AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU(PKWT) YANG TIDAK DIDAFTARKAN
AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU(PKWT) YANG TIDAK DIDAFTARKAN
(ANALISIS PUTUSAN MA No. 1020 K/Pdt sus/2010)
TESIS
Oleh :
NAMA : XXXXXXXXX XXXXXX
NPM :1620020034
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN 2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada ALLAH SWT yang memberikan kesehatan dan kesempatan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul: “AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU(PKWT) YANG TIDAK DIDAFTARKAN (ANALISIS PUTUSA MA No 1020 K/Pdt.sus/2010)”.
Terimakasih kepada ibu saya Xxxxxxxxx S.pd dan teriring doa buat Ayah saya Alm. Xxxxxx Xxxxxx X.X, dan juga saudara saya Xxxxxx xxxxx Xxxxx Xxxxxx S.kom yang tak pernah berhenti mendoakan dan memberikan motivasi kepada saya dalam menyelesaikan tesis ini
Penulis menyadari bahwa pemikiran dan pembahasan dalam tesis ini tidak terlepas dari dorongan, arahan, dan bimbingan dari yang terhormat Bapak Xx. XXXXX XXXXXXX ,S.H.,M,hum sebagai Pembimbing I dan Bapak Xx.XXXXX XXXXX ,S.H.,M,kn sebagai Xxxxxxxxxx XX. Oleh sebab itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Xxx Xxxbimbing yang telah berkenan meluangkan waktu dan memberi kesempatan kepada Penulis untuk berkonsultasi di tengah aktifitas dan kesibukannya.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Xx.Xxxxxxxx, M.AP, selaku Rektor pada Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, beserta para Wakil Rektor di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
2. Bapak Xx.Xxxxxxx Xxxxx, M.AP, selaku Direktur pada Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
3. Bapak Xx.Xxx Xxxxxx, SH.,M.hum, selaku Ketua Prodi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
4. Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxx,SH.,CN.,X.xx, selaku Sekretaris Prodi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
5. Seluruh Dosen dan Staf Program Pascasarjana Magister Kenotariatan yang telah memberi arahan dan bimbingan selama ini.
6. Sahabat saya Xxxxx Xxxxxxxxx XX, Xxxxxxxxxx Xxxxxxxxxx SH, Xxxxxx Xxxxxxxx XX, Xxxxxx Xxxxx Xxxx Xxxxxxx XX, X.Xxxxx Xxxxxxxx XX, Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx XX.I, Xxxxxxx Xxxxxxxx XX, Xxxxxxxx Xxxxxxx SH, Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx XX, Xxx Xxxxx Xxxx,SH.,X.Xx, Xxxxx Xxxxxxxxxxxx Xxxxxxxx XX, Xxxx Xxxxxx XX, Xxxx Xxxxxxx XX, Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxx XX, M.Z.A Xxxxx Xxxxxx XX, Xxxxxx Xxxxxx XX,I. Serta semua rekan rekan yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, Penulis ucapkan banyak terima kasih yang selalu memotivasi penulis dalam belajar dari awal kuliah sampai menyelesaikan tesis ini.
Dengan keterbatasan pengalaman, ilmu maupun pustaka yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai masukan bagi penulis untuk dimasa yang akan datang.
Akhir kata penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita semua.
Medan,
Penulis
XXXXXXXXX XXXXXX
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..................................................................................... | i |
BAB I : PENDAHULUAN.................................................................. | 1 |
A. Latar Belakang .................................................................... | 1 |
B. Perumusan Masalah ........................................................... | 6 |
C. Tujuan Penelitian ................................................................ | 7 |
D. Kegunaan/Manfaat Penelitian ............................................. | 8 |
E. Keaslian Penelitian.............................................................. | 8 |
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................. | 8 |
G. Metode Penelitian ............................................................... | 20 |
1. Spesifikasi Penelitian .................................................... | 20 |
2. Metode Pendekatan...................................................... | 20 |
3. Alat pengumpul data ..................................................... | 20 |
4. Prosedur Pengambilan dan pengumpulan Data ........... | 22 |
5. Analisis Data ................................................................. | 24 |
BAB II : Perjanjian Menurut Undang-Undang KUH Perdata ............ | 33 |
A. Perjanjian ............................................................................ | 25 |
B. Perjanjian Baku ................................................................... | 42 |
C. Wanprestasi ........................................................................ | 47 |
BAB III: PENGATURAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU(PKWT) DALAM UNDANG-UDANG N0.13 TAHUN 2003 49
A. PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU........................ 49
B. OUTSOURCING ................................................................. 70
C. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA(PHK). 78
D. PENYELESAIAN PERSELISIHAN INDUSTRIAL
DI INDONESIA(PHI)............................................................ 94
BAB IV: AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU YANG TIDAK DIDAFTARKAN ..................................... 98
A. ANALISIS PUTUSAN .......................................................... 98
1. GAMBARAN PT.AQUARUM SHRIMP(TERGUGAT). 99
2.GAMBARAN SINAP(PEKERJA/PENGUGAT). 100
B. ISI PERJANJIAN KERJA PENGUGAT DAN TERGUGAT .. 101
C. POKOK PERKARA ............................................................. 102
BAB V :Kesimpulan dan saran......................................................... 108
A. Kesimpulan ......................................................................... 108
B. Saran................................................................................... 111
Daftar Pustaka ................................................................................. 112
ABSTRAK
Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak tertentu. Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara selanjutnya disebut Kepmen 100/2004.Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak dinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak dinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. Dalam Pasal 59 ayat (1) UU No. 13/2003 joPasal 13 KEP. 100/ 2004, maka Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan
Kata Kunci; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Bentuk Perjanjian Kerja Waktu Perjanjian Tertentu, Pendaftaran Perjanjian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
ABSTRACT
According to Article 56 paragraph (1) Law No. 13 of 2003 concerning Manpower, work agreements can be made for a certain time and for an indefinite period. In Article 56 paragraph (2) Law Number 13 Year 2003 concerning Manpower regulates that a work agreement for a certain time is based on the period of time or completion of a particular job.
Pursuant to Article 1 number 1 Decree of the Minister of Manpower and Transmigration of the Republic of Indonesia KEP Number. 100 / MEN / VI / 2004 Concerning Provisions on the Implementation of Specific Time Work Agreements ("Kepmenakertrans 100/2004"), the definition of a Specific Time Work Agreement ("PKWT") is a work agreement between a worker / laborer and an employer to establish a working relationship within a certain time or for certain jobs or for certain temporary work, hereinafter referred to as Kepmen 100 / 2004. Work agreements made for a certain time must be made in writing (Article 57 paragraph 1 of Law Number 13 Year 2003 concerning Manpower). This provision is intended to further guarantee or safeguard things that are not desired in connection with the expiration of the employment contract.
Work agreements made for a certain time must be made in writing (Article 57 paragraph 1 of Law Number 13 Year 2003 concerning Manpower). This provision is intended to better guarantee or safeguard things that are not desired in connection with the expiration of the employment contract. In Article 59 paragraph (1) of Law No. 13/2003 jo. Article 13 KEP. 100/2004, the Work Agreement for a Specific Time (PKWT) must be registered by the employer to the agency in charge of the local district / city manpower no later than 7 (seven) working days from the signing
Keywords; Specific Time Work Agreements, Forms of Work Agreements When Specific Agreements, Registration of Specific Time Work Agreement
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Hubungan Kerja adalah suatu hubungan antara Pengusaha dengan Pekerja yang timbul dari Perjanjian Kerja yang diadakan untuk waktu tertentu maupun waktu yang tidak tertentu.1 Dengan demikian dalam Hubungan Kerja ada perjanjian atau suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.2 Sedangkan Perjanjian Kerja pada hakikatnya adalah suatu kontrak, yaitu perjanjian antara Pekerja yang menerima syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.3
Dalam ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, hakikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat diketahui melalui pengertian atau definisi bahwa PKWT adalah perjanjian kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk Pekerja tertentu.4
1Sendjun H. Xxxxxxxx, S.H., Pokok – Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2011), hlm. 63.
2Xxxxxxx, S.H., Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.9.
3Pasal 1 Angka (14) UU Ketenagakerjaan.
4Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.: KEP 100/MEN/VI/2004 tanggal 21 Juni 2004 Pasal 1 Angka (1).
1
Perjanjian Kerja berdasarkan jangka waktu tertentu yang dapat diadakan untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun.5 Meskipun pada prinsipnya PKWT itu adalah suatu Hubungan Kerja atau perhubungan hukum antara Pekerja dengan Pemberi Kerja atau suatu kontrak, mengingat antara lain telah diakui secara jelas dalam Undang – Undang Pasal 56 Ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “Perjanjian Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu”, namun masih ada saja banyak pihak di dalam masyarakat yang memersoalkan eksistensi perhubungan hukum PKWT tersebut.Dalam Perjanjian Kerja yang pada hakikatnya adalah suatu kontrak (acontract) tersebut, setidak-tidaknya berunsur, baik Pekerja maupun Pemberi Kerja,masing–masing mempunyai hak dan kewajiban. Kewajiban Pekerja pada umumnya tersimpul dalam hak Pemberi Kerja.
Perjanjian kerja dalam Bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkomst, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yangpertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai Perjanjian Kerja disebutkan bahwa: “suatu perjanjian di mana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan upah”.
5F.X. Djumialdji S.H., M.Hum, Perjanjian Kerja (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005),
hlm. 23.
