Shenti Agustini
KEDUDUKAN HUKUM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU YANG BERTENTANGAN DENGAN HUKUM
Xxxxxx Xxxxxxxx
Universitas Internasional Batam, Indonesia
E-mail : xxxxxx_xxxxxx@xxxxx.xxx
Abstrak |
Ketentuan pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu telah ditegaskan dalam aturan hukum ketenagakerjaan yang berlaku, namun dalam implementasi ketentuan tersebut seringkali disimpangi oleh pemberi kerja dan/atau pengusaha. Meskipun konsekuensi hukum atas pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu yang bertentangan dengan hukum, yakni demi hukum berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Dalam konsekuensi tersebut, pemberi kerja dan/atau pengusaha pula seringkali keberatan untuk patuh secara sukarela. Sehingga melalui penulisan artikel ini, penulis bermaksud untuk memberikan satu pemaparan langkah hukum yang dapat diambil oleh pihak-pihak yang merasa dilanggar haknya untuk mengajukan upaya hukum. Dengan menggunakan jenis penelitian normatif, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pemaparan secara yuridis normatif atas obyek penelitian yang hendak ditulis oleh penulis. Kata kunci: Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Ketenagakerjaan. |
Abstract |
The provisions for making a fixed-term employment agreement have been confirmed in the applicable labor laws, but employers often deviate from the implementation of these provisions. Even though the legal consequences of making a Fixed-Time Work Agreement are against the law, namely by law it has changed to an Indefinite Time Work Agreement. In that consequence, employers often object to voluntary compliance. So that through writing this article the author intends to provide an explanation of legal steps that can be taken by parties who feel their rights have been violated to file legal remedies. By using this type of normative research, it is hoped that this research can provide a normative juridical explanation of the research object that the author intends to write about. Keywords: Work Agreement, Fixed Time Work Agreement, Employment. |
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia usaha bertumbuh beriringan dengan kebutuhan tenaga kerja. Dalam pengembangan usaha yang ada, setiap pemberi kerja atau pengusaha selalu membutuhkan tenaga kerja, baik dalam kuantitas yang banyak maupun sedikit. Namun dalam praktek, pemberi kerja atau pengusaha seringkali tidak secara sukarela mematuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam praktek, dikenal berbagai hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha, yakni pekerja
dengan perjanjian kerja waktu tertentu (Kontrak), pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (Permanen), dan pekerja harian lepas. Ketiga jenis hubungan kerja ini memiliki konsekuensi yuridis masing-masing. Dengan kata lain, setiap jenis hubungan kerja selalu memiliki kelebihan dan keterbatasan masing-masing.
Namun tidak semua pengusaha memahami kelebihan dan keterbatasan masing-masing hubungan kerja tersebut. Salah satu hal yang seringkali dilanggar oleh pemberi kerja atau pengusaha adalah dalam hal pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu (untuk selanjutnya disebut PKWT). Padahal konsekuensi dilanggarnya ketentuan mengenai PKWT, yakni berubahnya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (untuk selanjutnya disebut PKWTT).
Berubahnya hubungan kerja dari PKWT menjadi PKWTT berdampak pada berubahnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengusaha atau pemberi kerja dan pekerja dalam hubungan kerja, namun tidak semua pemberi kerja atau pengusaha secara sukarela mematuhi ketentuan hukum tersebut. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk membuat satu kajian terkait dengan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pekerja yang dilanggar haknya atas pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu yang bertentangandengan ketentuan hukum tersebut. Rumusan masalah dalam artikel ini sesuai dengan latar belakang permasalahan tersebut diatas adalah: a) Bagaimana kedudukan hukum perjanjian kerja waktu tertentu yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku?; 2) Bagaimana upaya hukum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku?.
