SKRIPSI
SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA TIDAK TERTULIS DI PERUSAHAAN PENYEDIA KERJA
OLEH
XXXXXXXXXX XXXXXXX XXXX NPM :202010122029
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA DENPASAR
2024
SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA TIDAK TERTULIS DI PERUSAHAAN PENYEDIA KERJA
OLEH
XXXXXXXXXX XXXXXXX XXXX NPM :202010122029
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA DENPASAR
2024
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA TIDAK TERTULIS DI PERUSAHAAN PENYEDIA KERJA
OLEH :
XXXXXXXXXX XXXXXXX XXXX NPM : 202010122029
Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi (Tugas Akhir) ini dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA TIDAK TERTULIS DI PERUSAHAAN PENYEDIA
KERJA” dapat diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan waktu yang ditargetkan.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Strata 1 (S1) di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar. Dalam penulisan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini, diantaranya:
1. Bapak Prof. Dr. Xx. X Xxxx Xxxxxxxx Xxxxxx, M.P, Selaku Rektor Universitas Warmadewa Denpasar.
2. Ibu Dr. Xx Xxxx Xxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H., Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa.
3. Bapak Prof. Dr. I Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, SH.,MH. Selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, petunjuk dan dorongan kepada penulis guna menyelesaikan skripsi ini.
4. Ni Made Puspasutari Ujianti, SH.,MH. Selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu dan tenaganya, dan telah banyak membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu.
5. Ibu Anak Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx Xxxx, SH.,MH. Selaku Pembimbing Akademik saya yang memberikan petunjuk dan arahan selama saya mengikuti perkuliahan di Universitas Warmadewa Denpasar.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan.
7. Para Staff Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah banyak memberikan bantuan selama proses perkuliahan sampai dengan penyusunan skripsi ini.
8. Orang tua saya, Xxxxxxx Xxxxx dan Xxxxxxxxx Mais yang saya cintai dan saya sayangi yang selalu mendoakan, dan memberikan dukungan baik secara moral dan financial selama ini.
9. Teman-teman seperxxxxxan saya yang telah memberikan motivasi serta dorongan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Sebagai akhir kata, Xxnulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk bahan perbaikan terutama dari dosen penguji dengan harapan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya dalam bidang ilmu hukum. Demikian kata pengantar ini penulis buat, atas perhatian dan kerjasamanya dihaturkan terima kasih.
Denpasar, 11 Juni 2024 Penulis
XXXXXXXXXX XXXXXXX XXXX
NPM : 202010122029
ABSTRAK
Tenaga kerja bekerja pada penyedia kerja merupakan hubungan kerja yang memiliki hubungan timbal balik dimana kedua belah pihak akan saling memberikan keuntungan. Penyedia kerja atau pemberi kerja juga merupakan faktor yang sangat penting dalam menjalankan kegiatan perekonomian di Indonesia. Sebab dan akibat dari hal tersebut adalah dimana dalam suatu waktu penyedia kerja tidak lagi memerlukan tenaga dan kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja sehingga penyedia kerja dapat seenaknya memutuskan hubungan kerja dengan alasan tenaga kerja tersebut tidak diperlukan lagi. Rumusan Masalah yang diangkat adalah Bagaimana pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis di perusahaan penyedia kerja? dan Bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap pekerja dengan perxxxxxan kerja tidak tertulis di perusahaan penyedia kerja?. Penelitian skripsi ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang- undangan dan studi kepustakaan dengan menganalisis dan mengkaji aturan hukum yang berlaku sebagai dasar pemecahan masalah. Hasil penelitian menunjukan pengaturan hukum tentang perlindungan hukum dan upaya hukum pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis di perusahan penyedia kerja diatur dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Didalam undang-undang tersebut diatur mengenai Pengaturan Hukum dan Upaya hukum oleh pekerja terhadap perjanjian kerja tidak tertulis di perusahaan penyedia kerja.
Kata kunci : Perlindungan Hukum, Pekerja, Penyedia kerja, Perjanjian tidak tertulis
ABSTRACT
Workers working for work providers is a work relationship that has a reciprocal relationship where both parties will provide benefits to each other. Job providers or employers are also a very important factor in carrying out economic activities in Indonesia. The cause and effect of this is that at some point the work provider no longer needs the energy and abilities of the worker so that the work provider can arbitrarily terminate the employment relationship on the grounds that the worker is no longer needed. Formulation of the problem raised is: How are the legal protection arrangements for workers with unwritten work agreements in work providing companies? and What are the legal protection measures for workers with unwritten work agreements at the work provider company? This thesis research uses a normative legal research type using a legislative approach and literature study by analyzing and reviewing applicable legal rules as a basis for problem solving. The research results show that legal regulations regarding legal protection and legal remedies for workers with unwritten work agreements in employment providing companies are regulated in Law Number 13 of 2003 concerning Employment and Law Number 2 of 2004 concerning Settlement of Industrial Relations Disputes. This law regulates legal arrangements and legal remedies by workers regarding unwritten work agreements at work providing companies.
Keywords : Legal Protection, Workers, Work Providers, Unwritten
Agreements
DAFTAR ISI
Hal HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGAJUAN ii
HALAMAN PERSETUJUAN iii
HALAMAN PENILAIAN iv
PERNYATAAN ORISINALITAS v
PERNYATAAN TIDAK MERUBAH NAMA vi
KATA PENGANTAR vii
ABSTRAK ix
ABSTRACT x
DAFTAR ISI xi
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 5
1.3. Tujuan Penulisan 5
1.3.1 Tujuan Umum 5
1.3.2 Tujuan Khusus 5
1.4. Kegunaan Penelitian 6
1.4.1 Kegunaan Teoritis 6
1.4.2 Kegunaan Praktis 6
1.5. Tinjauan Pustaka 7
1.6. Metode Penelitian 12
1.6.1. Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah 12
1.6.2. Sumber Bahan Hukum 13
1.6.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 14
1.6.4. Analisis Bahan Hukum 14
BAB II 15
PENGATURAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA TIDAK TERTULIS DI PERUSAHAAN PENYEDIA KERJA 15
2.1. Xxxxertian Perjanjian kerja dan Perusahaan Penyedia Kerja 15
2.2. Dasar Hukum perjanjian kerja tidak tertulis 19
BAB III 35
UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA TIDAK TERTULIS DI PERUSAHAAN PENYEDIA KERJA 35
3.1. Bentuk Upaya Hukum bagi Pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis 35
3.2. Upaya hukum bagi pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis 40
BAB IV 68
SIMPULAN DAN SARAN 68
4.1. Simpulan 68
4.2. Saran 69
DAFTAR BACAAN 71
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang dalam Undang- Undang Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat 3 yang artinya, segala perbuatan anggota masyarakat harus berlandaskan hukum. Baik Masyarakat maupun pejabat Negara harus tunduk dan patuh kepada hukum, sebab tujuan dari hukum adalah untuk mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.
Tenaga kerja merupakan salah satu unsur penting dalam perkembangan negara ini, bahkan negara kita ini telah mengirimkan banyak tenaga kerja ke Negara lain yang memerlukan, seperti Malaysia, Qatar, Singapore dan negara lainnya. Menurut Payaman X. Xxxxxxxxxxx, tenaga kerja adalah produk yang sudah atau sedang bekerja, atau sedang mencari pekerjaan serta yang sedang melaksanakan pekerjaan lain seperti bersekolah dan ibu rumah tangga. Secara praktis, tenaga kerja terdiri dari dua hal, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja :1
a. Angkatan kerja (labour Force) terdiri atas golongan yang bekerja dan golongan penganggur atau sedang mencari kerja.
1 Payaman X. Xxxxxxxxxxx, 1985, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 2.
b. Kelompok yang bukan angkatan kerja terdiri atas golongan yang bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga, dan golongan lain-lain atau menerima penghasilan dari pihak lain seperti pensiunan dan lain sebagainya.
Tenaga kerja bekerja pada penyedia kerja merupakan hubungan kerja yang memiliki hubungan timbal balik dimana kedua belah pihak akan saling memberikan keuntungan. Dalam pasal 1 angkat 4 Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menerangkan:
“pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lainya”.
Dalam penjelasan tersebut diatas, setiap orang atau badan hukum yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lainya adalah penyedia kerja dan tentu saja pekerjaan yang dimiliki oleh penyedia kerja tidak melanggar aturan undang-undang yang berlaku. Penyedia kerja atau pemberi kerja juga merupakan faktor yang sangat penting dalam menjalankan kegiatan perekonomian di Indonesia. Dengan jumlah sumber daya alam yang berlimpah di Indonesia, akan menjadi lebih mudah bagi para penyedia kerja untuk menciptakan lapangan kerja yang dapat menyerap tenaga kerja. Hubungan yang ditimbulkan oleh penyedia kerja denga tenaga kerja yang telah diteriama sebagai pekerja adalah hubungan kerja. Dalam pasal 1 ayat 15 undang-undang ketenagakerjaan mengatakan:
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah”
Maka dari kutipan pasal diatas, tenaga kerja yang bekerja telah menerima
pekerjaan, upah dan perintah disebut sebagai pekerja. Dalam hubungan tersebut,
dasar dari timbulnya suatu hubungan kerja adalah perjanjian kerja. Dalam pasal 1 ayat 14 undang-undang ketenagakerjaan, mengatakan bahwa:
”perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak”.
Salah satu hal yang sangat penting kita ketahui adalah mengenai pihak yang menyerap tenaga kerja. Menurut pasal 1 angka 4 undang-undang ketenaga kerjaan tersebut diatas, setiap orang baik secara individu maupun kelompok dapat mempekerjakan tenaga kerja dengan tentunya membayar upah. Yang menjadi subjek dalam hal ini adalah perseorangan, pengusaha dan badan hukum. Pengusaha adalah orang yang menjalankan perusahaan, yaitu mengelola perusahaan, baik mengelolanya sendiri, mengelola dengan pengantara orang lain, maupun dengan bantuan orang lain2 . Molengraff mengatakan perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus bertindak keluar untuk memperoleh penghasilan memperniagakan atau menyerahkan barang- barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perniagaan3. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Tenaga dan kemampuan dari pekerja merupakan halyang dibutuhkan oleh penyedia kerja dalam menjalankan perusahaannya.
