DAMPAK PANDEMI COVID-19
DAMPAK PANDEMI COVID-19
TERHADAP TIDAK BERJALANNYA SUATU PERJANJIAN KERJA AKIBAT FORCE MAJEURE
JURNAL
Oleh:
XXXXX XXXXXXXXXXX NIM : 1611111101
FAKULTASHUKUM UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA
2020
DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP TIDAK BERJALANNYA SUATU PERJANJIAN KERJAAKIBAT FORCE MAJEURE
XXXXX XXXXXXXXXXX
Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara Surabaya xxxxxxxxxxxx00000@xxxxx.xxx
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui yang bisa membatalkan perjanjian kerja dan untuk mengetahui pandemi Covid-19 dapat dijadikan alasan sebagai force majeure untuk tidak menjalankan suatu perjanjian kerja. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu dengan cara pendekatan Undang-Undang (Statute Approach). Batalnya suatu perjanjian kerja terdapat pada pasal 61 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Covid-19 dapat dijadikan alasan adanya force majeure untuk tidak terlaksananya suatu prestasi. Namun apabila dalam perjanjian kerja ditentukan lain bahwa pandemi tidak termasuk dalam keadaan kahar atau force majeure, maka pelaksanaan prestasi harus dilaksanakan meskipun sulit, dan juga harus tetap memperhatikan kebijakan yang berlaku. Terkait pandemi Covid-19 dapat dijadikan alasan force majeure dalam tidak terlaksananya perjanjian kerja. Perlu ditelaah kembali dalam perjanjian yang bersangkutan secara khusus dan apabila dalam perjanjian tersebut terkait force majeure terdapat klausul yang tidak eksklusif, maka pihak dapat mengklaim sepanjang adanya kondisi-kondisi yang disetujui untuk berlakunya keadaan kahar.
Kata kunci : Pandemi Covid-19, Force Majeure, Perjanjian Kerja
ABSTRACT
This research aims to find out who can cancel work agreements and to find out the Covid-19 pandemic can be used as an excuse as a force majeure for not carrying out a work agreement. This study uses normative juridical legal research methods, namely the approach of the Act (Statute Approach). The cancellation of an employment agreement contained in article 61 paragraph (1) of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower and Covid-19 can be used as a reason for the existence of force majeure for not performing an achievement. However, if the work agreement states otherwise that the pandemic is not subject to force majeure, then the achievement must be carried out even though it is difficult, and must also pay attention to applicable policies. Regarding the Covid-19 pandemic, it can be used as an excuse for force majeure in not implementing work agreements. It needs to be reviewed in the relevant agreement specifically and if the agreement is related to force majeure there is a clause that is not exclusive, then the party can claim as long as there are agreed conditions for force majeure to take effect.
Keywords : Covid-19 Pandemic, Force Majeure, Work Agreement
1. Pendahuluan
1.1 LatarBelakang
Mencegah penyebaran pandemi Covid-19 meluas, Menteri Ketenagakerjaan (Xxxxxxx), Gubernur dan Xxxxxx menerbitkan surat edaran (SE) terkait pencegahan Covid-19. Bahkan sebagian kantor dinas tenaga kerja tidak ketinggalan menerbitkan surat edaran (SE)
dan surat himbauan supaya perusahaan mengurangi atau menghentikan kegiatan usaha, meliburkan pekerja, serta mewajibkan pekerja melakukan isolasi mandiri. Xxxxxx pun muncul mengakibatkan beberapa perusahaan merumahkan sebagian pekerja. Sebagian
lagi bekerja dari rumah (work from home/WFH).
Selanjutnya, untuk mengatakan pandemi Covid-19 menimbulkan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, perusahaan wajib mengatakan pandemiCovid-19 sebagai bencana yang timbul dari luar kekuasaannya dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya. Untuk mendukung pernyataan seperti itu, perusahaan bisa saja merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dan Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007. Produk hukum itu menyimpulkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nonalam berskala nasional (bencana nasional). Bencana di dalam Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2006dibagi tiga yaitu bencana alam, bencana nonalam dan bencana sosial.