Metode Penelitian
Guna menjawab rumusan masalah tersebut diatas, penulis menggunakan suatu metode penelitian agar artikel ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian memuat jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber bahan hukum maupun sumber data, Teknik pengumpulan bahan hukum, teknik pengumpulan data, serta metode analisis bahan hukum maupun analisis data. Tulisan yang menggunakan metode penelitian hukum normatif berangkat dari adanya Problem Norma, yaitu adanya kekaburan norma, norma konflik, maupun norma kosong. Menggunakan pendekatan: statute approach, conceptual approach, serta analytical approach. Tehnik penelusuran bahan hukum menggunakan tehnik studi dokumen, serta analisis kajian menggunakan analisis kualitatif. Menurut teori kebenaran pragmatis, penelitian berfungsi untuk menemukan sesuatu yang efektif dan bermanfaat dalam menuangkan gagasan.1 Hal tersebut dapat disimpulkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Sehingga melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.2 Fungsi penelitian adalah mendapatkan kebenaran. Kebenaran dalam hal ini bukan kebenaran secara religious dan metafisis, melainkan dari segi epistemologis, artinya kebenaran harus dilihat dari epistemologi (Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx). Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam melaksanakan penelitian ini adalah penelitian hukum secara normatif. Penelitian hukum secara normatif atau penelitian hukum secara kepustakaan merupakan penelitian yang dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bahan-bahan pustaka lainnya yang lazimnya dinamakan data sekunder, untuk diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu (Xxxxxxxx Xxxxxxxx). Ilmu hukum memiliki karakter khas yang direfleksikan dalam sifat normatifnya (Xxxxx Xxxxxxx). Fokus perhatian ilmu hukum normatif sebagai ilmu praktis adalah mengubah keadaan serta menawarkan penyelesaian terhadap permasalahan kemasyarakatan yang konkret maupun potensial (Xxxxx Xxxxxxx). Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, dalam pembentukan hukum adalah
1 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum, Jakarta : Prenadamedia Group, 2016, hlm.35.
2 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, 2015.
merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dihubungkan dengan peristiwa. Usia suatu peraturan perundang-undangan seringkali menyebabkan kekosongan dalam pengaturan subtansi hukum. Dalam aspek penegakan hukum terhadap peraturan perundang- undangan tersebut tentu tetap harus memperhatikan kaedah-kaedah hukum yang telah ada.
I. Pembahasan
1. Kedudukan Hukum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang Bertentangan dengan Ketentuan Hukum Yang Berlaku.
Hubungan kerja merupakan hubungan antara pekerja dan pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, dimana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.
Menurut Xxxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxxxxx, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.3
Selanjutnya Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu.4
Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai: a) Pembuatan Perjanjian Kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja); b) Kewajiban Pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan tersebut); c) Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak dari si pekerja atas upah); d) Berakhirnya Hubungan Kerja; e) Cara Penyelesaian Perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan
Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.
Subekti menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda βdierstverhandingβ) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).5
Perjanjian kerja waktu tertentu merupakan perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja yang didasarkan atas jangka waktu dan selesainya suatu pekerjaan tertentu, selain itu perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Berdasarkan Peraturan
3 Xxxxxxx, Xxxxxxxxxx, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal. 10.
4 Tjepi F. Aloewic, Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Industrial, Cetakan ke- 11, (Jakarta: BPHN, 1996), hal. 32.
5 Subekti, Xxxxx Xxxxxxxxan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977), hal. 63.
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja (untuk selanjutnya disebut PP No.35 Tahun 2021), PKWT berdasarkan jangka waktu dibuat untuk Pekerjaan yang perkirakan selesai tidak dalam waktu yang terlalu lama (paling lama 5 tahun); Pekerjaan yang sifatnya musiman (tergantung pada musim / cuaca kondisi tertentu); dan Pekerjaan yang kaitannya dengan produk dan kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan. Sedangkan, PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat untuk pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
PKWT yang didasarkan atas jangka waktu dapat dibuat paling lama untuk 5 (lima) tahun dan dapat dilakukan perpanjangan dengan syarat jangka waktu keseluruhan PKWT dan perpanjangannya tidak lebih dari 5 (lima) tahun. PKWT harus dibuat secara tertulis, yang mana mengenai isinya paling sedikit memuat ha;-hal yang telah ditentukan oleh Pasal 13 PP No. 35 Tahun 2021 dimana PKWT tersebut setelah ditandatangani harus dicatatkan oleh pengusaha pada kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan dibidang ketenagakerjaan.
