ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN PESANGON BAGI PEKERJA/BURUH DALAM HAL PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2021 TENTANG PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU, ALIH DAYA, WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT, DAN PEMUTUSAN...
i
ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN PESANGON BAGI PEKERJA/BURUH DALAM HAL PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2021 TENTANG PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU, ALIH DAYA, WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT, DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
JURNAL ILMIAH
OLEH:
MUTIAH D1A016213
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2023
ii
HALAMAN PENGESAHAN
ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN PESANGON BAGI PEKERJA/BURUH DALAM HAL PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2021 TENTANG PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU, ALIH DAYA, WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT, DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
JURNAL ILMIAH
OLEH :
MUTIAH D1A016213
Menyetujui,
Pembimbing Pertama
Lalu Xxxx Xxxx, SH., MH NIP. 19741224 200501 1 001
iii
ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN PESANGON BAGI PEKERJA/BURUH DALAM HAL PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2021 TENTANG PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU, ALIH DAYA, WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT, DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
MUTIAH D1A016213
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Tujian penelitian ini untuk mengetahui aturan Pemberian Pesangon terhadap pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 dan Untuk mengetahui sinkronisasi Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2021 dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Metode penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa dalam hal terjadinya pemutusan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Besaran perhitungan pesangon diatur dalam ketentuan Pasal 40 Ayat (1), (2), (3), dan (4) pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Adapun Xxxhitungan hak yang diperoleh pekerja/buruh berdasarkan alasan pemutusan kerja diatur pada Pasal 41 sampai dengan Pasal 57 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tersebut. Sinkronisasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 dapat ditemukan dalam Pasal 81 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuandalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada Nomor 42 Undang-Undang Cipta Kerja menambahkan Pasal Undang- Undang Ketenagakerjaan antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 dalam hal alasan pemutusan hubungan kerja. Mengenai hak pekerja/buruh atas uang pesangon dalam Pasal 156 Ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan Pasal 40 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, mengenai hak pekerja/buruh atas uang penghargaan masa kerja dalam Pasal 156 Ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan Pasal 40 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 dan mengenai hak pekerja/buruh atas uang penggantian hak dalam Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, dengan Pasal 40 Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Saran yang dapat disampaikan yaitu Penting bagi pengusaha untuk berlaku adil kepada pekerja/buruh mengenai perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, harus sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Pengawas ketenagakerjaan perlu terus mengawal proses pemutusan hubungan kerja sampai tuntas guna memastikan pekerja/buruh mendapatkan hak- haknya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
iv
Kata Kunci : Pemutusan Hubungan Kerja, Pesangon, Pekerja/Buruh
JURIDICAL ANALYSIS OF THE GRANTING OF SEVERANCE TO WORKERS/LABOR IN TERMINATION OF EMPLOYMENT BASED ON GOVERNMENT REGULATION NUMBER 35 OF 2021 CONCERNING EMPLOYMENT AGREEMENTS FOR CERTAIN TIMES, OUTSOURCING, WORKING TIME AND REST TIME, AND TERMINATION OF EMPLOYMENT
ABSTRACT
The purpose of this research is to determine the rules for providing severance pay to workers/laborers who have employment termination (PHK) based on Government Regulation Number 35 of 2021. Furthermore, this research aims to find out the synchronization of Government Regulation No. 35 of 2021 with Law No. 13 of 2003 concerning Manpower. This research method uses normative legal research. Based on the results of the study, in the termination of employment, employers are required to pay severance pay and/or long service pay, and compensation pay. The amount for calculating severance pay is regulated in the provisions of Article 40 Paragraphs (1), (2), (3), and (4) of Government Regulation Number 35 of 2021. Meanwhile, the calculation of rights obtained by workers/laborers based on reasons for termination of employment is regulated in Articles 41 to Article 57 in Government Regulation Number 35 of 2021. Synchronization of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower with Government Regulation Number 35 of 2021 can be found in Article 81 of the Job Creation Law which changes several provisions in Law Number 13 of 2003 concerning Manpower. The Job Creation Law added an article to the Employment Law. There was one article inserted between Article 154 and Article 155, namely Article 154A. Article 36 of Government Regulation Number 35 of 2021 in terms of reasons for termination of employment. The workers/laborers' rights to severance pay are stipulated in Article 156 Paragraph (2) of the Manpower Act and Article 40 Paragraph (2) of Government Regulation Number 35 of 2021. The worker's/laborers' rights to gratuity pay are stated in Article 156 Paragraph (3) The Manpower Law and Article 40 Paragraph (3) Government Regulation Number 35 of 2021. The workers/laborers' rights to compensation for rights stressed in Article 156 Paragraph (4) of the Labor Law and Article 40 Paragraph (4) of Government Regulation Number 35 of 2021 concerning. The suggestion of this research is, it is important for employers to be fair to workers/laborers regarding the calculation of severance pay, gratuity pay, and compensation pay, which must be given in accordance with the law. the Labor Supervisor need to oversee the termination of employment process until it is complete to ensure that workers/laborers receive their rights in accordance with the law.
