PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
TESIS
OLEH:
NAMA MHS. : XXXXXXXXX. S.H., NO. POKOK MHS. : 14.921.037
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2018
TESIS
OLEH:
NAMA MHS. : XXXXXXXXX. S.H., NO. POKOK MHS. : 14.921.037
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2018
MOTTO
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah kamu termasuk orang – orang yang bimbang
( Al-Quran, Albaqarah : 147 )
Keyakinan yang kokoh itu dapat menghilangkan keraguan
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tesis ini penulis persembahkan kepada :
1. Yang tercinta : Istriku Xx. Xxxxxxx dan anak – anaku : Xxxxxxx Xxxx, Xxxxx Xxxx, Xxxxx Xxxxxxx, juga Kakak-Kakak dan Adik - Adiku
2. Teman-teman Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxan Angkatan I, dan teman-teman lainnya yang tak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
3. Segenap Almamater Universitas Islam Indonesia.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.wr.wb,
Rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, yang telah melimpahkan ilmu, hidayah, rahmat dan karunia-Nya serta kekuatan lahir dan batin, sehingga tesis yang insyaallah berjudul “IMPLEMENTASI PASAL 23 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DALAM PRAKTIK SEWA MENYEWA MOBIL DI
YOGYAKARTA.” dapat penulis selesaikan. Tesis ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Kenotariatan pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Tentu saja ada kendala, hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyusunan tesis ini. Namun, atas bimbingan, dorongan, dan bantuan dari semua pihak, tesis ini dapat penulis selesaikan. Untuk itu, terima kasih banyak dan penghargaan yang setinggi-tingginya serta rasa hormat kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikanya, utamanya kepada:
1. Bapak Xxx. Xxxx Xxxxxxxx, M.A., M.H., Ph.D., selaku ketua program pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
2. Bapak Xx. Xxxxxx, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan tesis ini
3. Xxxxx Xxx Xxxxxxxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum., Not., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan tesis ini.
4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
5. .Seluruh Staf Akademik Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
6. Bapak Pimpinan Bank BRI Cabang Yogyakarta Katamso yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis
7. Ibu Xxxxxxx Xxxxx selaku staf pada bagian administrasi kredit Bank BRI Cabang Yogyakarta Katamso yang banyak memberikan informasi dan penjelasan kepada penulis.
8. Seluruh Staf Bank BRI Cabang Yogyakarta Katamso.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis hingga terselesainya tesis ini.
Harapan penulis, semoga maksud baik dan amalan pihak – pihak yang membantu dalam menyelesaikan tesis ini dapat diterima oleh Allah SWT.
Penulis yakin, tesis ini masih banyak kekurangan dalam penyelesaianya sehingga penulis dengan lapang membuka saran dan kritik bagi siapa saja. Akhirul kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Wassalammu’alaikum. Wr. Wb
Yogyakarta, 1 April 2018 Penulis
(Xxxxxxxxx)
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i
HALAMAN JUDUL........................................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................. v PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................. vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI... ................................................................................................. ix
ABSTRAK xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 9
D. Orisinalitas Penelitian ........................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka 11
F. Metode Penelitian ................................................................. 37
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 41
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian 41
2. Syarat Sahnya Perjanjian 46
3. Para Pihak dalam Perjanjian 57
4. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya 59
5. Hapusnya Perjanjian 62
B. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kredit 64
1. Pengertian Perjanjian Kredit 64
2. Bentuk Perjanjian Kredit 70
3. Fungsi Perjanjian Kredit 73
C. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia 74
1. Pengertian Jaminan Fidusia 74
2. Objek Jaminan Fidusia 84
3. Hapusnya Jaminan Fidusia 91
4. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia 94
D. Peranan Notaris Dalam Jaminan Fidusia 97
BAB III JAMINAN FIDUSIA DALAM PRAKTIK SEWA MENYEWA MOBIL DI YOGYAKARTA
A. Deskripsi Ringkas Jaminan Fidusia di Yogyakarta 106
B. Implementasi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia oleh Pihak Bank dalam Praktik Sewa Menyewa Mobil di Yogyakarta 111
C. Penyelesaian Hukumnya dalam Hal Mobil yang Disewakan tersebut Hilang atau Digelapkan oleh Penyewa Mobil 126
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 138
B. Saran 139
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis implementasi Pasal 23 ayat (2) UUJF oleh pihak bank dalam praktik sewa menyewa mobil di Yogyakarta; serta penyelesaian hukumnya dalam hal mobil yang disewakan tersebut hilang atau digelapkan oleh penyewa mobil.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris. Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Data yang diperoleh selanjutnya di analisis dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif.
Hasil dari penelitian ini adalah (1) Pelaksanaan jaminan fidusia yang dijadikan objek sewa menyewa oleh pemberi fidusia tanpa ijin dari penerima fidusia dapat dikategorikan melanggar ketentuan Pasal 23 ayat (2) UUJF. Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pengakuan Hutang pada ketentuan dan syarat-syarat terdapat ketentuan bahwa selama berlangsungnya perjanjian atau selama hutang belum lunas, konsumen dilarang mengalihkan penguasaan, menyewakan, menggadaikan/menjaminkan, memindahtangankan/menjual atas barang dan atau bagian dari barang kepada pihak lain atau melakukan hal lain yang dapat membahayakan/merugikan kepentingan kreditur dan dilarang melakukan/ mengadakan penambahan/pengurangan/perubahan-perubahan baik bentuk, permesinan, fungsi atas barang, kecuali bila ada persetujuan tertulis terlebih dahulu dengan kreditur; serta (2) Penyelesaian hukumnya apabila mobil yang disewakan tersebut hilang atau digelapkan oleh penyewa mobil adalah karena mobil yang disewakan tersebut adalah objek fidusia yang dijadikan jaminan, maka tanggung jawab tetap pada pemberi fidusia (penyewa/debitur). Debitur harus bisa mengembalikan mobil tersebut atau bank akan membuat surat pemutusan perjanjian kredit sehingga debitur harus melunasi pinjamannya. Tanggung jawab pihak nasabah bank dalam hal mobil disewakan tersebut hilang atau digelapkan oleh penyewa adalah nasabah tetap harus melunasi pinjamannya. Jadi meskipun mobil yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut hilang, tidak gugur perjanjian kredit dan fidusianya.
Kata Kunci: Implementasi, Pasal 23 ayat (2) UUJF, Sewa Menyewa Mobil, Jaminan Fidusia
Aim from research this is for knowing and analyze implementation Article 23 paragraph (2) of the Act Number 42 Year 1999 about Fiducia Guarantee by the inner bank practice renting car in Yogyakarta; as well as its legal settlement in case the rental car is lost or darkened by the car renter .
Research this is research juridical empirical. The approach taken is approach legislation (statute approach). The data were then analyzed using qualitative juridical analysis.
Results from research this is (1) Implementation of fiduciary collateral as object of lease by giver fiduciary without permission of fiduciary recipients could categorized as breaking conditions Article 23 paragraph (2) of the Act Number 42 Year 1999 about Warranty Fiduciary. In Agreement Financing Consumer and Recognition Debt on conditions and conditions there conditions that for on going agreement or for debt not yet paid off, consumers banned divert mastery, lease, pledge, sell on goods and or part from goods to other party or do anything else that can harmful/disadvantageous interests creditor and banned do/entered additions/subtractions/changes good shape, machining, function on goods, except when there is approval written more first with creditor; and (2) Settlement the law if car rented the lost or darkened by tenant car is because car rented the is object fiduciary being made guarantee, then responsibility answer permanent on giver fiduciary (tenant/debtor). Debtor must can restore car the or the bank will make letter termination agreement credit so debtor must pay off the loan. Awkward answer party bank customers within car leased the lost or darkened by tenant is customers permanent must pay off the loan. So although car into object guarantee fiduciary the lost, no fall agreement credit and fiducia.
Keywords : Implementation, Article 23 paragraph (2) of Law Number 42 Year 1999, Lease Renting Car, Fiduciary Guarantee
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 mengemukakan tentang pengertian kredit yaitu penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga. Berdasarkan pengertian tersebut nilai dan legalitas jaminan yang dikuasai oleh bank atau yang disediakan oleh debitor harus cukup untuk menjamin fasilitas kredit yang diterima bank, harus dikuasai atau diikat secara yuridis baik oleh akta otentik atau akta di bawah tangan.1
Jaminan ini dimaksudkan untuk melunasi hutang debitor, apabila tidak bisa membayar atau mengembalikan kreditnya sesuai dengan waktu yang sudah diperjanjikan. Xxxxxxxx Xxxxx Xxx menyatakan dalam bukunya Hukum dan Perbankan, bahwa suatu hal sangat penting bagi pihak kreditor dalam hal ini bank adalah mengenai jaminan bahwa uang yang dipinjamkan akan diterima kembali beserta bunga-bunganya.2
Ada dua pihak di dalam perjanjian kredit yang berkepentingan secara langsung yaitu, pihak pemberi kredit (kreditor) yang dalam hal ini adalah pihak bank, dan pihak penerima kredit (debitor), sehingga dalam hal ini tugas bank
1 Xxxxxx Xxxxxxx, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 12.
2 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Bandung: PT. XXXXX, 2001), hlm. 15.
adalah memberikan kredit kepada yang membutuhkan, tugas ini merupakan tugas yang sangat mulia karena bank dapat membantu pihak lain untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan sekaligus merupakan tugas yang penuh risiko karena kredit yang telah disalurkan kepada debitor selalu ada kemungkinan masalah- masalah yang akan timbul. Salah satu kemungkinan yang mungkin timbul adalah peminjam kredit tidak mampu membayar kembali kreditnya, karena berbagai faktor, faktor tersebut dapat timbul dari dalam diri peminjam sendiri maupun dari luar diri peminjam (dikenal dengan risiko kredit).
Keadaan tersebut di atas dapat mengkhawatirkan adanya kegagalan dalam pengembalian kredit kepada bank terganggu atau sering disebut sebagai kredit yang sedang macet dalam pengembaliannya. Pihak bank untuk memperkecil risiko yang timbul atau risiko yang dialami selalu membutuhkan adanya jaminan untuk pemenuhan hutang debitor, terutama untuk kredit dalam jumlah besar, dalam hal ini jaminan kredit diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali hutang-hutangnya dengan perbandingan nilai/bobot tertentu atas dasar pemilihan bank.
Suatu kredit yang dipinjamkan oleh bank kepada peminjam dan oleh peminjam tidak dapat dikembalikan kepada bank, tidak begitu saja dkategorikan sebagai kredit macet.Dunia perbankan, untuk menyebut suatu kredit macet harus memenuhi syarat-syarat tertentu, kredit digolongkan macet apabila kredit tersebut tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar, dan diragukan dikenal dengan Kualitas Aktiva Produktif (KAP).3
3 Ibid.
Adapun debitor yang tidak dapat melakukan pembayaran kembali atas kreditnya maka bank umumnya mencari jalan keluar yang cukup bijaksana yaitu, mengadakan perundingan secara kekeluargaan dengan peminjam kredit, apabila cara tersebut tidak dapat diterima oleh peminjam dan tidak terselesaikan, maka jalan keluar yang terakhir adalah menyerahkan kepada badan-badan yang berwenang untuk menyelesaikannya, berdasarkan ketentuan hukum yang ada, untuk bank pemerintah sesuai SK Menteri Keuangan Nomor 293 harus diserahkan kepada KP2LN untuk jumlah hutang lebih dari dua juta rupiah atau Pengadilan Negeri setempat. Pihak bank untuk melaksanakan fungsi bank dan untuk memperkecil risiko dalam pemberian kredit lebih mensyaratkan adanya jaminan, dimanahal tersebut sesuai dengan Pasal 1131 KUH Perdata, bunyinya: ”Segala harta kekayaan atau kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”.Berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, maka demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang debitor kepada setiap kreditornya atas segala kekayaan debitor itu.4
Menurut bentuk dan sifatnya, jaminan terbagi menjadi dua yaitu jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat perorangan. Jaminan kebendaan sendiri dibagi menjadi dua yaitu jaminan benda bergerak dan jaminan benda tidak bergerak.5
4 Ibid.
5 Sri Soedewi Xxxxxxxx Xxxxxx, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM Bulaksumur, 2001), hlm. 96.
Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistem hukum Indonesia dan juga hukum dikebanyakan negara-negara Eropa Kontinental, bahwa jika yang menjadi obyek jaminan hutang adalah benda bergerak maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai, dimana dalam hal ini obyek gadai tersebut harus diserahkan kepada yang menerima gadai (kreditor). Jaminan fidusia adalah suatu bentuk jaminan hutang yang objeknya masih tergolong benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditor.6
Jaminan fidusia harus dikuasai atau diikat secara yuridis dengan akta otentik. Pihak pemohon kredit dalam pelaksanaannya hanya dapat mengisi blangko setelah isi perjanjian tersebut sudah disepakati oleh pihak pemohon dan pihak bank. Setiap orang baik individu maupun kelompok dalam melakukan perjanjian kredit dengan pihak bank, harus mengetahui hak dan kewajibannya, karena suatu perjanjian akan menimbulkan hak dan kewajiban manakala kedua belah pihak telah sepakat, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat para pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, serta perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, maksudnya adalah si penerima kredit akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Suatu perjanjian fidusia biasanya diperjanjikan bahwa peminjam-pakai (pemilik asal) boleh mempergunakan benda fidusia sesuai dengan maksud dan
6 Ibid.
tujuannya, dengan kewajiban untuk memelihara dan memperbaiki semua kerusakan benda fidusia atas biaya dan tanggungan debitor atau peminjam sendiri. Peminjam-pakai dilarang untuk menyewakan benda fidusia kepada orang lain, tanpa izin dari Penerima fidusia.7
Pexxxxxx Xxxxxxx memperjanjikan bahwa, ia atau kuasanya sewaktu-waktu berhak untuk melihat adanya dan keadaan dari benda fidusia, dan melakukan atau suruh melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh Pemberi Fidusia, kalau ia lalai untuk melakukannya, kesemuanya atas beban dan tanggungan Pemberi Fidusia.8Terkadang masih dijumpai berbagai masalah seperti debitor ingkar janji di dalam membayar angsuran pinjaman kepada bank dan debitor berusaha mengalihkan kepemilikan barang jaminan,maka hal tersebut akan menimbulkan suatu permasalahan bagi kreditor.