Selain itu pengertian mengenai Perjanjian Kerja juga di ketengahkan oleh seorang pakar Hukum Perburuhan Indonesia, yaitu Bapak Xxxx. X.Xxxx Xxxxxxx, X.X. xxxx menerangkan bahwa perihal pengertian tentang Perjanjian Kerja, beliau mengemukakan bahwa: “Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah.”6
Adapun unsur-unsur dalam perjanjian kerja sebagaimana yang disebutkan dalam KUHPerdata Pasal 1320 yang menyatakan sahnya perjanjian antara lain :
1. Mereka sepakat untuk mengakibatkan diri;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Untuk membuat perjanjian kerja, maka ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata harus dipenuhi, baik yang berkaitan dengan sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Secara normatif, ketentuan tentang syarat sahnya perjanjian yang ada dalam pasal 1320 KUHPerdata diadopsi sepenuhnya oleh Pasal 52 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003
6Imam Soepomo, Hukum Perburuhan bagian Pertama Hubungan kerja, (Jakarta : XXXXXX Xxxxxxxxxxx, 1968), hlm. 57.
tentang Ketenagakerjaan. Hanya saja, karena keempat syarat sahnya perjanjian yang ada dalam Pasal 1320 KUHPerdata memiliki keterkaitan dengan asas-asas hukum perdata lainnya, maka pembahasan tentang syarat sahnya penyusunan perjanjian kerja mengacu kepada KUHPerdata dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Suatu hal tertentu dalam perjanjian kerja berkaitan dengan obyek yang diperjanjikan, yaitu tentang pekerjaan. Sedangkan suatu sebab yang halal berkaitan dengan kausa perjanjiannya yang tidak boleh merupakan kausa yang dilarang oleh undang-undang, serta bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Tentang masalah ini Subekti berpendapat bahwa: “Bagi mereka yangakan melakukan hubungan hukum dalam melaksanakan hubungan kerja tersebutdilandasi atas suatu perjanjian kerja, yang mana perjanjian kerja tersebut bersumber dari suatu perjanjian perburuhan, maka pihak- pihak diberikan kebebasan untuk membuat apa saja atas perjanjian kerja, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta norma kesusilaan. Dengan perkataaan lain memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada warga negara, untuk mengadakan perjanjian berisi dan dalam bentuk apa saja, sepanjang tidak melanggar undang- undang, ketertiban umum, dan kesusilaan7
Dari ketentuan mengenai syarat-syarat sahnya Perjanjian Kerja tersebut, tampak bahwa ketentuan mengenai pencatatan Perjanjian Kerja
7Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. IV, (Jakarta : PT. Intermasa, 1979), hlm. 13.
di Disnaker tidak sebagai syarat sahnya Perjanjian Kerja. Disamping itu juga berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata jo. Pasal 1338 KUH Perdata yaitu azas konsensualisme dan azas pacta sunt servanda dihubungkan dengan Perjanjian kerja dimaksud maka perjanjian kerja yang telah disepakati dan dibuat secara sah tersebut merupakan undang- undang bagi para pihak yang membuatnya yaitu Pengusaha dan karyawan. Sehingga, walaupun tidak ada pencatatan di Disnaker, surat PKWT antara Perusahaan dan karyawan seharusnya tetaplah sah. Namun kendati demikian masalah yang sering terjadi masih banyaknya perkara didalam Pengadilan Penyelesaian Hubungan Industrial (PHI) dimana hakim sering memutuskan bahwa perjanjijian kerja waktu tertentu yang tidak dicatatkan ke dinas tenaga kerja dianggap batal demi hukum , dimana hal tersebut merugikan para pihak buruh.
Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap penerapan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam dunia usaha yang akan dituangkan dalam bentuk Tesis dengan judul : “Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak didaftarkan Sejak Berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang masalah, maka pokok-pokok permasalahan yang dapat diangkat dalam penulisan Tesis ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan hukum perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
2. Bagaimana perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat para pihak yang diatur oleh Undang-Undang No13 tahun 2003?
3. Bagaimana Akibat Hukum perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak didaftrakan dalam penyeselesaian sengketa Hubungan Industrial (Analisis putusan MA No.1020 K/Pdt sus/2010)?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2. Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan hukum perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat para pihak.
3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap perjanjian kerja waktu yang tidak didaftarkan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat/kegunaan yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis, yaitu :
1. Kegunaan Teoritis
Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan bidang ilmu hukum pada umumnya dan pada bidang hukum ketenagakerjaan khususnya.
2. Kegunaan Praktis
Sebagai sumbangan pemikiran bagi kalangan akademisi dalam penjabaran mengenai sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam hukum ketenagakerjaan. Selain itu juga sebagai sumbangan bagi para praktisi dalam pengaturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), khususnya mengenai arti dari Akibat hukum terhadap pekerja/buruh yang bekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertent yang tidak didaftarkan
E.Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan, penelitian tentang tanggung jawab pengembang perumahan dalam penyediaan fasilitas umum sampai saat ini belum pernah diteliti. Namun apabila suatu saat ditemukan penelitian yang sejenis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dapat melengkapinya.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
a. Teori Keadilan
Teori Hukum Alam sejak Xxxxxxxx hingga Xxxxxxxx Xxxx, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.8 Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Teori-teori itu dapat disebut sebagai teori keadilan Xxxxxxxxxxx yang dapat ditemukan dalam buku nicomachean ethics, dan teori keadilan sosial Xxxx Xxxxx dalam buku a theory of justice. Selanjutnya mengenai teori-teori keadilan tersebut dapat dipahami melalui uraian berikut di bawah ini.
Pandangan Xxxxxxxxxxx tentang keadilan bisa didapatkan dalam karya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khusus, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Xxxxxxxxxxx, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukum, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.9
Pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan, namun Xxxxxxxxxxx membuat pembedaan penting antara
8 Xxxx Xxxxxxxx, 1995, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cet VIII, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 196.
9 Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hlm. 24
kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit, yang sekarang biasa dipahami tentang kesamaan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan, prestasi, dan sebagainya.
Berdasarkan pembedaan ini Xxxxxxxxxxx menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama- sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangka konsepsi di wilayah keadilan distributif, bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Dalam keadilan yang kedua, bahwa yang menjadi persoalan bahwa ketidaksetaraan disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan.
Keadilan distributif menurut Xxxxxxxxxxx berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelas bahwa apa yang ada dibenak Xxxxxxxxxxx bahwa distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku
dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikan, yakni nilai bagi masyarakat.10
Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Apabila suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang pantas perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggu tentang “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Uraian tersebut nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.11
Xxxxxxxxxxx menekankan perlu dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Berdasarkan pembedaan Xxxxxxxxxxx, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk
10 Ibid, hlm. 25
11 Ibid
perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.12
Sedikit berbeda dengan Xxxxxxxxxxx, Xxxx Xxxxx dalam buku a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.
Istilah perbedaan sosial-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus.13
Xxxxx mengemukakan dalam teorinya mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Xxxx, Xxxxxxx dan Xxxx. Xxxxx berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Xxxxx juga berpendapat bahwa
12 Ibid, hlm. 26-27
13 Ibid, hlm. 27
teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.
Menurut Xxxxx, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah dan hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang, supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
Lebih lanjut Xxxx Xxxxx menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang
bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.14
Prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan yang dialami kaum lemah.
Xxxx Xxxxx menyatakan dua prinsip keadilan yang dipercaya akan dipilih dalam posisi awal. Pada bagian ini Xxxx Xxxxx hanya akan membuat komentar paling umum, dan karena itu formula pertama dari prinsip-prinsip ini bersifat tentative. Kemudian Xxxx Xxxxx mengulas sejumlah rumusan dan merancang langkah demi langkah pernyataan final yang akan diberikan nanti. Xxxx Xxxxx yakin bahwa tindakan ini membuat penjelasan berlangsung dengan alamiah.
14 Xxxx Xxxxx, 1973, A Theory of Justice, Oxford University Press, London, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Xxxxx Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxxxx, 2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 69
Pernyataan Xxxx Xxxxx mengenai dua prinsip keadilan adalah sebagai berikut:15
Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa, sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang, dan
(b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. Ada dua frasa ambigu pada prinsip kedua, yakni “keuntungan semua orang” dan “sama- sama terbuka bagi semua orang”. Pengertian frasa-frasa itu secara lebih tepat yang akan mengarah pada rumusan kedua. Versi akhir dari dua prinsip tersebut diungkapkan dalam mempertimbangkan prinsip pertama.
Prinsip-prinsip keadilan tersebut terutama menerapkan struktur dasar masyarakat. Mereka akan mengatur penerapan hak dan kewajiban dan mengatur distribusi keuntungan sosial dan ekonomi. Sebagaimana diungkapkan rumusan mereka, prinsip-prinsip tersebut menganggap bahwa struktur sosial dapat dibagi menjadi dua bagian utama, prinsip pertama diterapkan yang satu, yang kedua pada yang lain. Mereka membagi antara aspek-aspek sistem sosial yang mendefinisikan dan menjamin kebebasan warganegara dan aspek-aspek yang menunjukkan dan mengukuhkan ketimpangan sosial ekonomi. Kebebasan dasar warga Negara adalah kebebasan politik (hak untuk memilih dan dipilih menduduki jabatan publik) bersama dengan kebebasan berbicara dan
15 Ibid, hlm. 72
berserikat, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan berpikir, kebebasan seseorang seiring dengan kebebasan untuk mempertahankan hak milik (personal), dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang sebagaimana didefinisikan oleh konsep rule of law. Kebebasan- kebebasan ini oleh prinsip pertama diharuskan setara, karena warga suatu masyarakat yang adil mempunyai hak-hak dasar yang sama.
Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yangdeliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.16
Menurut Xxxxxx Xxxxxxxx, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut :17
16 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.158.
