SKRIPSI
SKRIPSI
PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK ATAS TANAH YAYASAN
OLEH:
XXXXX XXXXXXXXX H. B111 16 095
PEMINATAN PERDATA MURNI DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2021
HALAMAN JUDUL
PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK ATAS TANAH YAYASAN
Oleh:
XXXXX XXXXXXXXX H. B111 16 095
SKRIPSI
Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada Departemen Hukum Keperdataan Program Studi Ilmu Hukum
PEMINATAN PERDATA MURNI DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2021
ABSTRAK
XXXXX XXXXXXXXX H. (B111 16 095) dengan judul "Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Yayasan ". Dibawah bimbingan (Xxxxx Xxxxxxxx) sebagai Pembimbing I dan (Xxxxxxxxx Xxxx) sebagai Pembimbing II.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui keabsahan perjanjian kredit dengan jaminan hak atas tanah yayasan yang berasal dari tanah wakaf dan tanggung jawab organ yayasan apabila terjadi kredit macet. Dan untuk mengetahui pendapat perbankan terkait penerimaan jaminan dengan tanah wakaf dan juga menganalisis pertimbangan hakim jika masih ada pihak perbankan yang menerima jaminan benda wakaf.
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan undang-undang (Statue Approch), Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah undang- undang dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang dikaji. Adapun teknik pengumpulan data yaitu dengan cara membaca, mengkaji, merangkum data, mengutip buku-buku, menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan permasalahan, serta melakukan wawancara di Pengadilan Agama Maros dan Pengadilan Agama Pangakajene, pihak Perbankan BRI, BNI, SULSELBAR, dan MANDIRI.
Hasil penelitian ini, yaitu: 1) Mengenai keabsahan perjanjian kredit dengan jaminan tanah wakaf. Tanah wakaf itu terbagi atas dua, pertama, dari tanah wakaf, dan bukan tanah wakaf. Jika jaminan yang bukan berasal dari tanah wakaf tetap sah untuk di jadikan sebuah jaminan sedangkan jika tanah tersebut berasal dari tanah wakah tidak diperbolehkan Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Tanah wakaf tidak dapat dijadikan jaminan tapi ada beberapa praktisi memperbolehkan hal tersebut dengan syarat dalam akat perjanjian yang mereka buat tidak menghilangkan manfaat wakaf. Akan tetapi menurut penulis hal tersebut sama saja melanggar UU wakaf. Jika melakukan perkreditan perbankan juga memiliki aturan mengenai jamiman dimana jaminan tersebut harus disita meskipun tidak langsung terjadi penyitaan benda jaminan. 2) Mengenai tanggung jawab organ yayasan apabila perjanjian kredit macet. Organ yayasan tersebut wajib bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan tanah wakaf yang telah diamanahkan oleh nadzhir kepada yayasan untuk dikelola. Jika terjadi perbuatan menyimpang atau melanggar clausula yang halal dalam pemanfaatan tanah wakaf maka organ dari yayasan tersebut dapat dipidanakan sesuai dengan Pasal 70 (1) dan (2) UU Yayasan. No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diubah dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2004 menyatakan: “Setiap anggota Yayasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 akan dihukum 5 tahun (lima tahun) penjara jangka waktu.
Kata kunci: Jaminan, Kredit, Perjanjian, Tanah, Yayasan.
ABSTRACT
XXXXX XXXXXXXXX H. (B111 16 095) with the title "Credit Agreement Guaranteed Foundation Land Rights". Supervised by (Xxxxx Xxxxxxxx) as Advisor I and (Xxxxxxxxx Xxxx) as Advisor II.
The research aims to see the validity of the agreement with the guarantee of the foundation's land rights originating from the donated land and the responsibility of the foundation organs where bad credit occurs. And to find out banking approval, acceptance of guarantees, and to analyze judges' considerations if there are banks that receive guarantees of waqf objects.
This research was conducted through the statute approach (Statue Approch), namely the approach carried out by examining laws and regulations related to legal issues being studied. As for data learning techniques, namely by reading, reviewing, summarizing data, quoting books, reviewing statutory regulations, documents and other information related to problems, and conducting interviews at the Maros Religious Court and Pangakajene Religious Court, BRI Banking. BNI, SULSELBAR, and MANDIRI.
The results of this study are: 1) Regarding the validity of the credit agreement with the waqf land as guarantee. Waqf land is divided into two, first, from waqf land, and not waqf land. If the guarantee that does not come from the donated land is still valid to be used as a guarantee, whereas if the land comes from wakah land it is not allowed according to Article 40 of the Republic of Indonesia Law Number 41 of 2004 concerning Waqf, the donated land cannot be used as collateral but there are some practitioners allow this on the condition that in the agreement agreement they make does not eliminate the benefits of waqf. However, according to the author, this is tantamount to violating the waqf law. If you do a banking credit, it also has rules regarding security where the guarantee must be confiscated even though there is no immediate confiscation of the collateral. 2) Regarding the responsibility of the foundation organs if the credit agreement is bad. The organ of the foundation must be fully responsible for the management of the waqf land that has been entrusted by Xxxxxxx to the foundation to be managed. If an act deviates or violates a lawful clause in the use of the waqf land, the organ of the foundation can be criminalized in accordance with Article 70 (1) and (2) of the Foundation Law. No. 16 of 2001 concerning Foundations as amended by Law No. 28 of 2004 states: "Every member of the Foundation who violates the provisions of Article 5 will be sentenced to 5 years (five years) in prison term.
Keywords: Guarantee, Credit, Agreement, Land, Foundation.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Xxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Yayasan” untuk memenuhi persyaratan guna menyelesaikan program Sarjana Strata Satu di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Merangkai kata, membahas, dan menyatukannya menjadi kalimat merupakan suatu hal yang tak mudah. Untuk menjadi suatu karya ilmiah diperlukan proses yang relatif panjang, menyita segenap tenaga, dan pikiran. Hal ini membutuhkan kesabaran, kerja keras, motivasi, serta dukungan, dan doa dari orang-orang terkasih, juga bantuan dari banyak pihak.
Penulis menyadari, bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan Penulis untuk perbaikan dalam menyusun sebuah karya Xxxxxx yang lebih baik. Dalam kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih banyak dan penghargaan setinggi-tingginya kepada orang tuaku Bapak Muh. Xxxxx Xxxxxxxx dan malaikatku Xxxx Xxxxxxx yang telah melahirkan,
mengxxxx, dan mendidik dengan cinta, dan kasih sayang yang tulus. tak lupa pula untuk kedua sodaraku Adikku tercinta Xxxxx Xxxxxxxx dan Al Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, terima kasih sudah menjadi partner hidupku selama ini, dan Xxxxxxx yang satu-satunya yang masih hidup sampai sekarang Xxxxxxx xxxxxx kasih membuat aku selalu nyaman berada di dekatmu. Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof Xx.Xxxx Xxxxx Xxxx Xxxxxxxx.M.A. selaku Rektor Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Ir. Muh. Restu,Mp Selaku Wakil Rektor 1 Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Ir. Sumbangan Baja, M.Phil, Ph.D. Selaku Wakil Rektor 2 Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Drg. X. Xxxxxxx Xxxxx, X.Xxx. Selaku Wakil Rektor 3 Universitas Hasanuddin, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Muh. Xxxxxx Xxxxx, Ph.D Selaku Wakil Rektor 4 Universitas Hasanuddin beserta jajarannya.
2. Ibu Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxx, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Xx. Xxxxxxxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Xx. Xxxxxxxx Xxxxxx. S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
4. Bapak Xx. Xxxxxx, S.H., LL.M. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
5. Bapak Dr.Winner Sitorus, S.H.,M.H.,LL.M. selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang telah membantu memberikan saran dan arahan dalam membuat suatu judul yang unik, serta bimbingan dan ilmu kepada Penulis.
6. Bapak Xxxx. Xx. Xxxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H selaku Pembimbing Utama dan Ibu Xx. Xxxxxxxxx Xxxx X.X., M.H., X.Xx selaku Pembimbing Pendamping, terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala waktu, tenaga, pikiran, dan kesabaran dalam memberikan bimbingan, arahan, dan koreksi dalam penyusunan skripsi ini, hingga skripsi ini layak di pertanggung jawabkan.
7. Ibu Xx. Xxx Xxxxxxxx, S.H.,M.H selaku Penguji I dan Ibu Xx.
Xxxxxx S.H., M.H. selaku penguji II yang telah memberikan kritikan dan saran dalam seminar proposal dan ujian skripsi Penulis.
8. Bapak Xx. Xxxxx Xxxxx, SH.,M.Hum selaku penasehat akademik terima kasih banyak telah menjadi penasehat.
9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan ilmu, kedisiplanan, tutur kata, dan pemahaman kepada Penulis.
10. Seluruh staf Akademi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
yang telah banyak membantu dalam pengurusan berkas-berkas.
11. Xxxxx Xxx Xxxx Xxxxx, S.H.,M.H, Xxxxx Xxxxx, X.X.X., dan Ibu X.Xxxxx Sucia, X.X Xxxxx Pengadilan Agama Kabupaten Maros dan pangkajene telah meluangkan waktunya untuk menjadi narasumber.
12. Xxx Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxx, S.H., dan Xxx Xxxxxxxx Xxxx X.X., X.Xx Notaris di Kota Pangkajene, Provinsi Sulawesi Selatan, telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi kepada Penulis.
13. Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxx dan Bapak Sanca pegawai Bank BRI, BNI dan SULSELBAR di Kabupaten Pangkajene Provinsi Sulawesi Selatan yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi kepada Penulis.
14. Untuk Keluarga Besarku H. Unda Hanaping Tipu, dan Keluarga Besar Xxxxx Salinring.
15. Untuk sahabatku Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx dari kecil hingga sekarang, yang selalu mendukungku, membantuku dalam penulisan skripsi, memberi saran terbaiknya dan sekarang berada pada posisi yang berbeda, Terima kasih sudah menemaniku dan membantuku.
16. .Untuk Xxxxxx xxxxxx Xxxxx yang telah menjadi teman seperjuanganku dan sangat berperan penting dalam penulisan skrispiku terima kasih telah banyak berkorban.
17. Sahabat Toefl Xxx Xxxxxxxx Parasdiyah dan Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx yang selalu setia menemani dan menunggu di setiap kegiatanku.
18. Sahabat Xxxxxx Xxxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxx yang telah menghiburku saat pusing mengerjakan skripsi.
19. Kawan-kawan Penulis Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, X. Xxxxx Xxxxxx, Jivadevi X. Tenri Xxxxx, Xxxx Praditha Xxxxxxxxxx, Xxx Jumriana Warni, dan Riki Rezkih Handoko.
20. Seluruh Keluarga Besar Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Pangkep (IPPM) Pangkep sektor Universitas Hasanuddin.
21. Seluruh Keluarga Besar Diktum Angkatan 2016 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah berjuang bersama dalam berproses di Fakultas Hukum.
22. Teman-teman KKN Gelombang 102 Universitas Hasanuddin, Kota Parepare. Terkhusus Posko Lemoe Kelurahan Lemoe, Xxxx Xxxxxxxxxx Xxxxx, Ainin, Derisma , Xxxx, Xxxxxx, dan Reski.
23. Teman-teman seperjuangan dikeperdataan, yang telah berjuang bersama dalam proses belajar dalam bidang perdata.
24. Seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas semua bantuan dan doa yang diberikan, semoga Allah SWT melimpahkan berkah dan rahmat- Nya bagi kita semua.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
PENGESAHAN SKRIPSI iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iv
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
KATA PENGANTAR ix
DAFTAR ISI xv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
D. Kegunaan Penelitian 5
E. Keasliaan Penelitian 6
F. Metode Penelitian 6
BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN TANAH 9
A. Perjanjian 9
1. Pengertian perjanjian dan tujuan perjanjian 9
2. Asas-asas perjanjian 12
3. Syarat-syarat sah perjanjian 14
B. Perjanjian Kredit dan Jaminan 23
1. Pengertian perjanjian kredit dan tujuan pemberian kredit 23
2. Lahirnya perjanjian kredit 26
3. Bentuk perjanjian kredit dan jaminan kredit 27
4. Pengertian jaminan 32
5. Penggolongan jaminan 33
6. Asas-Asas hukum jaminan 38
7. Syarat-syarat dan manfaat benda jaminan 39
C. Hak Tanggungan 40
1. Pengertian hak tanggungan 40
2. Dasar Hukum Hak Tanggungan 41
3. Asas-asas Hak Tanggungan 42
4. Subjek dan Objek Hak Tanggungan Atas Tanah 43
5. Eksekusi Hak Tanggungan Atas Tanah 49
6. Peralihan Dan Hapusnya Hak Tanggungan 53
D. Wakaf dan Yayasan 54
1. Pengertian wakaf 54
2. Rukun Wakaf 55
3. Syarat-syarat wakif (pemberi wakaf) 57
4. Ruang lingkup jenis harta benda wakaf 59
5. Pengertian yayasan 62
6. Tujuan pendirian yayasan 62
7. Cara mendirikan yayasan 64
E. Keabsahan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan
Tanah 69
BAB III TANGGUNG JAWAB ORGAN YAYASAN APABILA KREDIT MACET 82
A. Tanggung Jawab Badan Hukum 82
1. Pengertian badan hukum 82
2. Bentuk-bentuk badan hukum 83
3. Tanggung jawab badan hukum 84
B. Wakaf dan Organ Yayasan 84
1. Benda wakaf dan pengelolaan benda wakaf 84
2. Yayasan dan Anggaran dasar yayasan 87
3. Organ yayasan & tanggung jawab organ yayasan .88
C. Hapusnya Kredit dan Kredit Macet 102
1. Hapusnya Perjanjian Kredit 102
2. Teknik Penyelesaian Kredit Macet 104
D. Tanggung Jawab Organ Yayasan Apabila Terjadi Kredit Macet 108
BAB IV PENUTUP 116
A. KESIMPULAN 116
B. SARAN 117
DAFTAR PUSTAKA 118
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang lengkap menjadi semakin kompleks. Hal ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam meningkatkan kualitas pelayanan, salah satunya di bidang sosial. Kegiatan sosial dapat menjadi dasar untuk membentuk suatu organisasi seperti Yayasan.
