Teknik Pengolahan Data
Setelah data dan bahan hukum dikumpulkan, tahap selanjutnya adalah melakukan pengolahan data, yaitu mengelola data sedemikian rupa sehingga data dan bahan hukum tersebut tersusun secara runtut, sistematis, sehingga akan memudahkan dalam melakukan analisis. Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan makna apa pun bagi tujuan penelitian. Oleh karena itu, tepat kiranya bahwa setelah pengumpulan data ini, kemudian melakukan kegiatan pengolahan data. Pengolahan data demikian disebut juga sebagai klasifikasi data, yaitu melakukan klasifikasi terhadap data dan bahan hukum yang telah terkumpul ke dalam kelas-kelas dari gejala-gejala yang sama atau yang dianggap sama.111
Berkaitan dengan metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini, maka pengolahan bahan berwujud kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Dalam hal ini pengolahan bahan dilakukan dengan cara melakukan seleksi data sekunder atau bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis, tentu saja hal tersebut dilakukan secara logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan antara
111 Mukti Xxxxx Xxx Xxxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxxx, Op.Cit., hlm.180.
bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran umum dari hasil penelitian.112
F. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupaya melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah, atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori.113
Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif. Metode analisis kualitatif dipergunakan untuk menganalisis dan mengeksplanasi hasil penelitian, dan kemudian menyajikan secara kualitatif.114
Dalam melakukan analisis data, juga digunakan metode pendekatan. Dengan menggunakan metode pendekatan, diharapkan akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.115 Metode pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode pendekatan konseptual (conceptual approach).
112 Ibid., hlm.181.
113 Ibid., hlm.183.
000 Xxxxxxxx Xxxxxxx Sitabuana, “Penyelesaian Masalah Diskriminasi Terhadap Etnis Cina (Studi Tentang Perkembangan Politik Hukum di Bidang Kewarganegaraan Republik Indonesia)”, (Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Diponegoro, 2011), hlm.94.
115 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Op.Cit., hlm.133.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO116
Kasus ini bermula dari seorang pasien atas nama Siska Makatey yang meninggal setelah mendapatkan pertolongan medis di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw Malalayang, Kota Manado. Pasien yang berada dalam kondisi hamil besar dan hendak melahirkan pada mulanya datang ke Puskesmas Bahu pada tanggal 9 April 2010 guna mendapatkan penanganan medis. Namun, pasien harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw Malalayang, Kota Manado karena didiagnosa tidak bisa melahirkan secara normal. Alasan perujukan tersebut adalah agar bisa dilakukan operasi terhadap diri pasien.
Pada tanggal 10 April 2010, pasien dirujuk ke Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw Malalayang, Kota Manado dan ditangani oleh tim dokter yang terdiri atas xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani, xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, dan xx. Xxxxx Xxxxxxx. Pasien saat itu dibawa oleh keluarganya, yaitu Xxxxx Xxxxxxxxxx yang tidak lain adalah ibu kandung dari pasien. Kemudian tim dokter memberikan surat persetujuan tindakan medis yang mana harus ditandatangani oleh pasien atau keluarganya sebelum tindakan medis dilakukan.
Setelah tim dokter mendapatkan persetujuan tindakan medis, segera dilakukan tindakan terhadap pasien, yakni dilakukannya operasi cito secsio caesaria untuk menyelamatkan nyawa pasien dan bayinya. Dari operasi tersebut, tim dokter berhasil menyelamatkan pasien dan bayinya.
Namun beberapa saat setelah pasien meninggalkan ruang operasi, terjadilah emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung pada diri pasien.
116 Perkara ini diputus oleh majelis hakim yang terdiri atas Xxxxx X. Telew, S.H.; Xxxxxx
T. Xxxx, S.H.; dan Xxxxxxxxxxxx Xxxxxx, S.H. pada tanggal 22 September 2011.
Akibat emboli udara tersebut, pasien meninggal dunia. Kabar meninggalnya pasien kemudian disampaikan oleh tim dokter kepada pihak keluarga pasien.
Pihak keluarga yang tidak terima dengan kematian pasien/korban, kemudian melaporkan ketiga dokter (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani, xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, dan xx. Xxxxx Xxxxxxx) kepada pihak kepolisian hingga akhirnya ketiga dokter tersebut diadili oleh Pengadilan Negeri Manado. Terhadap ketiganya didakwa telah melakukan tindak pidana sebagai berikut:
1. Ketiga dokter dianggap telah lalai/alpa yang mana mengakibatkan matinya pasien/korban (Siska Makatey) 🡪 (Primair: Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP), (Subsidair: Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP);
2. Ketiga dokter dianggap telah menjalankan praktik kedokteran tanpa Surat Izin Praktik (SIP) kedokteran 🡪 Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
3. Ketiga dokter dianggap telah memalsukan tanda tangan pasien sebagaimana yang tertera dalam lembar persetujuan medis (informed consent) 🡪 (Primair: Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP), (Subsidair: Pasal 264 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP)
Kasus ini kemudian diterima, diperiksa, dan diadili oleh Pengadilan Negeri Manado. Dalam memeriksa kasus ini, setidaknya terdapat 11 (sebelas) orang saksi fakta dan 2 (dua) orang ahli yang diajukan oleh Xxxxx Xxnuntut Umum (JPU). Selain itu juga ada 3 (tiga) orang ahli yang diajukan oleh ketiga dokter/terdakwa.
Dari proses pemeriksaan di persidangan, majelis hakim berpandangan bahwa keinginan untuk dilakukannya operasi adalah bermula dari keinginan pasien dan keluarganya. Pandangan ini didasarkan pada adanya kesesuaian keterangan dari saksi-saksi yang telah diajukan di persidangan. Pandangan hakim ini sekaligus membantah dakwaan dari JPU yang menilai bahwa ketiga
dokter telah melakukan operasi cito secsio caesaria tanpa persetujuan/sepengetahuan pasien/keluarganya.117
Dari keterangan beberapa saksi, terdapat kesesuaian fakta mengenai adanya lembar persetujuan tindakan medis (informed consent) yang telah diajukan oleh tim dokter kepada pasien dan keluarga pasien. Persetujuan medis tersebut dimintakan setelah disampaikannya penjelasan kepada keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk (termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri pasien/korban) jika operasi cito secsio caesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban.118 Majelis hakim berpendapat bahwa adanya penjelasan sangat erat kaitannya dengan persetujuan untuk dilaksanakannya operasi.119
Meninggalnya pasien/korban adalah disebabkan oleh emboli udara yang terjadi setelah tindakan operasi selesai dilakukan. Emboli udara sendiri merupakan reaksi alami tubuh yang sulit diprediksi kemungkinan terjadinya, dan bukan disebabkan oleh kesalahan dalam penanganan medis yang dilakukan oleh ketiga dokter/terdakwa. Terhadap dalil ini, JPU mempermasalahkan tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang terhadap pasien/korban sebelum operasi cito secsio caesaria dilakukan, yang mana berakibat pada kematian pasien/korban. Terhadap dalil ini, majelis hakim telah meminta keterangan dari ahli guna memberikan pertimbangan benar/salahnya tindakan yang dilakukan oleh ketiga dokter/terdakwa dari perspektif ilmu kedokteran. Beberapa orang ahli yang diperiksa menyatakan bahwa tindakan ketiga dokter/terdakwa tidak menyalahi ketentuan disiplin profesi kedokteran maupun etika profesi kedokteran. Hal ini juga diperkuat dengan adanya putusan dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) No.006/IDI-WIL/SULUT/MKEK/II/2011 tertanggal 24 Februari 2011 yang telah menyatakan bahwa tidak ditemukannya pelanggaran etik dari ketiga dokter/terdakwa dalam kasus tersebut.
117 Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO, hlm.81. 118 Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO, hlm.81. 119 Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO, hlm.82.
Beberapa keterangan tersebut memberikan keyakinan pada majelis hakim bahwa dalam operasi cito secsio caesaria (darurat) tidak diperlukan pemeriksaan penunjang terhadap pasien sehingga dengan demikian menurut majelis hakim perbuatan ketiga dokter/terdakwa sebagai dokter yang dalam melaksanakan operasi cito secsio caesaria terhadap diri pasien/korban (Siska Makatey) yang tidak disertai dengan pemeriksaan penunjang sebelumnya (seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada, dan pemeriksaan penunjang lainnya), bukanlah merupakan suatu kelalaian.
Hakim sependapat dengan pendapat ahli yang menyatakan bahwa suatu tindakan medis dapat dikatakan malpraktik apabila tindakan tersebut menyalahi Standar Operasional Prosedur (SOP). Kelalaian dalam tindakan medis lebih banyak diartikan sebagai akibat dari tindakan yang tidak sesuai dengan SOP. Hal ini juga diperkuat dengan terselamatkannya pasien dan bayinya setelah operasi cito secsio caesaria dilakukan.
Meninggalnya pasien/korban adalah murni disebabkan oleh emboli udara yang merupakan reaksi alami tubuh yang tidak dapat diprediksi sebelumnya dan bukan karena kelalaian dari operator. Maka, majelis hakim berpandangan bahwa ketiga dokter/terdakwa tidak melakukan kelalaian sebagaimana yang didakwakan oleh JPU.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Manado dalam Putusan No.90/Pid.B/2011/PN.MDO memutuskan bahwa ketiga dokter/terdakwa tidak terbukti secara sah telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh JPU, sehingga ketiganya dibebaskan dari semua dakwaan (vrijspraak).
B. Putusan Mahkamah Agung RI No.365K/Pid/2012120
Setelah Pengadilan Negeri Manado memutuskan ketiga dokter/terdakwa bebas dari semua dakwaan JPU, kasus ini berlanjut ke tingkat kasasi. Pada tingkat kasasi, JPU kembali mendalilkan hal yang sama seperti yang terjadi
120 Perkara ini diputus oleh majelis hakim yang terdiri atas Xx. Xxxxxxx Xxxxxxxx, S.H., LLM.; Xx. Xxxxxx Xxxxxxxx, S.H., X.X; dan Dr. Drs. Dudu Xxxxxxx Xxxxxxxxx, S.H., M.Hum. pada tanggal 18 September 2012.
pada tingkat Pengadilan Negeri, yaitu: (1) kelalaian dari ketiga dokter dalam menjalankan praktik kedokteran yang mengakibatkan matinya pasien/korban (Siska Makatey); (2) melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki Surat Izin Praktik (SIP); dan (3) memalsukan surat persetujuan medis atas nama pasien/korban (Siska Makatey).
