MAULANA WIRAYADIPRAJA (D1A016185)
PEMBAGIAN ROYALTY YANG BERKEADILAN DALAM PERJANJIAN FRANCHISE MEREK MINUMANLAH
JURNAL ILMIAH
Oleh :
XXXXXXX XXXXXXXXXXXXX (D1A016185)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM
2023
HALAMAN PENGESAHAN
PEMBAGIAN ROYALTY YANG BERKEADILAN DALAM PERJANJIAN FRANCHISE MEREK MINUMANLAH
JURNAL ILMIAH
Oleh :
XXXXXXX XXXXXXXXXXXXX D1A 016 185
Mengetahui: Pembimbing Pertama,
(L. M. Xxxxxxxx Xxx, S.H., LLM., Ph.D.) NIP. 19671120 199310 1 001
i
PEMBAGIAN ROYALTY YANG BERKEADILAN DALAM PERJANJIAN
FRANCHISE MEREK MINUMLAH
XXXXXXX XXXXXXXX XXXXX D1A016185
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bentuk pembagian royalty berdasarkan prinsip keadilan pada perjanjian franchise merek “Minumlah” dan jenis pembagian royalty yang dilaksanakan dalam perjanjiannya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif-empiris, dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan sosiologis. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa, perjanjian yang dilakukan oleh franchisor Minumlah dengan franchisee tidak sesuai dengan prinsip keadilan komutatif karena pihak franchisor tidak sepenuhnya melaksanakan kewajibannya sebagai franchisor. Bentuk pembagian royalty fee pada franchise Minumlah menggunakan metode margin royalty, dimana besar pembayaran ditentukan melalui persentase dari pendapatan hasil penjualan produk.
Kata Kunci: Franchise, Prinsip Keadilan, Royalty.
EQUITY DISTRIBUTION OF ROYALTY IN BEVERAGE “MINUMLAH” BRAND FRANCHISE AGREEMENTS
ABSTRACT
This study aims to determine and analyze the form of royalty distribution based on the principle of fairness in the "Minumlah" brand franchise agreement and the type of royalty outlined in the agreement. The type of research used is normative-empirical legal research, with a statutory approach, a conceptual approach, and a sociological approach. The study result shows that the agreement made by the franchisor "Minumlah" with the franchisee is not following the principle of commutative justice because the franchisor does not fully carry out its obligations as a franchisor. The form of sharing the royalty fee on the "Minumlah" franchise uses the royalty margin method, which determines the amount of payment as a percentage of the income from product sales.
Keywords: Franchise, Principle of Fairness, Royalty.
I. PENDAHULUAN
Usaha bisnis waralaba atau franchising merupakan suatu sistem bisnis yang menjual produk dan jasa pelayanan. Sistem ini melibatkan pihak pemlik usaha waralaba (franchisor) di satu pihak yang memberikan lisensi kepada pihak lainnya (pemegang usaha waralaba atau Franchisee) untuk membuka usaha bisnis dengan menggunakan nama dagang pihak pemilik waralaba.1
Usaha waralaba merupakan konsep pemasaran dan cara untuk menjual produk dan jasa pelayanan ke pasaran di bawah nama dagang atau simbol komersial lainnya milik pihak pemilik usaha waralaba. Sebagai pengganti penggunaan merek dagang yang dimiliki oleh si pemilik usaha waralaba, pihak pemegang usaha waralaba memberikan bayaran. Istilah franchise yang sudah di Indonesiakan menjadi waralaba. Waralaba berasal dari kata “wara” yang berarti lebih istimewa dan laba berarti untung. Kata waralaba berarti usaha yang memberikan keuntungan yang lebih istimewa.2
Pelaksanaan franchise ini menimbulkan terjadinya suatu perjanjian antara franchisor dan franchisee. Pejanjian waralaba tersebut merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan yang dapat merugikan pihak lain. Hal ini dikarenakan perjanjian dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk menegakkan perlindungan hukum bagi para pihak.