Secara historis Xxxxxan bermula dari Bapak pemikir ulung Xxxxx, Xxxxxxxx sampai pada para Pharaoh yang jauh sebelum lahirnya Xxxx Xxx telah melakukan perbuatan serupa Yayasan atau Wakaf dengan tujuan khusus seperti “keagaamaan” dan “pendidikan”. Para Pharaoh memisahkan sebagian harta kekayaannya untuk tujuan dibidang “keagamaan” Xenophon juga menyumbangkan tanah dan bangunan untuk kuil bagi pemujaan kepada Artemis, pemberian makanan dan minuman bagi yang membutuhkan dan hewan-hewan korban. Xxxxx juga yang sebelum hari kematiannya memberikan hasil pertanian dari tanah yang dimilikinya untuk disumbangkan selama- lamanya bagi akademia yang didirikannya. Ini mungkin merupakan Yayasan pendidikan pertama di dunia.1
Yayasan telah hadir di Indonesia selama 50 tahun. Hal tersebut berawal dari kebiasaan masyarakat yang menganut agama Islam, yang mewakafkan
1 Xxxxx Xxxxxxxx, 2010, Kedudukan Yayasan Di Indonesia (Eksistensi, Tujuan, Dan Tanggung Jawab Yayasan), Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 11
sebagian hartanya untuk kepentingan sosial. Yayasan dan Wakaf sama-sama mengenal adanya pemisahan harta pribadi pemiliknya. Meskipun memiliki kesamaan, tetapi keduanya tidaklah identik, perbedaan itu terletak pada pemisahan kekayaannya ditempatkan di luar lalu lintas hukum. Selain itu, Xxxxx muncul pertama kali, disusul dengan barang yang diwakaf, sedangkan lahirnya Yayasan bertepatan dengan pemisahan kekayaannya.2
Di Indonesia, pendirian Yayasan hanya berdasarkan adat istiadat masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, hingga Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan" pada tanggal 6 Agustus 2001 (selanjutnya disebut sebagai UUY). Dalam perkembangannya telah direvisi sesuai dengan “Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Yayasan No. 16 Tahun 2001” (No. 28 Tahun 2004). Tujuan undang-undang ini adalah untuk memberikan pemahaman yang benar kepada publik tentang Yayasan sebagai badan hukum yang memiliki tujuan sosial, kemanusiaan, dan keagamaan.
Di dalam pembangunan Yayasan yang bersifat sosial, organ Yayasan membutuhkan dana dalam menunjang kegiatannya. Pemenuhan dana kegiataannya selain berusaha organ Yayasan juga meminjam uang kepada pihak perbankan. Di dalam peruntukannya peminjaman uang pada bank selalu membutuhkan jaminan. Jaminan adalah suatu tanggungan yang dapat dinilai dengan uang, yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian kredit. Dengan
2 Ibid., hlm 18
kata lain, jaminan di sini berfungsi sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang debitur seandainya wanprestasi sebelum sampai jatuh tempo pinjaman atau utangnya berakhir. Jaminan terbagi atas dua yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban pihak yang berhutang atau debitur, sedangkan jaminan kebendaan adalah jaminan yang objeknya berupa baik benda bergerak mapun benda tidak bergerak yang khusus diperuntukan untuk menjamin utang debitur kepada kreditur apabila di kemudian hari yang dapat menjadi penjamin dalam perjanjian utang debitur tidak dapat membayar utangnya kepada kreditur. Hal ini disebut penanggungan atau borgtoch.3
Namun, berdasarkan UUY Pasal 37 terdapat larangan bagi Yayasan untuk menjadi penanggung (borgtoch) bagi debitor.4 Jika ada orang yang termasuk pribadi dari organ Yayasan tersebut mengambil uang pada pihak perbankan dan menjadi penanggung5 dari perjanjian kredit itu, maka hal itu yang dilarang berdasarkan aturan Pasal 37 UUY. Namun Xxxxxan boleh saja meminjam uang dengan jaminan kebendaan karena tidak ada Pasal yang mengatur Yayasan mengenai larangan penggunaan pinjaman dengan jaminan kebendaan.
3 Borgtoch adalah manusia alamiah atau badan hukum.
4 Pasal 37 Undang-Undang Yayasan diatur bahwa:
1. Pengurus tidak berwenang
x. xxxxikat Yayasan sebagai penjamin utang;
b. mengalihkan kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan Pembina; dan
c. membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihal lain;
5 Perjanjian penangung (borgtocht) adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditor mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor, bila debitor itu tidak memenuhi perikatannya.
Berbeda halnya dengan Xxxxx, Xxxxxan sangat erat kaitanya dengan Xxxxx. Terdapat beberapa Yayasan yang berasal dari Wakaf, tetapi di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (selanjutnya disingkat UUW) Pasal 406 mengatur tentang larangan untuk menjaminkan tanah Wakaf. 7 Oleh karena itu, Xxxxxan yang berasal dari Wakaf tidak dapat meminjam uang pada bank dengan jaminan benda Wakaf. Namun, Yayaysan yang dibangun dari uang pribadi miliknya itu diperbolehkan. Meskipun tanah wakaf tidak bisa di jaminkan, tetapi beberapa perbankan membolehkan tanah Yayasan yang berasal dari tanah wakaf sebagai jaminan. Berdasarkan UUY tidak diatur tentang pelarangan menjaminkan suatu tanah Yayasan, tetapi berdasarkan Pasal 26 ayat (3) dalam hal kekayaan Yayasan
berasal dari Wakaf maka berlaku ketentuan hukum perwakafan.
Dari uraian latar belakang di atas, terdapat sebuah isu hukum yang menarik untuk diteliti, karena ada beberapa bank yang belum terlalu paham mengenai aturan yang ada dalam UU Yayasan dan Wakaf, maka mereka berpendapat bahwa Yayasan yang berasal dari wakaf boleh saja di jadikan jaminan untuk pengambilan kredit kepada pihak perbankan.
6 Berdasarkan UU Wakaf Pasal 40 mengatur harta benda yang sudah diWakafkan dilarang Dijadikan jaminan; Disita; Dihibahkan; Dijual; Diwariskan; Ditukar; atau Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
7 Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 41 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat (1) tentang Wakaf (selanjutnya disingkat dengan UUW), Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisakhkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentinganya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Deskripsi latar belakang di atas maka penulis tertarik dan menuangkan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah sah perjanjian kredit dengan jaminan tanah yang diWakafkan?
2. Apakah organ dari sebuah Yayasan dapat bertanggung jawab apabila kredit tersebut macet?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dari skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sahnya sebuah perjanjian kredit dengan jaminan tanah Wakaf.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab organ Yayasan apabila terjadi kredit macet.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian terbagi atas dua yaitu :
1. Secara teori dapat memberikan kontribusi teoritis bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dalam hal ini bagi perkembangan dan kemajuan hukum dalam common law dan civil law. Semoga artikel ini dapat menjadi referensi tambahan bagi para sarjana, penulis dan orang- orang yang tertarik pada bidang penelitian yang sama.
2. Secara praktis dapat digunakan sebagai masukan dan sumber informasi bagi pemerintah dan instansi terkait. Artikel ini juga dapat digunakan sebagai sumber informasi dan referensi bagi pengambil keputusan untuk mengambil langkah-langkah strategis, khususnya dalam pelaksanaan penegakan hukum terkait dengan safeguard basis.
E. Keasliaan Penelitian
Sepanjang ini pemilihan penulis karya ilmiah dengan judul “PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK ATAS TANAH YAYASAN” adalah asli dan
pertama kali ditulis. Memang banyak orang yang pernah menulis tentang Yayasan namun tulisan tersebut berbeda dengan tulisan penulis. Adapun karya tersebut tentang :
ALIH KELOLA YAYASAN yang ditulis oleh Xxx Xxxxx Xxxxxxx pada Tahun 2015. Namun dalam penulisan tersebut tidak membahas tentang jaminan Hak Atas Tanah Yayasan melainkan hanya membahas tentang pengalihan pengelolaan Yayasan tersebut.
F. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan jenis penelitian normatif yaitu penelitian hukum sebagai sistem norma. Sistem hukum yang dimaksud adalah tentang asas, norma, dan aturan hukum yang berlaku. Riset pemahaman dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisis substansi peraturan perundang-undangan tentang hal tersebut. Dalam hal ini, penulis akan mengkaji dan menganalisa perjanjian kredit jaminan hak atas tanah yayasan yang mengacu pada tanah Wakaf.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan tipe penelitian yang diambil penulis. Oleh karena itu pendekatan yang
digunakan mencakup pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perUndang-Undangan dilakukan dengan menelaah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, Dan Undang- Undang Republik Indonesia No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang ditangani.
c. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan untuk keperluan penelitian yang bersifat normatif dalam penelitian ini adalah:
1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat atau membuat orang tunduk pada hukum, seperti peraturan tertulis, diambil langsung dari Undang-Undang Nomor 41 tentang Wakaf tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 16 tentang Yayasan tahun 2001.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan bahan hukum pokoknya.Bahan hukum pokok tersebut merupakan hasil olahan pendapat atau gagasan para ahli atau ahli yang mengkhususkan diri pada bidang tertentu. Mendapatkan arahan penelitian dari buku, jurnal hukum terkait penelitian, dan internet dapat mendukung materi hukum utama.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk mengumpulkan informasi, penulis menggunakan teknologi pengumpulan data studi pustaka dalam studi pustaka, penulis mencoba memperoleh dan membaca dokumen-dokumen yang berkaitan dengan subjek terkait masalah yang diteliti.
e. Analisis Bahan Hukum
Informasi hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum skunder akan diolah dan dianalisis berdasarkan pengungkapan masalah yang teridentifikasi, sehingga diharapkan diperoleh gambaran yang jelas, agar menjadi materi yang tertata, terstruktur, dan lebih bermakna. Dalam hal ini adalah bahan yang berkaitan dengan hak atas tanah Yayasan yaitu tanah Wakaf yang dijadikan jaminan perjanjian kredit. Penulis menggunakan metode deskriptif untuk menentukan isi atau makna aturan yang dijadikan acuan dalam masalah hukum yang menjadi objek hukum, dan menggunakan metode perbandingan untuk menemukan persamaan dan perbedaan pendapat ahli untuk perbandingan.
BAB II
KEABSAHAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN TANAH
A. Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian dan Tujuan perjanjian
Perjanjian merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak yang membuatnya, dan dalam isi perjanjian tersebut mengandung hak-hak keperdataan seseorang atau pihak yang harus dilindungi, yang berarti dalam perjanjian tersebut ditentukan hak-hak yang akan dipenuhi atau aturan-aturan main yang disepakati oleh para pihak dalam suatu kerjasama dan transaksi. Definisi perjanjian dikemukakan dalam Pasal 1313 BW yang mengatur “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.8
Menurut Subekti, Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana satu orang menjanjikan satu atau dua orang lain berjanji satu sama lain untuk melakukan sesuatu. Dari kejadian ini, muncul hubungan antara dua orang yang disebut pertunangan. Perjanjian tersebut mengeluarkan kesepakatan antara dua orang yang telah mencapai kesepakatan. Kesepakatan tersebut berupa rangkaian kata-kata yang memuat janji atau kemampuan lisan atau tertulis.9
8 R. Subekti dan R. Xxxxxxxxxxxxx, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek dengan tambahan Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undan Perkawinan), Cetakan ke-37, PT Xxxxxxx Xxxxxxxx, Jakarta, hlm. 338
9 Subekti, 2002, Hukum Perjanjian. PT intermasa., Jakarta, hlm 1.
Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx berpendapat bahwa definisi perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 BW tersebut memiliki kelemahan yaitu:10
a. Hanya menyangkut sepihak saja.
Hal ini dilihat dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri” yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, bukan dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, sehingga ada consensus antara kedua belah pihak;
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.
Dalam pengertian “perilaku” termasuk juga tindakan pengelolaan kepentingan (zaakwarneming), dan tidak termasuk tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, sehingga seharusnya dipakai istilah “kesepakatan”;
c. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian akad nikah yang diatur dalam bidang hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitor dan kreditor mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III BW sebenarnya hanya mencakup perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian;
10 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, 2014, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Xxxxxx Xxxxx., Bandar Lampung hlm. 224-225.
d. Tanpa menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas.
Dalam rumusan Pasal 1313 BW tidak disebutkan tujuan tercapainnya kesepakatan, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas tentang apa.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum dengan nama satu orang atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hak dan kewajiban terhadap satu orang atau lebih. Dari penjelasan mengenai perjanjian di atas perjanjian mempunya tujuan.
Tujuan perjanjian, adalah hasil akhir yang diperoleh pihak-pihak berupa pemanfaatan, penikmatan, dan pemilikan benda atau hak kebendaan sebagai pemenuhan kebutuhan pihak-pihak. Pemenuhan kebutuhan tidak akan tercapai jika tidak dilakukan dengan mengadakan perjanjian antara pihak- pihak. Tujuan perjanjian yang akan di capai oleh pihak-pihak itu sifatnya harus halal. Artinya, tidak dilarang undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan masryarakat.