JPU berpandangan bahwa judex facti telah salah dalam menerapkan hukum karena seharusnya majelis hakim dapat mempertimbangkan unsur subjektif maupun unsur objektif berdasarkan alat-alat bukti yang sah dalam perkara tersebut, yaitu keterangan saksi-saksi, bukti surat, petunjuk, serta keterangan terdakwa.
Pada tingkat kasasi, JPU menyoroti beberapa keterangan saksi yang diabaikan oleh judex facti, seperti:121
1. Keterangan dari saksi xx. Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Sp.An. bahwa jawaban konsul terhadap surat konsul yang dikirimkan oleh bagian kebidanan kepada bagian anestesi tersebut menyatakan: pada prinsipnya kami setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi risiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga risiko yang bisa terjadi “darut”/sebelum operasi atau “post”/ usai operasi. Bahwa penyebab udara masuk dari setiap pembuluh darah balik yang terbuka yaitu dari infus atau dari suntikan obat terapi dalam kepustakaan dikatakan udara yang masuk dari pembuluh darah balik ini hanya bisa menyebabkan kecelakaan penting yang kalau dia di atas 25 mg dan kalau di bawah tidak akan menyebabkan apa-apa, kemudian dalam kenyataan pemberian obat dari infus tidak pernah masuk udara karena dari suntik disposible untuk masuk udara, selanjutnya dari kepustakaan yang saksi baca dan saksi dapat dalam pendidikan saksi yaitu kemungkinan yang bisa juga adalah terutama dalam operasi persalinan bahkan di dalam aturan dikatakan bahwa udara bisa masuk sering terjadi pada operasi bedah saraf dengan posisi pasien setengah duduk bisa terjadi pada saat dia terkemuka itu udara bisa masuk, pada bagian kebidanan yang bisa sering
121 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012, hlm.20-21.
terjadi bukan saja pada secsio caesaria tetapi juga pada kuretase bahkan dalam laporan kasus yaitu untuk hubungan intim dimana suami memakai oral itu bisa terjadi masuk udara, kasus ini memang jarang terjadi tetapi bisa saja terjadi, jadi pada waktu bayi lahir plasenta terangkat pembuluh darah itu terbuka yaitu pembuluh darah arteri/pembuluh darah yang pergi yang warna merah dan pembuluh darah balik/arteri yang warna hitam, jadi kemungkinan udara yang masuk berdasarkan hasil visum bisa saja terjadi dari beberapa hal tadi, selanjutnya tugas anestesi dalam hal ini telah selesai karena pasien/korban sudah membuka mata dan bernapas spontan kecuali jika saat pasien sebelum dirapihkan semua kemudian meninggal maka masih merupakan tugas dan tanggung jawab dari anestesi dan kebidanan.
2. Keterangan dari saksi Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxx Xxxxxx, Sp.OG. yang mengatakan bahwa Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) mengatakan: operasi terhadap pasien/korban telah selesai dilaksanakan dan pada saat operasi dilakukan yaitu sejak sayatan dinding perut pertama sudah mengeluarkan darah hitam, selama operasi dilaksanakan kecepatan nadi tinggi yaitu 160 kali per menit, saturasi oksigen hanya berkisar 85% sampai dengan 87%, setelah operasi selesai dilakukan kecepatan nasi pasien/korban adalah 180 kali per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/periksa jantung yang dilakukan oleh bagian penyakit dalam dan saksi menanyakan apakah sudah dilakukan pemeriksaan jantung karena saksi berpikir keadaan ini penyebabnya dari jantung serta dijawab oleh Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) sementara dilakukan pemeriksaan dan hasilnya sudah ada yaitu bahwa pada penderita terjadi “Ventrikel Tachy Kardi” (denyut nadi cepat) tetapi saksi mengatakan bahwa itu bukan “Ventrikel Tachu Kardi” jika denyut nadi sudah di atas 160 kali per menit, tetapi “Fibrilasi” yaitu pertanda bahwa pada jantung terjadi kegagalan yang akut dan pasti pasien akan meninggal karena biasanya kegagalan akut itu karena “emboli” (penyumbatan pembuluh darah oleh suatu bahan seperti darah, air ketuban, udara, lemak, thrombus dan komponen-komponen lain) serta
pasien/korban pasti meninggal, selanjutnya dikabarkan bahwa pada waktu kurang lebih pukul 22.00 WITA, pasien/korban dinyatakan meninggal dunia oleh bagian penyakit dalam.
3. Keterangan dari ahli xx. Xxxxx Xxxxxx, Sp.A. yang menyatakan bahwa pada saat plasenta keluar, pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta tetapi tidak berpengaruh terhadap bayi karena sebelum plasenta dikeluarkan bayi sudah dipotong/bayi lebih dulu keluar kemudian tali pusat/plasenta dipotong.
4. Keterangan dari ahli Xxxxxxxx X. Mallo, S.H., Sp.F., DFM. yang menyatakan bahwa infus dapat menyebabkan emboli udara tetapi kecil kemungkinan dan hal tersebut dapat terjadi karena efek venturi, kemudian kapan efek venturi terjadi yaitu korban meninggal dunia pukul 22..20 WITA, infus 20 tetes = 100cc/menit, operasi dilakukan pukul 20.55 WITA, anak lahir pukul 21.00 WITA dalam hal ini udara sudah masuk terlebih dahulu kemudian dilaksanakan operasi, maka 30 menit sebelum dilaksanakan operasi sudah terdapat 35cc udara.
Atas dasar keterangan saksi dan ahli tersebut, maka JPU menilai bahwa para terdakwa telah melakukan tindakan kedokteran dan telah menimbulkan kerugian terhadap korban, yaitu korban meninggal dunia, sehingga dengan demikian maka unsur-unsur sebagaimana yang telah didakwakan oleh JPU dalam surat dakwaan telah terpenuhi menurut hukum.122
Bahwa unsur kelalaian yaitu bahwa keterangan dari saksi Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxx Xxxxxx, Sp.OG. yang mengatakan bahwa Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) melaporkan ketuban pasien/korban sudah dipecahkan sejak di Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah keluar semua. Selanjutnya sejak Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) hanya pemeriksaan tambahan dengan Ultrasonografi (USG) dan
122 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012, hlm.21.
sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis. Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Xxxxxxx Xxxxxxx) sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban. Bahwa ternyata pada pukul 18.30 WITA tidak terdapat kemajuan persalinan pada pasien/korban.123
Kemudian Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Xxxxxxx Xxxxxxx) melakukan konsul dengan konsulen jaga dan setelah mendapat anjuran, Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) mengambil tindakan untuk dilakukan cito secsio caesaria. Kemudian Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) menginstruksikan kepada saksi (xx. Xxxxx) untuk membuat surat konsul ke bagian anestesi dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan setelah mendapat jawaban konsul dari saksi (xx. Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Sp.An.) yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi risiko tinggi. Oleh karena ini adalah operasi darurat, maka mohon dijelaskan kepada keluarga pasien risiko yang bisa terjadi sebelum operasi atau usai operasi. Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) menugaskan kepada Terdakwa III (xx. Xxxxx Xxxxxxx) untuk memberitahukan kepada keluarga pasien/korban tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh Terdakwa III (xx. Xxxxx Xxxxxxx), melainkan menyerahkan lembar persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) tersebut kepada korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam keadaan kesakitan dengan dilihat oleh Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) dari jarak kurang lebih 7 meter, Terdakwa II (xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx) dari jarak kurang lebih 3-4 meter juga turut diketahui dan dilihat oleh saksi (xx. Xxxxx) tetapi ternyata tanda tangan yang tertera di dalam lembar informed consent tersebut adalah tanda tangan karangan sesuai dengan hasil laboratoris kriminalistik pada tanggal 9 Juni 2010 No.Lab: 509/DTF/2011 yang menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska
123 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012, hlm.22.
Makatey alias Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxx pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan (spurious signature), selanjutnya korban dibawa ke kamar operasi pada pukul 20.15 WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55 WITA Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Xxxxxxx Xxxxxxx) sebagai operator mulai melaksanakan operasi terhadap korban dengan dibantu oleh Xxxxxxxx XX (xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx) sebagai asisten operator I dan Xxxxxxxx XXX (xx. Xxxxx Xxxxxxx) sebagai asisten operator II.124
Bahwa selama pelaksanaan operasi kondisi nasi pasien/korban 160 kali per menit dan saat sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai dengan selesai pelaksanaan operasi. Kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah operasi selesai dilaksanakan, kondisi nadi pasien/korban 180 kali per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/periksa jantung oleh bagian penyakit dalam, selanjutnya berdasarkan keterangan ahli Xxxxxxxx
F. Xxxxx, S.H., Sp.F., DFM., bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam tubuh korban. Bahwa pada saat pelaksanaan operasi, Terdakwa I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) melakukan sayatan sejak dari kulit, otot, uterus serta rahim dan pada bagian-bagian tersebut terdapat pembuluh darah yang sudah pasti ikut terpotong dan saat bayi lahir, plasenta keluar/terangkat sehingga pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta yaitu pembuluh darah arteri dan pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta. Kemudian berdasarkan hasil visum et repertum disebutkan bahwa udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. Sebab kematian pasien/korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehngga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.125
124 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012, hlm.22-23.
125 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012, hlm.23
Dengan demikian ketiga Terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Ketiga Terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban yang telah menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh ketiga Terdakwa terhadap pasien/korban.126
Ketiga Terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari ketiga Terdakwa dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30 WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat rujukan dari Puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Gawat Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat. Kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di Puskesmas, rekam medis yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh ketiga Terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak apotik, tidak terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis. Terdapatnya “25 informed consent”/lembar persetujuan tindakan kedokteran sedangkan ketiga Terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan adalah tindakan cito/darurat, tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah pasien/korban selesai dioperasi dengan kondisi gawat, yang seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh ketiga Terdakwa tersebut sebelumnya telah dapat dibayangkan dengan cara berpikir, pengetahuan atau kebijaksanaan sesuai pengetahuan, keahlian dan moral yang dimiliki oleh ketiga Terdakwa SOP sehingga seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan oleh ketiga Terdakwa tersebut telah
126 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012, hlm.23.
menimbulkan kerugian terhadap pasien/korban yaitu pasien/korban meninggal dunia.127
Majelis hakim pada tingkat kasasi yang menerima, memeriksa, mengadili, dan memutuskan kasus ini menerima kasasi yang diajukan oleh JPU. Adapun alasan-alasan diterimanya permohonan kasasi tersebut adalah sebagai berikut:128
1. Judex facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekam medis No.041969 yang telah dibaca oleh ahli (xx. Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxxxx, S.H., Sp.F., DFM.) bahwa pada saat korban masuk Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw Malalayang, Kota Manado, keadaan umum pasien/korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat;
2. Ketiga Terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio caesaria terhadap pasien/korban, ketiga Terdakwa tidak menyampaikan kepada pihak keluarga pasien/korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi pada diri pasien/korban;
3. Perbuatan ketiga Terdakwa dalam melakukan operasi terhadap pasien/korban yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru, kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung;
4. Perbuatan ketiga Terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya pasien/korban sesuai Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw Malalayang, Kota Manado No.61/VER/IKF/FK/K/VI/2010 tertanggal 26 April 2010.
