KEWENANGAN MENGADILI TERHADAP SENGKETA BERDASARKAN PERJANJIAN POKOK (AKAD SYARIAH) DAN PERJANJIAN ACCESOIR (APHT) AKIBAT PILIHAN HUKUM YANG BERBEDA (STUDI PUTUSAN NOMOR 499/PDT.G/2021/PA.YK DI PENGADILAN AGAMA KOTA YOGYAKARTA)
KEWENANGAN MENGADILI TERHADAP SENGKETA BERDASARKAN PERJANJIAN POKOK (AKAD SYARIAH) DAN PERJANJIAN ACCESOIR (APHT) AKIBAT PILIHAN HUKUM YANG BERBEDA (STUDI PUTUSAN NOMOR 499/PDT.G/2021/PA.YK DI PENGADILAN AGAMA KOTA YOGYAKARTA)
TESIS
Oleh:
NAMA MHS. | : | XXX XXXXXX |
NO. INDUK MHS | : | 21912041 |
BKU | : | HUKUM BISNIS |
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2022
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“SEBAIK-BAIK MANUSIA DIANTARA KAMU ADALAH YANG PALING BANYAK
MEMBERIKAN MANFAAT BAGI ORANG LAIN” (X.X.Xxxxxxx)
Tesis ini penulis persembahkan kepada:
1. Istri dan anak-anak penulis tercinta yang selalu memberi support dengan ketulusan hati.
2. Kedua orang tua penulis, Xxxxx Xxxxxxx (alm) dan Ibu Xxxxxx serta Mertua saya Xxxxx Xxxxxxxx Xxxx dan Xxx Xxxxx Xxxx yang tiada henti untuk mendoakan penulis.
HALAMAN KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “KEWENANGAN MENGADILI TERHADAP SENGKETA BERDASARKAN PERJANJIAN POKOK (AKAD SYARIAH) DAN PERJANJIAN ACCESSOIR (APHT) AKIBAT PILIHAN HUKUM YANG BERBEDA (STUDI PUTUSAN NOMOR 499/PDT.G/2021/PA.YK DI PENGADILAN AGAMA KOTA YOGYAKARTA)”.
Adapun yang menjadi tujuan penyusunan Tesis ini untuk mengakhiri studi dan untuk memperoleh Gelar Magister (Strata-2) pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Dalam penyusunan tesis ini penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulisasn ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Xxxx. Xxxxxx Xxxxx, S.T., X.Xx. selaku Rektor Universitas Islam Indonesia.
2. Xxxx. Xx. Xxxx Xxxx Xxxxxxxx, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
3. Prof. Xx. Xxxxxxxx, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
F. Landasan Teori/Kerangka Teori 25
1. Teori kewenangan Pengadilan Agama 25
2. Teori Kewenangan Basyarnas 27
H. Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan 32
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN, PERJANJIAN DAN HAK TANGGUNGAN
C. Kewenangan Badan Arbritase Syariah Nasional 57
BAB III ANALISIS KEWENANGAN PENGADILAN SEBAGAI AKIBAT PILIHAN HUKUM YANG BERBEDA ANTARA PERJANJIAN POKOK (AKAD SYARIAH) DAN PERJANJIAN ACCESSOIR (APHT) SERTA KETENTUAN PILIHAN FORUM DALAM AKAD-AKAH SYARIAH TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93/PUU- X/2012
A. Kewenangan Pengadilan Agama Sebagai Akibat Pilihan Hukum yang Berbeda antara Pejanjian Pokok (Akad Syariah) dan Perjanjian Accesoir (APHT) 82
1. Kewenangan Pengadilan Agama 84
2. Perjanjian Pokok dan Perjanjian Accesoir 94
3. Perkara Nomor
499/Pdt.G/2021/PA.YK 97
B. Ketentuan Pilihan Forum Dalam Akad-Akad Syariah Terkait Penyelesaian Sengketa Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 93/PUU-X/2012 105
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 113
B. Saran 117
DAFTAR PUSTAKA 119
LAMPIRAN 127
ABSTRACT
The number of Islamic financial institutions, both banking and non-banking, demonstrates the rapid development of sharia business in Indonesia. Consequently, the fulfilment of contracts must likewise conform to sharia in order to meet the needs of the parties. Due to the fact that the arrangement is governed by Islamic law, it is a sharia banking agreement followed by a Deed of Granting Mortgage (accessoir agreement). In spite of this, there are still several accessory agreements whose litigation alternatives differ from those of the primary agreement. From this, a question arises that becomes the focus of the initial research: which court is authorized in relation to the disparity in legal options between the main agreement and the accessoir agreement? Second, in light of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia's Decision No. 93/PUU-X/2012, are sharia contracts permitted to incorporate a choice-of-law clause regarding dispute resolution? This research is normative legal research. The data was collected from books, regulations, and court rulings, in addition to examining scientific works and periodicals. This study concludes that the form of the contract must be considered when evaluating whether court has jurisdiction over the difference in the choice of law between the main and accessory agreements. In decision number 499/Pdt.G/2021/PA.YK, the parties' contract takes the shape of a sharia contract, making it the supreme authority of the Court within the Religious Courts. After Decision Number 93/PUU-X/2012, parties to a sharia contract are no longer permitted to select the General Court (District Court) to address litigation issues; this affirms the absolute authority of the Religious Courts in sharia economic disputes.
Keywords: judicial authority, choice of law, Decision No. 93/PUU-X/2012 of the Constitutional Court
ABSTRAK
Pesatnya perkembangan bisnis syariah di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya Lembaga keuangan syariah baik perbankan maupun non-perbankan. Hal tersebut membuat pelaksanaan kontrak-kontrak juga harus dalam bentuk syariah untuk menyesuaikan kebutuhan para pihak. karena Perjanjiannya tunduk pada hukum islam, maka perjanjan tersebut adalah perjanjian perbankan syariah yang diikuti dengan pengikatan tanah dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (perjanjian accesoir). Namun dalam implementasinya, masih terdapat banyak perjanjian accesoir yang pilihan hukumnya berbeda dengan perjanjian pokoknya. Berangkat dari hal tersebut, muncul pertanyaan yang menjadi fokus penelitian pertama, pengadilan mana yang berwenang sehubungan dengan adanya perbedaan pilihan hukum antara perjanjian pokok dengan perjanjian accesoir. Kedua, apakah di dalam akad-akad syariah diperkenankan untuk dimasukkan klausula pilihan hukum terkait penyelesaian sengketa setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 93/PUU-X/2012. Penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif. Data yang digunakan diperoleh dari buku-buku, peraturan-peraturan, putusan pengadilan, serta mengkaji karya ilmiah dan jurnal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Dalam menentukan pengadilan mana yang berwenang terkait perbedaan pilihan hukum pada perjanjian pokok dan accesoir harus dilihat dari bentuk akadnya. Dalam putusan nomor 499/Pdt.G/2021/PA.YK, akad yang dibuat oleh para pihak berupa akad syariah, sehingga menjadi kewenangan absolut Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Setelah Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012, para pihak yang akan membuat akad syariah tidak diperkenankan untuk memilih Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) untuk penyelesaian masalah jalur litigasi, hal itu mempertegas kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam sengketa ekonomi syariah.
Kata kunci: kewenangan pengadilan, pilihan hukum, putusan MK no. 93/PUU- X/2012
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat (3). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ketiga.1 Negara hukum sendiri secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan.2 Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.3 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia menempati urutan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dan diikuti dengan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan terakhir Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota.
Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 37 provinsi dengan berbagai perbedaan baik corak kebudayaan, ras, suku, maupun agama yang dianut oleh masyarakatnya.4 Meskipun terdapat perbedaan yang hidup di antara masyarakat namun hal tersebut tidak menghalangi kesatuan bangsa yang
1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Ketiga, Pasal
(1) ayat (3).
2 Xxxxxx Xxxxxx, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), 1.
3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal (7) ayat (1).
1
mana tercermin dalam semboyan Bangsa Indonesia yakni “Bhinekka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Berangkat dari semboyan tersebut, diharapkan kehidupan berbangsa dapat terus hidup berdampingan dalam perbedaan.
Perbedaan dalam kebudayaan, ras, suku, maupun agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia berarti mengakibatkan perbedaan pada berbagai tatanan kehidupan, adat istiadat, dan juga norma-norma hukum yang berlaku di dalamnya. Dalam implementasi norma hukum di Indonesia sendiri menjadi bersifat majemuk atau yang lebih sering dikenal sebagai pluralisme hukum. Dalam pluralisme hukum, Indonesia sendiri menganut 3 (tiga) sistem hukum yakni sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan hukum Barat. Hukum adat sendiri tercermin dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hukum islam tercermin dengan adanya Pengadilan Agama bagi subjek hukum yang tunduk terhadap hukum islam, dan hukum barat yang tercermin dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang sampai sekarang masih menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia. Ketiga sistem hukum yang dianut oleh Indonesia berjalan secara berdampingan dan saling berkaitan.
Pluralisme hukum juga tercermin dalam penerapan hukum perdata, khususnya dalam hukum kontrak. Hukum perdata mengatur kepentingan individu dalam hal ini hubungan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan dasar hukum perjanjian di Indonesia sendiri adalah Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang ketentuan-ketentuannya dapat
disimpangi apabila ditentukan lain oleh para pihak yang membuat perxxxxxxx. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Staatsblad Noor 23 Tahun 1847 merupakan peraturan yang telah berlaku sejak zaman kolonial Belanda dan masih berlaku sampai sekarang.
Saat ini, pesatnya perkembangan perbankan syariah di tingkat global menunjukan tren yang sangat positif dan signifikan termasuk di Indonesia.5 lebih lanjut, akad-akad syariah di Indonesia juga sudah umum digunakan dalam perbankan syariah. Perjanjian yang dibuat dalam lingkup perbankan syariah biasanya menghasilkan hubungan perdata antara Bank (Bai) dan Nasabah (Mustari) yang lebih dikenal dengan Perjanjian Syariah. Pembentukan Perjanjian Syariah tidak hanya tunduk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan Fatwa Dewan Syariah-Majelis Ulama Indonesia yang mengatur mengenai Perjanjian Perbankan Syariah, yang dalam hal ini berlaku asas lex specialis jika Perjanjian Perbankan Syariah mengatur hal tersebut.
Pesatnya perkembangan bisnis syariah juga dapat dibuktikan dengan banyaknya Lembaga keuangan syariah baik perbankan maupun non-bank, hal ini juga menuntut akan implementasi pelaksanaan kontrak-kontrak dalam bentuk syariah yang mampu memenuhi kebutuhan para pihak. Adapun
5 Xxxx Xxxxxxxx, “Qonun Aceh: Insentif Regulasi bagi perkembangan Bank Syariah serta tantangan mendatang” dalam Prosiding Seminar Nasional Hukum Perdata, Tema: Isu actual Hukum Bisnis Pasca Berlakunya UU Cipta kerja: Problematika dan Perkembangan Hukum Keperdataan dan Bisnis di Indonesia, Yogyakarta, 18 Januari 2021, hlm.14.
perbedaan utama kontrak konvensional dan syariah adalah pada penerapan prinsip hukum islam dalam kontrak syariah.6
Dalam pelaksanaannya, keduanya dapat terhubung satu sama lain. Hal ini juga terjadi dalam pelaksanaan Perjanjian Perbankan Syariah antara Bank (Bai) dan Nasabah (Mustari). Hal ini dapat terjadi karena Perbankan Syariah menerapkan Hukum Islam sehingga perjanjian yang disepakati berupa Perjanjian Perbankan Syariah diikuti dengan perjanjian pengikatan jaminan berupa pengikatan tanah dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Perjanjian Perbankan Syariah yang tunduk pada Hukum Islam dan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat berdasarkan Hukum Perdata menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Peneliti dalam penelitian ini, akan menggunakan studi Putusan Nomor 499/Pdt.G/2021/PA.YK yang telah diputus pada tanggal 08 Desember 2021. Adapun permasalahan yang ada di dalam gugatan tersebut berawal ketika Penggugat dalam surat gugatannya tertanggal 15 September 2021 telah mengajukan gugatan Ekonomi Syariah, dengan dalil-dalil bahwa Penggugat I adalah pemilik atas satu bidang tanah pekarangan diatasnya berdiri rumah/ruko, berdasarkan sertifikat Hak Milik No.07251/Trirenggo, Luas Tanah 240m² (Sesuai dengan surat ukur No.03352/Trurenggo/2008 tanggal 15 Mei
2008) yang terletak di Desa Trirenggo, Kecamatan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bahwa kemudian Tergugat I dan Tergugat II yang juga selaku Anak dan menantu dari Penggugat I dan Penggugat II mengajukan pembiayaan di PT
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Insan Indonesia (UNISIA) sehingga
ditandatanganilah Akad Pembiayaan Murabahah Nomor 78 dan Akad Pembiayaan Murabahah Nomor 79 kemudian dilanjutkan dengan pengikatan jaminan atas sertifikat Hak Milik No.07251/Trirenggo, Luas Tanah
240m² (Sesuai dengan surat ukur No.03352/Trurenggo/2008 tanggal 15 Mei
2008) yang terletak di Desa Trirenggo, Kec. Bantul, DI Yogyakarta sehingga
terbit Akta Hak Tanggungan Nomor 127/2019 tanggal 28 November 2019 yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris/PPAT Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, S.H., Mkn. (Turut Terlawan I) yang kemudian didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul (Turut Terlawan II), sehingga terbitlah Sertifikat Hak Tanggungan Nomor 02523/2020.7
Penggugat I dan Penggugat II dalam gugatannya menyatakan tidak
menghadiri serta tidak pernah menandatangani dokumen apapun yang berkaitan
dengan Akad Pembiayaan Murabahah Nomor 78 dan Akad Pembiayaan
Murabahah Nomor 79 termasuk saat pengikatan jaminan dihadapan Notaris dan PPAT, sehingga penggugat I dan Penggugat II selanjutnya mengajukan gugatan dan meminta kepada Xxxxxxx Xxxxx yang memeriksa perkara tersebut agar
menyatakan batal demi hukum terhadap Akta Pembebanan Hak Tanggungan No.127/2019 yang di buat oleh Tergugat III dalam hal ini Notaris dan PPAT dan Sertifikat Hak Tanggung No.02523/2020.