Contohnya, tujuan perjanjian memperoleh hak milik atas sepeda motor, ternyata sepeda motor hasil perampokan. Hal ini dilarang undang-undang jika jual beli dilakukan, juga berarti penadahan hasil kejahatan. Contoh bertentangan dengan ketertiban umum/kesusilaan adalah jual beli bayi (trafficking) yang banyak terjadi sekarang ini.11
11 Xxxxx xxxxx Xxxxxxxx, Op.cit., hlm 292
2. Asas-asas perjanjian
Asas-asas hukum sebagai norma-norma penguji yang fundamental adalah pokok-pokok pikiran yang melandasi sistem hukum yang nyata berfungsi sebagai hukum positif. Asas hukum secara umum menunjuk pada dasar pemikiran, dasar ideologis dari ketentuan hukum. Fungsi asas hukum ialah untuk sejauh mungkin menjaga dan mewujudnyatakan standar nilai (waardenmaatstaven) atau tolak ukur yang tersembunyi di dalam atau melandasi norma-norma, baik yang tercakup di dalam hukum positif maupun praktik hukum. Asas hukum juga termanifestasi di dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) BW: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Dari definisi dan fungsi asas hukum perjanjian mengakui perjanjian apapun, terlepas dari apakah perjanjian tersebut terikat oleh hukum.12
Namun defenisi dan fungsi asas hukum perjanjian mengakui bebrapa asas penting yang menjadi dasar kesediaan para pihak untuk mencapai tujuannya.
Beberapa dari asas tersebut adalah sebagai berikut:13
a. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) BW, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang memabuatnya”.“semua perjanjian…” berarti perjanjian
12 Xxxxxxx Xxxxxxx, 2010, Hukum Perjanjian dan Penerapannya Dibidang Kenotariatan, PT Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, hlm 28.
13 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit., hlm 294
apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap berada didalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang- undang), kesusilaan (pornografi,pornoaksi) dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).
b. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian-bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum secara pasti memiliki perlindungan hukum.
c. Asas Konsensualisme (Concesualism)
Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya perxxxxxan sudah lahir sejak detik kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lgi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalnya syarat harus tertulis. contoh jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik notaris.
Pengecualian asas ini adalah:14
1) Dalam perjanjian formil
Disamping kata sepakat, masih perlu formalitas tertentu. Contohnya : perjanjian perdamaian (Pasal 1851 BW)
2) Dalam perjanjian riil
Disamping kata sepakat, masih perlu formalitas tertentu.
Contohnya : perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 BW) dan perjanjian hak gadai (Pasal 1152 BW).
d. Xxxx Xxxxxx Xxxx (Good Faith/Tegoeder Trouw)
Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Kedaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutupi keadaan sebenarnya.
e. Asas Keperibadian (Personality)
Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal, Tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.15
14 Xxxxxxxxxx, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm 333
15Asas-Asas Perjanjian Dalam, xxxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxx-xxxx-xxxxxxxxxx/, diakses pada hari selasa,09 Februari 2021, pukul 21.39 WITA.
3. Syarat-syarat sah perjanjian
Jika kesepakatan dicapai sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka kesepakatan tersebut mengikat semua pihak secara hukum.
Pada padasarnya syarat efektif perjanjian berdasarkan Pasal 1320 BW mencakup 4 unsur yaitu:16
1. Kesepakatan para pihak.
Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan (dwaling, mistake), paksaan (dwang, dures), dan penipuan (bedrog, fraud). Secara a contrario, berdasarkan Pasal 1321 BW, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Pada dasarnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk mencapai kesepakatan kecuali hukum menyatakan dia tak cakap.
Berdasarkan Pasal 1330 BW, mereka yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah:
16 Xxxxxx Xxxxxxxx, 2016, Hukum Perjanjian Dan Pertanahan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta,
hlm 24
1) Orang-orang yang belum dewasa. Berdasarkan BW Pasal 1330 “orang-orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah” sedangkan di dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Jo Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) “perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun. Namun, Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat
(1) “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawag kekuasaan orang tua, berada dibawa kekuasaan wali. Dari pengejelasan dan aturan mengenai seseorang yang belum dewasa diatas maka dapat di simpulkan aturan umur yang berlaku disesuaikan dengan aturan yang digunakan.
2) Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang gila atau hilang ingatan. Orang-orang yang berada di bawah pengampuan semua perbuatan hukumnya diwakili oleh pengampunya.
3) Perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang- undang. Misalnya, penjualan harta bersama dalam perkawinan yang dilakukan oleh istri harus mendapat persetujuan suami.
Tanpa adanya persetujuan suami, maka seorang istri dapat dianggap tidak cakap.
4) Orang-orang yang undang-undang memperbolehkan atau melarangnya. Misalnya, menurut undang-undang Perseroan Terbatas (PT), yang dapat mewakili perbuatan hukum PT adalah Direktur. Seorang manajer dianggap tidak cakap mewakili perusahaan tempatnya bekerja jika tidak ada pemberian kuasa dari direktur.
3. Adanya suatu hal tertentu
Mengenai adanya suatu hal tertentu. Hal tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya. Berdasarkan Pasal 1333 BW, objek perjanjian tersebut harus mencakup pokok barang tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya. Pasal 1332 BW menentukan bahwa objek perjanjian adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan.
4. Adanya suatu sebab yang halal
Adanya Sebab yang halal (causa yang halal) adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (Hal ini diatur dalam Pasal 1337 BW) .
Ketiga ketentuan diatas akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Melanggar Undang-Undang
Larangan yang ditetapkan undang-undang berkenaan dengan perjanjian akan berkaitan dengan tiga aspek dari perbuatan hukum, yakni:
a. Dilakukannya perbuatan hukum;
b. Subtansi dari perbuatan hukum;dan
c. Maksud dan tujuan dari perbuatan hukum tersebut.
Dengan kata lain, larangan ditunjukan terhadap:
a. Perbuatan perjanjiannya;
b. Prestasi yang wajib di penuhi para pihak;dan
c. Motivasi pada satu atau kedua belah pihak yang tampak dari luar
Ilustrasi dari itu ialah suatu perjanjian utang piutang dengan dengan satu ketentuan uangnya akan digunakan sebagai modal untuk membeli bahan-bahan dasar obat-obatan terlarang (narkoba). Perjanjian ini merupakan perjanjian batal yang pembuatan perjanjiannya saja sudah dilarang. Juga, dinyatakan batal ialah pemberi kuasa atas tanah yan di golongkan kategori kuasa mutlak. Alasannya ialah karena subtansi dari perbuatan hukumnya dilarang. Demikian pula halnya dengan perjanjian yang dibuat untuk menghindari pailisemen digolongkan pada perjanjian yang maksud dan tujuan dari perbuatan hukum tersebut dilarang.
Maksud dan tujuan perjanjian harus dinilai beranjak dari situasi-kondisi serta fakta yang diketahui para pihak pada saat perjanjian dibuat. Faktor maksud dan tujuan perbuatan hukum yang melanggar Undang-Undang (doelen strekking van het overtreden wettelijk verbood) haruslah yang menentukan apakah perjanjian akan berakibat batal. Jika maksud tujuan yang dilarang tidak merupakan maksud dan tujuan bersama dari pada pihak atau jika salah satu pihak yang mempunyai maksud dan tujuan yang dilarang perjanjian tersebut dianggap mempunyai kausa yang halal.
Pelanggaran terhadap suatu ketentuan perundang-undangan harus dilihat tidak saja pada kehendak (will) tetapi juga justru kepentingan (belangen). Adanya otonomi dari parah pihaklah yang mengakibatkan hubungan antara kehendak (will) dan norma (hukum) digantikan oleh kepentingan (belang) dan perbuatan atau aksi (actie). Dengan demikian untuk menentukan apakah kebatalan timbul, fokus harus diberikan pada apa yang menjadi rasio (alasan pertimbangan yang mendasar) larangan tersebut. Ini menyebabkan adanya kemungkinan bahwa suatu perjanjian tetap sah sekalipun perjanjian terbentuk dengan adanya cacat pada kehendaknya. Perjanjian tidak mempunyai kausa yang dilarang sekedar dari ukuran bahwa pada saat dilakukannya perjanjian suatu larangan dilanggar. Oleh karena itu, tidak perlu menerapkan kebatalan mendasarkan pada ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 BW. Jika
dengan dilakukannya perjanjian mengakibatkan dilanggarnya suatu peraturan, rasio dari larangan peraturan tersebutlah yang menentukan. Dengan kata lain, rasio dari laranganlah yang menetukan nasib perjanjian atau dengan cara bagaimna perjanjian tersebut melanggar Undang-Undang.17
2) Melanggar Kesusilaan
Kesusilaan merupakan norma-norma yang tidak tertulis. Bahkan, Undang-Undang pun tidak menjelaskan pengertian kesusilan. Kesusilan berbeda menurut tempat dan menurut waktu. Apa yang dahulu dianggap bertentangan dengan kesusilaan, sekarang mungkin diterima sebagai kelumrahan. Perubahan cara pandangan ini juga berpengaruh terhadap cara bagaimana “kesuilaan” dimaknai sekarang ini.
Perjanjian prihal perwalian dimana seorang wali dengan pembayaran suatu jumlah uang tertentu akan mendidik anak yang berada dibawah perwaliannya menurut agama tertentu merupakan perjanjian yang melanggar kesusilaan. Alasan utama adalah bukan karena pokok yang diperjanjikan tersebut tidak dapat “dibeli”, melainkan karena dengan itu kebebasaan seseorang yang di dasarkan pada tata nilai, nurani, dan kehormatan dibatasi.
17 Xxxxxxx Xxxxxxx, Op.Cit., hlm 116-118.
Namun dalam suatu peristiwa perceraian, suami istri telah diperjanjian adanya tambahan alimentasi dari mantan suami kepada mantan istrinya. Tujuan ialah agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Akan berbeda jika yang diperjanjian adalah bahwa suami atau istri akan mendapatkan jumlah uang tertentu dengan imbalan mau bercerai. Dalam hal ini perjanjian tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan kesusilaan. Lain lagi jika perjanjian yang dibuat mengatur tentang apa yang dipisahkan dan dibagikan dari harta benda perkawainan diantara suami dan istri jika mereka nantinya bercerai. Perjanjian yang disebutkan terakhir dikenal sebagai perjanjian dibidang pembuktian.
Perjanjian yang ketentuan-ketentuan didalamnya tidak menghargai dan merugikan pihak ketiga. Seperti, perjanjian untuk melakukan persaingan tidak sehat juga digolongkan sebagai perjanjian yang melanggar kesusilaan.
Selain berkenanaan dengan substansi perjanjian, kesusilaan juga berperan untuk menilai maksud dan tujuan ditutupnya perjanjian. Tidak perlu lagi ada keterkaitan erat antara subtansi dan maksud perjanjian. Namun, dalam menilai tujuan ditutupnya perjanjian, lebih utama adalah menelaah keadaan individu pada saat perjanjian ditutup.
Penilaian atas keadaan individu demikian dapat mengakibatkan bahwa suatu perjanjian dinyatakan mempunyai prestasi diperbolehkan, tetapi berakibat batal jika dipandang maksud dari tujuan pembuatannya.18
3) Bertentangan Dengan Ketertiban Umum
Perbuatan hukum dianggap “bertentangan dengan ketertiban umum” apabila perbuatan tersebut melanggar atau bertentangan dengan asas-asas pokok (fundamental) dari tatanan masyarakat. Kerap kali suatu perbuatan hukum yang dinyatakan bertentangan dengan ketertiban umum akan sekaligus bertentangan dengan ketentuan perundang- undangan. Alasan-alasan yang bersifat “bertentangan dengan norma-norma dan asas-asas yang dianggap penting bagi sendi-sendi kehidupan masyarakat” yang terutama mendasari pertimbangan untuk “mengapkir” perjanjian yang dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau ketentuan perundang-undangan. Sedangkan berkenaan dengan tolak ukur kesusilaan baik, perbedaanya terletak pada titik tolak penilaian. Dalam hal yang menjadi ukuran adalah ketertiban umum, maka titik tolaknya terutama ialah elemen kekuasaan (gezagselement). Sebaliknya, dalam hal kesusilaan baik rujukannya lebih ditekankan pada hubungan intern
18 ibid., hlm119-120
perorangan (onderlinge betrekkingen van personen). Contohnya suatu perjanjian yang dibuat dengan tujuan menyediakan makanan dan tempat berteduh bagi organisasi teroris serta merta dianggap bertentangan dengan ketertiban umum.19
Pada umumnya Jika dua syarat yang pertama (1 dan 2) tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (syarat subjektif). pada saat yang sama, jika dua syarat terakhir tidak dipenuhi (3 dan 4) maka perjanjian tersebut batal demi hukum (syarat objektif). Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian sejak awal batal dan tidak akan menimbulkan akibat hukum bagi kedua pihak. Perjanjian yang melanggar dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum adalah batal demi hukum. Sedangkan perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak berhak meminta agar perjanjian itu dibatalkan.20
B. Perjanjian Kredit dan Jaminan
1. Pengertian Perjanjian Kredit dan Tujuan Pemberian Kredit
Saat menyalurkan kredit kepada masyarakat, bank akan menandatangani perjanjian yang disebut perjanjian kredit. Kredit berasal dari bahasa yunani, yaitu “crede” yang berarti “kepercayaan”. Ada komponen terpenting dalam kredit adalah rasa percaya dari pemberi pinjaman kepada peminjam.21
19 ibid., hlm121
20 Xxxxxxxxxx, Op.Cit., hlm 334-335.
21 Kuras Purba, 2019, Manajemen Perbankan, Yrama Widya , Bandung, hlm 49
Sedangkan arti kredit dalam dunia perbankan di Indonesia dirumuskan dalam Pasal 1 butir (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan untuk selanjutnya hanya disebut UU Perbankan yaitu22:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah suatu jangka waktu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Oleh karena itu, kredit bank adalah pinjaman yang diberikan bank kepada nasabah berdasarkan kepercayaan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada debitornya, untuk dipergunakan sesuai dengan tujuannya, dalam jangka waktu tertentu, dan dengan imbalan bunga.