17 Dwika “keadilan dari dimensi sistem hukum, diakses paa 24 juli 2014
1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan
3. Asas kemanfaatan hukum
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan18
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu
18 Xxxxxxxxx Xxxx, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm.59.
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.19
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum . Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.20
Teori Perlindugan Hukum
Kata perlindungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti tempat berlindung atau merupakan perbuatan (hal) melindungi, misalnya memberi perindungan kepada orang yang lemah.¹ Sedangkan pengertian hukum menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx adalah kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, namun karena berlaku secara umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya
19 Xxxxxx Xxxxxxxx, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Xxxxxx Xxxxx,Bandung, 1999, hlm.23.
20 Xxxxxx Xxx, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm.82-83.
dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah.- kaedah.² Jadi, perlindungan hukum adalah suatu perbuatan untuk melindungi subjek hukum dengan peraturan-peraturan yang berlaku dan dipaksakan dengan suatu sanksi.
Menurut Xxxxxxxxxx dalam buku yang ditulis oleh Xxxxxxxxx Xxxxxxx mengungkapkan bahwa “Teori perlindungan hukum Xxxxxxx bahwa hukum bertujuan mengintergrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di pihak lain pihak.³ Perlindungan hukum merupakan kebutuhan dalam lalu lintas hukum masyarakat, karena lalu lintas tersebut terdapat kepentingan dalam hubungan hukum masyarakat yang disebut dengan kepentingan hukum.21
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dari penelitian ini adalah penelitian Analisis deskriptif yang akan dilakukan dengan cara memaparkan tentang masalah hukum perdata dalam sebuah perjanjian dengan menjelaskan berbagai aspek dalam Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Kerja waktu Tertentu yang Tidak Didaftarkan kepihak
21 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2000), hlm. 53
Dinas Tenaga Kerja dengan Analisis Putusan MA No.1020 KPdt/sus/2010.
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan Metode Komparatif yakni metode yang digunakan dalam penelitian yang diarahkan untuk mengetahui apakah antara dua variable ada perbedaan dalam suatu aspek yang diteliti. Dalam penelitian ini tidak ada manipulasi dari peneliti. Penelitian dilakukan secara alami, dengan mengumpulkan data dengan suatu instrument. Hasilnya dianalisis secara statistic untuk mencari perbedaan variable yang diteliti., yaitu suatu studi yang dapat membahas aspek yuridisnya sekaligus membahas aspek-aspek sosial yang melingkupi gejala hukum tertentu.22 Pendekatan yuridis sosiologis (socio-logical research) artinya melakukan pengkajian terhadap aturan-aturan, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan penelitian diarahkan pada fungsi hukum dalam masyarakat dikaitkan dengan hukum nasional positif yang berlaku di Indonesia. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam bidang hukum adalah masalah-masalah sosial yang memerlukan pendekatan secara sosiologis untuk menganalisa masalah-masalah hukum.23 Aspek yuridis dikaitkan dengan peraturan perundang-
22 Xxxxx Xxxxxxx, dkk, 2009, Petunjuk Penulisan Usulan Penelitian Xxx Xxxxx, Penerbit UNIKA Sogiejopranata, Semarang, hlm. 7
23 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hlm. 26
undangan yang berlaku, yang berhubungan dengan Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Kerja waktu Tertentu yang Tidak Didaftarkan kepihak Dinas Tenaga Kerja dengan Analisis Putusan MA No.1020 KPdt/sus/2010
3. Alat Pengumpul Data
a. Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden atau narasumber atau informan untuk mendapatkan informasi.24
b. Daftar pertanyaan, yaitu menyampaikan daftar pertanyaan tertulis secara terbuka kepada narasumber penelitian tentang permasalahan dalam penelitian ini.
Alat atau instrumen dalam penelitian ini terdiri dari instrument utama dan instrument penunjang. Instrumen utama adalah penelitian sendiri, sedangkan instrumen penunjang adalah daftar pertanyaan, catatan lapangan dan rekaman tape recorder.25
4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian Doktrinal maka untuk memperoleh data yang mendukung kegiatan pengumpulan dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan data-data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah inventarisasi data
24 Xxxxx Xxxxx ND dan Xxxxxxxx Xxxxxx, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 161
25 S. Xxxxxxxx, 1992, Metodologi Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Tarsito, Bandung, hlm.
9
sekunder yang berupa bahan-bahan hukum yang ada. Melalui sumber informasi secara online (Internet) maupun secara Konvensional. Adapun jalannya penelitian dalam penelitian ini adalah:
a. Tahap Persiapan
Tahap ini Peneliti mulai dengan penyusunan proposal penelitian dan mengajukan usulan penelitian kepada dosen pembimbing, setelah itu dikonsultasikan demi penyempurnaan. Peneliti kemudian mengumpulkan bahan-bahan hukum yang digunakan, antara lain peraturan-peraturan hukum terkait serta buku-buku yang akan digunakan untuk analisis data.
b. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan penelitian dimulai setelah proposal penelitian mendapatkan persetujuan dari pembimbing dan telah dilaksanakan seminar proposal. Tahap pelaksanaan dilakukan dengan melakukan analisis terhadap masalah yang diteliti. Pada tahap ini, peraturan perundang-undangan dan buku-buku yang relevan ditelaah untuk mendapatkan pemahaman lebih terhadap masalah yang diteliti .
c. Tahap Penyelesaian
Pada tahap ini dilakukan evaluasi terhadap hasil penelitian dengan melakukan analisis data yang selalu dikonsultasikan dengan dosen pembimbing untuk perbaikan dan penyempurnaan hasil penelitian
5. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian.
b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan.
c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan
BAB II
PERJANJIAN MENURUT UNDANG-UNDANG KUH Perdata.
A. PERJANJIAN X.Xxxxertian Perjanjian
Jika membicarakan tentang defenisi perjanjian, maka pertama-tama harus diketahui ketentuan pengertian perjanjian yang diatur oleh KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi:Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.
Para Sarjana mengatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata di atas memiliki banyak kelemahan. Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx menyatakan kelemahan-kelemahan Pasal 1313 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
a. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari dua pihak. Seharusnya dirumuskan “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
b. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus
23
Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai kata persetujuan.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan kawin, janji kawin yang diatur dalam lapangan Hukum Keluarga.
d. Tanpa menyebut tujuan
Dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak
jelas untuk apa.26
R. Setiawan berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkap definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata “perbuatan” yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Menurut
R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang
26 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, ( Bandung PT. Cipta aditya 1992 ), hlm.78
atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.27
Pengertian perjanjian akan lebih baik apabila sebagai suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Untuk mempermudah dan mengetahui pengertian perjanjian dari para sarjana, maka ada beberapa pendapat yang dikemukakan sebagai berikut :
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.28
Menurut X.X.X.X Xxxxxxxdiningrat :
“Perjanjian adalah suatu perbuatan berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh Undang-Undang”.
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx :
“Perjanjian adalah sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.
Berdasarkan rumusan pengertian perjanjian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan maka perjanjian itu terdiri dari:
27 R. Setiawan, Pokok-PokokHukumPerikatan, ( Bandung:BinaCipta, 1979 ), hlm. 49
28 R. Subekti, HukumPerjanjian, ( Jakarta:Intermasa, 1987 ), hlm.1
a. Ada pihak-pihak ;
Sedikitnya dua orang atau lebih, pihak ini disebut subyek perjanjian, dapat manusia atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum seperti yang di tetapkan oleh Undang-undang.
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak
Persetujuan antara pihak-pihak tersebut sifatnya tetap bukan merupakan suatu perundingan. Dalam perundingan umumnya dibicarakan mengenai syarat-syarat dan obyek perjanjian maka timbulah persetujuan.
1.Ada prestasi yang akan di laksanakan
pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang dan penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang.
2. Ada bentuk tertentu lisan atau tulisan ;
Perlunya bentuk tertentu karena ada ketentuan dalam Undang-undang yang menyebutkan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
a) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian ;
Dari syarat-syarat tertentu dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-syarat ini terdiri dari syarat pokok yang menimbulkan hak dan kewajiban pokok.
b) Ada tujuan yang hendak di capai
Tujuan yang hendak di capai dalam perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri dalam menentukan isi perjanjian meskipun didasarkan atas kebebasan berkontrak akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak di larang oleh Undang-undang.
B. Asas – asas Hukum Perjanjian
Beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu29;
a) Asas Konsensualitas
Dengan asas ini maka suatu perjanjian pada dasarnya sudah ada sejak tercapainya kata sepakat diantara para pihak dalam perjanjian tersebut. Asas Konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling mengikatkan diri dan kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu akan di penuhi. Xxxxxx dalam Ibrahim30 menyatakan, asas konsensualitas merupakan suatu puncak peningkatan
29 Xxxxxxx Xxxxxxx, “Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) Xxx Xxxx Kebebasan Bekontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank”, Penerbit CV. Utomo, 2003, hlm. 37.