Dengan diterimanya permohonan kasasi JPU, maka majelis hakim memformulasikan putusan akhir yang isinya menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO tertanggal 22
127 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012, hlm.23-24.
128 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012, hlm.24.
September 2011 tidak dapat dipertahankan lagi. Oleh karena itu, putusan tersebut harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut.129
Majelis hakim pada tingkat kasasi membuat putusan yang isinya:130 (1) mengabulkan permohonan kasasi dari JPU; (2) membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO tertanggal 22 September 2011; (3) menyatakan ketiga Terdakwa (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani, xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, dan xx. Xxxxx Xxxxxxx) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”; (4) menjatuhkan pidana terhadap ketiga Terdakwa (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani, xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, dan xx. Xxxxx Xxxxxxx) dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan.
C. Putusan Mahkamah Agung RI No.79PK/Pid/2013131
Setelah diputus dan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan, ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani, xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, dan xx. Xxxxx Xxxxxxx) mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Adapun yang menjadi dalil diajukannya peninjauan kembali ini adalah sebagai berikut:
1. Bahwa dakwaan maupun tuntutan JPU masing-masing dalam Pasal 359 jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 yang didakwakan kepada ketiga
129 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012, hlm.25.
130 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012, hlm.25-26.
Dalam putusan tersebut, terdapat beberapa hal yang dipertimbangkan oleh majelis hakim sebagai hal-hal yang meringankan hukuman pidana ketiga Terdakwa, yaitu: (a) ketiga terdakwa sedang menempuh pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Xxx Xxxxxxxxx Manado; dan (b) para Terdakwa belum pernah dihukum. Di samping pertimbangan tersebut, majelis hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan hukuman pidana ketiga Terdakwa, yaitu sifat dari perbuatan ketiga Terdakwa itu sendiri yang mengakibatkan pasien/korban meninggal dunia.
131 Perkara ini diputus oleh majelis hakim yang terdiri atas Xx. Xxxxxxxx Xxxxx, S.H., M.H.; Xxxx. Xx. Xxxxx Xxxx, S.H., M.Hum.; Dr. H.M. Xxxxxxxxxxx, S.H., M.H.; Xx. Xxxxxxx, S.H., M.Hum., M.M.; dan X.X. Xxxxxxxx, S.H., M.Hum. pada tanggal 7 Februari 2014.
Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali, haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena unsur “karena salahnya menyebabkan matinya orang” tidak terbukti terhadap para Terpidana yang dalam hal ini telah melakukan secara benar dan sesuai dengan SOP dan hal tersebut sesuai dengan ketentuan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) sekaligus telah dibenarkan oleh beberapa ahli yang di bawah sumpah dalam persidangan;
2. Bahwa dengan demikian, tuduhan JPU terhadap ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara ini dituduhkan secara prematur, serta Judex Juris Mahkamah Agung yang telah menerima, mengadili, dan memutuskan perkara ini dengan menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali juga prematur. Oleh karenanya dakwaan dalam perkara ini harus ditolak dan ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali harus dibebaskan;
3. Bahwa putusan bebas atas diri ketiga Terdakwa/Terpidana dalam perkara ini oleh Judex Facti Pengadilan Negeri Manado adalah “Bebas Murni”. Putusan tersebut sudah tepat, oleh karenanya putusan Judex Juris Mahkamah Agung haruslah dibatalkan dengan pertimbangan Pasal 244 KUHAP yang isinya “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas”;
4. Bahwa dengan demikian putusan dalam perkara ini yang oleh Pengadilan Negeri Manado diputus dengan putusan bebas yang serta telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka yang berhak mengajukan kasasi adalah Jaksa Agung dan kasasi itu diajukan demi kepentingan hukum, sehingga tidak berdampak kepada atau tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan, dalam hal ini ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali, namun ternyata ketentuan ini diabaikan begitu saja baik oleh JPU maupun oleh
Judex Juris pada Mahkamah Agung dalam perkara ini. Oleh karenanya telah salah menerapkan hukum yang dilakukan baik JPU maupun Judex Juris, maka putusan Judex Juris pada Mahkamah Agung harus dibatalkan.
Selain keempat dalil tersebut, ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Xxxxxxx juga mengajukan dalil-dalil lain terkait dengan Judex Juris, yaitu:132 ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa Judex Juris Mahkamah Agung tidak menerapkan asas Audi et Alteram Partem. Uraian dalil ini adalah sebagai berikut:
1. Bahwa kekhilafan, kekeliruan yang nyata dalam putusan ini terjadi karena pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Agung tidak secara jelas, tidak cermat mempertimbangkan dakwaan JPU bahkan tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang telah terungkap di persidangan termasuk saksi-saksi yang merupakan keterangan saksi fakta maupun ahli, tetapi langsung saja menyatakan dakwaan subsidair Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 telah terbukti secara sah dan meyakinkan;
2. Bahwa Judex Juris Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan keterangan saksi fakta dan keterangan para ahli yang telah terungkap di depan persidangan yang pada intinya menyatakan bahwa:
a. Ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dalam hal ini telah melakukan secara benar dan sesuai SOP dan hal tersebut telah sesuai dengan aturan pada MKEK;
b. Ketua MKEK (Xxxx. xx. Xxxxx Xxxxxxx, Xx.XX(K)) yang juga bertindak sebagai ahli, sebelumnya telah memeriksa ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dalam sidang etik MKEK IDI, dan hasilnya MKEK tidak menemukan adanya pelanggaran etik oleh ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali. Tindakan medis yang dilakukan oleh ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali telah sesuai dengan KODEKI;
132 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.79PK/Pid/2013, hlm.24-28.
c. Dari kronologisnya, ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dalam melakukan operasi terhadap pasien sudah sesuai dengan SOP, keilmuan, dan kompetensi yang dimiliki oleh ketiganya;
d. Dalam keadaan gawat darurat, seorang dokter dapat segera melakukan tindakan (operasi), tanpa memerlukan pemeriksaan penunjang, sedangkan dalam operasi terencana (elektif) sejak awal diberitahukan dan dijelaskan kepada pasien tentang risiko medis, karena operasi elektif memerlukan pemeriksaan penunjang, seperti operasi jantung;
e. Keterangan saksi (xx. Xxxxxxxx Xxxx, Sp.F., DFM.) dalam otopsinya menyatakan bahwa penyebab kematian adalah akibat emboli udara pada jantung, emboli udara tersebut terjadi akibat pelebaran pembuluh darah yang diakibatkan efek samping pemberian obat anestesi, yaitu succinylcholine. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebab kematian pasien/korban tidak ada hubungannya dengan tindakan operasi, namun akibat dari tindakan anestesia karena korban tidak dapat dibangunkan kembali oleh bagian anestesia setelah selesai dilakukannya operasi dan kematian pasien/korban terjadi setelah 20 (dua puluh) menit pasca operasi;
f. Keterangan saksi (xx. Xxxxxxxx Xxxxx, Sp.F., DFM.) juga dikuatkan oleh keterangan ahli lainnya (Xxxx. xx. Xxxxx Xxxxxxx, Xx.XX(K)) yang pada intinya menyatakan bahwa kematian korban terjadi akibat emboli udara adalah akibat ventury efek di mana masuknya udara melalui pembuluh darah vena yang terbuka diakibatkan suatu respon tubuh terhadap reaksi alergi akibat pemberian obat di mana setelahnya dilakukan percobaan klinis pada kasus ini dan didapatkan kesimpulan bahwa obat tersebut adalah succinylcholine yang diberika oleh bagian anestesi;
g. Keterangan ahli (Xxxx. xx. Xxxxx Xxxxxxx, Xx.XX(K)) yang juga selaku Ketua MKEK menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya unsur kelalaian dalam penanganan dan penatalaksanaan pasien dan hal tersebut telah sesuai dengan SOP. Kematian pasien/korban murni
disebabkan oleh suatu komplikasi anestesia yang tidak ada hubungannya dengan tindakan operasi.
3. Bahwa putusan dan pertimbangan hukum Judex Xxxxx majelis hakim kasasi dalam perkara ini sangatlah membingungkan dan sama sekali tidak berdasarkan hukum, karena dalam amar putusannya Judex Juris menyatakan bahwa ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” dan menjatuhkan pidana penjara terhadap ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan. Akan tetapi, dalam amar putusan Judex Xxxxx majelis hakim kasasi tidak menyatakan atau memerintahkan supaya ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Oleh karenanya, putusan Judex Juris majelis hakim kasasi tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum;
4. Bahwa tindakan yang dilakukan para Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali sudah sesuai dengan tujuan dari SOP sebagaimana isi dari Pasal 1 dan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan RI No.512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran.133
133 Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan RI No.512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran menyatakan bahwa “Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, di mana standar prosedur operasional memberikan langkah-langkah yang benar dan terbaik berdasarkan consensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.”
Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan RI No.512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran menyatakan bahwa “Dokter atau dokter gigi yang bekerja di rumah sakit pendidikan dan sarana pelayanan kesehatan jejaringnya dalam melaksanakan tugas pendidikannya dapat memberikan pembimbingan/pelaksanaan/pengawasan untuk melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi kepada peserta pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang sedang mengikuti pendidikan untuk melakukan pelayanan medis kepada pasien.”
Pasal 11 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan RI No.512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran menyatakan bahwa “Pelaksanaan pelayanan medis kepada pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di bawah pengawasan dan tanggung jawab pembimbing.”
5. Bahwa mohon perhatian majelis hakim peninjauan kembali sebagai suatu keputusan dari MKEK yang menyatakan bahwa perbuatan ketiga Terpidana sudah sesuai dengan SOP, hal ini juga diatur dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, termasuk Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Kesehatan RI No.512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Praktik Kedokteran dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran.