Dalam Pasal 1 Angka (3) Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan Perbankan telah ditentukan pengertian perjanjian kredit. Perjanjian kredit adalah:
”Persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditor dan debitor atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitor wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati”.
Jadi perjanjian kredit, merupakan akta yang dibuat oleh kreditor (pemberi kredit) dan debitor (penerima kredit) dengan sejumlah uang yang telah diperjanjikan dan debitor wajib mengembalikan uang tersebut dalam jangka waktu yang diperjanjikan.
22 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Dari defenisi perjanjian kredit diatas maka dari perjanjian tersebut mempunyai tujuan pemberian kreditnyaa antara lain:23
1. Mencari keuntungan
Yaitu bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut. Hasil tersebut terutama dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah.
Keuntungan ini penting untuk keberlangsungan hidup bank jika bank yang terus menerus menderita kerugiaan, maka besar kemungkinan bank tersebut akan dilikuidir (dibubarkan)
2. Membantu usaha nasabah
Tujuan lainnya adalah untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja. Dengan dana tersebut, maka pihak debitor akan dapat mengembangkan dana memperluas usahanya.
3. Membantu pemerintah
Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya peningkatan pembangunan diberbagi sektor. Keuntungan bagi pemerintah dengan menyebarnya pemberian kredit adalah:
23 Kasmir, 2007, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo, Jakarta, hlm 96- 97.
• Penerimaan pajak, dari keuntungan yang diproleh nasabah dan bank
• Membuka kesempatan kerja, dalam hal ini untuk kredit pembangunan usaha baru atau perluasan usaha akan membutuhkan tenaga kerja baru sehingga dapat mencari tenaga kerja yang masih menganggur
• Meningkatkan jumlah barang dan jasa, jelas sekali bahwa sebagian besar kredit yang disalurkan akan dapat meningkatkan jumlah barang dan jasa yang beredar di masyarakat.
• Menghemat devisa negara, terutama untuk produk-produk yang sebelumnya diimpor dan apabila sudah dapat diproduksi di dalam negara dengan fasilitas kredit yang ada jelas akan dapat menghemat devisa negara.
• Meningkatkan devisa negara, apabila produk dari kredit yang dibiayai untuk keperluan ekspor.
2. Lahirnya Perjanjian Kredit
Dalam praktek perbankan terdapat prinsip commanditer ingsverbod, yang berarti: “bank dilarang memberikan kredit untuk membagi risiko usaha nasabah”. Ini di dasarkan sesuai dengan asas tiada kredit tanpa jaminan. Dengan adanya prinsip atau asas tersebut di atas, menunjukkan kepada kita bahwa perjanjian kredit akan selalu dikaitkan dengan perjanjian penjaminan.
Padahal, penandatanganan perjanjian jaminan dan penandatanganan perjanjian kredit dilakukan secara bersamaan. perjanjian jaminan dikaitkan dengan perjanjian kredit. Hal ini sesuai dengan sifat accessoir perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya perjanjian jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari kewajiban membayar bunga kredit. Dalam praktik perbankan, penandatangan perjanjian kredit tidak berarti akan disertai dengan pencairan kredit.
3. Bentuk Perjanjian Kredit dan Jaminan kredit
Berdasarkan Undang-Undang, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, selama memenuhi persyaratan Pasal 1320 BW. Namun dari segi pembuktian secara lisan sulit untuk dijadikan alat bukti, karena esensi dari mencapai kesepakatan adalah sebagai bukti bagi para pihak yang bersepakat sekalipun secara teoritis diperbolehkan, tentu saja tidak dapat direkomendasikan persetujuan lisan, karena sulit menggunakan tuturan sebagai alat pembuktian ketika masalah muncul di masa depan. Oleh karena itu, setiap transaksi apapun sebaiknya dibuat secara tertulis, termasuk perjanjian kredit.
Dasar hukum perjanjian kredit tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat
(11) UU Perbankan. Dalam pasal ini terdapat kalimat yang berbunyi: Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Kalimat ini menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dicantumkan dalam perjanjian, meski pasal tersebut tidak menegaskan bahwa perjanjian kredit harus dibuat secara
tertulis, Menurut Xxxxxxx dalam organisasi bisnis modern dan mapan, tujuannya adalah untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian maka bukti tertulis harus diberikan melaui perbuatan hukum oleh karena itu perjanjian kredit harus ditandatangani.24
Perjanjian kredit adalah suatu ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitor, oleh karena itu perjanjian kredit harus diatur dan dirumuskan sedemikian rupa sehingga memudahkan setiap orang untuk mengetahui bahwa kesepakatan yang dicapai adalah perjanjian kredit. Dalam perbankan terdapat 2 perjanjian kredit, yaitu :25
1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan
Perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian bank untuk memberikan kredit kepada nasabahnya. perjanjian hanya dilakukan antara nasabah (bank dan nasabah) tanpa notaris. Perjanjian kredit yang ditandatangani secara pribadi disebut kontrak pribadi, yang berarti perjanjian yang dibuat dan dirumuskan oleh bank kemudian diberikan kepada debitor untuk mencapai kesepakatan.
2. Perjanjian kredit yang dibuat dengan akta otentik (akta notaris)
Perjanjian kredit notaris adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang di buat di hadapan notaris. Perjanjian kredit yang dibuat dihadapan notaris disebut akta otentik atau akta notaril.
24 Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, hlm 199. 25 H.R. Xxxxx Xxxx, 2005, Hukum Kredit Dan Bank Garansi, Citra Xxxxxx Xxxxx, Jakarta hlm 185
Yang menyusun dan membuat perjanjian adalah notaris, namun pada kenyataanya semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank dan kemudian diserahkan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Padahal, saat tercapai kesepakatan, notaris hanya menjelaskan apa yang diinginkan para pihak dalan bentuk akta notarial atau akta otentik.26
Perjanjian kredit yang dicapai dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya berupa pemberian kredit jangka menangah dan panjang dalam jumlah besar, seperti pinjaman investasi, pinjaman modal kerja, pinjaman sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditor atau lebih dari satu bank).
Ada perbedaan antara perjanjian kredit yang dibuat dengan akta di bawah tangan dengan perjanjian kredit dengan akta otentik. Dari sudut pandang pembuktiannya, antara akta di bawah tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan para pihak.
Apabila suatu akta otentik diajukan sebagai alat bukti di depan hakim, kemudian pihak lain membantah akta otentik tersebut, maka pihak pembantah yang harus membuktikan fakta/sasnggahanya. Sebaliknya,
26 Xxxxxxx, Op.cit, hlm.100.
jika pihak yang menandatangani akta itu menolak tanda tangan pada akta yang ditandatangani, maka pihak yang mengajukan akta dibawah tangah itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tanda tangan tadi dibutuhkan oleh pihak yang memungkiri.
Dari penjelasan mengenai bentuk perjanjian kredit diatas umunya perjanjian kredit membutuhkan jaminan. Jaminan dalam pemberian kredit terbagi atas dua yaitu:27
a. Kredit Dengan Jaminan
Kredit yang diberikan dengan suatu jaminan, jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan orang. Artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi senilai jaminan yang diberikan sicalon debitor.
Berikut beberapa benda yang dapat dijadikan jaminan :
1. Jaminan benda berwujud yaitu barang yang dapat dijadikan jaminan seperti:
• Tanah
• Bangunan
• Kendaraan bermotor
27 Kasmir., Op Cit, hlm 101-103.
• Mesin-mesin/peralatan
• Barang dagangan
• Tanaman/kebun/Sawah
• Dan lainnya
2. Jaminan benda tidak berwujud yaitu, benda-benda yang merupakan surat-surat yang diberikan jaminan seperti:
• Sertifikat saham
• Sertifikat Obligasi
• Sertifikat Tanah
• Sertifikat deposito
• Rekening tabungan yang dibekukan
• Rekening giro yang dibekukan
• Promes
• Wesek
• Dan surat tagihan lainnya
3. Jaminan orang
Yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang dan apabila kredit tersebut macet maka orang yang memberikan jaminan itulah yang menganggung resikonya.
b. Kredit Tanpa Jaminan
Merupakan kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Kredit jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha dan charakter serta loyalitas atau nama baik si calon debitor selama ini. Biasanya diberikan untuk perusahaan yang memang benar bonafid dan profesional, sehingga kemungkinan kredit tersebut macet sangat kecil.
4. Pengertian jaminan
Istilah “jaminan” adalah terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitor untuk melunasi hutangnya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitor terhadap kreditor.28
Jaminan menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, jaminan adalah suatu hal yang diberikan kepada kreditor yang dapat membangun kepercayaan sehingga kreditor akan melaksanakan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang telah mereka sepakati. 29
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia no. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit dikemukakan bahwa jaminan adalah : “suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan perjanjian”.30
Di BW tidak dijelaskan secara jelas apa itu jaminan. Namun pengertian jaminan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1131 BW.
28 Xxxxxxxx Xxxxx, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 66.
29 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, hlm.50.
30 Xxxxx Xxxxxxxx, 2018, Hukum Jaminan Indonesia, Pt Raja Grafindo, Depok, hlm 3
Pasal 1131 BW menjelaskan, “segala kebendaan si berutang (debitor), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari, menjadi jaminan suatu segala perikatan pribadi debitor tersebut.”31
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa jaminan itu adalah segala sesuatu yang diterima kreditor dan diserahkan ke debitor untuk menjamin hutang dan kredit sosial. Dengan kata lain, jaminan di sini digunakan sebagai sarana atau menjami kinerja pinjaman atau utang debitor seandainya wanprestasi sebelum jatuh tempo pinjaman atau utangnya berakhir.
5. Penggolongan jaminan
Penggolongan jaminan terdiri dari berbagai macam tergantung dari sudut mana melihatnya. Penggolongan jaminan tersebut sebagai berikut:32
1. Jaminan berdasarkan Undang-Undang dan jaminan berdasarkan kesepakatan.
Jaminan berdasarkan Undang-Undang dapat dilihat dalam Pasal 1131 BW yang menyatakan:
“Semua kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Sedangkan jaminan berdasar perjanjian yaitu disebabkan oleh adanya Perjanjian wajib dalam bentuk gadai, fidusia, hak tanggungan dan jaminan perorangan serta garansi bank.
31 ibid., hlm 3
32 Xxxxx Xxxxxxxx, op.cit,. hlm. 26
2. Xxxxxan yang lahir karena perxxxxxxx (jaminan khusus)
Ketika debitor dan kreditor mencapai kesepakatan khusus, jaminan khusus dibuat. Jaminan yang bersifat khusus dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:33
a. Jaminan perorangan (personal guaranty)
Jaminan perorangan adalah jaminan yang diberikan oleh pihak ketiga untuk memastikan kinerja kewajiban debitor. Dengan kata lain, jaminan perorangan adalah suatu kesepakatan antara yang berpiutang (kreditor) dengan orang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang (debitor). Jaminan perorangan terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
1. Perjanjian Penanggungan (Borgtocht)
Berdasarkan ketentuan Pasal 1820 BW, perjanjian penanggungan adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditor mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor, bila debitor itu tidak memenuhi kewajibannya.
2. Perjanjian Garansi
Berdasarkan ketentuan Pasal 1316 BW tentang perjanjian garansi, dimana pemberi garansi menjamin bahwa pihak ketiga akan melakukan hal-hal tertentu dalam bentuk “bertindak sesuai dengan perjanjian tertentu”. Seorang pemberi garansi mengikatkan diri untuk
33 ibid., hlm. 27
memberi ganti rugi jika pihak ketiga yang menjamin tidak melakukan perbuatan yang digaransinya.34
3. Perjanjian Tanggung Menanggung
Berdasarkan ketentuan Pasal 1278 BW, dalam kesepakatan tanggung menanggung salah satu pihak atau masing-masing pihak lebih dari satu orang. Berdasarkan ketentuan Pasal 1836 BW juga menetapkan bahwa jika beberapa orang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk seorang debitor yang sama, maka setiap penanggung harus menanggung seluruh utangnya.
b. Jaminan kebendaan
Kebendaan adalah suatu tindakan berupa suatu penjaminan yang dilakukan oleh siberpiutang (kreditor) terhadap debitornya, atau antara si berpiutang dengan seorang pihak ketiga guna memenuhi kewajiban-kewajiban dari si berutang (debitor). Jaminan kebendaan memiliki ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak sebelum objek tertentu dan memiliki sifat melekat dan mengikut objeknya. Jaminan kebendaan dibagi menjadi 4 (empat) yaitu:35
1. Gadai (Pand)
Berdasarkan Pasal 1150 BW menyatakan bahwa:
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor atas suatu barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditor-kreditu lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya sama harus didahulukan.”
34 ibid., hlm. 30
35 Xxxxx Xxxxxxxx, op.cit,. hlm. 33
Hak gadai pada dasarnya adalah tambahan, yang berarti bahwa ini merupakan pelengkap dari perjanjian utama (yaitu perjanjian pinjaman). Tujuan tercapainya perxxxxxxx xxxxx adalah untuk melindungi debitor dari pelunasan hutangnya. Gadai itu tetap mengikat semua benda yang dijadikan jaminan.
2. Hipotek
Berdasarkan Pasal 1162 BW hipotek adalah hak kebendaan atas barang tidak bergerak milik debitor yang digunakan sebagai penjaminan. Berdasarkan Bab XXI Buku II BW. Hipotek (termasuk creditverband) sudah tidak berlaku berdasarkan Pasal 29 Undang- Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, sehingga hipotek yang ada sekarang hanya untuk :
a) Kapal-kapal yang telah terdaftar (Pasal 60 Undang-Undang No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran)
b) Pesawat terbang dan helikopter (Pasal 71 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, Undang-Undang tentang penerbangan).