30 Ibid hlm. 38
manusia yang tersirat dalam pepatah : “een man een man, een word een word”. Selanjutnya dikatakan olehnya bahwa ungkapan “orang harus dapat di pegang ucapanya”, merupakan tuntutan kesusilaan, akan tetapi Pasal 1320 KUH Perdata menjadi landasan hukum untuk penegakanya. Tidak terpenuhinya syarat konsensualisme dalam perjanjian menyebabkan perjanjian dapat di batalkan, karena tidak memenuhi syarat subyektif.
b) Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian
Yaitu bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya. Prestasi merupakan kewajiban yang harus di penuhi oleh pihak sesuai dengan syarat – syarat perjanjian, misalnya
c) Asas Kebebasan Berkontrak
Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh Undang- undang di berikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan
ketertiban umum. (Pasal 1338 Jo 1337 KUH Perdata). Kebebasan berkontrak adalah asas yang esensial, baik bagi individu dalam mengembangkan diri baik di dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga beberapa pakar menegaskan kebebasan berkontrak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus di xxxxxxx00. Negara-negara yang mempunyai sistem hukum Common Law mengenal kebebasan berkontrak dengan istilah Freedom of Contract atau laisseiz faire. Yang dirumuskan oleh Xxxxxx X.X. dalam kasus “Printing and Numerical Registering Co. Vs. Xxxxxx” 32;…… men of full age understanding shall have the utmost liberty of contracting, and that contracts which are freely and voluntarily entered into shall be held and onforce by thecourts…… you are not lightly to interfere with this freedom of contract”.
d) Asas Itikad Xxxx dan Kepatutan
Asas ini menegaskan bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus di dasarkan pada itikad baik dan kepatutan, yang mengandung pengertian pembuatan
31 Ibid, hlm. 40
32 Jessel dalam Haridjan Xxxxx, “Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.39
perjanjian antara para pihak harus di dasarkan pada kejujuran untuk mencapai tujuan bersama. Pelaksanaan perjanjian juga harus mengacu pada apa yang patut dan seharusnya di ikuti dalam pergaulan masyarakat. Asas itikad baik dan kepatutan berasal dari hukum Romawi, yang kemudian di anut oleh Civil Law, bahkan dalam perkembanganya juga dianut oleh beberapa negara yang berfaham Common Law. Pengertian Itikad Baik dan Kepatutan berkembang sejalan dengan perkembangan hukum kontrak Romawi, yang semula hanya memberikan ruang bagi kontrak-kontrak yang telah di atur dalam Undang-undang (iudicia stricti iuris yang bersumber pada civil law). Diterimanya kontrak-kontrak yang didasarkan pada bonae fides yang mengharuskan diterapkanya asas itikad baik dan kepatutan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian.33 Masalah yang muncul, hingga saat ini belum satu kata untukmemberikan dasar yang tepat sebagai patokan apakah perjanjian telah dilaksanakan atas dasar itikad baik dan kepatutan atau belum. Prakteknya di serahkan kepada Xxxxx untuk menilai hal tersebut. Hal ini juga terjadi di negara-negara Anglo Xxxxx, xxxxx-hakim di negara-negara anglo saxon belum mempunyai standar yang
33 Xxxxxx Xxxxxxxxx, “Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak”, Universitas Indonesia, 2003,hlm. 131.
telah disepakati untuk mengukur asas tersebut. Biasanya frase itikad baik dan kepatutan selalu dikaitkan dengan makna fairness, reasonable standar of dealing, a common ethical sense34.
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila telah memenuhi syarat-syarat perjanjian yang telah di tentukan oleh Undang-undang. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat yang ada dalam Undang-undang diakui oleh hukum, sebaliknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak di akui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Karena itu selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi syarat perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat perjanjian itu berlaku diantara mereka. Apabila suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim akan membatalkan atau perjanjian itu batal. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian para pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut dibawah ini yaitu :
1. Kesepakat atau persetujuan Para Pihak ;
Sepakat yang dimaksudkan bahwa subyek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjia yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
34 Ibdi hlm.130
dikehendaki oleh pihak yang lain, jadi mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik.
2. Kecakapan Para Pihak dalam membuat suatu Perjanjian ;
Orang yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikiranya adalah cakap menurut hukum. Menurut Xxxxx 1320 KUH Perdata yang dimaksudkan cakap menurut hukum adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah kawin atau pernah menikah.
3.Suatu hal tertentu ;
Suatu hal tertentu maksudnya adalah sudah ditentukan macam atau jenis benda atau barang dalam perjanjian itu. Mengenai barang itu sudah ada atau sudah berada ditangan pihak yang berkepentingan pada waktu perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh undang-undang dan juga mengenai jumlah tidak perlu untuk disebutkan.
4. Suatu causa atau sebab yang halal ;
Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang- undang, kesusilaan ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Syarat-syarat dalam suatu perjanjian dibagi dalam dua (2) kelompok, yaitu :
1. Syarat subyektif ;
Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek- subyek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, yang meliputi :
a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
b) Kecakapan pihak yang membuat perjanjian.
c) Syarat obyektif ;
Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu sendiri, yang meliputi :
a) Suatu hal tertentu,
b) Suatu causa atau sebab yang halal.
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap. Jadi perjanjian yang telah dibuat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.
D. Xxxxxx dan Isi Perjanjian
Pada umumnya suatu perjanjian tidak terikat kepada bentuk-bentuk tertentu. Para pihak dapat dengan bebas menentukan bentuk perjanjian yang diinginkan sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Bentuk yang dapat dipilih oleh para pihak adalah :
a) Perjanjian dalam bentuk lisan ;
b) Perjanjian dalam bentuk tertulis ;
Perjanjian dalam bentuk tertulis lebih sering dipilih sebab Memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dari pada bentuk lisan apabila terjadi perselisihan. Untuk perjanjian jenis tertentu, Undang-undang mengharuskan bentuk-bentuk tertentu yang apabila tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut. Dalam hal ini, bentuk tertulis tidak hanya berfungsi sebagai alat pembuktian saja, namun juga merupakan syarat untuk adanya (bestaanwaarde) perjanjian itu. Misalnya dalam Pasal 38 KUHD ditentukan bahwa perjanjian untuk mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan Akta Notaris. Isi perjanjian merupakan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperjanjikan oleh para pihak. Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat tersebut berisi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak, dan dalam pembuatanya tercermin asas kebebasan berkontrak. Secara garis besar, syarat-syarat dalam perjanjian dapat dikelompokan sebagai berikut :
1. Syarat yang tegas,
Syarat yang tegas adalah syarat-syarat yang secara khusus disebutkan dan disetujui oleh para pihak pada waktu membuat suatu perjanjian baik secara tertulis maupun secara lisan. Syarat perjanjian yang disepakati itu biasanya digolongkan menjadi dua macam :
a) Syarat pokok ;
Yaitu syarat penting yang fundamental bagi setiap perjanjian sehingga tidak dipenuhinya syarat ini akan mempengaruhi tujuan utama dari perjanjian tersebut. Pelanggaran atas syarat ini memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian, atau melanjutkanya dengan memperoleh ganti rugi.
b) . Syarat pelengkap ;
Yaitu syarat yang kurang penting, yang apabila tidak dipenuhi hanya akan menimbulkan kerugian tetapi tidak mempengaruhi tujuan utama dari suatu perjanjian tersebut. Pelanggaran atas syarat ini memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untukn menuntut ganti rugi.
2. Syarat yang diam-diam (implied terms),
Syarat yang diam-diam adalah syarat yang tidak ditentukan secara tegas mengenai suatu hal dalam perjanjian, tetapi pada dasarnya diakui oleh para pihak karena memberikan akibat komersial terhadap maksud
para pihak. Syarat ini berlaku apabila tidak terdapat ketentuan syarat yang tegas mengenai persoalan yang sama35
a) Klausula eksonerasi
Klausula eksonerasi adalah klausula atau syarat yang berisi ketentuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan perjanjian. Oleh karena itu, untuk membatasi dan mengurangi seandainya ada kerugian pada pihak yang lemah, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a) Dengan memperhatikan ketentuan undang-undang yang bersifatmengatur hak dan kewajiban berdasarkan itikad baik,
b) Penulisan klausula eksenorasi ini dibuat secara jelas dan Mudah dibaca oleh setiap orang yang mengadakan Perjanjian dengan pihak itu,
c) Klausula eksenorasi tidak boleh mengenai syarat pokok,
d) Klausula eksenorasi memuat kewajiban menanggung bersama akibat yang timbul dari perjanjian itu.
E. Berakhirnya Perjanjian
Suatu perjanjian berakhir apabila tujuan dari perjanjian tersebut telah tercapai, yaitu dengan terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak. Dalam hal ini hapusnya perjanjian dapat pula mengakibatkan hapusnya
35 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, 1990 “Hukum Perikatan”, PT. Citra Xxxxxx xxxxxx, Bandung 1990 Hal. 125
perikatan, yaitu apabila suatu perjanjian hapus dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat daripada pembatalan berdasarkan wanprestasi (Pasal 1266 KUH Perdata), maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan.
a) Menurut R. Setiawan ada beberapa cara yang dapat mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian, yaitu 36 : Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak ; Suatu perjanjian berakhir pada saat yang telah ditentukan oleh para pihak, misalnya pada perjanjian kerja waktu tertentu yang batas waktunya berdasarkan waktu tertentu,
b) Undang-undang telah menetapkan batas waktu berlakunya suatu perjanjian ;Misalnya, menurut Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata bahwa ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu tidak melakukan pemisahan harta selama jangka waktu tertentu hanya mengikat selama lima (5) tahun.
c) .Para Pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus.misalnya ;Pada Pasal 1603 KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian kerja berakhir bilamana meninggalnya siburuh,
36 Setiawan R, “Pokok-pokok Hukum Perjanjian”, Bina Cipta. Bandung, 1987. Hlm.53
Pada Pasal 1646 KUH Perdata menentukan salah satu sebab berakhirnya suatu perjanjian persekutuan adalah :
a) Dengan musnahnya barang atau di selesaikanya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan,
b) Jika salah satu seorang sekutu meninggal atau dibawah pengampuan, atau dinyatakan pailit,
c) Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging).
Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak, atau oleh salah satu pihak dan hanya ada perjanjian - perjanjian yang bersifat sementara.
d) Perjanjian berakhir karena putusan hakim, Misalnya dalam suatu perjanjian sewa menywa rumah tidak ditentukan kapan berakhirnya, maka untuk mengakhiri perjanjian dapat dilaukan dengan Putusan Pengadilan Xxxxx (Pasal 10 ayat
(3) PP. No. 51 tahun 1981),
e) Tujuan telah tercapai, Dengan tercapainya tujuan perjanjian, maka perjanjian itu akan nerakhir. Misalnya dalam perjanjian jual beli mobil, setelah diserahkan oleh penjual dan pembeli telah membayar harganya, maka perjanjian itupun berakhir.
f) Dengan perjanjian para pihak (herroeping), Perjanjian tersebut sebenarnya belum berakhir, tapi atas kesepakatan para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut.