Apabila bencana nasional menimbulkan dampak kerugian bagi perusahaan, yang ideal mengatakan perusahaan mengalami force majeure adalah perusahaan itu sendiri. Pemerintah tidak akan mengatakan secara eksplisit pandemi Covid-19 sebagai force majeure bagi semua perusahaan.Pengakuan pemerintah akan adanya force majeure di perusahaan akan diimplementasikan ke dalam bentuk kebijakan yang dianggap bisa meringankan beban perusahaan dan pekerja seperti halnya mengurangi beban pajak, membolehkan perusahaan mengubah besaran upah dan cara pembayarannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka menarik untuk diteliti lebih lanjut dengan judul penelitian “DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP TIDAK BERJALANNYA SUATU PERJANJIAN KERJA AKIBAT FORCE MAJEURE”.
1.2 PerumusanMasalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Apa saja yang bisa membatalkan perjanjian kerja?
2. Apakah Pandemi Covid-19 dapat dijadikan alasan sebagai force majeure untuk tidak menjalankan suatu perjanjian kerja?
1.3 Kajian Pustaka
1. Pengertian Virus Covid-19
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Pada manusia biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan, mulai flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut Berat/ Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
2. Pengertian Perjanjian Kerja
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14 bahwa “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.”1
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1601a bahwa “Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu.”2
3. Pengertian Force Majeure
Force majeure menurut para ahli diantaranya sebagai berikut:
a. Menurut Subekti, force majeure adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
x. Xxxxx xxxxx Xxxxxxxx, force majeure
adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya
1Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 1601a
2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Xxxxx0000x
prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa yang tidak terduga yang mana dibitur tidak dapat menduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
c. Menurut Setiawan, force majeure adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, yang mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat karena semua itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.3
1.4 Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dapat digunakan dalam penelitian hukum adalah penelitian hukum yuridis normatif (normative legal research). Karena penelitiannya yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan perundang-undangan (Statute approach) dilakukan dengan cara menelaah peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan dengan Perjanjian Kerja dan force majeur.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBATALKAN SUATU PERJANJIAN KERJA
syarat sah dalam perjanjian kerja, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal
52 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, syarat sahnya suatu perjanjian secara lebih khusus yaitu:4
1. Kesepakatan kedua belah pihak Artinya kesepakatan antara para
pihak untuk melakukan suatu perjanjian kerja yang mana atas perjanjian dimaksud terdapat akibat hukum bagi para pihak yang bersepakat.
3 P.X.X. Xxxxxxxxxxx. Hukum Perdata Indonesia cetakan ke-3. Jakarta:Kencana 2007. Hlm295
4Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Pasal 52 ayat (1)
2. Kemampuan atau kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum
Artinya para pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak terkualifikasi sebagai pihak yang tidak cakap hukum untuk membuat suatu perikatan sebagaimana diatur dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah anak yang belum dewasa, orang di bawah pengampuan, seorang perempuan yang sudah kawin dalam hal-hal yang ditentukan Undang-Undang dan pada umumnya semua orang yang oleh Undang- Undang dilarang untuk membuat persetujuan setentu.5
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan Pekerjaan sebagai objek perjanjian
haruslah jelas jenisnya, dapat dinilai dengan uang serta memberikan manfaat kepada pengusaha. Disamping itu pekerjaan yang diperjanjikan haruslah dapat dilaksanakan sendiri oleh pekerja yang menandatangani karena berkaitan dengan keahlian atau kemampuannya. Dalam suatu pekerjaan tidak dapat dinilai dengan uang atau mestahil untuk dilakukan, maka perjanjian kerja tersebut dapat digolongkan sebagai perjanjian yang tidak jelas atau kabur objeknya.
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum seperti halnya yang tercantum pada Pasal 52 ayat (2) dan
(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.Pekerjaan yang diperjanjikan juga harus didasarkan pada sebab yang sah secara hukum. Bukan
5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Pasal 1330
pekerjaaan yang bertentangan dengan norma-norma hukum ataupun kesusilaan.