2 Xxxxx Xxxxxxxxx, 2012, Hukum Perusahaan Analisis Terhadap Pengaturan Peran Perusahaan Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Di Indonesia, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, hal.10.
3 HMN Purwosutjipto, 1985, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Buku I Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Djambatan, jakarta, hal. 15.
Dalam hubungan kerja akan terjadi suatu kesepakatan antara para pihak yang disebut awal dari hubungan kerja, Hubungan tersebut berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Tenaga dan kemampuan dari pekerja merupakan hal yang dibutuhkan oleh penyedia kerja dalam menjalankan perusahaannya. Sebab dan akibat dari hal tersebut adalah dimana dalam suatu waktu penyedia kerja tidak lagi memerlukan tenaga dan kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja sehingga penyedia kerja dapat seenaknya memutuskan hubungan kerja dengan alasan tenaga kerja tersebut tidak diperlukan lagi seperti kasus di PT. Esa Garda Pratama dalam pelaksanaan PKWT yang diterapkan pada karyawan hanya dibuat secara lisan atau tidak tertulis, tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan Undang-undang. Oleh karena itu pemerintah sebagai pembuat undang-undang, dapat turut serta melindungi pihak yang lemah (pekerja) dari itikad kurang baik yang dapat dilakukan oleh penyedia kerja, guna menempatkannya pada kedudukan yang layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia 4.
Sehubung dengan latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk membuat penulisan skripsi diatas dengan judul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA TIDAK TERTULIS DI PERUSAHAAN PENYEDIA KERJA.
4 I Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxx, 2016, Hukum Outsourcing Konsep Alih Daya Bentuk Perlindungan Hukum Dan Kepastian Hukum, Setara Press, Malang, hal.4
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis di perusahaan penyedia kerja?
2. Bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis di perusahaan penyedia kerja?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penyususnan dan penulisan skripsi ini yaitu:
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk melatih mahasiswa dalam penulisan karya tulis ilmiah;
2. Untuk melaksanakan Xxx Xxxxxx Perguruan Tinggi khususnya dalam bidang penelitian;
3. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum dalam mengkaji permasalahan hukum yang terdapat di Masyarakat;
4. Sebagai hasil dari studi terkait dengan bidang ilmu hukum dalam suatu karya ilmiah.
1.3.2 Tujuan Khusus
Terdapat dua tujuan khusus berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk memahami dan menganalisis pengaturan tentang perlindungan hukum bagi pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis pada perusahaan penyedia kerja.
2. Untuk memahami dan menganalisis bagaimana upaya perlindungan hukum bagi pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis pada perusahaan penyedia kerja.
1.4. Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua kegunaan, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. Adapun kegunaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan dengan hukum pemerintahan khususnya pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis di perusahaan penyedia kerja.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Bagi penulis, sebagai syarat untuk proposal untuk melanjutkan pembuatan skripsi guna mendapatkan gelar Sarjana Hukum serta meningkatkan wawasan dan kemampuan penulis dalam menulis karya ilmiah;
2. Bagi masyarakat, sebagai kajian dan menambah pengetahuan mengenai pengaturan tentang perlindungan hukum bagi pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis di perusahaan penyedia kerja.
3. Bagi Pemerintah, sebagai masukan dalam realisasi pembentukan regulasi berkaitan dengan hak-hak, pelayanan, perlindungan, serta kesetaraan hak dalam hal sebagai pekerja dan penyedia kerja.
1.5. Tinjauan Pustaka
Pekerja dan perusahaan merupakan bagian dari ketenagakerjaan, untuk dapat di mengerti mengenai apa itu pekerja dan penyedia kerja serta hal apa saja yang terkait di dalamnya ada baiknya jika mengetahui defenisi atau arti dari istilah- istilah yang sering di pergunakan dalam ketenagakerjaan. Beberapa defenisi yang tertuang dalam undang-undang ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badang-badan lainya yang mempekerjakan tenaga kerja.
5. Penyedia tenaga kerja adalah pengguna jasa tenaga kerja yang direkrut dari pihak ketiga untuk mengisi posisi tertentu di sebuah perusahaan.
Penyediaan lapangan pekerjaan merupakan salah satu kewajiban pemerintah sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa:
“Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak. Atas dasar tersebut pemerintah mengeluarkan berbagai aturan dan kebijaksanaan untuk memberikan perlindungan dan kesempatan kepada mereka”.
Dalam konteks industri, proses produksi yang makin maju dan berkembang tentunya perusahaan membutuhkan tenaga kerja yang terampil maupun kurang terampil, bahkan tidak mempunya keahlian sama sekali. Benturan dan gesekan dalam pelaksanaan proses produksi antara pekerja/buruh dengan pengusaha, yang disebabkan oleh adanya kepentingan dan motivasi berbeda. Pekerja ingin mendapatkan pekerjaan yang ringan dengan gaji yang banyak, sedang pengusaha ingin memberikan upah sedikit dan berharap produktifitas yang tinggi dan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Kondisi demikian apabila tidak diantisipasi dapat mengganggu jalannya perusahaan, lebi-lebih pekerja dengan telah bergabung dalam satu wadah organisasi serikat pekerja yang memang keberadaannya diatur dalam undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.
Oleh karena itu, dalam rangka mengantisipasi kepentingan yang berbeda yang dapat menimbulkan konflik maka perlu pemerintah sebagai stabilisator dan dinamisator di bidang ketenagakerjaan, harus mampu menyediakan peraturan perundang-undangan terkait agar kepentingan para pihak dapat terpenuhi. Maka dibentuklah salah satu aturan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, yaitu undang-undang ketenagakerjaan.5 Istilah pekerja dalam praktik sering dipakai untuk menunjukkan status hubungan kerja seperti pekerja kontrak, pekerja borongan, pekerja harian, pekerja honorer, pekerja tetap, dan sebagainya.
5 Pengantar Hukum Ketenagakerjaan dibuka pada tanggal 9 Desember 2023.
xxxx://xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxxxxxxxxxx html.
Sedangkan istilah karyawan lebih sering dipakai untuk data administrasi.6 sebelum menggunakan istilah pekerja, dahulu pada zaman Belanda istilah pekerja sebelumnya dikenal sebagai buruh. Pada saat itu yang disebut buruh adalah pekerja kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar. Sedangkan yang melakukan pekerjaan dikantor pemerintahan maupun swasta disebut sebagai “karyawan/pegawai”. Konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang-orang pribumi.7
Pada dasarnya, hubunga kerja yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja menyatakan kesanggupanya untuk bekerja pada pengusaha dan menerima upah dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupanya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Perjanjian yang sedimikian itu disebut perjanjian kerja. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.
6 Xxxx Xxxxxx, 2014, dasar-dasar hukum ketenagakerjaan Indonesia. Cet. Ke-4 edisi revisi, PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, hal. 1
7 Husni lalu, 2016, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Edisi Revisi, Cet. Ket-5, PT Raja Grafindo Persada, jakarta, hal. 45.
Defenisi hubungan kerja menurut Xxxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxxxxx, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.8
Pengertian hubungan kerja berdasarkan pasal 1 ayat 15 undang-undang ketenagakerjaan adalah :
“hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau
buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.
Menurut Xxxxx Xxxxxxxx perjanjian kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pemberi kerja yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang timbal balik yang harus dipenuhi oleh para pihak 4. Perjanjian kerja dibuat oleh pengusaha dengan pekerja tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh pengusaha dengan serikat pekerja yang ada pada perusahaan.
Berdasarkan pasal 56 undang-undang ketenagakerjaan terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
8 Xxxxxxxxxx Xxxxxxx, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan perburuhan, Jakarta: Rajawali, Pers, hal.10.
Pengertian Hubungan Kerja Defenisi, dibuka pada tanggal 09 Desember 2023
xxxx://xxx.xxxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxxxxxx-xxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxxx.xxxx
9 X. Xxxxxxx, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx 1995), hal. 63.
a. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
Menurut pasal 56 undang-undang ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak tertentu. Dalam pasal 56 ayat 2 undang-undang ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.
Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (Kepmenakertrans 100/2004), pengertian perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara.
b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Berdasarkan pasal 1 ayat 2 keputusan mentri tenaga kerja dan transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (Kepmenkertrans 100/2004) pengertian perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait.
Perjanjian kerja secara tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian kerja tidak tertulis merupakan suatu perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (disampaikan
secara langsung oleh para pihak tanpa menggunakan tulisan.
Secara teoritis dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja yaitu sebagai berikut:
1. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuanya untuk mengembangkan kehidupanya sebagaimana manusia pada umumnya.
2. Perlindungan teknis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja terhindar dari bahaya kecelakaan.
3. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup guna memenuhi kehidupanya.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan adalah penelitian hukum normatif, menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum. Pendekatan masalah yang dipergunakan yakni menggunakan pendekatan perundang- undangan (statute approach).10
1.6.2. Sumber Bahan Hukum
Berdasarkan jenis bahan hukum dalam penelitian ini adalah :
1. Sumber Bahan Hukum Primer
Adapun yang menjadi bahan hukum primer dari penelitian ini adalah :
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja,
x. Xxputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
2. Sumber bahan hukum sekunder terdiri dari :
a. Buku-buku Tentang Perlindungan Hukum terhadap pekerja
b. Jurnal-jurnal hukum,
x. Xxxxx tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang berbentuk skripsi,hasil penelitian, makalah, artikel dan opini;
d. Bahan-bahan yang diperoleh dari internet dan media cetak lainnya;
10 Xxxxx Xxxxxxx, 2007,Teori dan Metedologi Penelitian Hukum, Bayu Media, Cetakan keIII, Malang, hal.300.
1.6.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik memperoleh bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini ialah :
1. Teknik pencatatan, yaitu dengan studi mengutip dan menganalisis suatu sumber dokumen negara contohnya seperti undang-undang.
2. Teknik penelusuran bahan hukum, yaitu diperolehnya penelusuran tersebut melalui kepustakaan dari berbagai buku-buku, literatur, makalah yang menunjang penelitian berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini.
