IMPLIKASI PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH YANG MASIH DALAM PROSES PEMECAHAN SERTIFIKAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK
IMPLIKASI PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH YANG MASIH DALAM PROSES PEMECAHAN SERTIFIKAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK
TESIS
OLEH :
NAMA MHS. : Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx NIM 17921053
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM MAGISTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2021
IMPLIKASI PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH YANG MASIH DALAM PROSES PEMECAHAN SERTIFIKAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK
TESIS
OLEH :
NAMA MHS. : Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx NIM 17921053
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM MAGISTER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2021
HALAMAN PERSETUJUAN
MOTTO
“We always overestimate the change that will occur in the next two years and underestimate the change that will occur in the next ten. Don’t let yourself be lulled into inaction”
Xxxx Xxxxx
PERSEMBAHAN
Tesis ini ku persembahkan kepada
Allah SWT, Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx XXX, Kedua Orang Tua ku Tercinta
Kekasihku, Almamater dan Segenap Civitas Akademik FH UII,
Serta untuk diri sendiri yang telah berjuang hingga akhir,
Terimakasih.
SURAT PERNYATAAN
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuhu
Alhamdulillahirabil alamin, puji dan syukur atas rahmat, karunia dan rezeki yang telah dilimpahkan oleh Allah S.W.T yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada Xxxx Xxxxxxxx
X.X.X. Serta doa dan dukungan dari orang-orang tercinta hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
Tugas akhir berupa Tesis yang berjudul “Implikasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Yang Masih Dalam Proses Pemecahan Sertifikat dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Hambatan yang dialami penulis selama menulis tesis ini dapat dilalui berkat rahmat-Nya serta dukungan dari orang-orang terdekat penulis. Penulis menyadari bahwa tanpa adanya dukungan tersebut penulis tidak akan sampai pada titik ini. Selain itu, tesis ini masih terdapat kelemahan dan kekurangan dalam penulisannya.
Terselesaikannya tesis ini tentunya tidak terlepas dari bantuan serta dukungan dari beberapa pihak. Untuk itu, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang senantiasa melimpakan segala rahmat serta karunianya kepada penulis dan Xxxx Xxxxxxxx XXX.
DAFTAR ISI
B. Syarat Sahnya Perjanjian 30
E. Perjanjian Pengikatan Jual Beli 44
F. Perjanjian Jual Beli dalam Perspektif Islam 48
A. Implikasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah yang Masih dalam Proses Pemecahan Sertifikat 57
B. Perlindungan Hukum Bagi Calon Penjual dan Calon Pembeli Terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah yang Masih Dalam Proses Pemecahan Sertifikat 71
ABSTRAK
Dalam melakukan perjanjian jual beli hak atas tanah yang masih dalam proses pemecahan sertifikat, para pihak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli atau PPJB sebelum dibuatnya Akta Jual Beli. PPJB ini hadir dalam praktik kenotariatan karena tidak diatur secara detail di Indonesia. Selain itu, penggunaan PPJB dalam praktik jual beli tanah dapat menimbulkan implikasi tersendiri bagi para pihaknya. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis implikasi perjanjian pengikatan jual beli tanah yang masih dalam proses pemecahan sertifikat dan : perlindungan hukum dari penggunaan perjanjan pengikatan jual beli tanah yang masih dalam proses pemecahan sertifikat bagi para pihak.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan menelusui data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisi data yang digunakan adalah analisi kualitatif serta menggunakan pendekatan perundang-undangan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa dengan digunakannya perjanjian pengikatan jual beli terhadap tanah yang masih dalam proses pemecahan sertifikat dapat memberikan potensi itikad buruk dari salah satu pihak untuk menggunakan PPJB tidak sebagaimana mestinya. Selain itu adanya kemungkinan pembatalan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang dapat merugikan pihak lain karena sifat PPJB yang tidak mengakibatkan peralihan hak atas tanah. Perlindungan hukum yang dapat dilakukan baik itu bagi calon pembeli dan calon penjual ialah memberikan klausul didalam isi PPJB yang dapat melindungi kepentingan para pihak.
Dari hasil studi ini, penulis memberikan saran agar penggunan perjanjian pengikatan jual beli di Indonesia harus diatur lebih lanjut dan mendetail. Hal ini berkaitan dengan kepentingan para pihak didalam penggunaan perjanjian pengikatan jual beli.
Kata Kunci : Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Perlindungan Hukum, Calon Pembeli, Calon Penjual
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seluruh Indonesia sifat masyarakatnya bertalian erat dengan hukum tanahnya. Jiwa rakyat dan tanahnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Ini berarti bahwa tiap perubahan dalam jiwa rakyat baik sebagai hasil pertumbuhan dalam hukum tanah.1 Tanah dengan dimensinya yang unik kerap melahirkan permasalahan yang tidak sederhana, baik permasalahan yang berdimensi sosial, ekonomi, politik, hukum atau berdimensi lebih luas dan kompleks melingkupi berbagai bidang kehidupan manusia.2 Tanah merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Tanah merupakan bumi yang dalam penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada diatasnya dengan pembatasan-pembatasan sesuai dalam Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut sebagai UUPA) dimana diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan dalam batas-batas menurut UUPA maupun peraturan-peraturan lainnya yang ada.3
Perkembangan penduduk yang semakin pesat, memberikan dampak pada persedian tanah dan bangunan sebagai kebutuhan pokok manusia karena faktor kepadatan penduduk yang terjadi. Meskipun, pada hakikatnya penyediaan kebutuhan perumahan merupakan salah satu tugas dan tanggung jawab negara,
1 Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta, PT Toko Gunung Agung, 2005, hlm. 51.
2 Xxxxx Xxxxx, Pembatalan dan Kebatalan Tanah Hak Atas Tanah, Yogyakarta, Tugujogja Pustaka, 2005, hlm. 1
3 Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxx dan Zulkamaein Koto, Hukum Agraria Atas Keberadaan Bangunan Pada Ruang Atas Tanah, Jurnal Nuansa Kenotariatan, Vol.1 No.1 Juli-Desember 2015, hlm.12
sebagaimana yang telah tercantum dalam UUD 1945. Bagi subjek hukum untuk dapat memperoleh hak atas tanah, memerlukan adanya proses atau perbuatan hukum tertentu, misalnya waris, hibah, jual beli, dan sebagainya. Dalam hal memperolah hak atas tanah melalui transaksi jual beli, maka hal itu dilakukan di hadapan Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) guna dilakukan peralihan beserta pendaftaran tanah di kantor pertanahan supaya kepastian hukum dapat tercapai, sebagimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut diatur dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria juga dalam PP No. 24 Tahun 1997 yang menjelaskan bahwa salah satu tujuan dari pendaftaran tanah adalah terwujudnya tertib administrasi.4
UUPA tidak menjelaskan mengenai perolehan hak atas tanah dengan cara jual beli, hanya dalam pasal 26 UUPA yang menyinggung terkait jual beli hak atas tanah. Sebagaimana disebutkan bahwa Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.5 Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.6
4 Made Ara Denara Asia Amangsa dan I Made Xxxx Xxxxxxxx, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam Transaksi Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, terdapat dalam xxxxx://xxx.xxxx.xx.xx/xxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxx/xxxxxxx/xxxxxxxx/00000/00000. Terakhir diakses pada tanggal 16 Juni 2021, pukul 21.50 WIB.
5 Pasal 26 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
6 Pasal 1457 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Jual beli adalah suatu perjanjian konsensualisme yang artinya untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus. Unsur-unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah adanya barang dan juga harga. Oleh karena itu, perjanjian jual beli telah lahir pada saat tercapainya kesepakatan oleh kedua belah pihak mengenai harga dan barang.7 Salah satu sifat penting dari jual beli ialah perjanjian jual beli itu sifatnya hanya obligatoris saja, maksudnya jual beli belum memindahkan hak milik. Perjanjian jual beli tersebut hanya sebatas memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual.8
Sama halnya dengan jual beli tanah, berlaku ketentuan mengenai jual beli pada umumnya sebagaimana dimaksud dalam KUHPer. Salah satu perbuatan hukum peralihan hak milik atas tanah ialah dengan jual beli tanah. Dalam kebiasaan praktik jual beli tanah pada saat ini diharapkan terdapat kepastian hukum yang dapat menjamin berlangsungnya kegiatan tersebut melalui balik nama sertifikat hak atas tanah. Balik nama sertifikat hak atas tanah yang dilakukan dengan cara jual beli adalah perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak yang didasarkan pada lelang hanya dapat didaftarkan jika lelang tersebut dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang.9
7 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2008, hlm. 2.
8 Ibid, hlm. 54.
9 Arieni Xxxxx Xxxxxxxx, Proses Balik Nama Sertifikat Hak Milik Jual Beli Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Lex Patrium Vol.5, No. 4, Juni 2017, hlm. 19 (19-26)
PPAT memiliki tugas pokok untuk melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat sebuah akta yang dipergunakan sebagai alat bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai ha katas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah 10
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Hibab
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik
g. Pemberian Hak Tanggungan
h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan
Dalam hal perjanjian jual beli hak atas tanah, harus dilakukan dengan pembuatan akta otentuk yang dibuat di hadapan PPAT dikenal dengan nama Akta Jual Beli (selanjutnya disebut sebagai AJB).11 Namun, dalam prakteknya kedua belah pihak yang ingin melakukan perjanjian jual beli seringkali menggunakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (selanjutnya disebut sebagai PPJB) terlebih dahulu yang dibuat dengan akta dibawah tangan. PPJB merupakan ikatan awal yang dibuat oleh penjual dan pembeli tanah dengan bentuk akta di bawah tangan (akta non otentik). Karena sifatnya non otentik, hal itu menyebabkan PPJB tersebut tidak
10 Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
11 Xxxx Xxxxxxx, Perlindungan Hukum Bagi Pembeli dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah yang Masih Berstatus Hak Pengelolaan”, LamLaj, Vol. 2, No. 1, Maret 2017, hlm. 114. (113-124)
mengikat tanah sebagai objek perjanjiannya tidak menyebabkan beralihnya kepemilikan tanah dari penjual ke pembeli.12
Proses jual beli tanah dapat menimbulkan sengketa karena karena adanya perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu.13 Dalam prakteknya perjanjian pengikatan jual beli dimungkinkan untuk dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak atau atas kesepakatan kedua belah pihak. Bahkan perjanjian pengikatan jual beli tanah tersebut dapat pula dibatalkan oleh suatu keputusan pengadilan. Namun, perjanjian jual beli tanah yang masih dalam proses pemecahan sertipikat belum memiliki dasar hukum yang jelas di Indonesia.
Praktik jual beli tanah yang menggunakan akta Pengikatan Jual Beli (PJB) sebagai perjanjian pendahuluan terkadang mengalami kendala saat akan dilakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah berdasarkan Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT. Kendala tersebut misalnya penjual meninggal dunia sehingga ahli waris tidak mau menandatangani Akta Jual Beli Tanah, atau pemilik tanah sendiri membatalkan jual beli tanah yang telah dibuat dengan alasan tertentu.14 Pemakaian Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai perjanjian pendahuluan seringkali digunakan agar membantu proses perjanjian jual-beli hak atas tanah, namun
12 Ibid, hlm. 117.
13 Xxxx Xxx Xxxxxxxxx dan X.Xxxxxxxxxx, Hak Atas Tanah dan Peralihannya. Yogyakarta: Liberty, 2013, hal. 7
14 Xxxxx, Op.Cit, hlm. 892.
terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli sendiri dalam penerapannya hanya memakai asas umum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Hal ini disebabkan karena belum adanya aturan tertentu yang mengatur mengenai perjanjian pengikatan jual beli secara mendalam. 15
PPJB tanah tergolong sebagai perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo) yaitu perjanjian dengan mana para pihak saling mengikatkan diri untuk terjadinya perjanjian pokok yang menjadi tujuan para pihak, yakni perjanjian kebendaan berupa jual beli benda berupa tanah.16 Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihaknya yang melakukan perbuatan hukum jual beli hak atas tanah tersebut dengan menyesuaikan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pertanahan seperti UUD NRI Tahun 1945, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan beberapa peraturan pemerintah lain sebagai peraturan pelaksana ketentuan tersebut.17
Penggunaan perjanjian pengikatan jual beli justru menimbulkan implikasi tersendiri bagi para pihaknya, padahal dasar hukum penggunaan perjanjian pengikatan jual beli tanah tidak lah jelas dalam hukum positif Indonesia. Terutama penggunaannya terhadap perjanjian jual beli yang sertifikatnya masih dalam proses pemecahan.
15 Xxxxx, Op.Cit, hlm. 900.
16 Selamat, Op. Cit, hlm. 82.
17 Xxxx, Op.Cit, hlm. 8.
Maka dari itu, berdasarkan uraian latar belakang diatas, perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut oleh penulis terkait “Implikasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Yang Masih Dalam Proses Pemecahan Sertifikat Dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Implikasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah yang Masih Dalam Proses Pemecahan Sertifikat?
2. Bagaimana Perlindungan Hukum Bagi Calon Penjual dan Calon Pembeli Terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah yang Masih Dalam Proses Pemecahan Sertifikat?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis implikasi perjanjian pengikatan jual beli tanah yang masih dalam proses pemecahan sertifikat.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum bagi calon penjual dan calon pembeli terhadap perjanjian pengikatan jual beli tanah yang masih dalam proses pemecahan sertifikat.