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa:9
Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.
Ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya ditulis UUJF) menyatakan bahwa: “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
7 Ibid, hlm. 28.
8 Ibid.
9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
dibebani hak tanggungan”.10 UUJF secara tegas menyatakan bahwa Jaminan Fidusia adalah jaminan atas kebendaan atau jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia, yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Menurut Pasal 27 ayat (3) UUJF bahwa hak ini tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.
Pasal 4 UUJF juga menyatakan bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian accesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut:
1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;
2. Keabsahannya semata-semata ditentukan oleh sah atau tidaknya perjanjian pokok;
3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah ada atau tidak dipenuhi.11
Adanya lembaga jaminan fidusia yang berkembang tentu akan menimbulkan permasalahan terhadap pihak ketiga atau pihak lain dapat mengenai barang-barang yang telah dipakai sebagai jaminan kredit. Apabila hal tersebut terjadi, maka fidusia tersebut harus dicatat pada bukti pemilikannya dan didaftarkan supaya mudah diketahui oleh umum seperti yang diatur dalam Pasal 11 UUJF.
10 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
11 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 125.
Sebenarnya banyak kasus mengenai sewa menyewa barang jaminan fidusia khususnya mobil yang terjadi di Yogyakarta. Sewa menyewa barang jaminan fidusia khususnya mobil tersebut jelas bertentangan dengan UUJF yang menyebutkan bahwa pemberi fidusia tidak berhak untuk melakukan fidusia ulang atas obyek jaminan fidusia. Pemberi fidusia juga tidak diperkenankan untuk membebankan dengan cara apapun, menggadaikan atau menjual atau mengalihkan dengan cara apapun obyek jaminan fidusia kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia.
Kasus yang sering terjadi di Yogyakarta adalah pemberi fidusia menyewakan mobil yang merupakan barang jaminan fidusia kepada pihak lain tanpa adanya persetujuan dari penerima fidusia, dalam hal ini pihak bank atau perusahaan pembiayaan. Bilamana sewa menyewa mobil tersebut berjalan dengan baik tentunya tidak akan menimbulkan persoalan dalam perjanjian kredit mobil dengan jaminan fidusia, akan tetapi masalah akan muncul ketika mobil yang disewakan tersebut hilang atau digelapkan oleh penyewa dan angsuran kredit dari mobil tersebut pembayarannya menjadi terlambat yang menyebabkan pihak penerima fidusia akan menarik barang jaminan tetapi pihak pemberi fudisia tidak dapat menyerahkan mobil tersebut.
Berdasarkan kasus tersebut jelas telah terjadi pelanggaran dari perjanjian jaminan fidusia, yaitu memindahtangankan barang jaminan kepada pihak lain tanpa perstujuan pihak penerima fidusia. Dari aspek hukum perdata telah terjadi wanprestasi dan ingkar janji dari pemberi fidusia dan bahkan dari aspek pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan.
Bilamana pemberi fidusia tidak memenuhi dengan seksama kewajibannya menurut yang telah ditentukan dalam akta ini atau debitor tidak memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian kredit, maka lewat waktu yang ditentukan untuk memenuhi kewajiban tersebut saja sudah cukup membuktikan tentang adanya pelanggaran atas kelalaian pemberi fidusia atau debitor dalam memenuhi kewajiban tersebut, dalam hal mana hak pemberi fidusia untuk meminjam pakai obyek jaminan fidusia tersebut menjadi berakhir dan obyek jaminan fidusia harus diserahkan dengan segera oleh pemberi fidusia kepada penerima fidusia setelah diberitahukan secara tertulis oleh penerima fidusia.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan mengambil judul ”IMPLEMENTASI PASAL 23 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DALAM PRAKTIK SEWA MENYEWA MOBIL DI YOGYAKARTA”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia oleh pihak bank dalam praktik sewa menyewa mobil di Yogyakarta?
2. Bagaimana penyelesaian hukumnya dalam hal mobil yang disewakan tersebut hilang atau digelapkan oleh penyewa mobil?
C. Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis implementasi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia oleh pihak bank dalam praktik sewa menyewa mobil di Yogyakarta;
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian hukumnya dalam hal mobil yang disewakan tersebut hilang atau digelapkan oleh penyewa mobil.
D. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan, ternyata penelitian yang berkaitan dengan jaminan fidusia telah banyak dilakukan, akan tetapi penelitian yang berkaitan dengan implementasi Pasal 23 ayat (2) UUJF dalam praktik sewa menyewa mobil sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Adapun beberapa hasil penelitian yang sejenis dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu yang berkaitan dengan jaminan fidusia antara lain:
1. Tesis yang ditulis oleh Xxxx Xxxxx Xxxxxx, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 2010 dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK OLEH NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA FIDUSIA. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian pemberian jaminan fidusia?
b. Xxxxxxxxx peran notaris dalam memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang dituangkan dalam akta fidusia?
2. Tesis yang ditulis oleh Xxxxxx, Program Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 2011 dengan judul PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA DI BANK BRI CABANG KATAMSO YOGYAKARTA. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana cara penyelesaian kredit macet dengan jaminan fidusia di Bank BRI Cabang Katamso Yogyakarta?
b. Bagaimana upaya Bank BRI Cabang Katamso Yogyakarta terhadap terjadinya pelanggaran undang-undang fidusia dalam hal debitur menjual benda jaminan kepada pihak lain?
c. Xxxxxxxxx peran notaris dalam pengikatan jaminan fidusia di BRI Cabang Katamso Yogyakarta?
3. Tesis yang ditulis oleh Xxx Xxxxxxxx Xxxxxxx, Program Magister Hukum Bisnis Universitas Janabadra Yogyakarta Tahun 2012 dengan judul TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN PADA KANTOR PENDAFTARAN FIDUSIA (Studi Kasus Di Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Kota Yogyakarta). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Faktor-faktor apakah yang menjadi alasan bagi kreditor tidak mendaftarkan akta fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia?
b. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi kreditor dalam perjanjian fidusia yang tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia?
c. Bagaimana penyelesaiannya dalam hal debitor mengalihkan benda jaminan kepada pihak lain?
Berbeda dengan ketiga hasil penelitian tersebut di atas, yaitu penelitian pertama lebih memfokuskan pada perlindungan hukum bagi para pihak oleh notaris dalam pembuatan akta fidusia. Penelitian kedua lebih memfokuskan pada penyelesaian kredit macet dengan jaminan fidusia di Bank BRI Cabang Katamso Yogyakarta. Penelitian ketiga lebih memfokuskan pada tinjauan yuridis perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan lebih memfokuskan pada implementasi Pasal 23 ayat (2) UUJF dalam praktik sewa menyewa mobil. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penelitian ini asli karena belum pernah dilakukan penelitian terhadap rumusan masalah tersebut.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum tentang Notaris
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini. Definisi yang diberikan oleh UUJN ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.12
Wewenang notaris bersifat umum sedang wewenang para pejabat lainnya adalah pengecualian. Itulah sebabnya bahwa apabila di dalam peraturan
12 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 14.
perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum diharuskan adanya akta autentik, maka hal itu hanya dapat dilakukan dengan suatu akta notaris, terkecuali peraturan perundang-undangan ada yang menyatakan dengan tegas, atau sebagai yang satu-satunya berwenang untuk itu.13 Berdasarkan hal tersebut berlaku asas lex specialis derogate legi generali yakni notaris sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat akta disimpangi oleh adanya pejabat lain yang berwenang untuk membuat akta pengecualian ini dengan didasarkan pada peraturan perundang-undangan (khusus) lainnya.
Kehadiran notaris sangat penting dalam menciptakan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Notaris dalam melakukan pencegahan terjadinya masalah hukum melalui akta autentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan, apa yang akan terjadi jika alat bukti yang paling sempurna tersebut kredibilitasnya diragukan.14 Perlunya suatu tanggung jawab baik individual maupun sosial, terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum positif dan kesediaan untuk tunduk pada Kode Etik Profesi, bahkan merupakan suatu hal yang wajib sehingga akan memperkuat norma hukum positif yang sudah ada.15
Masyarakat membutuhkan seorang notaris yang dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segala capnya memberikan jaminan dan bukti, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya
13 GHS Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 34.
14 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), hlm. 7.
15 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, (Jakarta: Bigraf Publishing, 1995), hlm. 4.
(onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari yang akan datang.16
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta yang memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Menurut Subekti,17 “yang dinamakan surat akta adalah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani”. Sedangkan menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx,00 “bahwa yang dinamakan dengan akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peritiwa yang menjadi dasar dari suatu hak/perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”. “Pembuatan akta Notaris dapat digunakan sebagai pembuktian dalam sebuah sengketa hukum yang digunakan sebagai alat untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian”.19 Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) “bahwa bukti tulisan merupakan salah satu alat bukti tertulis”. Demikian pula dalam Pasal 1867 KUH Perdata menetapkan: “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan”.20
Berdasarkan praktiknya banyak ditemukan jika ada akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak ketiga lainnya, maka sering pula
16 Ibid.
17 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-XXVIII, (Jakarta: Intermasa, 2006), hlm. 178.
18 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke-6, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hlm. 142.
19 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Hukum Notariat Di Indoensia Suatu Penjelasan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 19.
20 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
notaris ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta notaris”.21 Notaris secara sengaja atau tidak disengaja notaris bersama-sama dengan pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain harus dibuktikan di Pengadilan.
Arti penting dari profesi notaris disebabkan karena notaris oleh undang- undang diberi wewenang untuk menciptakan alat pembuktian yang mutlak, dalam pengertian bahwa apa yang disebut dalam akta autentik itu pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk sesuatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi misalnya adalah untuk membuat testament, mengakui anak yang dilahirkan di luar pernikahan, menerima dan menerima hibah, mengadakan pembagian warisan dan lain sebagainya, maupun untuk kepentingan suatu usaha misalnya adalah akta-akta dalam mendirikan suatu PT (Perseroan Terbatas), Firma, CV (Comanditer Vennotschap) dan lain-lain serta akta-akta yang mengenai transaksi dalam bidang usaha dan perdagangan, pemborongan pekerjaan, perjanjian kredit dan lain sebagainya.22
Sehubungan dengan wewenang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, notaris hanya diperbolehkan untuk melakukan jabatannya di dalam daerah tempat kedudukannya. Berdasarkan hal tersebut Notaris wajib
21 Xxxxx Xxxxx, Hukum Notariat Di Indoensia Tafsiran Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, 2008), hlm. 24.
22 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan). (Jakarta: PT.
mempunyai hanya satu kantor dan dengan hanya mempunyai satu kantor, berarti notaris dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan, dan/atau bentuk lainnya. Selain itu notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukannya, artinya akta notaris sedapat-dapatnya dilangsungkan di kantor notaris kecuali pembuatan akta-akta tertentu. Apabila hal ini dilanggar, maka akta yang dibuat oleh notaris tersebut tidak autentik dan hanya mempunyai kekuatan sebagaimana akta di bawah tangan.
2. Peran Notaris dalam Pembuatan Akta
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxx, akta adalah suatu tulisan dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti. Kedua arti akta di atas maksudnya tidak jauh berbeda yaitu bahwa akta adalah tulisan/surat yang sengaja dibuat sebagai alat bukti.23
Akta itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Menurut Xxxxxx, akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membikin surat itu, dengan maksud untuk dijadikan sebagai surat bukti.24
Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak sendiri tanpa bantuan dari seorang pejabat. Kedua akta tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan, baik dari cara pembuatan, bentuk maupun kekuatan pembuktiannya.
23 Veegens-Oppenheim-Polak dalam Tan Thong Kie, Serba-Serbi Praktek Notariat, (Jakarta: Alumni, 1987), hlm. 12
24 Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Xxxxxxx Xxxxxxxx, 1971),
Menurut Xxxxx 1868 KUH Perdata akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, tempat di mana akta dibuatnya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa disebut akta otentik apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :25
a. akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat di hadapan pegawai umum, yang ditunjuk oleh undang-undang
b. bentuk akta ditentukan undang-undang dan cara membuatnya akta harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang
c. di tempat dimana pejabat berwenang membuat akta tersebut.
Apabila seorang Notaris membuat suatu laporan tentang rapat yang dihadiri dalam suatu rapat umum pemegang saham perseroan terbatas maka laporan itu merupakan akta otentik yang dibuat oleh Notaris. Seorang juru sita Pengadilan Negeri yang memanggil seorang tergugat atau seorang saksi, maka Berita Acara Pemanggilan itu termasuk akta otentik yang dibuat oleh juru sita. Akta ini sebenarnya laporan yang dibuat oleh pegawai umum tentang perbuatan resmi yang dilakukan.26
Apabila dua orang datang kepada Notaris atau PPAT menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa gedung dan meminta Notaris untuk membuatkan akta itu adalah akta yang dibuat dihadapan Notaris atau PPAT. Notaris di sini hanya mendengarkan dari para pihak yang menghadap dan menerangkan dalam suatu akta.
25 Ibid.
26 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm.
101
Pegawai yang berkuasa atau pegawai umum yang dimaksud pada Pasal 1868 KUH Perdata yaitu seorang Notaris, seorang hakim, seorang juru sita pada Pengadilan, seorang pegawai catatan sipil dan dalam perkembangannya seorang Camat karena jabatannya ditunjuk sebagai Pembuat Akta Tanah (PPAT).27
Suatu akta notaris selain merupakan sumber untuk otentisitas, akta notaris juga merupakan dasar dari legalitas eksistensi akta notaris bersangkutan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:28
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum. Apabila akta notaris hanya memuat apa yang dialami dan disaksikan oleh notaris sebagai pejabat umum, maka akta itu dinamakan akta verbal atau akta pejabat (ambtelijke akten). Salah satu contoh akta pejabat adalah akta berita acara yang dianut oleh notaris dari suatu rapat pemegang saham dari suatu perseroan terbatas. Apabila suatu akta selain memuat catatan tentang apa yang disaksikan atau dialami oleh notaris juga memuat tentang apa yang diperjanjikan atau ditentukan oleh pihak-pihak yang menghadap pada notaris, maka akta itu dinamakan “akta partij”.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang- Undang. Mengenai bentuk yang telah ditentukan oleh UUJN adalah akta tersebut terdiri dari kepala akta, badan akta, akhir akta. Bagian- bagian akta yang terdiri dari kepala akta dan akhir akta adalah bagian yang mengandung unsur autentik, artinya apa yang tercantum dalam kepala akta dan akhir akta tersebut akan menentukan apakah akta itu dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang atau tidak.
c. Pejabat Umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Salah satu syarat yang harus dipenuhi agar suatu akta memperoleh otentisitas adalah wewenang notaris yang bersangkutan untuk membuat akta tersebut.
Oleh karena itu, otensitas dari suatu akta notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) Xx Xxxxx 15 ayat (1) UUJN. Sebagai akta autentik, akta notaris
merupakan akta notariil yang dibuat dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini, sehingga akta yang di buat oleh Notaris mempunyai sifat otentik.
Mengenai jenis akta notaris berdasarkan pihak yang membuatnya dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis. Kedua jenis akta notaris yang dimaksudkan, yaitu:29
a. Akta para pihak (partij akte)
Akta para pihak (partij akte) adalah akta yang memuat keterangan (berisi) apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya pihak-pihak yang bersangkutan mengatakan menjual/membeli selanjutnya pihak notaris merumuskan kehendak para pihak tersebut dalam suatu akta; Partij akte ini mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi pihak-pihak yang bersangkutan termasuk para ahli warisnya dan orang- orang yang menerima hak dari mereka itu.Ketentuan Pasal 1870 KUH Perdata dianggap berlaku bagi partij akte ini. Mengenai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga tidak diatur, jadi partij akte adalah:30
1) Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan;
2) Berisi keterangan pihak.
b. Akta Pejabat (Ambtelijke Akte atau Relaas Akte)
Akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat yang berwenang, sehingga akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Akta ini dianggap mempunyai kekuatan
pembuktian terhadap semua orang, misalnya akta kelahiran. Jadi Ambtelijke Akte atau Relaas Akte merupakan:31
1) Inisiatif ada pada pejabat;
2) Berisi keterangan tertulis dari pejabat (ambtenaar) pembuat akta.
Dengan demikian, mengenai otensitasnya suatu akta notaris pada dasarnya karena akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Sebaliknya, menurut Xxxxx Xxxxx bahwa kewenangan yang dimiliki oleh seorang notaris membuat akta secara umum dapat dipandang sah sepanjang dalam kriteria, antara lain:32
1) Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang;
2) Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan;
3) Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan;
4) Berwenang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris;
5) Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta.
Autentik atau tidaknya suatu akta juga tidak cukup apabila akta itu dibuat oleh atau dihadapkan pegawai umum, tetapi juga cara pembuatannya harus menurut ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan. Suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang dan tanpa adanya kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat-
31 Ibid.
32 Xxxxx Xxxxx, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, 2008, hlm. 56
syarat tertentu, tidak dianggap sebagai akta autentik tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Dengan demikian, suatu akta autentik pada dasarnya mengandung 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian, yaitu:33
1) Kekuatan pembuktian formil, yang berarti membuktikan antara para pihak bahwa mereka telah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2) Kekuatan pembuktian materiil, yang berarti membuktikan antara para pihak, bahwa benar peristiwa yang tersebut dalam akta tersebut telah terjadi.
3) Kekuatan pembuktian keluar, yang berarti disamping sebagai pembuktian antara mereka juga terdapat pihak ketiga di mana pada tanggal, bulan, dan tahun yang tersebut dalam tersebut telah menghadap kepada pegawai menerangkan apa yang terdapat dalam akta tersebut.
Akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta autentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN,34 hal ini sesuai dengan pendapat Xxxxxxxx X. Xxxxxx, bahwa syarat akta autentik yaitu:35
1) di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku)
2) dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum.
Dikemukakan pula oleh Xxxxxx Xxxxxxxx, bahwa ada 3 (tiga) unsur
esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta autentik, yaitu:36
1) Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
2) Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum;
33 Subekti, Pembuktian dan Daluwarsa, (Jakarta: Intermasa, 2006), hlm. 68
34 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
35 Xxxxxxxx X. Xxxxxx, “Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”, Surabaya Post, 31 Januari 2011,hlm 3.
36 Xxxxxx Xxxxxxxx, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2012), hlm.148.
3) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan ditempat dimana akta itu dibuat.
Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut:37
1) akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan), seorang Pejabat Umum. Pasal 38 UU perubahan atas UUJN yang mengatur mengenai sifat dan bentuk akta tidak menentukan mengenai sifat akta. Dalam Pasal 1 angka 7 UU Perubahan atas UUJN menentukan bahwa akta notaris adalah akta autentik yang dibuat dihadapan Notaris menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat
(2) UU perubahan atas UUJN disebutan bahwa Notaris wajib membuat naskah akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris.
2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang- undang. Setelah lahirnya UU perubahan atas UUJN keberadaan akta notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh Undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UU perubahan atas UUJN.
3) Pejabat Umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Pasal 15 UU perubahan atas UUJN telah menentukan wewenang Notaris. Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan diluar wewenang tersebut.
3. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata, didefinisikan sebagai: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih”.38 Apabila diperhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau
37 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
38 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.39 Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).
Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Berdasarkan peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Perjanjian dalam bentuknya berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji- janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.40
Menurut Xxxxxx Xxxxxxxxx, hukum perjanjian (kontrak) mengenal 4 asas perjanjian (kontrak) yang saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Keempat asas perjanjian (kontrak) tersebut yaitu asas kebebasan berkontrak, asas mengikat sebagai undang-undang (pacta sunt servanda), asas konsensualitas, dan asas itikad baik.41 Berdasarkan asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian, keempat asas tersebut yang dianggap asas pokok dalam hukum perjanjian.
Asas perjanjian merupakan suatu yang mendukung adanya perjanjian.
Asas perjanjian dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) asas:42
39 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
40 R. Subekti, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2001), hlm. 56.
41 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012), hlm. 27.
42 Ibid.
a. Asas hukum dalam membuat perjanjian yang terdiri dari:
1) Asas kebebasan Berkontrak
2) Asas Konsensual
b. Asas dalam melaksanakan perjanjian
1) Pacta Sunt Servanda
2) Itikad baik
Asas pokok pada hukum Perjanjian tercantum dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.43
Menurut ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang asas kepribadian atau asas personalia menentukan bahwa ”Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.”44 Berdasarkan rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinyasendiri.45
Pasal 1320 KUH Perdata memberikan patokan tentang lahirnya suatu perjanjian dan perbuatan yang harus dilakukan oleh orang, agar para pihak bisa secara sah melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak itu sendiri atau pihak lain. Apabila dua pihak yang saling mengadakan janji tersebut dapat dikatakan telah mengadakan perjanjian menurut hukum, maka harus ada syaratnya:46
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
43 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
44 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
45 Xxxxxxx Xxxxxxx & Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 15.
46 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Cakap mereka yang membuat perjanjian;
c. Suatu hak tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Perikatan yang terjadi antara pihak yang satu dengan yang lain, mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi. Adapun yang dimaksud dengan prestasi ialah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Menurut Xxxxx 1234 KUH Perdata, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Wujud prestasi itu adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.47
Kewajiban memenuhi prestasi dari debitor selalu disertai dengan tanggung jawab (liability) artinya debitor mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan utangnya kepada kreditor. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor ada dua kemungkinan alasannya yaitu:48
a. Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian.
b. Karena keadaan memaksa (force majeure), jadi di luar kemampuan debitor.
Wanprestasi seorang debitor dapat berupa empat macam:49
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
47 Ibid.
48 Ibid.
49 Ibid.
4. Perjanjian Kredit
Salah satu dasar yang kuat dan jelas bagi bank mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit adalah ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain.
Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam di dalam pengertian kredit sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 11 tersebut di atas, dapat mempunyai beberapa maksud, yaitu:50
a. Pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitor yang berbentuk pinjam meminjam. Hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga (tentang perikatan) pada umumnya dan Bab Ketigabelas (tentang pinjam meminjam) KUH Pedata pada khususnya
b. Pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis, dengan tujuan agar perjanjian tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti.
Perjanjian kredit pada umumnya harus dapat memenuhi persyaratan sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menentukan 4 syarat sahnya perjanjian, yaitu:51
a. Kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian
b. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
c. Adanya objek tertentu
d. Adanya suatu sebab yang halal
50 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, 2001, Op. Cit, hlm. 180-181.
51 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Empat syarat tersebut di atas merupakan syarat essensial dari suatu perjanjian, artinya tanpa 4 syarat tersebut perjanjian dianggap tidak pernah ada. Adapun syarat yang pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang atau subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dengan bank yang lainnya tidak sama, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bank dan disesuaikan jenis kreditnya. Perjanjian kredit tersebut tidak mempunyai bentuk yang baku, hanya saja dalam praktek ada banyak hal yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian kredit, misalnya berupa definisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian, jumlah dan batas waktu pinjaman, serta pembayaran kembali (repayment) pinjaman, penetapan bunga pinjaman dan denda bila debitor lalai dalam melaksanakan kewajibannya.52
Perjanjian kredit ini perlu mendapatkan perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditor maupun oleh nasabah sebagai debitor, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaannya maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri. Adapun fungsi dari perjanjian kredit adalah sebagai berikut:53
a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan
52 Ibid.
53 Xxxxx Xxxxxxx, Aspek-aspek Hukum Perkreditan, (Jakarta: Nitro Institut Of Banking, 2002), hlm. 64-69.
b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan- batasan hak dan kewajiban diantara kreditor dan debitor
c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit
Secara yuridis formal ada 2 (dua) jenis perjanjian kredit atau pengikatan kredit yang digunakan oleh bank dalam menyalurkan kreditnya, yaitu:54
a. Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan;
b. Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris atau akta otentik.
Pengertian perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat diantara mereka (kreditor dan debitor), dimana formulirnya telah disediakan oleh pihak bank (form standart/baku). Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian kredit notariil (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau dihadapan notaris.55
Adapun komposisi dari perjanjian kredit pada umumnya terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu:56
a. Judul, dalam suatu akta perjanjian kredit, judul harus ada, hal ini dimaksudkan agar dapat segera diketahui bahwa perjanjian tersebut adalah perjanjian kredit;
b. Komposisi, dalam komposisi ini dimuat keterangan tentang orang/pihak yang mengadakan perjanjian kredit;
c. Isi perjanjian, yaitu merupakan bagian dari perjanjian kredit yang di dalamnya dimuat hal-hal yang diperjanjikan oleh para pihak;
d. Penutup, dalam bagian ini dimuat hal-hal :
1) Pilihan domisili hukum para pihak;
2) Tempat dan tanggal perjanjian ditandatangani
3) Tanggal mulai berlakunya perjanjian
54 Ibid.
55 Ibid.
56 Xxxxxxxxxx Xxxxxx, Pendekatan Teknis Filosofis Legal Audit Operasional Perbankan,
(Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2005), hlm. 158-159.
Bentuk dan isi dari perjanjian kredit yang ada pada masa sekarang ini masih berbeda-beda antara satu bank dengan bank lainnya. Pada dasarnya suatu perjanjian kredit harus memenuhi 6 (enam) syarat minimal, yaitu:57
a. Jumlah hutang
b. Besarnya bunga
c. Waktu pelunasan
d. Cara-cara pembayaran
e. Klausula opeisbaarheid
f. Barang jamiman
Apabila keenam syarat tersebut dikembangkan lebih lanjut, maka isi dari perjanjian kredit adalah sebagai berikut:58
a. Jumlah maksimum kredit (platform) yang diberikan oleh bank kepada debitornya;
b. Cara/media penarikan kredit, baik mengenai pencairan dana maupun tempat pembayaran kredit;
c. Jangka waktu dan cara pembayaran (diangsur atau sekaligus);
d. Mutasi keuangan debitor dan pembukuan oleh Bank;
e. Pembayaran bunga, administrasi, provisi dan denda;
f. Klausula opeisbaarheid, yaitu klausula yang memuat hal-hal mengenai hilangnya kewenangan bertindak atau debitor kehilangan haknya untuk mengurung harta kekayaannya, barang jaminan serta kelalaian debitor untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit, sehingga debitor harus membayar secara seketika dan sekaligus lunas;
g. Jaminan yang diserahkan oleh debitor beserta kuasa-kuasa yang menyertainya;
h. Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh debitor dan termasuk hak pengawasan/pembinaan kredit oleh bank;
i. Biaya akta dan biaya penagihan hutang yang harus dibayar oleh debitor.
Secara lebih luas, mengenai klausula-klausula pada suatu perjanjian kredit, berikut pendapat dari beberapa ahli dibidang perbankan yang menyampaikan tentang klausula-klausula yang harus ada dalam sebuah perjanjian kredit.
57 Ibid.
58 Ibid.
Perjanjian kredit yang baik seyogyanya sekurang-kurangnya berisi klausula-klausula sebagai berikut:59
a. Klausula tentang maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik;
b. Klausula tentang bunga, commitment fee dan denda kelebihan tarik;
c. Xxxxxxxx tentang kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening pinjaman nasabah debitor;
d. Klausula tentang representation and warranties, yaitu klausula yang berisi pernyataan-pernyataan nasabah debitor mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan keuangan, dan harta kekayaan nasabah debitor pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi-asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit tersebut;
e. Klausula tentang condition precedent, yaitu klausula tentang syarat- syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah debitor sebelum bank berkewajiban untuk menyediakan dana bagi kredit tersebut dan nasabah debitor berhak untuk pertama kalinya menggunakan kredit tersebut;
f. Klausula tentang agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan;
g. Klausula tentang berlakunya syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan berlakunya hubungan rekening koran bagi perjanjian kredit yang bersangkutan;
h. Klausula tentang affirmatif covenants, yaitu klausula yang berisi xxxxx-xxxxx xxxxxxx debitor untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit masih berlaku;
i. Klausula tentang negative covenants, yaitu klausula yang berisi janji nasabah debitor untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian masih berlaku;
j. Klausula financial covenants, yaitu klausula yang berisi janji-xxxxx xxxxxxx debitor untuk menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu;
k. Klausula tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan dan penyelesaian kredit;
l. Klausula tentang events of default, yaitu klausula yang menentukan suatu peristiwa yang apabila terjadi, memberikan hak kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh kredit;
m. Klausula tentang arbritrase, yaitu klausula yang mengatur mengenai penyelesaian perbedaan pendapat atau perselisihan diantara para
pihak melalui suatu badan arbritrase, baik badan arbritase xx xxxx
atau badan arbritrase institusional;
n. Klausula tentang bunga rampai atau miscellaneous provisions atau boilerplate provisions, yaitu klausula yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang belum tertampung secara khusus di dalam klausula-klausula lain. Termasuk di dalam klausula ini adalah klausula yang disebut “pasal tambahan”, yaitu klausula yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tambahan yang belum diatur di dalam pasal-pasal lain atau berisi syarat-syarat dan ketentuan- ketentuan khusus yang dimaksudkan sebagai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain yang telah tercetak di dalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian baku.
Kemudian menurut Xxxxx Xxxxxxx, ada beberapa klausula yang selalu dan perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit, yaitu:60
a. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali atau Predisbursement Clause
b. Klausula mengenai maksimum kredit (Amount Clause)
c. Klausula mengenai jangka waktu kredit
d. Klausula mengenai bunga pinjaman (Interest Clause)
e. Klausula mengenai barang agunan kredit
f. Xxxxxxxx asuransi (Insurance Clause)
g. Klausula mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (Negative Clause)
h. Trigger Clause atau Opeisbaar Clause, yaitu hak bagi bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir
i. Klausula mengenai denda (Penalty Clause)
j. Klausula mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit (Expence Clause)
k. Debet Authorization Clause, yaitu pendebetan rekening pinjaman debitor harus dengan izin debitor
l. Representation and Warranties Clause yaitu klausula tentang jaminan dari pihak debitor tentang semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputarbalikkan
m. Klausula ketaatan pada ketentuan bank
n. Pasal-pasal tambahan
o. Alternatif Dispute Resolution, yaitu klausula mengenai metode penyelesaian perselisihan yang terjadi antara bank dan debitor
p. Pasal penutup, yaitu memuat mengenai eksemplar perjanjian kredit, maksud mengadakan perjanjian kredit, tanggal mulai berlakunya perjanjian dan tanggal penandatanganan perjanjian kredit
5. Tinjauan Umum tentang Sewa Menyewa
Sewa menyewa dalam bahasa Belanda disebut huur en verhuur.Huur artinya sewa dan verhuur artinya menyewa. Sewa menyewa dalam bahasa Inggris dicakup dalam suatu istilah yaitu hire atau rent hanya dilihat dari pihak pemilik benda yang menyediakan bendanya untuk disewakan. Sewa menyewa meliputi perbuatan dua pihak secara timbal balik yaitu pihak yang memakai benda disebut penyewa.61
Pasal 1548 Buku III Bab VII KUHPerdata menyebutkan bahwa pengertian sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.62
Berdasarkan pengertian yang disebutkan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat tiga unsur pokok mengenai sewa menyewa, yaitu:63
a. Adanya barang atau benda yang disewakan
Adapun yang dimaksud dengan barang atau benda dalam arti paling luas adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki oleh orang, sedangkan dalam arti sempit yaitu sebagai barang yang dapat terlihat.
61Ibid.
62 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Selama waktu tertentu
Subekti berpendapat bahwa dicantumkannya perkataan waktu tertentu dalam Pasal 1548 KUHPerdata, menimbulkan pertanyaan tentang apa maksudnya. Menurut Subekti: perjanjian sewa menyewa tidak perlu disebutkan untuk beberapa lama barang atau benda itu disewa, asal sudah disetujui berapa sewanya satu hari, satu bulan atau satu tahun.64 Pasal 1579 menerangkan bahwa pemilik barang tidak dibenarkan untuk menghentikan perjanjian sewa menyewa secara sewaktu-waktu sebelum masanya habis dengan alasan akan digunakan sendiri benda yang disewakan tersebut.
c. Adanya harga sewa
Pengertian harga sewa yang dimaksud dalam Pasal 1548 KUHPerdata adalah dapat berwujud uang maupun barang. Apabila dalam jual beli, harus berupa uang karena kalau berupa barang maka perjanjian bukan lagi jual beli tetapi menjadi tukar-menukar. Sedangkan sewa menyewa diperbolehkan bahwa harga sewa itu berupa barang atau jasa.65
Harap memberikan pengertian sewa menyewa dengan menyatakan bahwa sewa menyewa (huur en ver huur) adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan banda yang hendak disewakan kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya (volledigent).66
Sewa menyewa pada dasarnya dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan sewa menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau
64 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hlm. 40.
65 Ibid.
penyewa. Begitu juga karena barang yang disewakan berpindah tangan. Disini berlaku asas bahwa jual beli tidak memutuskan sewa menyewa.
Dasar hukum perjanjian sewa menyewa ini adalah suatu perjanjian konsensual. Artinya ia sudah sah mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Itikad baik harus ada dalam tahap pembuatan perjanjian. Itikad baik sudah harus ada sejak fase pra kontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan tahap pelaksanaan perjanjian.67
6. Tinjauan Umum tentang Jaminan Fidusia
Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Undang-undang yang khusus mengatur hal ini, yaitu Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 juga menggunakan istilah “fidusia”. Istilah
„fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum kita,akan tetapi kadang-kadang dalam bahasa Indonesia untuk fidusia ini disebut juga istilah “Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan”.68
Pasal 2 UUJF memberikan batas ruang lingkup berlakunya Undang- Undang Jaminan Fidusia yaitu berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan Jaminan, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang dimuat dalam Pasal 3 UUJF dengan tegas menyatakan bahwa Undang-undang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku terhadap:69
67 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Op. Cit, hlm. 190.
68 Ibid.
a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar;
b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 M3 atau lebih;
c. Hipotek atas pesawat terbang;
d. Gadai.
Obyek jaminan fidusia dapat diberikan lebih dari satu fidusia, yakni dalam hal pemberian kredit secara konsorsium atau sindikasi. Benda-benda yang dapat menjadi jaminan fidusia tersebut adalah sebagai berikut:70
a. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum;
b. Dapat atas benda berwujud;
c. Dapat juga atas atas benda tidak berwujud, termasuk piutang;
d. Benda bergerak;
e. Benda tidak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggngan;
f. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik;
g. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri;
h. Dapat atas satu satuan atau jenis benda;
i. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda;
j. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi obyek fidusia;
k. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
l. Benda persediaan (inventori, stock perdagangan) dapat juga menjadi obyek jaminan fidusia.
Mengenai obyek fidusia yang berdasarkan keputusan-keputusan tersebut di atas hanya berlaku untuk benda bergerak, dalam sejarah perkembangannya pernah digunakan untuk suatu benda, yang dengan mendasarkan kepada pembagian benda menurut KUH Perdata ke dalam benda bergerak dan benda tetap tidak bisa dikatakan merupakan benda bergerak, karena benda tersebut berupa bangunan permanen, yang bersatu dengan tanah
di atas mana bangunan itu berdiri, yaitu bangunan di atas tanah hak sewa. Hal itu berarti, bahwa di sana tidak lagi dipersoalkan, apakah benda jaminan berupa benda bergerak atau tetap.71
Beberapa prinsip utama dari jaminan fidusia adalah sebagai berikut:72
a. Bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya.
b. Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wanprestasi dari pihak debitor.
c. Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia.
d. Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.
Sahnya peralihan hak dalam konstruksi hukum fidusia ini haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:73
a. Terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk
b. Adanya title untuk suatu peralihan hak
c. Adanya wewenang untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan benda
d. Cara tertentu untuk penyerahan, yakni dengan cara constitutum posessorium bagi benda bergerak yang berwujud, atau dengan cara cessie untuk hutang piutang.
Sebagaimana diketahui bahwa dasar dari fidusia adalah suatu perjanjian, yakni perjanjian fidusia. Perikatan yang menimbulkan fidusia ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:74
a. Antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia terdapat suatu hubungan perikatan, yang menerbitkan hak bagi kreditor untuk meminta penyerahan barang jaminan dari debitor (secara constitutum posessorium).
71 Xxx Xxxx Xxxxx, Xxxxxxx sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 25.
72 Xxxxx Xxxxx, Jaminan Fidusia, (Bandung: PT.Citra Xxxxxx Xxxxx, 2000), hlm. 4.
73 Ibid.
b. Perikatan tersebut adalah perikatan untuk memberikan sesuatu, karena debitor menyerahkan suatu barang (secara constitutum posessorium) kepada kreditor.
c. Perikatan dalam rangka pemberian fidusia merupakan perikatan yang assessoir, yakni merupakan perikatan yang membuntuti perikatan lainnya (perikatan pokok) berupa perikatan hutang piutang.
d. Perikatan fidusia tergolong ke dalam perikatan dengan syarat batal, karena jika hutangnya dilunasi, maka hak jaminannya secara fidusia menjadi hapus.
e. Perikatan fidusia tergolong ke dalam perikatan yang bersumber dari suatu perjanjian, yakni perjanjian fidusia.
f. Perjanjian fidusia merupakan perjanjian yang tidak disebut secara khusus dalam KUH Perdata. Karena itu perjanjian ini tergolong ke dalam perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst).
g. Namun demikian, tentu saja perjanjian fidusia tersebut tetap tunduk kepada ketentuan bagian umum dari perikatan yang terdapat dalam KUH Perdata.
Karakteristik-karakteristik tersebut ada pada suatu perjanjian seperti pemberian kredit oleh bank kepada debitor,di mana apabila debitor wanprestasi maka bank berhak meminta pelunasannya melalui KPKNL atau Pengadilan Negeri setempat. Berdasarkan hubungan perorangan dimana ada kewajiban berprestasi dari Pemberi Fidusia dan hak atas prestasi dari Penerima Fidusia, hubungan hukum akan lancar terlaksana jika masing-masing pihak memenuhi kewajibannya,akan tetapi dalam hubungan perutangan yang sudah dapat ditagih (opemisbaar) jika Pemberi Xxxxxxx tidak memenuhi prestasi secara sukarela (wanprestasi) Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya (hak verhaal, hak eksekusi) terhadap harta kekayaan Pemberi Xxxxxxx yang dipakai sebagai jaminan.75
Penerima fidusia memperjanjikan kuasa atau kewenangan mutlak dalam arti tidak bisa ditarik kembali dan tidak akan berakhir atas dasar sebab-
sebab sebagai yang yang disebutkan dalam Pasal 1813 KUH Perdata, untuk dalam hal pemberi fidusia wanprestasi:76
a. Mengambil sendiri benda fidusia dari tangan pemberi fidusia, jika pemberi fidusia atas tuntutan dari penerima fidusia tidak secara sukarela menyerahkan benda kepada penerima fidusia.
b. Menjual benda fidusia tersebut sebagai haknya sendiri, baik secara di bawah tangan maupun di depan umum, dengan harga dan syarat- syarat yang dianggap baik oleh bank.
c. Dalam hal ada penjualan, menandatangani akta penjualannya, menerima hasil penjualan tersebut, menyerahkan benda fidusia kepada pembelinya dan memberikan tanda penerimanya.
Penyerahan hak milik secara kepercayaan, penerima fidusia tidak benar-benar menjadi pemilik atas obyek jaminan, dan pada umumnya para ahli juga berpendapat, bahwa perjanjian pemberian jaminan fidusia memang tidak dimaksudkan untuk menjadi kreditor sebagai pemilik yang sebenarnya, tetapi hanya dimaksudkan sebagai jaminan saja.
F. Metode Penelitian
1. Objek dan Subjek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah implementasi Pasal 23 ayat (2) UUJF dalam praktik sewa menyewa mobil. Adapun sebagai subyek penelitian ini adalah Pimpinan Bank BRI dan beberapa pemilik rental mobil.
2. Data Penelitian
Penelitian mengenai implementasi Pasal 23 ayat (2) UUJF dalam praktik sewa menyewa mobil ini merupakan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis yaitu menganalisis hukum yang pada kenyataan dibuat dan
diterapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat.77 Penelitian empiris menitikberatkan pada penelitian lapangan guna mendapatkan data primer sebagai data utamanya. Selain melakukan penelitian lapangan juga dilakukan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder sebagai data pendukung.
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan.
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu:
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
d) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
e) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah;
f) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
g) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
h) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk serta penjelasan terhadap data hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur, makalah, artikel, hasil penelitian, dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
77 Xxxxx Xxxxx ND dan Xxxxxxxx Xxxxxx, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 44.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap data hukum primer dan data hukum sekunder yang terdiri dari:
a) Kamus Umum Bahasa Indonesia
b) Kamus Hukum
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara, yaitu melakukan Tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden atau narasumber atau informan untuk mendapatkan informasi.78
b. Daftar pertanyaan, yaitu menyampaikan daftar pertanyaan tertulis secara terbuka kepada narasumber penelitian tentang permasalahan dalam penelitian ini.
4. Pendekatan Penelitian
Terdapat beberapa pendekatan dalam penelitian hukum. Pendekatan tersebut dapat memberikan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).79
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Peneliti dalam pendekatan
78 Ibid, hlm. 161.
79 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2011), hlm.
perundang-undangan (statute approach) perlu memahami hierarki dan asas- asas dalam peraturan perundnag-undangan.80
5. Analisis Penelitian
Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, berupa data sekunder dan data primer, selanjutnya di analisis dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif guna menjawab permasalahan.
Disebabkan karena penelitian hukum ini bersifat yuridis empiris maka digunakan analisis dengan ukuran kualitatif yang terpusat pada substansi dengan proses penalaran dalam menarik kesimpulan digunakan metode berpikir deduktif, berpangkal pada pengajuan premis mayor berupa aturan hukum kemudian pengajuan premis minor yaitu fakta hukum, dari kedua hal tersebut kemudian ditarik konklusi81
80 Ibid, hlm. 96.
81 Xxxxxxxx X. Xxxxxx, Makalah Pelatihan Argumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Dasar Argumentasi Hukum dan Legal Opinion (Legal Memo), 18 Juni
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian
Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang menyebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.82
Definisi tersebut oleh para Sarjana Hukum dianggap memiliki kelemahan karena disatu pihak kurang lengkap dan dipihak lainnya terlalu luas. Dianggap kurang lengkap karena hanya merumuskan perjanjian sepihak saja, padahal dalam kehidupan sehari-hari, di samping perjanjian sepihak juga dapat dijumpai suatu perjanjian yang para pihaknya mempunyai hak dan kewajiban. Perjanjian inilah yang disebut dengan perjanjian timbal-balik. Perjanjian timbal-balik ini juga merupakan perjanjian yang seharusnya tercakup dalam batasan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut.83
Sebaliknya dikatakan terlalu luas, karena perjanjian menurut pasal tersebut diartikan sebagai suatu perbuatan. Apabila setiap perjanjian dikatakan sebagai suatu perbuatan, maka segala perbuatan baik yang bersifat hukum atau
82 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
83 Xxxxxxxx Xxxxxx, Dasar-dasarHukum Perikatan Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm.45.
41
tidak, dapat dimasukkan dalam suatu perjanjian, misalnya perbuatan melawan hukum, perwakilan sukarela dan hal-hal mengenai xxxxx xxxxx.00
Atas dasar alasan-alasan itulah maka para Sarjana Hukum merasa perlu untuk merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian. Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.85 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx memberikan definisi perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.86
Menurut Xxxxx 1233 KUH Perdata, perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut, maka kreditor berhak untuk menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan,
84 Ibid, hlm. 46.
85 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1998), hlm. 1.
86 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm. 97.
dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bunga, kerugian dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor.
Pada umumnya, perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat tertulis, maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian undang-undang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk itu tidak dituruti, perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya (bestaanwaarde) perjanjian. Misalnya, perjanjian mendirikan perseroan terbatas harus dengan akta notaris (Pasal 38 KUHD).87
Selanjutnya kata “perjanjian” secara umum dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Dalam arti sempit “perjanjian” di sini hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III BW.
Hukum perjanjian dibicarakan sebagai bagian dari pada hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan adalah bagian dari pada hukum kekayaan, maka hubungan yang timbul antara para pihak di dalam perjanjian adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan. Karena perjanjian
87 Ibid.
menimbulkan hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan.88
Itulah sebabnya dikatakan, bahwa perjanjian adalah salah satu sumber utama perikatan. Dan karenanya ada yang mengatakan, bahwa perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1313 BW adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan atau perjanjian obligatoir. Sebagai dikatakan di depan, perikatan di sini merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih dalam lapangan hukum kekayaan, di mana pada satu pihak ada hak dan pada pihak yang lain ada kewajiban. Hal itu berarti, bahwa perjanjian sebagai yang dimaksud oleh Pasal 1313 (baru) menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban (saja). Ini membedakannya dari perjanjian-perjanjian yang lain (yang riil).89
Sudah tentu agar terhadap perjanjian tersebut dapat diterapkan ketentuan-ketentuan buku III KUH Perdata maka perjanjian tersebut harus merupakan perjanjian yang bersifat (hukum) perdata. Perjanjian-perjanjian yang bersifat publik mempunyai pengaturannya tersendiri di luar KUH Perdata. Orang biasanya membedakan Hukum Publik dan Hukum Privat berdasarkan kepentingan yang diatur – kepentingan umum dan kepentingan individu – namun ada juga yang mencari ciri pembedaannya pada subjek-subjek yang menutup perjanjian tersebut. Apabila subjek hubungan hukum tersebut adalah negara dan rakyat/individu, maka kita katakan, bahwa di sana ada hubungan hukum publik dan karenanya diterapkan hubungan publik.90
88 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2002), hlm. 28.
89 Ibid.
90 Ibid, hlm. 29.
Selanjutnya jika dibaca dan disimak dengan baik rumusan yang diberikan dalam Pasal 1314 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dikembangkan lebih jauh, dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitor dalam perjanjian tersebut, debitor yang berkewajiban tersebut dapat meminta dilakukannya kontra-prestasi dari lawan pihaknya tersebut (dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang diterjemahkan oleh. R. Subekti dan R. Xxxxxxxxxxxxx disebut dengan istilah dengan atau tanpa beban). Kedua rumusan tersebut memberikan banyak arti bagi ilmu hukum. Dengan adanya kedua rumusan yang saling melengkapi tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi). Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan, dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Debitor pada satu sisi menjadi kreditor pada sisi yang lain pada saat yang bersamaan. Ini adalah karakteristik khusus dari perikatan yang lahir dari perxxxxxxx. Pada perikatan yang lahir dari undang-undang, hanya ada satu pihak yang menjadi debitor dan pihak lain yang menjadi kreditor yang berhak atas pelaksanaan prestasi tersebut.91
91 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 93.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Pada uraian sebelumnya telah dikatakan bahwa syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi:92
“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat:
a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c. suatu pokok persoalan tertentu;
d. suatu sebab yang tidak terlarang”
Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:93
a. dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif), dan
b. dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif).
Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan objek yang diperjanjikan, dan causa dari objek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif), maupun batal
92 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.94
Pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Selalu dipertanyakan saat-saat terjadinya perjanjian antar pihak. Mengenai hal ini ada beberapa ajaran yaitu:95
a. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan melukiskan surat.
b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran
c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima
d. Teori kepercayaan (vertrowenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian ini, dibedakan bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wanzenlijke oordeel), sub bagian inti disebut esensialia dan bagian yang bukan inti disebut naturalia dan aksidentialia:96
a. Esensialia
Bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel)
94 J. Satrio, Op. Cit, hlm. 163.
95 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 24.
b. Naturalia
Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dari benda yang dijual (vrijwaring)
c. Aksidentialia
Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak.
Berikut uraian dari masing-masing syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata:97
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Yang dimaksud dengan kata sepakat di sini adalah persesuaian kehendak antara para pihak mengenai hal-hal yang menjadi pokok perjanjian, apa yang dikehendaki pihak yang satu disetujui oleh pihak yang lain.98
Mengenai kata sepakat ini di dalam KUH Perdata tidak ada pengaturannya lebih lanjut, KUH Perdata dalam Pasal 1321 hanya mengenai tidak adanya kata sepakat yang diberikan karena kekhilafan atau adanya paksaan atau penipuan. Jadi menurut Pasal 1321 KUH Perdata tersebut jika dalam suatu perjanjian terdapat unsur-unsur paksaan, kekhilafan atau penipuan, berarti perjanjian tersebut tidak mempunyai unsur kata sepakat. Karena kata sepakat merupakan salah satu syarat untuk sahnya perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dengan tidak ada kata sepakat mengakibatkan tidak sahnya perjanjian itu.99
Mengenai kata sepakat ada beberapa teori yang dapat dipakai sebagai pedoman, yaitu:
97 Xxxxxxxx Xxxxxx, Op. Cit, hlm. 55.
98 Ibid.
1) Teori kehendak
Teori ini menganggap bahwa pihak-pihak hanya terikat kepada hal- hal yang benar-benar dikehendakinya.
2) Teori pernyataan atau kepercayaan
Di sini para pihak terikat kepada hal-hal yang telah dinyatakan, dengan pengertian bahwa hal ini dari pihak lain terdapat anggapan dan kepercayaan bahwa pernyataan itu cocok dengan kehendak sejati dari pihak yang menyatakan.100
b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Di dalam Pasal 1329 KUH Perdata disebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh Undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.
Adanya kecakapan ini diperlukan mengingat bahwa orang yang membuat suatu perjanjian itu nantinya akan terikat, oleh karena itu ia harus mampu untuk menginsafi benar-benar akan tanggung jawab atas perbuatannya itu dan ia harus sungguh-sungguh bebas atas harta kekayaannya”.101
KUH Perdata tidak mengatur lebih lanjut mengenai siapa yang cakap bertindak. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata hanya menyebutkan siapa yang tidak cakap untuk membuat perikatan adalah:102
1) orang-orang yang belum dewasa
2) mereka yang ditaruh di bawah pengampunan
3) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua membuat persetujuan- persetujuan tersebut.
Mengenai orang-orang yang belum dewasa telah ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata yang menentukan bahwa belum dewasa adalah
100 Ibid, hlm. 56-57.
101 Subekti, Op.Cit., hlm. 18.
mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.103
Dari sudut keadilan bahwa orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, seyogyanya mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan itu. Sedangkan dari sudut ketertiban umum, karena yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.104
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampunan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa yang harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampunan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.105 Pasal 108 ayat (2) KUH Perdata berbunyi:106
“Seorang istri, xxxx telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat suatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak menerima sesuatu pembayaran, atau memberi sesuatu perluasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya”.
103 Xxxxxxxx Xxxxxx, Op. Cit, hlm. 62.
104 Ibid,
105 Subekti, Op.Cit., hlm. 19.
106 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dari ketentuan Pasal 108 ayat (2) KUH Perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya.107
Untuk perjanjian soal-soal yang kecil yang dapat dimasukkan ke dalam keperluan rumah tangga, si istri itu telah dikuasakan oleh suaminya, dengan demikian si istri dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang tidak cakap untuk berbuat sesuatu perjanjian. Perbedaannya dengan seorang anak adalah bila seorang anak yang belum dewasa ia harus diwakili oleh orang tua atau wakilnya, sedangkan seorang istri harus dibantu oleh sang suaminya. Apabila seseorang dalam membuat suatu perjanjian sendiri, akan tetapi yang tampil ke depan adalah wakilnya. Tetapi seseorang dibantu, berarti ia bertindak sendiri, hanyalah ia didampingi oleh orang lain yang membantunya, bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau surat izin tertulis.
Dalam KUH Perdata, ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami ada hubungannya dengan sistem yang dibantu dalam hukum perdata barat, yang menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga itu kepada sang suami. Kekuasaan sang suami dalam memimpin rumah tangga disebut “Matritalemacht”.108
Berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, bahwa MA menganggap Pasal-Pasal 108 dan 110 KUH Perdata tentang
107 Ibid, hlm. 19.
108 Ibid,
wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Dan dalam praktek para notaris sekarang sudah mulai mengizinkan seorang istri yang tunduk kepadanya tanpa bantuan suaminya.109
Ditinjau dari ketentuan hukum berlakunya Pasal-Pasal 108 dan 110 KUH Perdata lebih tinggi kedudukannya dari pada SEMA MA Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, sebab Pasal-Pasal tersebut merupakan Pasal Undang-undang dan mempunyai kekuatan mengikat pada setiap orang, sedangkan SEMA tersebut hanya berlaku dan mengikat kepada aparat pengadilan dan aparat lainnya yang di bawah kekuasaannya, misalnya notaris. Dengan demikian kedudukan Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata masih tetap berlaku, akan tetapi isi SEMA tersebut mengenai kecakapan seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum lebih sesuai dengan kemajuan zaman di Indonesia dewasa ini.110
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka hak dan kedudukan istri diakui kewenangannya untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya.
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:111
“Hak kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.
109 Ibid, hlm. 18-19.
110 Ibid,
111 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 31 ayat (2) berbunyi:112
“Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”
Dengan demikian dengan adanya ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas maka ketentuan Pasal 108 dan 110 KUH Perdata menjadi tidak bertahan lagi.
Kesimpulan dari ketentuan tersebut adalah bahwa yang cakap membuat suatu perjanjian adalah mereka yang berada di luar Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu:113
1) orang-orang yang sudah dewasa;
2) mereka yang tidak ditaruh di bawah pengampunan
3) mereka yang oleh Undang-undang tidak dilarang untuk membuat persetujuan-persetujuan tersebut.
c. Adanya objek tertentu
Yang dimaksuddenganobjek yang tertentudisiniadalahprestasi yang harusdipenuhidalamsuatu perjanjian dan prestasi itu adalah merupakan pokok perjanjian.Apa yang menjadi hak dan kewajiban dari para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus jelas dan tegas.114
KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut:115
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
112 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
113 Xxxxxxxx Xxxxxx, Op. Cit, hlm. 63.
114 Ibid.
115 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya” tampaknya KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.116
Pada perikatan untuk memberikan sesuatu, kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuatu yang telah ditentukan secarta pasti. Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual dan dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendannya. Jika sebuah sepeda motor, maka harus ditentukan merek sepeda motor tersebut, kapasitasnya, serta spesifikasi lain yang melekat pada kebendaan sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan menerbitkan keraguan mengenai sepeda motor lainnya yang serupa tetapi bukan yang dimaksudkan.117
Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUH Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan
116 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Op. Cit, hlm. 155.
117 Ibid.
tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Dalam perjanjian penanggungan utang misalnya, seorang penanggung yang menanggung utang seorang debitor, harus mencantumkan secara jelas utang mana yang ditanggung olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat dan baru diwajibkan untuk memenui perikatannya kepada kreditor, atas kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitor.118 Menurut Pasal 1333 KUH Perdata:119
“Suatu pokok persetujuan harus mempunyai sebagai suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Di samping itu menurut Pasal 1334 KUH Perdata benda atau barang- barang yang baru akan ada dikemudian hari juga dapat dijadikan objek perjanjian, tetapi mengenai ketentuan-ketentuan tersebut ada pengecualiannya, yaitu suatu barang yang akan ada dikemudian hari dalam bentuk warisan itu belum jatuh meluang.120
Selain itu barang yang baru akan ada dikemudian hari tidak boleh dijadikan objek hibah. Apabila hal ini terjadi maka berakibat perjanjian tersebut batal.
Pengecualian-pengecualian tersebut terdapat dalam Pasal 1334 ayat
(2) dan Pasal 1667 KUH Perdata.
118 Ibid, hlm. 156.
119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
120 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
d. Adanya sebab yang halal
Yang dimaksud dengan sebab atau causa di sini, menurut Xxxxxx Xxxxxx, ialah apa yang menjadi isi nurani dari pihak-pihak dalam persetujuan tersebut, maksudnya motif dari persetujuan atas dasar mana pihak yang bersangkutan menghendaki persetujuan itu.121
Kalau kita lihat pengertian yang diberikan oleh Xxxxxx Xxxxxx, sebab causa dari perjanjian itu dititikberatkan pada motif atau sebab alasan sudah jelas barulah persetujuan tersebut dapat dilaksanakan.122
Menurut Subekti, mengartikan sebab atau causa itu adalah maksud dan tujuan dari perjanjian itu, jadi yang dititikberatkan adalah perbuatan dari para pihak tersebut, bukan motif yang mendorong para pihak membuat persetujuan itu. Pengertian sebab atau causa yang diartikan oleh Subekti, lebih sesuai dengan pengertian sebab atau causa yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata terutama syarat keempat untuk suatu perjanjian yaitu sebab yang halal, dinyatakan di dalam Undang-undang tidak perduli apa yang mendorong orang itu membuat perjanjian, tetapi yang diperhatikan hanyalah tindakan dari orang-orang tersebut. Yang dimaksud dengan sebab atau causa yang halal adalah isi dari perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan hukum atau undang-undang.
Dari keempat syarat sahnya perjanjian itu ada dua diantaranya syarat-syarat subjektif dan dua syarat objektif. Mengenai syarat subjektif adalah syarat yang berkenaan dengan para pihak yang mengadakan
perjanjian, yaitu mengenai kecakapan bertindak dan kata sepakat. Apabila dalam perjanjian itu para pihak tidak ada kata sepakat atau kecakapan bertindak maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan. Salah satu pihak yang mengadakan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif tersebut dapat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan atau diputuskan.123
Selanjutnya yang dimaksud dengan syarat objektif adalah syarat yang berkenaan dengan objek dari pada perjanjian itu, yaitu mengenai objek tertentu dan sebab yang halal. Perjanjian yang tidak mempunyai syarat objektif berakibat perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak perlu dimintakan pembatalan atau pemutusan. Seketika diketahui bahwa syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut otomatis batal demi hukum.124
3. Para Pihak dalam Perjanjian
Menurut Xxxxx 1315 KUH Perdata, pada umunya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. Asas tersebut dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian. Mengikatkan diri ditujukan pada memikul kewajiban-kewajiban atau menyanggupi melakukan sesuatu, sedangkan minta ditetapkannya suatu janji, ditujukan pada memperoleh hak-hak atas sesuatu atau dapat menuntut sesuatu. Memang sudah semestinya, perikatan hukum
yang dilahirkan oleh suatu perxxxxxxx, hanya mengikat orang-orang yang mengadakan perjanjian itu sendiri dan tidak mengikat orang-orang lain. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Orang-orang lain adalah pihak ketiga yang tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian tersebut.125
Suatu perikatan hukum yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut: Sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak untuk menuntut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Perkataan mengikatkan diri (bahasa Belanda “zich verbinden”) ditujukan pada sudut kewajiban-kewajiban (hal-hal yang tidak enak), sedangkan perkataan minta ditetapkan suatu janji (bahasa Belanda bedingen) ditujukan pada sudut hak-hak yang diperoleh dari perjanjian itu (hal- hal yang “enak”). Sudut kewajiban juga dapat dinamakan sudut pasif, sedangkan sudut penuntutan dinamakan sudut aktif.126
Lazimnya suatu perjanjian adalah timbal balik atau bilateral. Artinya: Suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikannya dari hak-hak yang diperolehnya, dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap sebagai kebalikannya kewajiban- kewajiban yang dibebankan kepadanya itu. Apabila tidak demikian halnya, yaitu apabila pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu tidak dibebani
dengan kewajiban-kewajiban sebagai kebalikannya dari hak-hak itu, atau apabila pihak yang menerima kewajiban-kewajiban tidak memperoleh hak-hak sebagai kebalikannya, maka perjanjian yang demikian itu, adalah unilateral atau sepihak.127
4. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya
Apabila si berutang (debitor) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Ia alpa atau “lalai” atau xxxxxx xxxxx. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.128
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitor dapat berupa empat macam:129
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang (si berutang atau debitor sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitor yang lalai ada empat macam, yaitu:130
Pertama : membayar kerugian yang diderita oleh kreditor ataudengansingkat dinamakan ganti-rugi;
127 Ibid,
128 Subekti, Op. Cit., hlm. 45.
Kedua :pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahanperjanjian;
Ketiga : peralihan risiko;
Keempat : membayar biaya perkara, kalau sampai diperkirakan di depan hakim.
Wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan.
Sebagai akibat terjadinya wanprestasi maka debitor harus:131
a. Mengganti kerugian
b. Benda yang dijadikan objek dari perikatan sejak saat itu dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitor.
c. Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditor dapat minta pembatalan (pemutusan) perjanjian.
Di samping debitor harus bertanggung gugat tentang hal-hal tersebut di atas maka apa yang dapat dilakukan oleh kreditor menghadapi debitor yang wanprestasi itu. Kreditor dapat menuntut salah satu dari 5 kemungkinan sebagai berikut:132
a. Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian.
b. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
c. Dapat menuntut pengganti kerugian.
d. Dapat menuntut pembatalan dan pengganti kerugian.
e. Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.
Wanprestasi memang dapat terjadi dengan sendirinya tetapi kadang- kadang tidak. Banyak perikatan yang tidak dengan ketentuan waktu
pemenuhan prestasinya memang dapat segera ditagih. Tetapi pembeli juga tidak dapat menuntut pengganti kerugian apabila penjual tidak segera mengirim barangnya ke rumah pembeli. Ini diperlukan tenggang waktu yang layak dan ini diperbolehkan dalam praktik. Tenggang waktu dapat beberapa jam, dapat pula satu hari bahkan lebih.133
Maka dari itu dalam perjanjian-perjanjian yang tidak ditentukan waktunya wanprestasi tidak terjadi demi hukum, karena tidak ada kepastian kapan salah satu pihak betul-betul wanprestasi. Kalau perikatan itu dengan ketentuan waktu, kadang-kadang ketentuan waktu mempunyai arti yang lain yaitu: bahwa debitor tidak boleh berprestasi sebelum waktu itu tiba.
Jalan keluar untuk mendapatkan kapan debitor itu wanprestasi undang- undang memberikan upaya hukum dengan suatu pernyataan lalai (ingebrekestelling, sommasi). Fungsi pernyataan lalai ialah merupakan upaya hukum untuk menentukan kapan saat terjadinya wanprestasi.134
Pernyataan lalai adalah pesan (pemberitahuan) dari kreditor kepada debitor yang menerangkan kapan selambat-lambatnya debitor diharapkan memenuhi prestasinya. Biasanya diberikan waktu yang banyak bagi debitor terhitung saat pernyataan lalai itu diterima oleh debitor. Pernyataan lalai ada yang diperlukan dan ada yang tidak diperlukan mengingat adanya bentuk wanprestasi.135
a. Apabila debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali maka pernyataan lalai tidak diperlukan, kreditor langsung minta ganti kerugian.
133 Ibid,
b. Dalam hal debitor terlambat memenuhi prestasi maka pernyataan lalai diperlukan, karena debitor dianggap masih dapat berprestasi.
c. Kalau debitor keliru dalam memenuhi prestasi, Hoge Raad berpendapat pernyataan lalai perlu, tetapi Xxxxxxx berpendapat lain apabila karena kekeliruan debitor kemudian terjadi pemutusan perjanjian yang positif (positive contracbreuk), pernyataan lalai tidak perlu.
Pemutusan perjanjian yang positif adalah dengan prestasi debitor yang keliru itu menyebabkan kerugian kepada milik lainnya dari kreditor misalnya: dipesan jeruk Bali dikirim jeruk jenis lain yang sudah busuk hingga menyebabkan jeruk-jeruk lainnya dari kreditor menjadi busuk.136
Lain halnya pemutusan perjanjian yang negatif, kekeliruan prestasi tidak menimbulkan kerugian pada milik lain dari kreditor maka pernyataan lalai diperlukan. Bentuk-bentuk pernyataan lalai telah ditentukan dalam Pasal 1238 harus disampaikan dengan perintahya itu dengan exploit dari jurusita, yang penting adalah pemberitahuan dari jurusita yang dilakukan secara lisan bukan suratnya.137
5. Hapusnya Perjanjian
Hapusnya persetujuan harus benar-benar dibedakan dari dapat hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada, misalnya pada persetujuan jual beli dengan dibayarnya harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum, karena perikatan, mengenai penyerahan barang belum terlaksana.138
136 Ibid.
137 Ibid.
Hanya jika semua perikatan-perikatan dari pada persetujuan dapat pula mengakibatkan hapusnya persetujuan sebagai akibat daripada hapusnya perikatan-perikatannya. Sebaliknya hapusnya persetujuan dapat pula mengakibatkan hapusnya perikatan-perikatannya, yaitu apabila suatu persetujuan hapus dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat dari pada pembatalan atau pemutusan berdasarkan wanprestasi (Pasal 1266), maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus: perikatan-perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi, harus pula ditiadakan. Akan tetapi dapat juga terjadi, bahwa persetujuan berakhir atau hapus untuk waktu selanjutnya, jadi kewajiban-kewajiban yang telah ada akan tetap ada. Dengan pernyataan mengakhiri persetujuan, persetujuan sewa menyewa dapat diakhiri, akan tetapi perikatan untuk membayar yang sewa, atas sewa yang telah dinikmati tidak menjadi hapus karenanya.139
Menurut X. Setiawan, Persetujuan dapat hapus karena:140
a. Ditentukan di dalam persetujuan oleh para pihak, misalnya persetujuan akan berlaku untuk waktu tertentu.
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan. Misal menurut Pasal 1066 ayat (3) bahwa para ahli waris dapat mengadakan persetujuan untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu persetujuan tersebut oleh Pasal 1068 ayat (4) dibatasi berlakunya hanya untuk waktu lima tahun.
c. Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan akan hapus. Misalnya: jika salah satu pihak meninggal dunia maka persetujuan menjadi hapus.
1) Persetujuan perseroan Pasal 1646 ayat (4).
2) Persetujuan pemberian kuasa Pasal 1813.
3) Persetujuan kerja Pasal 1803.
139 Ibid,
140 Ibid.
d. Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging)
Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada persetujuan-persetujuan yang bersifat sementara, misalnya:
1) Persetujuan kerja
2) Persetujuan sewa menyewa
e. Persetujuan hapus karena putusan hakim
f. Tujuan persetujuan telah tercapai
g. Dengan persetujuan para pihak (herroeping)
B. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kredit
1. Pengertian Perjanjian Kredit
Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit dikuasai oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata Bab XIII Buku III karena perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam uang menurut Pasal 1754 KUH Perdata yang berbunyi: pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang- barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Namun sarjana hukum yang lain berpendapat bahwa perjanjian kredit tidak dikuasai KUH Perdata tetapi perjanjian kredit memiliki identitas dan karakteristik sendiri. Menurut hemat penulis perjanjian kredit sebagian dikuasai atau mirip perjanjian pinjam uang seperti diatur dalam KUH Perdata, sebagian lainnya tunduk pada peraturan lain yaitu undang-undang perbankan. Jadi perjanjian kredit dapat dikatakan memiliki identitas sendiri tetapi dengan memahami rumusan pengertian kredit yang diberikan oleh undang-undang
perbankan, maka dapat disimpulkan dasar perjanjian kredit sebagian masih bisa mengacu pada ketentuan KUH Perdata Bab XIII.141
Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam hukum perdata, seperti ditegaskan sebagai berikut:142
Semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Perbankan, tidak mengenal istilah perjanjian kredit. Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10 tanggal 3 Oktober 1966 Jo. Surat Edaran Bank Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb tanggal 8 Oktober 1966 yang menginstruksikan kepada masyarakat perbankan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun, bank-bank wajib mempergunakan akad perjanjian kredit.143
Dalam membuat perjanjian kredit terdapat berbagai judul dalam praktek perbankan tidak sama, ada yang menggunakan judul perjanjian kredit, akad kredit, persetujuan pinjam uang, persetujuan membuka kredit dan lain sebagainya. Dalam bentuk akta otentik menggunakan nama Pengakuan Hutang
141 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm.
97.
142 Ibid
143 Ibid
yang akan diuraikan tersendiri. Meskipun judul dari perjanjian pinjam meminjam uang itu berbeda-beda tetapi secara yuridis isi perjanjian pada hakekatnya sama yaitu memberikan pinjaman berbentuk uang.144
Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit, tanpa perjanjian kredit yang ditandatangani bank dan debitor maka tidak ada pemberian kredit itu. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara bank dengan debitor yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua pihak sehubungan dengan pemberian atau pinjaman kredit (pinjam uang) Perjanjian kredit biasanya diikuti dengan perjanjian jaminan maka perjanjian kredit adalah pokok atau prinsip sedangkan perjanjian jaminan adalah perjanjian ikutan atau assesoir artinya ada dan berakhir perjanjian jaminan tergantung dari perjanjian pokok (perjanjian kredit). Sebagai contoh jika perjanjian kredit berakhir karena ada pelunasan hutang maka secara otomatis perjanjian jaminan akan menjadi hapus atau berakhir.145Tetapi sebaliknya jika perjanjian jaminan hapus atau berakhir, misalnya barang yang menjadi jaminan musnah maka perjanjian kredit tidak berakhir. Jadi perjanjian kredit harus mendahului perjanjian jaminan, tidak mungkin ada jaminan tanpa ada perjanjian kredit. Perjanjian kredit berlaku sejak ditandatangani kedua pihak, kreditor dan debitor. Sejak ditandatangani perjanjian kredit bank sebagai kreditor sudah mencatat adanya kewajiban menyerahkan uang oleh bank disebut mencairkan uang secara bertahap sesuai perjanjian. Adanya kewajiban menyerahkan uang tersebut dalam pembukuan
144 Ibid,
145 Ibid,
bank dicatat dalam posisi of balanced yang dalam akuntansi disebut komitmen. Komitmen artinya bank setiap saat (any time) siap untuk menyerahkan uang kepada debitornya sesuai permintaan debitor sepanjang memenuhi syarat yang diatur dalam perjanjian kredit. Jika bank secara riil telah menyerahkan uang maka bank akan mencatat dalam pembukuannya pada sisi on balanced artinya perjanjian kredit benar-benar terjadi dan berlaku. Jadi meskipun perjanjian kredit telah ditandatangani bank dan debitornya, tetapi jika debitornya belum menarik uangnya maka perjanjian kredit dianggap belum terjadi/belum ada.146
Salah satu dasar yang kuat dan jelas bagi bank mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit adalah ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain.147
Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam di dalam pengertian kredit sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 11 tersebut di atas, dapat mempunyai beberapa maksud, yaitu:148
a. Pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitor yang berbentuk pinjam meminjam. Jadi dengan demikian hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga (tentang perikatan) pada umumnya dan Bab Ketigabelas (tentang pinjam meminjam) KUH Perdata pada khususnya
146 Ibid, hlm. 98.
147 Ibid,
148 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia (IBI), 1999), hlm. 180-181.
b. Pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis, dengan tujuan agar perjanjian tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti.
Dalam pelaksanaannya, perjanjian kredit pada umumnya harus dapat memenuhi persyaratan sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menentukan 4 syarat sahnya perjanjian, yaitu:149
a. Kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian
b. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
c. Adanya objek tertentu
d. Adanya suatu sebab yang halal
Empat syarat tersebut di atas merupakan syarat essensial dari suatu perjanjian, artinya tanpa 4 syarat tersebut perjanjian dianggap tidak pernah ada. Adapun syarat yang pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang atau subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan.150
Dalam praktek, bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dengan bank yang lainnya tidak sama, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bank dan disesuaikan jenis kreditnya. Berdasarkan hal tersebut, maka perjanjian kredit tidak mempunyai bentuk yang baku, hanya saja dalam praktek ada banyak hal yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian kredit, misalnya berupa definisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian,
149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
150 Ibid,
jumlah dan batas waktu pinjaman, serta pembayaran kembali (repayment) pinjaman, penetapan bunga pinjaman dan denda bila debitor lalai dalam melaksanakan kewajibannya.151
Perjanjian kredit ini perlu mendapatkan perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditor maupun oleh nasabah sebagai debitor, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaannya maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri. Adapun fungsi dari perjanjian kredit adalah sebagai berikut:152
a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan
b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan- batasan hak dan kewajiban diantara kreditor dan debitor
c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
Secara yuridis formal ada 2 (dua) jenis perjanjian kredit atau pengikatan kredit yang digunakan oleh bank dalam menyalurkan kreditnya, yaitu:153
a. Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan;
b. Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris atau akta otentik.
Pengertian perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat diantara mereka (kreditor dan debitor), dimana formulirnya telah disediakan oleh pihak bank (form standart/baku). Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian kredit
151 Ibid,
152 Xxxxx Xxxxxxx, Aspek-aspek Hukum Perkreditan, (Jakarta: Nitro Institut Of Banking, 1992), hlm 64-69.
153 Sutarno, Op. Cit, hlm. 100.
notariil (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau dihadapan notaris.154
2. Bentuk Perjanjian Kredit
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata seperti telah diuraikan di depan. Namun dari sudut pembuktian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah di kemudian hari. Berdasarkan hal tersebut, maka setiap transaksi apapun harus dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Kita menyimpan tabungan atau deposito di bank, maka akan memperoleh buku tabungan atau bilyet deposito sebagai alat bukti. Untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian kredit sebagai alat bukti.155
Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal
1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata: penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun
dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun menurut pendapat penulis dalam organisasi bisnis modern dan mapan, maka untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.156
Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan: “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan debitor atau antara bank sentral dan bank-bank lainnya”. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa Nomor 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut harus dibuat surat perjanjia kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh bank kepada debitornya menjadi pasti bahwa:157
a. Perjanjian diberi nama perjanjian kredit
b. Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis.
Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara Bank dengan debitor sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang
dibuat sebagai alat bukti. Dikatakan salah satu bentuk akta karena masih banyak perjanjian-perjanjian lain yang merupakan akta misalnya perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa dan lain-lain. Dalam praktek bank ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit, yaitu:158
a. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada debitor untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standar (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh bank tersebut termasuk jenis akta di bawah tangan. Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon debitor untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam formulir perjanjian kredit pernah diperbincangkan atau dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon debitor. Calon debitor mau atau tidak mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon debitor melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka kreditor tidak akan menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan oleh lembaga bank itu sehingga bagi petugas bank pun tidak bisa menanggapi usulan calon debitor. Xxxxx debitor menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon debitor dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit (posisi lemah) sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon debitor dapat menyetujui.
Perjanjian kredit yang sudah disiapkan bank dalam bentuk standar (standaardform), contohnya perjanjian kredit retail BRI, perjanjian kredit pemilikan rumah Bank Tabungan Negara (KPR-BTN) dan lain sebagainya.
b. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris yang dinamakan akta otentik atau akta noratiil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta
notariil. Memang notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.
Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik, biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditor atau lebih dari satu bank).
Terdapat beberapa perbedaan kekuatan pembuktian mengenai perjanjian kredit yang dibuat oleh bank sendiri dinamakan akta di bawah tangan dan perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris dinamakan akta otentik atau akta notariil. Untuk menjawab mengenai perbedaan kedua akta tersebut maka perlu dibahas apa yang diartikan dengan akta itu. Menurut
R. Subekti dalam bukunya hukum pembuktian akta diartikan sebagai surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak untuk dijadikan alat bukti. Dengan demikian unsur yang penting untuk suatu akta adalah adanya kesengajaan, dibuat untuk dijadikan alat bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.159
3. Fungsi Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit yang telah ditandatangani para pihak, baik yang berbentuk akta di bawah tangan (dibuat para pihak sendiri) atau dalam bentuk akta otentik (dibuat oleh dan dihadapan notaris), mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:160
a. Perjanjian kredit sebagai alat bukti bagi kreditor dan debitor yang membuktikan adanya hak dan kewajiban timbal balik antara bank sebagai kreditor dan debitor. Hak debitor adalah menerima pinjaman dan menggunakan sesuai tujuannya dan kemudian debitor
159 Ibid, hlm. 101.
mengembalikan hutang tersebut baik pokok dan bunga sesuai waktu yang ditentukan. Hak kreditor untuk mendapat pembayaran bunga dan kewajiban kreditor adalah meminjamkan sejumlah uang kepada debitor dan kreditor berhak menerima pembayaran kembali pokok dan bunga.
b. Perjanjian kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pemantauan atau pengawasan kredit yang sudah diberikan, karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit dapat dibantu dari ketentuan perjanjian kredit.
c. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikutannya yaitu perjanjian pengikatan jaminan. Pemberian kredit pada umumnya dijamin dengan benda-benda bergerak atau benda tidak bergerak milik debitor atau milik pihak ketiga yang harus dilakukan pengikatan jaminan.
d. Perjanjian kredit hanya sebagai alat bukti biasa yang membuktikan adanya hutang debitor artinya perjanjian kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial atau tidak memberikan kekuasaan langsung kepada bank atau kreditor untuk mengeksekusi barang jaminan apabila debitor tidak mampu melunasi hutangnya (wanprestasi)
C. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan Fidusia
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) yang dimaksud dengan fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Adapun pengertian jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan (sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan) yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.161
Dari pengertian tersebut maka unsure atau elemen pokok jaminan fidusia yaitu:162
a. Jaminan fidusia adalah agunan untuk pelunasan utang
b. Utang yang dijamin jumlahnya tertentu
c. Objek jaminan fidusia adalah benda bergerak berwujud maupun tidak berwujud, benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang penguasaan benda jaminan tersebut masih dalam kekuasaan pemberi fidusia
d. Jaminan fidusia memberikan hak preferent atau hak diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain
e. Hak milik atas benda jaminan berpindah kepada kreditor atas dasar kepercayaan tetapi benda tersebut masih dalam penguasaan pemilik benda.
Jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:163
a. Jaminan fidusia mempunyai sifat accesoir
Seperti sifat-sifat jaminan pada umumnya, jaminan fidusia berifat accesoir artinya jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya, keberadaannya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya. Yang dimaksud perjanjian pokok adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan kewajiban para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.164
161 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 113.
162 Efendi. xxx.xxxxxxxxxx.xxx. Pada hari Kamis 21 Desember 2017
163 Sutarno, Op. Cit, hlm. 207,
Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau perjanjian utang yang menimbulkan kewajiban untuk memenuhi prestasi menurut hemat penulis dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta otentik tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian. Perjanjian pokok tersebut dapat dibuat di dalam atau di luar negeri dan pihak-pihak yang bersangkutan dapat dibuat oleh perorangan atau badan hukum asing asal kredit digunakan untuk kepentingan di Wilayah Republik Indonesia.
