ABSTRAK
ISSN : 1412-3797
ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT DALAM
Oleh :Ujang Hibar, S.H., M.H
Email : Xxxxx.Xxxxx@xxxxxxxxxxxxx.xxx
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ABSTRAK
Informed consent (tindakan medik / tindakan kedokteran) merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan dokter mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien. Adapun tujuan penulis mengangkat topik permsalahan ini adalah untuk mengentahui: aspek hukum perjanjian/transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien. Posisi pasien yang awam terhadap masalah kesehatan, tidak berarti menerima pasrah begitu saja apa yang diperbuat oleh dokter. Oleh karena itu Pemerintah mengatur dalam Undang-Undang dan aturan pelaksanaannya bahwa dokter diberi hak atas standar profesinya dan berkewajiban menghormati dan menghargai hak pasien. Seandainya dokter melanggar kewajiban-kewajibannya itu, maka negara telah mengatur dan memberi sanksi atas pelanggaran melawan hukum dan wanprestasi. Sanksi hukum terhadap pelanggaran informed consent dapat berupa: sanksi pidana, perdata dan/atau administrasi. Secara moral, tidak akan ada seorang dokter yang akan mencelakakan pasiennya atau merugikan pasiennya. Tetapi dalam setiap organisasi profesi dikenal dengan apa yang dinamakan standar profesi yaitu “batasan kemampuan minimal (knowledge, skills and attitude) yang harus dikuasai oleh dokter untuk dapat melaksanakan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesinya. Sehingga standar profesi inilah yang menjadikan dasar pencegahan atas tindakan kesewenang-wenangan seorang profesi terhadap pasien/kliennya.
PENDAHULUAN
Informed consent (tindakan medik/tindakan kedokteran) merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Informed consent is a patient’s agreement a llow something to happen, such as surgery, based on a full disclosure of the risk, benefits, alternatives, and consequences of refusal. Informed consent diperlukan untuk memastikan bahwa pasien telah mengerti semua informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan, dan pasien mampu memahami informasi yang relevan dan pasien memberikan persetujuan.1
Seorang penderita (pasien) ketika dirinya dalam keadaan sakit akan menghubungi pengemban profesi pelayanan medis (dokter) yang dapat memberi nasihat dan bersedia bekerja sama dalam mengatasi penderitaannya. Pasien datang kepada dokter karena ia percaya bahwa dokter tersebut mempunyai kemampuan ilmu pengetahuan kedokteran dan kesanggupan untuk melayani dengan mengutamakan kepentingannya sekalipun ia berada dalam keadaan lemah dan pasrah sepenuhnya kepada dokter, ia merasa yakin terhadap kejujuran dokter dalam berupaya memberi pelayanan medis yang maksimal demi penyembuhan penyakitnya.2
Dalam kondisi demikian, pasien dan keluarganya berada dalam ketidakmampuan untuk dapat menilai secara objektif, sejauh mana dokter telah menjalankan peran dan kewajiban sesuai dengan tuntutan ilmu pengetahuan kedokteran dan keahlian di dalam memberikan pelayanan medis.
Dewasa ini permintaan pertolongan pasien kepada dokter untuk dilakukan pertolongan medis atau tindakan medis terhadap dirinya akan tercipta suatu hubungan antara subjek yakni hubungan antara dua subjek yang masing-masing mengemban kewajiban dan tanggung jawab yang satu terhadap yang lainnya.3
Transaksi atau perjanjian merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum yang saling mengikatkan diri didasarkan atas sikap saling percaya. Didalam perjanjian terapeutik sikap saling percaya akan tumbuh apabila antar dokter (tenaga kesehatan) dan pasien terjalin komunikasi yang saling terbuka, karena masing-masing akan memberikan informasi atau keterangan yang diperlukan bagi terlaksananya kerjasama yang baik dan tercapainya tujuan transaksi/perjanjian terapeutik yaitu kesembuhan pasien.4
Salah satu hak pasien adalah mendapatkan informasi sejelas-jelasnya dan selengkap-lengkapnya dari dokter yang menangani penyakitnya, yaitu hak atas informasi yang merupakan bagian dari hak untuk menentukan dirinya sendiri (the rights of self-determination).5
Tali temali persyaratan pemberian persetujuan ini dengan hak atas informasi tidak dapat dilepaskan, erat sekali kait mengaitnya. Namun, pasien dapat memberikan persetujuannya jika ia memperoleh informasi yang cukup. Hanya pasien yang memperoleh informasi yang memadai yang mampu memberikan persetujuan yang sah. Untuk hal itu pada umumnya dipergunakan istilah “informed consent” yang dipinjam dari Amerika Serikat. Hal ini mempunyai arti bahwa pasien harus diberi informasi tentang diagnosis, perkembangan penyakit, kemungkinan sembuh, cacat dan sebagainya.6
Berdasarkan Permenkes Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis. Rekam medis adalah “Berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien”.
Berdasarkan definisi diatas seorang dokter tidak boleh memaksakan kehendaknya terhadap pasien, walaupun itu sesuai dengan keilmuannya maupun demi kepentingan si pasien itu sendiri. Dokter harus menghormati apapun pilihan dari pasien tersebut. Sehingga ada baiknya untuk seorang dokter selalu melakukan komunikasi kepada pasien tentang semua keluhan pasien yang akan di tindak lanjutinya, dan untuk hal tersebut seorang dokter harus berpedoman pada Permenkes No. 290/Men.Kes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran.