B. Perjanjian Baku
a. Pengertian Perjanjian Baku
Didalam kepustakaan hukum Inggris untuk istilah perjanjian baku digunakan istilah standarized agreement atau standarized contract. Sedangkan kepustakaan Belanda menggunakan istilah standaarized voorwaarden, standard contract. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx menggunakan istilah perjanjian baku, baku berarti ukuran, acuan. Jika bahasa hukum di bakukan berarti bahasa hukum itu ditentukan ukuranya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap, yang dapat menjadi pegangan umum.37 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxx merumuskan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausula – klausulanya sudah di bakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.38 Menurut Hondius Dalam Xxxxxxxx Patrik39 menyatakan bahwa syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah syarat-syarat konsep tertulis yang di muat dalam beberapa perjanjian yang masih akan di buat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa merundingkan terlebih dahulu isinya. Syarat baku yang di sebutkan umumnya juga dinyatakan sebagai perjanjian baku. Jadi pada asasnya isi perjanjian yang di bakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi.
37 Xxxxxxxx Xxxxxxx, “Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank”, CV. Utomo, Bandung, 2003, Hlm. 52.
38 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxx, “Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam perjanjian Kredit Bank di Indonesia”, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. Hal-66.
39 Xxxxxxxx Xxxxxx, “Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahr Dari Perjanjian Dan dari Undang-undang)”, CV. Xxxxxx Xxxx. 1994. hlm.55.
Menurut Mr. FAJ. Gras, 1984 : 4 – 5 dalam Xxxxxxxx Xxxxxx menyatakan bahwa secara yuridis yaitu siapa yang nandatangani suatu perjanjian baku telah terikat dengan isi perjanjian itu, meskipun pihak lain tidak mempunyai pilihan.40
b. Dasar Pejanjian Baku
Menurut Xxxxx Xxxxx dalam Xxxxxxxx Patrik41, asas – asas hukum perjanjian yan di atur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ada tiga (3) yaitu
1. Asas Konsensualisme; Bahwa, perjanjian yang di buat umumnya bekan secara formaltetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karenapersetujuan kehendak atau konsensus semata-mata.
2. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian; Bahwa, pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak.
3. Asas Kebebasan Berkontrak; Bahwa orang bebas, membuat atau tidak membuat perjanjian , bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih undang-undang mana yang akan di pakai untuk perjanjian itu. Dari ketiga
40 Xxxx, Xxxxxxxx Patirk, hlm.3
41 Ibid, Xxxxxxxx Xxxxxx, Hal-05.
asas tersebut di atas yang paling penting adalah asas kebebasan berkontrak, yang dalam bahasa asing disebut dengan contract vrijheid, contracteer vrijheid atau partij autonomie, freedom of contract. Sesuai dengan pernyataan Asser-Rutten : “Asas kebebasan berkontrak tidak ditulis dengan kata-kata yang banyak di dalam Undang-undang tetapi seluruh hukum perdata kita didasarkan padanya”.42
c. Hak Dan Kewajiban Para Pihak
Perjanjian melakukan jasa diatur dalam pasal 1601 KUH Perdata yang berbunyi:“selainnya perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka adalah dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan”
Dari ketentuan tersebut, perjanjian melakukan jasa diatur ketentuan ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan oleh para pihak. Bila para pihak tidak memperjanjikan, maka pelaksanaan perjanjian itu dilakukan menurut kebiasaan.
Berdasarkan pasal tersebut dapat dilihat bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tidak diatur dalam KUH Perdata, melainkan dalam ketentuan-ketentuan khusus untuk itu jika ada peraturan khusus yang mengaturnya. Bila tidak ada yang mengaturnya, maka hak dan
42 Xxxxxxxx Xxxxxx, Xxxx, Hlm.6
kewajiban para pihak ditentukan sendiri oleh para pihak dalam syarat perjanjian yang dibuat. Jika dalam syarat perjanjian tidak dicantumkan maka hal tersebut ditentukan menurut kebiasaan. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.
d. Macam-Macam Perjanjian Adapun macam-macam perjanjian;43
a. Perjanjian jual beli
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu barang,serdangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya. Terjadinya perjanjianini jika kedua belah pihak mencapai persetujuan tentang barang dan harganya.
b. Perjanjian sewa menyewa.
Perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakaiselama suatujangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan. Tujuan dari perjanjian ini untuk memberikan hak pemakaian saja,bukan hak milik atas suatu benda.
43 R Subekti , Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta, Intermasal 1985
c. Pemberian atau hibah.
Pemberian ialah suatu perjanjian (obligatoir), dimana pihak yang satu menyanggupi dengan cuma-cuma (Om Niet) dengan secaramutlak (onherroepelijk) memberikan suatu benda pada pihak yang lainnya, pihak mana menerima pemberian itu. Perjanjian tersebut tidak dapat dicabut menurut kehendak satu pihak saja.
d. Perjanjian perdamaian.
Perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian di mana dua pihak membuat suatu perdamaian untuk menyingkiri atau mengakhiri suatu perkara, dalam perjanjian mana masing-masing melepaskan sementara hak-hak atau tuntutannya. Perjanjian ini harus dibuat secara tertulis dan tidak boleh secara lisan.
C. Wanprestasi
Wanprestasi adalah lalai, ingkar tidak memenuhi kewajiban dalam suatu perikatan. Untuk kelalaian ini, maka pihak yang lalai harus memberikan penggantian rugi, biaya dan bunga44. Menurut X. Xxxxx Xxxxxxx, SH “wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam ;45
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
44 X.X.X Xxxxxxxxxxx, Xxxx X.xxxxx.Xxxxxxxx. kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta,1987 hal 186
45 R Subekti , Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta, hlm.45
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat adanya wanpretasi adalah :46 Perikatan tetap ada. Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi.
46 Xxxxx XX, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, 2002, hlm. 181
BAB III
PENGATURAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU(PKWT)
dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 A.Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Pada mulanya perjanjian kerja diatur dalam BAB. Vll A Buku III KUH Perdata dengan judul “Perjanjian-perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan”. Pengaturan perjanjian kerja tersebut bersifat hukum privat namun dalam perkembanganya banyak ketentuan yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti peraturan baru lagi yang kebanyakan bersifat hukum publik. Hal itu wajar karena hukum perburuhan sebagai hukum yang berdiri sendiri mempunyai sifat hukum privat maupun sifat hukum publik.
Pengertian perjanjian kerja yang diatur dalam Pasal 1601(a) KUH Perdata yaitu dapat disimpulkan bahwa perjanjian
a. kerja merupakan perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan berdasarkan unsur wewenang perintah, untuk melakukan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu dengan menerima upah. Dalam Pasal tersebut terdapat 3 (tiga) hal pokok, yaitu :
1. pekerjaan yang dilakukan oleh buruh,
2. upah yang diberikan oleh majikan, 45
3. keadaan siburuh yang ada dibawah perintah si majikan. Ketentuan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian baru mengenai perjanjian kerja yaitu bahwa suatu perjanjian kerja adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pegusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat- syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Perjanjian kerja menurut Xxxx Xxxxxxx00 diartikan sebagai suatu perjanjian dimana pihak yang satu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain (majikan) selama suatu waktu tertentu dengan menerima upah dan pihak lain (majikan) mengikatkan diri untuk mempekerjakan pihak yang satu (buruh) dengan membayar upah.
Perjanjian kerja menurut Subekti48 adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas yang dalam bahasa Belanda disebut dienstverhording, yaitu suatu yang berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak lain.
47 xxx Xxxxxxx, “Hukum Perburuhan-bidang Hubungan Kerja”, cetakan VI, Penerbit Djamban, Jakarta, 1987 hlm.51
48 Subekti, “Aneka Perjanjian”, Alumni Bandung, 1977 . hlm. 63
Selanjutnya Xxxxxx Xxxxx49 menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu, yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban masing-masing terhadap satu sama lainya.
Istilah perjanjian kerja harus dibedakan dengan hubungan kerja, jadi tidak akan ada hubungan kerja apabila tidak dilakukan perjanjian kerja. Dalam praktek, hubungan kerja sering disebut sebagai hubungan perburuhan (labour relation) atau hubungan industrial.
2. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Waktu tertentu
Perjanjian kerja waktu tertentu juga termasuk perjanjian Kerja tertentu pada umumnya, sehingga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 kUH Perdata. Mengenai syarat sahnya perjanjian telah diatur tersendiri. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, maka agar perjanjian kerja yang diadakan itu sah, maka harus memenuhi syarat-syarat perjanjian seperti yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Adapun syarat-syarat perjanjian itu adalah sebagai berikut :
49 Xxxxxx Xxxxx, “Hukum Perburuhan dalam Tanya Jawab”, Jakarta : Ghalia.
Indonesia, 1990. Hal -1.
a) .Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu (antara buruh/tenaga kerja dan majikan). Jadi tidak boleh ada paksaan yang mengakibatkan perjanjian tersebut batal,
b) Adanya kemampuan/kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian,
c) Suatu hal tertentu, artinya bahwa isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum maupun kesusilaan. Isiperjanjian kerja adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tenga kerja serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban majikan50
Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu dibuat atas dasar yaitu sebagai berikut :
a) Kesepakatan kedua belah pihak ;
Kesepakatan kedua belah pihak merupakan kesepakatan bagi mereka atau pihak-pihak yang mengikatkan dirinya yaitu pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju dan sepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Semua hal yang didalam perjanjian kerja merupakan
50 Xxxxxx Xxxxxxxx, ” Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, Rajawali Pers, (edisi revisi), Jakarta. 2003. Hal- 95.
kehendak dari kedua belah pihak. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh pengusaha, begitu juga pengusaha menerima pekerja untuk dipekerjakan.
b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; Kedua belah pihak dalam perjanjian kerja yaitu pihak pekerja dengan pihak pengusaha cakap dalam membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap dalam membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan batasan umur dalam membuat perjanjian adalah minimal berusia 18 tahun selain itu seseorang dikatakan cakap dalam membuat perjanjian jika tidak terganggu jiwanya atau waras.
c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
Pekerjaan disini merupakan obyek perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yaitu pihak pengusaha dan pihak pekerja.
d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pekerjaan sebagai obyek dalam perjanjian kerja harus halal,
maksudnya tidak boleh bertentangan dengan Undang- undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini yang menyebabkan didalam suatu perjanjian kerja, jenis pekerjaan merupakan hal yang harusjelas disebutkan.