Selanjunya di dalam Putusan Nomor 499/Pdt.G/2021/PA YK yang mana dalam gugatan pembatalan Akta Pemberian Hak Tanggungan juga terdapat adanya Perjanjian Perbankan Syariah yakni Akad Pembiayaan Murabahah Nomor 78 dan Akad Pembiayaan Murabahah Nomor 79, yang mana dalam putusan tersebut Tergugat IV (Bank) telah mengajukan Eksepsi mengenai kompetensi relatif serta Eksepsi mengenai kompetensi absolut. Selanjutnya, dalam eksepsi kompetensi relatif Tergugat IV mendalilkan gugatan yang diajukan Penggugat I dan Penggugat II tidak sesuai dengan asas actor sequitur forum rei yang mana seharusnya gugatan didaftarkan pada Pengadilan Agama Bantul karena kedudukan atau tempat tinggal Tergugat I dan Tergugat II berada di Bantul.
Sedangkan terkait dengan eksepsi kompetensi absolut yang disampaikan oleh Tergugat IV (Bank) adalah pada dasarnya gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat merupakan Gugatan Pembatalan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan terkait hal tersebut, di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut Para Pihak telah sepakat untuk memilih domisili hukum pada Pengadilan Negeri Bantul apabila terdapat perselisihan atas isi APHT tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam pasal 4 APHT tersebut. Namun, saat agenda sidang pembuktian Para Penggugat tidak dapat membuktikannya.
Selanjutnya, permasalahan mengenai Akad Syariah sebagai perjanjian pokok dan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai perjanjian ikutan muncul karena adanya perbedaan pilihan hukum lingkungan peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa dalam keduanya, dimana di dalam Pasal 22 Akad Syariah Murabahah Nomor 78 dan Akad Pembiayaan Murabahah Nomor 79 telah disepakati apabila terdapat permasalahan maka para pihak telah memilih kewenangan Pengadilan Agama untuk mengadili sedangkan di dalam pasal 4 Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat dihadapan Notaris dan PPAT menyatakan apabila terdapat permasalahan hukum maka para pihak sepakat untuk menyelesaikannya di lingkup Pengadilan Negeri. Adanya dualisme terhadap pilihan domisili hukum yang berkaitan dengan kompetensi peradilan tersebut menggambarkan adanya ketidaksinkronan antara Hukum Islam dan Hukum Perdata Umum.
Berdasarkan uraian yang Peneliti jabarkan tersebut Peneliti tertarik untuk meneliti dan menganalisis lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut dalam Penelitian dengan judul “Kewenangan Mengadili terhadap Sengketa Berdasarkan Perjanjian Pokok (Akad Syariah) dan Perjanjian Accesoir (APHT) Akibat Pilihan Hukum yang Berbeda (Studi Putusan Nomor 499/Pdt.G/2021/PA.Yk di Pengadilan Agama Kota Yogyakarta)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka permasalahan hukum yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Pengadilan manakah yang berwenang sehubungan dengan adanya perbedaan pilihan hukum antara perjanjian pokok (Akad Syariah) dengan perjanjian accessoir (APHT)?
2. Apakah di dalam akad-akad syariah diperkenankan untuk dimasukkan klausula pilihan hukum terkait penyelesaian sengketa Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 93/PPU-X/2012?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui konsekuensi hukum akibat pilihan hukum yang berbeda antara perjanjian pokok (Akad Syariah) dan perjanjian accessoir (Akta Pemberian Hak Tanggungan).
2. Mengetahui apakah akad-akad syariah yang telah dibuat dan ditandatangani oleh para pihak diperkenankan untuk dimasukkan klausul pilihan hukum terkait penyelesaian sengketa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 93/PPU-X/2012.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi serta sumbang pemikiran bagi pengembangan dan pengkajian Ilmu Hukum, khususnya dalam bidang Hukum Ekonomi Syariah yang berhubungan dengan Hukum Perjanjian dan Akad Syariah
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau bahan masukan bagi Notaris dan PPAT, Usaha Perbankan, dan Masyarakat dalam membuat dan melaksanakan Akad Syariah.
E. Tinjauan Pustaka
1. Kewenangan Mengadili
Kewenangan mengadili pada peradilan di Indonesia telah memiliki batas-batas yang jelas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman agar dapat menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat yang mencari keadilan melalui badan peradilan. Berdasarkan pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi:
“Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.8 Kemudian untuk mempertegas kekuasaan kehakiman badan peradilan di Indonesia, diatur lagi dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasilan dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”9
Kekuasaan atau kompetensi peradilan dibagi menjadi 2 hal, yaitu kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut. Kekuasaan absolut yang disebut juga atribusi kekuasaan adalah semua ketentuan perkara tentang apa yang
8 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal (24) ayat 1.
9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal (1) ayat 1.
termasuk dalam kekuasaan suatu lembaga peradilan. Kekuasaan ini biasanya diatur di dalam Undang-Undang yang mengatur perkara dan kekuasaan lembaga peradilan yang bersangkutan. Sedangkan kekuasaan relatif adalah pembagian wilayah kewenangan atau kekuasaan mengadili. Lebih lanjut, terkait kompetensi absolut dan kompetensi relaif dapat dijelaskan di bawah ini.
a. Kompetensi absolut
Kompetensi absolut dapat dimaknai sebagai kewenangan lingkungan peradilan yang berkaitan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan ataupun tingkat pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat pengadilan lainnya.10 Berdasarkan pasal 24 ayat (2) UUD 1945, dan berdasarkan pasal (2) juncto Pasal 10
ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 juncto Pasal (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut, penyelenggaraan kekuasan Kehakiman oleh Mahkamah Agung (MA) dilakukan oleh badan peradilan yang berada dibawahnya dalam11:
1) Lingkungan Peradilan Umum;
2) Lingkungan peradilan Agama;
3) Lingkungan Peradilan militer;
4) Lingkungan peradilan Tata Usaha Negara.
10 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Analisis Konsep dan UU No.21 Tahun 2008 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2018), 64.
11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal (24) ayat 1. Jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 juncto Pasal (1) Jo. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal (1) ayat 1.
Keempat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung tersebut, merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif yang mana secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice) dalam kedudukannya sebagai pengadilan negara (state court).12 Oleh karena itu, Pasal 24 ayat (2) UUD dan Pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 merupakan landasan system peradilan negara (state court system) di Indonesia, yang dibagi dan terpisah berdasarkan yurisdiksi atau separation court system based on jurisdiction.13 Kemudian mengenai system pemisahan yurisdiksi masih relevan apabila didasarkan pada penjelasan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970 yang mengatur demikian:14
1) Didasarkan pada lingkungan kewenangan.
2) Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu atau diversity jurisdiction.
3) Kewenangan tertentu tersebut, menciptakan terjadinya kewenangan absolut atau yurisdiksi absolut pada masing-masing lingkungan sesuai dengan subject matter of jurisdiction.
4) Oleh sebab itu, tiap-tiap lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya.
12 Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), 231.
13 Ibid.
Secara umum, kewenangan tiap-tiap lingkungan peradilan adalah sebagai berikut:15
1) Peradilan Umum berdasarkan pada Pasal 50 dan Pasal 51 UU Nomor
2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang kemudian diubah dengan UU nomor 8 Tahun 2004 dan perubahan terakhir dengan UU Nomor 49 Tahun 2009, Peradilan Umum memiliki kewenangan untuk mengadili perkara:
a) Pidana (pidana umum dan pidana khusus).
b) Perdata (perdata umum dan niaga).
2) Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang selanjutnya diubah melalui UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan terakhir dengan UU Nomor 50 Tahun 2009, mengatur apabila Peradilan Agama memiliki kewenangan untuk mengadili terhadap perkara bagi masyarakat atau badan hukum yang tunduk terhadap hukum Islam, yakni mengenai perkara:
a) Perkawinan.
b) Kewarisan (meliputi wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam).
c) Waqaf dan shadaqah.
d) Ekonomi Syariah.
3) Peradilan Militer sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 40 UU Nomor 31 Tahun 1997 memiliki kewenangan untuk mengadili sebatas pada perkara pidana yang terdakwanya terdiri dari Prajurit TNI berdasarkan pada pangkat tertentu yang ada dalam TNI.
4) Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Tata Usaha Negara, yang kemudian diubah melalui UU Nomor 9 Tahun 2004 dan dengan perubahan terakhirnya melalui UU nomor 51 Tahun 2009 mengatur mengenai kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha Negara yang terbatas dan tertentu pada sengketa Tata Usaha Negara.
b. Kompetensi relatif
Kompetensi relatif merupakan kewenangan peradilan menyangkut peradilan wilayah mana yang erwenang dalam menyelesaikan suatu sengketa.16 Setiap badan peradilan memiliki daerah hukumnya masing- masing. Tempat kedudukan daerah hukum menentukan batas kompetensi relatif17 bagi setiap badan peradilan. Dalam menentukan kompetensi relatif suatu kewenangan bagi badan peradilan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara maka terdapat asas-asas sebagai berikut:18
1) Actor Sequitur Forum Rei
16 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Op. Cit., hlm. 65
17 Xxxxx Xxxxxxx, Op. Cit., hlm. 242
Dalam ketentuan ini, berlaku Pasal 118 ayat (1) HIR yang menjelaskan apabila:
a) Xxxx berwenang mengadili suatu perkara adalah PN tempat tinggal tergugat.
b) Oleh sebab itu, agar gugatan yang diajukan Penggugat tidak melanggar batas kompetensi relatif, gugatan harus diajukan dan dimasukkan kepada PN yang berkedudukan di wilayah atau daerah hukum tempat tinggal Tergugat.
2) Actor Sequitur Forum Rei dengan Hak Opsi
Apabila dalam suatu gugatan memiliki Tergugat yang lebih dari satu orang maka diberlakukan penerapan asas actor sequitur forum rei yang memberikan hak opsi kepada Penggugat untuk memilih salah satu Pengadilan di tempat Tergugat tinggal, hal ini diatur dalam Pasal 118 ayat (2) HIR pada kalmat pertama yang menjelaskan apabila: “jika Tergugat lebih dari seorang, sedangkan mereka tidak tinggal di dalam itu, dimajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat salah seorang dari Tergugat itu, yang dipilih oleh Xxxxxxxxx.”
3) Actor Sequitur Forum Rei Tanpa Hak Opsi, tetapi Bersadarkan Tempat Tinggal Debitur Principal
Asas ini merupakan kebalikan dari keberlakukan asas actor sequitur forum rei dengan hak opsi. Yang mana undang-undang tidak memberikan opsi kepada Penggugat meskipun pihak Tergugat
terdiri lebih dari 1 (satu) orang. Ketentuan ini diatur dalam kalimat kedua Pasal 118 ayat (2) HIR dan Pasal 99 ayat (6) Rv yang menerangkan bahwa:
a) Dalam hal Para Tergugat satu sama lain mempunyai hubungan: Yang satu berkedudukan sebagai debitur pokok atau debitur principal, sedangkan selebihnya, berkedudukan sebagai penjamin (borgtocht; guarantor) berdasarkan Pasal 1820 KUH Perdata.
b) Maka dalam hal kasus yang demikian, kompetensi relatif Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal debitur pokok. Kepada Penggugat tidak diberi hak mempergunakan hak opsi untuk memilih wilayah Pengadilan berdasarkan daerah hukum tempat tinggal penjamin.