Yang dimaksud dengan Xxxsetujuan tindakan kedokteran adalah “persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”.7 sebelum dikeluarkanya Permenkes No. 290/Men.Kes/Per/III/2008 dengan istilah persetujuan tindakan medik.8
Seorang dokter wajib memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang menyangkut masalah kesehatan yang dialami pasien dengan benar dan jujur.
Bila pasien menyatakan setuju terhadap apa yang telah dijelaskan, maka tindakan dapat dilanjutkan, tetapi bila pasien menolak walaupun akan berdampak buruk terhadap penyakit yang dideritanya, maka seorang dokter harus menghormati keputusan pasien tersebut.
Hubungan dokter dan pasien berawal saat pasien datang ke dokter untuk meminta pertolongan atas permasalahannya di bidang kesehatan, sehingga dengan adanya hal tersebut sudah terdapat suatu kontrak atau perjanjian antara dokter - pasien yang disebut Kontrak / Perikatan / Transaksi Terapeutik.9
Transaksi/ Perjanjian Terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.10 Pada Transaksi Terapeutik ini berbeda sama sekali dengan perjanjian pada umumnya, yaitu perbedaan yang terletak pada obyek perjanjiannya, dimana bukan hasil yang menjadi tujuan utamanya suatu perjanjian (resultaat verbintenis), melainkan terletak pada upaya yang dilakukan untuk kesembuhan pasien (inspaning verbintenbis).11 Hal ini dikarenakan bahwa seorang pasien mempunyai karakteristik yang akan berbeda dengan pasien lainnya sehingga tidak akan ada dua kasus yang sama, dikarenakan pelbagai yang mempengaruhinya, antara lain tingkat keseriusan penyakit, usia, daya tahan tubuh pasien, komplikasi yang timbul, dokter yang menangani, perawatnya, peralatan medisnya dan lain sebagainya, sehingga tidak bisa digeneralisasi terhadap semua peristiwa/kasus.12
Apabila hubungan dokter-pasien tidak berjalan dengan baik akan menimbulkan ketimpangan antara hak dan kewajiban pada keduanya sehingga akan menimbulkan akibat hukum, biasanya pihak pasien dalam hal ini yang merasa lebih banyak merasa dirugikan, sehingga menuntut tanggungjawab dokter.
Tanggung jawab dokter dapat dituntut karena dalam hal ini seorang dokter dalam menjalankan profesi kedokterannya harus bersifat profesional dengan memenuhi standar profesi, kompetensi serta izin untuk bekerja sesuai dengan standar dan profesionalismenya.13
Pelanggaran pada pelaksanaan informed consent dan penyelenggaraan rekam medis memang jarang yang dilakukan karena kesengajaan. Banyak dari para dokter yang tidak mengetahui bahwa aturan-aturan yang dibuat oleh Pemerintah atas kegiatan pelaksanaan tersebut mempunyai sanksi hukum bila tidak dilaksanakan. Kesadaran akan adanya sanksi hukum, baru akan terlihat bila timbul kerugian pada pasien akibat kelalaian tersebut, sehingga bisa berujung kepada tuntutan/gugatan malpraktek.
TENTANG INFORMED CONSENT
Pengertian Informed Consent
“Informed Consent“ adalah sebuah istilah yang sering dipakai untuk terjemahan dari persetujuan tindakan medik. Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu Informed dan Consent. Informed diartikan telah di beritahukan, telah disampaikan atau telah di informasikan dan Consent yang berarti persetujuan yang diberikan oleh seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian pengertian bebas dari informed Xxxxxxx adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada dokter untuk berbuat sesuatu setelah mendapatkan penjelasan atau informasi. 14
Pada hakikatnya, informed consent adalah suatu pemikiran bahwa keputusan pemberian pengobatan terhadap pasien harus terjadi berdasarkan kerja sama antara dokter dan pasien.
Untuk dilakukan tindakan medis tertentu, baik berupa diagnostik maupun terapeutik, maka diperlukan informed consent yang merupakan konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan, baik oleh dokter maupun pasien setelah masing-masing menyatakan kehendaknya sehingga masing-masing telah menyatakan informasi secara bertimbal balik. Oleh karena itu informed consent diartikan sebagai persetujuan setelah informasi.
Definisi informed consent menurut Xxxxxxxxxx15 adalah:
“suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi”.
Menurut Xxxaturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Definisi Informed consent / persetujuan tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Menurut Xxxaturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang dimaksud dengan Informed consent / Persetujuan tindakan kedokteran adalah “persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”
Informasi yang harus diberikan adalah informasi yang selengkap-lengkapnya yaitu informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan dan risiko yang akan ditimbulkannya. Informasi yang harus diberikan adalah tentang keuntungan dan kerugian dari tindakan medis yang akan dilaksanakan, baik diagnostik maupun terapeutik. Berdasarkan doktrin informed consent maka yang harus diberitahukan adalah:
Diagnosa yang ditegakkan;
Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan;
Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut;
Risiko-risiko dari tindakan tersebut;
Konsekuensinya apabila tidak dilakukan tindakan;
Kadangkala biaya-biaya yang menyangkut tindakan tersebut.16
Informed consent merupakan sarana legitimasi bagi tenaga medis untuk melakukan intervensi medis yang mengandung risiko serta akibat yang tidak menyenangkan, oleh karenanya hanya dapat membebaskan tenaga medis dari tanggung jawab hukum atas risiko serta akibat yang tak menyenangkan saja. Hakikatnya, informed consent mengandung dua unsur esensial, yaitu:
Informasi yang diberikan oleh tenaga medis (information for consent) dan
Persetujuan yang diberikan oleh pasien (statement of informed consent).