D. Orisinilitas Penulisan
Penulisan tesis ini yang Implikasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Yang Masih Dalam Proses Pemecahan Sertifikat Dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak bukan merupakan plagiasi, tapi merupakan hasil karya asli penulis. Berikut beberapa skripsi dengan tema yang sama :
1. Xxxxx Xxxxxxxxxx, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, melakukan penelitian pada tahun 2020.
a. Judul : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Proses Pemecahan Sertifikat Tanah Warisan (Studi Kasus di Kantor Notaris PPAT Xxxxxx Xxxxx Xxxx, S.H., M.H)
b. Rumusan Masalah
1) Bagaimana proses pemecahan sertifikat tanah di Notaris PPAT Xxxxxx Xxxxx Xxxx, S.H., M.H.?
2) Bagaimana proses pemecahan sertifikat tanah di Notaris PPAT Xxxxxx Xxxxx Xxxx, S.H., M.H ditinjau dari asas keadilan Hukum Islam?
c. Tujuan penelitian :
1) Untuk mengetehui proses pemecahan sertifikat tanah di Notaris PPAT Xxxxxx Xxxxx Xxxx, S.H., M.H
2) Untuk mengetahui proses pemecahan sertifikat tanah di Notaris PPAT Xxxxxx Xxxxx Xxxx, S.H., M.H ditinjau dari asas keadilan Hukum Islam
d. Hasil penelitian : proses tahapan yang harus ditempuh oleh pemohon pemecahan sertifikat tanah yang ingin mengajukan pemecahan sertifikat tanah di Notaris PPAT Xxxxxx Xxxxx Xxxx, S.H., M.H. ialah pemohon harus datang langsung ke kantor Notaris PPAT untuk melengkapi persyaratan yang dibutuhkan. Apabila persyaratan telah lengkap dan benar, maka bagian PPAT akan menyerahkan semua pesyaratan ke kantor badan pertanahan nasional wilayah untuk dapat diproses lebih lanjut. Namun disini ditemukan bahwa pemohon tidak
melibatkan ahli waris dalam proses pemecahan. Padahal keterlibatan seluruh ahli waris tersebut guna untuk memperoleh persetujuan tanda tangan surat keterangan pemecahan dari seluruh ahli waris. Kemudian, terdapat beberapa persesuaian yang harus dipenuhi dalam proses pemecahan sertifikat tanah. Ada juga beberapa ayat yang sifatnya umum kemudian akan dianalisis sebagai dasar Hukum Islam mengenai asas keadilan dalam proses pemecahan sertifikat tanah warisan. Pertama, persesuaian antara ucapan dan perbuatan yang membahas tentang ketentuan dalam proses pemecahan sertifikat tanah. Kedua, persesuaian antara iman, ilmu, dan amal membahas tentang peran PPAT dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum. Ketiga, persesuaian antara kemestian dan kenyataan membahas soal peraturan dalam proses pemecahan sertifikat tanah. Keempat yaitu persesuaian antara kehidupan manusia dan pemenuhan hak kewajibannya yang membahas tentang hak ahli waris untuk diikut sertakan dalam proses pemecahan sertifkat tanah dan kewajiban PPAT dalam melaksanakan tugasnya harusnya sesuai dengan kode etik PPAT. Maka berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa proses pemecahan sertifikat tanah di Notaris PPAT Xxxxxx Xxxxx Xxxx, S.H., M.H. tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian serta asas keadilan Hukum Islam di karenakan dalam mekanismenya
seharusnya melibatkan seluruh ahli waris dalam proses pemecahan sertifikat.18
2. Rifky Anggatiastara Xxxxx, Xxxxxxx dan Xxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Program Studi Kenotariatan, Universitas Diponegoro, melakukan penelitian pada tahun 2020.
a. Judul : Akta Pengikatan Jual Beli Tanah Sebelum Dibuatnya Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
b. Rumusan Masalah : Bagaimana kedudukan akta pengikatan jual beli dalam jual beli tanah, serta kekuatan dan kelamahannya.
c. Tujuan penelitian : Untuk mengetahui kedudukan akta pengikatan jual beli dalam jual beli tanah, serta kekuatan dan kelemahannya.
d. Hasil penelitian : Kedudukan Akta PJB dalam proses jual beli tanah merupakan perjanjian awal sebelum dibuatnya AJB sebagai syarat peralihan hak atas tanah dalam sertipikat. Akta PJB bukan merupakan tanda bukti peralihan hak atas tanah. Akta PJB yang dibuat sebelum Akta Jual Beli dan dibuat dihadapan notaris sehingga berbentuk akta notaril memiliki kekuatan mengikat yang sangat kuat. Namun, akta pengikatan jual beli bukan merupakan bukti pengalihan hak atas atas hanya sekedar perjanjian pendahuluan. Akta PJB ini memiliki kelemahan yaitu masih diperlukan tindakan hukum lain yaitu pembuatan Akta Jual Beli sebagai alat bukti
18 Xxxxx Xxxxxxxxxx, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Proses Pemecahan Sertifikat Tanah Warisan (Studi Kasus di Kantor Notaris PPAT Xxxxxx Xxxxx Xxxx, S.H., M.H), Institus Agama Islam Negeri Surakarta, Skripsi, 2020.
peralihan hak atas tanah sebagai syarat perubahan hak milik atas tanah karena jual beli tanah pada sertipikat.19
3. Gede Tusan Ardika & Xxxxx, Fakultas Hukum Unmas Mataram, yang melakukan penelitian pada tahun 2019.
a. Judul : Kekuatan Hukum Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah (Studi Di Desa Babakan Kecamatan Sandubaya Kota Mataram)
b. Rumusan Masalah :
1) Bagaimana kekuatan hukum akta perjanjian pengikatan jual beli tanah di Desa Babakan Kecamatan Sandubaya Kota Mataram?
2) Bagaimana akibat hukum dari pembatalan akta pengikatan jual beli tanah di Desa Babakan Kecamatan Sandubaya Kota Mataram?
c. Tujuan penelitian:
1) Untuk mengetahui kekuatan hukum akta perjanjian pengikatan jual beli tanah di Desa Babakan Kecamatan Sandubaya Kota Mataram
2) Untuk mengetahui akibat hukum dari pembatalan akta pengikatan jual beli tanah di Desa Babakan Kecamatan Sandubaya Kota Mataram
19 Rifky Anggatiastara Xxxxx, Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxx Prabandari, Akta Pengikatan Jual Beli Tanah Sebelum Dibuatnya Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, NOTARIUS, Vol. 13, No.3, 2020, 890-905
d. Hasil penelitian : Kekuatan hukum dari akta perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang dibuat oleh notaris dan berbentuk akta notaril memiliki kekuatan yang sangat kuat, pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali dalam perjanjian pengikatan jual beli bukanlah termasuk ke dalam kuasa mutlak yang dilarang oleh Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, sehingga status hukumnya sah-sah saja untuk dilakukan. Selain itu, akibat-akibat hukum yang timbul dari pembatalan akta Pengikatan Jual Beli Tanah: (1) Para pihak dapat dikenakan denda yang besarnya telah disepakati dari jumlah yang harus dibayar pembeli kepada penjual atau pembeli, untuk tiap-tiap hari keterlambatan. Denda tersebut harus dibayar secara lunas, (2) Perjanjian berakhir dan sepanjang perlu kedua belah pihak melepaskan diri dari apa yang ditetapkan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Pihak Penjual wajib untuk mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh Pihak Pembeli setelah dipotong beberapa persen dari harga jual tanah dan bangunan tersebut sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh Pihak Penjual ditambah denda yang harus dibayar oleh Pihak Pembeli kepada Pihak Penjual.20
20 Gede Tusan Ardika dan Xxxxx, Kekuatan Hukum Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah (Studi di Desa Babakan Kecamatan Sandubaya Kota Mataram), Journal Unmas Mataram, Vol. 13, No.1, Maret 2019. 172-180.
4. Selamat Lumban Gaol, Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma yang melakukan penelitian pada tahun 2020.
a. Judul : Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Sebagai Dasar Pembuatan Akta Jual Beli Tanah dalam Rangka Peralihan Hak Atas Tanah dan Penyalahgunaan Keadaan (Misburk Van Omstandigheden)
b. Rumusan Masalah :
1) Bagaimanakah keabsahan akta PPJB tanah sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah?
2) Bagaimanakah keabsahan akta PPJB tanah yang diperoleh karena penyalahgunaan keadaan (misbruik van omsttandigheden) sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah?
c. Tujuan penelitian : Secara praktis dapat menjadi pegangan dan pedoman berkenaan dengan keabsahan dan ketidakabsahan akta PPJB tanah sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah, serta bagi para Hakim dalam memeriksa, memutus dan mengadili gugatan berkenaan dengan keabsahan dan ketidakabsahan akta PPJB tanah sebagai dasar pembuatan AJB tanah dapat menjadikan penelitian ini sebagai referensi.
d. Hasil penelitian: Pertama akta PPJB tanah lunas yang di dalamnya terdapat kuasa jual beli yang dibuat secara sah dan memenuhi syarat sahnya perjanjian pada umumnya dan juga pemberian kuasa pada
khususnya (vide Pasal 1320 Jo. Pasal 1338 Jis. Pasal 1319, Pasal 1337 dan Pasal 1339 serta Pasal 1792, Pasal 1793 dan Pasal 1795 KUH Perdata serta UU Jabatan Notaris) dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan AJB tanah dihadapan PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya jual beli dan peralihan hak atas tanah yang menjadi objek akta PPJB dan AJB tersebut. Kedua akta PPJB lunas yang diperoleh karena atau di dalamnya terdapat penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) atau keadaan jual beli proforma (schijnhandeling) tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah.21
E. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst.22 Sedangkan Pasal 1313 KUHPerdata merumuskan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian dalam arti luas ialah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Sedangkan dalam arti sempit “perjanjian” hanya ditunjukkan kepada
21 Selamat Lumban Gaol, Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Sebagai Dasar Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Dalam Rangka Peralihan Hak Atas Tanah dan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden), Jurnal Ilmu Hukum Dirgantara, Vol. 11 No. 1, September 2020, 80-106
22 Xxxx Xxxx Xxxxxxx, Pokok-pokok Perjanjian Indonesia,Yogyakarta, LP3M UMY,2014, hlm. 43.
hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III KUH Perdata.23
Menurut Xxxxx 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian dapat dinyatakan sah apabila telah memenuhi empat syarat, yaitu :
a. Adanya kesepakatan bagi kedua belah pihak
b. Adanya kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. Adanya objek atau suatu hal tertentu
d. Adanya kausa yang halal
Kesepakatan merupakanpersesuaian penyataan kehendak antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Terdapat 5 cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu :
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2) Bahasa yang sempurna secara lisan;
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima atau dimengerti oleh pihak lawan;
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
5) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.
Kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah mampu melakukan perbuatan hukum, atau para pihak yang telah dinyatakan dewasa oleh hukum. Menurut Xxxxx 1313 KUH Perdata, orang-orang yang dinyatakan tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang orang yang belum dewasa,
23 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx, 1992, hlm. 20.
orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan semua orang yang menurut Undang Undang dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus memiliki pokok suatu benda yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek prestasi. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.24
Untuk menentukan jasa sebagai objek perjanjian maka harus ditentukan secara tegas dan jelas bentuk jasa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak. Sedangkan dalam hal objek perjanjian merupakan tidak berbuat sesuatu, maka harus dijelaskan dalam perjanjian tersebut hal-hal apa yang harus tidak dilakukan oleh para pihak. Konsekuensi hukum atas tidak dipenuhinya syarat yang bersifat objektif dalam suatu perjanjian adalah perjanjian tersebut batal demi hukum (Void/Null).25
Menurut pasal 1335 jo. 1337 KUH Perdata bahwa suatu sebab yang dilarang apabila dilarang oleh undang-udang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Untuk menentukan suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan merupakan hal yang cukup sulit,
24 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Perseroan Terbatas, Yogyakarta, FH UII Press, 2014, hlm. 52.
25 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Perjanjian, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2014, hlm.
18.
karena pengertian kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman.26 Sah atau tidaknya kausa dari suatu perjanjian ditentukan saat perjanjian itu dibuat. Suatu perjanjian tanpa sebab yang halal akan berakibat bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”
Perjanjian memiliki beberapa asas yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu :
1) Asas kebebasan berkontrak
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting, sebab merupakan perwujudan dari kehendak bebas pancaran dari hak manusia.27 Asas kebebasan berkontrak dapat menciptakan perjanjian- perjanjian baru yang dikenal dalam Perjanjian Bernama dan isinya menyimpang dari Perjanjian Bernama yang diatur oleh undang-undang.28 Menurut asas kebebasan berkontrak, seseorang mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Pada asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian. Asas
26 Xxxxxx, Op.Cit, hlm. 54.
27 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, Jakarta, Sinar Grafika, 2016, hlm. 45.
28 J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Bandung, Alumni, 1993, hlm. 36.
kebebasan berperjanjian menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi beberapa hal sebagai berikut :29
a) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b) Kebebasan untuk memilih pihak dalam membuat perjanjian.
c) Kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
d) Kebebasan untuk menentukan objek dari suatu perjanjian.
e) Kebebasan untuk menentukan bentuk dari sebuah perjanjian.
f) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang- undang yang bersifat opsional (aanvullend optional).
2) Asas konsensualisme
Perjanjian konsensualisme juga dinamakan perjanjian konsensuil, kata konsensualisme itu berasal dari kata latin Consensus yang berarti sepakat. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.30 Terhadap asas konsensualisme ini ada pengecualiannya, yaitu apabila ditentukan suatu formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak dipenuhi formalitas tersebut. Seperti misalnya perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tidak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus dilakukan
29 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta, LaksBang Mediatama, hlm. 110.
