KEBIJAKAN NON-PENAL DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA TERORISME
KEBIJAKAN NON-PENAL DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA TERORISME
TESIS
OLEH :
NAMA MHS. : XXXXXXXXXXXXXX, S.H.I. NO. POKOK MHS. : 12912017
BKU : HUKUM & SISTEM PERADILAN PIDANA
KEBIJAKAN NON-PENAL DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA TERORISME
TESIS
OLEH :
NAMA MHS. : XXXXXXXXXXXXXX, S.H.I. NO. POKOK MHS. : 12912017
BKU : HUKUM & SISTEM PERADILAN PIDANA
Telah diujikan di hadapan Xxx Xxxxuji dalam Ujian Akhir/Tesis dan dinyatakan LULUS pada hari Sabtu, 05 Agustus 2017
MOTTO HIDUP
Lebih baik diasingkan dari pada menyerah kepada kemunafikan! (Soe Xxx Xxx)
PERSEMBAHAN
Kedua orang tua, kakak dan adikku:
-Kalian adalah segalanya.
dan semua makhluk Tuhan yang pernah memberiku kemaslahatan dan cinta...
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
NAMA : XXXXXXXXXXXXXX XX. MHS. : 12912017
BKU : HUKUM & SISTEM PERADILAN PIDANA
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tulisan ini adalah karya saya sendiri dan bukan plagiasi dari hasil karya orang lain dan belum pernah dipublikasikan pada media manapun.
Demikian surat ini kami buat dengan sebenarnya dan untuk dipergunakan sebagaimana mestiya.
Jember, 15 Juni 2017 Xxxx bersangkutan,
XXXXXXXXXXXXXX
KATA PENGANTAR
ﻢﻴﺣﺮﻟﺍ ﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ﷲ ﻢﺴﺑ
ﻻٳ ﻪﻟٳ ﻻ ﻥﺍ ﺪﻬﺷﺍ .ﺍﺪﻴﻬﺷ Ϳﺎﺑ ﻰﻔﻛﻭ ﻪﻠﻛ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻩﺮﻬﻈﻴﻟ, ﻖﺤﻟﺍ ﻦﻳﺩﻭ ﻯﺪﻬﻟﺎﺑ ﻪﻟﻮﺳﺭ ﻞﺳﺭٲ ﻱﺬﻟﺍ Ϳ ﺪﻤﺤﻟﺍ
.ﺪﻌﺑ ﺎﻣٲ . ﻦﻴﻌﻤﺟٲ ﻪﺒﺤﺻﻭ ﻪﻟٲﻭ ﺪﻤﺤﻣ ﻰﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ ﻞﺻ ﻢﻬﻠﻟﺍ. ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﻩﺪﺒﻋ ﺍﺪﻤﺤﻣ ﻥٲ ﺪﻬﺷﺍﻭ ﷲ
Puja-puji syukur selayaknya selalu kita senandungkan kepada xxxx Xxxx al-‘Izzah; Tuhan semesta, kreator sejati segala bentuk keindahan yang kemudian menitipkan keindahan tersebut kepada Manusia, sehingga jadilah manusia sebagai “khalifah Allah fi al-Ard”. Tak lupa sosok terang dalam kegelapan yang seringkali terlupakan; Jibril, sang mediator xxxxx, xxxxx serta mimpi bagi umat manusia seluruh alam dalam dimensi yang berbeda. Berkat jasanya kita dapat merasakan indahnya “ledakan Iqra’” sebagai manifestasi kehadiran Al-Quran dalam mewarnai kehidupan. Demikian halnya shalawat serta salam, seyogyanya kita dendangkan khusus kepada sang dekonstruktor sejati, Xxxxxxxx Xxx Xxxxxxxx, pendobrak rezim juhala’ dan pembawa pesan damai di balik tirai nilai-nilai Islam. Berkat beliau, kita dapat mendesahkan nafas kesejatian dalam menggapai titik klimaks rahmatan li al-‘alamin: peradaban cahaya.
Usia matahari sudah tua, demikian juga manusia. Setelah sekian lamanya menggendong predikat sebagai mahasiswa S2 dengan pelbagai aral dan rintangan, akhirnya sampai juga pada akhir sekaligus awal dari proses pegabdian kepada Bangsa dan Agama. Terlalu banyak rasa untuk diucapkan untuk menggambarkan luapan gundah-gulana hati selama ini. Adakalanya kelam, bangga sekaligus optimis. Namun demikian, bagi penulis, selesainya Tesis ini bukanlah akhir,
melainkan hanya separuh kecil karya yang jauh dari kualitas sempurna. Demikian halnya barometer kualitas tulisan, tidaklah diukur dari tebal-tipisnya halaman, melainkan sejauhmana tulisan itu dapat memberi makna dan memberi warna baru bagi wajah peradaban dunia yang pada akhirnya karya tersebut akan tetap hidup, walaupun sang pengarang sudah mati. Sehingga tidak salah kalau Xxxxxxx menyatakan kematiannya bersamaan dengan diterbitkannya tulisannya, di mana pembaca dapat bermain tafsir, mengkritisi atau bahkan membunuh pengarangnya dalam tulisan tersebut.
Keseluruhan proses penyusunan Tesis ini telah melibatkan berbagai pihak. Sebagai rasa hormat dan syukur, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Kepada Ayahanda beserta Ibunda tercinta, terima kasih atas kucuran keringat, kramat do’a dan sepertiga malam Ayah dan Ibu yang tidak pernah lelah.
2. Mbakku dan kakak ipar juga adik, Xxxxx Xxxxxx dan Seluruh Famili terima kasih atas doa dan segalanya.
3. Xxxxxxx Xxxxxxxx, SH., M.Hum., LLM., Ph.D., selaku Rektor Universitas Islam Indonesia.
4. Xx. Xxxxx Xxxxx Xxxxx, S.H., M.H. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia).
5. Xxx. Xxxx Xxxxxxxx, M.A., M.H., Ph.D. (Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia).
6. X. XXXXX XXXXXX, SH., MH., selaku pembimbing Tesis ini yang juga sekaligus Dosen, yang telah dengan sabar mengoreksi dan membimbing hingga Tesis ini selesai.
7. Xx. Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H. dan Dr. Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx, S.H., M.H., selaku penguji dan Dosen.
8. Segenap Dosen Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang ikhlas mentransfer ilmunya untuk kami. Demikian juga TU, terima kasih pelayanannya.
9. Teman-teman Alumni Annuqayah, terima kasih atas bantuannya.
10. Segenap Kolega yang jauh dan dekat atau tengah, tua maupun muda.
Akhirnya, apoligia prolibro suo, tiada gading yang tak retak. Sebagai sebuah karya kreatif manusia, tulisan ini masih jauh dari kesempunaan. Dengan demikian, penulis mengharap kritik-saran dari para pembaca yang budiman demi lebih baiknya tulisan-tulisan selanjutnya.
Yogyakarta,15 Juni 2017 Xxxxxxxx,
XXXXXXXXXXXXXX
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL I
HALAMAN PERSETUJUAN II
HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN III
PERNYATAAN… IV
KATA PENGANTAR VI
DAFTAR ISI IX
ABSTRAK XI
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………. 6
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 6
D. Kontribusi Penelitian ……………………………………………… 7
E. Orisinalitas Penelitian .. …………………………………………… 7
F. Kerangka Teoritik ............................................................................... 8
G. Metode Penelitian …………………………………………….......... 20
H. Sistematika Penulisan ......................................................................... 22
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TERORISME
A. Latar Historis Terorisme. 24
B. Pengertian Terorisme 28
C. Jenis dan Motif Terorisme… 38
D. Faktor Pemicu Tumbuh-Suburnya Tindak Pidana Terorisme 47
E. Dampak Tindak Pidana Terorisme… 49
BAB III: KENDALA DAN PROBLEMATIKA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME
A. Kendala-Kendala dalam pemberantasan Tindakan Terorisme 56
B. Problematika Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme 62
C. Tafsir Sosial Terorisme 77
BAB IV: JUSTIFIKASI KEBIJAKAN NON-PENAL DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA TERORISME
A. Kebijakan Non-penal dalam Kebijakan Kriminal 82
1. Deradikalisasi 84
2. Disengagement 98
B. Kebijakan Non-penal Terorisme dalam Kajian Maqasid Syariah 113
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 118
B. Rekomendasi ……………………………………………,,… 122
DAFTAR PUSTAKA 124
CURRICULUM VITAE 131
ABSTRAK
Kebijakan Kriminal sebagai usaha rasional dalam menanggulangi kejahatan secara operasional dapat dilakukan baik melalui sarana penal maupun sarana nonpenal. Mengingat keterbatasan/kelemahan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi terorisme, kebijakan penanggulangan tindak pidana terorisme tidak bisa hanya menggunakan sarana penal tetapi juga menggunakan sarana nonpenal. Apabila dilihat dari perspektif politik kriminal secara makro, kebijakan penanggulangan tindak pidana terorisme dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana merupakan kebijakan yang paling strategis. Hal ini disebabkan karena upaya nonpenal juga berfungsi sebagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya tindak pidana terorisme.
Sasaran utama kebijakan nonpenal adalah meminimalisir faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya tindak pidana terorisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (a) gejala tindak pidana terorisme; (b) faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana terorisme; (c) Justifikasi upaya nonpenal sebagai upaya penanggulangan tindak pidana terorisme. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan konseptual dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Data primer maupun data sekunder dikumpulkan melalui teknik wawancara bebas terpimpin dan studi pustaka. Data yang telah terkumpul dianalisa secara kualitatif.
Penelitian menghasilkan kesimpulan: (a) penangulangan tindak pidana terorisme yang merupakan extra-ordinary crime masih menemukan titik lemah sehingga kejahatan tersebut masih terus membayang-bayangi masyarakat; (b) Faktor-faktor penyebab terjadinya terorisme adalah kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan, kultur hukum dan geopolitik internasional; (c) Ketiga faktor tersebut hanya dapat ditanggulangi melalui upaya nonpenal, yaitu dengan memadukan pendekatan deradikalisasi dan disengagement yang lebih mengupayakan penegakan hukum yang humanis sehingga penanggulangan terorisme tidak hanya menimbulkan masalah lain.
Kata kunci : Terorisme, faktor-faktor penyebab, upaya nonpenal
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terorisme merupakan fenomena faktual yang telah mengebiri martabat bangsa dan merupakan tragedi kemanusian.1 Isu terorisme seperti api tak kunjung padam. Ia tidak pernah usang dari kancah perdebatan dan diskusi. Mediapun hampir setiap hari menayangkan langkah-langkah pemerintah dalam rangka memberantas terorisme. Di sini, tugas utama negara selain untuk menciptakan suasana aman dan nyaman bagi warganya, juga untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, negara berkewajiban untuk melindungi masyarakat dari pelbagai aksi teror yang menjadi ancaman bagi hak untuk merasakan keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan.
Pelbagai instrumen telah dilakukan dalam rangka memaklumatkan perang melawan terorisme, mulai dari dasar hukum hingga pembentukan Datasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror. Pada dasarnya, embrio terbentuknya densus 88 sendiri merupakan respon terhadap UU 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme yang memberikan kewenangan utama kepada polri dalam pemberantaran tindak pidana terorisme. Xxxxxxx kemudian melakukan reorganisasi terhadap Direktorat VI anti-teror dan menerbitkan Skep No. 30/VI/2003.2
1 Xxxxx Xxxxx, xx.xx., Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum,
(Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, Cet.II, 2011), hlm. 1.
2 Xxxxxx, Densus 88 AT: Konflik, Teror dan Politik, (Bandung: Xxxx Xxxxx, 2012), hlm. 34.
Namun demikian, langkah-langkah tersebut bukannya menyelesaikan masalah, justru menambah masalah. Terbukti seringkali terjadi pelanggaran HAM dalam upaya penangkapan terhadap orang yang “diduga” teroris. Padahal belum tentu orang tersebut adalah teroris. Beberapa data menunjukkan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia ataupun tindakan dehumanisasi dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh densus 88 anti teror dengan melakukan “extra judicial killing”. Xxxxxxx penyerangan selama 17 jam di Temanggung, 8 Agustus 2009 yang diduga sebagai Noodin X. Top, ternyata Xxxxxxx alias Xxxx (tukang bunga).3
Kejadian lain menimpa Sigit dan Xxxxxx Xxxxxxx (Pedagang) yang ditembak mati dan diklaim melakukan perlawanan, padahal waktu itu terduga dalam keadaan tangan kosong. Kejadian yang terjadi pada 14 Mei 2011 di Sanggrahan, Grogol Sukoharjo tersebut juga menewaskan saksi Xxx Xxxx (pedagang Angkringan). Ironisnya, tidak ada kejelasan tentang keterlibatan mereka dengan terorisme.4 Demukian halnya dengan yang terjadi kepada Xxxxxxx atau Xxxxx alias Xxx dan Xxxxx atau Eko di Jalan Pahlawan, Kota Tulungagung pada 22 Juli 2013 oleh sepuluhan personel Densus 88 Antiteror yang melakukan penembakan terhadap dua terduga teroris tersebut padahal saat itu dalam kondisi tidak berdaya.5
3 Xxxxxxx Xx Banna, Membentangkan Ketakutan: Jejak Berdarah Perang Global Melawan Terorisme, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2011), hlm. 152.
4 Ibid., hlm. 153.
5 Menurut data Komnas HAM, sejauh ini sudah sekitar 110 korban yang ditembak mati Densus 88/Antiteror tanpa proses pengadilan. Data tersebut dapat dilacak pada “Komnas HAM: Penembakan Terduga Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx Langgar HAM” dalam xxxx://xxxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/0000000/Xxxxxx.XXX.Xxxxxxxxxx.Xxxxxxx.Xxxxxx x.Xxxxxxxxxxx.Langgar.HAM diakses 29/9/2014.
Hal lain yang juga perlu diamati adalah fakta yang menunjukkan gerakan- gerangan terorisme kian hari kian merebak. Seperti halnya pepatah mengatakan, “hilang satu tumbuh seribu.” Satu teroris ditembak mati baik dalam proses penangkapan ataupun dalam eksekusi hukuman mati dan ada juga yang dipenjara, akan tetapi gerakan terorisme yang lain justru muncul lebih banyak. Hal tersebut dapat dilihat dari data bahwa dari tahun 2000 sampai 2009 tercatat telah banyak peristiwa terorisme dalam bentuk teror bom. Tahun 2000 terdapat 3 kasus, tahun 2001 terdapat empat kasus, tahun 2002 terdapat 3 kasus, tahun 2003 terdapat 3
kasus, tahun 2004 terdapat 3 kasus, tahun 2004 terdapat 3 kasus, tahun 2005 terdapat lima kasus. Setelah kejadian teror bom di Pasar Palu pada 31 Desember 2005, hingga tahun 2008 tercatat tidak ada kasus bom. Namun pada tanggal 17 Juli 2009, dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriot dan Rizt-Calton Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan pada kedua tempat tersebut, yaitu sekitar pukul 07.50 WIB.6
Bulan Januari 2010 terjadi Penembakan warga sipil di Aceh. September 2010 terjadi Perampokan bank CIMB Niaga. 15 April 2011, ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon saat Salat Jumat yang menewaskan pelaku dan melukai 25 orang lainnya. 22 April 2011, rencana bom yang menargetkan Gereja Christ Cathedral Serpong, Tangerang Selatan, Banten dan diletakkan di jalur pipa gas, namun berhasil digagalkan pihak Kepolisian RI. 25 September 2011, ledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah usai kebaktian dan jemaat keluar dari gereja. Satu orang pelaku bom bunuh diri tewas dan 28 lainnya
6 Xxxxxxx Xxxxxxxx, Teroris Ideologi Penebar Ketakutan, (Surabaya : Penerbit Liris, 2010), hlm. 26.
terluka. 19 Agustus 2012, granat meledak di Pospam Gladak, Solo, Jawa Tengah yang mengakibatkan kerusakan kursi di Pospam Gladak. Pada 31 September 2012 malam penyergapan dilakukan di Jalan Veteran menewaskan teroris Muchsin dan Xxxxxx. Dalam penyergapan itu satu anggota Densus 88 Polri tewas. Oktober 2012 dua anggota Polres Poso ditemukan tewas dibunuh di hutan Tamanjeka, Poso. Tiga anggota Brimob Polda Sulteng ditembak kelompok bersenjata di kawasan Tambarana, Poso pada 20 Desember 2012.7
Pada awal tahun 2013, polisi melakukan serangkaian penangkapan teroris, mulai dari Jakarta, Depok, Xxxxxxx, Xxxxxx dan Kebumen. Kelompok yang berhasil dibongkar jaringannya adalah kelompok Xxxxxx, Xxxxxx, Hasmi, Xxx Xxxxx (Mujahidin Indonesia Barat) serta sejumlah perampokan bank dan toko emas di berbagai tempat di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang terkait juga kelompok Santoso (Mujahidin Indonesia Timur) di Poso. Sejumlah teroris tewas dan berhasil ditahan. Polisi berhasil menembak mati 7 teroris dan menangkap13 teroris lainnya dalam penyergapan di Jakarta, Xxxxxxx, Xxxxxx dan Kebumen yang berlangsung selama dua hari tanggal 8-9 Mei 2013. Polisi melakukan penyergapan yang menewaskan 6 teroris kelompok Dayat di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten pada 31 Desember 2013.8 Ditambah lagi dengan isu ISIS yang belakangan ini mulai mewarnai pemberitaan media.