Keempat syarat sahnya perjanjian kerja waktu tertentu tersebut bersifat komulatif, yaitu harus dipenuhi semuanya dalam perjanjian kerja agar perjanjian kerja tersebut sah. Syarat pertama dan kedua disebut syarat syarat subyektif, karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat yang ketiga dan syarat keempat disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Jika syarat obyektif tidak dipenuhi, maka akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak-pihak yang tidak memberi kesepakatan secara bebas dan orang tua atau pengampu bagi orang-orang yang dibawah pengampuan dapat meminta pembatalan perjanjian kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.
3. Unsur Perjanjian Kerja Waktu tertentu
Berdasarkan pengertian perjanjian kerja diatas, dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja tersebut yaitu :
a. Adanya unsur work atau pekerjaan, dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang di
perxxxxxxxx dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja tersebut. Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri, haruslah berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja.51
b. Adanya unsur perintah, manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerjaan yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai yang diperjanjikan bentuk dari perintah tersebut dapat secara tertulis yang terdapat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pekerja diwajibkan untuk mentaati seluruh perjanjian kerja yang ada dan berlaku didalam perusahaan tempatnya bekerja. Disinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan yang berdasarkan ketentuan Pasal 1603 huruf (b) KUH Perdata yang berbunyi :
“Si buruh diwajibkan menaati aturan-aturan tentang hal melakukan pekerjaan serta aturan-aturan yang ditujukan ada perbaikan tata tertib dalam perusahaan si majikan didalam batas-batas, aturan-aturan, Undang undang atau perjanjian, maupun reglemen atau jika tidak ada menurut kebiasaan”.
Dalam perjanjian kerja unsur wewenang perintah memiliki peranan pokok, tanpa adanya unsur wewenang perintah
51 Xxxxxx Xxxxxx, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, Buku Pegangan bagi Pekerja Untuk mempertahankan hak-haknya, Citra Aditya, Bandung,1994, Hal-67.
berarti antara kedua belah pihak ada kedudukan yang sama yaitu yang memerintah dan yang diperintah.
c. Adanya waktu tertentu waktu tertentu memiliki pengertian yang sangat luas, dapat berarti waktu tidak tertentu, artinya berakhirnya waktu perjanjian pada saat perjanjian kerja tidak ditetapkan, atau waktu tertentu, yang berarti berakhirnya waktu perjanjian ditetapkan pada saat dibuat perjanjian atau berakhirnya disetujui pada saat pekerjaan yag disepakati selesai. Oleh karena itu pekerja tidak boleh melaksanakan pekerjaan sekehendak hatinya. Begitu pula simajikan tidak boleh memperkerjakan pekerjanya seumur hidup,52 karena memperkerjakan pekerja selama seumur hidup sama dengan perbudakan dan selain itu pekerjaan yang dilakukan pekerja haruslah pekerjaan yang memberikan manfaat bagi majikan, oleh karenanya pekerja tidak boleh melakukan pekerjaan seenaknya. Dalam KUH Perdata tidak ada Pasal mengenai waktu tertentu. Para sarjana hukum memberikan definisi yang berbeda-beda. Mengenai apa yang dimaksud dengan waktu
52 Xxxx Xxxxxxx, “Perjanjian Kerja, Perburuhan dan Peraturan Perusahaan”, CV. Xxxxxx Xxxx, Bandung,Hal-13.
tertentu, ada yang menolak dan ada yang empertahankanya. Pembatasan dalam jam kerja dimaksudkan agar pekerja tidak melakukan pekerjaan sekehendak waktunya, demikian juga dengan pengusaha tidak boleh memerintahkan pekerja menurut kepentingan usahanya semata. Dengan demikian waktu pelaksanaan perjanjian kerja tersebut harus sesuai dengan apa yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja dan sesuai dengan yang diinginkan oleh pengusaha, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan Ketenagakerjaan.
d. Adanya unsur pay atau upah;
Tujuan utama seorang pekerja yaitu untuk mendapatkan imbalan, sehingga dengan adanya upah hubungan antara pekerja dengan pengusaha merupakan suatu hubungan kerja. Pemberian upah sebagai penegasan pembayaran prestasi yang telah diberikan, dikenal dengan asas tiada upah bila pekerja tidak melakukan pekerjaan (no work no pay). Upah biasanya diberikan setelah pekerja selesai melakukan pekerjaanya. Hak atas upah
baru akan ada pada saat dimulainya hubungan kerja dan berakhir setelah hubungan kerja berakhir.
Dengan di penuhinya keempat syarat tersebut maka perjanjian yang di buat di namakan perjanjian kerja dengan konsekwensi lebih lanjut bahwa orang yang berada di bawah pimpinan orang lain di sebut pekerja, sedangkan orang yang memimpin di sebut pengusaha53.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu : “Upah adalah hak pekerja / buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan atau dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan , atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.
Upah merupakan unsur penting dalam perjanjian kerja, karena dengan tidak terpenuhinya upah maka hubungan kerja yang ada tersebut belum mencerminkan terlaksananya perjanjian kerja, meskipun telah memenuhi ketiga unsur yang lain.
Pembayaran upah itu pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang, namun demikian dalam praktek pelaksanaanya sesuai
53 Ibid, Xxxx Xxxxxxx hal-18.
dengan peraturan perundang- undangan, tidak mengurangi kemungkinan pemberian upah dalam bentuk barang, tetapi jumlahnya dibatasi54
4. Xxxxxx dan Isi Perjanjian Kerja
Dalam hukum perjanjian , perjanjian adalah bebas, artinya perjanjian tersebut dapat dibuat secara :
a. Tertulis atau
b. Xxxxx / tidak tertulis
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai bentuk perjanjian kerja terdapat dalam Pasal 51 yang berbunyi :
a) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan,
b) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Dalam hal perjanjian dibuat secara tertulis, maka biaya akta dan biaya tambahan lainya menjadi tanggungan majikan pengusaha (Pasal 1601 huruf (d) KUH Perdata)55. Ketentuan mengenai perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur dalam Pasal 54 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
54 Xxxxxxx, “Hukum Perburuhan dan Pelaksanaanya di Indonesia”, PT. Djambatan, Jakarta, 1992.
55 Xxxxxx Xxxxxx, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, Buku Pegangan Bagi Pekerja Untuk Mempertahankan Hak-Haknya, Citra Aditya, Bandung,1994.
Ketenagakerjaan, perjanjian kerja tersebut memuat hal-hal antara lain sebagai berikut :
a) Nama dan alamat pengusaha / perusahaan,
b) Nama, alamat, umur dan jenis kelamin tenaga kerja,
c) Jabatan atau macam pekerjaan,
d) Syarat-syarat kerja, yang memuat tentang :
1. Adanya pengakuan terhadap organisasi pekerja / serikat pekerja,
2. Fasilitas yang diberikan,
3. Jaminan sosial (tunjangan kematian, tunjangan sakit, pensiun / hari tua),
4. Bagaimana sistem upahnya,
5. Perselisihan hubungan perindustrian, dan sebagainya.
Adapun Hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja adalah sebagai berikut :
a. Hak dan Kewajiban pekerja/tenaga kerja : Hak-hak tenaga kerja antara lain :
1) Berhak atas upah,
2) Berhak atas pekerjaan,
3) Berhak atas perlindungan
4) Melakukan pekerjaan dengan baik,
5) Mengikuti perintah atasan (pengusaha).
b. Hak dan Kewajiban Pengusaha ; Hak-hak pengusaha antara lain :
1. Berhak atas hasil pekerjaan,
2. Berhak untuk mengatur/ memerintah pekerja. Kewajiban- kewajiban pengusaha antara lain :
3. Membayar upah,
4. Menyediakan/ memberi pekerjaan,
5. Memberi perlindungan;
6. Tempat atau lokasi pekerjaan Tempat dan tanggal perjanjian kerja tersebut dibuat dan dimulainya perjanjian kerja tersebut56.
5. Jangka Waktu Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut dengan perjanjian kerja kontrak. Untuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut juga dengan perjanjian kerja tetap atau perjanjian kerja waktu tertentu dan status pekerjaanya adalah pekerjaan tetap.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis sebagaimaa diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU No. 13
56 Xxxxxx Xxxxxxxx, “Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di indonesia”, Rineka Cipta, Jakarta, 1995 Hal- 68.
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya perjanjian kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan.
Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifatnya atau kegiatan pekerjaanya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b) pekerjaan yang diperkirakan penyelesainya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 ( tiga ) tahun;
c) . pekerjaan yang bersifat musiman ; atau ,
d) . pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis
kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka jelaslah bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.Kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja yaitu antara lain sebagai berikut :
1. Kewajiban Buruh atau Pekerja;
Dalam KUH Perdata ketentuan mengenai kewajiban buruh / pekerja diatur dalam Pasal 1603, 1603 huruf (a),(b), dan huruf(c) KUH Perdata yang pada intinya bahwa :
a. Buruh / pekerja wajib melakukan pekerjaan, melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan. Untuk itulah mengingat pekejaan yang dilakukan oleh pekerja yang sangat pribadi sifatnya karena berkaitan dengan keahlianya, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang - undangan jika pekerja meninggal dunia maka
hubungan kerja berakhir dengan sendirinya (PHK demi hukum).
b. Buruh / pekerja wajib menaati aturan dan petunjuk majikan / pengusaha;
c. Dalam melakukan pekerjaan buruh / pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha aturan yang majib diikuti oleh pekerja
d. merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar ganti rugi atau denda.