4) Pengadilan di Daerah Hukum Tempat Tinggal Penggugat
Pasal 118 ayat (3) HIR pada kalimat pertama, memberikan pilihan kepada Penggugat untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan tempat tinggal Penggugat. Hal ini diperbolehkan menerapkan kompetensi relatif berdasarkan tempat tinggal Penggugat, dengan syarat sebagai sebagai berikut:
a) Apabila tempat tinggal atau kediaman Tergugat tidak diketahui
b) Penerapan ketentuan ini, tidak boleh dimanipulasi oleh Xxxxxxxxx.
5) Forum Rei Sitae
Dalam asas forum rei sitae, gugatan diajukan kepada Pengadilan berdasarkan patokan tempat terletak benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa.19 Hal tersebut didasarkan pada Pasal 118 ayat (3) HIR yang menyatakan bahwa: “…atau kalu tuntutan itu tentang barang tetap (tidak bergerak), maka tuntutan itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang itu.”
6) Kompetensi Relatif Berdasarkan Pemilihan Domisili
Para pihak dalam suatu perjanjian dapat menyepakati domisili pilihan yang berisi klausul untuk sepakat memilih Pengadilan pada daerah tertentu yang akan berwenang apabila kemudian timbul sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, hal ini didasarkan pada Pasal 118 ayat (4) HIR. Pencantuman mengenai klausul pemilihan domisili hukum harus berbentuk dalam akta tertulis:
a) Dapat langsung dicantumkan sebagai klausul dalam perjanjian pokok.
b) Dituangkan dalam akta tersendiri yang terpisah dari perjanjian pokok.
2. Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
19 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Op. Cit.
Perjanjian dalam KUH Perdata terdapat dalam Pasal 1313 peraturan tersebut yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari pasal tersebut diketahui unsur- unsur dalam perjanjian yakni adalah:
1) Unsur perbuatan.
2) Unsur satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Perjanjian dalam arti sempit hanya mencakup perjanjian yang ditujukan kepada hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan saja sebagaimana yang diatur dalam Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.20 Menurut J Satrio dalam buku berjudul Hukum Perjanjian: Teori dan Perkembangannya karangan Zakiyah mendefinisikan perjanjian dalam arti luas yakni mencakup semua perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang dikehendaki para pihak. Jadi perjanjian dalam arti luas tidak hanya diatur dalam lapangan hukum harta kekayaan saja, tetapi juga mencakup Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti perjanjian kawin.21
b. Syarat Sah Perjanjian
20 Zakiyah, Hukum Perjanjian: Teori dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2015), 4.
21 Ibid.
Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian agar perjanjian tersebut sah secara hukum. KUH Perdata telah mengatur syarat sah perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1320 peraturan a quo, yang terdapat 4 (empat) hal yang harus dipenuhi yakni sebagai berikut:22
1) Adanya kesepakatan para pihak
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lain. Adapun yang menjadi indikator ‘sesuai’ itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain. Pernyataan kesepakatan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pernyataan tegas dapat berupa lisan, tertulis atau dengan tanda/isyarat.
2) Kecakapan bertindak
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, hal ini mempunyai arti bahwa orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Ketentuan mengenai kecakapan seseorang diatur dalam pasal 1329 sampai dengan pasal 1331 KUH Perdata.
3) Adanya objek perjanjian (suatu hal tertentu)
22 Xxxxxx Xxxxxxx Xx, Aspek Hukum Perjanjian: Kajian Komprehensif dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Penebar Media Pustaka, 2019), 54 – 55.
Objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah kewajiban debitur dan hak kreditur. Prestasi terdiri atas perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas:
a) Memberikan sesuatu.
b) Berbuat sesuatu.
c) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
Prestasi harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat dinilai dengan uang. Dapat ditentukan, artinya di dalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan, dalam arti dapat ditentukan secara cukup.
4) Adanya kausa yang halal
Hoge Raad mengartikan orzaak (kausa yang halal) sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. Sebab yang halal mempunyai arti bahwa isi yang menjadi perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku di samping tidak menyimpang dari norma-norma ketertiban dan kesusilaan. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Syarat terkait dengan kesepakatan para pihak dan kecakapan hukum merupakan syarat subjektif, yakni syarat yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh salah satu pihak. Sementara dalam syarat adanya kausa yang halal dan adanya objek perjanjian atau suatu hal tertentu merupakan syarat perjanjian yang disebut sebagai syarat objektif. Syarat objektif suatu perjanjian apabila tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum sehingga perjanjian tersebut akan dianggap tidak pernah ada dan kepada keadaan semula sebagaimana sebelum perjanjian tersebut dibuat.
c. Perjanjian Pokok dan Perjanjian Tambahan atau Accesoir
Pada dasarnya, perjanjian mengenai kebendaan dibedakan menjadi 2 (dua) macam yakni Perjanjian Pokok dan Perjanjian Tambahan atau Accesoir. Perjanjian Pokok sebagaimana didefinisikan oleh Xxxxxxx adalah perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban antara kreditor dan debitur, kreditur berkewajiban mencairkan pinjaman sebesar yang disetujui dan debitur berkewajiban mengembalikan pinjaman sesuai jadwal waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kredit.23
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxx perjanjian accesoir adalah “suatu bentuk perjanjian atau/perikatan bersyarat, yang pelaksanaannya atau kebatalannya digantungkan pada pemenuhan atau ketiadaan pemenuhan dari suatu syarat, kondisi atau keadaan dalam
23 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank (Bandung: Alfabeta, 2003) 6.
perjanjian dasar yang menjadi dasar dari pembentukannya.24 Perjanjian assesoir tidak dapat dan tidak mungkin berdiri sendiri. Meskipun tidak sepenuhnya benar, dalam berbagai hal, pengalihan hak atas prestasi dalam perjanjian dasar dari pihak kreditur kepada pihak ketiga membawa serta akibat hukum beralihnya perjanjian assesoir kepada pihak ketiga yang menerima pengalihan hak berdasarkan perjanjian dasar tersebut.25 Oleh karena itu, adanya perjanjian accesoir bersifat megikuti perjanjiannya pokoknya karen sifat dari perjanjian accesoir yang merupakan perjanjian tambahan sehingga tidak bisa berdiri sendiri tanpa perjanjian pokok.
3. Akad Syariah
a. Pengertian Akad Syariah
Menurut istilah Fiqih, secara umum akad berarti seautu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti waqaf, talak, dan sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual-beli, sewa, wakalah, dan gadai.26 Dikutip dari pendapat Santoso dalam buku Akad dan Produk Bank Syariah karya Xxxxxxx memberikan gambaran mengenai makna akad secara khusus yakni berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan
24 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxx, Jaminan Fidusia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) 48.
25 Ibid.
26 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017) 36.
penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyaratkan dan berpengaruh pada sesuatu.27
b. Rukun-rukun Akad Syariah
Akad Syariah sebagai sesuatu yang disepakati oleh para pihak yang membuatnya tentu memiliki dasar-dasar atau pokok-pokok agar akad tersebut menjadi sah bagi para pihak yang tunduk kepadanya. Oleh karena itu, terdapat rukun-rukun akad yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam membuat suatu akad, yang mana sebagai berikut:28
1) Aqid, adalah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang lebih dari beberapa orang. Kedua belah pihak yang melakukan akad harus sudah mencapai usia baligh, bertanggung jawab dan dapat mengelola objek akad dengan baik.
2) Ma‟qud alaih, adalah benda-benda yang diakadkan. Seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah, dalam akad gadai, hutang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
3) Maudhu’ al-aqd, adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Seandainya berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad.
27 Ibid.
28 Xxxxxxxx Xxxxx et. Al., Islamic Transaction in Business Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011) 9.
Sighat al- aqd, adalah ijab dan kabul. Xxxx adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan kabul adalah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab kabul adalah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan. Ijab dan Kabul boleh dinyatakan dalam bentuk ucapan maupun tulisan.
c. Syarat-syarat Akad Syariah
Syarat dalam akad terbagi menjadi 4 (empat), yaitu:29
1) Syarat berlakunya akad (in’iqod)
Syarat in’iqod dibagi menjadi dua, yakni umum dan khusus. Syarat umum ada pada setiap akad, seperti syarat yang harus ada pada pelaku akad, objek akad, dan Shighah akad, akad bukan pada sesuatu yang diharamkan, dan akad pada sesuatu yang bermanfaat. Di samping itu, syarat khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada akad-akad tertentu, seperti syarat minimal dua saksi pada akad nikah.
2) Syarat sahnya akad (shihah)
Syarat shihah merupakan syarat yang diperlukan secara Syariah agar suatu akad berpengaruh, seperti dalam akad perdaganagan yang harus bersih dari cacat.
3) Xxxxxx terealsasikannya akad (nafadz)
Syarat nafadz terbagi menjadi dua, yakni kepemilikan (barang dimiliki oleh pelaku dan berhak menggunakannya) dan wilayah.
4) Syarat lazim
Syarat lazim suatu akad berarti bahwa akad harus dilaksanakan apabila tidak ada cacat.
d. Akad dalam Bank Syariah
Akad atau transaksi yang digunakan bank Syariah dalam operasionya terutama diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagaian kegiatan tolong-menolong (tabarru’). Turunan dari tujarah adalah perniagaan (al-bai’) yang berbentuk kontrak pertukaran dan kontrak bagi hasil dengan segala variasinya. Dalam hal ini, pengelompokan akad Syariah yang digunakan dalam bank Syariah terbagi menjadi enam bagian diantaranya adalah:30
1) Pola titipan, seperti wadi’ah yad Amanah dan wadi’ah yad dhamanah.
2) Pola pinjaman, seperti qardh dan xxxxxxx xxxxx.
3) Pola bagi hasil, seperti mudharabah dan musharakah.
4) Pola jual beli, seperti murabahah, salam, dan istishna.
5) Pola sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina.
6) Pola lainnya, seperti waqalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan
rahn.
F. Landasan Teori/Kerangka Teori
Xxxxxxan teori bertujuan untuk memberikan gambaran atas batasan-batasan tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan.31 Oleh karena itu, peneliti dalam penelitian ini akan menggunakan 2 teori hukum yakni teori tentang kewenangan Pengadilan Agama dan teori tentang kewenangan Basyarnas.
1. Teori kewenangan Pengadilan Agama
Wewenang dapat diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.32 Sedangkan Peradilan Agama merupakan salah satu di antara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.33 Peradilan Agama juga merupakan Peradilan Khusus, dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara- perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini,
31 Xxxxxxxx, Metode Penelitian, Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004)
41.
32 Tim Ganeca Sains Bandung, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Bandung: Penabur Ilmu,
2001) 489.
33 Xxxxx Xxxxx, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia (Jakarta, PT Raja
Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara- perkara perdata Islam tertentu, termasuk perkara ekonomi syariah.34
Peradilan Agama sebagai Lembaga kekuasaan kehakiman yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dituntut untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang bersih dan berwibawa. Secara yuridis formal Peradilan Agama sudah menjadi Peradilan Negara yang mandiri, yang kedudukannya sama dengan peradilan lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, Peradilan Agama harus mempersiapkan diri dengan sebaik- baiknya, agar amanat Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilaksankan dengan baik serta sesuai dengan peraturan yang berlaku.35
Kewenangan Peradilan Agama dalam bidang Ekonomi Syariah
meliputi sebagaimana tersebut di dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama maka Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:36
a. perkawinan;
x. xxxxx;
c. wasiat;
34 Roihan A. Xxxxxx, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) 5.
35 Xxxxx Xxxxx, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Depok: Kencana, 2017) 123.
36 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
x. xxxxx;
e. wakaf;
x. xxxxx;
g. infaq;
x. xxxxxxxx; dan
i. ekonomi syari'ah.
2. Teori Kewenangan Basyarnas
Basyarnas sebagai Lembaga arbitrase islam memiliki landasan nilai- nilai islam dan agama dalam menyelesaikan sengketa, maka prinsip yang diutamakan dalam penyelesaian sengketa ini selalu mendahulukan kedamaian dan mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang bersengketa.37 Basyarnas memiliki kewenangan sebagai berikut:38
a. Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industry, jasa, dan lain- lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa;
b. Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.
37 Muthia sakti & Xxxxxxx Xxxx W, “Tanggung Jawab Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah,” Jurnal Yuridis 4, No. 1 (2017):4-83. 38 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional & Internasional
(Jakarta: Sinar Graffika, 2011), 149.