30 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 27.
secara tertulis.31
3) Asas itikad baik
Itikad baik dalam suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut :
“suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
Pada awalnya itikad baik yang disebut dalam bahasa Belanda dengan te goeder trouw, atau sering juga diterjemahkan dengan kejujuran, dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu: (1) Itikad baik pada waktu akan mengadakan perjanjian; dan (2) Itikad baik pada waktu melaksanakan hak- hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut. Adapun suatu perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik atau tidak, akan tercermin pada perbuatan-perbuatan nyata para pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut. Meskipun itikad baik dalam melaksanakan perjanjian berasal dari hati sanubari manusia yang memiliki sifat subyektif, tetapi itikad baik itu pun dapat diukur secara objektif.32
4) Asas Pacta Sunt Servanda.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menjelaskan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Adagium (ungkapan) pacta sunt servanda diakui sebagai aturan bahwa semua persetujuan yang dibuat oleh manusia secara timbal-balik pada hakikatnya bermaksud untuk dipenuhi dan dapat pula
31 A Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxx, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Pekembangannya,
Yogyakarta, Liberty, 1985, hlm. 21.
32 Xxxx Xxxxx Xxxxxx, Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian dalam Mewujudkan Tujuan Perjanjian, Binamulia Hukum, Vol.7, No.2, Desember 2018, hlm. 000 000-000
dipaksakan, sehingga secara hukum mengikat. Perjanjian yang diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata. Artinya, para pihak harus mentaati apa yang telah mereka sepakati bersama didalam perjanjian tersebut.33
2. Tinjauan Umum Perjanjian Jual Beli Tanah
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menjelaskan bahwa:
“Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”
Perjanjian jual beli tanah adalah pihak penjual menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka berpindahlah hak atas tanah itu kepada pembeli. Perbuatan hukum perpindahan hak ini bersifat tunai, terang dan riil. Tunai, berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk selama-lamanya, dengan disertai pembayaran sebagian atau seluruh harga tanah tersebut. Terang memiliki arti bawah perbuatan hukum pemindahan hak tersebut dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Perjanjian tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan riil atau secara nyata
33 Ibid.
memiliki arti bahwa para pihak menunjukkan akta PPAT yang ditandatatangani oleh kedua belah pihak.34
Perjanjian jual beli tanah menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah bersifat “obligatoir”, artinya jual beli itu belum memindahkan hak milik, perjanjian baru memberikan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. Sifat ini terlihat jelas dari Pasal 1459 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa : 35
”hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahan belum dilakukan (menurut ketentuan- ketentuan yang bersangkutan)”
3. Tinjauan Umum Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Peristilahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dikenal juga dengan istilah Perjanjian Jual Beli (PJB) atau Pengikatan Jual Beli (PJB) atau Perjanjian Akan Jual Beli (PAJB) atau Perikatan Jual Beli (PJB), atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah (PPJB HaT), Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah (PPJB tanah), dll.36
PJB adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan memiliki bentuk yang bebas. Terjadinya jual beli tanah hak
34 Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, Djambatan, 2003, hlm. 333.
35 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung, PT Citra Xxxxxx Xxxxx, hlm. 79.
36 Selamet, Op.Cit, hlm. 86.
dihadapan PPAT harus telah dilunasi harganya. Sangat dimungkinkan adanya keadaan dimana penjual yang sertipikat tanah haknya sedang dalam balik nama pada kantor Badan Pertanahan Nasional, akan tetapi penjual bermaksud untuk menjual hak tersebut. Untuk mempermudah hal itu maka dibuatlah perjanjian pengikatan jual beli. Sebagai suatu perjanjian pendahuluan untuk sementara menantikan dipenuhinya syarat untuk perjanjian pokoknya yaitu akta jual beli dihadapan PPAT yang berwenang membuatnya, maka biasanya di dalam perjanjian tersebut memuat klausula yang mengandung ketentuan- ketentuan mana kala syarat-syarat untuk jual beli di hadapan PPAT telah terpenuhi. Tentu saja para pihak setelah syarat untuk jual beli telah dipenuhi dapat datang lagi untuk melaksanakan jual beli dihadapan PPAT.37
PPJB dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu a. Akta PPJB yang baru merupakan janji-janji karena biasanya harga dari objek tersebut belum sepenuhnya dilunasi oleh pembeli melainkan masih diangsur dalam beberapa kali pembayaran, disebut sebagai PPJB Belum Lunas.; b. Akta PPJB yang pembayarannya sudah dilakukan secara lunas namun belum bisa dilaksanakan pembuatan akta jual belinya di hadapan PPAT yang berwenang, karena belum terpenuhinya persyaratan dan alasan yang menyebabkan AJB belum bisa dibuat oleh PPAT disebut sebagai PPJB Lunas.38
F. Definisi Operasional
1. Jual Beli
37 Xxxxx, Op.Cit, hlm. 898.
38 Selamet, Lo.Cit.
Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.39
2. Sertipikat
Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c Undang Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yag masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.40
G. Metode Penelitian
Suatu penelitian ilmiah diperlukan metode atau prosedur dalam menganalisa data yang akan diteliti. Metode atau prosedur ini bertujuan memudahkan ketika merumuskan data untuk penelitian yang akan dilakukan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (legal research atau non doktriner). Xxxx mempermudah unutuk memahaminya, maka dalam metode penelitian ini penulis menjabarkan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian yang difokuskan mengkaji penerapan norma hukum
39 Pasal 1457 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
40 Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
positif berupa pengaturan perjanjian jual beli tanah yang sertifikatnya masih dalam proses pemecahan dan implikasinya bagi para pihak. Penelitian ini tidak mengenal penelitian lapangan, sebab yang dikaji berasal dari bahan-bahan hukum sehingga disebut library based focusing on reading and analysis of the primary and secondary materials.41
2. Objek Penelitian
Objek penelitian yang akan dikaji oleh peneliti adalah Implikasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Yang Sertifikatnya Masih Dalam Proses Pemecahan dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak.
3. Data Penelitian
Sumber data penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsusng dari subjek penelitian dan/atau lokasi penelitian, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.42 Pada penelitian ini, peneliti memilih jenis penelitian normatif, maka sumber data peneltian yang dipilih adalah data sekunder. Pada data sekunder terdiri atas bahan hukum yang meliputi
a. Data Sekunder
41 Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxxx dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm, 46.
42 Tim Buku Pedoman Tugas Akhir Fakultas Hukum UII, Panduan Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa, Yogyakarta, 2016, hlm. 12
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain :
1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang tidak mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, seperti: rancangan peraturan perundang-undangan, literatur, buku- buku ilmu hukum, surat kabar, hasil karya dari kalangan hukum, penelusuran internet dan jurnal.43
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum pelengkap data primer dan sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.44
43 Ibid, hlm 13.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan untuk memecahkan masalah sehingga data-data yang didapat merupakan data yang akurat dan terpercaya. Adapun teknik pengumpulan data sekunder melalui studi kepustakaan dan studi dokumen atau arsip.45
5. Pendekatan Penelitian
Berkaitan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, maka pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Pendekatan ini dilakukan untuk meneliti norma-norma atau aturan-aturan yang dirasa masih kabur pengaturannya. Dan juga untuk meneliti bagaimana penerapan peraturan tersebut dalam kasus yang terjadi sehari-harinya.
6. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dengan cara analisis data kualitatif. yaitu dengan cara menafsirkan, menginterprestasikan, dan mengklasifikasikan data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan hasil wawancara dengan menggunakan kerangka teori dan kerangka konsep yang hasilnya diuraikan dan dijelaskan kedalam bentuk kalimat yang jelas, teratur, logis dan efektif sehingga diperoleh gambaran yang jelas tepat, dan dapat
ditarik kesimpulan sehingga dari beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran. Meliputi kegiatan pengklasifikasi data, editing, penyajian hasil analisis dalam bentuk narasi, dan pengambilan keputusan.46
H. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan Skripsi Sistematika Skripsi merupakan rencana isi skripsi:
1. BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, orisinalitas penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, analisis data, dan sistematika skripsi.
2. BAB II PEMBAHASAN
Bab ini akan menguraikan mengenai implikasi perjanjian pengikatan jual beli tanah yang sertifikatnya masih dalam proses pemecahan dan perlindungan hukum bagi pembeli.
3. BAB III PENUTUP
Bab ini berisi mengenai kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah dan saran yang sekiranya bersangkutan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan.
BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN, PERJANJIAN JUAL BELI, PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN PERJANJIAN JUAL
BELI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Perjanjian
Bab II Buku III KUHPerdata Indonesia menyamakan sebuah perjanjian dengan kontrak. Hal tersebut secara jelas disebutkan dalam judul Bab II Buku III KUHPerdata, yakni “Xxx xxxxxxxxxxxxxx die uit contract of overeenkomst (Perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian). Kontrak merupakan suatu kesepakatan yang dapat dilaksanakan atau dipertahankan keabsahan ataupun isinya dihadapan pengadilan. Sedangkan Pasal 1313 KUH Perdata menentukan (eene overeenkomst is eene handeling waarbij een of meer personen zich jegens een of meer andere verbinden): 47
“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu dengan yang lain atau lebih lainnya”
Namun, definisi tersebut dianggap tidak lengkap dan terlalu luas. Pengertian tersebut tidak lengkap, karena definisinya tersebut hanya mengacu kepada perjanjian sepihak saja. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat “yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih”. Selain itu, pengertian tersebut dikatakan terlalu luas, karena rumusan “suatu perbuatan” dapat mencakup perbuatan hukum (seperti zaakwaarneming) dan perbuatan melawan
47 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm.58.
hukum (onrechtmatigedaad).48
X.Xxxxxx membedakan pengertian perjanjian dalam arti sempit dan juga luas. Dalam arti sempit, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.49 Perjanjian dalam arti luas merupakan perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Sedangkan dalam arti sempit “perjanjian” di sini hanya ditunjukkan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III KUH Perdata.50
Kontrak termasuk sebagai perbuatan hukum, perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang menghasilkan akibat hukum dikarenakan adanya niat dari perbuatan satu orang ataupun lebih. Sehingga kontrak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum yang bersifat multilateral. Ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak ialah adanya kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang diungkapkan oleh satu pihak kepada pihak lain. Di samping itu, sangat mungkin suatu kontrak yang sah dibuat tanpa adanya kesepakatan bersama.51
Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum harta kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan
48 Ibid, hlm. 59.
49 X.Xxxxxx, Hukum Perjanjian, PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1992, hlm. 20.
50 Ibid, hlm. 23.
51 Xxxxxx, Op.Cit, hlm. 60.
hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan kepada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan ridorang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris.52
Berbeda halnya dalam perjanjian, hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum/rechthandeling. Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.53
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku sebagaimana tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi empat syarat, yakni :54
a. Adanya Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Kontrak atau perjanjian menjadi sah apabila para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:55
52 X. Xxxxx Xxxxxxx, Segi-Segi Hukum Perjanjian, hlm. 6.
53 Ibid, hlm. 7.
54 Ibid, hlm. 15.
55 Ibid, hlm. 132.
a) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
b) Bahasa yang sempurna melalui lisan;
c) Bahasa yang tidak sempurna namun dapat diterima ataupun dimengerti oleh pihak lawan;
d) Bahasa isyarat namun dapat diterima oleh pihak lawannya;
e) Diam atau membisu, tetapi pihak lawan dapat memahaminya.
b. Kecapakan Untuk melakukan perbuatan Hukum
Kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah mampu melakukan perbuatan hukum, atau para pihak yang telah dinyatakan dewasa menurut hukum. Menurut Xxxxx 1313 KUH Perdata, orang-orang yang dinyatakan tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa
Pengaturan mengenai batas kedewasaan ditemukan dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut sebagai UU Perkawinan). Sekalipun undang-undang tersebut diberi judul Undang Undang tentang Perkawinan, tetapi didalamnya sebenarnya diatur hukum keluarga. Pasal 47 jo. Pasal 50 UU Perkawinan menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada dibawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun. Undang Undang tersebut mengalami sedikit perubahan yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 50 UU Perkawinan menentukan bahwa
“Anak yang mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua berada dibawah kekuasaan wali”
Kemudian dalam ayat (2) Pasal 50 tersebut ditentukan bahwa perwalian itu mengenai pribadi anak maupun bendanya. Ketentuan tersebut secara tidak langsung menetapkan batas umur kedewasaan ketika menetapkan anak yang belum mencapai delapan belas tahun masih berada dibawah pengawasan orang tua mereka dewasa.56 Selain itu juga, ketentuan lain yang secara tidak langsung mengatur mengenai kedewasaan seseorang terdapat dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Khusus berkaitan dengan perjanjian dibuat dihadapan notaris diatur dalam Pasal 39 ayat (1) bahwa para penghadap harus memenuhi syarat paling sedikit berumut 18 (delapanbelas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan
perbuatan hukum57
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan (Curatele)
Pasal 433 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang ditaruh dibawah pengampuan adalah orang yang Gila (sakit otak), dungu (xxxxxxxxxxxx), mata gelap (razernij), Lemah akal dan Orang yang Boros.58
3) Pada umumnya semua orang yang menurut Undang-Undang dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Apabila orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampuan melakukan perbuatan hukum (termasuk membuat perjanjian), menurut hukum haruslah diwakili oleh orang tua atau walinya. Untuk mereka yang disebut dalam Pasal 433 KUH Perdata maka yang mewakili adalah pengampunya
56 Ridwan, Hukum Kontrak Indonesia, Op.Cit, hlm. 178.
57 Ibid, hlm. 179.
58 J. Satrio, Op. Cit, hlm. 282.
atau kuratornya.59
c. Adanya objek atau suatu hal tertentu;
Syarat ketiga dari suatu perjanjian haruslah memenuhi “hal tertentu”, maksudnya adalah suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa62 “suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau di hitung”. Dalam suatu perjanjian, objeknya harus jelas dan ditentukan oleh para pihak. Objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun bisa juga berupa memberikan sesuatu, melakukan atau tidak melakukan atau berbuat sesuatu. Pasal 1332 dan 1334 KUH Perdata mengatur bahwa yang dapat menjadi objek perjanjian yaitu dapat diperdagangkan, objeknya jelas (ditentukan jenisnya), jumlah dapat ditentukan/dihitung, dapat berupa barang yang akan ada di kemudian hari, dan bukan warisan yang belum terbuka.60
d. Adanya kausa yang halal
Kausa dari suatu perjanjian dapat ditentukan sah atau tidaknya saat perjanjian itu dibuat. Suatu perjanjian tanpa sebab yang halal akan berakibat bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
59 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Op. Cit., hlm. 64.
