LALU PANDU GUMILANG
TINJAUAN FIQH MU’AMALAH TERHADAP PRAKTIK KERJASAMA PENITIPAN BARANG DAGANGAN DENGAN
SISTEM KONSINYASI (STUDI DI DESA PENUJAK KECAMATAN PRAYA BARAT
KABUPATEN LOMBOK TENGAH)
OLEH :
LALU PANDU GUMILANG
NIM: 152.14.1.033
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM MATARAM
i
2019
TINJAUAN FIQH MU’AMALAH TERHADAP PRAKTIK KERJASAMA PENITIPAN BARANG DAGANGAN DENGAN
SISTEM KONSINYASI (STUDI DI DESA PENUJAK KECAMATAN PRAYA BARAT
KABUPATEN LOMBOK TENGAH)
Skripsi
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram Untuk Melengkapi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
LALU PANDU GUMILANG
NIM: 152.14.1.033
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM MATARAM
2019
ii
iii
iv
vi
MOTTO
P
u Z
ľ
“Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh”. (QS. Shaad [38]: 24).
PERSEMBAHAN
Skripsi ini peneliti persembahkan kepada:
1. Kedua orang tua peneliti, ayahanda Xxxx Xxxxxxx dan ibunda Baiq Rohida, terimakasih atas kasih sayang, pengorbanan, perhatian, keikhlasan cinta yang tiada hentinya diucapkan disetiap do’a kalian.
2. Kakak dan adik peneliti (Xxxx Xxxxx Xxxxx, Xxxx Xxxx Xxxxx, Xxxx Xxxxxx Xxxxxxx dan Baiq Resti Xxx Xxxxx), terimakasih atas dukungan moril maupun materiil kepada peneliti selama menjalani perkuliahan di Fak. Syariah UIN Mataram.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt., yang telah menganugerahkan nikmat kepada peneliti, dengan anugerah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam peneliti persembahkan kehadapan junjungan Nabi besar Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx xxx., yang telah mengeluarkan umatnya dari kegelapan kepada cahaya terang benderang.
Skripsi ini berjudul “Tinjauan Fiqh Mu’amalah Terhadap Praktik Kerjasama Penitipan Barang Dagangan Dengan Sistem Konsinyasi (Studi Di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah)”, yang merupakan syarat akhir studi untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum (SH) di Program Studi Mu’amalah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Xxxxx Xxxxx Fak. Syariah UIN Mataram beserta staf yang telah memberikan kemudahan kepada peneliti dalam setiap aktivitas kegiatan atau pengurusan adminsitrasi perkuliahan khususnya terkait dengan penelitian.
2. Bapak Dr. H. Xxxxxxx, X.Xx., serta Xxxxx Xxxx Xxxxxxx X.X,. M.H., selaku dosen pembimbing I dan II yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya untuk membimbing, mengarahkan, serta memberikan motivasi kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah UIN Mataram yang telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Kepala Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah beserta segenap narasumber yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu namanya yang telah meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan yang peneliti ajukan serta data-data penelitian yang diberikan.
5. Sahabat dan rekan-rekan seperxxxxxan yang ada di HMI dan Xxxxx Xx’xxxxxx angkatan tahun 2014 yang telah berkenan menemani peneliti selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi.
Peneliti berharap adanya saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga tugas akhir yang peneliti buat ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan khususnya bagi peneliti sendiri. Amin.
Mataram, 10 Juli 2019 Peneliti
Lalu Pandu Gumilang
ABSTRAK
Kerjasama adalah sebuah usaha yang dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama merupakan interaksi yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan. Kerjasama bisa terjadi ketika individu-individu yang bersangkutan mempunyai kepentingan dan kesadaran yang sama untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama. Praktik kerjasama seiring dengan perkembangan dengan umat manusia mengalami perkembangan yang sangat pesat, salah satunya adalah yang terjadi dan dilakukan oleh masyarakat Desa Penujak. Kegiatan kerjasama yang mereka lakukan dalam bentuk menitip barang dagangan, dimana seseorang menitipkan barang dagangan berupa makanan maupun bentuk lainnya kepada pemilk warung, namun jika barang dagangan tersebut tidak laku maka pemilik warung tidak mendapatkan keuntungan dan di sisi lain pemilik warung tersebut menanggung resiko kerugian atas kerusakan barang tersebut.
Sehubungan dengan uraian di atas, penulis ingin mengetahui bagaimana praktik kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penujak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi.
Data penelitian ini menggunakan data primer, yaitu data yang dikumpulkan melalui proses observasi dan wawancara secara langsung dengan informan yang ada di lokasi penelitian, yaitu masyarakat yang ada di Desa Penujak serta menggunakan data sekunder yaitu buku-buku yang terkait dengan kerjasama (syirkah).
Kata kunci : Kerjasama, konsinyasi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI v
HALAMAN PENGESAHAN vi
HALAMAN MOTTO vii
HALAMAN PERSEMBAHAN viii
KATA PENGANTAR ix
ABSTRAK xi
DAFTAR ISI xii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 7
D. Ruang Lingkup Dan Setting Penelitian 8
E. Telaah Pustaka 9
F. Kerangka Teori 12
G. Metodologi Penelitian 29
H. Sistematika Pembahasan 35
BAB II PRAKTIK KERJASAMA PENITIPAN BARANG DAGANGAN DENGAN SISTEM KONSINYASI DI DESA PENUJAK KECAMATAN PRAYA BARAT KABUPATEN LOMBOK TENGAH 37
A. Gambaran Umum Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah 37
B. Praktik Kerjasama Penitipan Barang Dagangan Dengan Sistem Konsinyasi Di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah 41
1. Prosedur / Tahapan Kerjasama Penitipan Barang Dagangan Dengan Sistem Konsinyasi Di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah 42
a. Tahap Penawaran Dari Pemilik Barang/Pengamanat Kepada Penerima Barang/Pemilik Kios/Komisioner 42
b. Tahap Negosiasi 46
c. Tahap Pengiriman/Penitipan Barang 56
d. Tahap Pengecekan dan Pembayaran Barang Terjual 58
2. Bentuk Perjanjian kerjasama Penitipan Barang Dagangan Dengan Sistem Konsinyasi Di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah 66
BAB III TINJAUAN FIQH MUAMALAH TERHADAP PRAKTEK KERJASAMA PENITIPAN BARANG DAGANGAN DENGAN SISTEM KONSINYASI DI DESA PENUJAK KECAMATAN PRAYA BARAT KABUPATEN LOMBOK TENGAH 70
A. Analisis Terhadap Praktik Kerjasama Penitipan Barang Dagangan Dengan Sistem Konsinyasi Di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah 71
B. Analisis Terhadap Bentuk Akad Praktik Kerjasama Penitipan Barang Dagangan Dengan Sistem Konsinyasi Di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah 83
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 89
B. Saran 90
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah salah satu ciptaan Allah yang secara horizontal merupakan makhluk sosial yang senantiasa tidak terlepas dari hubungan mu’amalah dengan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Islam, kegiatan aktifitas mu’amalah manusia dipengaruhi oleh dua dimensi yaitu : hablu minallah dan hablu minannas. Hablu minallah mengatur hubungan- hubungan yang terjadi antara makhluk dengan Tuhannya, sedangkan hablu minannas mengatur interaksi yang terjadi antar individu.1 Kedua dimensi tersebut tidak bisa dipisahkan agar setiap tindakan manusia dalam menjalankan aktifitas mu’amalahnya selalu sesuai dengan syara’ atau ketetapan Allah swt.
Terkait dengan aktifitas manusia di bidang mu’amalah, Islam berusaha memberikan arah dan petunjuk agar setiap aktifitas manusia di bidang mu’amalah atau perniagaan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan Allah swt., hal ini sebagaimana firman-Nya al-Baqarah ayat 198 yang berbunyi :
ũ
Z o
2 r
-
ũ ľ
1M. Xxxxxx Xxxxxx, Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003), hlm. 7.
2Q.S. al-Baqarah [2]: 198
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”.
Ayat di atas memberikan gambaran bahwa Allah swt., memberikan kesempatan seluas mungkin kepada manusia khususnya umat muslim untuk melakukan aktifitas perniagaan, namun demikian setiap aktifitas perniagaan harus dilakukan dengan mendasari ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah swt.
Terkait dengan pernigaan ini, manusia dapat melakukan kegiatan perniagaan (perdagangan) baik dengan cara berniaga atau menjualnya sendiri dan dapat pula melakukan perniagaan (perdagangan) dengan melakukan kerjasama dengan manusia lainnya.
Pada dasarnya kegiatan kerjasama apapun juga namanya dibolehkan dalam Islam, hal ini dikarenakan Islam memberikan kebebasan yang sangat luas kepada setiap individu untuk melakukan transaksi dengan penggunaan kaidah-kaidah hukum Islam. Kegiatan kerjasama merupakan kegiatan mu’amalah, bukan ibadah. Sehingga berlakulah prinsip dasar dalam kaidah
ushul fiqh yang menyatakan :
ﻢﯾﺮﺤﺗ ﻰﻠﻋ ﺔﻠﯿﻟﺪﻟا ل
ﺪﯾ ﻰﺘﺣ ﺔﺣﺎﺑُﻷا ءﺎﯿﺷﻷا ﻰﻓ ﻞﺻﻷا
“Hukum asal (dasar) segala sesuatu itu diperbolehkan kecuali ada dalil yang menunjukkan atas keharamannya (larangannya). 3
3Zainal Xxxxxx Xxx Xxxxxxx Xxx Xxxxxx, al-Asbahu Wannadzoir ala Xxxxxxx Xxx Xxxxxxx Xx-Nu’man, (Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1993), hlm. 66.
Hakikat kaidah ini memberikan ruang yang sangat luas kepada masyarakat untuk menciptakan kreatifitas-kreatifitas baru dalam akad selama tidak bertentangan dengan aturan-aturan atau hukum mu’amalah yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadis. Perlu di ketahui pula bahwa Islam mengajarkan kepada setiap umatnya harus melakukan tindakan yang terbaik untuk hari ini dan esok dan menyerahkan hasilnya kepada Allah semata, sebab manusia tidak mengetahui hasil upaya yang dilakukannya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt., yang berbunyi :
h
Jí
o
%
4
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa manusia tidak dapat mengetahui secara pasti apa yang akan diusahakannya besok atau apa yang akan diperolehnya, namun demikian manusia tetap diwajibkan untuk selalu berusaha. Oleh karena itulah, setiap perbuatan manusia pasti memiliki resiko baik resiko keberhasilan maupun resiko atas ketidak berhasilan atas aktifitas mu’amalah yang dilakukannya. Begitu pula kegiatan mu’amalah yang dinamakan dengan kerjasama.
4Q.S. Lukman [31]: 34
Kerjasama sering pula dikatakan sebagai kemitraan yang dalam konsep Islam disebut dengan syirkah. Kerjasama menurut Xxx Xxxxx Xxxxxx xx-Xxxxx sebagaimana dikutip oleh Xxxxxxxx Xxxxxx yaitu suatu akad perjanjian yang bertujuan untuk menetapkan hak milik pada suatu hal karena terdapat lebih dari satu pihak sebagai jalan mengembangkan hak milik tersebut.5
Lebih lanjut terkait dengan kerjasama ini dalam kitab kifayah al-Akhyar sebagaimana dikutip oleh Xxxxxxxxxx an-Nabhani menyatakan bahwa setiap perjanjian kerjasama harus memenuhi lima syarat, yaitu : i). Kerjasama harus menggunakan alat tukar, seperti emas, perak atau uang; ii). Modal kerjasama harus mempunyai jenis dan macam yang sama; iii). Modal tersebut harus bercampur, sehingga tidak bisa dibedakan lagi modal masing-masing pihak; iii). Masing-masing pihak harus memberikan izin kepada pihak lain dalam melakukan tindakan hukum untuk mengembangkan modal tersebut; serta ke v). Keuntungan dan kerugian harus ditanggung bersama antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian kerja sama.6 Terkait dengan hukum kerjsama adalah mubah, dikarenakan banyak orang yang telah mempraktikkan perseroan, namun Xxxxxxxxxx mendiamkan (mengakui) tindakan mereka. Pengakuan Rasulullah terhadap tindakan banyak orang yang melakukan kerjasama menunjukkan kemubahannya. 7
Meskipun dalam perjanjian kerjasama, hasilnya belum dapat dipastikan dan masih perkiraan yaitu dalam bentuk prosentase namun hukum perjanjian
5Muslihun Muslim, Fiqh Ekonomi dan Positivisasinya di Indonesia,
(Mataram: LKIM IAIN Mataram, 2006), hlm. 173..
6Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizham al-Iqtishad fi al-Islam, terj., Moch.
Xxxxxx Xxxxx, (Surabaya: Xxxxxxx Xxxxx, 1996), 280.
7Ibid., hlm. 153.
Islam tetap menekankan perlunya keseimbangan, baik keseimbangan antara yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko.8 Selain itu dalam perjanjian kerjasama pembagian keuntungannya masing-masing anggota serikat nisbahnya harus ditentukan dengan jelas, misalnya 10%, 20%, 30% atau 40%, karena keuntungan merupakan salah satu ma’qud ‘alaih.9
Praktik kerjasama seiring dengan perkembangan umat manusia mengalami perkembangan yang sangat pesat, salah satunya adalah yang terjadi dan dilakukan oleh masyarakat Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah. Kegiatan kerjasama yang mereka lakukan dalam bentuk menitip barang dagangan, di mana seseorang menitipkan barang dagangan baik berupa makanan maupun dalam bentuk lainnya. Pemilik warung/toko menyediakan tempat manaruh barang tersebut yang kemudian oleh pemilik warung/toko barang titipan tersebut dijual atau diperdagangkan kepada masyarakat atau konsumen lainnya. Jika barang dagangan itu laku, maka pemilik warung atau pemilik toko dan juga pemilik barang atau pengamanat akan mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut . Namun jika barang tersebut tidak laku diperdagangkan, maka pemilik warung atau pemilik toko tidak mendapatkan hasil dari barang yang diperdagangkan, di sisi lain pemilik barang atau pengamanat menanggung resiko kerugian tersebut. Jadi dalam hal ini yang dirugikan dalam kegiatan kerja sama tersebut adalah salah satu pihak yaitu pemilik
8Xxxxxxx Xxxxx, Hukum Perjanjian Syariah : Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hlm 90.
9Ahmad Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm 353.
barang atau pengamanat. Kegiatan ini mereka namakan kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi.
Pada sistem konsinyasi adalah penitipan barang dari pemilik kepada pihak lain yang bertindak sebagai agen penjualan dengan memberikan imbalan berupa bagi hasil atau fee. Hak milik atas barang tetap masih berada pada pemilik barang sampai barang tersebut terjual. Pemilik barang tidak langsung menerima pembayaran dari pemilik toko/warung tempat menitip tersebut, melainkan sementara hanya dititipkan. Jika kemudian ada konsumen yang membeli produknya maka baru pembayaran dilakukan sejumlah barang yang terjual. Namun jika barang yang dititip tidak laku, maka pemilik barang menanggung semua kerugian atas barang yang tidak laku tersebut sedangkan pemilik toko/warung tidak menanggung kerugian apapun juga. Sementara dalam akad kerjasama mestinya tanggung jawab dan resiko di tanggung bersama, baik keuntungan maupun kerugian. Di sisi lain pemilik toko atau warung tersebut memakai hasil penjualan barang titipan untuk kepentingan pribadinya, sehingga menimbulkan keterlambatan dalam melakukan pembayaran kepada pemilik barang.10
Berangkat dari latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam dengan judul “Tinjauan Fiqh Mu’amalah Terhadap Praktik Kerjasama Penitipan Barang Dagangan Dengan Sistem Konsinyasi (Studi Di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah)”.
10Lalu Bangsari (Penitip Barang Dagangan), Studi Pendahuluan, Wawancara, Desa Penujak, Tanggal 6 Maret 2019.
B. Rumusan Masalah
Beranjak dari latar belakang masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah?
2. Bagaimana tinjauan fiqh mu’amalah terhadap praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menemukan jawaban terkait dengan :
1. Praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah.
2. Tinjauan fiqh mu’amalah terhadap praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah
Apabila tujuan di atas tercapai, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari 2 (dua) aspek, yaitu :
1. Aspek teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang pemikiran bagi kajian dan pengembangan ilmu pengetahuan, memberikan kontribusi bagi perbendaharaan konsep studi fiqh mu’amalah khususnya
terkait dengan konsep kerjasama dengan sistem konsinyasi yaitu penitipan barang dagangan oleh pemilik barang kepada pemilik toko atau penjual.
2. Aspek praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi bagi masyarakat Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah kuhsusnya masyarakat Desa Penujak agar kegiatan praktik kerjasama dengan sistem konsinyasi yang mereka lakukan memenuhi syariat Islam atau fiqh mu’amalah.
D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terbatas hanya pada praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah serta tinjauan fiqh mu’amalahnya terhadap praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi tersebut.
Setting penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Tengah dengan fokus lokasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat dengan alasan bahwa di Desa tersebut terdapat pasar yang beroperasi setiap hari, dimana tumbuh dan berkembang praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi. Praktik tersebut sangat menguntungkan pihak pemilik toko atau warung, namun di sisi lain merugikan pihak pemilik barang mengingat pemilik toko/warung tidak menanggung kerugian jika suatu saat barang dagangan tidak laku, kerugian hanya ditanggung oleh pemilik/penitip barang. Sedangkan jika barang dagangan habis terjual, pemilik toko/warung memperoleh keuntungan dari hasil penjualan tersebut.