6. Bahwa majelis hakim kasasi tidak mempertimbangkan niat baik dari ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali yang sebelum perkara ini dilanjutkan menjadi perkara pidana dan adanya persidangan. Ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Xxxxxxx telah memberikan biaya duka cita kepada keluarga pasien/korban sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan hal tersebut telah diakui oleh keluarga pasien/korban dalam persidangan. Maka seharusnya ada pertimbangan dari hati nurani mengingat ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali merupakan dokter-dokter muda yang tidak memiliki banyak penghasilan dan masih menjalani pendidikan untuk mencari ilmu dokter spesialis kebidanan, namun dengan adanya putusan yang isinya menghukum ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dengan pidana penjara, maka mengakibatkan masa depan dari ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali menjadi sirna. Oleh karenanya akibat perkara ini semoga para dokter di Indonesia tidak ketakutan dalam mengambil tindakan untuk segera mengoperasi dan mengobati masyarakat yang membutuhkan pertolongan dan tindakan dokter. Oleh karenanya, putusan majelis hakim kasasi harus dibatalkan demi hukum dan demi kepentingan umum;
7. Bahwa selain Judex Xxxxx telah salah menerapkan hukum acara (misbruik van proses recht) juga telah tidak cermat dalam membuat pertimbangan hukum dalam dalil-dalil dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Maka dari itu, terlihat bahwa Judex Xxxxx majelis hakim kasasi tidak cermat dan telah mengabaikan asas audi et alteram partem,
yakni dengan tidak mempertimbangkan dalil-dalil yang diajukan oleh Terpidana dalam kontra memori kasasi.
Majelis hakim pada tingkat peninjauan kembali memberikan pendapat sebagai berikut:134
1. Bahwa untuk menentukan apakah para Pemohon Peninjauan Kembali (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani, xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, dan xx. Xxxxx Xxxxxxx) telah melakukan kelalaian/kealpaan dalam melakukan operasi cito secsio caesaria terhadap pasien/korban (Siska Makatey), apabila di dalam tindakan tersebut para pemohon peninjauan kembali telah menyalahi SOP sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Kesehatan RI No.512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran;
2. Bahwa di dalam persidangan telah didengar keterangan saksi Xxxxxxxx (Bidang Puskesmas Bahu, Manado) yang menerangkan bahwa pada waktu dilakukan pemeriksaan terhadap pasien/korban pukul 24.00 WITA tanggal 9 April 2010, pasien/korban dalam kondisi baik-baik saja, korban dapat berjalan;
3. Bahwa saksi Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx (dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis/PPDS) yang bertugas di UGD yang menerima kedatangan pasien/korban di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw Malalayang, Kota Manado menerangkan bahwa hasil pemeriksaan secara umum baik. Kesimpulan dari hasil pemeriksaan adalah bahwa korban hamil, keadaan baik, dan bisa saja bersalin secara normal;
4. Bahwa saksi Kartini Runtulalo (bidang jaga pada ruang IRDO Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw Malalayang, Kota Manado) yang menerima rujukan pasien/korban dari Puskesmas Bahu menerangkan bahwa pasien/korban keadaannya baik dan bisa berjalan;
5. Bahwa saksi xx. Xxxxx (dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis/PPDS) yang berada di ruang bersalin Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw Malalayang, Kota Manado menerangkan bahwa
134 Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.79PK/Pid/2013, hlm.40-44.
pasien/korban masuk ke ruang bersalin pukul 10.00 WITA pada tanggal 10 April 2010 dalam keadaan baik dan pasien/korban dapat melahirkan secara normal;
6. Xxxxx kemudian Terpidana I/Pemohon Peninjauan Kembali I (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani) melakukan pemeriksaan terhadap pasien/korban dan hasilnya dilaporkan kepada dokter konsuler. Dokter konsuler menyarankan agar pasien/korban melahirkan secara normal, sedangkan pembukaan pada waktu itu baru pembukaan 2-3 cm. Oleh karena itu ditunggu sampai pembukaan lengkap. Baru pada pukul 18.00 WITA pembukaan lengkap tetapi posisi kepala bayi tetap tinggi;
7. Bahwa Terpidana I/Pemohon Peninjauan Kembali I (xx. Xxxx Xxx Xxxxxxx Xxxxxxx) melaporkan kembali keadaan tersebut kepada dokter konsuler dan dokter konsuler masih menyarankan agar pasien/koban melahirkan secara normal, dengan cara posisi korban dimiringkan ke kiri. Setelah ditunggu selama 30 (tiga puluh) menit, tidak ada kemajuan pada diri pasien/korban, sehingga pukul 18.30 WITA Terpidana I/Pemohon Peninjauan Kembali I berkonsultasi dengan bagian anestesi secara tertulis dan dijawab secara tertulis;
8. Bahwa dalam persidangan telah didengarkan juga keterangan ahli (Xxxx. xx. Xxxxx Xxxxxxx, Xx.XX(K)) sebagai Ketua MKEK IDI di bawah supah yang menerangkan bahwa tidak ditemukan adanya kelalaian/kesalahan dari para Pemohon Peninjauan Kembali dalam melakukan operasi terhadap pasien/korban. Kesimpulannya, penyebab kematian korban adalah masuknya udara dalam jantung, masuknya udara dalam jantung pasien/korban tidak bisa diprediksi sebelumnya, sehingga dikategorikan bukan suatu kelalaian;
9. Bahwa keterangan ahli (dr. Johannis F. Xxxxx, S.H., Sp.F., DFM.) di bawah sumpah menerangkan sebagai ahli forensik pernah memeriksa jenazah pasien/korban dan mengeluarkan visum et repertum yang isinya menjelaskan bahwa penyebab kematian korban karena di dalam bilik jantung ada udara masuk dan kasus ini jarang terjadi, kemungkinan terjadi
pelebaran pembuluh darah karena adanya reaksi tubuh pasien dan adanya reaksi tersebut bisa menyebabkan terjadinya gangguan, udara, bukan masuk dari alat infus;
10. Bahwa kejadian yang jarang terjadi dalam kondisi pasien secara umum tidak bisa diantisipasi. Antisipasi bisa dilakukan dalam operasi terencana (elektif). Masuknya udara dalam bilik jantung pasien/korban dalam perkara ini di luar dugaan. Kematian korban tidak ada hubungannya dengan tindakan operasi yang dilakukan oleh para pemohon peninjauan kembali. Operasi cito (darurat) tidak harus disertai dengan pemeriksaan penunjang;
11. Bahwa keterangan ahli (dr. Xxxxxxx Xxxxx, Sp.OG.) sebagai Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia di bawah sumpah menerangkan bahwa para pemohon peninjauan kembali sudah bekerja maksimal, baik, dan sudah sesuai dengan SOP. Udara yang masuk ke jantung pasien/korban adalah terjadi di luar dugaan dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Emboli adalah komplikasi yang terjadi tanpa dapat diprediksi dan diduga sebelumnya;
12. Bahwa saksi (Xx. Xxxxxxxx J. Lalenoh, Sp.An.) selaku Kepala Bagian Anestesi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw Malalayang, Kota Manado menerangkan bahwa saksi menyetujui pasien/korban dioperasi dan operasi saat itu tida bisa ditunda karena pasien/korban sudah dalam keadaan darurat dan harus segera mendapatkan pertolongan;
13. Bahwa keterangan ahli (Xxxxx X. Xxxxxx, S.H., LLM.) menerangkan bahwa kelalaian lebih banyak diartikan sebagai akibat dari tindakan yang tidak sesuai dengan SOP;
14. Bahwa yang berhak menilai standar profesi kedokteran adalah MKEK IDI. Ketua MKEK IDI (Xxxx. xx. Xxxxx Xxxxxxx, Xx.XX(K)) menerangkan bahwa dalam operasi cito tidak mungkin dilakukan pemeriksaan penunjang, karena sifatnya darurat/cepat/segera. Begitu pula dr. Johannis
F. Xxxxx, S.H., Sp.F., DFM. sebagai ahli menerangkan bahwa operasi cito
(darurat) tidak perlu persetujaun pasien/korban maupun keluarganya,
kecuali operasi terencana/elektif wajib dimintakan persetujuan dari pasien/korban dan keluarganya dengan disertai penjelasan mengenai risiko dari tindakan operasi tersebut;
15. Bahwa keterangan ahli tersebut berkesesuaian dengan Penjelasan Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan;
16. Bahwa dalam pertimbangan Judex Facti telah dipertimbangkan bahwa berdasarkan keterangan ahli (xx. Xxxxx; Xxxxx Xxxxxxxx; dr. Hemanus J. Lalenoh, Sp.An.) dihubungkan dengan keterangan ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali, majelis hakim berkesimpulan bahwa ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali sebelum melakukan operasi cito secsio caesaria terhadap pasien/korban ada menyampaikan kepada pihak keluarga mengenai kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri pasien/korban jika operasi cito secsio caesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban;
17. Bahwa ahli (Xxxx. xx. Xxxxxx Xxx Xxxxxxx) menerangkan di bawah sumpah bahwa operasi cito harus segera dilakukan terhadap pasien/korban, kalau tidak pasien/korban dan bayi yang dikandungnya bisa meninggal;
18. Saksi Xxxxx Xxxxxxxxxx menerangkan bahwa sebelum dioperasi, saksi ada menandatangani Surat Persetujuan Medis (Informed Consent) dan saksi meminta untuk pasien/korban dioperasi dan bayi dari pasien/korban berhasil selamat.
Selain pertimbangan di atas, majelis hakim pada peninjauan kembali juga mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Terpidana I/Pemohon Peninjauan Kembali I menerangkan bahwa ia sudah lebih dari 100 (seratus) kali melakukan operasi cito dan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sejak tahun 2002. Selain itu, pasien/korban telah menandatangani surat persetujuan tindakan medis (informed consent) dan
tindakan operasi baru dilakukan setelah Terpidana I/Pemohon Peninjauan Kembali I mendapatkan izin dari bagian anestesi. Saat operasi dilakukan, Terpidana I/Pemohon Peninjauan Kembali I bertindak sebagai operator, Terpidana II dan III sebagai asisten operator. Terpidana II/Pemohon Peninjauan Xxxxxxx XX menerangkan bahwa ia melihat pasien/korban tanda tangan dalam keadaan berbaring dan operasi cito dilakukan setelah disetujui oleh bagian anestesi. Kemudian pasien/korban meninggal di ruang perawatan dan tindakan operasi sudah dilakukan sesuai dengan SOP. Terpidana III/Pemohon Peninjauan Xxxxxxx XXX menerangkan bahwa yang menandatangani surat persetujuan tindakan medis (informed consent) adalah pasien/korban dan ibunya. Terpidana III/Pemohon Peninjauan Kembali III telah menjelaskan risiko operasi kepada ibu pasien/korban dan pasien/korban meninggal di dalam ruang pemulihan, bukan di ruang operasi;
2. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka pertimbangan Judex Facti telah tepat dan benar, bahwa terjadinya emboli tersebut bukan karena kelalaian dari ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dan dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien/korban tidak diperlukan persetujuan serta tindakan ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali tidaklah bertentangan dengan SOP dan dalam operasi cito (darurat) tidak harus dilakukan pemeriksaan penunjang terhadap pasien/korban sehingga bukan suatu kelalaian. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kausalitas antara tindakan ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dan kematian pasien/korban;
3. Berdasarkan hal tersebut, maka telah terjadi kekhilafan hakim dalam putusan Judex Juris, karena tidak terbukti adanya kealpaan yang merupakan unsur dari dakwaan kesatu primair dan subsidair. Maka dari itu, ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali harus dibebaskan dari dakwaan kesatu primair dan subsidair;
4. Bahwa terhadap dakwaan kedua dan dakwaan ketiga primair dan subsidair, pertimbangan Judex Facti sudah tepat dan benar dan diambil alih sebagai pertimbangan majelis;
5. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka putusan Judex Juris harus dibatalkan dan ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan kesatu primair dan subsidair, atau dakwaan kedua, atau dakwaan ketiga primair dan subsidair, serta membebaskan ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dari segala dakwaan tersebut serta memulihkan hak ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;
6. Bahwa oleh karena ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali berada dalam Lembaga Pemasyarakatan, maka ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali harus segera dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan tersebut.