G. Metode Penelitian
Untuk melengkapi penulisan tesis ini agar tujuan penulisannya lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka penulis menggunakan metode penulisan antara lain:
1. Jenis Penilitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif atau penelitian hukum doktriner sehingga bahan hukum dari penelitian ini terdiri dari; 1) Bahan hukum primer: bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang meliputi: undang-undang, peraturan-peraturan, Al-Qur’an, al-Sunnah, serta fatwa Dewan Syariah Nasional di bidang perbankan syariah. 2) Bahan hukum sekunder berupa literatur, jurnal dan data elektronik serta, 3) Bahan-bahan hukum tersier berupa kamus dan ensiklopedi. Cara pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui; 1) Studi pustaka, yakni dengan mengkaji berbagai peraturan atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti, dan, 2) Studi Jurnal Hukum, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti.
2. Objek Penelitian
Penelitian ini akan mengkaji akibat hukum akibat adanya perbedaan pilihan hukum antara perjanjian pokok (Perjanjian Perbankan Syariah) dan perjanjian tambahan (Akta Pemberian Hak Tanggungan) yang merupakan
akta otentik dengan melakukan kajian terhadap Putusan Pengadilan Nomor 499/Pdt.G/2021/PA YK di Pengadilan Agama Yogyakarta.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas.39 Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaedah dasar.40 Adapun dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun tentang Pengadilan Agama
4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
b. Bahan Hukum Sekunder
39 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010) 141.
40 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press,1986) 52.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat menginformasikan perihal sumber hukum primer, sekaligus dapat membantu untuk menganalisa, memahami dan menjelaskan bahan hukum primer.41 Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini antara lain:
1) Buku-buku yang berkaitan dengan penelitian;
2) Jurnal-jurnal hukum dan makalah-makalah hukum yang terkait;
3) Artikel dan berita-berita dari surat kabar dan majalah yang berkaitan;
4) Artikel dan berita-berita dari media internet yang terkait dengan penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan mengenai terhadap bahan hukum primer dan sekunder.42 Bahan hukum tersier dalam penelitian ini antara lain:
1) Kamus Hukum
2) Kamus Besar Bahasa Indonesia
3) Black’s Law Dictionary
4. Teknik Pengumpulan Data
41 Xxx Xxxxxxx et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005) 31.
42 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Metodologi Penelitian Hukum (PT RajaGrafindo Persada, 2007) 114.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mendasarkan analisisnya pada peraturan perundang- undangan yang berlaku dan relevan dengan permasalahan hukum yang menjadi fokus penelitian.43 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa peraturan terkait Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal-jurnal dan buku-buku yang relevan dengan permasalahan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), untuk kemudian dianalisis dan diformulasikan sebuah simpulan.
5. Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan pendekatan doktrinal atau normatif. Selanjutnya dalam penelitian ini peneliti menggunakan bahan hukum primer berupa putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan. Putusan Pengadilan Nomor 499/Pdt.G/2021/PA YK menjadi menarik untuk dibahas karena Xxxxxxx Xxxxx memberikan pertimbangan-pertimbangannya secara jelas yang
43 K. Xxxxx & M. Azhar, “Metodologi Penelitian Hukum Sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer,” Jurnal Gema Keadilan 7, no. 1 (2020): 24.
menjelaskan kedudukan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai perjanjian accesoir akan selalu bertumpu pada perjanjian pokok, meskipun Akta Pemberian Hak Tanggungan merupakan Akta Otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan Penggugat tidak dapat mengotentikasi Perjanjian Perbankan Xxxxxxx sebagai Perjanjian Pokok dalam persidangan.
6. Analisis Data
Analisis hasil penelitian dilakukan dengan cara deskriptif-analitis. Data yang terkumpul dari studi kepustakaan, dianalisis dengan metode kualitatif, yaitu data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokan dan dipilih, kemudian dihubungkan dengan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat menjawab perumusan masalah yang ada. Data dihimpun dengan pengamatan yang seksama, meliputi analisis dokumen dan catatan-catatan. Penelitian kualitatif ini dengan mempergunakan cara berpikir secara induktif, yaitu pola pikir dan cara pengambilan kesimpulan yang dimulai dari suatu gejala dan fakta satu persatu, yang kemudian dapat diambil suatu generalisasi (ketentuan umum) sebagai suatu kesimpulan.
H. Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun menjadi 4 bab, Bab I yaitu pendahuluan yang menjelaskan mengenai mengapa penelitian ini dibuat dan dibahas menjadi suatu objek penelitian serta untuk mendapatkan suatu kesimpulan dari hasil penelitian
yang dilakukan. Bab II tinjaun pustaka yaitu menjelaskan secara komprehensif terkait peraturan perundang-undangan dan teori yang dijadikan sebagai alat untuk menganalisis objek penelitian diantaranya, teori kewenangan mengadili, perjanjian, dan akad syariah. Bab III hasil penelitian dan pembahasan, dalam bab ini penulis akan menyajikan mengenai hasil penelitian yang merupakan pembahasan dari rumusan masalah yang ada mengenai kewenangan mengadili terhadap sengketa berdasarkan perjanjian pokok dan perjanjian accesoir akibat pilihan hukum yang berbeda. Bab IV penutup, pada bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian beserta saran yang penulis berikan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN, PERJANJIAN DAN HAK TANGGUNGAN
A. Kewenangan Peradilan
Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa Belanda maksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakan hukum dan keadilan. Menurut X. Subekti dan
R. Tjitrosoedibio, pengertian peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan istilah Peradilan (rechtspraak/judiciary) menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakan hukum (het rechtspreken), sedangkan pengadilan ditujukan kepada badan atau wadah yang memberikan peradilan. Jadi pengadilan bukanlah merupakan satu satunya wadah yang menyelenggarakan peradilan.44 Pengertian peradilan menurut Sjachran Basah, adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas dalam memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.45
Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara peradilan.46 Peradilan juga dapat diartikan suatu proses pemberian
44 Xxxxxxxxxxx, “Analisis Kewenangan Relatif Pengadilan Agama Semarang Putusan No. 1565/Pdt.g/2014/PA.SmgTentang Talak Cerai,” Jurnal Hukum Syariah, No.2 (2017): 1.
45 Sjachran Basah, Mengenal Peradilan di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada) 9
46 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2022, at: xxxx://xxxx.xxx.xx/xxxxx, Diakses Tanggal 07 Juli 2022.
34
keadilan disuatu lembaga.47 Dalam kamus Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan, memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang mana penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan- ketetapan (hukum) dari Allah dan Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-perselisihan hukum.48 Peradilan Umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan umum meliputi:
1. Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi.
2. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan khusus lainnya spesialisasi, misalnya: Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Pengadilan Tindak Xxxxxx Xxxxxxx (Xxxxxxx), Pengadilan Pajak, Pengadilan Lalu Lintas Jalan dan Pengadilan anak.49
Pengadilan Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk berdasarkan Undang- Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi
47 Xxxxxxxx Xxxx Xxx, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015) 278.
48 Xxx Xxxxx Xxxxx, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
3.
49 Xxxxxxxxxxx, “Analisis Kewenangan Relatif Pengadilan Agama Semarang Putusan No.
1565/Pdt.g/2014/PA.Smg Tentang Talak Cerai,” Jurnal Hukum Syariah (2017): 2.
terdiri atas Pimpinan (seorang Ketua PT dan seorang Wakil Ketua PT), Hakim Tinggi, Panitera, Sekretaris dan Staf.50 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, menyebutkan bahwa salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Dalam mencapai keadilan, esensi dan eksistensi Peradilan Umum itu sendiri harus mampu mewujudkan kepastian hukum sebagai sesuatu nilai yang sebenarnya telah terkandung dalam peraturan hukum yang bersangkutan itu sendiri.51
Tetapi di samping kepastian hukum, untuk dapat tercapainya keadilan tetap juga diperlukan adanya kesebandingan atau kesetaraan hukum, yang pada dasarnya juga telah terkandung dalam peraturan hukum yang bersangkutan dan dalam hal ini juga harus mampu diwujudkan oleh Peradilan. Umum. Anasir kepastian hukum yang bersangkutan secara sama bagi semua orang, tanpa terkecuali, sedangkan anasir kesebandingan atau kesetaraan hukum pada hakikatnya merupakan anasir yang mewarnai keadaan berlakunya hukum itu bagi tiap-tiap pihak yang bersangkutan, sebanding atau setara dengan kasus/keadaan perkara mereka masing-masing.52
50 Hukum online, Perbedaan Peradilan dan Pengadilan Tahun 2014, xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxxxx/xx000x00000xxx0/xxxxxxxxx-xxxxxxxxx- denganpengadilan, diakses pada tanggal 06 Juli 2022 Pukul 22.00 WIB.
51 Bagian pertimbangan di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Jo. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Jo. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
52 X. Xxxxxx Xxxxx, Pokok-pokok Peradilan Umum di Indonesia dalam Tanya Jawab
(Jakarta: PT Xxxxxxx Xxxxxxxx, 1987) 41-42.
Xxxxxx Xxxxxx xxxxxxxxxxxxx bahwa pengertian keadilan ialah sesuatu perbuatan yang dikatakan adil jika telah didasarkan pada suatu perjanjian yang telah disepakati. Tentang rumusan keadilan ini ada 2 (dua) pendapat dasar yang perlu diperhatikan yakni:53
1. Pandangan kaum awami (pendapat awami) yang pada dasarnya merumuskan bahwa yang dimaksud dengan keadilan ialah keserasian antara penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban, selaras dengan dalil “neraca hukum” yakni “takaran hak adalah kewajiban”
2. Pandangan para ahli hukum Xxxx. Xxxxxxx Purbacakara,S.H. yang pada dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum.
Adanya kenyataan berdasarkan dalil “takaran hak adalah kewajiban”, yang secara jelas berarti bahwa:54
1. Hak setiap orang itu besar kecilnya tergantung atau selaras dengan besar kecil kewajibannya.
2. Dalam keadaan yang wajar, tidaklah benar kalau seseorang dapat memperoleh haknya secara tidak selaras dengan kewajiban atau tidak pula selaras kalau seseorang itu dibebankan kewajiban yang tidak selaras dengan haknya.
53 Xxxxxxxx, “Kewenangan Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah” Jurnal Ahwal al-Syakhsiyah (2013): 4.
54Suparji, “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUUX/2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia” Jurnal Hukum Syariah (2017): 2.
3. Tiada seorang pun yang dapat memperoleh haknya tanpa melaksanakan kewajibanya baik sebelum maupun sesudahnya dan demikian pula sebaliknya, tiada seorang pun yang dapat dibebankan kewajiban tanpa ia memperoleh haknya baik sebelum maupun hsesudahnya.
Macam-macam Peradilan Umum Lembaga-lembaga peradilan di Indonesia pada dasarnya terbagi atas:
1. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
2. Di bawah Mahkamah Agung terdapat 4 lembaga peradilan.
Menurut bidang yang ditangani bidang tersebut ialah:
1. Peradian Umum, terdiri dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Adminitrasi
Perkara-perkara yang menjadi wewenang badan peradilan umum untuk memeriksanya ialah perkara-perkara yang bersifat umum, dalam arti:
1. Umum orang-orangnya, dalam arti orang yang berpekara itu bukanlah orang-orang yang tata cara pengadilannya harus dilakukan oleh suatu peradilan yang khusus. (Orang yang tata cara pengadilan dirinya harus dilakukan oleh badan peradilan yang khusus atau tersendiri misalnya militer, yang bersalah harus ditangani oleh badan peradilan militer).
2. Umum masalah atau kasusnya, dalam arti bukanlah perkara yang menurut bidangnya memerlukan penanganan yang khusus oleh suatu badan peradilan tersendiri di luar badan peradilan umum.
Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga negara badan kehakiman tertinggi yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negara. Sesuai dengan Perubahan Ketiga UUD 1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Ketua Mahkamah Agung yang dipilih dari dan oleh xxxxx xxxxx, kemudian diangkat oleh Presiden.55
Dalam peradilan umum pada dasarnya terdapat kolerasi antara tujuan, sifat dan asas-asas hukum acara pidana, dimana asas-asas umum hukum acara pidana dan perundang-undangan terkait lainya, yaitu:
1. Asas peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagaimana ditentukan dalam pasal 29 UUD Negara Indonesia Tahun 1945, yang menentukan, bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tugas pengadilan luhur sifatnya, oleh karena itu tidak hanya bertanggungjawab kepada hukum, sesama manusia dan dirinya, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya setiap orang wajib menghormati martabat lembaga pengadilan, bagi mereka yang berada di ruang sidang sewaktu persidangan berlangsung bersikap hormat secara
55 Suherman, “Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama Di Indonesia” Al Maslhahah Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam (2019): 2.
wajar dan sopan serta tingkah laku yang tidak menyebabkan kegaduhan atau terhalangnya pengadilan, sebagimana yang sudah ditentukan dalam penjelasan pasal 218 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.56
2. Asas Praduga Tidak Bersalah
Asas ini merupakan salah satu asas terpenting dalam peradilan umum, adalah asas praduga tidak bersalah. Asas ini termuat pertama kali, dalam pasal 8 Undangundang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Bersumber pada asas inilah jelas bahwa tersangka maupun terdakwa dalam proses peradilan pidana wajib mendapat hak-haknya. Karena itu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau bersalah sebelum adanya putusan pengadilan wajib dianggap tidak bersalahsebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.57
3. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Asas ini sebagaimana diatir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebut juga sebagai contante justice. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberlakukan dan diperiksa secara berlarut-larut, kemudian memperoleh proses yang procedural hukum serta proses adminitrasi biaya perkara yang ringandan tidak terlalu membebaninya. Dalam praktek ditentukan batasan asas ini, sebagaimana ditentukan dalam surat edaran
56 Xxxxxxx Xxxxxx, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaruan, Teori, dan Praktik Peradilan (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2014) 67.