3. Klasifikasi sesuai pokok masalah.
1.6.4. Analisis Bahan Hukum
Metode yang digunakan dalam pengolahan bahan hukum, yaitu metode analisis bahan-bahan hukum dengan mempergunakan:
1. Teknik Deskripsi, adalah teknik dasar analisa yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.
2. Teknik Evaluasi, adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
3. Teknik Argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum dan argumentasi hukum dengan konsep deduktif dan induktif.
BAB II
PENGATURAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA TIDAK TERTULIS DI PERUSAHAAN PENYEDIA KERJA
2.1. Xxxxertian Perjanjian kerja dan Penyedia Kerja
Dalam KUHPerdata, pengertian perjanjian kerja dapat kita lihat pada Pasal 1601 huruf a KUHPerdata berbunyi:
“perjanjian perburuhan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak lain, si majikan untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.
Dalam pasal ini hubungan yang terjadi adalah hubungan kerja antara buruh dengan majikan, hal ini terjadi karena adanya perjanjian kerja. Buruh melakukan pekerjaan dibawah pimpinan atau petunjuk majikan. Dalam Pasal tersebut terdapat 3 hal pokok, yaitu: Adanya pekerjaan yang dilakukan oleh buruh, upah diberikan langsung oleh majikan, posisi siburuh berada pada posisi tidak seimbang (berada dibawah perintah si majikan). Beberapa unsur dari perjanjian kerja adalah adanya unsur pekerjaan, adanya unsur perintah, adanya waktu tertentu dan adanya unsur upah.11
Perjanjian kerja berdasarkan Pasal 1 ayat 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi :
11 Xxxxx xxxxx Xxxxxxxx, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Outsourching berdasarkan Perjanjian Kerja, 2018, Hal. 62
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.
Berdasarkan pengertian yang dijelaskan dalam Undang-undang Ketenagakerjaan diatas, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: 12
a. Ada orang dibawah pimpinan orang lain. Dengan adanya pimpinan orang lain berarti ada unsur wewenang pemerintah, berkaitan dengan perjanjian kerja unsur wenang pemerintah ini memegang peranan yang penting sebab tanpa adanya unsur wenang pemerintah, berarti bukan perjanjian kerja.
b. Penunaian kerja dimaksud adalah melakukan pekerjaan. Dalam hal persewaan pelayanan ini yang menjadi objeknya adalah persewaan tenaga kerja. Dalam persewaan tenaga kerja berarti tenaga yang dimaksud adalah tenaga manusia, maka upah sebagai kontrak prestasi dipandang dari sudut ekonomis saja.
c. Dalam penunaian kerja, pribadi manusia sangat tersangkut kepada kerja.
Tersangkutnya pribadi manusia akan berakhir dengan adanya waktu tertentu. Dengan demikian jika penunaian kerja telah selesai misalnya karena pensiun, pibadi manusia tidak hanyut dalam kerja dan pribadi manusia tetap mandiri kembali. Jika manusia melakukan pekerjaan selama hidup, berarti itu perbudakan dan bukan perjanjian kerja.
12 F.X. Xxxxxxxxxx,2005, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika, Jakarta, hal.18-19
d. Adanya upah, dalam hal ini adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari penguasa kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk pekerja sendiri maupun untuk keluarganya.
Penyedia kerja adalah pengguna jasa tenaga kerja yang direkrut dari pihak ketiga untuk mengisi posisi tertentu disebuah perusahaan pemberi kerja yang disebut Outsourcing atau alih daya. Outsourcing adalah perusahaan penyedia jasa tenaga kerja atau dengan kata lain menyediakan dan menyalurkan tenaga kerja dengan keahlian tertentu ke perusahaan yang membutuhkan.13 Outsourcing yakni pada dasarnya pemberi jasa kerja yang dibutuhkan kepada setiap perusahaan-perusahaan besar bergerak dibidang industri dimana dalam hal tersebut adanya penyerahan wewenang untuk memperkerjakan setiap orang untuk melakukan ataupun membantu kegiatan bisnis industri tersebut utamanya pada perusahaan asing.14
Perjanjian tidak tertulis merupakan perjanjian yang sah sebagaimana dalam kajian hukum perdata selama dibuat tidak bertentangan dengan Pasal
13 Outsourching Penyedia jasa Tenaga kerja, dibuka pada tanggal 19 maret 2024 xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxxxxx/xxxxxxxxxxx-xxxxxx-xxxxxxxx-xxxx-xxxxxx- kerja-ketahui-kelebihan-dan-kekurangannya.html.
14 I Xxxx Xxxx Xxxxx Yasa, I Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx dan Ni Made Puspasutari Ujianti, Upaya Pekerja Outsourcing Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Atas Pelanggaran Kontrak Kerja, Jurnal Analogi Hukum, Vol.2 No.2 (2020), hal. 194.
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian tidak tertulis atau perjanjian lisan meskipun dianggap lebih lemah kedudukannya dibandingkan dengan perjanjian tertulis, bukan berarti perjanjian lisan tidak diakui sebagai perjanjian yang sah.
Perjanjian baik itu perjanjian tertulis maupun tidak tertulis jika merujuk kepada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harus memenuhi 4 (empat) syarat dalam menentukan perjanjian tersebut sah atau tidak sah.
4 (empat) syarat tersebut antara lain:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Pada syarat-syarat tersebut, secara teoritis syarat pertama dan syarat kedua mengenai kesepakatan dan kecakapan tergolong sebagai syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan syarat keempat mengenai suatu hal dan suatu sebab yang halal tergolong sebagai syarat obyektif. Akibat hukum apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi maka mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal ini berlaku pula pada bentuk perjanjian tidak tertulis, mengingat keempat syarat sah perjanjian tersebut tidak disyaratkan secara tertulis. Selama bentuk perjanjian tidak tertulis telah memenuhi serta tidak melanggar keempat syarat tersebut, maka perjanjian tersebut sah secara hukum.15 Keberadaan perjanjian tidak tertulis melekat pada prinsip kebebasan para pihak yang
membentuk dan melaksanakan perjanjian sebagaimana dalam asas kebebasan berkontrak serta didukung pula pada asas-asas hukum perjanjian lainnya. Perjanjian tidak tertulis memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan perjanjian tidak tertulis lebih kepada efisien waktu dalam membentuk dan melaksanakan perjanjian serta adanya kepercayaan dalam membentuk dan melaksanakan perjanjian. Kelemahan perjanjian tidak tertulis terletak pada resiko terjadinya sengketa yakni terkait pembuktian segala hal yang telah disepakati.
2.2. Dasar hukum perjanjian kerja tidak tertulis di perusahan Penyedia kerja
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum, agar masing-masing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar dan adil, hukum juga berfungsi sebagai instrumen perlindungan hak-hak dan kewajiban bagi subjek hukum itu sendiri, jika dikaitkan dengan keberadaan suatu negara, hukum dapat difungsikan sebagai pelindung warga negara dari tindakan pemerintah yang tiran dan absolut.16
Hukum harus ditegakkan bukan hanya aturan norma semata, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya harus diterapkan.
15 Tinjauan Xxxxxxx terhadap penggunaan perjanjian tidak tertulis dalam kegiatan Bisnis. Di buka pada tanggal 14 februari 2024 xxxxx://xxx.xxxx.xxxxxxxx.xx.xx/xxxxxx-xxxxxxxxx/xxxx-xxxxxxx/00000/.xxxx.
16 Xxxxxx Xxxxxxxx, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung: CV. Xxxxxx Xxxx, 2011) hal.130
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxx dalam kutipan Sinaulan menjelaskan bahwa perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang yang diberikan oleh hukum.17 Namun dalam negara Indonesia yang mempunyai dasar falsafah yaitu Pancasila memaknai perlindungan hukum harus melindungi semua manusia, karena semua manusia mempunyai hak untuk dilindungi harkat dan juga martabatnya.18
Berdasarkan pengertian perlindungan hukum menurut para ahli diatas dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum pekerja merupakan perlindungan atas hak -hak dan kewajiban yang diberikan kepada pekerja ataupun penyedia kerja yang menjadi sasaran dari peraturan itu diterbitkan.
Prinsip-prinsip perlindungan hukum di negara kita Indonesia adalah Pancasila sebagai Ideologi dan Filsafah negara yang didasarkan pada konsep Rechstaat atau konsep Negara Hukum dan Rule of the law atau konsep tunduk kepada hukum dan tidak berkuasa diluar batasan hukum. Prinsip perlindungan hukum di Indonesia menitik beratkan pada prinsip perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat dari subjek hukum dalam hal ini adalah seluruh masyarakat Indonesia.
17 JH Sinaulan, “Perlindungan Hukum Terhadap Warga Masyarakat,” IDEAS Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Budaya, 04.01 (2018), 79.
18Xxxx X. Xxxxxxx dan Nyoman X. Xxxxxxxxx, Teori-Teori Hukum., Setara Press, Malang, 2018, hlm. 166.
Sedangkan, prinsip perlindungan hukum dari kebijakan pemerintah bertumpuh dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Perlindungan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Perlindungan hukum Preventif adalah perlindungan hukum yang diberikan pemerintah untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran.
2. Perlindungan hukum Represif merupakan perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah pembuat undang-undang untuk melindungi subjek hukum setelah terjadinya sengketa.
Dalam bukunya Xxxxxxxx X. Xxxxxx, sarana perlindungan hukum ada dua jenis, yaitu:
a. Sarana perlindungan hukum Preventif. Sarana perlindungan hukum secara preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk menyampaikan keberatan sebelum keputusan dari pemerintah bersifat definitf. Tujuan dari penyampaian atau pengajuan keberatan ini agar mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum Preventif sangat penting terhadap keputusan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, oleh karenanya dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil suatu keputusan yang didasarkan pada diskresi. Dibandingkan dengan sarana perlindungan hukum represif, sarana perlindungan hukum yang preventif dalam perkembanganya agak ketinggalan. Belum banyak diatur mengenai sarana perlindungan hukum bagi rakyat yang bersifat preventif dapat kita temui bentuk sarana preventif berupa keberatan (inspraak). Di Negara Indonesia sendiri belum ada aturan yang secara khusus mengatur
mengenai perlindungan hukum Preventif.
b. Sarana perlindungan hukum Represif. Sarana perlindungan hukum secara represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum secara represif dilakukan oleh pengadilan dan pengadilan administrasi. 19
Dari pengertian perlindungan hukum diatas maka dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum yang bersifat perlindungan secara preventif ataupun represif baik perlindungan secara tertulis maupun tidak tertulis/lisan.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum yang mana hukum berfungsi untuk memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Bentuk perlindungan hukum yang dapat kita lihat sekarang ini adalah adanya instansi-instasi penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian dan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau non litigasi dan lain-lain.