Xxxxxx informed consent menunjuk pada suatu proses dimana pasien memberikan persetujuan secara formal untuk menjalani prosedur medis yang dilakukan secara professional.
Consent seringkali disalah-artikan dan disamakan dengan tanda tangan pasien pada formulir tersebut. Suatu tanda tangan diatas formulir itu memang adalah merupakan suatu bukti (proof) bahwa pasien sudah memberikan konsennya, tetapi belum merupakan bukti dari suatu konsen yang sah (valid consent). Apabila seorang pasien disodorkan suatu formulir secara tergesa-gesa (dengan informasi yang sangat sedikit), consent itu bisa menjadi tidak sah, walaupun sudah ada tanda tangan pasiennya. Sebaliknya, jika apabila seorang pasien telah memberikan persetujuannya secara lisan (verbal consent), namun secara fisik ia tidak mampu untuk membubuhi tanda tangannya, maka hal ini bukanlah suatu halangan untuk melakukan tindakan medik yang telah disetujui pasiennya. Namun pasien boleh (jika dikehendakinya) untuk menarik kembali persetujuannya sesudah menandatangani formulir informed consent. Hal ini karena tanda tangan itu merupakan bukti dalam proses pemberian izin, tetapi bukan merupakan sebuah kontrak yang mengikat terus. Karena informed consent kalau ditinjau secara yuridis murni, pada hakikatnya bisa dimasukkan kedalam golongan pernyataan sepihak (eenzijdige wilsverklaring) yang dapat ditarik kembali setiap saat, asalkan sebelum dilaksanakan tindakan medis tersebut.17
Bentuk Informed Consent
Informed consent yang dinyatakan secara tegas
Informed consent yang dinyatakan secara lisan
Informed consent dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu tidak berisiko, misalnya, pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan penunjang medis. Sedangkan untuk tindakan medis yang mengandung risiko, misalnya pembedahan, informed consent dilakukan secara tertulis dan ditandatangni oleh pasien.
Informed consent yang dinyatakan secara tertulis
Informed consent secara tertulis ialah bentuk yang paling tidak diragukan. Namun, jika dilakukan secara lisan juga sah, kecuali ada syarat hukum tertentu yang menuntut informed consent tertulis untuk prosedur tertentu. Jadi, Informed consent dapat dinyatakan secara lisan, bahkan dapat dinyatakan dengan sikap menyerah pada prosedur yang telah dispesifikasikan.
Informed consent yang dinyatakan secara diam-diam / tersirat
Informed consent dianggap ada, hal ini dapat tersirat pada gerakan pasien yang diyakini oleh dokter. Dengan anggukan kepala, maka dokter dapat menangkap isyarat tersebut sebagai tanda setuju. Atau pasien membiarkan dokter untuk memeriksa bagian tubuhnya, dengan pasien menerima atau membiarkan/tidak menolak, maka dokter menganggap hal ini sebagai suatu persetujuan untuk dilakukan suatu pemeriksaan guna mendapatkan terapi dari penyakitnya. Demikian pula, dalam hal persetujuan tindakan medis yang dilakukan oleh pasien jika pasien telah menyetujui ataupun tidak bertanya lebih lanjut tentang informasi dari dokter, dianggap telah mengerti penjelasan dokter.
Sebetulnya, persetujuan lisan yang diberikan oleh orang yang berhak sudah cukup bagi dokter untuk dijadikan dasar bagi intervensi medis. Bahkan, dapat pula diberikan dalam bentuk siratan, yaitu dengan menunjukan sikap-sikap yang memberi kesan setuju. Namun, kedua cara ini dapat merepotkan dokter jika dibelakang hari diingkari, kecuali ada saksi yang menyaksikan. Hanya saja, keberadaan saksi non tenaga kesehatan saat dokter memberikan penjelasan sampai pasien menyatakan persetujuannya dapat dipersoalkan dari aspek konfidensialitas medis.18
Informed Consent pada Kasus Kegawatdaruratan
Dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan tindakan kedokteran”.
Namun pada Pasal 4 ayat (3) “Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pabila pasien dalam keadaan darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka berdasarkan KUHPerdata Pasal 1354 tindakan medis tanpa izin pasien diperbolehkan. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.19
TENTANG PERJANJIAN TERAPEUTIK
Syarat Sahnya Perjanjian/Transaksi Terapeutik
Pada umumnya, perjanjian telah diterima sebagai sumber dari hubungan antara dokter dan pasien, sehingga transaksi terapeutik disebut pula dengan istilah Perjanjian atau Kontrak Terapeutik.
Didalam membuat suatu perjanjian para pihak harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yaitu: 1). adanya kata sepakat diantara para pihak, 2). Kecakapan para pihak dalam hukum, 3). Suatu hal tertentu, 4). Kausa yang halal.
Dalam perjanjian diperlukan kata sepakat, sebagai langkah awal sahnya suatu perjanjian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1313 KUHperdata yang menyebutkan bahwa “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu dua orang atau lebih”. Oleh karena itu, perjanjian terapeutik dinyatakan sah apabila sebelumnya dokter dan tenaga kesehatan telah sepakat terlebih dahulu.
Perjanjian terapeutik harus dilakukan oleh orang-orang yang cakap. Pihak penerima pelayanan medis adalah pasien, sedangkan pihak pemberi pelayanan medis adalah dokter dan tenaga kesehatan. Kecakapan harus datang dari kedua belah pihak yang memberikan pelayanan maupun yang memerlukan pelayanan. Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa kriteria orang-orang yang tidak cakap untuk membuat Perjanjian menurut Undang-Undang adalah:
Orang yang belum dewasa.