57 Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Suatu Kompilasi Ketentuan-ketentuan KUHAP Sera dilengkapi dengan Hukum Internasional yang Relevan (Jakarta: Djambatan, 2000) 416.
Mahkamah Xxxxx Xxxxxxxx Indonesia Nomor 6 Tahun 1992, tanggal 21 Oktober 1992.58
4. Xxxx Xxx Xxxxxx
Pada dasarnya asas ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan, serta untuk menjamin objektivitas peradilan, dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair tidak memihak, serta putusan yang adil kepada masyarakat. Pihak yang diadili, mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya, dalam hal mengajukan keberatan-keberatan, yang disertai dengan alasan-alasan terhadap seorang hakim, yang akan mengadili perkaranya. Putusan hal tersebut dilakukan oleh pengadilan, dan berkaitan juga dengan hakim yang terikat dengan hubungan dengan keluarga.59
5. Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Kehadiran Terdakwa.
Asas ini penting, kerena terdakwa mesti hadir dalam persidangan, guna memeriksa secara terang dan jelas, sehingga perkara dapat diputuskan dengan hadirnya terdakwa. Ketentuan mengenai hal ini, diatur dalam pasal 154-155 KUHAP, dipandang sebagai pengecualian asas ini, ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yakni putusan verstek atau / in absentia. Tetapi ini hanya merupakan pengecualian, yakni dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Juga dalam hal hukum acara pidana khusus, sebagaimana dalam Undang-undang No.11
58 Xxxxx Xxxxxxx, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktek, Tehnik Penyusunan dan Permasalahnya (Jakarta: Bunga Rampai, 2007) 14.
59 Xxxxxxx Xxxxx, Op.cit, hlm.70.
(PN-PS) tahun 1963 Tentang Subsversi atau dalam perkara tindak pidana korupsi, yang mengenal putusan in absentia. 60
6. Xxxx Equality Before the Law.
Asas ini memiliki arti perlakuan yang sama terhadap setiap orang didepan hukum. Artinya bahwa hukum acara pidana tidak mengenal apa yang disebut forum priveligiatum atau perlakuan yang bersifat khusus, bagi pelaku-pelaku tertentu dari suatu tindak pidana, karena harus dipandang mempunyai sifat-sifat yang lain, yang dimiliki oleh rakyat pada umumnya, misalnya sifat sebagai Menteri, Anggota Parlemen, Kepala Daerah dan sebagainya.61
7. Asas Bantuan Hukum
Asas ini memberikan bantuan hukum seluas-luasnya, bermakna bahwa setiap orang wajib diberi kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum pada tiap tingkatan pemeriksaan guna kepentingan pembelaan.
8. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Xxxxx.
Arti dari asas ini adalah bahwa pemeriksaan langsung terhadap terdakwa, dan tidak secara tertulis antara Hakim dan terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam pasal 154 KUHAP.62
60 Ibid, hlm.70.
61 X.XX, Lamintang dan Xxxx Xxxxxxxxx, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengethuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) 30.
62 Xxxxx,X.X. “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia” Jurnal Hukum (201): 7.
B. Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan yang ada di Negara Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, berwenang dalam jenis perkara perdata Islam, bagi orang-orang Islam di Indonesia.63 Pengadilan agama merupakan sebutan resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia sebagaimana Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan Agama juga salah satu diantara tiga peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena Pengadilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu (yang beragama Islam).64
Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak dalam bidang pidana dan juga hanya untuk orang-orang yang beragama Islam di Indonesia. UndangUndang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.65 Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama ialah pengadilan yang bertindak menerima, memeriksa, dan memutus setiap permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah. Pengadilan Agama bertindak sebagai peradilan yang sehari hari
63 Roihan A. Xxxxxx, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005): 5-6.
64 Ibid, hlm. 5.
65 UndangUndang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dalam Pasal (1) ayat 1.
menampung pada tahap awal dan memutus atau mengadili pada tahap awal segala perkara yang diajukan masyarakat pencari keadilan. Sehingga tidak boleh mengajukan suatu permohonan atau gugatan langsung ke Pengadilan Tinggi Agama.66
Semua jenis perkara terlebih dahulu mesti melalui Pengadilan Agama dalam kedudukan hierarki sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua permohonan atau gugat perkara yang diajukan kepadanya dalam kedudukan sebagai instansi pengadilan tingkat pertama, harus menerima, memeriksa, dan memutusnya, bahkan dilarang menolak untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepada nya dengan dalih apapun. Hal ini ditegas kan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang bunyinya: Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.67 Asas Umum Lembaga Pengadilan Agama yaitu sebagai berikut:
(1) Asas Bebas Merdeka. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.
66 Xxxxxxxx, X. “Kewenangan Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah” Jurnal Ahwal al-Syakhsiyah (2013): 4.
67 Ibid.
(2) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berbeda di bawah Peadilan Umum, lingkungan Peradilan Militer, lingkungn Peradilan Tata Usaha Negara, lingkungan Peradilan Agama dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang dan Peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan.
(3) Asas Ketuhanan Peradilan Agama Peradilan Agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hukum Agama Islam, sehingga pembuataan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmallah yang diikuti dengan irah-irah” Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhannan Yang Maha Esa”
(4) Asas Fleksibelitas Pemeriksaan perkara dilingkungan Peradilan Agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas ini diatur dalam 8 Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
(5) Asas Non Ekstra Yudisial Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
(6) Asas Legalitas Peradilan Agama mengadili menurut hukum dengan tidak memebeda-bedakan orang. Asas ini diatur di dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman perubahan atas (yang selanjutnya disebut jo) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. pada asasnya Peradilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan. Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hukum.
1. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Hubungan para pihak dalam hal ini nasabah dan Lembaga Keuangan syariah akan berjalan lancar apabila para pihak mentaati apa yang terdapat di dalam akad yang telah disepakati. Namun, sebaliknya apabila salah satu pihak ada yang lalai maka pelaksanaan akad akan mengalami hambatan.68 Oleh karena itu, peran Pengadilan Agama dalam membatu menyelesaikan permasalahan tersebut sangat dimungkinkan.
Sejak diamandemennya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
68 Bagya Xxxxx Xxxxxxx, Hybrid Contract Dalam Inovasi Produk-Produk Perbankan Syariah (Yogyakarta: FH UII Press, 2022) 198.
kompetensi absolut peradilan agama diperluas. Di samping diberikan kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, peradilan agama juga berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah. Hal ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 49 huruf (i) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan sebagai berikut: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah; dan (i) ekonomi syariah.” Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan ‘ekonomi syariah’ adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: (a) bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro syariah; (c) asuransi syariah; (d) reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan syariah; (i) pegadaian syariah; (j) dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan (k) bisnis syariah.69
69 Sofiana, R., “Implikasi Tugas dan Kewenangan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Pasca Putusan MK No.93/PUU-X/2012 Tahun 2008 tentang Pengujian Konstitusional UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah” Jurnal Supremasi Hukum (2014) hal.3.
Kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan diperkuat kembali dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa: “Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.” Namun permasalahan muncul ketika Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 juga memberi peluang kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara mereka melalui pengadilan negeri, apabila disepakati bersama dalam isi akad. Bunyi Pasal 55 ayat (2) tersebut sebagai berikut: “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.” Namun demikian, ketentuan tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 93/PUU-X/2012.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 menyatakan bahwa: “perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah …” Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:70
1. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,
70 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Penjelasan atas Pasal
(2).
kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjammeminjam yang mensyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah)
2. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan
3. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan, kecuali diatur lain dalam syariah
4. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
5. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Lima unsur di atas harus diperhatikan dan dipenuhi oleh lembaga perbankan syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Apabila unsur tersebut tidak terpenuhi berimplikasi pada ketidakvalidan usaha yang dijalankan.
2. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 93/PUU-X/2012
Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 yang menjelaskan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2) Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka para pihak baik bank syariah dan nasabah tidak lagi harus mengikuti
penjelasan pasal 55 ayat (2) dalam memilih penyelesaian sengketa secara non-litigasi, walaupun demikian musyawarah masih tetap menjadi pilihan alternatif utama penyelesaian sengketa perbankan syariah sebelum membawa sengketa ke tingkat selanjutnya. Musyawarah menjadi opsi awal bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah dikarenakan musyawarah merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda.71
Musyawarah merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan. Selain musyawarah, selanjutnya ada forum penyelesaian alternatif secara mediasi perbankan.72
Putusan MK No.93/PUU-X/2012 tidak menyinggung atau mengecilkan kewenangan basyarnas, namun hanya kembali mempertegas jika para pihak sepakat ingin membawa sengketa perbankan syariah ke forum penyelesaian basyarnas maka harus secara jelas mencantumkannya pada akad pembiayaan syariah. Namun kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum (Pengadilan Negeri) telah secara tegas diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No.93/PUU-X/2012 yang
71 Sa'nadillah, D., “Kewenangan Absolut Peradilan Agama Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama (Analisis Putusan Nomor 18 /Pdt.G/2015/PN.Kelas IA Tanjungkarang tentang wasiat)” Jurnal Syariah dan Hukum (2017) 3.
72 Ibid.
menjelaskan bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan umum wajib menolak untuk menangani perkara perbankan syariah, karena bertentangan dengan Pasal 25 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara kompetensi Pengadilan Negeri sama sekali tidak berwenang memeriksa bahkan mengadili sengketa ekonomi syariah.73
Terbitnya putusan MK No.93/PUUX/2012 memunculkan beberapa norma baru dan juga jaminan kepastian hukum sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 terutama dalam hal penyelesaian sengketa perbankan syariah itu sendiri, pilihan forum penyelesaian sengketa yang dibuka oleh penjelasan pasal 55 ayat (2) Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam beberapa kasus telah nyata menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan bukan hanya nasabah tetapi juga pihak bank yang pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sedangkan dalam Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama secara tegas dinyatakan bahwa Peradilan Agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah termasuk juga sengketa ekonomi syariah, padahal hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi nasabah dan bank dalam
73 Wahyudi, A. T., “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi.” Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan (2016): 7.
menyelesaikan sengketa perbankan syariah sebagaimana amanah Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.74
Penyelesaian sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan mutlak Peradilan Agama sebagaimana yang diamanahkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Para pihak yang melakukan akad dalam aktifitas perbankan syariah yakni Bank Syariah dan nasabah dapat membuat pilihan forum hukum jika para pihak tidak bersepakat untuk menyelesaikan sengketanya melalui Pengadilan Agama, namun hal tersebut harus termuat secara jelas dalam akad (perjanjian), para pihak harus secara jelas menyebutkan forum hukum yang dipilih bilamana terjadi sengketa. Dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 yang menyatakan penjelasan Pasal 55 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka para pihak tidak lagi terpaku dalam menyelesaikan sengketanya secara non litigasi pada musyawarah, mediasi perbankan, arbitrase melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional atau lembaga arbitrase lainnya, tetapi dapat juga menempuh proses non-litigasi lainnya seperti konsultasi, negosiasi (perundingan), konsiliasi, mediasi non mediasi perbankan, pendapat atau penilaian ahli.75
74 Suherman, “Kedudukan dan Kewengan Peradilan Agama di Indonesia,” Al Mashlahah Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam (2019): 2.
75 Ibid.
3. Kewenangan Absolut Pengadilan Agama
Menurut Roihan A. Xxxxxx, kekuasaan Absolut (kewenangan Absolut) artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya: Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.76
Kekuasaan Absolut artinya kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beraga Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung. Badan Peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung yang meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara masing-masing memiliki kewenangan mengadili secara absolut. Kewenangan mengadili secara absolut dari masing-masing badan peradilan dapat disimak dari Peraturan Perundang-undangan mengenai Kekuasaan Kehakiman serta
76 Roihan A. Xxxxxx, Op. Cit. hlm.7
Perundang-undangan yang mengatur secara khusus pada setiap badan Peradilan tersebut.77
Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia Pengadilan Agama masih berpedoman kepada peraturan perundang-undangan Pemerintah Kolonial Belanda berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Berdasarkan pada peraturan peralihan tersebut, peraturan perudang-undangan yang mengatur tentang Peradilan Agama adalah peraturan yang berlaku pada masa Kolonial Belanda, dengan demikian mengenai kewenangan absolut Peradilan Agama adalah sebagaimana yang diatur Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia. Adapun peraturan-peraturan tersebut adalah:
a) Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610).
b) Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639).
c) PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syari‟ah di Luar Jawa dan Madura.78
77 Xxxxxx, A., “Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/201),” Jurnal Yudisial (2019): 159 – 177.
78 Maksum, H., “Batasan Kewenangan Mengadili Pengadilan Umum Dalam Penyelesaian Sengketa Perbuatan Melawan Hukum Yang Melibatkan Badan Negara atau Pejabat Pemerintah (Ditinjau dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019),” Jurnal Juridica (2020): 2.
