LEGAL IMPLICATIONS FOR CHANGING THE STATUS OF EMPLOYMENT RELATIONS OF A NON- SPECIFIC TIME WORK AGREEMENT BECOMING A SPECIFIC TIME WORK AGREEMENT
TESIS
IMPLIKASI HUKUM TERHADAP PERUBAHAN STATUS HUBUNGAN KERJA PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWTT) MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)
LEGAL IMPLICATIONS FOR CHANGING THE STATUS OF EMPLOYMENT RELATIONS OF A NON-SPECIFIC TIME WORK AGREEMENT BECOMING A SPECIFIC TIME WORK AGREEMENT
OLEH:
HAIFA KHAIRUNNISZA P3600214021
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2019
HALAMAN JUDUL
IMPLIKASI HUKUM TERHADAP PERUBAHAN STATUS HUBUNGAN KERJA PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWTT) MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)
LEGAL IMPLICATIONS FOR CHANGING THE STATUS OF EMPLOYMENT RELATIONS OF A NON-SPECIFIC TIME WORK AGREEMENT BECOMING A SPECIFIC TIME WORK AGREEMENT
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister Kenotariatan
Disusun dan diajukan oleh :
HAIFA KHAIRUNNISZA P3600214021
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
HALAMAN PERSETUJUAN
IMPLIKASI HUKUM TERHADAP PERUBAHAN STATUS HUBUNGAN KERJA PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWTT) MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) LEGAL IMPLICATIONS FOR CHANGING THE STATUS OF EMPLOYMENT RELATIONS OF A NON-SPECIFIC TIME WORK AGREEMENT BECOMING A SPECIFIC TIME WORK AGREEMENT
Disusun dan diajukan oleh:
HAIFA KHAIRUNNISZA P3600214021
Untuk Tahap UJIAN AKHIR
Pada tanggal …………………………………..
Menyetujui Komisi Penasehat:
Ketua Anggota
Xx. Xxxxxxx Xxxxx, S.H., M.H Xx. Xxxxxxxx Xxxxx, S.H., X.X
NIP. 19560607 198503 1 001 NIP. 19680711 200312 1 004
Mengetahui:
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Xx. Xxxxxxxxx Xxxx, S.H., M.H., X.XX NIP. 19600621 198601 2 001
PERNYATAAN KEASLIAN
Nama : Haifa Khairunnisza
N I M : P3600214021
Xxxxxxx Xxxdidikan : S2
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyatakan bahwa Tesis yang berjudul :
Implikasi Hukum Terhadap Perubahan Status Hubungan Kerja Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) BENAR merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan isi Tesis ini hasil karya orang lain atau dikutip tanpa menyebut sumbernya, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 19 Desember 2018 Yang membuat pernyataan,
Haifa Khairunnisza
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alaamiin puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tak lupa pula shalawat serta salam terhantur kepada Xxxx Xxxxxxxx XXX yang menjadi suri tauladan dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan kejujuran di muka bumi ini. Tesis dengan judul “Implikasi Hukum Terhadap Perubahan Status Hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)” ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan Program Studi Magister Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan guna memperoleh gelar Magister Hukum Kenotariatan. Tesis ini dapat diselesaikan dengan usaha, ketekunan, dan doa serta dorongan semangat dan bantuan dari semua pihak, baik secara materiil maupun moril sehingga penyusun dapat menyelesaikan tesis ini dengan sebaik- baiknya.
Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya Ayahanda Xx. Xxxxxxxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxx Xxx Xxxxxx, S.H. Dengan penuh ketulusan, kesabaran, dan kasih sayang membesarkan dan memberikan semangat kepada penulis dalam menimba ilmu pengetahuan. Pencapaian penulis tidak lepas dari keberadaan kedua
orang tua penulis yang senantiasa memberikan Doa dan dukungannya.
Tak lupa pula terima kasih yang tak terhingga kepada suami saya Xxxx Xxxxxxxx Xxxxx, X.X. xxxx telah memberikan dorongan, semangat, motivasi dan segala bentuk bantuan dalam menyelesaikan studi ini.
Saya sadar bahwa dari segi kualitas, tesis ini masih belum sempurna mengingat keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu, dengan senang hati dan tangan terbuka saya menerima kritikan dan masukan yang bersifat membangun demi perbaikan dan kesempurnaan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan Tesis ini menemui banyak kendala dan hambatan, untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Xx. Xxxxxxx Xxxxx, S.H., M.H., selaku Pembimbing I (satu) dan Xx. Xxxxxxxx Xxxxx, S.H., M.H. selaku Pembimbing II (dua) yang telah banyak membimbing dan memberikan arahan selama penulisan Tesis. Dan terima kasih kepada Xx. Xxxxxxxxx Xxxx, S.H., M.H., X.Xx. selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan untuk segala bantuan dan waktunya selama penyusunan tesis ini. Terima kasih pula kepada para pihak yang ikut membantu dan terus memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.
1. Ibu Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxx Xxxx Xxxxxxxx, M.A, selaku Rektor Universitas Hasanuddin.
2. Terima kasih kepada Ibu Prof Xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum
selaku Dekan Fakultas Hukum Unhas, beserta para Wakil Dekan
Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxx, S.H., M.H., Bapak Xx. Xxxxxxxxxx Xxxxxxx, SH.,M.H., dan Dr. Muh. Xxxxxx, S.H.,M.H. atas berbagai bantuan yang diberikan kepada Penulis, baik bantuan untuk menunjang berbagai kegiatan individual maupun yang dilaksanakan oleh Penulis bersama organisasi lain di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
3. Bapak Xxxx. Xx. Xxxxx Xxxxx, S.H.,M.H., Ibu Xxxx. Xx. Xxxxxxx Xxxx X.X.,X.Xx., dan bapak Xx. Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H.,M.H. selaku penguji penulis yang telah memberikan banyak masukan-masukan dan arahan dalam penyusunan tesis ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang dengan tulus ikhlas memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya selama perkuliahan berlangsung sehingga memberikan banyak manfaat bagi penulis baik untuk saat ini maupun di masa mendatang.
5. Terima kasih kepada keluarga besar penulis , Xxxx Xxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxx, Xxxxxx Xxxxx Xxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxx, Xxx Xxxxx, S.E., Xxx Xxxxxx, sebagai keluarga yang memberikan dorongan, semangat, motivasi, dan segala bentuk bantuan dalam menyelesaikan studi ini.
6. Seluruh staf dan karyawan akademik Fakultas Hukum Universitas
Xxxxxxxxxx. Terkhusus Xxx Xxxxxxx Xxxxxxx dan Pak Aksa yang
telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan.
7. Teman-teman Mahasiswa Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin khususnya PREMIS 2014, terima kasih atas kebersamaan dan persaudaraannya selama ini.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat. Terima kasih.
Makassar, 19 Desember 2018
Haifa Khairunnisza
ABSTRAK
HAIFA KHAIRUNNISZA. Implikasi Hukum Terhadap Perubahan Status Hubungan Kerja Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Dibimbing oleh Xxxxxxx Xxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxx.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1) Peralihan perubahan hubungan kerja dari Status PKWTT menjadi PKWT; 2) implikasi hukum terhadap perubahan status dari PKWTT ke PKWT.
Penelitian ini adalah tipe penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan, kemudian diolah dan dianalisis menggunakan metode kualitatif dengan mengkaji substansi perundang- undangan, perjanjian, putusan-putusan hakim dan pendapat para ahli dan disajikan secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) perubahan atau penurunan status pekerja dari PKWTT menjadi PKWT belum diatur secara teknis dalam peraturan perundang-undangan akan tetapi faktanya bahwa fenomena itu benar adanya dibuktikan dengan munculnya perselisihan sampai putusan di tingkat Mahkamah Agung perihal penurunan status pekerja dari PKWTT menjadi PKWT. Penurunan status akan berakibat pada munculnya perselisihan hubungan industrial, Perselisihan hak dalam hal pembayaran bayaran pesangon yang bisa tidak dibayarkan serta ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi sisi pekerja sebab perjanjian bisa diinterpretasikan sebagai suatu perjanjian yang batal demi hukum akibat tidak memenuhi syarat obyektif. (2) Implikasi hukum penurunan status pekerja akan menjadi perselisihan hukum yang proses penyelesaiannya bisa secara bipartit atau musyawarah sebelum menempuh cara tripartit atau sebelum dilimpahkan ke Pengadilan Hubungan Industri. Penurunan status ini memerlukan pengawasan dan perlindungan secara komprehensif perihal status pekerja dari instansi terkait dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi oleh suatu badan pengawas khusus dari instansi terkait.