2. Kewajiban Pengusaha :
a) Kewajiban membayar upah;
Dalam hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secara tepat waktu. Ketentuan tentang upah ini telah mengalami perubahan pengaturan ke arah hukum publik. Hal ini terlihat dari campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus dibayar oleh pengusaha yang dikenal dengan nama upah minimum, maupun pengaturan upah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1981, tentang besarnya upah yang diterima oleh pekerja terlampau
rendah sehingga tidak dapat memenuhi Kebutuhan hidup pekerja meskipun secara minimum sekalipun.
b) Kewajiban memberikan istirahat / cuti ;
Pihak majikan / pengusaha diwajibkan memberikan Istirahat tahunan kepada pekerja secara teratur. Hak atas istirahat ini penting artinya untuk menghilangkan kejenuhan pekerja dalam melakukan pekerjaan, dengan demikian diharapkan gairah kerja akan tetap stabil. Cuti tahunan yang lamanya 12 (dua belas) hari kerja selain itu pekerja juga berhak atas cuti panjang selama 2 (dua) bulan setelah bekerja terus menerus selama 6 (enam) tahun pada suatu perusahaan (Pasal
79 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), dengan syarat hal cuti panjang tersebut diatur dalam peraturan perusahaan.
c) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan;
Majikan / pengusaha wajib mengurus perawatan atau pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan (Pasal 1602 KUH Perdata) dalam perkembangan hukum Ketenagakerjaan, kewajiban itu tidak hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan, tetapi juga bagi pekerja yang
tidak bertempat tinggal dirumah majikan. perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, kematian telah dijamin melalui perlindungan Jamsosteksebagaimana yang diatur dalam UU No. 13 tahun 1992 tentang Jamsostek.
d) Kewajiban untuk memberikan surat keterangan
;Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1602 huruf KUH Perdata yang menentukan bahwa majikan / pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja (masa kerja). Surat keterangan ini juga diberikan meskipun inisiatif pemutusan kerja datangnya dari pihak pekerja. Surat keterangan tersebut sangat penting artinya sebagai bekal pekerja dalam mencari pekerjaan baru, sehingga ia diperlakukan sesuai dengan pengalama kerjanya.
6.Berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu tertentu
Dalam ketentuan Pasal 61 Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjanjian kerja berakhir apabila :
a) Pekerja meninggal dunia;
b) Berakhirnya hubungan kerja ;
c) Adanya putusan pengadilan dan / atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ;
d) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja tersebut.
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan atau hibah, pemindahan atau pengalihan hak atas perusahaan maka hak- hak pekerjamenjadi tanggung jawab pengusaha yang baru, kecuali ditentukan laindalam perjanjian kerja. Jadi,pemindahan atau pengalihan perusahaan tidak akan mengurangi hak-hak pekerja.
B.Outsourcing
1. Pengertian Outsourcing
Secara exsplisit dalam UU No. 13 Tahun 2003 tidak mengenal istilah outsourcing, tetapi dalam Pasal 64 dapat dilihat yang dimaksud dengan praktek outsourcing yaitu :
a. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan,
b. Penyediaan jasa pekerja57.
Mengenai pengertian outsourcing dapat dapat dijumpai dalam beberapa pengertian menurut para pakar yaitu sebagai berikut :
a) Outsourcing menurut Xxxxxx Xxxxxxxx adalah Pendelegasian operasional dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (penyedia jasa)
b) Outsourcing menurut Xxxxxxx dalam Indrajit58 ; Adalah tindakan mengalihkan atau menyerahkan aktivitas-aktivitas internal yang terjadi berulang kali dan hak-hak pembuatan keputusan yang dimiliki suatu perusahaan kepada jasa out side providers, sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian kontrak.Dari pengertian outsourcing diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu pekerjaan outsourcing merupakan penyerahan aktifitas perusahaan kepada pihak luar atau penyedia jasa yang tercantum dalam perjanjian kontrak
57 Xxxxxxx Xxxxxxx, “Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaanya Di Indonesia”, PT. Citra Aditya. Bandung. 2006, Hal-12.
58 Xxxxxx Xxxxxxxx, “Outsourcing Implementasinya Di Indonesia”, PT. Elok Media Kompetindo, Jakarta. 2003 Hal-02.
2. Bentuk Outsourcing
Xxxxxx dari perjanjian outsourcing adalah tertulis. Hal ini dimaksudkan agar memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dari pada yang berbentuk lisan, apabila terjadi perselisihan, serta sebagai syarat untuk adanya perjanjian outsourcing. Berdasarkan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 Jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 220/Men/2004 tahun 2004 tentang bentuk dan syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (Kep. 220/Men/X/20040. Xxxxxx dan isi perjanjian outsourcing adalah sebagai berikut :
1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain yang dilaksanakan melalui perjanjian yang didibuat secara tertulis,
a) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka harus Memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ; Di lakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan,
b) Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak dari pemberi pekerjaan untuk memberikan penjelasan tentang tata cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang di tetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan,
c) kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan
d) Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaanya kepada perusahaan pemborongan pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan,
2. Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan maka perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan serta melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat Pasal 6 ayatKep. 220/Men/2004.
3. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain harus diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum kecuali (Pasal 3 Kep/Men/X/2004) yaitu :
a) Perusahaan pemborongan pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang ;
b) Perusahaan pemborongan pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultasi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang.
4. Apabila perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana yang dimakksud dalam ayat (1) akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan yang diterima dari perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum. Dalam hal perusahaan pemborong pekerjaan bukan berbadan hukum sebagaiman dimaksud dalam ayat (3) tidak melaksanakan kewajibanya untuk memenuhi hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja maka perusahaan yang berbadan hukum sebagaimana yang diamksud dalam ayat (1) bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban tersebut.
5. Dalam suatu daerah tidak terdapat perusahaan pemborongan pekerjaan yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborongan pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahka kepada perusahaan pemborong pekejaan yang budan berbadan hukum (Pasal 4 ayat (1) Kep.220/Men/X/2004.
6. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang bukan berbadan hukum sebagaiman dimaksud diatas bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak pekerja/buruh yang terjadi dalam hubungan kerja antara perusahaan yang budan berbada hukum tersebut dengan pekerjaanya/buruhnya dan tanggung jawab tersebut harus dituangkan
dalam perjanjian pemboronga pekerjaan antara perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan pemborong pekerjaan.
7. Hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan pemborongan pekerjaan dalam pelaksanaan suatu pemborongan pekerjaan diatur dalam suatu perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan pemborongan pekerjaan dan pekerja yang dipekerjakanya yang dapat dituangkan dalam PKWTT dan PKWT tertentu apabila telah memenuhi persyaratan perjanjian karja waktu tertentu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 tahun 2003 tentang Penyediaan Jasa Pekerja. Menurut Pasal
66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi menurut penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 adalah kegiatan yang berhubungan diluar usaha pokok suatu perusahaan, diantaranya adalah seperti usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan (catering) dan usaha tenaga pengaman (security). Selanjutnya dijelaskan bahwa untukpekerjaan yang berhubungan dengan langsung dengan proses produksi atau kegiatan pokok maka, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja dengan PKWT atau PKWTT.
3. Mekanisme Outsourcing
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa, outsourcing hanya dapat dilakukan dengan pekerjaan penunjang saja yang bersifat bukan sebagai tugas utama (non core businnes). Sehingga tidak semua jenis pekerjaan dapat diberikan dengan menggunakan sistem outsourcing. Sebelum suatu perusahaan memutuskan untuk menggunakan sistem outsourcing, perusahaan tersebut haruslah dapat membedakan manakah yang termasuk kompetisi utama dalam perusahaanya (core competition) dan manakah yang merupakan kegiatan penunjang dari perusahaan tersebut. Hal ini diperlukan agar perusahaan tersebut memperoleh kesempatan mengatur organisasi yang lebih fleksibel untuk melakukan tugas utamanya.
Setiap perusahaan yang akan melaksanakan outsourcing harus dapat memilih skenario outsourcing yang tepat yang sesuai dengan kondisi perusahaan untuk setiap hubungan dengan perusahaan jasa outsourcing, agar dapat menghasilkan kerjasama yang baik antara perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Perusahaan harus dapat mengevaluasi faktor sukses kritikal (critcal success faktor) untuk menentukan jenis pekarjaan dan lingkup dari pekerjaan yang dapat dikerjakan atau dikontrakan kepada perusahaan jasa outsourcing tanpa menganggu keunggulan kompetitif perusahan. Dalam pemilihan penyedia jasa outsourcing ada beberap hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan sebelum melakukan perjanjian kontrak
outsourcing. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah kecocokan budaya antar perusahaan, komitmen terhadap kualitas, pengalaman kerja dan hasil kerja, serta sumber daya.
Dewasa ini para pengusaha lebih banyak menggunakan sistem outsourcing dalam hubungan industrial. Hal tersebut dikarenakan dalam sistem outsourcing terdapat lima (5) keuntungan jangka panjang yaitu59 :
1. Meningkatkan fokus bisnis perusahaan,
2. Masuk pada kemampuan kelas dunia,
3. Mempercepat keuntungan dari re-engineering (tehnologi baru),
4. Membagi resiko usaha,
5. Menggunakan sumber-sumber yang ada untuk aktivitas yang lebih strategis.
4. Resiko Outsourcing
Resiko pada perusahaan yang menggunakan outsourcing dapat pula terjadi, diantaranya adalah :
a) Jika dilakukan dalam jangka panjang dan sumber luaradalah pengusaha oportunis akan terjadi karjasama yang mengeroposkan bagi perusahaan yang melakukan outsourcing60.
b) Menurut Xxxxx dan Xxxxxx61 secara strategi terdapat resiko
Outsourcing sebagai berikut :
59 Xxxxxxx Xxxxxxxx. Ibid, Hal-58.
60 M. Simatupang, “Strategi Sumber Luar Dalam Rangka Meningkatkan Efesiensi”, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1995
61 Xxxxx Xxxxxxxx, “Xxxxxxx Xxxxxxxx Outsourcing Studi Kasus Pada Program Total Maintenance Concept PT.PLN (Persero)”, UGM. Yogjakarta.