Sifat accesoir dari jaminan fidusia ini berdasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang menegaskan: jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Pasal 25 juga menegaskan bahwa jaminan fidusia hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.165
Jaminan fidusia yang bersifat ikutan atau accesior ini menimbulkan konsekuensi, dalam hal piutang yang dijamin dengan jaminan fidusia beralih kepada kreditor lain, maka jaminan fidusia yang menjaminnya demi hukum ikut beralih kepada kreditor baru. Pencatatan peralihan hak jaminan fidusia didasarkan pada akta beralihnya piutang yang dijamin, misalnya akta cessie dalam bentuk akta di bawah tangan atau akta otentik. Terjadinya peralihan piutang perlu didaftarkan oleh kreditor baru kepada kantor pendaftaran fidusia dan juga diberitahukan kepada debitor.166
b. Jaminan fidusia mempunyai sifat droit de suite
Jaminan fidusia memiliki sifat droit de suite ini mengikuti sifat droit de suite seperti hak tanggungan karena prinsip droit de suite merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan fidusia yang memiliki sifat droit de suite artinya penerima jaminan fidusia/kreditor mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada. Namun sifat ini dikecualikan untuk objek jaminan fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory). Objek jaminan fidusia yang berbentuk benda persediaan dalam dunia perdagangan dapat dijual setiap saat karena benda persediaan tersebut merupakan barang-barang dari hasil produksi industri yang memang untuk diperdagangkan.167
Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda objek jaminan fidusia berupa bus-bus atau truk oleh pemilik benda dijual kepada pihak lain, maka dengan sifat droit de suite, jika debitor cidera janji kreditor sebagai penerima jaminan fidusia tetap dapat mengeksekusi benda jaminan bus-bus atau truk meskipun oleh pemberi fidusia telah dijual dan dikuasai pihak lain. Jadi penjualan objek jaminan fidusia oleh pemilik benda tersebut tidak menghilangkan hak kreditor untuk mengeksekusi benda jaminan (objek fidusia) itu.168
c. Jaminan fidusia memberikan hak preferent
Kreditor sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap kreditor lainnya artinya jika debitor cidera janji atau
lalai membayar hutangnya maka kreditor penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditor mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut.169
Contoh Bank BTN memberikan kredit kepada B dengan jaminan fidusia berupa kendaraan truk dan bus. Ternyata B juga mempunyai hutang di bank Gajah Tunggal tanpa jaminan. Jadi B memiliki hutang kepada Bank BTN dan Bank Gajah Tunggal. Jika debitor B cidera janji maka Bank BTN sebagai penerima fidusia mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari hasil eksekusi benda jaminan, sedangkan Bank Gajah Tunggal baru mendapatkan pelunasan jika hasil eksekusi tersebut lebih besar dari pelunasan seluruh hutang B kepada Bank BTN.170
d. Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada
Fungsi jaminan fidusia adalah untuk menjamin pelunasan suatu utang yang besarnya sudah diperjanjikan pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7 UUJF, yaitu:171
1) Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit merupakan jumlah utang maksimum atau disebut plafond kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang tercantum dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh debitor sehingga jumlah utang yang sebenarnya tidak sama dengan jumlah plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya utang telah ada, dapat
169 Xxxxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxx, Hukum Jaminan, Revisi Dengan UUHT, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 2001), hlm. 36.
menggunakan bukti tambahan berupa rekening koran atau bukti lainnya yang dikeluartkan bank. Rekening koran yang diterbitkan bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil yang ada yang dijamin pelunasannya dengan jaminan fidusia.
2) Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitor dalam rangka pelaksanaan bank garansi. Utang ini merupakan utang yang akan ada karena terjadinya di masa akan datang tetapi jumlahnya utang sudah bisa ditentukan sesuai komitmen kreditor untuk membayar bank garansi akibat debitor tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima bank garansi (pihak yang dijamin).
3) Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi. Pada saat eksekusi terhadap jaminan fidusia, kreditor akan menentukan jumlah utang riil debitor berdasarkan perjanjian kredit atau rekening koran yang meliputi penarikan hutang pokok, bunga, denda keterlambatan dan biaya- biaya lainnya yang dikeluarkan kreditor. Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang dapat ditentukan pada saat kreditor akan mengajukan eksekusi.
e. Jaminan fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang
Pasal 8 UUJF menegaskan bahwa: jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia tersebut. Dari ketentuan pasal ini maka benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitor kepada beberapa kreditor. Dari penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud lebih dari satu penerima fidusia atau lebih dari satu kreditor hanya berlaku dalam rangka pembiayaan kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya seorang kreditor secara bersama- sama dengan kreditor lain (secara konsorsium atau sindikasi) memberikan kredit kepada seorang debitor dalam satu perjanjian kredit. Jaminan fidusia yang diberikan debitor digunakan untuk menjamin kepada semua kreditor
itu secara bersama. Antara kreditor satu dengan kreditor lainnya mempunyai kedudukan yang sama atas jaminan fidusia, tidak ada kreditor yang memiliki peringkat yang lebih tinggi dibanding debitor lain.172
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UUJF ini tidak berlaku ketentuan pemegang jaminan fidusia peringkat pertama, pemegang jaminan fidusia peringkat kedua terhadap kreditor yang memberikan kredit secara bilateral kepada seorang debitor. Tidak adanya peringkat jaminan fidusia dengan peringkat pertama, kedua dan seterusnya dapat mengacu pada Pasal 17 UUJF yang menegaskan : pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.173
Hal ini berbeda dengan hak tanggungan yang mengenal peringkat hak tanggungan pertama, kedua dan seterusnya yang berlaku bagi kreditor dalam memberikan kredit kepada debitor baik dilakukan secara bersama- sama dengan keditur lain/konsorsium atau sindikasi maupun secara bilateral/masing-masing kreditor.
f. Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial
Kreditor sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila debitor cidera janji. Hak untuk mengajukan eksekusi tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat (3) yang menegaskan bahwa apabila debitor cidera janji, kreditor sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri. Hak untuk menjual objek jaminan fidusia
atas kekuasaan sendiri merupakan perwujudan dari Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) UUJF yang intinya menegaskan Sertifikat Jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.174
Dengan sifat eksekutorial ini jika debitor cidera janji maka kreditor sebagai penerima fidusia dapat melakukan penjualan benda jaminan secara langsung dengan bantuan Kantor Lelang atau tidak dengan bantuan Kantor Lelang dan tidak perlu meminta flat dari pengadilan. Hak kreditor untuk menjual sendiri benda jaminan dinamakan Parate Eksekusi.175
g. Jaminan fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas
Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai objek jaminan fidusia. Benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara mengidentifikasi benda jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam Akta Jaminan Fidusia.176
Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang merupakan akta pembebanan benda yang dibebani jaminan fidusia. Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia tempat di mana pemberi fidusia berkedudukan. Untuk benda-benda yang
174 Ibid,
dibebani jaminan fidusia tetapi berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia tetap didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia di Indonesia di mana pemberi fidusia berkedudukan.177
Dengan dilaksanakan pendaftaran benda yang dibebani jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, maka masyarakat dapat mengetahui bahwa suatu benda telah dibebani jaminan fidusia sehingga masyarakat akan berhati-hati untuk melakukan transaksi atas benda tersebut dan sekaligus memberikan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Pendaftaran benda yang telah dibebani jaminan fidusia ini untuk memenuhi asas publisitas seperti tercantum pada Pasal 11 UUJF yang menegaskan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.
h. Jaminan fidusia berisi hak untuk melunasi hutang
Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap hak jaminan yang menjamin pelunasan utang, seperti hak tanggungan juga memiliki sifat ini. Sifat ini sesuai fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan tersebut bila debitor cidera janji bukan untuk dimiliki kreditor. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitor dari tindakan sewenang-wenang kreditor. Seandainya debitor setuju mencantumkan janji bahwa benda yang menjadi objek fidusia akan menjadi milik debitor jika debitor cidera janji maka oleh undang-undang janji semacam itu batal demi hukum. Batal
hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada sehingga tidak perlu dilaksanakan (vide Pasal 33 UUJF).178
i. Jaminan Fidusia meliputi hasil benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan klain asuransi.
Sifat ini sangat menguntungkan kepentingan Kreditor karena objek jaminan fidusia menjadi lebih luas bukan hanya benda-benda saja tetapi meliputi hasil dari pemanfaatan atau pengelolaan dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia termasuk klaim asuransi jika benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan (vide Pasal 10 UUJF).179
Misalnya objek jaminan fidusia berupa bus-bus atau truck-truck, maka yang menjadi jaminan fidusia bukan hanya bus-bus dan truck saja tetapi meliputi hasil dari pengoperasian atau pengelolaan bus dan truck itu yaitu berupa sejumlah uang. Namun dalam penerapannya tentu tidak mudah untuk mengetahui berupa jumlah uang hasil dari pemanfaatan atau pengelolaan bus atau truck tersebut.180
Terhadap permintaan klain asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, lebih mudah dibanding meminta hasil pemanfaatan benda jaminan fidusia karena kreditor dapat meminta langsung kepada perusahaan yang menutup asuransi agar diserahkan kepada kreditor.
j. Objek jaminan Fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud dan tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan serta benda-benda yang diperoleh di kemudian hari.181
178 Ibid,
179 Ibid,
180 Ibid,
2. Objek Jaminan Fidusia
Seperti telah dijelaskan bahwa hanya dalam hal-hal yang sangat khusus, atas satu objek (benda) jaminan fidusia dapat diberikan lebih dari satu fidusia, yakni dalam hal pemberian kredit secara konsorsium (atau sindikasi). Namun demikian, perlu kejelasan benda yang bagaimanakah yang dapat menjadi objek jaminan fidusia tersebut. Ketentuannya terdapat antara lain dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 UUJF. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut adalah sebagai berikut:182
a. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.
b. Dapat atas benda berwujud
c. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang.
d. Benda bergerak.
e. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan.
f. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik.
g. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.
h. Dapat atas satu satuan atau jenis benda.
i. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda
j. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.
k. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
l. Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan fidusia.
3. Prosedur Pembebanan Fidusia
Tahap-tahap pembebanan fidusia adalah rangkaian perbuatan hukum dari dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian utang, pembuatan akta Jaminan Fidusia sampai dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran fidusia dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia.
Rangkaian perbuatan hukum tersebut memerlukan beberapa tahap sebagai berikut:183
a. Tahap Pertama
Tahap pertama didahului dengan dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian utang. Perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta di bawah tangan artinya dibuat oleh kreditor dan Xxxxxxx sendiri atau akta otentik artinya dibuat oleh dan dihadapan Notaris. Dalam pasal perjanjian kredit harus dirumuskan utang yang pelunasannya dijamin fidusia dengan contoh perumusan.184
Untuk lebih menjamin pembayaran kembali pinjaman, baik hutang pokok, bunga dan denda serta biaya-biaya lainnya oleh debitor kepada Kreditor berdasarkan perjanjian kredit ini, termasuk segala perubahannya apabila ada, debitor memberikan jaminan berupa benda-benda bergerak berupa sepuluh bus yang akan dilakukan pembebanan dengan Jaminan Fidusia. Pembebanan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta tersendiri yang disebut Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh Notaris.185
Didahuluinya pembuatan perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit ini sesuai sifat accessoir dari Jaminan Fidusia yang artinya pembebanan Jaminan Fidusia merupakan ikutan dari perjanjian pokok. Pasal
4 UUJF menegaskan Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari
183 Sutarno, Op. Cit, hlm. 214.
184 Ibid,
suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.186
b. Tahap Kedua
1) Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (AJF)
Tahap kedua berupa pembebanan benda dengan jaminan fidusia yang ditandai dengan pembuatan Akta Jaminan Fidusia ditandatangani kreditor sebagai penerima fidusia dan pemberi fidusia (debitor atau pemilik benda tetapi bukan debitor). Dalam akta jaminan fidusia selain dicantumkan hari dan tanggal pembuatan juga dicantumkan mengenai waktu atau jam pembuatan akta tersebut. Bentuk Akta Jaminan Fidusia adalah akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris. Akta Jaminan Fidusia dalam bentuk akta notaris sekurang-kurangnya harus memuat:187
a) Identitas pihak Pemberi Fidusia (Debitor atau pemilik benda fidusia tetapi bukan debitor) dan Penerima Fidusia (Bank/Kreditor). Identitas meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal atau tempat kedudukan, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan dan pekerjaan.
b) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia. Data perjanjian pokok adalah perjanjian kredit atau perjanjian utang lainnya dan besarnya utang yang dijamin dengan fidusia harus diuraikan dalam Akta Jaminan Fidusia.
c) Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Benda-benda yang meliputi objek jaminan fidusia harus diuraikan dalam Akta Jaminan meliputi identifikasi benda tersebut mengenai namanya, mereknya, tahun pembuatan, dan identifikasi lainnya sesuai uraian dalam surat-surat benda tersebut dan juga dijelaskan surat bukti kepemilikan atas benda tersebut.
186 Ibid,
187 Grace P. Nugroho, Jaminan Fidusia-Tindakan EksekutorialTerhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta Di Bawah Tangan. 2007. dalam xxx.xxxxxxxxx.xxx. Pada hari Kamis 21 Desember 2017