Dilihat dari penjelasan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 ini, maka pesawat terbang dan helikopter dapat dibebani hipotek dan fidusia.
3. Credietverband
Credietverband atau kredit verband adalah suatu jaminan atas tanah milik adat yang diberikan kepada lembaga perkreditan. Menurut ketentuan pendiriannya, lembaga perkreditan berhak memberikan
jaminan kredit verband kepada lembaga pemberi pinjaman (dalam hal penjaminan kredit verband hanya melalui bank BUMN).
4. Hak tanggungan
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok- pokok agraria, berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor- kreditor lain.
5. Jaminan fidusia
Jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang nomor 42 tahun 1999. Jaminan fidusia adalah jaminan hak milik berdasarkan kepercayaan, merupakan suatu bentuk jaminan atas benda bergerak disamping gadai dan resi gudang, yang lahir dari yurisprudensi.
6. Resi gudang
Sistem Resi Gudang berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang sistem Resi Gudang Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat 2, Resi gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang.
6. Asas-Asas Hukum Jaminan
Dari beberapa literatur diketahui, bahwa secara umum asas-asas dari hukum jaminan ini adalah:36
1. Asas publicitiet
Asas publicitiet adalah semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia dan hipotek harus didaftarkan agar pihak ketiga mengetahui bahwa benda tersebut sedang dijaminkan untuk utang atau untuk pembebanan utang. Asas publicitiet ini melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.
2. Asas specialitiet
Asas specialitiet menegaskan Bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hipotek hanya dapat dibebankan atas satuan tanah atau atas barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu.
3. Asas tidak dapat dibagi
Asas tidak dapat dibagi adalah asas dapat dibaginya utang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.
4. Asas inbezittstelling
Barang jaminan gadai harus berada pada penerima gadai.
5. Asas horizontal
Bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan dalam hal ini dapat dilihat penggunaan Hak Pakai,Hak Guna Bangunan.
7. Syarat-Syarat Dan Manfaat Benda Jaminan
Pada prinsipnya, tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga keuangan non-bank, karena objek yang dapat dijaminkan harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:37
1) Dapat membantu seseorang yang membutuhkan kredit dengan mudah;
2) Tidak memperlemah potensi (kekuatan) para pencari kredit untuk melakukan atau melanjutkan usahanya; dan
3) Memberikan kepastian kepada kreditor, Dalam arti barang jaminan kapan saja dapat dieksekusi, dan dapat mudah digunakan untuk melunasi utang (pengambil) kredit.
Jaminan memiliki kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi, Karena lembaga dapat memberikan manfaat bagi kreditor dan debitor. Bagi kreditor, keuntungannya adalah dengan adanya benda jaminan akan memberikan rasa aman bagi teransaksi tertutup dan memberikan kepastian hukum bagi kreditor. bagi debitor keuntungannya adalah dengan adanya benda jaminan dapat memperoleh kredit dari lembaga keuangan, sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran dalam mengembangkan usahanya.
C. Hak Tanggungan
1. Pengertian Hak Tanggungan
Hak tanggungan ialah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Peraturan Pokok-pokok Agraria, Benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan untuk pelunasan hutang tertentu, kedudukannya diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor- kreditor lainnya.38
Dari uraian diatas dapat dsimpulkan bahwa Hak Tanggungan adalah jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahului, dengan objek jaminanya berupa hak atas tanah yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agrarian (UUPA). Dengan demikian, ini berarti bahwa:39
1. Hak Tanggungan adalah jaminan untuk pelunasan utang, yang melaksanakan ketentuan dari Pasal 51 UUPA dan Pasal 1131 BW.
2. Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai dengan ketentuan UUPA, khususnya dalam Pasal 25,33,39 dan Pasal 51.
⮚ Pasal 25 UUPA: “Hak Milik dapat di jadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan”.
⮚ Pasal 33 UUPA: ”Hak Guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.”
38 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah atau sering disebut Undang-Undang Hak Tanggungan.
39 Xxxxx Xxxxxxxx, op.cit,. hlm. 191
⮚ Pasal 39 UUPA: ”Hak Guna Bangunan dapat di jadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan”.
⮚ Pasal 51 UUPA: ”Hak Tanggungan yang dapat dibebankan kepada Hak Milik, Hak Guna Usaha, Dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasal 25,33, dan 39 di atur dengan Undang-Undang.
Pasal tersebut menunjukan bahwa yang menjadi objek Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan Dan Hak Guna Usaha yang kesemuanya diatur dalam Undang-Undang.
3. Hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah, termasuk benda lainnya yang suatu kesatuan dengan tanah tersebut.
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadapa kreditor-kreditor lain.
2. Dasar Hukum Hak Tanggungan
Aturan pelaksanaan hak tanggungan atas tanah sebagai berikut:40
a) UUPA Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39 mengenai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan sebagai objek Hak Tanggungan dan Pasal
51 yang mengatur bahwa Hak Tanggungan dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan diatur dalam Undang-Undang Pasal 25,33 dan 39.
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda yang berkaitan dengan tanah.
c) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, khususnya Pasal 44 Ayat (1) yang menyatakan, “Pembebanan Hak
Tanggungan pada Hak Atas Tanah atau Hak Milik atas satuan rumah susuh, pembebanan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa ditentukan dengan Peraturan Perundang-undangan dapat di daftarkan jika dibuktikan dengan akta yang di buat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
d) Xxxaturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.
e) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan kredit tertentu.
f) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.
3. Asas-asas Hak Tanggungan
Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Menurut Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, asas yang mendukung Hak Tanggungan adalah sebagi berikut:41
1. Asas sistem tertutup (gesloten system) berarti selain dari hak jaminan kebendaan yang diatur UUHT, Undang-Undang Perumahan Dan Pemukiman (UUPP) Nomor 4 Tahun 1992, Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) Nomor 42 Tahun 1999, dan Undang-Undang Rumah
Susun (UURS) Nomor 16 Tahun 1985, Menurut kesepakatan antara kedua belah pihak tidak ada hak jaminan lainya karena Hak kebendaan ini bersifat absolut (mutlak), dan bersifat limitatif (terbatas).
2. Asas droit de preference (didahulukan/diutamakan) adalah kreditur pemegang Hak Tanggungan memiliki hak untuk diutamakan agar terpenuhinya piutang. Jika debitor pemberi Hak Tanggungan wanprestasi (ingkari janji) dan ingin melunasi utangnya kepada kreditor, maka objek Hak Tanggungan milik debitor tersebut dijual secara lelang, dan hasil penjualannya dibayarkan kepada kreditor lainnya secara pari passu (konkuren), jika masih memiliki sisa, dan seluruh utang debitor sudah lunas, maka sisa hasil penjualan objek hak tanggungan tersebut dikembalikan kepada debitor. Asas ini dilaksakan dengan memperhatikan dan mendahulukan piutang negara.
3. Asas droit de suite yaitu Hak Tanggungan memiliki sifat yang sama dengan hak kebendaan, Hak Tanggungan juga mengikuti objek ditangan siapapun objek tersebut berada. Jadi, apabila objek Hak Tanggungan sudah beralih kepemilikannya, misalnya sudah dijual kepada pihak ketiga, kreditor tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan jika debitor wanprestasi.
4. Asas spesialitas yaitu keterangan mengenai objek Hak Tanggungan yang dituangkan dalam sertifikat, atau bagi tanah yang belum
terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas dan luas tanah.
5. Asas publisitas adalah pendaftaran dan pencatatan dari pembebanan objek Hak Tanggungan sehingga terbuka dapat dibaca dan diketahui umum. Pendaftaran dan pencatatan tersebut dilakukan pada buku tanah hak tanggungan dan dilakukan oleh pejabat terkait yang berwenang untuk itu dikantor pertanahan diwilayah mana tanah tersebut brada.
6. Asas mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan bagi pemegang hak tanggungan harus memiliki kepastian hukum dan mudah untuk dieksekusi sesuai Ketentuan Peraturan Perundang- undangan yang berlaku, dengan adanya irah-irah “demi kedaulatan berdasarkan ketuhanan yang maha esa” pada sertifikat Hak Tanggungan tersebut.
7. Asas accessoir Hak Tanggungan yaitu perjanjian tambahan (ikutan) yang mengikuti perjanjian pokoknya (perjanjian utang-piutang), dan bukan merupakan perjanjian/hak yang berdiri sendiri (zelfstandigrecht). Adanya dan hapusnya perjanjian ikutan (accessorium) tergantung dari perjanjian pokok.
8. Asas pemisahan horizontal yang artinya Hak Atas Tanah terpisah dari benda-benda yang melekat di atasnya. UUHT menganut asas pemisahan horizontal. Tetapi pemberlakuannya tidak secara otomatis. Harus terlebih dahulu diperjanjikan antara para pihak di dalam APHT.
Penerapan asas ini dalam UUHT merupakan terobosan dari asas perlekatan vertikal yang dianut oleh BW.
9. Asas perlekatan (accessie) artinya benda yang melekat sebagai kesatuan dengan tanah, karena hukum mengikuti hukum benda pokok. Meskipun UUHT tidak menganut asas perlekatan vertikal sebagaimana BW, Tetapi apabila para pihak sepakat menghendakinya, maka asas perlekatan vertikal dapat pula digunakan dalam UUHT dengan catatan harus dituangkan secara tegas di dalam APHT.
10. Asas itikad baik artinya itikad baik yang bersifat objektif adalah itikad baik yang sesuai kepatutan yang berlaku didalam masyarakat pada umumnya.
4. Subjek dan Objek Hak Tanggungan Atas Tanah
Subjek dan objek maksudnya person dan hak kebendaan yang terkait dengan hak tanggungan atas tanah.42
1) Subjek Hak Tanggungan
Subjek hak tanggungan memiliki arti yang sama dengan subjek hukum yang telah kita kenal. Pokok bahasan hak tanggungan dapat di uraikan berikut:
42 ibid,. hlm. 194
a. Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berhak melakukan tindakan hukum terhadap objek hak tanggungan.
Menurut Pasal 8 UUHT, pemberi hak tanggungan adalah pihak yang berutang (debitor). Subjek hukum lain dimungkinkan untuk menjamin pelunasan utang debitor dengan syarat pemberi hak tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan.
Hak untuk mengambil tindakan hukum terhadap objek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan. Ini karena lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarka. Oleh karena itu, hak untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah (pendaftaran).
b. Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang hak tanggungan artinya perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagi pihak yang berpiutang.
Sebagai pihak debitor dapat berupa perseorangan, lembaga keuangan berupa bank, lembaga keuangan bukan bank, dan badan hukum lainnya.
Karena hak tanggungan sebagai lembaga penjaminan hak atas tanah tidak termasuk kuasa untuk benar-benar menguasai dan menggunakan tanah, maka tanah tersebut masih dalam kendali penjamin hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-undang hak tanggungan, menyatakan “janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk mengelola objek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cedera janji”.
Pemegang hak tanggungan dapat di lakukan oleh warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia dan dapat juga oleh warga negara asing atau badan hukum asing.
2) Objek Hak Tanggungan
Hak Tanggungan yaitu sesuatu yang dapat di bebani dengan Hak Tanggungan. Untuk dapat menikmati Hak atas Jaminan Tanah, maka objek Hak Tanggungan harus memenuhi empat (4) syarat, yaitu:43
1. Dapat dinilai dengan uang. Artinya objek hak tanggungan tersebut harus dapat diperdagangkan dan harus berharga.
2. Dapat dipindahtangankan, karena jika debitor wanprestasi, maka benda yang dijadikan jaminan harus dapat dipindahtangan kepada kreditor, jika
43 ibid,. hlm. 195
diperlukan untuk melunasi hutang utang debitor, benda jaminan dapat dialhikan kepada pihak ketiga untuk dijual atau dilelang.
3. Termasuk hak untuk didaftatarkan sesuai dengan peraturan pendaftaran tanah yang berlaku. Intinya adalah ada kewajiban untuk mendaftarkan objek hak tanggungan dalam daftar publik, dalam hal ini adalah kantor pertanahan. Unsur ini terkait dengan status diutamakan atau prefenren yang diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya. Oleh karena itu, harus ada catatan hak tanggungan di buku tanah dan sertifikat kepimilikan tanah yang dimilikinnya agar semua orang dapat mengetahuinnya.
4. Diperlukan sebutan khusus oleh undang-undang sebagai benda yang dapat dupertanggungkan adalah:
a) Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Menurut BW Hak Milik adalah hak untuk menikmati hak untuk menggunakan sesuatu secara bebas, dan hak untuk secara bebas mengambilkan tindakan terhadap kebendaan tersebut dengan kedaulatan penuh, tetapi jika tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum, dan tidak menganggu hak-hak orang lain.
b) Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA) adalah Hak untuk mengembangkan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara untuk kegiatan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan dalam jangka waktu tertentu.
c) Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA) adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang tidak mereka milik sendiri. Jangka waktu 30 tahun, yang atas permintaan pemegang hak mengikat keperluan serta keadaan bangunannya.
d) Hak Pakai di atas Tanah milik Negara (Pasal 4 UUPA), harus di daftarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dapat dialihkan sesuai sifatnya. Hak pakai atas tanah milik negara adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perseorangan dan badan hukum perdata dalam jangka waktu tertentu, untuk keperluan pribadi atau usaha. hak pakai yang diberikan bukan merupakan objek hak tanggungan.
e) Bangunan rumah susun dan kepimilikan unit atas satuan rumah susun yang berdiri diatas tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang diberikan oleh negara.