Kata Kunci : Xxxxxx Xxxxx, PerjanjianKerja, PerselisihanHubungan Industrial.
ABSTRACT
HAIFA KHAIRUNNISZA. Legal Implications for Changing the Status of Employment Relations of a Non-Specific Time Work Agreement Becoming a Specific Time Work Agreement. Supervised by Xxxxxxx Xxxxx and Xxxxxxxx Xxxxx, as Supervisor I and II respectively.
This study aims to analyze: 1) The transition of changes in work relations from a Non-Specific Time Work Agreement (PKWTT) status to a Specific Time Work Agreement (PKWT); 2) legal implications for changing status from PKWTT to PKWT.
This research was normative research. The research approach was legislative approach, conceptual approach, and case approach. The data were obtained through Primary legal materials, secondary legal materials and non- legal materials. They were collected through library studies, then processed and analyzed qualitatively. The qualitative methods reviewed the substance of legislation, agreements, judges' decisions and expert opinions and presented descriptively.
The results showed that (1) The results of the research show that (1) changes or decreases in the status of employee from PKWTT to PKWT have not been regulated technically in legislation but the fact of the phenomenon is true by evidenced with appearance of disputes until decisions at the Supreme Court regarding the reduction of employee’s status from PKWTT to PKWT. This decrease in status causes the emergence of industrial relations disputes, severance pay that is not paid and legal uncertainty and injustice for the employee because the agreement can be interpreted as an agreement was declared null and void due to not fulfilled objective requirements. (2) The legal implications of decreasing employees' status will be legal disputes in which the process of settlement can be bipartite or deliberation before taking tripartite methods or before being delegated to the Industrial Relations Court. This decline in status requires comprehensive supervision and protection regarding the status of workers from the relevant agencies in this case the Department of Manpower and Transmigration by a special supervisory body from the relevant agencies.
Keywords: Labor, Employment Agreement, Industrial Relations Disputes.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i | |
HALAMAN PENGESAHAN ii | |
PERNYATAAN XXXXXXXX xxx | |
KATA PENGANTAR iv | |
ABSTRAK viii | |
ABSTRACT ix | |
DAFTAR ISI x | |
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................... | 1 |
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. | 1 |
B. Rumusan Masalah ............................................................ ......... | 11 |
C. Tujuan Penulisan ....................................................................... | 10 |
D. Kegunaan Penelitian .................................................................. | 11 |
E. Orisinalitas Penelitian ................................................................. | 12 |
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. | 14 |
A. Hubungan Kerja .......................................................................... | 14 |
B. Perjanjian Kerja .......................................................................... | 21 |
1. Perjanjian Kerja Menurut Hukum Perdata ............................. | 25 |
2. Perjanjian Kerja Menurut Perspektif Undang-Undang | |
Ketenagakerjaan ................................................................... | 26 |
C. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).................................... | 27 |
D. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)........................ | 28 |
E. Xxxxxxx-Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxan Kerja ........................................... 29
1. Klausul Perjanjian Kerja Waktu Tertentu .............................. 29 2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu ................................. 30
F. Kedudukan Hukum Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ....................................................................................... 32
G. Kedudukan Hukum Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) ...................................................................... 34
H. Pemutusan Hubungan Kerja ...................................................... 35
I. Kerangka Pikir ............................................................................ 48
J. Defenisi Operasional .................................................................. 50
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 52
A. Tipe Penelitian ........................................................................... 52
B. Jenis Pendekatan ....................................................................... 52
C. Sumber Bahan Hukum ............................................................... 52
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .......................................... 54
E. Analisis Data .............................................................................. 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 55
A. Fenomena Hukum Peralihan Hubungan Kerja dari PKWTT
Menjadi PKWT ........................................................................... 55
B. Peralihan Hubungan Kerja Dari PKWTT Menjadi PKWT ............ 62
C. Implikasi Hukum Perubahan Hubungan Kerja dari PKWTT Menjadi PKWT ......................................................................................... 70
BAB V PENUTUP ................................................................................. 85
A. Kesimpulan ................................................................................ 85
B. Saran .......................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 87
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai sebuah negara hukum memberikan jaminan dan perlindungan secara konstitutif untuk segenap warga negara. Jaminan dan perlindungan konstitutif itu termasuk hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Dasar selanjutnya disingkat UUD Tahun 1945 Pasal 27 Ayat (2) mengatur bahwa :1“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Pasal tersebut memberikan penjelasan tentang perlindungan dan hak Warga Negara Indonesia dalam hal hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak dengan ukuran kriterianya adalah layak bagi kemanusiaan. Layak dalam artian hak dasar warga negara untuk hidup mampu terpenuhi secara proporsional sesuai dengan kompetensi dan sumber daya yang dimilikinya.
Hal ini yang kemudian mendasari bagaimana peran dan kehadiran negara untuk menjadi wadah yang bisa menjaga keberlangsungan kehidupan bernegara. Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak menjadi hak asasi bagi segenap warga negara. Hak warga negara ini yang kemudian harus direpresentasikan dalam setiap segmen kehidupan dalam rangka menjaga keutuhan dan
1Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 27 Ayat 2.
keberlangsungan hidup setiap warga negara. Akan tetapi dalam konteks negara hadir hanya sebagai prasyarat, bahwa pemenuhan hak tersebut juga harus diimbangi dengan kompetensi warga negara dalam memenuhi kewajibannya sebagai warga negara juga harus memiliki kemampuan atau keahlian untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang bisa menunjang kebutuhan dasarnya.
Lapangan kerja merupakan salah satu unsur penunjang yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberhasilan pembangunan nasional. Tersedianya lapangan kerja yang cukup akan menyerap warga negara untuk menjadi tenaga kerja, maka proses pembangunan nasional akan berjalan lancar. Dalam hal ketenaga kerjaan dalam program pembangunan selalu di usahakan terciptanya kesempatan kerja sebanyak mungkin di berbagai bidang usaha yang diimbangi dengan peningkatan mutu sumber daya manusia dan peningkatan status pekerjaan terhadap tenaga kerja. Untuk meningkatkan sumber daya manusia telah dilakukan melalui berbagai program pendidikan dan latihan yang selaras dengan tuntutan perkembangan pembangunan dan teknologi agar dapat didayagunakan seefektif dan semaksimal mungkin.2
Dasar jaminan dan perlindungan konstitutif dalam hal hak untuk mendapatkan pekerjaan juga termaktub dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa :3 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta
2 Xxxxxxx H Manululang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Citra, 1998), hlm 27.
3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28D Ayat (2).
mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Pasal tersebut menunjukkan, bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, dan setelah mendapatkan pekerjaan harus berhak pula untuk terus bekerja. Artinya, tidak diputuskan hubungan kerjanya pada waktu mendatang setelah ia mendapatkan pekerjaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut Undang- Undang Ketenagakerjaan) merupakan salah satu undang-undang yang mengatur masalah ketenagakerjaan yang prinsipnya mengatur pembangunan ketenagakerjaan sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak- hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga-kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Dalam undang- undang ini diatur tentang cara membuat perjanjian-kerja, baik Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).4
Dari aspek hukum bagaimana teknis pelaksanaan UUD dikonkritisir dalam peraturan perundang-undangan terkait tenaga kerja diatur mengenai perjanjian kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Ketenagakerjaan mendefinisikan perjanjian kerja sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang mempunyai syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
4 Pasal 28 D ayat (2) UUD Tahun 1945 disertai dengan koherensi dengan Undang-Undang Ketenaga Kerjaan.
para pihak. Atas pengertian tersebut, maka dapat dijelaskan berapa unsur penting perjanjian kerja sebagai berikut; Adanya perbuatan hukum/peristiwa hukum berupa perjanjian, adanya subjek atau pelaku yakni pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja masing-masing membagi kepentingan, membuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Hubungan hukum antara buruh dan majikan pada dasarnya adalah suatu hubungan hukum, yaitu hubungan yang lahir dari suatu perjanjian kerja. Sebagai suatu hubungan hokum perjanjian, maka para pihak yang terlibat dibebani hak dan kewajiban.5
Hukum perjanjian merupakan tindakan yang dilakukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan yang bersifat normatif atau saling mengikat. Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerja, upah dan perintah.
Salah satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa ketentuan perjanjian-kerja yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan merupakan bagian dari hukum ketenagakerjaan, bukan hukum perjanjian. Artinya, ketentuan dalam perjanjian-kerja bukan hukum pelengkap, tetapi
5Marwati Riza, 2009. Perlindungan Hukum Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri. AS Publishing; Makassar. Hlm 109.
ketentuan-ketentuan perjanjian-kerja memiliki daya paksa. Para pihak yang terikat dalam perjanjian-kerja tidak dapat membuat perjanjian-kerja menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP/100/MEN/VI/2004. Perjanjian dibuat dalam dua macam, yaitu perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT). Berbeda halnya dengan PKWTT atau biasa disebut perjanjian kerja tetap, PKWT merupakan perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu atau pekerjaan tertentu, dengan demikian PKWT di dasarkan atas jangka waktu tertentu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu, sehingga bersifat sementara atau tidak tetap.
Hubungan kerja yang boleh diikat dengan PKWT Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan juncto Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 9 Kepmenakertrans No. KEP.100/MEN/VI/200, hubungan kerja yang boleh diikat dengan PKWT adalah untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; yaitu pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca, dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; dan hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan.
Hubungan kerja yang tidak dapat diikat dengan PKWT Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan – beserta penjelasannya : Hubungan kerja yang tidak boleh diikat dengan PKWT adalah untuk pekerjaan yang bersifat tetap, yaitu pekerjaan yang sifatnya: Terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan, atau pekerjaan yang bukan musiman yaitu pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu.
Sedangkan pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman
yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek PKWT. Bila PKWT dibuat tidak sesuai dengan syarat-syarat tersebut di atas, maka PKWT berubah menjadi PKWTT dan dengan demikian para pekerjanya bukan lagi sebagai karyawan kontrak tetapi diangkat menjadi karyawan tetap sejak dimulainya perxxxxxxx-kerja tersebut.6
Perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh atau pekerja masih perlu mendapatkan perhatian secara khusus terlebih mengenai bagaimana aturan main dalam hal perjanjian kerja antara ke dua belah pihak. Pada persoalan perubahan status pekerja dari PKWT menjadi PKWTT umumnya diawali dari persoalan perpanjangan masa kerja. Jika perpanjangan ini diperjanjikan oleh kedua belah pihak, perpanjangan tidak akan menimbulkan masalah. Lain halnya jika perpanjangan dilakukan secara diam-diam. Dalam hal yang demikian ini, hubungan-kerja dipandang diadakan lagi untuk waktu paling lama satu tahun dengan syarat yang sama. Menurut Pasal 59 ayat (5) Undang-Undang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa :
Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama tujuh hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
Secara gramatikal dapat diinterpretasikan bahwa roh dari Pasal 59 ayat (5) tersebut dapat dimaknai bahwa perjanjian-kerja yang lama berlaku terus, jika perpanjangan dilakukan menurut peraturan perundang- undangan yang ada.
6 Xxxxxxxx Xxxxxx. 2006. Hak-hak Pekerja Bila di-PHK. (Tangerang; Visi Media), hlm 5.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah implikasi hukum bahwa janji-janji yang disyaratkan harus tertulis tidak perlu ditetapkan kembali, tetapi dengan syarat harus secara tertulis memberitahukan maksud untuk memperpanjang hubungan-kerja kepada pekerja/buruh dengan jangka waktu paling lama tujuh hari sebelum berakhirnya perjanjian kerja. Jika syarat ini tidak terpenuhi, hal pokoknya adalah memberikan pemberi tahuan secara tertulis, maka PKWT beralih menjadi PKWTT. Alasannya, pemberitahuan secara tertulis itu dapat diartikan sebagai membuat perjanjian kerja secara tertulis. Menurut pasal 57 ayat
(2) Undang-Undang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa perjanjian-kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai PKWTT. Dalam hal hubungan kerja yang diperpanjang itu berlangsung untuk waktu kurang dari satu tahun, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk jangka waktu satu tahun, tetapi dengan syarat-syarat yang sama. Alasannya, perpanjangan untuk jangka waktu PKWT paling lama satu tahun.7
Namun dalam kenyataannya sering terdapat permasalahan atas hal ini. Dengan latar belakang dan alasan tertentu kadang terdapat pengusaha dengan sengaja memberlakukan PKWT untuk jenis pekerjaan yang bersifat rutin dan tetap. Kasus Perubahan status pekerja Dari PKWTT menjadi PKWT tanpa adanya pemutusan hubungan kerja bagi pekerja, sering tidak mendapat penyelesaian kompensasi PHK
7 Husni, Lalu. 2008. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi Ke-VIII. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), hlm 73.
berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam konteks ganti rugi atau pembayaran pesangon bagi perusahaan bisa dikategorikan wanprestasi atau tidak melaksanakan isi perjanjian kerja (dalam hal ini pengusaha memutus kontrak walaupun jangka waktu perjanjian kerja belum berakhir), sifat ganti rugi ini tergantung pula pada kebijakan masing- masing perusahaan. Hal ini menyebabkan kedudukan pekerja tersebut juga tidak mendapat kepastian hukum yang kuat.
Pada prinsipnya dalam UU Ketenagakerjaan tidak ada aturan bahwa pengusaha boleh secara serta-merta mengubah status Pekerja Tetap (PKWTT) menjadi Pekerja Kontrak (PKWT), Apabila itu dilakukan maka tidak ada landasan hukum. Walaupun secara hukum tidak mengatur eksplisit mengenai hal ini, namun justifikasi yang dapat disampaikan adalah bahwa status pekerja dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak adalah sama saja dengan penurunan status pekerja. Penurunan status pekerja dari tetap menjadi kontrak bisa masuk dalam kategori PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) secara sepihak dari perusahaan dan biasanya dalam satu waktu yang sama pengusaha mengangkat kembali pekerja (tetap) untuk mengisi kekosongan terhadap posisi yang ditinggalkan oleh pekerja yang diturunkan statusnya. Selain itu hal yang perlu dicermati adalah adanya celah hukum yang dihindari perusahaan dengan tidak melakukan PHK dengan niat menghindari pembayaran
pesangon.
Dalam perkembangannya hubungan kerja tersebut berkembang menjadi hubungan industrial seiring dengan dianutnya tipe Negara kesejahteraan. Hal ini berarti bahwa hubungan industrial tidak lagi dipandang sebatas hubungan pekerja dan pengusaha, akan tetapi sudah melibatkan pihak ketiga yang diintrodusir sebagai kepentingan publik yang harus dilindungi oleh pemerintah.8
Atas dasar permasalahan tersebut, secara hukum dapat diamati bagaimana peraturan perundang-undangan secara komprehensif belum sepenuhnya mampu memberikan kepastian dan keadilan hukum yang sama dan seimbang terhadap proses tersebut, Termasuk mengenai perubahan status pekerja PKWTT menjadi PKWT. Akibat hukum atas perubahan status tersebut juga harus dipahami secara hati-hati dan dimaknai secara mendalam agar perlindungan hak pekerja tetap terakomodasi dengan tepat. Hal ini tentu sesuai dengan tujuan universal dari suatu proses hukum yakni bagaimana memberikan jaminan terhadap terwujudunya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi segenap warga negara dalam hal ini baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai penyedia lapangan kerja.
Atas dasar uraian tersebut kemudian penulis mengangkat suatu penelitian dengan judul; “Implikasi Hukum Terhadap Perubahan Status Hubungan Kerja PKWTT Menjadi PKWT”.
8 Op.Cit,. Xxxxxxx Xxxx. Hlm 109.
B. Rumusan Masalah:
Berdasarkan atas uraian latar belakang masalah maka di buat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan peralihan perubahan hubungan kerja dari PKWTT menjadi PKWT?
2. Bagaimana implikasi hukum terhadap perubahan status dari PKWTT menjadi PKWT?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan peralihan perubahan hubungan kerja dari PKWTT menjadi PKWT.
2. Untuk mengetahui implikasi hukum terhadap perubahan status dari PKWTT ke PKWT.
D. Kegunaan Penelitian
Ada dua aspek kegunaan yang ingin di harapkan dari penelitian ini, yaitu teroritis dan aspek praktis :
1. Secara Akademis/Teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi pemikiran dalam memberikan perlindungan hukum terutama masalah ketentuan pengaturan PKWT dengan PKWTT ditinjau dari UU. No. 13 tahun.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam upaya-upaya pengaturan PKWT dengan PKWTT ditinjau dari Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
E. Orisinalitas Penelitian
Untuk mengetahui sub-kajian yang sudah ataupun belum diteliti pada penelitian sebelumnya, maka perlu adanya upaya komparasi (perbandingan), apakah terdapat unsur-unsur perbedaan ataupun persamaan dengan konteks penelitian ini. Di antara hasil penelitian terdahulu yang menurut peneliti terdapat kemiripan, yaitu ;
1. Beberapa Masalah Perjanjian Kerja dan Solusinya Jurnal Hukum Tahun 2009 Universitas Xxxxxx Xxxxxx disusun oleh Xxxxxxx. Objek penelitian memiliki kesamaan pada kajian tentang perjanjian kerja terutama dalam hal bagaimana membedakan antara PKWT dan PKWTT akan tetapi Penulis lebih spesifik pada persoalan hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja dan implikasi hukum perubahan perjanjian secara komprehensif.
2. Perlindungan Hukum atas perubahan status pekerja tetap menjadi pekerja kontrak skripsi Xxxxx Xxxxxx, NIM 0505230045, Universitas Indonesia. Persamaannya bahwa sama-sama meneliti perubahan status pekerja dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak, akan tetapi adanya perbedaan adalah bahwa penelitian pada skripsi Xxxxx Xxxxxx lebih fokus menganalisis upaya perlindungan hukum dan lebih kasuistis mengkaji Putusan MA No.555 K./Pdt/2009. Sementara pada penelitian tesis penulis mengkomparasikan beberapap putusan dan lebih fokus pada
ketentuan pengaturannnya dalam UU No. 13 Tahun 2003 serta Implikasi hukum dari perubahan status pekerja.
3. Analisis Yuridis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Berdasarkan UU Ketenagakerjaan dan Hukum Perjanjian Tahun 2017, Jurnal Hukum Universitas Sumatra Utara yang disusun oleh Xxxx Xxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxxxx, Xxxxxxxxxxx. Persamaan adalah mengkaji perubahan status pekerja, Hanya saja pada Jurnal Hukum Xxxx Xxxxxx xxx Justru mengkaji peralihan status pekerja kontrak (PKWT) menjadi Pekerja Tetap (PKWTT) sebagai suatu bagian yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya orisinalitas penelitian ini, maka hal-hal yang menjadikan plagiat dalam sebuah skripsi ataupun tesis terdahulu bisa dihindari, karena meskipun mirip ataupun banyak persamaan dengan hasil penelitian yang lain, tetapi skripsi ataupun tesis yang kita punyai ada sisi perbedaannya.
BAB II TINJAUN PUSTAKA
A. Hubungan Kerja
Hak dan kewajiban adalah suatu unsur dasar dalam melihat suatu hubungan hukum.9 Dalam konteks ini penulis menyoroti bagaimana Hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal dua subjek hukum yaitu antara pengusaha dan pekerja/buruh mengenai suatu pekerjaan. Hubungan antara dua subjek hukum tersebut menunjukan kedudukan dari para pihak yaitu pengusaha dan pekerja/buruh yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.
Dalam Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa, Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.
Unsur atau kualifikasi yang dipenuhi adalah adanya pekerjaan, di bawah perintah, waktu tertentu dan adanya upah.10 Kualifikasi mengenai adanya pekerjaan dan di bawah perintah orang lain menunjukkan hubungan subordinasi atau juga sering dikatakan sebagai hubungan diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan yang dilaksanakan pekerja didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha.
9 Xxxxx Xxxxx, Xxxx. A, 1973, Theory Of Justice, (London: Oxford University Press), Alih Bahasa Oleh Xxxxx Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxxxx, 2006, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
10 X. Xxxxxxxx Xxxxxx, 2004, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Grhadika Binangkit Press), hlm 15.
Hubungan hukum antara Xxxxx dan Xxxxkan lahir setelah adanya suatu Perjanjian Kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, siburuh mengikatkan dirinya pada pihak lain, si majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah, dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan si buruh dengan membayar upah. Pekerja merupakan subjek dari suatu hubungan kerja. 11
Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan Tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Setiap hubungan kerja diawali dengan kesepakatan perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja dan pengusaha tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh penguasa dengan serikat pekerja yang ada di perusahaannya.
11
Rajawali
Hubungan kerja pada masa sekarang ini secara umum disebut hubungan kerja yang fleksibel, dalam arti hubungan kerja yang terjadi dewasa ini tidak memberikan jaminan kepastian apakah seseorang dapat bekerja secara terus menerus dan hal-hal lain yang berkaitan dengan haknya. Fleksibilitas bisa menyangkut waktu melakukan pekerjaan yang tidak selalu terikat pada jam kerja yang ditentukan pemberi kerja, juga
Xxxxxx Xxxxxx Dkk, 2014, Dasar-dasar hukum perburuhan, (Jakarta: Pers), hlm 65.
ditentukan oleh pekerja itu sendiri. Dalam praktik pada mulanya ditemukan ada 4 jenis hubungan kerja fleksibel, yaitu:12
1. Hubungan kerja berdasarkan perjanjian pengiriman atau peminjaman pekerja
2. Hubungan kerja yang dilaksankan di rumah
3. Hubungan kerja bebas
4. Hubungan kerja berdasarkan panggilan
Salah satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa antara hubungan kerja dengan hubungan industrial pada dasarnya berbeda. Pada hubungan kerja terdapat konteks hubungan hukum privat/perdata yang mengatur hubungan antar orang perorangan, sedangkan hubungan industrial menyangkut hubungan yang lebih luas karena tidak hanya mengatur hubungan antar orang perorangan, tetapi sudah menyangkut hukum publik yang konteksnya lebih luas dan dapat menyertakan unsur Pemerintah dalam usaha perlindungan hukum bagi pekerja.
Dalam konteks hubungan kerja maka salah satu hal yang subtantif untuk dikemukakan adalah perjanjian sebagai suatu hal yang mendasari lahirnya suatu hubungan hukum antara pekerja dengan pengusaha. Syarat sahnya suatu perxxxxxxx sebagai dasar dalam lahirnya suatu hubungan hukum. Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk syarat
12 RR Xxx Xxxxxxxx, 2004, Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Outourcing) Dalam UU No. 13/2003”, dalam Bunga Rampai Masalah-masalah Hukum Masa Kini, (Jakarta: UKI Press), hlm 65.
sahnya suatu perjanjian. Syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian, sedangkan kedua syarat terakhir disebut syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian. Apabila salah satu syarat subjektif tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan dan jika salah satu dari syarat objektifnya yang tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal demi hukum.
a. Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satuorang atau lebih dengan pihak lainya. Adapun yang sesuai itu adalah pernyataan bukan kehendaknya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain.13 Subyek bisa terdiri dari manusia atau badan hukum.Dalam hal para pihak terdiri dari manusia maka orang tersebutharus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. Cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak yang paling banyak dilakukanoleh para pihak yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan tertulis.Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberi kepastian hukum dan sebagai alat bukti yang otentik apabila timbul sengketa atau persoalan hukum dikemudian hari.
Pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan,
13 Xxxxx Xx, 2008, Perkembangan Hukum Kontrak diLuar KUHPerdata,
(Jakarta: PT Raja Xxxxxxxx Xxxxxxx), hlm 22.
paksaan maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yaitu kata sepakat yang telah diberikan menjadi tidak sah apabila kata sepakat tersebut diberikan karena:
1) Salah pengertian atau kekhilafan;
2) Paksaan;
3) Penipuan.
Kata sepakat yang yang diberikan karena salah pengertian, paksaan atau penipuan adalah tidak sah karena persetujuan diberikan dengan cacat kehendak. Perjanjian yang demikian, dapat dimohonkan pembatalannya kepengadilan. Mengenai salah pengertian atau kekhilafan (dwaling) yang dapat dibatalkan harus mengenai inti pokok persetujuan.
Ada dua jenis salah pengertian atau kekeliruan yaitu kekeliruan mengenai hakekat benda atau barang yang menjadi objek dari suatu perjanjian (eror in substantia) dan kekeliruan mengenai orangnya (eror in persona). Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan persetujan itu dapat batal. Hanya salah pengertian terhadap objeklah yang menyebabkan persetujuan dapat batal. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1322 KUHPerdata, yang berisi :
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika
perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”.
Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan persetujan itu dapat batal, misalnya jika seorang direktur tim sepakbola membuat kontrak dengan orang yang dikiranya seorang pemain yang tersohor, tetapi kemudian ternyata bukan orang yang di maksud. Hanya namanya saja yang kebetulan sama. Maka dalam hal ini tidak menyebabkan batalnya suatu perjanjian. Hanya salah pengertian terhadap objeklah yang menyebabkan persetujuan dapat batal. Misalnya jika seorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Xxxxxx Xxxxxxxx, tetapi kemudian ternyata hanya turunannya saja. Maka dalam hal ini perjanjian dapat dibatalkan.
b. Kecakapan melakukan perbuatan hukum
Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan melakukan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hokum sebagaimana ditentukan oleh UU. Cakap berarti harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu perundang-undang untuk melakukan perbuatan hukum.14
Orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan pasal 1330 KUHPerdata adalah :
14 Xxxxxxx Xxxxxxxx, 1992, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata,
(Bandung: alumni), hlm 114.
1) Anak yang belum dewasa,
2) Orang yang ditaruh dibawah dalam pengampuan,
3) Perempuan yang telah kawin (istri) dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
c. Adanya suatu hal tertentu
KUHPerdata menjelaskan maksud tertentu dengan memberikan rumusan dalam pasal 1333 yang berbunyi sebagai berikut:
“suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Berkaitan dengan pasal tersebut dalam hal ini J. Satrio adalah logis apabila undang-undang mensyaratkan bahwa prestasi yang menjadi objek perjanjian adalah tertentu, sebab jika objeknya tidak ditentukan maka tidak dapat ditentukan apakah seseorang telah memenuhi kewajiban prestasinya atau belum.Perjanjian tanpa hal tertentu adalah batal demi hukum.15
d. Adanya suatu sebab yang halal
Sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 hingga pasal 1337 KUHPerdata.Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa
15 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, dkk, 2001,
Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx), hlm 81.
suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.
KUHPerdata sendiri tidak memberikan defenisi dari ‘sebab’ (oorzaak, causa). Sedangkan menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian, yang dalam prakteknya merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian dibawah pengawasan Xxxxx.Xxxxx dapat menguju apakah isi perjanjian tersebut dapat dilaksanakan.16 Dalam pasal 1337 KUHPerdata hanya disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang bila bertentangan dengan UU, kesusilaan dan ketertiban umum.
Pada tahap pelaksanaan perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjiannya tersebut.17
B. Perjanjian Kerja
Pada Perjanjian kerja dalam hukum perdata dikenal dengan istilah bahasa belanda disebut Arbeidsoverenkoms yang dapat diartikan dalam beberapa pengertian.18 Salah satu pengertian dari perjanjian kerja dalam KUHPerdata terdapat dalam pasal 160 1a yang menyebutkan bahwa:
16 Ibid, hlm 9.
17 Xxxxxx Xxxx, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak,
(Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada), hlm 67.
18 Xxxxxxx, 2006, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hlml 2
“Perjanjian kerja adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain di majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.
Menyimak dari perjanjian kerja di atas, bahwa perxxxxxan kerja tampak memiliki ciri khas yaitu “di bawah perintah” , yang menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawah dan atasan (subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi memberi perintah kepada pekerja yang tingkat sosial ekonomi lebih rendah. Ketentuan tersebut menunjukkan adanya kedudukan yang tidak sama atau seimbang.19 Ketentuan tersebut, jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada umumnya yaitu dalam Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Jelas bahwa kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama dan seimbang karena di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Maka, pengertian tentang perjanjian tersebut berlainan jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian kerja dalam Pasal 1601a KUHPerdata.20 Walaupun demikian, di dalam pembentukan perjanjian
19 Lalu Husni, Op. Cit, hlm 2.
20 Xxxxxxx, Op. Cit, hlm 2.
kerja dengan perjanjian lainnya memiliki pedoman yang sama yaitu Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal”.
Selain itu, dalam membuat suatu perjanjian baik itu perjanjian kerja atau kontrak istilah Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda) sebagai aturan bahwa persetujuan yang dibuat oleh manusia-manusia secara timbal balik pada hakekatnya bermaksud untuk dipenuhi oleh para pihak dan jika perlu dapat dipaksakan secara hukum mengikat.
Asas kekuatan mengikat adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjiaan tersebut dan sifatnya hanya mengikat ke dalam. Asas kekuatan mengikat kontrak ini mengharuskan para pihak memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam kontrak yang mereka buat.21Asas hukum ini disebut juga asas pacta sunt servanda yang secara konkrit dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang memuat kekuatan imperatif, yaitu:
“Semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
21 M. Xxxxxxxxxx, 2012, Hukum Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat , Teodi, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayan Hukum Perikatan), (Bandung: Mandar Maju), hlm 3.
Teori selanjutnya yang dipakai adalah teori perlindungan hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan pada subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif, maupun represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan hukum adalah suatu gambaran dari fungsi hukum yaitu dimana konsep hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan, dan kedamaian.22 Adapun perlindungan khusus terhadap pekerja/buruh khususnya dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ditinjau dari segi perlindungan perburuhan, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diharapkan dapat memberikan perlindungan perburuhan yang dilihat dari 3 aspek yaitu: aspek perlindungan sosial, aspek perlindungan ekonomi, dan aspek perlindungan teknis.23 Perlindungan sosial pada dasarnya merupakan suatu perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar pekerja dihargai harkat dan martabatnya sebagai manusia dan dilindungi kedudukan hukumnya bukan hanya sebagai faktor produksi saja (faktor ekstern), melainkan diperlakukan sebagai manusia dengan segala harkat dan martabatnya (faktor intern atau konstitutif).24 Perlindungan ekonomis merupakan perlindungan tenaga kerja yang bertujuan pekerja/buruh dapat menikmati penghasilan secara layak dalam
22 Xxxxxxxx, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen edisi revisi, (Jakata: Grasindo), hlm 3.
23 Xxxxxx Xxxxxxxx, 2008, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm 3.
24 Lalu Husni, Op.Cit, hlm 3.
memenuhi kebutuhan hidup baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya. 25Perlindungan teknis merupakan perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja terhindar dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dipekerjakan. 26Perlindungan pekerja ini bertujuan untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah dan tanpa ada tekanan atau perbedaan dari pekerja kontrak maupun pekerja tetap.
1) Perjanjian Kerja menurut Persfektif Hukum perdata
Ketentuan perjanjian pada umumnya di atur oleh Pasal 1313 KUHPerdata. Pengertian dalam suatu perjanjian tersebut dimana antara pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. 27Dalam membuat perjanjian pada umumnya harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata, menjelaskan bahwa: 28
1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2) Kecakapan membuat suatu perjanjian;
25 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, 2004, Hukum dan Ekonomi, (Jakarta: Grasindo), hlm 3.
26 Xxxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit, hlm 9-10.
27 Ibid, hlm 4.
28 Xxxxxxxxx, 2004, Hukum Perjanjian:Teori dan Xxxxxxx Xxxxx, (Jakarta: Kencana), hlm 4.
3) Suatu hal tertentu.
4) Suatu Sebab yang halal.
Selanjutnya, dalam pembuatan perjanjian kerja harus berisi kesepakatan kedua belah pihak tentang suatu hal dengan ditegaskan dalam asas perjanjian yang tersirat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu asas kebebasan berkontrak. 29Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam berbagai pengertian. 30Pengertian yang pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“Perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan untuk di bawah pimpinan pihak yang lain, majikan, untuk waktu tertentu, melakukan dengan menerima upah.”
2) Perjanjian Kerja menurut persektif Undang-Undang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Ketengakerjaan Pasal 1 ayat (14) memberikan pengertian perjanjian kerja. Adapun unsur perjanjian kerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni adanya unsur work atau pekerjaan, adanya unsur perintah, adanya upah, dan waktu tertentu. Syarat sahnya perjanjian kerja diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berupa syarat formil, sedangkan syarat formil berdasarkan ketentuan
29 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana Prendada Media Group), hlm 4.
30 Xxxx Xxxxx, Op.Cit, hlm 4.
Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
C. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Mengenai jangka waktu PKWT diatur dalam Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam membuat suatu perjanjian kerja atau kesepakatan kerja tertentu batas maksimal waktu yang diperjanjikan adalah 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang atau diperbarui untuk satu kali saja karena satu hal tertentu. Perpanjangan tersebut hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu yang sama dengan catatan jumlah seluruh waktu dalam kesepakatan kerja tertentu tidak boleh melebihi dari 3 (tiga) tahun. 31
Pembaharuan PKWT adalah hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.32 Jika dilihat dari KUHPerdata dalam pasal 1603 f ayat (1) :
“Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu atas dasar jangka waktu, apabila telah habis waktunya dapat diperpanjang apabila tidak ada bantahan”.
PKWT selain merupakan perjanjian yang didasarkan atas jangka waktu juga didasarkan suatu pekerjaan tertentu yang pelaksanannya
31 Xxxxxxx, Op. Cit, hlm 5.
selesai dalam jangka waktu tertentu berdasarkan dari jenis pekerjaannya. Adapun jenis pekerjaan dalam waktu tertentu berdasarkan Pasal 59 ayat
(1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut:
a) Pekerjaan yang selesai sekali atau sementara sifatnya;
b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelsainnya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c) Pekerjaan yang sifantnya musiman;
d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan dan penjajakan.
D. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
Sementara PKWT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWT dibuat secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja) adalah klausul- klausul sebagaimana yang di atur dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
PKWT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku. Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT, apabila:
a. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
b. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
c. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;
d. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan. PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
E. Xxxxxxx-Xxxxxxx Xxxjanjian Kerja
1. Klausul Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Suatu perjanjian kerja dapat diadakan untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. PKWT dapat diadakan untuk paling lama dua
lama satu tahun (Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan).33 PKWT berakhir bila waktunya telah habis. PKWT yang telah habis waktunya dapat diperpanjang. Jika pengusaha hendak memperpanjang perjanjian kerja, maka paling lama 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.34Jangka waktu kerja dalam PKWT paling lama (5) tahun yaitu pekerjaan yang dilakukan pembaharuan. Pembaharuan diatur dalam Pasal 59 ayat (6) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yaitu berakhirnya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha. Berakhirnya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha menimbulkan berakhirnya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.35. Berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Berakhirnya hubungan kerja secara teoritis terbagi dalam 4 (empat) macam yaitu Putus demi hukum, berakhirnya hubungan kerja oleh pekerja, berakhirnya hubungan kerja oleh pengusaha, berakhirnya karena putusan pengadilan.
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
PKWTT (Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu) merupakan Perjanjian Kerja yang tidak ditentukan waktunya dan bersifat tetap. Berbeda dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang wajib
33 Xxxxxxxxx, Op.Cit, hlm 6.
34 Ibid, hlm 6.
35 Xxxxxxxxxx, 2009, Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusah, (Yogyakarta:
dibuat secara tertulis dan didaftarkan di instansi ketenagakerjaan terkait, selain tertulis PKWTT dapat juga dibuat secara lisan dan tidak wajib mendapat pengesahan. dari intstansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka klausul-kalusul yang berlaku diantara mereka (Perusahaan dan Karyawan) adalah klausul-klausul sebagaimana yang diatur dalam undang-undang Ketenagakerjaan, perusahaan dan karyawan dianggap menyetujui undang-undang Ketenagakerjaan sebagai sumber perikatan mereka.
Jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi Karyawan yang bersangkutan. Surat Pengangkatan itu sekurang kurangnya memuat keterangan :
1. Nama dan alamat karyawan.
2. Tanggal mulai bekerja.
3. Jenis pekerjaan.
4. Besarnya upah.
PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja untuk paling lama 3 (tiga) bulan. Selama masa percpbaan Perusahaan wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku. Suatu perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu termasuk juga perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat berakhir karena:
1. Pekerja meninggal dunia.
2. Berakhirnya jangka waktu Perjanjian Kerja.
3. Adanya putusan pengadilan atau putusan/penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
4. Munculnya keadaan tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu tidak berakhir karena berakhirnya Perusahaan atau beralihnya hak atas perusahaan karena penjualan, pewarisan, atau hibah. Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, misalnya, hak-hak Karyawan menjadi tanggung jawab perusahaan baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan diantara pengurus Perusahaan yang lama dan yang barudan perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak Karyawan.
F. Kedudukan Hukum Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Kedudukan hukum pekerja PKWT yang pelaksanaan PKWT bertentangan dengan peraturan yaitu Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, demi hukum beralih menjadi PKWTT. Selain Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan, Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP.100/MEN/VI/2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanian kerja waktu tertentu yang disebutkan dalam Pasal 15 ayat 2 dan ayat 4. Berdasarkan penjelasan Pasal 59 ayat (7) Undang- Undang Ketenagakerjaan dan Kepmenaker No. KEP.100/MEN/VI/2004
Pasal 15 ayat (2) maka kedudukan hukum pekerja yang terikat PKWT
bertentangan demi hukum menjadi PKWTT (pekerja tetap). Apabila pekerja tersebut terjadi PHK maka berhak mendapat uang pesangon, uang penggantian hak, uang masa penghargaan kerja sesuai dengan masa kerja. Hal tersebut sudah diatur di dalam Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa :
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”
Berdasarkan penjelasan mengenai analisa pertimbangan hukum di atas mengenai PKWTT berubah menjadi PKWT yang merupakan perubahan dalam kedudukan hukum pekerja. Bahwa peneliti menganalisa berdasarkan teori perlindungan hukum dan hukum perjanjian. Hakim memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja yaitu berupa perlindungan peralihan status PKWTT menjadi PKWT Harus diatur secara jelas dan terperinci dalam Undang-undang mengenai peralihan demi hukum, terutama bagaimana status peralihan status pekerja. Perlu penegasan hak pekerja untuk mendapatkan jaminan kesejahteraan pekerja dan keluarga. Sehingga terjadinya PHK pekerja berhak mendapatkan hak atas pasca berakhirnya hubungan kerja.