60 Pasal 1332 dan 1334 KUH Perdata.
kekuatan.”61 Dalam Pasal tersebut diatur mengenai perjanjian tanpa kausa. Selain isi perjanjian itu harus tertentu (dapat ditentukan), isinya juga harus halal (tidak terlarang), sebab isi dari perjanjian itulah yang akan dilaksanakan. Suatu sebab dikatakan halal sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata yakni perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.62
Apabila suatu perjanjian diamati dan diuraikan unsur-unsur yang terdapat didalamnya, maka unsur-unsur yang ada disana dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok sebagai berikut :63
1. Unsur essensialia.
2. Unsur naturalia
3. Unsur accidentalia
Essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada didalam suatu perjanjian, unsur mutalk, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada.64 Eksistensi dari suatu perjanjian ditentukan secara mutlak dengan adanya unsur essensialia, karena tanpa unsur ini suatu perjanjian tidak pernah ada. Sehingga unsur essensialia ini adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian, tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, oleh karenanya menjadi tidak sesuai dengan kehendak para pihak dalam perjanjian tersebut.65
61 Xxxxx, Op.Cit, hlm. 18.
62 Pasal 1337 KUH Perdata.
63 J. Xxxxxx, Op.Cit, hlm. 57.
64 Ibid.
65 Pasal 1337 KUHPerdata.
Sebab yang halal merupakan essensialia bagi suatu perjanjian. Dalam sebuah perjanjian jual beli, harga dan barang yang disepakati oleh kedua belah pihak harus ada. Pada perjanjian yang riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formal.66
Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur, tetapi yang oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Unsur tersebut oleh undang- undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah (regelend/aanvullend recht). Contohnya ialah kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan dan untuk menjamin/vrijwaren dapat disimpangi.67 Setelah unsur essensialianya telah diketahui secara pasti, maka muncul unsur naturalia yang merupakan unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu.68
Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut.69 Unsur ini sifatnya penambahan dari para pihak. Unsur ini merupakan unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan- ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan yang mereka kehendaki yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihaknya.70 Contohnya dalam suatu perjanjian jual beli rumah para pihak sepakat
66 J. Satrio, Loc. Cit.
67 Ibid, hlm. 58.
68 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan Xxxx Xxxxx Dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 88.
69 J. Satrio, Loc. Cit.
70 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Op. Cit, hlm. 64.
untuk menetapkan, bahwa jual beli tersebut tidak meliputi pintu pagar besi yang ada dihalaman depan rumah.71
C. Xxxx Xxxx Perjanjian
Terdapat 7 jenis asas-asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum (principle) yang harus diindahkan oleh setiap yang terlibat didalamnya, sebagai berikut :72
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting, sebab merupakan perwujudan dari kehendak bebas pancaran dari hak manusia. 73 Asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan berbagai bentuk perjanjanjian baik perjanjian itu sudah diatur dalam Undang-Undang maupun belum diatur dalam Undang-Undang.74 Asas kebebasan berkontrak mengakibatkan seseorang dapat menciptakan perjanjian- perjanjian baru yang dikenal dalam Perjanjian Bernama dan isinya menyimpang dari Perjanjian Bernama yang diatur oleh undang-undang.75
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme ini berarti bahwa pada asasnya suatu perjanjian, muncul pada saat konsesnsus atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian tercapai. Dengan kata lain, asas konsensualisme ini mensyaratkan bahwa
71 J. Xxxxxx, Op.Cit, hlm. 61.
72 Xxxxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1989, hlm. 45.
73 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Op.Cit, hlm. 45.
74 A Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxx, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Ctk.1, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 18.
75 J. Xxxxxx, Op.Cit, hlm. 36.
perjanjian itu telah sah jika tecapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak membutuhkan lagi formalitas. Terhadap asas konsensualisme ini terdapat beberapa pengecualian yaitu apa yang disebut sebagai perjanjian formal.76
3. Asas Personalitas
Asas personalitas dapat diartikan sebagai asas kepribadian, yang berarti bahwa pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Hal ini logis, karena sudah sewajarnya suatu perjanjian mengikat bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian itu, bukan untuk mengikat bagi orang lain yang tidak terlibat dalam perjanjian itu. Terhadap asas ini ada pengecualian yaitu apa yang disebut sebagai derben-beding atau perjanjian untuk pihak ketiga. Dalam hal ini seorang membuat perjanjuan dimana dalam perjanjian itu ia memperjanjikan hak-hak bagi orang lain, tanpa kuasa dari orang yang diperjanjian itu.77
4. Asas Itikad Baik (In Good Faith)
Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan memperhatikan itikad baik (togoeder trouw; in good fait; de bonne foil). Demikianlah isi pasal 1338 ayat 3
B.W. Sedangkan yang dimaksud itikad baik adalah :78
a. Istilah “itikad baik” dikenal misalnya dengan perkataan “pemegang barang yang beritiqad baik”,”pembeli yang beritiqad baik” atau lain- lainnya. Ini merupakan perlawanan kata orang yanb beritiqad buruk.
76 Xxxxxxx, Op.Cit, hlm. 46.
77 Ibid, hlm. 47.
78 Ibid, hlm. 48.
b. Bahwa pelaksanaan perjanjian harus dengan memperhatikan norma- norma kepatutan dan kesusilaan.
Jadi pengertian “itikad baik” mempunyai dua arti :
1. Arti yang obyektif : bahwa perjanjian yang dibuat itu mesti dilaksanakan dengan memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Konsekuensinya, hakim boleh melakukan intervensi terhadap isi perjanjian yang telah dibuat para pihak yang bersangkutan apabila perjanjian tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
2. Arti subyektif : yaitu pengertian “itikad baik” yang terletak dalam sikap batin seseorang.
5. Asas Pacta Sunt Servanda
Pacta sunt servanda merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuat seperti undang-undang. Maksudnya bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat mereka seperti undang-undang.79
Asas ini tercantum dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi, “semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai undang- undang bagi yang membuatnya”
Sebagai konsekuensi dari asas Pacta Xxxx Xxxxxxxx ini adalah bahwa Hakim maupun pihak ketiga dilarang mencampuri isi dari perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan. Tujuannya demi memberikan
79 A Qirom, Op.Cit, hlm. 19.
kepastian hukum. Konsekuensi lain, tidak ada pihak ketiga yang boleh mengurangi hak orang lain untuk menentukan isi dari perjanjian yang dibuatnya. Dari mana pihak pembuat yang bersangkutan terikat oleh perjanjian itu.80
Tentu saja asas ini pun mempunyai pengecualian dalam yaitu jika para pihak yang melakukan perjanjian itu dalam keadaan tidak seimbang kedudukannya. Keadaan tidak seimbang artinya keadaannya tidak benar-benar dalam “handelingsbekwaam” atau “handelingsbeveogd”. Sebagaimana bunyi pasal 1320 ayat 2 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, jika salah satu pihak atau kedua pihak berada dalam keadaan “onbekwaam”, dapat dimintakan pembatalan perjanjian itu oleh orang tuanya bagi yang “minderjarig”, atau walinya, atau bagi kuratornya bagi mereka yang berada dibawah kuratele (pengampuan). Permintaan pembatalan itu juga dapat diajukan oleh pihak yang “onbekwaam” tadi, sedangkan pihak yang “beekwaam” tidak dapat mengajukan pembatalan itu.81
Tujuan asas pacta sunt servanda adalah untuk memberikan perlindungan kepada para pembeli bahwa mereka tak perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.82 Dari asas pacta sunt servanda ini juga menyimpulkan adanya kebebakan berkontrak. Dengan demikian semua orang dapat membuat perjanjian, apapun nama perjanjian itu. Kebebasan berkontrak dari para pihak untuk membuat perjanjian itu adalah meliputi :83
a. Perjanjian-perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang;
80 Xxxxxxx, Op. Cit, hlm. 49.
81 Ibid.
82 A Qirom, Op.Cit, hlm. 20.
83 Xxxxxxx, Op.Cit, hlm. 51.
b. Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur oleh undang- undang;
Dari asas kebebasan berkontrak itu juga dapat dilihat unsur-unsur yang terkandung didalamnya meliputi :84
a. Kebebasan untuk mengadakan perjanjian;
b. Kebebasan untuk tidak mengadakan perjanjian;
c. Kebebasan untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun;
d. Kebebasan untuk menentukan sendiri isi maupun syarat-syarat perjanjiannya.
D. Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian dengan mana satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan (leveren) suatu barang (benda) dan pihak lain mengikatkan diri untuk membayar harga yang disetujui bersama. Hal tersebut tercantum dalam pasal 1457 KUH Perdata. Perjanjian jual beli secara historis dan logis adalah suatu species dari genus perjanjian tukar-menukar. Perjanjian jual beli adalah perjanjian tukar-menukar pada mana salah satu prestasinya terdiri dari sejumlah uang dalam arti alat pembayaran yang sah. Dalam KUH Perdata istilah harga tidak mungkin berarti lain daripada suatu jumlah alat pembayaran yang sah. Pada perjanjian tukar-menukar, uang berhadaoan dengan uang dan barang berhadapan dengan uang. Barang dalam hal ini harus diartikan luas baik barang (benda) yang berwujud maupun yang tidak berwujud.85
84 Ibid.
85 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, Aneka Perjanjian Jual Beli, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1982, hlm. 1.
Perjanjian jual beli berdasar KUHPerdata juga bersifat konsensual. Asas konsensualisme dalam perjanjian jual beli disimpulkan dari ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian jual beli dianggap telah terjadi antara keduabelah pihak sejak para pihak mencapai kata sepakat, walaupun barangnya belum diserahkan dan belum dibayar. Terjadinya kata sepakat diantara para pihak, maka perjanjian jual beli telah tercapai namun belum beralih hak milik atas barang yang dijual kepada pembeli. Hak milik atas barang yang dijual tersebut baru beralih kepada pembeli setelah adanya penyerahan (levering, transfer of title, transfer of ownership). Sebelum ada penyerahan hak milik atas barang yang dijual tersebut secara hukum belum beralih kepada pihak pembeli.86
Saat terjadinya perjanjian jual-beli, risiko ditanggung oleh pembeli. Artinya pembeli dalam hal barang yang telah dijual itu hancur karena suatu kejadian yang tidak dapat diduga, harus tetap membayar harga pembeliannya. Demikianlah yang ditentukan dalam Pasal 1460 KUH Perdata.87 Ketentuan pasal 1460 KUH Perdata ini kontradiksi dengan karakter jual beli yang dianut KUH Perdata. Berdasar karakter jual beli berdasar KUH Perdata, dengan adanya perjanjian jual beli yang berkarakter konsensual obligatoir, jual beli baru melahirkan kewajiban dan hak bagi penjual dan pembeli. Hak milik belum beralih sebelum adanya penyerahan. Namun, berdasar ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata, dengan adanya jual beli risiko terhadap barang belum diserahkan dan pembeli belum menjadi pemilik barang yang bersangkutan.88
86 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Perjanjian Jual Beli, FH UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm. 29
87 Ibid, hlm. 13.
88 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Op.Cit, hlm. 122.
Di dalam setiap perjanjian jual-beli, barang yang dibeli itu dinilai dengan uang, maka penetapan keadaan barang yang dibeli adalah penting. Pada waktu mengadakan penilaian, maka menjadi jelaslah besarnya perbedaan yang terdapat antara jual-beli barang tertentu dan barang berjenis. Pada jual beli barang tertentu bentuk dasarnya adalah bahwa pembeli melihat-lihat lebih dahulu barangnya dan menyelidikinya sebelum membeli. Penetapan keadaan barangnya terjadi oleh pembeli sebelum mengadakan perjanjian jual-beli. Jadi sebelum mengadakan perjanjian jual-beli maka pembeli telah cukup mencoba dan menimbang-nimbang mengenai keadaan barang.89
Perjanjian jual beli dengan percobaan (koop en verkoop op de proef aangegaan) oleh pasal 1463 KUH Perdata, dikonstruksikan sebagai perjanjian dengan syarat penundaan “jual beli yang diadakan atas dasar percobaan atau dari barang yang menurut kebiasaan dicoba/dicicipi lebih dahulu selalu dianggap diadakan dengan syarat penundaan”. Walaupun ini menimbulkan sedikit kesulitan berhubung dengan adanya pasal 1256 KUH Oerdata, yang melarang syarat potestatif, konstruksi ini kiranya masih lebih baik daripada menganggapnya sebagai suatu janji sepihak untuk menjual (eenzijdige verkoopbelofte). Biasanya perjanjian jual beli dengan percobaan ini, dibicarakan orang bersama-sama dengan perjanjian jual-beli dengan contoh (koop en verkoop op monster), tetapi sebenarnya yang demikian itu kurang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum. Keanehan dari perjanjian jual beli dengan percobaan (koop en verkoop op monster) terletak
89 Ibid.
pada cara terjadinya persesuaian kehendak dari perjanjian jual beli dengan contoh (koop en verkoop op monster) terletak pada cara menentukan barangnya.90
KUH Perdata mengatur ada beberapa pihak yang tidak boleh melakukan jual beli. Ketentuan diatur dari Pasal 1467 sampai dengan 1470. Pasal 1467 menentukan larangan jual beli antara suami dan istri, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut :91
1. Jika seorang suami atau seorang istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya, sedangkan oleh pengadilan telah dipisahkan, untuk memenuhi apa yang menjadi hak istri atau suaminya itu menurut hukum;
2. Jika penyerahan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya, juga dari siapa dia tidak dipisahkan, berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya untuk mengembalikan barang istri yang telah dijual, atau uang yang menjadi milik istri, maka dari itu itu jika benda-benda atau uang tersebut dikecualikan dari penyatuan harta;
3. Jika istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi jumlah uang yang telah dia janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan, sedangkan barang itu dikecualikan dari penyatuan harta.