Bentuk perlindungan tenaga kerja di Indonesia yang menjadi kewajiban dan harus dilaksanakan oleh perusahaan atau pengusaha yang mempekerjakan orang untuk bekerja pada pengusaha atau perusahaan
19 Xxxxxxxx X. Xxxxxx, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, Hal.25
penyedia kerja tersebut harus sangat diprioritaskan, yaitu pemeliharaan dan peningkatan kesejahtraan yang diselenggarakan dalam bentuk jaminan sosial tenaga kerja yang bersifat umum dilaksanakan dengan berasaskan kekeluargaan, usaha bersama dan kegotong-royongan sebagaimana yang tertuang dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pekerja juga merupakan subyek hukum, yang mana mereka berhak atas perlindungan hukum terutama perlindungan hukum ditempat bekerja. Yang menjadi latar belakang persoalan dalam penelitian skripsi ini adalah terkait perlindungan hukum tenaga kerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis diperusahaan penyedia kerja.
Jaminan pemeliharaan kesehatan merupakan jaminan sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik dan lancar. Oleh karena itu biaya pemeliharaan dan penyembuhan memerlukan dana yang banyak dan membebankan kepada perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penanggulangan kemampuan masyarakat melalui upaya jamninan sosial tenaga kerja.
Secara teoritis ada tiga bentuk perlindungan tenaga kerja yaitu sebagai berikut:20
20 Xxxxx Xxxxxxxx, “Hukum kerja, Hukum ketenagakerjaan Bidang Hubungan kerja hal.78
1. Perlindungan sosial
yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuanya untuk mengembangkan kehidupan pekerja sebagaimana manusia pada umumnya dan khususnya sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Perlindungan sosial ini disebut juga dengan perlindungan kesehatan kerja. Kesehatan kerja sebagaimana telah di kemukakan di atas termasuk jenis perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan- atauran yang bermaksud mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha untuk memperlakukan pekerja semaunya tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan tidak memandang pekerja sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai hak asasi. Karena sifantya yang hendak mengadakan pembatasan ketentuan-ketentuan perlindungan sosial dalam undang-undang ketenagakerjaan, Bab x pasal 68 dan seterusnya bersifat memaksa, bukan mengatur. Akibat adanya sifat memaksa dalam ketentuan perlindungan sosial undang-undang ketenagakerjaan ini, pembentuk undang-undang memandang perlu untuk menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini merupakan hukum umum (publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana.
Hal ini disebabkan beberapa alasan berikut 21:
21 Ibid. hal. 80
a. Aturan-aturan yang termuat di dalamnya bukan bermaksud melindungi kepentingan seorang saja, melainkan bersifat aturan bermasyarakat.
b. Pekerja Indonesia umumnya belum mempunyai pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja dari kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dalam hal pekerja menjalankan pekerjaanya. Adanya penekanan dalam suatu hubungan kerja menunjukan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial sebagaimana ditentukan dalam bab x undang-undang ketenagakerjaan.
2. Perlindungan teknis
merupakan perlindungan yang berkaitan dengan perlindungan untuk menjaga agar pekerja terhindar atau dijauhkan dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan oleh alat dan bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut dengan perlindungan keselamatan kerja. Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis, yaitu perlindungan terhadap pekerja agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan pekerja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan terhadap pekerja, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah. Bagi pekerja, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja atau buruh
dapat memusatkan perhatian pada pekerjaanya semaksimal mungkin tanpa khuwatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja. Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja didalam perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial. Bagi pemerintah dan masyarakat, dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk mensejahtrakan masyarakat akan tercapai dengan meningkatkan produksi perusahan baik kualitas maupun kuantitas.22 Dasar pembicaraan masalah keselamatan kerja ini sampai sekarang adalah undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Namun, sebagian besar peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum ada sehingga beberapa peraturan warisan Hindia Belanda masih dijadikan pedoman dalam pelaksanaan keselamatan kerja di perusahan. Peraturan warisan Hindia Belanda itu adalah sebagai berikut
23:
a. Veiligheidsreglement, S 1910 Nomor, 406 yang telah beberapa kali dirubah terakhir dengan S. 1931 Nomor 168 yang kemudian setelah indonesia merdeka diberlakukan dengan peraturan pemerintah No. 208 Tahun 1974.
22 Ibid. hal. 84
23 Ibid.
b. Pengaturan ini mengatur tentang keselamatan dan keamanan di dalam pabrik atau tempat kerja.
c. Stoom Ordonantie, S 1931 No. 225, lebih dikenal dengan peraturan Uap
1930.
d. Loodwit Ordonantie 1931 No. 509 yaitu peraturan tentang pencegahan pemakaian timah putih kering.
3. Perlindungan ekonomis
yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup guna memenuhi keperluan sehari-hari untuk diri si pekerja dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan perlindungan jaminan sosial. Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan negara, Indonesia seperti halnya berbagai negara berkembang lainya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja disektor formal. Jaminan sosial tenaga kerja adalah salah satu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit,
hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia (undang-undang nomor 3 Tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja pasal 10). Dari pengertian diatas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah merupakan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang (jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan hari tua), dan pelayanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan kesehatan. Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam undang-undang nomor 3 tahun 1992 adalah merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari majikan. Pada hakikatnya program jaminan sosial tenaga kerja dimaksud untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga yang sebagian hilang.24
Disamping itu program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek antara lain memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.
Jadi, yang menjadi dasar hukum perlindungan pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis diperusahaan penyedia kerja adalah Hubungan kerja terjadi berdasarkan perjanjian kerja dan perjanjian kerja tidak tertulis diatur secara jelas dalam Pasal 51 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi :
24 Husni Lalu, 2003, “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PR Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 122.
“ perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan”. 25
Dan undang-undang nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Ada dua jenis perjanjian kerja yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Dalam Pasal 57 ayat 1 undang-undang ketenagakerjaan tertulis bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Berdasarkan hal tersebut, perjanjian kerja yang memiliki batas waktu tertentu maka wajib menggunakan perjanjian tertulis. Dalam ayat 2 menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tidak tertulis bertentangan dengan yang dimuat pada ayat 1 dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
Dari kutipan Pasal diatas dapat dikatakan pekerja yang tidak memiliki perjanjian kerja tidak tertulis pada perusahaan penyedia kerja atau pemberi kerja akan memiliki hubungan kerja dengan perusahaan penyedia kerja dengan jenis perjanjian kerja waktu tidak tertentu, segala hak dan kewajiban dari pekerja mengikuti ketentuan yang termuat dalam undang-undang ketenagakerjaan yang mengatur mengenai perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Namun norma yang ditemukan oleh penulis dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak mengatur secara jelas
25 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
mengenai hak-hak dan kewajiban pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu di perusahaan penyedia kerja. Dengan diterbitkan peraturan terbaru mengenai ketenagakerjaan banyak pasal-pasal yang dirubah bahkan dihapuskan. Pemenuhan hak-hak pekerja dilimpahkan dalam perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha dan tidak diatur secara langsung dalam perundang-undangan.26
X. Xxx dan Kewajiban terhadap Pekerja dengan Perjanjian Kerja tidak tertulis di perusahan Penyedia kerja
Dalam membuat suatu perjanjian kerja, tentu saja klausul-klausul yang terpenting dalam penyusunannya adalah mengenai hak dan kewajiban para pihak serta syarat-syarat kerja. Dalam hal perusahan tidak membuat perjanjian kerja secara tertulis atau lisan terhadap pekerja, baik pekerjaan waktu tertentu maupun waktu tidak tertentu, maka hak dan kewajiban yang berlaku dalam hubungan kerja tersebut adalah yang tertuang dalam Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan sebagai berikut:
1. Hak Pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis di perusahan penyedia kerja
1) Dalam Pasal 6, menyebutkan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
26 May Linda, I Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Ni Made Puspasutari Ujianti, “ Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Lokal Dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Omnibus Law Cipta Kerja“, Jurna Referensi Hukum, Vol. 2, No.3 (November 2021), hal. 483.
memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Berdasarkan kutipan pasal diatas pekerja yang bekerja disuatu perusahaan dibebaskan dari segala tindakan kekerasan baik dari perusahaan maupun dari pihak lain.
2) Dalam Pasal 60, menyatakan bahwa pekerja waktu tidak tertentu pada awal pelaksanaan hubungan kerja melaksanakan masa percobaan selama 3 (tiga) bulan dan diberikan upah tidak kurang dari upah minimum yang berlaku. Artinya adalah pekerja PKWTT wajib menjalankan pekerjaan masa training selama maksimal tiga
(3) bulan lamanya dan perusahaan penyedia kerja wajib hukumnya memberikan upah tidak kurang dari peraturan mengenai upah minimum.
3) Dalam Pasal 63, pekerja berhak memperoleh surat pengangkatan dari perusahaan yang memuat keterangan :
a. Nama dan alamat pekerja;
b. Tanggal mulai bekerja;
x. Xxxxx pekerjaan; dan
d. Besarnya upah.
4) Dalam Pasal 78, menyatakan pekerja memperoleh upah kerja lembur sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara pengusaha dan pekerja. Dari kutipan pasal diatas berarti pekerja yang bekerja diluar dari maksimal jam kerja yang disepakati atau lembur wajib suatu perusahaan penyedia kerja memberikan upah lebih dari upah yang diperjanjikan.