Adapun mengenai perjanjian kerja dilihat dari teori hukum
perxxxxxxx, bahwa perjanjian yang dilaksanakan oleh pihak tergugat dan penggugat memenuhi syarat azas kekuatan mengikat (pacta sunt
servanda) serta syarat sahnya perjanjian. Bahwa azas kekuatan mengikat merupakan aturan yang mengikat setelah adanya kesepakatan dan terpenuhinya syarat sahnya perjanjian kerja. Namun, dalam pelaksanaan PKWT bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Penyimpangan tersebut terhadap pelaksanaan perjanjian kerja berupa jenis dan sifat kerja serta tidak dilakukannya perpanjangan dan pembaharuan kerja. Walaupun dalam PKWT terjadi sudah kesepakatan dalam perjanjian secara tertulis dan mengikat, apabila perjanjian kerja dalam pelaksanaan dilanggar atau tidak sesuai peraturan perundang- undangan maka perjanjian batal demi hukum.
G. Kedudukan Hukum Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu TidakTertentu (PKWTT)
Kedudukan hukum pekerja yang tidak tetap atau status perjanjian kerja waktu tidak tertentu ketika disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut kami paparkan mengenai hak- hak seorang pekerja dengan status PKWTT, yaitu :36
1. Berhak atas upah setelah selesai melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian (tidak di bawah Upah Minimum Provinsi/UMP), upah lembur, Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek);
2. Berhak atas fasilitas lain, dana bantuan dan lain-lain yang berlaku di perusahaan;
3. Berhak atas perlakuan yang tidak diskriminatif dari pengusaha;
36xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxxxx/xx000x00xxxxx00/xxxxxx-
hukum-hubungan-kerja-tanpa-perjanjian-kerja-tertulis diakses pada tanggal 28 Juli 2018 Pukul 22:02 Wita.
4. Berhak atas perlindungan keselamatan kerja, kesehatan, kematian, dan penghargaan;
5. Berhak atas kebebasan berserikat dan perlakuan HAM dalam hubungan kerja.
H. Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan Hubungan Kerja memang bukan barang haram dalam hukum perburuhan di Indonesia. Undang-Undang Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan mendefinisikan PHK sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Secara normatif, ada dua jenis PHK, yaitu PHK secara sukarela dan PHK dengan tidak sukarela. Ada beberapa alasan penyebab putusnya hubungan kerja yang terdapat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. PHK sukarela misalnya, yang diartikan sebagai pengunduran diri buruh tanpa paksaan dan tekanan. Begitu pula karena habisnya masa kontrak, tidak lulus masa percobaan (probation), memasuki usia pensiun dan buruh meninggal dunia.37
PHK tidak sukarela dapat terjadi antara lain karena buruh melakukan kesalahan berat seperti mencuri atau menggelapkan uang milik perusahaan atau melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan pekerjaan. Selama ini, alasan PHK karena kesalahan berat itu diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pasal ini
37xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxx/xxx00000/xxxxxxxxxxxxx-
alasanalasan-phk-dalam-praktik diakses pada 28 Agustus 2018 Pukul 20:00 Wita.
pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa kesalahan berat yang dituduhkan kepada buruh harus dibuktikan terlebih dulu oleh putusan peradilan pidana di pengadilan umum.38
Selain itu PHK tidak sukarela juga bisa terjadi lantaran buruh melanggar perjanjian kerja, PKB atau PP. Perusahaan yang juga sedang melakukan peleburan, penggabungan dan atau perubahan status, memiliki opsi untuk mempertahankan atau memutuskan hubungan kerja. Nah, untuk konteks PHK tidak sukarela ini, hubungan kerja antara pengusaha dengan buruh baru berakhir setelah ditetapkan oleh Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Tidak demikian dengan PHK yang sukarela.
Mekanisme penanganan penyelesaian perselisihan hubungan industrialkhususnya mengenai pemutusan hubungan kerjasesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial meliputi, antara lain sebagai berikut :39
a) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan
38Ibid.
39 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial.
bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
b) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagkerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.
c) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihakuntuk menyepakati memilih penyelesian melalui konsiliasi atau arbitrase.
d) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pemilihan penyelesian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam wakktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesian perselisihan kepada mediator.
e) Penyelesian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, nperselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
f) Penyelesian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesian perselisihan kepentingan atau perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh.
Penyelesian perselisihan hubungan industrial termasuk di dalamnya masalah pemutusan hubungan kerja diupayakan dilakukan lebih dulu cara bipartit. Akan tetapi jika cara ini tidak berhasil maka
dicatatkan persoalanya pada Dinas Tenaga Kerja setempat, dalam hal ini
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di mana sengketa itu terjadi. Kemudian mekanisme yang dilakukan oleh pihak Dinas Tenaga Kerja, sebagai berikut.
“Pertama, kepada pihak yang berselisih akan ditawarkan dua cara penyelesian, yaitu penyelesian melalui konsiliator atau arbitrase. Kedua, jika pihak yang berselisih tidak menghendaki penyelesian melalui konsiliator atau arbitrase maka Kepala Dinas Tenaga Kerja dapat langsung melimpahkan persoalannya kepada mediator. Ketiga, meditor yang telah mendapatkan perlimpahan tugas dari Kepala Dinas Tenaga Kerja melaksanakan tugasnya sesuai dengan undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian hubungan industrial. Keempat, Dinas Tenaga Kerja mengawasi pelaksanaan kesepakaatan dari kedua pihak sehingga tidak terjadi pelanggaran atas kesepakatan dimaksud.”40
Mekanisme di atas menunjukkan bahwa penanganan perselisihan dalam masalah pemutusan hubungan kerja yang ditawarkan oleh Dinas Ketenaga Kerja melalui tahapan-tahapan birokrasi yang ketat. Apabila melalui konsiliasi atau arbitrase maka jalan yang dapat ditempuh nerikutnya adalah dapat ditempuh berikutnya adalah dapat ditempuh jalan mediasi, dan seterusnya hingga tahapan keempat dibentuk kesepakatan. Malahan untuk menjadi mediator harus menempuh langkah yang sangat panjang, bahkan menunggu keputusan menteri. Ini berarti mekanisme penanganan perselisihan pemutusan hubungan kerjadapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama sehingga hampir perkara tersebut terkatung-katung tanpa penanganan yang jelas. Oleh karena itu perlu dicarikan cara-cara yang agak simpel dan relatif pendek misalnya, kewenangan itu cukup diselesaikan di tingkat bupati saja. Dengan
40 Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial.
demikian mekanisme dapat diperpendek tanpa harus melalui keputusan menteri, seperti dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian hubungan industrial, yang dimaksud dengan mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab pada bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Adapun syarat-syarat untuk menjadi seorang mediator berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 adalah sebagai berikut :41
a) Xxxxxxx dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b) Warga Negara Indonesia;
c) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d) Menguasi peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan:
e) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f) Berpendidikan sekurang-kurangnya Strata satu (S1); dan
g) Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Syarat-syarat menjadi mediator berdasarkan Pasal 9 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 di atas menunjukkan adanya kelemahan dan kekaburan terminologi karena tolak ukur ”beriman dan bertaqwa
41 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industri.
kepada Tuhan Yang Maha Esa” atau tidaknyaseseorang misalnya, sampai kini belum ada ukuran dan penilaian yang jelas. Demikian juga dengan ”berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela” merupakan istilah- istilah dalam bidang moral yang sangat tidak jelas tolok ukurnya dan tidak memiliki arti dan makna yang tetap. Mengingat kaidah-kaidah moral umumnya sangat terikat dan tergantung pada ruang dan waktu penggunanya misalnya, apa yang tidak tercelasekarang besok belum tentu tepat tidak tercela karena dalam dimensi ini perubahan kehidupan sosial kemasyarakatan dan kebudayaan berpengaruh secara signifikan kehidupan sosial kemasyarakatan dan kebudayaan berpengaruh secara signifikan.
Persyaratan yang bersifat sangat terbuka seperti ini dalam praktiknya membawa para petugas atau pegawai akan ragu-ragu, apabila tidak dibilang bias. Keambiguan ini dalam terminologi hukum seharusnya bukan merupakan kebiasaan yang diwarisi karena itu istilah-istilah hukum yang masih meragukan patut mendapat perhatian untuk direvisi. Dengan kata lain meskipun masih terdapat kekaburan makna dalam kriteria menjadi seorang mediator seperti disebutkan diatas, setidak-tidaknya ini tetap harus dipenuhi sebagai syarat formal.