Perjanjian waralaba (franchise agreement) memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor bagi para franchiseenya. Dalam perjanjian waralaba tercantum ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban franchisor dan franchisee, misalnya hak teritorial yang dimiliki franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang harus dibayarkan franchisee kepada franchisor, ketentuan yang
1 Nistains Odop, Berbisnis Waralaba Murah, Media Pressindo, Yogyakarta, 2006, hlm. 16-17.
2 Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxx, Sukses Usaha Waralaba Mudah, Risiko Rendah Dan Menguntungkan, Cakrawala, Yogyakarta, 2007, hlm. 19.
berkaitan dengan jangka waktu perjanjian franchise dan perpanjangannya dan ketentuan lain yang mengatur hubungan kerja sama antara franchisee dan franchisor.3
Sebagai bahan penelitian dalam skripsi ini maka diajukan penelitian pada perjanjian franchise merek “MINUMLAH”, dimana dalam pelaksanaannya berupa perjanjian franchise dalam bidang produk minuman. Dimana pembeli akan mendapatkan peralatan jualan, lisensi penggnaan merek, produk, hingga standar manajemen dalam berjualan. Minumlah merupakan kreasi produk minuman modern yang berasal dari daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Minumlah sendiri mempunyai beberapa outlet franchise yang tersebar di pulau Lombok. Setelah outletnya semakin banyak dan berkembang barulah pihak dari Minumlah ini mendaftarkan mereknya.
Sehingga sebelum didaftarkannya merek Minumlah ini menjadi pertanyaan bagaimana kepastian hukum bagi para penerima franchisenya, selain itu juga apakah bentuk pembagian royalty dalam pelaksanaan perjanjian franchise ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, terlebih lagi sebelum didaftarkannya merek ini menjadi pertanyaan besar terhadap klausul-klausul yang ada di dalam perjanjian franchise itu sendiri. Karena dapat dikatakan sebelum didaftarkannya merek, pihak pemberi franchise bisa saja tidak tunduk pada ketentuan hukum manapun, sehingga bisa secara sepihak membuat klausul-klausul di dalam perjanjian franchise itu sendiri.
Dari uraian latar belakang di atas penulis tertarik untuk membahas dua pokok perumusan masalahan yaitu : bagaimana bentuk pembagian royalty berdasarkan prinsip keadilan pada perjanjian franchise merek “Minumlah” dan Seperti apa jenis pembagian royalty yang dilaksanakan oleh perjanjian franchise “Minumlah”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis bentuk pembagian
royalty berdasarkan prinsip keadilan pada perjanjian franchise merek “Minumlah” dan mengetahui
3 Xxxxxxx Xxxxxxx, Seri Hukum Bisnis Lisensi atau Waralaba suatu panduan Praktis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 20
dan menganalisis seperti apa jenis pembagian royalty yang dilaksanakan oleh perjanjian franchise “Minumlah”. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum terutama dalam pengembangan hukum bisnis. Secara praktis, penelitian ini di harapkan menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya tentang pelaksanaan pembagian royalty berdasarkan prinsip keadilan pada perjanjian franchise.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif-empiris, yaitu dengan melakukan pendekatan konseptual (Conseptual Approach), pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan Sosiologis (Sociological Approach). Pengumpulan data dilakuan dengan menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka, yang kemudian data tersebut dianalisis dengan metode kualitatif komparatif.
II. PEMBAHASAN
A. Bentuk Pembagian Royalty Berdasarkan Prinsip Keadilan Pada Perjanjian Franchise Merek “Minumlah”
Franchise (waralaba) merupakan hak khusus yang diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban atau pembayaran untuk menjual produk baik barang dan/atau jasa dari pemberi waralaba, sesuai dengan kontrak perjanjian waralaba (franchise agreement). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997, waralaba diartikan sebagai perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa. Menurut PH Collin dalam law dictionary mendefinisikan waralaba sebagai sebuah lisensi untuk menjual dengan menggunakan sebuah nama dari sebuah proses dan sebagai timbal balik atas ini adalah dengan membayar royalty.4
1.) Pengaturan Pemberian Royalty
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
b. Peraturan Pemerintah
c. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba
2.) Prinsip Keadilan dalam Pembagian Royalty
Dalam tulisan ini, pokok pembahasannya terletak pada prinsip keadilan dalam pembagian royalty, yakni :
2.1 Prinsip keadilan menurut Xxxxxxxxxxx
4 Xxxxxxx Xxxxxxx, Seri Hukum Bisnis : Waralaba, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.7.
Keadilan menurut Xxxxxxxxxxx adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya.5 Menurut Xxxxxxxxxxx, keadilan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :6
a. Keadilan Universal (Keadilan Umum)
Keadilan universal adalah keadilan yang terbentuk bersamaan dengan perumusan hukum. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara di hadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku.