Dengan tidak mengurangi, namun dalam ketiga hal ini hak-hak para ahli waris pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum, apabila salah satu pihak dengan cara demikian telah memperoleh suatu keuntungan secara tidak langsung. Oleh pembuat undang-undang.
90 Ibid. hlm. 14.
91 Xxxxxx, Op.Cit, hlm. 73.
Pasal ini dimaksudkan agar tidak ada perubahan dalam harta perkawinan suami istri. Untuk mencegah penyelundupan hukum yang terlalu mudah, maka jual beli antara suami istri dilarang. Jika suami istri dapat mengadakan perjanjian jual beli, maka dapat diadakan perubahan harta perkawinan mereka dengan menjual di bawah harga atau diatas harga.92
Perjanjian jual beli dapat terjadi dengan diawali sebuah penawaran (aanbood, offer, ijab). Penawaran tersebut dapat berasal dari penjual maupun pembeli. Misalnya melakukan penawaran suatu barang tertentu dengan harga tertentu. Penawaran tersebut dapat dilakukan dengan eksplisit maupun implisit , baik itu tertulis maupun lisan. Apabila penawaran yang disampaikan penjual diterima maka terjadi kata sepakat. Namun, apabila penawaran yang diajukan penjual tersebut tidak langsung diterima maka akan dilakukan negosiasi atau tawar menawar agar dapat menemukan kesepakatan.93
Apabila kata sepakat telah terjadi, perjanjian jual beli sudah mengikat kedua belah pihak. Pada saat itu juga perjanjian jual beli melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Penjual wajib dan terikat untuk menyerahkan barang dimaksud dalam perjanjian sedangkan pembeli wajib dan terikat untuk melakukan pembayaran atas harga barang yang diperjanjikan. Walaupun sudah terjadi perjanjian jual beli harus diikuti dengan proses penyerahan (levering).94
E. Perjanjian Pengikatan Jual Beli
92 Ibid, hlm. 74.
93 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Op.Cit, hlm. 31.
94 Ibid, hlm. 32.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah merupakan perjanjian yang muncul, tumbuh dan berkembang di dan dalam masyarakat, agar dapat mengakomodir keinginan dan kebutuhan masyarakat akan tanah untuk memenuhi hidupnya ataupun untuk keperluan transaksi jual beli hak atas tanah atau hak atas bidang tanah. Dalam praktek kenotariatan, PPJB dibuat agar para pihak yang telah sepakat saling mengikatkan diri atas harga dan objek jual beli bidang tanah tertentu. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan PPJB harus dibuat yaitu :
1. Pembayaran harga sebagai konsekuensi jual beli belum dibayarkan secara penuh;
2. surat-surat atau dokumen tanah yang masih belum lengkap;
3. Obyek atau bidang tanah belum dapat dikuasai oleh para pihak, pihak penjual ataupun pihak pembeli, dalam hal ini pemilik asal ataupun pemilik baru;
4. Besaran obyek jual beli masih dalam pertimbangan para pihak;
5. Pajak yang belum dilunasi, ; dan
6. Penjual yang sertipikat tanah haknya sedang dalam penyelesaian balik nama pada Kantor Pertanahan, tetapi penjual bermaksud untuk menjual tanah tersebut, dan pembeli bersedia untuk melakukan jual beli dengan kondisi seperti itu;
7. Sertipikat hak atas tanah yang dijadikan objek jual beli masih menjadi jaminan hutang yang dimiliki oleh penjual sehingga belum dimungkinkan untuk dilakukan jual beli antara para pihak.95
95 Selamat, Op.Cit, hlm. 81.
Di dalam prakteknya terdapat 2 (dua) tahapan yang dilalui oleh para pihak , yaitu Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah yang dibuat dihadapan Notaris dan Perjanjian Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT. Tahapan pertama adalah tahap dengan akta PPJB yang memuat isi perjanjian yang mengikat calon penjual dan calon pembeli agar dapat melakukan jual beli tanah pada tahapan kedua. Salah satu alasan dibuat akta PPJB karena persyaratan mengenai peralihan hak atas tanah belum lengkap atau belum terpenuhi, maka perjanjian yang dilakukan para pihak dilakukan dihadapan Notaris.96 Sedangkan tahap kedua, para pihak akan membuat akta jual beli dihadapan PPAT sebagai kelanjutan dari PPJB. Hubungan antara calon penjual dengan calon pembeli menimbulkan hubungan hukum, hubungan hukum tersebut mempunyai kriteria masing-masing dan itu akan menimbulkan persetujuan dan perjanjian diantara mereka. Perjanjian pengikatan jual beli tanah dalam prakteknya sering dibuat dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris yang tertera dalam Pasal 15 ayat (1) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.97
Perjanjian Pengikatan Jual Beli bertujuan untuk memberikan penegasan kembali perihal bentuk akta yang bersifat sementara, yaitu berbentuk perjanjian pengikatan. Pada haikatnya tanpa ada kata pengikatan, para pihak sudah terikat pada suatu perjanjian jual beli. Pengaruh kata pengikatan untuk lebih meyakinkan para pihak dalam perjanjian itu saja, karena sekarang ini hampir semua akta
96 Alfiansyah, xx.xx, Urggency Binding Sale Agreement Deed of Land That Made by Notary,
Jurnal Hukum Universitas Brawijaya, 2015, hlm. 8.
97 Ibid.
perjanjian jual beli diberi judul PPJB. Karena PPJB memuat kondisi tertentu dalam pengikatan, yakni perjanjian terlebih dahulu atas perbuatan hukum selanjutnya yang disepakati.98
Isi dari perjanjian pengikatan jual beli berupa janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian utamanya yaitu perjanjian jual beli. Misalnya dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam perjanjian pengikatan jual belinya biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun pihak pembelinya menyatukan kehendak keduanya untuk melakukan perbuatan hukum pertama yaitu perjanjian jual beli. Selain itu juga dapat berupa janji untuk melakukan pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagiman diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembelisebagai syarat dari penjual sehinggaakta jual beli dapat di tandatangani di hadapan pejabat pembuat akta tanah(PPAT).99
PPJB merupakan bentuk perjanjian yang tunduk pada ketentuan Undang- Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman serta Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No 9 tahun 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli sebagai lex specialis karena dalam ketentuan tersebut memuat mengenai PPJB yang digunakan oleh developer dan pembeli. Selain itu, jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (lex generalis) maka PPJB dapat dikategorikan memenuhi unsur-unsur sebagai suatu
98 Xxxx Xxxxxx Xxxxx, Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas, Jurnal Akta, Vol.4, No.4, 2017, hlm. 624.
99 Ibid, hlm. 633.
perjanjian, yang dapat menimbulkan perikatan dan bersumber dari perjanjian. Meskipun PPJB tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang. Hukum Perdata, akan tetapi PPJB tersebut sah sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :100
1. Memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian;
2. Tidak dilarang oleh Undang-Undang;
3. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;
4. Sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
F. Perjanjian Jual Beli dalam Perspektif Islam
Jual beli dalam istilah fiqh disebut al-bai’ yang artinya menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal albai’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata asy-syira yang artinya beli. Dengan demikian, kata al-bai’ berarti jual sekaligus juga berarti beli. Secara bahasa pengertian jual beli adalah tukar menukarkan sesuatu dengan sesuatu.101 Menurut pengertian Syari’at, yang dimaksud dengan jual beli ialah: 102
“Pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar yang sah).“
Berdasarkan definisi yang dikemukakan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa jual beli dapat dilakukan dalam cara :103
1. Pertukaran harta antara kedua belah pihak atas dasar saling rela, dan
100 Ibid.
101 Shobirin, “Jual Beli Dalam Pandangan Islam” terdapat dalam xxxxx://xxxxxxx.xxxxxxxxx.xx.xx/xxxxx.xxx/Xxxxxx/xxxxxxx/xxxx/0000/0000. Diakses pada 16 Oktober 2021, pukul 13.14 WIB.
102 Xxxxxxxxx Xxxxxxxx & Suhrawardi X. Xxxxx, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 33
103 Ibid.
2. Memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan sebagaimana dimaksud ialah uang.
Dalam cara yang pertama, yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela yang memberikan penjelasan bahwa harta adalah semua yang dimiliki dan dimanfaatkan. Pertukaran harta atas dasar saling rela ini dapat dikemukakan bahwa jual beli yang dilakukan adalah dalam bentuk barter atau pertukaran barang (dapat dikatakan bahwa jual beli ini adalah dalam bentuk pasar tradisional). Sedangkan dalam cara kedua yaitu memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan atau diakui secara sah oleh hukum. Adapun yang dimaksud dengan ganti yang dapat dibenarkan berarti milik/harta tersebut dipertukarkan dengan alat pembayaran yang sah, dan diakui keberadaannya misalhnya uang rupiah dan lain-lain sebagainya.104
Oleh karena perjanjian jual beli ini merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat sahnya jual beli. Menurut Jumhur Ulama rukun jual beli ada 4 (empat), yaitu:105
1) Orang yang Berakad (Penjual dan Pembeli)
104 Ibid, hlm. 34.
105 X. Xxx Xxxxx, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.118
a) Penjual, adalah orang yang memilik harta dengan maksud menjual barangnya ataupun orang lain yang diberi kuasa untuk menjual harta orang lainnya. Penjual haruslah cakap dalam melakukan transaksi jual beli.
b) Pembeli, yaitu orang yang cakap dan dapat membelanjakan hartanya.106
2) Sighat (Ijab dan Qabul)
Sighat (ijab dan qabul), yaitu persetujuan antar kedua belah pihak yaitu pihak penjual dan pihak pembeli untuk melakukan transaksi jual beli, dimana pihak penjual menyerahkan barang dan pihak pembeli menyerahkan uang, baik transaksi menyerahkan barang lisan maupun tulisan.107
3) Xxx Xxxxxx yang Dibeli
Sahnya jual beli harus ada ma’qud alaih, yaitu barang yang menjadi objek jual beli atau yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli.108
4) Xxx Xxxxx Xxxxx Xxxxganti Barang
Nilai tukar pengganti barang adalah sesuatu yang memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu : bisa menyimpan nilai, bisa menilai/menghargakan suatu barang dan bisa dijadikan alat tukar.109
Dalam suatu perbuatan jual beli, ketiga rukun ini hendaklah dipenuhi, sebab apabila salah satu rukun tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat
106 X. Xxxxxxx Xx’far, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Xxxxx Xxxxx Lampung, Bandar lampung, 2015, hlm. 141
107 Ibid.
108 Xxxxxxxx, Op.Cit., hlm. 249
109 Ibid., hlm. 251
dikategorikan sebagai jual beli. Agar suatu jual beli yang dilakukan oleh pihak penjual dan pihak pembeli sah, haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu : 110
1) Syarat Orang yang Berakad
Xxxxx Xxxxx sepakat, bahwa orang yang melakukan akad jual beli harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Baligh dan Berakal
Dikatakan baligh dalam Hukum Islam apabila telah berusia 15 tahun bagi anak laki-laki dan telah dating bulan bagi anak perempuan. Oleh karenanya, transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak yang belum baligh adalah tidak sah, tetapi bagi anak-anak yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi anak tersebut belum baligh, menurut sebagian ulama anak tersebut diperbolehkan untuk melakukan perbuatan jual beli, khususnya untuk barang-barang kecil.111
b) Atas Kehendak Sendiri (Bukan Paksaan)
Dalam melakukan transaksi jual beli salah satu pihak tidak melakukannya atas suatu tekanan atau paksaan terhadap pihak lain, sehingga pihak lain pun melakukannya atas kehendaknya sendiri. Jual beli yang dilakukan atas dasar paksaan atau bukan atas kehendak sendiri adalah tidak sah.112
c) Orang yang Melakukan Akad adalah Orang yang Berbeda.
110 X. Xxx Xxxxx, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.251.
111 X. Xxxxxxx Xx’far, Op.Cit., hlm. 143-144
112 Ibid., hlm. 142
Seseorang tidak dapat bertindak dengan kualitas yang berbeda namun berasal dari satu orang. Maksudnya, seseorang tidak boleh menjadi penjual dan pembeli diwaktu yang bersamaan.113
d) Keduanya Tidak Mubazir
Para pihak yang mengikatkan diri dalam transaksi jual beli bukanlah orang- orang yang boros, sebab orang yang boros menurut hukum dikatakan sebagai orang yang tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Artinya ia tidak dapat melakukan suatu perbuatan hukum sendiri meskipun hukum tersebut menyangkut kepentingan semata.114
2) Syarat Terkait dengan Ijab dan Qabul
Para Ulama Fiqih menyatakan bahwa hal utama dalam jual beli adalah kerelaan antar kedua belah pihak. Kerelaan tersebut dapat dilihat saat akad sedang berlangsung. Ijab Qabul harus diucapkan dengan jelas pada saat bertransaksi agar mengikat kedua belah pihak. Berikut adalah syarat Ijab dan Qabul menurut Xxxxx Xxxxx, yiatu :
a) Subjeknya haruslah akil baligh dan berakal (Jumhur Ulama) atau telah berakal (Ulama Madzhab Hanafi).
b) Qabul sesuai dengan Ijab. Contohnya : penjual menjual baju seharga seratus ribu, lalu pembeli membeli baju tersebut dengan harga seratus ribu.