Kewenangan Absolut Peradilan Agama Pada Masa Pasca Reformasi, Pada masa ini kewenangan terjadi beberapa kali perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Peradilan Agama, yaitu:79
1. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
2. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
4. Kewenangan Relatif Pengadilan Agama
Kompetensi Relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu
jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan
yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya. Atau dengan kata lain bahwa
setiap lembaga Peradilan mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini
meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten. Kekuasaan relatif berkaitan
dengan pembagian kekuasaan antara badan-badan pengadilan dari tiap-tiap
jenis pengadilan tersebut, yang umumnya diatur dalam undangundang tentang hukum acara.80
Menurut pendapat tersebut bahwa Kompetensi relatif pengadilan
merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu berdasarkan
yuridiksi wilayahnya, yaitu untuk menjawab pertanyaan “Pengadilan Agama wilayah mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara. Sedangkan kompetensi Absolut adalah menyangkut kewenangan badan
79 Ibid, hlm. 3.
80Xxxxxxxx, X., Xxx. Cit. hlm. 4.
peradilan apa yang berhak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Sehingga kompetensi Absolut tersebut berkaitan dengan pengadilan apa yang berwenang untuk mengadili.
Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau
Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, sedang wewenang absolut berdasarkan pasal 49 UU No.
7 tahun 1989. tentang Peradilan Agama , yaitu kewenangan mengadili
perkara perkara perdata bidang; (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat,
hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf dan sedekah.
Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 ini sekarang sudah di amandemen dengan UU No.3 Tahun 2006.81
Kompetensi (kewenangan) relatif berhubungan dengan daerah hukum
suatu Pengadilan, baik Pengadilan tingkat pertama maupun Pengadilan
tingkat banding. Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan relatif Pengadilan
ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Dalam menentukan kompetensi relatif setiap Peradilan Agama
dasar hukumnya adalah berpedoman pada ketentuan undang-undang
Hukum Acara Pedata. dalam pasal 54 UU No.7 Tahun 1989 ditentukan
bahwa acara yang berlaku pada lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan Peradilan Umum. oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan Agama merujuk pada ketentuan pasal 118 HIR, atau pasal 142 X.Xx. jo pasal 66
00 Xxxxxxx, X., Xxx. Cit. hlm. 3.
dan pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke pengadilan Agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat formal.82
C. Kewenangan Badan Arbritase Syariah Nasional
Menurut Xxxxxxx, Basyarnas merupakan lembaga hakam (arbitrase syariah)
satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa muamalah yang timbul dalam perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain.83
Pada tahun 1992 dibentuklah Badan Syariah Nasional (Basyarnas) oleh Majelis
Ulama Indonesia bahkan pembentukan tersebut mendahului berlakunya ketentuan
pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
yang memungkinkan penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui badan
arbritase. Dengan demikian pasal 55 ayat (2) tersebut merupakan penguat sebagai dasar pendirian Basyarnas.84
Penyelesaian melalui Basyarnas sendiri belum diatur khusus dalam
Perundang-undangan. Namun demikian, di dalam keputusan Majelis Ulama
Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003 telah
ditetapkan perubahan nama BAMUI menjadi BASYARNAS dan Perubahan betuk
yang semula Yayasan menjadi bandan yang berada di bawah MUI. Selain itu, Penyelesaian melalui BASYARNAS juga mendasarkan pada Undang-Undang
82 Ibid.
83 Suparji, “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUUX/2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia,” Jurnal Hukum Syariah (2017): 2.
84 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya
(Jakarta: PT Adhitya Adrebina Agung, 2014) 113
Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau dikenal juga dengan Alternative Dispute Resolution (ADR).85 Pada prinsipnya, proses penyelesaian sengketa melalui Basyarnas dapat diupayakan oleh para pihak
yang bersengketa, baik yang sebelumnya telah membuat perjanjian arbitrase
terlebih dahulu sebelum terjadi sengketa (pactum de compromittendo), maupun setelah sengketa terjadi (acta compromise).86
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
menyebutkan Basyarnas dan Pengadilan dalam lingkup peradilan umum sebagai
lembaga penyelesaian sengketa. Lembaga tersebut memiliki fungsi yang sama yaitu
melayani masyarakat pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui Basyarnas lebih menekankan pada perdamaian dan
berdasar kesepakatan para pihak. Prosedur yang dilakukan tidak berbelit dan mudah
dimengerti, pihak yang bersengketa lebih bebas untuk memilih tindakan apa yang
akan ditempuh. Basyarnas juga menghasilkan putusan yang bersifat final dan
mengikat (binding) sehingga tidak ada banding dan kasasi terhadap putusan
tersebut. Jika kedua belah pihak yang bersengketa sudah menerima dan setuju
terhadap Putusan Basyarnas, maka agar kesepakatan tersebut memiliki kekuatan
hukum, tetap harus didaftarkan ke Pengadilan Agama untuk dieksekusi
sebagaimana yang disebutkan dalam SEMA Nomor 8 tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Berbeda dengan melalui pengadilan umum, dalam hal ini pengadilan agama.87
85 Bagya Xxxxx Xxxxxxx, Loc. Cit. hlm. 199.
86 Xxxxxxx Xxxxxxxx, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006) 52.
87 Xxxxx, X. x., Loc. Cit., hlm. 7.
Jika ada salah satu pihak tidak setuju dengan hasil keputusan hakim tingkat pengadilan pertama, maka masih dimungkinkan untuk banding, kasasi dan seterusnya sampai diperoleh keputusan yang final dan mengikat. Pada prakteknya
kondisi seperti itulah yang dapat menjadi kendala yang cukup signifikan dalam hal
kekuatan mengikat dari sebuah keputusan Basyarnas. Silang sengketa yang perlu
diantisipasi dalam hubungan dunia bisnis atau perjanjian, mengenai bagaimana cara
melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, apa isi perjanjian atau pun
disebabkan hal-hal lainnya di luar dugaan karena keadaan memaksa (overmacht;
force majeur). Untuk itu sangat diperlukan mencari jalan keluarnya (problem
solving) untuk menyelesaikan sengketa, biasanya ada beberapa alternatif atau opsi
dalam rangka penyelesaian sengketa yang bisa ditempuh, baik melaui jalur litigasi
maupun jalur non litigasi, seperti melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa, dapat dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli. Dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
dinyatakan bahwa: ”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah
sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”88
Lebih lanjut, menurut pasal 55 ayat (2) pengadilan Agama bukan merupakan
forum satu-satunya untuk penyelesaian sengketa ekonomi syariah, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau dikenal juga dengan Alternative Dispute Resolution
88 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif atau dikenal juga dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) Pasal (5).
(ADR) memungkinkan penyelesaian sengketa atas ekonomi syariah dilakukan melalui badan arbritase.89 Dengan demikian lembaga arbitrase yang ada di Indonesia, baik Badan Arbitrase Nasional Indonesia maupun Badan Arbitrase
Syari‟ah Nasional tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup
hukum keluarga (al-ahwalu as syaksyiah). Arbitrase syari‟ah hanya dapat
diterapkan untuk masalah- masalah sengketa ekonomi syari‟ah. Oleh karena itu,
bagi kalangan pengusaha, arbitrase merupakan pilihan hukum yang paling menarik
guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan.
Putusan yang diberikan lembaga arbitrase syari‟ah ini bersifat mengikat
(binding) oleh karena keputusan yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada
lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap putusan
yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perxxxxxxx (breach of contract)
sehingga tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Keputusan arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat seperti putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan hukum dari putusan Badan Arbitrase Syari’ah
Nasional tersebut.
Proses persidangan sengketa melalui sistem arbitrase pada dasarnya adalah mutatis mutandis dengan beracara melalui pengadilan biasa, para pihak dapat menentukan prosedur yang ingin dipergunakan. Badan-badan arbitrase institusional
89 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Loc. Cit. hlm. 113.
telah memiliki peraturan prosedur beracara secara tetap/standar. Prinsip persidangan melalui Basyarnas:
a. Pemeriksaan perkara oleh majelis arbitrase
b. Persidangan dilaksanakan secara tertutup untuk umum
c. Penyelesaian sengketa mengutamakan islah/damai
d. Jika islah tidak tercapai, maka perkaranya akan diselesaikan secara
prosedur, namun tetap dalam bentuk yang sederhana atau fleksibel,
bijaksana dengan tetap mengidahkan rasa keadilan dan hukum
e. Putusan diambil atas musyawarah majelis arbiter
Menurut Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 ditegaskan
bahwa jaksa/hakim/panitera dan peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau
diangkat sebagai majelis arbiter/hakam. Majelis arbiter/hakam memiliki tugas pokok sebagai berikut:90
a. Memeriksa dan memberikan putusan arbitrase dalam jangka waktu yang
telah ditentukan (paling lama 180 hari sejak penunjukan atau
pengangkatannya)
b. Bersikap independen dalam menjalankan tugasnya demi mencapai suatu
putusan yang adil dan cepat bagi para pihak yang beda pendapat, berselisih
paham maupun bersengketa.
90 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Dispute Resolution, Pasal 12 ayat (2).
c. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, majelis arbiter/hakam harus terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa.
Apabila usaha mendamaikan tersebut berhasil, maka majelis/hakam
membuat satu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan
memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan tersebut.
D. Perjanjian
Sebagaimana asas hukum perjanjian yang dimuat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, maka suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, apabila bertentangan maka perjanjian tersebut atau ketentuan (pasal atau ayat) yang bertentangan menjadi batal demi hukum. Demikian juga dalam akad syariah, tidak boleh syarat-syarat dan ketentuan- ketentuan yang ada bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.91 Pada pokoknya suatu perjanjian harus memuat beberapa unsur perjanjian yaitu:92
a. Unsur esensialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian yang dilakukan jual beli secara elektronik
b. Unsur naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian.
91 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Loc. Cit., hlm 127.
92 R. Subekti, Aneka Perjanjian Cet.VII (Bandung: Alumni, 1985) 20.
c. Unsur accidentalia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian, seperti klausula tambahan yang berbunyi “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”
Oleh karena itu, hukum perdata mengatur peraturan hukum berdasar atas perjanjian-perjanjian antara subjek hukum yang satu dengan sbujek hukum yang lain. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Pasal 1233 menyebutkan bahwa perikatan lahir karena persetujuan atau karena undang- undang. Menurut Subekti perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.93
1. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian hanya akan memiliki akibat hukum jika memenuhi dua syarat. Syarat pertama yaitu tujuan perjanjian mempunyai dasar yang pantas atau patut. Syarat kedua yitu perjanjian harus mengandung sifat yang sah. Syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.94
93 Zen Xxxxxxxx, Intisari Hukum Perdata Materil (Yoyakarta: Hasta Cipta Mandiri, 2009)
156.
94 Subekti dan Xxxxxxxxxxxxx, Op. Cit. hlm. 339.
Penjelasan para sarjana mengenai syarat sahnya perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:95
a) Sepakat menurut Subekti adalah kedua subjek yang mengadakan
perjanjian harus bersepakat, setuju, atau seiya sekata mengenai hal-hal
yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu, apa yang dikehendaki
oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
b) Arti kecakapan menurut Subekti adalah kecakapan untuk membuat
perjanjian menurut hukum, yang pada dasarnya setiap orang yang sudah
dewasa atau xxxx xxxxx dan sehat pikirannya adalah cakap menurut
hukum. Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang
adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut
undangundang dianggap tidak cakap. Pasal 1330 menjelaskan siapa
yang tidak cakap untuk mengadakan perjanjian, yaitu:
1) Orang yang belum dewasa
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3) Perempuan yang telah kawin dalam hal yang ditentukan oleh
undangundang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-
undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.
c) Suatu hal tertentu menurut Subekti dijelaskan sebagai apa yang diperjanjikan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan.
95 R. Subekti, Op. Cit.
d) Suatu sebab yang halal dengan kata lain adalah isi perjanjian. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan serta apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan.