E. Telaah Pustaka
Telaah pustaka merupakan suatu kegiatan menelaah atau menelusuri pustaka-pustaka baik berupa hasil penelitian maupun artikel dan buku-buku yang berkaitan dengan apa yang diteliti oleh peneliti. Dengan telaah pustaka, diharapkan tidak terjadi duplikasi ataupun plagiasi.
Berdasarkan hasil telaah pustaka yang peneliti lakukan, ditemukan beberapa hasil penelitian yang mengambil topik tentang kerjasama atau konsinyasi, diantaranya yaitu :
1. Xxxxxxxx Xxxxxx, dengan judul “Pandangan Hukum Islam Terhadap Kerjasama Petani dan Pengusaha Tembakau di Desa Sepit Kecamatan Keruak Kabupaten Lombok Timur”.
Lalu Xxxxxxxx Xxxxxx dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kerjasama yang dilakukan oleh petani dalam pengusaha tembakau di Desa Sepit Kecamatan Keruak dilakukan dengan memakai istilah mitra kerja, dimana pengusaha memberikan sejumlah uang dan pupuk serta peralatan untuk mengolah pertanian tembakau kepada pihak petani, hutang di terima oleh petani tersebut dibayar dalam bentuk pengembalian tembakau yang telah ditentukan harganya oleh pihak pengusaha secara sepihak.11
Berdasarkan hasil uraian peneliti Xxxx Xxxxxxxx Xxxxxx di atas, terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Persamaan, sama-sama meneliti tentang kerjasama dengan jenis
11Xxxx Xxxxxxxx Xxxxxx, “Pandangan Hukum Islam Terhadap Kerjasama Petani dan Pengusaha Tembakau di Desa Sepit Kecamatan Keruak Kabupaten Lombok Timur”, (Skripsi: IAIN Mataram, Mataram, 2003)
penelitian kualitatif atau lapangan. Perbedaannya, Xxxx Xxxxxxxx Xxxxxx mengkaji tentang kerjasama petani dan pengusaha tembakau yang didasari tentang sistem mitra kerja. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti lebih fokus tentang kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi serta antar pemilik barang dan pelaku usaha dengan sistem konsinyasi.
2. Fitriah, dengan judul “Pandangan Hukum Islam Terhadap Praktik Syirkah di Kalangan Pedagang Daging di Pasar Umum Renteng Praya Lombok Tengah”
Fitriah berdasarkan hasil penelitiannya menguraikan bahwa praktik syirkah di kalangan pedagang daging di pasar umum Renteng Praya dilakukan karena alasan untuk meringankan permodalan dan dilakukan atas dasar perwakilan dan kepercayaan. Praktik kerjasama tersebut di awali dengan kesepakatan antara dua belah pihak untuk sama-sama menggabungkan modal dalam pembelian daging yaitu masing-masing 50% sesuai dengan barang yang di beli. Setelah pembagian maka barang tersebut menjadi hak milik dan tanggung jawab masing-masing artinya keuntungan adalah milik sendiri dan kerugian menjadi resiko sendiri.12
Persamaan penelitian Fitriah dengan peneliti yaitu sama-sama membahas topik tentang kerjasama dengan jenis penelitian lapangan, namun demikian terdapat perbedaan yang sangat mendasar dimana peneliti memfokuskan praktik kerjasama yang menggunakan sistem
12Fitriah, “Pandangan Hukum Islam Terhadap Praktik Syirkah di Kalangan Pedagang Daging di Pasar Umum Renteng Praya Lombok Tengah”, (Skripsi: IAIN Mataram, Mataram, 2008)
konsinyasi, sedangkan Fitriah praktik kerjama ini tidak menggunakan sistem konsinyasi.
3. Xxxxxxx Xxxxxxxxx, dengan judul skripsi: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Konsinyasi Emas di Pegadaian Syariah Cabang Babakan Surabaya”.
Xxxxxxx Xxxxxxxxx dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa praktik konsinyasi emas di Pegadaian Syariah Cabang Babakan Surabaya merupakan layanan titip jual di Pegadaian Syariah dengan akad tertulis mudharabah, dimana nasabah menitipkan emasnya kepada pegadaian untuk dijualkan dengan bagi hasil keuntungan 1% untuk nasabah dan 2% untuk pegadaian. Emas nasabah yang terjual akan diganti dengan emas baru dengan kadar dan berat yang sama namun berbeda nomor seri oleh Pegadaian Syariah dengan cara memesankan ke produsen PT. Antam. Praktik konsinyasi emas di Pegadaian Syariah tidak memunuhi syarat akad mudharabah. 13
Berdasarkan hasil paparan penelitian Mustika di atas, dapat diketahui persamaan dan perbedaan dengan penelitian peneliti. Persamaan, membahas topik tentang konsinyasi dengan jenis penelitian lapangan. Perbedaannya, Xxxxxxx lebih memfokuskan penelitiannya pada konsinyasi dengan obyeknya emas, sedangkan peneliti konsinyasi obyek
13Xxxxxxx Xxxxxxxxx, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Konsinyasi Emas di Pegadain Syariah Cabang Babakan Surabaya”, (Skripsi: UIN Xxxxx Xxxxx, Surabaya, 2018), dalam xxxx://xxxxxxx.xxxxxx.xx.xx/00000/0/Xxxxxxx Indrawanti_C72214095.pdf., di akses tanggal 12 April 2019 Pukul 10.00 Wita
bendanya barang dagangan berupa makanan atau barang lainnya, dimana daya tahannya berbeda dengan obyek emas. Sehingga jika emas tidak laku, maka tidak menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Beda halnya jika barang dagangan konsinyasi berbentuk makanan, jika tidak laku maka barang tersebut akan rusak dan merugikan pihak penitip barang konsinyasi.
F. Kerangka Teoretik
1. Kerjasama dalam Islam
a. Pengertian dan syarat kerjasama dalam Islam
Kerjasama dalam fiqh Islam disebut dengan syirkah yaitu penggabungan dua bagian atau lebih, yang tidak bisa dibedakan lagi antara satu bagian dengan bagian lainnya. Sedangkan menurut syara’, kerjasama adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang dua- duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan.14
Xxxxxx Xxxxxxx mendefinisikan kerjasama sebagai berkumpul atau bekerjasama dalam menuntut hak atau melakukan tindakan hukum. Sedangkan menurut Xxxxxx Xxxxx’x, kerjasama diartikan sebagai adanya hak kepemilikan terhadap suatu benda karena bekerjasamanya dua pihak atau lebih sebagai jalan mengembangkan hak milik tersebut. Sedangkan menurut Xxxxxx Xxxxxi, kerjasama adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki
14Xxxxxxxxxx Xx-Xxxxxxx, Xx-Xxxxxx…, hlm. 153.
dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.15
Berkaitan dengan rukun dan syarat kerjasama, al-Sanhuri sebagaimana dikutip oleh Xxxxxxx Xxxxx mengatakan bahwa sahnya suatu perjanjian dalam hukum Islam adalah terpenuhinya rukun dan syarat perjanjian atau akad. Oleh karena itu pada dasarnya rukun dan syarat sahnya kerjasama sebenarnya sama dengan rukun dan syarat sahnya akad pada umumnya. Lebih lanjut menurut Xxxxxxx Xxxxx, rukun perjanjian, dalam hal ini berlaku juga untuk rukun perjanjian kerjasama terdiri atas : pertama, adanya para pihak yang membuat akad; kedua, pernyataan kehendak para pihak; ketiga, adanya obyek akad; dan keempat, adanya tujuan akad. Sedangkan syarat akad secara umum dibedakan menjadi empat, yaitu pertama, syarat terbentuknya akad (syuruth al-in’iqad); kedua, syarat keabsahan akad (xxxxxxx xxx shihhah); ketiga, syarat berlakunya akibat hukum akad (syuruthan nafadz); keempat, syarat mengikatnya akad (syuruth al-luzum). 16
Lebih lanjut Xxxxxxx Xxxxx mengatakan bahwa masing-masing unsur rukun yang membentuk akad di atas, memerlukan syarat-syarat agar unsur rukun itu dapat berfungsi membentuk akad. Rukun pertama, yaitu para pihak, harus memenuhi dua syarat terbentuknya akad yaitu (1). tamyiz; dan (2) berbilang pihak (at-ta’addud). Rukun
15 Xxxxxxx Xxxxx’I, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 183.
16Xxxxxxx Xxxxx, Hukum Perjanjian…, hlm. 96.
kedua, yaitu pernyataan kehendak, harus memenuhi dua syarat juga, yaitu (1). adanya persetujuan ijab dan qhabul, dengan kata lain tercapainya kata sepakat, dan ke (2). Kesatuan majelis akad. Rukun ketiga, yaitu obyek akad, harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1). obyek itu harus dapat diserahkan, (2) tertentu atau dapat ditentukan, dan ke
(3) obyek itu harus dapat ditransaksikan. Rukun keempat memerlukan satu syarat, yaitu tidak bertentangan dengan syarak.17
Semua syarat tersebut di atas beserta rukun akadnya dinamakan pokok (al-ashl), artinya jika tidak terpenuhi maka tidak terjadi akad dalam pengertian bahwa akad atau perjanjian kerjasama tersebut tidak memiliki wujud yuridis syar’i apapun. Oleh karena itu, perjanjian tersebut dikatakan sebagai perjanjian atau akad batil.18 Namun demikian, rukun dan syarat tersebut di atas memerlukan kualitas tambahan sebagai unsur penyempurna, unsur penyempurna inilah yang menjadikan suatu akad sah. Unsur penyempurna ini disebut syarat keabsahan akad.
Rukun pertama, yaitu para pihak, dengan dua syarat terbentuknya yaitu tamyiz dan berbilang pihak, tidak memerlukan sifat penyempurna. Rukun kedua, yaitu pernyataan kehendak, dengan kedua syaratnya juga tidak memerlukan sifat penyempurna. Namun menurut Jumhur ulama, syarat kedua dari rukum kedua ini memerlukan penyempurna yaitu persetujuan ijab dan qhabul itu harus
17 Ibid., hlm. 97-98.
18 Ibid., hlm. 99.
dicapai secara bebas tanpa paksaan. Bilamana terjadi dengan paksaan, maka akadnya fasid. Rukun ketiga yaitu obyek akad, dengan ketiga syaratnya memerlukan sifat-sifat sebagai penyempurna. Adapaun unsur penyempurna tersebut adalah pertama, penyerahan itu tidak menimbulkan kerugian (dharar) dan apabila menimbulkan kerugian maka akadnya fasid; kedua, barang yang diserahkan tidak boleh mengandung gharar, apabila mengandung gharar maka menjadi fasid, ketiga, harus bebas dari riba. 19
Terkait dengan rukun dan syarat kerjasama (syirkah) ini menurut jumhur ulama Xxxxxx, Xxxxx’x dan Xxxxxxx adalah unsur-unsur yang membentuk akad, yakni para pihak yang melakukan akad, obyek akad, dan formula (shigat) akad. Sedangkan menurut ulama Xxxxxxxxx, rukun akad adalah formula (shigat) akad saja, yang terdiri dari ijab (penawaran) dan qhabul (penerimaan), karena formula (ijab dan qhabul) inilah yang membentuk substansi akad. 20
Terkait dengan syarat-syarat kerjasama (syirkah), Xxxxxxxxx menyatakan adanya empat syarat yaitu :
a) Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk kerjasama (syirkah), baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat di terima sebagai perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian
19 Ibid., hlm. 99-100.
20Muslihun Muslim, Fiqh Ekonomi…, hlm. 205-206.
keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepertiga, dan seterusnya.
b) Sesuatu yang bertalian dengan kerjasama (syirkah) mal (harta).
Dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad kerjasama (syirkah) adalah dari alat pembayaran (muqud), seperti junaih, riyal dan rupiah; dan b) benda yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad kerjasama (syirkah) dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
c) Sesuatu yang bertalian dengan kerjasama (syirkah) mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah disyaratkan; a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
d) Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan, sama dengan syarat-syarat syirkah mufwadhah.21
b. Jenis-jenis kerjasama dalam Islam
Al-Zuhaili sebagaimana dikutip oleh Xxxxxxxx Xxxxxx menyatakan bahwa kerjasama atau syirkah secara umum terbagi menjadi dua macam yaitu pertama, syirkah ijbariyyah, yakni dua orang atau lebih memiliki harta yang dilakukan tanpa akad kerjasama,
21Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hlm. 127-
128.
seperti dua orang atau lebih menerima harta warisan dari orangtuanya; kedua, syirkah uqud/aqd atau syirkah ikhtiyariyyah, yakni akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih untuk bersama-sama memiliki harta dan keuntungan yang diperoleh dari harta tersebut. Terjadi perbedaan pendapat para Imam Mazhab tentang macam-macam syirkah uqud. Mazhab Hambali membagi syirkah menjadi lima macam dengan menambahkan syirkah mudlarabah, yakni syirkah inan, mufawadlah, abdan, wujuh dan mudlarabah. Mazhab Xxxxxxxxx membaginya menjadi enam, yakni syirkah amwal, a’mal, wujuh, dan ketiga syirkah ini bisa masuk dalam kategori mufawadlah dan inan. Sedangkan menurut Xxxxxx Xxxxxxxxx dan Xxxxx’xxxx, membaginya menjadi empat yakni syirkah inan, mufawadlah, abdan dan wujuh.22
Para ulama sepakat tentang syirkah inan, dan berbeda pendapat tentang syirkah yang lainnya. Syafi’iyah, menganggap semua syirkah batal (tidak sah) kecuali syirkah inan dan mudlarabah. Xxxx Xxxxxxx membolehkan semua syirkah, kecuali syirkah mufawadlah. Malikiyah membolehkan semua syirkah, kecuali syirkah wujuh dan syirkah mufawadlah. Sementara Xxxxxxxxx membolehkan semua syirkah kecuali syirkah yang memiliki syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, syirkah abdan dibolehkan oleh Xxx Xxxxxxx dan Xxxxx, dan dilarang oleh Xxxxx’x. Para imam mazhab melarang syirkah mufawadlah, kecuali Xxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxx
22Muslihun Muslim, Fiqh Ekonomi…, hlm. 177-178.
membolehkan syirkah wujuh, sedangkan ulama Syafi’i dan Xxxxxi melarangnya, karena menurut mereka syirkah hanya boleh dengan uang atau pekerjaan, sedangkan uang dan pekerjaan tidak terdapat dalam syirkah ini.
Terkait dengan jenis-jenis syirkah tersebut di atas, Al-Nabhani menjelaskan masing-masing pengertiannya, yakni i). syirkah inan adalah perseroan antara dua badan dengan harta masing-masing. Dengan kata lain, ada dua orang yang melakukan kerjasama dengan harta masing-masing untuk bersama-sama mengelola dengan tenaga mereka. Porsi masing-masing pihak, baik dalam hal dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik dengan kesepakatan mereka; ii). xxxxxxx xxxxx, yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan badan masing-masing (dengan keahlian) tanpa harta dari mereka. Oleh karena itu, syirkah ini disebut juga syirkah a’mal atau sanai. Antara para pihak tidak harus ada kesamaan dalam masalah keahlian, dan tidak harus semua persero yang terlibat dalam kerjasama tersebut terdiri atas para pengrajin. Oleh karena itu, apabila para pengrajin dengan beragam keahliannya telah melakukan kerjasama, maka perseroan tersebut hukumnya mubah; iii). syirkah mudlarabah, yaitu apabila ada badan (keahlian) dengan harta melebur untuk melakukan suatu kerjasama. Dengan kata lain, seseorang memberikan hartanya kepada pihak lain yang dipergunakan untuk berbisnis. Dengan ketentuan, keuntungan yang diperoleh akan dibagi
sesuai dengan kesepakatan; iv). syirkah wujuh, yaitu kerjasama antara dua badan dengan modal dari pihak luar kedua badan tersebut. Jadi kalau syirkah mudlarabah satu pihak sebagai pemodal, satu pihak lainnya sebagai pengelola. Sementara pada syirkah wujuh, dua orang yang bekerjasama itu sama-sama sebagai pengelola, dan modalnya dari pihak ketiga; v). syirkah mufawadlah, yakni kerjasama antara dua orang sebagai gabungan semua bentuk perseroan yang disebutkan di atas. 23
Terkait dengan syirkah mufawadlah ini, Xxxxx’x Xxxxxxx menyatakan bahwa dalam kerjasama mufawadlah ini setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama, syarat utama dari kerjasama ini adlaah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak. 24
c. Batalnya kerjasama (syirkah) dalam Islam
Kerjasama (syirkah) dapat batal baik karena sifatnya yang umum berlaku untuk semua syirkah maupun yang sifatnya khusus untuk syirkah tertentu saja.
Sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum, yaitu : i). pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Karena hal tersebut akad syirkah merupakan akad yang jaiz, sehingga di mungkinkan untuk di fasakh; ii). meninggalnya salah seorang anggota serikat. Apabila salah satu anggota yang meninggal dunia, maka syirkah
23Xxxxxxxxxx Xx-Xxxxxxx, Xx-Xxxxxx…, hlm. 155-156.