Suatu perjanjian kerja jika tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan. Berikut merupakan faktor-faktor yang bisa membatalkan suatu perjanjian kerja menurut pasal 61 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa suatu perjanjian kerja batal karena:
1. Pekerja meninggal dunia
Hubungan kerja otomatis akan batal atau berakhir ketika pekerja meninggal dunia baik perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) maupun perjanjian kerja waktu tertentu(PKWT). Namun, jika pekerja meninggal dunia, dengan pengecualian yang meninggal dunia adalah pihak pengusaha, maka perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak akan batal atau berakhir bahkan suatu perjanjian kerja untuk waktu tertentu tiidak batal atau berakhir walaupun pengusaha jauh pailit. 6
2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
Undang-undang tidak mencantumkan kesepakatan para pihak, pengusaha dan buruh, untuk mengakhiri perjanjian kerja sebagai salah satu sebab berakhirnya perjanjian kerja. Pembentuk Undang-undang memandang bahwa jika hal ini diperkenankan akan timbul tekanan-tekanan dari pengusaha kepada buruh untuk menyepakati berakhirnya perjanjian kerja. Pandangani ini konstruktif dari sudut pandang perlindungan hukum untuk buruh.7 Perjanjian kerja berakhir karena jangka waktu kontrak telah selesai.Hal ini dapat terjadi pada kasus pekerja kontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
6Departemen Penerangan RI. Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Proporsi Sebenarnya
7 Xxxxx R. Xxxxxxx. Hukum Perburuhan, Segit Kesit. Jakarta 2009. h.11
3. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Secara hukum, perjanjian kerja baik perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) akan berakhir karena adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (LPPHI) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Adanya putusan dan/atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (LPPHI) yang menyebabkan perjanjian kerja berakhir selalu didahului dengan terjadinya perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) antara pengusaha dan pekerja.
4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja
Keadaan atau kejadian tertentu baru dapat menyebabkan suatu perjanjian kerja berakhir, sepanjang di dalam Perjanjian Kerja, Perjanjian Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama telah mencantumkan secara tegasbentuk- bentukkejadian atau keadaan tertentu tersebut. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) huruf d Undang-undangNomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini, harus dimaknai sebagai ketentuan pembatalan atau pengakhiran perjanjian kerja karena terpenuhinya syarat batal sebagaimana diatur dalam Pasal 1265 – 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
2.2 PANDEMI COVID-19 DAPAT DIJADIKAN ALASAN SEBAGAI FORCE MAJEURE UNTUK TIDAK
MENJALANKAN SUATU PERJANJIAN KERJA
Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsovereenkoms, dan
dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Yang pertama menurut Pasal 1601a Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan pengertian perjanjian Kerja bahwa “Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu”.8
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara buruh dengan pengusaha atau pemberi kerjayang memuat syarat-syarat kerja,dan kewajiban para pihak yang terdapat pada Pasal 1 angka 14 Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.9
Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Karena force majeure itu terjadi di luar kuasa atau kemampuan dari pihak yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Meskipun demikian, force majeure tidak memberi alasan kepada para pihak tidak melakukan apa-apa.Namun, pandemi Covid-19 dapat dijadikan sebagai alasan Force Majeure maka diperlukan landasan hukum atau regulasi yang jelas terkait hal tersebut. Dalam keadaan pandemi Covid- 19 ini, Presiden Republik Indonesia Xxxx Xxxxxx mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (covid-19) sebagai Bencana Nasional.10
8 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1601a
9Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 1 angka
14
10Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non
Biasanya perjanjian memuat 2 (dua) jenis klausul keadaan kahar, yaitu klausul yang tidak eksklusif, dimana dalam tipe klausa ini, keadaan yang dianggap sebagai keadaan kahar adalah tidak eksklusif, sehingga suatu pihak dapat mengklaim keadaan kahar sepanjang adanya kondisi-kondisi yang disetujui untuk berlakunya keadaan kahar. Dan, klausul yang eksklusif, dimana dalam tipe klausa ini, keadaan kahar terbatas pada keadaan-keadaan yang disebutkan di dalam perjanjian kerja. Atau secara deskripsi bisa di jelaskan bahwa, jika dalam perjanjian disebutkan secara tegas menyatakan wabah penyakit atau pandemi sebagai peristiwa force majeur, maka wabah virus Corona/Covid-19 dapat dijadikan sebagai alasan force majeur. Dan, jika tidak ada atau terdapat klausula yang menyatakan “kejadian-kejadian lain di luar kemampuan debitur atau sejenisnya”, maka baik itu dinyatakan secara tegas atau tidak tegas dalam perjanjian, yang harus diperhatikan adalah prestasinya, bukan semata peristiwanya serta peristiwa tersebut pun merupakan kejadian yang tidak dapat diduga sebelum dibuat perjanjian kerja. Oleh karena itu, terkait apakah pandemi Covid-19 bisa dianggap sebagai keadaan kahar atau force majeure, bergantung pada klausul keadaan kahar yang dimuat dalam perjanjian kerja.