b. Keadilan Partikular
Keadilan partikular adalah jenis keadilan yang oleh Xxxxxxxxxxx diidentikkan dengan kepatutan (fairness atau equalitas). Keadilan partikular terdiri dari dua jenis, yaitu :
a) Keadilan Komutatif
Keadilan komutatif ini mengatur hubungan yang adil atau fair antara orang yang satu dan yang lain atau antara warga negara yang satu dan warga negara lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horisontal antara warga yang satu dan warga yang lain dengan menghormati hak-hak sesama individu terhadap apa yang menjadi tanggung jawab masing-masing para pihak.
b) Keadilan Distributif
Keadilan distributif adalah pembagian atau penyebaran hak dan kewajiban dalam bidang hukum, sosial, budaya, ekonomi dan lainnya yang merata atau yang dianggap “adil” bagi semua warga negara.
5 Xxxxx Xxxxxxxxxxxx & Xxxxxxxx, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 138
6 O. Xxxxxxxxxxxxx, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975, hlm. 38-40
2.2 Prinsip keadilan menurut Xxxx Xxxxx
Menurut Xxxx Xxxxx, keadilan adalah fairness (justice as fairness). Pendapat Xxxx Xxxxx ini berakar pada teori kontrak sosial Xxxxx dan Xxxxxxxx serta ajaran deontologi dari Xxxxxxx Xxxx.7
Dari penjelasan keadilan menurut Xxxxxxxxxxx dan Xxxx Xxxxx di atas, berdasarkan hasil penelitian Penulis, prinsip keadilan yang ada pada Perjanjian Franchise “Minumlah” lebih mengarah kepada keadilan menurut Xxxxxxxxxxx, yakni keadilan komutatif dengan mewajibkan untuk menghormati hak-hak sesama individu terhadap apa yang menjadi tanggung jawab masing-masing para pihak.
3.) Subjek Dalam Perajanjian Royalty
Dalam perjanjian Franchise terdapat kedua belah pihak, yakni franchisor (pemberi waralaba) adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain yakni franchisee (penerima waralaba) adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memnfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan, atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba.
4.) Objek Merek
Salah satu contoh usaha waralaba yang ada di Kota Mataram adalah franchise Minumlah yang termasuk dalam jenis waralaba atau franchise lokal yang saat ini sedang berkembang di Kota Mataram. Xxxxxxxx.xx berawal dari delivery order dan mengikuti berbagai festival makanan hingga saat ini memiliki beberapa gerai/outlet.8
7 Xxxxxxxxx Xxxxx, Filsafat Hukum, Edisi Lengkap (Dari Klasik ke Postmodernisme), Ctk. Kelima, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2015, hlm. 246-247.
8 Hasil wawancara dengan Xxxx Xxxxx Xxxxxxxxx selaku Pihak Franchisee, 20 Februari 2023,
5.) Hubungan Hukum
Hak dan kewajiban dalam Perjanjian Waralaba atau franchise Minumlah Mataram adalah sebagaimana yang dimuat dalam perjanjian franchise Minumlah tersebut, adalah sebagai berikut.
Kewajiban franchisor, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 :
a. Memberikan panduan operasional pengelolaan restoran kepada franchisee dan menyedikan secara cuma-cuma pengetahuan tentang manajemen pengelolaann dan teknik penyajian menu;
b. Menyediakan desain interior, pelatih dan materi pelatihan untuk para pekerja restoran
franchisee atas biaya franchisor sendiri;
c. Menyelenggarakan program pelatihan untuk franchisee secara berkesinambungan dan berkala paling sedikit 2(dua) kali dalam setahun;
d. Memberikan konsultasi gratis kepada franchisee apabila restoran franchisee berada dalam keadaan kritis yang dapat menyebabkan tutupnya atau berhentinya bisnis restoran franchisee;
e. Memberikan rekomendasi kepada pihak perbankan/lembaga keuangan guna membantu franchisee memperoleh pinjaman untuk pengembangan restorannya.