Jika PKWT yang dibuat antara Pengusaha dan Pekerja melanggar ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan maka, PKWT tersebut demi hukum menjadi PKWTT. Hal ini berakibat pada berubahnnya hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja. Namun para pekerja walaupun mengetahui hal tersebut kebanyakan tidak melakukan upaya hukum apapun atas banyak pertimbangan, salah satunya tidak mengetahui upaya hukum apa yang dapat mereka tempuh jika PKWT yang diadakan melanggar aturan dan merugikan pekerja.
2. Upaya Hukum Atas Pembuatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang Bertentangan Dengan Ketentuan Hukum Yang Berlaku.
2.1 Jenis Perselisihan Hubungan Industrial.
Secara umum setiap pertentangan atau sengketa antara majikan dengan buruh mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja atau keadaan perburuhan merupakan perselisihan perburuhan.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Pasal 1 angka 1). Atas dasar itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi perselisihan hubungan industrial menjadi:
1. Perselisihan Hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa perselisihan hak merupakan perselisihan hukum karena perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak termasuk di dalamnya hal-hal yang sudah ditentukan dalam peraturan perusahaan serta peraturan perundang- undangan yang berlaku. Karena itu, menurut Xxxx Xxxxxxx, perselisihan hak ini terjadi karena tidak adanya persesuaian paham mengenai pelaksanaan hubungan kerja.
2. Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka perbedaan antara perselisihan hak dan perselisihan kepentingan yang dikenal selama ini dalam kepustakaan didasarkan atas para pihak yang bersengketa, yakni pekerja dan perseorangan, terlibat dalam perselisihan hak, sedangkan pekerja secara kolektif/organisasi menjadi para pihak dalam perselisihan kepentingan sudah tidak dijadikan acuan lagi. Pekerja, baik secara pribadi maupun kolektif, saat ini dapat menjadi para pihak dalam perselisihan hak maupun perselisihan kepentingan.
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Perselisihan mengenai PHK selama ini paling banyak terjadi karena tindakan PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. PHK dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha/majikan maupun pekerja/buruh. Dari majikan/pengusaha dilakukan karena buruh/pekerja melakukan berbagai tindakan atau pelanggaran. Demikian sebaliknya, PHK juga dapat dilakukan atas permohonan buruh/pekerja karena pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati atau berbuat sewenang-wenangnya kepada buruh/pekerja.
4. Perselisihan Antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan
Perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal
1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi, dalam dunia industri yang diwujudkan dengan adanya kebebasan unutk berserikat bagi pekerja/buruh, sehingga jumlah serikat pekerja/buruh di suatu perusahaan tidak dapat dibatasi. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh memberikan kemudahan bagi buruh untuk membentuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) Tingkat Perusahaan (TP), yakni minimum sepuluh orang anggota. Undang-undang ini juga menekankan bahwa siapapun dilarang menghalangi atau memaksa pembentukan atau tidak membentuk Serikat Pekerja (SP) atau Serikat Buruh (SB)-TP. Ketentuan ini mengandung makna bahwa tidak seorang pu yang dapat menghalangi pekerja/buruh untuk menjadi pengurus atau anggota seriakt SP/SP-TP, atau melarang serikat tersebut melakukan atau tidak melakukan aktivitasnya.
2.2 Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
1. Bipartit
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (untuk selanutnya disebut UU No.2 Tahun 2004), perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya melalui perundingan bipartit terlebih dahulu dengan cara musyawarah untuk mufakat.
Perundingan bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dimulai perundingan. Jika salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah berunding namun tidak
mencapai mufakat maka bipartit dianggap gagal. Bipartit merupakan sarana untuk mencapai win- win solution yang paling cepat, murah dan sederhana, seharusnya pengusaha dan pekerja yang bersengketa memikirkan pula konsekuensi logis jika tidak tercapainya suatu mufakat dalam bipartit, seperti proses penyelesaian perselisihan akan memakan waktu yang lama dan lebih rumit dari penyelesaian ditahap bipartit.