Dari beberapa data di atas, tampak bahwa kebijakan penal penanggulangan tindak pidana khususnya terorisme belum menyentuh pada akar masalahnya. Hal
7 Data tersebut dapat dilacak pada xxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/Xxxxxxxxx_xx_Xxxxxxxxx diakses pada 29/9/2014.
8 “Kasus Terorisme di Indonesia,” xxxx://xxxxxxxxxxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxx- terorisme-di-indonesia.html diakses 29/9/2014.
tersebut disebabkan oleh keterbatasan dari kebijakan penal itu sendiri yang menurut Xxxxx Xxxxxx Xxxxx disebabkan oleh beberapa faktor:9
a. Sebab-sebab kejahatan yang dimiliki komplek berada di luar jangkuan hukum pidana;
b. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosiopolitik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya);
c. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ”kurieren am symtom”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan ”pengobatan simptomatik” dan bukan ”pengobatan kausatif”;
d. Sanksi hukum pidana merupakan ”remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif;
e. Sistem pemidanaan bersifat fragmentatif dan individual/personal,tidak bersifat struktural/fungsional.
f. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;
g. Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut ”biaya tinggi”.
9 Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx, 2005), hlm. 74-75.
Di sinilah kemudian pentingnya penelitian ini yang akan mencoba melakukan analisis terhadap kebijakan non-penal dalam menanggulangi tindak pidana terorisme dengan pendekatan ganda, agar dalam penanggulangannya tidak hanya terpaku pada pendekatan kebijakan perundang-undangan dan perangkat penegak hukumnya, melainkan juga pendekatan yang lebih menyentuh pada akar masalah terorisme itu sendiri. Dalam hal ini penulis mengusung judul “Kebijakan Non-Penal dalam Menanggulangi Tindak Pidana Terorisme” yang akan ditinjau dari berbagi perspektif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa sajakah yang menjadi faktor timbulnya tindak pidana terorisme?
2. Bagaimana kendala-kendala dan problematika dalam penanggulangan Tindakan Terorisme?
3. Bagaimana justifikasi kebijakan non-penal dalam menanggulangi tidak pidana terorisme di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dan menganalisis faktor apa saja yang menjadi embrio timbulnya tindak pidana terorisme.
2. Mengetahui dan menganalisis pelbagai kendala dan permasalahan yang timbul terkait penanggulangan Tindakan Terorisme.
3. Menelaah justifikasi kebijakan non-penal guna menanggulangi dan mencegah tumbuh suburnya tindak pidana terorisme di Indonesia.
D. Kontribusi Penelitian
Penelitian ini penulis harapkan dapat memberikan guna dalam hal berikut:
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi konseptual, teoritik dan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum, khususnya yang terkait penanggulangan tindak pidana terorisme.
2. Praktis
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pengkaji, para penegak ataupun praktisi hukum tentang bagaimana memberikan jalan lain di luar upaya penal yang lebih menyentuh pada unsur kausatif dari tindak pidana terorisme.
E. Orisinalitas Penelitian
Pada dasarnya penelitian ini bukannya yang pertama mengkaji terorisme. Sudah ada beberapa penelitian sebelumnya yang mencoba mengupas upaya menanggulangi tindak pidana terorisme. Semisal buku karya Xxxx Xxxxxx Xxxxxxxx yang berjudul Who is The Real Terrorist?10 Buku tersebut membahas problematika terorisme dalam perspektif hukum pidana dengan memaparkan kasus-kasus kekerasan yang terjadi baik secara nasional maupun internasional.
10 Xxxx Xxxxxx Xxxxxxxx, Who is The Real Terrorist? Menguak Mitos Kejahatan Terorisme,
(Yogyakarta: elMatera Publishing, 2007).
Xxx Xxxxxx dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Terorisme11 juga telah membahas tentang kebijakan formulatif hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana terorisme. Dalam buku tersebut Xxx juga menganalisis secara tajam tentang substansi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan berbagai pespektif.
Demikian halnya dengan Xxxxx Xxxxx yang mencoba melakukan penelitian kolektif dengan beberapa kawannya yang mencoba menempatkan objek kajian tentang terorisme dari optik Agama, HAM dan hukum.12
Dari beberapa buku diatas, menurut penulis, aspek non-penal hanya dibahas sepintas dan kurang detail. Dengan demikian, di sinilah pentingnya penelitian ini yang akan lebih fokus pada pembahasan tentang aspek kebijakan non-penal dalam menanggulangi tindak pidana terorisme sehingga kemudian diharapkan dapat menemukan gejala simptomatik dari kejahatan terorisme itu sendiri sehingga kemudian menemukan solusinya.
F. Kerangka Teoritik
Studi yang fokus tentang masalah terorisme dan penanggulangannya di Indonesia, memerlukan kerangka teoritik yang dapat digunakan sebagai pedoman atau arah pembahasan. Dengan demikian, setidaknya perlu ditemukan terlebih dahulu lingkup kajian secara umum masalah terorisme dan penanggulangannya. Berdasarkan pemahaman lingkup kajian tersebut selanjutnya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dapat dilakukan
11 Xxx Xxxxxx, Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012).
12 Xxxxx Xxxxx, xx.xx., Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum,
(Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, Cet.II, 2011).
pembatasan-pembatasan seperlunya sehingga studi tidak terlalu luas lingkupnya.
Sebagai pijakan dasar, berikut ini dikemukakan lingkup kajian umum masalah terorisme dan penanggulangannya di masyarakat.
Bagan 1.
Kebijakan Penal
Lingkup Kajian Umum Terorisme dan Penanggulangannya Di Masyarakat
Tindak Pidana Terorisme
Politik Kriminal
Kebijakan Non- penal
Ius Operatum
Ius Constituendum
Ius Constitutum
Temuan-temuan Kriminologik
Dari bagan lingkup kajian umum mengenai terorisme dan penanggulangannya tersebut, tampak bahwa segala sesuatunya dimulai dari permasalahan terorisme yang ada di masyarakat yang menjadi unsur paling urgen dalam mengantisipasi sejak dini di mana gejala terorisme itu bisa tumbuh dan berkembang.
Pembicaraan masalah terorisme dalam hukum pidana dan kriminologi, menuntut adanya kejelasan tentang apa yang dimaksud terorisme dan faktor- faktor penyebabnya.
a. Pengertian Terorisme
Untuk memahami makna terorisme dari beberapa lembaga di Amerika Serikat juga memberikan pengertian yang berbeda-beda:13
1. United Stated Central Intelligence (CIA).
Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.
2. United Stated Federal Bureau of Investigation (FBI)
Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik.
3. United State Departement of State and Defense
Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Terorisme internasional adalah terorisme yang menggunakan dan melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.
4. The Arab Convention on The Suppression of Terrorism (1998)
13 Xxxxxx, “Hakikat Terorisme dan Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi” dalam Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Xxxxxxx Center, 2002), hlm. 169. Lihat juga Xxxx Xxxxxx Xxxxxxxx, Who is The Real Terrorisme?... hlm. 7-
8. Bandingkan dengan Xxxxx Xxxxx, xx.xx., Kejahatan Terorisme..., hlm. 24.
Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut yang melukai mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, keselamatan atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harga publik maupun pribadi atau menguasai atau merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumberdaya nasional.
5. Convention of The Organisation of The Islamic Conference on Combating International Terorism, (1999)
Terorisme berarti tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harga benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas territorial, kesatuan politis atau kedaulatan negara-negara yang merdeka.
6. United Kingdom, Terrorism Act, (2000)
Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri:
a. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik.
b. Penggunaan ancaman atau didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik.
c. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi.
d. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam kegiatan yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak.
Dalam hukum Islam, pertama-tama harus mengetahui arti kata terorisme.
Kata terorisme dapat dikualifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: 14
1. Teror berasal dari terror yang memiliki arti usaha untk menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman, baik itu dilakukan oleh seseorang atau golongan.
2. Xxxxxxx adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut dan biasanya bertujuan politik.
3. Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulakan rasa ketakutan dalam usaha mencapai tujuan tertentu.
14 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bali Pustaka, edisi II, 1989), hlm. 939.
Secara epistimologi tindakan terror disebut Irhab, orangnya di sebut Irhaby (teroris), sedangkan pahamnya disebut Irhabiyyah (terorisme) Lafadnya ﺏﺎﻫﺭﺍ dan ﻲﺑﺎﻫﺭﺍ/ ﻥﻮﻴﺑﺎﻫﺭﺍ dalam bahasa arab mempunyai makna terorisme.15 Terorisme /al-irhab adalah sebuah kalimat yang terbangun diatasnya makna yang mempunyai bentuk (modus) beraneka ragam yang intinya adalah gerakan intimidasi atau teror atau gerakan yang menebarkan rasa takut kepada individu ataupun masyarakat yang sudah dalam keadaan aman dan tentram.16
b. Faktor penyebab Terorisme
Sebelum berbicara mengenai penanggulangan terorisme, faktor-faktor penyebab terorisme perlu diketahui masyarakat untuk lebih mengefektifkan upaya penanggulangan terorisme. Teori kriminologi yang berkaitan dengan sebab-sebab tindak pidana terorisme perlu dipaparkan sebelum pembicaraan terfokus pada faktor-faktor penyebab terorisme yang dikemukakan oleh para ahli. Salah satu teori kriminologi tersebut adalah differential association theory.
Xxxxxxxxxx, sebagaimana dikutip oleh Xxxxx Xxxxxxxxxxx, menjelaskan proses terjadinya perilaku kejahatan dengan mengajukan sembilan proposisi sebagai berikut:17
a. Tingkah laku kriminal dipelajari.
15 Xxxx xx-Xxxxxx, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta : Bulan Bintang, 1989), hlm. 536.
16 Xxxx xxx Xxxxxxxx Xxxx Al- Xxxxxxx, Terorisme dalam Tinjauan Islam, Terj, (Jakarta: Maktabah Salafy Press, 2002), hlm. 65.
17 Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT. Xxxxxx Xxxxxxx, 1992), hlm. 24-25.
b. Tingkah kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
c. Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang intim.
d. Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik kejahatan dan motivasi/dorongan atau alasan pembenar.
e. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan: menyukai atau tidak menyukai.
f. Seseorang menjadi delinquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan: lebih suka melanggar daripada menaatinya.
g. Asosiasi diferensial ini bervariasi bergantung pada frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitasnya.
h. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan antikriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
i. Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan- kebutuhan umum dan nilai-nilai, tetapi tingkah laku criminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi karena tingkah laku nonkriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
Setelah dijabarkan teori kriminologi mengenai sebab-sebab kejahatan tersebut di atas maka sajian berikutnya akan lebih terperinci membicarakan tentang berbagai faktor penyebab terorisme sebagai berikut:18
a. Ketidak-adilan sosial ataupun struktural—khususnya dalam aspek ekonomi-politik—dalam kebijakan suatu pemerintah terhadap rakyatnya ataupun terhadap negara lain.
b. Kebijakan yang diskriminatif, represif dan otoriter dari sebuah rezimpemerintah terhadap sekelompok masyarakat yang kemudian didasari unsur rasisme, etnisitas, agama dan ideologi yang tidak searah dengan kebijakan pemerintah.
c. Adanya upaya dari yang berkuasa untuk mempertahankan status quo dan integritas negara serta stabilitas keamanan negara. Poin ini lebih khusus pada state terrorism.
d. Ambisi suatu negara superior (super power) dengan melakukan intervensi, tindakan aneksasi, invasi dan imperialisme terhadap negara inferior.
e. Biaya operasional jaringan teroris lebih mudah diakses.
f. Kemajuan teknologi terutama dalam persenjataan.
c. Kebijakan Kriminal Non-penal
Bekerjanya hukum pidana memerlukan sarana yang lebih banyak/bervariasi, baik berupa perundang-undangan organik, instansi dan aparat pelaksanya, sarana-prasana, maupun operasionalisasi penegakan hukum
18 Xxxx Xxxxxx Xxxxxxxx, Who is The Real Terrorist?..., hlm. 60-61.
pidana di lapangan. Semua ini tentunya juga menuntut biaya operasional yang cukup tinggi, terlebih menghadapi kejahatan-kejahatan canggih dan transnasional,19 seperti terorisme.
Law enforcement
policy
Social policy
Prevention without punishment
Crim. law aplication (practical criminology)
Influencing view of society on crime and punishment (mass media)
Criminal Policy
Masyarakat akan menanggapi gejala terorisme yang muncul melalui usaha-usaha rasional yang terorganisasikan, atau yang sering disebut kebijakan kriminal (politik kriminal). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. X. Xxxxx Xxxxxxxxxx menggambarkan ruang lingkup politik kriminal dengan skema sebagai berikut:20
Dari pendapat Hoefnagels tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan kriminal secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) melalui criminal law application; dan kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non-penal policy) melalui influencing views of society on crime and punishment (mass media) dan prevention without punishment.
19 Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana..., hlm 74.
20 G.P. Hoefnagels, The Other Side of Criminology, English Translation by Xxx X.X. Xxxxxxx, (Kluwer B.V., Deventer: 1973), hal. 56. Tabel tersebut juga dapat dikutip dalam Xxxxx Xxxxxx Xxxx, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, cet. III 2005), hlm. 3.
Kedua sarana ini (penal dan non-penal) merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan kejahatan di masyarakat.21
Sesuai dengan apa yang menjadi permasalahan dan tujuan studi ini, maka dari lingkup kajian yang dikemukakan di atas, fokus perhatian akan lebih terarah pada kajian kebijakan non-penal. Kebijakan non-penal, sebagai pasangan kebijakan penal dalam penanggulangan terorisme, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan (faktor kriminogen).
Dalam rangka merumuskan kebijakan non-penal yang menyangkut gejala tindak pidana terorisme ini, perlu dukungan kajian-kajian kriminologis mengenai terorisme. Kajian-kajian kriminologis tentang terorisme dan proses penanggulangannya dalam masyarakat, sangat diperlukan dalam rangka penyusunan kebijakan non-penal pada satu sisi, dan pada sisi lain, kajian kriminologis tersebut diperlukan pula sebagai bahan masukan dalam rangka perumusan norma-norma hukum pidana tentang penanggulangan terorisme yang dicita-citakan (ius constituendum). Di samping itu, perumusan norma- norma hukum yang dicita-citakan (ius constituendum), perlu pula didukung oleh pemahaman perkembangan kecenderungan-kecenderungan internasional
21 Xxxxxx, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. vii.
(instrumen-instrumen internasional) dan perkembangan penanganan terorisme yang terjadi di negara lain.
Di samping itu, penulis juga menggunakan teori maqasid Syariah untuk dapat membantu dalam menganalisa. Maqasid syariah sendiri tiada lain merupakan metode untuk melacak tujuan hukum dalam memberikan justifikasi terhadap permasalahan kemaslahatan manusia secara universal. Dalam hal ini maqasid syariah mencakup tiga skala prioritas berbeda tapi saling melengkapi dalam menjawab tuntutan zaman: addaruriyyah, al-hajiyyah dan at-tahsiniyyah.22 Secara aplikatif, maqasid syariah mencakup penerapan Hukum dalam lintas kemaslahatan berberdeda:
Pertama, penjagaan agama (hifz ad-din). Kedua, terjaminnya perlindungan hak hidup (hifz an-nafs). Ketiga, terjaminnya hak atas pengembangan akal dan pemikiran (hifz al-‘aql). Keempat, terjaminnya perlindungan hak atas kepemilikan harta benda (hifz al-mal). Kelima, terjaminnya hak atas pengembangan jenis dan keturunan (hifz an-nasb/nasl).
Secara historis, realisasi konsep maqasid syariah masih terkungkung dalam buaian teks keagamaan baik Al-Quran maupun Sunnah. Sejauh bunyi teks menegasikan hasil dari sebuah produk hukum, maka maqasid syariah tidak akan berarti apa-apa dan tidak dapat dijadikan sebuah patokan. Sebab, dalam prinsip
22 Xxxxxx Xxxxxxx, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, Cet. IV, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007), hlm. 45.
ulama’ klasik, kemaslahatan umat sebagai tolak ukur dari konsep maqasid syariah tidak dapat menjangkau wilayah primordialitas teks.23
Xxxxxx Xxxxxxxxxx at-Tufi yang tampil berbeda dengan para pendahulunya mencoba melakukan lompatan epistemologis dengan mengasumsikan superioritas kemaslahatan umum dari pada sekedar bunyi harfiah teks. Hal ini bisa dilihat misalnya dengan ungkapan at-Tufi yang lebih mendahulukan maslahah dari pada naş dan ijma’ ketika terjadi pertentangan.24 Ungkapan tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa hukum syariah tidak semata hukum langit, melainkan juga mengandung pesan moral-etik untuk menjawab permasalahan umat yang secara faktual memiliki peradaban berbeda. Maqasid syariah sebagai metode yang mencoba melacak kehendak syari’ demi terwujudnya suatu tatanan hukum yang lebih sesuai dengan dinamika kemaslahatan di mana hukum itu tumbuh berkembang bersama masyarakat.
Bagi at-Tufi, substansi dari diturunkannya teks-teks keagamaan yang merupakan sumber dari pelbagai aktifitas istinbat hukum adalah upaya memberikan nilai maslahah bagi umat manusia. Oleh sebab itu, suatu produk hukum yang dihasilkan sudah semestinya mengandung kemaslahatan, walaupun pada titik tertentu tidak mendapat dukungan dari bunyi harfiah nas.