24Xxxxxxxx Xxxxx’x Xxxxxxx, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta: Bank Indonesia, 1999), hlm. 92.
menjadi batal atau fasakh karena batalnya hak milk, dan hilangnya kecakapan untuk menghilangkan tasharruf karena meninggal; iii). murtadnya salah seorang anggota setikat dan berpindah domisilinya; iv). gilanya peserta secara terus-menerus, karena gila menghilangkan status wakil dari wakalah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakalah. 25
Sedangkan sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara khusus yaitu : i). rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat sebelum digunakan untuk membeli barang dalam syirkah amwal; ii). tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufawadlah ketika akad sedang dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan akad merupakan syarat yang paling penting untuk keabsahan akad. 26
2. Penitipan dalam Islam
Penitipan dalam konsep Islam dikenal dengan istilah wakalah atau wikalah yang berarti al-tafwidh yaitu penyerahan, pendelegasian atau pemberian kuasa dalam konteks kerjasama penitipan barang dagangan yang dilakukan oleh pemilik barang kepada pemilik kios/toko. Sedangkan menurut istilah wakalah adalah akad pemberian kuasa (muwakil) kepada penerima kuasa (taukil) atas nama pemberi kuasa.27
25Rachmat Syafi’i, Xxxxx…, hlm. 190.
26Ibid., 191.
27Xxxxxxxx Xxxxxxx, dkk., Cara Mudah Memahami Akad-Akad Syariah,
(Jakarta: Renaisan, 2005), hlm. 62.
Adapun pengertian wakalah dirumuskan dalam makna yang berbeda-beda, diantaranya adalah28 :
a. Malikiyah, memberikan definisi wakalah sebagai seseorang menggantikan atau menempati tempat yang lain dalam hak dan kewajiban, dia yang mengelola pada posisi itu.
b. Xxxxxxx mengatakan wakalah adalah seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan).
c. Syafi’iyyah mengatakan wakalah adalah suatu ibarah seseorang menyerahkan seuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.
Pelaksanaan wakalah tidak disyaratkan adanya pengucapan atau lafadz tertentu. Meskipun demikian, akad tersebut dianggap sah bila ditunjukkan secara jelas, baik berisi ucapan maupun perbuatan. Wakalah dapat dilakukan sebagai bantuan atau sumbangan orang yang mewakili kepada yang diwakili. Namun bisa juga hal tersebut dilakukan dengan imbalan upah. Pada dasarnya, pihak yang diawkilkan hanya melakukan tindakan yang bukan kewajibannya sendiri melainkan kewajiban orang lain. Karena itu, ia dibolehkan untuk mengambil ganti atau upah untuk perbuatan tersebut. Bila yang bersangkutan menuntut upah, dan pemberi mandate menyetujui serta telah membayarkan upah tersebut, ia harus menunaikan wakalah sampai selesai. Bila tidak meunaikannya, ia wajib menganti upah yang telah ia terimanya. Jika di dalam akad dinyatakan
28Xxxxx Xxxxxxx, Fikih …, hlm. 231-232.
adanya upah mewakili, maka pihak yang mewakili itu dianggap sebagai orang sewaan atau upahan. Dengan demikian, hukum sewa menyewapun akan berlaku.29
Setiap kegiatan wakalah harus memenuhi syarat, diantaranya : i). syarat yang mewakilkan, yaitu orang yang mewakilkan haruslah seorang pemilik yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang ia wakilkan. Jika ia bukan sebagai pemilik yang dapat bertindak, pewakilannya tidak sah. Seorang yang mengalami gangguan jiwa atau anak kecil yang belum dapat membedakan suatu pilihan tidak dapat diwakilkan yang lainnya. Keduanya telah kehilangan kepemilikan, ia tidak memiliki hak bertindak; ii). Syarat yang mewakilkan, sama dengan yang mewakilkan, pihak yang dapat mewakilkan adalah orang yang berakal. Seorang yang mengalami gangguan jiwa, idiot, serta anak kecil yang tidak dapat membedakan, tidak sah mewakilkan. Terkait dengan anak kecil ini terdapat perbedaan, Xxxxxxx Xxxxx mensahkan bila yang menjadi wakil itu adalah anak yang sudah baliqh, namun ada juga yang berpendapat baliqh tidak menjadi keharusan; iii). Syarat untuk hal yang diwakilkan, dimana syarat utamanya adalah bahwa hal tersebut bukan tindakan buruk. Selain itu seluk beluk muwakkal fih harus diketahui persis oleh orang yang mewakilinya, kecuali bila hal tersebut diserahkan penuh. 30
Penitipan dalam fiqih muamalah juga dikenal dengan istilah
wadi’ah yang berasal dari kata wada’a yaitu membiarkan atau
29Xxxxxxxx Xxxxxxx, dkk., Xxxx Xxxxx…, hlm. 65.
30Ibid., hlm. 66-67.
meninggalkan sesuatu. Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan. Sedangkan secara istilah wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak kepihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Adapun pengertian wadi’ah dirumuskan dalam makna yang berbeda-beda, diantaranya adalah :
a. Ulama madzhab hanafi mendefinisikan wadi’ah yaitu “mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”. Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan penerima titipan menjawab iya atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
b. Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxx’x dan Xxxxx mendefinisikan wadi’ah yaitu mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
c. Jumhur ulama’, Menurut Xxxxx-Xxxxxxxxx mengemukakan bahwa wadi’ah adalah akad yang intinya meminta pertolongan pada seseorang dalam memelihara harta penitip. Sedangkan menurut Xxxxxx Xxxxxxx Xx-Xxx Xx-Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxxx yang mengatakan al-wadi’ah adalah benda yang diletakkan pada orang lain untuk dipelihara.
Setiap kegiatan wadi’ah harus memenuhi rukun dan syarat. Diantara rukun wadi’ah yaitu : i). muwaddi’, yaitu orang yang menitipkan; ii). Wadii’, yaitu orang yang dititipi barang; iii). Wadi’ah, yaitu barang yang dititipkan; iv). Shigot, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan syarat wadi’ah dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada muwaddi’, wadii’, dan wadi’ah. Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tangannya secara nyata.
Sifat akad wadi’ah karena akad wadi’ah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja. Karena dalam wadi’ah terdapat unsur permintaan tolong, maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadi’. Kalau ia tidak mau, maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan. Namun kalau wadii’ mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadi’ah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah di bayar.
3. Upah dalam Islam
Upah dalam bahasa Arab disebut dengan ijarah yang berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwadl (pengganti/ganti) sehingga ijarah menurut bahasa berarti upah atau dengan kata lain imbalan yang
diberikan sebagai upah atau ganti suatu perbuatan. Secara bahasa ijarah berarti jual beli manfaat. Ada juga yang menerjemahkan ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada juga menerjemahkan sewa-menyewa yakni mengambil manfaat dari barang.31 Sedangkan menurut syara’ terdapat beberapa macam pengertian ijarah menurut empat mazhab : 1). mazhab Hanafi, ijarah adalah akad yang berisi pemberian kemanfaatan sesuatu yang jelas dengan ada penukarannya; 2). Mazhab Syafii, ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah serta menerima pengganti atau kebolehannya dengan pengganti tertentu; 3). Xxxxxx Xxxxxxx, ijarah adalah akad terhadap pemberian manfaat yang mubah dan jelas yang diambil sedikit demi sedikit dalam masa tertentu dengan pengganti yang tertentu pula, dan 4). Xxxxxi mendefinisikan ijarah yaitu menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. 32
Manfaat memiliki dua makna, yaitu manfaat pada benda itu sendiri, seperti menyewa rumah untuk ditempati, dan manfaat pekerjaan, seperti pekerjaan tukang kayu. Manfaat dalam pengertian pertama disebut dengan sewa, sedangkan manfaat dalam pengertian kedua disebut upah. Oleh karena itu, ijarah sesungguhnya mengandung makna sewa dan upah. Namun yang paling populer adalah makna upah. 33
31Xxxxx Xxxxx, Fiqih Mu’amalah, (Jakarta: Xxxxxxxi Pers, 1997), hlm. 29.
32Muslihun Muslim, Fiqh Ekonomi…, hlm 218-219.
33Ibid.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), upah dikenal dengan istilah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalasan jasa atau sebagai pembayaran tenaga yang sudah dilakukan untuk mengerjakan sesuatu.34
Adapun rukun dan syarat upah (ijarah) terdiri atas empat macam, yaitu: Pertama, mu’ajjir dan musta’jir (subyek), yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’ajjir adalah orang yang memberikan upah dan menyewakan. Sedangkan musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan menyewa sesuatu. Disyaratkan pada mu’ajjir dan musta’jir adalah orang yang baligh, berakal, cakap melakukan transaksi dan dapat melakukan tasharuf (mengendalikan harta), dan saling meridhai. Kedua, shigat ijab- qabul antara antara mu’ajjir dan musta’jir, baik ijab-qabul sewa- menyewa maupun upah-mengupah. Ijab-qabul upah-mengupah, misalnya seseorang berkata, “kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp. 5.000,-” kemudian musta’jir menjawab “aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapakan”. Ketiga, ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik sewa-menyewa maupun upah-mengupah. Keempat, barangnya adalah sesuatu yang dikerjakan. Adapun syarat-syarat barang tersebut adalah : hendaklah barang yang menjadi objek upah mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya, benda-benda yang menjadi objek upah-
34Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000). hlm. 1108.
mengupah atau sewa menyewa dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa), manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’, bukan hal yang dilarang (diharamkan), benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian akad.35
4. Konsep Umum tentang Konsinyasi
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, konsinyasi yaitu penyerahan dan pemberian kuasa terhadap kegiatan penitipan barang dagangan kepada agen atau penjual selaku penerima kuasa untuk dijualkan dengan pembayaran kemudian (jual titip).36 Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Xxxxx Xxxxxxx yang mengatakan bahwa konsinyasi adalah pengiriman atau penitipan barang dari pemilik kepada pihak lain yang bertindak sebagai agen penjualan dengan memberikan komisi.37
Berkaitan dengan kegiatan konsinyasi ini, pemilik barang disebut dengan pengamanat (consignor) dan pihak yang dititipkan barang disebut sebagai komisioner (consignee). Barang yang dikirim oleh pengamanat atas dasar penjualan konsinyasi disebut barang konsinyasi, sedangkan
35Xxxxx Xxxxxxx, Fikih…, hlm. 117-118.
36Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 276.
37Utoyo Widayat, Akuntansi Keuangan Lanjutan : Ikhtisar Teori dan Soal,
(Jakarta: LPFE UI, 1999), hlm. 125.
barang yang diterima oleh komisioner atas penjualan konsinyasi disebut barang komisi.38
Pengamanat menetapkan komisioner sebagai pihak yang bertanggung jawab atas barang-barang diserahkan kepadanya sampai barang-barang itu terjual kepada pihak ketiga. Atas penjualan barang- barang ini, pihak komisioner menetapkan penyerahan hak atas barang- barang ini dan juga hasil penjualannya. Pihak komisioner tidak memiliki kewajiban kepada pihak pengamanat selain pertanggung jawaban atas barang-barang yang telah diserahkan kepadanya.39
Penjualan konsinyasi memiliki perbedaan dengan penjualan biasa. Pada penjualan biasa, umumnya hak milik dari barang telah berpindah tangan jika barang telah dikirim oleh penjual kepada pembeli, sedangkan pada konsinyasi hak milik barang tetap berada di tangan pengamanat. Hak milik baru berpindah tangan jika barang telah terjual oleh komisioner kepada pihak lainnya. Perbedaan lainnya adalah dalam hal biaya operasional yang berhubungan dengan barang yang dijual. Dalam transaksi penjualan biasa, semua biaya operasional yang berhubungan dengan barang yang dijual ditanggung oleh pihak penjual, tetapi dalam penjualan konsinyasi semua biaya yang berhubungan dengan barang konsinyasi akan ditanggung oleh pengamanat (pemilik barang). Ketidakberpindahan hak milik dalam konsinyasi mengakibatkan biaya operasional dan uang penjualan menjadi kewajiban dan hak dari
38Ibid.
39Xxxxx X. Xxxxxx, Advanced Accounting (Akuntansi Keuangan Lanjutan), terj. Xxxxxx Xxxxxxx, dkk., (Jakarta: Erlangga, 1991), hlm. 158.
pengamanat, sedangkan agen akan menerima fee dari transaksi penjualan barang yang laku. Kepemilikan atas hasil penjualan tersebut diaplikasikan dengan penetapan harga dan komisi yang pasti dari komisioner. Sebagai penerima amanat, komisioner tidak diperbolehkan untuk menggunakan uang hasil penjualan produk tersebut. 40
Terkait tentang konsep konsinyasi yang besifat umum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan konsinyasi ini artinya pemilik barang atau pengamanat menitipkan barang dagangannya kepada pemilik toko atau penjual, yang dimana pembayaran hasil penjualan akan dilakukan setelah barang tersebut laku terjual oleh pemilik toko atau penjual dan apabila barang tersebut tidak laku terjual maka yang menanggung resiko kerugiannya adalah pemilik barang atau pengamanat tersebut, sedangkan pada konsinyasi ini hak milik atas barang tersebut tetap berada di tangan pemilik barang atau pengamanat. Dalam hal ini pemilik toko sebagai penerima amanat hanya bertugas untuk menjual barang dari pengamanat dan menerima fee dari hasil penjualan barang tersebut. Di sisi lain pihak pengamanat bertanggung jawab atas semua jenis resiko yang terjadi.
G. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bertujuan untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.41
40Xxxxxx, Pokok-Pokok Akuntansi Lanjutan, (Yogyakarta: Liberty, 1999), h.
147-148.
00Xxxxxxxxx Xxx, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 17.
Berdasarkan pengertian di atas, maka peneliti dapat uraikan beberapa hal terkait dengan metodologi penelitian yang peneliti lakukan, diantaranya :
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif yaitu sebuah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat.42Alasan peneliti menggunakan jenis penelitian ini dikarenakan peneliti berusaha memaparkan hasil penelitian di lapangan sesuai dengan kondisi alamiah dari obyek penelitian dalam hal ini adalah kondisi alamiah terhadap praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah.
Terkait dengan pendekatan xxxxxxxxxx, Xxxxxxxxx menyatakan bahwa penelitian hukum pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu: pertama, penelitian dengan pendekatan hukum normatif, dan kedua, penelitian hukum dengan pendekatan sosiologis.43 Berangkat dari hal tersebut, maka pendekatan penelitian ini dapat dikatakan sebagai pendekatan sosiologis.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber
42Xxxxxxxxx xxx X. Xxxxxx Xxxxxx, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 25.
43Ibid., hlm. 29-30.
pertama, atau dengan kata lain data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti secara langsung. 44 Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua dengan kata lain, sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data”.45
Berangkat dari hal tersebut, maka sumber data primer dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder, sumber datanya diperoleh peneliti melalui dokumentasi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya yaitu :
a. Observasi
Bentuk observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah observasi non partisipan atau observasi tidak langsung, yaitu sebuah observasi atau pengamatan terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki dengan perantaraan sebuah alat, baik alat yang sudah ada maupun yang sengaja dibuat untuk keperluan khusus itu. 46
Observasi non partisipan dilakukan peneliti dengan cara melakukan pengamatan secara langsung kepada masyarakat Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah baik sebelum, pada saat maupun setelah mereka melakukan kegiatan kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi.
44Eko Putro Xxxxxxxx, Teknik Penyususnan Insttrumen Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 22.
45Ibid, hlm. 23.
46Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 26.
Pencairan data terkait dengan kondisi Desa serta sikap dan prilaku masyarakat dalam melakukan praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi.
b. Wawancara
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.47 Tehnik wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara tidak terstruktur. Artinya, peneliti tidak menyusun terlebih dahulu pedoman pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan atau responden. Namun, peneliti hanya menyusun point-point besar atau umum dari pertanyaan yang diajukan. Wawancara dilakukan kepada masyarakat Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah yang terlibat dalam kegiatan penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi. Baik masyarakat yang bertindak sebagai pemilik barang atau pengamanat maupun masyarakat yang bertindak sebagai pihak yang dititipkan barang atau komisioner atau pemilik toko atau pemilik warung, tokoh masyarakat maupun tokoh agama yang memiliki pengetahuan tentang kegiatan praktik penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi. Selain itu, wawancara juga dilakukan kepada warga luar Desa Penujak namun mereka terlibat atau melakukan kegiatan penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi di Desa Penujak.
47Ibid., hlm. 95.
Wawancara dilakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan 1). Mekanisme praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi; 2). Obyek dan subyek akad kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi; 3). Sistem bagi hasil atau pembayaran fee; 4). Resiko atas barang dagangan yang dititipkan; 5). Hak dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam perjanjian kerjasama tersebut; 6). Data-data lainnya yang dianggap perlu.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu cara memperoleh data dengan pengambilan dokumen-dokumen, catatan, arsip derta buku-buku.48Hasil dari teknik dokumentasi ini, data yang diperoleh peneliti diantaranya terkait profil Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah, nota-nota penyerahan barang, serta dokumen lainnya yang mendukung keakuratan data penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan peneliti adalah deduktif yaitu suatu analisis yang berangkat dari fakta-fakta umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Proses analisis data ini melalui tiga tahap yaitu : a). reduksi data; b). penyajian data; dan c). enarikan kesimpulan/verifikasi.49
48Abidin Xxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Metode dan Penelitian Hukum,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm.30.