113 X. Xxx Xxxxx, Op.Cit., hlm. 120
114 X. Xxxxxxx Xx’far, Op.Cit., hlm. 143
c) Ijab dan Qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya adalah kedua belah pihak yang sedang melakukan akad jual beli hadir dan membahas masalah yang sama.
d) Tidak diselingi dengan kata-kata lain antara Ijab dan Qabul.115
3) Syarat Barang yang di Perjualbelikan, yaitu :
a) Barang tersebut ada.
Jika barang tersebut tidak ada di tempat dikarenkan kondisi tertentu, pihak penjual harus menyanggupi untuk mengadakan barang tersebut
b) Barang tersebut memiliki manfaat bagi manusia.
Bangkai, khamr dan benda-benda haram lainnya dianggap tidak sah menjadi objek jual beli karena benda-benda tersebut tidak ada manfaatnya bagi manusia dalam pandangan Islam.
c) Barang tersebut adalah milik seseorang.
Jika barang tersebut sifatnya belum dimiliki oleh seseorang maka tidak boleh diperjualbelikan.
d) Barang tersebut dapat diserahkan pada saat berlangsungnya akad atau pada waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
4) Xxxxxx Xxxxx Xxxxx (Xxxxx Xxxxxx)
Ulama Fiqih membedakan antara as-tsamm dan as-si’r. menurut para Ulama as-tsamm adalah harga pasar yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, sedangkan as-si’r adalah modal kepada konsumen, dengan demikian terdapat dua harga yaitu harga antara sesama pedagang dan harga antara pedagang
115 Ibid., hlm. 148
dengan pembeli/konsumen. Ulama Fiqih mengemukakan syarat as-tsamm
sebagai berikut :
a) Harga yang telah disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b) Dapat diserahkan pada saat melakukan akad/transaksi, sekalipun secara hukum seperti pembayaran cek atau menggunakan kartu kredit, maka waktu pembayarannya pun harus jelas.
c) Jika jual beli tersebut dilakukan dengan cara barter maka yang dijadikan nilai tukar adalah bukan barang-barang yang diharamkan salam syara’.
Benda yang dijadikan sebagai objek jual beli ini haruslah memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:116
1. Barangnya bersih;
2. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat;
3. Milik orang yang melakukan akad, bukan milik orang lain;
4. Mampu menyerahkan barangnya;
5. Mengetahui;
6. Barang yang diakadkan ada di tangan pemilik barang.
Terdapat dua sumber hukum Islam yang memuat mengenai ketentuan jual beli. Sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Sumber hukum primer meliputi Alquran dan Sunnah. Walaupun Alquran bukan merupakan sebuah acuan ataupun kiblat undang-undang yang memberikan ketentuan-ketentuan maupun norma hukum secara rinci, namun Alquran ini memiliki banyak prinsip umum
116 Ibid, hlm. 37.
berbagai bidang hukum, diantaranya hukum kontrak.117 Salah satu ketentuan dalam
Alquran mengenai jual beli ialah Q.S. Al-Baqarah ayat 275:
لحَاو
هاللّ
عَ يۡ بَ لۡ ا مَ ر حو
اوبٰ ر'ِّ لا
Artinya : “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Q.S. An-Nisa ayat 29 :
اهَ يُّ َاـيٰٰۤ ن
يۡ ذِّ لا اوۡ هنمَ اٰ ل
اوٰۡۤ هلكه اۡ َت مۡ كه ـلَ اوَ مۡ َا مۡ كه َنيۡ
لطابَ لۡ ا
لٰۤ
نۡ َا ن
وۡ كه َت ˝ةرَ اج
تِّ نۡ ع
ضارَ َت
مۡ كه نۡ م'ِّ
لَ و
اوٰۤۡ هلهتقۡ َت مۡ كه س
هفـنۡ َاؕ ن
اللَّ
ناك
مۡ كه
ام˝ يۡ حِّ ر
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu”
Sedangkan sumber hukum sekunder memiliki peran penting jika dalam sumber hukum primer terdapat kekosongan. Sumber hukum sekunder dapat berkemabang dengan didasarkan pada intelektual manusia. Sumber hukum sekunder ini adalah derivasi dari alquran dan hadis. Ini merupakan sumber tambahan. Sumber hukum sekunder ini meliputi : 118
8. Xxxx (konsensus pendapat, consensus of opinion)
9. Qiyas (analogi deduktif, analogical deductions)
10. Istihsan (kebijaksanaan hukum, juristic preference)
11. Marsalah mursalah (kemasalahatan, consideration of public interest)
12. Sadd al-Dhara’i (blocking the means to evil)
13. Urf (kebiasaan, customary practice)
14. Istishab (presumption of continuity)
117 Xxxxxx, Perjanjian Jual Beli, Op.Cit, hlm. 15.
118 Xxxxxx, Op.Cit, hlm. 20.
15. Amal ahl al-Madinah (the Practice of median people)
BAB III
Implikasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah yang Masih dalam Proses Pemecahan Sertifikat dan Perlindungan Hukum Bagi Calon Penjual dan Calon Pembeli Terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah yang Masih Dalam Proses Pemecahan Sertifikat
A. Implikasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah yang Masih dalam Proses Pemecahan Sertifikat
Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) pada dasarnya tidak diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Namun seirang berjalannya perkembangan jaman yang menghadirkan perbuatan hukum tertentu diluar dari yang terdapat dalam KUH Perdata. Maka PPJB hadir dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, sebagaimana disebutkan dalam pasal 42 ayat
(1) bahwa :
“Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan”
Dalam Undang Undang tersebut PPJB disebut dengan perjanjian pendahuluan jual beli. Perjanjian pendahuluan jual beli adalah kesepaktan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang.119 Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai
119 Penjelasan Pasal 42 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat dihadapan notaris. PPJB tersebut dapat dibuat setelah memenuhi persyaratan kepastian atas :120
a. Status kepemilikan tanah. Status kepemilikan tanah dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah yang diperlihatkan kepada calon pembeli pada saat penandatanganan PPJB.121
b. Persetujuan bangunan Gedung.
c. Ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum
d. Keterbangunan perumahan paling sedikit 20%. Tolak ukur 20% didapatkan dari jumlah keseluruhan unit rumah serta ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang sedang direncanakan.122
e. Hal-hal yang diperjanjikan. Hal yang diperjanjikan paling sedikit terdiri atas :123
1) Kondisi rumah
2) Prasarana, sarana, dan utilitas umum yang menjadi informasi pemasaran
3) Penjelasan kepada calon pembeli mengenai materi muatan PPJB
4) Status tanah dan/atau bangunan dalam hal agunan.
120 Pasal 51 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Cipta Kerja
121 Pasal 22I ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
122 Ibid.
123 Pasal 22I ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Pengertian PPJB dalam peraturan penyelenggaranya mengalami sedikit perubahan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 anga 11 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret yang dibuat di hadapan notaris. PPJB dalam ketentuan tersebut paling sedikit memuat :124
1. Identitas para pihak;
2. Uraian objek PPJB;
3. Harga rumah dan tata cara pembayaran;
4. Jaminan pelaku pembangunan;
5. Hak dan kewajiban para pihak
6. Waktu serah terima bangunan
7. Pemeliharaan bangunan
8. Penggunaan bangunan
9. Pengalihan hak
10. Pembatalan dan berakhirnya PPJB
11. Penyelesaian sengketa
Pengaturan mengenai penggunaan PPJB di Indonesia diatur dalam ketentuan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan dalam peraturan penyelenggaranya yaitu Peraturan Pemerintah
124 Pasal 22J Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Sedangkan apabila ditelaah Kitab Undang Undang Hukum Perdata, belum terdapat pengaturan khusus mengenai PPJB, sehingga definisi bentuk dan isi serta ruang lingkup PPJB tumbuh dan berkembang dalam praktek kenotariatan, untuk mengakomodir keinginan dan kebutuhan masyarakat akan tanah serta memberikan kemudian dalam melakukan transaksi jual beli atas tanah atau hak atas bidang tanah.125
Sebagaimana ketentuan PPJB dalam Undang Undang dan Peraturan Pemerintah diatas merupakan bentuk perkembangan PPJB di dunia kenotariatan, namun ruang lingkup yang diatur dalam ketentuan tersebut masih terbatas pada jual beli rumah beserta tanahnya. Ketentuan tersebut belum cukup untuk memberikan kepastian hukum bagi perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah yang banyak terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena proses jual beli memerlukan perbuatan hukum lain sebelum dapat dilakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah. Perbuatan hukum lain tersebut berupa penurunan hak atas tanah dalam hal
:126
a. Pemecahan tanah (penjualan sebagian bidang tanah)
b. Subyek hukum yaitu pihak calon pembeli tidak dalam kedudukan hukum untuk memiliki tanah milik atau tanah pertanian (absente)
c. Jual beli tanah yang pembayarannya belum lunas
d. Alasan lain sehingga pembuatan akta jual beli belum dapat dilaksanakan
125 Selamat, Op.Cit, hlm. 81.
126 Xxxxx, Op.Cit, hlm. 891.
e. Sertipikat hak milik dalam perusahaan.
Salah satunya adalah penggunaan PPJB terhadap sertifikat tanah yang masih dalam proses pemecahan sertifikat. Para pihak ingin melakukan jual beli sebidang tanah yang mana sertifikatnya masih dalam proses pemecahan. Maka para pihak tersebut menggunakan PPJB sebagai perjanjian pendahuluan diantara keduanya untuk saling mengikatkan keinginannya melakukan perbuatan hukum jual beli hak atas tanah.
Para pihak dalam proses jual beli tanah dan/atau bangunan melakukan PPJB karena terdapat beberapa alasan diantaranya sebagai berikut :127
1. Belum dapat melakukan permbayaran terhadap objek secara penuh atau lunas
2. Berkas administrasi uang berupa surat/dokumen objek belum dapat dilengkapi
3. Belum dapat menguasai objek bagi para pihak, penjual ataupun pembeli
4. Pertimbangan mengenai nilai objek yang diperjualbelikan, masih belum tercapai kesepakatan antara para pihak.
Keberadaan PPJB memiliki peran penting sebagai upaya permulaan sebelum adanya Akta Jual Beli (AJB). Hadirnya PPJB, tidak menghalangi para pihak dalam bertransaksi tetapi justru memberikan kepastian mengenai keinginan para pihak untuk bersepakat. Meskipun pada prakteknya pada saat penandatanganan PPJB belum ada peralihan hak atas tanah karena beberapa pertimbangan. PPJB ini dimaksudkan untuk mengikat antara penjual dan pembeli, yang pada umumnya
127 Made, Op.Cit, hlm. 5.
banyak dilakukan oleh pihak developer agar memudahkan dalam bertransaksi jual beli property. PPJB yang bersifat sebagai perjanjian pendahuluan, berfungsi untuk mempersiapkan perjanjian utama/perjanjian pokok yang nantinya akan dilakukan, dalam hal ini adalah akat jual beli.128
Dalam prakteknya, terdapat 2 (dua) jenis PPJB yaitu PPJB lunas dan PPJB tidak lunas yang dapat dijelaskan sebagai berikut :129
1. PPJB Lunas. Dalam praktek kenotariatan PPJB lunas dibuat apabila harga jual beli sudah dibayarkan lunas oleh pembeli kepada penjual tetapi belum bisa dilaksanakan AJB. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pajak-pajak jual beli belum dibayarkan, sertipikat masih dalam proses pengurusan sehingga belum dapat digunakan dalam sebagai dasar adanya AJB.130 Dalam PPJB lunas terdapat klausula kuasa. Pembeli harus mendapatkan kuasa yang bersifat mutlak untuk menjamin terlakasananya hak pembeli dalam transaksi jual beli tersebut dan tidak akan berakhir karena sebab- sebab apapun. Perjanjian ini tidak akan batal karena meninggalnya salah satu pihak, tetapi hal itu akan tetap berlaku terus bagi ahli warisnya.131
2. PPJB tidak lunas. PPJB tidak lunas merupakan akta pengikatan jual beli yang baru merupakan janji-janji karena pembayaran/harganya belum lunas.132 Dalam praktek kenotariatan PPJB tidak lunas memberikan
128 Ibid, hlm. 9.
129 Ibid.
130 Selamat, Op.Cit, hlm. 83.
131 Made, Op.Cit, hlm. 9.
132 Luh Putu, xx.xx, Perbandingan Kekuatan Hukum Akta Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah yang Dilakukan Dihadapan Notaris dengan Dibawah Tangan, terdapat dalam,
pengertian bahwa PPJB tersebut dibuat dalam keadaan pembayaran yang dilakukan belumlah lunas. PPJB tidak lunas biasanya memuat klausula mengenai kondisi apabila jual beli tersebut sampai batal di tengah jalan (misalnya: pembeli batal membeli, dan sebagainya).133
Walaupun keduanya memiliki perbedaan yang signifikan, yaitu lunas atau tidaknya harga jual beli, namun dalam kedua akta PPJB tersebut bersifat mengikat, bagi para pihak (penjual dan pembeli) serta bagi para ahli waris atau penerima hak yang meninggal dunia.134 Pejabat umum yang memiliki wewenang dalam pembuatan PPJB dan AJB tersebut berbeda, PPJB dibuat di hadapan Notaris sedangkan untuk AJB dibuat di hadapan PPAT setempat, sehingga bentuk dari PPJB dan AJB tersebut yaitu berupa akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Asas yang digunakan pada saat pembuatan PPJB ialah asas kebebasan berkontrak. Hal ini dikarenakan, pejabat berwenang yaitu notaris akan membuat akta PPJB sesuai dengan yang dikehendaki para pihak dengan tidak menutup kemungkinan para pihak akan menyerahkan sepenuhnya kepada notaris terkait muatan dari PPJB tersebut. Namun, asas kekebasan berkontrak tetap harus mengidahkan ketentuan peraturan perundang-undangan, kesusuilaan dan ketertiban umum.135
xxxxx://xxx.xxxx.xx.xx/xxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxx/xxxxxxx/xxxx/00000/00000. Terakhir diakses pada tanggal 15 November 2021, pukul 12.48 WIB.
