URGENSI RATIFIKASI PERJANJIAN BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA MELALUI KEPUTUSAN PRESIDEN TERHADAP PENGEMBALIAN ASSET-ASSET HASIL KEJAHATAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN KONFEDERASI SWISS
URGENSI RATIFIKASI PERJANJIAN BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA MELALUI KEPUTUSAN PRESIDEN TERHADAP PENGEMBALIAN ASSET-ASSET HASIL KEJAHATAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN KONFEDERASI SWISS
Oleh :
Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxx, Xxx Xxxx Xxxxxxxxxx Xxxx Xxxxxxx Xxxxx
ABSTRAK
Pasca perjanjian internasional tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfedeasi Swiss pada tanggal 4 Pebruari 2019 dalam rangka mempercepat proses hukum pidana di Negara Peminta, pada tataran implementasi masih belum efektif dan belum ada langkah konkret dalam mengembalian asset-asset hasil korupsi di Negara Swiss. Dari permasalahan tersebut, maka metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif dengan mengkaji serta menganalisa hukum internasional dan hukum nasional termasuk perjanjian dimaksud. Adapun hasil pembahasan yaitu secara substansi perjanjian tidak secara spesifik atau khusus menegaskan penyelesaian perselisihan dan tidak merumuskan ketentuan ratifikasi. Selain itu juga, diperlukan waktu yang cukup lama dalam meratifikasi perjanjian menjadi UU melalui proses persetujuan DPR. Oleh karena itu, substansi perjanjian perlu diamandemen kembali serta dalam keadaan mendesak dengan memperhatikan asas pacta servanda dan asas freies emmessen maka ratifikasi perjanjian hendaknya melalui keputusan presiden atau peraturan presiden demi membantu sumber-sumber negara pada pembangunan berkelanjutan serta dapat mensejahteraan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia
Kata Kunci : Perjanjian Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss, serta Ratifikasi
ABSTRACT
After the international agreement on Reciprocal Assistance in Criminal Matters between the Republic of Indonesia and the Swiss Confederation on 4 February 2019 in order to speed up criminal law processes in the Requesting State, at the level of implementation it is still not effective and there are no concrete steps in returning assets resulting from corruption in Switzerland. From these problems, the research method used is normative legal research by reviewing and analyzing international law and national law, including the agreement concerned. The results of the discussion are that in substance the agreement does not specifically or specifically confirm the resolution of the dispute and does not formulate provisions for ratification. In addition, it takes a long time to ratify the agreement into law through the DPR's approval process. Therefore, the substance of the agreement needs to be amended again and in a state of urgency by observing the principle of pacta servanda and the principle of freie emmessen. The ratification of the agreement should be through a presidential decree or presidential regulation to assist state resources in sustainable development and to be able to prosper the people, nation and Indonesian state.
Keywords: Reciprocal Aid Agreement in Criminal Issues between the Republic of Indonesia and the Swiss Confederation, and Ratification.
A. PENDAHULUAN
Dalam sejarah pengembalian asset-asset hasil kejahatan korupsi di Indonesia yang berada di negara lain masih belum membuahkan hasil yang signifikan. Hal ini, tergambarkan dengan adanya beberapa perkara yang ditangani para penegak hukum, seperti kasus Xxx Xxxxxx, kasus Bank Mandiri dengan Direktur Utama Xxxxx, Bank Global, kasus BLBI dan kasus-kasus lainnya yang boleh dikatakan Pemerintah Indonesia belum mampu mengembalikan asset-asset hasil korupsi dari Swiss ke Indonesia kurang lebih 7.000 triliun rupiah.1 Selain itu juga, dilansir dari thejakartapos2 bahwa sedikitnya ada 84 WNI memiliki rekening gendut di bank Swiss. Nilainya mencapai kurang lebih US$ 195 miliar atau sekitar Rp 2.535 triliun (kurs Rp 13.000 per US$). Jauh di atas belanja negara dalam APBN 2016 sebesar Rp 2.095,7 triliun. Permasalahan menjadi semakin sulit untuk upaya recovery dikarenakan memindahkan harta kekayaan ke negara lain sudah dilakukan atau penyembuyian (safe haven) hasil kejahatan tersebut yang melampaui lintas batas wilayah negara di mana tindak pidana korupsi itu sendiri dilakukan.3
Berdasarkan penelitian Komisi Hukum Nasional4 memperlihatkan bahwa selain belum terbentuknya prosedur dan mekanisme Stolen Aset Recovery terdapat juga beberapa hambatan yang selam ini dialam dalam pengembalian asset hasil korupsi. Hambatan-hambatan tersebut antara lain :5 hambatan dalam penyidikan,6 Sistem hukum antar negara yang berbeda,7 tidak memadainya sarana dan
1. xxxx://xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxx-xxxx-0000-xxxxxxx-xxxx-xxxxxxxx-xx-xxxxx-xxxxxx-xxxxxx-xxx- dilengserkan/, diakses tanggal 3 Desember 2019
2. Ibid
3 Xxxxx Xxxx, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional, xxxx://xxx.xxxxxxxxx.xxx.xx/xxxxx.xxx?xxxxxxxxxx_xxxxxxx&xxxxxxxxxxxx&xxx00:xxxxx-xxxxxxxx- tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-internasional&catid=23:makalah<emid=11, diakses terakhir tanggal 1 November 2019
4. Penelitian KHN, Stolen Aset Recovery initiative, tahun 2009.
5 Xxxxxxx Xxxxx, disampaikan dalam diskusi ahli tentang implementasi Stolen Asset Recovery dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 28 Januari 2008, dikutip dari Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang tentang Perampasan Asset Tindak Pidana, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, tahun 2012, hlm. 12-13
6 Ibid, Kesulitan yang dialam penyidik ialah bagaimana melacak asset ini, karena korupsi dilakukan tidak pada saat ini tapi dalam waktu yang telah lama artinya cukup memakan waktu,hamper rata-rata tidak ada kasus korupsi yang ditangan yang baru 1-2 tahun dilakukan, sehingga menimbulkan kesulitan lebih lanjut, karena asset itu sudah berganti nama, diantaranya dilarikan ke luar negeri. Oleh Xxxxx aitu karena kesulitan-kesulitan yang ditempauh, tepatnya pada hari Anti Korupsi Seduia, tanggal 9 Desember 2004, dicetuskan langkah-langkah yang mengamankan asset yang sudah dikorupsi dan mengoptimalkan mencari terpidananya.
7. Ibid, Sistem hukum yang berbeda juga merupakan hambatan dalam mengejar terpidana maupun asset hasil korupsi. Contoh sulitnya mengestradisi Xxxxxx Xxxxxxxx (terpidana korupsi) dan asetnya dari Australia hingga bersangkutan meninggal dunia. Untuk kasus Xxxxx N Xxxxxxx, pmerintah Indonesia berhasil menangkap Davin N Xxxxxxx di Amerika Serikat secara kebetula hubungan baik dengan Amerika, yaitu karena Indonesia sering embantu informasi terkait masalah teroris. Jadi Amerika pun memberi kesempatan kepada Indonesia untuk menangkap Xxxxx X. XXxxxxx. Itu juga karena undang-undang Imigrasi yang dilanggar. Kalau hanya sekedar hubungan baik kedua negara, tidak mungkin Amerika mengijinkan.
prasarana yang dimiliki oleh Indonesia,8 tidak mudah melakukan kerjasama dengan negara lain baik dalam bentuk perjanjian ektradisi maupun Matual Legal Assistance (MLA),9 masalah dual criminality,10 kekeliruan dalam melakukan tuntutan berkaitan dengan uang pengganti dan putusan yang keliru oleh hakim,11 dan permasalahan Central Authority.12
Fakta menunjukan bahwa aparat penegak hukum masih mengalami kesulitan pelacakan, pembekuan, perampasan dan penyitaan serta pengembalian hasil tindak pidana korupsi, walaupun terdapat beberapa hukum internasional yang telah mengatur seperti Konvensi Perserikatan Bangsa Bangasa (PBB) Tahun 2003 tentang Anti Korupsi (United Nation Conventions Against Corruption- UNCAC) sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1 huruf (c) bahwa salah satu tujuan konvensi ini yaitu meningkatkan, mempermudah dan mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi termasuk pengembalian asset.