Dari pertimbangan tersebut, terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari salah satu hakim anggota (Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxx, S.H., M.Hum.) yang berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dari ketiga Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat dibenarkan, karena tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Alasan-alasan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana, bahwa Mahkamah Agung telah menghukum para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dengan dakwaan JPU yang masih prematur. Padahal para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana sudah melakukan secara benar dan sesuai dengan SOP dan sesuai pula dengan aturan MKEK. Oleh karena itu, Judex Xxxxx harus membebaskan para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana sebagaimana putusan Judex Facti yang membebaskan para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana;
2. Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan dengan alasan para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Kesimpulan para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana tersebut menyatakan bahwa tindakan medis dalam bentuk operasi cito secsio caesaria dilakukan ketiga Terpidana sudah sesuai SOP. Kesimpulan tersebut keliru, sebab tanpa mengemukakan dan menguraikan seperti apa ukuran SOP para dokter dalam proses operasi cito secsio caesaria dihubungkan dengan perbuatan materiil para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana saat terjadinya operasi cito terhadap pasien/korban (Siska Makatey). Dalam memori peninjauan kembali, para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana tidak menguraikan usaha dan ikhtiar apa yang dilakukan para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dalam menjalankan dan menegakkan SOP. Para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana hanya menyatakan telah sesuai dengan SOP;
3. Setelah membaca dan memeriksa berkas perkara, dan dihubungkan dengan hal tersebut di atas, anggota majelis berbeda pendapat dengan para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dalam memori peninjauan kembalinya. Menurut anggota majelis, para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dalam proses penanganan operasi cito secsio caesaria telah melakukan suatu kesalahan dalam arti sempit, yaitu suatu kealpaan/kelalaian yang tidak sesuai dengan SOP dalam proses penanganan operasi cito secsio caesaria terhadap pasien/korban (Siska Makatey). Mengenai kesalahan para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dalam proses operasi cito secsio caesaria akan dipertimbangkan secara tersendiri pada bagian lain dari putusan ini;
4. Bahwa alasan memori peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana yang mengatakan bahwa perbuatan ketiganya telah sesuai dengan SOP adalah kurang beralasan guna dijadikan sebagai dasar pembenaran untuk membebaskan para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana. Seharusnya dalam memori peninjauan kembali dapat dijelaskan bagaimana substansi SOP yang sebenarnya dan apakah telah dipenuhi oleh para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dalam proses
penanganan operasi cito secsio caesaria. Hal ini penting untuk diketahui tindakan profesi medis yang dilakukan dokter terhadap pasien. Tujuan dari SOP adalah sebagai pengukur tindakan profesi, misalnya apakah upaya, tindakan serta keputusan yang dilakukan sesuai standar pelayanan medis atau Kode Etik Kedokteran. Contoh SOP, dokter tidak boleh melakukan operasi dalam keadaan posisi pasien dengan tekanan darah terlalu tinggi disertai dengan denyut nadi sangat cepat.
5. Alasan-alasan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana bahwa JPU tidak diperkenankan mengajukan kasasi terhadap putusan bebas judex facti/pengadilan negeri karena bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP. Bahwa putusan judex facti/pengadilan negeri sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka menurut hukum acara pidana seharusnya yang berhak mengajukan kasasi adalah jaksa agung dalam bentuk kasasi demi kepentingan hukum. Alasan para Pemohon Kasasi/Terpidana ini tidak dapat dibenarkan dengan alasan: Pengajuan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas sudah berjalan lama sejak berlakunya KUHAP tahun 1981. Xxxxxx terhadap putusan bebas dalam praktik peradilan sudah menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung dan diikuti oleh seluruh peradilan di bawah Mahkamah Agung. Dalam praktik putusan “bebas” dibedakan yaitu putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni. Bahwa hanya putusan bebas tidak murni saja yang selama ini diterima dalam pemeriksaan kasasi. Namun dalam perkembangannya, sejak putusan Mahkamah Konstitusi No.144/PUU- X/2012 tanggal 28 Maret 2013 yang menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalm Pasal 24 KUHAP dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengakibatkan semua perkara bebas baik pada tingkat judex facti/pengadilan negeri maupun judex juris/terbuka seluas-luasnya bagi JPU untuk mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung. Bahwa upaya dan niat baik yang dilakukan oleh judex juris dalam menerima dan memeriksa permohonan kasasi JPU terhadap putusan bebas,
didasarkan dan dirasakan sebagai suatu kebutuhan hukum bagi pencari keadilan khususnya para korban, telah diakui dan diterima sebagai suatu dinamika perkembangan hukum, dan rasa keadilan masyarakat khusus JPU yang mewakili korban tindak pidana. Bahwa perdebatan dan permasalahan kasasi terhadap putusan suah berakhir dengan lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi;
6. Alasan-alasan peninjauan kembali bahwa amar putusan judex juris tidak dinyatakan atau memerintahkan supaya para Terdakwa ditahan atau tetap berada dalam tahan, hal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Alasan ini tidak dapat dibenarkan. Putusan judex juris yang tidak mencantumkan “perintah supaya para Terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” dalam amar putusan bukan merupakan suatu kekeliruan atau kekhilafan nyata. Sebab putusan judex juris tersebut merupakan putusan berkekuatan hukum tetap. Putusan Mahkamah Agung tidak memerintahkan para Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan, karena putusan Mahkamah Agung adalah putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan bersifat eksekutorial terhadap pidana penjara yang dijatuhkan. Putusan Mahkamah Agung tidak lagi memerintahkan para Terdakwa menjalani penahanan, melainkan perintah menjalani pidana penjara. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tidak berlaku terhadap putusan judex juris/Mahkamah Agung, kecuali apabila terhadap putusan Mahkamah Agung menyatakan melepaskan atau membebaskan para Terdakwa dari dakwaan JPU disertai dengan amar yang menyatakan memerintahkan mengeluarkan/membebaskan para Terdakwa dari tahanan;
7. Bahwa permasalahan tentang ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sebagaimana dimaksud oleh para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dalam memori peninjauan kembalinya sudah berakhir sejak dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-X/2012, tanggal 22 November 2011. Amar putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Sehingga huruf k Pasal 197 ayat (2) dihilangkan/dihapus, sehingga lengkapnya bunyi Pasal 197 ayat (2) KUHAP tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum;
8. Alasan-alasan memori peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana bahwa judex juris/Mahkamah Agung tidak menerapkan asas audi et alteram partem karena tidak mempertimbangkan alat-alat bukti. Alasan ini tidak dapat dibenarkan karena tidak didasarkan pada fakta hukum yang sebenarnya. Judex juris tidak salah menerapkan hukum dalam hal menyatakan para Terpidana terbukti bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 359 KUHP dengan alasan:
a. Fakta hukum persidangan berkaitan proses operasi cito secsio caesaria yang mengakibatkan pasien/korban (Siska Makatey) meninggal dunia sebagai berikut: sebelum Puskesmas Bahu merujuk pasien/korban ke rumah sakit, ketuban pasien/korban pecah pukul 7.00 WITA tanggal
10 April 2010. Selanjutnya pada pukul 9.00 WITA pasien/korban masuk rumah sakit atas rujukan dari Puskesmas Bahu untuk melahirkan. Di kamar bersalin, pasien/korban diperiksa USG, hasilnya dalam keadaan baik, dan diusahakan untuk melahirkan secara normal. Infus dipasang sejak pasien/korban berada di kamar UGD rumah sakit umum. Pada pukul 18.00 WITA pembukaan untuk melahirkan sudah lengkap, tetapi posisi bayi masih tetap tinggi. Setelah para Terpidana berkonsultasi, konsuler menyarankan supaya melahirkan secara normal dengan posisi pasien/korban harus dimiringkan, setelah dilakukan tetapi tidak berhasil. Pada pukul 18.30 WITA dikonsulkan lagi ke bagian anastesi dan ahli anastesi memberikan persetujuan untuk dioperasi. Ketika pasien/korban masuk rumah sakit, tekanan darah pasien/korban saat ini menurut ahli Xxxxxxx X. Mallo yang dibaca dalam rekam medis adalah 160/70. Menurut ahli termasuk tinggi,
sedangkan kecepatan denyut nadi pasien/korban 180 per menit. Kemudian pada pukul 20.55 WITA operasi dimulai. Beberapa kejadian yang terjadi dalam proses operasi yaitu pada sayatan pertama keluar darah hitam. Ini berarti secara medis salah satu penyebabnya adalah pasien/korban kekurangan oksigen. Kejadian tersebut disampaikan para Terpidana kepada Xxxxx Xxxxxxxx (dokter xxxxxxxx) dan diperintahkan agar operasi tetap dilanjutkan. Setelah operasi selesai, beberapa saat kemudian pasien/korban dinyatakan meninggal dunia. Riwayat persalinan pasien/korban pada persalinan pertama mengalami kesulitan melahirkan;