Dan untuk kewajiban franchisee, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 adalah sebagai berikut :
a. Seluruh biaya untuk pengadaan perabotan untuk keperluan restoran serta bahan- bahan baku pembuatan menu yang sesuai dengan standar franchisor serta biaya-biaya lain seperti pengurusan perizinan atas pembukaan dan pengoperasian restoran menjadi tanggungan franchisee sendiri;
b. Franchisee setuju bahwa pengadaan brosur, artu nama, formulir, kwitansi, seragam, bahan atau alat promosi dan benda-benda lain yang diperlukan untuk menunjang
usaha restoran, franchisee sepakat untuk membeli dari franchisor atas biaya
franchisee;
c. Bahan baku yang dimaksudkan dalam hal ini seperti, (Bubuk all varian, freshmilk, cheese, gelas cup, coffee bean, dll);
6.) Konsekuensi dan solusi dalam Perjanjian Pembagian Royalty
Setiap waralaba memilki mekanisme pembagian royalty fee tersendiri. Pada umumnya dalam perjanjian waralaba menyebutkan bahwa terwaralaba membayar sejumlah biaya waralaba (royalty fee) kepada pewaralaba berdasarkan besarnya penjualan. Isinya antara lain mengenai:9
1. Dasar pembayaran biasanya berdasarkan penjualan kotor;
2. Tingkat royalty seminimum mungkin, terutama ditempat terwaralaba memperoleh hak atas wilayah tertentu/exclusive territory tanpa persyaratan tingkat kuota terendah;
3. Pembayaran secara periodik (mingguan, bulanan, kuartalan, dan sebagainya);
4. Waktu pembayaran (misalnya setiap hari kamis, atau berdasarkan penjualan pada minggu sebelumnya) setiap tanggal sepuluh berdasarkan penjualan pada bulan sebelumnya dan sebagainya.
Selain syarat-syarat yang tercantum di Pasal 1 tersebut, untuk membeli franchise Minumlah ini juga, pihak franchisee sudah setuju untuk membayar franchise fee yang sekaligus modal awal usaha sebesar Rp. 19.900.000,- (sembilan belas juta sembilan ratus ribu rupiah) yang disetor pada saat perjajian ditandatangani.
Secara garis besar, proses pelaksanaan perjanjian franchise pada Minumlah Mataram berdasarkan yang dipaparkan saat wawancara dengan salah satu pihak franchisee, dengan melalui beberapa tahap yaitu tahap observasi oleh pihak franchisee setelah itu survei lokasi,
9 Xxxxxx, Op.cit., hlm. 57.
selanjutnya setelah memahami dan menyetujui isi dari perjanjian tersebut akan dilanjutkan dengan penandatanganan kontrak perjanjian franchise oleh kedua belah pihak yaitu antara pihak franchisor dan pihak franchisee. Setelah kedua belah pihak melakukan penandatanganan barulah pihak franchisee melakukan launching outlet atau gerai Minumlah di lokasi yang sudah ditentukan sesuai kesepakatan yang telah disetujui.
Perjanjian franchise Minumlah ini memang secara hukum telah memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang penulis jabarkan sebelumnya, namun perjanjian yang dilakukan oleh franchisor Minumlah dengan franchiseenya berdasarkan penelitian Penulis, perjanjian franchise Minumlah tidak sesuai dengan prinsip keadilan komutatif sesuai dengan hasil wawancara yang Penulis lakukan dengan salah satu franchisee Minumlah di Kota Mataram yang membahas beberapa isi dari perjanjian yang dibuatnya. Melihat dari fakta di pelaksanaan usaha franchise Minumlah serta berdasarkan wawancara dengan pihak franchisee, bahwa di dalam pelaksanaannya, pihak franchisor tidak memenuhi salah satu kewajibannya yaitu menyediakan pelatih dan tidak sama sekali menyelenggarakan program pelatihan untuk franchisee secara berkesinambungan dan berkala paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun. Tentu hal tersebut membuat tidak berjalannya prinsip keadilan terutama prinsip keadilan komutatif pada xxxxxxxx Xxxxxxxx di Kota Mataram.