Mengingat korupsi termasuk dalam kejahatan transnasional lintas batas negara sebagaimana ditegaskan pula, dalam instrumen hukum internasional melalui Konvensi PBB tahun 2000 tentang kejahatan lintas batas negara terorganisir (United Nations Convention on Transnational Organizide Crime – UNTOC), maka sudah semestinya kewajiban negara peserta dapat bekerjasama dalam pengembalian asset-asset hasil kejahatan korupsi yang disertai dengan melacak masalah pencucian uang dan hasil kejahatan.
Konvensi tersebut antara lain mengatur ketentuan-ketentuan yang berkatan dengan upaya mengidentifikasi, mendeteksi dan membekukan serta perampasan hasil dan instumen tindak pidana. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi tersebut maka pemerintah Indonesia harus menyesuaikan ketentuan-ketentuan peraundang- undangan yang ada dengan ketentuan-ketentuan di dalam konvensi tersebut. Langkah yang telah dilakukan Indonesia adalah dengan meratifikasi kedua konvensi PBB tersebut menjadi undang-undang,13 disamping hukum pidana
8 Ibid, Sarana dan Prasarana, yang dimaksud terkait logistic, kemudian perangkat hukum yang mendukung untuk itu. Hal ini mengakibatkan penyidik Indonesia sulit untuk menangkap kourpsi dan mengejar asetnya di luar negeri, karena dana yang tidak memadai untuk melakukan pengejaran.
9. Ibid, untuk Hongkong perlu waktu 3 tahun (2005-2008) hingga akhirnya antara Indonesia dan Hongkong dapat merealisasi perjanjian dan penandatangannya.
10 Ibid, Belum tentu yang dikatakan korupsi, ditempat orang tersebut korupsi. Dengan UNCAC semuanya ini sudah digugurkan. Tercatat bahwa prinsip dua criminality dan nasionalitas tidak lagi menjadi persyaratan dibangunya kerjasama Internasional dalam pemberantasan korupsi dan tindak pidana pencucian uang, jadi sudah lebih maju.
11 Ibid, Contohnya dalam kasus Xxxx Xxxxxxxx, terdapat 3 terpidana dengan kerugian negara berjumlah 1,5 Triliun. perhitungan uang pengganti yang harus dibayar oleh 3 terpidana masing- masing 1,5 triliun. Jadi semuanya tanggung renteng. Sebaliknya, justru ada yang tidak diputus uang pengganti.
12 Ibid, Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2006, Central authority berada di Departemen Hukum dan HAM sementara sistem yang ada di Deplu untuk segalam urusan yang berkaitan dengan surat menyurat dengan negara lain harus melalui Departemen Luar Negeri. Masing-masing merasa berhak. Hal ini menyebabkan birokrasi menjadi panjang.
13. Berbagai hukum nasional yang telah diratifikasi yakni, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, serta Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
nasional yang telah berlaku dan ada hubungannya dengan pengembalian asset- asset hasil kejahatan korupsi.14
PBB menyatakan sangat prihatin atas masalah korupsi serta ancaman yang diakibatkannya bagi stabilitas dan keamanan masyarakat, yang merusak lembaga- lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta menghambat pembangunan berkelanjutan dan penegakan hukum, terutama dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan jumlah asset yang besar dapat merupakan bagian penting dari sumber-sumber negara dan dapat mengancam stabilitas politik dan pembangunan berkelanjutan negara tersebut.15
Dalam tataran implementasi kekuatan hukum pidana nasional dan internasional saat ini, hanya bersifat wacana semata dan belum ada langkah konkret dari penegak hukum guna melacak, pembekuan, perampasan dan penyitaan serta pengembalian hasil tindak pidana korupsi. Upaya pengembalian asset negara yang dicuri (stolen asset recovery) melalui tindak pidana korupsi cenderung dan tindak pidana pencucian uang tidak mudah untuk dilakukan. mengingat koruptor merupakan pejabat negara atau pihak swasta yang memiliki kekuasaan dan wewenang untuk dapat mempengaruhi suatu kebijakan dan keputusan secara sistemik dan terorganisir dengan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi16 sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pencucian Uang sehingga mempersulit pemerintah dalam hal ini, penegak hukum untuk melakukan penyitaan aset-aset hasil dari kejahatan korupsi di negara yang memiliki keistimewaan perangkat perbankan karena sistem jaminan kerahasian penuh bagi nasabahnya seperti di negara Switzeland atau yang kerap disebut Swiss. Hal ini pula, yang menjadi Negara Swiss layaknya menjadi magnet bagi para pelaku White Collar Crime baik mafia atau koruptor untuk mengamankan hasil kejahatan tersebut.
Berdasarkan pengalaman Indonesia dan negara-negara lain menunjukan bahwa pengungkapan tindak pidana, menemukan pelakunya dan menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara ternyata belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan upaya untuk menyita dan merampas hasil dan instrument tindak pidana. Membiarkan pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan instumen tindak pidana memberikan peluang dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil tindak pidana dan menggunakan
14 Hukum Pidana Nasional yang ada kaitannya dengan pengembalian asset-asset hasil kejahatan korupsi, antara lain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi,
15. O.c. Xxxxxxx dan Associates, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Berdasarkan Konvesi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Alumni, Edisi Ke-2 Tahun 2015, hlm 1 Hal senada juga ditegaskan dalam Alinea Pertama Mukadimah Konvensi PBB anti Korupsi Tahun 2003 yang merupakan urgensi pengembalian asset karena sangat prihatin atas masalah dan ancaman serius yang diakibatkan oleh korupsi bagi stabiktias dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta menghambat pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.
16. Xxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxx K, Tipologi dan Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang, cetak pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Depok, 2018, hlm 6
kembali instrument tindak pidana atau bahkan mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan.
Kondisi inilah, yang pada akhirnya membuat pemerintahan Indoensia di era Presiden Xxxx Xxxxxx terus menggunakan jalur diplomasi melalui hubungan yang baik antar kedua negara, dengan menghasilkan perundingan yang pada akhirnya di tanggal 4 Pebruari 2019 adanya etikat baik kedua negara untuk melakukan Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Pemerintah Indonesia dan Konfedeasi Swiss17 dengan ruang lingkup bantuan sebagaimana ditegaskan pada Pasal 2 ayat 1 huruf (c) dan (d) meliputi langkah-langkah yang diambil untuk mempercepat proses hukum pidana di Negara Peminta, salah satunya yaitu penyerahan barang dan asset untuk tujuan perampasan atau pengembalian, pelacakan dan menelusuri, membekukan, menyita dan merampas hasil dan sarana kejahatan.