23 Corak pemahan tentang jangkauan maqasid syariah ini dapat dilihat semisal dari pola penalaran al-Gazali dan asy-Xxxxxxx, sebagai pelopor dan pengembang dari teori ini atau ulama’ lainnya yang masih berprinsip bahwa Ketika teks dan kemaslahatan bertentangan, yang dimenangkan adalah Teks. Demikian halnya asumsi ulama’ sebelum mereka yang justru menolak pola penalaran dengan mempertimbangkan kemaslahatan. Lacak ulasan lengkap pemikiran ulama’ klasik terhadap kehujjahan maqasid syariah dalam Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxx, Filsafat Hukum Islam, alih bahasa Xxxxx Xxxxxxxx, (Bandung: Pustaka, 1996) hlm. 190-200.
24 Dikutip oleh Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Philosophyf of Islamic Law and The Orientalists, Cet. III, (Lahore: Islamic Publitons (Pvt) ltd, 1994) hlm. 165; bandingkan dengan Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Alih Bahasa Xxxxxx W asmin, cet. II, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997) hlm. 133.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mencoba mengggunakan beberapa pendekatan yang ada dalam jenis penelian:
a. Pendekatan Perundang-undangan dengan menelaah UU dan regulasi yang bersangkut-paut dengan tindak pidana terorisme;
b. Pendekatan Konseptual, yakni dengan mempelajari beberapa teori maupun doktrin di dalam ilmu hukum tentang konsep kebijakan non-penal dalam menanggulangi terorisme yang berupa deradikalisasi dan disengagement;
c. Pendekatan Kasus dengan mencoba menelaah kasus yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme dan;
2. Objek Penelitian
Objek yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah:
a. Faktor-fator yang menjadi embrio timbulnya tindak pidana terorisme;
b. Kendala dan problematika dalam penanggulangan Tindakan Terorisme;
c. Justifikasi kebijakan non-penal dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia.
3. Subjek penelitian
Subjek penelitian ini melibatkan:
a. Pejabat negara yang mengerti dan memahami tentang permasalahan dalam penelitian ini BNPT. Sebagai pihak yang yang terkait langsung dengan penanggulangan terorisme, BNPT dibutuhkan guna memperoleh informasi tentang kebijakan penanggulangan tindak pidana terorisme dan kendala-kendala yang telah dihadapi;
b. Organisasi kemasyarakatan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) ataupun Nahdlatul Ulama (NU). Kebijakan non-penal dalam menanggulangi tindak pidana terorisme melibatkan organisasi kemasyarakatan. Di sinilah kemudian ormas diatas diperlukan untuk memperoleh informasi keterliban mereka dan bagaimana pandangan mereka tentang kebijakan yang sudah ada.
4. Data Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan beberapa sumber terkait.
Data sekunder dalam penelitian ini merupakan bahan hukum yang terdiri dari:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundangan hukum pidana positif di Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, nash al-Quran maupun hadis serta data-data lain yang terkait langsung dengan permasalahan penelitian ini baik yang berupa dokument ataupun hasil interview.
2) Bahan hukum sekunder, berupa jurnal-jurnal hukum yang ada di media elektronik ataupun cetak, ataupun dari buku-buku ilmiah.
3) Bahan hukum tersier menggunakan kamus hukum dan ensiklopedia tentang istilah hukum dan yang terkait dengan yang diteliti oleh penulis.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dari telaah pustaka dan wawancara, akan dianalisis dengan metode kualitatif dengan bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju ke hal yang bersifat khusus.
H. Sistematika Penulisan.
Penulisan hasil penelitian ini secara garis besar disusun secara sistematis yang terbagi dalam 4 (empat) bab.
Bab I menguraikan pendahuluan, rumusan permasalahan yang diangkat, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritik, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II akan menjabarkan tentang latar historis timbulnya terorisme. Demikian halnya dalam bab ini akan dibahas juga tentang pengertian terorisme, jenis, motif, faktor-faktor pemicu timbulnya terorisme dan dampak tindak pidana terorisme mencakup terhadap ekonomi, sosial dan politik.
Bab III akan diulas dianalisis tentang tentang kendala-kendala berserta problematika yang terjadi dalam penanggulangan tindak pidana terorisme.
Bab IV fokus mencari solusi non-penal yang efektif dan ideal dalam penanggulangan tindak pidana terorisme dengan menggunakan multi-disipliner.
Bab V memuat kesimpulan dan rekomendasi dari hasil kajian secara mendalam melalui metode penelitian.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TERORISME
A. Latar Historis Terorisme
Istilah terorisme pada dasarnya mulai dikenal pada akhir abad ke-18, terutama untuk menunjukkan aksi-aksi pemerintah dalam menjamin ketaatan rakyatnya. Istilah terorisme juga diterapkan untuk “terorime pembalasan” yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok terhadap penguasa. Saat ini, istilah terorisme cenderung hanya digunakan untuk menyebut pangacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat.25
Terorime sudah ada berabad-abad yang lalu dalam bentuk kejahatan murni, yaitu pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk tujuan tertentu, namun mulai dikenal pada abad ke-18 bermula dari aliran kepercayaan berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan atau kelompok terhadap penguasa yang dianggap tiran. Pada akhir abad ke-19 dan menjelang Perang Dunia 1, terorisme terjadi hampir diseluruh dunia. Pada tahun 1890-an terjadi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki yang berakibat pada pembunuhan massal terhadap warga Armenia. Pada masa-masa Perang Dunia 1, aksi terorisme identik sebagai bagian dari gerakan “sayap kiri” yang berbasiskan ideologi.26
Pasca perang dunia ke 2, berbagai pergolakan terus berlangsung dalam jangka waktu panjang. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik
25 Xxxxxxxxx F Xxxxxx, “Terorime” Buletin Balitbang Departemen Pertahanan Nasional, Volume V, Nomor 8. 2008. Hal tersebut juga dikutip oleh Xxx Xxxxxx, Hukum Pidana Terorisme. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 71.
26 Ibid.
“Timur-Barat” dan menyeret beberapa negara berkembang ke dalamnya hingga menyebabkan timbulnya konflik “Utara-Selatan”. Pada konflik-konflik regional antar negara selalu ada campur tangan pihak ketiga, bahkan negara-negara yag sedang berjuang melawan kolonialisme dan konflik rasial tidak luput dari campur tangan pihak ketigadi dalamnya. Campur tangan pihak ketiga yang syarat dengan kepentingannya tidak menyelesaikan masalah-masalah tersebut, namun justru membuat Negara-negara berkembang semakin labil dan bergejolak sehingga mengakibatkan rasa frustasi dari banyak negara berkembang untuk menuntut hak- haknya. Kondisi ini sangat membuka peluang muncul dan semakin meluasnya terorisme. Terorisme kemudian berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya yang dipegang.
Selama kurun 1940-1950 an, teroris kembali mengalami perubahan makna. Pada masa ini teroris berkonotasi revolusioner. Terorisme dipakai oleh kelompok yang menyebut sebagai revolunioner oleh kelompok nasional anti kolonialis di Asia, Afrika dan Timur Tengah. Istilahnya adalah “Pejuang Kemerdekaan” negara-negara mengadopsi istilah ini dan sepakat bahwa setiap perjuangan melawan kolonialisme adalah pejuang kemerdekaan.
Pada era 1960 an dan 1970 an terorisme masih dipandang sebagai revolusiner tetapi cakupannya lebih luas hingga meliputi kelompok separatis etis dan ideologi radikal, dan ada argumen bahwa terorime muncul karena melawan ketidakadilan oleh karena itu terorisme akan hilang apabila keadilan sosial, plitik, ekonomi terpenuhi. Namun pada tahun 1980an dan 1990an, ketika kebanyakan
terorisme di Eropa dan Amerika berasal dari ekstrim kanan dan korban-korbannya merupakan orang asing, minoritas nasional, ataupun secara acak, muncul pandangan baru yang berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya dinyatakan bahwa segala bentuk terorisme sacara moral adalah salah, namun kemudian nampaknya pemahaman seperti ini tidak selalu dapat dibenarkan, bahkan para teolog Katolik abad pertengahan menyokong pembunuhan terhadap kaum tiran, misalnya pembunuhan terhadap Xxxxxx. Dalam kondisi ini terorisme sebagi satu- satunya jalan untuk menggulingkan kediktatoran, maka secara moral terorisme bukan merupakan tindakan yang salah, namun justru menjadi suatu kewajiban moral.27
Terorisme mulai disorot secara serius sejak peristiwa 11 September 2001, Pemerintah Amerika Serikat bersikap tegas tidak melakukan kompromi, dan menolak melakukan negosiasi dengan kelompok teroris karena negosiasi hanya akan memperkuat posisi kelompok teroris. Sikap Amerika Serikat ini nampak dalam ucapan Presiden Xxxxxx Xxxxxx. Xxxx. “If you are not with us, you are against us” dan selanjutnya negara-negara berat sekutu Amerika mengikuti langkah Amerika Serikat memerangi terorisme.28
Sikap Amerika Serikat yang tegas terhadap masalah terorisme dipengaruhi beberapa faktor:29
1. Terorisme dianggap sangat membahayakan kepentingan nasional Amerika Serikat. Karena seringnya warga negara dan gedung kedutaan Amerika
27 Ibid., hlm, 72.
28 Poltak Pantegi Nainggolan, (Ed), Terorisme dan Tata Dunia Baru, (Jakarta: Penerbit Sekjen DPR-RI, 2002), hlm 159.
29 Ibid.
Serikat maupun perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang ada di luar negeri, dijadikan sasaran tindakan terorisme. Antara tahun 1995-2000, diperkirakan sekitar 13 orang warga Amerika Serikat terbunuh dan 109 orang warga Amerika Serikat terluka setiap tahunnya karena serangan terorisme.
2. Tindakan terorisme juga seringkali dianggap mengganggu proses perdamaian yang telah diupayakan oleh Amerika Serikat selama lebih dari dua puluh tahun di Timur Tengah dalam konflik Arab-Israel.
3. Terorisme juga mengancam stabilitas keamanan di negara-negara yang menjadi sekutu Amerika Serikat.
4. Terorisme selalu terkait dengan tindakan kekerasan sehingga dianggap bertentangan dengan HAM.
Peran Amerika Serikat dalam memerangi terorisme di dunia pada saat ini sangat dominan. Amerika Serikat mengatur dan menerapkan kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme internasional, sekalipun melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat terasa sehingga “counter productive” apabila dikaitkan dengan politik luar xxxxxx Xxxxxxx Serikat yang tidak jarang dianggap bersifat memihak suatu negara. Pihak-pihak yang berseberangan dengan kebijakan Amerika Serikat dalam menanggulangi terorisme berpendapat bahwa peristiwa 11 September 2001 adalah peristiwa yang dapat terjadi karena sistem keamanan (security system).
Respon Amerika Serikat terhadap terorisme berdampak kepada Indonesia karena Amerika Serikat menuding Indonesia sebagai salah satu Negara sarang
2003 terdapat 3 kasus, tahun 2004 terdapat 3 kasus, tahun 2004 terdapat 3 kasus, tahun 2005 terdapat lima kasus. Setelah kejadian teror bom di Pasar Palu pada 31 Desember 2005, hingga tahun 2008 tercatat tidak ada kasus bom. Namun pada tanggal 17 Juli 2009, dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriot dan Rizt- Calton Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan pada kedua tempat tersebut, yaitu sekitar pukul 07.50 WIB.30
Kejadian-kejadian diatas berimplikasi pada anggapan bahwa segala langkah untuk menanggulangi terorisme di tingkat nasional seringkali diidentikkan dan dicap sebagai intervensi Amerika Serikat yang sejak 11 September 2001 mengajak berbagai negara untuk memerangi terorisme internasional khususnya Al-Qaeda/Xxxxx xxx Xxxxx.31
B. Pengertian Terorisme
Untuk memahami makna terorisme dari beberapa lembaga di Amerika Serikat juga memberikan pengertian yang berbeda-beda:32
30 Xxxxxxx Xxxxxxxx, Teroris Ideologi Penebar Ketakutan, (Surabaya: Penerbit Liris, 2010), hlm 26.
31 Xxxxxx, “Penanganan Terorisme sebagai Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxx,” Bahan Seminar pada 28 Juni 2004 di Jakarta, hlm 3.
32 Xxxxxx, “Hakikat Terorisme dan Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi” dalam
Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Xxxxxxx
7. United Stated Central Intelligence (CIA).
Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.
8. United Stated Federal Bureau of Investigation (FBI)
Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik.
9. United State Departement of State and Defense
Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Terorisme internasional adalah terorisme yang menggunakan dan melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.
10. The Arab Convention on The Suppression of Terrorism (1998)
Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut yang melukai mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, keselamatan atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harga publik maupun pribadi atau menguasai atau merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumberdaya nasional.
Center, 2002), hlm. 169. Lihat juga Xxxx Xxxxxx Xxxxxxxx, Who is The Real Terrorisme?... hlm. 7-
8. Bandingkan dengan Xxxxx Xxxxx, xx.xx., Kejahatan Terorisme..., hlm. 24.
11. Convention of The Organisation of The Islamic Conference on Combating International Terorism, (1999)
Terorisme berarti tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harga benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas territorial, kesatuan politis atau kedaulatan negara-negara yang merdeka.
12. United Kingdom, Terrorism Act, (2000)
Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri:
e. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik.
f. Penggunaan ancaman atau didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik.
g. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi.
h. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam kegiatan yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak.
Sementara dari perspektif hukum Islam, pertama-tama perlu dipahami arti kata terorisme itu sendiri. Kata terorisme dapat dikualifikasikan menjadi tiga bagian yaitu:33
4. Teror berasal dari terror yang memiliki arti usaha untk menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman, baik itu dilakukan oleh seseorang atau golongan.
5. Xxxxxxx adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut dan biasanya bertujuan politik.
6. Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulakan rasa ketakutan dalam usaha mencapai tujuan tertentu.
Secara epistimologi tindakan teror disebut Irhab, orangnya di sebut Irhaby (teroris), sedangkan pahamnya disebut Irhabiyyah (terorisme) Lafadnya ﺏﺎﻫﺭﺍ dan ﻲﺑﺎﻫﺭﺍ/ ﻥﻮﻴﺑﺎﻫﺭﺍ dalam bahasa arab mempunyai makna terorisme.34 Terorisme /al- irhab adalah sebuah kalimat yang terbangun diatasnya makna yang mempunyai bentuk (modus) beraneka ragam yang intinya adalah gerakan intimidasi atau teror
33 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bali Pustaka, edisi II, 1989), hlm. 939.
34 Xxxx xx-Xxxxxx, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta : Bulan Bintang, 1989), hlm. 536.
atau gerakan yang menebarkan rasa takut kepada individu ataupun masyarakat yang sudah dalam keadaan aman dan tentram.35
Sebenarnya Islam tidak mengenal istilah terorisme, hal tersebut sangat wajar karena istilah terorisme tidak lahir pada dunia Islam dan meskipun sebagai tindak perbuatan yang memiliki unsur dan kriteria tindak terorisme yang di kenal Islam. Oleh karena itu upaya pendefinisian terorisme dalam terminologi hukum Islam, hanya dimungkinkan dengan melakukan qiyas pada tindak jarimah tertentu, yang sekiranya memiliki unsur dan kriteria sama, karena Islam memiliki aturan hukum yang secara khusus membahas persoalan-persoalan tindak pidana, dimana hal tersebut diatur dalam figh jinayah.
Dalam penalaran selanjutnya maka pendefinisian dalam terminologi hukum Islam hanya dimungkinkan bila unsur dan kriteria terorisme telah diketahui terlebih dahulu, tanpa mengetahui bagaimana unsur dan kriteria tindak pidana terorisme terlebih dahulu maka qiyas yang dilakukan hanya akan membuat keputusan hukum yang salah.
Selanjutnya penggabungan istilah Fikih dengan istilah jinayah adalah bersifat metodologis. Jinayah adalah istilah yang digunakan oleh ulama fikih guna menyebut kajian dalam bahasan hukum pidana. Istilah Jinayah sendiri sesungguhnya adalah mengacu pada hasil perbuatan seseorang. Biasanya para ahli fikih berpendapat bahwa pengertian jinayah tersebut pada seringkali diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, yakni digunakan untuk
35 Xxxx xxx Xxxxxxxx Xxxx Al- Xxxxxxx, Terorisme dalam Tinjauan Islam, Terj, (Jakarta: Maktabah Salafy Press, 2002), hlm. 65.
menyebut perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan lain sebagainya.36 Oleh karena itu jinayah bisa diartikan ilmu yang membahas tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang syara’ yang bisa mengakibatkan hukuman had dan ta’zir, terutama ketika perbuatan- perbuatan tersebut telah memenuhi unsur atau rukun jinayah.
Berdasarkan difinisi diatas maka dapat dirumuskan dalam hukum Islam kejahatan terorisme sama halnya dengan Jarimah Hirabah yaitu, gangguan keamanan di jalan umum, secara etimologi hirabah berarti memotong jalan ( ﻊﻁﺎﻗ ﻖﻳﺮﻄﻟﺍ) pembegal atau perampok. Perampok atau pembegal biasa disebut dengan pencurian besar (ﺮﺒﻜﻟﺍ ﻕﺭﺎﺷ).37 atau keluarnya gerombolan bersenjata di daerah Islam untuk mengadakan kekacauan, pertumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketentuan dan undang-undang.