5) Dalam Pasal 79, menyatakan pekerja berhak atas cuti selama 12 (dua belas) hari untuk masa kerja 12 (dua belas) bulan dan istrahat
2 (dua) bulan untuk masa kerja 6 (enam) tahun. Jelas bahwa perusahaan penyedia kerja wajib memberikan waktu istrahat atau cuti kepada pekerja yang bekerja di perusahaanya.
6) Dalam Pasal 85, pekerja wajib tidak bekerja pada hari libur resmi, apabila bekerja pada hari libur resmi tersebut maka pekerja berhak memperoleh upah kerja lembur. Pasal ini sama halnya yang dimaksud dalam pasal 78 diatas, artinya pekerja yang kerja pada hari libur nasional wajib mendapatkan upah lembur.
7) Dalam Pasal 86, tiap pekerja berhak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, serta yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai agama.
8) Dalam Pasal 156, pekerja berhak memperoleh uang pesangon apabila pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan tertentu. Artinya adalah perusahaan penyedia kerja yang memutuskan hubungan kerja dengan alasan tertentu wajib hukumnya memberikan kompensasi berupa uang pesangon.
Hak-hak tersebut merupakan suatu kewajiban bagi pengusaha dalam melakukan hubungan kerja dengan pekerja yang menggunakan perjanjian kerja tidak tertulis/lisan.
2. Kewajiban pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis di perusahan penyedia kerja
Selain memiliki hak, tentu saja pekerja memiliki kewajiban dalam melaksanakan hubungan kerja pada perusahaan penyedia kerja supaya pekerja yang bekerja diperusahaan penyedia kerja mendapatkan hak-hak dari pekerjaanya. Dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagkerjaan menjelaskan bahwa kewajiban pekerja adalah dalam Pasal 102 ayat 2 menyatakan bahwa dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Itu merupakan kewajiban yang mesti harus dilakukan oleh pekerja berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan. Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ketentuan mengenai kewajiban pekerja diatur dalam Pasal 1603, 1603a, 1603b dan 1603c, Kitab Undang- undang Hukum Perdata yang pada intinya adalah sebagai berikut :
1) Pekerja wajib melakukan pekerjaan, melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan.
2) Pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk pengusaha. Dalam melakukan pekerjaan pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha.
3) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda. Jika pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda.
Pasal-pasal tersebut merupakan hak-hak dari perusahaan agar setiap pekerja hati-hati dalam menjalankan kewajibanya dan pekerja menaati peraturan perusahaan sehingga dapa menyelesaikan tugas/pekerjanya sesuai dengan perjanjian kerja.
BAB III
UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA TIDAK TERTULIS DI PERUSAHAAN PENYEDIA KERJA
3.1. Bentuk Upaya Hukum bagi Pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis Di Perusahaan Penyedia Kerja
Penyelesaian persoalan dalam hubungan kerja pada umumnya dapat diselesaikan oleh para pihak yang bersengketa dan dapat juga diselesaikan dengan hadirnya pihak ketiga, baik yang sudah disediakan oleh negara ataupun yang disediakan oleh para pihak itu sendiri. Dalam kehidupan masyarakat modern disuatu negara hukum, forum resmi yang disediakan oleh negara untuk penyelesaian perkara atau perselisihan biasanya adalah lembaga peradilan. Dalam proses pelaksanaan hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia kerja, ada beberapa kemungkinan terjadi persoalan yang berpotensi mengakibatkan perselisihan antara pekerja dengan perusahan penyedia kerja. Dalam pembahasan ini mengenai perjanjian kerja tidak tertulis/lisan di perusahaan penyedia kerja dengan pelaksanaan hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan berdasarkan perjanjian kerja yang tidak menggunakan perjanjian kerja tertulis.
Dalam Pasal 57 undang-undang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa apabila suatu hubungan kerja yang tidak menggunakan perjanjian tertulis atau lisan maka jenis perjanjian kerja menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Maka pekerja tersebut berhak mendapatkan surat pengangkatan dari perusahaan tentunya dengan masa pelatihan selama tiga bulan dan menjadi
pekerja tetap pada perusahaan penyedia kerja.
Untuk melaksanakan semua ketentuan tersebut pemerintah telah menggunakan dan menyiapkan perlindungan secara represif dengan menerbitkan suatu regulasi yang mengatur mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan membuat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dalam Pasal 1 ayat 17 terdapat suatu peradilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberikan 2 (dua) pilihan cara menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, yakni dengan cara non litigasi dan Litigasi. Dalam pasal 1 ayat 16 undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari hal tersebut hubungan antara pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis dengan perusahaan penyedia kerja juga termasuk dalam hubungan industrial.
Adapun jenis-jenis perselisihan hubungan industrial yang terjadi diatur dalam pasal 2 undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah sebagai berikut :
a) Perselisihan Hak
Dalam pasal 1 ayat 2 undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
b) Perselisihan kepentingan
Dalam pasal 1 ayat 3 undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
c) Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)
Dalam pasal 1 ayat 4 undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
d) Perselisihan antara serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan.
Dalam pasal 1 ayat 5 undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, perselisihan antara serikat pekerja adalah perselisihan antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian pemahaman mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
Dalam berbagai kasus terjadi kesulitan dalam menentukan jenis
perselisihan. Pembedaan jenis perselisihan terutama perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan PHK membawa konsekuensi tersendiri dalam strategi memilih mekanisme penyelesaian sengketa. Dalam situasi khusus, mungkin mudah bagi para pihak untuk melakukan identifikasi dalam menentukan jenis perselisihan. Tetapi dalam banyak kasus akan sulit untuk menentukan identifikasi jenis perselisihan. Seperti misalnya dalam perselisihan PHK adalah sangat umum terkait juga dengan perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan. Misalnya perselisihan hak yang diikuti dengan perselisihan PHK atau perselisihan kepentingan yang diikuti dengan perselisihan PHK atau yang lebih rumit perselisihan hak yang diikuti dengan perselisihan kepentingan yang kemudian diikuti pula dengan perselisihan PHK. Oleh karena itu pembedaan jenis perselisihan malah memperumit proses pemilihan mekanisme penyelesaian. Sangat jarang ditemui ada jenis sengketa yang berdiri sendiri.
Dengan undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dikaitkan dengan undang-undang ketenagakerjaan, segala bentuk perselisihan yang terjadi dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis dengan perusahaan penyedia kerja dapat diselesaikan dengan baik dengan menggunakan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut sehingga dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi pekerja yang tidak menggunakan perjanjian tertulis. Seperti yang dikatakan oleh C.S.T. Kansil bahwa peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patu menaatinya, menyebabkan terdapat keseimbangan dalam tiap hubungan dalam masyarakat. Setiap
hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan- ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat.27 oleh karena itu hubungan kerja antara pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis dengan perusahaan penyedia kerja dapat berjalan secara berkeadilan dengan undang-undang sebagai aturan hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Bentuk upaya hukum yang dilakukan oleh pekerja ketika terjadi sengketa dalam hubungan industrial dengan perjanjian tidak tertulis dapat dilakukan melalui pengadilan. Namun dalam pelaksanaannya tentu akan memakan waktu, maka akan diupayakan melakukan upaya hukum diluar pengadilan. Bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah lembaga penyelesaian sengketa melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara bipartit, dan tripartid. Sedangkan, Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan oleh Pengadilan Hubungan Industrial yang merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.
27 C.S.T. Xxxxxx dan Xxxxxxxxx X.X Xxxxxx, 2011, “Pengantar Ilmu Hukum Indonesia”,
Rineka Cipta, Jakarta, hal. 36
3.2. Upaya hukum bagi pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis diluar Pengadilan dan di Pengadilan
A. Upaya hukum bagi pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis diluar Pengadilan
Dalam pelaksanaanya, proses penyelesaian masalah hukum melalui pengadilan itu memakan waktu yang cukup lama, karena prosedurnya yang formalitas dan kaku. Karena hal itulah di perlukan cara penyelesaian sengketa yang lain diluar pengadilan.28 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diatur secara jelas dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial yang memungkinkan penyelesaian sengketa tenaga kerja diluar pengadilan dan di pengadilan. Dalam pasal 6 dan pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial memberi jalan penyelesaian sengketa tenaga kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengutamakan asas kekeluargaan antara pekerja dan perusahaan penyedia kerja.29 Adapun proses penyelesaian sebagai berikut :
1. Penyelesaian Melalui Perundingan Bipartit
Dalam pasal 1 ayat 10 undang-undang penyelesaian Hubungan Industrial menyebutkan bahwa perundingan bipartit adalah perundingan antara
28 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, 2009, ”Hukum Acara Perdata Indonesia”. Liberty, Yogyakarta, hal.266.
29 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
pekerja dengan perusahaan untuk menyelesaikan permasalahan hubungan industrial. Penyelesaian melalui perundingan ini bersifat wajib.
Langka-langkah penyelesaian bipartit ini dituang dalam bab kedua undang- undang tentang penyelesaian hubungan industrial. Tata cara dan ketentuannya adalah sebagai berikut :
1) Dalam Pasal 3 ayat 1 menyatakan bahwa perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaianya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mendapatkan mufakat. Dalam Pasal 3 ayat 2, menyebutkan bahwa dalam penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Dalam pasal 3 ayat 3 menyatakan bahwa apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
2) Apabila dalam penyelesaian bipartit mendapatkan kata sepakat maka sesuai dengan pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam hal musyawarah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Kemudian dalam ayat 2 menyatakan dalam perjanjian bersama sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Lalu dalam ayat 3 menyatakan bahwa dalam perjanjian bersama
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama. Serta dalam ayat 4 perjanjian bersama yang telah didaftar sebagaimana yang dimaksud dalam 3 diberikan akta bukti pendaftaran perjanjian bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama.
3) Namun dalam pelaksanaan perjanjian bersama ini terjadi wanprestasi maka sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 ayat 5 yang menyatakan apabila perjanjian bersama sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 3 dan ayat 4 tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Kemudian dalam ayat 6 yang menyatakan bahwa apabila dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar pengadilan Negeri tempat pendaftaran perjanjian bersama sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 3, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan Hubungan industrial pada pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri yang berkompoten melaksanakan eksekusi.