Mereka yang dibawah pengampuan.
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Dalam perjanjian terapeutik, pihak penerima layanan medis terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yang berada dibawah umur, tetapi telah dianggap dewasa atau matang, anak dibawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tua atau walinya.
Perjanjian terapeutik atau perjanjian penyembuhan adalah suatu perjanjian yang objeknya berupa pelayanan medis atau upaya penyembuhan. Sebab yang halal sebagaimana dimaksud dalam perjanjian terapeutik adalah dimana upaya penyembuhan (terapeutik). Tujuan dari upaya penyembuhan adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi atas asas kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kualitas kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).
Lebih lanjut, ada satu faktor utama yang harus dimilki oleh para pihak yaitu adanya suatu itikad baik dari masing-masing pihak untuk melaksanakan perjanjian. Asas tentang itikad baik itu diatur didalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Terjadinya Perjanjian/Transaksi Terapeutik
Pada umumnya seseorang yang merasakan adanya gangguan terhadap kesehatannya dan telah berusaha mengatasi gangguan tersebut tetapi tidak berhasil, maka orang tersebut akan berusaha mencari pertolongan. oleh karena setiap orang bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri, maka jika seseorang menggunakan orang lain untuk menolong mengatasi permasalahan kesehatannya, berarti sebagian tanggung jawabnya diserahkan kepada pemberi bantuan. Namun karena yang diminta bantuan itu seorang dokter yang memiliki kemampuan profesional dan terikat pada norma etis dan norma hukum tertentu yang mengatur kewajiban profesionalnya, maka sebagai pemberi pertolongan dokter juga mempunyai kewajiban professional terlepas dari adanya permintaan pertolongan tersebut. Dengan demikian, seharusnya pasien juga akan mendapatkan pertolongan yang sebaik-baiknya didasarkan keahlian, kewenangan serta ketelitian seorang pemberi jasa profesional di bidang medik. Sehubungan dengan itu dokter sebagai tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
Oleh karena itu, sekalipun transaksi terapeutik merupakan perjanjian yang didasarkan pada Pasal 1313 KUHPerdata, tetapi lebih dikenal dengan nama isnspanningsverbintenis. Hal ini dimaksudkan sebagai perikatan yang objeknya berupa upaya yang harus dilakukan dengan hati-hati dan usaha keras (met zorg en inspanning).20
Selain itu, pengertian perjanjian (overenkomst) didasarkan Pasal 1313 KUHPerdata, pada umumnya dilihat baik dari perbuatannya maupun hubungan hukumnya, sehingga disebut sebagai perbuatan hukum bersisi dua (een tweezijdige rechtshamdeling), yaitu:
Adanya perbuatan penawaran (offer, aanbod); dan
Penerimaan (acceptance, aanvaarding).21
Hal ini menurut xxx Xxxxx merupakan perbuatan pendahuluan sebelum terjadinya perjanjian dan disebut sebagai pra kontraktual. Setelah itu, tahap berikutnya disebut kontraktual yaitu saat terjadinya kata sepakat atau persesuaian pernyataan kehendak yang menimbulkan perjanjian. Pada saat perjanjian terjadi inilah timbul perikatan atau hubungan hukumnya. Kemudian, masuk pada tahap berikutnya yang disebut postkontraktual, yaitu tahap pelaksanaan atau penyelesaian perjanjian.22
Dalam proses terjadinya perjanjian itu merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adanya penawaran dan penerimaan yang tidak mungkin dipisahkan dari pencapaian kesepakatan (konsensus) yang mengakibatkan terjadinya perjanjian.
Oleh karena itu, untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai saat terjadinya transaksi terapeutik, maka disamping dilihat dari asas hukum, peraturan hukum, dan pengertian hukum yang dapat mendasarinya, juga perlu dilihat dari kekhususan yang terdapat dalam hubungan tersebut yang terletak pada subjeknya, objeknya, dan tujuannya.
Pertama, subjeknya terdiri dari dokter sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan, dan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenaga kesehatan profesional di bidang medik, sedangkan pihak pasien tidak memiliki kualifikasi dan kewenangan tersebut, tetapi memerlukan pertolongan jasa pelayanan profesi dokter. Atas jasa tersebut pasien bersedia membayar honorarium kepada dokter yang menolongnya.
Kedua, objeknya berupa upaya medik profesional yang bercirikan pemberian pertolongan.
Ketiga, tujuannya adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan,mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitasi).
Pada prinsipnya informed consent merupakan suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien untuk menentukan terapi yang terbaik. Proses komunikasi tersebut diawali dengan dokter menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien.
Isi informasi/penjelasan yang dijelaskan sekurang-kurangnya memenuhi beberapa hal. Dalam Pasal 45 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ditentukan bahwa isi informasi yang dijelaskan sekurang-kurangnya menyangkut:
Diangnosis dan tata cara tindakan medis;
Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
Alternatif tindakan lain dan risikonya;
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.23
Berdasarkan penjelasan/informasi tersebut pada gilirannya pasien dapat menyampaikan kehendaknya yakni menyetujui atau menolak tindakan medis yang akan dilakukan. Karena itu, persetujuan memahami apa yang disetujui.