Keywords: Termination of employment, Severance, Workers/labor
I. PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk sosial, di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Meskipun memiliki tanggung jawab penuh terhadap dirinya sendiri, manusia juga membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena pada dasarnya manusia membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendapatkan biaya tersebut seseorang haruslah bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja pada orang lain. Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja, pada Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
Secara normatif, UUD 1945 menjamin hak setiap warga Negara untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 27 ayat 2). Hal ini dipertegas kembali dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (hasil amandemen kedua) Bab XA tentang hak bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Hubungan kerja dapat terjadi antara pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan, dalam proses pelaksanaannya kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama-sama harus terpenuhi sebagai bagian dari akibat adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang dimaksud ialah suatu hubungan yang timbul dari perjanjian kerja yang dibuat, disepakati dan sewajarnya ditandai dengan ditandatanganinya suatu surat perjanjian kerja oleh pengusaha dengan pekerja/buruh.
Di Indonesia, masalah hukum mengenai ketenagakerjaan masih sangat sering terjadi. Salah satu permasalahan hukum dibidang ketenagakerjaan tersebut adalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemutusan hubungan kerja merupakan upaya terakhir setelah berbagai cara ditempuh namun gagal membawakan hasil seperti yang diharapkan. Dengan melihat fakta sekarang ini mencari pekerjaan tidaklah mudah, banyak perusahaan yang mengurangi jumlah pekerja/buruh dengan kemungkinan perusahaan tersebut tidak mampu memenuhi apa yang menjadi kewajibannya seperti membayar upah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.1
Beberapa penyebab munculnya konflik dari perselisihan PHK berawal dari berbagai hal seperti pengusaha tidak mengikuti prosedur PHK berdasarkan peraturan perundang-undangan, alasan-alasan melakukan PHK, kedua belah pihak baik pekerja/buruh ataupun pengusaha tidak melaksanakan hak dan kewajiban apabila terjadi PHK, termasuk masalah pesangon yang kerapkali pengusaha mengulur-ulur waktu pembayarannya, selain itu ada juga pengusaha yang menekan uang pesangon pekerja/buruh dengan memotong jumlahnya bahkan ada yang sama sekali tidak menepati janjinya untuk membayarkan uang pesangon.
Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana Aturan Pemberian Pesangon terhadap Pekerja/Buruh yang mengalami PHK berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan
1 Xxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxxxxxx Xxxxxx, Hukum Ketengakerjaan Dalam Teori dan Praktik di Indonesia, Prenada media Group Divisi Kencana, Jakarta, 2019, hlm 254.
Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. 2) Bagaimana sinkronisasi Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2021 dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Mengenai pemberian pesangon terhadap Pekerja/Buruh yang di PHK. Tujuan penelitian : 1) Untuk mengetahui aturan Pemberian Pesangon terhadap pekerja/buruh yang mengalami PHK berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. 2) Untuk mengetahui sinkronisasi Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2021 tersebut dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Mengenai pemberian pesangon terhadap Pekerja/Buruh yang di PHK.
Manfaat Penelitian : 1) Manfaat Teoritis, sebagai bagian dari perkembangan kajian-kajian ilmu yang digunakan dalam permasalahan hukum khususnya hukum Ketenagakerjaan di Indonesia terkait dengan Pemberian Pesangon terhadap pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). 2) Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan bagi masyarakat umum dan Pemerintah terkait sebagai sumber informasi dan bahan masukan untuk mengkaji peraturan-peraturan yang berkenaan dengan ketenagakerjaan dan diharapkan dapat membuka pandangan para pembuat aturan tentang betapa pentingnya pemberian pesangon bagi tenaga kerja yang di PHK. Jenis penelitian : penelitian hukum normative, menggunakan metode pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) dan pendekatan Konseptual (Conceptual Approach).