Dengan begitu memberikan indikasi bahwa terdapat persamaan unsur antara
xxxxxxx xxxxxxx dengan tindakan terorisme antara lain:
a. Unsur kejahatan hirabah yaitu; aksinya dilakukan dijalan umum dengan menggunakan senjata, adanya kekerasan dan ancaman, dilakukan secara terang-terangan, mengganggu stabilitas keamanan.
36 Xxxxxxx, Figh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Terorisme dalam Islam, (Jakarta : Rajawali Perss, 1986), hlm. 1.
37 Xxxxxx Xxxxx, Hukum Pidana Islam ( Fiqh Jinayah), (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm. 61
b. Sedangkan unsur kejahatan terorisme meliputi : aksinya menggunakan senjata, dilakukan secara tak terduga, menggunakan teror disertai dengan kekerasan dan menimbulkan kerusakan dimuka bumi.
Dari uraian mengenai terorisme di atas, Islam mengkategorikannya dalam fikih jinayah dan digolongkan pada jarimah hirabah, namun dalam pemaknaan subtansi dari terorisme ada bebarapa yang berpendapat bahwa Terorisme (irhab) yang artinya menggetarkan. Menurut Xxxx Xxxxxxx perbuatan tersebut merupakan sebagai bentuk Jihad fi sabilillah menuju ridlo Allah SWT. Para aktifis muslim yang sering dituduh penyebar teror memahami terorisme sebagai jihad dan bentuk perlawanan terhadap para penolak Islam yang disponsori oleh Amerika Serikat. Mereka menganggap bahwa Amerika Serikat dan sekutunya telah melakukan kekejaman mulai dari Irak, Somalia, Afanistan, dan pembalasan dari perbuatan tersebut hanya dengan jihad, sehingga sekarang ini banyak tampak prilaku teror ditujukan kepada aset-aset yang berhubungan dengan Amerika, seperti hotel JW Marriot dan Ritzcalten.38
Dalam benak para aktifis muslim, jihad lebih dipahami dalam kerangka balas dendam. Karena kafir telah memerangi muslim tanpa batas, maka muslim wajib membalasnya dengan memerangi kafir secara tanpa batas pula. Menurutnya, dalam ketentuan syari’ah, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Konsep inilah yang ia sebut dengan jihad fi sabilillah. Dalam melancarkan aksinya mereka berpedoman pada ayat “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Dan janganlah
38 Xxxx Xxxxxxx, Aku Melawan Xxxxxxx. Surakarta : Jazera. Hlm 95
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Baqarah: 190). Dengan ayat-ayat ini, mereka melegitimasi bahwa peledakan bom Legian adalah bentuk dari aksi jihad fi sabilillah.
Dalam terminologi agama Islam, jihad tidak serta merta diartikan sebagai mengangkat senjata untuk memerangi non-muslim, sebagaimana dipahami sebagian kalangan umat Islam. Secara umum, arti jihad dikategorisasikan menjadi tiga pengertian; jihad dengan hati, jihad dengan harta benda, dan jihad dengan nyawa.
Sementara itu, ketiadaan definisi yang seragam menurut hukum internasional tentang terorisme tidak serta-merta meniadakan definisi hukum terorisme itu, dalam hal terorisme banyak negara-negara sepakat adanya konotasi yang urgen, karena terorisme mengakibatkan korban warga sipil yang tidak tahu menahu adanya hal tersebut. Disamping itu pula mengenai pengertian yang baku dan definisi dari apa yang disebut dengan tindak pidana terorisme, sampai saat juga belum ada keseragaman.
Menurut Xxxx. X. Xxxxxx Xxxxxxxxx, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Xxxx. Xxxxx Xxxxxxx, Phd. Terorisme merupakan pandangan yang subjektif.39 Tidak mudahnya merumuskan definisi
39 Dikutip dari Xxxxxxxxxx Xxxx Xxxx, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, (Jakarta: O.C. Xxxxxxx & Associates, 2001), hlm. 35.
terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi.40 Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut.41
Di Indonesia pengertian teroris masuk dalam Undang-undang yang mengkhususkan dibidang teoritis tersebut yakni Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, dan 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1. Pasal 6 adalah :
Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
40 Xxxxxxxx Xxxxxxx, “Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi,” Jurnal
Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III. Desember 2002. hlm. 35.
41 Xxxxxxx, Intelijen Pengertian dan Pemahamannya, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1999), hlm. 19.
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
2. Pasal 7 adalah :
Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Dari pengertian diatas Xxxx. Xxxxxx memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakekat perbuatan terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain.42
Terorisme dapat diartikan sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan fisik yang direncanakan, dipersiapkan dan dilancarkan secara mendadak terhadap sasaran langsung yang lazimnya adalah non combatant untuk
42 Xxxxxx, “Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi,” Jurnal Kriminologi Indonesia, FISIP UI, vol 2 no III Desember 2002. hlm 1.
“Terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individuindividu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, apabila tindakantindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan atua mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar daripada korbankorban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompok-kelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu untuk mengoreksi keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik internasional yang ada”.
C. Jenis dan Motif Terorisme
Terorisme mempunyai tujuan dan motif yang berbeda-beda. Dalam hal jenis dan motif terorisme sangat kasuistik, tergantung dari kelompok mana yang melakukan aksi tersebut. Ada kalanya kelompok teroris bermotif agama, ada juga yang bermotif politik. Bisa jadi kelompok dalam hal melakukan aksinya karena murni agama dan bisa juga kelompok yang lainnya karena motif politik yang menjadi pemicunya. Terkadang dua peristiwa yang terjadi bersamaan tidak memiliki sisi keterkaitan apapun, dengan kata lain masing-masing aksi tersebut berdiri sendiri-sendiri.44 Sebagai contoh yang terjadi di Timur Tengah, lahirnya terorisme bisa dilatar belakangi oleh faktor agama akan tetapi motif dan tujuannya
43 Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Terorisme dan Tata Dunia Baru, (Jakarta, Penerbit Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPR-RI, 2002), hlm. 106.
44 Xxxxxx Xxxxxxx, xx.xx., Terorisme dan Fundamentalisme Agama, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 194.
lebih ke dalam politik, karena di Timur Tengah tidak ada pemilahan tegas batas wilayah politik dan agama, akibatnya untuk mengatahui motif dan tujuannya sama sulitnya.
Berdasarkan dari berbagai kasus yang ada terorisme dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Terorisme Politik.
Terorisme ini biasanya dilatarbelakangi dengan kepentingan- kepentingan politik dibelakannya, karena aktifitas politik akhir-akhir ini di berbagai negara tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan politik, sementara politik bisa melahirkan perbuatan menghalalkan segala cara guna mencapai kepentingannya. Terorisme merupakan cara yang paling banyak digunakan oleh para politikus untuk mencapai ambisi-ambisinya.45
Aktivitas politik dianggap sebagai kerangka nilai yang hadir dalam kerangka nilai, baik moral ataupun agama, yang disepakati oleh masyarakat untuk melegitimasi, namun sebgai contoh adanya indikasi perbuatan yang bermuara pada motif tindak terorisme yaitu ketika seseorang ingin menduduki jabatan publik, untuk mencapai cita-cita politiknya harus melewati prosedur-prosedur yang absah, yang telah diobyektivasi oleh masyarakat, secara sederhana motif yang melatar belakangi dapat dipahami sebagai terorime yang dipicu oleh adanya kepentingan-kepentingan politik.
45 A.C. Manullang, Menguak Tabu Intelejen, (Panta Rhei, 2001).
Terorisme ini biasanya dilakukan oleh negara yang memiliki politik standar ganda karena selain ditopang dengan dana yang mudah, juga didukung dengan legitimasi yang sah, seperti halnya negara Amerika Serikat di sisi lain ia menyuarakan perang anti terorisme disisi yang berbeda ia melakukan terorisme. Hal ini terlihat pada Amerika Serikat yang diungkap oleh tokoh dunia memiliki standar ganda disis lain menyuarakan Hak Asasi Manusia (HAM), Demokrasi anti terorisme, namun di sisi yang berbeda melakukan berbagai tindak terorisme.
Bahkan Menurut Xxxx Xxxx bahwa kampanye anti terorisme, yang digembar gemborkan Amerika Serikat, sesungguhnya adalah alat politik teror Amerika untuk menyerang bangsa-bangsa yang dianggap telah menghalangi kepentingan politiknya. Penyerangan Amerika Serikat ke Iraq adalah salah satu contoh yang sulit untuk dipungkiri siapapun, bahwa dalam satu sisi, negara bisa melahirkan berbagai tindak terorisme yang bisa lebih kejam dari terorisme pada umumnya.46
2. Terorisme Agama.
Terorisme ini dilahirkan dan dikerangkai oleh agama tertentu. Hal ini sangat sulit untuk dikonsensi, para pemeluk agama, khususnya para fundamentalis, pasti akan bersikap skeptic dan apriori terhadap kesimpulan sebagaimana diatas, karena memang ada perbedaan yang mendasar agama sebagai salah satu pemicu terorisme, dengan agama sebagai salah satu
46 Xxxx Xxxx. “Hadapi Terorisme” Kompas , Tanggal 31Tahun 2002
tipologi dari tindak terorisme. Perbedaaan tersebut bisa dijelaskan dengan kriteria makna pasif dan aktifnya, ketika agama diungkap sebagai salah satu pemicu terorisme maka sejahat apapun agama tetap saja hanya berperan pasif, sebagai factor implisit dari adanya tindak terorisme.47 Mengungkap agama sebagai pemicu tindak terorisme, berarti menganggap agama tidak sekedar sebagai faktor implisit yang pasif, akan tetapi sebagai pemeran utama faktor emplisit dari lahirnya berbagai drama teror yang ada.
Secara doktrinal agama sebagai suatau hal yang sakral dan transenden, agama memang tidak pernah malakukan kesalahan, agama dalam ruang ini justru cenderung suci dan penuh keagungan. Secara normatif pula, agama tidak pernah mendorong pengikutnya unuk melakukan kekerasan, namun pada perkembangannya agama mengalami aktualisasi, ia hadir meruang dalam masyarakat manusia, serta mengalami proses sosial-kesejarahan, dalam hal ini agama tidak lagi berwajah transenden, melainkan begitu profane, sangat historis serta juga sosiologis, di sisi lain agama begitu mempengaruhi manusia, dan di sisi lain ia dipengaruhi oleh manuasia.48
Dengan begitu agama mengalami problematik, dalam hal lain ia mengajarkan dan menyuarakan mengenai kebenaran, keadilan, serta kasih sayang, tapi dari sisi yang lain agama melegitimasi adanya pembunuhan
47 Xxxx Xxxxxxxxxxxxx, Teror Atas Nama Agama : Kebangkitan Global Kekerasan Agama,
(Jakarta: Xxxxx Xxxxx, 2002), hlm 16
48 Xxxx XXxxxxx, “Rekontruksi Metodologi Agama dalam Msyarakat Multikultural dan Multireligius” dalam Xxxx Xxxxxxxx, xx.xx., Rekontruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman. (Yogyakarta: Suka Press, 2003) hlm 3
yang kejam.49 Memang tidak ada agama yang mengajarkan tindak kekerasan, pembunuhan, dan teror, apalagi kepada orang-orang yang tidak berdosa. Tetapi, dalam agama manapun, selalu ada ruang yang bersentuhan dengan emosi keagamaan yang besar, yang menuntut adanya pembelaan dan perlawanan terhadap tindakan yang dianggap berlawanan secara fundamental terhadap kehidupan agama itu sendiri, seperti tindakan penghinaan terhadap suatu agama dan ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat beragama. Dalam sejarah kehidupan agama-agama tampak ruang emosi keagamaan itu dapat dimanipulasi sehingga menjadi kekuatan besar guna melakukan perubahan social secara fundamental dalam kehidupan bermasyarakat.50
Di Indonesia yang bisa menjadi pelajaran dalam hal ini mulai dari kasus Situbondo, Pekalongan, Tasikmalaya, Aceh, Maluku, Timor Timur dan Mataram. Sementara di luar negeri dapat ditemukan di negara Pakistan, India, Irlandia, dan lainnya.51 Maraknya gerakan radikal yang dilakukan para fundamentalis agama, mulai dari fundamentalis Kristen, Yahudi, ataupun Islam, juga menguatkan asosiasi yang menyatakan bahwa agama terkadang juga menjadi motif pemicu hadirnya terorisme. Meski tidak seluruhnya para fundamentalis menyukai kekerasan, akan tetapi secara
49 Xxxxxxx Xxxxxxx, Kala Agama Menjadi Bencana, Bandung : Mizan, 2003 hlm 13.
50 Lihat Xxxx Xxx’ari, “Dapatkah Perpu atau Undang-Undang Mengatasinya.” Kompas
tanggal 1 November 2003.
51 Departemen Agama Republik Indonesia, Perilaku Kekerasan Kolektif : Kondisi dan Pemicu. (Yogyakarata : 1997).
mayoritas gerakan-gerakan fundamentalis diekspresikan dengan berbagai perilaku terorisme.52
Menurut Xxxx Xxxxxxxxxxxxx, tindak terorisme agama seringkali muncul dikarenakan tiga hal yang begitu mempengaruhi cara berpikir seseorang pemeluk agamanya:53
a. Adanya ide kematian atau kesyahidan biasanya dalam kesyahidan ditunjukkan dengan kematian heroik. Sebuah kematian yang ditujukan atau persembahan kepada tuhannya. Sebagai contoh bom bunuh diri, yang banyak dilakukan oleh gerakan militant Hamas, di Timur Tengah. Bagi mereka cara ini ebih baik dari kematian yang lainnya, karena kematian ini dianggap sebagai pembuktian iman.
b. Adanya ide setanisasi, gambaran setanisasi ini adalah gambaran tentang musuh-musuh yang harus diperangi, ide ini bermula saat manusia mengenal kebaikan dan kebenaran sebagai suatu yang berpasangan dengan keburukan dan kejahatan dua hal yang terakhir ini disimbolkan dengan setan, berkaitan dengan seruan agama bahwa setan harus diperangi.
c. Adanya gambaran tentang perang kosmis. Perang dalam gambaran ini dikonsepsikan sebagai perang antara kejahatan dan kebenaran itu sendiri, karena alasan inilah, aksi-aksi teror agama idak hanya
52 Xxxxx Xxxxxxxx, Berperan Xxxx Tuhan, (Bandung : Mizan, 2001), hlm 32
53 Xxxx Xxxxxxxxxxxxx, Teror Atas Nama Agama... hlm. 290.
dijadikan taktik dalam strategi perang politik duniawi, akan tetapi juga sebagai penggerak dari sebuah konfrontasi spiritual.
Pendapat Marx tersebut adalah gejala fakual yang terjadi dalam setiap agama, baik Nasrani, Yahudi, ataupun Islam. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, apabila dalam sejarahnya agama selalu diiringi dengan berbagai tragedy-tragedi yang juga mengerikan. Terorisme dilahirkan oleh gejala fundamentalisme Kristen bisa dilacak, pada ulasan-ulasan sejarah yang termaktub dalam Bible sendiri, dalam kitab Xxxxxx misalnya, diungkap bahwa Xxxxxx secara membabi buta telah merusak semua yang ada di kota, membunuh kaum laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, sapi, biri-biri dan keledai dengan ujung pedang.54
Dari sumber di atas terlihat bahwa agama Kristen juga terdapat aksi terorisme. Kasus yang sama di Andalusia, Perancis, sekitar tahun 1449-1474 orang Kristen bayak melakukan pembantaian terhadap kaum Yahudi yang tidak mau melepaskan kepercayaan mereka. Kurang lebih 13000 ribu orang yang disiksa lalu dibunuh, karena tidak mau dibaptis sebagai Kristen. Sementara sebagian yang lain sekitar 80.000 ribu berhasil selamat. Dengan melarikan diri ke Portugal, dan kurang lebih 50.000 ribu orang lari meminta perlindungan kerajaan Islam Usmaniyyah.55
Menurut Xxxx Xxxxxxxxxxxxx hadirnya terorisme di tradisi Kristen dibenarkan oleh prinsip-prinsip teologi Kristen. Kasus penembakan massal
54 Xxxxx Xxxxxxx, Terorisme dan Fundamentalisme Agama. 195.
55 Xxxxx Xxxxxxxx. Teror Atas Nama Agama... hlm. 3-4
dalam sebuah pusat kesehatan Yahudi di California pada tanggal 10 Agustus 1999 oleh aktifis Xxxxxxxx Indetity, kasus peledakan Olympiade Atlanta tahun 1996, kasus perobohan gedung Oklahoma City serta berbagai aksi penembakan lainnya adalah aksi terorisme yang sangat dipengaruhi oleh semangat kekristenan. Salah satu yang menjadi pembenaran adalah perkataan Xxxxx dalam Matius 5 : 44 dan Xxxxx 12 : 51-52 “jangan berpikir aku telah membawa kedamaian di muka bumi, aku datang tidak membawa kedamaian melainkan dengan pedang”.56
Sementara dalam Islam secara historis adalah agama yang terkadang diliputi berbagai dimensi kemanusiaan, satu sisi terkadang baik, namun satu sisi pula terkadang ia begitu dipengaruhi dengan darah, serta berbagai tindak kekerasan yang begitu sadis dan brutal. Kasus pembunuhan al khulafa ar Xxxxxxxx, Xxxx bi Xxxxxx, Xxxxx xxx Xxxxx, juga Xxx xxx Xxx Xxxxxx adalah bukti yang sulit dibantah bahwa sejarah Islam juga tidak beda dengan sejarah manusia pada umumnya, yang dipengaruhi tragedi dan teror. Kasus pembantaian Hussain dan 50 Jama’ahnya di Padang Karbala, pada hari ke sepuluh bulan Muharam, adalah cerminan keburaman yang sama atas realitas sejarah sungguh dipengaruhi dengan berbagai aksi teror.57
3. Terorisme Kriminal.
Teroris ini biasanya dilatarbelakangi dengan motif kepentingan untuk mendapatkan material, tindakan ini banyak terjadi di negara-negara yang
56 Ibid., hlm. 32.
57 Ibid., hlm. 71.
kesenjangan ekonominya begitu tinggi, di sisi lain konglomerat hidup dengan serba mewah sementara disisi lain justru dibawah standar miskin, bahkan untuk makan mereka bekerja terlebih dahulu, terlebih lagi untuk lahan pekerjaan juga sulit didapat, dalam kondisi ini perilaku teror menjadi tindak perilaku yang juga dilakukan oleh masyarakat bawah guna mendapatkan material untuk mencukupi hidupnya. Dalam diskursus sosiologi kontemporer, terorisme berdasarkan motif ini sering juga terungkap sebagai gejala yang lahir akibat dari buruknya sistem ekonomi global, yang justru hanya memihak para borjuasi yang memiliki modal. Akibatnya ketika masyarakat bawah tidak lagi berdaya menghadapi sistem ekonomi tersebut muncullah tindak perilaku teror, seperti perampokan, penodongan, dan aksi kekerasan lainya dan latarbelakang kekecewaan pada sistem yang ada serta desakan ekonomi.58
Berdasarkan paparan di atas jelas apa yang memicu hadirnya sebuah
terorisme, meski motif dan perilaku berbeda namun dalam tataran lapangan sama-sama berimbas pada ketidaknyamanan kehidupan manusia di muka bumi, bahkan kalau diamati motif dalam terorisme ada motif yang sangat komplek: semisal karena sakit hati pada sosial, ataupun dendam terhadap satu kelompok masyarakat tertentu.59
58 Xxxxxxxxx Xxxxx, “Ada Overlap antara Antiglobalisasi dan Terorisme” dalam buletin
Postra, Edisi 05. 2002, hlm. 76.