Dalam hal musyawarah mencapai mufakat aka dibuat Perjanjian Bersama antara para pihak yang mana akan mengikat dan menadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian Bersama trsebut wajib didaftarkan oleh para pihak yang pada Pengadilan Hubungan Industrial diwilayah Perjanjian Bersama dibuat. Perjanjian Bersama yang telah didaftar akan diberikan bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama. Tidak sedikit sengketa yang selesai dalam tahap bipartit, namun tidak sedikit pula sengketa selesai dalam tahap setelah perundingan bipartit gagal, berikutnya penulis akan membahas tahap lanjutan jika perundingan bipartit gagal mencapai mufakat.
2. Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase.
Jika proses perundingan Bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang berwenang dibidang ketenagakerjaan dengan melampirkan bukti bahwa telah dilakukan upaya-upaya penyelesaian melalui Bipartit. Setelah itu instansi yang bewenang menawarkan kepada para pihak apakah memilik penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dengan tenggat waktu 7 (tujuh hari kerja dan jika tidak menetapkan pilihan maka instansi yang berwenang melimpahkan penyelesaian perlisihan ke mediator.
Dalam tahap ini mediator harus mengadalkan peneitian tentang duduk perkara dan segera mengadakan mediasi selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli dan wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta.
Apabila tercapai kesepakatan maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan mediator yang kemudian di daftar di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan alat bukti pendaftaran, namun jika tidak tercapai kesepakatan mediator mengeluarkan anjuran tertulis yang jika disetujui oleh para pihak dibuatkan Perjanjian Bersama berdasarkan anjuran tersebut dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial.
Dalam hal anjuran mediator ditolak oleh salah satu pihak atau keduanya maka salah satu phak dapat melanjutkan upaya ke Pengadilan Hubungan Industrial yang dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak. Selebihnya tata cara proses Konsiliasi lebih kurang sama dengan penyelesaian melalui Mediasi, sedangkan penyelesaian melalui arbitrase jarang sekali dilakukan, dalam prakteknya Mediasi merupakan salah satu sarana yang paling sering digunakan.
3. Pengadilan Hubungan Industrial.
Salah satu pengadilan khusus yang berada pada ingkungan peradilan umum ialah Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial berwenang untuk memeriksa dan memutus
:
a. Sengketa perselisihan hak di tingkat pertama;
b. Sengketa perselisihan kepentingan di tingkat pertama dan terakhir;
c. Sengketa perselisihan pemutusan hubungan kerja di tingkat pertama;
d. Sengket antar serikat pekerja dalam satu perusahaan di tingkat pertama dan terakhir.
Hukum acara yang digunakan di Pengadilan Hubungan Industral adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali yang secara khusus diatur
dalam UU No.2 Tahun 2004, sehingga urutan proses persidangan dalam Pengadilan Hubungan Industrial adalah sebagai berikut.
A. Pembacaan gugatan
Dalam proses ini Penggugat membacakan dan menyerahkan gugatannya kepada majelis hakim dan mengkonfirmasi apakah ada perubahan dalam isi gugatan atau tidak, serta dalam tahapan ini kedudukan hukum Penggugat atau kuasanya dan Tergugat atau kuasanya akan dicek terlebih dahulu oleh majelis hakim.
B. Pembacaan jawaban.
Pada tahap ini Tergugat diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban atas gugatan dan juga memerikan eksepsi atas gugatan Penggugat, eksepsi merupakan argumentasi atas kesalahan formal yang ada dalam gugatan Penggugat yang dapat mengakibatkan gugatan menjadi tidak dapat diterima, oleh karena itu pengugat seharusnya mengecek kembali gugatan yang dibuatnya agar tidak terdapat kesalahan formal didalam gugatan, maka dalam prakteknya untuk menghindari hal tersebut baik Pengusaha dan Pekerja menggunakan jasa Advokat untuk membela kepentingan mereka.