Namun, karena pasien pada umumnya awam atau dalam keadaan tidak dapat menilai secara objektif maka seharusnya dokter berkewajiban untuk memberikan informasi/penjelasan, karena informasi/penjelasan kepada pasien merupakan suatu kewajiban. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menentukan bahwa: informasi tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan setelah pasien dan/atau keluarga terdekat pasien diberikan penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran baik diminta maupun tidak diminta (Pasal 7 ayat (1)).
Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan. Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan. Dan segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.24
Informasi/penjelasan yang disampaikan seyogyanya informasi yang jelas, jujur dan lengkap yakni informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang akan dilakukan dengan segala resikonya.
Di Indonesia persetujuan pasien sebelum dilakukan tindakan medis merupakan keharusan (Pasal 45 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran). Dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat. Persetujuan diberikan baik tertulis maupun lisan (Pasal 45 ayat (4) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran). Persetujuan yang diberikan secara tertulis bila tindakan medis yang akan dilakukan mengandung resiko tinggi (Pasal 45 ayat (5) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran jouncto Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran persetujuan).
Namun demikian dalam keadaan tertentu persetujuan tindakan medis tidak diperlukan dalam hal pasien tidak sadarkan diri atau pingsan, serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medis pasien dalam keadaan gawat dan/atau darurat yang memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingan pasien tidak diperlukan persetujuan dari siapa pun (Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran).
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, bahwa kriteria seorang pasien dikatakan dalam keadaan gawat dan darurat adalah jika pasien:
Dalam keadaan shok;
Terdapat pendarahan;
Patah tulang;
Dalam keadaan kesakitan.25
Dengan demikian informed consent yang dilakukan dengan cara yang baik akan memperlancar proses pemulihan dan penyembuhan tindakan medik. Di samping itu, tentu saja melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan / gugatan pasien jika terjadi kegagalan dalam upaya penyembuhan. Karena dalam hal ini pasien sendiri berperan serta untuk menentukan dapat dilaksanakan upaya penyembuhan tersebut.
Undang-Undang Praktik Kedokteran juga membahas tentang persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi. Dokter atau dokter gigi perlu mendapatkan persetujuan dari pasien atau wakil sah dari pasien atas tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Apabila dokter tidak memperoleh persetujuan dalam melakukan tindakan medis tersebut maka dokter atau dokter gigi akan mendapatkan beberapa akibat yaitu:
Hukum pidana. Menyentuh atau melakukan tindakan terhadap pasien tanpa persetujuan dapat dikategorikan sebagai “penyerangan”. Pasien dapat mengadukan hal tersebut kepada Polisi.
Hukum perdata. Pasien dapat mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap dokter. Pasien dapat menunjukan bahwa ia tidak mendapatkan peringatan sebelumnya mengenai hasil akhir dari tindakan tersebut, padahal jika sebelumnya diberi peringatan maka pasien sebenarnya tidak mau menjalaninya.
Pendisiplinan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Pasien dapat mengadukan hal ini kepada MKDKI. MKDKI akan memprosesnya dan jika ternyata benar melakukan pelanggaran tersebut maka akan diberikan sanksi disiplin kedokteran. sanksi tersebut dapat berupa teguran hingga rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi.26
ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK
Hubungan yang bersifat istimewa antara dokter dengan pasien dapat menimbulkan permasalahan yang disebabkan antara lain oleh rasa tidak puas pasien atas adanya dugaan kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh dokter. Hal itu pada umumnya disebabkan oleh kurangnya informasi yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak (dokter dan pasien).
Kedudukan antara dokter dengan pasien sebagai para pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik tidak seimbang. Hal menarik ditinjau dari aspek hukum.
Dari aspek hukum pidana, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tidak bertentangan dengan hukum, meskipun menimbulkan rasa sakit. Dokter tidak dapat dipidana atas rasa sakit yang ditimbulkan dalam suatu tindakan medis tertentu, meskipun rasa sakit merupakan salah satu unsur tindak pidana penganiayaan. Atas tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter tidak dapat dijatuhi sanksi pidana, apabila memenuhi beberapa syarat berikut:
Ada indikasi medis yang dilakukan untuk mencapai tujuan konkret tertentu.
Tindakan medis dilakukan menurut aturan dalam ilmu kedokteran.
Mendapatkan persetujuan dari pasien terlebih dahulu.
Meskipun ada persetujuan pasien/keluarganya berupa persetujuan tindakan medis, namun jika terjadi kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka perbuatan tersebut tidak menghilangkan sifat melawan hukum dalam hukum pidana. Dengan demikian, apabila ada kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka kesalahan tersebut tetap dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana, meskipun tindakan medis yang dilakukan oleh dokter telah disetujui oleh pasien/keluarganya.
Dari aspek hukum administrasi, praktik dokter dalam melakukan tindakan medis berhubungan dengan kewenangan dokter secara yuridis didasarkan pada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya kewajiban untuk memiliki izin praktik dokter yang sah.
Dari aspek hukum perdata, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan pelaksanaan dari perikatan berupa perjanjian/transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien. Perikatan antara dokter dengan pasien disebut perjanjian/ transaksi terapeutik, yaitu perjanjian yang dilakukan antara dokter dengan pasien untuk mencari/menemukan terapi sebagai upaya penyembuhan penyakit pasien oleh dokter.
Di dalam ilmu hukum, khususnya hukum perdata ada dua jenis perjanjian, yaitu resultaatsverbintenis (perjanjian berdasarkan hasil kerja) dan inspanningverbintenis (perjanjian berdasarkan usaha yang maksimal ikhtiar).