4) Apabila dalam proses bipartit ini gagal maka seperti dalam pasl 4 ayat 1 yang menyebutkan bahwa dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 3, maka salah satu atau kedua
belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Dalam pasal 4 ayat 2 menyatakan apabila bukti- bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. Kemudian dalam pasal 4 ayat 3 menegaskan bahwa setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melaluli konsiliasi atau melalui arbitrase. Dalam pasal 4 ayat 4 menyatakan bahwa dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
2. Penyelesaian dengan menggunakan pihak ketiga (Tripartid)
Ada tiga pilihan penyelesaian di luar pengadilan dengan bantuan pihak ketiga atau penengah, yang dapat dipilih oleh para pihak yang berselisih dalam menyelesaikan pertikaian diantara mereka. Dapat ditempuh melalui arbitrase, konsiliasi, yang dipilih dengan kesepakatan, atau bila tidak tercapai kesepakatan, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui mediasi wajib.30 ketiga penyelesaian persoalan tersebut tentu dalam prosesnya sangat
berbeda tergantung dari perselisihan yang dihadapi, yaitu :
1) Mediasi
Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif dimana pihak ketiga yang dimintakan bantuanya untuk membantu proses penyelesaian sengketa bersifat pasif dan sama sekali tidak berhak atau berwenang untuk memberikan suatu masukan, terlebih lagi untuk memutuskan perselisihan yang terjadi. Menurut undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pasal 1 ayat 11 menjelaskan bahwa Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan penyedia kerja melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
Mediasi ini dilakukan setelah dalam proses sebelumnya yaitu melalui proses perundingan bipartit tidak menemukan kata sepakat. Adapun tata cara penyelesaian perselisihan dengan mediasi menurut undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini adalah sebagai berikut :
a) Dalam pasal 8 undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial menerangkan bahwa penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
30 Xxxxx Xxxxxxxx, “Alternatif Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.9, No 17, 2013, hal.3
b) Adapun persyaratan mediator menurut pasal 9 menerangkan bahwa mediator sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut :
• Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
• Warga negara Indonesia;
• Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
• Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
• Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
• Berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (SI); dan
• Syarat lainya yang ditetapkan oleh Menteri
Berdasarkan pasal 15 menyatakan bahwa mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 4 dimana dalam hal ini proses bipartit tidak menemukan kesepakatan.
c) Dalam pasal 10 dijelaskan bahwa dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan dimana dalam hal ini pelimpahan tersebut berasal dari proses penyelesaian perselisihan yang dilalui tidak mendapatkan kesepakatan salah satu pihak, maka mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. Dalam prosesnya untuk melaksanakan penelitian tersebut dalam pasal 11 ayat 1 menyatakan mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar ketenagakerjaanya
dan dalam ayat 2 menerangkan saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan biaya akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan keputusan Menteri. Kemudian dalam pasal 12 ayat 1 menyatakan bahwa barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberi keterangan termasuk membukakan buku dan perlihatkan surat-surat yang diperlukan dan dalam ayat 2 menyatakan dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatanya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian dalam ayat 3, mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
d) Apabila dalam mediasi tercapai seperti dalam pasal 13 ayat 1 maka dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak- pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Kemudian berdasarkan ayat 3 yang menyatakan bahwa pendaftaran perjanjian bersama di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 huruf e dilakukan sebagai berikut:
• Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama;
• Apabila perjanjian Bersama sebagimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
• Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum pengadilan hubungan industrial pada pengadilan Negeri tempat pendaftaran perjanjian bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan kepengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang berkompoten melaksanakan eksekusi.
Namun apabila tidak tercapai kesepakatan, maka dilaksanakan ketentuan dalam ayat 2 yang mana dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka :
a) Mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b) Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sudah mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima
anjuran tertulis;
d) Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud dalam huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e) Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam waktu selmabat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk kemudian didaftar di pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Namun dalam pelaksanaan anjuran tertulis, apabila salah satu atau seluruh pihak tidak setuju maka menurut pasal 14 aya 1 yang menyatakan dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 2 huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan kepengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri setempat. Kemudia dalam ayat 2 menyatakan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri setempat.
2) Konsiliasi
Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan seorang pihak ketiga atau lebih, dimana pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah seorang yang secara profesional sudah dapat dibuktikan kehandalannya yang disebut
konsiliator. Dalam pasal 1 ayat 13 undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial menyebutkan bahwa konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator dalam proses konsiliasi ini, memiliki peran yang cukup berarti, oleh karenanya mengenai duduk persoalan dari masalah atau sengketa yang dihadapi. Dalam pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Xxxxxx, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan. Proses pelaksanaan konsiliasi diatur dalam undang-undang penyelesaian perselisihan, pertama dalam pasal 18 ayat 2 menyebutkan bahwa penyelesaian oleh konsiliator, dilaksanakan setelah para pihak yang sebelumnya tidak menemukan kesepakatan dalam penyelesaian bipartit, mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. Dalam ayat 3 menyatakan para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan setempat. Kemudian dalam pasal 20 menyatakan bahwa dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat- lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama. Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keteranganya sesuai ketentuan pasal 21. Kemudian dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, sesuai dengan pasal 23 maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan daftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Namun apabila dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka yang dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat 2 adalah :
a) Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b) Anjuran tertulis tersebut diatas dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis
d) Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana tersebut diatas dianggap menolak anjuran tertulis;
e) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana tersebut diatas ditolak oleh salah satu pihak, maka sesuai dengan pasal 24 undang-undang penyelesaian perselisihan, salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat. Penyelesaian perselisihan tersebut dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
f) Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a diatas, maka dalam waktu selambat- lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah anjuran tertulis tersebut disetujui, konsiliator harus sudah membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Kemudian dalam pasal 23 ayat 3 menyatakan pendaftaran perjanjian bersama yang berisi kesepakatan para pihak di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri sebagaimana tersebut diatas dilakukan sebagai berikut :
• Perjanjian bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama;
• Apabila perjanjian bersama sebagaimana tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah perjanjian bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi;
• Dalam hal pemohon eksekusi di luar wilayah hukum pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri tempat pendaftaran perjanjian bersama maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilaya domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang berkompoten melaksanakan eksekusi. Dalam pasal 25 undang-undang penyelesaian perselisihan menyatakan bahwa konsiliator menyelesaikan tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima permohonan penyelesaian perselisihan.
3) Arbitrase
Arbitase adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan pengambilan putusan oleh satu atau lebih seorang wasit yang disebut dengan arbiter. Bentuk penyelesaian perselisihan melalui arbitarse, dapat terjadi karena sebelumnya telah dituangkan di dalam perjanjian dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak. Pihak yang berjanji, yang mungkin akan timbul di kemudian hari, diputuskan oleh orang ketiga, seorang atau beberapa orang arbiter, yang ditunjukan oleh para pihak yang berperkara untuk diselesaikan diluar pengadilan. Pemilihan penyelesaian melalui arbitrase
dapat juga dilakukan atas kesepakatan bersama setelah timbulnya perselisihan, secara musyawarah menunjuk pihak ketiga, untuk membantu menangani penyelesaian perselisihan.31 Secara singkat khusus dalam hubungan ketenagakerjaan terhadap permasalahan dalam hal ini, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dapat menjadi dasar aturan disamping Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjadi dasar dalam menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antara serikat pekrja dan majikan dalam suatu perusahaan. Dalam undang-undang PPHI tersebut lebih mengkhususkan ketentuan- ketentuan tentang persidangan arbitrase dalam menyelesaikan perselisihan antara pekerja dengan penyedia kerja sehingga dalam upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis melalui arbitrase menggunakan undang-undang PPHI sebagai dasar hukumnya. Untuk ditetapkan sebagai seorang arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 31 ayat 1 undang-undang PPHI berbunyi:
a) Xxxxxxx dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
31 Xxxx Xxxxxxx, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, hal.56
b) Cakap melakukan tindakan hukum
c) Warga negara Indonesia
d) Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun
e) Pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S-1)
f) Berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter
g) Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase, dan
h) Memiliki pengalaman dibidang hubungan industrial sekurang- kurangnya 5 (lima) tahun.
Pengangkatan arbiter didasarkan pada keputusan Menteri Ketenagakerjaan. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga kerja. Putusan arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan lingkar kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencamtumkan alasan-alasan otentik yang menimbulakan keraguan tersebut. Putusan Pengadilan Negeri dalam pasal 38 undang-undang PPHI, dapat membuat putusan mengenai alasan lingkar dan dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai perdamaian, maka menurut Pasal 44 undang-undang PPHI, seorang arbiter harus membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter. Penetapan Akta perdamaian tersebut didaftarkan dimuka pengadilan, dan dapat pula dieksekusi oleh Pengadilan dengan putusan tersebut sebagaimana lazimnya. putusan kesepakatan Arbiter tersebut dibuat
rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum, tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.
B. Upaya Hukum pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis melalui Pengadilan.
Selain upaya hukum diluar pengadilan atau non litigasi yang dilakukan oleh pekerja dan pengusaha serta tidak mendapatkan kesepakatan maka pekerja atau pengusaha dapat melakukan upaya penyelesaian sengketa yang kedua yaitu melalui pengadilan atau litigasi. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan dilakukan oleh Pengadilan Hubungan Industrial yang merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Namun, Penyelesaian melalui pengadilan ini juga dipergunakan karena menurut anggapan banyak kalangan bahwa penyelesaian secara litigasi bisa secara cepat, tepat, murah dan adil untuk menyelesaiakan masalah. Undang- undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (undang-undang PPHI) merupakan wadah penyelesaian sengketa industrial yang di adili oleh peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum. Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Pengadilan Hubungan industrial dibentuk di provinsi dan Kabupaten/Kota tertentu. Adapun susunana Pengadilan Hubungan Industrial terdiri dari xxxxx, xxxxx ad hoc yang mewakili organisasi pekerja dan organisasi pengusaha, panitera muda dan panitera pengganti. Sedangkan
susunan pengadilan hubungan industrial di Mahkamah Agung terdiri dari xxxxx Xxxxx xxxxx ad hoc pada Mahkamah Agung dan Panitera.32 Dalam pasal 56 undang-undang PPHI mengatakan Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.