5. Eksekusi Hak Tanggungan Atas Tanah
Dalam pasal 6 UUHT memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila debitor cedera janji, pemegang hak tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi hak tanggungan dan tidak perlu pula meminta penetapan dari ketua pengadilan negeri setempat untuk melakukan eksekusi tersebut. cukup
pemegang hak tanggungan pertama itu mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang Negara setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka eksekusi objek hak tanggungan tersebut. Sebab kewenangan pemegang hak tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan Undang-Undang artinya kepala kantor lelang Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.44
Pasal 20 UUHT mengatur mengenai eksekusi hak tanggungan yang telah ditetapkan jika debitur wanprestasi, maka:45
a) Sesuai dengan hak yang ada dari pemegang hak tanggungan pertama, yaitu janji untuk menjual objek hak tanggungan dibawah kekuasaanya sendiri melalui lelang publik atau atas kesepakatan penyedia dan pemberi hak tanggungan dapat dijual dibawah tangan;
b) Menurut irah-irah yang tercantum dalam akta hak tanggungan memiliki kekuatan penegakan yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap.
Ketentuan ini mengandung ketentuan yang harus diberlakukan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan terhadap kreditor pemegang hak tanggungan.
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan atas tanah menyatakan sebagai berikut:
1. Jika debitor wanprestasi, hal itu didasarkan pada:
44 ibid,. hlm. 237
45 ibid,. hlm. 232
a. Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksetutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2), Objek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahului dari oada kreditor-kreditor lainnya.
2. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diproleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak
3. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit- dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak menyatakan keberatan.
4. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) batal demi hukum.
5. Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat di hindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.
Oleh karena itu dalam pelaksanaanya, eksekusi hak tanggungan dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui proses lelang dan melalui penjualan di bawah tangan. Proses eksekusi hak tanggungan dapat dijelaskan sebagai berikut :46
1. Penjualan Jaminan Melalui Lelang
Yang dimaksud penjualan jaminan melalui proses lelang berarti penawaran langsung oleh peserta lelang dalam sistem harga naik, yakni penawaran pertama dilontarkan oleh juru lelang dengan standar terbatas, dan pemenang lelang adalah penawar harga tertinggi. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang penyelenggaraan pelelangan, pengertian lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis atau lisan yang semakin meningkat untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang. Proses pelelangan tersebut merupakan pelelangan umum yang diatur dalam Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan. Pelelangan umum adalah cara alternatif apabila penyelamatan kredit bermasalah yang dilakukan oleh pihak kreditor tidak berhasil.
46 ibid,. hlm. 236-238
2. Penjualan Di bawah Tangan
Penjualan dibawah tangan adalah penjualan atas tanah yang di jadikan jaminan dan dibebani dengan hak tanggungan oleh kreditor sendiri secara langsung kepada orang atau pihak lain yang berminat. Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan, serta tidak ada sanggahan dari pihak manapun, apabila tidak dilakukan penjualan batal demi hukum.
Pelaksanaan penjualan dibawah tangan dapat dilakukan jika debitor atau pemilik tanah yang dibebani hak tanggungan masih kooperatif dengan pihak bank. Debitor bersedia untuk hadir guna membuat dan menandatangani akta-akta atau dokumen-dokumen berkaitan dengan penjualan tanah yang dibebani hak tanggungan.
6. Peralihan Dan Hapusnya Hak Tanggungan
Hak tanggungan dapat dialihkan karena cessi,47 subrogasi,48 pewarisan atau sebab-sebab lain.49
Untuk memenuhi persyaratan publisitas maka pengalihan hak tanggungan harus didaftarkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 16 UUPA, “jika hak tanggungan telah dialihkan, harus didaftarkan pada kantor pertanahan”.
47 “cessi” adalah perbuatan hukum yang mengalihkan piutang oleh kreditor pemegang hak tanggungan kepada pihak lain.
48 Subrogasi adalah penggantian kreditor oleh pihak ketiga yang melunasi utang kreditur.
49 ibid,. hlm. 238-239
Pendaftaran dengan melampirkan catatan pada sertifikat hak tanggungan dan sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan.
Kemudian mengenai penghapusan hak tanggungan, Pasal 18 menegaskan bahwa Hak Tanggungan dapat dihapus karena alasan berikut :
a. Penghapusan hutang terjamin
b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh kreditor pemegang yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis mengenai dilaksanakannya hak tanggungan yang bersangkutan kepada pemberi hak tanggungan.
c. Pembersih hak tanggungan yang berangkutan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua pengadilan negeri atas permohonan pembeli tanah yang dijadikan jaminan.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan yang bersangkutan.
D. Wakaf dan Yayasan
1. Pengertian Wakaf
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ditetapkan bahwa Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf secara bahasa adalah al-habs (menahan). Kata al-waqf merupakan bentuk masdar (gerund) dalam ungkapan waqfu al-syai’ yang berarti menahan sesuatu. Oleh karena itu, Xxxxx menyerahkan tanah kepada fakir miskin untuk
ditahan, karena barang itu dipegang dan ditahan oleh orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.50
Oleh karena itu, Xxxxx berarti menyediakan suatu benda yang digunakan sebagai kemaslahatan umum. Secara umum harta tersebut adalah milik Allah dan abadi serta tidak dapat dicabut kembali. Harta itu ditahan dan tidak dapat dipindahkan. Selanjutnya Wakaf tersebut tidak dapat diakhiri karena abadi dan milik Allah.
2. Rukun Wakaf
Dalam bahasa Arab, kata rukun memiliki arti yang sangat luas, rukun dapat diartikan sesuatu yang dianggap menentukan disiplin ilmu atau dapat dikatakan sebagai pelengkap sesuatu.51
Dalam perspektif Fikih Islam, untuk eksistensi Wakaf harus dipenuhi 4 rukun Wakaf yaitu:52
a. Adanya orang yang berwakaf (sebagai subjek Wakaf)
Unsur pertama wakaf, yaitu adanya orang berwakaf dalam hal ini merupakan orang yang bersedia mewakafkan hartanya, yaitu orang yang walapun bukan islam tetapi dengan kehendak sendiri dengan tujuan kebaikan. seorang wakif atau yang memberikan hartanya pada orang lain dianggap sah wakafnya dengan syarat telah cakap.
50 Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxxxx Xx-Xxxxxxx, 2004, Hukum Wakaf, Kerjasama Dompet Dhuafa Republik Dan Iiman, Jakarta, hlm.3.
51 Ibid.,hlm.87
52 Xxxxxxxx Xxxxx,2009, Hukum PerWakafan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakrata, hlm.62.
b. Adanya benda yang diwakafkan (sebagai objek wakaf)
Unsur kedua adalah adanya objek atau benda sumbangan harta wakaf. Aset wakaf haruslah harta yang memiliki nilai, milik sendiri dan dapat tahan lama dalam penggunaannya. Karena tujuan wakaf yaitu pengambilan zat dan pahala untuk wakif.
c. Adanya penerima wakaf
Unsur ketiga adalah penerima wakaf yaitu orang ahli memiliki syarat bagi orang yang berwakaf, maka tidak sah untuk memberikan wakaf kepada anak yang masih dalam kandungan ibu dan hamba sahaya. Meski begitu bila pemberi wakaf mewakafkan kepada badan hukum maka hukum itu dapat dipandang sebagai wakaf, penggunaan harta wakaf yang diserahkan kepadanya menjadi wewenangnya.
d. Adanya aqad atau lafaz atau pernyataan penyerahan Wakaf dari tangan wakif kepada orang atau tempat berwakaf.
Keadaan ini merupakan syarat terakhir dari rukun wakaf, yaitu penyerahaan. Pernyataan persetujuan dapat dilakukan dengan tulisan atau isyarat yang dapat memberi makna wakaf. Siapapun dapat menggunakan Xxxxx dan tulisan untuk mendeklarasikan wakaf, sedangkan isyarat hanya dapat dipergunakan oleh orang yang tidak mampu menggunakan secara lisan dan tulisan. Dengan begini benar-
benar bisa megetahui pernyataaan xxxxx untuk menghindari kemungkinan terjadi perselisihan di kemudian hari.
3. Syarat-Syarat Wakif (Pemberi Wakaf)
Berdasarkan Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Wakaf ditetapkan bahwa Wakif meliputi:
a. Perseorangan
Wakif harus memenuhi persyaratan yaitu dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta benda wakaf. jika syarat sudah terpenuhi wakif perseorangan dapat melakukan perwakafan.
b. Organisasi
Wakif organisasi dapat melakukan wakaf jika memenuhi persyaratan organisasi agar bisa mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi tersebut, dan sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
c. Badan hukum
Wakif badan hukum bisa melakukan wakaf jika telah memenuhi persyaratan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik
badan hukum dan sudah sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
Wakif harus memenuhi dua syarat yang wajib dipenuhi, yaitu wakaf adalah wujud dari sedekah, maka wakif haruslah pemilik harta Wakaf.
Wakif harus memenuhi syarat kecakapan hukum, yaitu orang yang dianggap memunuhi syarat untuk menerima hak dan kewajiban serta memenuhi syarat untuk bertindak sesuai dengan hukum. Persyaratan wakif dikataka cakap antara lain: 53
1) Berakal
Tidak sah Jika wakaf diberikan oleh orang gila, itu ilegal karena dia tidak punya alasan, tidak bisa membedakan sesuatu, dan dia tidak layak melaksanakan kesepakatan dan aturan.
2) Dewasa
Jika wakaf bukan orang dewasa atau masih anak-anak maka tidak sah, karena meskipun telah memahaminya anak dianggap belum layak melakukan kesepakatan dan belum dapat membedakan sesuatu.
53 ibid.,hlm.217
3) Wakaf harus didasarkan pada kemauan sendiri bukan karena tekanan atau paksaan dari pihak manapun.
Seseorang yang di paksa mewakafkan hartanya maka tidak sah hukumnya karena dilakukan atas dasar paksaaan dan ini akan membahayakan bentuk perjanjian yang mereka buat.
4) Merdeka
Merdeka merupakan persyaratan seorang wakif jika ingin mewakafkan hartanya, dan tidak ada satu mazhab pun menentangnya. Syarat ini ditetapkan dengan pertimbangan budak atau hamba yang tidak memiliki apapun.
Dalam pelaksanaan wakaf, Wakif dan pihak lain harus memenuhi dua syarat: 54
1. Wakif tidak memiliki utang
2. Wakif tidak dalam keadaan sakit parah.
4. Ruang Lingkup Jenis Harta Benda Wakaf
Ruang lingkup harta benda wakaf meliputi benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, tapi boleh saja mewakafkan benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda bergerak lainnya. Ruang lingkup harta benda wakaf ini selaras dengan kategori benda yang lazim
54 ibid.,hlm 231.
dikonsepsikan dalam hukum perdata dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.55Benda bergerak wakaf diatur dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (1) UU Wakaf menyatakan “bahwa harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak”. Dan Berdasarkan Pasal 16 Ayat (2) UU Wakaf menyatakan bahwa ruang lingkup jenis benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan adalah sebagai berikut:
1. Hak atas tanah menurut hukum dan peraturan yang berlaku termasuk hak atas tanah yang terdaftar dan hak atas tanah yang tidak terdaftar;
2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana yang disebutkan di atas;
3. Tanaman dan yang lainnya yang berkaitan dengan tanah;
4. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
5. Benda tidak bergerak lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 16 Ayat (3) UU Wakaf benda bergerak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b merupakan harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. Uang;
b. Logam mulia;
c. Surat berharga;
55 Xxxxxxxx Xxxxx,Op.Cit,hlm.127
d. Kendaraan;
e. Hak atas kekayaan intelektual;
f. Hak sewa;
g. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan aturan diatas tentang benda yang dapat diwakafkan maka seluruh benda wakaf memiliki peraturan yang dimana berdasarkan Pasal 40 UU Wakaf mengatur bahwa harta benda yang sudah diwakafkan dilarang untuk :
1. Dijadikan jaminan;
2. Disita;
3. Dihibahkan;
4. Dijual;
5. Diwariskan;
6. Ditukar; atau;
7. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Dari pengaturan berdasarkan Pasal 40 UU Wakaf maka dapat disimpulkan bahwa seluruh benda atau harta yang berasal dari wakaf maka akan berlaku aturan Pasal 40 tersebut yang artinya harta atau benda wakaf tidak dapat dijadikan jaminan dan lainnya.
Pengelolaan benda wakaf biasanya di naungi oleh badan hukum badan hukum yang digunakan umunya adalah yayasan karena keduanya memiliki tujuan yang sama.
5. Pengertian Yayasan
Pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 jo Undang- Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Yayasan adalah :
“Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagaamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota”56
Xxxxx Xxxxxxxxx mengatakan, Yayasan ialah kumpulan dari sejumlah orang yang berorganisai dan segi kegiatannya, lebih tampak sebagai lembaga sosial.
Dari sudut pandang di atas mengenai yayasan, dapat di ketahui bahwa Yayasan adalah organisasi yang melakukan kegiatan sosial (amal) yang tidak bertujuan mencari keuntungan.
6. Tujuan pendirian Yayasan
Sejak didirikan, Yayasan didirikan bukan untuk tujuan komersial atau mencari keuntungan, tetapi tujuannya untuk membantu atau meningkatkan kesejahteraan hidup orang lain.
Yayasan digunakan untuk kegiatan amal, pendidikan, keagamaan, penelitian, atau tujuan amal lainnya.57
56 Undang-Undang Yayasan No. 16 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
57 Ibid, hlm.16
Tujuan Tertentu merupakan salah satu kebutuhan materiil yang harus dipenuhi untuk mendirikan sebuah yayasan. Tujuannya harus ideal, tidak boleh bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepentingan umum. Tujuannya tidak boleh ditujukan untuk membawa manfaat atau keuntungan materi lainnya bagi pendiri. Oleh karena itu, pendirian Yayasan yang pada hakikatnya untuk badan usaha perdagangan tidak dibolehkan.58
Sejak UU Yayasan diberlakukan, maksud dan tujuan yayasan di Indonesia harus memenuhi ketentuan berikut:
a. Untuk mencapai tujuan hanya dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan (Pasal 1 angka (1) UU Yayasan)
b. Yayasan mempunyai maksud dan tujuan harus bersifat sosial, kegamaan, dan kemanusiaan (penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan)
c. Yayasan mempunyai maksud dan tujuan wajib mencamtumkan dalam anggaran dasar Yayasan (Pasal 14 ayat (2) huruf b UU Yayasan)
Yayasan mempunyai maksud dan tujuan tertentu, hanya untuk hal yang sudah ditentukan, sudah dibatasi, dan bersifat khusus untuk melakukan suatu kegiatan. maksudnya adalah tujuan Yayasan tidak dapat bersifat umum.