b. Bertolak dari fakta tersebut timbul pertanyaan, siapa dan apa penyebab meninggalnya pasien/korban (Siska Makatey). Menurut pendapat ahli pada persidangan, bahwa penyebab kematian pasien/korban adalah emboli. Emboli ini terdapat pada bilik kanan jantung. Ini berarti di bilik kanan jantung ada udara masuk. Apakah terjadinya emboli merupakan kesalahan para Terpidana dalam menjalankan SOP atau di luar kemampuan para Terpidana, ataukah ada penyebab lain yang merupakan kesalahan yang sifatnya pelanggaran SOP, ataukah kekeliruan atau keterlambatan pada Terpidana dalam menentukan dan melakukan tindakan medis berupa oeprasi cito secsio caesaria. Bahwa bisa saja terjadi sebaliknya, kalau sekiranya operasi dilakukan lebih awal atau lebih cepat, saat pasien baru masuk ke rumah sakit;
c. Fakta hukum tersebut menunjukkan bahwa pasien/korban dirujuk ke Rumah Sakit Umum Kandouw Malalayang Kota Manado berada dalam kondisi baik saat masuk rumah sakit. Korban hanya kesulitan melahirkan dan dalam keadaan sadar. Beberapa jam setelah berada dalam penanganan para Terpidana dan rumah sakit, pasien/korban yang tadinya akan melahirkan secara normal kemudian dinyatakan dilakukan operasi secara cito secsio caesaria. Tindakan operasi dilakukan karena meskipun pembukaan untuk persalinan sudah lengkap, akan tetapi kondisi kepala bayi masih tinggi sehingga
persalinan secara normal tidak bisa dilakukan. Keputusan dan penentuan yang belakangan diambil para Terpidana yang bekerja bersama-sama dengan konsuler dan dokter xxxxxxxx untuk melakukan operasi cito secsio caesaria tentu saja merugikan posisi pasien/korban. Seharusnya tindakan operasi cito secsio caesaria tersebut dilakukan lebih awal dimana kondisi pasien/korban masih relatif baik dan tidak dilakukan operasi pada saat kondisi pasien/korban berada dalam keadaan yang sangat terpuruk atau kondisi pasien/korban dalam keadaan gawat/genting. Bahwa ketepatan dan kecepatan para Terpidana dalam mengambil keputusan dan tindakan merupakan hal yang sangat menentukan keberhasilan operasi. Hal inilah yang merupakan hal penting mengenai standar pelayanan yang harus dilakukan oleh para Terpidana. Terjadi keadaan yang paradoksal, keterangan ahli di persidangan bahwa operasi cito secsio caesaria termasuk dalam kategori operasi yang dilakukan dalam keadaan darurat (emergency), yaitu operasi yang harus dilakukan secepat atau sesegera mungkin. Sebagai konsekuensi dari tindakan medis darurat tersebut, sehingga tidak diperlukan lagi pemeriksaan penunjang. Namun dalam kenyataannya bertolak belakang, operasi cito secsio caesaria tidak dilakukan lebih awal tetapi operasi dilakukan kurang lebih 12 jam kemudian saat kondisi pasien/korban dalam keadaan gawat, genting, atau sangat terpuruk. Hal ini berakibat pada hasil operasi dimana pasien dinyatakan meninggal dunia. Bertolak dari alasan pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas perbuatan dan kesalahan (kelalaian) para Terpidana berkaitan dengan pelanggaran SOP dalam melaksanakan operasi cito secsio caesaria dengan meninggalnya pasien/korban. Hasil dari operasi cito secsio caesaria akan lain apabila dilakukan lebih awal;
d. Alasan pertimbangan terhadap fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa terdapat beberapa pendapat ahli di persidangan mengenai faktor penyebab terjadinya emboli. Para ahli di persidangan
berpendapat bahwa penyebab kematian pasien/korban karena emboli, yaitu masuknya udara pada bilik kanan jantung sehingga menghambat udara masuk paru-paru dan terjadi kegagalan fungsi paru-paru, selanjutnya terjadi kegagalan fungsi jantung. Apakah terjadinya emboli tersebut merupakan kesalahan manusia yang bersumber/causanya berasal dari perbuatan para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana berkaitan dengan proses operasi cito secsio caesaria, ataukah faktor alam di luar perbuatan para Terpidana, atau ada faktor lainnya yang juga sifatnya pelanggaran SOP? Keterangan para saksi dan ahli di persidangan menerangkan bahwa penyebab terjadinya emboli antara lain: (i) masuknya udara karena terjadi pelebaran atau pembesaran pembuluh darah bersumber pada pemberian obat sebagai akibat reaksi rubuh pasien; (ii) udara bukan masuk dari alat infus; (iii) udara bisa masuk melalui alat infus atau alat suntik; (iv) udara bisa masuk dalam tubuh atau jantung melalui plasenta, artinya pemotongan plasenta/tali pusat dapat menyebabkan udara masuk melalui plasenta; (v) sayatan pembuluh darah.
Mengacu pada pendapat tersebut, anggota majelis hakim berkesimpulan bahwa terjadinya emboli masuk pada bilik kanan jantung melalui alat suntik atau infus disebabkan karena kesalahan atau kelalaian para terpidana dalam proses penanganan persalinan hingga operasi cito secsio caesaria. Demikian halnya, udara masuk karena terjadi pelebaran atau pembesaran pembuluh darah yang bersumber dari pemberian obat sebagai akibat reaksi tubuh pasien. Mengenai hal ini fakta persidangan tidak mengungkap secara rinci dan mendalam, obat dan suntikan apa saja yang diberikan kepada pasien/korban, di persidangan tidak diajukan rekam medis pasien/korban sebagai alat bukti. Hal ini penting guna mengetahui apakah ada obat-obatan yang diberikan kepada pasien/korban tidak sesuai dengan yang seharusnya, sehingga udara masuk dan terjadi pelebaran atau pembesaran pembuluh darah sebagai akibat reaksi tubuh pasien/korban.
e. Sebagaimana alasan yang diuraikan di atas, maka sangat penting untuk mengetahui kondisi pasien/korban ketika masuk rumah sakit, apakah berada dalam keadaan gawat atau genting sehingga membutuhkan tindakan medis yang bersifat “darurat/emergensi” atau berada dalam kondisi biasa. Hal ini penting karena berkaitan soal penanganan dan tindakan terhadap pasien/korban. Pasien yang berada dalam keadaan tidak gawat, berbeda penanganan dengan pasien dalam keadaan gawat. Menurut ahli, operasi cito secsio caesaria adalah operasi darurat, sehingga tidak perlu pemeriksaan penunjang karena sifatnya segera operasi. Sedangkan operasi elektif adalah operasi terencana. Mengacu pada pendapat ahli tersebut, anggota majelis hakim pada tingkat peninjauan kembali berpendapat yang dimaksud sifat segera operasi yaitu tidak membutuhkan jangka waktu yang panjang, tetapi harus “segera” tidak membutuhkan waktu berjam-jam hingga kurang lebih
12 jam, sejak pasien/korban masuk rumah sakit hingga operasi dilaksanakan. Berdasarkan fakta persidangan, pasien/korban (Siska Makatey) masuk rumah sakit sejak pukul 09.00 WITA, sedangkan operasi dimulai pada pukul 20.55 WITA. Ini berarti terdapat rentang waktu kurang lebih 12 jam pasien/korban menunggu tindakan operasi, sehingga terjadi fakta bahwa pasien meminta dirinya untuk segera dioperasi namun para Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali belum melakukannya. Berdasarkan fakta ini dapat disimpulkan bahwa terdapat kesalahan atau kelalaian dari para Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dalam menentukan sikap dan keputusan untuk mengambil tindakan operasi. Padahal pasien/korban sudah berada dalam keadaan harus segera dioperasi, tetapi ternyata para Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali menunggu hingga 12 jam. Kalau sekiranya tindakan operasi dilakukan lebih awal atau lebih cepat setelah pasien masuk rumah sakit, hasilnya bisa berbeda. Bahwa keterlambatan dan ketidaktepatan para Terpidana/Pemohon Peninjauan
Kembali mengambil tindakan dan keputusan berakibat pasien/korban (Siska Makatey) meninggal dunia.
f. Kesalahan/kelalaian berikutnya yang dilakukan para Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali dalam melakukan tindakan medik terhadap pasien/korban (Siska Makatey) yaitu pasien/korban masuk rumah sakit dengan posisi tekanan darah cukup tinggi, yaitu 160/70 disertai kecepatan denyut nadi pasien/korban sangat tinggi 180/menit (normal 90/menit), dan sepanjang persidangan tidak ditemukan adanya upaya yang dilakukan para Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali untuk melakukan tindakan medis menormalkan tekanan darah pasien dan menurunkan denyut nadi yang sangat cepat, padahal keadaan semacam ini sangat berisiko bagi pasien/korban (dapat menyebabkan kematian) apabila dilakukan operasi cito secsio caesaria. Bahwa sikap para Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali seperti dijelaskan tersebut, menurut pendapat salah satu anggota majelis hakim peninjauan kembali dapat menjadi faktor relevan dan signifikan. Oleh karena itu, secara medis diterima alasan bahwa pasien yang dioperasi dalam kondisi tekanan darah yang tinggi dan kecepatan denyut nadi sangat cepat di atas batas normal, maka tentu tidak diperbolehkan tindakan operasi cito secsio caesaria (karena termasuk operasi berat). Sejalan alasan tersebut, keterangan saksi (Xxxxx Xxxxxxxx) dan ahli (Najoan) bersesuaian keterangan para Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali menerangkan bahwa pada sayatan pertama keluar darah hitam dan denyut nadi cepat. Hal ini ada hubungannya dengan kondisi “pecah pembuluh darah” yang dialami pasien/korban dan keterlambatan tindakan medis operasi. Dengan alasan pertimbangan tersebut, menunjukkan kesalahan para Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali melakukan tindakan operasi, yang berakibat pasien/korban (Siska Makatey) meninggal dunia.
g. Causa/penyebab kematian pasien/korban (Siska Makatey) bersumber dari tindakan operasi cito secsio caesaria yang menimbulkan
terjadinya emboli sehingga terjadi gagal fungsi paru-paru dan fungsi jantung. Berdasarkan fakta persidangan, keterangan ahli (Xxxxxxx X. Malo) menerangkan bahwa berdasarkan visum et repertum yang dikeluarkan pada tanggal 26 April 2010, ahli berkesimpulan bahwa penyebab kematian korban karena pada bilik kanan jantung ada udara masuk yang menghambat udara masuk paru dan terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung dan kasus ini jarang terjadi. Bahwa infus yang sangat kecil berpotensi menjadi penyebab masuknya udara ke dalam tubuh korban.