59 Ibid.
D. Faktor Pemicu Tumbuh-Suburnya Tindak Pidana Terorisme
Teori kriminologi yang berkaitan dengan sebab-sebab tindak pidana terorisme perlu dipaparkan sebelum pembicaraan terfokus pada faktor-faktor penyebab terorisme yang dikemukakan oleh para ahli. Salah satu teori kriminologi tersebut adalah differential association theory.
Xxxxxxxxxx, sebagaimana dikutip oleh Xxxxx Xxxxxxxxxxx, menjelaskan proses terjadinya perilaku kejahatan dengan mengajukan sembilan proposisi sebagai berikut:60
j. Tingkah laku kriminal dipelajari.
k. Tingkah kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
l. Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang intim.
m. Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik kejahatan dan motivasi/dorongan atau alasan pembenar.
n. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan: menyukai atau tidak menyukai.
o. Seseorang menjadi delinquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan: lebih suka melanggar daripada menaatinya.
p. Asosiasi diferensial ini bervariasi bergantung pada frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitasnya.
60 Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT. Xxxxxx Xxxxxxx, 1992), hlm. 24-25.
q. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan antikriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
r. Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan- kebutuhan umum dan nilai-nilai, tetapi tingkah laku criminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi karena tingkah laku nonkriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
Setelah dijabarkan teori kriminologi mengenai sebab-sebab kejahatan tersebut di atas, sajian berikutnya akan lebih terperinci membicarakan tentang berbagai faktor penyebab terorisme sebagai berikut:61
a. Ketidak-adilan sosial ataupun struktural—khususnya dalam aspek ekonomi- politik—dalam kebijakan suatu pemerintah terhadap rakyatnya ataupun terhadap negara lain.
b. Kebijakan yang diskriminatif, represif dan otoriter dari sebuah rezim pemerintah terhadap sekelompok masyarakat yang kemudian didasari unsur rasisme, etnisitas, agama dan ideologi yang tidak searah dengan kebijakan pemerintah.
c. Adanya upaya dari yang berkuasa untuk mempertahankan status quo dan integritas negara serta stabilitas keamanan negara. Poin ini lebih khusus pada state terrorism.
61 Xxxx Xxxxxx Xxxxxxxx, Who is The Real Terrorist?..., hlm. 60-61.
e. Biaya operasional jaringan teroris lebih mudah diakses.
f. Kemajuan teknologi terutama dalam persenjataan.
Dalam konteks keindonesiaan, setidaknya ada tiga (3) faktor yang memicu tumbuh suburnya tindak pidana terorisme:
Pertama, faktor domestik. Misalnya, kemiskinan yang terus membayangi masyarakat menjadi bagian pemicu terjadinya gerakan aksi terorisme. Begitu pula dengan pendidikan yang rendah. Alhasil, mereka yang dapat dibujuk menjadi pelaku bom bunuh diri relatif memiliki pendidikan dan pengetahuan agama yang minim. Tak kalah penting, perlakuan hukum yang tidak adil dari rezim pemerintahan yang berkuasa. Kedua, faktor internasional. Jaringan terorisme tak lepas dari keterlibatan pihak luar. Jaringan terorisme internasional memang cukup kuat dalam memberikan dukungan logistik. Misalnya, pasokan persenjataan. Tak hanya itu, jaringan internasional pun memberikan dana. Bahkan, ada ikatan emosional yang kuat antara jaringan lokal dengan internasional.
Ketiga, faktor kultural. Di Indonesia, masih banyak ditemukan orang memiliki pemahaman sempit dalam menterjemahkan nilai-nilai agama. Akibatnya, pelaku dapat dipengaruhi mengikuti pemberi pengaruh untuk melakukan teror kepada masyarakat.
E. Dampak Tindak Pidana Terorisme.
1. Dampak tindak pidana terorisme terhadap ekonomi.
Terorisme menimbulkan dampak yang luar biasa, setelah penyerangan di Amerika Serikat terhadap gedung kembar World Trade Centre (WTC) dampaknya cukup besar tidak hanya di Amerika Serikat, tapi di seluruh dunia, terutama dampak ekonomi salah satu contohnya adalah sepertiga dari 12.000 pesawat komersial diseluruh dunia tidak melakukan penerbangan, sedangkan biaya industry penerbangan sebesar 10 miliar dolar Amerika, diperkirakan warga Amerika Serikat 1,6 juta kehilangan pekerjaan.62
Bagi masyarakat Bali setelah peristiwa Bom Bali 1 peristiwa ini berpengaruh besar pada kehidupan ekonomi mereka (kesejahteraan terganggu), pendapatan mereka untuk bulan November jelas menurun karena biasanya pada bulan itu banyak para turis yang berkunjung ke Bali. Tentu saja setelah Bom Bali pada sector pariwisata para turis agak enggan datang ke Bali, sebelum adanya Bom kunjungan wisatawan setiap bulan mencapai 153 ribu, namun setelah adanya bom Bali wisatawan tidak lebih dari 31 ribu wisatawan. Penurunan wisatawan mengakibatkan pengusaha perhotelan mengalami penurunan yang sangat tajam, jika sebelum ada bom Bali hunian hotel mencapai 80 persen, setelah adanya kejadian tersebut hanya 10 persen.63
Dari kasus Bom Bali tersebut mengakibatkan kerugian harta benda atau nyawa, yaitu kebanyakan warga Australia dari 202 orang yang meninggal, dan yang luka-luka mencapai 300 orang, disamping itu merusak 513 bangunan hotel, restoran, kafe, toko dan runah tinggal. Sebanyak 22 mobil, 24 sepeda motor, dari kerusakan tersebut menimbulkan kerugian mencapai Rp. 7,2 miliar,
62 Xxxxxxx Xxxxxxx, Terorisme Ideologi Penebar Katakutan, (Surabaya: Penerbit Liris, 2010), hlm. 26.
63 Ibid.
selain itu kerusakan jalan trotoar mencapai Rp 224 juta, perusahaan listrik nasional Denpasar mengklaim kerugian sebesar Rp.144 juta akibat kerusakan, sedangkan PT Telkom mengalami kerugian Rp. 88 juta.64
2. Dampak tindak pidana terorisme terhadap politik.
Dampak terorisme dalam bidang Politik tidak terlepas dari kebijakan Amerika Serikat untuk memimpin perang melawan terorisme sepertinya semakin berhasil dengan dikeluarkannya resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor.1373 Tahun 2001. Resolusi tersebut memuat langkah-langkah dalam menanggulangi terorisme dan mendukung tindakan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Dengan demikian, Amerika Serikat semakin memiliki kemudahan dalam mendapatkan akses untuk menghadirkan militernya di luar negeri dengan dalih terorisme.
Kendati Amerika Serikat kini muncul sebagai satu-satunya negara adikuasa, namun para pengambil keputusan politik luar xxxxxx Xxxxxxx Serikat merasa perlu untuk terus menerus menyesuaikan agenda politik luar negerinya sesuai dengan perubahan sistemik dan situasional yang terjadi di lingkungan eksternal dan internalnya. Dalam kebijakan luar xxxxxx Xxxxxxx Serikat mencerminkan pandangan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa tunggal di dunia yang saling membutuhkan dan bergantung dengan negara-negara lain. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai hubungan kerjasama Amerika Serikat dengan berbagai negara di dunia dalam rangka mencapai berbagai tujuan dan kepentingan Amerika Serikat. Pelaksanaan strategi tersebut terutama untuk
64 Ibid.
mengamankan kepentingan-kepentingannya, Amerika Serikat dapat memanfaatkan sumber daya, seperti perekonomiannya, sekutu-sekutu di bawah kepemimpinan yang tegas dapat menunjang politik luar negerinya. Kekuatan militer yang besar dan diplomasi.
Hal inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran banyak negara, terutama mereka yang tidak cukup kuat untuk menolak datangnya militer Amerika Serikat kedalam wilayahnya. Seperti yang selalu ditekan pemerintah Amerika Serikat bahwa perang ini tidak berhenti sampai di negara yang dianggap sarang teroris seperti Afghanistan, kecenderungan Amerika Serikat pasca perang di Afghanistan dan Iraq adalah melanjutkan dengan memberikan perhatian terhadap aktivitas terorisme di belahan lain dunia, dalam hal ini berdasarkan dokumen dan rekaman kaset video yang ditemukan dalam markas Al-Qaeda di Afghanistan.65
Implikasi lebih jauh yang dirasakan negara di Asia Tenggara adalah ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa resmi menyatakan bahwa kelompok “Jamaah Islamiah” digolongkan sebagai organisasi teroris internasional. Keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa ini tentu saja sangat mempengaruhi Asia Tenggara, dimana selama ini Amerika Serikat selalu menekankan bahwa Jamaah Islamiah merupakan perpanjangan tangan Al-Qaeda, dan jaringannya menyebar di Malaysia, Singapura, serta Indonesia. Sehingga Amerika Serikat mempunyai kekuatan untuk menekan pemerintahan negara-negara Asia
65 xxxx://xxx.xxx.xxx/xxxxxxxxxxxx/xxxxxxxx Diakses 10 Januari 2015
Tenggara agar lebih aktif bekerjasama dalam memberantas terorisme seperti yang diinginkan Amerika Serikat.
Pada akhirnya “War on Terrorism”, menjadi instrumen Amerika Serikat untuk dapat menghadirkan kekuatan militernya diluar teritorialnya. Khususnya bagi Asia Tenggara, indikasi menjadi “second front” dari perang melawan terorisme semakin terlihat jelas. Amerika Serikat telah menempatkan negara- negara di Asia Tenggara menjadi salah satu prioritas dalam kebijakan luar negeri-nya setelah sekian lama kawasan ini menghilang dari layar radar Amerika Serikat. Sebagai kawasan dengan tingkat prioritas kepentingan yang tinggi, maka Amerika Serikat perlu memastikan kehadiran kekuatan militernya di negara-negara untuk menjaga kepentingan-kepentingan tersebut.
Di bawah spanduk “global war on terrorism”, (seluruh Negara berperang dengan terorisme) pemerintahan presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Xxxxxx Xxxxxx Xxxx mulai mendorong kepala pemerintahan negara-negara Asia Tenggara untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat. Ada pendapat yang berkembang, bahwa kemunduran pengaruh Amerika Serikat di kawasan Asia selama beberapa dekade sebelumnya melatarbelakangi pemikiran untuk menghadirkan kembali militernya di kawasan ini. Namun yang pasti, setelah serangan militer pertama dimulai dengan menyerang Al-Qaeda dan rezim Taliban di Afghanistan pada 7 Oktober 2001, dan spekulasipun dengan cepat menggunung, bahwa operasi-operasi selanjutnya akan segera dilakukan di tempat lain, dari segi pilitik Amerika Serikat memang mempunyai kekuatan besar, selain Negara yang menjadi korban terorisme, Amerika Serikat juga
punya kesempatan banyak untuk menyerang negara-negara lain atas nama terorisme, apalagi Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa dikuasai oleh negara- negara yang mempunyai hak veto, salah satunya Amerika Serikat.
3. Dampak tindak pidana terorisme terhadap sosial
Merebaknya aksi terorisme yang ada di Indonesia cukup meresahkan masyarakat. Di samping itu, dampak yang diakibatkan terorisme meluas keberbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali dampak sosial. Di Indonesia banyak aksi terorisme yang dilakukan oleh aktivis agama Islam, sementara aktivis-aktivis Islam yang ada sangatlah banyak, mulai dari aktivis Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Masyumi, dan sebagainya. Terjadinya aksi terror yang dilakukan salah satu aktivis Islam, mengakibatkan tertuduhnya aktivis yang lain, apalagi pelaku mengatasnamakan Islam dan sebagai jihad fisabillilah, sehingga golongan aktifis Islam yang tidak melakukan ikut tercoreng atas klaim tersebut.66
Jumlah golongan organisasi keagamaan di Indonesia yang begitu banyak terkadang menimbulkan rasa saling curiga. Golongan keras, golongan lembut, golongan moderat, padahal golongan tersebut masih dalam satu golongan Islam, walaupun pemahamananya berbeda. Sesama muslim saja ada perpecahan ataupun saling bertentangan terkait kepercayaan atau ideologinya, apalagi sesama pemeluk agama satu dengan yang lain. Mereka saling mencurigai, seperti halnya Islam dicurigai karena banyaknya kejadian-kejadian bom yang dilakukan oleh segelintir umat Islam, tidak sedikit anggapan orang
66 Disarikan dari Xxxx Xxxx “Hadapi Terorisme” Kompas , Tanggal 31Tahun 2002.
tentang Islam diidentikan dengan terorisme, dimana pelaku aksi terorisme mengatasnamakan pembelaan agama. Namun begitu pemeluk yang beraliran fundamentalis, pasti akan bersikap skeptis dan apriori terhadap kesimpulan- kesimpulan diatas.67
Secara gramatologi memang ada perbedaan yang mendasar antara mengungkap agama sebagai salah satu motif pemicu tindak terorisme, dengan mengungkap agama sebagai salah satu tipologi dari tindak terorisme. Perbedaan tersebut bisa dijelaskan dengan kriteria makna pasif dan aktifnya yang ada di dalam kedua kalimat tersebut. Ketika agama diungkap sebagai salah satu motif yang seringkali memicu tindak terorisme, maka sejahat apapun agama dalam sisi ini, tetap saja agama hanya berperan pasif, sebagai faktor implisit dari adanya tindak terorisme.
Dengan adanya tuduhan bahwa Islam sebagai tipologi terorisme berarti menganggap agama tidak sekedar sebagi faktor implisit yang pasif, akan tetapi sebagai pemeran utama atau faktor eksplisit dari lahirnya berbagai drama teror yang ada. Oleh karena itu, kalau kesimpulannya sebagaimana diatas akan tetap bersinggungan dengan berbagai fanatisme umat keagamaan manapun, baik Nasrani, Islam, Yahudi, dan lain sebagainya.68
67 Xxxxx Xxxxxx, Xxxbongkar Jaringan Terorisme Internasional, (Jakarta: Taramedia, 2002), hlm 5.
68 Xxxx Xxxxxxxxxxxxx, Teror Atas Nama Agama…, hlm. 171.
BAB III
KENDALA DAN PROBLEMATIKA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME
A. Kendala-Kendala dalam Penanggulangan Terorisme
Sebagai tindak pidana yang tergolong Extra Ordinary Crime, penanggulangan tindak pidana terorisme tidak semudah memutar-balikkan telapak tangan. Ada banyak kendala yang menjadi faktor penghambat penanggulannya. Xxxx Xxxxxx Xxxxxxxx memaparkan beberapa Faktor tersebut sebagai berikut:69
1. Tingkat kecerdasan para pemimpin utama dan para anggotanya tergolong cerdas dan xxxxxx.
2. Tindakan teror bisa terjadi atau timbul dalam kondisi masyarakat yang aman ataupun negara dalam keadaan tidak stabil.
3. Tindakan teror tidak semata monopoli para pelaku sipil akan tetapi dapat berasal dari negara (state terrorism).
4. Para pelaku teror umumnya mempunyai loyalitas dan dedikasi sangat tinggi terhadap perintah pemimpinnya serta memegang teguh azas kerahasiaan organisasinya.