58 Xxxxx Xxxxxxxx, op.cit., hlm 88
7. Cara mendirikan Yayasan
a. Didirikan Oleh Satu Orang/Lebih
Persyaratan pertama menyatakan bahwa setiap orang dapat mendirikan yayasan secara invidu atau bersama-sama. Yang dimaksud dalam peraturan ini adalah orang perseorangan atau badan hukum.59 Yayasan dapat didirikan dengan cara yang ditentukan oleh UU Yayasan Pasal 9 Ayat (1) mengatur mengenai, Yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan harta kekayaan pendiri, sebagai kekayaan awal. Peraturan tersebut menunjukkan, bahwa pendirian yayasan tidak berdasarkan kesepakatan.60
Maka yang dapat mendirikan yayasan bukan hanya orang atau manusia saja, tetapi juga Badan Hukum. Dalam Pasal 9 Ayat (5) UU Yayasan mengizinkan orang asing untuk mendirikan yayasan di Indonesia. Orang asing dapat mendirikan sendiri atau secara bersama-sama baik sesama orang asing atau bersama orang Indonesia.
b. Yayasan Boleh Saja Didirkan Berdasarkan Surat Wasiat
Selain Mendirikan yayasan berdasarkan keinginan pribadi, Pasal 9 Ayat
(3) UU Yayasan juga mengatur mengenai pendirian yayasan yang dapat dilakukan berdasarkan surat wasiat. ketentuan tertulis dari surat wasiat masih diatur di dalam Buku Kedua Bab 13 (tiga Belas) BW Pasal 874- Pasal 929.
Adapun yang dimaksud dengan surat wasiat atau testament berdasarkan Pasal 875 Ayat (1) BW adalah suatu akta yang disusun berdasarkan
59 Xxxxx Xxxxxxxx , Op.Cit., hlm 38-39
60 Xxxxx Xxxxxxxxx, 2008, Hukum Yayasan Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.27.
pernyataan seseorang tentang apa yang di inginkannya terjadi setelah ia meninggal dunia, dan mengatakan surat wasiat ini hanya boleh dicabut oleh pembuatnya saja.
Yayasan yang didirikan berdasarkan surat wasiat dapat terjadi Ada kemungkinan juga di dalam surat wasiat berisi mengenai harta peninggalan yang dapat dijadikan kekayaan awal yayasan.
c. Kekayaan Yayasan Dipisahkan Dari Kekayaan Pendirinya
Pendirian yayasan berdasarkan Pasal 9 Ayat (1) UU Yayasan menekankan pendirian yayasan dengan memisahkan harta kekayaan pendiri. Penekanan ini terkait dengan status yayasan sebagai badan hukum yang harus memiliki kekayaan sendiri, karena yayasan digunakan untuk kepentingan sosial, agama dan kemanusiaan. Oleh karena itu, pendiri yayasan telah memisahkan kekayaanya untuk dijadikan kekeyaan awal sebuah yayasan.
Hal ini menunjukkan bahwa pendiri bukanlah pemilik yayasan, karena sejak awal ia memisahkan sebagian hartanya menjadi milik badan hukum yayasan. Inilah salah satu alasan mengapa yayasan menjadi milik masyarakat.
Berdasarkan UU Yayasan harus ada minimal kekayaan yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah yayasan. Menurut PP No. 63 Tahun 2008, jika pendirinya adalah orang perseorangan atau badan hukum di Indonesia, maka jumlah kekayaan awal yang dipisahkan adalah Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah), dan jika yayasan didirikan oleh orang asing atau badan hukum asing kekayaan awal yang harus dipisahkan adalah Rp100.000.000 (seratus juta
rupiah). Pemisahan kekayaan ini harus disertai dengan bukti surat penyertaan pendiri mengenai harta kekayaan yang dipisahkan.61
d. Akta Pendirian Dengan Akta Notaris
Selanjutnya Salah satu syarat pendirian yayasan adalah akta pendiriannya dituangkan dalam akta notaris. Pendiri yayasan harus pergi ke notaris untuk membuat akta pendirian yayasan. Akta pendirian yayasan harus dibuat dalam Bahasa Indonesia. sekalipun yang mendirikan yayasan itu adalah orang asing, akta pendiriannya harus tetap menggunakan Bahasa Indonesia, tidak boleh dengan Bahasa Inggris atau Bahasa lainnya.62
Pendirian yayasan harus didirikan dengan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (2) UU Yayasan, Xxxxxan harus didirikan dengan akta notaris dan harus dibuat dalam bahasa Indonesia, Artinya tanpa adanya akta notaris, maka pendirian yayasan tidak pernah ada.63
e. Harus Memperoleh Xxxxxsahan Menteri
Yayasan harus mendapat persetujuan dari pemerintah, yang merupakan syarat mutlak untuk diakui sebagai badan hukum. Menteri Hukum dan Hak Xxxxx Xxxxxxx. Persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut menimbulkan reaksi terutama di kalangan organisasi pemerintah (Ornop), berupa penolakan dan permintaan untuk mencabut Pasal tersebut.64
X.Xxxxx Xxxxx mengatakan yayasan merupakan organisasi yang sifatnya
otonom, semestinya tidak memerlukan izin, cukup dengan akta notaris, lalu
61 Xxxxx , Op.Cit., hlm.41.
62 ibid., hlm.31-32.
63 ibid., hlm 38
64 Xxxxx Xxxxxxxx, Op. Cit., hlm.47.
diumumkan di dalam Tambahan Berita Negara. Birokrasi pengesahan ini bisa jadi tempat pemerintah ikut campur dalam urusan oprasional yayasan. Hal ini menghalangi yayasan untuk melakukan kegitannya karena ada kemungkinan untuk di intervensi oleh pemerintah). Apalagi Kejaksaan bisa menggugat pembubaran sebuah yayasan ke Pengadilan untuk dan atas nama kepentingan umum.65
f. Pengumuman Dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia Dari Perum Percetakan Negara Republik Indonesia
Setelah yayasan memperoleh status badan hukum, maka selanjutnya adalah akta pendirian yang telah disahkan oleh menteri harus diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, hal ini dilakukan agar Yayasan yang didirikan diketahui oleh masyarakat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 Ayat (1) UU Yayasan.
Persyaratan adanya pengumuman di dalam Berita Negara Republik Indonesia dianggap penting sebab dengan pengumuman ini, pihak ketiga akan terikat dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum yang bersangkutan. Dengan kata lain, tanpa pengumuman, maka pihak ketiga tidak akan terikat dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum tersebut.
65Ibid., hlm.47- 48.
Menurut Xxxxxx, mengingat yayasan merupakan suatu badan hukum yang bertujuan sosial, dan tidak mempunyai pemilik, maka setelah pengesahan akta pendirian, perlu diumumkan dalam Tambahan Berita Negara (TBN) sebagai suatu pengumuman resmi. Kemudian agar betul- betul diketahui banyak orang atau masyarakat, di samping pengumuman dalam TBN perlu diumumkan dalam satu atau beberapa surat kabar harian yang peredarannya meliputi tingkat nasional, bukan lokal.66
g. Tidak Boleh Memakai Nama Yang Telah Dipakai Secara Sah Oleh Yayasan Lain, Atau Bertentangan Dengan Ketertiban Umum Dan/Atau Kesusilaan
Pasal 15 Ayat (1) UU Yayasan mengatur bahwa yayasan tidak boleh memakai nama yang :
a. Telah dipakai secara sah oleh yayasan lain; atau
b. Bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesamaan nama dengan yayasan lain, hal ini berkaitan dengan perlindungan merek. Larangan ini dimaksud agar tidak menyesatkan masyarakat atau pihak lain yang berkepentingan atau berhubungan dengan yayasan. Yang dimana selama ini
66ibid., hlm 53-56.
sering kali dijumpai persamaan nama beberapa yayasan walaupun kegiatan dan tujuannya berbeda.67
h. Nama Yayasan Harus Didahului Dengan Kata “YAYASAN”
Ketentuan mengenai pencantuman kata “Yayasan” diatur dalam Pasal 15 Ayat (2) bahwa Nama yayasan harus didahului dengan kata “Yayasan”. Selain itu, ketentuan lebih lanjut mengenai pemakaian nama yayasan diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan UU Yayasan. Persyaratan ini dimaksud untuk lebih memberikan penegasan identitas bagi Yayasan. Ketentuan ini sama dengan penyebutan Perseroan Terbatas (PT), Firma (Fa), atau Perseroan Komanditer (CV).
E. Keabsahan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Tanah
Perjanjian kredit (credit/loan agreement) adalah kesepakatan antara Bank dengan pihak tiga (dalam hal ini nasabah). Perjanjian kredit dapat dipersamakan dengan perjanjian utang-piutang. Perbedaannya hanya pada istilah, perjanjian kredit umumnya dipakai oleh bank sebagai kreditor, sedangkan perjanjian utang-piutang umumnya dipakai oleh masyarakat dan tidak terkait dengan bank.68
Perjanjian kredit juga saling berkaitan dengan jaminan, Jaminan atau agunan adalah aset atau barang berharga milik pihak peminjam
67 Xxxxx Xxxxxxxx, op.cit., hlm 56.
68 Yuk Pahami Hukum Jaminan dan Perjanjian Kredit di Indonesia,dalam xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxx/xx0x0x000000x0x/xxx-xxxxxx-xxxxx-xxxxxxx- dan-perjanjian-kredit-di-indonesia/, diakses pada hari selasa, 12 januari 2021, pukul 23.22 WITA.
(debitor) yang dititipkan kepada pemberi pinjaman (kreditor) sebagai tanggungan atas pinjaman yang diterima jika peminjam melakukan wanprestasi. Jika peminjam tidak dapat memenuhi kewajibannya atau gagal bayar, maka pihak pemberi pinjaman dapat memiliki agunan tersebut sesuai dengan perjanjian. Dalam pemberian kredit, jaminan sering menjadi faktor penting untuk meningkatkan nilai kredit yang diterima oleh seseorang atau perusahaan. Bahkan perjanjian kredit gadai, jaminan merupakan satu-satunya faktor yang dinilai dalam menentukan besarnya pinjaman.69
Jaminan pada umumnya terbagi atas 2 (dua) yaitu jaminan perorangan70 dan jaminan kebendaan71. jika seseoranga ingin meminjam kredit pada pihak perbankan maka pihak perbankan membutuhkan jaminan. Jaminan yang mereka inginkan adalah jaminan yang mudah di sita dan dapat diperjual belikan seperti halnya jaminan kebendaan. Maka jaminan kebendaan seperti tanah ataupun bangunan yang sudah memiliki sertifikat mudah untuk pemberian kredit dari pihak perbankan karena jaminan seperti tanah atau bangunan mudah disita dan diperjual belikan beda dengan jaminan perorangan yang hanya orang atau manusia alamiah yang menjadi penjamin jika terjadi wanprestasi. tetapi tidak semua tanah dapat dijadikan jaminan seperti tanah wakaf72 dan tanah sengketa73. tanah wakaf adalah pemberian
69 Jaminan dalam, xxxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/Xxxxxxx, diakses pada hari selasa, 12 januari 2021, pukul 00.05 WITA.
70 Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban pihak yang berhutang atau debitur 71 jaminan kebendaan adalah jaminan yang objeknya berupa baik benda bergerak mapun benda tidak bergerak yang khusus diperuntukan untuk menjamin utang debitur kepada kreditur
72 tanah wakaf adalah tanah yang diberikan oleh seseorang wakif (pemberi wakaf) guna untuk pemanfaatan tertentu dan tidak boleh dipindah tangankan.
seorang wakif (pemberi wakaf) guna untuk pemanfaatan tertentu. Wakif memberikan tanahnya kepada seorang xxxxxx, xxxxxx adalah orang atau badan hukum.
Nadzir wakaf berhak melakukan segala perbuatan yang mendatangkan kebaikan bagi benda wakaf tapi nadzir wajib memperhatikan syarat yang telah ditentukan oleh wakif. Jika harta berupa sebidang tanah, nadzir berhak menanam tanaman yang dianggapnya bagus dan membuahkan hasil. ia juga memiliki hak untuk menyewakan tanah kepada orang lain dan membagikan hasilnya kepada mereka yang berhak menerimanya. Namun, ia tidak berhak menggadaikan benda wakaf atau menjadi jaminan utang, baik untuk kepentingan wakif maupun untuk orang yang berhak menerima hasil wakaf. Jika hal itu dibiarkan menjadi jaminan atau agunan, bisa saja akan terjadi wanprestasi. Yang mengakibatkan benda wakaf disita, artinya amalan wakif akan berhenti karena terjualnya benda wakaf atau tersitanya benda wakaf jika terjadi wanprestasi.74
Meski nadzir memiliki kewenangan dalam mengelola harta benda wakaf, bukan berarti nadzir ini bisa melakukan segala sesuatu terhadap harta benda wakaf yang sudah diamanatkan untuknya. Karena perlu diketahui bahwa nadzir harus mengikuti amanat yang diberikan wakif olehnya serta ia juga harus mengikuti aturan-aturan perwakafan sehingga harta benda wakaf tetap mengalir manfaatnya. Xxxxxpun ingin merubah peruntukan harta wakaf seharusnya nadzir izin terlebih dahulu oleh wakif. Sehingga tidak terjadi
73 tanah sengketa adalah tanah yang tidak jelas kepemilikannya atau tanah yang bermasalah.