Suatu langkah postif yang patut diberikan apresiasi dengan adanya Penjanjian Pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss sebagai komitmen kedua negara dengan memperhatikan ikatan persahabatan dan kerjasama yang menyatuhkan keduannya serta masing-masing mengakui bahwa upaya melawan kejahatan lintas negara adalah tanggungjawab bersama masyarakat internasional sehingga perlu memperkuat kerjasama hukum, terutama bantuan hukum timbal balik untuk mencegah meningkatkan tindak pidana.
Langkah selanjutnya pasca perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss yaitu meratifikasi menjadi UU dengan mekanismenya melalui persetujuan DPR akan tetapi belum juga diratifikasi. Ini menunjukan ketidakseriusan pemerintah untuk berusaha mengembalikan asset-asset hasil kejahatan di Negara Swiss. Indonesia dinilai masih belum sepenuhnya serius dan cepat tanggap dalam meratifikasi perjanjian internasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya perjanjian internasional di berbagai bidang yang belum diratifikasi. Hingga saat ini menurut Kementerian Luar Negeri kurang lebih 250 konvensi multilateral yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah/departemen teknis yang bersangkutan yang meliputi berbagai bidang untuk diratifikasi dan pembuatan RUU nasionalnya. Betapa sangat lambatnya proses ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia hingga memakan waktu yang cukup relatif lama dan bahak tak kunjung diratifikasi juga,18 termasuk perjanjian internasional tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss terhadap pengembalian asset hasil korupsi di Swiss yang belum diratifikasi, walaupun instrimumen internasional itu sangat penting bagi kepentingan nasional Indonesia. Dalam menentukan jangka waktu ratifikasi perjanjian internasional tersebut, maka perlu diketahui rata-rata waktu yang diperlukan untuk membentuk undang-undang pengesahan sejak tanggal penandatangan perjanjian sampai tanggal pengundangan undang-undang. Berdasarkan beberapa data perjanjian internasional yang diratifikasi dengan undang-undang yang diperoleh dari sistem informasi perundang—ndangan Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, rata-rata
17. Perjanjian tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfedrasi Swiss, 4 Pebruari 2019
18. Karmila Hippy, Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
proses ratifikasi dilakukan 3 sampai 4 tahun untuk kemudian diundangkan. Untuk mengantisipasi adanya keterlamabatan dalam meratifikasi suatu perjanjian internasional, perlu ada jangka waktu setidak-tidaknya 6 bulan atau paling lambat
1 tahun untuk menyiapkan instrument ratifikasi sejak tanggal penandatangan perjanjian internasional tersebut.
Dengan belum dirafikasinya perjanjian tersebut, menjadi undang-undang melalui persetujuan DPR, maka penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul tentang "Urgensi Ratifikasi Perjanjian Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Melalui Keputusan Presiden Terhadap Pengembalian Asset-Asset Hasil Kejahatan Tindak Pidana Korupsi antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss." Berdasarkan yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat di identifikasi masalah pokoknya adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana substansi dari perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss terhadap pengembalian asset-asset hasil korupsi di Swiss?
b. Bagaimana urgensi ratifikasi Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss Melalui Keputusan Presiden terhadap pengembalian asset-asset hasil korupsi di Swiss?
B. METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut, diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian hukum ini, menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan19 dengan menggunakan metode penelitian,20 namun dalam penelitian ini menggunakan peraturan perundang- undangan baik hukum internasional maupun hukum nasional, asas-asas hukum internasional serta perjanjian tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder, yang mana sumber data yang diperoleh dari kepustakaan, antara lain:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat21 terdiri dari :
1) Konvensi Perserikatan Bangsa Bangasa Tahun 2003 tentang Anti Korupsi.
19. Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan singkat, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1992, hlm. 12
20. Ibid, hlm 14. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup : penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf singkronisasi vertikal dan horsontal, penelitian perbandingan hukum, dan sejarah hukum
21. Ibid. hlm 13
2) Konvensi Perserikatan Bangsa Bangasa Tahun 2000 tentang kejahatan lintas batas negara terorganisir.
3) Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional.
4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir.
5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003.
6) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
8) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi.
9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pencucian Uang
10) Perjanjian Tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Antara Pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss tanggal 4 Pebruari 2019.
11) Prinsip-prinsip perjanjian internasional (Pacta Xxx Xxxxxxxx,22 Good Fith23 dan Rebus Sic Stantibus24)
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer25 seperti buku dan hasil penelitian dari kalangan hukum khususnya berkaitan dengan perjanjian internasional tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
3. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan jenis penelitian yang bersifat normatif maka dalam mengumpulkan bahan hukum, penulis menggunakan metode pengumpulan data sekunder dengan melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan metode tunggal dalam penelitian hukum normatif.26 Studi ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari berbagai literature seperti buku- buku, konvensi internasional, perjanjian Tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Antara Pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss tanggal 4 Pebruari 2019, hukum internasional dan hukum nasional.
Data penelitian yang dikumpulkan, dikelompokan dan dianalisasi dengan menggunakan teknis studi kepustakaan, yang diperoleh pada perpustakaan Unpad, Menkumham RI, dan Polda Jabar. Selain itu juga, dalam
22 . Pasca Sun Servanda, yaitu para pihak yang berkait pada suatu perjanjian harus mentaati perjanjian yang telah dibuat (perjanjian internasional mengikat dan berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak)
23. Good Fith, yaitu semua pihak yang terikat pada suatu perjanjian internasional harus beritkat baik untuk melaksanakan isi perjanjian.
24. Rebus Sic Stantibus, yaitu Suatu perjanjian internasinal boleh dilanggar dengan syarat adanya perubahan yang fundamental, artinya jika perjanjian internasional tersebut dilaksanakan maka akan bertentangan dengan kepentingan umum negara bersangkutan
25. Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum, Op.Cit. hlm 13
26. Xxxxxxx Xxxxxx, Penelitian Hukum dalam Praktek, Cetakan ke-tiga, Sinar Grafika Jakarta, 2002, hlm 50.
pengumpulan data menggunakan teknis wawancara untuk memperjelas data sekunder dengan Xxxxxxxx MLA Xxxxxxxxx RI.
4. Analisa Data
Data yang telah terkumpulkan dari studi kepustakaan (library research) selanjutnya di olah dengan cara diklasifikasi secara sistematis, logis dan yuridis secara kualitatif yaitu suatu metode hasil studi kepustakaan ke dalam bentuk penggambaran permasalahan dengan menggunakan teori-teori dan menguraikan dalam bentuk kalimat dan disimpulkan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu suatu cara menarik dari suatu kesimpulan dari dalil yang bersifat umum ke khusus.
C. PEMBAHASAN
1. Substansi dari perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss terhadap pengembalian asset-asset hasil korupsi di Swiss
Tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi telah menjadi kejahatan luar biasa. Menurut Xxxxx Xxxxxxxxxxx,27 menyamakan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan negara.28 Karena itu pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi merupakan bagian penting dan strategis dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi maka tugas dan tanggungjawab pengembalian asset hasil korupsi tersebut berada pada negara yang berhadapan dengan warga negaranya serta tanggungjawab internasional, dimana negara berhadapan dengan masyarakat internasional. Sebaliknya negara penerima asset hasil kejahatan mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk membantu mengembalikan asset hasil kejahatan tersebut kepada negara korban. Tanggungjawab negara sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia, yaitu 29melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pengembalian asset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan dicabut, dirampas, dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana dan/atau dari sarana tindak pidana. Dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi mengacu kepada proses pelaku tindakpidana korupsi dicabut, rampas, dihilangkan haknya atas hasil/keuntungan-keuntungan dari tindak pidana dan/atau dicabut, dirampas, dihilangkan haknya untuk menggunakan hasil/keuntungan-keuntungan tersebut sebagai alat/sarana untuk melakukan tindak
27. Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Pengkajian mengenai Impliksi Kovensi Menentang Korupsi 2003 ke dalam Sistem Hukum Nasional, Proposal, Departemen Kehakiman dan HAM RI-Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004, hlm. 2
28. O.c. Xxxxxxx dan Associates, Pengembalian Aset…..Op.Cit, istilah yang digunakan Xxxxx Xxxxxxxxxxx tersebut dapat untuk melukiskan akibat dari tindak pidana korupsi itu, sebagaimana dikemukakan oleh Xxxxx Xxxxx, Direktur TI yaitu hulangnya dana-dana publik yang diperlukan untuk perbaikan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara
29 Alineake-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
pidana lain. Pendapat Xxxxxxx tersebut lebih menekankan pada :30 Pertama, pengembalian asset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; Kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil/keuntungan dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, Ketiga, salah satu tujuan pencautan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidan tidak dapat menggunakan hasil/keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana lain.