II. PEMBAHASAN
A. Peraturan Pemberian Pesangon Bagi Pekerja/Buruh yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Hubungan kerja merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Pemutusan hubungan kerja berarti berakhirnya hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Pada Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Mendefinisikan pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja kareana suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Dalam hal terjadinya pemutusan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Pesangon adalah sejumlah pembayaran yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh kareana pemutusan hubungan kerja. Secara rinci perhitungan hak pekerja/buruh karena pemutusan hubungan kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang perjanjian kerja waktu tertentu, alih daya, waktu kerja dan waktu istirahat, dan pemutusan hubungan kerja.
Dalam Pasal 40 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tersebut menjelaskan bahwa, dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh.
Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Ayat (2) :
a. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah;
b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.
Pada Pasal 40 Ayat (3) Uang penghargaan masa kerja yang seharusnya diterima pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
c. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
d. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
f. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
h. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah.
Pada Pasal 40 Ayat (4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat dimana Pekerja/ Buruh diterima bekerja; dan
c. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
B. Sinkronisasi Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Mengenai Pemberian Pesangon terhadap Pekerja/Buruh
Sinkronisasi antara Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2021 dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Mengenai Pemberian Pesangon terhadap Pekerja/Buruh dapat dilihat pada beberapa poin dalam hal sebagai berikut :
1. Alasan Pemutusan Hubungan Kerja
Alasan pemutusan kerja tertuang dalam Pasal 81 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada Nomor 42 Undang-Undang Cipta Kerja menambahkan Pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan diantara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A sehingga berbunyi sebagai berikut :
a. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;
b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun;
d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur);
e. Perusahaan dlam keadaan penundaan kewajiban pembayaran uang;
f. Perusahaan pailit;
g. Adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1. Menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam pekerja/buruh;
2. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan;
3. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secra tepat waktu sesudah itu;
4. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
5. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
h. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;
i. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat
1. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat- lambatnya tiga puluh hari sebelum tanggal dimulai pengunduran diri;
2. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai mulai pengunduran diri.
j. Pekerja/buruh mangkir selama lima hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilrngkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha dua kali secara patut dan tertulis;
k. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama
enam bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian keja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
l. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama enam bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tuindak pidana;
m. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaanya setelah melampaui batas dua belas bulam;
n. Pekerja/buruh memasuki usia pension; atau
o. Pekerja/buruh meninggal duia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 alasan pemutusan hubungan kerja dipertegas dalam Pasal 36 yaitu:
Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan:
a. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Perusahaan dan Pekerja/Buruh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja atau Pengusaha tidak bersedia menerima Pekerja/Buruh
b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian;
c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure);
e. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. Perusahaan pailit;
g. Adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1. menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam Pekerja/ Buruh;
2. membujuk danlatau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan;
3. tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturutturut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu;
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/Buruh;
5. memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja;
h. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan Pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dan Pengusaha memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja;
i. Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
j. Pekerja/Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut- turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
k. Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masingmasing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;
l. Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
m. Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
n. Pekerja/Buruh memasuki usia pensiun; atau
o. Pekerja/ Buruh meninggal dunia.
ketentuan Pasal 36 dalam Peraturan Pemerintah tersebut selaras dengan isi Pasal 81 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, Pada Nomor 42 Undang-Undang Cipta Kerja menambahkan Pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan diantara Pasal 154 dan 155 disisipkan satu Pasal menjadi Pasal 154A.
2. Hak Pekerja/Buruh atas Uang Pesangon
Hak Akibat Pemutusan Hubungan Kerja dalam hal pemberian pesangon diatur dalam Pasal 156 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa: Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Ketentuan uang pesangon diatur dalam pasal 156 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 Ayat
(1) paling sedikit sebagai berikut :
a. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Hak Akibat Pemutusan Hubungan Kerja atas uang pesangon juga diatur dalam pasal Pasal 40 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2021 menegaskan bahwa Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Dalam
Pasal 40 Ayat (2) Peraturan Pemerintah tersebut menegaskan bahwa Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah; b
b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
c. M asa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah. Peraturan mengenai hak pekerja/buruh atas pesangon dalam Pasal 156
Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan selaras dengan Pasal 40 Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Namun, dengan adanya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, ada perbedaan mengenai Pasal 156 Ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu kata “ paling sedikit “ dalam Pasal 156 Ayat (2) telah dihapus. Kata “paling sedikit” dalam besaran pesangon pada Pasal 156 Ayat (2) tidak memberikan kepastian hukum pada pengusaha.