74 Siah Khosyi‟ah, 2010, Wakaf Dan Hibah Wakaf Dan Hibah, Pustaka Setia, Bandung, hlm.146.
wanprestasi dalam melaksanakan amanat sebagai nadzir. berikut hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh nadzir.
Hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh nadzir:75
1. Tidak Melakukan Dominasi Atas Harta Wakaf
Oleh karena itu, Tidak dapat disewakan harta wakaf kepada nadzir ataupun anaknya yang berada dibawah tanggungan nadzir Hal itu dilarang dilakukan untuk menghindari kecurigaan. Selain itu, para pihak yang bertransaksi tidak boleh berkumpul pada satu orang (nadzir) yang juga merupakan penyewa harta wakaf. Nadzir juga tidak diperboleh meyewakan harta wakaf kepada orang yang tidak diterima atau diragukan kesaksiannya. Baik orang tua, anak ataupun istrinya, untuk mencegah timbulnya fitnah.
2. Tidak Boleh Berutang Atas Nama Wakaf
Pada dasarnya, nadzir tidak diperbolehkan meminjam atas nama wakaf. baik melalui pinjaman atau dengan membeli kebutuhan yang dibutuhkan untuk pemeliharaan dan pertanian, dengan jalan kredit. Artinya membayar harganya setelah adanya keuntungan yang dihasilkan dari harta wakaf. karena dikhawatirkan harta wakaf atau hasil yang didapatkan darinya disita untuk dapat melunasi utangnya, sehingga hilanglah harta wakaf dan hilang pula amalan untuk seorang pewakaf.
75 Ibid., hlm. 494.
3. Tidak Boleh Menggadaikan Harta Wakaf
Nadzir tidak boleh menggadaikan harta wakaf dengan membebankan biaya tebusan kepada kekayaan wakaf. Pasalnya, tindakan ini dapat menyebabkan hilangnya harta wakaf, ketika nadzir tidak mampu untuk membayar atau menebus kembali benda wakaf maka wakaf itu menjadi pemiliki sipenggadai. Dengan itu, tindakan tersebut dapat menghilangkan manfaat dari wakaf itu sendiri.76
4. Tidak Boleh Mengizinkan Seseorang Menggunakan Harta Wakaf Tanpa Bayaran Kecuali Alasan Hukum.
Jika nadzir menempatkan seseorang di rumah wakaf tanpa bayaran, maka orang yang menempati rumah tersebut wajib membayar ongkos sewa dengan harga yang pantas. Ini dilakukan untuk memelihara harta wakaf. Dengan itu, pengisian rumah wakaf tersebut tanpa bayaran merupakan tindakan pengabaian akan hak-hak dalam harta wakaf .
5. Tidak Boleh Minjamkan Harta Wakaf
Nadzir tidak dapat meminjamkan harta wakaf. Oleh karena tindakannya itu termasuk dalam pemakaian harta wakaf secara gratis, yang menyebabkan tidak adanya keuntungan bagi wakaf.
76Ibid., hlm 498.
Dari kelima penjelasan mengenai hal yang tidak boleh dilakukan oleh
nadzir maka dapat diketahui :
Ada dua kemungkinan nadzir menjaminkan harta benda wakaf, yakni:
1) Untuk keperluan pengelolaan harta benda wakaf tersebut
2) Untuk keperluan pribadi nadzir
Apabila seorang nadzir kehabisan uang dalam mengelola harta benda wakaf. Sedangkan tanah wakaf membutuhkan bibit, alat-alat dalam pemeliharaannya, Sehingga nadzir berupaya menjaminkan tanah wakaf tersebut untuk mendapatkan pinjaman uang untuk mengelola harta wakaf. Hal ini sebenarnya tidak diperbolehkan, karena apabila tanah wakaf dijaminkan untuk utang dikhawatirkan tanah wakaf tersebut disita karena tidak dapat melunasi utang. Dengan demikian berhentilah amalan wakaf serta tidak sesuai lagi dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Jadi, benda wakaf yang sudah diwakafkan oleh wakif kepada nadzir, hal tersebut bukan berarti harta wakaf menjadi hak penuh nadzir. Walaupun nadzir memiliki kewenangan terhadap harta benda wakaf tersebut. Perlu diketahui bahwasannya ketika wakif mengikrarkan harta wakafnya kepada nadzir, setelah itu juga harta wakaf bukan milik wakif atau nadzir melainkan milik Allah.
Dari Uraian mengenai tinjauan pustaka dan gambaran umum di atas menjadi dasar penulis untuk mengenalisis permasalahan terkait keabsahaan perjanjian kredit dengan jaminan tanah yayasan yang berasal dari wakaf, dengan melakukan perbandingan antara aturan yang dimuat dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dengan praktik yang berlangsung di tengah masyarakat.
Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf merupakan fase dimana perwakafan di Indonesia telah memiliki aturan yang lebih detail dan jelas. Jika sebelumnya perwakafan hanya diatur dalam 1 (satu) Pasal dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang kemudian diatur dalam PP No. 28/1977, melalui transplantasi hukum, maka dengan diterbikannya UU No. 41 Tahun 2004, perwakafan telah diatur dalam dalam UU tersendiri. Sebagai penjabaran lebih lanjut, maka diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Xxxxxxxx pula sebagai aturan turunnya.lebih lanjut, diatur dalam Peraturan Menteri Agama, Peraturan Dirjend. BIMAS, Peraturan Badan Wakaf di Indonesia.77
Dengan adanya pembaruan-pembaruan dari peraturan-peraturan perwakafan yang terdahulu hingga sekarang, diharapkan perwakafan di Indonesia berjalan secara efisien sehingga tidak diragukan lagi apabila ingin
77 Suhairi, 2014, Wakaf Produktif, Kaukaba, Yogyakarta, hlm. 22.
mewakafkan hartanya. Karena secara resmi sudah diatur oleh peraturan pemerintah.
Beradasarkan UU Wakaf Pasal 40 megatur mengenai Harta benda yang sudah diwakafkan dilarang:78
1. dijadikan jaminan;
2. disita;
3. dihibahkan;
4. dijual;
5. diwariskan;
6. ditukar; atau
7. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Berdasarkan pemaparan undang-undang wakaf diatas dapat ditarik benang merah bahwa sudah ada aturan mengenai larangan harta benda wakaf yang dijadikan jaminan utang. Pada dasarnya tidak dibolehkan karena dengan menjaminkan harta wakaf untuk utang sama halnya merubah peruntukkan harta wakaf. Sedangkan dalam merubah peruntukkan ada aturan-aturan yang sudah ditetapkan pemerintah.
Banyak ahli hukum Islam telah mempelajari masalah perubahan nama dan status tanah wakaf dalam kitab-kitab fiqih. Dalam hukum Islam, pada dasarnya tidak diperbolehkan untuk mengubah nama dan status tanah wakaf kecuali
78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 40.
sudah tidak digunakan lagi. Para ulama/ahli Hukum Islam memang beragam pendapatnya dalam hal ini, Xxxx Xxxxxxx dalam kitabnya Al xxxxxx mengatakan bahwa apabila harta wakaf itu rusak dan tidak bermanfaat sesuai dengan tujuannya, hendaknya dijual saja dan hasilnya dibelikan barang lain yang bermanfaat sesuai dengan tujuan wakaf, dan barang yang dibeli itu berkedudukan sebagai harta wakaf seperti semula.79
Jadi, dari pemaparan di atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 40 melarang keras tanah wakaf dijadikan jaminan utang, karena dikhawatirkan harta benda wakaf disita karena terjadinya wanprestasi (tidak dapat membayar hutang) dan dari situlah berhenti amalan wakaf tersebut.
Namun pada kenyataanya, masih saja ada pihak perbankan yang memperbolehkan pemberian pinjaman, dengan jaminan tanah yang berasal dari tanah wakaf. Menurut Xxxxx Xxxxxxxxx selaku pegawai pada Bank BRI cabang Kabupaten Pangkajene, Tanah wakaf itu memiliki penanggung jawab untuk pembayaran pinjaman kreditnya maka hal tersebut boleh saja diberikan pinjaman. Namun bagaimana jika penanggung jawab dari tanah wakaf tersebut wanprestasi sedangkan tanah wakaf pada dasarnya tidak boleh dihilangkan pemanfaatanya artinya tanah wakaf harus sesuai dengan peruntukannya. Jika terjadi wanprestasi apa tanah wakaf tersebut dapat langsung disita, Menurut Xxxxx Xxxxxxxxx, kami dari pihak perbankan tidak
79 Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 386-387.
semudah itu untuk menyita barang debitor kami pasti akan mencari jalan terbaik dan memperhatikan segala hal jika debitor kami wanprestasi. Jadi, dari pihak Xxxxx Xxxxxxxxx memperbolehkan pemberian kredit dengan jaminan tanah wakaf.
Akan tetapi , tidak semua pihak perbankan menerima pinjaman dengan jaminan tanah wakaf seperti pada Bank BNI dan Bank SULSELBAR. Menurut Xxxxx Xxxxx selaku penyelia di Bank BNI Kabupaten Pangkajene, Dari pihak kami tidak menerima pinjaman dengan jaminan tanah wakaf karena benda wakaf adalah benda yang diberikan oleh seseorang untuk pemanfaatan tertentu yang harus sesuai dengan apa yang dinginkan pemberi wakaf. Maka itu kami tidak menerima benda wakaf sebagai jaminan dan Menurut Bapak Xxxxx selaku pegawai Bank bagian perkereditan di Bank SULSELBAR, Tanah wakaf tidak boleh dijadikan jaminan karena menurut yang saya ketahui melanggar UU.
Jadi, berdasarkan uraian diatas mengenai wawancara terhadap pihak perbankan penulis berpendapat bahwa, tanah wakaf tidak diperbolehkan untuk dijadikan jaminan karena tanah wakaf merupakan tanah yang diberikan oleh wakif (pemberi wakaf) kepada nadzir (penerima wakaf) untuk kepentingan sosial dan harus digunakan sesuai dengan peruntukan yang di inginkan oleh wakif serta untuk kemaslahatan ummat. Meski penjaminan wakaf didasarkan untuk pembangunan atau pengembangan dari tanah wakaf tersebut tetap tidak diperbolehkan karena jika terjadi wanprestasi maka amalan wakaf juga akan
terhenti. Seperti yang dijelaskan sebelumnya pada Pasal 40 UU Wakaf mengatur mengenai larangan untuk menjamin tanah wakaf. Jika pihak perbankan masih saja menerima jaminan dengan tanah wakaf maka akta yang mereka buat sudah melanggar causa yang halal yang artinya melanggar ketentuan perundang-undangan jika hal itu terjadi maka syarat objektif sahnya perjanjian dilanggar dengan demikian akta yang mereka buat batal demi hukum.
Dalam hal ini sebaiknya pihak perbankan yang masih menerima atau memperbolehkan jaminan dengan tanah wakaf untuk tidak lagi memperbolehkannya karena jika terjadi wanprestasi hingga kejenjang pengadilan maka akta yang mereka buat akan batal demi hukum dan merugikan pihak perbankan. Lain halnya dengan hakim yang sempat menjadi narasumber penulis Menurut Xxxxx Xxxx, jaminan tanah wakaf sahsah saja yang jelas jaminan dilakukan oleh pengurus wakaf itu sendiri dan tidak menghilangkan manfaat wakaf yang sesungguhnya.
Dari urian di atas menurut pendapat penulis, hal tersebut menyimpang karena jika benar terjadi tanah wakaf dijadikan jaminan dan pihak yang menjaminkan tanah wakaf wanprestasi maka tanah wakaf tersebut dapat disita dan dijual hal ini dilakukan untuk pemenuhan pembayaran pinjaman oleh pihak yang menjaminkan tanah wakaf. Dengan ini amalan pemberi wakaf berhenti dan wakaf tidak berjalan sesuai dengan pemanfaatanya.
Hanya beberapa hakim yang berpendapat bahwa sah sah saja tanah wakaf dijadikan jaminan ada beberapa hakim yang sempat juga menjadi narasumber. Diantaranya Xxxxx Xxxxx dan Ibu Xxxxx.
Menurut Xxxxx Xxxxx, perjanjian dengan jaminan tanah wakaf tidak dapat dilakukan oleh pengurus wakaf karena melanggar causula yang halal, dimana sebuah perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Pasal 40 Tentang Wakaf dengan ini jika penerima wakaf melakukan jaminan dengan tanah wakaf itu dapat di pidanakan. dan Menurut Ibu Tenri perjanjian dengan jaminan tanah wakaf tidak diperbolehkan karena tanah wakaf merupakan tanah pemberian seseorang yang harus digunakan untuk peruntukannya maka itu tanah wakaf tidak dapat dijadikan jaminan demi melindungi tanah wakaf itu sendiri.
Dari uraian mengenai wawancara terhadap beberapa hakim, maka penulis menyimpulkan tanah wakaf tidak diperbolehkan untuk dijadikan jaminan jika dilakukan dengan sengaja maka melanggar Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf sebagai berikut:80
Mereka yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, atau mengalihkan hak lain tanpa izin di pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), bagi yang dengan sengaja mengubah peruntukan
80 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 67 ayat 1-3.
harta benda wakaf tanpa izin di penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), dan bagi yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelola dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang di tentukan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Dengan adanya ketentuan pidana dan sanksi atas pelaku yang melanggar aturan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 40, Menjadikannya orang yang melakukan pelanggaran tersebut jera dengan akibat hukumnya serta membuat masyarakat enggan untuk melanggar hukum.