2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.
4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antara serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali secara khusus diatur dalam undang-undang tentang Peradilan Hubungan Industrial.33 Pengajuan gugatan ke pengadilan hubungan insutrial secara umum adalah sebagai berikut.34
1) Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja bekerja.
2) Pengajuan gugatan wajib dilampiri penyelesaian sengketa melalui mediasi atau konsiliasi.
32 Xxxxx Xxxxxxx, 2017, Hukum Ketenagakerjaan (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan Asas Keadilan), Laksbang Pressindo, Jawa Timur, Hal.153
33 Ibid, hal 158
34 Ibid
Apabila tidak dilampiri dengan risalah penyelesaian sengketa melalui mediasi dan konsiliasi maka berkas akan dikembalikan kepada para pihak.
3) Gugatan dapat dicabut oleh penggugat sebelum tergugat memberikan jawaban.
4) Dalam hal perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan hubungan kerja, Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perselisihan dan atau perselisihan kepentingan tersebut.
5) Serikat pekerja dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum dalam beracara di pengadilan hubungan industrial untuk mewakili anggotanya.
6) Ketua pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja menetapkan Xxxxxxx Xxxxx yang terdiri dari 1 (satu) orang hakim sebagai ketua majelis dan 2 (dua) orang hakim ad hoc sebagai anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan.
Sebelum mengajukan gugatan ke peradilan hubungan industrial, sesuai dengan ketentuan tersebut diatas, para pihak wajib untuk dilalui beberapa proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan seperti penyelesaian sengketa yang melalui bipartit dengan tripartid. Pada dasarnya proses beracara di peradilan Hubunga Industrial sama dengan proses beracara perdata dilingkup peradilan umum, hanya saja ada beberapa hal dalam prosesnya yang berbeda dan ditentukan secara khusus dalam undang-undang PPHI Pasal 57 yang menyatakan hukum acara yang berlaku pada peradilan hubungan industrial
adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Dari bunyi pasal diatas dapat disimpulkan bahwa undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) merupakan Lex Specialis (bersifat khusus) dibandingkan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Reglement Voor De Buitengewesten (RBG) atau Reglement op de Rechtsvordering (RV). Hukum acara perdata diberlakukan dalam proses peradilanya, namun jika ada beberapa ketentua terkait dengan proses beracara di PHI telah diatur dalam undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) maka hukum acara perdata dapat dikesampingkan.
Berikut adalah proses beracara dalam Peradilan Hubungan Industrial sebagai berikut:
1. Pihak
Menurut pasal 87, yang dapat menjadi pihak dalam PHI adalah pekerja atau serikat pekerja dan pengusaha atau gabungan pengusaha. Sama seperti hukum acara perdata, namun dalam PHI lebih ditegaskan lagi bahwa serikat pekerja dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di pengadilan hubungan industrial untuk mewakili anggotanya. Dalam hal ini pekerja atau serikat pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis diperusahaan penyedia kerja dapat mengajukan gugatan pada PHI karena ia merupakan pekerja yang bekerja pada perusahaan/pengusaha penyedia kerja.
2. Bentuk Gugatan
Menurut pasal 83, bentuk gugatan yang diajukan ke PHI sama dengan bentuk gugatan ketika akan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan Negeri. Kemudian dalam pasal tersebut menjadi dasar perbedaan dalam pengajuan gugatan ke PHI dimana harus dilampirkan pula risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi serta arbitrase. Adapun formulasi gugatan adalah sebagai berikut:
a. Kelengkapan administrasi yang berisi surat kuasa (apabila melalui kuasa) risalah bipartit, anjuran mediator atau konsiliator. Untuk pekerja apabila dikuasakan kepada serikat pekerja maka wajib melampirkan:
• Kartu tanda anggota, baik untuk yang memberi atau menerima kuasa.
• Surat Keputusan Kepengurusan Serikat Pekerja.
• Tanda daftar pencatatan Serikat Pekerja dari instansi yang berwenang.35
b. Dengan susunan gugatan adalah sebagai berikut:36
1) Ditunjuk atau dialamatkan kepada PHI pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatifnya (PHI pada Pengadilan Negeri
35 Ibid hal.165
36 Ibid hal. 167
yang daerah hukumnya meliputi tempat dimana pekerja bekerja) sesuai dengan Pasal 81 undang-undang PPHI.
2) Dasar gugatan (Fundamental petendi atau Posita) dimana dalam hal ini harus sesuai denga apa yang dituntut (Petitum).
3) Alat bukti dalam perkara perdata, termasuk perselisihan hubungan industrial meliputi:
• Surat-surat yang berupa surat atau akta otentik dan surat atau akta dibawah tangan;
• Saksi;
• Persangkaan;
• Sumpah.
4) Petitum yaitu perumusan yang tegas dan jelas terhadap apa yang menjadi tuntutan.
5) Surat gugatan ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.
3. Kewenangan Pengadilan
Peradilan hubungan industrial tidak terdapat disemua Pengadilan Negeri diseluruh Indonesia. PHI hanya terdapat di pengadilan Negeri Ibu Kota Provinsi dengan cakupan kerja pada wilayah provinsi tersebut, serta dibeberapa wilayah kabupaten/Kota yang padat industri. Dalam hukum acara perdata, yang pertama dijadikan pertimbangan yakni tempat tinggal tergugat. Maka dalam PHI pengadilan negeri yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan adalah Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kerja dari pekerja sesuai dengan pasal 81.
4. Xxxxxxx Xxxxx
Berdasarkan pasal 88 undang-undang PPHI, setelah ketua Pengadilan Negeri menerima gugatan, maka paling lambat 7 (tujuh) hari kerja harus menetapkan majelis hakim yang terdiri dari 1 (satu) orang hakim ketua dan 2 (dua) orang hakim ad hoc sebagai anggota majelis hakim yang masing-masing diusulkan oleh pekerja/serikat pekerja dan perusahaan atau organisasi pengusaha.
5. Proses Sidang
Dalam pasal 83 ayat 2, satu hal yang perlu diperhatikan dalam PHI terkait dengan adanya kemudahan yang diberikan kepada pihak penggugat terkait dengan tidak sempurnanya isi surat gugatan yakni Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan apabila terdapat kekurangan, Hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatanya. Hal ini akan sangat membantu para pekrja yang tidak diwakili oleh advokat dalam membuat gugatan.
6. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Dalam pasal 89 sampai dengan pasal 96 ayat 4 menyatakan dalam hal segala ketentuan telah terpenuhi maka dilakukan proses pemeriksaan dengan acara biasa dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Xxxxxxx Xxxxx, maka Ketua Xxxxxxx Xxxxx harus selesai melakukan sidang pertama.
b. Kemudian melakukan pemanggilan para pihak untuk menghadiri sidang.
x. Xxxxxx terbuka untuk umum, kecuali Xxxxxxx Xxxxx menetapkan lain.
Ini berarti ada kemungkinan sidang tidak terbuka untuk umum hanya dalam pembacaan putusan saja yang terbuka untuk umum.
d. Jika salah satu para pihak tidak hadir dalam persidangan dengan alasan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan maka Xxxxxxx Xxxxx dapat menunda persidangan.
e. Dalam hal sidang ditunda dengan alasan tersebut diatas, Xxxxxxx Xxxxx menetapkan hari sidang berikutnya dengan selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak hari penundaan.
x. Xxnundaan sidang karena ketidakhadiran dari salah satu pihak atau para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
g. Jika penggugat atau kuasa hukumnya tidak hadir dalam sidang penundaan terakhir, maka gugatan dinyatakan gugur, dan dapat diajukan gugatan kembali dari awal sebanyak satu kali.
x. Xxxx tergugat atau kuasa hukumnya tidak hadir dalam sidang penundaan terakhir maka Majelis hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri oleh tergugat.
i. Dalam hal para pihak hadir dalam persidangan pertama dan secara nyata-nyata terbukti pihak pengusaha tidak menjalankan kewajibanya membayar upah pekerja beserta hak-hak lainya yang bisa diperoleh pekerja atau dalam hal ini hak-hak pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis, maka Hakim Ketua harus segera menjatuhkan putusan Sela pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua berupa perintah kepada penguasa untuk membayar upah pekerja
beserta hak-hak lainya yang wajib diterima pekerja yang bersangkutan.
j. Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan sela tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah penetapan pengadilan hubungan industrial dan putusan sela tersebut tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
7. Pemeriksaan dengan acara cepat
Dalam hal pemeriksaan biasa tidak dapat dilakukan karena adanya suatu kepentingan tertentu berdasarkan undang-undang dapat diajukan pemeriksaan dengan acara cepat dengan ketentuan berdasarkan pasal 96 ayat 4 sampai dengan pasal 99, sebagai berikut:
a. Syarat untuk dilakukan pemeriksaan dengan acara cepat terdapat dalam pasal 98 ayat 1 undang-undang PPHI yang menyatakan bahwa apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan- alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
b. Untuk permohonan pemeriksaan dengan acara cepat akan diputuskan oleh Ketua Pengadilan Negeri dengan mengeluarkan penetapan tentang dikabulkanya atau tidak permohonan tersebut dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja.
x. Xxxx permohonan dikabulkan maka Ketua Pengadilan Negeri dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkanya penetapan tersebut menentukan Majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
d. Kemudian tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
8. Ketentuan Umum Mengenai Putusan
Ada 4 hal pokok yang dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim dalam mengambil keputusan yakni hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan. Kemudian syarat lain dalam putusan PHI yakni sama dengan putusan di pengadilan lainya yakni harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum jika ini tidak dilakukan maka putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Untuk kerangka susunan sebuah putusan PHI berdasarkan pasal 102 ayat 1 harus memuat:
a. Kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” ;
b. Nama, jabatan, kewaraganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
x. Xxxxxxxan pemohon/penggugat dan jawaban termohon/terggugat yang jelas;
d. Pertimbangan terhadap setiap bukti dan data diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
x. Xxxx putusan tentang sengketa;
g. Hari, tanggal putusan, nama xxxxx, xxxxx Xx-Xxx yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Jika ketentuan diatas tidak terpenuhu keseluruhan maka mengakibatkan batalnya putusan PHI.