Pada umumnya perjanjian terapeutik merupakan inspanningverbintenis. Dalam hal ini, secara hati-hati dan teliti dokter berusaha mempergunakan ilmu, kepandaian, keterampilan, dan pengalamannya untuk menyembuhkan pasien. Hasil usaha yang dilakukan oleh dokter tidak pasti, ada kemungkinan pasien sembuh, tetap sakit, tambah sakit, atau bahkan mati. Dokter tidak dapat menjamin hasil usaha yang dilakukannya dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Akan tetapi, dalam perxxxxxan terapeutik juga dimungkinkan adanya resultaatsverbintenis. Dalam hal ini, penerapan perjanjian yang dilakukan oleh dokter dengan pasien didasarkan atas hasil kerja, misalnya dalam pembuatan gigi palsu, pembuatan organ anggota badan palsu,dan sebagainya.
Pada hakikatnya perjanjian terapeutik tidak berbeda dengan perjanjian pada umumnya (Pasal 1320 KUHPerdata).
Perjanjian terapeutik merupakan perjanjian yang bersifat istimewa (khusus) dan objeknya berupa pelayanan kesehatan. Keistimewaan perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut:
Kedudukan antara para pihak (dokter dengan pasien) tidak seimbang karena dokter dipandang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan upaya kesehatan, sedangkan pasien tidak mengetahui tentang keadaan kesehatannya.
Dalam tindakan medis tertentu adan informed consent sebagai hak pasien untuk menyetujui secara sepihak. Hal tersebut dapat dibatalkan setiap saat sebelum dilakukannya tindakan medis yang telah disepakati.
Hasil perjanjian yang belum pasti dalam pelayanan medis.27
Saksi hukum terhadap dokter atas pelanggaran Informed Consent. Setiap peraturan hukum dibuat untuk dapat dilaksanakan agar tidak terjadi kekacauan dan mejamin adanya keadilan dan kepastian hukum bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Di Indonesia Hak Asasi Manusia di jamin oleh Undang-Undang (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM) bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum (equality before the law).28
Tidak terlepas juga bahwa ada kesetaraan yang terjadi antara dokter dan pasien saat terjadi kontak antara pasien dengan dokter dalam transaksi terapeutik. Posisi dokter tidak boleh lebih tinggi secara hukum dari posisi pasien, walaupun dokter sangat berkuasa atas pasien karena ilmu dan pegetahuannya. Kekuasaan yang dipunyai dokter, tidak boleh membawa si dokter menjadi sewenang-wenang merasa lebih superior derajatnya dari pasien. Begitu dengan pasien, karena merasa membayar jasa kepada dokter maka boleh saja memerintah si dokter sesuai keinginannya. Jadi setiap kelebihan itu harus dapat dipertanggungjawabkan jangan sampai melanggar hak dari pihak lainnya.
Posisi pasien yang awam terhadap masalah kesehatan, tidak berarti menerima pasrah apa yang diperbuat oleh dokter. Oleh karena itu Pemerintah mengatur dalam Undang-Undang dan aturan pelaksanaannya bahwa dokter diberi hak atas standar profesinya dan berkewajiban menghormati dan menghargai hak pasien. Seandainya dokter melanggar kewajiban-kewajibannya itu, maka negara telah memberi sanksi atas pelanggaran melawan hukum dan wanprestasi tersebut.
Memang secara moral, tidak akan ada seorang dokter yang akan mencelakakan pasiennya atau merugikan pasiennya. Tetapi dalam setiap organisasi profesi dikenal dengan apa yang dinamakan standar profesi yaitu “batasan kemampuan minimal (knowledge, skills and attitude) yang harus dikuasai oleh dokter untuk dapat melaksanakan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesinya. Sehingga standar profesi inilah yang menjadikan dasar pencegahan atas tindakan kesewenang-wenangan seorang profesi terhadap pasien/kliennya.
Pelanggaraan pada pelaksanaan informed consent memang jarang dilakukan karena kesengajaan. Banyak dari para dokter yang tidak mengetahui bahwa aturan-aturan yang dibuat oleh Pemerintah atas kegiatan pelaksanaan tersebut mempunyai sanksi hukum bila tidak dilaksanakan. Kesadaran akan adanya sanksi hukum baru akan terlihat bila timbul kerugian pada pasien akibat kelalaian tersebut, sehingga bisa berujung kepada tuntutan/gugatan malpraktek.
Sanksi Hukum Pada Pelanggaran Informed Consent
Pidana
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Xxxxxx informed consent di dunia kedokteran memegang peranan penting, karena yang membedakan antara peristiwa umum dan peristiwa yang dilakukan dalam praktek kedokteran adalah informed consent itu. Seperti contoh tindakan medis yang membuat luka atau memakai benda tajam merobek kulit atau menembus kulit (tindakan operasi, menyuntik, menginfus).
Bila tindakan-tindkan tersebut diatas tidak dilakukan informed consent (tertulis atau lisan), maka dokter atau tenaga kesehatan lainnya bisa dikenakan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.
Pasal 351 KUHP:
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun;
Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan penjara paling lama tujuh tahun;
Dengan sengaja merusak kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan;
Percobaan melakukan kejahatan ini tindak pidana.
UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
Pasal 79:
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak RP 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) setiap dokter dan dokter gigi yang:
Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud Pasal 41 ayat (1);
Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud Pasal 46 ayat (1); atau
Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf (a), huruf (b), huruf (c), huruf (d), huruf (e).