1. Perusahaan dapat kehilangan ketrampilan kritikal atau mengembangkan ketrampilan yang salah, tidak sesuai dengan dengan kompetensi inti ;
2. Perusahaan dapat kehilangan ketrampilan lintas fungsional, karena adanya penugasan kepada pihak lain ;
3. Perusahaan dapat kehilangan kendali atau pengawasan pada pemasok ;Organisasi perusahaan menjadi sangat tergantung pada pihak vendor atas bentuk kegiatan dan sejumlah harga yang ditawarkan kepada perusahaan62
C. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA(PHK)
1. PENGERTIAN PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja yang terjadi karena berbagai sebab. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dengan pengusaha. (Husni, 2003)
Sedangkan menurut Xxxxx (1990: 136) bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah suatu langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu. Menurut Pasal 1 ayat 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-15A/MEN/1994, Pemutusan
62 Utomo H, ”Strategi Outsourcing Dalam Era persaingan Global”, Usahawan, No. 07 Tahun XXIV, Juli 1995.
Hubungan Kerja (PHK) ialah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.(Khakim,2003)
2. KETENTUAN PHK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003
Pasal 153 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyebutkan Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus,
2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya Karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya,
4. Pekerja/buruh menikah,
5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya,
6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,
7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau bedasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,
8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan,
9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan,
10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. (Husni, 2010).
3. JENIS-JENIS PHK
Dalam literatur Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis PHK yaitu:
a. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
1. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
2. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan.
3. Mabuk, meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja.
4. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
5. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja.
6. Menbujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan;
7. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbukan kerugian bagi perusahaan;
8. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
9. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
10. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 158 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Kesalahan berat dimaksud harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
a) Pekerja/buruh tertangkap tangan;
b) Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan;
c) Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
b. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a) Xxxxxxxxxx, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b) Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c) Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d) Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e) Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f) Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja (Pasal 169 ayat 1).
Pekerja /buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud di atas harus memenuhi syarat:
a) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b) Tidak terikat dalam ikatan dinas;
c) Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
c. Hubungan kerja putus demi hukum
Selain pemutusan kerja oleh pengusaha, buruh/pekerja, hubungan kerja juga dapat putus/berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya dan kepada buruh/pekerja, pengusaha tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari lembaga yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 154 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut:
a) Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bila mana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b) Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c) Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam peerjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d) Pekerja/buruh meninggal dunia.
d. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting. Alasan yang penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau perubahan keadaan di mana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja. (Husni, 2010)
e. MEKANISME PELAKSANAAN PHK
Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan harus dilakukan dengan baik dan sesuai dengan regulasi pemerintah yang masih diberlakukan. Namun karena terkadang pemberhentian terjadi akibat konflik yang tak terselesaikan maka menurut Xxxx (2004) pemecatan secara terpaksa harus sesuai dengan prosedur sebagai berikut:
1. Musyawarah karyawan dengan pemimpin perusahaan.
2. Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.
3. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4D.
4. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4P.
5. Pemutusan hubungan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri.
Berikut adalah prosedur PHK menurut UU No 13 Th 2003:
1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (Pasal 151 Ayat 1)
2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (Pasal 151 Ayat 1)
3. Jika perundingan berhasil, buat persetujuan bersama
4. Jika tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan secara tertulis disertai dasar dan alasan- alasannya kepada pengadilan hubungan industrial (Pasal 151 ayat 3 dan Pasal 152 Ayat 1)
5. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 ayat 2)
6. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsingkepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh (Pasal 155 ayat 3). ( Zurnali, 2011)
Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001 tentang perubahan atas beberapa pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di perusahaan menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan hubungan kerja dalam suatu perusahaan.
Adapun prosedur untuk Pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut :
1. Sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pengusaha dapat melakukan skorsing kepada pekerja/buruh dengan ketentuan skorsing telah diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
2. Dalam hal pengusaha melakukan skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pengusaha wajib membayar upah selama skorsing
paling sedikit sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah yang diterima pekerja/buruh.
3. Skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan dengan alasan yang jelas, dan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan harus diberikan kesempatan membela diri.
4. Pemberian upah selama skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan.
5. Setelah masa skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir, maka pengusaha tidak berkewajiban membayar upah, kecuali ditetapkan lain oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
Pasal 17A Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001 menyatakan :
1. Dalam hal pengusaha mengajukan permohonan ijin pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetapi tidak melakukan skorsing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), maka selama ijin pemutusan hubungan kerja belum diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pekerja/buruh harus tetap melakukan pekerjaannya dan pengusaha membayar upah pekerja/buruh selama proses 100% (seratus perseratus).
2. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja tetapi pengusaha tidak mengajukan permohonan ijin, pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan pemutusan hubungan kerja tersebut menjadi perselisihan, maka sebelum ada putusan Panitia Daerah atau Panitia Pusat, upah pekerja/buruh selama proses dibayar 100% (seratus persen). (anonim, 2009)
F. KOMPENSASI BAGI PEKERJA YANG DI PHK
Bila seorang pekerja di PHK ada 4 komponen yang dipakai sebagai kompensasi PHK yaitu :
1. Uang Pesangon, yaitu pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja.
2. Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), adalah pemberian uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai penghargaanberdasarkan masa kerja akibat adanya PHK.
3. Uang Ganti Kerugian, adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai ganti istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang tempat di mana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan, dan fasilitas perumahan.
4. Uang Pisah, adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh atas pengunduran diri secara baik-baik dan mengikuti prosedur sesuai ketentuan yaitu ditujukan secara tertulis
30 hari sebelum tanggal pengunduran diri yang besar nilainya berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.(Adisu, 2008)
Perhitungan uang pesangon diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut:
1. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
2. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2(dua) tahun, 2 (bulan) upah;
3. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
4. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
5. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
6. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
7. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
8. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
9. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:
1. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
2. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
3. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
4. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
5. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
6. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
7. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
8. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 27 (dua puluh tujuh) tahun, 9 (sembilan) bulan upah;
Sedangkan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh buruh/pekerja meliputi:
1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
2. Xxxxx atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 154 ayat 4).
Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas:
1. Upah pokok;
2. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari (Pasal 157 ayat 2). Sedangkan untuk upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata- rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. Bagi pekerjaan yang tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir. (Husni, 2010)
D. PENYELESAIAN PERSELISIHAN INDUSTRIAL DI INDONESIA
Pasal 1 ayat 16 Undang-undang Ketenagakerjaan merumuskan hubungan industrial sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sedangkan perselisihan hubungan industrial dirumuskan sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat perkerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
1. Prinsip Penyelesaian Perselisihan
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial menganut prinsip-prinsip dalam penyelesaiannya, antara lain:
a. Musyawarah Untuk Mufakat: sebelum menempuh proses penyelesaian lebih lanjut, para pihak yang berselisih harus melakukan musyawarah untuk mufakat.
b. Bebas Memilih Lembaga Penyelesaian Perselisihan: para pihak untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang mereka hadapi berdasarkan kesepakatan bebas memilih penyelesaian melalui lembaga Arbitrase, Konsiliasi ataupun Mediasi, untuk menyelesaikan perselisihan yang mereka hadapi sebelum melakukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
c. Cepat, Adil, dan Murah: undang-undang telah memberikan batasan waktu yang jelas terhadap setiap tahapan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Misalnya, proses bipartitit (30 hari); arbitrase, konsoliasi atau mediasi (30 hari). Waktu penyelesaian pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah 50 hari kerja dimana untuk perselisihan kepentingan dan antar serikat pekerja/serikat buruh putusan Pengadilan Hubungan Industrial adalah final. Prinsip adil, tercermin dari penyelesaian yang dilakukan melalui musyawarah dan serta bila dilihat dari segi putusan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung yang diputus oleh Xxxxx Xxxxxxx terdiri dari Xxxxx Xxxxx dan Hakim Ad Hoc diharapkan dalam mengambil keputusan mencerminkan rasa keadilan. Prinsip murah, bahwa beracara di Pengadilan Hubungan Industrial pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya perkara hingga pada pelaksanaan eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp 150.000.000, tidak adanya upaya banding kepada Pengadilan Tinggi serta pembatasan perselisihan hubungan industrial yang dapat dilakukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
2. Subjek dan Objek Perselisihan Hubungan Industrial:
Para pihak yang berperkara dalam perselisihan hubungan industrial adalah a) pengusaha/gabungan pengusaha, b) pekerja/buruh perorangan,
c) serikat pekerja/serikat buruh, dan d) perusahaan, termasuk usaha- usaha sosial dan usaha lain yang memiliki pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan memberikan upah (pasal 1 ayat 7 UU PHI). Objek yang dipersengketakan dalam hubungan industrial adalah perselisihan hak, perselisihan kepetentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan Kepentingan, yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
3. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Undang-undang PHI menganut penyelesaian perselisihan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengedepankan musyawarah untuk mufakat (melalui win-win solution) agar dengan demikian, proses produksi barang dan jasa tetap berjalan sebagaimana mestinya.
6.Pendaftaran Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Bahwa dalam penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU No. 13/2003 joPasal 13 KEP. 100/ 2004, maka Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan. Namun demikian tidak ada satupun ketentuan dari kedua peraturan tersebut yang menyatakan bahwa