9. Batas Waktu Putusan
a. Berdasarkan pasal 103, Xxxxxxx Xxxxx wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat- lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama
b. Berdasarkan pasal 105, jika dalam pembacaan putusan ada pihak yang tidak hadir, maka panitera pengganti pengadilan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setela putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang.
c. Berdasarkan pasal 106, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani, panitera muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
d. Berdasarkan pasal 107, panitera pengadilan negeri dalam waktu selamba-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak.
10. Uapaya Hukum
Upaya hukum yang dapat ditempuh atas putusan PHI pada pengadilan negeri adalah kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan pengadilan negeri
tersebut. Namum sebagai yang telah disebutkan diawal bahwa hanya ada empat jenis perselisihan yang dapat diproses di PHI. Dua diantaranya dapat diajukan kasasi dan dua yang lainnya merupakan putusan akhir dan bersifat tetap sejak putusan PHI pada pengadilan negeri. Putusan PHI pada pengadilan negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan anatar serikat pekerja dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap sesuai dengan pasal 109 sedangkan putusan PHI pada pengadilan negeri mengenai peselisihan hak dan peselisihan pemutusan hubungan kerja dapat diajuka kasasi berdasarkan pasal 110.
11. Proses Kasasi
Apabila dalam suatu putusan yang dimana dapat diajukan kasasi maka hal-hal yang dapat dilakukan oleh para pihak adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan pasal 110, permohonan kasasi kepada Mahkama Agung harus diajukan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak:
• Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
• Dan bagi yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.
b. Berdasarkan pasal 111, salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan hak permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
c. Berdasarkan pasal 112, Sub Kepaniteraan Pengadilan Hungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohanan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkama Agung.
d. Peneyelesain perselisihan hak atau persilisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkama Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi berdasarkan pasal 115.
Karena kasasi adalah upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan dalam suatu putusan tertentu maka putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung bersifat final.
4.1. Simpulan
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian dalam bab pembahasan diatas maka penulis mengambil simpulan bahwa :
1. Dasar Hukum Perlindungan bagi pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis di perusahaan penyedia kerja diatur dalam Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu, Pasal 51 ayat 1 yang menyatakan bahwa perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan dan Pasal 57 ayat 1 menyatakan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Kemudian dalam ayat 2 menyatakan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Sehingga menunjuk pada hal ini pekerja dengan perjanjian kerja tidak tertulis menurut hukum merupakan karyawan tetap pada perusahaan penyedia kerja. Berdasarkan penjelasan diatas menurut penulis terjadi kekaburan norma karena dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut tidak ada norma yang secara jelas dan tegas mengatur tentang hak-hak pekerja waktu tidak tertentu dengan perjanjian kerja tidak tertulis diperusahaan penyedia kerja.
2. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pekerja dan perusahaan penyedia kerja dengan perjanjian tidak tertulis dalam hal terjadinya suatu perselisihan hubungan kerja adalah melalui litigasi dan non litigasi sebagai
berikut:
a. Melalui proses penyelesaian perselisihan diluar pengadilan/non litigasi yaitu:
• perundingan Bipartit yang dilakukan oleh pekerja dengan perusahaan penyedia kerja.
• Melalui perundingan Tripartit, dimana dalam hal ini dibedakan menjadi Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.
b. Melalui proses pengadilan atau litigasi.
4.2. Saran
Adapun saran yang dapat penulis kemukakan dalam skripsi ini dalam kaitannya dengan permasalahan yang dibahas yaitu :
1. Kepada tenaga kerja yang belum dan sudah bekerja diperusahaan penyedia kerja, jika mendapatkan penawaran bekerja sama atau bekerja disuatu perusahaan jangan menerima begitu saja, harus diperhatikan dengan baik terkait dengan hak-hak dan kewajiban dalam menjalankan suatu pekerjaan serta hak-hak dan kewajiban tersebut harus tersurat hitam diatas putih (dalam hal ini perjanjian tertulis) sehingga kita memiliki kekuatan dan kepastian dalam menjalankan suatu pekerjaan.
2. Kepada perusahaan penyedia kerja dalam penggunaan tenaga kerja harus membuat perjanjian kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Jika pengusaha tidak memperhatikan hak-hak tertentu pekerja, maka pekerja tersebut tidak akan bekerja dengan maksimal, hal ini tentu akan berdampak pada hasil kegiatan usaha atau proses produksi perusahaan. Namun karena persaingan kerja yang begitu
ketat dan banyak tenaga kerja yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, sehingga tenaga kerja terkadang menerima pekerjaan tanpa berpikir panjang. Walaupun tanpa suatu perjanjian yang jelas (dalam hal ini perjanjian tidak tertulis) tenaga kerja tersebut akan menerimanya karena kesulitan ekonomi yang sangat krisis apalagi dengan kondisi perekonomian di Indonesia yang belum membaik.
3. Kepada Pemerintah, untuk menjaga keseimbangan hak-hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan penyedia kerja, pemerintah memang harus hadir dan memberikan perhatian kepada pihak yang lebih lemah dalam hal ini tenaga kerja, dan tidak mengabaikan hak-hak perusahaan. Dalam hal membuat atau menerbitkan regulasi pemerintah harus melakukan riset yang mendalam agar tidak melanggara hak-hak para pihak. Dan setelah regulasi diterbitkan harus diikuti dengan pengawasan yang baik agar penerapanya tepat sasaran. Pemerintah juga harus memberikan pelatihan dan pendidikan serta sosialisasi yang ketat agar memperoleh sumber daya manusia yang baik dan dapat ditempatkan pada bidang-bidang strategis yang diperlukan oleh negara. Tentunya dalam hal ini tujuanya adalah tenaga kerja tersebut dapat bekerja dengan baik supaya bisa mendapatkan hak-hak dengan baik pula.
DAFTAR BACAAN
BUKU-BUKU
Xxxxxxxx, Xxxxx, 2015, “Hukum Kerja, Hukum ketenagakerjaan Bidang Hubungan kerja“:Rajawali Pers, Jakarta.
Xxxxxxxxx, I. N. P. (2016). Hukum Outsourcing Konsep Alih Daya Bentuk Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum. Malang: Setara Press. Hal.4
C.S.T. Xxxxxx dan Xxxxxxxxx X.X Xxxxxx, 2011, “Pengantar Ilmu Hukum Indonesia”,
Rineka Cipta, Jakarta, hal. 36
Xxxxxxx, Xxxx 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, hal.56
Xxxxxxxx, Xxxxx surya, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Outsourching
berdasarkan Perjanjian Kerja, 2018, Hal. 62
Xxxxxxxxxx, F.X. 2005, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika, Jakarta, hal.18-19
Xxxxxxx, Xxxxxxxxxx, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan perburuhan, Jakarta.
Xxxxxxx, Xxxxx, 2007,Teori dan Metedologi Penelitian Hukum, Bayu Media, Cetakan ke III, Malang.
Xxxxxx, Xxxx, 2014, dasar-dasar hukum ketenagakerjaan Indonesia. Cet. Ke-4 edisi revisi, PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung.
Lalu, Husni, 2016, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Edisi Revisi, Cet. Ket-5, PT Raja Grafindo Persada, jakarta.
Lalu, Husni, 2003, “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PR Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Purwosutjipto, HMN, 1985, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Buku I
Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Djambatan, jakarta.
Xxxxxxxxx, Xxxxx, 2012, Hukum Perusahaan Analisis Terhadap Pengaturan Peran Perusahaan Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Di Indonesia, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung.
Xxxxxxxxxxx, Xxxxxxx J, 1985, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Xxxxxxxx, Xxxxxxxx, 1998, Metodologi Xxxxxxxx , Xxxx Xxxxxx,Yogyakarta. 17
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, 2009, ”Hukum Acara Perdata Indonesia”. Liberty, Yogyakarta, hal.266
Xxxxxxx, Xxxxx, 2017, Hukum Ketenagakerjaan (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan Asas Keadilan), Laksbang Pressindo, Jawa Timur, Hal.153
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja.
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
JURNAL DAN INTERNET
Xxxxx Xxxxxxxx, “Alternatif Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.9, No 17, 2013, hal.3
Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxx, 2012, “Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja (PHK) Karena Kesalahan berat”, Jurnal Studi Hukum, Purwokerto, hal.29.
XX Xxxxxxxx, “Perlindungan Hukum Terhadap Warga Masyarakat,” IDEAS Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Budaya, 04.01 (2018), 79–84 .io9p
Xxxx, I P. A. Tirta, I Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx dan Ni Made Puspasutari Ujiant, Upaya Pekerja Outsourcing Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Atas Pelanggaran Kontrak Kerja, Jurnal Analogi Hukum, Vol.2 No.2 (2020), hal. 194.
Xxxxx, Xxx, I Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Ni Made Puspasutari Ujianti, “ Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Lokal Dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Omnibus Law Cipta Kerja“, Jurna Referensi Hukum, Vol. 2, No.3 (November 2021), hal. 483.
Pengantar Hukum Ketenagakerjaan dibuka pada tanggal 9 Desember 2023.
xxxx://xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxxxxxxxxxx html.
Hukum dan Undang-undang “perjanjian kerja” dibuka tanggal 15 Desember 2023.
xxxx://xxxxxxxx.xxxxxxxx.xx.xx/0000/00/xxxxxxxxxx-xxxxx.xxxx
Tinjauan Xxxxxxx terhadap penggunaan perjanjian tidak tertulis dalam kegiatan Bisnis. Di buka pada tanggal 14 februari 2024 xxxxx://xxx.xxxx.xxxxxxxx.xx.xx/xxxxxx-xxxxxxxxx/xxxx
artikel/15540/.html.
Outsourching Penyedia jasa Tenaga kerja, dibuka pada tanggal 19 maret 2024 xxxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxxxxxx/xxxxxxxxxxx-xxxxxx-xxxxxxxx-xxxx- tenaga-kerja-ketahui-kelebihan-dan-kekurangannya.html.