Sedangkan mengenai bentuk pembagian royalty berdasarkan prinsip keadilan pada franchise Minumlah, pembagian antara franchisor dengan franchisee dapat dilihat dari pembagian royalty pada waralaba Minumlah. Bagi hasil ini diambil dari omset penjualan selama sebulan. Pembayaran royalty pada waralaba Minumlah dilakukan Tanggal 15 setiap bulannya., dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Jika omset dibawah Rp. 35.000.000 juta rupiah, maka terwaralaba tidak usah membayar royalty sebesar 3%. Walaupun omset penjualan dibawah Rp. 35.000.000 juta rupiah franchisee masih tetap mendapatkan untung, namun tidak terlalu besar, sehingga
manajemen memberikan kelonggaran dengan penentuan batasan royalty tersebut yang didasari oleh asumsi perhitungan yang sudah dilakukan manajemen Minumlah.
2. Jika omset diatas Rp. 35.000.000 juta rupiah, maka terwaralaba harus membayar royalty
sebesar 3% dari omset penjualan.
Dari skema diatas dapat kita lihat bahwa royalty pada Minumlah bersifat adil dan fleksibel. Hal ini dilakukan dengan perhitungan matang agar tidak merugikan franchisee. Maka hal tersebut berdasarkan penelitian Penulis, pada bentuk pembagian royalty diwaralaba Minumlah sudah sesuai dengan prinsip keadilan.
B. Jenis Pembagian Royalty Yang Dilaksanakan Oleh Perjanjian Franchise “Minumlah”
Pada penelitian Penulis di franchise Minumlah, Penulis mendapatkan pengajuan pembelian franchise Minumlah, yakni dengan pihak franchisee harus memenuhi beberapa syarat yang diajukan dan ditentukan oleh pihak franchisor selaku pemilik brand Minumlah. Syarat-syarat yang ditentukan untuk memiliki franchise Minumlah sudah dicantumkan dalam perjanjian atau kontrak franchise Minumlah yang dimuat dalam Pasal 1, yaitu10 :
a. Memiliki tempat usaha baik milik sendiri atau hak sewa minimal selama (1) tahun;
b. Jarak outlet yang akan di buka minimal 5 km dari outlet sebelumnya;
c. Menyediakan fasilitas parkir yang memadai minimal untuk kendaraan roda (2) dan kendaraan roda (4);
d. Menyediakan modal awal usaha sebesar Rp. 19.900.000,- ( sembilan belas juta sembilan ratus ribu rupiah ) yang harus disetor ke rekening franchisor;
e. Tidak akan menyediakan dan menyajikan makanan lain dan atas usaha lain selain makanan yang ditetapkan oleh franchisor.
Selain syarat-syarat yang tercantum di Pasal 1 tersebut, untuk membeli franchise
Minumlah ini juga, pihak franchisee sudah setuju untuk membayar franchise fee yang
10 Hasil wawancara dengan Xxxx Xxxxx Xxxxxxxxx selaku Pihak Franchissee, 20 Februari 2023.
sekaligus modal awal usaha sebesar Rp. 19.900.000,- (sembilan belas juta sembilan ratus ribu rupiah) yang disetor pada saat perjajian ditandatangani.
Khusus penentuan royalty fee dilakukan dengan 2 cara, yaitu metode fix royalty dan metode margin royalty. Berikut contoh royalty fee yang ditetapkan dengan 2 metode tersebut:
1. Royalty Fee dengan Metode Fix Royalty
Jika menggunakan metode fix royalty, artinya naik turunnya penjualan tidak ada pengaruhnya dengan pembagian hasil. Intinya, nominal yang harus dibayarkan setiap bulannya sudah fix, tidak akan mengalami perubahan. Misalnya, 10 juta per bulan, meskipun franchisee sedang mengalami kenaikan atau malah menurunnya omset, ia harus tetap membayar senilai 10 juta.