Pelanggaran atas tidak dilaksanakan informed consent adalah pada poin huruf c yaitu pada Pasal 51 huruf (a), yaitu kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Dalam memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan SOP adalah termasuk adanya informed consent didalamya.29
Jadi berdasarkan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa sanksi pidana yang berlaku hanya sanksi pidana denda.
PP Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 34:
Barang siapa dengan sengaja:
Melakukan upaya kesehatan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
Melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
Melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimkasud dalam Pasal 22 ayat (1);
Dipidana dengan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Yang berhubungan dengan kewajiban informed consent adalah poin (c), yaitu tidak melakasanakan Pasal 21 aya (1) PP Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan:
“Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk”:
Menghormati hak pasien;
Menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;
Memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan;
Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
Membuat dan memelihara rekam medis.
Perdata
Berbeda dengan sanksi pidana yang berhubungan dengan kepentingan publik, maka sanksi hukum di ranah perdata berhubungan secara privat antara pasien dengan dokter. Yang mana biasanya pasien mengalami kerugian secara finansial ini biasanya merupakan kelalaian dokter. Selain menderita kerugian finansial, kerugian yang lainnya biasanya psikis. Kerugian psikis biasanya pasien merasa diremehkan, dibohongi, ditipu, dipaksa atau merasa tersinggung atas informasi yang diberikan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
Hubungan pengobatan atau perawatan antara pasien-dokter adalah peristiwa hukum yang akan diikuti oleh tanggung jawab hukum apabila salah satu pihak melanggar pihak lain. Bila pelanggaran hak tersebut merugikan salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut pihak lainnya. Biasanya dalam transaksi terpeutik yang sering mengklaim bahwa dia merasa dirugikan adalah pihak dari pasien, walaupun ini nantinya akan dibuktikan kebenaran tuduhannnya itu di Pengadilan. Yang pasti bila terjadi tuduhan bahwa dokter melakukan malpraktek (dalam hal ini tidak melakukan informed consent) harus melengkapai syarat sahnya kelalaian dikenal dengan 4 D (syarat sahnya negligence):30, yaitu:
Duty.
Kewajiban dari profesi medis untuk menggunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk penyembuhan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasien (to cure and to care);
Dereliction of that Duty / Breach of duty.
Yaitu penyimpangan dari kewajiban tersebut, menyimpang dari yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi medis:
Damages.
Adanya kerugian yang diderita pasien akibat langsung dari kelalaiannya;
Direct causation / Proximate causation.
Kerugian yang diderita Pasien akibat kelalaian yang diperbuat Dokter tanpa adanya waktu / peristiwa sela diantaranya.
Sebenarnya kata kunci dalam transaksi terapeutik adalah 3 K, yaitu Komunikasi, Komunikasi dan Komunikasi.
Komunikasi verbal: hubungan yang dibangun dengan kata-kata yang ramah atau kata-kata yang sopan baik dengan pasien atau keluarga pasien.
Komunikasi non verbal: hubungan yang dibangun berdasarkan saling percaya, empati dan simpati.
Komunikasi profesional: hubungan yang dibangun berdasarkan permasalahan medis yang diderita pasien yang harus selalu diinformasikan setiap saat.
Sehingga bila sudah terjalin komunikasi yang baik maka akan menghasilkan koneksi yang baik antara pasien dan dokter.
Administrasi
Selain dapat berhubungan dengan sanksi pidana dan perdata, maka setiap tenaga medis yang berbuat kelalaian atau kesalahan dapat juga bertanggung jawab secara administratif, baik karena pelanggaran atas disiplin profesi ataupun pelanggaran atas etik.
Jadi yang dipertanggungjawabkan secara disiplin profesi bila ada pengaduan dari pasien yang akan ditangani oleh MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) dan pengaduan atas pelanggaran etik akan ditangani oleh MKEK IDI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia) atau MKEK PDGI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Persatuan Dokter Gigi Indonesia) berdasarkan aturan yang ada pada UU Praktek Kedokteran.
Adapun sanksi yang dimungkinkan akibat kelalaian tidak melaksanakan informed consent secara benar yang mengakibatkan kerugian pada pasien adalah mulai dari teguran lisan/tertulis, pendidikan, skorsing sampai pencabutan Surat Izin Praktek, hal ini dapat dilihat aturan:
UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran:
Pasal 67
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi;
Pasal 68
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan kepada organisasi profesi;
Pasal 69 aya (3)
Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
Pemberian peringatan tertulis;
Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin parkatek; dan/atau;
Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
PP Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 33
Ayat (1) :
Dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Ayat (2) :
Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
Teguran;
Pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan;
Ayat (3) :
Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran:
Pasal 19 ayat (2);
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.
Proses mengenai alur pengeluaran sanksi adalah:
Disiplin profesi
Pemberian peringatan tertulis dan penyertaan kembali untuk pendidikan langsung di putuskan oleh MKDKI sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi (STR) atau surat izin praktek (SIP), bila dianggap tingkat kesalahan lebih tinggi, maka MKDKI memberikan rekomendasi kepada KKI (Konsil Kedokteran Indonesia – atasan dari MKDKI) untuk melakukan salah satu kewenangannya, yaitu menerbitkan dan mencabut Surat Tanda Registrasi dokter / dokter gigi. Dengan dicabutnya STR tersebut, otomatis SIP (Surat Izin Praktek) dokter akan berakhir, sehingga dokter tidak akan dapat praktek lagi untuk waktu tertentu atau selamanya.