Bahwa udara masuk ke dalam bilik kanan jantung sebelum operasi dilakukan. Bisa juga udara masuk ke dalam bilik kanan jantung sebelum operasi dilakukan, melalui pelebaran pembuluh darah yang disebabkan reaksi tubuh. Pembuluh balik yang terpotong, udara tidak bisa jalan secara otomatis, kemungkinan ini sangat kecil. Selain itu, beberapa penyebab berpotensi terjadinya emboli, berdasarkan keterangan ahli, masuknya udara dalam jantung korban bisa melalui infus dan juga bisa melalui plasenta. Menurut ahli, bahwa udara bisa masuk dalam tubuh dan jantung melalui plasenta, artinya pemotongan plasenta/tali pusar dapat menyebabkan udara masuk melalui plasenta.
h. Alasan-alasan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana bahwa SOP untuk bidang kedokteran berada pada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), sehingga setiap tindakan penanganan sampai dilakukannya operasi cito secsio caesaria telah sesuai dengan SOP berdasarkan putusan MKEK. Alasan ini tidak dapat dibenarkan sebab putusan MKEK bisa saja dikesampingkan karena sifatnya pendapat (bukan fakta) karena itu tidak mengandung kebenaran absolut. Hakim boleh saja menolak atau tidak menerima pendapat ahli yang berada pada MKEK, apabila menurut pendapat dan keyakinan hakim yang bisa diterima dan dipertanggungjawabkan kebenarannya secara teori dan akal sehat (common sense) serta keyakinan. Hakim bisa saja menggunakan pendapat ahli lain yang
berbeda (second opinion) sebagai pendapat sendiri seperti dalam perkara a quo. Protap pemeriksaan standar profesi yang harus diputus melalui MKEK, tidak sejalan dan bertentangan dengan putusan MK No.49/PUU-X/2012, tertanggal 28 Mei 2013, yang bermaksud untuk menghapuskan atau meninggalkan segala bentuk proteksi atau perlindungan terhadap anggota profesi dalam menjalankan tugasnya. Bahwa perlindungan terhadap profesi sangat bertentangan dan mencederai prinsip hukum yang dijunjung tinggi dalam negara hukum Indonesia, yaitu prinsip equality before the law atau asas persamaan di muka hukum. Bahwa MKEK tidak dapat dijadikan sebagai organisasi profesi yang berwenang untuk menentukan bersalah/tidak seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Keberadaan MKEK hanya dapat digunakan dalam membantu aparat penegak hukum dengan menghadirkan sebagai ahli dalam mengungkap tindak pidana yang terjadi di bidang kedokteran.
i. Berdasarkan alasan pertimbangan tersebut, salah satu anggota majelis hakim pada tingkat peninjauan kembali berpendapat bahwa alasan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana tidak dapat menunjukkan bahwa adanya novum/bukti baru atau pelbagai putusan yang saling bertentangan satu dengan lainnya, atau kekeliruan yang nyata/kekhilafan yang dilakukan hakim judex juris dalam hal menyatakan para Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 359 KUHP.
Menimbang bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) di antara para anggota majelis hakim pada tingkat peninjauan kembali dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak tercapai permufakatan, maka sesuai ketentuan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 serta perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, majelis telah bermusyawarah dan diambil keputusan dengan amar sebagaimana tersebut di bawah ini:
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, permohonan peninjauan kembali harus dinyatakan dapat dibenarkan, oleh karena itu berdasarkan Pasal 263 ayat (2) jo. Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP terdapat cukup alasan untuk membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No.365K/Pid/2012 tertanggal 18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO tertanggal 22 September 2011 dan Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara tersebut dengan amar yang akan disebutkan di bawah ini:
Menimbang bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dikabulkan dan para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dibebaskan dari semua dakwaan, maka biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan pada pemeriksaan peninjauan kembali dibebankan kepada negara.
Memperhatikan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
Majelis hakim pada tingkat peninjauan kembali memutuskan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani, xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, dan xx. Xxxxx Xxxxxxx);
2. Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No.365K/Pid/2012 tertanggal
18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO tertanggal 22 September 2011;
3. Menyatakan pada Terpidana (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani, xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, dan xx. Xxxxx Xxxxxxx) tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh JPU dalam dakwaan kesatu primair, kesatu subsidair, atau dakwaan kedua atau dakwaan ketiga primair, ketiga subsidair;
4. Membebaskan Terpidana (xx. Xxxx Xxx Sasiary Prawani, xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, dan xx. Xxxxx Xxxxxxx) dari semua dakwaan tersebut;
5. Memulihkan hak para Terpidana dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;
6. Memerintahkan agar para Terpidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.
D. Pembahasan
1. Pandangan Majelis Hakim dalam Melihat Persinggungan antara Hukum, Etik, dan Moral yang Terjadi pada Sengketa Medik (Studi Kasus: Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO jo. Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012 jo. No.79PK/Pid/2013)
Sengketa medik merupakan perselisihan yang timbul akibat hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam upaya melakukan penyembuhan. Hubungan antara dokter dan pasien merupakan suatu hubungan hukum dalam bentuk perikatan (verbintenis) sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Buku III KUH Perdata. Perikatan yang terjalin antara dokter dan pasien dikenal dengan kontrak terapeutik.
Hubungan hukum dokter dan pasien diklasifikasikan sebagai perikatan yang lahir karena suatu kesepakatan maupun perikatan yang lahir karena undang-undang. Maka dari itu, pelanggaran kewajiban hukum dokter dalam suatu perikatan hukum karena kesepakatan (kontrak terapeutik) membawa suatu keadaan wanprestasi. Pelanggaran hukum dokter terhadap kewajiban dokter karena undang-undang membawa suatu keadaan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Ketika ditemukan adanya sengketa yang melibatkan profesi dokter dan pasien/keluarganya, masyarakat kerapkali mengartikannya sebagai
suatu peristiwa malapraktik. Padahal jika dicermati secara seksama, tidak semua sengketa medik merupakan malapraktik, namun sebaliknya setiap sengketa malapraktik sudah pasti merupakan sengketa medik.
Dalam praktik kedokteran, istilah malapraktik kerap dimunculkan ketika adanya sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya. Hal ini tidak mengherankan, mengingat masih minimnya pengetahuan masyarakat akan dunia praktik kedokteran. Profesi dokter merupakan profesi yang memiliki 3 (tiga) instrumen pengawas, yaitu hukum, etika profesi, maupun disiplin profesi. Ketiga instrumen tersebut memegang peranan penting dalam menjaga keluhuran profesi dokter di masyarakat.
Selain ketiga instrumen tersebut, jika ditarik lebih jauh, maka profesi dokter sangat erat kaitannya dengan hukum-etika-moral. Ketiga aspek tersebut yang kerapkali saling bertemu pada situasi yang bersamaan ketika dokter melaksanakan tugasnya. Maksudnya, seorang dokter sebelum mengemban profesinya, ia diangkat sumpahnya untuk “membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan”. Isi sumpah tersebut terkesan mudah diucapkan, namun akan menuai banyak kendala dalam implementasinya.
Seperti yang terjadi pada Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO di mana ketiga orang dokter dihadapkan pada situasi yang tidak mudah, yaitu harus berhadapan dengan pasien yang sedang dalam kondisi kritis. Ketiga dokter harus bisa dengan segera membuat keputusan yang didasarkan pada perhitungan yang matang, agar dapat menyelamatkan nyawa pasien. Namun, praktik kedokteran juga tentu memiliki prosedur-prosedur yang tidak bisa diabaikan, seperti prosedur memberikan penjelasan kepada pasien/keluarganya perihal tindakan medis, prosedur meminta persetujuan tindakan medis dari pasien/keluarganya, prosedur pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan sebelum tindakan medis, atau pun prosedur pemberesan biaya administrasi.
Beberapa hal yang bersifat prosedural tersebut memang penting untuk dilakukan, bahkan seorang dokter dapat dipersalahkan apabila tidak melakukan prosedur tersebut. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa profesi dokter adalah profesi yang sangat erat hubungannya dengan keselamatan nyawa seseorang, sehingga kita juga layak untuk mempertanyakan apakah pantas keselamatan seseorang harus dinomorduakan demi hal-hal yang bersifat prosedural semata. Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO merupakan satu contoh sengketa medik yang sangat sensitif dan perlu disikapi dengan jeli, karena adanya situasi dilema moral yang dihadapi oleh dokter. Kondisi inilah yang juga menjadi titik perhatian dari majelis hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Majelis hakim mencoba memahami fakta-fakta hukum yang terjadi secara cermat
guna mendapatkan kebenaran.
Meskipun adanya fakta bahwa telah terjadinya kematian atas diri pasien, namun majelis hakim mencoba mencari kebenaran yang lebih jauh, yaitu dengan berhasil diselamatkannya bayi dari pasien. JPU awalnya mendakwakan bahwa ketiga dokter telah melakukan kelalaian yang berakibat pada kematian pasien. Namun, majelis hakim justru tidak sependapat. Jika memang adanya unsur kelalaian, maka sudah pasti bukan hanya saja pasien yang meninggal, melainkan juga bayi yang dilahirkannya juga akan meninggal. Selain itu, pandangan majelis hakim tersebut juga didasarkan pada keterangan ahli dari Ketua MKEK IDI dan putusan MKEK IDI yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh ketiga dokter tidaklah bertentangan dengan etika profesi kedokteran. Penilaian secara etika profesi inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk melakukan justifikasi secara hukum terhadap tindakan ketiga dokter.
Maka dari itu, majelis hakim pada tingkat pertama berpendapat bahwa tindakan ketiga dokter yang berupaya menyelamatkan pasien dan bayinya meskipun pasien berada dalam kondisi kritis, tetap harus dihargai dan
tidak bisa diabaikan. Meskipun faktanya setelah tindakan operasi cito secsio sesaria dilakukan, pasien kemudian meninggal, hal tersebut tidak lantas menjadikan niat baik yang sudah dilakukan oleh ketiganya menjadi sia-sia/tidak bernilai.
2. Kritik Xxxxx Xxxxxxx (Situation Ethics) – Xxxxxx Xxxxxxxx terhadap Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO jo. Putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia No.365K/Pid/2012 jo.
No.79PK/Pid/2013
a. Kritik atas Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Manado No.90/Pid.B/2011/PN.MDO, terdapat beberapa pertimbangan majelis hakim (ratio decidendi) yang menarik untuk diajukan kritik oleh Penulis. Kritik tersebut meliputi:
1) Majelis hakim berkeyakinan bahwa inisiatif untuk dilakukannya operasi cito secsio sesaria berasal dari pasien/korban dan keluarganya. Keyakinan tersebut diperoleh setelah hakim mendengarkan keterangan dari beberapa orang saksi yang dinilai memiliki kesesuaian satu sama lain. Sehingga majelis hakim tidak sependapat dengan salah satu dalil JPU yang menyatakan bahwa ketiga dokter telah melakukan operasi cito secsio sesaria secara diam-diam tanpa memperoleh persetujuan (consent) dari pasien/keluarganya setelah diberikan penjelasan yang memadai (termasuk perihal risiko dari tindakan tersebut).