Selain itu, pengertian pengembalian asset menurut O.C. Xxxxxxx menyatakan bahwa31 pengembalian asset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan ha katas asset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana melalui proses dan mekanisme baik pidana dan perdata, asset hasil kejahatan baik di dalam maupun diluar negeri, dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak pidana sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara dan mencegah serta memberikan efek jera bagi pelaku atau masyarakat yang memiliki niat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Pendekatan pengembalian asset hasil kejahatan korupsi dengan teori keadilan sosial memberikan justifikasi bagi negara dalam melakukan pengembalian asset sebagaimana dikemukakan oleh Xxxxxxx Xxxx, sebagai berikut :32
a. Alasan pencegahan (prophylactic), yaitu mencegah pelaku tindak pidana memiliki kendali atas dana-dana untuk melakukan kejahatan lain di masa yang akan datang;
b. Alasan kepatuhan (propriety), yaitu karena pelaku tindakan pidana tidak memiliki hak yang pantas atas asset-aset tersebut;
c. Alasan prioritas/mendahului yaitu karena tindak pidana memberikan hak mendahului/prioritas kepada negara untuk menuntut asset hasil tindak pidana dari pada yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana;
d. Alasan kepemilikan (propertary) yaitu karena kenyataan kekayaan diperoleh melalui tindakan pidana maka memiliki kepentingan selaku pemilik kekayaan tersebut.
Dengan demikian, pengembalian asset hasil kejahatan korupsi diberbagai negara lain sebagai bagian dari upaya negara dalam hal ini pemerintah Indonesia untuk mengembalikan guna memulihkan kesejahteraan sosial berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Pengembalian asset tidak hanya merupakan proses tetapi merupakan upaya penegakan hukum melalui serangkaian mekanisme hukum tertentu. Salah satu bentuk tanggungjawab negara Indonesia yakni, dilakukan kerjasama antara negara melalui hubungan baik kedua negara maupun dilaksanakan perjanjian internasional dalam bentukan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.
30. Xxxxxxx, Xxxxxxx X, Xxxxx Xxxxxxxx and its impact on criminal behavior, an economic taxonomy, draf for comments, version date, 27 January 2005, University College London hlm. 1
31. O.c. Xxxxxxx dan Associates, Pengembalian Aset…..Op.Cit, hlm. 104
32 Xxxxxxx Xxxx, Tracing and Recovering the proceeds of crime, Cardiff University Wales UK, Geogria, june 2004, hlm 17; Xxxxxxx Xxxx adalah Professor Kriminologi dari Cardiff Universty, Walles UK
Di Indonesia, satu-satunya landasan hukum pembuatan perjanjian internasional dtegaskan dalam Pasal 11 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Oleh karena itu, pentingnya mengoptimalkan perjanjian internasional tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA) dalam mengembalikan asset-asset hasil korupsi di negara lain, karena kejahatan korupsi tidak hanya menjadi sorotan nasional akan tetapi menjadi masalah internasional. Dalam Konvensi Wina Tahun 1969, dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa- bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu. Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, disebutkan perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik. Dari kedua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang dilakukan secara bilateral, regional atau multilateral dan tertulis, yang mengatur hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional maupun hukum masing-masing negara serta dapat menimbulkan akibat hukum tertentu.
Keberadaan perjanjian internasional sangat penting dalam menyelesaikan kejahatan transnasional seperti kejahan korupsi. Hal ini dinyatakan dalam alinea ke empat Mukadimah Konvensi PBB tentang Anti Korupsi Tahun 2003 (United Nation Converntion Against Corruption-UNCAC) yang menyatakan bahwa :
"convince that corruption is no longger local matter but a transnastional phenomenon that affects all societies and economies, making internasional cooperation ti orevent and control it essential."
(meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh sistem masyarakat dan perekonomian yang menyebabkan kerjasama internasional sangat penting dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi).
Hal ini sejalan dengan tujuan konvensi tersebut, yakin : (i) meningkatkan dan memperkuat tindakan-tindakan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efektif dan efisien; (ii) meningkatkan, mempermudah dan mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknik dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi termasuk memperoleh kembali asset; dan (iii) meningkatkan integritas, akuntabilitas dan manajemen yang benar tentang masalah-masalah publik dan kekayaan publik.33
Dalam mencegah dan memberantas korupsi sebagai kejahatan transnasional terkait pengembalian asset-asset hasil korupsi yang berada di negara lain akan lebih efektif dan efisien, berkenan dengan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan maupun pelaksanaan putusan pengadilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan negara yang diminta, dapat dilakukan melalui kerjasama internasional yang dituangkan dalam bentuk hubungan baik antara kedua negara untuk saling membantu berdasarkan prinsip resiprositas dari negara peminta akan tetapi ada kelemahan karena sifatnya tidak terikat, maka
33 Pasal 1 Konvensi PBB tentang Anti Korupsi Tahun 2003
solusi yang tepat adalah melakukan perjanjian tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.
Menurut Xxxxx Xxxxxxxxxxx, menyatakan bahwa bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA) salah satu upaya dalam mengatasi dan memberantas berbagai kejahatan korupsi yang sifatnya lintas batas negara (transnasional), 34 maka sesuai Pasal 46 Konvensi PBB Tahun 2003 dapat disimpulkan bahwa negara-negara peserta wajib seluas-luasnya saling memberi bantuan timbal balik dalam masalah pidana, negara peserta dapat memberikan informasi yang menyangkut masalah kriminal dengan tetap menjaga kerahasiaan, negara peserta tidak boleh menolak untuk memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan alasan kerahasiaan bank.