Frasa “paling sedikit” pada Pasal 156 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 berarti bahwa pengusaha memberikan uang pesangon sekurang-kurangnya atau minimal sesuai perhitungan yang telah
ditentukan dalam pasal 156 Ayat (2). Berdasar Pasal itu pengusaha dapat memberikan uang pesangon kepada pekerja/buruh lebih dari perhitungan yang ada dalam ketentuan Pasal 156 Ayat (2) tersrbut. Frasa “paling sedikit” ini dalam peraktik menimbulkan perbedaan penafsiran antara pengusaha dengan pekerja/buruh.2
3. Hak Pekerja/Buruh atas Uang Penghargaan Masa Kerja
Uang penghargaan masa kerja merupakan pembayaran yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh karena pemutusan hubungan kerja. Hak akibat pemutusan hubungan kerja mengenai uang penghargaan masa kerja diatur dalam Pasal 156 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adapun perhitungan uang penghargaan masa kerja diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
2 Devi Xxxxxx, Xxxxxxxxx Xxxxx,Xxxxxx, Hukum Ketenagakerjaan Konsep dan Pengaturan dalam Omnibus Law, Setara Press, Malang, 2021, hlm,189-190.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemeritah Nomor 35 Tahun 2021 diatur dalam Pasal 40 Ayat (3). Uang penghargaan masa kerja diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
c. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
d. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
f. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan
h. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah.
Mengenai uang penghargaan masa kerja yang diberikan kepada pekerja/buruh dalam Pasal 156 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan selaras dengan Pasal 40 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tersebut. Dimana isi Pasal yang tercantum dalam Udang-Undang Ketenagakerjaan selaras dengan Pasal yang tercantum didalam Peraturan Pemerintah tersebut dan tidak ada perubahan.
4. Hak Pekerja/Buruh atas Uang Penggantian Hak
Uang penggantian hak merupakan salah satu jenis kompensasi yang diberikan kepada pekerja/buruh akibat dari pemutusan hubungan kerja. Hak pekerja/buruh atas uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh diatur dalam Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi :
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Xxxxx atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Kemudian hak pekerja/buruh atas uang penggantian hak diatur lebih lanjut dalam Pasal 40 Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh meliputi:
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat dimana Pekerja/ Buruh diterima bekerja; dan
c. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Mengenai pemberian hak pekerja/buruh atas uang penggantian hak dalam Pasal 156 Ayat (4) dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan selaras dengan Pasal 40 Ayat (4) dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Namun, keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengalami beberapa perubahan dan tambahan dan di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Pasal 156 Ayat (4) huruf c penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan di hapus.
III. PENUTUP
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa, Dalam hal terjadinya pemutusan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Besaran perhitungan pesangon diatur dalam ketentuan Pasal 40 Ayat (1), (2), (3), dan (4) pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan waktu istirahat, dan Pemutusan hubungan Kerja. Adapun Xxxhitungan hak yang diperoleh pekerja/buruh berdasarkan alasan pemutusan kerja diatur pada Pasal 41 sampai dengan Pasal 57 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tersebut.
Sinkronisasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 dapat ditemukan dalam Pasal 81 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada Nomor 42 Undang-Undang Cipta Kerja menambahkan Pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 dalam hal alasan pemutusan hubungan kerja. Mengenai hak pekerja/buruh atas uang pesangon dalam Pasal 156 Ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan Pasal 40 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021,
mengenai hak pekerja/buruh atas uang penghargaan masa kerja dalam Pasal 156 Ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan Pasal 40 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 dan mengenai hak pekerja/buruh atas uang penggantian hak dalam Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, dengan Pasal 40 Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja,
SARAN
Dalam hal terjadinya pemtusan hubungan kerja, pengusaha wajib memberikan apa yang menjadi hak pekerja/buruh. Penting bagi pengusaha untuk berlaku adil kepada pekerja/buruh mengenai perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, harus sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Pengawas ketenagakerjaan perlu terus mengawal proses pemutusan hubungan kerja sampai tuntas guna memastikan pekerja/buruh mendapatkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah melalui perbaikan lagulasi ketenagakerjaan perlu mengedepankan perlindungan, keadilan, kesejahteraan, dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pekerja/buruh. Karena setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai.
xvii
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Xxxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxx, 2018, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Depok.
Xxxxxxxx Xxxxx, 2015, Hukum Kerja, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
dan Xxxxxxxxx Xxxxxx, 2019, Hukum Ketenagakerjaan Dalam Teori dan Praktik di Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta Timur.
Xxxxxx Xxxx, Xxxxxxxxx, dan Azizah, 2021, Hukum Ketenagakerjaan Konsep dan Pengaturan dalam Omnibus Law, Setara Press, Malang.
Peraturan Undang-Undang :
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesian, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja.