TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PERKAWINAN SEBELUM DAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 69/PUU-XIII/2015
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PERKAWINAN SEBELUM DAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 69/PUU-XIII/2015
Skripsi
Oleh DESWITA SAFITRI
1912011127
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
2023
i
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PERKAWINAN SEBELUM DAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 69/PUU-XIII/2015
ABSTRAK
Ketentuan pembuatan perjanjian perkawinan awalnya diatur pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat permasalahan dimana tidak terpenuhinya hak masyarakat WNI yang menikah dengan WNA untuk memiliki dan memanfaatkan bangunan. Hal ini yang melatarbelakangi Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 sehingga makna dalam pembuatan perjanjian perkawinan pun diperluas. Rumusan permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah (1) Ketentuan Perjanjian perkawinan sebelum serta pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 (2) Akibat hukum Perjanjian perkawinan sebelum dan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU- XIII/2015.
Jenis penelitian ini ialah penelitian normatif.Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Pendekatan masalah yang dipakai yaitu pendekatan UU (statute approach). Data yang dipakai merupakan data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. Metode pengumpulan data menggunakan studi pustaka dan studi dokumen. Metode pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, rekonstruksi data dan sistematisasi data. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Pada penelitian ini ditemukan berbagai hal seperti : Ketentuan Perjanjian Perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, yaitu ditetapkan sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan. Akibat hukum perjanjian perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, untuk perkawinan WNI dengan WNA (perkawinan campuran) apabila perjanjian perkawinan dibuat setelah kawin selama ikatan perkawinan maka mengenai status harta benda yang didapatkan ketika menikah dengan status harta bersama akan berubah menjadi harta milik masing-masing pihak. Bagi WNI dalam perkawinan campuran berhak mempunyai Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB). Sedangkan bagi WNA pelaku perkawinan campuran hanya serta mempunyai rumah untuk tempat tinggal ataupun satuan rumah susun dengan Hak Pakai.
Kata Kunci : Perjanjian perkawinan, Perkawinan,Putusan Mahkamah Konstitusi.
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PERKAWINAN SEBELUM DAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 69/PUU-XIII/2015
Oleh: XXXXXXX XXXXXXX
1912011127
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
2023
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Xxxxxxx Xxxxxxx, dilahirkan di Bandar Lampung 14 Desember 2001, yang merupakan anak pertama dari 4 (empat) bersaudara dari pasangan Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx, S.Si.dan Xxx Xxxx Xxxxxxx. Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK) Dharma Wanita UNILA pada tahun 2006 kemudian melanjutkan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri
1 Rajabasa Raya dan selesai pada tahun 2013. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 22 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2016, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 13 Bandar Lampung lulus pada tahun 2019. Pada 2019 penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SBMPTN.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan akademik dengan mengikuti salah satu program Kampus Merdeka, yaitu Kredensial Mikro Mahasiswa Indonesia (KMMI) pada periode Tahun 2021.Kemudian penulis melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Sri Pendowo, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Penulis menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
MOTO
“Sukses berjalan dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain tanpa kehilangan semangat.” – Xxxxxxx Xxxxxxx.
“Selalu percaya pada impian Anda, karena jika tidak, Anda masih akan memiliki harapan.” – Xxxxxxx Xxxxxx.
PERSEMBAHAN
Puji syukur kepada Allah SWT berkat karunia, rahmat serta hidayah yang telah diberikan, shalawat serta salam kepada Xxxx Xxxxxxxx XXX, yang kita nantikan syafa’at-nya di hari akhir kelak. Penulis persembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua yang selalu memberikan doa dan dukungannya.
SANWACANA
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT sehingga memberikan penulis kemudahan dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tinjauan Xxxxxxx Xxxjanjian Kawin Sebelum dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015” yang diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. M. Xxxxx, X.X., M.S., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
2. Bapak Xx. Xxxxxxx, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan, saran, dan pengarahan kepada penulis dalam upaya penyusunan skripsi ini.
3. Xxx Xxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H., sebagai Sekretaris Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
4. Bapak Xx.Xxxxxxxxx, S.H.,M.H. sebagai Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan kepada penulis selama menjalankan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
5. Xxx Xxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H., sebagai Dosen Pembimbing I. Terimakasih atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, kritik dan saran selama proses penyelesaian skripsi ini.
6. Xxx Xxxxx Xxx Xxxxxx, S.H., M.H., sebagai Dosen Pembimbing II. Terimakasih atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, kritik dan saran selama proses penyelesaian skripsi ini.
7. Xxx Xxxxxx Xxxxxxxxx , S.H., M.H., sebagai Dosen Pembahas I, yang telah memberikan masukan, kritik, dan juga saran dalam penulisan skripsi ini.
8. Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembahas II, yang telah memberikan masukan, kritik, dan juga saran dalam penulisan skripsi ini.
9. Segenap jajaran Dosen dan tenaga pendidik civitas Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis untuk memahami materi selama menempuh perkuliahan.
10. Seluruh karyawan yang bertugas di Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya Bagian Hukum Keperdataan yang selama ini telah mendedikasikan dirinya untuk memberikan ilmu dan bantuan secara teknis maupun administratif selama penulis menyelesaikan studi.
11. Kepada kedua orang tua yang selalu memberikan do’a dan dukungannya selama menyelesaikan penulisan skripsi ini.
12. Almamater tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung
13. Kepada semua pihak yang terlibat yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama menyelesaikan skripsi ini
Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu selama proses penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengarapkan kritik, saran, dan masukan yang membangun untuk skripsi ini.
Bandar Lampung, Maret 2023
Deswita Safitri
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK i
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PERSETUJUAN iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
PERNYATAAN v
RIWAYAT HIDUP vi
MOTO vii
HALAMAN PERSEMBAHAN viii
SANWACANA ix
DAFTAR ISI xi
DAFTAR GAMBAR xiii
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Ruang Lingkup Penelitian 6
1.4 Tujuan Penelitian 7
1.5 Kegunaan Penelitian 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 8
2.1.1 Pengertian Perkawinan 8
2.1.2 Syarat-Syarat Perkawinan 10
2.1.3 Asas-Asas Perkawinan 12
2.2 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Campuran 14
2.2.1 Pengertian Perkawinan Campuran 14
2.2.2 Syarat-syarat dan Prosedur dalam Melaksanakan
Perkawinan Campuran 15
2.3 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kawin 18
2.3.1 Pengertian Perjanjian Kawin 18
2.3.2 Syarat-Syarat Perjanjian Kawin 20
2.3.3 Manfaat Perjanjian Kawin 20
2.4 Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi 22
2.4.1 Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi 22
2.5 Teori Kepastian Hukum 24
2.6 Kerangka Pikir 25
III. METODE PENELITIAN 27
3.1 Jenis Penelitian 27
3.2 Tipe Penelitian 27
3.3 Pendekatan Masalah 27
3.4 Data dan Sumber Data 28
3.5 Metode Pengumpulan Data 29
3.6 Metode Pengolahan Data 29
3.7 Analisis Data 30
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 31
4.1. Ketentuan Perjanjian Kawin Sebelum dan Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 31
4.2 Akibat Hukum Perjanjian Kawin Sebelum dan Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/201 57
V. PENUTUP 62
5.1 Kesimpulan 62
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar
1.Kerangka Pikir 25
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkawinan dijelaskan sebagai ikatan secara lahir maupun batin diantara pria dan wanita agar dapat membentuk keluarga baru yang didasarkan atas Ketuhanan YME menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan bertujuan agar dapat membentuk keluarga yang bahagia, dimana diperlukan peran dari suami maupun istri agar dapat memenuhi kekurangan masing-masing demi ketercapaian kesejahteraan material maupun spiritual. Ikatan perkawinan ini bertujuan agar sepasang suami istri mempunyai keturunan bagi pembentukan generasi berikutnya.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPer) dan UU Perkawinan. Perjanjian perkawinan diselenggarakan oleh calon suami maupun istri sebelum dilangsungkannya perkawinan, ataupun ketika perkawinan berlangsung yang bertujuan dalam melakukan pengaturan harta benda sebagai bentuk konsekuensi atas adanya perkawinan.1 Menurut X. Subekti juga menyatakan jika perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang membahas mengenai harta maupun benda dari suami dan istri ketika perkawinan mereka berlangsung serta menerapkan aturan yang sudah disampaikan oleh UU.2 Perjanjian perkawinan berfungsi agar suami maupun istri memahami apa yang menjadi hak maupun kewajiban mereka akan harta yang telah diperoleh.
Indonesia merupakan salah satu negara yang melegalkan sejumlah peraturan perkawinan karena negara Indonesia memahami bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultural yang mempunyai banyak kepercayaan maupun agama dalam perkawinan. Hal tersebut telah dijelaskan dengan baik pada
1 Xxxxxxx, Pengertian Perjanjian perkawinan,diakses dari xxxx://xxx.xxxxxxxx.xxx.xxx pada 21 Januari 2023 pukul 10.07 WIB.
2 Titik Triwulan Tutik,Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, ED.I, Cet.I, (Jakarta:Prenada Media Group,2008),hlm.109.
dasar negara Indonesia, salah satunya adalah Pancasila. Pada Pancasila juga menyatakan bahwa terdapat prinsip kebebasan untuk menganut agama maupun kepercayaan yang mereka yakini.3
Pengaturan perkawinan sebenarnya telah ada sejak dulu karena masyarakat Indonesia sudah menganut berbagai tradisi keagamaan maupun keyakinan sejak dulu. Hal tersebut juga memicu perbedaan pola pikir pada beberapa kelompok masyarakat. sehingga prosesi perkawinan pada tiap kelompok, ras, ataupun suku dapat berbeda karena menganut aturan adat yang berlaku pada tiap kelompok. Peraturan terkait dengan perkawinan sebenarnya telah ada sejak zaman kerajaan di Indonesia sampai dengan zaman Indonesia merdeka.
Dasar hukum yang digunakan masyarakat Indonesia ketika zaman kemerdekaan sampai dengan tahun 1947 masih memakai aturan dari pemerintahan Kolonial Belanda. Hukum tersebut menjelaskan mengenai pengaturan terkait dengan klasifikasi perkawinan yang didasarkan atas golongan penduduk 4. Adapun penggolongan masyarakat timur asing Cina, masyarakat Eropa, maupun masyarakat keturunan Cina serta Eropa memakai aturan KUHPer. Sedangkan masyarakat timur asing serta masyarakat keturunannya memakai ketetapan dari hukum adat masing0masing. Kemudian masyarakat Indonesia asli atau yang dinamakan pribumi tergolong atas 3 kelompok, 1. Masyarakat Indonesia yang mempunyai agama islam akan memakai hukum islam yang sudah diterima adat, 2. Masyarakat Indonesia yang memiliki agama kristen akan memakai hukum Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, serta 3. Masyarakat Indonesia yang tidak termasuk 2 kelompok diatas akan memakai aturan perkawinan adatnya masing- masing.
Peraturan perkawinan di Indonesia yang begitu beragam kemudian memotivasi pemerintah agar dapat menetapkan unifikasi hukum perkawinan yang ditetapkan
3 Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 1.
4 Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan, Hukum Agama, (Bandung: Mandur Maju, 2007), hlm. 5.
bagi masyarakat Indonesia seluruhnya dengan ditetapkannya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pembentukan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 diharapkan bisa membantu mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan peraturan perkawinan untuk keseluruhan masyarakat Indonesia yang telah diakui secara legal.
Terkait dengan ketetapan tersebut, maka prosesi dan aturan perkawinan akan berdasarkan ketetapan dari hukum adat maupun agama dari pihak yang berkepentingan. Hukum adat memberikan pernyataan jika perkawinan merupakan ikatan diantara laki-laki dan wanita yang bertujuan agar dapat membentuk keluarga yang diakui secara agama maupun adat pihak yang berkepentingan, dengan melibatkan keluarga dari masing-masing pihak.5 Terdapat sejumlah aturan terkait dengan perkawinan yang mempengaruhi perbedaan pada prosesi perkawinan yang pada akhirnya berdampak pada konsekuensi untuk bertahan hidup, pedoman hidup, perencanaan keluarga, hubungan keluarga, hingga kepemilikan harta pada kehidupannya.6
Sesudah UU Perkawinan dinyatakan sah untuk berlaku, maka negara Indonesia sudah menetapkan unifikasi hukum mengenai peraturan perkawinan yang ada, serta dikecualikan dari ketentuan yang belum dijelaskan pada peraturan tersebut.7 Pengaturan hukum mengenai perkawinan ini diwajibkan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga setiap masyarakat Indonesia mempunyai hak maupun kewajiban untuk menaati aturan yang telah berlaku untuk membentuk keharmonisan keluarga, menetapkan pengelolaan harta kekayaan, ataupun konsekuensi hukum yang muncul atas sebuah perkawinan.8 Pada perkawinan, setiap pasangan suami maupun istri akan memiliki hak maupun kewajiban yang harus dijalankannya. Kehidupan perkawinan yang sah secara hukum akan memunculkan berakibat pada hukum, sehingga peraturan ini berkaitan dengan
hlm. 55.
hlm. 3.
5 Soerjono Wignjodipoere, Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1988),
6 Xxxxxx Xxxxxxxxxx,Loc.Cit.
7 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
8 X. Xxxxxxx Xxxxx, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982),
peresmian, pelaksanaan, keberlanjutan, serta penghentian perkawinan yang didalamnya sudah diatur pada UU Perkawinan.
Pengaturan harta benda tentu saja dapat memberikan pengaruh pada kehidupan perkawinan, karena hal ini dapat menimbulkan perselisihan apabila tidak diselesaikan dengan baik. Ketika perkawinan terjadi, maka harta benda yang dimiliki oleh pasangan suami istri akan diistilahkan sebagai harta gono gini. Pada UU Perkawinan Pasal 35 ayat (1) menyatakan jika harta benda yang didapatkan ketika perkawinan akan dinamakan harta bersama. Kemudian pada ayat (2) menyatakan jika harta bawaan dari suami maupun istri masing-masing akan dikategorikan sebagai harta pribadi baik itu warisan, hadiah, serta yang lain. Agar dapat menghindari konflik, maka pasangan ini bisa membentuk akta perjanjian pra nikah (prenuptial agreement). Hal tersebut sebenarnya sudah dijelaskan pada Pasal
29 UU perkawinan. Perjanjian tersebut ditujukan untuk memperjelas harta kekayaan masing-masing pihak untuk dipisahkan berdasarkan hak maupun tanggung jawab pribadi. Isi pada perjanjian perkawinan sudah ditetapkan berdasarkan dari kesepakatan seluruh pihak, apakah akan digabungkan ataupun akan dipisahkan.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan transportasi, maka antara negara satu dengan lainya dengan mudah dijangkau dapat melakukan suatu hubungan antar negara, sehingga banyak WNA yang dengan mudahnya masuk ke Indonesia, untuk melakukan berbagai aktivitas. Selain itu juga tidak sedikit dari Warga Negara Asing membawa dampak terkait dengan hubungan didalam keluarga, terutama perkawinan. Bukan hal mustahil bila ada perkawinan diantara kewarganegaraan yang berbeda. Perkawinan ini di Indonesia dikenal dengan istilah Perkawinan Campuran. Pasal 57 UUP menyatakan jika perkawinan campuran merupakan perkawinan diantara 2 orang yang berbeda kewarganegaraan yang salah satu pihaknya merupakan masyarakat Indonesia asli.
Terhadap urusan percampuran harta bersama didalam rumah tangga tidak jarang dapat menimbulkan permasalahan bahkan menimbulkan perselisihan. Terlebih apabila perkawinan ini merupakan perkawinan campuran maka akan ada beberapa hal yang timbul dikarenakan perbedaan kewarganegaraan tersebut. Perkawinan campuran berdampak di bidang harta benda pada perkawinan, khususnya terhadap kepemilikan mengenai benda yang tidak bergerak. Misalnya, WNI yang menikah dengan WNA itu tidak boleh mempunyai hak atas tanah seperti: Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB) ataupun Hak Guna Usaha (HGU). Ini juga menyesuaikan dengan peraturan pada Pasal 35 UU Perkawinan yang menjelaskan jika keseluruhan harta benda jika didapat sepanjang perkawinan akan secara langsung merupakan harta milik bersama suami dan istri tersebut.
Dengan demikian, akan terjadi adanya percampuran harta antara pasangan WNI dengan WNA tersebut. Sedangkan, sesuai dengan ketentuan dalam “UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA)” mengatakan jika seorang WNA tidak boleh memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Hal tersebut dimana dinyatakan didalam Pasal 21 ayat (1) yang mengatakan jika hak milik hanyalah warga negara indonesia saja. Di dalam pasal 36 ayat (1)a menyatakan bahwa yang bisa memiliki Hak Guna Bangunan adalah seorang warga negara Indonesia. Berdasarkan hal-hal diatas, maka dapat ditarik kesimpulan jika pasangan suami istri WNI dengan WNA dengan percampuran harta perkawinan tidak diperkenankan untuk mempunyai Hak Milik, Xxx Xxxx Xxxxx, dan Hak Guna Bangunan. Jika pasangan perkawinan campuran ingin memiliki ketiga hak tersebut, pasangan suami istri tersebut diharuskan menetapkan Perjanjian Perkawinan.
Berdasarkan ketentuan tersebut ada contoh kasus perkawinan campuran yang berdampak terhadap harta benda dalam perkawinan.Xxx Xxxxxx seorang WNI yang menikah dengan pria berkebangsaan Jepang atau WNA pada tanggal 11 Mei 2015, tanpa adanya perjanjian pranikah. Penyelidikan dimulai dengan Xxx Xxxxxx membeli salah satu apartemennya pada tanggal 26 Mei 2012, namun meski telah membayar lunas, kunci apartemennya tidak dikirim.Namun, karena suami penggugat adalah
orang asing dan penggugat belum menyelesaikan akad nikah, pihak pengembang memutuskan akad jual beli secara sepihak. Pengembang apartemen kemudian menolak untuk membeli properti tersebut. Ny. Xxx Xxxxxx, merupakan WNI tidak ingin kehilangan hak konstitusionalnya sebagai WNI karena undang-undang yang mengizinkannya menikah dengan orang asing memperlakukannya berbeda di hadapan hukum, sehingga ia mengajukan permohonan uji materi Pasal 21 ayat 1, ayat 3 dan Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria; Pasal 29 ayat 1, ayat 3, ayat 4 dan Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Subyek ketentuan hukum a quo yang dipertimbangkan berkaitan dengan hak WNI atas hak milik atas tanah dan kesanggupan untuk menggunakan suatu bangunan jika ia menikah dengan masyarakat asing tanpa menetapkan perjanjian perkawinan. Xxx Xxxxxx, menggugat berlakunya UUPA Pasal 36 ayat 1 dan UU Perkawinan Pasal 35 ayat 1 , Pasal 21 ayat dan 3 UUPA Pasal 29 ayat 1, 3 , dan 4, yang berpotensi melanggar hak konstitusional Xxx Xxxxxx. Aturan-aturan tersebut akan menyebabkan pemohon kehilangan haknya untuk memiliki dan memanfaatkan bangunan. Melihat dari penjelasan diatas, maka penulis kemudian mempunyai ketertarikan dalam meneliti dan mengkaji hal tersebut yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Xxxxxxx Xxxjanjian Perkawinan Sebelum dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015”
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana ketentuan perjanjian perkawinan sebelum dan pasca putusan mahkamah konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015?
2. Apa akibat hukum perjanjian perkawinan sebelum dan pasca putusan mahkamah konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015?
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terdiri atas ruang lingkup ilmu dan ruang lingkup bidang kajian. Lingkup ilmu pada penelitian kali ini ialah hukum keperdataan,
khususnya hukum keluarga.Lingkup objek kajian ini mengkaji tentang tinjauan yuridis perjanjian perkawinan pasca putusan mahkamah konstitusi No. 69/PUU- XIII/2015.
1.4 Tujuan Penelitian
Berikut merupakan tujuan dalam penyelenggaraan penelitian ini:
1. Agar dapat mengamati serta menganalisis ketentuan Perjanjian perkawinan sebelum dan pasca putusan mahkamah konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015.
2. Agar dapat mengamati serta menganalisis akibat hukum dari Perjanjian perkawinan bagi para pihak yang membuatnya
1.5 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dapat mencangkup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis kajian ini dapat memperluas ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum keluarga terkait dengan Perjanjian perkawinan dan sebagai acuan pembelajaran bagi sejumlah pihak yang sepakat untuk melaksanakan Perjanjian perkawinan harus memperhatikan ketentuan yang diatur lebih lanjut di dalam putusan mahkamah konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian secara praktis dapat mampu memberikan informasi serta wawasan tambahan bagi penulis. Selain itu, penelitian ini bisa menjadi rujukan untuk seluruh pihak yang membutuhkan referensi mengenai Perjanjian perkawinan yang didasarkan atas putusan mahkamah konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang Perkawinan
2.1.1 Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan ikatan secara lahir maupun batin diantara pria maupun wanita untuk menjadi sepasang suami istri yang bertujuan agar dapat membentuk keluarga yang didasarkan atas kehendak Tuhan YME. 9Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Perkawinan dianggap sah jika dilangsungkan sesuai dengan ketetapan agama masing-masing dan diakui secara resmi berdasarkan aturan UU yang telah berlaku. Termasuk bagi seorang pria yang hendak memiliki istri lebih dari seorang (poligami) agar perkawinannya diakui maka harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada. Berdasarkan Pasal 38 UU Perkawinan, perkawinan bisa putus dikarenakan kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.10
Menurut X. Xxxxxxxx perkawinan adalah ikatan secara lahir maupun batin yang mengikat pihak terkait secara formal dan secara agama. Pengertian ikatan lahir batin ini dijelaskan menjadi niat yang murni untuk menjalani kehidupan bersama sebagai sepasang suami dan istri serta mempunyai tujuan dalam membentuk keluarga yang harmonis.11
Pada KUHPer perkawinan menyatakan jika Pasal 26 menjelaskan jika perkawinan merupakan hubungan perdata serta pada Pasal 27 menyatakan jika perkawinan menganut prinsip monogami. Pasal 103 menjelaskan jika sepasang suami maupun
9 Xxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hlm.9.
10 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974, (Jakarta : PT. Xxxx Xxxxxx, 1986), hlm.103.
11 Ibid, hlm.19
istri diharuskan bersikap setia, saling menolong, serta membantu. Perkawinan adalah ikatan diantara pria dan wanita yang diresmikan oleh aturan negara serta mempunyai tujuan dalam membentuk keluarga yang harmonis dan baik 12
Dari rumusan tersebut di atas dapat ditemukan unsur perkawinan sebagai berikut:
a. Suatu perkawinan, supaya menjadi sah, harus dilangsungkan sesuai dengan aturan yang masih berlaku.
b. Perkawinan seperti yang dicantumkan pada Pasal 27 KUH Perdata berasaskan monogami,sehingga bigami dan poligami dianggap bertentangan dengan KUHPer
c. Perkawinan pada asasnya harus berlangsung kekal dan abadi
Hal ini berarti pemutusan perkawinan hanya dapat terjadi karena kematian, undang- undang memberikan suatu pengecualian yang sejauh mungkin harus dihindari, KUHPer menganggap jika perceraian merupakan sesuatu hal yang terpaksa dilakukan karena sepasang suami istri tidak bisa hidup bersama. Perkawinan seperti yang dijelaskan pada KUHPer merupakan hubungan secara hukum diantara pihak- pihak yang mengikat diri mereka pada perkawinan. Hubungan ini didasarkan atas persetujuan dari pihak yang terlibat. Persetujuan ini juga tercantum pada Buku III namun berbeda pada konteks bentuk maupun isi.13
Pada pasal 28 KUHPer Perkawinan dapat dianggap sebagai suatu perjanjian (persetujuan), asalkan adanya kehendak yang sesuai diantara pria dan wanita serta adanya kehendak tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, dirumuskan pada Pasal 1 yang menyatakan jika perkawinan merupakan ikatan secara lahir maupun batin diantara pria dan wanita yang mengikatkan diri untuk menjadi suami istri serta bertujuan dalam membentuk keluarga yang didasarkan atas prinsip Ketuhanan YME. Ketentuan dari Pasal tersebut bahwa perkawinan tidak hanya menyangkut unsur lahiriah, melainkan juga menyangkut unsur batiniah. Adanya ikatan lahir batin dalam suatu perkawinan seperti yang dijelaskan pada UU
12 Xxxxxxxxx Xxxxxx, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dun Hukum Adat,( Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 6.
13 Ibid, hlm. 5
Perkawinan sangat penting, ini nampak dengan ditegaskannya kembali masalah itu dalam penjelasan Pasal 1 yang menjelaskan jika negara yang didasarkan pancasila sila pertama akan mempunyai hubungan perkawinan yang erat dari unsur lahir, jasmani, batin, serta rohaninya.
Menurut rumusan Perjanjian perkawinan terdapat 3 unsur yang terkandung di dalamnya yaitu sebagai berikut:
a. Xxxxxxxxxx sebagai ikatan lahir batin dianta pria dan wanita
b. Perkawinan bertujuan dalam membentuk keluarga yang kekal serta bahagia.
c. Rumusan perkawinan tersebut diketahui bahwa membentuk keluarga yang bahagia dan kekal didasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini menjelaskan jika perkawinan diharuskan sesuai dengan agama maupun kepercayaan dari pihak yang terlibat sesuai dengan pernyataan dari pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
Keluarga yang bahagia merupakan keluarga yang dapat melakukan pemenuhan atas kebutuhan jasmaniah maupun rohaniahnya. Kebutuhan jasmaniah ini misalnya sandang, papan, pangan, pendidikan, maupun kesehatan. Kebutuhan rohaniah merupakan kebutuhan rohani, misalnya anak dari pasangannya.
2.1.2 Syarat-Syarat Perkawinan
UU Perkawinan Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 menyatakan bahwa untuk melakukan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sah suatu perkawinan, seperti dibawah ini:
a. Syarat Materiil pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU Perkawinan, menjelaskan jika syarat yang berkepribadian dengan kepribadian dari pihak yang berkaitan serta izin akan diberikan pada pihak ketiga seperti yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan yang ada, dimana pihak yang akan melangsungkan pernikahan harus berumur minimal laki-laki 19 tahun serta minimal 16 tahun bagi perempuan. Setiap perempuan tidak dibolehkan melakukan perkawinan kembali
jika belum 300 hari sesudah pembubaran perkawinan, perlu ada izin dari pihak ketiga, serta berkemauan bebas dan tidak terpaksa.
b. Syarat Formil, Menurut Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 12, untuk dapat melakukan perkawinan maka harus dipenuhi syarat dibawah ini:
1. Perkawinan harus berdasarkan persetujuan calon suami dan istri.
Untuk melakukan perkawinan seorang yang belum mencapai 21 tahun perlu memperoleh izin dari orangtua.
2. Apabila orangtua sudah meninggal dunia ataupun tidak dapat memberikan izin, maka dapat diberikan pada orangtua yang masih hidup ataupun dapat memberikan izin.
3. Jika kedua orangtua telah meninggal ataupun tidak dapat memberikan izin, maka dapat memperoleh izin dari wali, yang merupakan orang yang memelihara ataupun keluarga yang berhubungan darah pada garis keturunan lurus keatas.
4. Jika terdapat perbedaan pendapat, maka pengadilan memberikan izin dengan mendengarkan pendapat dari pihak yang berkepentingan.
Selain hal-hal tersebut harus dipenuhi, Pasal 8 suatu perkawinan diantara laki-laki serta perempuan dilarang apabila:
1. Jika terdapat hubungan garis keturunan keatas ataupun kebawah.
2. Jika terdapat hubungan garis keturunan menyamping.
3. Jika terdapat hubungan darah semenda, seperti anak tiri, mertua, menantu, serta yang lainnya.
4. Memiliki hubungan yang pada agama ataupun aturan lainnya telah menjelaskan jika tidak dapat melangsungkan perkawinan.
2.1.3 Asas-Asas Perkawinan
Asas perkawinan terdapat pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut :14
a) Asas perkawinan kekal
Tujuan dilangsungkannya perkawinan merupakan pembentukan keluarga bahagia serta kekal yang didasarkan Ketuhan YME. Artinya hendaknya perkawinan dilaksanakan sekali selama hidup. Perkawinan kekal membentuk keluarga yang bahagia. Islam mengharamkan perkawinan yang dilangsungkan dengan jangka waktu, misalnya tiga (3) bulan, satu (1) tahun dan seterusnya.
b) Asas perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing
Syarat sahnya perkawinan adalah harus dilaksanakan berdasarkan agama maupun kepercayaan kedua pihak. Prinsip ini mengedepankan keseimbangan agama yang didasarkan untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dinyatakan sah jika telah dilangsungkan berdasarkan agamanya dan kepercayaan kedua belah pihak.
c) Asas perkawinan terdaftar.
Perkawinan perlu dicatatkan pelaksanaannya secara resmi didasarkan peraturan yang berlaku. Perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum tiap agama maupun kepercayaan yang berkekuatan hukum jika dilakukan pencatatan berdasarkan UU yang ada.
d) Asas perkawinan monogami.
UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami. Pada dasarnya suatu perkawinan suami hanya diperbolehkan
14 Xxxxxxxx Xxxxx, Aspek-aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm.264-266
memiliki satu orang istri dalam jangka waktu yang bersamaan. Prinsip ini sudah ditegaskan pada Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
e) Poligami sebagai pengecualian.
Dalam hal tertentu, perkawinan poligami diperbolehkan sebagai pengecualian dalam perkawinan. Dalam melakukan perkawinan poligami harus dikehendaki oleh kedua belah pihak, baik suami istri serta calon istri. Meskipun hal tersebut dikehendaki, hal tersebut harus memenuhi syarat yang sudah ditetapkan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan alasan serta syarat- syarat tertentu pengadilan bisa mengizinkan seorang pria untuk memiliki istri lebih dari satu.
f) Xxxx tidak mengenal perkawinan poliandri.
Hukum perkawinan di Indonesia tidak memperbolehkan adanya perkawinan poliandri. Tujuannya adalah agar menjaga kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur dan kepastian hukum bagi seorang anak. Karena anak meskipun sejak dalam kandungan telah berkedudukan sebagai pembawa hak.
g) Perkawinan didasarkan pada kesukarelaan atau kebebasan berkehendak. Untuk membentuk suatu perkawinan yang kekal dan bahagia, maka perkawinan harus dilakukan atas persetujuan dari pihak yang berkaitan. Perkawinan dilangsungkan berdasarkan kerelaan dari tiap pihak untuk menjadi pasangan hidup, saling menerima maupun melengkapi kekurangan masing-masing dengan tidak dipaksa oleh sejumlah pihak.
h) Keseimbangan hak antara suami dan istri.
Kedudukan suami istri adalah seimbang didalam rumah tangga serta pergaulan hidup di lingkungan masyarakat. Tiap pihak mempunyai hak untuk melaksanakan perbuatan hukum, yang mana suami bertindak menjadi kepala rumah tangga serta istri menjadi ibu rumah tangga.
i) Xxxx mempersukar perceraian
Perceraian bisa dilaksanakan jika dengan alasan khusus serta harus dilaksanakan dengan sidang pengadilan setelah hakim tidak bisa menemukan solusi atas 2 belah pihak. Hukum Islam menganggap bahwa perceraian adalah sebagai pintu darurat dan bisa dilaksanakan ketika telah melalui berbagai proses khusus.
2.2 Perkawinan Campuran
2.2.1 Pengertian Perkawinan Campuran
Sebelum diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan campuran itu telah dijelaskan pada peraturan Koninklijk Besluit tanggal 29 Desember 1896 No. 23. Peraturan ini dikenal dengan Regeling op de Gemengde Huwelijken yang istilah kan juga dengan Gemengde Huwelijken Regeling (G.H.R) atau yang dikenal pula dengan peraturan perkawinan campuran. Keadaan hukum menjelang terbentuknya UU No. 1 Tahun 1974, menunjukkan terdapat pluralisme terutama dalam hal hukum perdatanya. Pluralisme ini awal mulanya adalah sebagai akibat dari perbedaan corak dan kebudayaan penduduk Indonesia. Menurut ketentuan pasal 163 Indisch Staatsblad (selanjutnya disebut I.S.), penduduk Hindia-Belanda terbagi atas 3 kelompok:15
a. Penduduk golongan Eropa
b. Penduduk golongan Bumiputera
c. Penduduk golongan Timur Asing
Setelah berlakunya UU Perkawinan Nasional,yaitu UU No. 1 Tahun 1974 yang menjelaskan unifikasi lapangan hukum perkawinan. Bagian ketiga dari Bab XII UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memuat 6 pasal dari Pasal 57-62. Pasal 57 UUP menyatakan definisi dari perkawinan campuran yaitu perkawinan diantara 2 orang Indonesia yang mempunyai perbedaan kewarganegaraan, dimana salah satu
15 Xxxxxxxx Xxxxx, Op.Cit.hlm.230
pihak mempunyai kewarganegaraan Indonesia serta yang lainnya mempunyai kewarganegaraan asing.
Definisi pasal tersebut bisa dijelaskan bahwa unsur perkawinan campuran adalah:
1) Perkawinan diantara pria dan wanita
2) Dilaksanakan di Indonesia serta tunduk akan aturan yang berbeda
3) Terdapat perbedaan kewarganegaraan
4) Salah satu pihaknya mempunyai kewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama berfokus pada asas monogami, yang mana pria akan menikahi seorang wanita begitupun sebaliknya. Unsur kedua menjelaskan adanya perbedaan hukum diantara pria maupun wanita, yang dikarenakan adanya perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini disebabkan karena salah satu pihak mempunyai kewarganegaraan Indonesia, serta pihak lainnya memiliki kewarganegaraan asing. Jadi perkawinan campuran menurut UUP merupakan perkawinan diantara WNI dan WNA. Karena kewarganegaraannya berbeda, maka hukum yang diberlakukan juga berbeda.
Pasal 58 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga menjelaskan jika orang yang saling berbeda kewarganegaraan dapat melangsungkan perkawinan campuran, serta mendapatkan kewarganegaraan dari pasangannya, serta bisa kehilangan kewarganegaraan juga berdasarkan sejumlah alasan yang telah ditetapkan pada UU yang berlaku di Indonesia.16
2.2.2 Syarat-syarat dan Prosedur dalam Melaksanakan Perkawinan Campuran
a. Syarat-syarat Perkawinan Campuran
Syarat perkawinan campuran, apabila perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang- Undang perkawinan (Pasal 59 (2) UUP)
16 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm.67
dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 UUP. Pasal 2 UUP menyatakan: “(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6 UUP menyatakan: (1)Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.”
Pasal 60 ayat (1) UUP menyatakan: “Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi”. Pasal ini menjelaskan kedua belah pihak harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.
b. Prosedur dalam Melaksanakan Perkawinan Campuran
Apabila persyaratan perkawinan campuran di atas terpenuhi, pelaku perkawinan campuran dapat meminta Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan, ketentuan ini tertuang Pasal 60 ayat (2) UUP menyatakan: “Untuk membuktikan
bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.”
Pasal 60 ayat (3) menyatakan: “Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak”. Apabila putusan pengadilan itu menyatakan jika penolakan didasari atas hal yang abstrak, maka keputusan pengadilan akan digunakan sebagai pengganti surat keterangan yang dimaksud (Pasal 60 ayat (4) UUP). Setelah surat keterangan didapatkan, maka perkawinan dapat dilaksanakan.
Pelangsungan perkawinan akan dilaksanakan berdasarkan hukum pada agama yang dianut. Untuk masyarakat islam, maka harus mengadakan akad dan kedua mempelai harus beragama islam. Sedangkan untuk agama non-islam, maka dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan agama masing-masing. Supaya dapat dilakukan perkawinan yang dicatatkan secara resmi, maka kedua pihak perlu melakukan pernikahan sesuai dengan ketentuan pencatatan sipil. Perkawinan dicatat oleh pihak yang berwenang sesuai dengan Pasal 61 ayat (1) UUP.
Pasal 60 ayat (5) UUP menyatakan:”Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan”. Pasal ini menerangkan jika perkawinan tersebut tidak dilaksanakan dengan waktu 6 bulan setelah keputusan ditetapkan, maka surat keterangan yang memuat putusan tersebut dinyatakan tidak berlaku.
2.3 Tinjauan Umum tentang Perjanjian Perkawinan
2.3.1 Pengertian Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan berasal dari kata “huwelijksvoorwaarden” yang tertuang pada Burgerlijk Wetboek (BW) yang mana istilah tersebut juga tercantum pada KUHPer. Kata “huwelijk” apabila diartikan yaitu seorang pria dan wanita serta “voorwaard” diartikan menjadi persetujuan. Perjanjian perkawinan merupakan persetujuan dari perkawinan yang dilangsungkan diantara seorang pria dan wanita.17
Perjanjian perkawinan diartikan dalam bahasa inggris sebagai prenuptial agreement. Perjanjian perkawinan tidak dijelaskan secara rinci pada UU Perkawinan, tetapi hanya menjelaskan mengenai istilah, masa pemberlakuan, keabsahan, serta pengubahan atas perjanjian yang dimaksud.
Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang disepakati calon pasangan ketika sebelum maupun sesudah dilangsungkannya perkawinan yang digunakan dalam mengatur harta mereka saat menjalankan perkawinan.18 Perjanjian perkawinan secara formal diartikan menjadi kesepakatan secara hukum yang mengatur mengenai perkawinan calon pasangan untuk ditaati hingga seterusnya tanpa menjelaskan lebih rinci mengenai isinya.19Rumusan pengertian Perjanjian perkawinan, tidak dijumpai di dalam KUHPer, sehingga doktrin berusaha dalam merumuskan dalam titik tolak yang berbeda. Namun demikian dapat dikemukakan pengertian Perjanjian perkawinan yang disampaikan oleh para ahli hukum.
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx menyatakan jika perjanjian perkawinan merupakan eprtimbangan hukum yang mengatur harta kekayaan diantara pihak yang akan
17 Xxxxxxx Xxxxx Xxxx Xxxxx Xxxxxx, Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ghalia, 1982), hlm. 107
18Xxxxx Xxxx, ”Menarik Mengetahui Tentang Perjanjian perkawinan
xxxxx://xxx.xxxxxxxxx.xxx/xxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxxxxxxx/, Diakses pada 28 September 2022 pukul 11.45 WIB
19 Xxxxxxxxx H.R,Segi-segi Hukum Perjanjian perkawinan Harta Bersama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm.1.
mengikatkan diri dalam perkawinan dan berjanji agar melaksanakan suatu hal serta dapat menuntut perjanjian yang dimaksud.20Dari pengertian Perjanjian perkawinan tersebut, secara sederhana bisa ditarik kesimpulan jika perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang disepakati calon suami dan istri, serta terdapat unsur- unsur yang sama, seperti perjanjian serta harta kekayaan kedua belah pihak ketika melangsungkan perkawinan. Berdasarkan ketetapan dari pasal 29 UU Perkawinan, pihak yang mengikatkan diri dalam perkawinan harus menyepakati perjanjian tertulis yang disahkan pihak yang berwenang.
Suatu perjanjian bisa disepakati ketika sebelum atau sesudah dilangsungkan perkawinan. Adapun syaratnya yaitu tidak diperbolehkan melanggar batasan hukum, kesusilaan, serta agama. Perjanjian ini dinyatakan berlaku saat perkawinan telah dilaksanakan. Ketika perkawinan dilaksanakan, maka perjanjian tidak diperbolehkan untuk diubah namun terkecuali seluruh pihak telah menyetujui perubahannya dan perubahan tersebut tidak menimbulkan kerugian pada pihak ketiga.
Perjanjian perkawinan perlu dituliskan dan ditandatangani oleh pihak yang terlibat bahwa kedua belah pihak sepakat dan mempunyai kekuatan mengikat. Perjanjian dinyatakan sah ketika seluruh pihak sepakat terkait dengan poin-poin yang tercantum pada perjanjian tersebut. X.Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx mengemukakan bahwa tujuan dari adanya perjanjian perkawinan adalah agar terhindar dari penyimpangan poin-poin yang disepakati mengenai kekayaan bersama, yang berarti Perjanjian perkawinan ada kaitannya dengan hal untuk mengatur harta perkawinan. Oleh sebab itu, perjanjian perkawinan perlu memuat sejumlah hal berikut :21
1. Apabila ada harta kekayaan yang besarannya melebihi dari kekayaan pihak lainnya.
2. Seluruh pihak mempunyai masukan yang cukup.
20 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
(Bandung: Sumur, 1981), hlm. 11.
21 X.Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia, (Surabaya:Universitas Erlangga Press, 2012), hlm.58.
3. Setiap pihak mempunyai usaha sendiri, sehingga andai terjadi pailit di salah satu pihak tidak menimbulkan dampak yang negatif pada pihak lainnya.
4. Mengenai utang yang telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan, dimana akan dijadikan tanggungjawab masing-masing pihak.
2.3.2 Syarat-Syarat Perjanjian perkawinan
Peraturan mengenai Perjanjian perkawinan sudah ada pada Pasal 29 UU Perkawinan menetapkan bahwa kedua pihak menyetujui Perjanjian perkawinan namun harus dengan memenuhi beberapa syarat-syarat Perjanjian perkawinan.22 Adapun persyaratan Perjanjian perkawinan tersebut ialah:
1. Kedua belah pihak perlu mengajukan sebelum perkawinan dilaksanakan.
2. Pengajuan secara tertulis lalu dilegalkan oleh pegawai yang berwenang dan dimasukkan pada akta perkawinan.
3. Perjanjian perkawinan tidak dinyatakan sah apabila melakukan pelanggaran atas batasan hukum agama maupun kesusilaan.
4. Ketika perkawinan berlangsung, perjanjian ini tidak bisa diubah seenaknya kecuali mendapat persetujuan dari kedua pihak serta perubahan tidak menimbulkan kerugian untuk pihak ketiga.
5. Perjanjian perkawinan yang sudah sah akan diberlakukan pada pihak ketiga yang terkait.
6. Perjanjian dinyatakan berlaku saat perkawinan telah terjadi.
2.3.3 Manfaat Perjanjian Perkawinan
Adapun manfaat Perjanjian perkawinan seperti yang dijelaskan oleh Xxxx Xxxxxx yaitu salah satu seorang notaris adalah: 23
1. Memberikan perlindungan pada kekayaan.
22 Xxxxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Keluarga : Harta-Harta Benda Dalam Perkawinan, (Depok: PT. RajaGrafindo Persada,2019), hlm : 68
23Hadriani Xxxxxxxxx, Ada Enam Manfaat Perjanjian Pranikah,
xxxxx://xxxx.xxxxx.xx/xxxx/000000/xxx-0-xxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxxxxx,Xx akses 17 September 2022. 17.00 WIB.
Perjanjian perkawinan akan menyatakan bahwa sepasang suami maupun istri akan menikah dengan tidak dilatarbelakangi oleh motif uang.
2. Melindungi berbagai kepentingan.
Jika suami terbukti melangsungkan poligami, maka terdapat aturan yang menyatakan perlu menjamin kehidupan seluruh istri serta harta bersama ditiap perkawinan secara terpisah. Perjanjian juga akan menjamin jika harta bersama suami istri tidak dicampur, yang mana hal ini juga akan memisahkan harta peninggalan suami untuk seluruh perkawinan. Sehingga kehidupan tiap istri akan tenang, harmonis, serta menghindari perselisihan diantara ahli waris.
3. Membebaskan dari kewajiban ikut membayar hutang.
Harta bersama terdiri atas harta bergerak, tidak bergerak, yang masih ada, ataupun yang masih direncanakan ada. Sesuai peraturan dari pasal 35 UU Perkawinan pasal 121 KUHPer menyatakan jika harta bersama mencakup keseluruhan utang dari suami maupun istri ketika sebelum, selama, ataupun sesudah perkawinan jika pasangan tersebut mempunyai utang. Apabila beban hutangnya cukup tinggi, maka keduanya mempunyai kewajiban untuk melunasinya. Jika calon pasangan akan menikah dan diantara kedua pasangan suami istri tersebut memiliki utang yang signifikan namun tidak bertanggungjawab akan utangnya, maka perjanjian perkawinan dapat menjamin keamanan pihak lain atau istri agar tidak terjadi perselisihan maupun kerugian.
4. Kepentingan usaha terjamin.
Jika mempunyai bisnis yang masih berjalan dan pasangan ini menikmati akan keuntungan dari bisnis tersebut, maka dapat dimasukkan menjadi harta bersama perkawinan. Apabila dikemudian hari ditemukan adanya perceraian, maka kekayaan bisnisnya pun harus dibagi. Hal ini juga mencakup keuntungan harta maupun pertambahan harta pada kekayaan pribadi masing-masing pihak. Perjanjian tersebut sangat fleksibel untuk mengendalikan situasi, dimana jika terjadi perceraian, maka pasangan tetap dapat melaksanakan bisnisnya,
bermitra, maupun kondisi lain sesuai yang disepakati pada perjanjian perkawinan.
5. Menjamin kelangsungan harta warisan peninggalan keluarga. Pada pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1947 mengatur jika harta bawaan dari tiap pihak yang berupa hadiah maupun warisan yang berada ditiap pihak akan dikuasai secara masing-masing jika seluruh pihak tidak menentukan apa-apa. Dalam perjanjian perkawinan akan memastikan jika tidak terdapat hadiah maupun hibah yang dipindahkan untuk agar dapat menjamin harta dari warisan maupun keluarga tetap dinikmati oleh pihak yang bersangkutan.
6. Memberikan jaminan keadaan finansial dari suami istri sesudah perkawinan selesai. Hal ini digunakan untuk menjamin kehidupan bagi pihak istri yang tidak bekerja, ketika pengadilan menetapkan bahwa suami tidak perlu menafkahi maupun membiayai pendidikan anak. Sehingga akan ditetapkan kemudian hari total biaya hidup maupun pendidikan yang didasarkan oleh pertimbangan putusan hakim pada perjanjian perkawinan. Contohnya tanggal pengajuan perjanjian perkawinan serta meminta pada hakim agar suami bisa melaksanakan kewajibannya dengan baik.
2.4 Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi
2.4.1 Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan jika kekuasaan kehakiman merupakan kuasa yang merdeka dalam melaksanakan penyelenggaraan peradilan agar menegakkan hukum maupun keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan MA serta badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah MK seperti yang telah ditetapkan pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian kedudukan MK merupakan aktor kekuasaan kehakiman yang setara dengan MA. MK merupakan lembaga peradilan yang dibentuk agar dapat meluruskan hukum serta keadilan pada lingkup wewenang yang dimiliki.
Fungsi Mahkamah Konstitusi ditetapkan berdasarkan kewenangannya untuk melakukan pemeriksaan, pengadilan, serta menetapkan keputusan perkara yang melibatkan pertimbangan konstitusional. Putusan MK adalah penafsiran akan konstitusi. Sehingga melihat penjelasan diatas, ada 5 fungsi MK yaitu mengawal konstitusi (the guardian of the constitution), menafsirkan konstitusi final (the final interpreter of the constitution), melindungi hak asasi manusia (the protector of human right), melindungi hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional right), serta melindungi demokrasi (the protector of democracy).24
Pasal 24C Ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan kewenangan MK yaitu:
a. “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa tentang hasil Pemilu.
b. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”
Kemudian dalam Pasal 10 UU No, 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diatur secara khusus wewenang dari Mahkamah Konstitusi sebagai berikut :
a) “Menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945.
b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945.
c) Memutus pembubaran partai politik.
d) Memutus sengketa tentang hasil Pemilu.
24 Xxx Xxxxxxx,Majalah Hukum Forum Akademika Volume 25 Nomor 1 : Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003,2017, hlm. 50.
e) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.”
Jika dilihat dari ketentuan Pasal diatas maka kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi tidak jauh berbeda dengan kewenangan yang telah diperintahkan dalam UUD NRI 1945, namun dalam ketentuan Pasal diatas kewajiban Mahkamah Konstitusi dijelaskan secara lebih rinci, dimana Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk menetapkan keputusan pendapat dari DPR yang menyatakan jika Presiden maupun Wakil Presiden yang melanggar hukum, mengkhianati negara, korupsi, suap, maupun melakukan tindakan pidana lainnya serta tidak dapat melakukan pemenuhan atas persyaratan sebagai Presiden maupun Wapres seperti yang tercantum pada UUD NRI 1945.
2.5 Teori Kepastian Hukum
Kepastian adalah ciri yang berkaitan dengan hukum, khususnya norma hukum tertulis. Hukum yang tidak mengandung nilai kepastian maka tidak bermakna dikarenakan tidak bisa digunakan sebagai pedoman berperilaku masyarakat. kepastian sendiri dikenal menjadi tujuan dari hukum.
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian, sehingga dapat melakukan kegiatan- kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx menjelaskan jika kepastian hukum merupakan jaminan bahwa hukum akan dilaksanakan, bahwa yang berhak menurut hukum didapatkan atas haknya serta putusan bisa dilaksanakan.25
25Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengntar, (Yogyakarta:Universitas Atma Jaya,2007),hlm. 160.
2.6 Kerangka Pikir
Perjanjian Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan
Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU- XIII/2015
Bagaimana Perjanjian sebelum Putusan Konstitusi XIII/2015?
ketentuan perkawinan
dan
pasca
Mahkamah No.69/PUU-
Apa
akibat
Perjanjian sebelum Putusan Konstitusi XIII/2015?
hukum perkawinan
dan
pasca
Mahkamah No.69/PUU-
Gambar 1.Kerangka Pikir
Keterangan:
Berdasarkan kerangka pikir di atas maka perjanjian perkawinan pada awalnya diatur pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat dibuat seperti yang tertera dari Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan seperti berikut “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.”
Tetapi ketika ada putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang menjadi hasil atas pengujian materiil pada Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 mengenai perjanjian perkawinan. Putusan tersebut menyatakan jika pemaknaan perjanjian perkawinan sudah diluaskan cakupannya oleh MK karena menyesuaikan dengan kebutuhan hukum tiap pasangan. Oleh karena itu,penulis ingin mengetahui dan menganalisis Bagaimana ketentuan Perjanjian perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015, serta Apa akibat hukum Perjanjian perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015.
27
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisis data sekunder dengan bahan hukum primer, sekunder serta tersier dari bahan pustaka lainnya seperti UU maupun kajian literatur lain. Penelitian hukum normatif ini membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.26Penelitian ini akan mengkaji permasalahan dengan berdasarkan kepada norma, UU, dan literatur yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan sesudah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015.
3.2 Tipe Penelitian
Tipe penelitian yaitu deskriptif. Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran atau deskripsi lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakat.27 Kajian ini bertujuan untuk menggambarkan secara jelas dan lengkap mengenai ketentuan Perjanjian perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015.
3.3 Pendekatan Masalah
Pendekatan yang dipakai pada penelitian hukum ini merupakan pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang digunakan dengan
26 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2004), hlm. 24
27 Ibid, hlm. 50
cara menganalisis peraturan perundangan-undangan yang sesuai dengan topik penelitian.
3.4 Data dan Sumber Data
Data pada penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder pada dasarnya merupakan data normatif terutama yang bersumber dari perundang-undangan. Data sekunder biasanya diperoleh dari studi pustaka dan studi dokumen, dengan cara mengumpulkan data dari berbagai sumber bacaan berupa aturan maupun UU yang berlaku serta bahan pustaka atau literatur ilmu hukum yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti28:
Adapun sumber data penelitian meliputi:29
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berkekuatan untuk mengikat seluruh pihak yang berkepentingan, yang terdiri dari berbagai aturan seperti:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
b. UU No. 1 Tahun 1974 Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan.
c. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menunjang penjelasan dari bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder tersebut yaitu literatur hukum meliputi, buku-buku dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas.
3. Bahan hukum tersier yaitu data yang bersifat menunjang data primer serta data sekunder, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia dan internet.
28 Ibid,hlm.151
29 Ibid,hlm.82
3.5 Metode Pengumpulan Data
Metode untuk mengumpulkan data yang dipakai pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas yang sesuai dengan masalah yang dijelaskan pada penelitian ini.30
b. Studi Dokumen dengan mempelajari dokumen yang berupa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015. Teknik yang dipakai ialah membaca putusan tersebut kemudian dilakukan penganalisaan terhadap isi putusan tersebut.
3.6 Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data umumnya dilakukan melalui tahap-tahap berikut ini : Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah agar terciptanya hasil penelitian yang sesuai dengan pokok masalah yang akan dipecahkan. Metode pengolahan data terdiri dari:
a) Pemeriksaan data, adalah proses pemeriksaan data mentah yang dikumpulkan untuk mendeteksi kesalahan dan kelalaian dan untuk memperbaiki bila memungkinkan. Pemeriksaan data dilakukan untuk menjamin bahwa data yang didapat akurat, konsisten dengan fakta lain yang terkumpul.
b) Rekonstruksi data, dengan melakukan penyusunan yang sistematis agar lebih mudah untuk diinterpretasikan.
c) Sistematisasi data, yaitu menempatkan data menurut rangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah. 31
30 Ibid,hlm.81
31 Ibid,hlm. 53-54.
3.7 Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis kualitatif yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat yang baik dan benar, sehingga mudah dibaca dan diberi arti (diinterpretasikan).32Kemudian dilakukan interpretasi data, yaitu menguraikan data yang telah disusun tersebut, sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai Ketentuan Perjanjian perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015.Hasil analisis dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif dari penulis. Kesimpulan secara deduktif didasarkan pada analisis yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus.
32 Ibid,hlm.91
63
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Ketentuan Perjanjian Perkawinan pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, yaitu bisa dibuat ketika pernikahan belum dilaksanakan dengan atas dasar persetujuan bersama secara tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan ataupun notaris, yang mana hal ini juga mengikat pihak ketiga.
2. Akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan sebelum dan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 sebagai berikut:
a. “Akibat hukum perjanjian perkawinan sebelum putusan Mahkamah Konstitusi antara pasangan perkawinan WNI dengan WNA apabila kedua belah pihak mempunyai perjanjian perkawinan sebelum atau pada saat menikah, yang mengatur mengenai pemisahan harta kekayaan. Untuk kepemilikan atas benda tidak bergerak berupa Hak Milik ataupun hak guna bangunan dapat dimiliki WNI, sedangkan WNA dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai.”
b. “Akibat hukum perjanjian perkawinan setelah putusan Mahkamah Konstitusi untuk perkawinan WNI dengan WNA (perkawinan campuran) apabila perjanjian perkawinan dibuat setelah kawin/selama dalam ikatan perkawinan maka mengenai status harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan status harta bersama menjadi terpisah jika dikehendaki kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut dan harta yang akan diperoleh dikemudian hari tetap milik masing- masing pihak. Untuk kepemilikan atas benda tidak bergerak, WNI dalam perkawinan campuran bisa memiliki Hak
64
Xxxxx, Hak Guna Bangunan (HGB) karena terdapat perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan mengenai pemisahan harta. Bagi WNA pelaku perkawinan campuran dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai atas rumah tinggal dan satuan rumah susun. Akibat hukum perjanjian perkawinan bagi pihak yang membuatnya adalah kedua pihak tersebut terikat dengan apa yang telah diperjanjikan di dalam akta notaris.Apabila terdapat pihak yang melanggar ketentuan, pihak yang lain akan menggugat pihak tersebut ke pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.”
65
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Asmin.1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Jakarta : PT. Xxxx Xxxxxx
X.X,Xxxxxxxxx.0000.Segi-segi Hukum Perjanjian kawin Harta Bersama.Bandung: Mandar Maju.
Xxxxxxxxxx, Xxxxxx. 2007.Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju.
Xxxx Xxxxx Xxxxxx,Xxxxxxx.1982.Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda Indonesia.Jakarta: Ghalia Indonesia
Xxxxxxx, Xxxx.2016.Hukum Perkawinan Indonesia.Surabaya: Revka Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Xxxxxxx.2007.Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya
Xxxxxxxx,Xxxxxxxxxx .2004.Hukum dan Penelitian Hukum.Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx.
Prawirohamidjojo, X.Xxxxxxx.2012. Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia.Surabaya:Universitas Erlangga Press
Xxxxxxxxxxxx, Xxxxxxx.1981. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu.Bandung: Sumur
Xxxxxxxxx, Xxxxxxxx.2019.Hukum Keluarga : Harta-Harta Benda Dalam Perkawinan.Depok: PT. RajaGrafindo Persada
Simanjuntak,P.N.H. 2015.Hukum Perdata Indonesia.Jakarta:Prenadamedia Group. Xxxxxx, Xxxxxxxxx.2004.Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dun Hukum Adat. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti.2002.Hukum Keluarga dan Hukum Waris.Jakarta: Intermasa. Xxxxxxxxx.2010.Hukum Perkawinan Nasional.Jakarta : Rineka Cipta.
66
Xxxxxxx, Xxxxx.2008.Pembagian Harta Gono Gini saat terjadi Perceraian.Jakarta
: Visimedia.
Tutik, Titik Triwulan.2008.Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional.
Jakarta: Prenada Media Group
Xxxxx, Xxxxxxxx.2006.Aspek-aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia.Jakarta : Sinar Grafika.
Xxxxxxx Xxxxx, X.0000.Hukum Perkawinan Indonesia.Jakarta: Ghalia Indonesia. Wignjodipoere,Soerjono. 1988.Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung.
Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015
Jurnal:
Xxxxxxxxxxx,Xxx.2017.“Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015 terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris”, jurnal ilmu hukum.Vol.2, No.1
Rahmatika, Xxxxx Xxxxxxx Efa dan Xxxxxx Xxxxxx.0000. Analisis Yuridis Atas Perjanjian Perkawinan Ditinjau Dari UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Implikasi Putusan MK No. 69/PUU- XIII/2015, Jurnal Akta, Vol. 4 No. 3.
Artikel :
Xxxxx,Xxxxx.2017.Perjanjian Kawin Pasca Putusan MK, Majalah Notaris Edisi Januari-Februari.
Xxxxxxx,Xxx. 2014. Majalah Hukum Forum Akademika Volume 25 Nomor 1 : Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Xxxxxxx,Xxxx.2017.Palu Godam Hakim Mahkamah Konstitusi Menafikan Hakekat Perjanjian Perkawinan, Makalah Seminar Regional “ Eksistensi Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta
67
Widiyastuti, X. Xxxx Xxxxx.Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU- XIII/2015. 2017. Makalah Seminar Regional tentang Eksistensi Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta
Internet:
Xxxxxxxx, Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, xxxx://xxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxxxxx-xxxxxxxxxx- perkawinan-pasca.html
Xxxx, Xxxxx. Menarik Mengetahui Tentang Perjanjian perkawinan, xxxxx://xxx.xxxxxxxxx.xxx/xxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxxxx-xxxxxxxxxx- perkawinan/
Xxxxxxxxx, Xxxxxxxx Ada Enam Manfaat Perjanjian Pranikah, xxxxx://xxxx.xxxxx.xx/xxxx/000000/xxx-0-xxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxxxxx
Xxxxxxxxxxx, Xxxxxx. Kedudukan Harta Suami Dan Istri Yang Berupa Tanah Di Dalam Perkawinan Campuran, xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/x/xxxxxxxxxxxx-xxxxxxxxxx- campuran-dan-harta-bersama-lt4c529ced60c02
Xxxxxxx,Xxxxxx. Kedudukan Harta Suami Dan Istri Yang Berupa Tanah Di DalamPerkawinan Campuran Sesudahnya Berlaku Undang-undang
No. 1 Tahun 1974, xxxxx://xxx.xxxxxxxx.xx.xx/xxxxxxx.xxxx?xxxXXx00&xx c=k&id=178056
Xxxxxxx,Pengertian Perxxxxxxx Xxxxx, xxxx://xxx.xxxxxxxx.xxx.xxx