Dengan demikian, MLA merupakan perjanjian kerjasama internasional yang harus memperhatikan prinsip kebersamaan (aquality) yang didasari pada sikap saling menghargai dan keadulatan (souvereignuty) dari negara-negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut, sehingga kerjasama yang tertuang dalam perjanjian internasioal berlaku dan mengikat secara politik dan hukum (legally and political binding effect) kepada negara-negara yang membuatnya.35
Dalam perampasan asset hasil kejahatan tindak pidana korupsi berdasarkan Konvensi PBB Tahun 2003 tentang Anti Korupsi melalui 4 tahapan, yaitu pertama, pelacakan asset dengan tujuan untuk mengidentifikasi, bukti kepemilikan, lokasi penyimpanan harta yang berhubungan dengan delik yang dilakukan. Kedua, pembekuan atau perampasan asset sesuai Bab I Pasal 2 huruf
(f) UNCAC, 2003 dimana dilarang sementara mentransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggangjawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompoeten. Ketiga, penyitaan asset sesuai Bab I Pasal 2 huruf (g) UNCAC 2003, diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten. Keempat, pengembalian dan penyerahan asset kepada negara korban. Selanjutnya dalam UNCAC2003 juga diatur bahwa perampasan harta pelaku tindak pidana korupsi dalam melalui pengembalian secara langsung melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem negotiation plea atau plea bargaining system dan melalu pengembalian secara tidak langsung berdasarkan keputusan pengadilan (Pasal 53 sampai dengan Pasal 57 UNCAC).36
Berkaitan dengan pengembalian asset-asset hasil korupsi di negara Swiss, maka pemerintah Indonesia telah melakukan perjanjian tentang bantuan hukum
34 Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1997, hlm 39. Lebih lanjut dijelaskan kejahatan transnasional yaitu kejahatan yang memenuhi unsur : (i) tindakan yang berdampak terhadap lebih dari satu negara; (ii) tindakan yang melibatkan warga negara dari lebih satu negara; (iii) menggunakan sarana dan metoda yang melampaui batas territorial.
35. Xxxxx Xxxxxx, Prespektif dan Upaya yang dilakukan dalam Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik Mengenai tindak pidana Pencucian Uang (money loundering), makalah disampaikan pada Seminar tentang Bantuan HUkum TImbal Balik dalam Masalah Pidana, yang diselenggarakan oleh BPHN, Bandung, tanggal 29 s.d 30 Agustus 2006, hlm 21
36. Xxxxxxxx Xxxx dalam Xxxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx, Implementasi Perampasa Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkait Dalam Tindak Pidana Korupsi, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010, hlm 32.
timbal balik masalah pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss pada tanggal 4 Pebruari 2019, untuk Republik Indonesia ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Xxxxxxx Xxxxxxx X. Xxxxx sedangkan untuk konfederasi Swiss ditandagani oleh Kepala Departemen Kehakiman dan Kepolisian Federal-Xxxxx Xxxxxx Sutter.
Dari isi perjanjian tersebut sebanyak 39 Pasal yang terdiri dari IV BAB yakni Bab I tentang Ketentuan Umum, Bab II tentang Permintaan Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, Bab III tentang Penyampaian dan Kehadiran, Bab IV tentang Prosedur, Bab V tentang Pengiriman dan Pemberian Informasi secara spontan untuk tujuan Penuntutan atau Perampasan, Bab VI tentang Ketentuan Penutup. Adapun ruang lingkup dari perjanjian ini sebagai langkah-langkah yang diambil untuk mempercepat proses hukum pidana di Negara Peminta, yaitu37
a. Pengambilan kesaksian atau keterangan lainnya;
b. Pengiriman barang, dokumen atau keterangan lainnya;
c. Penyerahan barang dan asset untuk tujuan perampasan atau pengembalian;
d. Penyediaan informasi;
e. Penggeledahan badan dan property;
f. Pelacakan dan pengidentifikasi orang dan property, termasuk memeriksa barang dan tempat;
g. Menelusuri, membekukan, menyita dan merampas hasil dan sarana kejahatan;
h. Penyampaian dokumen;
i. Menghadirkan saksi dan ahli untuk hadir dan memberikan kesaksian di Negara Peminta;
j. Bantuan lain sesuai dengan tujuan dan perjanjian ini yang disepakati bersama oleh para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Negara Diminta
Secara substansial kedua negara berkeinginan untuk saling memberikan bantuan hukum timbal balik seluas-luasnya guna memerangi kejahatan dan meningkatkan efektivitas kerjasama dalam penyidikan, penuntutan dan penjatuhan pidana. Perjanjian tersebut dengan memperhatikan konstitusi dan peraturan perundang-undangan masing-masing pihak serta prinsip-prinsip internasional, terutama kedaulatan, integritas wilayah dan nonintervensi dan menghormati tatanan hukum internal kedua negara.
Dalam rumusan perjanjian tersebut pada Pasal 1 menegaskan bahwa Para pihak berupaya untuk saling memberikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian ini, bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana seluas- luasnya dalam penyelidikan dan penyidikan, penuntutan atau proses persidangan sehubungan dengan tindak pidana yang hukumannya pada saat permintaan bantuan diajukan, berada dalam yurisdiksi pengadilan dan lembaga penegak hukum yang berwenang di negara peminta.
Pemerintah Indonesia sebagai Negara Peminta Pasca penandatangan perjanjian tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara
37. Pasal 46 ayat 3 UNCAC 2003
Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss pada tanggal 4 Pebruari 2019 hingga saat ini, belum adanya langkah konkret dalam upaya untuk mengembalikan asset-asset hasil kejahatan tindak pidana korupsi di Swiss ke Indonesia, namun ada beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia seperti negosiasi, pelacakan dan pemblokiran akan tetapi belum mampu mengembalikan asset-asset hasil kejahatan tersebut.
Perlu diketahui bahwa hakikat dari suatu perjanjian internasional adalah undang-undang bagi yang membuat, sumber hukum yang mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya (Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional atau yang sering disebut sebagai asas pacta sunt servada), dan persetujuan/ikatan/hubungan yang diatur oleh hukum internasional sedangkan fungsi dan tujuan perjanjian internasional yaitu alat utama untuk menyelenggarakan transaksi-transaksi internasional atau perbuatan/hubungan hukum, memberikan hak dan kewajiban yang mengikat, menjamin kepastian hukum, alat kontrol dalam melaksanakan isi perjanjian dan menimbulkan hukum bagi para pihak dalam perjanjiann internasional.
Menurut pendapat Anzilotti, yang pernah menjabat sebagai hakim pada Permanent Count of Internasional Justice dari tahun 1921 sampai 1930 adalah Asas Pasta Sunt Servanda merupakan kekuatan mengikat hukum internasional dapat ditelusuri ulang sampai suatu prinsip atau normat tertinggi dan fundamental.38 Asas ini merupakan asas yang sudah tua berasal dari ajaran hukum alam. Menurut Xxxxxxx yang menganut aliran hukum alam atua hukum kodrat mengatakan bahwa janji itu mengikat dan seorang yang mengikatkan dirinya pada sebuah perjanjian itu mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promisorum impledorum obligation).
Selain kepatuhan terhadap isi perjanjian sebagai sumber hukum internasional tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana khususnya berkaitan dengan pengembalian asset-asset hasil kejahatan tindak pidana korupsi antara negara peminta dalam hal ini Republik Indonesia dengan negara diminta yakni Konfederasi Swiss maka harus memperhatikan juga insturmen Hukum Internasional, hukum nasional dan prinsip-prinsip dalam perjanjian internasional sehingga proses pengembalian asset dapat terlaksana secara cepat, efektif dan efisien sehingga menguntungkan kedua belah pihak.
Dengan demikian perjanjian tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss merupakan suatu undang-undang yang bersifat mengatur dan mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian akan tetapi dalam setiap rumusan pasal dalam perjanjian tersebut tidak dipertegaskan asas pasca sunt servanda sehingga dalam penyelesaian perselisian sebagaimana Pasal 37 bahwa segala perselisian yang timbul dari penafsiran, penerapan atau pelaksanaan ketentuan dalam perjanjian ini, diselesaikan melalui saluran diplomatik, jika Otoritas Pusat tidak dapat mencapai kesepakatan.