Etik
Teguran lisan dan tertulis : biasanya pengaduan berada dalam ranah etik, dimana pasien membuat pengaduan ke organisasi profesi (IDI/PDGI), kemudian organisasi profesi melalui MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) akan menilai tingkat pelanggaran yang bersangkutan. Kemudian hasil pemeriksaan MKEK akan ditindak lanjuti oleh ketua organisasi profesi.
Pencabutan SIP : pencabutan SIP bisa berasal dari pencabutan STR oleh KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) atau dari organisasi profesi itu sendiri secara langsung, atau tidak memberikan rekomendasi sehingga dokter yang bersangkutan tidak bisa menerbitkan SIP nya di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
KESIMPULAN
Aspek hukum perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya pelayanan kesehatan menurut hukum yang meliputi aspek hukum perdata berupa persetujuan antara dokter dengan pasien dan/atau keluarganya. Terhadap masalah kesehatan, tidak berarti menerima pasrah begitu saja apa yang diperbuat oleh dokter. Oleh karena itu Pemerintah mengatur dalam Undang-Undang dan aturan pelaksanaannya bahwa dokter diberi hak atas standar profesinya dan berkewajiban menghormati dan menghargai hak pasien. Seandainya dokter melanggar kewajiban-kewajibannya itu, maka negara telah mengatur dan memberi sanksi atas pelanggaran melawan hukum dan wanprestasi. Sanksi hukum terhadap pelanggaran informed consent dan rekam medis dapat berupa: sanksi pidana, perdata dan/atau administrasi. Secara moral, tidak akan ada seorang dokter yang akan mencelakakan pasiennya atau merugikan pasiennya. Tetapi dalam setiap organisasi profesi dikenal dengan apa yang dinamakan standar profesi yaitu “batasan kemampuan minimal (knowledge, skills and attitude) yang harus dikuasai oleh dokter untuk dapat melaksanakan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesinya. Sehingga standar profesi inilah yang menjadikan dasar pencegahan atas tindakan kesewenang-wenangan seorang profesi terhadap pasien/kliennya.
Sanksi hukum terhadap dokter atas pelanggaran informed consent dan rekam medis dapat dikenakan akan terlihat bila timbul kerugian pada pasien akibat kelalaian tersebut, sehingga bisa berujung kepada tuntutan/gugatan malpraktek. Sanksi hukum terhadap pelanggaran informed consent dan rekam medis dapat dikenakan sanksi pidana, perdata dan/atau sanksi administrasi
1 Xxxxx Xxxxxxxxx, Etika & Hukum Kesehatan, Cetakan Ke-1, (Yogyakarta: Xxxx Xxxxxx, 2014), hal. 70.
2 Xxxxxx Xxxxx dan Xxxx Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxx, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis, Cetakan Ke-1, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hal. 17.
3 Xxxxx Xxxxxxxx, Aspek Yuridis Hubungan Rumah Sakit, Dokter dan Pasien, (Pro Justitia XVI No. 2 April 1988), hal. 8.
4 Xxxxx Xxxxxxxxx, Op.Cit., hal.64.
5 Xxxxxxx Xxxxxx, Mediasi Non Litigasi Terhadap Sengketa Medis Dengan Konsep Win-Win Solution, Cetakan Ke-1, (Jakarta: PT Elek Media Komputindo, 2012), hal.55.
6 Xxxxxx Xxxxxxx, Hukum Kesehatan Kini dan Disini, Cetakan Ke-1, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hal. 72.
7 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 290/Men.Kes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran, Pasal 1 ayat (1).
8 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medik, Pasal 1 ayat (1).
9 Xxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Kesehatan; Pertanggungjawaban Dokter, Cetakan Ke-1, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal.11.
10 Ibid.
11 Ibid.
12 Guwardi, Hukum Medis (Medical Law), Cetakan Ke-3, (Jakarta: Balai Penerbit FH UI, 2007), hal. 51.
13 Xxxxx Xxxxxxx, Penyelesaian Hukum Dalam Malpraktek Kedokteran, Cetakan Ke-1, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 31.
14 xxxx://xxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/
15 Xxxx Xxxxxxxxxxx, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, Cetakan Ke-1, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), hal. 127.
16 Xxxxx Xxxxxxxxx, Op.Cit., hal. 71.
17 Ibid., hal. 73.
18 Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxx Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Cetakan Ke-1, (Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx, 2009), hal. 141.
19 Xxxxx Xxxxxxxxx, Op.Cit., hal. 81.
20 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Op.Cit., 2002), hal. 143.
21 Ibid.
22 Ibid.
23 Xxxxxx Xxxxx dan Xxxx Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxx, Op.Cit., hal. 23.
24 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3).
25 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Tinjauan Informed Consent Dari segi Hukum, Seminar Obat dan Informed Consent, (Yogyakarta: Komisi Pengabdian Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM-YLK & Perhuki DIY), hal 7 - 8.
26, Xxxxx Xxxxxxxxx & Xxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit., hal 87.
27 Y.A. Xxxxxx Xxxxxxxxx, Op.Cit., hal. 9-12.
28 Indonesia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886), Pasal 4.
29 Penetapan sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 18 Juni 2007 dan diucapkan pada sidang pleno MK tanggal 19 Juni 2007 menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang memakai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau”... dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun” serta Pasal 79 huruf (c) sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf (e)” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran bertentangan dengan UUD RI 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum memngikat.
30 S.Y. Tan, Medical Malpractice, 2006: Understanding the Law,Managing the Risk, Singapore, World Scientific Publishing, hal. 22, dalam buku Desriza, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis Dalam Transaksi Terapeutik, Cetakan Ke-1, (Bandung: Keni Media, 2013), hal 63.
16