Mediator yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan seperti diatas dan secara resmi ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, maka yang
bersangkutan secara sah diberikan kewenangan untuk memediasi
masalah perselisihan hubungan industrial. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh mediator dalam menangani masalah perselisihan hubungan industrial khususnya mengenai pemutusan hubungan kerja berdasarkan pasal 13 sampai dengan 15 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesian perselisihan hubungan industrial meliputi, Antar lain sebagai berikut.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah
mengadakan | penelitian | tentang | duduknya | perkara | dan | segera |
mengadakan | penelitian | tentang | duduknya | perkara | dan | segera |
mengadakan sidang mediasi.
Berdasarkan Pasal 13 Undang-undang No 2 Tahun 2004 :
1. Dalam hal tercapainya kesepakatan penyelesian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangai oleh para piak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
2. Dalam hal tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan industrial melalui mediasi, maka:
a. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampikan kepada para pihak;
c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjurahn tertulis.
d. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. Dalam hal para pihak menyetujui anjurab tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator sudah harus selesai membantu para pihak pembuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan akta bukti pendaftaran.
3. Pendaftaran Perjanjian Bersama di pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian bersama;
b. Apabila perjanjian bersama sebagaimana mdimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
c. Dalam hal permohonan eksekusi berdomisili diluar wilayah hukum pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan negeri tempat pendaftaran Perjanjian bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Berdasarkan Pasal 14 Undang-undang No 2 Tahun 2004 :
a. Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu satu pihak dapat melanjutkan penyelesian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
b. Penyelesian perselisihan sebgaimana dimaksud dala ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
setempat.
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima perlimbahan penyelesian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mediator sebagimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesian perselisihan hubungan industrial merupakan tugas dari dinas tenaga kerja. Dalam melaksanakan tugasnya mediator tidak dapat bertindak atas inisiatif sendiri, melainkan harus mendasarkan diri pada Undang- Undang yang berlaku. Langkah-langkah mediasi diawali dengan memahami duduk perkara dan ini boleh dilakukan dengan bantuan saksi dan/atau saksi ahli. Setelah duduk perkara diketahui maka mediator meminta kesepakatan dari pihak yang berselisih dalam bentuk Perjanjian bersama yang sah secara hukum dan terdaftar di pengadilan Hubungan Industrial. Lahirnya perjanjian bersama ini menunjukkan kalau mediasi yang dilakukan berhasil, tetapi jika langkah ini tidak berhasil maka tugas mediator dilanjutkan dengan memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih dan harus ditindaklanjuti.
Jika pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan maka perusahaan wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima, sesuai dengan Pasal 156 Undang-Undang Ketenagakerjaan,
adapun perhitungan besaran uang pesangon yang harus dibayar oleh perusahaan kepada pekerja yang di PHK adalah sebagai berikut :
a. Masa kerja kurang dari 1 (satu )tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2(dua) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau 9 (sembilan) bulan upah.
Selain uang pesangon perusahaan juga wajib membayar uang pengharaan masa kerja kepada pekerja yang di PHK oleh perusahaan, adapun penghitungan besaran uang penghargaan masa kerja yang harus dibayar sesuai dengan pasal 156 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenaga kerjaan yaitu sebagai berikut :
a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. Masa kerja 12 (dua Belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah;
Selain menerima uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, pekerja yang di PHK oleh perusahaan juga wajib menerima uang penggantian hak yang diatur dalam pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu:
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Xxxxx atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Apabila pemutusan hubungan kerja opsi yang tidak terhindarkan lagi maka adabeberapa hak pekerja yang harus diberikan oleh pihak perusahaan, antara lain uang pesangon, uang penghargaan, dan uang pengganti hak yang ketentuannya masing-masing diatur dalam undang- undang. Untuk melaksanakan undang-undang tersebut sehingga tidak ada pihak yang dirugikan maka diperlukan perangkat-perangkat hukum yang mengawasi dan menjamin terlaksananya undang-undang dimaksud. Terkait dengan pemberian hak pekerja ini, bahwa apabila terjadi pemutusan hubungan kerja maka Dinas tenaga Kerja memiliki beberapa kewenangan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, antara lain:
a. meminta kepastian dari pihak perusahaan tentang kesediaanya memberikan hak-hak pekerja;
b. menjembatani terjadinya kesepakatan tentang waktu dan batas waktu pemberian hak pekerja;
c. mengawasi danmemonitoring pelaksanaan pemberian hak pekerja;
d. menerima pengaduan jika terjadi pelanggaran kesepakatan; dan
e. menindaklanjuti pengaduan tersebut sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Dinas Tenaga Kerja memiliki kewenangan dalam penyelesian masalah pemutusan hubungan kerja. Kewenangan yang dimiliki pada dasarnya tidak bertentangan dengan undang-undang yangberlaku tentang ketenagakerjaan. Dalam hal pemutusan hubungan kerja, Dinas Tenaga Kerja berwenang untuk membuat kesepakatan dari kedua belah pihak (pekerja dan perusahaan), mengawasi pelaksanaanya, dan menyelesaikan persoalan-persoalanterjadi yang berkaitan dengan kesepakatan yang dimaksud.
I. Kerangka Pikir
Fokus penulisan ini ada pada dua variabel utama yaitu: (i) variabel ketentuan pengaturan PKWTT dengan PKWT ditinjau dari Undang- Undang Ketenagakerjaan dan KEPMEN Transmigrasi No. 100 Tahun 2004 dan (ii) variabel implikasi hukum terhadap perubahan status dari PKWTT ke PKWT tanpa adanya PHK.
Untuk variabel ketentuan pengaturan PKWTT dengan PKWT ditinjau dari Undang-Undang Ketenagakerjaan dan KEPMEN Transmigrasi No. 100 Tahun 2004, penulis akan menetapkan indikator variabelnya yaitu: (i) kelambagaan, (ii) kewenangan dan (iii) substansi peraturannya. Sedangkan untuk variabel implikasi hukum terhadap perubahan status
dari PKWTT ke PKWT tanpa adanya PHK yaitu: (i) status dan/atau
kedudukan pekerja. Untuk memberikan gambaran secara umum terkait dengan kerangka pikir penulisan ini serta hubungan antara variabel penulisan maka dapat dikemukakan bagan kerangka pikir sebagai berikut:
Bagan 1
⮚
⮚
Kerangka Pikir
Peralihan Status Hubungan Kerja dari PKWTT ke PKWT Tanpa Adanya PHK
Ketentuan pengaturan PKWTT
dengan PKWT ditinjau dari
Implikasi hukum dari perubahan status pekerja dari PKWTT ke PKWT
⮚ Perjanjian Batal atau dapat dibatalkan
⮚ Perselisihan Hubungan Industrial
⮚ Pembayaran Pesangon sebagai wujud pemulihan hak
Status Pekerja Mekanisme Peralihan Status Pekerja Perlindungan Bagi Pekerja PKWTT menjadi PKWT
Pengawasan Terhadap
Status Pekerja
⮚
⮚
-
Terwujudnya suatu Peraturan Hukum dalam memberikan jaminan Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan bagi Pengusaha dan Pekerja
J. Definisi Operasional
a) Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
b) Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.
c) Pemutusan Hubungan Kerja adalah Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
d) Tenaga Kerja adalah Setiap orang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
e) Pekerja Xxxxx adalah Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
f) Pekerja Kontrak adalah Tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam waktu dan kontuinitas pekerjaan dengan menerima upah didasarkan atas kehadirannya secara harian.
g) Pengusaha adalah Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri ; Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan miliknya sendiri; Orang
perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di
indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah indonesia.
h) Perusahaan adalah Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak. Milik orang perseorangan, milik persekutan, atau milik badan hukum. Baik milik swasta atau milik negara yang mempekerjakan buruh/pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Usaha-usaha sosial atau usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus atau mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
i) Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang berbentuk antara para pelaku dalam proses prosuksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruuh dan pemerintah yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
j) Serikat pekerja/ Serika buruh adalah Organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan ataupun diluar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.