133 Ibid.
134 Xxxx Xxxxxxxxxx, Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Hak Atas Tanah, Jurnal Hukum dan Kenotariatan, Vol. 2, No. 1, 2018, hlm. 7.
135 Ibid, hlm. 10.
Akta otentik memiliki tiga kekuatan pembuktian sesuai dengan asas hukum yang berlaku jika dibandingkan dengan akta dibawah tangan, yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht)
Maksudnya ialah akta otentik memiliki kemmampuan sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Menurut Xxxxx 1875 KUHPerdata, kemampuan tersebut tidak diberikan kepada akta yang dibuat dibawah tangan, karena akta yang dibuat dibawah tangan hanya berlaku atau sah terhadap para pihak yang mempergunakan apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu. Sedangkan akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya atau disebut juga acta publica probant seseipsa. Apabila suatu akta merupakan akta otentik, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik, sampai akta tersebut dapat dibuktikan sebagai akta yang tidak otentik.136
2. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht)
Akta otentik harus memberikan kepastian terhadap suatu kejadian dan fakta yang dituangkan dalam akta merupakan hal yang benar sebagaimana diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat pembuatan akta. Kekuatan pembuktian formal berfungsi untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak atau penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat,
136 Fransiska, xx.xx, Tinjauan Xxxxxxx Xxlaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Berdasarkan Akta Notaris di Tegal, Jurnal Akta, Vol. 4, No. 4, 2017, hlm. 519.
disaksikan, didengar oleh Xxxxxxx, (pada akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak atau penghadap (pada akta pihak).137
3. Kekuatan pembuktian materil (meteriele bewijskracht)
Kekuatan pembuktian materil merupakan kepastian tentang materi suatu akta, karena apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau dimuat dalam akta pejabat atau akta berita acara, atau keterangan para pihak yang diberikan atau disampaikan dihadapan notaris dan para pihak harus dinilai benar dan kemudian dituangkan atau dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap notaris yang kemudian keterangannya dituangkan atau dimuat dalam akta harus dinilai telah berkata benar.138
Perjanjian PPJB yang dibuat secara notariil memiliki beberapa fungsi diantaranya yakni :139
a. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu.
b. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang ditulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.
137 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Tinjauan Xxxxxxx Xxxxxxx Kekuatan Mengikat Suatu Akta Notaris, Lex Privatum, Vol. 3, No. 1, 2015, hlm. 101.
138 Ibid.
139 Safira, xx.xx, Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah/Rumah Susun Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Penjual dan Pembeli, Jurnal Supremasi, Vol. 10, No. 1, 2019, hlm. 41.
c. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali jika ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Pelaksanaan perjanjian jual beli tidak selamanya berjalan dengan lancar, kadang kala timbul hal-hal yang tidak diinginkan, dan biasanya persoalan ini timbul dikemudian hari. Walaupun para pihak merasa mampu untuk memenuhi janjinya sebagaimana tertuang dalam perjanjian tidak dapat dipungkiri adanya celah-celah kelemahan yang suatu hari jika terjadi sengketa menjadi celah-celah untuk dijadikan alasan dan pembelaan diri dari pihak yang ingin membatalkan, bahkan ditujukan untuk menikmati keuntungan sendiri dari perjanjian tersebut. kelemahan itu bisa disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : 140
a. Para pihak yaitu penjual dan pembeli tidak memiliki itikad baik.
b. Penyalahgunaan akta PPJB didasarkan pada perjanjian pemberian kuasa, karena ketika notaris dalam membuat akta PPJB didasarkan akta kuasa yang dibuat oleh para pihak dihadapan notaris lain, sehingga PPJB dibuat tanpa mengetahui kedudukan pemberi kuasa yang mungkin saja telah meninggal dunia.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan PPJB secara umum antara lain :141
140 Fransiska, Op.Cit, hlm. 518.
141 Dony Hardirusdianto, Beberapa Catatan Penting Tentang Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah, Mitra Ilmu, Jakarta, 2009, hlm. 12.
1. Uraian obyek tanah dan bangunan harus jelas, hal tersebut meliputi ukuran luas tanah dan bangunan (jika perlu disertai peta bidang tanah dan arsitektur bangunan), sertipikat dan pemegang haknya, dan perizinan-perizinan yang melekat pada obyek tanah dan bangunan tersebut.
2. Harga dari objek yang diperjanjikan dan harga total keseluruhan serta cara pembayarannya. Pembayaran harga objek dapat juga ditentukan secara bertahap dan pelunasannya dilakukan pada saat penandatanganan AJB selama para pihak menyetujuinya.
3. Syarat batal tertentu, misalnya dalam tahap pembangunan rumah ternyata tidak sesuai dengan jangka waktu yang telah dijanjikan developer, maka calon pembeli berhak untuk membatalkan perjanjian dan menerima kembali uang muka yang telah dibayar. Atau, apabila pembangunan tersebut telah selesai tepat waktu namun calon pemebli membatalkannya, maka calon pembeli tidak menerima pengembalian uang muka yang sudah dibayarkan.
4. Ketentuan mengenai pembayaran pajak yang harus ditanggung oleh masing- masing pihak dan biaya-biaya lainnya yang diperlukan, misalnya biaya pengukuran tanah dan biaya Notaris/PPAT.
5. Jika perlu dapat pula dimasukkan klausul pernyataan dan jaminan dari calon penjual mengenai kedudukan tanah yang tidak sedang dalam jaminan hutang pihak ketiga ataupun terlibar dalam sengketa hukum. Apabila pernyataan dan jaminan tersebut benar adanya, maka calon penjual dapat membebaskan calon penjual dari tuntutan pihak manapun.
PPJB memiliki sifat yang sementara, sebagaimana PPJB dimaksudkan mengikat penjual dengan pembeli selama para pihak menunggu proses AJB yang nantinya dibuat dihadapan PPAT. Adapun yang dimaksud dengan mengikat ialah calon penjual terikat menjual objek yang diperjanjikan, sedangkan calon pembeli bersedia mengikatkan diri kepada penjual untuk membeli objek tertuang dalam PPJB.142 Seringkali juga PPJB digunakan pada kondisi sertipikat masih dalam proses pemecahan. Tujuannya agar para pihak yaitu penjual dan pembeli mengikatkan dirinya untuk melakukan perbuatan hukum yang tertuang dalam PPJB yaitu jual beli tanah.
Berdasarkan permintaan hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah yang semula. Jika hak atas tanah yang bersangkutan tersebut telah dibebani dengan hak tanggungan dan beban lainnya yang sudah terdaftar, maka pemecahan sertifikat dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan atau pihak lain yang bewenang menyetujui penghapusan beban hak tanggungan yang bersangkutan.143 Selain itu, pemecahan bidang tanah tidak boleh merugikan kepentingan kreditor yang mempunyai hak tanggungan atas tanah bersangkutan yang akan dipecah. Oleh karena itu pemecahan hanya dapat dilakukan, apabila telah memperoleh persetujuan tertulis dari kreditor atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban lain yang
142 Made, Op.Cit, hlm. 13.
143 Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
bersangkutan. Apabila hak tersebut dibebani hak tanggungan,maka hak tanggungan yang bersangkutan tetap mengikuti bidang-bidang hasil pemecahan itu.144
Peraturan mengenai ketentuan tentang pemecahan hak atas tanah yang wajib pemohon perhatikan sebelum mengajukan permohonan sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyangkut beberapa hal sebagai berikut:
a. Satuan-satuan bidang tanah yang baru hasil dari pemecahan itu dilaksanakan pengukuran;
b. Status hukum satuan-satuan bidang tanah yang dilakukan pemecahan tidak mengalami perubahan artinya dengan status hukum bidang tanah sebelum dilakukan pemecahan;
c. Dalam melakukan pendaftaran, masing-masing bidang tanah yang dipecah diberi nomor hak baru dan dibuatkan surat ukur, buku tanah, serta sertipikat baru, sebagai nomor pengganti hak, surat ukur, buku tanah sertipikat hak atas tanah semula dinyatakan tidak berlaku lagi, dengan dicantumkan catatan didalamnya.145
Proses pemecahan sertifikat ini kadang kala menjadi alasan bagi para pihak dalam menggunakan PPJB. Tujuannya agar dapat mengikatkan keinginan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum tersebut. Namun, PPJB yang dibuat oleh
Tanah.
144 Penjelasan Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
145 Meita, xx.xx, Pemecahan Hak Atas Tanah Tidak Sempurna Dalam Sertipikat Tanah Dalam
Pembangunan Perumahan Bukit Cisalak Permai PT. Srimanganti Xxxxx Xxxxxxx di Kabupaten Sumedang, Diponegoro Law Journal, Vol. 6, No.2, 2017, hlm. 9.
para pihak tidak semuanya berbentuk akta otentik bisa juga dalam bentuk akta dibawah tangan. Kekuatan hukum PPJB yang berbentuk akta dibawah tangan lebih lemah jika dibandingkan PPJB otentik. Maka dari itu, setiap perbuatan hukum yang dilakukan pasti menimbulkan implikasi di dalamnya. Implikasi tersebut dapat mengarah ke hal negative maupun kearah postif mengenai penggunaan PPJB terhadap tanah yang masih dalam proses pemecahan sertifikat, baik itu bagi PPJB otentik ataupun dibawah tangan. Implikasi tersebut berupa:
1. Adanya potensi itikad buruk para pihak dengan adanya PPJB untuk dipergunakan tidak sebagaimana mestinya. Pada praktiknya sering kali terjadi calon pembeli tidak segera membuat AJB meskipun persyaratan telah terpenuhi. Calon pembeli justru mengalihkan lagi objek tersebut kepada pihak lain dengan beralaskan PPJB dan kuasa menjual yang kedua atau biasa disebut sebagai PPJB dan kuasa menjual bertingkat.146 Padahal PPJB bukan merupakan bukti pengalihan hak atas tanah. PPJB masih membutuhkan tindakan hukum lain yaitu pembuatan AJB agar peralihan hak atas tanah dapat tercapai dan berfungsi sebagai alat bukti peralihan hak atas tanah.147
2. Adanya kemungkinan pembatalan PPJB oleh salah satu pihak. Walaupun tanah yang menjadi objek jual beli masih dalam proses pemecahan sertipikat, tetapi alas hukum yang digunakan hanya berupa PPJB bukanlah AJB. Sebagaimana PPJB masih berisikan xxxxx-xxxxx awal para pihak untuk mengikatkan diri untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, belum berupa
146 Leny, Op.Cit, hlm. 15.
147 Xxxxx, Op.Cit, hlm. 903.
alas hukum perbuatan hukum yang sesungguhnya. Jadi para pihak sangat mungkin membatalkan PPJB secara sepihak yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.
Implikasi tersebut hadir karena kuranganya pengaturan di Indonesia mengenai penggunaan PPJB dalam transaksi jual beli hak atas tanah. PPJB pada awalnya diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat Republik Indonesia Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Sebagaimana Xxxaturan Menteri tersebut merupakan peraturan lanjutan dari Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Namun, peraturan Menteri tersebut dihapuskan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Keseluruhan ketentuan tersebut yang mengatur mengenai PPJB belum cukup memberikan ketentuan yang lebih luwes dalam menggunakan PPJB dalam setiap perbuatan hukum, sehingga masih memungkinkan adanya celah hukum didalamnya.
B. Perlindungan Hukum Bagi Calon Penjual dan Calon Pembeli Terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah yang Masih Dalam Proses Pemecahan Sertifikat
Perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat sebelum Akta Jual Beli dihadapan PPAT dimaksudkan untuk :148
148 Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Jual Beli Tanah yang Mempunyai Sertifikat Hak Atas Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Lex Privatium Vol. 6, No. 5, 2018, hlm.
155.
1. Memberikan jaminan kepastian hukum bagi calon pembeli yang sudah menyerahkan sejumlah uang namun belum dapat melakukan proses balik nama di Kantor Badan Pertanahan Nasional. Hal ini disebabkan prosedur yang belum dipenuhi oleh calon pembeli dalam proses peralihan hak
2. Pada perjanjian jual beli yang belum lunas pembayarannya terkadang memiliki kendala, sehingga tidak dapat dibuatkan Akta Jual Beli sebagai syarat untuk melaksanakan balik nama di Kantor Badan Pertanahan Nasional.
3. Salah satu pihak (calon pembeli atau calaon penjual) meninggal dunia.
Sebelum dibuatnya Akta Jual Beli harus dilakukan proses turun waris terlebih dahulu yang memerlukan waktu dan biaya, barulah kemudian dilakukan perbuatan hukum lanjutan dari PPJB atau pembuatan AJB.