5. Jejak para pelaku teror beserta jaringan atau organisasinya sulit dideteksi.
69 Xxxx Xxxxxx Xxxxxxxx, Who is The Real Terrorist? Menguak Mitos Kejahatan Terorisme,
(Yogyakarta: elMatera Publishing, 2007), hlm. 62.
6. Sasaran atau target yang dipilih biasanya bersifat acak atau random dan memiliki nilai vital atau strategis tanpa mempertimbangkan nilai kemanusiaan serta korban yang ditimbulkan.
7. Kemungkinan mempunyai jaringan dengan kejahatan terorganisasi dan bersifat transnasional.
8. Khusus state terrorism, para pelakunya sulit diadili atau bahkan mustahil dijerat dengan hukum yang berlaku, karena biasanya ditopang oleh legitimasi kekuasaannya dan bersembunyi di balik piranti yuridis yang dibuat oleh negara sendiri untuk mengabsahkan tindakan teror atau tindakan represifnya.
9. Para pelaku teror biasanya menggunakan teknologi canggih seperti senjata kimia, biologi, dan bahkan nuklir.
10. Upaya pemberantasan tindakan teror kurang didukung oleh kualitas aparat penegak hukum yang bail dan fasilitas yang kurang memadai.
Menurut Mayjen TNI Xxxx Xxxxx Xxxxx, kendala utama dalam penanggulangan terorisme adalah masih belum optimalnya strategi penanggulangan guna memperoleh hasil yang komprehensif.70 Disamping itu, Xxxx Xxxxx Xxxxxxxx juga sempat menuturkan bahwa ada kendala yang bersifat sistemik dari masyarakat yakni dengan munculnya konspirasi bahwa terorisme merupakan mega proyek yang sengaja dipelihara. Konspirasi tersebut menggugah
70 Diolah dari hasil wawancara dengan Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Xxxx Xxxxx Xxxxx di Jakarta, 25 Februari 2015.
kepercayaan masyarakat terhadap negara dalam keseriusan menanggulangi terorisme.71
Demikian halnya dengan keberadaan unit dan satuan pencegahan serta penanggulangan terorisme yang tersebar di beberapa institusi juga menjadi kendala rantai koordinasi yang belum padu di tingkat lapangan. Dapat dikatakan bahwa institusi keamanan nasional, secara kemampuan represif, mempunyai keunggulan dibandingkan dengan jaringan terorisme, tetapi sulit untuk menjangkau pembangunan ideologi dan perkembangan dinamik jaringan terorisme.72
Kendala lain dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme adalah belum adanya pembinaan yang menjamin dapat mengubah pemikiran radikal menjadi moderat. Sementara itu masih lemahnya sistem pengawasan terhadap peredaran berbagai bahan pembuat bom, menyebabkan para teroris masih leluasa melakukan perakitan bom yang jika tidak terdeteksi dapat menimbulkan kekacauan di pelbagai tempat.
Program deradikalisasi yang belum berjalan optimal juga menjadi hambatan tersendiri. Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx sempat meminta hal ini dicantumkan di dalam undang-undang. Menurutnya, Deradikalisasi selayaknya termaktub dalam UU sehingga lebih jelas, termasuk dalam pembiayaan dan institusi mana yang berwewenang. Faktor lain, lanjut dia, adalah masalah pemahaman aqidah yang
71 Dikutip dari “BNPT: ISIS dan Teroris Bukan Teori Konspirasi,” xxxx://x.xxxxxxx.xxx/xxxxxx/00000/xxxx-xxxx-xxx-xxxxxxx-xxxxx-xxxxx-xxxxxxxxxx.xxxx. diakses 2/3/2015.
72 Diolah dari hasil wawancara dengan Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Xxxx Xxxxx Xxxxx di Jakarta, 25 Februari 2015
keliru bahwa aksi terorisme bagian dari jihad. Belum ada tokoh yang mampu mempengaruhi dan melakukan pendekatan terhadap beberapa tokoh yang memang terus melakukan kegiatan penggalangan termasuk dalam penahanan. Faktor sosial juga menjadi hambatan Polri susah mencegah aksi terorisme. Xxxxx pun meminta kesadaran masyarakat untuk membantu hal ini. Lemahnya kesadaran masyarkat dan kurang aktifnya kegiatan RT/RW, pasifnya partisipasi masyarakat dalam menuntaskan terorisme, faktor geografis terutama wiayah yang sulit ditembus.73
Saud juga menyatakan, salah satu hambatan penanggulangan terorisme adalah belum optimalnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut disebabkan fungsi koordinasi belum sampai pada tingkat pimpinan Kementerian/Lembaga dan aturan hukum yang mengatur fungsi koordinasi penanggulangan terorisme masih pada tingkat Peraturan Presiden. Selain itu, jumlah personil BNPT yang terbatas menyebabkan terjadinya hambatan dalam menjalankan tugas. Ia menyebutkan, saat ini pemenuhan kebutuhan personil, baru sampai pada jajaran pimpinan eselon I hingga IV (55 orang). Sedangkan kebutuhan personil pada jajaran pelaksana sebanyak 148 orang. Sedangkan sampai saat ini baru dapat terisi sebanyak 51 personil yang dilaksanakan mulai pengadaan pegawai tahun 2013-2014. Sehingga kemudian BNPT akan tetap mengusulkan penambahan pegawai kepada Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mengisi formasi jabatan pada jajaran
73 xxxx://xxxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/000000/00/xxx-xxxxxxxx-xxxxx-xxxxx-xxxx-xxxxxxxxx- 1379313133, diakses 02/03/2015
pelaksana. Ia menambahkan, saat ini belum ada perwakilan BNPT untuk melaksanakan pencegahan aksi terorisme di daerah.74
Berdasarkan faktor tersebut, pemerintah dituntut untuk membangun kerjasama internasional baik yang bersifat bilateral ataupun multilateral di pelbagai bidang dalam pemberantasan terorisme. Langkah tersebuh harus pula disokong dengan fasilitas dan budaya hukum yang baik. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah terkait kinerja dan integritas aparat penegak hukum. Mereka yang memiliki kualitas dan moralitas kurang baik, hanya akan memperburuk suasana dan akan berdampak pula pada buruknya penanganan kasus-kasus terorisme. Tak mustahil dalam proses penegakan hukum, peluang terjadinya pengingkaran terhadap nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) akan semakin besar.
Beda halnya Xxxxxxxx Xxxxxxxx (Wakil Sekretaris Jenderal MUI) bahwa kendala utama dalam penanggulangan terorisme adalah adanya aspek conspiration of terrorism. Hal tersebut berikibat pada timbulnya sikap apriori dari masyarakat untuk melakukan upaya-upaya pencegahan.75 Sementara menurut Xxxx Xxxx Xxxxxx (Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), telah terjadi ketidak percayaan masyarakat terhadap negara terkait adanya Isu terorisme. Ketidak percayaa tersebut muncul dari ketidak seriusan negara dalam mengatasi terorisme yang lebih mendahulukan langkah-langkah impresif daripada prefentif. Padahal,
74 xxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/000000/xxxx-xxxxx-xxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxxxxxx- tugasnya, diakses 02/03/2015.
75 Diolah dari hasil wawancara dengan Wakil Sekretaris Jenderal MUI Xx. X. Xxxxxxxx Xxxxxxxx, M.A. di Jakarta, 14 Juni 2016.
jika negara lebih memprioritaskan langkah-langkah prefentif, niscaya gejala terorisme dapat diatas hingga ke akarnya. 76
Berdasarkan uraian diatas, dalam proses penanggulangan terorisme masih kurang optimal dari beberapa aspek. Dari segi internal, upaya pemerintah kurang didukung oleh kualitas aparat dan fasilitas yang canggih. Demikian halnya terdapat kekurang paduan antar satuan pencegah terorisme serta belum adanya program deradikalisasi yang menjamin insafnya para napi terorisme. Sedangkan dari segi eksternal (dari masyarakat), dapat dilihat dari sikap apriori masyarakat untuk mendukung negara guna melakukan langkah-langkah prefentif. Hal tersebut sebagai implikasi dari adanya teori konspirasi terorisme yang berujung pada ketidak percayaan masyarakat terhadap negara.
Dimensi lain yang perlu dicermati adalah pelaku terorisme atas nama negara (state terrorism). Negara lewat legitimasi kekuasaannya dan dengan dalih kepentingan nasional, dapat saja melibas, melenyapkan atau membatasi ruang gerak kelompok tertentu yang tidak sejalan dengan kebijakan negara. Terorisme negara selalu menggunakan piranti yuridis untuk mengabsahkan tindakan represifnya. Dengan demikian, klaim terorisme sejatinya kurang tepat dan tidak adil jika hanya ditujukan terhadap kelompok non-negara, karena negara dapat saja menjadi aktor utama dalam melakukan kejahatan terorisme. Terorisme jenis inilah yang kemudiam sangat sulit untuk dikendalikan.
76 Diolah dari hasil wawancara dengan Ketua Umum PBNU Prof Dr XX Xxxx Xxxx Xxxxxx di Jakarta, 17 Juni 2016.
B. Problematika Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme
Sebelum peristiwa 11 Seprtember 2011 dan bom Bali 12 Oktober 2012, terorisme tidak dianggap sebagai isu keamanan yang sangat penting bagi negara- negara asia, termasuk Indonesia. Meskipun tidak lepas dari aksi teror yang berkaitan dengan masalah-masalah internalnya, terorisme dianggap sebagai ancaman tingkat biasa yang terus menerus. Namun demikian, pasca bom Bali, isu tersebut kemudian melompat masuk ke dalam wacana perang Global melawan terorisme. Meskipun kadang secara publik tidak ingin membangun kesan mengikuti Amerika, banyak dokumen keamaan nasional baru yang kemudian dibangun berdasarkan formasi diskursif yang diletakkan oleh Gedung Putih.
Tahun 2003, setahun setelah peristiwa bom Bali, Buku Putih Pertahanan Indonesia menempatkan terorisme—dan bahkan radikalisme—sebagai salah satu ancan terhadap keselamatan negara.77 Tentu saja hal tersebut sah-sah saja dilakukan oleh negara yang mengalami peristiwa bom Bali. Namun demikian, masuknya terorisme sebagai “ancaman eksistensial” dalam teks/pernyataan tersebut, menurut Xxxxxxx Xx Banna, hanya bagian kecil dari proses sekuritisasi yang terjadi terhadap terorisme.78
Istilah sekuritisasi dapat dilacak ke mazhab Kopenhagen dalam studi keamanan. Secara sederhana, sekuritisasi adalah sebuah speech act yang dilakukan oleh securitizing actor (aktor pendorong sekuritisasi) untuk mengangkat sebuah isu dari ranah “politik rendah” yang diikat dengan aturan
77 Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Buku Putih Pertahanan Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, 2003.
78 Xxxxxxx Xx Banna, Membentangkan Ketakutan: Jejak Berdarah Perang Global Melawan Terorisme, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2011), hlm. 145.
demokratis dan prosedur-prosedur pengambilan keputusan ke arah “politik tinggi” yang dicirikan dengan urgensi, prioritas, dan persoalan hidup-mati.79 Dengan melakukan sekuritisasi, representasi dari negara dapat mengklaim hak-hak, wewenang, dan kekuasaan khusus untuk melakukan apa saja yang dianggapnya perlu untuk mencegah ancaman tersebut.80 Hal ini dilakukan dengan menekankan bahwa jika kekuasaan istimewa tersebut tidak diberikan dan mereka tetap harus mengikuti prosedur demoktratis serta menaati hukum dan HAM, negara akan dipertaruhkan keberlangsungan hidupnya.81
Sebagian pengamat mengatakan bahwa di Indonesia belum terjadi sekuritisasi karena pemberantasan teroris masih di tangan kepolisian, melainkan masih mendorong sekuritisasi dan mengharuskan TNI masuk atas nama Operasi Militer selain perang. Namun, jika melihat wacana yang dilontarkan oleh kepolisian, BIN atau BNPT, sangat jelas bahwa sekuritisasi telah terjadi. Dengan mengklaim bahwa terorisme adalah ancaman eksistensial—Menteri pertahanan, dalam laporan Kontras, bahkan tercatat pernah mengungkapkan bahwa memberantas teroris di Indonesia seperti perang Irak, kemanusiaan tidak menjadi prioritas karena sulitnya situasi82—pemberantasannya dilakukan secara militeristik (meskipun oleh polisi) dengan menggunakan kekerasan yang tak
79 Rens van Munster, Logics of Security: The Copenhagen School, Risc Management adn the War on Terror, (Denmark: Politicak Science Publications, University of Southern Denmark, 2005), hlm. 3.
80 Xxx Xxxxxx, “Securitization and Desecuritization,” dalam Xxxxxx X Xxxxxxxxx (ed.), On Security, (New York: Columbia University Press, 1995), hlm. 54.
81 Xxxx Xxxxxxx, “Securitization Theory and Securitization Studies,” Journal of Internastional Relations and Development, (9), 2006, hlm. 55.
82 Xxxxx Xxxxxxx, “Enforced Disappearances, Summary, and Extra-Judicial Killings Inside Indonesia’s Counter Terrorism Laws, Policies, and Practices,” dari xxxx://xxx.xxx.xxx/XXX/XXXXXXXXxxxxxxxxx.xxx.
proporsional. Lebih jauh lagi, proses sekuritisasi masih terus berlangsung, dimana aktor-aktor keamaan bersaing untuk memperebutkan hak-hak dan wewenang istimewa yang diperoleh dari proses sekuritisasi tersebut.83
Secara teoritis, proses sekuritisasi sangat rawan untuk menjadi kendaraan bagi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive force), penciptaan mitos (myth-making), atau dalam bahasa Xxxxx Xxxxxx Xxxxx dan Xxxxxxx X.X. Xxxxx sebagai “perluasan instrument pemerintahan otoritarian serta semakin erat membatasi ruang public dan ruang politik atas nama memerangi terorisme.”84 Dengan memahami konsep tersebut dapat dimengerti mengapa kematian para terduga teroris justru dirayakan sebagai keberhasilan oleh pelbagai pihak. Dalam konteks ini, sekuritisasi sedang berlangsung dan masih terus berlangsung. Jejak-jejak yang ditimbulkan oleh securitisasi tersebut menciptakan kerusakan dalam dunia fisik/material dan bahkan aspek mental masyarakat.
Banyak data menunjukkan terjadinya extra-judicial killing, penyiksaan, penculikan ataupun salah tangkap sebagai dampak langsung dari adanya sekuritisasi tersebut. Penyerangan selama 17 jam di Temanggung, 8 Agustus 2009 yang diduga sebagai Noodin X. Top, ternyata Xxxxxxx alias Xxxx (tukang bunga).85 Kejadian lain menimpa Sigit dan Xxxxxx Xxxxxxx (Pedagang) yang ditembak mati dan diklaim melakukan perlawanan, padahal waktu itu terduga dalam keadaan tangan kosong. Kejadian yang terjadi pada 14 Mei 2011 di
83 Xxxxxxx Xx Xxxxx, Membentangkan Ketakutan…, hlm. 147.
84 Ibid., hlm . 151.
85 Ibid., hlm. 152.
Sanggrahan, Grogol Sukoharjo tersebut juga menewaskan saksi Xxx Xxxx (pedagang Angkringan). Ironisnya, tidak ada kejelasan tentang keterlibatan mereka dengan terorisme.86
Demikian halnya dengan yang terjadi kepada Xxxxxxx atau Xxxxx alias Xxx dan Xxxxx atau Eko di Jalan Pahlawan, Kota Tulungagung pada 22 Juli 2013 oleh personel Densus 88 Antiteror yang melakukan penembakan terhadap dua terduga teroris tersebut padahal saat itu dalam kondisi tidak berdaya.87 Masih pada tahun 2013, kasus penembakan terhadap seorang warga Poso Sulawesi Tengah, korban yang diduga teroris, padahal yang terduga tidak membawa senjata mematikan, ditembak hingga tewas oleh Xxxxxx 88.88
Pada hari Selasa 29 Desember 2015, Xxxxxx 88 membekuk kedua terduga teroris yaitu Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx warga Semanggi RT 01/07 Kelurahan Semanggi, Solo, Jawa Tengah dan Xxx Xxxxxxx alias Xxxxxx xxxxx jalan Xx. Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxx, RT 04/06 Kelurahan Bumi, Laweyan, Solo, Jawa Tengah di sekitar Hotel Paragon. Setelah penangkapan tersebut, The Islamic Study And Action Center (ISAC) mengadukan adannya kekerasan yang dialami oleh kedua orang terduga teroris yang masih di bawah umur (kelas 2 SMAN) oleh Xxxxxx. Sekretaris ISAC, Xxxxx Xxxxxxxxx mengatakan dari pengaduan orang tua Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx pada ISAC, bahwa kondisi siswa kelas 2 MAN Jamsaren yang
86 Ibid., hlm. 153.
87 Menurut data Komnas HAM, sejauh ini sudah sekitar 110 korban yang ditembak mati Xxxxxx 88/Antiteror tanpa proses pengadilan. Data tersebut dapat dilacak pada “Komnas HAM: Penembakan Terduga Teroris Tulungagung Langgar HAM” dalam xxxx://xxxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/0000000/Xxxxxx.XXX.Xxxxxxxxxx.Xxxxxxx.Xxxxxx x.Xxxxxxxxxxx.Langgar.HAM, diakses 29/9/2014.