C. Replik.
Suatu proses dimana Penggugat memberikan tanggapan atas jawaban atau eksepsi tergugat, proses ini dapat dilakukan dan dapat untuk tidak dilakukan, tergantung Penggugat apakah ingin menjawab jawaban dari tergugat atau tidak.
D. Duplik.
Proses ini merupakan balasan dari tergugat atas Replik dari penggugat, tentu saja jika Penggugat tidak mengajukan Replik maka Tergugat tidak akan mengajukan Duplik, namun jika penggugat mengajukan Replik, Tergugat dapat memilih untuk mengajukan Duplik atau tidak.
E. Pembuktian.
Merupakan tahapan dalam persidangan yang sangat penting dengan tidak menyepelekan tahapan persidangan lainnya, hal in dikarenakan bukti-bukti surat dan saksi-saksi dihadirkan dalam tahapan ini, biasanya proses ini dilakukan paling sedikit dalam 2 (dua) kali persidangan.
F. Kesimpulan.
Suatu tahap dimana Penggugat dan Tergugat memberikan pendapatnya secara ringkas mengenai hal-hal dalam persidangan, masing-masing pihak akan memberikan opininya secara singkat mengenai gugatan,jawaban,replik,duplik, bukti, keterangan saksi untuk meyakinkan majelis hakim.
G. Pembacaan Putusan.
Dalam sidang ini xxxxxxx xxxxx akan membacakan keputusan yang dibuat oleh mereka, dalam putusan tersebut terdapat peritmbangan-pertimbangan hakim yang menjadi alasan pengambilan keputusan dalam persidangan.
II. Penutup
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari penulisan ini adalah secara keseluruhan terdapat beberapa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pekerja yang Perjanjian Kerja Waktu Tertentunya dibuat dengan melanggar ketentuan hukum yang ada dan merugikan pekerja, namun upaya hukum apapun itu, bipartit, mediasi, konsilias, arbitrase dan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial selalu memakan waktu dan biaya, terlebih lagi jika penyelesaian sengketa antara pekerja dan pengusaha sampai harus melalui Pengadilan,
maka para pihak harus mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sedikit, padahal belum tentu nilai kerugian yang disebabkan oleh perjanjian kerja waktu tertentu yang melanggar hukum tersebut sepadan dengan biaya dan waktu yang dikeluarkan. Sehingga dalam hal ini para pekerja dan pengusaha harus bijak dalam menggunakan upaya hukum yang ada disediakan oleh peraturan perundang-undangan dan tidak hanya mengandalkan ego semata dalam penyelesaian perselisihan, cara yang paling efektif dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial yaitu perundingan bipartit, para pihak dapat menentukan kesepakatan sesuai yang mereka inginkan, namun memang dalam praktiknya mencapai mufakat dalam perindungan bipartit sangat sulit dilakukan walaupun masing-masing pihak beritikad baik, hal ini disebabkan kurang pahamnya para pihak atas panjang dan mahalnya biaya upaya hukum jika perundingan bipartit gagal mencapai mufakat.
B. Saran
Perlunya sosialiasi yang berkelanjutan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengusaha dan tenaga kerja dalam suatu hubungan kerja yang lakukan oleh kementerian ketenagakerjaan maupuh dari pengusaha atau serikat pekerja. Dan juga sosialisasi mengenai upaya hukum dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan mendorong agar perselisihan diselesaikan melalui perundingan Bipartit agar tercapai mufakat dalam waktu yang cepat, biaya yang murah dan proses yang sederhana.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Xxxxxxxxxx Xxxxxxx, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta, Rajawali Pers, 1992.
Tjepi F. Aloewic, Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Industrial, Cetakan ke-11, Jakarta, BPHN, 1996.
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Penerbit Alumni, 1977.
Xxxxxx Xxxxxxx. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing, 2003.
Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx. Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2014.
Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxx. Mengenal Hukum (Suatu Pengatar), Yogyakarta, Liberty, 1991. Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjan Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Dan Pemutusan Hubungan Ketja.