Dalam melakukan perbuatan hukum jual beli tanah, maka terdapat 2 pihak yang memiliki kepentingan yaitu Calon Pembeli dan Calon Penjual. Calon penjual dapat melakukan transaksi jual beli hak atas tanah harus memiliki hak dan wewenang untuk menjual hak atas tanah dengan ketentuan :149
1) Penjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertifikat atau alat bukti lain selain sertifikat.
2) Penjual harus merupakan orang yang sudah dewasa sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Apabila penjual merupakan orang yang belum dewasa atau masih berada dibawah umur maka untuk melakukan jual beli harus diwakili oleh walinya.
149 Xxxx Xxxxxxxx, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat, Jakarta, Laks Bang Mediatama, 2012, hlm. 67.
4) Apabila penjual merupakan orang yanga berada dibawah pengampuan (curatele), maka transaksi jual beli dilakukan oleh si pengampu atau kuratornya.
5) Apabila penjual diwakili oleh orang lain dengan didasarkan surat kuasa, maka penerima kuasa menunjukkan surat kuasa notarial atau surat kuasa otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.
6) Apabila hak atas tanah yang akan dijual merupakan hasil dari harta bersama perkawinan maka penjual harus menuangkan persetujuan dari pasangan kawin dalam akta jual beli.
Selain calon penjual, calon pembeli hak atas tanah juga harus memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah dengan ketentuan sebagai berikut :150
1) Memastikan objek yang akan dibeli tersebut merupakan tanah Hak Milik, serta subjek hukum yang membeli merupakan subjek hukum yang diperbolehkan menurut ketentuan peraturan perundang undangan.
2) Apabila objek jual beli tersebut merupakan tanah Hak Guna Usaha, maka subjek hukum yang dapat membeli ialah perseorangan warga Negara Indonesia, dan badan hukum Indonesia sebagaimana subjek hukum yang diperbolehkan menurut ketentuan peraturan perundang undangan.
3) Apabila objek jual beli tanah tersebut merupakan tanah Hak Guna Bangunan, maka subyek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga Negara Indonesia, dan badan hukum Indonesia sebagaimana subjek hukum yang diperbolehkan menurut ketentuan peraturan perundang undangan.
150 Ibid.
PPJB yang digunakan oleh para pihak dalam melakukan perbuatan hukum jual beli hak atas tanah dan menimbulkan implikasi tersendiri sebagaimana telah disebutkan pada sub bab sebelumnya. Implikasi tersebut harus dibarengi dengan adanya perlindungan hukum bagi para pihak, baik itu calon pembeli maupun calon penjual atas tanah yang masih dalam proses pemecahan sertifikat.
Perlindungan hukum bertujuan memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak hak yang dijamin untuk dilindungi oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan hukum yang bersifat adaptif dan fleksibel, serta bersifat prediktif dan antisipatif. Hukum sangat dibutuhkan bagi yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.151
Bentuk perlindungan hukum dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :152
1. Perlindungan hukum preventif. Perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud agar mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan- batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
2. Perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti dende, penjara dan hukuman
151 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Xxxxxx Xxxxx, Ctk. Ke-8, 2014, hlm.54.
152 Xxxxxxxx X. Xxxxxx, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya. PT Bina Ilmu, 1987, hlm. 4-5.
tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Perlindungan hukum memiliki beberapa prinsip yang harus ditegakkan. Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara merupakan landasan bagi prinsip perlindungan hukum di Indonesia. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan “Rule of The Law”. Prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila di Indonesia menggunakan konsepsi barat sebagai sebagai kerangka berfikir dengan landasan pada Pancasila. Menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi menusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah sehingga prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi menusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.153
Perlindungan hukum bagi calon penjual hak atas tanah dengan PPJB, telah tercantum dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Salah satu tujuan pendaftaran tanah ialah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.154 Terkait dengan peralihan hak atas sebidang tanah harus didaftarkan.155 Maka dari itu, PPJB sesungguhnya tidak dapat dijadikan alas bagi para pihak melakukan peralihan hak atas tanah, karena sesungguhnya yang dapat diakui sebagai alas dalam peralihan hak atas tanah hanyalah Akta Jual Beli bukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Selain itu, perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi calon penjual ialah berkaitan dengan isi dari PPJB. PPJB memuat hak dan kewajiban dari calon penjual dan calon pembeli. Salah satu contoh hak dan kewajiban dalam PPJB, ialah calon pembeli wajib melakukan pembayaran sejumlah uang dengan ada jangka waktu yang telah disepakati, serta dikaitkan dengan adanya persyaratan batal apabila hal tersebut tidak dilaksanakan sesuai ketentuan PPJB. Calon penjual memiliki kewajiban untuk melakukan penyerahan objek apabila persyaratan dalam PPJB sudah terpenuhi, sehingga nantinya calon pembeli akan menandatangani BAST (Berita Acara Serah Terima) objek.156
Sedangkan, salah satu bentuk perlindungan hukum bagi calon pembeli yaitu didalam PPJB perlu disertakan permintaan pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali, yakni apabila kesepakatan dalam PPJB tidak terpenuhi oleh penjual, maka dikarenakan hal itu mengakibatkan kerugian bagi pembeli sehingga ia bisa mengajukan tuntutan atau perimntaan ganti rugi atas hal tersebut.157 Hal ini juga dapat menjadi bentuk perlindungan hukum apabila calon pembeli maupun
154 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
155 Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
156 Made, Op.Cit, hlm. 11.
calon penjual membatalkan perjanjiannya secara sepihak dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijabarkan pada bab sebelumya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
4. Implikasi penggunaan PPJB terhadap tanah yang masih dalam proses pemecahan sertifikat. Pertama, adanya potensi itikad buruk dari para pihak untuk mempergunakan PPJB tidak semestinya. Kedua, kemungkinan pembatalan PPJB dapat dilakukan oleh salah satu pihak yang dapat merugikan pihak lain. Namun, di sisi lain PPJB juga dapat memberikan kemudahan bagi para pihak dalam melakukan suatu perbuatan hukum agar dapat saling mengikatkan diri terlebih dahulu sembari persyaratan lainnya yang cukup memakan waktu tersebut terpenuhi.
5. Perlindungan hukum dari adanya implikasi tersebut ialah adanya ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa salah satu tujuan pendaftaran tanah ialah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Selain itu, calon penjual juga dapat mengambil langkah preventif terkait isi PPJB yang mewajibkan membayar sebagian dari harga objek jual beli agar calon penjual tidak dirugikan atas segala sesuatu yang dilakukan calon pembeli. Calon pembeli juga dapat meminta adanya klausula pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum.
B. Saran
Ketentuan mengenai PPJB di Indonesia harus dikaji kembali untuk dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang bersangkutan. Hal ini menyangkut dengan perkembangan jaman yang semakin hari semakin membutuhkan kehadiran hukum yang sejalan. Ketentuan PPJB masih sangat kabur di Indonesia. Baik itu dari segi bentuk, isi, tujuan dan juga manfaat penggunaan PPJB dalam setiap perbuatan hukum. Apalagi PPJB ini tidak diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata. PPJB hanya lahir dari praktek kenotariatan di Indonesia.
Daftar Pustaka
1. Buku
Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta, LaksBang Mediatama.
A Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxx, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Pekembangannya, Yogyakarta, Liberty, 1985.
Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan- Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, Djambatan, 2003.
Xxxxxxxxx Xxxxxxxx & Suhrawardi X. Xxxxx, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Dony Hardirusdianto, Beberapa Catatan Penting Tentang Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah, Mitra Ilmu, Jakarta, 2009.
Xxxxx Xxxxx, Pembatalan dan Kebatalan Tanah Hak Atas Tanah, Yogyakarta, Tugujogja Pustaka, 2005.
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, Aneka Perjanjian Jual Beli, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1982.
I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, Jakarta, Sinar Grafika, 2016. Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxxx dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, 2006.
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx, 1992.
J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Bandung, Alumni, 1993,
Xxxx Xxxx Xxxxxxx, Pokok-pokok Perjanjian Indonesia,Yogyakarta, LP3M UMY,2014.
X. Xxx Xxxxx, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Xxxxxxxx X. Xxxxxx, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya. PT Bina Ilmu, 1987.
Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Perjanjian, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2014. Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Perseroan Terbatas, Yogyakarta, FH UII Press,
2014.
Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia, Yogyakarta, FH UII Press, 2014.
Xxxxxx Xxxxxxxxx, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jakarta, 2004.
Xxxxxx Xxxxxxxxx, Perjanjian Jual Beli, FH UII Press, Yogyakarta, 2016.
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2008.
R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung, PT Citra Xxxxxx Xxxxx.
Xxxxxxxx Xxxxxxx, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Xxxxxx Xxxxx, Ctk. Ke-8, 2014.
Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta, PT Toko Gunung Agung, 2005.
Tim Buku Pedoman Tugas Akhir Fakultas Hukum UII, Panduan Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa, Yogyakarta, 2016.
2. Jurnal
Arieni Xxxxx Xxxxxxxx, Proses Balik Nama Sertifikat Hak Milik Jual Beli Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Lex Patrium Vol.5, No. 4, Juni 2017, hlm. 19-26.
Xxxxxxxx Xxxxxxx, Tinjauan Xxxxxxx Xxxxxxx Kekuatan Mengikat Suatu Akta Notaris, Lex Privatum, Vol. 3, No. 1, 2015, hlm. 101- 109.
Xxxx Xxxxxx Xxxxx dan Xxxx Xxxxxxxx, Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas, Jurnal Akta, Vol.4, No.4, 2017, hlm. 623-634.
Xxxx Xxx Xxxxxxxxx dan X.Xxxxxxxxxx, Hak Atas Tanah dan Peralihannya.
Yogyakarta: Liberty, 2013.
Xxxxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxxx, Tinjauan Xxxxxxx Xxlaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah
Berdasarkan Akta Notaris di Tegal, Jurnal Akta, Vol. 4, No. 4, 2017, 515-520.
Gede Tusan Ardika dan Xxxxx, Kekuatan Hukum Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah (Studi di Desa Babakan Kecamatan Sandubaya Kota Mataram), Journal Unmas Mataram, Vol. 13, No.1, Maret 2019. 172-180.
Luh Xxxx Xxxxxx Xxxx dan I Made Xxxx Xxxxx, Perbandingan Kekuatan Hukum Akta Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah yang Dilakukan Dihadapan Notaris dengan Dibawah Tangan, terdapat dalam, xxxxx://xxx.xxxx.xx.xx/xxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxx/xxxxxxx/xxxx/00000/00
420. Terakhir diakses pada tanggal 15 November 2021, pukul 12.48 WIB.
Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxx dan Zulkamaein Koto, Hukum Agraria Atas Keberadaan Bangunan Pada Ruang Atas Tanah, Jurnal Nuansa Kenotariatan, Vol.1 No.1 Juli-Desember 2015.
Made Ara Denara Asia Amangsa dan I Made Xxxx Xxxxxxxx, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam Transaksi Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, terdapat dalam xxxxx://xxx.xxxx.xx.xx/xxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxx/xxxxxxx/xxxxxxxx/0000 5/33022. Terakhir diakses pada tanggal 16 Juni 2021, pukul 21.50 WIB.
Meita Fadhilah, Xxx Xxxxxxxx, Xxx Xxxxx Xxxxxxxxxx, Pemecahan Hak Atas Tanah Tidak Sempurna Dalam Sertipikat Tanah Dalam Pembangunan Perumahan Bukit Cisalak Permai PT. Srimanganti Xxxxx Xxxxxxx di Kabupaten Sumedang, Diponegoro Law Journal, Vol. 6, No.2, 2017.
Niru Xxxxx Xxxxxx, Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian dalam Mewujudkan Tujuan Perjanjian, Binamulia Hukum, Vol.7, No.2, Desember 2018, hlm. 000 000-000.
Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Jual Beli Tanah yang Mempunyai Sertifikat Hak Atas Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Lex Privatium Vol. 6, No. 5, 2018, 150-161.
Rifky Anggatiastara Xxxxx, Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxx Prabandari, Akta Pengikatan Jual Beli Tanah Sebelum Dibuatnya Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, NOTARIUS, Vol. 13, No.3, 2020, 890-905.
Xxxx Xxxxxxx, Perlindungan Hukum Bagi Pembeli dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah yang Masih Berstatus Hak Pengelolaan”, LamLaj, Vol. 2, No. 1, Maret 2017, 113-124.
Xxxxxx Xxxx Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxxi Octarina, Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah/Rumah Susun Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Penjual dan Pembeli, Jurnal Supremasi, Vol. 10, No. 1, 2019, 36-46.
Selamat Lumban Gaol, Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Sebagai Dasar Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Dalam Rangka Peralihan Hak Atas Tanah dan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden), Jurnal Ilmu Hukum Dirgantara, Vol. 11 No. 1, September 2020, 80-106.
Xxxxxxxx, “Jual Beli Dalam Pandangan Islam” terdapat dalam xxxxx://xxxxxxx.xxxxxxxxx.xx.xx/xxxxx.xxx/Xxxxxx/xxxxxxx/xxxx/0000/00
72. Diakses pada 16 Oktober 2021, pukul 13.14 WIB.
3. Peraturan
Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Pertama Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
4. Sumber lain
Xxxxx Xxxxxxxxxx, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Proses Pemecahan Sertifikat Tanah Warisan (Studi Kasus di Kantor Notaris PPAT Xxxxxx Xxxxx Xxxx, S.H., M.H), Institus Agama Islam Negeri Surakarta, Skripsi, 2020.