Dari perspektif Xxxxx Xxxxxxx, tindakan majelis hakim yang mencoba memahami situasi konkret yang terjadi sebelum pasien meninggal berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang disampaikan oleh saksi-saksi, sudah tepat. Karena hakim tidak begitu saja terbawa pada dalil yang diajukan oleh JPU, dan berusaha untuk menggali fakta-fakta dan data-data seakurat mungkin yang bisa
memberikan gambaran mengenai situasi konkret yang terjadi sebelum pasien meninggal.
Perihal persetujuan tindakan medis (informed consent) yang diberikan oleh pasien juga diyakini oleh majelis hakim sebagai persetujuan yang sah, meskipun persetujuan tersebut dimintakan pada saat pasien sedang dalam kondisi menahan rasa sakit, atau dengan kata lain pasien tidak berada dalam kondisi yang bebas. Kebebasan seseorang memang mutlak harus dihormati dan tidak boleh dirampas, karena hakikat manusia sebagai person itu sendiri yang memiliki akal budi dan berkehendak untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan merupakan mahkota martabat seseorang sebagai manusia.135 Seseorang yang tidak berada dalam kondisi bebas, tentunya tidak dapat berpikir dengan menggunakan akal sehatnya mengenai apa yang diputuskan/dilakukannya. Kondisi demikian memunculkan dugaan bahwa pasien tidak berada dalam kondisi bebas untuk memberikan persetujuan medis, sehingga keabsahan persetujuan tindakan medis (informed consent) pun menjadi diragukan. Namun hal tersebut ditolak oleh majelis hakim yang menilai bahwa kondisi pasien saat itu sedang dalam keadaan kritis dan harus mendapatkan penanganan medis segera demi menyelamatkan nyawa pasien dan bayinya. Keyakinan majelis hakim ini juga didasari oleh keterangan ahli yang menyatakan bahwa operasi cito secsio sesaria merupakan operasi yang harus dilakukan dengan segera karena ada situasi kedaruratan demi menyelamatkan pasien, sehingga dokter sudah selayaknya diberikan diskresi untuk menentukan tindakan medis yang terbaik bagi pasien pada saat itu secara seketika.
Profesi dokter sebagai profesi yang dalam kesehariannya selalu bersinggungan dengan keselamatan/nyawa pasien, memang
135 Xxxxx Xxxxxx-Xxxxxx, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (b), (Yogyakarta: Kanisius, 2019), hlm.104.
telah memiliki SOP dan kode etik profesi yang secara mutlak mengikat dan wajib untuk diimplementasikan dalam praktik kedokteran. Dalam kaitannya dengan kewajiban untuk meminta persetujuan medis dari pasien yang sedang dalam kondisi tidak bebas (menahan rasa sakit), tentunya menjadi suatu dilema tersendiri bagi dokter. Dalam kondisi demikian, tentunya dokter menyadari bahwa perlu adanya penanganan sesegera mungkin demi menyelamatkan pasien, namun menjadi tindakan yang tidak bermoral apabila keselamatan pasien justru harus dikesampingkan hanya demi hal-hal yang bersifat administratif/birokrasi semata, seperti pemberesan persetujuan medis yang harus dituangkan dalam bentuk tertulis atau masalah pembiayaan.
Dokter berada pada wilayah abu-abu (kairos/saat yang menentukan)136, di mana dokter dihadapkan pada dua kewajiban moral yang dibebankan padanya, yaitu kewajiban untuk menyelamatkan nyawa pasien sekaligus kewajiban untuk menghormati kebebasan pasien (dalam kaitannya dengan hak untuk menentukan diri/self determination). Dalam kondisi dilema moral ini, tentunya dokter harus segera mengambil keputusan dari berbagai alternatif-alternatif yang tersedia di hadapannya, yaitu mengenai kewajiban moral mana yang dipercaya dan diyakininya sebagai sesuatu yang lebih bernilai sesuai dengan tanggung jawabnya. Dalam konteks ini, suara hati memainkan perannya dalam pengambilan keputusan, di mana ketiga dokter lebih memilih untuk menyelamatkan nyawa pasien daripada harus menghormati kebebasan pasien.
Pertimbangan ini juga yang (mungkin) menjadi dasar bagi majelis hakim yang menilai bahwa dokter tidak bersalah dalam tindakan medis tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Etika Situasi yang melihat suatu tindakan moral adalah baik/buruk
136 Xxxxx Xxxxxx-Xxxxxx (a), Op.Cit., hlm.123.
apabila ia mengungkapkan cinta kasih/tidak. Dalam kasus ini, tindakan dokter dinilai sebagai kewajiban moral yang lebih mencerminkan cinta kasih, yaitu dengan mengutamakan keselamatan pasien dan bayinya daripada menghormati kebebasan pasien.
Memang fakta bahwa pada akhirnya pasien meninggal dunia setelah operasi cito secsio sesaria dilakukan tidak dapat disangkal, namun perbuatan dokter yang lebih mengutamakan penghormatan atas kebebasan pasien mungkin saja dapat menimbulkan akibat yang jauh lebih buruk, yaitu kemungkinan meninggalnya juga bayi yang dikandung pasien karena terlambat mendapatkan pertolongan medis. Keterlambatan dokter dalam memberikan pertolongan justru menurut Penulis dapat dianggap sebagai suatu kelalaian yang tidak saja dapat menghilangkan nyawa pasien, melainkan juga bayi yang dikandungnya. Hal ini juga sejalan dengan keyakinan dan penilaian majelis hakim yang tidak menemukan unsur kelalaian dari ketiga dokter yang menyebabkan pasien meninggal.
Majelis hakim meyakini bahwa ketiga dokter sudah berupaya untuk membuat keputusan moral yang terbaik sesuai dengan situasi konkret yang ada saat itu yang cenderung rumit. Keterlambatan atau keragu-raguan dokter dalam mengambil keputusan dalam situasi kedaruratan semacam ini, tentunya akan berdampak fatal bagi pasien. Terlebih kewajiban moral utama dari profesi dokter adalah mengupayakan keselamatan pasien. Hal ini sejalan dengan ajaran Etika Situasi yang menjunjung tinggi prinsip cinta kasih sebagai prinsip moral tertinggi yang harus diungkapkan dalam setiap perbuatan/tindakan.
Pada poin ini, Penulis sependapat dengan penilaian majelis hakim, bahwa profesi dokter bukanlah profesi yang bisa dipandang sepele, karena profesi ini selalu erat kaitannya dengan nyawa pasien. XXX selaku organisasi profesi yang menaungi profesi ini
memang telah menetapkan kode etik yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh penyandang profesi dokter. Namun dalam kondisi kedaruratan, tentunya perlu adanya pengecualian- pengecualian tertentu demi nilai-nilai yang lebih utama daripada sekedar sekumpulan kode etik profesi, yaitu kewajiban moral yang mencerminkan cinta kasih.
2) Majelis hakim menggunakan putusan MKEK IDI sebagai dasar untuk memutuskan ada/tidaknya unsur malapraktik yang telah dilakukan oleh dokter. Pada poin ini menarik untuk dikritik, di mana terlihat jelas bahwa penilaian secara etika profesi dapat digunakan sebagai „jembatan penghubung‟ guna memberikan penilaian atas suatu tindakan di dalam konteks hukum. Keterangan ahli (Ketua MKEK IDI) serta putusan MKEK IDI yang menyatakan bahwa ketiga dokter tidak bersalah secara etika profesi, menjadi dasar pertimbangan majelis hakim untuk menyatakan bahwa ketiga dokter juga tidak bersalah secara hukum. Apa yang dilakukan oleh majelis hakim seakan ingin menegaskan bahwa majelis hakim hanya bertugas untuk menilai ada/tidaknya pelanggaran terhadap aspek hukum, sedangkan penilaian terhadap aspek etika profesi bukanlah ranah majelis hakim. Maka dari itu, sebelum menjatuhkan putusan, majelis hakim berusaha untuk membangun keyakinannya dari kesaksian ahli Ketua MKEK IDI dan juga putusan MKEK IDI No.006/IDI- WIL/SULUT/MKEK/II/2011 terkait dengan dugaan pelanggaran etik yang sudah diputus terlebih dahulu. Isi dari putusan tersebut yang menyatakan bahwa ketiga dokter sudah melaksanakan tugasnya secara profesional dan tidak ditemukan adanya unsur pelanggaran etik kedokteran. Atas dasar inilah majelis hakim berkeyakinan bahwa ketiga dokter tidaklah lalai dalam melakukan tindakan medis terhadap pasien/korban. Hal ini juga diperkuat dengan fakta bahwa setelah operasi cito secsio sesaria dilakukan,
pasien masih sempat meninggalkan ruang operasi dalam kondisi sadar dan bayi yang dilahirkan pun selamat. Meninggalnya pasien murni disebabkan oleh periswtiwa yang di luar kehendak ketiga dokter, yakni disebabkan oleh emboli udara.
Upaya ketiga dokter dalam menyelamatkan pasien dan bayinya, memang tidak sepenuhnya berhasil, namun tidak juga sepenuhnya gagal. Fakta bahwa meninggalnya pasien memang tidak bisa dihindari dan berada di luar kehendak ketiga dokter, namun keberhasilan ketiganya dalam menyelamatkan bayi pasien tidak bisa diabaikan begitu saja. Menurut Xxnulis, kegagalan ketiga dokter dalam menyelamatkan nyawa pasien, tidak serta merta mengakibatkan tindakan ketiganya tidak bermutu secara moral. Kebaikan moral tidaklah ditentukan dari apakah tujuan tindakan itu tercapai atau tidak. Hasil suatu tindakan tidak menentukan mutu moral dari tindakan itu. Yang menentukan mutu moral dari suatu tindakan adalah maksud dan kemauan nyata dari si subjek.137
Atas dasar pertimbangan ini juga, majelis hakim meyakini bahwa tidak mungkin ada unsur kesengajaan/kelalaian dari ketiga dokter dalam mengakibatkan meninggalnya pasien, terlebih ketiga dokter tersebut sudah memiliki lisensi untuk melaksanakan operasi cito secsio sesaria. Lisensi tersebut tentunya membuktikan bahwa ketiga dokter telah dinyatakan kompeten untuk melakukan operasi cito secsio sesaria.
3) Penolakan majelis hakim atas dugaan pemalsuan tanda tangan pasien pada lembar persetujuan tindakan medis (informed consent). Majelis hakim tidak yakin dengan dalil yang diajukan oleh JPU karena dianggap tidak cukup bukti yang menjelaskan bahwa benar tanda tangan pasien adalah palsu. Menurut Penulis, penolakan yang dilakukan oleh majelis hakim sudah tepat, karena selain tidak ada cukup bukti, sangat dimungkinkan tanda tangan yang dibubuhkan
137 Ibid.