2. Royalty Fee dengan Metode Margin Royalty
Metode yang kedua untuk menentukan royalty fee franchise adalah dengan sistem yang berdasarkan margin. Misalnya, margin atau total sales (gross sales) ditetapkan sebesar 2, 3, 4 atau 5% dari penjualan setiap bulannya. Nominal ini cukup besar, karena memang diambil langsung dari gross penjualan. Contohnya, pembayarannya sebesar 5% dari hasil penjualan, jika penjualan sebesar Rp100 juta per bulan, diambil 5% berarti hanya mengambil sebesar Rp5 juta.
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan pertama, dalam perjanjian frenchise
Minumlah terdapat ketentuan pembagian royalty pada waralaba Minumlah sebagai berikut:
1. Jika omset dibawah Rp. 35.000.000 juta rupiah, maka terwaralaba tidak usah membayar royalty sebesar 3%. Walaupun omset penjualan di bawah Rp. 35.000.000 juta rupiah franchisee masih tetap mendapatkan untung, namun tidak terlalu besar, sehingga manajemen memberikan kelonggaran dengan penentuan batasan royalty tersebut yang didasari oleh asumsi perhitungan yang sudah dilakukan manajemen Minumlah.
2. Jika omset di atas Rp. 35.000.000 juta rupiah, maka terwaralaba harus membayar royalty
sebesar 3% dari omset penjualan.
Jadi berdasarkan dua metode penentuan royalty fee di atas akan dapat disimpulkan atas pemahaman yang Penulis dapatkan, yakni bahwa frenchise Minumlah menggunakan metode Margin Royalty, dimana besar pembayaran ditentukan melalui persentase dari pendapatan hasil penjualan produk.
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dipaparkan penulis di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Perjanjian franchise Minumlah ini secara hukum telah memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang penulis jabarkan di atas, namun perjanjian yang dilakukan oleh franchisor Minumlah dengan franchiseenya berdasarkan penelitian Penulis, perjanjian franchise Minumlah tidak sesuai dengan prinsip keadilan komutatif karena fakta di pelaksanaan usaha franchise Minumlah serta berdasarkan wawancara dengan pihak franchisee, bahwa pihak franchisor tidak sepenuhnya melaksanakan kewajibannya sebagai franchisor. Di dalam pelaksanaannya, pihak franchisor tidak memenuhi salah satu kewajibannya yaitu menyediakan pelatih dan tidak sama sekali menyelenggarakan program pelatihan untuk franchisee secara berkesinambungan dan berkala paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun.
2. Terdapat dua metode penentuan royalty fee, yakni Royalty Fee dengan metode fix royalty dan royalty fee dengan metode margin royalty. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa frenchise Minumlah menggunakan metode Margin Royalty, dimana besar pembayaran ditentukan melalui persentase dari pendapatan hasil penjualan produk.
B. SARAN
Baiknya bagi pihak franchisor selaku pemilik franchise hendaknya memperhatikan segala sesuatu yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba dalam Pasal 7, 8, 9, 10 mengenai kewajiban pemberi waralaba, agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan kedua belah pihak khususnya franhcisor dalam melakukan perjanjian franchise.
Untuk kedua belah pihak yakni franchisor dan franchisee hendaknya dalam membuat perjanjian franchise memuat tentang metode penentuan royalty fee. Hal ini dikarenakan untuk menghindari cidera janji salah satu pihak karena tidak benar-benar jelas penentuan royalty fee nya. Dengan demikian, adil bagi mereka yang melakukan perjanjian apabila segala ketentuan sudah jelas tercantum dalam perjanjian yang dibuat dan disepakati.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Xxxxx Xxxxxxxxxxxx & Xxxxxxxx, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxx, 2007, Sukses Usaha Waralaba Mudah, Risiko Rendah Dan Menguntungkan, Cakrawala, Yogyakarta.
Xxxxxxx Xxxxxxx, 2001, Seri Hukum Bisnis Lisensi atau Waralaba suatu panduan Praktis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
-----, 2003, Seri Hukum Bisnis : Waralaba, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Xxxxxxxxx Xxxxx, 2015, Filsafat Hukum, Edisi Lengkap (Dari Klasik ke Postmodernisme), Ctk.
Kelima, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Nistains Odop, 2006, Berbisnis Waralaba Murah, Media Pressindo, Yogyakarta.
O. Xxxxxxxxxxxxx, 1975, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Jurnal
Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2019, Standar Kontrak dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, vol.19 no.1.