Suatu perjanjian yang sah wajib dibuat dengan memenuhi syarat
subjektif (1 dan 2) dan syarat objektif (3 dan 4). Syarat subjektif jika tidak
terpenuhi maka kontrak tersebut dapat dibatalkan sedangkan syarat objektif
jika tidak terpenuhi maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Adanya sepakat terhadap kontrak tersebut maka kedua belah pihak harus
mempunyai kebebasan berkehendak agar tidak terdapat tekanan yang
mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak. Pernyataan
sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara para
pihak.
Selain itu, terdapat hal-hal yang dapat mempengaruhi keabsahan
kontrak, yaitu karena adanya faktor-faktor yang merusak. Keabsahan
sebuah kontrak bisa menjadi cacat dalam salah satu situasi seperti:
1) Elemen kesepakatan rusak cacat atau rusak dikarenakan adanya
kesalahan seperti pemahaman yang salah, misrepresentasi
(penggambaran yang salah/keliru), dan tekanan atau pengaruh yang tidak diharapkan atau tidak pantas.
2) Satu atau lebih pihak-pihak yang berkontrak tidak memiliki kapasitas penuh untuk mengikat kontrak
3) Kontrak tersebut illegal
4) Kontrak itu, sebagian atau seluruhnya, tidak ada atau kosong atau batal berdasarkan suatu undang-undang
5) Sebuah kontrak, sebagian, atau seluruhnya, batal menurut huykum
operdata karena bertentangan dengan kebijakan publik
6) Kontrak itu termasuk dalam kontrak yang membutuhkan sejumlah
formalitas dan formalitas itu tidak ada
Dasar mengenai perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa perxxxxxan adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.96 Lebih lanjut Xxxxxx X. Xxxxkamp dan Xxxxxxxx M.M Xxxxxxx
menjelaskan bahwa kontrak adalah suatu perbuatan hukum yang diciptakan
dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan hukum oleh persesuaian
kehendak yang menyatakan maksud bersama yang interdependen dari dua
atau lebih pihak untuk menciptakan akibat hukum untuk kepentingan satu
pihak, keduabelah pihak, dan juga untuk pihak lain. Subekti menjelaskan
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang
lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.88 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx juga menjelaskan bahwa perxxxxxxx adalah
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum dalam hal ini adalah
96 R. Subekti dan R. Xxxxxxxxxxxxx. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2021.
menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibat hukumnya.97
Sistem pengaturan hukum perjanjian yang terdapat di dalam Buku III KUH Perdata memiliki karakter atau sifat sebagai pelengkap.98 Sistem
pengaturan dalam hukum kontrak juga menggunakan sistem terbuka (open
system). Para pihak boleh menggunakan atau tidak menggunakan ketentuan
yang terdapat di dalam Buku III KUH Perdata tersebut.
2. Perjanjian Pokok
Perjanjian pokok adalah perjanjian pinjam meminjam atau utang
piutang, yang diikuti dengan perjanjian tambahan sebagai jaminan.
Perjanjian tambahan tersebut dimaksudkan agar keamanan kreditur lebih
terjamin. Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan
fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keungan non bank
(perjanjian utang piutang). J. Satrio dengan mengutip pendapat Rotten
mengemukakan bahwa: “perjanjian pokok adalah perjanjian-perjanjian, yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri”.99
Perjanjian pokok ini dijumpai dalam perjanjian pembiayaan di
Lembaga perbankan. Dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dijumpai pengertian Pembiayaan yaitu: “Penyediaan
97 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama) (Yogyakarta: FH UII Press, 2014) 60.
98 Xxxxxxx Xxxxx Kusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta, Liberty, 2006)
99 Ibid.
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan Pembiayaan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak nasabah untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.100
3. Perjanjian Accessoir
Xxxxx Xxxxx memberikan pengertian perjanjian accessoir adalah
perjanjian yang tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti
perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok. Menurut Xxxxxxx
Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxx perjanjian assesoir adalah suatu bentuk perjanjian
atau/perikatan bersyarat, yang pelaksanaannya atau kebatalannya
digantungkan pada pemenuhan atau ketiadaan pemenuhan dari suatu syarat,
kondisi atau keadaan dalam perjanjian dasar yang menjadi dasar dari
pembentukannya. Perjanjian assesoir tidak dapat dan tidak mungkin berdiri
sendiri. Meskipun tidak sepenuhnya benar, dalam berbagai hal, pengalihan
hak atas prestasi dalam perxxxxxan dasar dari pihak kreditur kepada pihak
ketiga membawa serta akibat hukum beralihnya perxxxxxan assesoir kepada
pihak ketiga yang menerima pengalihan hak berdasarkan perjanjian dasar
tersebut. Perjanjian accessoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Perjanjian accessoir ini dijumpai dalam perjanjian dengan pembebanan jaminan, seperti perxxxxxxx xxxxx, perjanjian
100 Xxxxxxxx, X., Loc. Cit. hlm. 4.
hak tanggungan, perjanjian fidusia, perjanjian hipotik, perjanjian jaminan pribadi, dan perjanjian jaminan perusahaan.101
E. Perbankan Syariah
Beberapa tahun kebelakang Ekonomi Syariah di indonesia berkembang
cukup pesat terutama pada sektor perbankan. Gagasan adanya lembaga perbankan
yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah Islam berkaitan erat dengan gagasan
terbentuknya ekonomi Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Lembaga perbankan merupakan instrumen keuangan yang banyak digunakan dan
dibutuhkan keberadaannya di dunia perekonomian dewasa ini dan tidak dapat
dipisahkan dari segala sektor di masyarakat. Fungsi lembaga perbankan sebagai
penghimpun dana masyarakat sangat berperan dalam menunjang pertumbuhan
ekonomi suatu bangsa. Sebagai alat penghimpun dana, lembaga keuangan ini
mampu melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke berbagai proyek penting di berbagai sektor usaha yang dikelola pemerintah.102
Demikian pula lembaga keuangan ini dapat menyediakan dana bagi pengusaha-
pengusaha swasta atau kalangan masyarakat yang membutuhkan dana bagi
kelangsungan usahanya.
Perbankan syariah merupakan lembaga keuangan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.103 Saat ini, bank syariah mengalami
101 Ibid.
102 Xxxxxx Xxxx, Aspek Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007) 51.
103 Yang dimaksud dengan prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. (Pasal 1 ayat (12) Undang Undang Nomor 21 tahun 2008).
perkembangan yang sangat pesat, terutama pada sektor perekonomian. Peranan bank Islam antara lain adalah: 104
1) Memurnikan operasional perbankan syariah sehingga dapat lebih
meningkatkan kepercayaan masyarakat;
2) Menyadarkan kesadaran syariah umat islam sehingga dapat memperluas
segmen pangsa pasar perbankan syariah;
3) Menjalin kerjasama dengan para ulama karena bagaimanapun peran ulama
sangat dominan bagi kehidupan umat Islam.
Bank syariah adalah bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip
syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).105 Pada pasal 1 ayat (8) dan ayat (9) Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2008 yang dimaksud dengan Bank Umum Syariah adalah
bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah bank syariah
yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Seperti halnya bank konvensional, bank syariah juga berfungsi sebagai suatu
lembaga intermediasi antara pihak-pihak yang mengalami kelebihan dana (surplus
of fund) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan membutuhkan dana (lack of
fund) dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Bedanya hanya bahwa bank syariah melakukan usahanya tidak berdasarkan bunga (interest fee), tetapi berdasarkan
104 Xxxxxxxx, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta: UUP AMP YKPN, 2005) 15.
105 Djoni S. Gazali dan Xxxxxxxx Xxxxx, Hukum Perbankan (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
151.
prinsip syariah, yaitu prinsip pembagian keuntungan dan kerugian (profit and lost sharing principle)106.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur
keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank Muamalat sebagai bank syariah
pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu
menerapkan sistem ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis
moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank
konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan sistem bunganya.
Sementara perbankan yang menerapkan sistem syariah dapat tetap eksis dan
mampu bertahan. Di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia
pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis.107
Sedangkan pengertian bank syariah dalam Undang-Undang Pasal 2 PBI No.
6/24/PBI/2004 memberikan definisi bahwa Bank umum syariah adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum yang diperkenankan
adalah perseroan terbatas atau PT. Dalam buku yang berjudul manajemen bank
syariah, secara garis besar hubungan ekonomi berdasarkan syariah Islam tersebut
di tentukan oleh hubungan akad yang terdiri dari lima konsep dasar akad. Bersumber dari lima dasar konsep inilah dapat ditemukan produk-produk lembaga keuangan bank syariah dan lembaga keuangan bukan bank syariah untuk
106 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2007) 1.
000 Xxxxxxx, X., Xxx. Cit. hlm. 3
dioperasionalkan. Kelima konsep tersebut adalah : (1) sistem simpanan, (2) bagi hasil, (3) margin keuntungan, (4) sewa, (5) jasa.108
Asas Bank Syariah berdasarkan Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Pasal
(2), Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip
Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Bank Syariah dalam
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 3 disebutkan
memiliki tujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam
rangka meningkatkan keadilan, kebersamaa, dan pemerataan kesejahteraan rakyat..
Adapun fungsi Bank Syariah menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Pasal
(4) yaitu:109
1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat.
2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga
baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah,
atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola
zakat.
3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf
uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan
kehendak pemberi wakaf (wakif).
4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
108 Xxxxx, Xxxxxxxx & Xxxxxxx Xxxxxx, Islamic Banking (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010) 11.
109 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal (4).
F. Akad Syariah
Pengertian akad dapat dijumpai dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Xxxxxxx dalam Kegiatan
Penghimpunan Xxxx dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.110 Pada ketentuan Pasal 1 angka (4) dikemukakan bahwa, “akad
adalah kesepakatan tertulis antara Bank dengan Nasabah dan/atau pihak lain
yang memuat hak dan kewajiban bagi maisng-masing pihak sesuai dengan
prinsip syariah”. Dengan demikian akad adalah perjanjian yang menimbulkan
kewajiban berprestasi pada salah satu pihak dan hak bagi pihak lain atas prestasi
tersebut secara timbal balik.
Tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih tegas
lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak
diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad. Tujuan akad selain untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi, juga dalam rangka mengamalkan surat al-
Baqarah ayat 275, karena di dalam firman tersebut ditegaskan bahwa Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Namun apabila akad
dilakukan niatnya bukan karena Allah dan hanya untuk keuntungan semata, maka hasilnyapun sesuai dengan apa yang diniatkannya.111
Akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, maka timbul bagi kedua belah
110 Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
111 Xxxxx, X. x., Loc. Cit., hlm. 7.
pihak hak dan kewajiban yang ditimbulkan oleh akad, rukun-rukun akad adalah sebagai berikut:
1) Aqid, adalah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri
dari satu orang, terkadang lebih dari beberapa orang. Kedua belah pihak
yang melakukan akad harus sudah mencapai usia baligh, bertanggung jawab
dan dapat mengelola objek akad dengan baik.
2) Ma’qud alaih, adalah benda-benda yang diakadkan. Seperti benda-benda
yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah, dalam akad gadai,
hutang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
3) Maudhu’ al-aqd, adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
Seandainya berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad.
4) Sighat al-aqd, adalah ijab dan kabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang
keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya
dalam mengadakan akad, sedangkan kabul adalah perkataan yang keluar
dari pihak yang berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab.
Pengertian ijab kabul adalah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga
penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan.
Ijab dan Kabul boleh dinyatakan dalam bentuk ucapan maupun tulisan.
Syarat-syarat terjadinya akad merupakan syarat yang melekat pada unsur- unsur pembentuk terjadinya sebuah akad yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan. Syarat- syarat terjadinya akad diantaranya yaitu:
1) Syarat-syarat yang bersifat umum, adalah syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad diantaranya yaitu:
a) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak, tidak sah akad
orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada
di bawah pengampuan karena boros atau lainnya.
b) Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
c) Akad itu diizinkan oleh xxxxx’, dilakukan oleh orang yang mempunyai
hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
d) Tidak boleh melakukan akad yang dilarang syara’, seperti jual beli
mulasamah.
e) Akad dapat memberikan manfaat.
f) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka bila
orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka
batallah ijabnya.
g) Ijab dan kabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab
sudah berpisah sebelum adanya kabul. Maka ijab tersebut menjadi batal
2) Syarat-syarat yang bersifat khusus, adalah syarat-syarat yang wujudnya
wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti adanya saksi dalam pernikahan.
Dalam Akad terdapat beberapa hal yang perlu dipahami, diantaranya adalah sebagai berikut:112
1) Pasal 27 jo. Pasal 28 Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) telah menjelaskan hukum
Akad yang terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:
a) akad yang sah, yaitu akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
b) akad yang fasad/dapat dibatalkan, yaitu akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat.
c) akad yang batal/batal demi hukum, yaitu akad yang kurang rukun dan
atau syarat-syaratnya
2) Pasal 24 KHES menyatakan bahwa Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak dan Objek akad tersebut harus suci, bermanfaat, milik sempurna dan dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual objek akad yang tidak ada, atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan, dan/atau objek akad yang tidak dimiliki oleh para pihak.
