Xxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxxxx dalam HS Salim, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT Klausul Contoh

Xxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxxxx dalam HS Salim, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 56. KUHPerd merupakan tiruan dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang disesuaikan melalui asas konkordansi. Perkembangan kebutuhan masyarakat, perkembangan ekonomi dan perkembangan perkreditan dalam masyarakat Indonesia sekarang memerlukan bentuk-bentuk jaminan baru, disamping bentuk jaminan yang telah diatur dalam undang-undang. Kebutuhan masyarakat memerlukan bentuk jaminan di mana orang dapat memperoleh kredit dengan jaminan barang bergerak, namun orang masih tetap dapat memakainya untuk keperluan sehari-hari maupun untuk keperluan usahanya. Jaminan kredit atas benda-benda bergerak semakin memegang peranan penting di berbagai negara modern termasuk Indonesia. Jaminan kredit demikian tidak dapat tertampung hanya oleh peraturan- peraturan gadai yang tidak memungkinkan benda jaminan tetap berada pada yang menggadaikan, karena bertentangan dengan syarat inbezitstelling yang disyaratkan pada gadai berdasar Pasal 116 ayat 3 KUHPerdata. Perkembangan fidusia di Indonesia itu disebabkan oleh rasa kebutuhan dari masyarakat sendiri dan disamping itu juga terpengaruh oleh berlakunya Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (untuk selanjutnya disebut dengan UUPA) di Indonesia. Dirasakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, karena prosedurnya lebih mudah, lebih luwes, biayanya murah, selesainya cepat, dapat meliputi baik terhadap benda bergerak maupun benda tak bergerak dan yang terpenting debitur masih tetap dapat memakai bendanya untuk kepentingan sehari-hari atau untuk pekerjaannya.5 5 Hikmah D Hayatdian, “Kajian Hukum Surat Kuasa Dibawah Tangan Sebagai Dasar Pembuatan Akta Jaminan Fidusia,” Jurnal Hukum Unsrat 1, no. 1 (2013): 120–35, xxxx://xxxx.xxxxxx.xx.xx/000/0/XXXXX N_HUKUM_SURAT_KUASA_DIBAWAH_TANGA N_SE BAGAI_DASA R_PEMBUATAN_AKTA_JAMINA N_FIDUSIA.pdf. Berdasarkan batasan dan pengertian tersebut menunjukkan bahwa fidusia pada prinsipnya perjanjian berdasarkan kepercayaan dari kedua belah pihak. Itulah sebabnya pemberlakuan surat kuasa di bawah tangan dimungkinkan sepanjang tidak terkait dengan alat bukti dan sistem pembuktian di depan pengadilan. Bilamana terjadi kasus atau hal-hal yang menuntut sistem pembuktian, maka surat kuasa di bawah tangan dalam sistem jaminan fidusia sangat lemah dikaitkan dengan kepastian hukum. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (untuk selanjutnya disingkat dengan UUHT), pembebanan atas pemilikan rumah beserta tanahnya untuk dijadikan sebagai jaminan utang...