49Xxxxxxx X. Xxxxx dan X. Xxxxxxx Xxxxxxxx, Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Ter. Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxx (Jakarta: UI-Press, 1992), hlm. 20.
Proses analisis data yang peneliti lakukan adalah peneliti terlebih dahulu melakukan reduksi data yaitu data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi yang berkaitan dengan praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi di Desa Penujak, peneliti golongkan, arahkan kemudian membuang data-data yang tidak perlu. Setelah itu peneliti melakukan penyajian data penelitian sedemikian rupa sehingga hasil penelitian diambil kesimpulan yang disajikan dalam bentuk naratif dan pada akhirnya dilakukan analisis terkait perspektif fiqh mu’amalahnya.
5. Validitas Data
Validitas data merupakan upaya untuk meningkatkan kevaliditasan data yang diperoleh dari bukti-bukti yang ada.50 pada penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teknik validitas data, diantaranya sebagai berikut:
a. Ketekunan pengamatan, yaitu upaya peneliti dalam melakukan penelitian dengan berusaha secara tekun dalam pengamatan terhadap objek yang di teliti. Tekun di sini adalah sebuah cara untuk melakukan pengamatan secara intens terhadap kegiatan masyarakat Desa Penujak Kabupaten Lombok Tengah yang berkaitan dengan praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi. Dari segi intensitas, ketekunan di sini dilakukan peneliti dengan cara melakukan pengamatan setiap harinya.
50H. Xxxxxx Xxxxxxxxx, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan
(Jakarta: kencana, 2010), hlm,186.
b. Kecukupan referensi, yaitu suatu kegiatan peneliti untuk melakukan penelusuran secara terus menerus terhadap referensi yang berkaitan dengan penelitian. Setelah referensi itu ditemukan dan dianggap berkaitan dengan topik penelitian, maka referensi tersebut digunakan sebagai bahan penyusunan skripsi ini.
c. Triangulasi
Triangulasi yang dipergunakan adalah triangulasi sumber, dan triangulasi metode. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara:
1). Membandingkan data hasil wawancara yang satu dengan hasil wawancara yang lain; membandingkan hasil observasi yang satu dengan observasi yang lain, dan membandingkan hasil dokumentasi yang satu dengan dokumentasi yang lain.
2). Membandingkan hasil wawancara dengan hasil dokumentasi, membandingkan data hasil wawancara dengan data observasi, dan membandingkan data hasil dokumentasi dengan data observasi.51
H. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam laporan penulisan skripsi dapat dijelaskan dengan urutan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup dan setting penelitian, telaah pustaka, kerangka teoretik, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.
51Ibid.
Bab II Paparan Data Temuan, yaitu sebuah bab yang mengungkap seluruh data temuan penelitian. Pada Bab ini berisi tentang gambaran umum Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Daya Kabupaten Lombok Tengah serta praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penujak tersebut.
Bab III Pembahasan, sebuah bab dimana peneliti melakukan analisis hasil temuan, dimana praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penujak di analisis berdasarkan tinjuan fiqh muamalah.
Bab IV penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan suatu ringkasan dari seluruh kajian, sedangkan saran merupakan rekomendasi pemikiran peneliti terkait dengan permasalahan yang diteliti.
BAB II
PRAKTIK KERJASAMA PENITIPAN BARANG DAGANGAN DENGAN SISTEM KONSINYASI DI DESA PENUJAK
KECAMATAN
PRAYA BARAT KABUPATEN LOMBOK TENGAH
A. Gambaran Umum Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah52
1. Sejarah Desa Penujak
Desa Penujak merupakan salah satu dari sepuluh Desa yang ada di Kecamatan Praya Barat, dengan luas 1750 Ha atau 17, 50 Km², yang terdiri dari delapan belas Dusun. Menurut sejarahnya Desa Penujak telah ada sejak tahun 1816, dengan cikal bakal berdirinya adalah Xxxxx Xxxxx bersama tokoh-tokoh masyarakat pada masa itu.
Desa Penujak sebelum bergabung dengan Kecamatan Praya Barat merupakan Desa dalam wilayah distrik Jonggat, yang karena pengembangan wilayah Kecamatan menjadi 2 (dua) Kecamatan, maka setelah Kecamatan Praya Barat menjadi Kecamatan definitif pada tahun 1957, maka Desa Penujak menjadi bagian wilayah Kecamatan Praya Barat. Nama Penujak diambil dari bahasa Sasak yang berasal dari kata Panujaa yang berarti sumber ilmu. Sejak terbentuknya, dulu Desa Penujak wilayahnya meliputi Tanak Awu, Pengembur, Tumpak, Mawun dan Bonder. Namun pada tahun 1956 karena wilayahnya yang sangat luas,
52 Dokumentasi, Profil Desa Penujak Tahun 2018, di Kutip tanggal 31 Mei 2019.
maka Desa Penujak dimekarkan menjadi dua Desa yaitu Desa Penujak dan Desa Tanak Awu, kemudian pada tahun 1963 dimekarkan lagi menjadi Desa Pengembur, Tumpak dan Mawun. Pada tahun 1966 Xxxxxx pun ikut mekar dan berdiri sendiri menjadi Desa Bonder.
Pada awalnya Desa Penujak terdiri dari 13 (tiga belas) Dusun yaitu Dusun Karang Dalam, Karang Daya, Dayen Peken, Karang Puntik, Montor, Belemong, Kangi, Tongkek, Adong, Toro, Tenandon, Mentokok dan Dusun Selanglet. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, pada tahun 2008 Desa Penujak melaksanakan pemekaran dan penambahan Dusun menjadi 18 (delapan belas ) yaitu Mantung, Pedek, Ketapang Karang Daye Timuk dan Mentokok 1
Adapun Pejabat Kepala Desa Penujak sejak terbentuknya tahun 1816 sampai saat ini adalah sebagai berikut :
1. Den Xxxxxx ( Th.1816 -1847 )
2. Xxxxx Xxxxx ( Th.1847 - 1890 )
3. Xxxx Xxxx Xxxxx Xxxxx ( Th.1890 - 1927)
4. Xxxxx Xxxxxxxx ( Th.1927 -1942 )
5. Lalu Batah ( Th.1942 -1943 )
6. Xxxx Xxxx Xxxxx Xxxxx ( Th.1943- 1968 )
7. Xxxx Xxxxxxx (H.L.Nurjaya) ( Th.1968- 1971 )
8. Xxxx Xxxx Xxxxxx ( Th.1971 - 1973 ).
9. Xxxxxxx ( Th. 1973 -1976 )
10. Lalu Rupawan ( Th. 1976 - 1994 )
11. Lalu Xxxxxxx ( Th. 1994 - 2002 )
12. Xxxx Xxxx Xxxxx Xxxxxxx ( Th. 2002 - 2007 )
13. Xxxx Xxxxxxx ( Th. 2007 - 2012 )
14. Lalu Dikjaya ( Th. 2012 - 2018 )
15. Xxxx Xxxxxxx ( Th. 2018 s/d Sekarang )
2. Letak dan Kondisi Geografis Desa Penujak
Jarak Desa Penujak ke Ibukota Kabupoaten Lombok Tengah sekitar
±5 Km sedangkan jarak Desa Penujak ke Ibukota Provinsi sekitar ± 35 Km. Adapun batas wilayah Desa Penujak adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Desa Batujai dan Desa Sasake Sebelah Selatan : Desa Bonder dan Desa Setanggor Sebelah Barat : Desa Darek
Sebelah Timur : Desa Tanak Awu
Keadaan iklim wilayah Desa Penujak, sebagaimana desa-desa lain di wilayah Indonesia mempunyai iklim kemarau dan penghujan, hal tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap pola tanam yang ada di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat. Secara geografi, Desa Penujak berada pada ketinggian tanah dari permukaan laut sebesar 5-50 mdpl, dengan tingkat curah hujan rata-rata sebesar 2000 mm/thn, suhu udara rata-rata sebesar 30˚C, dan dengan bentang wilayah datar.
3. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Agama Masyarakat Desa Penujak
Penduduk Desa Penujak sebanyak 15.755 orang, terdiri dari 7.675 laki-laki dan 8.080 berjenis kelamin perempuan, dengan jumlah kepala
keluarga sebanyak 4.803 kepala keluarga, yang terdiri atas 3.888 kepala keluarga laki-laki dan 915 kepala keluarga perempuan. Kepadatan penduduk Desa Penujak adalah 1.195/km.
Dilihat dari usia rata-rata penduduk Desa Penujak didominasi pada usia 20 sampai 44 tahun sebanyak 57, 93%. Dengan demikian, kondisi penduduk Desa Penujak menunjukkan pada usia produktif dan merupakan modal yang besar bagi pengadaan sumber tenaga kerja.
Dari 4.803 KK ditinjau dari tingkat kesejahteraan keluarga terdapat jumlah keluarga prasejahtera sebanyak 3.423 keluarga, keluarga sejahtera 1 sebanyak 1.074, keluarga sejahtera 2 sebanyak 136 keluarga, keluarga sejahtera 3 sebanyak 88 keluarga. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa Desa Penujak masih tergolong pada keluarga berkembang.
Terkait dengan kegiatan ekonomi, Desa Penujak selama ini masih mengandalkan potensi pertanian sebagai faktor pendukung utama dalam meningkatkan perekonomian masyarakat, di samping usaha lain di bidang perdagangan, peternakan, industri kerajinan, dan lainnya. Sektor pertanian masih mengandalkan pada tanaman padi, dan palawija.
Berkaitan dengan keagamaan, Desa Penujak merupakan Desa dengan penduduk mayoritas beragama Islam, hal ini dapat diketahui dari banyaknya bangunan masjid dan musholla dan maraknya kegiatan keagamaan lain yang bernuansa Islam seperti pengajian rutin yang diikuti masyarakat Desa Penujak.
Mata pencaharian pokok masyarakat Desa Penujak sangat beragam namun mayoritas adalah petani. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: petani sebanyak 20.143 laki-laki dan 837 perempuan, buruh tani sebanyak 621 laki-laki dan 223 perempuan, buruh migrant sebanyak 30 orang laki-laki dan 157 perempuan, PNS sebanyak 121 laki-laki dan 69 perempuan, pengrajin industri rumah tangga 74 orang laki-laki dan 147 orang perempuan, pedagang keliling sebanyak 12 laki-laki dan 18 perempuan, peternak sebanyak 735 laki-laki dan 355 perempuan, bidan swasta sebanyak 3 orang perempuan, perawat swasta sejumlah 5 laki-laki dan 3 perempuan, Pensiunan PNS/TNI/Polri sebanyak 33 laki-laki dan 2 orang perempuan. Dosen swasta sebanyak 16 orang laki-laki, arsitektur sebanyak 2 orang laki-laki, seniman/artis 1 orang, pembantu rumah tangga 18 orang perempuan, karyawan swasta 148 laki-laki dan 42 perempuan serta pengusaha kecil dan menengah (pemilik toko/warung kelomtong) sebanyak 785 orang laki-laki dan 400 orang perempuan.
B. Praktik Penitipan Barang Dagangan dengan Sistem Konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Daya Kabupaten Lombok Tengah
Aktifitas perdagangan di Desa Penujak merupakan sebuah rutinitas yang wajar terjadi mengingat di Desa Penujak terdapat sebuah pasar Desa yang beroperasi setiap harinya. Selain itu, pada setiap sudut dusun yang ada juga memperlihatkan adanya warung atau toko yang selalu buka dan beraktifitas melayani konsumen. Banyak ragam dan jenisnya, ada masyarakat yang menjual sembilan bahan pokok, bahan bangunan, kuliner, barang
elektornik, fotocopy dan penjilidan, dan lainnya. Kegiatan aktifitas perdagangan yang ada di Desa Penujak tidak semuanya melakukan praktik penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi, namun hal tersebut dilakukan oleh sebagian masyarakat saja Oleh karena itu, dalam skripsi ini, peneliti akan uraikan beberapa hal terkait dengan hasil temuan praktik penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi, diantaranya adalah:
1. Prosedur/Tahapan Kerjasama Penitipan Barang Dagangan dengan Sistem Konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Daya Kabupaten Lombok Tengah.
Prosedur kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem
konsinyasi ini terdiri atas beberapa tahap, diantaranya yaitu :
a. Tahap Penawaran dari Pemilik Barang/Pengamanat Kepada Penerima Barang Titipan/Pemilik Kios atau Pemilik Warung/Komisioner.
Sebelum terjadinya kerjasama, biasanya pemilik barang dagangan (pengamanat) menawarkan barang dagangannya kepada pemilik kios/warung (komisioner) yang tersebar di Desa Penujak. Hal ini dikarenakan pemilik barang biasanya tidak memiliki tempat usaha sendiri untuk menjual barang dagangannya. Oleh karena itu, pemilik barang akan mendatangi secara langsung pemilik toko/warung agar pemilik kios/warung berkenan untuk dititipkan barang dagangan dan menjual barang dagangannya tersebut melalui kios yang dimiliki oleh penerima barang titipan.
Pada saat penawaran dari pemilik barang dagangan, biasanya penerima barang titipan/pemilik kios/warung akan melihat terlebih dahulu kondisi kios yang dimilikinya, jika kondisi kios/warung penuh dengan barang-barang jualan milik pemilik kios, maka pemilik kios kurang berkenan menerima barang dagangan yang ditiip tersebut, atau bisa juga karena alasan lainnya seperti barang dagangan yang dititip tidak sesuai dengan barang-barang yang diperjual belikan oleh pemilik kios/warung. Misal jika pemilik kios menjual barang-barang berupa pakaian maka pemilik kios/warung akan enggan menerima barang dagangan yang dititip berupa makanan seperti pisang goreng, krupuk, dan lain sebagainya.
Kondisi di atas sebagaimana tergambar dari hasil wawancara peneliti dengan pemilik kios/warung (komisioner) bernama Lalu Bangsawan yang mengatakan :
“banyak sekali orang yang meminta agar dagangannya ditaruh di warung saya, tetapi ada beberapa yang saya tolak karena warung saya tidak terlalu besar ukurannya. Terpaksa saya tolak karena jika saya terima terasa penuh dan sesak dengan barang dagangan titipan orang lain. Sebagian besar isi warung saya sebenanya titipan dari orang. Saya jual sembako seperti beras, minyak dan lain sebagainya’. 53
Pernyataan Lalu Bangsawan senada dengan pernyataan Srikandi yang mengatakan :
“jika barang-barang di kios saya dalam kondisi kosong, saya terima titipan barang dagangan milik orang lain. Namun jika di kios saya penuh dengan barang dagangan, pasti saya akan tolak
53Lalu Bangsawan (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan titipan/komisioner), wawancara, Penujak, 31 Mei 2019.
sementara waktu bagi mereka yang ingin menaruh barang dagangannya di kios saya, karena kios saya penuh dengan barang dagangan makanan ringan seperti snack. Sampai-sampai beberapa saya taruh di atas”. 54
Alasan yang berbeda dikemukakan oleh pemilik kios lainnya bernama Xxxxxxx yang mengatakan :
“saya pribadi tidak keberatan dengan adanya penitipan barang dagangan milik orang lain, karena saya tidak merasa dirugikan. Namun barang yang dititip juga harus dipilah-pilah tidak bisa sembarang. Jika barang yang dititip tersebut sangat kontras dengan barang dagangan yang sehari-hari saya jual, maka barang titipan tersebut terpaksa saya tolak’. 55
Pernyataan ketiga pemilik kios/warung di atas dibenarkan oleh salah seorang penitip barang dagangan bernama Xxxxxxxx yang mengatakan :
“jadi begini ketika saya menitipkan barang dagangan saya seperti kerupuk, terlebih dahulu saya perlihatkan barang dagangan saya kepada pemilik kios atau warung, kalau pemiliknya berkenan baru besoknya saya bawakan sesuai dengan jumlah yang dipesan oleh mereka, namun seringpula barang titipan dagangan saya ditolak oleh mereka dengan alasan penuh dengan barang dagangan”. 56
Gambaran kondisi di atas merupakan penawaran penitipan barang dagangan dari masyarakat sekitar Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah. Dengan kata lain, penawaran dilakukan oleh individu masyarakat pribadi.
54Srikandi (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan titipan/komisioner), wawancara, Penujak, 31 Mei 2019.
55Mariati (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan titipan/komisioner), wawancara, Penujak, 1 Juni 2019.
56Sukriadi (penitip barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 1 Juni 2019.