3) Pasal 29 ayat (2) KHES menyatakan Akad yang disepakati harus memuat ketentuan: a. kesepakatan mengikatkan diri; b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. terhadap sesuatu hal tertentu; d. suatu sebab yang halal menurut syari’at Islam.
112 Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal (27) jo. Pasal (28).
G. Hak Tanggungan
Pengertian hak tanggungan sesuai dengan Pasal 1 Angka 1 UUHT, yaitu:113 Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Xxxxxx Xxxxxx
membedakan jaminan menjadi dua yaitu jaminan yang lahir dari undang-
undang yaitu jaminan umum dan jaminan yang lahir karena perxxxxxxx. Jaminan
umum adalah jaminan yang adanya telah ditentukan Undang-Undang,
Contohnya adalah pada Pasal 1311 KUHPerdata, Pasal 1232 KUHPerdata, dan
Pasal 1311 KUHPerdata yang menyatakan bahwa kekayaan Debitur, baik
berupa benda bergerak dan tidak bergerak, yang telah ada dan yang akan datang
dikemudian hari walaupun tidak diserahkan sebagai jaminan, maka akan secara
hukum menjadi jaminan seluruh utang Debitur. Sedangkan jaminan khusus
adalah jaminan yang timbul karena adanya perjanjian terlebih dahulu, yaitu
perjanjian yang ada antara Debitur dengan pihak perbankan atau pihak ketiga yang menanggung utang Debitur.114
Jaminan khusus terdiri dari jaminan yang bersifat perseorangan dan jaminan yang bersifat kebendaan. Jaminan kebendaan memberikan hak
113 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
114 Xxxxxx, X., Loc. Cit. hlm. 159 – 177.
mendahului atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat yang melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan, sedangkan jaminan perseorangan bersifat tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu tetapi hanya
terbataspada harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan
yang bersangkutan.
Subjek hak tanggungan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9
UUHT, yaitu menurut Pasal 8 ayat (1) UUHT “Pemberi Hak Tanggungan
adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang
bersangkutan.” Pada Pasal 9 UUHT menyebutkan bahwa: “Pemegang Hak
Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan
sebagai pihak yang berpiutang.” Sehingga dapat disimpulkan bahwa subjek hak
tanggungan merupakan pemberi dan pemegang hak tanggungan yaitu para
pihak yang mempunyai kepentingan berkaitan dengan perjanjian utang piutang
yang dijamin pelunasanya. Objek hak tanggungan terdapat pada Pasal 4 ayat (1)
UUHT yaitu hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak
Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai Atas Tanah Negara. Hak-hak tersebut
menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan.115
Selain hak-hak atas tanah tersebut dalam Pasal 4 ayat (2) yang dapat juga dibebani hak tanggungan juga berikut hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftar dan menurut sifatnya dapat dipindah
115 Sa'nadillah, D., Loc. Cit. hlm. 3.
tangankan. Pasal 4 ayat 4 UUHT menyatakan bahwa hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dinyatakan secara tegas dalam Akta Pembebanan Hak
Tanggungan yang bersangkutan. Suatu objek hak tanggungan dapat dibebani
lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang
dan peringkatnya masing-masing hak tanggungan tersebut ditentukan sesuai
dengan tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan. Dalam hal apabila
didaftarkan dengan tanggal yang sama maka melihat pada Akta Pembebanan
Hak Tanggungan, dan apabila suatu objek hak tanggungan dapat dibebani lebih
dari satu hak tanggungan sehingga terdapat pemegang hak tanggungan
peringkat pertama, peringkat kedua, dan peringkat seterusnya.
Tahap pembebanan Hak tanggungan didahului dengan janji akan
memberikan hak Tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Hak
Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari perjanjian-perjanjian piutang. Proses pembebanan Hak
Tanggungan dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut:
1) Tahap Pembebanan Hak Tanggungan Menurut pasal 10 Ayat (2) Undang- undang Hak Tanggungan, “pemberian hak tanggungan dilakukan denga Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku”. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas
tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan ha katas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
2) Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-
undang Hak Tanggungan, “pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan
pada Kantor Pertanahan”. Pasal 13 ayat (2) menyatakan selambat-
lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan APHT, PPAT wajib
mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan
kepada Kantor Pertanahan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat
bukti yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak-
pihak yang bersangkutan, termasuk didalamnya sertifikat hak atas tanah
dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT
wajib melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas
pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang jabatan PPAT.116
Eksekusi Hak Tanggungan sendiri diatur dalam Pasal 20 Undang-undang
Hak Tanggungan, yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 20 Ayat (1) :
“Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
1) Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
2) Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan
dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalamperaturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungandengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor
lainnya”.
Pasal 20 Ayat (2) : “Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan. Penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah
tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang
meng-untungkan semua pihak. Pasal 20 Ayat (3) : “Pelaksanaan penjualan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)hanya dapat dilakukan setelah lewat
waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukansecara tertulis oleh pemberi dan/atau
pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan
diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah
yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang
menyatakan keberatan”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-undang Hak Tangunggan tersebut Eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu:117
1) Pemegang Hak tanggungan pertama untuk menjual hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 Undang0undang Hak Tanggungan.
2) Eksekusi atas titel eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). Irah-
irah (kepala putusan) yang dicantumkan pada Sertipikat Hak Tanggungan memuat kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”, dimaksudkan untuk menegaskan asanya kekuatan
eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan, sehingga apabila debitur cidera
janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan
menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan Hukum Acara
perdata, atau
3) Eksekusi dibawah tangan, yaitu penjualan objek hak tanggungan yang
dilakukan oleh Pemberi hak Tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan
pemegang hak tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh herga yang
tertinggi.
BAB III
ANALISIS KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA SEBAGAI AKIBAT PILIHAN HUKUM YANG BERBEDA ANTARA PERJANJIAN POKOK (AKAD SYARIAH) DAN PERJANJIAN ACCESOIR (APHT) SERTA KETENTUAN PILIHAN HUKUM DALAM AKAD-AKAD SYARIAH TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 93/PUU-X/2012
A. Kewenangan Pengadilan Agama Sebagai Akibat Pilihan Hukum yang Berbeda antara Pejanjian Pokok (Akad Syariah) dan Perjanjian Accesoir (APHT)
Pengadilan Agama adalah pengadilan khusus yang mengadili perkara- perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu (yang beragama Islam).118 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pada tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sadaqah dan ekonomi islam.119 Adapun yang dimaksud dengan “orang yang beragama islam” adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, wewenang merupakan kekuasaan untuk melakukan semua tindakan di dalam lapangan hukum publik, sedangkan kekuasaan untuk melakukan tindakan dalam lapangan hukum privat disebut
118 Roihan A Xxxxxx, Hukum Acara Pengadilan Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo 2000) 5.
119 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama Pasal (49)
83
hak.120 Wewenang secara yuridis adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.121 Wewenang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga komponen, yaitu: pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. Pengaruh diartikan sebagai penggunaan dari wewenang adalah untuk mengendalikan subjek hukum; dasar hukum adalah dimana wewenang tersebut harus sesuaindan didasarkan oleh hukum yang jelas; konfomitas hukum yaitu menghendaki bahwa wewenang harus mmiliki standar yang jelas (untuk wewenang umum) dan standar khusus (untuk wewenang tertentu). Sejak pertama kali Pengadilan Agama mendapatkan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, masih banyak terjadi pencantuman pilihan hukum yang tidak sesuai di dalam akad syariahnya atau bahkan ada pilihan hukum yang berbeda antara perjanjian pokok dan perjanjian accesoir.
1. Kewenangan Pengadilan Agama
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) mendefinisikan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Tiap-tiap peradilan di Indonesia sudah mendapatkan tugas dan kewenangannya dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan setiap perkara atau permohonan yang diajukan kepada Badan Peradilan yang diakui secara resmi yaitu
120 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ghalia Imdonesia, 1998) 76.
121 Indroharto, , Usaha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002) 68.
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha. Semua tentang kewenangan tersebut telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya, sebagaimana telah dinyatakan dalam Pasal 10 ayat
(1) UU Kekuasaan Kehakiman.
Kata “kekuasaan” yang sering disebut dengan “kompetensi” berasal dari Bahasa belanda yaitu “competentie” yang dapat pula diterjemahkan sebagai “kewenangan” untuk memutus atau melegalkan sesuatu.122 kompetensi peradilan menyangkut 2 (dua) hal, yaitu tentang kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Kompetensi absolut adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama, maupun dalam lingkungan lingkungan peradilan lain.123 Problematik dari kewenangan mengadili secara absolut ini digunakan untuk menjawab petanyaan berupa peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili suatu perkara.124 Ada 2 (dua) asas untuk menentukan kompetensi absolute pengadilan agama, yaitu: pertama, apabila suatu perkara menyangkut status hukum seorang muslim dan kedua, suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang dilakukan atau terjadi berdasarkan hukum islam atau berkaitan erat dengan status hukum sebagai muslim. Sehingga dengan sendirinya orang-orang yang menjadi subjek hukum atau menjadi pihak-pihak yang berperkara di pengadilan agama tidak saja orang-orang yang
122 Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) 516.
123 S Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2009) 86.
124 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori & Praktek (Bandung, Mandar Maju, 2005) 15.
beragama islam, tetapi termasuk non islam. Terhadap kompetensi absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Kalau jelas-jelas tidak termasuk kekuatan absolutnya, Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Kompetensi absolut antara masing-masing lingkungan peradilan, diumpamakan ssebagai rel yang menertibkan jalur batas kewenangan (yurisdiksi) mengadili.125
Sedangkan kompetensi relatif adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Agama126 atau kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama.127 Setiap pengadilan agama memiliki wilayah hukum sendiri atau disebut pula yurisdiksi relatif tertentu yang dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten. Yurisdiksi relatif ini mempunyai peran penting sehubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepsi tergugat. Berbeda dengan kompetensi absolut yang ditentukan oleh undang-undang, kompetensi relative ditentukan dalam hukum acara masing-masing peradilan yang bersangkut.128
Landasan hukum dalam menentukan kewenanngan relative pengadilan agama ini merujuk pada ketentuan Pasal 118 HIR atau Pasal 142 X.Xx. jo. Pasal 66
125 M Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) 102.
126 Xxxxxxxx Xxxx Xxx, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) 332.
127 Retnowulan Soetantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek (Bandung: Mandar Maju, 1997) 11.
128 R Subekti, Hukum Acara Perdata (Bandung: Banicipta, 1977) 13
dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.129 Pasal 118 Ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (5) X.Xx. menganut asas bahwa yang berwenang adalah pengadilan ditempat kediaman tergugat dan asas ini dalam Bahasa latin disebut “actor sequitur forum rei”.130 Namun ada pengecualian yaitu yang tercantum dalam Pasal 118 HIR, diantaranya:131
1. Gugatan diajukan kepada Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan dimana tergugat bertempat tinggal.
2. Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat.
3. Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat.
4. Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.
5. Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang domisilinya dipilih.
129 Xxxxxxxxxx dan Xxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum acara Peradian Agama di Indonesia
(Bandung: Pustaka Setia, 2017) 120.
130 Ibid. hlm. 124.
131 Ibid. hlm. 125.
Menurut X. Xxxxx Xxxxxxx ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat dalam lingkungan Peradilan Agama, yaitu:132
1. Fungsi kewenagan dalam mengadili;
2. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum islam kepada instansi pemerintahan;
3. Kewenangan lain yang diatur atau berdasarkan undang-undang;
4. Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relative;
5. Xxxxx bertugas mengawasi jalannya peradilan.
Dalam asas personalitas keislaman, patokan yang menjadi dasar apakah suatu perkara menjadi kewenangan pengadilan agama atau tidak, dapat dlihat sebagai berikut: 133
1. Dalam sengketa perkawinan, maka perkara tersebut menjadi kewenangan pengadilan agama sepanjang perkawinannya dicatat di kantor urusan agama, meskipun pihak-pihak atau salah satu pihak yang berperkara tidak beragama Islam.
2. Dalam sengketa waris, maka perkara tersebut menjadi kewenangan pengadilan agama sepanjang pewaris (orang yang meninggal dunia) beragama Islam.
3. Dalam sengketa ekonomi syari’ah, maka perkara tersebut menjadi kewenangan pengadilan agama sepanjang akad atau perjanjiannya berdasarkan syari’ah.
132 X. Xxxxx Xxxxxxx, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang- Undang No.7 Tahun 1989) (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993) 133.
133 Xxx Xxxxxxxx, Mengenal Peradilan Agama Menurut Hukum Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia (2018) 1-9.