Pasal 37 dalam Perjanjian tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss tidak menjawab persoalan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan isi perjanjian tesebut. Oleh sebab itu harus mengacu pada Pasal 66 ayat (2) UNCAC yang menyatakan bahwa
38. X.x Xxxxxx, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 27
"tiap perselisihan di antara dua negara peserta atau lebih mengenai penafisran atau penerapan Konvensi ini yang tidak di selesaikan melalui negosiasi dalam jangka waktu yang layak atas permintaan satu dari negara-negara peserta itu, diajukan kepada Arbitrase. Bilamana 6 (enam) bulan setelah tanggal permintaan untuk arbitrase, negara-negara peserta tidak dapat sepakat mengenai organisasi arbitrase, siapapun dari negara-negara peserta itu wajib diajukan kepada Mahkamah Internasional dengan permohonan sesuai dengan status pengadilan.
Pasca pendatanganan perjanjian internasional tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss hingga saat ini, salah satu tahapan dalam proses pembentukan perjanjian internasional yakni tahap ratifikasi (pengesahan) menjadi undang-undang belum dilaksanakan sehingga isi perjanjian antara kedua negara tersebut belum dapat diberlakukan. Selain itu juga, tidak secara tegas siapa yang dapat melakukan meratifikasi apakah melalui DPR dan disahkan oleh presiden atau melalui keputusan presiden, selanjutnya disampaikan secara resmi kepada DPR.
Dalam mengesahan suatu perjanjian internasional memerlukan persetujuan DPR dimana dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama perjanjian. Klasifikasi menurut perjanjian dimaksud agar terciptanya kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Proses pengesahan suatu perjanjian internasional tersebut, dilaksanakan oleh DPR, Menkumham RI dan Akademisi dengan menyiapkan salinan naskah rancangan undang-undangan yang selanjutnya akan dibahas bersama-sama akan tetapi hingga saat ini belum meratifikasi perjanjian tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss.
2. Urgensi Ratifikasi Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss Melalui Keputusan Presiden terhadap pengembalian asset-asset hasil korupsi di Swiss
Sebelum penandatangan perjanjian tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss terhadap pengembalian asset-asset hasil kejahatan tindak pidana korupsi di Negara Swiss masih menemukan banyak hambatan. Sebagai gambaran kasus yakni seperti kasus korupsi dengan terdakwa E.C.W. Xxxxx sebagai Direktur Utama Bank Mandiri pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 sehingga negara mengalami kerugian sebesar 1,8 triliun rupiah maka putusan Mahkamah Agung Nomor : 1212/0.1.14/Ft/09/2007 memutuskan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dituntut 10 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah subsidier enam bulan penjara.39
Berdasarkan informasi dari konfederasi Swiss kepada pemerintah Indonesia, bahwa Xxxxx diketahui mempunyai dua rekening di Deutsche Bank Swiss kurang lebih sebesar 5,2 juta USD atau sekitar 49,4 trilyun rupiah,
39. Hikmatul Akbar dan Xxxxxx Xxxxx Carmeli, Konvensi Anti Korupsi PBB dan Upaya Pengembalian Aset Hasil Korupsi ke Indonesia, xxxx://xxxxxxxxxx.xxxxx.xx.xx/0000/0/Xxxxxxxx_Xxxxx_Xxxxxxx_Xxxxxxxx_Xxxx_Xxxxxxx_XXX.xxx, di edit tanggal 10 Nopember 2019
selanjutnya pada tahun 2007 Xxx Xxxburu Koruptor Kejaksaan Agung RI sempat bernegosiasi dengan pemerintah Swiss dan pada bulan Juni tahun 2009 Kejagung RI mengirimkan staf untuk mendiskusikan pengembalian asset Xxxxx ke Indonesia namun terhitung sejak tahun 2005 hingga 2019 Pemerintah Indonesia belum mampu mengembalikan asset hasil korupsi tersebut ke Indonesia.40
Pemerintah Swiss beranggap bahwa sumber dana Xxxxx yang berada di Swiss tidak jelas asal-usulnya dan pemerintah Indonesia tidak dapat membuktikan sumber daya tersebut meskipun putusan Mahkamah Agung sudah memutuskan hukuman dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Namun sampai 2010 pengadilan terhadap dugaan pencucian uang yang dilakukan Xxxxx belum juga diputuskan apakah terbukti atau tidak. Dalam putusan pengadilan, Xxxxx sendiri tidak dicantumkan mengenai asal aliran dana Xxxxx yang berada di Swiss, dimana hal tersebut yang kemudian menjadi pertimbangan Swiss untuk membuka blokir terhadap asset Xxxxx sampai Indnesia dapat membuktikan asal usul dana Xxxxx yang berada di Swiss.41
Berkaca dari pengalaman kasus Xxxxx berikut kasus-kasus korupsi yang asset-asset hasil kejahatan tindak pidana korupsi yang berada di Swiss maka kedua belah pihak dalam hal ini, Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss harus mematuhi isi perjanjian tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana yang telah ditandatangani bersama pada tanggal 4 Pebruari 2019. Ini menunjukan bahwa antara Pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss telah mengikat dalam suatu perjanjian internasional sehingga saling membantu dan berkewajiban untuk memberikan sesuai ketentuan dalam perjanjian ini yang selauas-luasnya dalam penyelidikan dan penyidikan, penuntutan atau proses persidangan sehubungan dengan tindak pidana yang hukumannya pada saat permintaan bantuan diajukan, berada dalam yurisdiksi pengadilan dan lembaga penegak hukum yang berwenang di negara peminta.
Pasca penandatangan perjanjian belum berarti menciptakan ikatan hukum bagi para pihak walaupun pada Pasal 39 ayat (1) menegaskan bahwa perjanjian mulai berlaku pada hari keenam puluh setelah tanggal diterimanya pemberitahuan yang terakhir akan tetapi dalam perjanjian internasional yang belum berlaku dengan ditandatanganinya naskah, maka perjanjian tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Pengesahan ini dinamakan ratifikasi. Perbedaan antara tanda tangan dan ratifikasi memiliki arti penting yang dianggap perlu untuk memungkinkan pejabat negara yang memiliki wewenang untuk membuat perjanjian guna meneliti kembali apakah para utusan yang ditugaskan berunding tidak keluar dari instruksi.
Faktanya, Pemerintahan Indonesia belum meratifikasi Perjanjian tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 14 Konvensi Wina menyebutkan bahwa persetujuan negara untuk mengikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk ratifikasi apabila : Perjanjian itu sendiri mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam bentuk ratifikasi, Terbukti bahwa negara- negara yang ikut berunding setuju untuk mengadakan ratifikasi, Utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan syarat untuk meratifikasi
40. Ibid
41. Ibid
kemudian, Kuasa penuh delegasi ini sendiri menyatakan bahwa rafitikasi diharuskan kemudian.
Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengembalikan asset hasil korupsi di negara Swiss namun sebatas penandatangan perjanjian bantuan hukum timbal balik masalah pidana dan belum ada langkah konkret. Padahal dalam Pasal
15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian internasional, bahwa mekanisme dari pasca perjanjian internasional tersebut, dilanjutkan dengan melaksanakan ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional baik melalui disahkan dengan undang-undang atau surat keputusan presiden atau dengan cara lain yang disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut.
Istilah pengesahan yang digunakan dalam praktik hukum perjanjian internasional di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, diambil dan diterjemahkan dari istilah ratifikasi. Menurut Pasal 2 (1) b Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi adalah :
"Ratification, acceptance, approval and accession mean in each case the internasional act so named whereby a state establishe on the internsional plane its consent to be bound by a treaty"
Menurut Pasal 14 Kovensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi adalah salah satu cara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian dan lazimnya selalu didahului dengan adanya penandatangan. Selanjutnya proses ratifikasi, pada Pasal 14 Konvensi Wina menyebutkan bahwa persetujuan negara untuk mengikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk ratifikasi apabila
:
a. Perjanjian itu sendiri mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam bentuk ratifikasi;
b. Terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk mengadakan ratifikasi;
c. Utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan syarat untuk meratifikasi kemudian;
d. Kuasa penuh delegasi ini sendiri menyatakan bahwa rafitikasi diharuskan kemudian.