88 xxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxx/0000/00/00/xxxxxx-00-xxxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxxxx- ham-sepanjang-2013 diakses 29/9/2014.
dianggap Densus terlibat dalam jaringan teroris Ibad ini di tahanan dalam kondisi babak belur. 89
Sedangkan untuk Xxxxxx, dari informasi yang diperoleh ISAC, ternyata tak bisanya Xxxxxx berjalan dan terpaksa merangkak dikarenakan saat pemeriksaan Xxxxxx mendapatkan kekerasan fisik. Xxxxxx diminta untuk tidur terlentang, pahanya diletakkan balok, dimana diatas balok ditaruk kayu, kemudian kayu itu diinjak berulang-ulang. Tidak berhenti di situ, di dalam baju Xxxxxx dipasangkan sesuatu dan Xxxxxx-pun dipukuli bahkan ditendang berulang-ulang hingga bagian Ulu hatinya sakit. Bahkan Xxxxxx mengaku saat itu sampai terkencing- kencing.90
Selain kasus-kasus tersebut, hal yang tak kalah penting adalah upaya menebar keresahan di tengah masyarakat, misalnya dengan adanya spanduk ajakan menolak pemulangan dan pemakaman jenazah “teroris.” Jika berkaca pada kejadian Solo September 2009, spandung-spandung yang terpampang di beberapa tempat digunakan untuk memprovokasi warga. Faktanya, tidak ada satupun warga yang tahu siapa yang memasang spanduk tersebut.91
Belum lagi nasib para istri “teroris” yang kini hanya bisa menggantungkan uluran tangan dari dermawan. Dengan kematian suami mereka dan beberapa ditahan, kini mereka harus terkatung-katung mengurus anak dan menghidupi keluarga tanpa adanya penghasilan apapun yang mereka dapat dan tidak ada
89 xxxx://xxxx.xxxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/000/0000000/xxxxx-xxxxxxx-xxxxxxx-xx-xxxxx- umur-disiksa-densus-88 diakses 17/01/2016.
90 Ibid.
91 “Awas! Terorisme (Negara) belum Berakhir,” Majala Isra’ PUSHAM UII, edisi 13 November 2009, hlm. 10
kompensasi apapun dari negara. Menurut Xxx Xxxxxxxx, kondisi istri-istri “teroris” merupakan penghilangan hak ekosob oleh negara. Sebab, selain masalah ekonomi yang membelit mereka setelah suami mereka dibunuh dan ditahan, mereka juga harus menanggung keterasingan akibat pengucilan di masyarakat. Disinilah kemudian harusnya negara mengambil peran untuk melindungi dan memenuhi hak-hak mereka.92
Menurut Xxxxxxxx, proses Law enforcement terhadap terorisme harus juga mengindahkan adanya asas equality before the law (persamaan di depan hukum), sehingga adanya tindakan-tindakan yang tidak diinginkan seperti extra-judisial killing sangatlah kontra-produktif dengan asas tersebut. Dalam catatan beliau, terdapat sekitar 120 korban pembunuhan di luar pengadilan yang sudah dilakukan negara terhadap “terduga” terorisme.93
Xxxx. Xxxxxx memberikan catatan bahwa walaupun tindak pidana terorisme dipandang sebagai extra ordinary crime dan mengharuskan tindakan yang juga luar biasa (extra ordinary measure), prinsip-prinsip HAM tidak boleh diabaikan dalam proses penegakan hukumnya.94 Pemberantasan terorisme harus didasarkan pada kerangka perlindungan HAM. Dengan demikian, sangatlah tidak tepat jika atas nama penegakan hukum—guna penanggulangan terorisme—terjadi
92 Ibid.
93 Diolah dari hasil wawancara dengan Wakil Sekretaris Jenderal MUI Xx. X. Xxxxxxxx Xxxxxxxx, M.A. di Jakarta, 14 Juni 2016.
94 Xxxxxx, “Penanganan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus”, Makalah seminar Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia, Jakarta: 28 Juni 2004, hlm. 1 yang dikutip oleh Xxx Xxxxxx, Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 153. Ari menambahkan, walaupun dampak dari tindak pidana terorisme sangatlah besar, prinsip-prinsip HAM haruslah ditegakkan dalam rangka melindungi hak-hak tersangka/terdakwa dalam setiap tahapan proses hukum, apalagi statusnya masih terduga.
peminggiran, pembatasan, dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Titik keseimbangan antara kebutuhan untuk menciptakan keamanan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia harus dirumuskan secara proporsional.
UU No. 15 tahun 2003 yang mengesahkan Perpu No. 1 tahun 2002 menjadi UU pasal 28, memberikan kewenangan bagi penyidik untuk menangkap orang dengan bukti permulaan selama 7 x 24 jam. Diperjelas kemudian pada pasal sebelumnya, pasal 26, bahwa untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup penyidik dapat menggunakan laporan intelijen, namun harus melalui proses pemeriksaan oleh ketua atau wakil ketua Pengadilan Negeri. Pada prakteknya sering terjadi tindakan berlebihan dari aparat saat melakukan pengkapan berupa kekerasan bahkan banyak yang mengakibatkan kematian.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menuturkan beredarnya video kekejaman Densus 88 saat melakukan penangkapan terhadap terduga teroris, merupakan tindakan kesewenang-wenangan aparat yang tidak memiliki nilai kebangsaan. Seharusnya dalam SOP (standard operating procedure), Densus lebih mengedepankan nilai pluralis dan kemanusiaan, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan tindakan kekerasan dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh Xxxxxx tidak akan terjadi lagi.95
Secara teoritik, dalam hukum pidana terdapat asas presumption of innocence yang menjamin hak-hak tersangka (apalagi terduga) yang secara lebih rinci diatur dalam penjelasan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pasal 18 ayah (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan pasal 8 UU
95 Diolah dari hasil wawancara dengan Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Xxxx Xxxx Xxxxxx di Jakarta, 17 Juni 2016.
No. 38 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tidak seorangpun, diberikan wewenang untuk menghakimi dan menyatakan tersangka bersalah, apalagi sampai melakukan tindakan-tindakan tidak manusiawi, sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya. Oleh karena itu tersangka diberi jaminan hukum yang diperlukan untuk melakukan pembelaan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Demikian halnya jika merujuk pada ketentuan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) mulai dari pasal 3 sampai pasal 12, tampak jelas adanya perlindungan terhadap hak perseorangan, hak legal, sipil dan politik yang meliputi:
1) Hak untuk hidup, hak kebebasan dan keamanan;
2) Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
3) Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan maupun hukuman yang kejam, tidak berperikemanusiaan, ataupun merendahkan derajat kemanusiaan;
4) Hak untuk memperoleh pengakuan hukum di mana saja secara pribadi;
5) Hak atas pengampunan hukum secara efektif;
6) Hak bebas dari penangkapan, penahanan, atau pembuangan dari sewenang-wenang;
7) Hak atas peradilan yang independen dan tidak memihak;
8) Hak untuk diperlakukan sebagai tak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya;
9) Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat;
10) Hak untuk bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik;
Terkait laporan intelijen, Xxxxxx Xxxx Mahendra berpendapat bahwa semestinya tidak semua laporan dapat diajukan sebagai bukti permulaan, melainkan terbatas pada laporan intelijen yang bersifat faktual dan disampaikan secara kelembagaan bukan analisis atau perkiraan intelijen.96 Namun demikian, pendapat tersebut tidak dinyatakan secara tegas dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dengan pengaturan yang tidak jelas tersebutlah penyalahgunaan dan kesalahan dalam pemeriksaan laporan intelijen dapat berakibat pada pelanggaran hak hidup yang merupakan salah satu HAM yang tidak dapat dibatasi (non- derogable right). Hal tersebut disebabkan secara aplikatif, seringkali bukti permulaan dijadikan sebagai legitimasi Densus 88 dalam melakukan tembakan terhadap orang yang diklaim “terduga” teroris dengan alasan kondisi darurat.
X. Xxxxx Xxxxxx mengungkapkan bahwa problem tersebut sebenarnya tidak terlepas dari akar penyebabnya antara lain ialah adanya perumusan delik terorisme dalam UU No. 15 tahun 2003 yang multitafsir dan tidak memenuhi doktrin hukum pidana nullum crimen nulla poena sine lege certa (lex crimina lex certa) dan nullum crimen nulla poena sine lege stricta (lex crimina lex sctricta) sebagai doktrin-doktrin yang merupakan penjabaran asas legalitas. Dengan mudahnya aparat terpancing untuk melakukan penembakan mematikan terhadap orang-orang
96 Pendapat tersebut penulis kutip dari Xxx Xxxxxx, Ibid., hlm. 155.
yang diduga terlibat jaringan terorisme padahal tidak ada tanda-tanda perlawanan saat hendak ditangkap. Demikian halnya masalah-masalah lain yang cenderung mengarah pada terjadinya pelanggaran HAM dalam penegakan UU Anti terorisme.97
Secara yuridis densus 88 memang memiliki otoritas dalam melakukan tindakan-tindakan yang bersifat repesif. Hal ini dapat dilihat dari kewenangan diskresi, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Selain dua UU tersebut, terdapat juga UU No. 15 tahun 2003 tentang Terorisme. Dalam keadaan memaksa setelah melalui berbagai pertimbangan obyektif dan apabila kondisi membahayakan aparat pelaksana atau orang lain yang berada di sekitar, maka tindakan koersif menggunakan alat kekerasan diperbolehkan.
Namun demikian, tindakan represif penegakan hukum oleh densus 88 yang selalu menjadi pilihan utama justru hanya akan melahirkan radikalisme baru dan gerakan baru yang sama besar potensinya dengan terorisme yang telah diganyang. Tindakan represif yang mewujud pada penggrebekan, penembakan, bahkan hingga meninggal, telah menjadi pilihan politik penegakan hukum tindak pidana terorisme oleh Polri. Cara-cara semacam ini telah menutup secara permanen penggalian informasi dari orang-orang yang diduga sebagai teroris.
Padahal pendekatan modern dan humanis dalam penangan terorisme sangat mungkin dilakukan. Pendekatan tersebut, justru akan membuka informasi yang lebih luas. Dengan bekal informasi yang luas dan akurat ini, upaya-upaya
97 X. Xxxxx Xxxxxx, “Anatomi Payung Hukum Penanggulangan Terorisme di Indonesia”, Kata Pengantar dalam Xxx Xxxxxx, Ibid., hlm. Vi.
penegakan hukum terorisme akan menyasar pada subyek dan obyek yang tepat. Cara ini pula diyakini akan mampu membuka akar soal secara lebih dalam termasuk pilihan langkah penanganannya secara holistik.
Pada prinsipnya proses perumusan UU Pemerantasan Tindak Pidana Terorisme menurut Xxxxx Xxxxxxxxxxx mengambil konsep keseimbagan berjarak (Equal Distance Concept) antara perlindungan terhadap kepentingan nasional (Primat National Defence), perlindungan bagi hak-hak tersangka/terdakwa— apalagi masih terduga (Primat Due Process of Law) dan perlindungan terhadap korban (Primat Victim’s Protection).98
Konsep tersebut secara teoritis memang searah dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Yang menjadi problem adalah pada penegakannya yang memang bermuara pada beberapa pasal yang sejak awal dianggap sudah mengandung masalah. Problem tersebut antara lain: definisi terorisme yang sangat longgar (Pasal 6 dan 7); pelibatan aparat intelijen di luar kepolisian (TNI dan BIN); termasuk penggunaan informasi intelijen sebagai bukti permualaan (Pasal 26 ayat 2); dan ancaman kebebasan sipil (Pasal 26). Di samping permasalahan tersebut, penegakannya yang seringkali tidak mengindahkan hak-hak terdakwa dapat menjadi UU tersebut sebagai faktor kriminogen.
Menurut Xxxxx Xxxxxxxx, ada 9 (sembilan) masalah sistem peradilan pidana yang bersifat kriminogen, meliputi: 1. Kriminalisasi yang tidak cermat 2. Diskresi yang tidak terpantau. 3. Tujuan pemidanaan yang tidak jelas. 4.
98 Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia, (Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002), hlm. 2. Dikutip dari Xxx Xxxxxx, Ibid., hlm. 153. Xxxxx juga dalam Xxxxx Xxxxx, xx.xx., Kejahatan Terorisme Persoektif Agama, HAM dan Hukum, hlm. 103.
Pemidanaan yang berorientasi pada pidana kemerdekaan. 5. Keterbatasan sistem peradilan pidaan. 6. Disparitas pidana. 7. Perhatian berlebihan terhadap korban. 8. Stigmatisasi. 9. Personalisasi.99
Dalam kajian hukum ada asas point d’interet point d’action yang menentukan bahwa barangsiapa yang merasa kepentingannya dilanggar, dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan.100 Sebagai konsekueksi dari dilanggarnya hak-hak kemanusiaan khususnya tersangka yang menjadi korban dari suatu tindak penyiksaan ataupun kesalahan dalam penegakan hukum, ada jaminan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapat kompesasi.
Hal tersebut dijelaskan dalam pasal 95 KUHAP:
1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau
99 Xxxxx Xxxxxxxx, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm. 186.
100 X. Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, “Asas Praduga Tidak Bersalah: Penerapan dan Pengaturannya dalam Hukum Acara Perdata,” dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 No. 3 September 2011, hlm. 454.
hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.
Secara prinsip, dalam melakukan suatu revisi ataupun pembaharuan hukum nilai-nilai yang terkandung di dalamnya harus jelas. Bukanlah pembaharuan apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja—atau bahkan lebih buruh—dari pada hukum sebelumnya.101 Perlu diperhatikan juga, upaya melakukan revisi terhadap UU Terorisme harus memperhatikan nilai filosofis yang bermuara pada prinsip-prinsip keadilan. Di samping itu terdapat nilai sosiologis, sebagai nilai yang mengandung tata nilai budaya di masyarakat. Demikian halnya dengan nilai yuridis yang menjadi ciri khas dari Negara yang
101 Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Cet. III, 2005), hlm. 29.
bernuansakan rule of law, sejauhmana revisi tersebut tidak menabrak norma- norma dasar suatu bangsa dan prinsip-prinsip HAM.102
Di samping melakukan revisi, merujuk pada pertimbangan resolusi PBB mengenai ”Crime trends and crime prevention strategis,” masalah strategis yang justru harus ditanggulangi ialah menangani masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial, baik secara langsung atau tidak yang dapat menimbulkan atau menumbuh- suburkan kejahatan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya penanggulangan kejahatan integral yang mengandung arti bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus juga dipandang sebagai bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy). Menurut Xxxxx Xxxxxx Xxxxx dipandang perlu untuk membina dan meningkatkan efektivitas ”extra legal system” atau ”informal system” yang ada dalam masyarakat dalam usaha penanggulangan kejahatan, antara lain kerjasama dengan organisasi sosial dan keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi volunteer yang ada di masyarakat.103
Demikian halnya kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan tindak pidana terorisme harus memperhatikan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi yang menempatkan kejahatan tersebut sering hanya merupakan faktor symtomatic/gejala saja.104
102 Pembagian nilai-nilai tersebut terinspirasi dari pendapat Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx. Beliau memposisikan tiga nilai tersebut sebagai tiga dasar yang memberikan posisi kemutlakan dalam pemberlakukan hukum pidana Islam. Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, “Eksistensi Hukum Pidana Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional,” dalam Xxxxxxxx Xxxx Xxxx, et. al., Hukum Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 241. Namun demikian, dalam tulisan ini penulis melakukan modifikasi.
103 Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana..., hlm. 49.
104 Ibid., hlm. 44
Berdasarkan uraian diatas, terdapat problematika sistemik di balik penanggulangan tindak pidana terorisme. Meminjam teori Xxxxxxxx Xxxxxxxx, problematika tersebut dapat ditelusuri melalui tiga komponen, yaitu struktur hukum, kultur (budaya) hukum dan substansi hukum.105
Struktur hukum adalah sebuah institusi atau lembaga yang melaksanakan atau menjalankan proses penegakan hukum itu sendiri termasuk proses-proses penegakan hukum yang ada didalamnya. Pada ranah ini terdapat proses sekuritisasi yang berdampak langsung pada terjadinya extra-judicial killing, penyiksaan, penculikan ataupun salah tangkap penghilangan hak ekosop terhadap istri-istri “teroris”. Problematika tersebut hanya akan melahirkan radikalisme baru dan menutup permanen penggalian informasi jaringan terorisme.
Demikian halnya ada upaya menebar keresahan di tengah masyarakat, misalnya dengan adanya spanduk ajakan menolak pemulangan dan pemakaman jenazah “teroris” serta sikap apriori masyarakat terhadap upaya penanggulangan terorisme masuk pada ranah kultur hukum. Sebab, budaya hukum dianggap sebagai suatu sikap manusia dan masyarakat umum terhadap suatu fenomena hukum.
Problem substansi hukum dapat dilihat dari perumusan delik terorisme dalam UU No. 15 tahun 2003 yang multitafsir serta tidak memenuhi doktrin hukum pidana nullum crimen nulla poena sine lege certa (lex crimina lex certa) dan nullum crimen nulla poena sine lege stricta (lex crimina lex sctricta) sebagai doktrin-doktrin yang merupakan penjabaran asas legalitas.