Praktik penawaran ini selain dilakukan oleh individu juga dilakukan oleh perusahaan distributor melalui sales marketingnya. Di Desa Penujak, hasil penelitian juga menemukan adanya penawaran produk dari perusahaan distributor kepada pemilik toko/warung. Para sales berkeliaran menawarkan produk-produk milik perusahaannya. Sebagai contoh seorang sales dari perusahaan distributor PT.Borvita Citra Prima berkantor di Pergudangan Bertais. Perusahaan ini merupakan distributor produk P&G, seperti Pantane, Rejoise, Downy, Oral B dan lain sebagainya. Melalui salesnya bernama Anto, perusahaan ini menawarkan barang-barangnya dengan sistem konsinyasi. Menurut pengakuan Anto, Sales PT. Borvita Citra Prima, dirinya bertugas untuk menawarkan semua produk-produk P&G untuk wilayah Lombok Tengah. Walaupun produk tersebut sudah sangat populer di Daerah perkotaan, namun demikian khusus di desa-desa, produknya masih kalah bersaing dengan produk lainnya. Oleh karena itu pemasaran yang paling ampuh yang dilakukan oleh perusahaan adalah dengan cara konsinyasi. Hal ini dilakukan untuk memancing pemilik kios/toko/warung-warung kecil yang ada di Desa Penujak untuk mempromosikan produk perusahaannya. Jika mekanisme penjualan tidak dilakukan melalui konsinyasi, dikhawatirkan, para pemilik warung/toko kecil yang tersebar di daerah pelosok tidak berkenan untuk menjual dan mempromosikannya. Mengingat produk yang harus diambil atau dijual tidak dalam bentuk eceran atau
ketengan tetapi hitungannya adalah dus atau lusinan sehingga membutuhkan modal yang tidak sedikit dan itu nantinya akan dirasakan berat oleh pemilik warung/toko. Terlebih banyaknya pesaing distributor yang juga menawarkan produk yang sejenis. Hal yang sama juga diakui oleh Sales dari perusahaan distributor PT. Mitra Abadi Distribusindo yang beralamat di Jalan. H. Lalu Mesir Cakranegara bernama Rajak57
b. Tahap Negosiasi.
Setelah adanya penawaran dari pemilik barang dagangan (pengamanat) kepada pemilik kios/warung (komisioner), maka jika komisioner setuju dan berkenan atas penitipan produk barang dagangan milik pengamanat, maka biasanya akan dilakukan tahap negosiasi antar keduanya. Dalam negosiasi banyak hal yang dibicarakan, salah satu yang paling krusial adalah harga pokok, bagi hasil/fee, harga jual, resiko barang.
Terkait dengan negosiasi, peneliti dapat uraikan sebagai berikut
:
1). Negosiasi harga pokok, harga jual dan bagi hasil/fee antara pengamanat/penitip barang dengan pemilik kios/komisioner.
Pada barang dagangan milik pengamanat yang berasal dari individu atau masyarakat, negosiasi biasanya dilakukan sangat mudah dan cepat. Biasanya dalam negoosiasi ini, pihak
57Anto (pengamanat/sales sekaligus motoris PT. Borvita Citra Prima Mataram), wawancara, Penujak, 1 Juni 2019 serta Rajak (pengamanat/sales PT. Mitra Abadi Distribusindo Mataram), wawancara, Penujak, 1 Juni 2019.
komisioner akan bertanya dan meminta kepada pihak pengamanat agar memberikan harga yang tidak terlalu tinggi. Harga dari pengamanat individu itulah yang akan dijadikan patokan oleh komisioner untuk menentukan harga jual.
Harga jual yang dilakukan oleh komisioner tergantung dari hasil kesepakatan bentuk harga dan digantungkan pula ada atau tidak adanya bagi hasil/fee/maupun upah dari pengamanat. Hasil penelitian menunjukkan banyak ragam terkait penentuan harga ini.
Pertama, harga dasar ditentukan oleh pengamanat individu dan pengamanat membebaskan kepada komisioner/pemilik kios/warung untuk menjual dengan harga berapapun juga. Misal : produk beras yang dititpkan oleh pengamanat/pemilik barang dihargai dalam sekilo harga dasarnya sebesar Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah), maka pemilik kios/warung/komisioner bebas untuk menjual berapapun harga beras tersebut. Bagi pemilik barang, yang terpenting dia menerima hasil penjualan setiap kilogram adalah sebesar Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah).
Pada kondisi ini, pihak pemilik kios/warung/komisioner mencoba menekan kepada pemilik barang agar barang titipan yang akan dititip diberikan harga dasar yang rendah, alasannya dikarenakan dikhawatirkan jika terlalu tinggi maka pihak komisioner akan sulit menaikkan kembali harga tersebut, mengingat selisih harga dasar dengan harga yang diberikan
kepada konsumen itulah merupakan keuntungan yang diperoleh oleh komisioner/pemilik kios/warung.
Gambaran kondisi di atas sebagaimana pengakuan Lalu Bangsawan yang mengatakan :
“saya dititipkan barang dagangan berupa beras, kacang hijau dan kedelai. Saya minta kepada penitip agar memberikan harga murah karena jika terlalu mahal saya sulit menaikkan harga jualnya. Alhamdulillah penitip memberikan harga pokok ke saya sekilo beras dengan harga Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah), biasanya saya ujicoba pasar terlebih dahulu. Saya jual dengan harga 9.500, jika dalam beberpa hari ternyata peminatnya kurang atau tidak ada, maka harga berasnya akan saya turunkan dan saya jual Rp. 8.500,- sampai Rp. 9.000,- Harga saya sesuaikan dengan kondisi pasar. Bisa naik maupun turun, yang penting harga tidak di bawah harga dasar dari penitip barang dan saya dapat untung”.58
Xxxxxxxx juga menyatakan hal yang hampir mirip bahwa:
“sudah lama saya berjualan di kios ini, hampir 20 tahun. Barang yang saya jual banyak jenisnya. Barang titipan seperti snack biasanya hanya mendapatkan keuntungan Rp. 2.000 sampai Rp. 4.000/pak atau dus tergantung jenis snacknya. Saya minta kepada penitip agar kasih harga murah ke saya biar bisa saya jual dengan sedikit menaikkan harga. Dari penitip biasanya barang dihargai sebesar Rp. 16.000,- sampai Rp. 18.000,- isinya sebanyak 20 bungkus. Jadi saya jual perbungkus Rp. 1.000,-”. 59
Hal yang sama juga dialami Mariati yang mengatakan bahwa:
“saya mulai berjualan di pasar Penujak ini sudah hampir 4 tahun lamanya. Semua barang yang saya jual disini adalah barang titipan. Pemilik barang sudah menetapkan harga dasar ke saya. Tinggal saya naikkan harga dasar tersebut menjadi harga jual ke
58Lalu Bangsawan, (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan titipan/komisioner), wawancara, Penujak, 31 Mei 2019
59Srikandi (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan titipan/komisioner), wawancara, Penujak, 31 Mei 2019
konsumen. Misalnya, buah apel ini oleh penitip barang dikasih harga Rp. 24.000/kg., saya jual dengan harga Rp. 28.000/kg”.60
Pernyataan Xxxxxxx dibenarkan oleh penitip barang yang kebetulan saat itu sedang mengantar barang dagangannya ibu Xxxxxxx dengan menggunakan mobil pick up. Penitip barang tersebut adalah Lalu Yasin yang mengatakan bahwa :
“memang benar barang-barang yang dijual oleh Ibu Xxxxxxi sebagian besar milik dan titipan dari saya. Saya sebenarnya berjualan juga dengan mobil yang saya gunakan sekarang ini. Namun, karena saya tidak memiliki tempat berjualan yang tetap jadi saya titip ke beberapa orang untuk di jual. Saya kasih harga paling murah karena permintaan ibu Xxxxxxx menginginkan harga murah dari saya. Terserah orang yang dititip tersebut mau menjual berapa saja.”. 61
Kedua, harga jual telah ditetapkan oleh pemilik barang/pengamanat individu sedangkan komisioner/pemilik kios/warung wajib menjual dengan harga yang sudah ditetapkan oleh pemilik barang dagangan. Dalam hal ini komisioner/pemilik kios/warung tidak leluasa menjual barang dagangan titipan tersebut mengingat harga sudah ditentukan oleh pemilik barang. Oleh karena itu, biasanya komisioner akan mendapatkan bagi hasil atau fee dari pemilik barang. Besaran fee/bagi hasil tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak yang oleh pengamanat/pemilik barang juga disesuaikan dengan jenis barang dan harga barang.
60Mariati (pemilik warung/penerima barang dagangan titipan/komisioner),
wawancara, Penujak, 1 Juni 2019
61Lalu Yasin (pemilik barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 1 Juni 2019
Pola yang kedua ini biasanya dilakukan oleh pengamanat individu yang menitipkan barang dagangan ke banyak kios/warung. Ketentuan satu harga ini dilakukan oleh pengamanat agar barang dagangannya tidak mengalami perbedaan yang sangat timpang dari satu kios/warung dengan warung lainnya. Dengan demikian, pemilik kios/warung/komisioner akan mendapatkan fee/bagi hasil tergantung dari banyaknya hasil penjualan.
Pola kedua ini tidak banyak dilakukan oleh penitip barang/pengamanat, karena para pemilik kios/warung kurang menerima dengan pola yang ini dengan alasan kurang leluasa menentukan harga jual. Namun demikian, hasil penelitian menemukan pola tersebut pada penitipan barang dagangan berupa nasi bungkus, roti, kerupuk dan beberapa produk lainnya.
Gambaran kondisi di atas terlihat secara eksplisit dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa orang pengamanat maupun komisioner, diantaranya adalah :
Xxxxxxxx mengatakan :
“saya titip nasi bungkus kepada pemilik warung yang ada di beberapa lokasi di Desa Penujak sampai ke Mataram. Nasi bungkus tersebut saya kasih harga Rp. 5.000,- dan orang yang saya titip harus menjualnya juga dengan harga yang sama, agar semua nasi bungkus dari saya sama harganya dijual dimanapun juga. Orang yang saya titip nanti akan mendapatkan keuntungan dari saya sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah) dari setiap nasi bungkus yang terjual”.62
62Nursinah (pemilik barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 15 Juni 2019
Cara yang sedikit berbeda namun memiliki model yang sama juga dikemukakan Aisyah yang mengatakan :
”selama saya berjualan saya hanya menerima barang titipan seperti kerupuk, kripik singkong dan nasi bungkus, yang menitipkan barang ini adalah tetangga saya, kalau barang yang lain jarang saya menerimanya. Barang dagangan ini saya menjualnya dengan harga tergantung dari harga yang diberikan oleh pemilik barang, misalkan saya diberikan dengan harga 5000 rupiah untuk perbungkusnya, maka saya pun menjualnya dengan harga yang sama, keuntungan yang saya dapat sudah di atur dari sana oleh pemilik barang. Begini cara pemilik barang mengatur keuntungan saya, misalkan sekarang penitip ini menitipkan barang dagangannya dengan jumlah sekian hitunglah jumlahnya ada 20 bungkus untuk pemiliknya, terkadang barang tersebut dilebihkan jumlahnya sekitar 2-3 biji untuk keuntungan saya, jadi jumlah keseluruhan dari barang titipan ini ada 22 sampai 23 bungkus, 20 bungkus ini untuk pemilik dan 2 atau 3 bungkus ini menjadi keuntungan saya, begitulah cara pemilik mengatur barang titipannya”. 63
Paparan data di atas merupakan kegiatan penitipan barang yang dilakukan oleh masyarakat secara individu. Di mana pemilik barang langsung menawarkan dan melakukan negosiasi dengan pemilik kios saat itu juga atau saat penawaran. Sedikit berbeda halnya dengan penitip barang yang berasal dari distributor. Dalam hal penawaran ini dilakukan oleh sales dari perusahaan distributor tersebut. Sales perusahaan distributor akan menawarkan barang kepada seluruh kios yang dianggap memiliki produk yang dijual mirip dengan apa yang ditawarkan sales perusahaan distributor. Penentuan harga dasar dan harga jual yang dilakukan oleh perusahaan distributor sama dengan cara yang pertama yang
63Aisyah (pemilik kios/warung/komisioner), wawancara, Penujak, 15 Juni 2019
dilakukan oleh pemilik barang/pengamanat. Di mana perusahaan distributor ini menentukan harga dasarnya dan memberikan kebebasan kepada pemilik kios/warung/komisioner untuk menjualnya dengan harga yang diinginkan oleh komisioner. Namun demikian, pada perusahaan distributor biasanya perusahaan distributor akan menawarkan bonus lainnya kepada pemilik kios/warung, seperti misalnya diberikannya spanduk yang bertuliskan nama kios, atau papan/plank nama kios, perusahaan akan men cat atau merubah tampilan kios serta bonus-bonus lainnya. Bonus tersebut sebenarnya juga merupakan alat promosi yang dilakukan oleh perusahaan.
Gambaran kondisi di atas seperti terlihat dari hasil wawancara beberapa sales perusahaan distributor berikut ini : Anto mengatakan :
”harga barang sudah kita tentukan, setelah itu terserah pemilik kios mau menjual berapapun itu hak mereka. Namun biasanya kami selalu memberikan bonus di waktu-waktu tertentu misalnya kami buatkan spanduk atau plank nama kios secara gratis. Jika barang yang kami titip di kios sangat laris, maka bonus lainnya akan menanti pemilik kios”.64
Xxxx mengatakan :
“produk kami yang dititip di kios di sekitar daerah pasar Penujak berupa coca-cola, fanta, sprite, dan lainnya. Masalah harga sudah kita tetapkan. Setelah itu terserah pemilik kios yang dititip mau menjualnya berapa saja. Bebas maunya mereka. Namun demikian, pemilik kios walaupun dibebaskan biasanya akan mengambil keuntungan
64Anto (pengamanat/sales sekaligus motoris PT. Borvita Citra Prima Mataram), wawancara, Penujak, 15 Juni 2019.
sewajarnya. Kami juga memberikan lemari pendingin pada setiap kios yang menjual produk kami. Kami namakan pinjam pakai. Artinya lemari pendingin tersebut dapat digunakan sampai kapanpun juga selama pemilik kios masih menjual produk kami. Namun ketika mereka tidak menjual lagi, maka lemari pendingin tersebut kami cabut. Dengan demikian, pemilik kios diuntungkan karena mereka tidak perlu membeli lemari pendingin lagi”. 65
Pernyataan dari pengamanat di atas, dibenarkan oleh beberapa pemilik kios yang menjadi komisioner, diantaranya: Ecok yang mengatakan :
“sebenarnya sama saja antara penitip dari perusahaan dengan penitip barang dari masyarakat sekitar. Harga sebagian besar sudah ditentukan oleh mereka. Kita tinggal menjualnya dengan mengambil keuntungan dari selisih harga yang dikasih oleh pemilik barang dengan harga yang saya jual. Hanya saja jika barang titipan dari perusahaan biasanya kita ditambah bonus-bonus lainnya. Misalnya, kita dibuatkan papan atau plank nama atau spanduk dari perusahaan. Kios saya kebetulan jual produk coca cola, kita dipinjami lemari pendinginnya”. 66
Xxxxx Xxxxx mengatakan :
“barang dagangan di tempat saya ada yang titipan ada juga yang bukan titipan. Barang titipan itu seperti rokok, snack, ice cream. Sama saja dengan barang titipan yang berlaku di pasar Penujak ini, harganya sudah ditentukan oleh pemilik barang. Kami tinggal menjualnya dengan menaikkan harga sebagai keuntungan kami. Hanya letak bedanya bila dibandingkan titipan masyarakat dengan titipan sales perusahaan, mereka (sales perusahaan) suka membuatkan spanduk tanpa kita minta. Seperti spanduk nama kios saya”.67
2). Negosiasi resiko barang.
65Xxxx (xxxxamanat/sales sekaligus motoris PT. Coca Cola Amatil SO. Mataram), wawancara, Penujak, 15 Juni 2019.
66Ecok (pemilik kios “Aisyah”/komisioner), wawancara, Penujak, 16 Juni 2019.
67Abdul Xxxxx, (pemilik kios “Alwan”/komisioner), wawancara, Penujak, 16 Juni 2019.
Selain harga dan bagi hasil atau fee yang dinegosiasikan antara pemilik barang/pengamanat dengan pemilik kios/warung/komisioner, ternyata juga dibicarakan tentang resiko terhadap barang yang dititip. Pada umumnya, berdasarkan hasil penelitian, resiko atas barang tersebut ditanggung oleh pemilik barang atau penitip barang.
Resiko disini adalah resiko atas keteidakterjualan barang tersebut kepada konsumen yang mengakibatkan rusaknya kualitas barang yang dititip. Barang-barang dalam bentuk makanan jika tidak laku terjual, maka barang tersebut akan dikembalikan kepada pemilik barang atau dalam hal ini pemilik barang akan mengambil barang tersebut kepada pemilik kios, begitupun barang jenis lainnya. Resiko lainya adalah rusaknya barang sebelum barang tersebut di jual. Inipun menjadi tanggungjawab pemilik barang titipan.
Kondisi di atas tergambar dari kutipan hasil wawancara peneliti dengan beberapa pemilik kios/warung/komisioner berikut ini, diantaranya adalah :
Mariati mengatakan :
“saya dititip barang dagangan buah-buahan. Jeruk, apel, salak, sawo, anggur. Semuanya barang dagangan titipan milik bapak Xxxx Xxxxx. Karena buah-buahan tersebut tidak bertahan lama, akan mengalami busuk jika tidak laku dijual, maka sebelumnya saya bilang ke penitip bahwa jika barang tersebut tidak laku atau busuk sebelum terjual, itu semua resiko pemilik barang. Pemilik barang menyetujuinya. Karena dia setuju, maka saya bersedia dititip dan menjual
buah tersebut. Rugi dik, jika saya yang menanggung buah yang rusak yang tidak laku terjual”.68
Srikandi mengatakan :
“ya saya sebelum orang nitip di kios saya, saya tanya dulu bagaimana jika barang dagangan yang dititipnya tidak laku atau rusak sebelum terjual. Karena pemilik barang mengatakan semuanya adalah tanggungjawan dan resiko dia, maka saya sangat senang. Makanya saya mau dititip dan menjual barang dagangan titipan tersebut. Seperti roti, krupuk, nasi bungkus, snack, dan lainnya”. 69
Bapak Lalu Bangsawa mengatakan :
“jelas saya tanya nasib atau resiko barang titipan kepada penitip. Penitip bilang itu resikonya jika barang dagangan rusak atau tidak laku, dari situ saya bersedia menjadi penerima barang titipan untuk saya jual kembali”.70
Hasil wawancara peneliti dengan pemilik/penitip barangpun sama hasilnya, diantaranya :
Xxxxxxxx mengatakan :
“xxxxxx xxxx selaku penitip barang jika ada barang yang tidak laku atau rusak (basi) sebelum nasil bungkus yang saya titip tersebut laku terjual. Tidak ada yang mau pemilik warung jika saya titip terus resiko atas barang yang tidak terjual menjadi resiko mereka. Itu sudah menjadi resiko saya sebagai penitip barang dagangan. Namanya usaha dik, apapun hasilnya saya terima”.71
Lalu Yasin mengatakan :
68Mariati, (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan titipan/komisioner), wawancara, Penujak, 18 Juni 2019.
69Srikandi (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan titipan/komisioner), wawancara, Penujak, 18 Juni 2019.
70Lalu Bangsawan (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan titipan/komisioner), wawancara, Penujak, 18 Juni 2019
71Nursinah (pemilik barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 19 Juni 2019
“semua resiko atas barang menjadi milik saya. Itu komitment saya dengan ibu Xxxxxxx selaku pemilik kios yang saya titip. Jadi Ibu Xxxxxxx tidak akan mengalami kerugian jika barang yang saya titip tidak laku atau rusak sebelum barang tersebut terjual. Saya kira itu adalah resiko bisnis yang harus saya terima. Walau penuh resiko, namun usaha saya masih tetap berjalan. Walau untung dikit yang penting lancar”. 72
Rajak mengatakan :
“mengingat perusahaan kami adalah distributor makanan ringan, seperti snack, sosis, dan lainnya, maka resiko kerugian atas barang yang kami titip sudah diperhitungkan sama bos saya. Semua barang yang tidak laku menjadi tanggung jawab perusahaan kami. Pemilik kios jika menemukan ada barang yang rusak sebelum terjual, maka mereka dapat menukarnya dengan yang baru. Jika barang tersebut tidak laku untuk jangka waktu lama, maka itu juga resiko yang harus kami pikul. Intinya pemiik kios tinggal mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan barang dagangan titipan dari kami”. 73
c. Tahap Pengiriman/Penitipan Barang oleh Pemilik Barang serta Tahap Penjualan oleh Pemilik Kios.
Pasca negosiasi telah tercapai, maka tahap selanjutnya yang dilakukan dalam perjanjian penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi adalah pengiriman atau pengantaran barang dagangan yang dititip. Pada saat pemilik barang akan menitip barang dagangan, penitip harus melakukan apa yang sudah diperjanjikan khususnya terkait dengan jumlah dan kualitas barang yang akan dititip. Misalnya, jika dalam perjanjian telah disepakati bahwa penitip barang hanya diperbolehkan menitip barang sebanyak 20, maka jumlah itulah yang
72Lalu Yasin (pemilik barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 19 Juni 2019
73Rajak (pengamanat/sales PT. Mitra Abadi Distribusindo Mataram),
wawancara, Penujak, 1 Juni 2019.
harus dilakukan penitip/pengamanat.74 Jika barang yang dititip tidak sesuai jumlahnya, maka pemilik kios/warung/komisioner akan menolaknya dan mengembalikan kelebihan barang yang dititip. Barang yang dititip untuk diperdagangkan, biasanya diantar langsung oleh penitip atau keluarganya jika penitipnya berasal dari masyarakat Desa Penujak atau Desa lainya. 75
Sedangkan terhadap perusahaan distributor, sales hanya bertugas menawarkan barang dan negosiasi terhadap harga barang dengan pemilik kios/komisioner. Jika negosiasi telah tercapai, maka yang mendroping barang titipan bukan lagi sales, tetapi dilakukan oleh mereka yang dinamakan motoris, yaitu petugas lapangan dari perusahaan distributor untuk mengantar barang dagangan titipan yang telah disepakati antara sales dengan pemilik kios. Motoris inilah yang akan mengantar barang dagangan tersebut dan tugas-tugas lainnya yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Terkadang juga, pada perusahaan-perusahaan distributor tertentu terjadi rangkap jabatan antara sales dengan motoris, namun demikian lebih banyak perusahaan yang antara sales dan motorisnya berbeda.76
74Nursinah dan Lalu Yasin, (pemilik barang dagangan/pengamanat),
wawancara, Penujak, 19 Juni 2019.
75Lalu Bangsawan, Mariati, Srikandi, (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner), wawancara, Penujak, 18 Juni 2019, serta Ecok dan Xxxxx Xxxxx, (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner), wawancara, Penujak, 16 Juni 2019
76Anto (pengamanat/sales PT. Borvita Citra Prima Mataram), wawancara,
Penujak, 15 Juni 2019.
Setelah barang titipan tersebut berada di kios atau warung dari komisioner, maka pemilik kios/warung/komisioner akan menjual barang titipan tersebut dengan harga yang sudah diperhitungkan dari harga dasar dari pemilik barang atau juga sama dengan harga dari pemilik barang selama hal tersebut diperjanjikan. Menariknya, barang-barang yang sudah diterima oleh pemilik kios/warung/komisioner, ternyata berdasarkan hasil observasi peneliti terdapat perlakuan penyimpanan atau perlakuan tempat penjualan. Ada barang-barang yang diperlakukan secara baik atau dijaga dengan baik, missal di simpan dalam etalase penjualan namun ada juga barang titipan yang diperlakukan tidak baik yang hanya ditaruh didepan kios/warung, sehingga barang titipan tersebut terkena cahaya matahari secara langsung dan terkenan debu yang bertebaran. 77
Terkait kondisi di atas, pemilik kios masing-masing memiliki alasan yang berbeda-beda. Misal, ada yang beralasan karena tidak mau repot mengatur posisi barang yang diperjual belikan yang penting konsumen melihat dan tertarik untuk membeli, ada yang beralasan penyimpanan tersebut tergantung dari nilai jual barang titipan. Jika barang titipan nilai jualnya kecil maka ditaruh diluar dengan menggunakan wadah atau tempat seadanya seperti nampan, dan lainnya, namun jika barang tersebut memiliki nilai jual yang lumayan,
77Penyimpanan Barang Dagangan Titipan oleh pemilik kios/warung,
observasi, Penujak, 30 Mei – 23 Juni 2019.
maka ditaruh dietalase agar terjaga kualitasnya namun tetap memperhatikan terlihatnya produk barang tersebut oleh konsumen.78
d. Tahap Pengecekan Barang Terjual dan Pembayaran Hasil Penjualan Tahap selanjutnya dalam kegiatan kerjasama penitipan barang
dagangan dengan sistem konsinyasi adalah tahap pengecekan barang dan pembayaran. Pada tahap ini, pemilik barang/pengamanat akan melakukan cros check atau pengecekan barang titipannya. Penentuan hari pengecekan barang dagangan dilakukan oleh pemilik barang/pengamanat tergantung dari jenis barang dagangan yang di titip.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat gambarkan bahwa pengecekan barang dagangan terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu:
1). Barang dagangan titipan dengan kategori mudah rusak.
Pada kategori barang yang mudah rusak, maka pengecekan barang bisanya dilakukan setiap hari. Hal ini dilakukan oleh pemilik barang agar dapat diketahui apakah barang yang dititip tersebut sudah laku terjual atau belum dan apakah barang tersebut masih dalam kondisi bagus atau masih layak jual atau tidak. Jika diketahui bahwa barang tersebut masih tersisa karena tidak laku terjual namun barang tersebut sudah tidak layak jual, maka
78Lalu Bangsawan, Mariati, Srikandi, Ecok dan Xxxxx Xxxxx, (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner), wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
biasanya barang tersebut akan di ambil atau diganti pada saat pengecekan barang tersebut.
Barang-barang yang kategori mudah rusak ini biasanya berkaitan dengan makanan, seperti nasi bungkus, gorengan, maupun roti. Nasi bungkus misalnya, pemilik barang/pengamanat biasanya menitip nasi bungkus dan gorengan tersebut kepada pemilik kios/warung/komisioner yang dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 06.30 Wita., dan pemilik barang akan melakukan cross check atau pengecekan pada pukul 12.00 sampai 13.00 Wita. Jika barang dagangan yang dititip tersebut masih ada atau belum terjual dan setelah diperiksa kondisinya nasi tersebut sudah tidak layak jual, maka nasi bungkus tersebut oleh pemilik barang/pengamanat akan ditarik dari peredaran dan diganti dengan barang/nasi bungkus yang baru. Kemudian nasi bungkus yang dititip pada pukul 13.00 tersebut oleh pemilik barang akan dilakukan pengecekan dan pengambilan kembali nasi bungkus yang tidak terjual pada sore harinya sekitar tersebut 17.30. Hal ini dilakukan agar nasi bungkus tersebut selalu dalam kondisi layak jual. Namun demikian, penitip barang dagangan nasi bungkus ini berharap agar barang dagangan titipannya semuanya laku terjual. Walaupun dalam realitanya di lapangan, kondisi penjualan barang dagangan titipannya tidak menentu. Terkadang habis namun terkadang juga masih tersisa. Pada setiap kios/warung biasanya
pemilik barang menitip nasi bungkus tersebut sekitar 10 sampai 20 bungkus.79 Sedangkan roti, biasanya akan dilakukan pengecekan setiap 3hari/sekali. Jika pada saat pengecekan tersebut masih ditemukan adanya roti yang tersisa dan tidak layak jual lagi seperti roti telah berjamur, maka pemilik barang dagangan akan mengganti dengan roti yang baru. Pemilik akan melakukan pengecekan 3hari kemudian. Begitu seterusnya.80 Hal yang sama juga berlaku dan dilakukan pada barang dagangan titipan berupa buah-buahan yang dilakukan pengecekan 3 sampai 4 hari oleh pemilik barang dagangan.81
2) Barang dagangan titipan dengan kategori tidak mudah rusak.
Kategori kedua ini adalah barang-barang yang tidak mudah rusak atau yang memiliki kadaluarsa lama, atau bahkan tidak memiliki kadaluarsa. Barang dagangan titipan yang tidak mudah rusak atau yang memiliki masa daluarsa lama seperti produk rokok, minyak goring, produk mie, produk minuman (coca cola, fanta, spirte, fruit tea), produk-produk keperluan mandi (shampoo, sabun, dan lainnya), kopi dan beras. Hampir semua
79Nursinah (pemilik barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 19 Juni 2019
80Patmi (pemilik barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
81Lalu Yasin (pemilik barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 19 Juni 2019
produk tersebut merupakan barang dagangan titipan milik perusahaan distributor. Berkaitan dengan hal ini, pengecekan barang dagangan ini biasanya dilakukan 1 (satu) sampai 3 (tiga) minggu, tergantung dari perusahaan distributornya. Yang melakukan pengecekan di sini adalah motoris dari perusahaan tersebut. ”.82
Sedangkan produk kopi dan beras biasanya juga dilakukan pengecekan 1 (satu) sampai 2 (dua) minggu oleh pemilik barang. Untuk beras dan kopi pemiliknya biasanya adalah perorangan yang berasal dari luar Desa Penujak. 83
Terkait dengan pembayaran barang dagangan yang di titip, pembayarn dilakukan pada saat pengecekan dan pengantian barang daganga dengan memperhitungkan barang yang laku terjual dan barang yang tidak laku terjual. Barang yang laku terjual itu sajalah yang akan dibayarkan oleh pemilik kios/komisioner kepada pemilik barang/pengamanat. Misal jika seseorang menitipkan sebuah barang berupa beras sebanyak 2 (dua) Ton dengan harga perkilo sejumlah Rp. 8.000, dan laku terjual sebanyak 800kg pada saat pemilik datang memeriksa barang dagangannya, maka pemilik kios/komisioner akan menyerahkan sejumlah uang Rp. 8.000,- x 800kg = Rp. 6.400.000,-.
82Anto (pengamanat/sales PT. Borvita Citra Prima Mataram), wawancara, Penujak, 15 Juni 2019, Xxxx (pengamanat/sales PT. Coca Cola Amatil SO. Mataram), wawancara, Penujak, 15 Juni 2019 dan Rajak (pengamanat/sales PT. Mitra Abadi Distribusindo Mataram), wawancara, Penujak, 1 Juni 2019.
83Lalu Bangsawan (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan titipan/komisioner), wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
Pemilik kios biasanya telah mendapatkan keuntungan dari selisih harga dasar dengan harga jual, jika dalam kesepakatan berlaku adanya kebebasan bagi pemilik kios/komisioner untuk menjual dengan harga berapapun juga selama yang diinginkan oleh pemilik kios/komisioner. Sedangkan jika barang dagangan tersebut harga jualnya sudah ditetapkan, maka biasanya pemilik kios akan menyerahkan seluruh hasil penjualannya kepada pemilik, kemudian pemilik barang akan memberikan keuntungan kepada pemilik kios sesuai perjanjian.
Namun demikian, hasil penelitian menemukan sebuah hal menarik dimana dalam praktiknya seringkali pemilik kios/komisioner tidak membayarkan hasil penjualan dari barang yang dititip sesuai perjanjian dimana seharusnya pada saat pemilik barang itu datang memeriksa dan mengecek barang dagangannya serta mengambil barang dagangan yang tidak laku terjual, pemilik kios harus membayar barang dagangan yang laku terjual, namun hal itu seringkali tidak dilakukan. Pemilik kios/warung/komisioner sering menunda pembayaran. Misalnya di bayarkan pada waktu waktu lainnya ketika pemilik barang melakukan pengecekan barang untuk yang kedua, ketiga dan bahkan ke empat. Beragam alas an yang diutarakan pemilik kios/warung/komisioner, ada yang mengatakan bahwa hasil penjualan tersebut digunakan untuk modal atau pembelian barang lainnya, ada pula yang beralasan belum mampu membayar hasil penjualan pemilik barang/pengamanat dikarenakan
untuk membayar hutang pemilik kios/warung/komisioner kepada pemilik barang lainnya.
Gambaran kondisi di atas sebagaimana terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa orang pemilik kios/warung/komisioner, diantaranya :
Srikandi mengatakan :
“Biasanya saya serahkan pembayaran hasil penjualan barang titipan setiap pemilik barang dagangan datang mengecek barangnya sesuai perjanjian, namun terkadang saya tidak bisa membayar hasil penjualannya disaat itu juga, karena uang hasil penjualan saya pergunakan untuk modal lainnya. Jika itu terjadi, biasanya saya akan minta keringanan kepada pemilik barang agar membayarnya di waktu lainnya”. 84
Ecok mengatakan :
“Namanya usaha dik, kadang laku terkadang tidak. Jika banyak barang yang tidak laku, maka saya belum bias membayar hasil penjualan kepada pemilik barang dagangan tepat waktu. Saya minta kepada pemilik barang agar memaklumi kondisi saya. Uangnya terkadang saya gunakan untuk keperluan anak atau keperluan lainnya”. 85
Xxxxx Xxxxx mengatakan :
“Setiap usaha kitakan Allah yang tentukan hasilnya. Terkadang kios saya mendapatkan keuntungan karena hasil penjualannya bagus, terkadang tidak. Oleh sebab itu saya bilang kepada pemilik barang dagangan titipan jika saya tidak bayar pada waktunya atau telat, maka mohon dimaklumi. Satu atau dua kali menurut saya biasa dan bisa dimaklumi. Saya juga kan tidak melarikan diri. Jadi keterlambatan pembayaran hasil penjualan merupakan
84Srikandi (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner),
wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
85Ecok (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner),
wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
hal yang tidak bisa dihindari asalkan tidak setrusmya seperti itu”. 86
Mariati mengatakan :
“Sering juga sich saya terlambat setor hasil penjualan buah-buahan ini ke pak Lalu Yasin, tetapi beliau selalu memaklumi karena beliau mengetahui kondisi ekonomi keluarga saya yang harus mengurus beberapa orang anak dan keluarga lainnya”. 87
Lalu Bangsawan mengatakan :
“Mamiq terkadang bayar tepat waktu disaat pemilik barang dagangan datang mengecek sekaligus menagih uang hasil penjualan, tetapi terkadang mamiq juga tidak bisa bayar sesuai perjanjian. Karena uang hasil penjualan mamiq putar bias untuk bayar hutang kepada pemilik barang lain terkadang mamiq pakai untuk modal beli barang lain yang tidak ada pemasoknya. Dimaklumi kok oleh mereka karena mamiq pasti tidak terlalu lama menunda pembayaran hasil penjualannya”. 88
Pernyataan beberapa pemilik kios/warung/komisioner yang terkadang terlambat atau menunda pembayaran hasil penjualan di benarkan oleh beberapa pemilik barang dagangan/pengamanat diantaranya :
Anto yang mengatakan :
“biasa dik jika ada yang terlambat membayar. Walaupun perjanjiannya dibayar pada saat kita mengecek pada beberapa minggu berikutnya, tetapi mereka terkadang belum bisa bayar barang dagangan yang sudah laku terjual periode minggu- minggu sebelumnya, banyak alasan yang mereka ungkap. Tetapi apaboleh buat, karena kami butuh mereka dan mereka butuh kami. Bagi kami yang penting penundaan pembayarannya tidak terlalu lama, paling lama kebijakan dari perusahaan kami
00Xxxxx Xxxxx, (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner), wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
87Mariati, (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner),
wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
88Lalu Bangsawan, (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner), wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
maksimal 1 (satu) bulan, jika lebih maka kami tidak akan titip lagi di kios mereka”.89
Xxxxxxxx mengatakan :
“Terkadang saya jengkel juga, karena banyak pemilik kios yang membayar hasil penjualan nasi bungkus tersebut lama. Terkadang bisa satu minggu baru dibayar. Padahal saya titip atau pasok sehari 2 (dua) kali, pagi dan siang. Namun saat saya mengecek dan memasok, mereka tidak membayar saat itu juga, sebagaimana hasil perjanjiannya. Mereka bayar setiap hari sabtu atau minggu atau seminggu sekali. Tidak sesuai perjanjian. Modal saya kan terbatas. Jika hal itu terjadi biasanya saya hanya mengelus dada untuk sabar. Namun demikian, saya tetap jalani karena rejeki sudah diatur oleh yang Maha Kuasa”. 90
Lalu Yasin mengatakan :
“Ibu Xxxxxxx tempat saya menitip barang, terkadang tepat waktu membayarnya namun juga suka terlambat membayarnya. Saya mau marah sebenarnya, tetapi namanya bisnis buat saya pasti ada resikonya. Keterlambatan pembayaran inilah mungkn resiko yang harus saya tanggung dan alami selain resiko barang dagangan tidak laku dan membusuk. Saya terima saja sebagai pembelajaran dalam berbisnis”. 91
2. Bentuk Perjanjian Penitipan Barang Dagangan dengan Sistem Konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah.
Berkaitan dengan bentuk perjanjian penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi yang ada di Desa Penujak, sepenuhnya dilakukan secara lisan. Tidak ada satupun yang dilakukan secara tertulis. Terlebih jika hal itu dilakukan oleh penitip barang dagangan yang berasal dari masayarakat Desa Penujak itu sendiri. Mereka sama sekali tidak
89Anto (pengamanat/sales sekaligus motoris PT. Borvita Citra Prima Mataram), wawancara, Penujak, 15 Juni 2019.
90Nursinah (pemilik barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 19 Juni 2019
91Lalu Yasin (pemilik barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 19 Juni 2019
melakukan pencatatan baik pada saat melakukan perjanjian penitipan maupun pada saat menitipkan barang dagangannya. Misalnya tidak ada catatan dari masing-masing pihak tentang jumlah dan jenis barang apa saja yang dititip. Mereka hanya mengandalkan kepercayaan dan ingatan masing-masing. Sedangkan pada perusahaan distributor, walaupun tidak ada perjanjian tertulis penitipan barang dagangan, namun mereka tetap menggunakan catatan berupa nota penjualan pada masing-masing kios. Pada nota tersebut, tertera rincian jenis, jumlah dan harga barang yang dititip, sehingga mereka dapat mengklain pembayaran berdasarkan barang yang dititip. Pada saat memasok/menitip barang, nota tidak dibubuhi stempel kata-kata “lunas”, stempel kata “lunas” baru akan diberikan jika pemilik kios/warung/komisioner telah melunasinya. Sepanjang belum dibayar dan dilunasi maka nota tersebut masih bersih dari stempel kata “lunas”.
Berkaitan dengan bentuk perjanjian yang dilakukan secara lisan ini, tergambar dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa orang pemilik kios/warung/komisioner berikut ini :
Srikandi mengatakan :
“Xxxxx xxx, tidak ada tulisan-tulisan. Buat apa pakai tertulis, karena antara saya dan mereka sebagai penitip sudah saling percaya. Selama ini tidak pernah terjadi masalah diantara saya dan mereka”.
92
Ecok mengatakan :
92Srikandi (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner),
wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
“Tidak pernah antara ibu dengan penitip barang baik penitipnya yang berasal dari masyarakat Penujak maupun dari perusahaan menggunakan perjanjian tertulis. Buat repot saja. Kami saling percaya saja. Berapa barang yang dititip terkadang diingat terkadang di catat di catatan kecil atau nota-nota dari sales perusahaan”. 93
Xxxxx Xxxxx mengatakan :
“Sudah lama saya bekerjasama dengan penitip, kami hanya berdasarkan saling percaya. Insyaallah tidak terjadi apa-apa. Terlebih masyarakat Penujak sebagian besar memiliki pengetahuan agama yanga sangat baik. Jadi Insyaallah tidak ada masalah”. 94
Mariati mengatakan :
“Waduh dik, jualan buah saja kok pakai perjanjian tertulis. Yang penting saya dan penitip saling suka dan menyetujui barang yang dititip, sudah cukup bagi kami. Buat apa perjanjian perjanjian tertulis”. 95
Lalu Bangsawan mengatakan :
“Tidak penting nitip-nitip barang menggunakan perjanjian-perjanjian tertulis. Pokoknya saling tahu dan setuju dan cocok masalah harga, jumlah dan jenis barang yang dititip, ya sudah langsung kita lakukan”. 96
Senada dengan pernyataan di atas, juga diutarakan dengan pihak penitip barang/pengamanat baik yang berasal dari distributor perusahaan maupun dari masyarakat Desa Penujak atau dari Desa lainnya, diantaranya :
Anto yang mengatakan :
93Ecok (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner),
wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
00Xxxxx Xxxxx, (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner), wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
95Mariati, (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner),
wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
96Lalu Bangsawan, (pemilik kios/warung/penerima barang dagangan/komisioner), wawancara, Penujak, 20 Juni 2019
“perusahaan kami tidak menggunakan perjanjian tertulis dengan pemilik kios. Karena kios mereka tidak terlalu besar. Jika kami pasok ke swalayan besar, maka baru kami buat perjanjian tertulis. Namun untuk kios yang ada di Penujak cukup dengan perjanjian lisan. Hanya saja setiap barang yang dititip, kita berikan nota barang berisi nama barang, jumlah barang, harga satuan barang dan harga total barang. Sebelum mereka melunasi maka nota tidak diberikan cap stempel lunas dari kami”.97
Xxxxxxxx mengatakan :
“mana mungkin dik kami menggunakan perjanjian tertulis. Kan hanya nasi bungkus saja yang Ibu titip. Harganya tidak seberapa. Selain itu buat ibu hal seperti itu hanya merepotkan saja. Ibu hanya menggunakan daya ingat dan rasa saling percaya antara Ibu dengan masing-masing pemilik warung”. 98
Lalu Yasin mengatakan :
“droping penitipan barang antara saya dengan Ibu Xxxxxxx tidak menggunakan perjanjian tertulis. Saat itu saya hanya menwarkan kepada Ibu Xxxxxxx apakah dia setuju dan mau kiosnya saya titipkan buah-buahan, kemudian dia jawab mau. Ya sudah kita langsung kerjasama. Buat saya yang terpenting kami saling percaya dan tidak menghianati atau berdusta antara yang satu dengan yang lainnya, niat baik intinya. Buat apa ada perjanjian tertulis jika sebelumnya diantara kita punya niat tidak baik”. 99
97Anto (pengamanat/sales sekaligus motoris PT. Borvita Citra Prima Mataram), wawancara, Penujak, 15 Juni 2019.
98Nursinah (pemilik barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 19 Juni 2019
99Lalu Yasin (pemilik barang dagangan/pengamanat), wawancara, Penujak, 19 Juni 2019
BAB III
TINJAUAN FIQH MU’AMALAH TERHADAP PRAKTIK KERJASAMA PENITIPAN BARANG DAGANGAN DENGAN
SISTEM KONSINYASI
DI DESA PENUJAK KECAMATAN PRAYA BARAT KABUPATEN LOMBOK TENGAH
Aktifitas kegiatan perniagaan yang dilakukan umat muslim merupakan sebuah kegiatan ekonomi atau bermu’amalah yang memiliki sifat dasar rabbani dan ilahiah, artinya bahwa segala kegiatan muamalah tersebut selalu dilandasi nilai-nilai ke tauhidan yaitu segala sesuatu atas kehendak Allah swt., serta di dalamnya juga mengandung makna bahwa kegiatan tersebut bertujuan untuk memakmurkan umat manusia, dan bukan untuk kemakmuran atau kekayaan pribadi semata.100
Aktifitas mu’amalah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penujak dengan melakukan kegiatan kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi merupakan sebuah kegiatan baru yang mungkin secara harfiahnya belum diatur dan di singgung oleh Islam, namun demikian dalam maknanya bisa saja kegiatan penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi tersebut sebenarnya telah sangat jelas disinggung baik dalam al-Qur’an, al- Hadits, ijma dan lain sebagainya dengan sebutan yang berbeda. Oleh karena itu, dalam kajian analisis yang peneliti lakukan, peneliti
100Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, xx.xx., Pengantar Eksklusif Ekonomi Islam,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 12.
mencoba menggambarkan posisi kegiatan penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi oleh masyarakat Desa Penujak Desa Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah termasuk kategori sebuah kegiatan mu’amalah yang sudah ada pengaturannya dalam ranah fiqh mu’amalah atau sebenarnya hal tersebut merupakan suatu yang baru. Namun demikian, jawaban itu semua akan peneliti urai bersamaan dengan uraian analisis hasil temuan yang telah digambarkan pada Bab II sebelumnya.
Berkaitan dengan paparan pada Bab II, maka peneliti dapat paparkan beberapa hal yang dapat dijadikan bahan analisis, diantaranya yaitu :
A. Analisis Terhadap Praktik Kerjasama Penitipan Barang Dagangan dengan Sistem Konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah.
Praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya adalah :
1. Tahap penawaran.
Pada tahap penawaran ini, pihak pemilik benda atau biasa dalam ilmu bisnis disebut dengan pengamanat terlebih dahulu menawarkan kepada pemilik kios/warung guna menitipkan barang dagangan agar pemilik kios berkenan untuk menaruh dan kemudian menjual produk barang dagangannya tersebut kepada konsumen. Kemudian penawaran
tersebut ada yang diterima dan ada juga yang tidak diterima oleh pemilik kios.
Berdasarkan gambaran temuan penelitian di atas, terlihat adanya pemenuhan rukun dan syarat sahnya sebuah akad atau perjanjian. Rukun akad sebagaimana dinyatakan oleh Xxxxxxx Xxxxx terdiri atas 4 macam, yaitu : i). Para pihak yang membuat akad; ii). Pernyataan kehendak para pihak; iii). Obyek akad; dan iv). Tujuan akad.
Jika merujuk pada temuan penelitian terkait dengan kegiatan atau praktik kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi di Desa Penujak, maka peneliti dapat katakan bahwa rukun dan syarat pertama dari perjanjian kerjasama tersebut telah terpenuhi yaitu adanya para pihak yang membuat akad. Para pihak disini maksudnya adalah adanya dua pihak, yang satu bertindak sebagai pemilik barang dagangan yang menitipkan barang dagangan tersebut untuk dijual dengan sistem konsinyasi, dan pada sisi lainnya adalah pihak pemilik kios/warung/komisioner yang diberikan amanat untuk menjual barang dagangan tersebut. Perlu diketahui pula bahwa kedua belah pihak (baik yang bertindak sebagai penitip barang dagangan maupun sebagai pemilik kios yang ditugaskan untuk menjual barang dagangan) merupakan pihak- pihak yang telah dewasa, yang secara konsep fiqh mu’amalah mereka adalah pihak-pihak yang dapat dikatakan sebagai pihak yang telah cakap hukum, baik cakap menerima hukum maupun cakap berbuat atau
bertindak hukum. Hal ini dikarenakan mereka semuanya sudah masuk periode dewasa.
Dalam konsep fiqh mu’amalah, kecakapan hukum manusia terbagi atas beberapa fase yaitu pertama, fase janin, dimana pada fase ini manusia hanya mempunyai kecakapan menerima hukum yang tidak sempurna. Ia tidak dapat menerima kewajiban-kewajiban, ia hanya dapat menerima hak-hak dan itupun terbatas; kedua, fase kanak-kanak, yaitu anak yang baru lahir sampai mencapai usia tamyis (12 tahun). Pada fase ini, mereka memiliki kecakapan menerima hukum sempurna, namun memiliki kewajiban terbatas; ketiga, fase tamyiz, yaitu seseorang yang mencapai usia genap 12 tahun hingga usia dewasa. Pada fase ini, mereka dikatakan cakap menerima hukum sempurna juga memiliki kecakapan bertindak hukum tidak sempurna; keempat, fase dewasa, dimana pada fase ini manusia tersebut memiliki kecakapan sempurna baik kecakapan menerima maupun kecakapan bertindak hukumnya juga sempurna. 101 Jika merujuk pada temuan lapangan, dimana pelaku kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi ini yang semuanya adalah mereka yang telah berumur lebih dari 25 tahun, maka dapat penulis katakan unsur dari rukun dan syarat pertama telah terpenuhi karena mereka telah dewasa, tidak gila dan telah berkeluarga.
Penawaran juga merupakan wujud dari rukun kedua dari sebuah perjanjian dalam fiqh mua’malah yaitu adanya pernyataan kehendak (ijab
101Xxxxxxx Xxxxx, Hukum Perjanjian…, hlm. 108-118.
dan kabul). Ijab dan kabul mempresentasikan adanya perizinan atau saling ridha. Perizinan sendiri adalah tertujunya kehendak kepada suatu hal tertentu dan menerimanya dengan kepuasan hati. Dengan demikian, perizinan mengasumsikan adanya dan berdasarkan kehendak. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kehendak, maka tidak mungkin mempunyai perizinan.102
Berdasarkan hasil temuan penelitian pada tahap penawaran ini, juga dapat kita ketahui adanya obyek perjanjian yaitu “penitipan barang” dari pemilik barang kepada pemilik kios/warung. Serta adanya perintah dari pemilik barang kepada pemilik kios untuk menjual barang tersebut kepada konsumen. Merujuk pada kasus ini, maka terlihat bahwa obyek akad perjanjian pada praktik kerjasana penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi adalah berupa prestasi.
Merujuk pada konsep hukum perdata barat, obyek akad dapat berupa prestasi yang terdiri atas : memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Kegiatan praktik penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi ini obyeknya dapat dikategorikan sebagai “berbuat sesuatu” dan “memberi sesuatu”. Pihak pemilik barang memiliki prestasi berupa memberi sesuatu kepada pemilik kios berupa keuntungan sejumlah tertentu, sedangkan pihak pemilik kios memiliki prestasi berupa berbuat sesuatu atau dalam hal ini adalah menerima titipan barang
102Hardijan Xxxxx, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm.22.
dagangan dari pemilik barang serta menjual barang dagangan tersebut kepada konsumen.
Sedangkan jika merujuk pada fiqh mu’amalahnya, dalam hukum perjanjian Islam jika obyek akad berupa perbuatan, maka obyek tersebut harus tertentu atau dapat ditentukan, maksudnya adalah jelas dan diketahui oleh para pihak. Dengan demikian, obyek akad dalam perjanjian kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi obyeknya telah memenuhi syarat yaitu berupa perbuatan yang dapat diserahkan, dilaksanakan, tertentu dan dapat ditransaksikan secara syara. 103
Berdasarkan paparan peneliti dengan beberapa teori yang peneliti kemukakan, maka terkait dengan tahap penawaran ini bisa peneliti katakan telah terpenuhi rukun dan syarat sahnya perjanjian. Sehingga jika dilihat lebih luas aspek fiqh mu’amalahnya maka kegiatan penawaran ini telah sesuai karena adanya penawaran dari satu pihak ke pihak lain yang menandakan keduanya memeliki keinginan yang sama atau terjalinnya niatan suka sama suka dalam melakukan kegiatan penitipan barang dengan sistem konsinyasi.
Terkait dengan hukumnya kerjasama ini dapat dikatakan telah sesuai dan diperbolehkan dalam Islam, sebagaimana hadist Xxxxxxxxxx xxx., yang diriwayatkan oleh Xxx Xxxxx yang berbunyi:
ُﮫَﻧﺎ ﺧ
اَذِﺈَﻓ ُﮫَﺒ ﺣﺎ
ﺎ ﻤُھُﺪ ﺣَأ
ﻦ ﺨَﯾ
ﻢْ َﻟ ﺎ ﻣ
ﻦْﯿَﻜﯾ ﺮ
ﱠﺸﻟا ﺚ
ِﻟﺎَﺛ ﺎَﻧَأ
ﺎ ﻤ ﮭ
ِﻨْﯿَﺑ ﻦ ﻣ
ﺖ ﺟ ﺮ ﺧ
103Xxxxxxx Xxxxx, Hukum Perjanjian…, hlm.122-123.