Apabila suatu perusahaan mengalami kesulitan atau tidak berjalannya suatu perjanjian kerja yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah merupakan upaya terakhir. Dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja N0.SE-907/MEN/PHI- PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (SE/907/2004) pada butir f dinyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja haruslah sebagai upaya terakhir, setelah dilakukan upaya barikut; “huruf f; meliburkan atau
alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional
merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu yang ditentukan oleh perusahaan”.11 Tujuannya untuk mengurangi pengeluaran perusahaan atau karena tidak adanya kegiatan/produksi yang dilakukan perusahaan selama pandemi covid-19 ini. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Covid-19 dapat dijadikan alasan adanya force majeure untuk tidak terlaksananya suatu prestasi. Namun apabila dalam perjanjian kerja ditentukan lain bahwa pandemi tidak termasuk dalam keadaan kahar atau force majeur, maka pelaksanaan prestasi harus dilaksanakan meskipun sulit, dan juga harus tetap memperhatikan kebijakan yang berlaku.
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan terkait pandemi Covid-19 dapat dijadikan alasan force majeure dalam tidak terlaksananya perjanjian kerja. Perlu ditelaah kembali dalam perjanjian yang bersangkutan secara khusus dan apabila dalam perjanjian tersebut terkait force majeure terdapat klausul yang tidak eksklusif, maka pihak dapat mengklaim sepanjang adanya kondisi-kondisi yang disetujui untuk berlakunya keadaan kahar. Dan klausul yang eksklusif, dimana keadaan kahar terbatas pada keadaan- keadaan yang disebutkan di dalam perjanjian kerja atau secara deskripsi bisa dijelaskan bahwa jika dalam perjanjian disebutkan secara tegas menyatakan wabah penyakit atau pandemi sebagai peristiwa force majeur, maka wabah virus Covid-19 dapat dijadikan sebagai alasan force majeur. Oleh karena itu, terkait apakah pandemi Covid-19 bisa dianggap sebagai keadaan kahar atau force majeure, bergantung pada
11Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja N0.SE- 907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal, butir f
klausul keadaan kahar yang dimuat dalam perjanjian kerja.
3.2 Saran
Jika pandemi Covid-19 dapat dijadikan alasan adanya force majeure untuk tidak terlaksananya suatu perjanjian kerja. Namun apabila dalam klausula perjanjian kerja ditentukan hallain bahwa pandemi Covid-19 tidak termasuk dalam keadaan kahar atau force majeur, maka pelaksanaan perjanjian kerja tetap bisa dilaksanakan meskipun dalam klausula perjanjian tersebut tidak disebutkan adanya keadaan kahar pandemi ini, dan juga harus tetap memperhatikan kebijakan dan peraturan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Xxxxx R. Xxxxxxx. Hukum Perburuhan, Segit Kesit. Jakarta 2009. h.11
P.N.H. Simanjuntak. Hukum Perdata Indonesia cetakan ke-3. Jakarta:Kencana 2007. Hlm 295
Departemen Penerangan RI. Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Proporsi Sebenarnya
PERATURAN UNDANG-UNDANG
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja N0.SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004
tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal
LAIN-LAIN
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kesiapsiagaan menghadapi inveksi covid-19. Jakarta. Diakses 6 Juni 2020.xxxxx://xxx.xxxxxx.xx.xx/xxxxxx/xxx w/full-content/structure-faq.html