105 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, America Law: An Introduction, diterjemahkan oleh Xxxxx Xxxxxx, (Jakarta: PT. Xxxxxxxx, 1984), hlm. 6-7.
C. Tafsir Sosial Tindakan Terorisme
Beragam tafsir bermunculan dalam menyikapi isu terorisme. Xxxx Xxxxx memandang ada yang menarik dengan isu terorisme di Indonesia. Merebaknya isu terorisme di media selalu indentik dengan pengalihan isu politik. Bisa dilihat semisal pada bulan September 2005 dimana waktu itu marak terjadi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM, muncullah isu terorisme. Kemudian menjelang pilpres 2009 terjadi bom bunuh diri di XX Xxxxxxx dan Ritz Charlton Hotel Mega Kuningan. Kecurigaan muncul karena Mega Kuningan merupakan kawasan strategis dari segi bisnis dan perputaran uang dalam jumlah besar sehingga kemudian dengan peritiwa tersebut akan menarik simpati dari semua orang bahkan termasuk dunia internasional.106
106 Xxxx Xxxxx, “Bisnis Terorisme di Jagat Politik,” Majala Isra’ PUSHAM UII, edisi 10 Juli 2009, hlm. 36.
Demikian halnya dengan peristiwa serangan teror di Sarinah 14 Januari 2016 dimana Komisioner Komnas HAM, Xxxxx Xxxxxxxx, Komnas HAM melihat bagaimana ending dari peristiwa tersebut yang ternyata berujung kepada perubahan undang-undang terorisme dan penambahan anggaran Densus 88 hingga 1,9 trilliun rupiah. Menurutnya ini hanya ciptaan mereka-mereka yang ingin agar proyeknya terus berlanjut. Sebenarnya ini sebuah orkestra yang kemudian menghasilkan proyek. Ia berkeyakinan bahwa pola-pola ini adalah sesuatu yang memang sengaja diciptakan.107
Mantan ketua KPK Xxxxxx Xxxxxxxx juga menilai ada kepentingan proyek di belakangnya. Ia khawatir di balik isu terorisme ada proyek internasional atau proyek negara tertentu yang tidak ingin memecah belah sehingga sektor ekonomi dikuasai asing. Lihat saja perusahaan raksasa multinasional, kasus Freeport. Ia menganggap peristiwa tersebut lagu lama. Bahkan, dirinya mensinyalir gerakan radikal ini dibuat oleh aparat intelijen negara dengan tujuan mendepolitisasi peran umat Islam.108
Terkait dengan asumsi tersebut, terdapat konspirasi dari Xxxxx X’xxxx yang menyatakan fakta bahwa beberapa tokoh awal terorisme di Indonesia terlibat dengan Intelijen. Xxxxxx Xxxxx Xxxxx atau yang dikenal dengan Xxx Xxxxx, seorang tokoh GAM yang keluar kemudian menjadi juru kunci Jamaah Islamiah.
107 xxxx://xxxxxxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxxx-xxx-xxxxxx-xxx-xxxxxx-xxx-xxxx-xxxxxx- undang-terorisme-perlu-dievaluasi diakses 18/02/2016.
108 xxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxx-xxxxxxx-xx-xxxxxxxxx-xxx-xxxxx.xxxx diakses 17/02/2016
Bahkan ada kabar bahwa ia pernah menjalin komunikasi dengan adik Xxxxx xxx Xxxxx, Xxxxx xx-Xxxxxiri. Ternyata ia adalah seorang Intelijen.109
Menurut data yang diperoleh Xxxxx O’xxxx, Xxx Xxxxx mendapat surat khusus dari Intelijen untuk tugas khusus dari kepala intelijen Sumatera Utara. Pada tahun 1995 Xxx Xxxxx mendapat tugas untuk mengawasi GAM di Malaysia dan Swedia dan pada tahun 2002 ia mendapat SK sebagai BIN. Menurut Xxxx Xxxxx, awal Jamaah Islamiah di Indonesia memang tidak lepas dari peran penting Xxx Xxxxx yang menfasilitasi kongres pertama JI di Bogor. Namun kedoknya terbongkar dan Xxx Xxxxx meninggal secara misterius.110
Namun demikian, Xxxxx Xxxxxx Xxxxx (Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT) membantah bahwa setiap peristiwa terorisme merupakan konspirasi untuk menutup sebuah isu tertentu. Dia mencontohkan, bom di Thamrin Jakarta beberapa waktu lalu disebut-sebut untuk menutupi isu perpanjangan kontak Freeport, seperti yang beredar di tengah masyarakat. Menurut beliau kecurigaan tersebut tidak berdasar dan menegaskan adanya terorisme itu bukan akal-akalan atau buatan pemerintah. Terorisme, Lanjut beliau, berkaitan dengan kondisi politik suatu negara termasuk Indonesia. Terorisme, kata terjadi karena adanya radikalisme yang mengatasnamakan agama.111
109 “Mega BOM Kuningan: Bangkitnya Proyek Terorisme.” Majala Isra’ edisi 10 Juli 2009, hlm. 10.
110 Ibid.
111 Diolah dari hasil wawancara dengan Xxxxx Xxxxxx Xxxxx sebagai Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT di Jakarta, 22 Juni 2016.
Tafsir sosial terorisme yang berkembang selama ini dirasa begitu sepihak. Fundamentalisme sebagai kelompok utama yang bertanggung jawab atas pelbagai peristiwa bom pasca 11 September begitu diekspos besar-besaran oleh media Barat, sehingga komunitas mana pun yang berkaitan dan berhubungan bahkan “sama dalam pakaian formal” diklaim sebagai bagian dari arus fundamentalisme. Padahal, fundamentalisme sangat politis. Dalam Islam khususnya, arus fundamentalisme telah dipolitisasi oknum tertentu untuk memainkan politik kepentingan yang sepihak. Dengan demikian, klaim kebenaran yang sering diusung kaum fundamentalis, tidak hanya menyalahkan umat Islam yang tidak sepaham dengan an sich, namun yang lebih tragis adalah menyalahkan kaum agama lain yang dianggap merusak agamanya.
Gerakan fundamentalisme dan radikalisme sesungguhnya memiliki tafsiran dan tipikal yang majemuk tergantung pada pola pemaknaan seseorang dan dapat ditemukan dalam pelbagai kelompok masyarakat, tidak hanya didominasi dan dimonopoli oleh suatu komunitas—terutama kelompok agama—tertentu. Gerakan radikal sejatinya merupaka bentul verbal dari gerakan fundamentalisme itu sendiri.
Xxxxxxxx mengasumsikan bahwa terorisme atau tindakan radikal lainnya tidaklah bersifat tungggal melainkan akumulasi pelbagai faktor; sosial, ekonomi, politik, ketidakadilan dan diskriminasi. Semisal kebijakan negara yang tidak adil, keputusan diskriminatif, korupsi dan pengabaian. Hal-hal tersebut, langsung maupun tidak lagsung telah mengakibatkan meluapnya kesenjangan sosial,
ekonomi dan politik.112 Dengan demikian, Aparat penegak hukum harus melakukan tindakan hukum yang seadil-adilnya, transparan dan akuntabel. Sebab, jika tidak, hanya akan menimbulkan kontra-produktif; lahirnya teroris baru karena rasa dendam.
Meskipun demikian, adalah sebuah kamuflase jika agama seolah-olah “cuci tangan” dan merasa tidak ikut bertanggung jawab atas tragedi terorisme. Mustahil memisahkan secara diametral antara ajaran normatif agama dengan ekspresi pemeluknya. Tinjauan kritis sangat diperlukan untuk mengkaji doktrin-doktrin agam yang dimaknai semena-mena. Semisal tentang konsep kebaikan yang dilakukan umat beragama diklaim sebagai ekspresi ajaran doktrinalnya, sementara jika sebaliknya, agama menjadi tidak bertanggung jawab.
Hakekat dari tafsir ini terletak pada tatanan Agama dan terorisme secara realitas, memang telah terjadi “peselingkuhan.” Agama sudah terlanjur digunakan untuk menunjuk pada ketidakjujuran dan ketidaksetiaan. Padahal agama mengajarkan hal sebaliknya. Dengan demikian, dalam perselingkuhan terdapat untuk melanggar larangan, menabrak aturan, mengabaikan norma dan sebagainya. Seseorang yang menjadikan agama sebagai amunisi untuk melakukan teorisme pada dasarnya telah mendorong terjadinya perselingkuhan antara agama dengan pasangan yang tidak halal bernama terorisme.
112 Diolah dari hasil wawancara dengan Wakil Sekretaris Jenderal MUI Xx. X. Xxxxxxxx Xxxxxxxx, M.A. di Jakarta, 14 Juni 2016.
BAB IV
JUSTIFIKASI KEBIJAKAN NON-PENAL DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA TERORISME
A. Kebijakan Non-Penal Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme
Menurut G. P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan tiga pendekatan:113
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).
Selain criminal law application (kebijakan penal) masih ada dan dimungkinkan prevention without punishment (non-penal). Pendekatan non-penal dimaksudkan sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana lain selain hukum pidana (non-penal). Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan non-penal diorentasikan pada upaya-upaya untuk menangani faktor-faktor kondusif yang menimbulkan kejahatan.114
113 Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, cet. III 2005), hlm. 42
114 Xxx Xxxxxxx, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme: Sebuah Kritik atas Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 171.
Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan.115
Meminjam terminologi yang berlaku di dunia xxxxx, Xxxxxx membedakan berbagai tipologi tindakan pencegahan (prevention without punishment). Tipologi- tipologi tersebut antara lain sebagai berikut:116
a. Pencegahan primer (primary prevention) yang diarahkan baik pada masyarakat sebagai korban potensial maupun para pelaku-pelaku kejahatan yang masih belum tertangkap atau pelaku potensial.
b. Pencegahan sekunder (secondary prevention). Berbeda dengan yang pertama, pada bentuk pencegahan sekunder ini, tindakan diarahkan pada kelompok pelaku atau pelaku potensial atau sekelompok korban potensial tertentu. Sebagai contoh adalah dalam kaitannya dengan korban kejahatan perampokan nasabah bank, kejahatan perbankan kejahatan pencurian kendaraan bermotor.
c. Pencegahan tersier (tertiary prevention). Dalam hal ini pencegahan diarahkan pada jenis pelaku tindak pidana tertentu dan juga korban
115 Xxxxxx Xxxxx, Motivasi Tindakan Terorisme, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 163-
164.
116 Xxx Xxxxxxx, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme..., hlm. 171..
tindak pidana tertentu, misalnya recidivist offender maupun recidivist victim.
Secara konseptual, menurut beberapa ahli ada dua (2) pendekatan terkait dengan upaya non-penal penanggulangan terorisme, yakni deradikalisasi dan disengagement. Seperti pertanyaan yang diajukan oleh Xxxxxxx Xxxxx000, “Is it deradicalisation or disengagement possible?” memberikan gambaran tentang adanya kedua konsep tersebut. Untuk lebih detail penulis akan jabarkan kedua konsep tersebut sebagai berikut:
1. Deradikalisasi
Deradikalisasi sendiri berasal dari bahasa inggris deradicalization dengan kata dasar radical. Awal de memiliki arti opposite, reverse, remove, reduce, get off (kebalikan atau membalik). Mendapat akhiran –isasi dari kata –ize yang berarti cause to be or resemble, adopt or spread the manner of activity or the teaching of (suatu sebab untuk menjadi menyerupai, memakai atau penyebaran cara atau mengajari). Secara sederhana deradikalisasi dapat dimaknai suatu proses atau upaya untuk menghilangkan radikalisme.118
Secara lebih luas, deradikalisasi merupakan segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama dan sosial budaya bagi mereka yang dipengaruhi
117 Xxxxxxx Xxxxx, “Deradicalization or Disengagement of Terrorist : Is it Possible (March 2010), “ in Future Challenges in National Security and Law, edited by Xxxxx Xxxxxxxxx, xxxx://xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx.xxx diakses 22 Maret 2015
118 Xxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx, Deradikalisasi Terorisme, Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2009), hlm. 62.
paham radikal dan/atau pro kekerasan.119 Sedangkan dalam konteks terorisme yang muncul akibat paham keberagamaan radikal, deradikalisasi dimaknai sebagai proses meluruskan pemahaman keagamaan yang parsial dan sempit menjadi moderat, luas dan komprehensif.120
Secara teknis, di Indonesia, deradikalisasi merupakan program dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Xxxxx Xxxxx, selaku Direktur Deradikalisasi BNPT mengenalkan dua strategi pendekatan, yakni Hard Approach dan Soft Approach. Hard Approach, merupakan pendekatan dengan menekankan pada penjaminan keamanan dan penegakan hukum oleh militer dan polri, sedangkan Soft Approach yakni pendekatan yang komprehensif, persuasif, penuh kelembutan dan kasih sayang (deradikalisasi). Namun demikian, strategi kedua (Soft Approach) saat ini lebih ditekankan oleh BNPT, mengingat tindakan represif aparat terbukti tidak bisa menyelesaikan maraknya tindak kejahatan terorisme di Indonesia.121
Strategi deradikalisasi dipilih mengingat beberapa hal; Pertama, kejahatan terorisme bukanlah kejahatan biasa yang tidak cukup diselesaikan dengan membuat Undang-Undang, membentuk pasukan khusus anti teror, menangkap pelaku dan terakhir memberikan hukuman mati kepada mereka. Jauh dari itu, terorisme tersebut merupakan bentuk kejahatan yang lahir atas dasar paham radikal. Sehingga, perang terhadap ide atau paham radikal yang
119 Ibid., hlm. 63.
120 Xxxxxxxx, Meluruskan Salah Paham Terhadap Deradikalisasi Pemikiran, Konsep dan Strategi Pelaksanaan, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2012), hlm. 35-36.
121 Diolah dari hasil wawancara dengan Xxxx Xxxxx Xxxxx, Direktur Deradikalisasi BNPT di Jakarta, 25 Februari 2015.
mengakibatkan tindak kejahatan terorisme tersebutlah yang harus diutamakan (war of idea).
Kedua, pasca booming-nya isu Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kancah internasional, masyarakat dunia saat ini mengecam berbagai tindak kekerasan terhadap sesama atas dasar apapun, termasuk melawan kejahatan terorisme. Ketiga, jika dalam satu masa pemerintah dengan strategi represif mampu menumpas seluruh pelaku kejahatan terorisme, tidak ada garansi suatu negara akan bebas dari terorisme untuk selamanya. Bahkan dalam waktu 10-15 tahun yang akan datang bisa jadi wajah terorisme akan lebih berbahaya.
Alasannya cukup sederhana, di saat keturunan para teroris yang terbunuh sudah tumbuh dewasa, ketika spirit jihad telah terwariskan dalam diri mereka, kejahatan terorisme dipastikan akan lebih kejam. Bukan hanya jihad yang mendasari aksi mereka, melainkan juga motivasi balas dendam. Beberapa alasan di atas seolah ikut mengamini teori Xxxxxx Xxxx, yang dikutip oleh Xxxxxxxxxx,122 bahwa pemberantasan kejahatan dengan kekerasan tidak akan membuat kejahatan itu berhenti.
Secara konseptual, Irfan menambahkan123 bahwa dalam proses deradikalisasi terhadap pelaku kejahatan terorisme, BNPT secara garis besar mencanangkan tiga macam program pembinaan, yakni; pembinaan kepribadian, pembinaan kemandirian dan pembinaan preventif berkelanjutan. Pertama, pembinaan kepribadian yang terkait dengan mindset atau cara
122 Hendrojono, Kriminologi, Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum,( Surabaya: PT. Dieta Persada, 2005), hlm. 13.
123 Diolah dari hasil wawancara dengan Xxxx Xxxxx Xxxxx, Direktur Deradikalisasi BNPT di Jakarta, 25 Februari 2015
berpikir seorang narapidana teroris dan keluarga mereka yang radikal dan bertentangan dengan ideologi pancasila dan NKRI untuk kembali ke jalur yang bisa menerima dan diterima negara dan warganya. Dalam pembinaan kepribadian ini, BNPT menjadikan dialog dari hati ke hati sebagai strategi untuk mengubah doktrin yang sudah tertanam dalam mindset masing-masing individu.
Kedua, pembinaan kemandirian. Pembinaan kemandirian ini merupakan serangkaian proses yang bertujuan untuk membekali para narapidana terorisme dan keluarga mereka dari sisi mata pencaharian atau ekonomi. Pembinaan dilakukan dengan cara pemberian skill khusus untuk mengembangkan perekonomian kepada para narapidana terorisme dan keluarga mereka pasca mereka bebas dari masa penahanan dan dari ideologi terorisme.
Ketiga, Pembinaan preventif berkelanjutan. Pembinaan ini dimaksudkan agar masyarakat bisa mengidentifikasi dan mengantisipasi terhadap masuknya ideologi terorisme. Objek dalam pembinaan ini adalah masyarakat luas dalam bentuk pelatihan dan sosialisasi melalui berbagai institusi seperti organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda, LSM dan sebagainya.
Dari beberapa konsep besar program di atas, BNPT menelurkan beberapa program kerja yang telah dan akan dilaksanakan, antara lain: Pertama, resosialisasi mantan teroris dan keluarga. Kegiatan untuk mensosialisasikan kembali mantan teroris dan keluarga di tengah masyarakat melalui pendekatan- pendekatan khusus kepada tokoh masyarakat, agama, pendidikan, budaya,