“Sesungguhnya Allah berfirman: "Aku adalah orang ketiga dari dua orang yang berserikat, selama tidak ada salah seorang diantara mereka yang berkhianat kepada sahabatnya. Apabila ia telah mengkhianatinya, maka aku keluar dari keduanya”."104
2. Tahap Negosiasi.
Praktik negosiasi yang dilakukan oleh pemilik barang dagangan selaku pengamanat dengan pemilik kios selaku komisioner merupakan wujud pelaksanaan asas keseimbangan antara kedua belah pihak. Dalam konsep fiqh mu’amalah, ini disebut dengan mabda’ at-tawazun fi al- mu’awadhah. Meskipun secara faktual jarang terjadi keseimbangan anatara para pihak dalam bertransaksi muamalah, namun Islam tetap menekankan perlunya kesimbangan antara keduanya. Dalam hal ini antara pemilik barang selaku penitip/pengamanat dengan pemilik kios selaku komisioner. Walaupun tahap negosiasi ini ada dan dilakukan, namun sepertinya tetap saja dalam perjanjian kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi di Desa Penujak masih jauh dari nilai-nilai keseimbangan. Mengingat pada negosiasi tersebut masih ada pihak yang mampu menekan pihak lainnya, dalam hal ini adalah pemilik kios yang meminta harga barang titipan serendah mungkin. Walaupun demikian, terkait dengan negosiasi ini pihak pemilik barang masih tetap memiliki hak untuk menentukan harga dan besaran bagi hasil/fee yang harus diberikan kepada pemilik kios.
104 Xxx Xxxxx, Xxxxx Xxx Xxxxx, Juz 3, (Kairo: Dar Al-Hadits, 1999), hlm.1470.
Negosiasi yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi juga memberikan kesempatan kedua belah pihak untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian tersebut. Dengan demikian, dalam negosiasi juga terkandung makna adanya pembicaraan yang berkaitan dengan hak untuk menolak atau membatalkan atau tidak menjalankan kewajiban perjanjian, sepanjang memenuhi unsur-unsur atau syarat-syarat yang telah diperjanjikan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Islam juga membolehkannya. Hal ini sebagaimana hadits Xxxxxxxxxx xxx., yang berbunyi
ﻊِﺋﺎﺒَ ﻟْ َا ) :لﺎَﻗ ﷺ ﻲ
ﺒِ ﱠﻨﻟَا ن
َأ ;هِ ّﺪِ ﺟ ﻦﻋ
,ﮫِ ﯿِﺑَأ ﻦﻋ
,ﺐﯿْ َﻌﺷ
ﻦﺑ وﺮِ ﻤْ ﻋ
ﻦﻋوَ ◌
نْ َأ ُﮫ
ﻞﺤِ َﯾ ﻻَ و
,رٍ ﺎﯿَ ﺧ
َﺔَﻘﻔْ ﺻ
نﻮُﻜَﺗ نْ َأ ﻻﱠ
,ﺎَﻗﺮﱠ َﻔَﺘَﯾ ﻰﱠﺘﺣ
رِ ﺎﯿَ ﺨِ ﻟﺎِﺑ ُعﺎَﺘﺒْ ﻤُ ﻟْ او
,ﻲﻨِ ﻄ
ُﻗرَ اﱠﺪﻟَاو
,ْﮫﺟﺎﻣ
ﻦﺑْ ِا ﻻﱠ إِ ُﺔﺴ
ﻤْ ﺨ
ﻟْ َا ُهاوَ ر
( ُﮫﻠﯿﻘِ َﺘﺴ
نْ َأ َﺔﯿَ ﺸﺧ
ُﮫَﻗرِ ﺎَﻔُﯾ
( ﺎﻤَ ﮭِ ﻧﺎﻜَ ﻣ
ﻦﻣ ﺎَﻗﺮﱠ ﻔَ َﺘَﯾ ﻰﱠﺘﺣ
) :ﺔٍ َﯾاوَ ر
ﻲِﻓو
.دِ ورﺎﺠ
ﻟْ َا ﻦ
ﺑْ او
,َﺔﻤَ ﯾْ ﺰَ ﺧ
ﻦﺑْ او
“Xxxx Xxxx Xxxx Xxx'xxx, dari ayahnya, dari kakeknya Xxxxxxxxxxxxx 'anhu bahwa Nabi Xxxxxxxxxxxx 'alaihi wa Sallam bersabda: "Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual-beli dibatalkan." Riwayat Xxxx Xxxx kecuali Xxxx Xxxxx, Xxxxxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxxx, dan Xxxx xx-Jarus. Dalam suatu riwayat: "Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka”.105
Dari hadits di atas terlihat jelas bahwa tampak keharusan bahwa setiap perjanjian harus memiliki hak khiyar, yaitu hak yang dimiliki oleh
105Xxxx Xxxxx Xxxxxxxxx, Bulughulmaram, Hadist No. 901, hlm. 180.
pihak-pihak yang melakukan akad entah itu perjanjian jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, perjanjian kerja sama dan lain sebagainya.
3. Tahap Pembayaran Hasil Penjualan Barang
Perjanjian atau akad terkait tentang kerjasama penitipan barang dagangan dengan system konsinyasi ini sebenarnya kedua belah pihak telah menyepakati hak dan kewajibannya masing-masing. Salah satu hak yang dimiliki oleh pemilik kios adalah mendapatkan fee dari hasil penjualan, dan memiliki kewajiban untuk menjual barang tersebut serta menyerahkan hasil penjualan setelah dikurangi keuntungan untuk pemilik kios/komisioner, sedangkan kewajiban dari pemilik barang adalah memberikan fee kepada pemilik kios serta pemilik barang juga memiliki kewajiban untuk menanggung seluruh kerugian terhadap barang dagangan jika barang dagangan yang dititip itu tidak laku. Praktiknya yang terjadi adalah penitip barang dagangan telah memenuhi kewajibannya, namun pemilik kios selaku orang diberi amanat tidak menjalankan kewajibannya seluruhnya. Dimana mereka menunda pembayaran atau telat membayar hasil penjualan barang dagangan yang dititip yang seharusnya harus diserahkan kepada pemilik barang/pengamanat.
Terkait dengan hasil temuan tersebut, peneliti dapat katakan bahwa pemilik kios/komisioner telah melakukan tindakan wan prestasi, yaitu sebuah perbuatan yang tidak sesuai dengan isi perjanjian. Dengan kata lain, pemilik kios telah melakukan pelanggaran terhadap isi perjanjian. Pelanggaran ini dalam bentuk terlambatnya pembayaran hasil penjualan
yang harus dibayarkan. Oleh karena itu, secara konsep hukum perjanjian Islam atau fiqh muamalah, pihak pemilik kios/komisioner dapat dituntut oleh pemilik barang dagangan/pengamanat. Beda halnya jika keterlambatan tersebut disebabkan oleh sebab-sebab diluar kemampuan dan kehendak pemilik kios/komisioner atau yang lebih dikenal dengan sebutan force majeure.
Terkait dengan tidak dipenuhinya isi perjanjian berupa tidak tepat waktunya pembayaran hasil penjualan barang dagangan oleh pemilik kios/komisioner merupakan suatu hal yang sangat bertentangan dan dibenci oleh Allah swt. Oleh karena itu, perbuatan tersebut dapat dikategorikan perbuatan yang bertentangan hukum-hukum Allah swt.
Hal ini dikarenakan pondasi ajaran Islam yang paling penting dalam kegiatan mu’amalah yang telah tertuang dalam bentuk akad adalah menghormati akad dalam bentuk menjalankan isi akad sesuai yang telah diperjanjikan. Pelaksanaan isi perjanjian/akad merupakan suatu hal yang hukumnya wajib dilakukan oleh para pihak yang telah membuat akad, melihat pengaruhnya yang positif dalam mengatasi perselisihan dan menciptakan kerukunan.
Hal ini sebagaimana firman Allah swt., yang berbunyi :
ũ
;
106
ũ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.
Pada ayat lainnya, Allah swt., juga mengingatkan kepada setiap manusia dimuka bumi ini tidak akan luput dari pertanggungjawabannya terhadap janji-janji yang telah dibuatnya. Hal ini sebagaimana firman-Nya yang berbunyi :
o ¿
J
107
hZ
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.
Terlebih jika penundaan pembayaran tersebut dikarenakan pemilik kios/komisioner menggunakan uang hasil penjualan tersebut untuk kepentingan pribadinya yaitu berupa penggunaan untuk modal usaha lainnya. Jika itu ternjadi, maka pemilik kios/komisioner telah mendapatkan keuntungan ganda. Satu keuntungan dari hasil kerjasama
106Q.S. al-Maidah [5]: 1
107Q.S. al-Isra’[17]: 34
penitipan barang dengan sistem konsinyasi yang dilakukan bersama pemilik barang dagangan dan di sisi lain keuntungan yang akan diperoleh dari hasil pengelolaan uang hasil penjualan barang dagangan milik pengamanat.
Hal tersebut di atas menurut peneliti adalah sebuah cara yang yang sangat dzolim yang dilakukan oleh pemilik kios. Perbuatan ini secara eksplisit sangat tidak dibenarkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah swt., yang berbunyi :
ak
hZ
ľ
ũ
ġ õ S
108
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Disamping itu Xxxxxxxxxx xxx., bersabda:
ُﺔﻨْ ﻣ
ﺲٍ ﻔَﻧ ﺐ
ﯿْ ﻄ
ﺑِ ﻻ
ﻢٍ ﻠِ ﺴﻣ
ئﺮِ ﻣْ ا لﺎﻣ
ﻞﱡ ﺤِ ﯾَ ﻻ
”Tidak halal mengambil harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR. Xxx Xxxx dan Xxxxxxxxxx, disahihkan oleh Xxxxxx xx- Xxxxxx dalam Shahihul Jami’ no.7662).
Berkaitan dengan pemenuhan akad atau isi perjanjian dalam konsep hukum Islam, tepatlah apa yang dikatakan oleh Xxx Xxxxx Al-Xxxxxxxxx
108Q.S. an-Nisaa’[4]: 29
sebagaimana dikutip oleh Xxxxx Xxxx yang mengatakan : “Setiap apa yang diikatkan oleh seseorang terhadap satu urusan yang akan dilaksanakannya atau diikatkannya kepada orang lain untuk dilaksanakannya secara wajib, karena makna asal dari akad adalah ikatan lalu dialihkan kepada makna sumpah dan akad seperti akad jual beli dan yang lainnya, dengan kata lain adalah xxxxx (mengharuskan) untuk menunaikan janji dan ini dapat terjadi jika ada harapan-harapan tertentu yang akan di dapatkan pada waktu-waktu tertentu”. 109
Terkait dengan praktik tersebut dimana pemilik kios tidak membayar uang hasil penjualan sebagaimana yang telah diperjanjikan dengan berbagai alasan, maka hal ini dapat peneliti katakana bahwa telah terjadi suatu kondisi dimana pemilik kios sudah tidak amanah dan tidak dapat dipercaya lagi. Walaupun pada akhirnya mereka mengembalikan pada waktu lainnya. Sikap amanah dalam aktifitas kegiatan bermu’amalah merupakan hal yang sangat diwajibkan oleh Allah swt., selain kejujuran dan keadilan. Hal ini merupakan pokok atau inti ajaran Islam dalam bermu’amalah. Amanat adalah mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya, tidak mengambil hak orang lain, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya orang lain dan mengurangi hak orang lain. 110Menurut Xxxxxxxx, amanah menyangkut segala hak yaitu hak milik
109Xxxxx Xxxx Xxxxxxxx Xxxxx, Fiqh Muamalat : Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 67.
110Xxxxx Xxxxxxx, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 177.
Allah atau hak milik perseorangan, yang harus dipertanggungjawabkan dan diemban oleh seseorang. 111
Begitu pentingnya sikap amanah yang harus dijunjung tinggi dan dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam kegiatan bermuamalah, sampai-sampai Allah swt., berfirman yang berbunyi :
ũ
ľ
ľ
Z
112
— hZ
-
ľ J
S
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
B. Analisis Terhadap Bentuk Akad Praktik Kerjasama Penitipan Barang Dagangan dengan Sistem Konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah.
Bentuk akad yang dilakukan oleh masyarakat Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Daya Kabupaten Lombok Tengah dalam melakukan kegiatan kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi dilakukan semuanya melalui perjanjian lisan. Pada dasarnya perjanjian dalam bentuk apapun baik dalam bentuk lisan maupun tertulis dapat dibenarkan dan tidak menyebabkan sah atau tidak sahnya perjanjian maupun batal atau tidak batalnya perjanjian kerjasama tersebut. Namun demikian, perjanjian
111Yan Orgianus, Moralitas Islam dalam Ekonomi dan Bisnis (Bandung: Marja, 2012), hlm. 93-95.
112Q.S. an-Nisaa’[4]: 58
kerjasama penitipan barang dagangan dengan system konsinyasi ini memiliki kekuatan pembuktian yang lemah jika salah satu pihak menyangkal apa yang telah diperjanjikan. Walaupun mereka mengatakan sudah berlangsung lama atas dasar kepercayaan, namun demikian konsep kepercayaan tersebut juga dipengaruhi oleh faktor lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut peneliti sebaiknya perjanjian kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis sebagai penguat atas suatu peristiwa yang mungkin akan timbul dikemudian hari. Terkait dengan bentuk perjanjian, Islam walaupun tidak mewajibkan namun juga menganjurkan adanya perjanjian dalam bentuk tertulis.
Hal ini sebagaimana firman Allah swt., yang berbunyi :
o ũ
ľ
ẽ ľ
ũ
hZ
hZ
ũ
kh
ľ
ľ ũ
õ
- ľ
Q o ũ
k
õ
h
õ
ľ
hZ
ũ
ũ
113 %
k
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Berkaitan dengan aktifitas kegiatan kerjasama penitipan barang dagangan dengan system konsinyasi di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah, maka peneliti dapat sampaikan bahwa perjanjian atau akad tersebut telah memenuhi rukun dan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam syariat Islam. Namun demikian, pelaksanaan perjanjian tersebut terjadi penyimpangan dari kaidah-kaidah fiqh
113Q.S. al-Baqarah [2]: 282
mu’amalah khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian berupa pembayaran hasil penjualan dari pemilik kios/komisioner kepada pemilik barang/pengamanat. Dengan demikian, pemilik barang/pengamanat dapat saja memutuskan atau mengakhiri perjanjian yang sebelumnya telah disepakati dikarenakan adanya terlebih dahulu wan prestasi dari pihak pemilik kios/komisioner.
Namun hasil penelitian juga menemukan tidak ada satupun dari pihak pemilik barang/pengamanat yang berkenan melakukan pemutusan perjanjian atau pembatalan perjanjian, dengan berbagai alassan, salah satunya adalah karena jalinan kekeluargaan diantara mereka sudah sangat erat sehingga mereka saling membutuhkan satu sama lainnya serta adanya niat saling tolong menoolong diantara mereka. Konsep inilah yang sangat dianjurkan oleh Islam, bahwa kegiatan bisnis harus dilandasi bukan saja mengejar keuntungan semata individu yang melakukan akad namun juga memberikan dampak kemaslahatan kepada pihak lain yang terlibat dalam akad dan orang disekitarnya. Oleh karena itu, kegiatan kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi sebenarnya merupakan perjanjian kerjasama yang menggunakan akad tabarru’ yaitu akad yang dilandasi dengan unsur tolong menolong antar sesama, sehingga pada umumnya seseroang tidak boleh mengambil keuntungan. Adanya komisi atau fee dari kegiatan perjanjian kerjasama penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi tidak melanggar konsep fiqh mu’amalah, karena walaupun tabarru namun masih diperbolehkan memperoleh keuntungan asalkan
keuntungan tersebut diberikan secara ikhlas dan disepakati secara bersama tanpa memaksa dari salah satu pihak.114
Akad wakalah sebenarnya juga merupakan bagian dari tabarru’ (tolong menolong), mengingat akad ini tidak mengandung unsure pertukaran kepemilikan maupun pertukaran benda dengan benda atau uang dengan benda. Berkaitan dengan kegiatan penitipan barang dagangan dari pemilik barang/pengamanat kepada pemilik kios dengan system konsinyasi, maka peneliti dapat katakana ini merupakan suatu bentuk kegiatan dengan akad wakalah. Karena hal ini sama saja melakukan perwakilan (wakalah) dalam jual beli.
Perwakilan (wakalah) dalam jual beli dibolehkan dalam Islam. Hal ini sebagaimana hadist Xxxxxxxxxx xxx., yang artinya :
“Dari ‘Urwuh al-Bariqi, bahwasanya Nabi Xxxxxxxxx’Xxxxxx Wassalammemberikan padanya satu dinar buat ia belikan dengannya satu hewan qurban ataupun seekor kambing. Lantas ia beli dengannya dua ekor kambing, dan ia jual salah satunya seharga satu dinar, kemudian ia berikan kepada Nabi seekor kambing dan satu dinar. Kemudian Xxxx mendoakan keberkahan dalam jual belinya. Maka jika ia beli pasir, niscaya ia akan beruntung padanya”. (HR. Bukhari).115
Terkait dengan jenis wakalah yang digunakan oleh masyarakat Desa Penujak dalam kegiatan praktik penititipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi, maka kegiatan penitipan tersebut masuk dalam dua kategori wakalah, yaitu:
Pertama, praktik penitipan barang dagangan dengan sistem konsinyasi dimana harga sudah ditentukan oleh pemilik barang namun pemilik
114Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 242.
115Xxxxxxxx xxx Xxxxxx Xxx Xxxxxxx, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Xxx Xxx Xxxxxx, tt) Juz. 3, hlm. 1332.