Selanjutnya menurut Prof. Utrecht, menjelaskan mekanisme pada 11 UUD 1945 yaitu suatu perjanjian internasional harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR dan dituangkan dalam suatu undang-undang. Persetujuan (goedkeuringswet) yang bersifat undang-undang formal saja. Kemudian setelah mendapat persetujuan DPR, Presiden melakukan pengesahan yang disebut dengan ratifikasi. 42 Lebih jelas juga ditegaskan dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenan dengan :
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
42. Iur Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik Indonesia, PT. Xxxxxx Xxxxxxx, Cetakan ke-3, Agustus 2017, hlm 75
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri
Selanjutnya pada pasal 11 ditegaskan pula di ayat (1) bahwa pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan Keputusan Presiden sedangkan ayat (2) menegaskan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap Keputusan Presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada DPR untuk dievaluasi. Adapun jenis-jenis perjanjian internasional yang disahkan dengan Peraturan Presiden adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, perdagangan, pelayaran, niaga, budaya dan pendidikan serta perjanjian-perjanjian berisfat teknis.
Menurut Xxxxx Xxxxx, sebagai konsekuensi diberi bentuk undang-undang maka segala tata cara pembentukan undang-undang berlaku pada peraturan perundang-undangan tentang pengesahan perjanjian internasionak. Namun ada pengecualian terhadap hal tersebut, yaitu Pertama, hak inisiatif untuk pembentukan undang-undang untuk suatu pengesahan perjanjian internasional hanya berada pada Presiden. Hal tersebut disebabkan kekuasaan hubungan luar negeri termasuk membuat perjanjian internasional termasuk kekuasaan eksekutif, bahkan sebagai kekuasaan yang eksekutif (exclusive power). DPR tidak mempunyai hak amandemen dalam pengesahan perjanjian internasional. 43 DPR hanya menyetujui atau tidak menyetujui, menerima atau menolak untuk pengesahan suatu perjanjian internasional.
Persetujuan untuk mengikat diri pada suatu perjanjian internasional berdasarkan Vicnna Convention On The Law Treatiec 1969 dapat dilakukan dengan cara pertukaran instumen perjanjian, ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi atau dengan cara lain yang disepakati oleh pihak dalam perjanjian. Secara umum ketentuan ratifikasi yang berlaku dalam hukum internasional tercantum dalam Vicnna Convention On The Law Treatiec 1969 akan tetapi mengenai prosedur dan tata cara ratifikasi tersebut bagaimana harus dilakukan oleh negara-negara yang mengikat diri pada perjanjian sehingga ditentukan oleh hukum nasional masing-masing negara.
Pada kenyataan prosedur pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional dengan undang-undang memiliki proses yang cukup panjang karena pada hakikatnya prosedur yang diterapkan hampir sama halnya dengan prosedur pembuatan undang-undang. Hal ini disebabkan karena dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional masih terlalu umum mengatur tentang ratifikasi dan belum mengatur secara tegas dan baku mengenai tata cara dan prosedur ratifikasi perjanjian internasional.
Indonesia dinilai masih belum sepenuhnya serius dan cepat tanggap dalam meratifikasi perjanjian internasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya perjanjian internasional di berbagai bidang yang belum diratifikasi. Hingga saat ini menurut Kementerian Luar Negeri kurang lebih 250 konvensi multilateral yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah/departemen teknis yang bersangkutan yang meliputi berbagai bidang untuk diratifikasi dan pembuatan RUU nasionalnya.
43 Xxxxx Xxxxx, Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjauan Hukum Tata Negara), Focus Group Discussion tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia, Kerjasama Departemen Luar Negeri dengan Unpad, 2008
Betapa sangat lambatnya proses ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia hingga memakan waktu yang cukup relatif lama dan bahak tak kunjung diratifikasi juga,44 termasuk perjanjian internasional tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss terhadap pengembalian asset hasil korupsi di Swiss yang belum diratifikasi, walaupun instrimumen internasional itu sangat penting bagi kepentingan nasional Indonesia.
Dalam menentukan jangka waktu ratifikasi perjanjian internasional tersebut, maka perlu diketahui rata-rata waktu yang diperlukan untuk membentuk undang-undang pengesahan sejak tanggal penandatangan perjanjian sampai tanggal pengundangan undang-undang. Berdasarkan beberapa data perjanjian internasional yang diratifikasi dengan undang-undang yang diperoleh dari sistem informasi perundang—ndangan Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, rata-rata proses ratifikasi dilakukan 3 sampai 4 tahun untuk kemudian diundangkan. Untuk mengantisipasi adanya keterlamabatan dalam meratifikasi suatu perjanjian internasional, perlu ada jangka waktu setidak-tidaknya 6 bulan atau paling lambat
1 tahun untuk menyiapkan instrument ratifikasi sejak tanggal penandatangan perjanjian internasional tersebut. Hal ini untuk menghindari keterlambatan yang pernah dialami Indonesia selama ini. Namun jika dalam keadaan mendesak yang benar-benar genting atau mendesak guna kepentingan masyarakat, bangsa dan negara maka segera melakukan ratifikasi sebagai solusi terakhir dimungkinkan dilakukan ratifikasi dengan peraturan Presiden atau melalui peraturan presiden pengganti undang-undang (Perpu).45 Mengenai prosedur dan tata cara ratifikasi perjanjian internasional melalui peraturan presiden lebih singkat dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang- undangan nasional.46
Hal ini perlu dilaksanakan karena pengembalian asset hasil kejahatan memegang peranan penting dan sangat dibutuhkan terhadap sumber daya untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan sehingga secara tegas PBB menyatakan bahwa sangat prihatin atas masalah korupsi serta ancaman yang diakibatkannya bagi stabilitas dan keamanan masyarakat, yang merusak lembaga-lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta menghambat pembangunan berkelanjutan dan penegakan hukum, terutama dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan jumlah asset yang besar dapat merupakan bagian penting dari sumber-sumber negara dan dapat mengancam stabilitas politik dan pembangunan berkelanjutan negara tersebut.47
44. Karmila Hippy, Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
45 Fitri Lestari, Legitimasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai dalam Ratifikasi perjanjian internasional tertentu, Lentera Hukum, Vol. 5 Issue 3 (2018). Pp. 343-366, ISSN: 2355-4673 (Print) 2621-3710 (online) doi:10.19184/ejlhv513.8097, University of Jember 2018
46. I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional, Bagian 2 (Bandung Mundar Maju, 2015, hlm602
47. O.c. Xxxxxxx dan Associates, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Berdasarkan Konvesi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Alumni, Edisi Ke-2 Tahun 2015, hlm 1 Hal senada juga ditegaskan dalam Alinea Pertama Mukadimah Konvensi PBB anti Korupsi Tahun 2003 yang merupakan urgensi pengembalian asset karena sangat prihatin atas masalah dan ancaman serius yang diakibatkan oleh korupsi bagi stabiktias dan keamanan masyarakat yang
Mengingat asset-asset hasil kejahatan pada tindak pidana korupsi yang disembunyikan di negara Swiss dengan jumlah yang tidak sedikit banyaknya, maka para pihak baik baik Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss harus mematuhi isi perjanjian tersebut sebagai bagian dari asas pacta servanda sehingga adanya kepastian hukum dalam perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana karena sifatnya mengikat dan harus dilaksanakan. Selain itu juga, Presiden RI hendaknya menggunakan asas freies emmessen dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum dapat melakukan upaya cepat, tepat dan efisien untuk mengembalikan asset tersebut guna membantu sumber-sumber negara pada pembangunan berkelanjutan, mengingat Negara Indonesia masih dikatagorikan sebagai negara yang berkembang sehingga sangat membutuhkan anggaran negara yang besar untuk mensejahterahkan masyarakat. Oleh karena itu, dalam keadaan mendesak perjanjian internasional tersebut dapat diratifikasi melalui keputusan presiden atau peraturan Presiden yang merupakan bagian dari perundang- undangan yang selanjutnya disampaikan oleh DPR guna disetujui dan disahkan menjadi undang-undang.
D. PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penulisan ini, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :
a. Secara substansi hukum dari perjanjian MLA tentang bantuan hukum timbal balik masalah tindak pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss yang telah ditandatangani pada tanggal 4 Pebruari 2019, terdiri dari Bab IV dan 39 Pasal dengan memperhatikan konstitusi dan peraturan perundang-undangan masing-masing pihak serta prinsip-prinsip hukum internasional terutama kedaulatan, integritas wilayah dan nonintervensi dan menghormati tatanan hukum internal dari para pihak. Hal ini menunjukan adanya ikatan persahabatan dan kerjasama melawan kejahatan lintas negara guna mencegah meningkatnya tindak pidana, akan tetapi pada Pasal 37 tentang penyelesaian perselisian tidak melalui Mahkamah Internasional hanya melalui saluran diplomatik, serta tidak secara tegas menjelaskan ratifikasi/pengesahan sehingga dapat menghambat upaya pemerintah dalam mengembalikan asset hasil korupsi di Swiss.
b. Keberadaan asset hasil korupsi yang berada di Swiss, sangat membantu sumber-sumber negara pada pembangunan berkelanjutan demi mensejahteraan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang saat ini, sehingga sangat urgensi sekali bilamana ratifikasi perjanjian perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Repulik Indonesia dan Konfederasi Swiss tidak dilaksanakan melalui persetujuan DPR dan di sahkan oleh Presiden karena proses ratifikasi membutuhkan waktu yang cukup lama dan pada akhirnya sangat sulit pemerintah mengembalikan asset hasil korupsi tersebut.
2. Saran
merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta menghambat pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.
Berpijak dari hasil pembahasan dan simpulan di atas, dapat dikemukakan beberapa rekomendasi sebagai berikut :
a. Perlu adanya ketegasan pada pasal tentang penyelesaiaan perselisihan, jika salah satu pihak tidak menjalankan isi perjanjian tersebut dengan mengaju kepada Pacta Sun Servanda dan Pasal 66 ayat (1) dan (2) United Nations Convention Against Coprruption-UNCAC tahun 2003 melalui tahap negosiasi, arbitrase sampai tahap Mahkamah Internasional.
b. Perlu keseriusan pemerintah Indonesia dan DPR untuk memperioritaskan segera meratifikasikan perjajian tersebut atau dalam keadaan mendesak demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara maka pengesahan perjanjian dilakukan dengan Keputusan Presiden yang selanjutnya dapat menyampaikan salinannya ke DPR untuk mengesahkan perjanjian tersebut.
c. Agar para penegak hukum pada tahap penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan sudah harus membuktikan asal-usul harta kekayaan hasil kejahatan dengan menerapkan pasal secara berlapis yakni tindak pidana asal (TPA) dan tindak pidana pencucian uang (TPPA) sehingga mempermudah dalam pembuktian hukum di Negara Swiss.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Xxxxxxx Xxxxxx, Penelitian Hukum dalam Praktek, Cetakan ke-tiga, Sinar Grafika Jakarta, 2002
Xxxxxxx, Xxxxxxx X, Xxxxx Xxxxxxxx and its impact on criminal behavior, an economic taxonomy, draf for comments, version date, 27 January 2005, University College London
Iur Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik Indonesia, PT. Xxxxxx Xxxxxxx, Cetakan ke-3, Agustus 2017
I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional, Bagian 2 (Bandung Mundar Maju, 2015
X.x Xxxxxx, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Xxxxxxx Xxxx, Tracing and Recovering the proceeds of crime, Cardiff University Wales UK, Geogria, June 2004
Xxxxxxxx Xxxx dalam Xxxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx, Implementasi Perampasa Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkait Dalam Tindak Pidana Korupsi, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
O.c. Xxxxxxx dan Associates, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Berdasarkan Konvesi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Alumni, Edisi Ke-2 Tahun 2015
Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1997
Pengantar Pidana Internasional, Penerbit Xxxxxx Xxxxxxx, Bandung, 2003
Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan singkat, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1992
Xxxxx Xxxxxx, Prespektif dan Upaya yang dilakukan dalam Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik Mengenai tindak pidana Pencucian Uang (money
loundering), makalah disampaikan pada Seminar tentang Bantuan HUkum Xxxxxx Xxxxx dalam Masalah Pidana, yang diselenggarakan oleh BPHN, Bandung, tanggal 29 s.d 30 Agustus 2006
,Xxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxx K, Tipologi dan Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang, cetak pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Depok, 2018
Jurnal dan Bahan Penelitian:
Xxxxx Xxxxx, Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjauan Hukum Tata Negara), Focus Group Discussion tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia, Kerjasama Departemen Luar Negeri dengan Unpad, 2008
Xxxxxxx Xxxxx, disampaikan dalam diskusi ahli tentang implementasi Stolen Asset Recovery dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 28 Januari 2008, dikutip dari Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Asset Tindak Pidana, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, tahun 2012
Fitri Lestari, Legitimasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai dalam Ratifikasi perjanjian internasional tertentu, Lentera Hukum, Vol. 5 Issue 3 (2018). Pp. 343-366, ISSN: 2355-4673 (Print) 2621-3710
(online) doi:10.19184/ejlhv513.8097, University of Jember 2018
Karmila Hippy, Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
Penelitian KHN, Stolen Aset Recovery initiative, tahun 2009.
Peraturan perundang-undangan:
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangasa Tahun 2003 tentang Anti Korupsi.
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangasa Tahun 2000 tentang kejahatan lintas batas negara terorganisir.
Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pencucian Uang
Perjanjian Tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Antara Pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss tanggal 4 Pebruari 2019.
Sumber Internet:
Hikmatul Akbar dan Xxxxxx Xxxxx Carmeli, Konvensi Anti Korupsi PBB dan Upaya Pengembalian Aset Hasil Korupsi ke Indonesia, xxxx://xxxxxxxxxx.xxxxx.xx.xx/0000/0/Xxxxxxxx_Xxxxx_Xxxxxxx_Xxxxxxxx_X nti_Korupsi_PBB.pdf.
xxxx://xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxx-xxxx-0000-xxxxxxx-xxxx-xxxxxxxx-xx-xxxxx-xxxxxx- xxxxxx-mau-dilengserkan/, diakses tanggal 3 Desember 2019
Xxxxx Xxxx, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional,xxxx://xxx.xxxxxxxxx.xxx.xx/xxxxx.xxx?xxxxxxxxxx_xxxxxxx& view=article&id=80:asset-recovery-tindak-pidana-korupsi-melalui- kerjasama-internasional&catid=23:makalah<emid=11,